PENGARUH TERAPI MUSIK MOZART TERHADAP PENURUNAN PERILAKU TANTRUM PADA ANAK AUTISME DI SEKOLAH AUTIS HARAPAN BUNDA SURABAYA Siti Maria, *Rizki Fitryasari S.Kep.,Ns.,M.,Kep, *Hanik Endang.,S.Kep.,Ns.,M.Kep Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya Kampus C Mulyorejo Surabaya 60115 Telp (031) 5913752 ,5913754 ,Fax. (031)5913257 Email: [email protected] ABSTRACT Tantrum behavior disorder is the expulsive behavior that makes autist children difficult to control their emotion and it’s caused by brain damage in the hippocampus and amygdala system. The purpose of Mozart's music is to stimulate the brain wave to increase it’sfunction of control emotion. This study used quasi-exsperimental design taken by purposive sampling and the population was autism children at Harapan Bunda Autism School Surabaya, with 14responden as sample, consisting of 7 children in treatment groups and 7 in control groups. Independen variable was Mozart music and dependen variable was tantrum behavior Data were collected using the observation sheet of problem behavior rating scale and analyzed using the Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney test with significance level of p < 0.05. The results revealed that Wilcoxon signed rank test had p = 0.016 in treatment group and = 0.059 in control group, while the Mann Whitney test had p = 0.027. It was mean there was significant effect of Mozart music therapy to decrease tantrum behavior. It can be concluded that Mozart's music which being listened continuosly can improvethe interest and relaxation of children, so they can control their emotion and behavior, beside thatthe duration of therapy, age, and intelectuality of respondents affected the therapy session. This therapy is recommended to parents, institution and therapists to be used consistently and continously in helping lowering tantrum behavior in autism. . Keywords: autism, Mozart music, tantrum behavior PENDAHULUAN Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif pada anak, ditandai dengan penyimpangan interaksi sosial, hambatan dalam komunikasi dan gangguan pola perilaku (Maulana, 2010). Gangguan pola perilaku merupakan permasalahan signifikan pada anak autisme, salah satu gangguan perilaku yang dirasa sangat menganggu adalah perilaku tantrum.Tantrum adalah suatu ledakan emosi kuat sekali, disertai rasa marah, dan serangan agresif, disebabkan karena kelainan pada sistem saraf pusat (Anantasari, 2006). Berdasarkan penelitian Asyarudin dan Sopandi (2013) anak autisme dengan perilaku tantrum memiliki karakteristik ledakan emosi berlebihan dan tidak terkontrol berupamenangis, menjerit*: Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Surabaya jerit, berguling, serta menendang barang. Hasil studi observasi oleh Trisilvia (2010) menyatakan bahwa perilaku tantrum jika dibiarkan atau tidak diterapi secara tepat dapat menyebabkan anak autis memencederai diri sendiri dan orang lain, oleh karena itu diperlukan suatu terapi untuk mengurangi gangguan perilaku ini. Menurut Sound Therapy System (2009) terapi musik Mozart merupakan salah satu terapi yang digunakan untuk menurunkan gangguan perilaku anak autisme dengan cara memberikan stimulus pada sistem saraf pusat melalui gelombang suara. Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita laki-laki empat kali lebih besar dibandingkan perempuan. Hasil survei di beberapa negara menunjukkan bila 10-20 tahun lalu jumlah penyandang autisme hanya 2-4 anak per 10.000 anak, sekarang ini jumlah tersebut meningkat menjadi 1520 anak atau 1 per 500 anak. (Maulana, 2010). Menurut Badan Pusat Statistik (2010) dalam (Hardani, 2012) jumlah penduduk Indonesia lebih dari 237,5 juta dan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,14% sehingga jumlah penyandang autisme mencapai 2,4 juta orang. Studi awal yang dilakukan peneliti di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya didapatkan data jumlah anak autisme sebanyak 25 orang, 60% dari total anak autisme menunjukkan pola perilaku tantrum. Gejala perilaku tantrum pada anak autisme di sekolah ini berbeda-beda, gejala paling sering adalah anak menangis sambil berteriak dan menendang barang. Terapi untuk mengurangi gangguan perilaku tantrum di sekolah ini adalah behavior therapy dengan metode loovas menggunakan teknik reinforcement, namun terapi tersebut belum bisa menurunkan perilaku tantrum pada anak autisme. Perilaku tantrum pada autisme muncul sebagai manifestasi akibat adanya gangguan neurobiologis pada sistem saraf pusat yaitu pada sistem limbik (Saputro, 2005). Sistem ini terdapat daerah yang disebut hippocampus dan amygdala, selsel neuron pada kedua daerah tersebut sangat padat dan kecil-kecil sehingga fungsinya menjadi kurang baik, oleh karena itu anak autisme umumnya kurang dapat mengendalikan emosinya, agresif terhadap diri sendiri maupun orang lain (Maulana, 2010). Sejumlah riset menjelaskan bahwa musik Mozart memiliki manfaat sangat besar bagi peningkatan kualitas hidup anak berkebutuhan khusus. Menurut penelitian De I’Etole (2010) Anak autisme masih mampu mendeteksi musik meskipun memiliki gangguan pada sistem syaraf pusat. Pengaruh musik Mozart terhadap perubahan perilaku tantrum dimulai ketika energi getaran suara melalui telinga diubah menjadi pesan elektrokimia d an dibawah oleh saraf pendengaran menuju sistem saraf pusat untuk di interpretasikan.Proses ini akan mengaktifasi amygdala, dan hipocampus untuk meningkatkan fungsingnya dalam kontrol mood, perilaku, agresi dan emosi sehingga perilaku tantrum dapat berkurang. Sebaliknya, Anak autismeyang tidak mendapatkan terapi musik Mozart akan lebih sering mengalami tantrum karena fungsi amygdala, dan hipocampus akan menjadi semakin menurun jika tidak mendapatkan stimulus (Menoon & Levitin, 2005). Musik Mozart memiliki ritme, melodi dan frekuensi lebih tinggi dari jenis musiklain yaitu lebih dari 8000 Hz, meskipun diberikan dalam dosis sedikit, musik ini mampu memberikan stimulus pada sistem saraf pusat (amygdala dan hipocampus) untuk meningkatkan fungsi sebagai kontrol emosi (Tomatis, 2005). Hasil penelitian Widajati dan Nurfausiah (2010) menunjukkan bahwa terapi musik Mozart diberikan selama 30 menit efektif untuk menurunkan perilaku hiperaktif pada autisme. Berger (2002) menyatakan bahwa musik Mozart sebaiknya di dengarkan selama 30 menit atau lebih, semakin sering terapi diberikan jaringan antar neuron sistem saraf pusat akan semakin baik sehingga potensial meningkatkan minat, relaksasi, aktivitas, perilaku sosial, mengarahkan ketegangan, mengatur perilaku dan mengekspresikan emosi.Berdasarkan beberapa fakta diatas, maka peniliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis apakah terapi musik Mozart berpengaruh terhadap penurunan perilaku tantrum pada anak autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya. BAHAN DAN METODE Penelitian yang dilakukan menggunakan quasy experiment dengan pre post test design dimana ciri tipe penelitian ini adalah menggunakan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya sebanyak 25 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan kehendak peneliti (tujuan atau masalah dalam penelitian). Jumlah sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut: 1) Autis tanpa retradasi mental (nilai IQ ≥ 80) 2) Anak autis berusia 7-10 tahun 3) Anak autis yang belum pernah mendapatkan terapi musik Mozart sebelumnya 4) Anak autis dengan gangguan perilaku tantrum Besar sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah klien yang memenuhi kriteria inklusi untuk menjadi sampel yaitu sebanyak 14 orang terdiri dari 7 orang kelompok perlakuan (intervensi terapi musik Mozart) dan 7 orang kelompok kontrol (tanpa intervensi). Variabel independen dalam penelitian ini adalah terapi musik Mozart dan Variabel dependen adalah perilaku tantrum pada anak autisme. Instrumen untuk variabel independen adalah SAK (Satuan Acara Kegiatan) dan variabel independen menggunakan instrumen lembar obrservasi behavior problem rating scale. Pengumpulan data pre test perilaku tantrum dilakukan 1 hari sebelum intervensi, kemudian diberikan intervensi terapi musik Mozart sebanyak 9 kali dalam 2 minggu dengan durasi tiap pertemuan seblama 30 menit, setelah intervensi terakhir kemudian dilakukan post test terhadap perilaku tantrum. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis mengunakan uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test untuk mengetahui perbedaan perilaku tantrum sebelum dan sesudah diberikan terapi musik Mozart dan dilakukan uji Mann Whitney U-Test untuk mengetahui pengaruh terapi musik Mozart terhadap penurunan perilaku tantrum dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05. HASIL Hasil observasi perilaku tantrum menggunakan lembar observasi behavior problem rating scale pada anak autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda surabaya didapatkan data sebagai berikut: 1. Perilaku tantrum anak autisme sebelum dilakukan terapi musik Mozart 60% 40% 20% 0% 57% 43% 57% 43% perlakuan 0%0 kontrol Gambar 1. Hasil observasi perilaku tantrum sebelum dilakukan intervensi terapi musik Mozart pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya tanggal 03 Januari 2014-16 Januari 2014 Gambar gambar 1 menunjukkan bahwa perilaku tantrum pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi terapi musik Mozart sebagian besar berada pada kategori berat sebanyak 57% (4 orang). 2. Perilaku tantrum anak autisme setelah dilakukan terapi musik Mozart 80% 60% 40% 20% 0% 71% 29% 0% 43% 57% 0% perlakuan kontrol Gambar 2. Hasil observasi perilaku tantrum setelah dilakukan intervensi terapi musik Mozart pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya tanggal 03 Januari 2014-16 Januari 2014 Gambar 2 menunjukkan bahwa hasil post test perilaku tantrum pada kelompok perlakuan setelah dilakukan intervensi terapi musik Mozart sebagian besar berada pada kategori sedang 71% (5 orang), sedangkan pada kelompok kontrol sebagian besar berada pada kategori berat57% (4 orang). 3. Pengaruh terapi Musik Mozart terhadap penurunan perilaku tantrum autisme. Tabel 1. Analisa hasil pre test dan post test perilaku tantrum anak autis di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya Kategori Ringan Sedang Berat Total Hasil Jumlah responden kelompok Jumlah responden kelompok perlakuan kontrol Pre % Post % Pre % Post % test test test test 0 2 29 0 0 0 0 0 4 57 5 71 4 57 3 43 3 43 0 0 3 43 4 57 7 100 7 100 7 100 7 100 Wilcoxon signed rank test Wilcoxon signed rank test p = 0,016 p = 0,059 Mann whitney test p = 0,027 Hasil uji statistik menggunakan wilcoxon signed rank test dengan tingkat kemaknaan α ≤ 0,05, pada kelompok perlakuan didapatkan hasil p = 0,016 artinya terdapat perbedaan perilaku tantrum antara sebelum dan sesudah intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan hasil p = 0,059 artinya tidak ada perbedaan signifikan antara nilai pre test dan post test. Hasil uji statistik Mann Whitney didapatkan nilai p =0,027 maka p ≤ 0,05 artinya H1 diterima yaitu ada pengaruh terapi musik Mozart terhadap penurunan perilaku tantrum pada anak autisme. Terapi musik Mozart mampu menstimulus hippocampus dan amygdala untuk meningkatkan fungsinya dalam kontrol emosi sehingga perilaku tantrum berkurang. PEMBAHASAN Sebelum dilakukan intervensi musik Mozart didapatkan data bahwa perilaku tantrum autisme kedua kelompok responden adalah sama, sebanyak 57% dalam kategori berat dan 43% dalam kategori sedang. Responden dengan kategori berat menunjukkan gejala perilaku tantrum berupa menangis, menjerit, memberontak, membenturkan kepala, menyakiti orang lain, merusak barang dan menjejakan kaki dengan frekuensi sangat sering ≥ 3 kali dalam seharidan kategori sedang menunjukkan gejala perilaku tantrum berupa menangis, menjerit, memberontak, membenturkan kepala, menyakiti orang lain, merusak barang dan menjejakan kaki dengan frekuensi sering yaitu 2 kali dalam sehari. Tantrum pada autisme terjadi akibat ketidakmapuan dalam mengontrol emosi, hal ini disebabkan karena kelainan sistem saraf pusat. Selain itu beberapa faktor ekternal juga memperberat perilaku tantrum muncul pada autisme seperti keterlibatan orang tua, lama anak mendapatkan terapi, dan proses pembelajaran di sekolah (Corsini, 2001 & Trisilvia, 2010). Responden dengan kategori perilaku tantrum berat adalah anak autisme yang berusia 7 tahun dengan lama sekolah 1 tahun. Anak autisme yang belum mendapatkan terapi secara maksimal akan menunjukkan gejala perilaku tantrum yang lebih sering, karena terapi untuk autisme akan efektif jika diberikan secara continue dan konsisten dalam jangka panjang. Pada anak autisme dengan usia 8, 9, dan 10 tahun yang mengalami keterlambatan pemberian terapi di Sekolah juga akan menunjukkan kondisi tantrum yang lebih berat, seperti yang terjadi pada responden no. 7 kelompok perlakuan. Kondisi lain yang memperberat tantrum adalah proses pembelajaran dikelas yang monoton dengan waktu istirahat yang pendek membuat responden menjadi jenuh, lelah dan mudah marah. Selain itu data demografi menunjukkan sebagian besar responden memiliki orang tua dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi serta hampir keseluruhan orang tua responden bekerja. orang tua sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anak perlu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai terapi pada anak autisme, orang tua juga perlu memberikan stimulus dan menguasai terapi karena orang tua adalah orang yang selalu bersama anak sedangkan terapis hanya sesaat dan bergantian. Kondisi orang tua responden yang sebagian besar bekerja sebagai wiraswasta dengan jam kerja tidak menentu dari pagi hingga malam menyebabkan orang tua tidak memiliki cukup waktu untuk memperhatikan perkembangan anak mereka saat dirumah, sehingga peran orang tua sebagai support system dalam memberikan stimulus, memotivasi dan membimbing anak menjadi tidak optimal. Orang tua cenderung mempercayakan sepenuhnya proses terapi pada pihak sekolah tanpa terlibat aktif terkait perkembangan perilaku anak mereka. Sehingga meskipun anak sudah mendapatkan terapi di sekolah dan pengetahuan orang tua tentang cara memperbaiki perilaku anak autisme cukup baik, namun keterlibatan orang tua yang kurang menyebabkan perilaku tantrum pada autisme terus muncul dan tidak membaik. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Trisilvia (2010) bahwa beberapa faktor eksternal dapat memperberat gejala perilaku tantrum muncul pada autisme, diantaranya adalah tidak adanya peran orang tua sebagai support sistem. Bonny (2003) juga menyatakan bahwa interaksi orang tua dalam memberikan dukungan pada anak akan lebih membantu dalam terapi terhadap anak autisme, orang tua yang melaksanakan terapi secara intensif terhadap anak akan memperoleh hasil memuaskan dan menunjukkan kemajuan sangat pesat. Setelah dilakukan intervensi musik Mozart, didapatkan hasil adanya penurunan perilaku tantrum pada kelompok perlakuan yaitu termasuk kategori ringan (29%) dan kategori sedang (71%). Responden dalam kategori ringan merupakan responden pada nilai pre test termasuk dalam kategori sedang dan pada post test memperoleh nilai 0 (tidak pernah) pada pernyataan: membenturkan kepala, merusak barang dan menyakiti orang lain. Responden dengan kategori sedang merupakan responden yang masuk dalam kategori berat pada pre test. Sedangkan pada post test kelompok kontrol tidak terjadi penurunan perilaku tantrum. Perbedaan hasil post test pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol disebabkan karena pada kelompok perlakuan mendapatkan tambahan terapi musik Mozart. Menurut Budhiman (2002) hal-hal yang mempengaruhi keberhasilan terapi untuk anak autis adalah 1) berat atau ringannya gejala, 2) usia, 3) kecerdasan, 4) bicara dan berbahasa, 5) terapi yang intensif dan terpadu. Responden dalam penelitian ini memiliki gejala anak masih dapat berbicara dan berbahasa, serta ekolalia dan merespon pertanyaan yang kadang-kadang masih ditunjukkan oleh anak, kondisi ini mempermudah penyampaian instruksi dan komunikasi dua arah antara peneliti dan anak autisme sehingga anak autisme lebih mudah untuk diarahkan dalam proses pemberian terapi musik. Jika ditinjau dari segi usia, usia responden dalam penelitian adalah antara 7-10 tahun di mana pada usia ini perkembangan otak anak masih baik, sehingga pemberian stimulus dari luar yang intensif dapat membantu mengurangi gangguan perkembangan pada otak. Kondisi ini akan lebih baik jika ditunjang dengan faktor kecerdasan anak, kecerdasan anak autisme tanpa kelainan penyerta umumnya menunjukkan hasil test IQ luar biasa dan diatas rerata normal, responden pada penelitian ini adalah anak autis dengannilai IQ ≥ 80, anak autis dengan kecerdasan normal atau diatasnya akan lebih mudah menerima dan menginterpretasikan stimulus yang diterima dari luar sehingga perkembangan anak autis akan menjadi lebih baik jika diberikan stimulus secara intensif dan berkelanjutan. Data lain yang didapatkan adalah sebagian besar responden sudah bersekolah selama 1 hingga 2 tahun, selain itu selama penelitian berlangsung, responden tetap mendapatkan terapi sesuai dengan program sekolah, sehingga perubahan perilaku menjadi lebih baik. Semua faktor-faktor diatas akan mempermudah anak autisme merespon terapi yang diberikan sehingga mampu memberikan hasil yang bermakna terhadap penurunan perilaku tantrum sesudah intervensi. Hasil uji statistik menggunakan Mann Whitney U-test yang membandingkan nilai post test kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dengan nilai kemaknaan α ≤ 0,05 didapatkan hasil p = 0,027. Hasil ini menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi musik Mozart terhadap penurunan perilaku tantrum anak autisme. Perbaikan perilaku dapat dilihat melalui penurunan kategori tantrum dari berat menjadi sedang sebanyak 4 responden dan dari kategori sedang menjadi ringan sebanyak 2 responden, ditunjukkan dengan responden yang mulanya sering menangis, berteriak, merusak barang dan menyakiti orang menjadi jarang melakukan perilaku yang sama Respon responden pada awal pemberian terapi musik Mozart adalah sebagian besar responden belum dapat menikmati musik yang diperdengarkan bahkan ada yang menangis, menjejakkan kaki dan menutup telinga, hal ini dikarenakan anak autis tersebut masih asing dengan alunan musik yang diperdengarkan dan masih menyesuaikan diri. Sesuai dengan Anantasari (2006) menyatakan bahwa anak autisme dengan perilaku tantrum sulit beradaptasi dengan situasi dan orang baru, pada kondisi ini anak cenderung lebih ekspulsif. Pada hari ke dua responden sudah mulai menikmati musik Mozart, ditunjukkan dengan responden yang mulanya tantrum menanggis, menutup telinga dan menjejakkan kaki menjadi tidak melakukan hal yang sama dan mengikuti gerakan musik. Hal ini disebabkan karena terapi musik yang diberikan telah potensial meningkatkan minat dan relaksasi sehingga responden mampu mengatur perilaku dan mekspresikan emosi sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Druckman & Bjork (2000) bahwa getaran yang dihasilkan oleh musik setelah melewati proses auditori, stimulus akan merangsang penurunan gelombang teta dan membuat anak autisme jatuh dalam keadaan consciousness (kesadaran) yang akan meningkatkan kemampuan menganalisa dan menyeleksi impuls sensori sehingga mampu meningkatkan minat dan relaksasi. Hari ke tiga sampai hari ke sembilan ketika responden diarahkan untuk saling bergandengan dan menari bersama-sama, responden tampak nyaman dan tidak menunjukkan perilaku tantrum, salah satu responden bahkan mampu menirukan suara alunan musik. Djohan (2003) menyatakan bahwa terapi musik yang di kombinasikan dengan gerakan (kinetic) akan menghasilkan komponen ritmis yang mampu meningkatkan perhatian dan sekaligus membantu anak mengekspresikan diri dan memunculkan kegembiraan. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan kategori setelah dilakukan kegiatan sehari-hari dalam kelas, hal ini dikarenakan metode reinforcement kurang dapat menstimulasi perubahan perilaku, dimana perilaku akan terulang jika tidak ada reinforcement, selain itu juga dikarena pada sistem saraf otak tidak mendapatkan stimulus secara langsung melalui terapi musik Mozart sesuai dengan teori dari Menoon & Levitin (2005) menyatakan bahwa anak autisme yang tidak mendapatkan terapi musik Mozart akan lebih sering mengalami tantrum karena fungsi amygdala dan hippocampus akan menjadi semakin menurun. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Sebelum dilakukan intervensi terapi musik Mozart, anak autisme pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan perilaku tantrum. Hal ini dikarenakan pada anak autisme terjadi kerusakan sistem limbik saraf pusat di daerah hipocampus dan amygdala sehingga kontrol emosi menjadi kurang baik. 2. Setelah dilakukan intervensi terapi musik Mozart, perilaku tantrum pada kelompok perlakuan berkurang . Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terjadi perubahan, hal ini dikarenakan sistem saraf pusat sistem limbik tidak mendapatkan stimulus secara langsung. 3. Terapi musik Mozart dapat menurunkan perilaku tantrum pada anak autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya, dikarenakan getaran yang dihasilkan musik Mozart mampu menstimulus hippocampus dan amygdala untuk meningkatkan fungsinya dalam kontrol emosi. Saran 1. Bagi Institusi diharapkan terapi musik Mozart dapat digunakan sebagai alternatif terapi yang diberikan secara continue dan konsisten setiap hari dengan durasi yang lebih lama dan pemberian terapi sebaiknya dilakukan dengan kelas terpisah sesuai derajat kategori perilaku tantrum agar homogen,sehingga diharpakan akan lebih efektif dalam mengurangi gangguan perilaku tantrum pada anak autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya. 2. Bagi orang tua diharapkan lebih berperan aktif dalam memberikan stimulus pada anak autisme, lebih intensif dalam melakukan observasi perilaku tantrum anak dan lebih sering melakukan interaksi dengan pihak sekolah terkait dengan perkembangan anak serta menjadi support system dengan menerapkan terapi musik Mozart di rumah sehingga mampu mengoptimalkan perbaikan perilaku tantrum. 3. Bagi terapis dan pengajar diharapkan dapat mengkombinasikan terapi musik mozart dengan senam atau tarian dengan durasi yang lebih lama sehingga memperoleh hasil yang lebih optimal untuk menghilangkan gangguan perilaku tantrum pada autisme di Sekolah Autis Harapan Bunda. KEPUSTAKAAN Abedikoepaei, M. (2013). Sound Therapy: an Experimental Study with Autistic Children. Journal Procedia - Social and Behavioral Sciences, 626-630. AMTA. (2010). Music Theraphy Make a Difference. Wasington Dc: Musictheraphy. Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku Agresif pada Anak. Yogyakarta: KANISUS. Asyarudin, & sopandi. (2013). Upaya Mengurangi Tantrum Melalui Bermain Bola Bagi Anak Autis di SLB Fan Redha Padang . Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus, 280288. Bektiningsih. (2009). Program Terapi Anak Autis di SLB negeri Semarang. Jurnal Kependidikan, 85-110. Berger, D. (2002). Music Therapy, and The Autistic Child Sensory Integration. London dan Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher. Bonny Danuatmaja. (2003). Terapi Anak Autis. Jakarta: Puspa Swara. Budhiman. (2002). Langkah Awal Menangulangi Autisme dengan Memperbaiki Metabolisme Tubuh. Jakarta: Nirmala. Corsini. J.R. (2001). The Dictionary of Psychology,New York : Brunner/Rout. De l’Etoile, S. (2010). Neurologic Music Therapy. Journal Music and Medicine, 78-84. Djohan. (2006). Terapi Musik. Yogyakarta: Galangpress. Druckman, D.& R.A.Bjork (2000). Learning, Remembering, Believing: Enhanced Human Performance. National Academy Press. Hadi. (2012). Perbedaan Efektifitas Terapi Musik Mozart dan Musik Murotal terhadap Perkembangan Kognitif Anak Autis di SLB Autis Surakarta. GASTER Journal, 1-10. Hardani, R. S. (2012). Metode ABA (APPLIED BEHAVIOUR ANALYSIS) : Kemampuan Bersosialisasi. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 1-9. Kaplan, R., & Steele, A. (2005). An analysis of music therapy program goals and outcomes for clients with diagnoses on the autism spectrum. Journal of Music Therapy, 2-19. Kuwanto, & Natali. (2001). Pengaruh Terapi Musik Terhadap Keterampilan Berbahasa Anak Autis. Anima, Indonesian Psychological Journal, 190-214. Maulana. (2010). Mendidik Anak Autis dan Gangguan Perilaku Lain. Yogyakarta: AR.Medi group. Menoon, V., & Levitin, D. (2005). The Rewards of Music Listening: Response and Physiological. New York: NeuroImage. Tomatis. (2005). The Ear and The Voice The Scare Crow Press. Sound Theraphy Internasional. Paris. Trisilvia, R. (2010). Strategi Pembelajaran untuk Mengatasi Perilaku Tantrum pada Anak Autistik. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 1-10. Waters, & Hovanetz. (2009). Separate and Combined Effect of Visual Schedule and Extinction Plus Differential Reinforcement On Problem Behavior Occasioned By Transitions. Journal of Applied Behaviour Analysis, 309-313. .