PENGARUH TERAPI MUSIK MOZART TERHADAP PENURUNAN

advertisement
PENGARUH TERAPI MUSIK MOZART
TERHADAP PENURUNAN PERILAKU TANTRUM
PADA ANAK AUTISME DI SEKOLAH AUTIS HARAPAN BUNDA SURABAYA
Siti Maria, *Rizki Fitryasari S.Kep.,Ns.,M.,Kep, *Hanik Endang.,S.Kep.,Ns.,M.Kep
Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya
Kampus C
Mulyorejo Surabaya 60115 Telp (031) 5913752 ,5913754 ,Fax. (031)5913257
Email: [email protected]
ABSTRACT
Tantrum behavior disorder is the expulsive behavior that makes autist children difficult to
control their emotion and it’s caused by brain damage in the hippocampus and amygdala
system. The purpose of Mozart's music is to stimulate the brain wave to increase it’sfunction
of control emotion. This study used quasi-exsperimental design taken by purposive sampling
and the population was autism children at Harapan Bunda Autism School Surabaya, with
14responden as sample, consisting of 7 children in treatment groups and 7 in control groups.
Independen variable was Mozart music and dependen variable was tantrum behavior Data
were collected using the observation sheet of problem behavior rating scale and analyzed
using the Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney test with significance level of p <
0.05. The results revealed that Wilcoxon signed rank test had p = 0.016 in treatment group
and = 0.059 in control group, while the Mann Whitney test had p = 0.027. It was mean there
was significant effect of Mozart music therapy to decrease tantrum behavior. It can be
concluded that Mozart's music which being listened continuosly can improvethe interest and
relaxation of children, so they can control their emotion and behavior, beside thatthe duration
of therapy, age, and intelectuality of respondents affected the therapy session. This therapy is
recommended to parents, institution and therapists to be used consistently and continously in
helping lowering tantrum behavior in autism.
.
Keywords: autism, Mozart music, tantrum behavior
PENDAHULUAN
Autisme merupakan gangguan
perkembangan pervasif pada anak,
ditandai dengan penyimpangan interaksi
sosial, hambatan dalam komunikasi dan
gangguan pola perilaku (Maulana, 2010).
Gangguan pola perilaku merupakan
permasalahan signifikan pada anak
autisme, salah satu gangguan perilaku
yang dirasa sangat menganggu adalah
perilaku tantrum.Tantrum adalah suatu
ledakan emosi kuat sekali, disertai rasa
marah, dan serangan agresif, disebabkan
karena kelainan pada sistem saraf pusat
(Anantasari, 2006). Berdasarkan penelitian
Asyarudin dan Sopandi (2013) anak
autisme dengan perilaku tantrum memiliki
karakteristik ledakan emosi berlebihan dan
tidak terkontrol berupamenangis, menjerit*: Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Surabaya
jerit, berguling, serta menendang barang.
Hasil studi observasi oleh Trisilvia (2010)
menyatakan bahwa perilaku tantrum jika
dibiarkan atau tidak diterapi secara tepat
dapat
menyebabkan
anak
autis
memencederai diri sendiri dan orang lain,
oleh karena itu diperlukan suatu terapi
untuk mengurangi gangguan perilaku ini.
Menurut Sound Therapy System (2009)
terapi musik Mozart merupakan salah satu
terapi yang digunakan untuk menurunkan
gangguan perilaku anak autisme dengan
cara memberikan stimulus pada sistem
saraf pusat melalui gelombang suara.
Autisme terjadi pada 5 dari setiap
10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita
laki-laki empat kali lebih besar
dibandingkan perempuan. Hasil survei di
beberapa negara menunjukkan bila 10-20
tahun lalu jumlah penyandang autisme
hanya 2-4 anak per 10.000 anak, sekarang
ini jumlah tersebut meningkat menjadi 1520 anak atau 1 per 500 anak. (Maulana,
2010). Menurut Badan Pusat Statistik
(2010) dalam (Hardani, 2012) jumlah
penduduk Indonesia lebih dari 237,5 juta
dan laju pertumbuhan penduduk sebesar
1,14% sehingga jumlah penyandang
autisme mencapai 2,4 juta orang. Studi
awal yang dilakukan peneliti di Sekolah
Autis Harapan Bunda Surabaya didapatkan
data jumlah anak autisme sebanyak 25
orang, 60% dari total anak autisme
menunjukkan pola perilaku tantrum.
Gejala perilaku tantrum pada anak autisme
di sekolah ini berbeda-beda, gejala paling
sering adalah anak menangis sambil
berteriak dan menendang barang. Terapi
untuk mengurangi gangguan perilaku
tantrum di sekolah ini adalah behavior
therapy
dengan
metode
loovas
menggunakan
teknik
reinforcement,
namun terapi tersebut belum bisa
menurunkan perilaku tantrum pada anak
autisme.
Perilaku tantrum pada autisme
muncul sebagai manifestasi akibat adanya
gangguan neurobiologis pada sistem saraf
pusat yaitu pada sistem limbik (Saputro,
2005). Sistem ini terdapat daerah yang
disebut hippocampus dan amygdala, selsel neuron pada kedua daerah tersebut
sangat padat dan kecil-kecil sehingga
fungsinya menjadi kurang baik, oleh
karena itu anak autisme umumnya kurang
dapat mengendalikan emosinya, agresif
terhadap diri sendiri maupun orang lain
(Maulana,
2010).
Sejumlah
riset
menjelaskan bahwa musik Mozart
memiliki manfaat sangat besar bagi
peningkatan
kualitas
hidup
anak
berkebutuhan khusus. Menurut penelitian
De I’Etole (2010) Anak autisme masih
mampu mendeteksi musik meskipun
memiliki gangguan pada sistem syaraf
pusat. Pengaruh musik Mozart terhadap
perubahan perilaku tantrum dimulai ketika
energi getaran suara melalui telinga diubah
menjadi pesan elektrokimia d an dibawah
oleh saraf pendengaran menuju sistem
saraf pusat untuk di interpretasikan.Proses
ini akan mengaktifasi amygdala, dan
hipocampus
untuk
meningkatkan
fungsingnya
dalam
kontrol
mood,
perilaku, agresi dan emosi sehingga
perilaku tantrum dapat berkurang.
Sebaliknya, Anak autismeyang tidak
mendapatkan terapi musik Mozart akan
lebih sering mengalami tantrum karena
fungsi amygdala, dan hipocampus akan
menjadi semakin menurun jika tidak
mendapatkan stimulus (Menoon & Levitin,
2005).
Musik Mozart memiliki ritme,
melodi dan frekuensi lebih tinggi dari jenis
musiklain yaitu lebih dari 8000 Hz,
meskipun diberikan dalam dosis sedikit,
musik ini mampu memberikan stimulus
pada sistem saraf pusat (amygdala dan
hipocampus) untuk meningkatkan fungsi
sebagai kontrol emosi (Tomatis, 2005).
Hasil penelitian Widajati dan Nurfausiah
(2010) menunjukkan bahwa terapi musik
Mozart diberikan selama 30 menit efektif
untuk menurunkan perilaku hiperaktif pada
autisme. Berger (2002) menyatakan bahwa
musik Mozart sebaiknya di dengarkan
selama 30 menit atau lebih, semakin sering
terapi diberikan jaringan antar neuron
sistem saraf pusat akan semakin baik
sehingga potensial meningkatkan minat,
relaksasi, aktivitas, perilaku sosial,
mengarahkan
ketegangan,
mengatur
perilaku
dan
mengekspresikan
emosi.Berdasarkan beberapa fakta diatas,
maka peniliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan tujuan menganalisis
apakah terapi musik Mozart berpengaruh
terhadap penurunan perilaku tantrum pada
anak autisme di Sekolah Autis Harapan
Bunda Surabaya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian yang dilakukan menggunakan
quasy experiment dengan pre post test
design dimana ciri tipe penelitian ini
adalah menggunakan hubungan sebab
akibat dengan cara melibatkan kelompok
kontrol
di
samping
kelompok
eksperimental. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh anak autisme di Sekolah
Autis Harapan Bunda Surabaya sebanyak
25 orang.
Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik purposive sampling, yaitu
suatu teknik penetapan sampel dengan cara
memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan kehendak peneliti (tujuan atau
masalah dalam penelitian). Jumlah sampel
dalam
penelitian
ini
ditetapkan
berdasarkan kriteria inklusi sebagai
berikut:
1) Autis tanpa retradasi mental (nilai IQ ≥
80)
2) Anak autis berusia 7-10 tahun
3) Anak autis yang belum pernah
mendapatkan terapi musik Mozart
sebelumnya
4) Anak autis dengan gangguan perilaku
tantrum
Besar sampel dalam penelitian ini
adalah sejumlah klien yang memenuhi
kriteria inklusi untuk menjadi sampel yaitu
sebanyak 14 orang terdiri dari 7 orang
kelompok perlakuan (intervensi terapi
musik Mozart) dan 7 orang kelompok
kontrol (tanpa intervensi).
Variabel
independen
dalam
penelitian ini adalah terapi musik Mozart
dan Variabel dependen adalah perilaku
tantrum pada anak autisme. Instrumen
untuk variabel independen adalah SAK
(Satuan Acara Kegiatan) dan variabel
independen
menggunakan
instrumen
lembar obrservasi behavior problem rating
scale. Pengumpulan data pre test perilaku
tantrum dilakukan 1 hari sebelum
intervensi, kemudian diberikan intervensi
terapi musik Mozart sebanyak 9 kali dalam
2 minggu dengan durasi tiap pertemuan
seblama 30 menit, setelah intervensi
terakhir kemudian dilakukan post test
terhadap perilaku tantrum.
Data yang telah dikumpulkan
kemudian dianalisis mengunakan uji
statistik Wilcoxon Sign Rank Test untuk
mengetahui perbedaan perilaku tantrum
sebelum dan sesudah diberikan terapi
musik Mozart dan dilakukan uji Mann
Whitney U-Test untuk mengetahui
pengaruh terapi musik Mozart terhadap
penurunan perilaku tantrum dengan tingkat
kemaknaan α ≤ 0,05.
HASIL
Hasil
observasi
perilaku
tantrum
menggunakan lembar observasi behavior
problem rating scale pada anak autisme di
Sekolah Autis Harapan Bunda surabaya
didapatkan data sebagai berikut:
1. Perilaku tantrum anak autisme sebelum
dilakukan terapi musik Mozart
60%
40%
20%
0%
57%
43%
57%
43%
perlakuan
0%0
kontrol
Gambar 1. Hasil observasi perilaku
tantrum sebelum dilakukan intervensi
terapi musik Mozart pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol di
Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya
tanggal 03 Januari 2014-16 Januari 2014
Gambar gambar 1 menunjukkan
bahwa perilaku tantrum pada kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol sebelum
dilakukan intervensi terapi musik Mozart
sebagian besar berada pada kategori berat
sebanyak 57% (4 orang).
2. Perilaku tantrum anak autisme setelah
dilakukan terapi musik Mozart
80%
60%
40%
20%
0%
71%
29%
0%
43%
57%
0%
perlakuan
kontrol
Gambar 2. Hasil observasi perilaku
tantrum setelah dilakukan intervensi terapi
musik Mozart pada kelompok perlakuan
dan kelompok kontrol di Sekolah Autis
Harapan Bunda Surabaya tanggal 03
Januari 2014-16 Januari 2014
Gambar 2 menunjukkan bahwa
hasil post test perilaku tantrum pada
kelompok perlakuan setelah dilakukan
intervensi terapi musik Mozart sebagian
besar berada pada kategori sedang 71% (5
orang), sedangkan pada kelompok kontrol
sebagian besar berada pada kategori
berat57% (4 orang).
3. Pengaruh terapi Musik Mozart terhadap
penurunan perilaku tantrum autisme.
Tabel 1. Analisa hasil pre test dan post
test perilaku tantrum anak autis di
Sekolah Autis Harapan Bunda Surabaya
Kategori
Ringan
Sedang
Berat
Total
Hasil
Jumlah responden kelompok
Jumlah responden kelompok
perlakuan
kontrol
Pre
%
Post
%
Pre
%
Post
%
test
test
test
test
0
2
29
0
0
0
0
0
4
57
5
71
4
57
3
43
3
43
0
0
3
43
4
57
7
100
7
100
7
100
7
100
Wilcoxon signed rank test
Wilcoxon signed rank test
p = 0,016
p = 0,059
Mann whitney test
p = 0,027
Hasil uji statistik menggunakan
wilcoxon signed rank test dengan tingkat
kemaknaan α ≤ 0,05, pada kelompok
perlakuan didapatkan hasil p = 0,016
artinya terdapat perbedaan perilaku
tantrum antara sebelum dan sesudah
intervensi. Sedangkan pada kelompok
kontrol didapatkan hasil p = 0,059 artinya
tidak ada perbedaan signifikan antara nilai
pre test dan post test.
Hasil uji statistik Mann Whitney
didapatkan nilai p =0,027 maka p ≤ 0,05
artinya H1 diterima yaitu ada pengaruh
terapi musik Mozart terhadap penurunan
perilaku tantrum pada anak autisme.
Terapi musik Mozart mampu menstimulus
hippocampus dan amygdala untuk
meningkatkan fungsinya dalam kontrol
emosi
sehingga
perilaku
tantrum
berkurang.
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan intervensi musik
Mozart didapatkan data bahwa perilaku
tantrum
autisme
kedua
kelompok
responden adalah sama, sebanyak 57%
dalam kategori berat dan 43% dalam
kategori sedang. Responden dengan
kategori berat menunjukkan gejala
perilaku tantrum berupa menangis,
menjerit, memberontak, membenturkan
kepala, menyakiti orang lain, merusak
barang dan menjejakan kaki dengan
frekuensi sangat sering ≥ 3 kali dalam
seharidan kategori sedang menunjukkan
gejala perilaku tantrum berupa menangis,
menjerit, memberontak, membenturkan
kepala, menyakiti orang lain, merusak
barang dan menjejakan kaki dengan
frekuensi sering yaitu 2 kali dalam sehari.
Tantrum pada autisme terjadi akibat
ketidakmapuan dalam mengontrol emosi,
hal ini disebabkan karena kelainan sistem
saraf pusat. Selain itu beberapa faktor
ekternal juga memperberat perilaku
tantrum muncul pada autisme seperti
keterlibatan orang tua, lama anak
mendapatkan
terapi,
dan
proses
pembelajaran di sekolah (Corsini, 2001 &
Trisilvia, 2010).
Responden
dengan
kategori
perilaku tantrum berat adalah anak autisme
yang berusia 7 tahun dengan lama sekolah
1 tahun. Anak autisme yang belum
mendapatkan terapi secara maksimal akan
menunjukkan gejala perilaku tantrum yang
lebih sering, karena terapi untuk autisme
akan efektif jika diberikan secara continue
dan konsisten dalam jangka panjang. Pada
anak autisme dengan usia 8, 9, dan 10
tahun yang mengalami keterlambatan
pemberian terapi di Sekolah juga akan
menunjukkan kondisi tantrum yang lebih
berat, seperti yang terjadi pada responden
no. 7 kelompok perlakuan. Kondisi lain
yang memperberat tantrum adalah proses
pembelajaran dikelas yang monoton
dengan waktu istirahat yang pendek
membuat responden menjadi jenuh, lelah
dan mudah marah.
Selain
itu
data
demografi
menunjukkan sebagian besar responden
memiliki orang tua dengan latar belakang
pendidikan perguruan tinggi serta hampir
keseluruhan orang tua responden bekerja.
orang tua sebagai orang yang paling
bertanggung
jawab
terhadap
perkembangan anak perlu meningkatkan
pengetahuan mereka mengenai terapi pada
anak autisme, orang tua juga perlu
memberikan stimulus dan menguasai
terapi karena orang tua adalah orang yang
selalu bersama anak sedangkan terapis
hanya sesaat dan bergantian. Kondisi
orang tua responden yang sebagian besar
bekerja sebagai wiraswasta dengan jam
kerja tidak menentu dari pagi hingga
malam menyebabkan orang tua tidak
memiliki
cukup
waktu
untuk
memperhatikan
perkembangan
anak
mereka saat dirumah, sehingga peran
orang tua sebagai support system dalam
memberikan stimulus, memotivasi dan
membimbing anak menjadi tidak optimal.
Orang tua cenderung mempercayakan
sepenuhnya proses terapi pada pihak
sekolah tanpa terlibat aktif terkait
perkembangan perilaku anak mereka.
Sehingga
meskipun
anak
sudah
mendapatkan terapi di sekolah dan
pengetahuan orang tua tentang cara
memperbaiki perilaku anak autisme cukup
baik, namun keterlibatan orang tua yang
kurang menyebabkan perilaku tantrum
pada autisme terus muncul dan tidak
membaik. Hal ini sesuai dengan teori yang
diungkapkan oleh Trisilvia (2010) bahwa
beberapa
faktor
eksternal
dapat
memperberat gejala perilaku tantrum
muncul pada autisme, diantaranya adalah
tidak adanya peran orang tua sebagai
support sistem. Bonny (2003) juga
menyatakan bahwa interaksi orang tua
dalam memberikan dukungan pada anak
akan lebih membantu dalam terapi
terhadap anak autisme, orang tua yang
melaksanakan terapi secara intensif
terhadap anak akan memperoleh hasil
memuaskan dan menunjukkan kemajuan
sangat pesat.
Setelah dilakukan intervensi musik
Mozart,
didapatkan
hasil
adanya
penurunan
perilaku
tantrum
pada
kelompok perlakuan yaitu termasuk
kategori ringan (29%) dan kategori sedang
(71%). Responden dalam kategori ringan
merupakan responden pada nilai pre test
termasuk dalam kategori sedang dan pada
post test memperoleh nilai 0 (tidak pernah)
pada pernyataan: membenturkan kepala,
merusak barang dan menyakiti orang lain.
Responden dengan kategori sedang
merupakan responden yang masuk dalam
kategori berat pada pre test. Sedangkan
pada post test kelompok kontrol tidak
terjadi penurunan perilaku tantrum.
Perbedaan hasil post test pada kelompok
perlakuan
dan
kelompok
kontrol
disebabkan karena pada kelompok
perlakuan mendapatkan tambahan terapi
musik Mozart.
Menurut Budhiman (2002) hal-hal
yang mempengaruhi keberhasilan terapi
untuk anak autis adalah 1) berat atau
ringannya gejala, 2) usia, 3) kecerdasan, 4)
bicara dan berbahasa, 5) terapi yang
intensif dan terpadu. Responden dalam
penelitian ini memiliki gejala anak masih
dapat berbicara dan berbahasa, serta
ekolalia dan merespon pertanyaan yang
kadang-kadang masih ditunjukkan oleh
anak,
kondisi
ini
mempermudah
penyampaian instruksi dan komunikasi
dua arah antara peneliti dan anak autisme
sehingga anak autisme lebih mudah untuk
diarahkan dalam proses pemberian terapi
musik. Jika ditinjau dari segi usia, usia
responden dalam penelitian adalah antara
7-10 tahun di mana pada usia ini
perkembangan otak anak masih baik,
sehingga pemberian stimulus dari luar
yang intensif dapat membantu mengurangi
gangguan perkembangan pada otak.
Kondisi ini akan lebih baik jika ditunjang
dengan faktor kecerdasan anak, kecerdasan
anak autisme tanpa kelainan penyerta
umumnya menunjukkan hasil test IQ luar
biasa dan diatas rerata normal, responden
pada penelitian ini adalah anak autis
dengannilai IQ ≥ 80, anak autis dengan
kecerdasan normal atau diatasnya akan
lebih
mudah
menerima
dan
menginterpretasikan
stimulus
yang
diterima dari luar sehingga perkembangan
anak autis akan menjadi lebih baik jika
diberikan stimulus secara intensif dan
berkelanjutan. Data lain yang didapatkan
adalah sebagian besar responden sudah
bersekolah selama 1 hingga 2 tahun, selain
itu selama penelitian berlangsung,
responden tetap mendapatkan terapi sesuai
dengan program sekolah, sehingga
perubahan perilaku menjadi lebih baik.
Semua
faktor-faktor
diatas
akan
mempermudah anak autisme merespon
terapi yang diberikan sehingga mampu
memberikan hasil yang bermakna terhadap
penurunan perilaku tantrum sesudah
intervensi.
Hasil uji statistik menggunakan
Mann
Whitney
U-test
yang
membandingkan nilai post test kelompok
perlakuan dan kelompok kontrol dengan
nilai kemaknaan α ≤ 0,05 didapatkan hasil
p = 0,027. Hasil ini menunjukkan bahwa
ada pengaruh terapi musik Mozart
terhadap penurunan perilaku tantrum anak
autisme. Perbaikan perilaku dapat dilihat
melalui penurunan kategori tantrum dari
berat menjadi sedang sebanyak 4
responden dan dari kategori sedang
menjadi ringan sebanyak 2 responden,
ditunjukkan dengan responden yang
mulanya sering menangis, berteriak,
merusak barang dan menyakiti orang
menjadi jarang melakukan perilaku yang
sama
Respon responden pada awal
pemberian terapi musik Mozart adalah
sebagian besar responden belum dapat
menikmati musik yang diperdengarkan
bahkan ada yang menangis, menjejakkan
kaki dan menutup telinga, hal ini
dikarenakan anak autis tersebut masih
asing dengan alunan musik yang
diperdengarkan dan masih menyesuaikan
diri. Sesuai dengan Anantasari (2006)
menyatakan bahwa anak autisme dengan
perilaku tantrum sulit beradaptasi dengan
situasi dan orang baru, pada kondisi ini
anak cenderung lebih ekspulsif. Pada hari
ke dua responden sudah mulai menikmati
musik Mozart, ditunjukkan dengan
responden
yang
mulanya
tantrum
menanggis,
menutup
telinga
dan
menjejakkan
kaki
menjadi
tidak
melakukan hal yang sama dan mengikuti
gerakan musik. Hal ini disebabkan karena
terapi musik yang diberikan telah potensial
meningkatkan minat dan relaksasi
sehingga responden mampu mengatur
perilaku dan mekspresikan emosi sesuai
dengan teori yang diungkapkan oleh
Druckman & Bjork (2000) bahwa getaran
yang dihasilkan oleh musik setelah
melewati proses auditori, stimulus akan
merangsang penurunan gelombang teta
dan membuat anak autisme jatuh dalam
keadaan consciousness (kesadaran) yang
akan
meningkatkan
kemampuan
menganalisa dan menyeleksi impuls
sensori sehingga mampu meningkatkan
minat dan relaksasi. Hari ke tiga sampai
hari ke sembilan ketika responden
diarahkan untuk saling bergandengan dan
menari bersama-sama, responden tampak
nyaman dan tidak menunjukkan perilaku
tantrum, salah satu responden bahkan
mampu menirukan suara alunan musik.
Djohan (2003) menyatakan bahwa terapi
musik yang di kombinasikan dengan
gerakan (kinetic) akan menghasilkan
komponen
ritmis
yang
mampu
meningkatkan perhatian dan sekaligus
membantu anak mengekspresikan diri dan
memunculkan kegembiraan. Sedangkan
pada kelompok kontrol tidak terjadi
perubahan kategori setelah dilakukan
kegiatan sehari-hari dalam kelas, hal ini
dikarenakan metode reinforcement kurang
dapat menstimulasi perubahan perilaku,
dimana perilaku akan terulang jika tidak
ada reinforcement, selain itu juga dikarena
pada sistem saraf otak tidak mendapatkan
stimulus secara langsung melalui terapi
musik Mozart sesuai dengan teori dari
Menoon & Levitin (2005) menyatakan
bahwa anak autisme yang tidak
mendapatkan terapi musik Mozart akan
lebih sering mengalami tantrum karena
fungsi amygdala dan hippocampus akan
menjadi semakin menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
dapat disimpulkan sebagai berikut
1. Sebelum dilakukan intervensi terapi
musik Mozart, anak autisme pada
kelompok perlakuan dan kontrol
menunjukkan perilaku tantrum. Hal ini
dikarenakan pada anak autisme terjadi
kerusakan sistem limbik saraf pusat di
daerah hipocampus dan amygdala
sehingga kontrol emosi menjadi kurang
baik.
2. Setelah dilakukan intervensi terapi
musik Mozart, perilaku tantrum pada
kelompok perlakuan berkurang .
Sedangkan pada kelompok kontrol
tidak terjadi perubahan, hal ini
dikarenakan sistem saraf pusat sistem
limbik tidak mendapatkan stimulus
secara langsung.
3. Terapi musik Mozart dapat menurunkan
perilaku tantrum pada anak autisme di
Sekolah
Autis
Harapan
Bunda
Surabaya, dikarenakan getaran yang
dihasilkan musik Mozart mampu
menstimulus
hippocampus
dan
amygdala
untuk
meningkatkan
fungsinya dalam kontrol emosi.
Saran
1. Bagi Institusi diharapkan terapi musik
Mozart dapat digunakan sebagai
alternatif terapi yang diberikan secara
continue dan konsisten setiap hari
dengan durasi yang lebih lama dan
pemberian terapi sebaiknya dilakukan
dengan kelas terpisah sesuai derajat
kategori
perilaku
tantrum
agar
homogen,sehingga diharpakan akan
lebih efektif dalam mengurangi
gangguan perilaku tantrum pada anak
autisme di Sekolah Autis Harapan
Bunda Surabaya.
2. Bagi orang tua diharapkan lebih
berperan aktif dalam memberikan
stimulus pada anak autisme, lebih
intensif dalam melakukan observasi
perilaku tantrum anak dan lebih sering
melakukan interaksi dengan pihak
sekolah terkait dengan perkembangan
anak serta menjadi support system
dengan menerapkan terapi musik
Mozart di rumah sehingga mampu
mengoptimalkan perbaikan perilaku
tantrum.
3. Bagi terapis dan pengajar diharapkan
dapat mengkombinasikan terapi musik
mozart dengan senam atau tarian
dengan durasi yang lebih lama sehingga
memperoleh hasil yang lebih optimal
untuk
menghilangkan
gangguan
perilaku tantrum pada autisme di
Sekolah Autis Harapan Bunda.
KEPUSTAKAAN
Abedikoepaei, M. (2013). Sound Therapy:
an Experimental Study with
Autistic
Children.
Journal
Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 626-630.
AMTA. (2010). Music Theraphy Make a
Difference.
Wasington
Dc:
Musictheraphy.
Anantasari. (2006). Menyikapi Perilaku
Agresif pada Anak. Yogyakarta:
KANISUS.
Asyarudin, & sopandi. (2013). Upaya
Mengurangi Tantrum Melalui
Bermain Bola Bagi Anak Autis di
SLB Fan Redha Padang . Jurnal
Ilmiah Pendidikan Khusus, 280288.
Bektiningsih. (2009). Program Terapi
Anak Autis di SLB negeri
Semarang. Jurnal Kependidikan,
85-110.
Berger, D. (2002). Music Therapy, and
The Autistic Child Sensory
Integration.
London
dan
Philadelphia: Jessica Kingsley
Publisher.
Bonny Danuatmaja. (2003). Terapi Anak
Autis. Jakarta: Puspa Swara.
Budhiman. (2002). Langkah Awal
Menangulangi Autisme dengan
Memperbaiki Metabolisme Tubuh.
Jakarta: Nirmala.
Corsini. J.R. (2001). The Dictionary of
Psychology,New
York
:
Brunner/Rout.
De l’Etoile, S. (2010). Neurologic Music
Therapy. Journal Music and
Medicine, 78-84.
Djohan.
(2006).
Terapi
Musik.
Yogyakarta: Galangpress.
Druckman, D.&
R.A.Bjork (2000).
Learning,
Remembering,
Believing:
Enhanced
Human
Performance. National Academy
Press.
Hadi. (2012). Perbedaan Efektifitas Terapi
Musik Mozart dan Musik Murotal
terhadap Perkembangan Kognitif
Anak Autis di SLB Autis
Surakarta. GASTER Journal, 1-10.
Hardani, R. S. (2012). Metode ABA
(APPLIED
BEHAVIOUR
ANALYSIS)
:
Kemampuan
Bersosialisasi. Jurnal Keperawatan
Soedirman
(The
Soedirman
Journal of Nursing), 1-9.
Kaplan, R., & Steele, A. (2005). An
analysis of music therapy program
goals and outcomes for clients with
diagnoses on the autism spectrum.
Journal of Music Therapy, 2-19.
Kuwanto, & Natali. (2001). Pengaruh
Terapi
Musik
Terhadap
Keterampilan Berbahasa Anak
Autis.
Anima,
Indonesian
Psychological Journal, 190-214.
Maulana. (2010). Mendidik Anak Autis dan
Gangguan
Perilaku
Lain.
Yogyakarta: AR.Medi group.
Menoon, V., & Levitin, D. (2005). The
Rewards of Music Listening:
Response and Physiological. New
York: NeuroImage.
Tomatis. (2005). The Ear and The Voice
The Scare Crow Press. Sound
Theraphy Internasional. Paris.
Trisilvia, R. (2010). Strategi Pembelajaran
untuk Mengatasi Perilaku Tantrum
pada Anak Autistik. Jurnal Ilmiah
Ilmu Pendidikan, 1-10.
Waters, & Hovanetz. (2009). Separate and
Combined Effect of Visual
Schedule and Extinction Plus
Differential Reinforcement On
Problem Behavior Occasioned By
Transitions. Journal of Applied
Behaviour Analysis, 309-313.
.
Download