BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pemaafan (Forgiveness) 1. Definisi Pemaafan (Forgiveness) “Forgiveness” memiliki arti terminologis dengan dua hal, yaitu meminta maaf dan memaafkan. Pemaafan merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencaricari nilai dalam amarah dan kebencian, serta menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh McCullough dkk, (1997) yang mengemukakan bahwa pemaafan merupakan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Snyder (2002) mengemukakan definisi pemaafan (forgiveness) sebagai penyusunan transgresi yang dialami, dimana individu dihadapkan pada transgressor, transgresi, dan sekuel dari transgresi, sehingga terjadi transformasi terhadap efek negatif menjadi netral atau positif. Sumber transgresi, atau objek dari pemaafan bisa diri sendiri, orang lain atau situasi dimana pandangan seseorang berada pada kendali seseorang atau sesuatu (misalnya: penyakit, ’takdir’ atau bencana alam). Enright, (dalam Schimmel, 2002) melihat pemaafan sebagai suatu bentuk kesiapan melepaskan hak yang dimiliki seseorang untuk meremehkan, menyalahkan, dan membalas dendam terhadap pelaku yang telah bertindak 11 12 tidak benar terhadapnya, dan di waktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang, kemurahan hati, bahkan cinta terhadapnya. Pemafaan adalah upaya membuang semua keinginan pembalasan dendam dan sakit hati yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali (McCullough, 1997). Proses pemaafan dapat terjadi jika orang yang disakiti menghilangkan perasaan negatif seperti kekecewaan, benci atau marah terhadap pelaku tentang peristiwa yang terjadi dan pelaku dibebaskan secara lebih lanjut dari perasaan bersalah dan kewajibannya. Kemudian hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku kembali menjadi baik seperti sebelum peristiwa yang menyakitkan terjadi. Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. McCullough dkk, (1997) mengemukakan bahwa pemaafan merupakan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti. Nashori (2008) juga menjelaskan pemaafan adalah menghapus luka atau bekas-bekas luka dalam hati. Boleh jadi ingatan kejadian yang memilukan di masa lalu masih ada, tetapi persepsi kejadian yang menyakitkan hati telah terhapuskan. Sedangkan menurut Ken Hart (dalam Munthe, 2013) menyatakan pemaafan adalah kesembuhan dari ingatan yang terluka, bukan 13 menghapuskan dan pemaafan sebagai cara mengatasi hubungan yang rusak dengan dasar prososial. Dari beberapa definisi yang dijelaskan beberapa ahli tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah upaya membuang semua rasa sakit hati dan dendam yang ada di dalam hati agar tercipta kembali hubungan yang baik. 2. Dimensi-Dimensi Pemaafan Nashori (2012) menjelaskan pemaafan dalam tiga dimensi, antara lain: a. Dimensi Emosi Pemaafan Dimensi emosi pemaafan berkaitan dengan orang-orang yang menjadi korban terhadap orang-orang yang menjadi pelaku. Pada dimensi ini dengan merunut pendapat para ahli, Nashori (2012) mengambil kesimpulan untuk indikator dimensi emosi pemaafan adalah sebagai berikut: 1) Meninggalkan perasaan marah, sakit hati, benci 2) Tetap mampu mengontrol emosi saat diperlakukan tidak menyenangkan oleh orang lain 3) Merasa iba dan kasih sayang terhadap pelaku 4) Merasa nyaman ketika berinteraksi dengan pelaku b. Dimensi Kognisi Pemaafan Dimensi kognisi pemaafan berkaitan pemikiran seseorang atas peristiwa yang tidak menyenangkan yang dialaminya. Pada dimensi ini dengan merunut pendapat para ahli, Nashori (2012) mengambil 14 kesimpulan untuk indikator dimensi kognisi pemaafan adalah sebagai berikut: 1) Memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang menyakiti mereka 2) Meninggalkan penilaian negatif terhadap orang lain ketika hubungannya dengan orang lain tidak sebagaimana diharapkan 3) Memiliki pandangan yang berimbang terhadap pelaku c. Dimensi Interpersonal Pemaafan Dimensi interpersonal pemaafan berkaitan dengan dorongan dan perilaku antar pribadi seseorang untuk memberi pemaafan terhadap orang lain. Pada dimensi ini dengan merunut pendapat para ahli, Nashori (2012) mengambil kesimpulan untuk indicator dimensi kognisi pemaafan adalah sebagai berikut: 1) Meninggalkan perilaku atau perkataan yang menyakitkan terhadap pelaku 2) Meninggalkan perilaku acuh tak acuh 3) Meninggalkan keinginan balas dendam 4) Meninggalkan perilaku menghindar 5) Meningkatkan upaya konsiliasi/rekonsiliasi hubungan 6) Motivasi kebaikan atau kemurahan hati 7) Musyawarah dengan pihak yang pernah jadi pelaku 15 3. Faktor yang Mempengaruhi Pemaafan Beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian maaf, antara lain: a. Empati Empati adalah kemampuan orang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Melalui empati terhadap pihak yang menyakiti, seseorang dapat memahami perasaan pihak yang menyakiti merasa bersalah dan tertekan akibat perilakunya yang menyakitkan. Dengan alasan itulah beberapa penelitian menunjukkan bahwa empati berpengaruh terhadap proses pemaafan (McCullough dkk, 1997, 1998 2003; Zechmeister dan Romero, 2002; Macaskil dkk, 2002; Takaku, 2001). b. Atribusi Terhadap Pelaku dan Kesalahannya Penilaian akan mempengaruhi setiap perilaku individu. Artinya, setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu (termasuk pemaafan) dimasa yang akan datang. Pemaaf pada umumnya menyimpulkan bahwa pelaku telah merasa bersalah dan tidak bermaksud menyakiti sehingga ia mencari penyebab lain dari peristiwa yang menyakitkan itu. c. Tingkat Kelukaan Beberapa orang menyangkal sakit hati yang mereka rasakan untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Mereka merasa takut mengakui sakit hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Disisi lain, 16 banyak orang yang merasa sakit hati ketika mendapatkan bukti bahwa hubungan interpersonal yang mereka kira akan bertahan lama ternyata hanya bersifat sementara. Hal ini sering menimbulkan kesedihan yang mendalam yang akhirnya ketika hal ini terjadi, maka pemaafan akan sulit terwujud. d. Karakteristik Kepribadian Sikap untuk pemaafan merupakan trait yang ada dalam diri seseorang. Oleh karena itu, sikap pemaafan pada tiap individu dipengaruhi oleh tipe kepribadian. Ciri kepribadian tertentu seperti ekstrovert seringkali dihubungkan dengan tipe yang lebih mudah memaafkan. Kecenderungan ekstrovert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter ekstrovert diasosiasikan dengan sikap yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri sendiri, menyenangkan, jujur dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Sebaliknya kepribadian introvert menggambarkan kepribadian orang yang pendiam dan kurang terbuka sehingga lebih sulit untuk memaafkan (McCulloough dalam Wardhati & Faturochman, 2006). e. Kualitas Hubungan Seseorang yang memaafkan kesalahan pihak lain yang dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada empat alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal. Pertama, pasangan yang mau memaafkan pada dasarnya mempunyai motivasi tinggi untuk menjaga hubungan. Kedua, 17 dalam hubungan yang erat ada orientasi jangka panjang dalam menjalin hubungan diantara mereka. Ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi satu orang dan kepentingan pasangannya menyatu. Keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihakpihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan diantara mereka (McCullough dkk, 1998). 4. Proses Pemaafan Smedes (1984) dalam bukunya Forgive and Forget: Healing The Hurts We Don’t Deserve membagi empat tahap pemberian maaf. Pertama adalah membalut sakit hati. Sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa mengobatinya sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagiaan dan ketentraman. Kedua yaitu meredakan kebencian. Kebencian adalah respon alami seseorang terhadap sakit hati yang mendalam dan kebencian yang memerlukan penyembuhan. Dengan berusaha memahami alasan orang lain menyakiti atau mencari dalih baginya atau instropeksi sehingga ia dapat menerima perlakuan yang menyakitkan maka akan berkurang atau hilanglah kebencian tersebut. Ketiga adalah upaya penyembuhan diri sendiri. Seseorang tidak mudah melepaskan kesalahan yang dilakukan orang lain. Akan lebih mudah melepaskan orang itu dari kesalahannya dalam ingatannya. Memaafkan adalah pelepasan yang jujur walaupun hal itu dilakukan di dalam hati. Pemberi maaf sejati tidak berpura-pura bahwa mereka tidak menderita dan tidak berpura- 18 pura bahwa orang yang bersalah tidak begitu penting. Asumsinya, memaafkan adalah melepaskan orang yang serta berdamai dengan diri sendiri dan orang lain. Keempat yaitu berjalan bersama. Bagi dua orang yang berjalan bersama setelah bermusuhan memerlukan ketulusan. Pihak yang menyakiti harus tulus menyatakan kepada pihak yang disakiti dengan tidak menyakitinya lagi. Pihak yang disakiti perlu percaya bahwa pihak yang menyakiti menepati janji yang dibuatnya. Proses memaafkan adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu (Smedes, 1984). Semakin parah rasa sakit semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Proses juga dapat terjadi ketika pihak yang disakiti mencoba mengerti kenapa hal itu terjadi bersama-sama dengan upaya meredakan kemarahan. 5. Manfaat Pemaafan Worthington & Wade (dalam Munthe, 2013) pemaafan secara kesehatan memberikan keuntungan secara psikologis dan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu juga dapat mengurangi rasa marah, depresi dan cemas. Sedangkan menurut Fincham (2002) pemaafan dalam hubungan interpersonal yang erat memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan. 19 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan manfaat pemaafan secara kesehatan memberikan keuntungan secara psikologis dan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan individu dari rasa marah dan bersalah, mengurangi depresi, cemas serta memberikan kebahagiaan dan kepuasan hubungan interpersonal. 6. Pemaafan Ditinjau dari Perspektif Islam Agama-agama dan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat manusia umumnya meletakkan pemaafan atau pemberian maaf (forgiveness) ini sebagai salah satu pilar ajarannya. Pemaafan atau pemberian maaf sendiri berarti menghapuskan luka atau bekas-bekas luka dalam hati (Shihab dalam Nashori, 2008). Dalam agama islam misalnya, Allah ‘azza wa jalla memerintah manusia untuk memberikan maaf kepada orang lain: “Apabila kamu memaafkan, dan melapangkan dada serta melindungi, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang” (QS. AtTaghabun 64: 14). Tidak sedikit dalil naqli baik dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang menganjurkan kepada manusia untuk memberikan maaf kepada sesame baik secara lahir maupun batin karna dalam ajaran islam, Allah SWT dilukiskan sebagai Sang Maha Pemaaf (Maha Pengampun). Al-Qur’an menggunakan tiga kata untuk melukiskan bentuk-bentuk pemaafan; taubat, al-‘awf (maaf) dan alShaf (lapang dada). Kata al-‘awf dan yang seakar dengannya terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 34 kali yang berarti memaafkan dosa dan tidak menghukum. 20 Menurut Al-Asfahani (dalam Septeria, 2012), al-‘awf berarti menjauhkan diri dari dosa. Terkadang memberi maaf dipandang sebagai perilaku yang memberi keuntungan untuk orang lain. Dari penjelasan sebelumnya diketahui bahwa ternyata yang beruntung adalah diri sendiri. Allah SWT pun menjajikan pahala untuk orang yang suka memaafkan. “Balasan terhadap kejahatan adalah pembalasan yang setimpal, tetapi siapa yang memaafkan dan berbuat baik, ganjarannya ditanggung oleh Allah SWT” (QS. Asy-Syuura 42:40). Al-‘awf biasa diartikan dengan pemaaf dan mengampuni. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah SWT: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surge yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkankan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. Dan (juga) orang yang apabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka, dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah. Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahuinya. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surge yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah sebaik-baiknya pahala orang yang beramal” (QS. Ali Imran 3:133-136). Untuk memberikan dorongan kepada manusia agar mau memaafkan, Allah SWT berulang kali memerintahkannya di dalam Al-Qur’an, antara lain dalam surat al-A’raf;199, al-Hijr;85, dan asy-Syuura;43. Sementara itu Rasulullah SAW juga menjelaskan keuntungan orang-orang yang mau memaafkan kesalahan orang lain, diantaranya: 21 “Barang siapa memberi maaf ketika dia mampu membalas, maka Allah akan mengampuninya saat ia kesukaran.” Islam adalah agama yang indah, yang mengajarkan pada setiap ummatnya untuk selalu menjaga tali silaturahim. Apabila terjadi konflik, Islam memberikan toleransi yang tertuang dalam hadits yang berbunyi: “Tidak halal seorang muslim menjauhi kawannya lebih dari tiga hari. Jika telah lewat waktu tiga hari itu, maka berbicaralah dengan dia dan berilah salam, jika dia telah menjawab salam, maka keduanya bersama-sama mendapat pahala, dan jika dia tidak membalasnya, maka sesungguhnya dia kembali dengan membawa dosa, sedang orang yang memberi salam telah keluar dari dosa karena menjauhi itu.” (HR. Abu Daud). Hal tersebut diperjelas dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat 49; 10-12, yaitu: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, oleh karena itu adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman! Jangan ada satupun kaum merendahkan kaum lain, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu justru lebih baik dari mereka (yang merendahkan); dan janganlah ada perempuan merendahkan perempuan lainnya, sebab barangkali mereka (yang direndahkan) itu lebih baik dari mereka (yang merendahkan);dan jangan kamu mencela diri-diri kamu; dan jangan kamu memberi gelar dengan gelar-gelar (yang tidak baik) - misalnya fasik- sebab seburukburuknya nama ialah fasik sesudah dia itu beriman, dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak sangka, karena sesungguhnya sebagiaan sangkaan itu berdosa; dan jangan kamu mengintai (menyelidiki cacat orang lain); dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya, apakah salah seorang diantara kamu suka makan daging bangkai saudaramu padahal kamu tidak menyukainya? Takutlah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah maha penerima taubat dan belas kasih.” (al-Hujurat: 10-12). Nampaknya, ilmu pengetahuan modern semakin menegaskan pentingnya pemaafan sebagaimana diajarkan dalam agama. Di dalam AlQur’an, Hadits maupun teladan Nabi Muhammad SAW, memaafkan dan 22 berbuat baik kepada orang yang menyakiti merupakan perintah yang sangat kuat dianjurkan. Salah satu ayat berkenaan dengan pemaafan berbunyi: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf 7:199). Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nuur 24:22). Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al-Qur’an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apapun yang diperbuat. Memaafkan di sisi lain, meskipun terasa berat juga terasa membahagiakan. Satu bagian dari akhlak terpuji yang menghilangkan segala dampak merusak dari kemarahan dan membantu orang tersebut menikmati hidup yang sehat baik secara lahir maupun batin. Kenyataan bahwa sifat-sifat akhlak seperti ini manfaatnya telah dibuktikan secara ilmiah, telah dinyatakan banyak dalam ayat Al-Qur’an adalah satu saja dari banyak sumber kearifan yang dikandungnya. B. Kepribadian Ekstrovert 1. Pengertian Kepribadian Ekstrovert Penggolongan tipe kepribadian ekstrovert-introvert didasarkan pada perbedaan respon, kebiasaan, dan sifat-sifat yang ditampilkan oleh individu 23 dalam melakukan hubungan interpersonal, selain itu tipe kepribadian juga menjelaskan posisi kecenderungan individu yang berhubungan dengan reaksi atau tingkah lakunya (Suryabrata, 2002). Jung menggolongkan kepribadian menjadi dua yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan introvert (Suryabrata, 2002). Jung (dalam Schultz & Schultz, 1993) membedakan dua sikap atau orientasi utama kepribadian, yaitu sikap introvert dan ekstrovert. Sikap introvert mengarahkan individu ke dunia dalam, dunia subjektif dan sikap ekstrovert mengarahkan individu ke dunia luar yaitu dunia objektif. Jung (dalam Suryabrata, 1998) mengatakan bahwa seseorang terletak pada salah satu tipe kepribadian. Individu yang introvert memiliki orientasi ke dalam, ke dunia sendiri; bertipe ragu-ragu, berhati-hati dan suka termenung. Sedangkan seorang ekstrovert memiliki orientasi ke luar, bertipe aktif, menarik dalam pergaulan dan suka berpetualang. Setiap kedua sifat tersebut memang ada pada diri setiap individu. Hanya saja ada yang dominan dan ada yang tidak pada diri seorang individu. Eysenck (dalam Zulkarnain & Danta, 2003) mengatakan bahwa tipe ekstrovert bercirikan suka bergaul, memiliki banyak teman, membutuhkan orang lain untuk diajak berbicara, suka mengambil kesempatan, selalu ingin tahu, senang lelucon dan umumnya suka perubahan. Selain itu cenderung agresif dan gampang kehilangan kesabaran, sekaligus perasaannya tidak tersimpan dengan baik serta tidak selalu dapat dipercaya. Feist dan Feist (dalam Wibowo, 2007) mengartikan ekstrovert sebagai sebuah sikap yang menjelaskan aliran psikis ke arah luar sehingga orang yang 24 bersangkutan akan memiliki orientasi objektif dan menjauh dari subjektif. Ekstrovert artinya tipe pribadi yang suka dunia luar. Orang yang memiliki kecenderungan ekstrovert akan lebih menyukai kegiatan yang berurusan dengan orang lain, atau kegiatan sosial. Orang-orang ekstrovert lebih memikirkan orang lain dari pada memikirkan diri sendiri. konsekuensinya, lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari pada kepentingan sendiri. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa seorang yang ekstrovert akan berfikir objektif dan tidak terlalu mementingkan perasaan subjektifnya. Orang ekstrovert akan lebih memperhatikan fakta-fakta di sekeliling mereka untuk bersikap dan bertingkah laku (Wibowo, 2007). Pribadi seseorang yang ekstrovert ataupun introvert memiliki ciri-ciri yang dapat dilihat. Menurut Eysenck (dalam Hjelle & Ziegler, 1992) sesuai yang dikutip oleh Lidya Carunada bahwa ciri-ciri kepribadian introvert antara lain yaitu tenang atau kalem, mempunyai temperamen yang mantap, dapat dipercaya, terkontrol, merasa damai, penuh perhatian, pasif, murung, mudah cemas, kaku, bijaksana, pesimis, hati-hati, sulit berpartisipasi sosial, dan diam. Sedangkan ciri-ciri kepribadian ekstrovert antara lain mempunyai jiwa pemimpin, periang, lincah, bebas, responsif, aktif bicara, mudah berpartisipasi sosial, agresif, mudah menerima rangsangan, menyukai perubahan, optimis, dan aktif (Catrunada, 2012). Pribadi yang ekstrovert dapat dilihat dari sikapnya yang hangat, ramah, penuh kasih sayang. Pribadi yang ekstrovert juga tegas dalam mengambil keputusan, bersedia menjadi pemimpin, aktif, dan periang. 25 Seseorang yang berkepribadian ektrovert akan lebih suka bersama dengan orang lain sehingga keterampilan sosial mereka menjadi meningkat sehingga mereka dapat diterima oleh lingkungan. Dengan ini individu akan tumbuh menjadi pribadi yang positif karena mereka memilki kemampuan interpersonal yang baik (Burleson dkk, 1994). Dengan kompetensi interpersonal yang baik maka individu akan merasa nyaman dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut Masrun (dalam Wibowo 2007) seseorang yang memiliki kepribadian ektrovert hidupnya akan gembira, optimis dan ramah dalam pergaulan, sehingga hubungan dengan sesama lancar, tidak suka sendirian dan suka melakukan hal-hal yang mengandung risiko. Seseorang yang berkepribadian ektrovert akan memiliki kecendrungan perhatian dan empati terhadap orang lain, memelihara hubungan interpersonal, mudah bergaul dan menyukai tantangan, mereka juga akan dapat mengendalikan konflik yang mereka hadapi dan konflik dengan orang lain (Wibowo, 2007) Menurut Sunaryo (dalam Budi, 2010) orang-orang dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki ciri-ciri antara lain orientasinya lebih banyak tertuju ke luar (lahiriah). Pikiran, perasaan dan tindakan orang-orang dengan tipe kepribadian ekstrovert terutama ditentukan oleh lingkungan sosial maupun non sosial di luar dirinya. Sifatnya positif terhadap masyarakat, cepat beradaptasi dengan lingkungan, tindakan cepat dan tegas, hatinya terbuka, mudah bergaul dan hubungan dengan orang lain lancar. 26 Kelemahan orang-orang dengan tipe kepribadian ekstrovert adalah perhatian terhadap dunia luar terlalu kuat yang akan membuatnya tenggelam dalam dunia objektifnya, sehingga akan mengalami kehilangan dirinya atau asing terhadap dunia subjektifnya. Di samping itu, mereka cenderung cepat melakukan tindakan tanpa pertimbangan yang matang (Sunaryo, dalam Budi, 2010). Orang dengan tipe kepribadian ekstrovert lebih efektif belajar melalui pengalaman yang konkret, kontak dengan dunia luar dan berhubungan dengan orang lain. Mereka akan merasa lebih bersemangat ketika bersama orang lain dan berinterakasi dengan mereka, serta sering dapat mengungkapkan ide terbaik mereka jika dapat mengungkapkannya pada orang lain. Mereka tergantung pada stimulasi dari luar dan interaksi dengan orang lain (Sunaryo, dalam Budi, 2010). Berdasarkan beberapa definisi yang telah di uraikan, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian ektrovert adalah kecendrungan seseorang untuk mengarahkan dirinya pada dunia diluar dirinya dan cenderung mengarahkan segala pikiran dan perasaan maupun tindakan pada lingkungan sosialnya. 2. Ciri-ciri Kepribadian Ektrovert Ciri-ciri kepribadian ektrovert menurut Jung (dalam Wibowo, 2007), yaitu : a. Pandai Bergaul 27 Kepribadian ektrovert cenderung memiliki kemampuan bergaul dana suka berkumpul dengan individu lain dalam kelompok, memiliki kepercayaan diri yang tinggi ketika dihadapkan dengan banyak orang. b. Mudah Beradaptasi Kepribadian ektrovert cenderung memiliki kemampuan yang baik untuk menyesuaikan diri pada lingkungan dengan baik. c. Berani Mengambil Resiko Kepribadian ektrovert cenderung menyukai tantangan dan suka pada halhal yang mengandung resiko. d. Aktif Kepribadian ektrovert cenderung memiliki kemampuan untuk melakukan suatu aktifitas yang aktif, bersemangat, kerja keras, bergerak dengan cepat, dan memiliki minat terhadap banyak hal. e. Tidak Menekankan Kerja Pikir Kepribadian ektrovert cenderung melakukan sesuatu dengan tidak menekankan kerja pikiran. Eysenck (dalam Abidin dan Suyasa, 2003) mengemukakan bahwa seseorang yang ektrovet akan memiliki karakteristik yaitu, tergolong orang yang ramah, suka bergaul, membuka diri, banyak teman, selalu membutuhkan orang lain untuk bicara. Mereka juga tidak segan mengambil kesempatan, suka menonjolkan diri, dan sering bertindak tanpa berpikir terlebih dahulu, optimis dan ceria, cenderung agresif, dan terkadang tidak dapat dipercaya. 28 Sejalan dengan itu Steward (dalam Wibowo, 2007) mengatakan ciriciri kepribadian ektrovert yaitu : a. Suka Bergaul b. Penuh semangat c. Terbuka d. Menyukai petualangan Ciri-ciri kepribadian ektrovert menurut Budiraharjo (dalam Wibowo, 2007) adalah : a. Mudah Bergaul Ramah, mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan, bekerjasama, mau membuka pembicaraan dengan orang lain, memiliki daya tarik interpersonal, tertarik melakukan interaksi sosial. b. Mau Membuka Diri Mudah untuk menampilkan bentuk-bentuk perasaan dan pemikiran. c. Keberanian Mengambil Resiko Rasa percaya diri yang tinggi, sering melakukan hal-hal yang membahayakan. d. Aktif Individu yang aktif dan mempunyai pemikiran yang cerdas. Lester D. Crow dan Alice Crow (1958) dalam bukunya “Educational Psychology” juga memaparkan mengenai ciri-ciri kepribadian ekstrovert, yaitu sebagai berikut: a. Fasih dalam berbicara 29 b. Bebas dari rasa khawatir c. Tidak mudah malu d. Konservatif e. Tertarik pada atletik f. Dikuasai oleh data yang objektif g. Ramah h. Menyukai bekerja secara kelompok i. Tidak mementingkan diri sendiri j. Mudah menyesuaikan diri dan beradaptasi 3. Dimensi Kepribadian Ekstrovert Untuk lebih memahami dimensi ekstrovert, maka dimensi tersebut akan ditinjau melalui empat macam fungsi, yaitu thinking, feeling, sensing, dan intuiting. Thinking membuat seseorang mengerti arti sesuatu, feeling membuat seseorang mengerti nilai sesuatu, sensing membuat seseorang dapat menjelaskan bahwa sesuatu itu benar-benar ada, dan intuiting dapat membuat seseorang mengetahui sesuatu tanpa mengetahui bagaimana caranya (R. Craig Hogan and David W. Champagne , 1980) a. Thinking Cara berpikir pribadi yang ekstrovert berbeda dengan cara berfikir pribadi yang introvert. Orang dengan kepribadian ekstrovert cenderung bergantung pada pemikiran yang nyata, namun mereka juga menggunakan ide-ide abstrak bila ide-ide tersebut dapat ditransmisikan secara langsung, misalnya dari guru atau orang tua. Orang dengan kepribadian ekstrovert 30 berpikir secara objektif, sehingga matematikawan ataupun insinyur akan sesuai dengan cara berfikir ekstrovert ini. b. Feeling Penggunaan kata feeling ini digunakan untuk mendeskripsikan proses evaluasi sebuah kejadian atau ide, atau bisa juga menggunakan kata valuing (pemberian nilai). Orang-orang dengan perasaan yang ekstrovert menggunakan data objektif untuk melakukan evaluasi. Mereka lebih dipandu oleh nilai eksternal dan penilaian yang diterima luas. Sedangkan orang-orang dengan perasaan introvert cenderung mendasarkan penilaian mereka pada persepsi subjektif dibandingkan dengan fakta objektif. c. Sensing Sensing merupakan fungsi yang memungkinkan manusia untuk menerima rangsangan fisik dan merubahnya ke dalam sebuah keadaan perseptual yang desebut dengan sensasi. Orang-orang dengan sensing ekstrovert menerima rangsangan eksternal secara objektif, sebagai sebuah kenyataan yang nyata. Sedangkan orang-orang dengan sensing introvert cenderung dipengaruhi oleh sensasi subjektif akan penglihatan, pendengaran, rasa, sentuhan, dan lainnya. d. Intuiting Intuisi meliputi persepsi yang berada jauh di luar kesadaran. Contoh orang yang menggunakan intuisi adalah ketika seseorang mengatakan “saya merasa hari ini merupakan hari keberuntungan saya”. Ia merasakan, jauh di luar kesadarannya, bahwa pada hari ini ia akan memperoleh keuntungan tanpa mengetahui bagaimana itu dapat terjadi. 31 Orang-orang dengan intuisi ekstrovert selalu berorientasi pada fakta dalam dunia eksternal. C. Kerangka Berpikir Mahasiswa sebagai makhluk sosial tentunya melakukan interaksi dengan mahasiswa yang lainnya. Dalam proses interaksi tersebut tidak menutup kemungkinan dapat terjadi hal-hal yang bersifat konflik sehingga membuat individu menjadi merasa sakit hati yang berdampak pada hubungan interpersonal yang menjadi renggang atau bahkan menjadi tidak baik. Dalam menghadapi konflik yang terjadi, mahasiswa memiliki sudut pandang tersendiri dalam memaknai konflik yang tengah terjadi. Terdapat mahasiswa yang menanggapinya dengan positif dan ada pula yang menanggapinya dengan negatif. Hal ini dikarenakan individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda yang mencerminkan tipe kepribadiannya. Pada masa terjadinya konflik ini, diperlukan alternatif yang dilakukan untuk memperbaiki dan menyelesaikan konflik dalam hubungan tersebut salah satunya dengan memaafkan. Nashori (2008) menjelaskan pemaafan adalah menghapus luka atau bekasbekas luka dalam hati. Boleh jadi ingatan kejadian yang memilukan di masa lalu masih ada, tetapi persepsi kejadian yang menyakitkan hati telah terhapuskan. Individu yang memilih untuk memaafkan kesalahan orang lain, ia tidak di haruskan melupakan semua kejadian yang menyakitkan yang pernah ia rasakan atau alami, cukup dengan membebaskan hati dan pikiran dari rasa marah dan benci yang selama ini menjadi beban di kesehariannya. 32 Ada tiga dimensi dalam pemaafan menurut Nashori (2012) yaitu yang pertama dimensi emosi pemaafan di mana pada dimensi ini individu di harapkan mampu meninggalkan perasaan-perasaan negatif, mampu mengontrol emosi, merasa iba dan kasih sayang, serta merasa nyaman ketika berinteraksi atau menjalin komunikasi dengan orang yang telah menyakitinya. Kedua, dimensi kognisi pemaafan yang berkaitan dengan pemikiran seseorang tentang peristiwa yang menyakitkan. Individu harus memiliki penjelasan nalar terhadap sikap orang lain yang menyakiti mereka. Ketiga, dimensi interpersonal pemaafan yang mana berkaitan dengan dorongan dan perilaku antar individu untuk memberikan pemaafan kepada orang lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemaafan adalah faktor karakteristik kepribadian (McCullough, 2001), ciri kepribadian tertentu seperti ekstrovert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan ekspresi, dan asertif. Karakter yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi empatik dan bersahabat. Karakter lain yang diduga berperan adalah cerdas, analitis, imajinatif, kreatif, bersahaja, dan sopan (McCullough, 2001). McCullough (1997) juga mengatakan ada beberapa faktor tipe kepribadian yang mempengaruhi pemaafan diantaranya sifat pemaaf, extrovert menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan, ekspresi dan asertif merupakan faktor pemicu terjadinya pemaafan. Seseorang yang berkepribadian ektrovert akan memiliki kecenderungan perhatian dan empati terhadap orang lain, memelihara hubungan interpersonal, 33 mudah bergaul dan menyukai tantangan, mereka juga akan dapat mengendalikan konflik yang mereka hadapi dan konflik dengan orang lain (Wibowo, 2007). Individu dengan kepribadian ekstrovert diasumsikan dapat lebih mudah melakukan pemaafan pada individu yang telah menyakitinya karena individu yang berkepribadian ekstrovert cenderung dapat mengendalikan konflik dengan orang lain. Hal ini disebabkan adanya sifat perhatian dan empati dalam diri serta keinginan untuk selalu memelihara hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. Dengan landasan prososial itu, individu yang cenderung berkepribadian ekstrovert tentu ia akan lebih mudah memaafkan. D. Hipotesis Penulis dapat mengemukakan hipotesis dalam penelitian ini, yaitu ada hubungan antara kepribadian ektrovert terhadap pemaafan pada mahasiswa.