Stroke adalah suatu keadaan yang timbul karena terjadi gangguan peredaran darah di otak sehingga menyebabkan terjadinya kematian jaringan otak dan mengakibatkan seseorang menderita kelumpuhan atau kematian (Batticaca, 2008). Stroke disebabkan gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi susunan syaraf pusat. Defisit neurologisnya terjadi secara mendadak dan berlangsung selama 24 jam. Stroke terjadi karena kekurangan suplai oksigen yang menuju otak, pecahnya pembuluh darah di otak, dan adanya sumbatan bekuan darah di otak. Faktor risiko yang memperbesar kemungkinan terjadi serangan stroke adalah tekanan darah tinggi atau tekanan darah rendah, obesitas, kolesterol darah yang tinggi, riwayat penyakit jantung, riwayat diabetes mellitus, merokok, pola makan yang tidak sehat dan stress. American Heart Association (Go dkk, 2013) melaporkan satu orang terkena stroke setiap 40 detik dan satu orang meninggal setiap 4 menit di USA dengan prevalensi sebanyak 2,8% yang diperkirakan meningkat sebanyak 21,9% di tahun 2030. Stroke penyebab dari 12% angka kematian pertahun, dimana satu dari 600 pasien didiagnosis terkena stroke pertahun dan 5% orang yang berusia diatas 65 tahun berisiko terkena stroke (Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2010). Dari keseluruhan kasus yang ada, Rubenstein dkk (2010) menjelaskan bahwa 87% disebabkan iskemik (infark atau kematian jaringan) dan sisanya karena hemoragik (perdarahan), yaitu 10% akibat pendarahan intraserebral dan 3% akibat perdarahan subaraknoid. Penyakit stroke menjadi penyebab kematian ketiga di negara maju setelah penyakit jantung dan kanker (Ginsberg, 2011), dan menjadi penyebab kematian kedua di dunia dengan angka kematian yang meningkat sebanyak 26% antara tahun 1990 dan 2010 (Lozano, Naghavi, & Foreman, 2012). Dalam rentang waktu yang sama, stroke juga menjadi penyebab kelumpuhan fisik ketiga di dunia dengan peningkatan sebanyak 19% (Murray, Vos, Lozano, & Naghavi, 2012). Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah penderita stroke juga mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga tahun 2013 (Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Penderita stroke pada kelompok usia 45-54 tahun meningkat dari 8% menjadi 10%, pada kelompok usia 55-64 tahun dari 15% menjadi 24%, dan bahkan sudah ada ditemukan jumlah penderita stroke pada kelompok usia 15-24 tahun sebanyak 0,2%. Prevalensi stroke dengan gejala tertinggi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), dan Jawa Timur (16‰). Pasien pascastroke mengalami disabilitas akibat kerusakan otak setelah serangan stroke terjadi, yaitu disabilitas fisik, perubahan gaya hidup, gangguan kognitif, dan gangguan emosional (National Institute of Neurological Disorders and Stroke, 2014; National Stroke Association, 2012a). Bila dibandingkan dengan penyakit kronis lain, stroke memiliki peluang lebih besar dalam mengakibatkan kelumpuhan dan menimbulkan perubahan psikologis termasuk perubahan emosional, perilaku dan kognitif pada pasien (Kneebone & Lincoln, 2012). Batticaca (2008) mengungkapkan 10% dari pasien pascastroke mengalami kelemahan fisik yang membutuhkan perawatan dari tenaga ahli. Disabilitas fisik tampak pada gangguan visual (masalah persepsi dan kehilangan penglihatan) atau masalah yang berkaitan dengan penginderaan, sulit tidur, kejang, mengompol, kesulitan mengontrol gerakan tubuh/kelumpuhan (paralysis), kesulitan menelan (dysphagia), tidak mampu menggerakkan sebagian tubuh (hemiparesis), kesulitan mengangkat kaki bagian depan, kejang pada otot dan sendi, nyeri, dan kelelahan kronis (Klit, Finnerup, Overvad, Andersen, & Jensen, 2011). Disabilitas fisik mengakibatkan pasien juga mengalami perubahan gaya hidup. Kondisi fisik pasien tidak memungkinkan untuk bekerja sehingga pasien kehilangan sumber pendapatannya dan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi pasien maupun keluarga. Perubahan gaya hidup akibat disabilitas fisik menjadi penyebab utama distress yang dialami pasien dan keluarga selama masa penyesuaian pascastroke (Twiddy, House, & Jones, 2012). Disabilitas kognitif yang dialami pasien pascastroke berupa penurunan fungsi kognitif atau kemampuan berpikir (vascular dementia), gangguan komunikasi karena pasien kesulitan dalam penggunaan dan pemahaman bahasa/aphasia dan memori jangka pendek atau jangka panjang sesuai dengan bagian otak yang terkena serangan stroke (Borthwick, 2012). Pasien pascastroke juga mengalami gangguan emosional dan sulit mengontrol perasaannya. Selain diakibatkan oleh kerusakan dan perubahan kimiawi pada otak, gangguan emosional juga merupakan reaksi normal atas tantangan, ketakutan, dan rasa frustrasi pasien dalam menghadapi disabilitasnya (National Stroke Association, 2012b, 2012c). Faktor biologis, perilaku dan sosial turut mempengaruhi munculnya gangguan emosional pascastroke. Gangguan emosional yang dialami pasien pascastroke yaitu pseudobulbar affect, post-stroke depression (Srivastava, Taly, Gupta, & Murali, 2010), frustrasi, kecemasan (Burton dkk, 2012), marah, apatis, kurang atau kehilangan motivasi dan sedih (American Heart Association, 2012). Srivastava dkk (2010) menjelaskan bahwa Pseudobulbar affect yaitu kondisi medis yang lebih dikenal dengan kelabilan emosi dan menyebabkan pasien mengalami perubahan mood yang cepat seperti menangis atau tertawa tiba-tiba tanpa alasan jelas dalam jangka waktu yang lama, sedangkan post-stroke depression ditandai dengan adanya perasaan sedih yang dalam, tidak punya harapan atau merasa tidak tertolong lagi, mudah tersinggung, perubahan pola makan dan tidur, serta perubahan cara berpikir. Depresi, kecemasan dan sikap apatis dapat diprediksi setelah dua minggu namun baru dialami survivor stroke pada bulan keempat (Sagen dkk, 2010). Selain mengakibatkan disabilitas fisik, perubahan gaya hidup, gangguan kognitif dan gangguan emosional, stroke juga mengakibatkan gangguan psikologis bagi pasien. Serangan stroke yang terjadi secara tiba-tiba, menimbulkan perasaan takut, mengancam keutuhan fisik maupun mental, serta meninggalkan dampak yang membekas merupakan peristiwa traumatis bagi pasien (Kneebone & Lincoln, 2012). Post-traumatic Stress Disorder (PTSD) yang biasanya dialami oleh tentara yang kembali dari medan peperangan kini jumlahnya semakin meningkat karena juga ditemukan pada pasien pascastroke, penyakit jantung, dan kanker (Reddy, 2013). Satu dari empat pasien pascastroke secara signifikan mengembangkan simptom PTSD seperti kecemasan, flashback, sulit tidur, dan mimpi buruk dalam kurun waktu satu tahun setelah mengalami trauma medis. Pasien pascastroke yang mengalami PTSD berpeluang besar mengalami penyakit jantung atau kembali terkena serangan stroke karena besarnya beban dan permasalahan psikologis yang mereka hadapi (Gray, 2013). Setelah mengalami serangan stroke, pasien jadi sedih karena kehilangan tingkat kesehatannya secara utuh. Kübler - Ross (2009) mengungkapkan lima fase dari proses bersedih ini (grief process), yaitu penolakan dan isolasi (denial and isolation), kemarahan (anger), bernegosiasi (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance). Fase penolakan yaitu kondisi saat pasien menyadari konsekuensi penyakit dan risiko kematiannya, sehingga ia menolak pengobatan, mengabaikan nasihat dokter, mencari opini kedua, melakukan pemeriksaan ulang, dan menolak mengubah gaya hidup. Selanjutnya pasien mengalami fase kemarahan karena merasa tidak adil dan menyalahkan Tuhan atau orang lain atas penyakit yang dideritanya. Fase negosiasi ditandai dengan munculnya harapan pasien untuk menunda kematian dengan melakukan negosiasi, seperti menjaga kondisi kesehatan sebaik mungkin dengan pengobatan dan pola hidup sehat. Jika usaha yang dilakukan pada fase negosiasi tidak berhasil, pasien akan mengalami fase depresi yang ditandai dengan perasaan terbebani, putus asa, dan tidak berdaya terutama jika kondisinya semakin parah. Pasien dalam kondisi ini penting dan perlu mendapat penanganan yang tepat agar bisa berproses dengan kesedihannya dan menuju fase penerimaan (Kübler – Ross, 2009). Hayes, Strosahl, Bunting, Twohig, dan Wilson (2004) menjelaskan bahwa pasien dapat mengalami permasalahan psikologis selama fase bersedih karena adanya psychological inflexibility dalam diri pasien. Akibatnya, pasien tidak mampu bangkit dari trauma, sulit mengembangkan Post-Traumatic Growth (PTG), dan cenderung mengabaikan proses perawatan yang seharusnya ditaati (Zhenxiang, Yaping, Ruili, Juan, & Beilei, 2012). Tujuan rehabilitasi pascastroke untuk membantu survivor stroke menjadi mandiri dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik akan tercapai jika pasien dapat mengatasi trauma dan acceptance. Oleh karena itu, rehabilitasi pascastroke lebih berfokus pada upaya-upaya mengubah dan mendukung pertumbuhan pribadi pasien dari kondisi spiritual yang penuh distress pascatrauma bertransformasi menjadi kondisi spiritual yang lebih kuat dan optimis. Salah satunya adalah upaya peningkatan post-traumatic growth (Chow & Nelson-Becker, 2010). Post-traumatic growth (PTG) adalah perubahan positif yang diperoleh setelah mengalami trauma dan kesulitan hidup. Dari 57 penelitian kualitatif yang telah dilakukan selama 32 tahun pada pasien dengan berbagai penyakit fisik yang mengancam jiwa, ditemukan adanya proses penilaian ulang pasien terhadap hidup dan prioritasnya, pengembangan diri, evaluasi ulang eksistensial, dan kesadaran baru terhadap tubuh yang lebih baik (Hefferon, Grealy, & Mutrie, 2009). Penelitian yang dilakukan Zhenxiang dkk (2012) menemukan pasien pascastroke yang PTG-nya tinggi, tingkat kecemasan dan depresi lebih rendah daripada pasien yang memiliki PTG rendah. PTG berkorelasi negatif dengan kecemasan dan depresi (Gangstad, Norman, & Barton, 2009). Zhenxiang dkk (2012) juga menyarankan pemberian intervensi psikologis untuk meningkatkan PTG pada pasien karena dapat mempercepat proses rehabilitasinya. Penelitian Gangstad dkk (2009) membuktikan proses kognitif sangat penting dalam pembentukan PTG, karena hasil penelitiannya menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara cognitive processing dengan peningkatan PTG. Hasil penelitian Gangstad dkk juga dikuatkan oleh Bosson (2011) yang menemukan coping religius tidak akan berpengaruh pada peningkatan PTG jika tidak ada proses kognitifnya. Kesimpulannya, pasien pascastroke membutuhkan penanganan trauma dan distress melalui intervensi psikologis yang berfokus pada proses kognitif agar dapat meningkatkan PTG-nya. Pasien penyakit kronis sering mendapatkan penanganan psikologis dengan pendekatan CBT (Januzzi, 2000). Penerapan CBT pada pasien penyakit kronis pada umumnya bertujuan untuk mengendalikan berbagai permasalahan, pikiran, atau perilaku yang dianggap abnormal. Salah satu bentuk terapi yang merupakan pengembangan dari CBT adalah Acceptance and Commitment Therapy (ACT). Proses terapeutik dalam ACT berfokus pada aspek acceptance, mengurangi penolakan terhadap emosi, dan mendorong perubahan perilaku pasien. Sasaran tritmen ACT adalah mengubah respon pasien terhadap pikiran dan perasannya, bukan mengubah bagaimana isi pikiran atau perasaan pasien (Hayes, 2013). Tritmen ACT sangat efektif untuk permasalahan post-traumatic, seperti PTSD. Penelitian yang dilakukan West (2013) terhadap 112 orang partisipan menemukan bahwa ACT mampu mengurangi gejala PTSD melalui pembentukan kognisi pascatrauma yang lebih adaptif. Selain menyasar emosi dan perilaku penghindaran yang merupakan gejala sisa trauma, ACT juga memfasilitasi pasien memperbaiki kehidupan dengan menghargai pengalaman daripada tetap hidup tersiksa. Hasil penelitian West juga menunjukkan ACT terbukti aman dan pasien dapat menghadapi traumanya tanpa perlu menderita sehingga ACT disarankan untuk menangani survivor trauma. Hayes dkk (2004) menjelaskan bahwa ACT menggunakan dua proses untuk menghasilkan kondisi psikologis yang lebih fleksibel (psychological flexibility) yaitu (1) proses acceptance dan mindfulness, (2) proses berkomitmen dan perubahan perilaku. Melalui mindfulness, pasien dapat lebih menyadari emosinya, meningkatkan kesadaran diri dan memberikan ketenangan sehingga pasien dapat berpikir positif dan lebih mudah untuk mencapai acceptance (Davis, 2007). Pasien yang sudah acceptance memiliki psychological flexibility sehingga mampu fokus pada masa sekarang, penuh kesadaraan, dapat mengubah atau mempertahankan perilaku sesuai dengan nilainya, dan keterbukaannya terhadap pengalaman sangat tinggi sehingga bersedia menerima atau mengalami peristiwa yang tidak diinginkan (Hayes, Luoma, Bond, Masuda & Lillis, 2006). Tedeschi dan Calhoun (1996) menemukan hubungan cross-sectional yang signifikan antara keterbukaan (openness) dengan PTG sehingga acceptance dipandang sebagai coping strategi yang paling relevan dengan PTG. Penelitian meta-analisis yang dilakukan Prati dan Pietrantoni (2009) juga menemukan acceptance sebagai prediktor PTG yang signifikan. Davison, Neale, & Kring (2006) menjelaskan bahwa acceptance dan mindfulness menyebabkan aktivasi anterior otak sebelah kiri dan hipocampus yang mempengaruhi fungsi otak seperti kesadaran diri, kemampuan belajar, mengingat, introspeksi, dan mengenali emosi lebih dalam. Pasien jadi mampu melakukan regulasi emosi dengan baik ketika menghadapi stressor, sehingga distress dan perasaan negatif dapat diatasi. Kondisi ini diikuti dengan menurunnya sekresi hormon stres (cortisol) sehingga kinerja saraf parasimpatetic meningkat dan imunitas tubuh menjadi lebih kuat (Seligman, 2006). Jadi, acceptance, mindfulness, proses berkomitmen, pengubahan perilaku juga dapat menurunkan hormon stres akibat permasalahan psikologis pasien selama masa rehabilitasinya. Penelitian ini menggunakan sebuah program yang dirancang secara integratif sebagai bentuk modifikasi dari konsep ACT, yaitu acceptance, mindfulness, observing self, values, commitment, dan perubahan perilaku. Program ini diberi nama Program “Pasien PANDAI” yang berasal dari singkatan Pasien dengan PenerimaAN Dan AksI. Sesuai dengan arti kata PANDAI (Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa Indonesia, 2008) yaitu pintar, terampil, mampu, atau berilmu, maka sasaran program ini adalah agar pasien menjadi pintar dalam menyadari pengalaman dan proses dalam dirinya, dapat mengambil pembelajaran dan ilmu dari pengalamannya, serta semakin terampil dan mampu mengelola emosi, pikiran, dan perilaku. Dengan mengikuti program ini, diharapkan pasien dapat lebih menerima kondisinya, mendapatkan ketenangan batin, mampu menetapkan tujuan dalam menghadapi penyakitnya, membangun komitmen, dan melaksanakannya melalui proses perubahan perilaku. Pelaksanaan program “Pasien PANDAI” terdiri atas empat sesi yang diadakan dalam waktu ± 2 minggu. Masing-masing pertemuan dilaksanakan selama ± 120 menit yang akan disesuaikan dengan mempertimbangkan fokus intervensi tiap-tiap sesinya. Pertemuan pertama diisi dengan sesi pembukaan yang bertujuan untuk membangun rapport, menyampaikan tujuan pelaksanaan program, dan membuat kesepakatan tertulis antara pasien dengan peneliti. Sesi pertama Program “Pasien PANDAI” dilaksanakan pada pertemuan kedua, yaitu sesi sharing dan latihan relaksasi. Tujuan sharing adalah memberikan kesempatan pada pasien untuk menyampaikan, menyadari dan memahami pengalamannya setelah kena serangan stroke secara lebih mendalam. Di sesi ini, pasien juga dilatih melakukan relaksasi hingga dapat merasakan ketenangan dan kenyamanan, memudahkan pasien mengikuti kegiatan relaksasi yang dilakukan pada setiap sesi, dan dapat mempraktikkannya secara mandiri di rumah. Sesi kedua yaitu sesi mengenal diri dan menerima dilaksanakan pada pertemuan ketiga. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran pada diri pasien dan membantunya menerima kondisi diri sehingga memudahkan pasien untuk dapat menerima kondisi dan berbagai tekanan psikologis yang sedang dialaminya. Sesi ketiga yaitu sesi menemukan nilai hidup dan berkomitmen dilakukan pada pertemuan keempat. Tujuannya pasien dapat menemukan nilai hidupnya yang sempat terlupakan akibat memikirkan kondisi kesehatannya sekarang, mampu membuat rencana aksi sehat untuk mencapai nilai hidupnya, serta mampu berkomitmen untuk melakukan perubahan perilaku sesuai dengan rencana aksi. Sesi keempat yakni sesi berbagi pengalaman menjalankan aksi dilaksanakan pada pertemuan kelima, setelah melakukan perubahan perilaku selama satu minggu dan melaksanakan aksi sehat demi mencapai nilai hidup. Tujuannya agar pasien dapat belajar mengatasi kesulitan yang dihadapi dengan mengevaluasi pelaksanaan aksi sehat, dan menghargai kemajuan yang diperolehnya. Program “Pasien PANDAI” dilakukan dalam setting individu dan dilaksanakan secara brief intervention. Pasien pascastroke mengalami perubahan kondisi yang sangat berbeda satu dengan lainnya dan sangat membutuhkan perhatian yang lebih besar sehingga penanganan terhadap pasien pascastroke harus dilakukan dalam setting individu (Pinzon dan Asanti, 2010). Brief intervention merupakan bentuk intervensi dengan membatasi waktu, jumlah dan panjang kontak antara pemberi intervensi dan yang diintervensi. Ciri intervensinya konkrit dan ada umpan balik yang memotivasi serta memberikan informasi atau saran (Werch dkk, 2006). Intervensi ini dinilai efektif dan efisien dari segi biaya dan mudah disebarkan. Chakrabarti (2011) menyatakan brief intervention adalah jenis intervensi yang murah, tidak terlalu lama, dan padat sehingga merupakan bentuk intervensi yang cocok untuk diterapkan di Asia. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti apakah “Program Pasien PANDAI” (Pasien dengan Penerimaan dan Aksi) dapat meningkatkan PostTraumatic Growth (PTG) pada pasien pascastroke. Penelitian ini diharapkan dapat diterapkan dan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam pengembangan teori PTG pada pasien pascastroke. Secara praktis, modul dan materi program dapat menjadi pedoman bagi para praktisi di lapangan dalam melakukan penanganan terhadap pasien pascastroke. Hipotesis penelitian ini adalah “Program Pasien PANDAI” (Pasien dengan Penerimaan dan Aksi) dapat meningkatkan Post-Traumatic Growth (PTG) pada pasien pascastroke. PROGRAM “PASIEN PANDAI” PASIEN PASCASTROKE DISTRESS PASCATRAUMA TINGGI 1. Penolakan emosi atas kondisi fisik dan perubahan pascastroke. Ketidakstabilan emosi, mudah tersinggung, marah dan menyalahkan diri atau Tuhan, malu, cemas, frustasi, sedih, sulit tidur, mimpi buruk, flashback, dan depresi pascastroke. 1. Penerimaan dan mindfulness (Menerima dan menyadari emosi, pikiran, dan sensasi tubuh berkaitan dengan penyakit) Apatis, tidak bersemangat, kehilangan harapan, merasa tidak berdaya, dan tidak tertolong lagi. 2. Menentukan nilai hidup dan berkomitmen 3. Aksi (membangun aksi dan komitmen yang lebih konsisten dan sesuai dengan nilai hidup yang dipilih) 2. 3. Sickness behavior Sulit memanajemen diri dalam menghadapi penyakit (minum obat teratur, terapi stroke, diet, dan pola hidup sehat) Distress Pascatrauma Menurun 1. Menerima emosi dan berbagai kondisi diri yang terjadi didalam diri 2. Bersemangat menjalani hidup, memiliki pandangan yang positif dalam menghadapi penyakit 3. Berkomitmen untuk menjalankan pengobatan dengan rutin dan mengatur pola hidup menjadi lebih baik. Ket: : Area intervensi : Menyasar : Pengaruh intervensi Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Post-Traumatic Growth Meningkat 1. Memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain; 2. Lebih menghargai hidup; 3. Menjadi pribadi yang lebih kuat dan mandiri; 4. Peningkatan spiritualitas; 5. Lebih menikmati dan bersemangat atas kemungkinan baru.