BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pada tahun 2000 Seligman dan Csikszentmihayli menulis di Journal of The American Psychologist Association bahwa psikologi awal abad 21 akan dimulai dengan perkembangan yang pesat dalam kajian yang mempelajari psikologi positif. Tulisan ini kemudian terbukti dengan munculnya perkembangan yang signifikan terkait penelitian psikologi positif. Salah satu tema dalam psikologi positif yang mengalami perkembangan pesat tersebut adalah pemaafan. McCullough (2008) dalam bukunya Beyond Revenge: The Evolution of The Forgiveness Instinct mengatakan sesuai dengan teori evolusi dan kajian antropologis bahwa baik balas dendam maupun pemaafan merupakan sifat alamiah manusia (human nature). Beberapa kajian bahkan menyebutkan bahwa balas dendam mempunyai potensi sebagai solusi atas masalah manusia pun demikian dapat pula menjadi masalah. Kecenderungan untuk memaafkan dengan demikian adalah sifat dasar positif manusia yang dapat dikembangkan. Majalah Time edisi peringatan sepuluh tahun tragedi 11 September 2001 menampilkan orang-orang yang mengalami atau terkena imbas atas peristiwa tersebut. Adalah seorang Lyzbeth Glick Best, seorang janda dari penumpang pesawat yang ditabrakkan ke gedung WTC dalam sebuah wawancara mengungkapkan kebesaran jiwanya untuk memaafkan pelaku penyerangan itu. 1 2 Ia juga mengungkapkan bahwa apa yang dilakukannya (memaafkan) berbeda dengan beberapa pendapat masyarakat Amerika pada umumnya yang ingin menuntut balas. Ia meyakini bahwa pembalasan akan diberikan di hari akhir dan bukan lewat perang atau hukuman mati. Pendapat salah satu warga Amerika ini memang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan pemerintah Amerika dengan melakukan pembalasan atas tragedi 11 September 2001. Beberapa tindakan pembalasan itu antara lain serangan ke Irak tahun 2003, serangan ke Taliban, dan juga penangkapan orang-orang terduga teroris tanpa diadili yang dipenjara di penjara Guantanamo. Belakangan diketahui bahwa banyak tahanan mengalami penyiksaan diluar batas kemanusiaan dan karena itu PBB meminta pemerintah Amerika menutup penjara ini karena alasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Lyzbeth Glick Best merupakan contoh seseorang yang dapat memaafkan kesalahan yang sudah dilakukan orang lain. Adanya keyakinan religiuslah yang kemungkinan membuat dia meyakini bahwa pembalasan akan diberikan oleh Tuhan pada hari akhir nanti. Bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Sebagai negara dengan basis religius kuat yang diwujudkan dalam salah satu sila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa ternyata implementasinya berbeda. Banyak konflik yang masih saja terjadi karena ketidakmampuan satu pihak memaafkan pihak yang lain. Contohnya dalam kasus tawuran seperti yang terjadi di Ciracas, Jakarta Timur pada 22 Desember 2013 yang motifnya diduga karena balas dendam antar warga (Lubis, 2013). Tawuran yang disebabkan oleh dendam lama juga terjadi di Cirebon pada tanggal 29 Agustus 2012 dengan melibatkan warga di 3 dua desa yang berseteru. Akibat tawuran tersebut dua rumah terbakar habis dan 16 orang mengalami luka (Anggriawan, 2012). Dua kasus di atas tentunya hanyalah beberapa contoh saja dari banyak kasus serupa yang disebabkan karena adanya dendam dan ketidakmampuan untuk memaafkan pihak lain yang bersalah. Kajian tentang pemaafan mengalami kemajuan yang cukup pesat dengan banyaknya penelitian-penelitian terkait. Pertanyaan mendasar adalah terkait definisi, pengukuran, hubungan dengan agama, proses pemaafan, keuntungan pemaafan, batasan dan harga yang harus dibayar untuk memaafkan, dan juga intervensi yang tepat untuk mempromosikan pemaafan dalam keluarga maupun cakupan sosial yang lebih luas (Worthington, 2005). Begitu banyaknya pertanyaan yang belum terjawab dalam pemaafan ini membuat kajian tentang pemaafan menjadi semakin menarik. Pemaafan mempunyai definisi yang bermacam-macam. Snyder & Lopez (2007) membagi beberapa perbedaan definisi itu menjadi empat menurut beberapa ahli. Ahli pertama adalah Thompson, Snyder, Hoffman, Michael, Rasmussen, Billing,... & Roberts (2005) yang mendefinisikan pemaafan sebagai rasa bebas dari keterikatan negatif dengan sumber pelanggaran yang menyakitkan. McCullough, Rachal, Sandage, Worthingthon, Brown & Hight (1998) mengatakan bahwa pemaafan merefleksikan peningkatan motivasi prososial seperti tidak adanya keinginan untuk membalas dendam, dan meningkatnya keinginan untuk bersikap positif terhadap orang yang menyakiti. Enright, Freedman, & Rique (1998) mendefinisikan pemaafan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah 4 dengan tidak menyangkal rasa sakit sendiri tetapi dengan rasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti. Sedangkan Tangney, Fee, Reinsmith, Boone, & Lee (1999) melihat bahwa pemaafan hendaknya merefleksikan perubahan kognitif dan afektif terhadap orang yang menyakiti, dapat membuat perhitungan yang realistis terhadap peristiwa yang menyakitkan, namun membebaskan diri sendiri dari segala urusan balas dendam dan hukuman. Dalam model pemaafan Tangney dkk (1999) ini pembebasan diri dari emosi negatif adalah kunci dari proses pemaafan. Definisi Thompson dkk (2005) adalah yang paling inklusif terkait sumber pelanggaran yang menyakitkan karena tidak hanya menyangkut orang lain namun juga bisa berasal dari diri sendiri maupun situasi. Sedangkan definisi dari beberapa ahli lain seperti McCullough dkk (1998), Enright dkk (1998), serta Tangney dkk (1999), melihat pemaafan sebagai proses yang melibatkan sumber pelanggaran dari orang lain saja. Padahal sumber itu dapat berasal dari diri sendiri seperti seseorang yang merasa bersalah pada diri sendiri namun tidak bisa memaafkan. Sumber itu dapat pula berasal dari situasi seperti bencana alam yang tidak pernah terduga yang merenggut harta maupun jiwa orang-orang terdekat. Dengan alasan di atas maka penelitian ini menggunakan definisi dari Thompson dkk (2005). Memaafkan atau tidak memaafkan pada dasarnya memang merupakan pilihan setiap manusia. Memang selalu mungkin terdapat hal negatif yang didapatkan ketika memaafkan seperti bias dalam menilai pemaafan bagi orang yang diberi maaf sehingga kesalahan yang telah dilakukan diulangi lagi di masa 5 mendatang. Namun jika pemaafan dilakukan dalam porsi yang semestinya maka akan didapatkan banyak keuntungan. Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang mencatat beberapa keuntungan memaafkan antara lain peningkatan psychological well-being (Karremans, Van Lange, Ouwerkerk, & Kluwer, 2003; Worthington & Scherer, 2004), kebahagiaan (Maltby, Day, & Barber, 2005), emosi positif yang tinggi, kepuasan terhadap hidup yang tinggi, simtom kesehatan fisik yang rendah (Bono, McCullough, & Root, 2006). Penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Worthington (2005) yaitu persimpangan antara pemaafan dan agama. Beberapa ahli telah melakukan penelitian pemaafan dihubungkan dengan religiusitas maupun praktik keagaamaan seperti yang dilakukan oleh Webb, Chickering, Colburn, Heisler, & Call (2005), Hui, Watkins, Wong & Sun (2006), McCullough & Worthington (1999), Lawler-Row, Scott, Raines, Edlis-Matityahou, & Moore (2007), Jose & Alfons (2007), dan Rye (2007). Akar yang kuat dari agama tentunya banyak berpengaruh terhadap pemaafan. Namun apakah sebenarnya agama itu sendiri yang mempengaruhi pemaafan atau bagian lebih dalam dari agama? Penelitian Fox & Thomas (2008) yang mencoba menghubungkan religiusitas dengan pemaafan. Pengukuran religiusitas menggunakan skala kepercayaan religius, interpretasi religius, doa, dan juga kehadiran dalam kelompok agama. Hasilnya menunjukkan bahwa kepercayaan religius mempunyai nilai hubungan yang paling tinggi terhadap pemaafan dibandingkan faktor-faktor religius yang lain. Salah satu komponen dari kepercayaan religius disini adalah 6 kepercayaan terhadap eksistensi atau keberadaan Tuhan. Hal ini mengindikasikan kemungkinan kepercayaan akan keberadaan Tuhan ini menjadi bagian yang paling bisa menjelaskan hubungan antara agama dan pemaafan. Kirkpatrick (2005) menjelaskan bahwa kepercayaan religius terhadap Tuhan dapat dijelaskan dengan menggunakan teori kelekatan. Teori kelekatan adalah teori yang awalnya dikemukakan oleh John Bowlby (1969) untuk menjelaskan hubungan antara bayi dengan pengasuh utama. Lebih lanjut dalam teori ini dijelaskan bahwa pengaruh kelekatan kepada ibu atau pengasuh utama akan berlanjut selama rentang waktu kehidupan seseorang melalui mekanisme Internal Working Model atau konstruk yang menjelaskan konstelasi kompleks dari emosi, perilaku dan kognisi dari bayi dalam mempertahankan tingkat kenyamanan dan perasaan aman. Kelekatan lanjutan dari kelekatan pada pengasuh utama dapat dapat terbentuk pada pasangan, teman dekat, konselor, dan bahkan kepada Tuhan. (Kirkpatrick, 1992; Rowatt & Kirkpatrick, 2002). Kelekatan terhadap Tuhan terbentuk karena Tuhan dapat ditempatkan sesuai dengan kriteria Ainsworth tentang fungsi figur lekat (Sim & Yow, 2011). Pertama, Tuhan berfungsi sebagai tempat berlindung dalam masa-masa sulit yang dilewati orang yang mempunyai keyakinan. Kedua, Tuhan juga berfungsi sebagai basis rasa nyaman dalam seseorang mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya. Sim & Yow (2011) bahkan mengatakan bahwa tipe perilaku dan reaksi dalam kondisi tertekan (distress) yang dikembangkan dalam hubungan kelekatan dapat terlihat pula dalam hubungan dengan Tuhan. 7 Lazarus menjelaskan hubungan antara tekanan hidup dan bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan keadaan itu dengan teori stress-coping relationship. Menurut Lazarus dalam Schaefer & Gorsuch (1993) koping dijelaskan sebagai respon tindakan terhadap ancaman dan harus dipertimbangkan sebagai bagian yang terpisah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa pada dasarnya koping adalah proses yang tidak disadari utamanya dalam konflik-konflik intrapersonal, namun model yang dikembangkan Lazarus menyatakan bahwa ancaman atau stressor itu biasanya berasal dari luar dan strategi koping merupakan bentuk kesadaran. Salah satu bentuk strategi koping yang dilakukan adalah berdasarkan pada agama. Pargament dkk (1988) menjelaskan bahwa agama telah memainkan peranan yang penting dalam membantu seseorang dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan situasi hidup. Agama berfungsi sebagai penunjuk, pendukung dan juga menawarkan harapan bagi seseorang. Secara spesifik agama juga dapat berfungsi sebagai elemen yang signifikan dalam fase penyelesaian suatu masalah (problem solving). Dengan dasar ini kemudian muncul gaya penyelesaian masalah berbasis agama atau dapat disebut sebagai koping religius atau koping spiritual. Berdasarkan pusat tanggungjawab dalam proses penyelesaian masalah dan tingkat aktivasinya koping religius dibagi menjadi tiga dimensi yaitu koping religus kolaboratif, koping religius self-direct dan koping religius deffering. Koping religius kolaboratif terjadi ketika dalam penyelesaian masalah seseorang melibatkan Tuhan secara bersama-sama. Koping self-direct terjadi ketika 8 seseorang sama sekali tidak melibatkan Tuhan namun berusaha dengan kemampuan dirinya sendiri. Sedangkan koping deffering terjadi ketika seseorang menyerahkan sepenuhnya penyelesaian masalah kepada Tuhan ketika ditimpa suatu permasalahan. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan diri pada koping religius kolaboratif karena dalam koping inilah yang kemungkinan lebih banyak digunakan dan berdasarkan telaah kajian teoritis sebelumnya. B. Rumusan Permasalahan Pertanyaan dalam penelitian ini adalah sejauhmana peran kelekatan terhadap Tuhan pada pemaafan dengan koping religius kolaboratif sebagai variabel mediator? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kelekatan terhadap Tuhan pada pemaafan dengan koping religius kolaboratif sebagai variabel mediator. Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain adalah: 1. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah kajian secara umum tentang psikologi sosial dan secara khusus ke psikologi positif dan psikologi agama. 2. Secara praktis penelitian ini dapat digunakan dalam mengetahui pemahaman tentang perilaku-perilaku religius yang mempengaruhi pemaafan yang pada akhirnya akan dapat digunakan dalam intervensi pelatihan pemaafan. 9 D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Penelitian dari Davis, Hook & Worthington (2008) yang berjudul Relational Spirituality and Forgiveness: The Roles of Attachment to God, Religious Coping, and Viewing the Transgression as a Desecration menjelaskan hubungan kelekatan terhadap Tuhan, koping religius dan pemaafan. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa beragama Kristen di salah satu Universitas Amerika. Penelitian ini menggunakan skala Attachment to God dari Rowatt & Kirkpatrick (2002) dengan dua aspek yaitu kelekatan yang cemas terhadap Tuhan (anxious attachment to God) dan kelekatan yang menolak (avoidant attachment to God). Sedangkan skala koping religius menggunakan Skala Koping Religius dari Pargament, Koenig & Perez (2000). Hasilnya mendukung hipotesis yang diajukan yaitu pemaafan mempunyai hubungan negatif terhadap dua aspek kelekatan terhadap Tuhan yaitu anxious attachment to God dan avoidant attachment to God. Pemaafan juga berkorelasi positif dengan koping religius positif dan berkorelasi negatif terhadap koping religius negatif. Data yang didapatkan juga mendukung hipotesis penelitian ini bahwa hubungan antara pemaafan dan kelekatan terhadap Tuhan dimediasi oleh koping religius baik positif maupun negatif. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada subjek yaitu orang Indonesia serta penggunaan alat ukur. Jika Davis dkk (2008) menggunakan skala Attachment to God dari Rowatt & Kirkpatrick (2002) dan skala koping religius Pargament dkk (2000) yang berdasarkan pada dampak koping religiusnya (positif dan negatif), maka penelitian ini menggunakan adaptasi dari skala yang 10 digunakan oleh Sim & Loh (2003) dan juga koping religius kolaboratif oleh Pargament dkk (1988) sebagai variabel mediator.