JIS (Vol.6.No.1. April 2013) ISSN : 1979-2840 ETIKA BISNIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM Oleh Annisa Mardatillah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Riau, Jl. Kaharuddin Nasution KM 11, No, 113 Marpoyan Simpang Tiga Pekanbaru Abstrak Business ethics according to Islamic law showed that there a structure that stood alone and separate from other structures because of ethics in Islam explained more virtues and the truth both at the level of intention or idea to behavior. Intrinsically of business activities should be operated based on ethical values that apply in society. Profit is not the only intent and purpose of the business activities business activities but also must be able to function as a social activity that is carried out with regard to the values and norms that apply in society. The values and norms that are in one meaning is ethics. Pursuing personal profit without regard to the other party may even harm others should be avoided in the business activities. Keywords : Ethics, Business, Islam Latar Belakang Kegiatan bisnis merupakan sebuah sistem ekologis yang sangat terkait dengan lingkungan sekitarnya. Sebagai sebuah sistem, kegiatan bisnis yang dilakukan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari kegiatan masyarakat. Kegiatan bisnis tidak hanya berupaya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat saja namun juga bermaksud menyediakan sarana-sarana yang dapat menarik minat dan perilaku membeli masyarakat. Secara umum kegiatan bisnis memiliki maksud dan tujuan yang terkait dengan faktor keuntungan bisnis. Keuntungan memiliki makna yang berbeda bagi setiap individu atau kelompok yang menjalankan kegiatan bisnis karena menyangkut perbedaan keyakinan tentang nilai-nilai, normatif, sikap, perilaku dan persepsi pelaku bisnis dalam mengelolanya. Pada hakekatnya kegiatan bisnis harus dapat dioperasikan dengan berlandaskan pada nilai-nilai etika yang berlaku di masyarakat. Keuntungan bukanlah satu-satunya maksud dan tujuan dari kegiatan bisnis namun kegiatan bisnis juga harus mampu berfungsi sebagai kegiatan sosial yang dilakukan dengan mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Nilai dan norma tersebut berada dalam satu makna yaitu etika. Mengejar keuntungan pribadi tanpa memperdulikan pihak lain bahkan dapat merugikan orang lain sebaiknya dihindari dalam melakukan kegiatan bisnis. Bisnis secara terminologis merupakan sebuah kegiatan atau usaha. Bisnis dapat pula diartikan sebagai aktivitas terpadu yang meliputi pertukaran barang, jasa atau uang yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dengan maksud untuk memperoleh manfaat dan keuntungan. Dengan demikian, bisnis merupakan proses sosial yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok melalui proses penciptaan dan pertukaran kebutuhan dan keingan akan suatu produk tertentu yang memiliki nilai atau memperoleh manfaat keuntungan ( Skinner, StevenJ and John M. Ivancevich dalam Gugup Kismono : 2001 ). 89 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) Persaingan bisnis yang semakin ketat dewasa ini memerlukan penerapan etika bisnis yang baik. Dalam konteks ini, etika bisnis yang dibahas adalah etika bisnis dari sudut pandang islam. Kata etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “ Ethos” yang berarti adat, akhlak, waktu perasaan, sikap dan cara berfikir atau adatistiadat. Etik adalah suatu studi mengenai yang benar dan yang salah dan pilihan moral yang dilakukan oleh seseorang. Etika adalah tuntutan mengenai perilaku, sikap dan tindakan yang diakui, sehubungan suatu jenis kegiatan manusia. Masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi saat ini tidak begitu mendapat tempat. Bagi sebagian kalangan kegiatan bisnis dapat dilakukan dengan tidak memperhatikan etika karena mereka beranggapan bahwa “ bisnis adalah bisnis “. Bagi sebagian kalangan pula kegiatan bisnis adalah bagaimana berusaha sekuat tenaga untuk mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Sedangkan beretika adalah suatu upaya untuk berhubungan dengan soal moral. Sehingga dua pemahaman ini dianggap tidak dapat saling bersinergi bagi sebagian orang. Etika bisnis Islam menjunjung tinggi semangat saling percaya, kejujuran, dan keadilan. Dunia bisnis penuh dengan persaingan maka aturan – aturan dalam bisnis akan berbeda dengan aturan dalam kehidupan sosial, orangorang yang mematuhi peraturan moral akan tersingkir dan berada pada posisi yang tidak menguntungkan di tengah-tengah persaingan ketat yang menghalalkan segala cara. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Sedangkan etika bisnis dari perspektif Islam dapat dilihat dari pandangan Rasulullah SAW dalam memandang harta bahwa pada hakikatnya harta adalah milik Allah SWT dan manusia hanya diberi amanah untuk mengelolanya dengan baik. ISSN : 1979-2840 Pengabaian etika bisnis sering terjadi karena beranggapan bahwa etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Dalam Islam, nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh adalah sangat penting, termasuk dalam aspek kegiatan bisnis. Islam sangat tegas dalam mengatur kegiatan bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial. Ajaran agama Islam dalam perilaku ekonomi manusia dan bisnis semakin perlu untuk ditegaskan penerapannya bukan karena mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam, tetapi karena ajaran moral ini sangat sering tidak dipatuhi oleh manusia saat ini. Dengan perkataan lain penyimpangan demi penyimpangan dalam Islam jelas merupakan sumber berbagai permasalahan ekonomi nasional. Manusia dalam hubungannya dengan bisnis dalam rangka menjalankan suatu usaha adalah satu hal yang sangat penting ialah etika. Etika memegang peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan usaha. Kurangnya pemahaman dari warga masyarakat terhadap etika bisnis menurut kaidah dan tata cara Islam baik itu dalam tatanan skala usaha besar, skala menengah maupun dalam skala usaha kecil adalah suatu hal yang tidak dapat ditutupi. Hal ini jelas terlihat dari sedikitnya bahkan tidak terlihatnya penerapan etika Islam dalam menjalankan usahanya. Bentuk konkritnya dapat dilihat dari ulah pengusaha itu sendiri dalam kesehariannya dalam berusaha untuk mendapatkan maksud dan tujuannya menggunakan cara-cara yang tidak dibenarkan dalam aturan Islam mengenai kaidah berusaha yang menghalalkan semua cara, padahal dalam ajaran Islam ada iman dan moral yang harus dipedomani. 90 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) Perumusan Masalah Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut bagaimana Etika Bisnis Dalam Perspektif Islam ? Konsep Teori Etika Bisnis Secara Umum Etika bisnis secara umum adalah kita perlu membandingkan dengan moral. Baik etika dan moral sering dipakai secara dapat dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan bagitu saja. Ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja mempunyai pengertian yang sama sekali berbeda dengan moral. Sehubungan dengan itu, secara teoritis dapat dibedakan dalam dua pengertian, walaupun dalam penggunaan praktis sering tidak mudah dibedakan. Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha), berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan. Berbicara tentang bisnis, Kohlbeng mengatakan bahwa prinsip-prinsip etika di dalam bisnis dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu sebagai berikut : (1) Prinsip manfaat, (2) Prinsip hak asasi, (3) Prinsip keadilan.24 Sedangkan mengenai istilah “bisnis” yang dimaksud adalah suatu urusan atau kegiatan dagang, industri atau keuangan yang dihubungkan dengan produksi atau pertukaran barang atau jasa dengan menempatkan uang dari para enterpreneur dalam resiko tertentu dengan usaha tertentu ISSN : 1979-2840 dengan motif untuk mendapatkan keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut produksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair di antara pihak-pihak yangterlibat. Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena saru otang memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak bisa dibuatnya sendiri. Dengan kata lain, tujuan utama bisnis sesungguhnya bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan melalui itu ia bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya. Matsushita, mengatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Prinsip-prinsip etika bisnis yang berlaku di Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat kita. Namun, sebagai etika khusus atau etika terapan, prinsip prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsipprinsip etika pada umumnya. Karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, secara umum dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis, yakni : Pertama, prinsip otonomi, yaitu sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarnnya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Kedua, prinsip kejujuran, sekilas kedengarannya adalah aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip etika bisnis karena mitos keliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu menipu demi meraup untung. Harus diakui bahwa memang 91 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) prinsip ini paling problematic karena masih banyak pelaku bisnis yang mendasarkan kegiatan bisnisnya pada tipu menipu atau tindakan curang, entah karena situasi eksternal tertentu atau karena dasarnya memang ia sendiri suka tipu-menipu. Ketiga, prinsip keadilan, yaitu menuntut agar setiap orang diperlukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis apakah dalam relasi eksternal perusahaan maupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Keempat, prinsip saling menguntungkan, yaitu menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis. Maka, dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini menuntut agar persaingan bisnis haruslah melahirkan suatu win-win solution. Kelima, prinsip integritas moral, yaitu prinsip yang menghayati tuntutan internal dalam berprilaku bisnis atau perusahaan agar menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik perusahaannya. Dengan kata lain, prinsip ini merupakan tuntutan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Dari semua prinsip bisnis di atas, Adam Smith menganggap bahwa prinsip keadilan sebagai prinsip yang paling pokok. Etika Bisnis Menurut Hukum Islam Mengenai etika bisnis dalam Islam, Sudarsono dalam bukunya yang berjudul Etika Islam tentang Kenakalan Remaja, mengatakan bahwa, etika Islam adalah doktrin etis yangberdasarkan ajaran-ajaran agama Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw., yang di dalamnya terdapat nilai-nilai luhur dan sifat-sifat yang ISSN : 1979-2840 terpuji (mahmudah). Dalam agama Islam, etika ataupun perilaku serta tindak tanduk dari manusia telah diatur sedemikian rupa sehingga jelas mana perbuatan atau tindakan yang dikatakan dengan perbuatan atau tindakan asusila dan mana tindakan atau perbuatan yang disebut bermoral atau sesuai dengan arturan agama. Berkaitan dengan nilai-nilai lihur yang tercakup dalam Etika Islam dalam kaitannya dengan sifat yang baik dari perbuatan atau perlakuan yang patut dan dianjurkan untuk dilakukan sebagai sifat terpuji, lebih jauh Sudarsono menyebutkan, antara lain : ’’Berlaku jujur (Al Amanah), berbuat baik kepada kedua orang tua (Birrul Waalidaini), memelihara kesucian diri (Al Iffah), kasih sayang (Ar Rahman dan Al Barry), berlaku hemat (Al Iqtishad), menerima apa adanya dan sederhana (Qona’ah dan Zuhud), perikelakuan baik (Ihsan), kebenaran (Shiddiq), pemaaf (‘Afu), keadilan (‘Adl), keberanian (Syaja’ah), malu (Haya’), kesabaran (Shabr), berterima kasih (Syukur), penyantun (Hindun), rasa sepenanggungan (Muwastt), kuat (Quwwah)’’. Dalam etika Islam, ukuran kebaikan dan ketidakbaikan bersifat mutlak, yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad Saw. Dipandang dari segi ajaran yang mendasar, etika Islam tergolong Etika Theologis. Menurut Hamzah Ya’qub, bahwa yang menjadi ukuran etika theologis adalah baik buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan. Segala perbuatan yang diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang oleh Tuhan itulah perbuatan yang buruk, yang sudah dijelaskan dalam kitab suci. Etika Islam mengajarkan manusia untuk menjalain kerjasama, tolong menolong, dan menjauhkan sikap iri, dengki dan dendam. Bisnis-bisnis yang Sesuai dengan Hukum Islam 92 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) Mengenai bisnis yang sesuai dengan hukum Islam adalah semua aspek kegiatan untuk menyalurkan barang-barang melalui saluran produktif, dari membeli barang mentah sampai menjual barang jadi. Pada pokoknya kegiatan bisnis meliputi : (1) Perdagangan, (2) Pengangkutan, (3) Penyimpanan, (4) Pembelanjaan, (5) Pemberian informasi. Pembahasan Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup manusia dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi maupun spiritual yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik. Ekonomi adalah bagian dari tatanan Islam yang perspektif. Pengusaha Islam adalah manusia Islam yang bertujuan untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya melalui usaha perdagangan, dan selanjutnya memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui perdagangan tersebut. Aspek penting tentang aktivitas pengusaha dalam masyarakat Islam bertumpu pada tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang memuaskan, malayani masyarakat dan mengamalkan sikap kerja sama. Manusia dalam perspektif Islam adalah sebagai “UmmatanWaahidatan”, kelompok yang bersatu pada dalam kesatuan atau entitas yang utuh. Manusia yang dipengaruhi oleh nilainilai moral Islam itu ternyata manghasilkan perilaku ekonomi yang berbeda atau khusus, maka akulmulasi pengetahuan atau pengalaman dalam menerapkan prinsip-prinsip moral atau suatu ketika, apabila telah disusun secara sistematis, akan menghasilkan suatu pengetahuan khusus dan itulah yang disebut dengan ilmu ekonomi Islam. Pada satu sisi, aktivitas bisnis dimaksudkan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, sementara prinsip-prinsip moral “membatasi” aktivitas bisnis. Berlawanan dengan kelompok pertama, kelompok kedua berpendapat bahwa bisnis bisa ISSN : 1979-2840 disatukan dengan etika. Kalangan ini beralasan bahwa etika merupakan alasan-alasan rasional tentang semua tindakan manusia dalam semua aspek kehidupan, tidak terkecuali aspek bisnis. Secara umum, bisnis merupakan suatu kegiatan usaha individu yang terorganisir untuk menghasilkan dan menjual barang dan jasa guna mendapatkan keuntungan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, atau juga sebagai suatu lembaga yang menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Ide mengenai etika bisnis bagi banyak pihak termasuk ahli ekonomi merupakan hal yang problematik. Problematikanya terletak pada kesangsian apakah moral atau akhlak mempunyai tempat dalam kegiatan bisnis dan ekonomi pada umumnya. Dari kalangan yang menyangsikan kemudian muncul istilah “mitos bisnis amoral”. Menurut Ricard T. De George dalam Business Ethic, mitos bisnis amoral berkeyakinan bahwa perilaku tidak bisa dibarengkan dengan aspek moral. Antara bisnis dan moral tidak ada kaitan apa-apa dan karena itu, merupakan kekeliruan jika aktivitas bisnis dinilai dengan menggunakan tolak ukur moralitas. Al-Qur’an banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282). Dalam Islam, manusia sebagai individu dan kelompok mempunyai kebebasan dalam melakukan kegiatan bisnis. Namun dalam menjalankannya manusia harus mengimplementasikan kaedah-kaedah Islam. Manusia sebagai pelaku bisnis, mempunyai tanggung jawab moral kepada Tuhan atas perilaku bisnisnya. Dalam melakukan kegiatan bisnis hendaklah kita mengacu pada ajaran yang telah 93 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) tertuang dalam Al-Quran dan Hadist agar terhindar dari kegiatan bisnis yang tidak sehat. Pertama, prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah SAW sangat menganjurkan kejujuran dalam kegiatan bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. AlQuzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Dalam surat Al Anfaal ayat 58 : “ Jika kamu khawatir akan terjadinya pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”. Kejujuran adalah sesuatu yang disukai Allah SWT dan merupakan sifat Rasulullah SAW. Mengutamakan kejujuran dan menepati janji merupakan perilaku bisnis yang sesuai syariah karena akan menjauhkan dari kebatilan. Kedua, Menepati Janji. Allah SWT menganjurkan kita selalu menepati janji dalam jual beli dan aktivitas lainnya. Dalam surat Al Maidah ayat 1 ; “ Hai orang-orang yang beriman penuhilah aqad-aqad itu” berdasarkan ayat ini maka dapat ditegaskan pentingnya kita menepati janji dalam melakukan perniagaan (bisnis) jangan berusaha mengingkari atas apa yang telah diucapkan. Dengan menerapkan hal ini insya Allah perniagaan (bisnis) yang dilakukan akan menjadi lebih berkah. Ketiga, tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli). Keempat, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. ISSN : 1979-2840 Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih). Kelima, tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu. Keenam, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112). Ketujuh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan. Kedelapan, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir). Kesembilan, Menggunakan Persetujuan Kedua Belah Pihak. Dalam melakukan perniagaan (bisnis) harus tercipta ijab kabul diantara penjual dan pembeli. Dalam surat An Nisaa ayat 29 : ” Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” Aktivitas perniagaan (bisnis) yang hanya dilakukan jika sudah ada kata sepakat diantara penjual dan 94 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) pembeli dan tidak saling merugikan merupakan suatu perniagaan (bisnis) yang sesuai dengan syariah. Tetapi jika tidak adanya kesepakatan diantara keduanya dan hanya mengarah pada yang hak hendaknya jauhkanlah perniagaan (bisnis) yang demikian. Kesepuluh, bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah:: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba. Salah satu kajian etika yang amat populer memasuki abad 21 di mellinium ketiga ini adalah etika bisnis. Perusahaan-perusahaan besar, model abad 21, kelihatannya juga mempunyai kecenderungan baru untuk mengimplementasikan etika bisnis sebagai visi masyarakat yang bertanggung-jawab secara sosial dan ekonomis. Realitas di atas, dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh James Liebig, penulis Merchants of Vision. Dalam penelitian itu, ia mewawancarai tokoh-tokoh bisnis di 14 negara. James Liebig menemukan enam perspektif, yang umum berlaku, sebagai berikut : 1. Bertindak sesuai etika. 2. Mempertinggi keadilan sosial. 3. Melindungi lingkungan. 4. Pemberdayaan kreatifitas manusia. 5. Menentukan visi dan tujuan bisnis yang bersifat sosial dan melibatkan para karyawan dalam membangun dunia bisnis yang lebih baik, menghidupkan sifat kasih sayang dan pelayanan yang baik dalam proses perusahaan. 6. Meninjau ulang pandangan klasik tentang paradigma ilmu ekonomi yang bebas nilai. Perspektif di atas menunjukkan bahwa etika bisnis yang selama ini jadi cita-cita, kini benar benar menjadi mudah diwujudkan sebagai kenyataan. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak etika dalam dunia bisnis, bahkan ISSN : 1979-2840 kepatuhan kepada etika bisnis, sesungguhnya, bersifat kondusif terhadap upaya meningkatkan keuntungan pengusaha atau pemilik modal. Misalnya, para pengusaha sekarang, percaya bahwa kesenjangan gaji yang tidak terlalu besar antara penerima gaji tertinggi dan terendah dan fasilitas-fasilitas yang diterima oleh kedua kelompok karyawan ini, akan mendorong peningkatan kinerja perusahaan secara menyeluruh. Karyawan yang dulu cenderung dianggap sebagai sekrup dalam mesin besar perusahaan, kini diberdayakan. Perempuan yang selam ini sering menjadi korban tuntutan efisiensi, sekarang mendapatkan perhatian yang layak. Perusahaan-perusahaan besar kinipun berlomba-lomba menampilkan citra diri yang sadar lingkungan, bukan saja lingkungan fisik tetapi juga lingkungan sosial dan budaya. Jika di sarang kapitalisme sendiri, (Amerika dan Eropa) telah mulai berkembang trend baru bagi dunia bisnis, yaitu keniscayaan etika, (meskipun mungkin belum sempurna), tentu kemunculannya lebih mungkin dan lebih dapat subur di negeri kita yang dikenal agamis ini. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan, bahwa eksistensi etika dalam wacana bisnis merupakan keharusan yang tak terbantahkan. Dalam situasi dunia bisnis membutuhkan etika, Islam sejak lebih 14 abad yang lalu, telah menyerukan urgensi etika bagi aktivitas bisnis. Islam Sumber Nilai dan Etika Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial. Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan 95 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusatpusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan. Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282). Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi (transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang tercerahkan. Prinsipprinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang, bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam tata ekonomi dunia yang berkeadilan. Panduan Nabi Muhammad Dalam Bisnis Rasululah Saw, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, di antaranya ialah: a. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam doktrin Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual ISSN : 1979-2840 satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani). “Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas. b. Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang. c. Tidak melakukan sumpah palsu. Nabi Muhammad saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”. Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah. d. Ramah-tamah . Seorang palaku bisnis, harus bersikap ramah dalam melakukan bisnis. Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah merahmati seseorang yang ramah dan 96 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) e. f. g. h. i. j. tolerandalam berbisnis” (H.R. Bukhari dan Tarmizi). Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut. Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan bisnis najsya (seorang pembeli tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli). Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (H.R. Muttafaq ‘alaih). Tidak melakukan ihtikar. Ihtikar ialah (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu. Takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: “Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” ( QS. 83: 112). Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah. Firman Allah, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang”. Membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”. Hadist ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakuan. ISSN : 1979-2840 k. Tidak monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam. l. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras, mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat. m. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan “patung-patung” (H.R. Jabir). n. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. 4: 29). o. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya. Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang yang paling segera membayar hutangnya” (H.R. Hakim). p. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) belum mampu membayar. Sabda 97 JIS (Vol.6.No.1. April 2013) Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (H.R. Muslim). q. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. al-Baqarah: 278) Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba. Kesimpulan Demikianlah sebagian etika bisnis dalam perspektif Islam yang diramu dari sumber ajaran Islam, baik yang bersumber dari alQur’an maupun Sunnah. Berdasarkan hal diatas jelas digambarkan agar manusia jangan tamak dalam mencari harta ( melalui kegiatan perniagaan / bisnis ) hendaknya memperhatikan pula nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai di masyarakat. Jadikan selalu keridhaan Allah SWT dalam mencari harta sebagai tujuan utama. DAFTAR PUSTAKA Bambang Soegono Ryadi, 1998, Praktek Bisnis Tidak Sehat dan Tendensinya di Indonesia,Gramedia, Jakarta. Bambang Suggono, 2003, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Bambang Waluyo, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta. Franz Magnis Suseno, 1988, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia, Jakarta. Ichsan Zulkarnain, 2003, Perkembangan Ekonomi Mikro Hingga Triwulan III Tahun 2002 dan Prospek Ekonomi ISSN : 1979-2840 Indonesia Tahun 2002 dan 2004, Jurnal Ekonomi. Jazim Hamidi, 2007/2008, Bahan Kuliah “Filsafat Ilmu”, Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas BrawijayaFakultas Hukum Universitas Bengkulu. Kwik Kian Gie, dkk, 1996, Etika Bisnis Cina : Suatu Kajian Terhadap Perekonomian di Indonesia, Gramedia, Jakarta. Mohammad Daud Ali, 2002, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mubyarto, 2002, “Etika Agama dan Sistem Ekonomi”, Artikel. Muhammad, Fauroni Lukman, 2002, Visi Al-Qur’an : Tentang Etika Bisnis, Salemba Diniyah,Jakarta. R. Rachmat Djatnika, 1985, Sistem Ethika Islam, Pustaka Islam, Surabaya. Soekarsono Tyas Utomo, 2004, Kisah Sukses Pebisnis Muslim Indonesia, Pustaka AlKautsar,Jakarta. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta. Sudarsono, 1989, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Bina Aksara, Jakarta. Suhrawardi K. Lubis, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Sinar Grafika, Jakarta. Sukarmi, 2007/2008, Bahan Kuliah “Hukum Ekonomi”, Program Doktoral Fakultas Hukum Universitas Brawijaya-Fakultas Hukum Universitas Bengkulu. Swastha Basu, Ibnu Sukotjo, 1988, Pengantar Bisnis Modern (Pengantar Ekonomi PerusahaanModern), Liberty, Yogyakarta. TM Hasbi Ash-Shiddieqy, 1975, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung. Yusuf Qordhawi, 1997, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta. 98