Paper Title (use style: paper title)

advertisement
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini sebagai Upaya Menghindarkan Anak-Anak Usia Sekolah
Dasar dari Penyimpangan Seksualitas
Sheila Melinda Bella
PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya, ([email protected])
Farida Istianah, M.Pd
PGSD FIP Universitas Negeri Surabaya
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pelaksanaan pendidikan seksualitas di SDIT AT-TAQWA,
Surabaya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dengan metode deskriptif yaitu
penelitian yang mendeskripsikan secara sistematik mengenai pelaksanaan pendidikan seksualitas pada anak
usia sekolah dasar dengan memperhatikan tahap perkembangannya. Peneliti menggunakan tiga jenis teknik
penelitian, yakni studi dokumentasi, observasi partisipan dan wawancara kualitatif. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian pendidikan seksualitas sejak usia sekolah dasar dapat menghindarkan
anak-anak dari tindakan penyimpangan seksual. Hasil penelitian ini sekaligus membuktikan teori yang
menyatakan model pendidikan seks berbasis perkembangan anak bagi usia sekolah dasar sangat
diperlukan. Dimana model tersebut dapat mengajarkan anak-anak untuk mengenali bagian-bagian
tubuhnya, menyadarkan orang tua, guru dan masyarakat akan pentingnya menjaga anak-anak dari tindakan
penyimpangan seksual melalui pendidikan seksualitas.
Kata Kunci: Pendidikan Seksualitas, Usia Sekolah Dasar, Penyimpangan Seksual
Abstract
The aim of this research was to understand the realization of sexuality education at SDIT ATTAQWA,Surabaya.This study utilitized a qualitative phenomenological approach with a descriptive
method that describes the systematic about the implementation of sexuality education for elementary
school’s student by considering their development’s stage.The researcher used three types of research
techniques; documentation studies, observations,and interviews.From the results showed that the
provision of sexuality education since primary school could prevent children from sexual abuse.The
results of this study at once proved the theory that the model of sex education based on child development
for elementary school’s student is needed.Where the model teach children to recognize parts of their
bodies,awaken parents,teachers,and public about the importance of keeping children from acts of sexual
abuse through sexuality education.
Keywords: Sexuality Education, Primary School, Sexual Abuse.
PENDAHULUAN
Usia Sekolah Dasar (SD) adalah masa-masa
internalisasi nilai yang sangat efisien bagi anak-anak.
Mereka seperti sebuah cermin, yang pandai menirukan
gerak-gerik, pola hidup, bahkan pola fikir siapa saja yang
ada disekitar mereka. Mereka juga memiliki rasa ingin
tahu yang tinggi sehingga anak-anak selalu suka
melontarkan pertanyaan-pertanyaan beruntut kepada
siapa saja yang mereka percaya mampu menjawabnya.
Berbagai topik yang anak-anak dengar dari lingkungan
sekitarnya, akan selalu menimbulkan rasa ingin tahu
mereka. Termasuk topik-topik yang berbau seksualitas
dapat sampai ke telinga anak-anak. Bahkan di era kini,
istilah-istilah yang tidak layak diucapkan oleh seusia
mereka, saat ini sudah menjadi hal yang sering kita
jumpai di kalangan anak-anak sekitar kita. Anak-anak
selalu bertanya kepada orang tua tentang suatu hal tanpa
henti. Sehingga tidak jarang orang tua merasa kewalahan
menjawab, tidak mampu menjawab pertanyaan mereka
dengan baik dan akhirnya orang tua marah kepada
mereka. Hal itu dapat menimbulkan rasa tertutup dan
ketidakpuasan kepada orangtua. Kebanyakan orangtua
merasa canggung dan bingung untuk memberikan
jawaban tentang seks kepada anak mereka karena
khawatir memberikan jawaban yang kurang tepat.
Mayoritas masyarakat menganggap seks adalah hal yang
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
tabu untuk dibahas, terlebih lagi disuguhkan kepada
anak-anak yang belum mampu memahami tentang seks
dan seksualitas. Padahal arti dari seks adalah jenis
kelamin. Dimana kenyataannya, memang manusia
dilahirkan dengan dua jenis kelamin, yakni perempuan
atau laki-laki yang menjadi pembeda secara fisik.
Sedangkan seksualitas merupakan aspek yang lebih luas,
membahas tentang interaksi sesama manusia, memahami
diri dari sisi fisik maupun psikis, perbedaan gender, dll.
Hal itu sangatlah wajar untuk diketahui, namun cara
menyikapinyalah yang perlu diperhatikan dan tidak
melewati batasan yang semestinya.
Sering kali siswa menanyakan berbagai hal kepada
guru, namun beberapa guru seringkali menutup diri untuk
memberikan penjelasan yang tepat kepada mereka, ketika
pembahasan mengarah kepada perihal seks. Rasa ingin
tahu siswa yang tidak dapat terpenuhi dan tidak dapat
terbendung itu akan semakin mendorong anak-anak
mencari tahu jawaban dari diluar dua figur tersebut,
misalnya kepada teman-teman atau masyarakat
sekitarnya. Kemudian lingkungan sekitar mereka akan
mengenalkan sosok baru yang paham segala hal yaitu
internet. Apalagi di era globalisasi ini, alat komunikasi
menjadi hal yang sangat mendasar untuk dimiliki setiap
manusia termasuk anak-anak.
Setidaknya, fasilitas
gadget yang dimiliki anak-anak mayoritas sudah
memiliki fitur akses internet.
Gadget memberikan
peluang kepada anak-anak mengakses segala macam
bentuk informasi, termasuk yang berkaitan dengan unsurunsur berbau seksualitas. Siswa dapat mengakses
informasi tanpa batas di dunia internet. Bahkan tidak
sedikit siswa yang dengan sengaja atau tidak sengaja
mengakses informasi berbau pornografi. Pada akhirnya
siswa akan terus penasaran dan mereka terbiasa
mengakses hal-hal berkaitan dengan seksualitas. Dimana
pengetahuan seksualitas yang di dapat lebih bebas, lebih
vulgar, tanpa filter sedikit pun terekam di otak mereka.
Rasa penasaran pun akan semakin berkembang, bahkan
lambat laun dapat memunculkan rasa penasaran tidak
sebagai pelaku seksual pasif saja, tetapi pelaku seksual
aktif apabila tidak ada salah satu pihak yang memberikan
perhatian khusus.
Faktanya siswa SD berusia antara 7-12 tahun,
merupakan masa yang sangat rentan dan lemah untuk
memfilterisasi
diri
sehingga
membutuhkan
pendampingan orang tua yang intensif dan bimbingan
guru dengan seksama karena mereka masih belum
memiliki rasa tangungjawab secara utuh dalam berbagai
hal. Mereka belum mampu membedakan dan memahami
hal-hal yang benar atau yang salah. Seperti yang
dikatakan oleh (Diane, E, dkk, 2011:535) bahwa masa
remaja awal (sekitar usia 11 atau 12 sampai 14 tahun),
transisi keluar dari masa kanak-kanak, menawarkan
peluang untuk tumbuh tidak hanya dalam dimensi fisik
tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial). Masa
remaja yang sangat didominasi dengan masalah-masalah
seks (Shinta, 2011:10).
Mayoritas siswa perempuan sudah mengalami
menstruasi dan siswa laki-laki sudah mengalami mimpi
basah di usia 11-14 tahun. Bahkan ada juga siswa
perempuan yang sudah mengalami menstruasi dini di usia
10 tahun. Perkembangan itu menunjukkan seseorang
sudah produktif secara fisik, dengan kata lain tubuh
mereka sudah mampu menghasilkan keturunan. Namun
secara psikis mereka belum berkembang dengan baik dan
cara berpikir yang masih labil. Akan sangat riskan,
apabila di usia tersebut anak-anak sudah mengetahui
tentang seks yang tidak sesuai dengan porsi mereka.
Tentunya akan berdampak sangat buruk bagi masa depan
mereka seperti kehamilan usia dini, apabila mereka tidak
mampu menamengi diri mereka dari kejahatan seksual
baik dari teman sebaya maupun dari lingkungan sekitar
anak. Tidak sedikit pula anak-anak pada usia ini
terlampau polos (lugu), benar-benar tidak memahami
dampak bahaya dari kejahatan seksual atau
penyimpangan seksual, sehingga dengan mudah
lingkungan sekitarnya memanfaatkan kepolosan anakanak tersebut, dengan melakukan pelecehan yang
bahkan dapat berdampak pada kematian.
Mengingat cepatnya arus informasi saat ini, seperti
yang diutarakan oleh Basya (2011:271) bahwa arus
informasi yang terbuka lebar sangar besar pengaruhnya
terhadap pembentukan pribadi anak-anak dan orientasi
seksual mereka. Jika perkembangan ini diabaikan,
kemungkinan besar mereka akan menelan mentahmentah semua informasi keliru yang didengar atau yang
didapatkannya melalui media informasi atau pun dari
lingkungan sekitarnya. Semakin dini pemberian wawasan
tentang seks kepada anak akan berdampak lebih baik bagi
mereka, asalkan cara penyampaian yang dilakukan dan
porsi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan anak,
sesuai dengan kekhawatiran peyimpangan sesuai
perkembangan zamannya untuk memberikan upaya
preventif bagi anak terhadap terjadinya pelecehan dan
kekerasan seksual pada anak-anak yang akhir-akhir ini
kian marak.
Kasus pelecehan seksual dan penyimpangan seksual
di kalangan anak-anak usia SD semakin marak di
berbagai wilayah. Surabaya menjadi salah satu wilayah
yang kasus pelecehan seksual anak-anak mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Sebagaimana data yang
diperoleh melalui wawancara kepada Bripda Bulan Indah
Permata, Brig Ditreskrimun Polda Jatim, mengatakan
bahwasannya angka kasus kekerasan anak (pelecehan
seksual atau pencabulan anak) di Surabaya cenderung
mengalami peningkatan terhitung lima tahun terakhir.
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Pada tahun 2012 tercatat sebanyak 16 kasus, mengalami
peningkatan yang cukup signifikan di tahun 2013
mencapai 46 kasus, sempat menurun di tahun 2014
sebanyak 33 kasus, kemudian meningkat kembali di
tahun 2015 sebanyak 73, dan di akhir tahun 2016 masih
terjadi peningkatan, yakni 75 kasus. Ada salah satu kasus
yang paling memprihatinkan di tahun 2016 hingga
membuat Walikota Surabaya yaitu Ibu Risma menghadiri
kantor kepolisian untuk melihat secara langsung anakanak yang terlibat kasus penyimpangan seksual tersebut,
yakni pelecehan seksual yang terjadi pada bulan Mei
2016, dimana beberapa pelakunya adalah siswa laki-laki
yang masih duduk di kelas III Sekolah Dasar (usia 9
tahun). Sedangkan korbannya (perempuan) sudah duduk
di kelas VII Sekoah Menengah Pertama (usia 13 tahun)
namun sejak kelas V (usia 11 tahun) pernah melakukan
hubungan persetubuhan, dan menjadi korban pencabulan
sejak usia balita (4 tahun). Mirisnya lagi, mereka
mengaku mengetahui informasi seks dan cara
berhubungan seksual melalui warnet yang ada di
lingkungan sekitarnya. Kasus perilaku seksual
menyimpang lainnya, melalui cerita seorang narasumber
bahwa sepupunya, siswa SD yang masih berusia 8 tahun
(kelas III) menjadi pelaku seksual aktif yang awalnya
hanya menjadi pelaku seksual pasif. Diawali ketika
secara tidak sengaja melihat koleksi video porno di
telepon genggam milik pamannya. Kemudian secara
tidak sengaja pula, ia mengenal masturbasi. Ketika anak
tersebut mandi, ia membasuh alat kelaminnya dengan
maksud membersihkannya setelah buang air kecil.
Namun ketika ia mengalirkan selang air ke kemaluannya,
ia merasakan hal aneh yang tidak ia pahami,
menyebabkan ia terus mengulanginya ketika mandi. Ia
tidak memahami bahwa yang dilakukan itu merupakan
salah satu bentuk penyimpangan seksual yang berdampak
negatif bagi dirinya.
Kedua fakta diatas mendukung pernyataan AAP
committe on Communication, bahwa banyak remaja
mendapatkan sebagian besar “pendidikan seks”-nya dari
media, yang mempresentasikan pandangan aktivitas
seksual yang terdistorsi, mengasosiasikan aktivitas
tersebut dengan kesenangan, kegembiraan, kompetisi,
bahaya, atau kekerasan, dan jarang sekali menunjukkan
resiko hubungan seksual tanpa pengaman (Papilia Diane,
E, dkk, 2011:603). Pengaman disini bermakna tidak
adanya atau kurangnya pengontrol masuknya informasi
tersebut seperti pengawasan, pemberian edukasi tentang
seks. Berdasarkan kondisi miris tersebut, siswa dirasa
membutuhkan sebuah controller yang lebih spesifik dan
tersistem untuk memfilter atau minimalisir aktivitas
pelecehan seksual. Pemberian penguatan fondasi
pengetahuan perlu diperhatikan lebih mendalam.
Sebenarnya orangtua tua adalah domain utama untuk
menanamkan pendidikan seks kepada anak-anak. Namun,
latar belakang keluarga yang berbeda-beda antara satu
anak dengan lainnya juga akan memberikan pengalaman
dan pengetahuan yang berbeda kepada anak-anak.
Sebagai solusinya, upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir pelecehan seksual di kalangan siswa SD
adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas
kepada mereka secara kontinyu, tersistem dan kerjasama
yang baik dari lingkungan internal sekolah bersama
seluruh stakeholder sekolah dasar. Menurut Muhammad
Sa’id Mursi yang dikutip dalam Shinta (2011: 5),
pendidikan seks dapat dimulai sejak dini, karena
pendidikan seks tidak hanya mencakup pada pertanyaan
dan jawaban belaka. Pemberian pendidikan seks memiliki
tujuan lain, seperti yang diungkapkan Dewi Shinta
(2011:10) bahwa pendidikan seks diperlukan agar anak
mengetahui fungsi organ seks, tanggungjawab yang ada
padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks dan
panduan menghindari penyimpangan dalam perilaku
seksual mereka sejak dini. Pendidikan seks, menurut
KPAI sudah diusulkan untuk masuk ke dalam kurikulum
pendidikan sejak tahun 1999. (Tempo.co, 30 Mei 2016,
12:05 WIB). Koordinator Aliansi Remaja Independen
(ARI) Prameswari Puspa Ayu mengatakan, sedini
mungkin anak harus dibekali pendidikan seksualitas
komprehensif, yang mencakup pengetahuan kesehatan
gender, reproduksi, kesetaraan gender,hubungan personal
denag teman, guru, dan orang dewasa lainnya (Pelita
Ekspres, 09 Mei 2016).
Oleh karena itu, melalui penelitian ini ingin dilihat
lebih dalam bagaimana salah satu sekolah di Surabaya,
yakni SD-IT AT-TAQWA Surabaya dapat menerapkan
pendidikan seksualitas di luar pembelajaran pokok
dengan metode dan materi yang sudah dirancang dalam
Rencana Pemberian Layanan (RPL) yang mencakup tiga
ranah pembelajaran yakni kognitif, afektif dan
psikomotor sesuai dengan teori Jacobsen dkk (2009:91)
yang mengatakan bahwa tiga ranah pembelajaran tersebut
tidak dapat berjalan sendiri-sendiri namun saling
berdampingan. Lebih lanjut, juga ingin diketahui
bagaimana pandangan dan pengalaman siswa mengenai
pendidikan seks yang sudah diberikan sekolah kepada
mereka. Karena sedikit atau banyak pendidikan seks yang
diberikan oleh sekolah, akan memberikan pengaruh
kepada perubahan wawasan dan sikap siswa terhadap
upaya menjaga kesehatan organ reproduksi dan
meghindari bentuk-bentuk penyimpangan seksual. Besar
harapan peneliti akan terjadinya perubahan paradigma
masyarakat bahwa pendidikan seksualitas bukanlah hal
yang tabu untuk diberikan kepada siswa sekolah dasar.
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
fenomenologis dengan metode deskriptif yaitu penelitian
yang mendeskripsikan atau memaparkan secara sistematik
mengenai pelaksanaan pendidikan seksualitas anak usia
sekolah dasar dengan memperhatikan perkembangan anak
pada setiap jenjang di SDIT AT-TAQWA Surabaya.
Peneliti menggunakan tiga jenis dari penelitian kualitatif
yaitu studi dokumentasi, observasi, dan wawancara
kualitatif. Obervasi yang digunakan ialah observasi
partisipan yang melibatkan kehadiran peneliti secara aktif
dalam kegiatan subjek penelitian. Subyek penelitiannya
ialah enam orang informan yang terdiri dari satu kepala
sekolah, tiga guru (guru BK, guru kelas, dan guru
olahraga), satu siswa dan satu wali siswa. Teknik
pengumpulan data yang digunakan ialah melalui observasi
partisipan, wawancara kualitatif dan studi dokumentasi.
Penelitian ini dilakukan di SDIT AT-TAQWA Surabaya
selama kurang lebih 2 bulan lamanya. Analisis data yang
digunakan ialah reduksi data, penyajian data, dan
penggambaran kesimpulan. Dan untuk memperkuat
keabsahan data yang telah didapatkan, peneliti
menggunakan triangulasi sumber yakni dengan
mewawancarai kepala sekolah selaku atasan yang
bertanggungjawab program sekolah, guru lainnya selaku
pelaksana program, dan siswa selaku yang menerima
pendidikan seksualitas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dalam melakukan analisis, informan dalam penelitian
ini meliputi satu kepala sekolah, tiga guru (guru kelas 5A,
guru BK jenjang kelas tinggi, dan guru olahraga), satu
siswa kelas 5A dan satu wali siswa kelas 5A SDIT ATTAQWA Surabaya, dengan jumlah enam informan. Para
informan dalam penelitian ini dipilih sebab memiliki garis
keterkaitan untuk mengetahui lebih dalam bagaimana
pelaksanaan pendidikan seksualitas di SDIT AT-TAQWA
Surabaya. Wawancara kualitatif berdasarkan pengalaman
dan pandangan informan selama memberi dan menerima
pendidikan sekusalitas di sekolah. Hasil wawancara ini
kemudian dikelompokkan berdasarkan 5 aspek yaitu
materi pendidikan seksualitas, pola penyampaian
pendidikan seksualitas, kerjasama sekolah dengan pihak
luar, cara sekolah menghadapi anak pernah terlibat
penyimpangan seksual, dan respon siswa terhadap
pelaksanaan pendidikan seksualitas.
Hasil penelitian ini juga berdasarkan analisis RPL
(Rencana Pemberian Layanan) yang dibuat oleh informan
guru BK. Analisis yang dilakukan berdasarkan tiga
komponen utama dalam mengembangkan rencana
pelaksanaan pembelajaran pendidikan seksualitas yang
terdapat pada standart materi yang sudah disetujui Waka
Kurikulum AT-TAQWA dengan memperhatikan tiga
ranah pembelajaran. Sebagaimana teori dari Jacobsen,
dkk
yang
mengatakan
bahwa
tiga
ranah
pembelajarantersebut tidak berjalan sendiri-sendiri,
melainkan beriringan dan saling mempengaruhi. Terjadi
tumpang tindih antara tiga aspek, yaitu: (1) kognitif, (2)
afektif, dan (3) psikomotor.
Pembahasan
Berdasarkan fakta yang ada, kasus pelecehan
seksual yang melibatkan anak-anak di wilayah Surabaya
mengalami kecenderungan peningkatan dari tahun ke
tahun sejak 2012-2016. Khususnya baik sebagai korban
maupun pelaku, tidak sedikit yang melibatkan anak-anak
usia sekolah dasar. Oleh sebab itu, masalah ini penjadi
sangat penting untuk diperhatikan, karena sungguh
disayangkan apabila generasi yang masih diusia belia
sudah dirusak mental, moral, bahkan fisiknya oleh
tindakan seksual yang menyimpang. Sudah jelas masalah
ini harus segera ditangani dengan baik.
Penyimpangan seksual pada anak dapat terjadi
akibat rendahnya kesadaran anak-anak dan orang yang
lebih dewasa akan dampak-dampak yang dapat
ditimbulkan. Ketidaktahuan anak maupun orang-orang di
sekitar anak akan bentuk-bentuk penyimpangan seksual
juga dapat menjadi faktor pemicu meningkatnya jumlah
kasus tersebut. Ketika hal itu terjadi kepada anak-anak
tentunya bukan satu pihak saja yang salah, tetapi multi
pihak yang memiliki hubungan dengan anak tersebut.
Perlu disadari bahwa latar belakang dan lingkungan yang
dihadapi anak sangat beragam, misalkan dari lingkungan
keluarga (orangtua, saudara, dll), lingkungan masyarakat
(teman, tetangga, dll), dan lingkungan sekolah (guru,
teman, dll). Dari ketiga lingkungan siswa tersebut,
lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat adalah
pihak yang cenderung tidak stabil, karena dalam
lingkungan masyarakat terdapat berbagai individu yang
memiliki karakter tersendiri untuk memberikan dampak
kepada anak ketika terjalin interaksi, sedangkan
lingkungan keluarga yang dimiliki setiap anak tentu akan
memberikan pengalaman dan dampak berbeda pula bagi
anak, karena setiap orang tua memiliki cara mendidik
tersendiri, sehingga belum tentu setiap anak mendapatkan
wawasan mengenai cara menjaga dan melindungi diri,
mengenal diri secara fisik maupun mental, dan etika yang
baik ketika berinteraksi sesama manusia.
Sebagai pihak penengah yang lebih stabil, sekolah
diikat oleh aturan yang pasti untuk mengikat setiap
komponen manusia yang ada di dalamnya dalam
memberikan pendidikan yang baik pada anak. Sekolah
menjadi pilar utama dalam membentuk fondasi awal pada
anak baik yang sudah dibekali pemahaman serupa dan
bagi anak yang belum mendapatkan wawasan mengenai
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
pemahaman terhadap nilai-nilai seksualitas secara positif.
Berbanding lurus dengan pendapat Erni (hal 47) bahwa
pembinaan sekolah memiliki peran sangat penting dalam
membina anak dari berbagai aspek mengingat latar
belakang keluarga juga mempengaruhi pendidikan seks
yang diterima anaknya. Mengingat lingkungan terdekat
dengan siswa adalah keluarga, pihak sekolah juga
mengupayakan koordinasi dengan pihak orangtua
mengenai hal-hal apa saja yang berhubungan dengan
pentingnya menyiapkan anak memasuki masa remaja dan
pentingnya
meningkatkan
kewaspadaan
untuk
melindungi anak dari penyimpangan seksual melalui
pendidikan seksualitas yang terstruktur dengan baik. Jadi
untuk keberhasilan pendidikan seksualitas secara utuh,
harus ada keterlibatan minimal dua dari tiga lingkungan
siswa, yakni lingkungan sekolah dan lingkungan
keluarga.
Anak-anak seharusnya mendapatkan pendidikan
seksualitas sedini mungkin, dengan mencakup tiga
komponen utama pembelajaran secara holistik, yakni
pendidikan seksualitas yang diberikan harus menyentuh
ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor agar
informasi yang didapatkan lebih bermakna. Tentunya
harus memperhatikan perkembangan tahap berpikir anak
ketika hendak menyampaikan materi, kemudian
memahami kapan anak sudah membutuhkan informasi
tersebut. Sehingga dengan bekal wawasan dan
keterampilan tersebut, anak-anak tidak mengalami
kebingungan akibat ketidaktahuannya serta dapat lebih
mawas diri dan peka terhadap lingkungan di sekitarnya.
Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih dalam proses
pelaksanaan pendidikan seksualitas di SDIT ATTAQWA, akan dikupas melalui hasil wawancara,
observasi, dan studi dokumentasi yang telah diuji
keabsahannya melalui triangulasi sumber yang dilakukan
terhadap enam (6) orang informan yaitu “KS” kepala
sekolah SDIT AT-TAQWA yang memiliki background
S1 Teknologi Pendidikan , “GBK” guru bimbingan
konseling kelas atas dengan background S1 Bimbingan
Konseling, “GK” guru kelas 5A dengan background S1
Pendidikan Agama Islam, “GO” guru olahraga dengan
background S1 Pendidikan Kepelatihan Olahraga, “U”
salah satu siswa kelas 5A dengan background kurang
perhatian orangtua, “N” wali siswa (nenek) dari “U” yang
memiliki background ibu rumah tangga.
Pandangan dari keenam informan tersebut tidaklah
sama dalam menjabarkan pendapat mereka mengenai
pelaksanaan pendidikan seksualitas d jenjang sekolah
dasar. Empat (4) informan dari enam (6) informan yakni
KS, GBK ,GK ,dan GO memiliki pandangan yang 1.
terbuka mengenai pelaksanaan pendidikan seksualitas
untuk anak usia SD karena mereka menyadari pentingnya
pemberian wawasan kepada anak mengenai pengenalan
terhadap perkembangan diri sendiri baik ditinjau dari
aspek fisik seperti perubahan bentuk anggota tubuh yang
nampak dan tidak nampak, maupun perubahan emosional
nampak dan tidak nampak, serta hubungan sosial antara
anak dengan orang-orang di sekitarnya, karena
perkembangan teknologi dan zaman yang semakin maju
sehingga anak sekarang cenderung terpapar hal-hal
pornografi lebih besar dan mengalami perkembangan
fisik lebih cepat. Mekipun dari empat informan tersebut
memiliki perbedaan pendapat mengenai jenjang kelas
yang lebih tepat diberikan pendidikan seksualitas di
sekolah. Dimana GK dan GO lebih berpendapat bahwa
pendidikan seksualitas lebih sesuai apabila diberikan di
kelas jenjang tinggi, yakni dari kelas 4 hingga kelas 6
karena mayoritas siswa jenjang tinggi sudah mengalami
masa pubertas. Sedangkan KS dan GBK memandang
pendidikan seksualitas harus diberikan sejak siswa kelas
1 hingga kelas 6 di jenjang sekolah dasar, namun
porsinya disesuaikan dengan tahapan berpikir anak.
Informan “U” sebagai siswa juga merespon positif
materi mengenai hal-hak seksualitas dari GBK dan GK,
karena ia merasa tidak bingung dan tahu informasi
berkenaan dengan perkembangan diri mereka dan yang
sebelumnya tidak mereka ketahui, meskipun “U” belum
memahami secara utuh tujuan pendidikan seksualitas
secara utuh. Hal tersebut berbanding terbalik dengan “N”
sebagai orang yang tinggal satu rumah dengan “U”,
beliau kurang merespon positif pendidikan seksualitas
untuk anak sekolah dasar, sebab beliau berpendapat
bahwa pendidikan seksualitas hanya didominasi dengan
hal-hal yang berkaitan dengan hubungan seksual. “N”
tidak mengetahui makna pendidikan seksualitas secara
umum, sebab beliau sangat sedikit interaksinya dengan
dunia luar seperti dengan pihak sekolah dan dunia
internet, karena beliau sendiri mengaku gagap teknologi.
Dapat diindikasikan bahwa wawasan yang dimiliki
setiap orang berbeda-beda antara satu dengan lainnya,
dipengaruhi latar belakang pendidikan, lingkungan, serta
pengalaman. Meskipun pendidikan tidak sejalan dan
pekerjaan yang berbeda bidangnya, namun apabila terjadi
pergesekan misal terjalinnya interaksi antar informan,
seperti KS, GBK, GK, dan GO maka pandangan akan
suatu hal akan lebih luas dan cenderung sama
dibandingkan “N” yang tidak pernah mengikuti
perkembangan informasi serta tidak pernah berinteraksi
dengan pihak sekolah.
Mengenai sajauh mana proses pelaksanaan
pendidikan seksualitas di sekolah SDIT AT-TAQWA,
akan dijabarkan dalam beberapa poin berikut :
Materi pendidikan seksualitas
Materi pendidikan seksualitas di SD ini mengalami
perkembangan yang baik, dimana bisa dibedakan jika
tahun ajaran sebelumnya hanya mencakup aspek-aspek
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
perkembangan baligh perempuan dan upaya melindungi
diri dari siswa perempuan melalui program keputrian
yang belum memiliki catatan perencanaan, materi
pendidikan seksual tahun ajaran ini nampak sudah
dipersiapkan SDIT AT-TAQWA dengan terstruktur baik
melalui adanya rencana pemberian layanan yang
disingkat RPL, di dalamnya serupa dengan RPP. Kajian
materi ini adalah hasil dari diskusi kedua guru BK yang
kemudian dikoordinasikan dengan Waka Kurikulum.
Untuk memberikan wawasan mengenai pendidikan
seksualitas yang layak, tentunya guru BK sudah
merancang muatan materi apa sajakah yang akan
diberikan sekolah kepada siswa, dengan memperhatikan
karakteristik perkembangan anak. Pembagian materi
pendidikan seksualitas dibedakan menjadi dua kategori,
yakni untuk kategori jenjang bawah seperti kelas 1,2 dan
3 yang dikelola oleh guru BK jenjang kelas rendah.
Kemudian kategori kedua adalah jenjang tinggi meliputi
kelas 4,5 dan 6 yang dikelolah oleh guru BK jenjang
kelas tinggi.
Materi jenjang rendah lebih mengarah kepada
pengenalan anatomi tubuh dan fungsinya secara umum,
serta bagian tubuh yang tidak boleh di sentuh oleh orang
lain beserta tindakan yang harus dilakukan ketika ada
orang lain yang menyentuh bagian tubuh yang tidak
boleh disentuh. Sedangkan untuk jenjang tinggi, materi
yang diberikan lebih luas dan lebih mendalam, yakni
mencakup bekal: (1) wawasan masa pubertas seperti
pada usia berapa anak akan mengalaminya, ciri-ciri anak
mengalami masa pubertas, dan tindakan yang harus
dilakukan ketika menghadapi masa pubertas, (2)
kehamilan dan proses adanya bayi, (3) kesehatan
reproduksi dan penyakit menular seksual, (4) serta
bentuk-bentuk penyimpangan seksual dan upaya
menghindarinya serta di kaitkan dengan nilai-nilai
spiritual. Dan tidak semua informan mengetahui secara
jelas sub materi yang ada. Hanya dua (2) informan dari
enam (6) informan yang lebih memahami seluruh
cakupan materi. Selebihnya hanya mengetahui dengan
porsi yang sedikit dan bahkan terdapat satu (1) informan
yang tidak mengetahui sama sekali. Yang utama adalah
guru BK, dan pihak kedua adalah guru kelas karena
ketika guru BK masuk ke kelas, guru kelas juga berada di
ruang yang sama, sehingga guru kelas banyak
mengetahui tentang materi apa saja yang disampaikan
kepada siswa.
Pola penyampaian pendidikan seksualitas di SDIT
AT-TAQWA, seluruh guru pasti pernah menyampaikan
dan mengimplementasikan materi pendidikan seksualitas
di sekolah baik dalam kelas maupun diluar kelas,
meskipun secara eksplisit diselipkan dalam pembelajaran
tematik, penyampaian yang tanpa dipikirkan tahapan
pemberiannya atau tidak terstruktur dan acidental melalui
metode ceramah satu arah, tanya jawab dan teguran
berdasarkan kondisi tertentu. Seperti pada tahun ajaran
yang lalu, pendidikan seksualitas hanya diberikan kepada
siswa perempuan saja dengan ketentuan sudah baligh
(sudah mengalami menstruasi), dan pola penyampaian
bergantung pada guru kelas masing-masing untuk
mengoordinir siswa perempuan yang sudah baligh di
dalam kelasnya.
Namun pentingnya pemberian pendidikan seksualitas
secara global mulai disadari pada tahun ajaran ini,
memang direncanakan untuk diberikan kepada siswa
laki-laki dan perempuan lebih terstruktur. Tidak hanya
siswa yang sudah mengalami fase baligh, tetapi siswa
yang belum pun diberikan wawasan supaya mereka
terhindar dari bahaya penyimpangan seksual yang kerap
terjadi pada anak-anak. Guru BK bertatap muka dengan
waktu yang sudah dijadwalkan kepada siswa di dalam
kelas, kemudian diikuti monitoring perilaku siswa selama
berada di sekolah dengan bantuan semua elemen sekolah.
Pola penyampaian pendidikan seksualitas di sekolah ini
dinamakan layanan informasi bimbingan sosial untuk
materi pendidikan seks, dengan menggunakan metode :
(1) tanya jawab sehingga memungkinkan adanya
interaksi dua arah antara siswa dan guru, (2) diskusi,
sehingga guru mengetahui apa yang sudah di pahami oleh
siswa dalam memandang suatu permasalahan dikaitkan
dengan wawasan yang sudah dimiliki, (3) dan ceramah
menggunakan media visual modern, yakni mengunakan
tayangan melalui microsoft power point yang sudah
disusun, dan sinema edukasi atau video pendek, sehingga
guru dapat menyampaikan informasi sebanyak mungkin,
tanpa membuat siswa merasa tertarik dan tidak bosan
dengan apa yang disampaikan. Selain itu penggunaan
media visual modern tersebut di yakini akan lebih
menghemat waktu namun yang disampaikan tetap
terstruktur dan tidak sampai terlewatkan oleh guru akibat
lupa.
Pelaksanaan layanan informasi berkaitan dengan
pendidikan seksualitas ini, setidaknya minimal diberikan
di setiap kelas dengan durasi 30 menit, dengan dibagi
menjadi dua sesi, dimana sesi pertama khusus untuk
siswa perempuan (15 menit), dan sesi kedua khusus siswa
laki-laki (15 menit) dalam waktu satu hari. Namun jika
materi yang disampaikan belum selesai, maka akan
dipadatkan menjadi 30 menit untuk siswa perempuan,
dan 30 menit untuk siswa laki-laki namun pada hari yang
lain, dan setiap akhir sesi bila waktu tidak mencukupi,
guru BK selalu meminta siswa bertanya apabila masih
ada yang tidak dipahami melalui selembar kertas atau
diminta berkunjung langsung ke ruang BK. Kelas 5
mendapatkan sebanyak tiga kali tatap muka dengan guru
BK, dengan dua tatap muka untuk memberikan
pemahaman holistik terkait sex education, sedangkan
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
pada satu pertemuan akhir dilakukan penguatan dan
evaluasi seberapa jauh siswa memahami materi tersebut
melalui diskusi kelompok dan presentasi oleh siswa.
Kendala dalam pelaksanaan pendidikan seksualitas ini
adalah tidak didukung oleh durasi waktu yang cukup.
Diadakannya program pendidikan seksualitas secara
global melalui Bimbingan Konseling memang baru
diberlakukan tahun ajaran ini bermula dari gagasan Waka
Kurikulum, namun sebagai pengatur jadwal kegiatan
sekolah, Waka kurikulum melakukan kesalahan teknis
karena melupakan pemasukkan jadwal tatap muka BK
secara khusus pada jadwal pembelajaran siswa. Untuk
menyiasati kesalahan teknis tersebut, Waka Kurikulum
dan guru BK menyiasatinya dengan cara giliran antara
jadwal layanan BK dengan jadwal KWB dengan durasi
waktu 30 menit setiap pertemuan. Padahal materi atau
informasi yang disiapkan guru BK cukup banyak dan
membutuhkan waktu lebih untuk membangun
pemahaman siswa, terlebih lagi jumlah kelas 4,5 dan 6
cukup banyak. Kelas 4 ada 5 kelas (A,B,C,D,E), kelas 5
ada 4 kelas (A,B,C,D), dan kelas 6 ada 3 kelas (A,B,C),
jadi total ada 12 kelas yang ditangani oleh guru BK
jenjang tinggi. Awalnya semua kelas mendapat
kesempatan bertemu guru BK khusus dengan jumlah
siswa dalam kelas mereka sendiri (tidak kelas paralel),
namun karena kendala waktu yang terbatas, sedangkan
guru BK memiliki tugas lainnya seperti melakukan
pendekatan kepada calon mahasiswa baru akhir-akhir ini,
maka untuk kelas 4 dan 5 pemberian pendidikan
seksualitas dilakukan dengan sistem kelas paralel 2-3
kelas dalam satu kali pertemuan, sedangkan untuk kelas 6
tetap seperti aturan semula. Ditemukan ketidaknormalan
pada jadwal pertemuan KWB antara kelas 1 hingga kelas
6, dimana durasi setiap tatap muka KWB di kelas 5
adalah 15 menit, di kelas lainnya 30 menit. Jadwal KWB
kelas 5 ada di setiap hari dalam satu minggu (SeninJum’at), sedangkan lainnya hanya satu hari dalam
seminggu. Jika dikalkulasikan kelas 5 memiliki durasi
KWB 75 menit dalam seminggu, sedangkan kelas lainnya
hanya 30 menit dalam seminggu. Dari data tersebut dapat
diindikasikan bahwa pelaksanaan pendidikan seksualitas
di sekolah AT-TAQWA melalui layanan BK belum di
manajemen dengan baik, sehingga masih ada tumpangtindih jadwal pelaksanaannya. Sebaik apapun materi dan
media yang sudah disiapkan guru BK untuk
memberikana layanan informasi, tidak akan maksimal
jika tidak diberikan durasi yang cukup dan efisien.
Bidang layanan Bimbingan Konseling ini sebenarnya
memiliki kerjasama dengan luar sekolah seperti dengan
yayasan Al-Hikmah, Universitas Surabaya (UBAYA)
dan seorang psikolog untuk mengatasi permasalahan dan
meningkatkan kualitas sekolah. Namun kerjasama
dengan UBAYA ini sebatas upaya reveral untuk kasus-
kasus yang butuh penanganan lebih lanjut dari yang lebih
ahli misalkan psikotes, dan psikologi lebih berfokus
menangani siswa autis di sekolah. Sedangkan untuk
pendidikan seksualitas yang diberikan kepada siswa,
lebih kepada hak dan tanggungjawab dari tim bimbingan
konseling untuk memberikannya kepada siswa, serta
memberikan penanganan-penanganan umum dan khusus
bagi siswa yang membutuhkan bantuan dari layanan BK.
Namun belum ada kerjasama dari pihak luar sekolah
untuk menjalankan pendidikan seksualitas di sekolah ini.
Kerjasama lain dengan pihak luar sekolah lebih kepada
wali (orangtua) siswa yang mengamanahkan si terdidik
kepada pihak sekolah di awal masuk sebagai murid di
SDIT AT-TAQWA. Kerjasama tersebut berupa
koordinasi terkait antara pihak sekolah dan orangtua
mengenai perkembangan siswa, baik meliputi bidang
akademik dan non akademik seperti perkembangan
perilaku anak selama di sekolah. Dengan demikian pihak
keluarga dapat mengetahui perkembangan anak mereka
dalam hal positif atau negatif, sehingga hal positif dapat
dipertahankan dan di dukung, sedangkan hal yang negatif
dihilangkan secara bertahap dengan kolaborasi yang baik
antara lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga.
Tetapi dalam upaya koordinasi dengan orangtua ini tidak
mudah untuk dilakukan, karena tidak semua orangtua
memiliki waktu luang untuk memenuhi undangan pihak
sekolah dalam waktu-waktu tertentu.
Kepala sekolah sebagai penanggungjawab penuh
setiap kegiatan dan program disekolah memang tidak
begitu memahami materi secara khusus dan pelaksanaan
sexuality education di sekolahnya, namun beliau
memiliki pandangan ke depannya, untuk mengadakan
kerjasama dengan pihak luar yang dapat memberikan
sosialisasi kepada siswa berkenaan wawasan seksualitas
sehingga informasi yang diperoleh siswa dan guru lebih
luas lagi, seperti bekerjasama dengan lembaga-lembaga
yang sesuai itu terbuka lebar.
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan studi
dokumentasi, data menunjukkan bahwa pemberian
penanganan siswa yang pernah terlibat penyimpangan
seksual lebih dititikberatkan pada penanganan guru BK,
seperti melakukan treatment dan monitoring perilaku.
Untuk monitoring perilaku siswa ini, guru BK
membutuhkan kolaborasi dengan guru kelas yang dapat
memantau keseharian perilaku siswa, kemudian di
laporkan kepada guru BK. Anak yang pernah melakukan
tindakan penyimpangan seksual selama tahun ajaran ini
dari jumlah siswa jenjang kelas tinggi terdapat empat (4)
siswa yang
ditangani guru BK karena mulai
memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, dan dua (2)
siswa yang menirukan adegan orang dewasa melakukan
hubungan intim, dengan memberikan treatment
bimbingan dan konseling individual, pendekatan
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
behaviour dengan mengubah perilaku dan realita
therapy, refleksi diri, koordinasi dengan guru kelas,
observasi dengan home visit. Sedangkan untuk lima (5)
siswa kelas 5 yang menanyakan mengenai hal-hal terkait
masa pubertas dan ketertarikan kepada teman lawan jenis
di rung BK, guru BK memberikan tindakan layanan
bimbingan kelompok
tentang masa pubertas, dan
pemberian pemahaman tentang masa pubertas sehingga
mereka memahami tentang hal yang baik atau buruk,
benar atau salah, dan yang boleh atau tidak boleh
dilakukan pada masa puber. Guru BK mengatakan bahwa
pengawasan siswa yang dilakukan guru di kawasan
sekolah sangatlah baik, sehingga ketika ada guru yang
mengetahui tindakan yang tidak pantas dari siswa di
sekolah, maka siapapun guru yang bersangkutan akan
mengomunikasikan kepada guru BK dan guru kelas.
Menurut guru BK, penanganan harus segera dilakukan
setelah terjadinya tindakan menyimpang, karena akan
lebih diingat oleh anak tersebut supaya lebih bermakna
untuk siswa.
Sedangkan bagi informan lain seperti guru kelas
ketika mendengar informasi bahwa salah satu siswanya
menunjukkan perilaku penyimpangan seksual di sekolah
seperti masturbasi yang dilakukan siswa yang dijadikan
salah satu informan, ia segera menegur dan melakukan
pendekatan kepada siswa tersebut, sehingga guru kelas
mendapatkan informasi mengapa siswa melakukan
tindakan tersebut, dan darimana dia mengetahui hal
tersebut. Tidak hanya itu, guru juga memberikan
pemahaman bahwa perilaku tersebut tidak baik untuk
dilakukan dan diulangi lagi.
Guru olahraga memang tidak terlalu memahami
pelaksanaan pendidikan seksualitas di sekolah, karena
beliau mengaku kurang adanya komunikasi antar guru di
AT-TAQWA, namun beliau adalah salah satu orang yang
dapat memantau kegiatan informan siswa di luar kelas
ketika pembelajaran olahraga. Beliau yang sering
memantau kegiatan siswa tersebut ketika diluar kelas
justru belum melihat tindakannya yang menyimpang,
atau pun tindakannya yang menunjukkan ketertarikan
kepada teman lawan jenis. Namun guru olahraga
menyatakan kasus dari anak lainnya, yakni pertanyaan
siswa kelas 2 yang sudah menanyakan penjelasan dari
istilah film bokep, dan dari siswa kelas 6 yang
menyingkap jilbabnya di sekolah sehingga nampak
bagian dadanya, dan tindakan itu dilarang oleh sekolah.
Guru olahraga berupaya memberitahu bahwa film bokep
itu tidak baik untuk ditonton siswa, dan melarang siswa
untuk mengaksesnya, namun kurang penguatannya. Dan
untuk siswa kelas 6, guru olahraga memanggil siswa
tersebut kemudiannya memintanya untuk menjulurkan
jilbabnya kembali agar menutupi bagian dada. Jadi guru
olahraga sudah cukup baik, karena tetap berupaya
memberikan
pendidikan
seksualitas
menurut
pengetahuannya
saja,
tidak
didukung
dengan
pengetahuan yang memadai dan penguatan yang kurang.
Dengan pelaksanaan pendidikan seksualitas di SDIT
AT-TAQWA ini, informan siswa mengaku bahwa ia dan
teman-temannya sudah merasa lega karena sudah
mengetahui hal yang tidak diketahui namun ingin
diketahui olehnya sejak dulu. Misalnya gambaran
mengenai peristiwa yang disebut mimpi basah.
Sebelumnya informan siswa mengira bahwa dirinya
sudah mengalami mimpi basah, karena dulu sebelum
mendapatkan informasi dari gurunya, ia mengira mimpi
basah sama dengan peristiwa ngompol yang cukup sering
dia alami ketika tidur. Sekarang ia dan teman-temannya
sudah memahami hal tersebut dan bisa membedakan.
Ketika mendapatkan materi pendidikan seksualitas di
sekolah, tiga (3) dari informan mengatakan bahwa anakanak cenderung aktif dan banyak melontarkan
pertanyaan. Dan dua (2) dari enam (6) informan
mengatakan bahwa anak-anak sangat heboh dan teriak
apabila penyampaian materi seksualitas pada topik
perkembangan anatomi tubuh, para siswa dan laki-laki
tidak dipisah. Bahkan walaupun dipisah dalam dua sesi,
anak laki-laki masih cenderung teriak, tertawa, dan malu
melihat perubahan pada diri laki-laki secara fisik. Namun
guru BK selalu menyikapi respon anak-anak tersebut
dengan bijaksana dan memberikan pengertian untuk tidak
merasa malu karena memang semua manusia akan
mengalami hal yang sama. Guru BK juga selalu
menjawab pertanyaan dari siswa, namun karena
terkendala waktu yang singkat, guru BK akan
menyimpan pertanyaan tersebut kemudian meminta anakanak datang ke ruang BK, sehingga anak-anak yang
memiliki rasa ingin tahu tinggi dapat diakomodasi oleh
guru BK.
Berdasarkan hasil wawancara kepada informan siswa,
ia sebagai salah satu siswa kelas 5A yang mendapatkan
materi pendidikan seksualitas belum memahami arti dari
istilah pendidikan seksualitas atau pendidikan seks.
Meskipun ia tidak memahami makna istilah tersebut, ia
dapat menjelaskan dengan cukup baik mengenai
pengertian dari masa baligh, ciri-ciri anak mengalami
masa baligh seperti munculnya jerawat di wajah, mimpi
basah dan tindakan yang dilakukan jika mengalami
mimpi basah, bagian tubuh yang tidak boleh disentuh dan
dilihat orang lain serta tindakan yang harus dilakukan
ketika mengalami tindakan pelecehan seksual.
Siswa mengaku pernah mengalami pelecehan seksual
melalui tindakan dan lisan oleh teman sebayanya.
Pelecehan seksuali secara fisik dilakukan oleh rekannya,
yang dengan sengaja menurunkan celana informan siswa
di lingkungan sekolah sehingga nampak bagian auratnya
dan kejadian tersebut membuatnya marah dan malu.
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Tindakan yang diambil adalah memarahi temannya
sambil memukulnya, kemudian lari menghindar. Namun
kejadian ini tidak ada pihak lain yang mengetahuinya.
Sedangkan pelecehan seksual yang dialaminya dilakukan
oleh
rekan
sekelasnya
dengan
menghinanya
menggunakan kata-kata kotor, sehingga informan siswa
sangat geram, marah hingga memukul-mukul dan
menangis bahkan hingga tiba di rumah ia masih
menangis lama. Guru kelas yang tahu kejadian itu sangat
sikap dengan membuat rekan sekelas informan siswa
sadar akan kesalahannya, dan kini mereka pun sudah
berteman baik.
Informan siswa memang tidak pernah melakukan
tindakan penyimpangan seksual kepada teman-temannya
atau bahkan menunjukkan ketertarikan kepada teman
lawan jenis. Namun ia ternyata justru melakukan
penyimpangan seksual kepada dirinya sendiri sejak ia
berusia 5 tahun, yakni dengan melakukan masturbasi atau
mencari kepuasan seks sendiri. Empat (4) informan yakni
guru BK jenjang kelas tinggi, guru kelas, dan wali siswa
sudah mengetahui tindakan siswa tersebut, sedangkan
guru olahraga tidak mengetahui tindakannya, dan kepala
sekolah sudah mendengar informasi bahwa ada salah satu
siswa di sekolahnya yang memegang bagian
kemaluannya ketika di sekolah, namun kepala sekolah
lebih tertutup dan berpikir positif, menganggap anak
tersebut tidak bermasalah sebelum ada bukti yang kuat
dan komunikasi dengan pihak orang tua siswa yang
bersangkutan.
Pemberian pendidikan seksualitas di sekolah dasar
sangat bermanfaat bagi siswa, karena dapat membangun
pemahaman diri siswa untuk lebih mengenal diri sendiri,
batasan dalam berinteraksi dengan orang lain, dan
melindungi diri sendiri dari perbuatan yang tidak baik.
Sisi positifnya, materi yang disampaikan guru sudah
sesuai dengan format indikator standard yang sudah
didiskusikan dengan Waka Kurikulum. Terlepas dari
kemampuan guru BK dalam menyampaikan materi
pendidikan seksualitas kepada siswa, terdapat beberapa
hal yang harus diperbaiki oleh guru BK dan sekolah
untuk mengoptimalkan pemberian layanan informasi
seksualitas ini kepada siswa. Karena dari hasil penelitian
yang dilakukan diketahui bahwa seluruh materi yang
disampaikan sampaikan GBK kepada siswa sudah
memenuhi lima (5) dari lima (5) aspek materi kognitif,
tiga (3) dari (3) aspek afektif, dan (2) dari dua (2) aspek
psikomotor berdasarkan indikator materi yang di setujui
oleh Waka Kurikulum SDIT AT-TAQWA. Namun
pemahaman yang diperoleh siswa tidak sebanding dari
materi yang sudah dipaparkan oleh guru, yakni terdapat
empat (4) dari lima (5) aspek kognitif, tiga (2) dari tiga
(3) aspek afektif dan dua (2) dari dua (2) aspek
psikomotor yang dikuasai siswa. Selain itu diperlukan
perbaikan komunikasi antara setiap Sumber Daya
Manusia yang ada di dalam sekolah mengenai wawasan
perkembangan berpikir anak dan koordinasi bagaimana
cara menyikapi pertanyaan para siswa mengenai hal-hal
seksualitas, sehingga guru tidak merasa canggung untuk
menjawab pertanyaan, atau mungkin guru lain selain
guru BK diminta untuk menginstruksikan siswa yang
menanyakan hal tersebut ke pihak yang lebih
berpengalaman dan berpengetahuan dalam memberikan
jawaban tersebut seperti guru BK, jika mereka merasa
tidak mampu memberikan jawaban yang tepat kepada
siswa, atau khawatir apabila jawaban yang diberikan
justru akan berdampak negatif pada siswa. Karena pada
kenyataan di lapangan, guru olahraga atau bahkan guru
lainnya yang sering terlibat langsung dengan siswa
memiliki peluang besar menjadi sasaran pertanyaan siswa
mengenai seksualitas, sedangkan beliau dan guru lainnya
mungkin memiliki kendala yang sama, misalnya
memiliki kebingungan tersendiri dalam menjelaskannya
jawaban berkaitan seksualitas kepada siswa. Kemudian
koordinasi antara pihak sekolah dan wali siswa untuk
ditingkatkan lagi, sebab masalah yang dihadapi sebuah
keluarga tidaklah sama antara satu keluarga dengan
lainnya. Dalam kasus ini, informan siswa memang hanya
tinggal bersama neneknya dalam kesehariannya, bukan
dengan orangtua, sedangkan orangtua mereka memiliki
kesibukan pekerjaan di Jakarta yang tidak dapat
ditingalkan di tengah kesulitan perekonomian yang
dihadapi akibat usaha ayah dari siswa yang bangkrut, jadi
ibu informan siswa bekerja semaksimal mungkin untuk
menghidupi biaya ketiga anaknya yang tinggal bersama
neneknya. Jadi diharapkan sekolah dapat lebih mengerti
keadaan keluarga siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada wali lain dari siswa seperti neneknya untuk
mengomunikasikan keadaan siswa tersebut di sekolah,
atau dengan pilihan lain yakni komunikasi langsung
melalui panggilan video dengan sehingga tidak terjadi
hambatan dalam komunikasi kedua belah pihak, dan
tentunya akan berdampak baik bagi semua pihak.
Dari hasil penelitian ini, peneliti dapat membuktikan
teori Muhammad Abduh dan Murfiah Wulandari yang
mengatakan bahwa model pendidikan seks sangat
diperlukan bagi anak-anak dengan memperhatikan
tahapan perkembangannya untuk mengenali bagianbagian tubuhnya, mengubah paradigma orangtua dan
guru agar tidak dapat memberikan pendidikan seks
kepada anak-anaknya sejak dini dan sesuai
perkembangan anak, dan dapat menyadarkan orangtua
dan guru tentang betapa pentingnya upaya menjaga anakanak dari kekerasan dan penyimpangan seksual,
pelecehan seksual, yakni melalui pemberian pendidikan
seksualitas. Dengan memperhatikan koordinasi yang baik
antara stakehoder sekolah dengan pihak orangtua melalui
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
parenting, stakeholder sekolah dengan siswa melalui
pendidikan seksualitas, dan antara siswa dengan orangtua
melalui komunikasi keterbukaan, sehingga tujuan dari
pemberian pendidikan seksualitas di sekolah dapat
optimal bagi anak.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan analisis data penelitian dapat
disimpulkan pelaksanaan Pendidikan Seksualitas di SDIT
AT-TAQWA adalah sebagai berikut: 1) secara
keseluruhan proses pelaksanaan pendidikan seksualitas di
SDIT AT-TAQWA, Wiyung Surabaya melalui Layanan
dan Bimbingan Konseling ini sudah berjalan cukup baik
karena sudah memiliki perencanaan cukup baik dari segi
perencanaan pelaksanaan pemberian layanan melalui
penyususan RPL mengenai cakupan materi pendidikan
seksualitas dan catatan anekdot untuk siswa yang
mendapatkan bimbingan atau treatment dari BK akibat
melakukan kesalahan seperti tindakan penyimpangan
seksual, dan materi yang disiapkan sebagai bekal ajar
sudah sesuai dengan indikator yang ditentukan Waka
Kurikulum sekolah, yakni mencakup ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor yang sesuai dengan teori
pembelajaran David A Jacobsen, yang dapat ditinjau dari
pembahasan dalam RPL. Cakupan materi disusun dengan
memperhatikan tahapan perkembangan anak, dengan
dibedakan antara materi untuk jenjang kelas rendah dan
jenjang kelas tinggi. Selain itu siswa yang dijadikan
informan sudah memahami 8 materi dari 10 materi
pendidikan seksualitas yang disampaikan guru BK.
Namun kekurangannya, jadwal khusus untuk guru BK
masuk ke kelas belum diatur dalam kurikulum tertulis,
adapun jadwal KWB yang digunakan bergiliran dengan
BK terjadi ketidakseimbangan sehingga guru BK
kesulitan dalam memanajemen waktu untuk memberikan
layanan informasi di kelas. Dengan demikian,
perencanaan yang baik dalam pendidikan seksualitas
perlu diimbangi dengan jadwal yang memadai agar
pelaksanaan pendidikan seksualitas lebih efisien; 2)
metode pelaksanaan pendidikan seksualitas sudah
bervariasi dan cukup untuk mengakomodir dan
menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, yakni
metode diskusi, tanya jawab, serta ceramah dengan
menggunakan media visual seperti sinema edukasi dan
PPT sehingga sesuai dengan teori Sholeh Hamid, metode
ceramah sangat cocok dilakukan agar lebih mudah
memberikan topik yang banyak namun siswa tidak cepat
bosan dan seluruh siswa dengan karakter belajar visual
dan auditori dapat diakomodir dengan baik. Namun pihak
sekolah memiliki sikap keterbukaan untuk melakukan
peningkatan mutu seperti melakukan kerjasama dengan
pihak luar mengenai pendidikan seksualitas pada anak ke
depannya; 3) mengenai kerjasama sekolah dengan pihak
luar, sejauh ini kerjasama dengan lembaga pihak luar
sekolah belum ada yang bekerjasama dalam pemberian
pendidikan seksualitas kepada siswa, jadi pendidikan ini
lebih didominasi oleh guru BK, kemudian di dukung oleh
guru lainnya. Kerjasama yang sudah terjalin hanya
kepada wali siswa, namun belum semua wali siswa
menjalin interaksi yang baik dengan sekolah di karenakan
beberapa faktor seperti kesibukan yang padat; 4) seluruh
pihak di sekolah sangat tanggap dalam menyikapi siswa
yang pernah terlibat perilaku penyimpangan seksual
sekolah. Sehingga siswa yang bersangkutan dapat segera
ditangani dan diberikan penguatan agar ia mengetahui
perbuatan yang dilakukan salah dan tidak mengulanginya
lagi. Selain itu sekolah juga mengupayakan pemberian
pendidikan seksualitas kepada siswa dan orangtua
melalui parenting guna untuk memberikan bekal secara
internal agar memahami pentingnya melindungi diri anak
dari ancaman penyimpangan seksual; 5) seluruh siswa
SDIT AT-TAQWA menunjukkan respon yang aktif dan
antusias ketika diberikan wawasan berkaitan dengan
seksualitas, hal tersebut nampak dari respon siswa dalam
memberikan pertanyaan selama pendidikan seksualitas
berlangsung atau diluar waktu tersebut, misalnya adanya
siswa yang bertanya langsung ke guru BK dengan
mengunjungi ruang BK di waktu senggang. Selain itu,
dua siswa kelas 5 yang pernah melakukan penyimpangan
seksual sudah di tangani dengan baik sehingga mereka
tidak pernah melakukan penyimpangan seksual lagi
setelah mendapatkan pendidikan seksualitas dan
penanganan yang tepat dari pihak sekolah.
Saran
Bagi pihak sekolah, sebagai pihak yang memiliki
peran besar dalam membentuk pribadi siswa yang sesuai
visi dan misi sekolah, diharapkan: a) sekolah mengatur
ulang jadwal pembelajaran siswa di tahun ajaran
berikutnya, sehingga layanan bimbingan koseling
mendapatkan kesempatan lebih lama untuk bertatap
muka dengan anak, sehingga terjalin kedekatan
emosional yang baik antara guru dan siswa, serta
penyampaian materi lebih optimal dan merata di setiap
kelas; b) sekolah lebih merangkul elemen-elemen yang
dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan
seksualitas di sekolah yakni meliputi guru maupun wali
siswa, melalui toleransi komunikasi disesuaikan dengan
keadaan. Misalkan apabila komunikasi tidak bisa
diwakilkan kepada wali yang lain, maka komunikasi
dengan orangtua dapat dilakukan melalui telepon video,
sehingga informasi yang harus disampaikan dapat
disampaikan dengan baik tanpa khawatir terjadinya salah
Pendidikan Seksualitas Sejak Dini
Tahapan
Sensorimotoris
(0-2 tahun)
Pra-Operasional
(2-7 tahun)
Oparasioal Konkret
(7-11 atau 12 tahun)
Operasional Formal
(11 atau 12 sampai
14 atau 15 Tahun)
Kemampuan
Terikat pada gerakan, mereka
berhadapan
langsung
dengan
lingkungan dengan menggunakan
refleks bawaan.
Dapat memikirkan objek tertentu
(permanensi
obyek),
mampu
menyusun konsep sederhana.
Menyusun obyek tertentu secara
konkret, anak menggunakan tindakan
yang telah diinteriosasikan atau
pemikiran
untuk
memecahkan
masalah dalam pengalaman mereka.
Berpikir nyata dan abstrak, anak
mampu memikirkan situasi hipotesis
secara penuh.
Tabel 2 Tahapan Perkembangan Bahasa Anak
Tahapan
Sensorimotoris
Pra-Operasional
Operasional
Konkret
Operasional
Formal
Kemampuan
0-6 bulan, pada tahap babbling.
12-18 bulan, pada tahap satu kata.
18-24 bulan, pada tahap dua kata
3-7 tahun, kalimat sederhana.
7 tahun, bahasa lebih simbolik
8-10 tahun, bahasa sangat fleksibel
11-15 tahun, kalimat sudah lebih
kompleks
Dengan kedua teori dari Jean Piaget diatas,
dapat dihasilkan analisis perkembangan anak usia SD
sebagai berikut :
Tabel 3 Analisis Tahapan Perkembangan
Kognitif dan Bahasa Anak SD
Kelas
1
2
3
4
5
6
Usia
paham dan siswa juga mendapatkan penanganan lebih
maksimal.
Bagi guru, sebagai guru secara umum yang
bertanggung jawab dalam mendidik dan mencerdaskan
anak bangsa, sudah seharusnya guru sebagai pendidik
harus terus mengupdate wawasannya berkenaan dengan
informasi pendidikan seksualitas yang sesuai dengan
perkembangan anak, serta informasi mengenai
pertanyaan dan jawaban berkenaan materi seksualitas
sehingga guru tidak merasa canggung dan bingung dalam
merespon siswa. Penambahan wawasan guru dapat
dilakukan dengan berbagai macam hal, misalnya mencari
buku bacaan terkait hal tersebut, melalui sumber internet,
atau setidaknya sering melakukan interaksi dengan guru
lain supaya mengetahui informasi yang lebih luas, sebab
sedikit atau banyak seseorang ketika berinteraksi dengan
orang lain, akan memberikan wawasan dan pengalaman
baru.
Sedangkan kepada guru BK khususnya sebagai
penyampai materi, akan lebih baik materi layanan yang di
berikan lebih memiliki gradasi dalam setiap kelasnya.
Karena berdasarkan teori perpikir anak menurut Jean
Piaget (hal 47-48), ada beberapa tahapan perkembangan
kognitif dan tahapan perkembangan bahasa anak sebagai
berikut :
Tabel 1 Tahapan Perkembangan Kognitif Anak
7
8
9
10
11
12
Sensorimotoris
TAHAPAN
Pra
Operaoperasiosional
nal
konkrit
sederhana
simbolik
fleksibel
fleksibel
fleksibel
Operasional
formal
kompleks
kompleks
Dengan perbedaan tahapan berpikir dan behasa
diatas, diharapkan guru BK baik kelas rendah atau tinggi
dapat
memberikan
gradasi
terhadap
bobot
materi/informasi kepada siswa dengan bobot materi
berbeda di setiap kelas 1 hingga 6 sehingga lebih tepat
pada sasaran sesuai tahap berpikir mereka setiap naik
satu tingkat. Bukan disamakan menjadi dua kategori,
dengan materi sama antara kelas 1,2, dan 3 (kelas
rendah). Serta materi yang sama antara kelas 4,5,dan 6
(kelas tinggi). Setidaknya perbedaan materi tersebut di
kategorikan menjadi 3 kategori bila beracuan pada teori
Jean Piaget, serta penggunaan pemilihan kata yang
berbeda. Guru BK jenjang rendah membagi materi
berbeda untuk kelas 1, bahasanya juga paling sederhana
dan simbolik. Materi yang sedikit mendalam pada kelas 2
dan 3 dengan bahasa penyampaian yang lebih fleksibel.
Sedangkan guru BK kelas tinggi memberi materi kepada
kelas 4 sama atau sedikit lebih mendalam dibandingkan
kelas 3 dengan bahasa fleksibel, sedangkan materi untuk
kelas 4 dan 5 lebih mendalam lagi dengan bahasa
penyampaian yang dapat digunakan lebih kompleks.
Bagi peneliti lain, untuk mengembangkan penelitian
ini, peneliti selanjutnya dapat menggunakan tema yang
sama dengan penelitian ini namun menggunakan
perbedaan dalam teori yang digunakan serta spesifikasi
dari aspek tertentu pada pendidikan seksualitas. Peneliti
lain dapat mengembangkan penelitian yang sudah
ditemukan ini misalnya mengenai apakah siswa yang
mendapatkan pendidikan seksualitas sejak dini lebih
mampu melindungi diri dari tindakan seksualitas secara
mandiri, dan sebagainya.
Bagi dinas pendidikan Surabaya, mengingat angka
kasus pelecehan anak di Surabaya bahkan melibatkan
anak usia sekolah dasar sebagai pelaku maupun korban
dan jumlah penelitian mengenai pentingnya pendidikan
seksualitas sejak dini terus meningkat, diharapkan pihak
dinas pendidikan lebih menyadari bahwa kasus pelecehan
seksual terhadap anak tidak dapat dianggap remeh dan
harus ditangani secepat mungkin melalui pemberlakuan
pendidikan seksualitas serentak di SD kawasan surabaya.
Pendidikan seksualitas harus di dukung oleh RPP / RPL
standard dari pusat dinas pendidikan supaya cakupan
materi yang diberikan memiliki bobot yang sama,
sehingga tidak lagi terjadi ketidakpahaman akan
JPGSD. Volume 05 Nomor 03 Tahun 2017
perkembangan diri anak-anak selama masa puber yang
saat ini berkembang lebih cepat, dan tidak ada lagi
paradigma orangtua dan pendidik yang menganggap
pendidikan seks sangat tabu dan tidak cocok diberikan
kepada anak usia sekolah dasar, tidak ada lagi kasus
pelecehan seksual yang merugikan khususnya para
generasi muda yang masih belia, karena mereka adalah
harapan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi
baik secara fisik, moral, dan mentalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh,
Muhammad
dan
Murfiah
Dewi
Wulandari.2016.”Model Pendidikan Seks pada
Anak Sekolah Dasar Berbasis Teori
Perkembangan Anak”.Jurnal PGSD, UMS,
ISBN:978-602-361-045-7, di unduh 3 Januari
2017.
Basya, Hasan Syamsi. 2011. Mendidik Anak Zaman Kita.
Jakarta: penerbit zaman.
Erni.2013.”Pendidikan Seks pada Remaja”.Jurnal Health
Quality,
(online),
Vol
3,
No.2,
(http://www.poltekkesjakarta1.ac.id/, di unduh
20 Desember 2016).
Hamid, Sholeh. 2011. Metode edutainment. Yogyakarta:
Diva Press
Jacobsen, David, et all. 2009. Methods for Teaching.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Jatmikowati, Tri Endang, Angin dan Eranawati. “Model
dan Materi Pendidikan Seks Anak Usia Dini
Perspektif Gender Untuk Menghindarkan
Sexual
Abuse”.Cakrawala
Pendidikan.No.3.2015.
Muchtaromah, Bayyinatul. 2008. Pendidikan Reproduksi
bagi Anak menuju Aqil Baligh. Malang: UINMalang Press
Papilia, Diane E, et all.2011.Human Development
(Perkembangan
Manusia).Jakarta:Salemba
Humanika.
Patilima, Hamid. 2011. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta
Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: DasarDasar. Jakarta Barat: PT. Indeks
Shinta, Dewi. 2011. 1001 tanya anak soal seks.
Tangerang: SunshineBooks
Download