nilai-nilai pendidikan tauhid dalam kitab tījān al

advertisement
NILAI-NILAI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KITAB TÎJĀN
AL-DARĀRY MENURUT PEMIKIRAN SYAIKH
MUHAMMAD NAWAWI AL-JĀWI
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I.)
Oleh:
MUNTAHANIK
___________________________
NIM. 111 09 071
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Muntahanik
NIM
: 111 09 071
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang
terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 20 Agustus 2013
Yang menyatakan,
Muntahanik
MOTTO
‫لم ْٕ هللا أحذ‬
“Katakanlah, Dialah Allah yang Maha Esa.”
(al-Ikhlas: 1)
‫يٍ عشف َفسِ فمذ عشف سثّبُّه‬
“Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka ia akan mengenal Tuhannya.”
(al-Hadits)
‫تف ّبكشٔا في أيبد هللا ٔال تف ّبكشٔا في هللا فإَكى نى تمذسِٔ ّب‬
ِ‫حك لذس‬
“Pikirkanlah kekuasaan-kekuasaan Allah dan jangan kau pikirkan Zat-Nya. Sesungguhnya
engkau tidak akan mampu memikirkan hakikat-Nya.”
(HR. Ibnu Hibban)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, yang selalu penulis hormati. Dalam doa penulis selalu
meminta, semoga dalam hidup ini Allah SWT selalu meridhoi cita-cita penulis
untuk menjadi “waladun shālihah” yang bisa menyenangkan hati kedua orang tua
dan bisa selalu
menempatkan posisi keduanya pada derajat yang Engkau
muliakan.
2. Seluruh keluarga yang telah memberikan motivasi dan inspirasi sehingga penulis
bisa lebih semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Semua teman-teman yang berada di pondok pesantren Al-Manar.
4. Mas Humaidi, orang yang selalu memberikan
kasih, sayang, perhatian dan
bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Adek-adek keponakan, yang selalu menghibur hati penulis.
6. Seluruh pembaca yang budiman.
KATA PENGANTAR
   
Dengan menyebut asma-Mu ya Allah yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
segala puji-pujian hanya untuk-Mu Rabb, sang pemilik kemaha sempurnaan. Dengan penuh
rasa bahagia, dari dalam hati kecil ini ingin selalu penulis panjatkan rasa syukur yang teramat
kepada-Mu karena telah memberikan kekuatan, kemampuan, semangat serta waktu yang
lebih kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir di Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Salatiga. Walaupun harus dengan melalui berbagai rintangan, ujian dan
cobaan hidup yang sempat membuat penulis jungkir balik seperti kehilangan harapan untuk
bisa menyelesaikan skripsi ini. Tapi, walaupun dengan berlinangan air mata dan dengan
adanya buku panduan dan beberapa buku yang dapat di jadikan rujukan dalam penulisan
skripsi ini, penulis tetap berusaha menyelesikan tulisan skripsi ini dengan bermodalkan
keyakinan yang kuat bahwa Allah SWT pasti akan membantu dan memudahkan jalan penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, dan ternyata benar, dengan mengetik huruf per huruf
tersusunlah menjadi beberapa kata, dari beberapa kata itu tersusunlah beberapa kalimat,
sehingga dari susunan beberapa kalimat tersebut dapat menghasilkan karya yang sederhana
ini. Maha Besar Engkau atas segala pertolongan-Mu Rabb.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan
tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan
terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M. Ag, selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M. Pd. selaku Ketua Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Salatiga.
3. Ibu Dra. Siti Asdiqoh, M. Si. Selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.
4. Bapak Prof. Dr. Budihardjo, M. Ag, selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan terbaiknya kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Para pustakawan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang telah memberikan
pelayanan kepada penulis dalam menggali wacana.
6. Bapak/ Ibu dosen dan karyawan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga yang telah
memberikan pelayanan akademik kepada penulis.
7. Abah As‟ad Haris Nasution, Ibunda Nyai Fatihah Ulfah Imam Fauzi, Ibunda Nyai Husnul
Halimah, dan Abah Taufiqurrahman serta Ustadz-ustadzah Pon-Pes Al-Manar yang telah
berjuang dalam agama Allah SWT.
8. Bapak, ibu, dan seluruh keluargaku di rumah yang telah mendo‟akan dan membantu
dalam bentuk materi untuk membiayai penulis dalam menyelesaikan studi di STAIN
Salatiga dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
9. Semua teman-teman di pon-pes Al-Manar, baik yang masih mukim disana maupun yang
sudah terjun ke masyarakat luas.
10. Mas Humaidi yang telah menyediakan waktu, tenaga dan ilmunya untuk membantu
penulis mengerjakan dan memecahkan segala kesulitan yang penulis temukan saat
menulis skripsi ini.
11. Semua pihak terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
kelancaran penulisan skripsi ini.
Atas jasa-jasa dan kebajikan beliau di atas, penulis berdoa semoga jasa dan kebajikan
mereka semua bernilai ibadah dihadapan Allah SWT dan diberikan pahala yang berlipat
ganda oleh Allah SWT.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya, masih terdapat banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah
SWT. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak yang budiman untuk
memberikan kritik dan saran demi perbaikan.
Akhirnya penulis berharap semoga dengan terwujudnya skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi pribadi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Salatiga, 20 Agustus 2013
Penulis
ABSTRAK
Muntahanik. 2009. Nilai-nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry karya Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi. Skripsi. Jurusan Tarbiyah. Program Studi Pendidikan
Agama Islam. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr.
Budihardjo, M. Ag.
Kata kunci: Nilai-nilai, Pendidikan, Tauhid, kitab Tîjān al-Darāry.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji tentang sifat-sifat Allah SWT
dalam memahami Islam dan Nilai-nilai Pendidikan tauhid yang terkandung di dalamnya.
Pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah Pemikiran
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi tentang Nilai Pendidikan Tauhid dari sifat-sifat Allah
SWT dalam kitab Tîjān al-Darāry? (2) Bagaimanakah Implementasi Nilai Pendidikan Tauhid
dari sifat-sifat Allah SWT dalam kitab Tîjān al-Darāry karya Syaikh Muhammad Nawawi alJawi dalam kehidupan sehari-hari? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian
menggunakan pendekatan kepustakaan.
Metode penelitian yang digunakan dengan jenis penelitian Kepustakaan (Library
research), sumber data primer adalah kitab Tîjān al-Darāry dan sumber sekundernya adalah
terjemahan kitab Tîjān al-Darāry, buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam, buku
Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi dan buku lain yang bersangkutan dan relevan.
Adapun teknis analisa data menggunakan metode Deduktif dan Induktif dan temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa Nilai Pendidikan tauhid dari sifat-sifat Allah SWT sangat
dibutuhkan dalam memahami Islam karena Ilmu Tauhid merupakan ilmu yang sangat vital
didalam Islam. Sebab Ilmu Tauhid adalah sebagian dari tanda-tanda agama sejati dan murni
yang diturunkan oleh Allah SWT yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Tanpa mengetahui
Ilmu Tauhid, kita tidak akan menemukan tujuan hidup sebenarnya. Adapun implementasi
Nilai-nilai Pendidikan Tauhid dalam kehidupan sehari-hari dari sifat-sifat Allah SWT
merupakan pintu menuju kesuksesan kehidupan dunia dan akhirat, dan sebagai acuan dalam
menciptakan akhlakul karimah dan pondasi untuk mencapai pengabdian yang Muthlak,
disamping itu dengan mengimplementasikan sifat-sifat Allah SWT dalam kehidupan seharihari dapat mempermudah hubungan sosial baik dalam urusan Agama maupun antar
masyarakat, serta sesuai dengan syar‟i dan norma-norma yang berlaku di masyarakat itu
sendiri.
DATAR ISI
1. JUDUL ……………………………………………….................
i
2. PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………....................
iii
3. PENGESAHAN KELULUSAN ………………………………
iv
4. PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN …………………….
v
5. MOTTO …………………………………………………………. vi
6. PERSEMBAHAN …………………………………………….... vii
7. KATA PENGANTAR ………………………………………….
viii
8. ABSTRAK …………………………………………………….... xi
9. DAFTAR ISI ……………………………………………………. xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah ……………………………...
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………
4
C. Tujuan Penelitian …………………………………….
4
D. Kegunaan Penelitian …………………………………
5
E. Penegasan Istilah …………………………………….
5
F. Metode Penelitian ……………………………………
7
G. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………..
10
BAB II. BIOGRAFI SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-JAWI
A. Masa Kecil hingga Masa Remaja Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
…………................................................................. ......... 11
B. Pendidikan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi………..
12
C. Pengajaran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi............... 14
D. Karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi............. 15
BAB III. PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-JAWI
A. Isi Pokok Kitab Tîjan Al-Darāry........................................... 32
1. Pendidikan tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifatsifat wajib bagi Allah SWT...................................................... 33
2. Pendidikan tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui
Mustahil bagi Allah SWT........................................................ 40
3. Pendidikan tentang kewajiban seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifat Jaiz bagi
Allah SWT............................................................................... 42
4. Pendidikan Tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifat
Wajib,
Mustahil
dan
Jaiz
bagi
Rasulullah
SAW........................................................................................ 42
5. Pendidikan tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Nasab
Rasulullah SAW....................................................................... 45
BAB IV. PEMBAHASAN
A. Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid Tentang Sifat Wajib dan Mustahil bagi Allah
SWT untuk Mengenal Allah SWT................................................. 53
B. . Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid Tentang Sifat Jaiz bagi Allah SWT untuk
Mengenal Allah SWT..................................................................... 71
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................
73
B. Saran....................................................................................
74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tauhid merupakan ilmu yang membahas tentang Allah SWT, sifat-sifat yang
wajib ada pada-Nya, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepada-Nya dan sifat-sifat yang sama
sekali harus ditiadakan daripada-Nya serta tentang Rasul-rasul Allah SWT untuk menetapkan
kerasulan mereka, hal-hal yang boleh dikaitkan (dinisbahkan) kepada mereka, dan hal-hal
yang terlarang mengkaitkannya kepada mereka (Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Ilmu ini dinamakan ilmu tauhid karena pokok pembahasannya yang paling penting
adalah menetapkan keesaan (wahdah) Allah SWT dalam zat-Nya, dalam menerima
peribadatan dari makhluk-Nya, dan meyakini bahwa Dia-lah tempat kembali, satu-satunya
tujuan. Keyakinan tauhid inilah yang menjadi tujuan paling utama bagi kebangkitan Nabi
SAW (Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Pada masa Rasulullah SAW, istilah ilmu tauhid belum dikenal, demikian pula pada
masa sahabat. Ilmu tauhid baru dikenal setelah ilmu-ilmu keIslaman lainnya satu-persatu
muncul dan setelah orang banyak membicarakan soal-soal alam ghaib atau metafisika. Ilmu
tauhid ini tidak sekaligus muncul pada satu masa, melainkan melalui tahap-tahap
perkembangan dari abad ke abad (Ensiklopedi Islam, 2003: 91).
Pada waktu Rasulullah SAW masih hidup, pembicaraan tentang sifat-sifat Allah SWT
tidaklah menjadi perbincangan yang jauh, karena apabila sahabat-sahabat menemukan suatu
kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, mereka langsung menanyakan kepada
Rasulullah SAW. Jawaban Rasulullah SAW itu sudah cukup menjadi keputusan final.
Terhadap dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur‟an, para sahabat menerimanya
sebagai
akidah dan tidak terlalu jauh memperbincangkannya dengan penafsiran yang berbeda-beda
seperti apa yang dialami oleh para ahli ilmu kalam dikemudian hari (Ensiklopedi Islam, 2003:
91).
Pokok-pokok pembahasan ilmu tauhid meliputi tiga hal, yaitu ma‟rifat al-mabda‟,
ma‟rifat al-wasithah, dan ma‟rifat al-ma‟ad. Ma‟rifat al-mabda‟ adalah mempercayai dengan
penuh keyakinan tentang pencipta alam, Allah Yang Maha Esa. Hal ini sering diartikan
dengan wujud yang sempurna, wujud mutlak, atau wajib al-wujud. Ma‟rifat al-wasithah
adalah mempercayai dengan penuh keyakinan tentang para utusan Allah SWT yang menjadi
utusan dan perantara Allah SWT dengan umat manusia untuk menyampaikan ajaran-ajaranNya, tentang kitab-kitab Allah SWT yang dibawa oleh para utusan-Nya, dan tentang para
malaikat-Nya. Ma‟rifat al-ma‟ad adalah mempercayai dengan penuh keyakinan akan adanya
kehidupan abadi setelah mati di alam akhirat dengan segala hal-ihwal yang ada di dalamnya
(Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Ilmu tauhid bertujuan untuk memantapkan keyakinan dan kepercayaan agama melalui
akal pikiran, di samping kemantapan hati, yang didasarkan pada wahyu. Selain itu ilmu tauhid
juga digunakan untuk membela kepercayaan dan keimanan dengan menghilangkan
bermacam-macam keraguan yang mungkin masih melekat atau masih dilekatkan oleh lawanlawan kepercayaan itu. Dengan kata lain, ilmu tauhid bertujuan untuk mengangkat
kepercayaan seseorang dari lembah taklid ke puncak keyakinan. Itulah sebabnya ilmu tauhid
dianggap sebagai “induk ilmu-ilmu agama” (Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Sumber utama ilmu tauhid ialah al-Qur‟an dan Hadis yang banyak berisi penjelasan
tentang wujud Allah SWT, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan persoalan ilmu tauhid lainnya
(Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Para ulama memahami al-Qur‟an dan Hadis yang bertalian dengan soal-soal tersebut,
menguraikan dan menganalisisnya, dan masing-masing golongan berusaha memperkuat
pendapatnya dengan ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis. Dalil-dalil akal yang telah dipersubur
dengan filsafat dan peradaban umat juga menjadi sumber yang tidak kurang pentingnya dalam
mengembangkan ilmu tauhid. Karena itu pembicaraan-pembicaraan ilmu tauhid selalu
didasarkan pada dua hal, yaitu dalil aqli dan naqli (Ensiklopedi Islam, 2003: 91).
Dengan menggunakan dalil aqli maupun naqli tersebut, maka seseorang akan lebih
mudah untuk memahami dan meyakini segala bentuk penjelasan yang ada di dalam ilmu
tauhid. Terutama untuk memahami dan meyakini penjelasan tentang sifat-sifat Allah SWT
baik yang wajib, mustahil, ataupun yang jaiz ada pada-Nya, sehingga seseorang akan lebih
mudah mengenal zat Allah SWT secara mendalam.
Berdasarkan jenis dan sifat keyakinan tauhid, para ulama membagi ilmu tauhid dalam
tiga bagian. (1) Tauhid rububiyah, yakni mempercayai bahwa Allah SWT adalah satu-satunya
pencipta, pemelihara, penguasa, dan pengatur alam semesta. (2) Tauhid uluhiyah/ubudiah,
yakni mempercayai bahwa hanya kepada Allah SWT-lah manusia harus bertuhan, beribadah,
memohon pertolongan, tunduk, patuh, dan merendah serta tidak kepada yang lainnya. (3)
Tauhid shifatiyah, yakni mempercayai bahwa hanya Allah SWT yang memiliki segala sifat
kesempurnaan dan terlepas dari sifat tercela atau dari segala kekurangan (Ensiklopedi Islam,
2003: 91).
Adapun hukum mempelajari ilmu tauhid bagi setiap mukallaf adalah fardhu ain
sekalipun hanya menggunakan dalil secara ijmali (pokok-pokoknya saja). Sedangkan
mengetahui dalilnya secara tafsili (terperinci), hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu apabila
sebagian umat Islam telah menjalaninya, maka gugurlah kewajiban itu atas yang lainya
(Abdullah Zakiy al-Kalaf, 1999: 11).
Dengan demikian, setiap daerah yang sulit dijangkau (pedalaman) dan penghuninya
pun sulit untuk mendatangi daerah lain, maka hendaknya disana ada seorang yang mendalami
akidah beserta dalil-dalilnya secara terperinci. Karena, jika terjadi kesamaran atau kesalah
pahaman tentang ketauhidan didaerah pedalaman tersebut, maka orang tersebut akan segera
menolaknya atau membetulkannya.
Sesuai dengan kajian skripsi ini, penulis berusaha mengkaji lebih mendalam tentang
Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry karya Syeikh Muhammad Nawawi alJawi. Semoga dengan adanya kajian skripsi ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam
upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kajian ilmu ketauhidan, terutama
untuk mengenal Allah SWT beserta sifat-sifat-Nya.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pemikiran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi tentang Nilai Pendidikan
Tauhid dalam kitab Tîjān al-Darāry ?
2. Bagaimanakah Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry untuk
Mengenal Zat Allah SWT?
C. Tujuan penelitian
1.
Mengetahui pemikiran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi tentang Nilai Pendidikan
Tauhid dalam kitab Tîjān al-Darāry.
2.
Mengetahui Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry untuk
Mengenal Zat Allah SWT.
D. Kegunaan penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran dalam upaya
peningkatan pengetahuan tentang kajian mengenal sifat-sifat Allah SWT dan juga
pengetahuan tentang disiplin ilmu tauhid Islam, sehingga dapat diketahui bagaimana seorang
mukallaf untuk mengenal sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah SWT. Dengan
demikian diharapkan setiap individu dalam keadaan tertentu dapat mengambil i‟tibar dari
sifat-sifat Allah SWT sebagai suritauladan dan pedoman dalam melangkah menggapai
keselamatan setiap perilaku kehidupan manusia menuju kebahagiaan dunia sampai akhirat.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kekeliruan penafsiran dan kesalahpahaman, maka penulis
kemukakan pengertian dan penugasan judul proposal ini sebagai berikut:
1. Nilai Pendidikan Tauhid
Nilai adalah sesuatu yang dipandang baik, disukai, dan paling benar menurut
keyakinan seseorang atau kelompok orang sehingga preferensinya tercermin dalam
perilaku, sikap dan perbuatan-perbuatannya (Maslikhah, 2009: 106).
Koasih Djahiri dan Aziz Wahab (1996: 23) memberikan batasan nilai sebagai sesuatu
yang berharga baik menurut standar logika (benar dan salah), estetika (baik dan buruk),
etika (adil/ layak dan tidak adil), agama (dosa/ haram dan halal), dan hukum (sah dan
tidak sah) serta menjadi keyakinan diri maupun hidupnya.
Berarti, nilai akan selalu berkaitan dengan kebaikan, kebajikan dan keluhuran, yang
menjadi sesuatu yang dihargai, dijunjung tinggi serta dikejar oleh manusia. Melalui nilai,
seseorang akan merasakan adanya sesuatu kepuasan dan ia menjadi manusia sebenarnya.
Bahkan dengan nilai seseorang secara penuh menyadari kebermaknaannya dan
menganggapnya sebagai pendorong dan pedoman, penuntun dan prinsip untuk
menentukan sesuatu dalam kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini karena nilai akan
meresap dan menjiwai setiap perilaku dan kebiasaan serta semua yang dimiliki oleh
masyarakat, kebiasaan berpikir, berbuat dan hasil-hasilnya disemangati oleh sistem nilai
yang membaku.
Pendidikan berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan awalan pe- dan
akhiran -an yang berarti pengukuhan sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewesakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses,
cara dan perbuatan mendidik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 263).
Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai
akhlak dan pikiran (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 20).
Menurut Ishom El-Saha (2008: 23) pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan
yang menyesuaikan dengan lingkungan
Sedangkan menurut Maslikhah (2009: 130) pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, bangsa dan negara.
Secara bahasa kata tauhid berasal dari bahasa arab, bentuk masdar dari kata
‫ا‬
‫ ت ْوَوٕ ِّح ْوذًد‬- ‫ ي َوُهٕ ِّ ّبحذُه‬-‫َؤ َّححذَو‬
yang berarti percaya kepada Allah SWT yang Maha Esa (Yusuf
Sukri Farhat, 2007: 637). Lebih jelas tauhid adalah meyakini bahwa Allah SWT itu Esa
dan tidak ada sekutu bagi-Nya (Ensiklopedi Islam, 2003: 90).
Jadi pendidikan tauhid adalah suatu usaha sadar untuk mengembangkan diri
sesuai kebutuhan, yang diyakini benar oleh setiap orang atau kelompok sehingga dapat
menetapkan keyakinan yang bertalian dengan ketuhanan, kenabian, dan hal yang ghaib.
2. Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
Beliau adalah seorang ulama Islam yang berintelektual tinggi dan berspiritual
makrifat. Ayahnya adalah Umar bin Arabi, Penghulu
Kecamatan Tanara, Banten.
Bersaudara tiga orang yaitu Nawawi, Tamin dan Ahmad (Muhammad Syamsu, 1996:
271).
Beliau belajar ilmu Agama Islam pada ayahnya sendiri, Haji Sahal yang merupakan
seorang ulama masyhur di Banten. Raden Haji Yusup, seorang ulama dari Purwakarta. Dan
beliau juga bermukim di Mekkah selama 30 tahun untuk memperdalam ilmu Agama Islam
dan berguru kepada Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumulaweni dan Nahrawi
serta Abdul Hamid Daghastani (Muhammad Syamsu, 1996: 271).
F. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kepustakaan (library
research), karena yang dijadikan objek kajian adalah hasil karya tulis yang merupakan
hasil pemikiran.
2.
Sumber Data
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), maka
data yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi sumber data primer
adalah kitab Tîjān al-Darāry karangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi.
Kemudian yang menjadi sumber data sekunder diantaranya adalah terjemahan
kitab Tîjān al-Darāry karangan Achmad Sunarto, Terjemahan Kitab Kifayah al-„Awam,
terjemahan kitab Risalatul Muawanah oleh Munawwir az-Zahidiy, buku Manajemen
Pendidikan Pesantren, buku ilmu tauhid Jawāhir al-Kalāmiyah, buku Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam, buku I‟tiqad Ahlussunah
wal Jamaah, buku Keimanan Ilmu Tauhid, Ensiklopedi Islam dan Ensiklopedi
Pendidikan, serta buku-buku yang lain yang bersangkutan dengan obyek pembahasan
penulis.
3.
Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitian ini adalah
dengan mencari dan mengumpulkan buku yang menjadi sumber data primer yaitu kitab
Tîjān al-Darāry
karangan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi. Dan sumber data
sekunder diantaranya adalah terjemahan kitab
Tîjān al-Darāry karangan Achmad
Sunarto, , Terjemahan Kitab Kifayah al-„Awam, terjemahan kitab Risalah al- Muawanah
oleh Munawwir az-Zahidiy, buku Manajemen Pendidikan Pesantren, buku Ilmu Tauhid
Jawāhir al-Kalāmiyah, buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, buku Sejarah dan Pengantar
Ilmu Tauhid/ Kalam, buku I‟tiqad Ahlussunah wal Jamaah, buku Keimanan Ilmu Tauhid,
Ensiklopedi Islam dan Ensiklopedia Pendidikan,dan buku yang relevan lainnya. setelah
data terkumpul maka dilakukan penelaahan serta sistematis dalam hubungannya dengan
masalah yang diteliti, sehingga di peroleh data atau informasi untuk bahan penelitian.
4.
Teknik analisis data
Yaitu penanganan terhadap suatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilahmilah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh
kejelasan mengenai halnya.
Macam-macam metode yang digunakan dalm menganalisis masalah adalah
sebagai berikut :
1.
Metode Deduktif
Yaitu apa saja yang di pandang benar pada suatu peristiwa dalam suatu kelas
atau jenis, berlaku juga untuk semua peristiwa yang termasuk di dalam jenis itu. Metode
ini digunakan penulis untuk menganalisa data tentang sifat-sifat wajib, mustahil dan jaiz
bagi Allah SWT.
2.
Metode Induktif
Yaitu berangkat dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret,
kemudian dari peristiwa-peristiwa yang khusus itu ditarik generalisasi-generalisasi yang
bersifat umum. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data ayat-ayat dan teks
kitab Tîjān al-Darāry sehingga dapat diketahui nilai pendidikan tauhid yang terkandung
di dalamnya.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kesan runtutnya pembahasan dan memberikan yang penulis
jabarkan dalam skripsi ini, maka disusunlah pembahasan dalam suatu sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama. Pendahuluan, berisi tentang : Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Tujuan Kajian, Kegunaan Kajian, Metode Kajian, Penegasan Istilah, dan
Sistematika Penulisan sebagai gambaran awal untuk memahami skripsi ini.
Bab kedua. Biografi Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, menguraikan tentang:
Biografi Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi yang meliputi riwayat kelahiran, kehidupan
intelektual, dan perjalanan karirnya. Selain itu bab ini juga membahas perkembangan
intelektual dan karya-karyanya.
Bab ketiga. Deskripsi pemikiran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi tentang Nilai
Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry.
Bab keempat. Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid dalam Kitab Tîjān al-Darāry untuk
Mengenal Zat Allah SWT.
Bab kelima. Penutup, menguraikan Kesimpulan dan Saran.
BAB II
BIOGRAFI SYAIKH MUHAMMAD AN-NAWAWI AL-JAWI
A. Masa Kecil hingga Masa Remaja Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
Nama asli dari Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi adalah Syaikh Muhammad bin
Umar Nawawi al-Bantani al-Jawi, beliau adalah salah satu ulama Indonesia yang terkenal di
Dunia, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815 M.
Di kalangan keluarganya, beliau di kenal dengan nama Abu Abd al-Mu‟thi. Ayahnya KH.
„Umar ibn Arabi adalah salah seorang ulama terkemuka di daerah Tanara. Dari garis
nasabnya, Syaikh Nawawi adalah keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, atau
lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Dengan demikian dari garis keturunan
ayah, syaikh Nawawi berasal dari keturunan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama
Zubaidah,
berasal
dari
garis
keturunan
Muhammad
Singaraja
(http://nulibya.wordpress.com.14/06/2013).
Saat Syaikh Nawawi lahir, kesultanan Banten sedang berada di ambang
keruntuhan. Raja yang memerintah saat itu Sultan Rafi‟uddin (1813 M) diturunkan secara
paksa oleh Gubernur Rafles untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Syafi‟uddin, dengan
alasan tidak dapat mengamankan negara. Pada tahun peralihan kesultanan tersebut (1816 H)
di Banten sudah terdapat Bupati yang diangkat oleh Pemerintah Belanda. Bupati pertama
bernama Aria Adisenta. Namun, setahun kemudian diadakan pula jabatan Presiden yang
dijabat oleh orang belanda sendiri. Akibatnya, pada tahun 1832 M Istana Banten dipindahkan
ke Serang oleh Pemerintah Belanda. Inilah akhir kesultanan Banten yang didirikan oleh
Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M. Kondisi sosial politik semacam inilah yang
melingkupi kehidupan Syaikh Nawawi (http://nulibya.wordpress.com.14/06/2013).
Syaikh Nawawi tumbuh dalam lingkungan agamis. Sejak umur 5 tahun, Ayahnya
yang seorang tokoh ulama Tanara langsung memberikan pelajaran-pelajaran agama dasar
kepada beliau. Di samping kecerdasan yang dimiliki, Syaikh Nawawi sejak kecil, juga dikenal
sebagai sosok yang tekun dan rajin. Beliau juga dikenal sebagai orang yang tawadlu‟, zuhud,
bertakwa kepada Allah, disamping keberanian dan ketegasannya. Pada masa remaja, Syaikh
Nawawi sudah tidak berguru ilmu agama kepada ayahnya lagi, bersama saudaranya, beliau
mulai berguru pada para ulama yang terkemuka dizamannya, guna untuk memperdalam
pengetahuan ilmu agamanya (http://nulibya.wordpress.com.14/06/2013).
Ketika menginjak umur 13 tahun, Syaikh Nawawi dan saudaranya ditinggal wafat
ayahnya, sehingga setelah ayahnya wafat maka Syaikh Nawawi lah yang menggantikan
pucuk pimpinan pondok pesantren, meskipun usia Syaikh Nawawi pada saat itu masih
terbilang sangat muda. Lewat dua tahun kemudian, saat usianya menginjak 15 tahun, tepatnya
tahun 1828 M, Syaikh Nawawi menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk tujuan menuntut
ilmu di Mekkah (http://nulibya.wordpress.com.14/06/2013).
B. Pendidikan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
Pada usia 5 tahun Syaikh Nawawi belajar ilmu agama Islam pada ayahnya sendiri.
Sejak kecil beliau memang terkenal sangat cerdas, tekun, rajin, tawadhu‟, dan bertakwa
kepada Allah SWT disamping keberanian dan ketegasannya.
Pada masa remaja, Syaikh Nawawi bersama saudaranya Tamim dan Ahmad, pernah
berguru kepada KH. Sahal yang merupakan ulama masyhur di Banten. kemudian belajar pula
kepada Raden Haji Yusuf, seorang ulama dari Purwakarta (Muhammad Syamsu, 1996: 271).
Pada usia 15 tahun, tepatnya tahun 1828 M, Syaikh Nawawi menunaikan ibadah haji,
sekaligus bertujuan untuk menuntut ilmu di Mekkah. Di Mekah, di satu tempat yang dikenal
dengan “Kampung Jawa” Syekh Nawawi belajar kepada beberapa ulama besar yang berasal
dari Indonesia. Di antaranya Syaikh Khatib Sambas (berasal dari Kalimantan Barat) dan
Syaikh Abd al-Ghani (berasal dari Bima NTB). Tentunya beliau juga belajar kepada para
ulama besar Mekkah di masanya, seperti Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Madzhab syafi‟i
di Mekah), Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Abd al-Hamid ad-Daghestani, Syaikh Nahrawi
dan lainnya (http://nulibya.wordpress.com. 14/06/2013).
Tiga tahun menuntut ilmu di Mekkah, Syaikh Nawawi kemudian pulang ke Indonesia.
Namun, tujuan mengembangkan ilmu di kampung halaman tidak semulus perkiraannya.
Setiap gerak-gerik umat Islam di Indonesia saat itu dibatasi secara ketat oleh kolonial
Belanda. Keadaan yang tidak kondusif ini memaksa Syaikh Nawawi untuk kembali ke
Mekkah. Akhirnya pada tahun 1855 H beliau kembali ke Mekkah, di sana beliau kembali
belajar sekaligus mengobarkan semangat juang para pahlawan Indonesia untuk melawan
kolonial Belanda, beliau tinggal di Makkah dan menetap di sana selama 30 tahun, tepatnya
daerah Syi‟ab Ali (http://nulibya.wordpress.com. 14/06/2013).
Pada gilirannya, hasil tempaan ilmiah “Kampung Jawa” tampil ke permukaan. Di
antara yang populer saat itu adalah Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dan Syekh Ahmad
Khathib al-Minangkabawi. Setelah kurang lebih 30 tahun Syaikh Nawawi tampil menjadi
salah seorang ulama terkemuka di Mekkah . Kedalaman ilmu beliau menjadikannya sebagai
guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan beliau memiliki tiga gelar kehormatan prestisius
yaitu; “Sayyid „Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan oleh para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha
Wa
Hukama
al-Muta‟akhirin”
dan
“Imam
„Ulama
al-Haramain”
(http://nulibya.wordpress.com. 14/06/2013).
Layaknya seorang syaikh dan ulama besar, Syaikh Nawawi sangat menguasai
berbagai disiplin ilmu agama. Seperti Tauhid, Fikih, Tafsir, Tasawwuf (akhlak), Tarikh, Tata
Bahasa dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan beliau yang
mencakup berbagai disiplin ilmu tersebut. Salutnya, beliau tidak pernah berhenti untuk
mengembangkan dan mengamalkan ilmunya kepada para muridnya sampai pada akhirnya
beliau wafat pada tahun 1897, dan dimakamkan di Ma‟la (http://nulibya.wordpress.com.
14/06/2013).
C. Pengajaran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi merupakan salah satu dari tiga ulama Indonesia
yang mengajar di Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau, dan Kiai
Mahfudz Termas (wafat 1919-20 M) (http://aladamyarrantawie.blogspot.com.14/06/2013).
Dari hasil perjalanan ilmiyahnya selama 30 tahun, Syaikh Nawawi di kemudian hari
menjadi sosok laksana lautan ilmu. Tidak mengherankan kemudian banyak ulama besar yang
lahir dari tangan beliau, baik para ulama Nusantara maupun luar Indonesia. Di antara ulama
Indonesia yang kemudian menjadi tokoh-tokoh ulama besar, bahkan menjadi para pejuang
bagi kemerdekaan Indonesia adalah:
1. Asy-Syaikh al-Akbar
2. KH. Hasyim Asy‟ari pencetus organisasi gerakan sosial “Nahdlatul Ulama” dari Jawa
Timur.
3. Syaikh Kholil Bangkalan dari Madura
4. KH. Asy‟ari Bawean dari Jawa Timur, yang kemudian dinikahkan dengan puterinya
Syaikh Nawawi sendiri yang bernama Maryam.
5. KH. Najihun Gunung Mauk Tangerang, yang juga dinikahkan dengan cucunya, yaitu
Salmah binti Ruqayyah.
6. KH. Asnawi Caringin Banten.
7. KH. Ilyas Kragilan Banten
8. KH. „Abdul Gaffar Tirtayasa Banten
9. KH. Tubagus Ahmad Bakri Sempur Purwakarta, Jawa Barat.
10. KH. Dawud, Perak. Dari malaysia.
D. Karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
Selain sebagai seorang ulama serta tokoh pendidik yang menguasai berbagai
disiplin ilmu keagamaan, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi juga merupakan seorang
pengarang yang paling produktif, beliau mempunyai pengaruh besar di dikalangan sesama
orang Nusantara dan generasi berikutnya melalui pengikut dan tulisannya.
Sebagian dari karya-karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Dalam Bidang Ilmu Fiqih diantaranya:
a. Kitab „Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
Kitab ini menjelaskan tentang hak dan kewajiban istri. Ini adalah materi
pelajaran wajib bagi santri putri di banyak pesantren. Dua terjemahan dan syarah-nya
dalam bahasa Jawa beredar, Hidayah al-„Arisin oleh Abu Muhammad Hasanuddin
dari Pekalongan dan Su‟ud al-Kaumain oleh Sibt al-Utsmani Ahdari al-Jangalani alQudusi.
b. Kitab Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
Merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah
karangan Abdullah bin „Umar al-Hadrami.
c.
Kitab al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
Kitab ini menjelaskan tentang masalah hukum syari’at dalam ilmu fiqh. Selain
itu, kitab ini juga telah menjadi kurikulum pendidikan agama dibeberapa pondok
pesantren di Indonesia.
d. Kitab Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-„Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrah al-„Ain, yang ditulis oleh ulama India
Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M).
e. Kitab Tsamâr al-Yâni‟ah syarah al-Riyâdl al-Badî‟ah
Kitab ini diterbitkan oleh Pustaka al-’Alawiyah Semarang. Kitab ini menjelaskan
tentang pokok-pokok agama dan hukum syari’at agama Islam.
f.
Kitab Fath al-Mujîb
Kitab ini merupakan syarah dari kitab syarah Mukhtashar al-Khathîb yang
membahasan tentang babakan fiqih, kitab ini ditulis pada tahun 1276 H.
g. Kitab Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
Kitab ini ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir pada tahun 1292 H, ulama
Hadrami yang tinggal di Batavia (Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.
h. Kitab Mishbâh al-Dhalâm ‟ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
i.
Kitab marāqi al-’Ubūdiyyah syarah matan bidāyat al-Ĥidayah
Kitab ini diterbitkan oleh pustaka al-’alawiyah, semarang. karya Abu Hamid
al-Ghazali dengan judul Maraqi al-„Ubûdiyah yang lebih popular, jika dinilai dari
jumlah edisinya yang berbeda-beda yang masih dapat ditemukan hingga sekarang.
2. Dalam Bidang Sejarah Rasulullah SAW diantaranya:
a. Kitab Madârij al-Shu‟ûd syarah Maulid al-Barzanji
b. Kitab Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
Kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan tentang maulid Nabi SAW.
c. Kitab Fath al-Shamad al „Âlam syarah Maulid Syarif al-„Anâm
d. Kitab al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
Kitab ini merupakan kitab yang menjelaskan tentang sejarah hidup Rasulullah
SAW.
e. Kitab Baghyah al-„Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
f.
Kitab al-Durrur al-Baĥiyyah syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
3. Dalam Bidang Tasawuf diantaranya:
a. Kitab Nashâih al-„Ibâd syarah al-Manbaĥâtu „ala al-Isti‟dâd li yaum al-Mi‟âd
b. Kitab Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi‟ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa alTasawwuf
c. Kitab Qâmi‟u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu‟bu al-Imân
4. Dalam Bidang Tafsir
Ada Kitab al-Tafsir al-Munîr li al-Mu‟âlim al-Tanzîl al-Mufassir „an wujûĥ mahâsin
al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma‟nâ Qur΄an Majîd. Kitab ini sangat
monumental, bahkan ada yang mengatakan lebih baik dari Tafsîr Jalâlain, karya Imâm
Jalâluddîn al-Suyûthi dan Imâm Jalâluddîn al-Mahâlli yang sangat terkenal itu.
5. Dalam Bidang Bahasa dan Sastra diantaranya:
a. Kitab Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
Kitab ini menjelaskan tentang ilmu alat atau yang biasa disebut dengan ilmu
nahwu.
b. Kitab Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ alKawâkib al-Jaliyyah
c. Kitab al-Fushûsh al-Yâqutiyyah „ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb alTashrîfiyyah
d. Kitab Lubâb al-bayyân syarah „Ilmi Bayyân
6. Dalam Bidang Hadits
Ada Kitab Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
7. Dalam Bidang Aqidah dan Akhlak
a. Kitab Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
b. Kitab Nur al-Dhalâm „ala Mandhûmah al-Musammâh bi „Aqîdah al-„Awwâm
c. Kitab Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ
d. Kitab Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
e. Kitab Dzariyy‟ah al-Yaqîn „ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
f.
Kitab al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu‟b al-Îmâniyyah
g. Kitab Naqâwah al-„Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
h. Kitab al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-„Aqîdah
i.
Kitab al-„Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn yang ditulis pada tahun 1292 H.
j.
Kitab Tîjān al-Darāry syarah Matan al-Bājûry
Kitab ini ditulis pada tahun 1301 H dan diterbitkan oleh Pustaka al„Alawiyah Semarang, dan kitab merupakan syarah (penjelasan) dari risalah al-Bajuri
fi at-Tauhid yang ditulis oleh Syaikh Bajuri sehingga kitab ini dinamai dengan
“TÎJĀN Al-DARĀRY FI SYAHRI RISALAH Al- BĀJÛRY” dengan bahasa arab dan
telah diterjemahkan oleh Ustadz Achmad Sunarto kedalam bahasa Indonesia.
Kitab ini berisi tentang ilmu ketauhidan yang akan menuntun kita untuk lebih
mengenal Allah SWT lewat sifat-sifat-Nya. Kitab ini juga menjelaskan tentang sifatsifat wajib dan jaiz bagi Allah SWT dan rasul-Nya serta nasab Rasulullah SAW. Ada
ungkapan “tak kenal maka tak sayang”, kiranya tepat digambarkan jika seorang
muslim ingin melakukan pendekatan yang mesra kepada Allah SWT maka kitab ini
akan menuntun orang muslim untuk mengenal Allah SWT.
Disamping itu, kitab ini juga menjadi dasar pembelajaran tauhid diberbagai
pondok pesantren diseluruh Indonesia, terutama di Pondok Pesantren Al-Manar.
Ilmu-ilmu tentang ketauhidan dapat diperoleh dari beberapa sumber, diantaranya:
Pertama. Al-Qur‟ānul karim (al-Qur‟an yang mulia) adalah sumber utama
ilmu tauhid yang paling fundamental, kita akan mendapatkan darinya penjelasan
tentang wujud Allah SWT, keesaan-Nya, sifat-sifat-Nya, dan persoalan ilmu tauhid
lainnya. Banyak sekali dalil-dalil al-Qur‟an yang telah menjelaskan tentang keesaan
Allah SWT, diantaranya Allah SWT berfirman:
....‫فَا ْعلَ ْم اَنه ال اله اال هللا‬... 
Artinya: ”Maka ketahuilah, bahwasanya tiada tuhan selain Allah SWT” (QS.
Muhammad: 19) (Departemen Agama, 2005: 508)
Allah SWT berfiman:
Artinya: “ Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tuhan
yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula
diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan-Nya” (QS. Al-Ikhlash: 1)
(Departemen Agama, 2005: 604)
Ayat-ayat diatas menegaskan tentang kemurnian keesaan Allah SWT dan
menolak segala kemusyrikan dan menerangkan bahwa tidak ada sesuatu apapun di
alam semesta ini yang menyamai-Nya.
Sebagaimana juga al-Qur‟an menjelaskan tentang keesaan Allah SWT, Allah
SWT berfirman:
Artinya:
Katakanlah:
"Jikalau
ada
tuhan-tuhan
di
samping-Nya,
sebagaimana yang mereka katakan, niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada
Tuhan yang mempunyai 'Arsy. Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang
mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya.” (QS. Al-Isra‟: 42-43)
(Departemen Agama, 2005: 286)
Al-Qur’an juga menjelaskan tentang ihwal keesaan Allah SWT dalam
menciptakan alam semesta, demikian akurat dan tersusun rapi, Allah SWT
berfirman:
Artinya: “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekalikali tidak melihat pada ciptaan tuhan yang maha pemurah sesuatu yang tidak
seimbang. Karena itu, cobalah perhatikan berulang-ulang, adakah olehmu tampak
sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi! Niscaya
penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu apapun
yang cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadan payah.” (QS. Al-Mulk: 3-4)
(Departemen Agama, 2005: 562)
Demikianlah al-Qur‟an telah menyebutkan dalil yang lengkap dari berbagai
kenyataan tentang ihwal keesaan Allah SWT.
Al-Qur‟an memaparkan mengenai sifat-sifat Allah SWT yang berbeda
dengan makhluk-Nya. Zat Allah tidak bersifat jisim, benda, kulli (keseluruhan), juz‟i
(sebagian) dan beberapa hal yang menetap pada diri makhluknya. Adapun hal-hal
yang menetap pada sifat jisim adalah berada pada tempat yang cukup. Yang menetap
pada sifat benda adalah berada pada benda lain (seperti buku dimeja, arloji di tangan
atau uang di saku). Sedangkan yang menetap pada sifat kulli (keseluruhan) adalah
besar, dan juz‟i (sebagian) adalah kecil dan lain sebagainya. Tidak ada yang mampu
mengerti akan hakikat Allah SWT, kecusli Allah sendiri. Ditegaskan di dalam alQur‟an sebagaiman firman-Nya:
.‫ ْٕٔ انسً ع انجظ ش‬,‫ ن س كًثهّ شيء‬...
Artinya: “ Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Dia dan Dia-lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11) (Departemen Agama,
2005: 367)
Oleh karena itu, Allah SWT bukanlah merupakan jisim yang bisa
digambarkan atau benda yang sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Allah SWT tidak
mempunyai tangan, mata, telinga dan lain-lain seperti yang dimiliki makhluk-Nya,
karena Allah SWT tidak menyerupai benda yang dapat diukur dan dibagi-bagi.
Sebaliknya, bendapun tidak dapat menempati kedudukan (posisi) Allah SWT.
Al-Qur‟an juga memaparkan tentang wujud Allah SWT tidak menyerupai
benda yang wujud, begitu pula benda yang wujud tidak menyerupai Allah SWT.
Ukuran tidak akan bisa mencapai Allah SWT, dan arah tidak bisa memuat dan
meliput-Nya. Begitu pula bumi dan langit tidak bisa memadai jika ditempati oleh
Allah SWT. Dia-lah (Allah SWT) yang mengangkat derajat segala sesuatu dan lebih
dekat dari urat nadi manusia. Dialah (Allah SWT) yang maha mengetahui atas segala
sesuatu. Kedekatan Allah SWT tidak menyerupai kedekatan jisim. Dia Maha Luhur
dari tempat yang meliputi-Nya, sebagaimana Dia Maha Bersih dari segala masa yang
akan membatasi-Nya. Dia telah wujud sebelum masa dan tempat diciptakan. Dia akan
tetap berada diatas tempat yang ada.
Selain itu al-Qur‟an juga memaparkan mengenai bukti sifat qudrat
(kekuasaan) Allah SWT pada penciptaan alam semesta sebagai aplikasi dari sifat
wujud, qidam, dan baqa‟ Allah SWT. Dengan sifat qudrat ini, Allah SWT akan
mewujudkan dan meniadakan segala sesuatu kemungkinan yang sesuai dengan
kehendak-Nya.
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini
dengan seimbang, serasi, teratur dan rapi. Tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang
mampu menandingi keindahan ciptaan-Nya. Karena sungguh, seni yang maha agung
adalah seni yang dimilikin zat yang Maha Agung. Yang mampu melukis suatu
komponen di alam semesta dalam sekejap mata dengan tepat. Adapun alam semesta
ini dari setiap bukti dari sekian banyak bukti yang selalu berulang, beriringan atau
perubahan bentuk dari yang indah yang mengharubirukan kesan dalam jiwa kita,
semuanya adalah yang patut dikagumi nilai seninya dari pada segala yang
mengagumkan (Sa‟id Hawa, 2005: 112).
Diantara ayat-ayat yang menjelaskan mengenai Allah SWT sebagai pencipta
alam semesta yaitu dalam firman:
Artinya: “Allah pencipta langit dan bumi, dan jika Dia berkehendak untuk
menciptakan sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya, “jadilah”,
maka jadilah ia.” (QS. Al-Baqarah: 117) (Departemen Agama,2005: 18)
Artinya:” Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan
untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. An-Nahl: 12) (Departemen Agama,2005: 268)
Sungguh, banyak sekali ayat al-Qur’an yang menyebutkan mengenai alam
semesta adalah tanda-tanda kekuasaan dan bukti dari sifat wujudnya Allah SWT.
Allah SWT mempunyai al-Asmā’ was Shiffāt (Nama-nama dan sifat-sifat)
yang disebutkan-Nya untuk diri-Nya dalam al-Qur’an serta semua nama yang
disebutkan dan sifat yang dituturkan untuk-Nya oleh Rasulullah SAW dalam
sunnahnya, seperti ar-Rahmān, ar-Rahîm, al-’Alîm, al-Azîz, al-Samî’, al-Bashîr dan
lain-lain.
Secara keseluruhan al-Qur’an telah menjelaskan banyak mengenai Allah
SWT, baik dari segi zat, sifat, asma dan af’al (perbuatan) Allah SWT serta sifat-sifat
Rasulullah SAW. Sudah kita ketahui bahwa al-Qur‟an adalah kitab Allah SWT yang
paling kuat dan valid yang terdapat di muka bumi ini, dia kuat dengan bentuk yang
mutawatir (istilah ahli hadis) yang manusia tidak akan mungkin meragukan lagi
keabsahan atau kevalidan teks-teksnya serta kevalidanya dari segi ketauhidan, maka
hal-hal yang al-Qur‟an jelaskan mengenai zat, sifat, asma dan af‟al Allah SWT serta
sifat-sifat Rasulullah SAW dalam ilmu ketauhidan merupakan sumber yang paling
valid secara mutlak.
Menurut pengamatan penulis al-Qur‟an telah memaparkan mengenai
ketauhidan Allah SWT secara terperinci, baik dari segi zat, sifat, asma, serta af‟alNya. Meskipun demikian, alangkah lebih baiknya kalau kita tetap mau mengkaji
sumber-sumber yang lain, supaya kita dapat menambah perbendaharaan pengetahuan
tentang ilmu ketauhidan, sehingga kita bisa benar-benar mengenal Allah SWT dan
Rasul-Nya secara detail.
Kedua. Hadits Rasulullah SAW yang shahîh, yang dimuat oleh kitab-kitab
para ulama hadist yang di kenal dengan sifat keterpercayaan mereka dalam dunia
Islam, seperti kitab sunnah yang enam, yaitu: kitab Shahîh Bukhāri, kitab Shahîh
Muslim, kitab Abu Daud, kitab Tirmidzî, kitab an-Nasā‟i, dan kitab Ibnu Majah, serta
kitab-kitab yang lainnya seperti: kitab al-Muwatha‟ oleh Imam Malik dan kitab
Musnad Imam Hanbal.
Kitab-kitab ini, khususnya kitab Shahîh Bukhāri dan Muslim keduanya
menempati posisi derajat paling shahîh (kuat), adapun kitab-kitab yang lain di
dalamnya memuat hadits-hadits selain hadits-hadits shahîh, seperti hadits hasan dan
juga dhoîf (lemah).
Dari kitab-kitab ini yang memuat jumlah yang besar tentang tauhid, yaitu
meliputi sifat-sifat, zat, asma dan af‟al Allah SWT. Dengan hal ini, semoga akan
menambah keyakinan yang sempurna dalam diri kita terhadap akidah ketuhanan
dalam Islam, karena terkadang kita masih berada atas metode yang salah dalam
memahami keesaan dan penyucian zat Allah SWT, lalu menarik kesalahan ini pada
pendapat dengan sempurna (absolut), seperti ketiadaan secara absolut pula dalam
keesaan dalam praktik dan keesaan dalam kehendak. Oleh karena itu kitab-kitab ini
disusun sebagai pedoman kedua setelah al-Qur‟an untuk menyempurnakan aqidah
ketuhanan umat manusia di seluruh dunia ini. Diantara faktor yang menambah rasa
kepercayaan kita kepada Allah SWT ialah hal-ihwal tentang-Nya diriwayatkan
dengan sanad (istilah ilmu hadits) yang bersambung sampai kepada Sahabat-sahabat
Rasulullah SAW.
Para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa bergaul dan bersama
Rasulullah SAW dalam memperjuangkan agama Allah SWT. Mereka telah dididik
oleh Rasulullah SAW, maka mereka adalah generasi paling sempurna dalam sejarah,
akhlaknya lurus, imannya kuat, jujur, berbudi pekerti yang luhur, dan berpikir
matang, maka setiap yang mereka riwayatkan kepada kita dari Rasulullah SAW
adalah dengan sanad yang shahîh yang bersambung kepada Rasulullah SAW, oleh
sebab itu, wajib bagi kita untuk menerimanya sebagai kebenaran, seperti kebenaran
keesaan Allah SWT yang tidak diragukan keabsahanya.
Sementara orang-orang orientalis dan pengikut mereka dari orang-orang
muslim yang masih lemah imannya, mereka mencoba bersama dengan orang-orang
barat untuk membuat kita ragu terhadap kitab-kitab sunnah yang ada, untuk
menerapkan keinginan mereka yaitu menghancurkan syariat Islam, dan memberikan
keraguan terhadap sejarah Rasulullah SAW, akan tetapi Allah SWT yang memelihara
agama ini (Islam) telah mempersiapkan untuk mereka yang berniat jahat terhadap
Islam, orang yang akan melawan tipu daya mereka, dan membuat tipu daya mereka
untuk diri mereka sendiri. Kami telah
berjudul: "
memaparkannya dalam kitab yang
‫ "السنة ومكانتها من التشريع اإلسالمي‬tentang kesungguhan ulama-ulama
Islam dalam menjaga sunnah Rasulullah SAW.
Ketiga. Syair-syair Arab yang mengandung nilai ketauhidan merupakan
karya yang memiliki cita rasa sastra yang tinggi dalam Islam, Seperti contohnya syair
yang berbunyi:
‫َم ْن اَمَم َماا َم ِلًّيفا فاُهللا َم ْن ِل ْن ِلا‬
‫َم َم ْن اَمَم َماا ُهلل ْن َم ًةا َمف َّرل ُهلل ْن ُهلل ا َم ْن ِل ْن ِلا‬
‫َم َم ْن اَمَم َماا ُهلل ًة ا َمفْن ُهلل ْنل ُهللآا َم ْن ِل ْن ِلا‬
‫َم َم ْن اَمَم َماا َم ْن ِل َم ًةا َمفْن َم ْن ُهلل ا َم ْن ِل ْن ِلا‬
‫َم َم ْن ا َما َم ْن ِل ْن ِلا َمِل َم ا َمف لَّرف ُهلل ا َم ْن ِل ْن ِلا‬
Artinya:
Barangsiapa yang menginginkan pelindung, maka Allah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan teladan, maka Rasulullah cukup baginya.
Barangsiapa yang menginginkan pedoman hidup, maka al-Qur‟an cukup
baginya.
Barangsiapa yang menginginkan peringatan maka kematian cukup baginya.
Dan barangsiapa tidak cukup dengan semua itu, maka neraka cukup baginya.
Syair diatas merupakan salah satu bentuk syair yang mengandung makna
peng-Esaan terhadap zat Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang Maha
Melindungi, Rasul sebagai teladan dan al-Qur’an sebagai pedoman serta kematian
sebagai peringatan. Jika semua itu bisa diyakini dan diamalkan oleh semua umat
manusia dengan kesungguhan hati, maka kehidupan umat manusia akan lebih
terarah ke jalan yang diridhoi Allah SWT.
Keempat. Kitab-kitab ketauhidan berupa teks dasar dalam bidang akidah
seperti Umm Al-Barahîn (disebut juga Al-Durrah) karya Abu‟Abdullah bin Yusuf alSanusi (wafat 895 H/ 1490 M). Syarah yang lebih mendalam, yang dikenal sebagai
as-Sanusi, ditulis oleh pengarangnya sendiri. Karya lain yang sebagain didasarkan
atas As-Sanusi ialah Kifayah al-„Awwam karya Muhammad bin Muhammad alFadhdhali (wafat 1236 H/ 1821 M) yang sangat popular di Indonesia.
Murid Fadhali, Ibrahim Bajuri (wafat 1277 H/1861 M) menulis syarah-nya,
Taqiq al-Maqām „ala Kifayah al‟Awwām, yang dicetak bersama Kifayah dalam edisi
Indonesia. Syarah ini di-hasyiyah-kan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
dalam karya yang banyak dibaca orang, yaitu Tîjān al-Darāry.
Diantara kitab-kitab yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
dalam bidang aqidah ialah Kasyifat as-Sajā syarah Safînat an-Najā ditulis pada tahun
1292 H, Bahjat al-Wasāil ditulis pada tahun 1292 H, kitab Fath al-Majîd syarah adDurr al-Fari fi at-Tauhîd ditulis pada tahun 1298 H, kitab Qami‟ at-Tughyan syarah
Manzhumat Syu‟ab al-Imān, kitab Nur az-Zhalām syarah Manzhumat „Aqîdah al„Awām, kitab Nashā‟ihul Ibād syarah al-Munabbihat „ala al-Isti‟dad li Yaum alMa‟ad, dan kitab Salalim al-Fudlala syarah Manzhumat Hidāyat al-Adzkiya.
Selain itu, ada juga kitab-kitab tauhid yang ditulis oleh ulama lainya, seperti
kitab Jawāhir al-Kalāmiyah karya Syaikh Thahir bin Saleh al-Jazairi, kitab Bad‟u alAmal karya Abi al-Hasan Siraj ad-Din „Ali ibn „Utsman al-Ausyi dan masih banyak
lagi kitab-kitab tauhid yang lainnya.
Demikianlah para ulama senantiasa menyusun kitab tentang ketauhidan
dengan berbagai macam penjelasan yang mudah diterima oleh khalayak ramai.
Banyak sekali dari kitab-kitab tauhid tersebut yang dipelajari di Sekolah-sekolah
Islam diseluruh penjuru Dunia, terutama kitab Tîjān al-Darāry oleh Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, kitabnya diterima dikhalayak ramai dan selalu dikaji
oleh santri-santri dari berbagai pondok pesantren, terutama di Pondok Pesantren AlManar Bener, Tengaran, Semarang.
Adapun sistematika penulisan karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
dalam Kitab Tîjān al-Darāry syarah Matan al-Bājûry selengkapnya sebagai berikut:
Kitab Tîjān al-Darāry syarah Matan al-Bājûry ditulis pada tahun 1301 H dan
diterbitkan oleh pustaka al-’Alawiyah Semarang. Diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia oleh Achmad Sunarto.
Kitab Tîjān al-Darāry ini dibagi menjadi lima pembahasan, yaitu
pembahasan pertama tentang kewajiban seorang mukallaf untuk mengenal sifatsifat wajib dan mustahil bagi Allah SWT, pembahasan kedua tentang kewajiban
seorang mukallaf untuk mengetahui sifat jaiz bagi Allah SWT, pembahasan ketiga
tentang diharuskan bagi setiap mukallaf untuk mengetahui semua sifat wajib dan
mustahil bagi para Rasul Allah SWT, pembahasan keempat tentang setiap mukallaf
wajib mengetahui tentang sifat jaiz bagi Rasulullah SAW. Pembahasan kelima
tentang setiap mukallaf wajib mengetahui nasab Rasul dan permasalahan yang
lainnya.
1) Kewajiban Seorang Mukallaf untuk Mengenal Sifat-Sifat Wajib dan Mustahil bagi
Allah SWT meliputi:
a) Sifat Wujud bagi Allah SWT
b) Sifat Qidam bagi Allah SWT
c) Sifat Baqa’ bagi Allah SWT
d) Allah SWT tidak Menyerupai Makhluknya
e) Allah SWT Berdiri Sendiri
f)
Allah SWT Maha Esa
g) Allah SWT Maha Kuasa
h) Allah SWT Maha Berkehendak
i)
Allah SWT Maha Ilmu
j)
Allah SWT Maha Hidup
k) Allah SWT Maha Mendegar
l)
Allah SWT Maha Melihat
m) Allah SWT Maha Berbicara atau Kalam
n) Allah SWT Maha Kuasa
o) Allah SWT Maha Menghendaki
p) Allah SWT Maha Mengetahui
q) Allah SWT Maha Hidup atau Hayyan
r) Allah SWT Maha Mendengar
s) Allah SWT Maha Melihat
t) Allah SWT Maha Berbicara atau Mutakaliman
2) Seorang Mukallaf Wajib Mengetahui Sifat Jaiz bagi Allah SWT
3) Diharuskan bagi Setiap Mukallaf Mengetahui Semua Sifat Wajib dan Mustahil
bagi Rasul meliputi:
a) Seorang Rasul Wajib Mempunyai Sifat Shiddiq (Jujur)
b) Seorang Rasul Wajib Mempunyai Sifat Amanah (Dapat dipercaya)
c) Seorang Rasul Wajib Mempunyai Sifat Tabligh (Menyampaikan)
d) Seorang Rasul Wajib Mempunyai Sifat Fathanah (Cerdas)
4) Setiap Mukallaf Wajib Mengetahui Sifat Jaiz bagi Rasul
5) Setiap Mukallaf Wajib Mengetahui Nasab Rasul dan Permasalahan lainnya,
meliputi:
a) Garis Nasab Nabi Muhammad SAW
b) Telaga Nabi SAW di Surga
c) Syafaat Rasulullah SAW
d) Para Rasul yang disebut dalam al-Qur’an secara Terperinci
e) Kurun Waktu Rasulullah SAW adalah yang Terbaik
f)
Keutamaan Ahlul Bait
Meskipun seluruh kitab karya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi ditulis
dengan bahasa arab, namun tetap mudah dipahami oleh orang-orang yang
mempelajarinya, misalnya dikalangan para santri, siswa dan mahasiswa, karena
pembahasanya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pelajar. Kitab-kitab
tersebut dijadikan kurikulum pendidikan diberbagai pondok pesantren di Indonesia,
antara lain di pesantren Al-Mas’udiyah Bandungan, pesantren Al-Kuddus Salam,
pesantren Bustanul Usyaiqil Qur’an, dan di pesantren Al-Manar Bener, Tengaran,
Semarang.
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN SYAIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-JAWI DALAM KITAB
TÎJAN AL-DARĀRY
A. Isi Pokok Kitab Tîjan al-Darāry
1. Materi kitab Tîjan al-Darāry
Dikatakan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Tijan al-Darary
bahwa wajib bagi setiap muslim untuk menengetahui dan mempelajari ilmu tauhid, maka
penulis mengungkapkannya sebagai berikut:
Hukum mempelajari ilmu tauhid yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nawawi alJawi dalam kitab Tijan al-Darary adalah sebagai berikut:
‫يجت عهٗ كم يكهف يٍ ر كش ٔأَثٗ ٔنٕ يٍ انعٕا و ٔانعج ذ ٔانخذو ٔجٕثب ثبع ُ ب‬
‫أٌ يعشف يب يجت فٗ حمّ تعانٗ ٔيب يستح م ٔيب يجٕص‬
Diwajibkan bagi setiap muslim mukallaf laki-laki maupun perempuan, meskipun ia
orang awam, hamba dan budak untuk mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada zat Allah
SWT, sifat-sifat yang mustahil bagi Allah SWT dan sifat yang jaiz bagi Allah SWT (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
.
‫ٔ يجت ششعب عهٗ يٍ ركش ٔججٕثب ثبعُ ب يعشفخ كم عم ذح ثذن هٓب اإلجًبنٗ ٔايب‬
ٗ‫يعشفتٓب ثذن هٓب انتفظ ه‬
Menurut syari‟at agama, orang tersebut dikenai kewajiban individu (wajib „ain) untuk
mengetahui dan mempelajari akidah (ilmu tauhid) beserta dalilnya secara global. Adapun
mendalami akidah dalilnya secara terperinci hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu apabila
sebagian umat islam sudah menjalaninya, maka gugurlah kewajiban itu atas yang lainya
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
Adapun nilai pendidikan tauhid yang ada dalam kitab Tîjān al-Darāry menurut
pemikiran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi diantaranya adalah:
a. Pendidikan tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifat-sifat
Wajib bagi Allah SWT (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫يجت عهٗ كم يكهف يٍ ر كش ٔأَثٗ ٔنٕ يٍ انعٕا و ٔانعج ذ ٔانخذو ٔجٕثب‬
ٗ‫ثبع ُ ب أٌ يعشف يب يجت فٗ حمّ تعان‬
Wajib bagi seorang mukallaf baik laki-laki maupun perempuan baik dari
golongan awam, hamba, budak untuk mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada zat
Allah SWT. Hukumnya adalah fardhu ‟ain.
Sifat wajib bagi Allah SWT ialah sifat yang pasti dimiliki oleh Allah SWT
yang ada 20, mustahil tidak dimiliki oleh-Nya, adapun sifat yang 20 itu adalah dibagi
menjadi 4 bagian yaitu:
1) Sifat Nafsiyah yaitu sifat diri, suatu sifat yang tidak bisa dipisahkan dari zatnya,
terdiri dari satu sifat, yaitu Wujûd.
a) Sifat Wujûd (ada) bagi Allah (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫ف جت فٗ حمّ تعبنٗ انٕجٕد انزا تٗ انزٖ ال يمجم انعذو أصال ٔال أثذا‬
Sifat wujûd itu harus ada pada zat Allah SWT, yaitu zat Allah SWT yang
tidak menerima ketidakberadaan-Nya. Artinya, harus ada sifat tersebut bagi
Allah SWT, baik itu dahulu, sekarang maupun yang akan datang (selamanya).
Metode untuk membuktikan atas tetapnya sifat wujud bagi Allah SWT
ialah anda mengatakan: Alam, mulai dari arsy hingga bagian bumi yang paling
bawah adalah perkara yang baru keberadaannya. Artinya, perkara yang ada
(tercipta) setelah tidak ada. Dan setiap perkara yang baru pasti ada pencipta
yang tetap wujudnya. Maka, alam jelas ada yang menciptakan. Keberadaan sang
pencipta diperoleh dari dalil sifat keesaan dan dari ketetapan sifat wujud bagi
Allah SWT. Dengan demikian, menjadai mustahil bila Allah SWT mempunyai
sifat yang berlawanan dengan sifat wujud-Nya.
2) Sifat Salbiyah yaitu sifat yang meniadakan sifat kesebalikannya, terdiri dari lima
sifat, yaitu Qidam, Baqā‟,
Mukhālafah lil Hawādits, Qiyāmuhu Binafsihi,
wahdaniyah.
a) Sifat Qidam (dahulu) bagi Allah (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انمذو ٔيعُبِ أَّ تعبنٗ ال أٔل نّ أٖ نى يسجمٕجٕدِ تعبنٗ عذو‬
Sifat qidam wajib ada dalam zat Allah SWT. Artinya, bahwa Allah
SWT tidak ada permulaan bagi-Nya dan wujud Allah SWT tidak didahului
oleh sifat-Nya (Achmad Sunarto, 2010: 3). Dialah yang awal dan yang akhir.
Telah ditegaskan dalam firman-Nya:
Artinya: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang
Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid: 3)
(Departemen Agama, 2005: 537)
b) Sifat Baqā‟ (kekal) bagi Allah (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انجمبء‬
Sifat Baqā‟ wajib ada didalam zat Allah SWT, karena Allah SWT
adalah zat yang kekal abadi. Allah SWT ada untuk selama-lamanya, tidak
mengalami kebinasaan atau kehancuran, tidak mempunyai akhir kesudahan.
c) Sifat Mukhālafah lil Hawādits (tidak menyerupai makhluk-Nya) (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انًخبنفخ نهحٕاد ث‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Mukhālafah lil Hawādits,
karena Allah SWT berbeda dengan makhluknya baik dari segi zat, sifat, dan
perbuatan-Nya. Tidak mungkin terjadi persamaan, antara Tuhan Sang
Pencipta dengan makhluk yang diciptakan. Ditegaskan dalam al-Qur‟an
sebagaimana firman-Nya:
…
Artinya: “ Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syura: 11) (Departemen Agama,
2005: 484)
d) Sifat Qiyāmuhu Binafsihi (berdiri sendiri) (Syaikh Muhammad Nawawi alJawi, T.t: 4)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انم بو ثبنُفس‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat berdiri sendiri. Arti dari sifat ini
dijelaskan melalui dua perkara. Yang pertama, bahwa Allah SWT tidak
membutuhkan ruang untuk ditempati, sedangkan yang kedua, bahwa Allah
SWT tidak membutuhkan ketentuan (perkara yang mewujudkan) (Achmad
Sunarto, 2010: 6).
e) Sifat Wahdāniyah ( Maha Esa) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 4)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انٕحذاَ خ فٗ انزاد ٔفٗ انظفبد ٔفٗ األفعبل‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat “Wahdāniyah” di dalam sifat, zat,
dan perbuatan (af‟al)-Nya. Makna Wahdāniyah dalam zat adalah bahwa zat
Allah SWT tidak tersusun dari bagian yang banyak dan juga tidak tersusun
dari beberapa bagian.
Adapun makna Wahdāniyah dalam sifat adalah tidak adanya banyak
sifat, maksudnya Allah SWT tidak mempunyai banyak sebutan ataupun
makna. Jelasnya, Allah SWT tidak mempunyai dua sifat dan seterusnya dari
jenis yang satu, seperti dua sifat Qudrat atau dua sifat Ilmu dan sebagainya.
Sedangkan makna Wahdāniyah dalam perbuatan adalah, bahwa tidak
ada satupun perbuatan makhluk yang sama dengan perbuatan Allah SWT.
Seperti; Allah SWT menciptakan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan,
mematikan, dan lain-lain.
3) Sifat Ma‟ani ialah sifat makna, disebut demikian karena sifat-sifat itu mempunyai
makna yang melekat pada zatnya, sifat ini terdiri dari tujuh sifat, yaitu Qudrah,
Iradah, Ilmu, Hayat, Sama‟, Bashar, dan Kalam.
a) Sifat Qudrat (berkuasa) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 6)
ّ‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انمذسح ْٔٗ طفخ ٔجٕديخ لذيًخ لبئًخ ثزات‬
ٗ‫تعبنٗ يٕجذ تعبن‬
Allah SWT wajib mempunyai sifat qudrat. Dan sifat ini merupakan
aplikasi dari sifat wujud dan yang telah dahulu dan selalu menetap pada zat
Allah SWT. Dengan sifat qudrat ini, Allah SWT akan mewujudkan dan
meniadakan segala sesuatu kemungkinan yang sesuai dengan kehendak-Nya.
b) Sifat Irādah (berkehendak) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 6)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ اإلسادح ٔيشادفٓبانًش ئخ‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Iradat. Iradat adalah sifat yang
wujud, dahulu, dan menetap pada zat Allah SWT. Tidak akan terjadi segala
sesuatu melainkan atas kehendak-Nya. Maka apapun yang dikehendaki-Nya
pasti ada, dan apapun yang tidak dikehendaki-Nya maka tidak mungkin
terjadi.
c) Sifat Ilmu (mengetahui) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 7)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انعهى‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Ilmu, yang artinya mengetahui.
Pengetahuan Tuhan meliputi segala sesuatu dari yang sebesar-besarnya
sampai yang sekecil-kecilnya, baik yang telah ataupun yang akan terjadi di
bumi, di udara, di laut, dan di mana saja, di dalam gelap atau terang, lahir
atau bathin. Mustahil Allah SWT tidak mengetahui, karena tidak mengetahui
berarti bodoh. Kebodohan adalah sifat kekurangan, sedang Allah SWT Maha
Suci dari sifat kekurangan.
d)Sifat Hayāt (hidup) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 7)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انح بح‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Hayāt. Kehidupan Allah SWT
itu kekal abadi, tidak ada waktu lahirnya dan tidak ada waktu matinya. Allah
SWT hidup untuk selama-lamanya dengan tidak berkesudahan.
e) Sifat Sama‟ dan Bashar (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t:7 )
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انسًبء ٔانجظش‬
Wajib bagi Allah SWT mempuyai sifat sama‟ dan bashar, yang artinya
Mendengar dan Melihat. Pendengaran dan penglihatan Allah SWT meliputi
segalanya.
f) Sifat Kalām (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 8)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انكالو‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Kalām, artinya Berbicara.
Berbicaranya Allah SWT berbeda dengan bicaranya makhluk, karena
sesungguhnya bicaranya makhluk adalah sesuatu yang diciptakan pada diri
makhluk dengan membutuhkan perantara, seperti mulut, lidah dan dua bibir.
Sedangkan bicaranya Allah SWT adalah berupa firman atau kalāmullah.
4) Sifat Ma‟nawiyah yaitu sifat yang merupakan kelaziman dari sifat ma‟ani, terdiri
dari tujuh sifat, yaitu Qadiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Sami‟an, Bashiran dan
Mutakaliman.
a) Sifat Qādiran (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ لبدسا‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat qādiran, artinya Allah SWT
Maha Kuasa. Keadaan tersebut merupakan sifat yang menetap pada diri Allah
SWT (sifat) dan terdapat pada zat serta selalu menetap pada qudrat.
Yang dimaksud dengan “Allah Maha Kuasa” adalah sifat qudrat yang
selalu menetap pada zat Allah SWT, dan tidak ada sifat lain yang melebihi
ketetapan tersebut.
b)Sifat Murîdan (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ يشيذا‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat murîdan, artinya yaitu Allah
SWT Maha Menghendaki. Muridan adalah sifat yang kekal adanya tanpa
permulaan dan berbeda dengan sifat iradat. Namun, sifat ini selalu menetap
pada sifat iradat dan merupakan sesuatu yang bersifat pemikiran. Artinya,
sifat ini tidak nyata diluar fikiran, akan tetapi berada pada diri-Nya sendiri
dan dalam fikiran saja.
c) Sifat ‟Āliman (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ عبنًب‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat ‟āliman, yaitu Allah SWT
Maha Mengetahui.
d)Sifat Hayyan (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ ح ب‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat hayyan, yaitu Allah SWT Maha
Hidup.
e) Sifat Samî‟an dan Bashîran (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ سً عب ثظ شا‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat samî‟an dan bashîran, yaitu
Allah SWT Maha Mendengar dan Maha Melihat.
f) Sifat Mutakalimān (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 9)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ كَّٕ يتكهًب‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat mutakalimān, yaitu Allah SWT
Maha Berbicara.
Dari uraian di atas, dapat kita ketahui bahwa sifat yang 20 tersebut dapat
dibagi menjadi empat bagian, yaitu; sifat Nafsiyah (mengenai jiwa) terdiri dari satu
sifat yaitu Wujud, sifat Salbiyah (yang bersifat ingkar) terdiri dari lima sifat yaitu
Qidam, Baqa‟, Mukhalafatu lil Hawadits, Qiyamuhu Binafsihi dan Wahdaniyah. Dan
sifat Ma‟ani (yang bersifat makna) ada tujuh yaitu Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayyat,
Sama‟, Bashar, Kalam. Serta sifat Ma‟nawiyah (sifat yang merupakan kelaziman dari
sifat ma‟ani) yaitu, Qadiran, Muridan, ‟Aliman, Hayyan, Sami‟an, Bashiran,
Mutakaliman.
Demikianlah penjelasan dari 20 sifat wajib bagi Allah SWT yang wajib kita yakini
dan kita ketahui secara terperinci beserta dalil-dalilnya. Kemudian wajib pula bagi kita
meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala sifat kekurangan, karena Allah SWT
mempunyai sifat sempurna yang tiada terhingga apabila dipandang dari segi bilangan.
b. Pendidikan tentang Kewajiban Mengetahui Sifat-sifat Mustahil bagi Allah SWT
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3)
‫يجت عهٗ كم يكهف يٍ ركش ٔأَثٗ ٔنٕ يٍ انعٕاو ٔ انعج ذ ٔانخذو ٔجٕثب ثبع ُ ب‬
ٗ‫أٌ يعشف يب يستحم فٗ حمّ تعبن‬
Wajib bagi seorang mukallaf laki-laki maupun perempuan baik dari golongan
awam, hamba, budak untuk mengetahui sifat-sifat yang mustahil ada pada zat Allah
SWT.
Sifat mustahil adalah sifat-sifat yang tidak mungkin ada pada zat Allah SWT.
Jumlah sifat mustahil bagi Allah SWT sama dengan jumlah sifat wajib bagi Allah
SWT, karena sifat mustahil bagi Allah SWT merupakan kebalikan dari sifat wajib
bagi Allah SWT.
Yang termasuk sifat-sifat mustahil bagi Allah SWT adalah:
a. Sifat al-‟Adam, artinya tidak ada, lawan dari Sifat Wujud
b. Sifat al-Huduts, artinya baru, lawan dari Sifat Qidam
c. Sifat al-Fana‟, artinya rusak, lawan dari sifat Baqa‟
d. Sifat al-Mumātsalah lil Hawādist, artinya serupa dengan makhluk, lawan dari
sifat Mukhalafatul lil Hawadits
e. Sifat al-Ihtiyāju Lighairih, artinya membutuhkan yang lain, lawan dari sifat
Qiyamuhu binafsihi
f.
Sifat Ta‟adud, artinya berbilang, lawan dari sifat Wahdaniyah
g. Sifat al-„Ajzu, artinya lemah, lawan Qudrat
h. Sifat al-Karāhah, artinya terpaksa, lawan dari sifat Iradah
i.
Sifat al-Jahlu, artinya bodoh, lawan dari sifat Ilmu
j.
Sifat al-Mautu, artinya mati, lawan dari sifat Hayat
k. Sifat al-Ashamu, artinya tuli, lawan dari sifat Sama‟
l.
Sifat al-‟Ama, artinya buta, lawan dari sifat Bashar
m. Sifat al-Bukmu, artinya bisu, lawan dari sifat Kalam
n. Sifat Ajizan, artinya maha selalu lemah, lawan dari sifat Qadiran
o. Sifat Karihan, artinya maha selalu terpaksa, lawan dari sifat Muridan
p. Sifat Jahilan, artinya maha selalu bodoh, lawan dari sifat Aliman
q. Sifat Mayyitan, artinya maha selalu mati, lawan dari Hayyan
r.
Sifat Ashamimu, artinya maha selalu tuli, lawan dari sifat Sami‟an
s. Sifat A‟ma, artinya maha selalu buta, lawan dari sifat Bashiran
t.
Sifat Abkam, artinya maha selalu bisu, lawan dari sifat Mutakaliman
Sudah banyak dalil-dalil baik aqli maupun naqli yang menjelaskan tentang bukti-
bukti kesempurnaan Allah SWT baik di dalam zat, sifat dan af‟al-Nya. Jadi, tidak
mungkin sifat-sifat yang mustahil tersebut ada pada zat Allah SWT. Jika Allah SWT
mempunyai salah satu saja dari 20 sifat mustahil tersebut, maka itu sama saja Allah
SWT bukanlah zat yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, tidak mungkin Allah
SWT mempunyai persifatan yang mustahil ada pada zat Allah SWT, karena Allah
SWT wajib mempunyai sifat sempurna dan bersih dari segala sifat kekurangan.
c. Pendidikan tentang Kewajiban Mengetahui Sifat Jaiz bagi Allah SWT. (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 10)
ّ ‫ٔانجب ئض فٗ حمّ تعبنٗ فعم كم يًكٍ أٔ تشكّ ٔانًًكٍ ْٕ انزٖ يجٕص عه‬
‫انٕجٕد ٔانعذو ٔنٕ ششا كبنكفش ٔانًعبص ٔانخهك ٔانشصق َٔحْٕب‬
Sifat Jaiz (kewenangan) bagi Allah SWT adalah sifat yang boleh ada pada Allah
SWT. Hanya ada satu sifat, yaitu
‫( فِّ ْوع ُهم ُهك ِّّبم ُهي ْوً ِّك ٍنٍ ا َو ْؤ ت ْوَوش ُهكُّه‬menciptakan setiap yang
mungkin wujudnya atau tidak menciptakanya). Yang disebut
“mungkin”
ialah
sesuatu yang bisa wujud dan bisa pula tidak wujud, sekalipun itu berupa perkara yang
jelek seperti; kufur atau maksiat, menciptakan makhluk, memberi rezeki, dan lain
sebagainya.
d. Pendidikan tentang Kewajiban Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifat Wajib dan
Mustahil bagi Rasul (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 10)
‫انُجٕايبد ف شتًم عهٗ يب يجت نألَج بء ٔيب يستحم فٗ حمٓى ٔيب يجٕص عه ٓى‬
Setiap orang muslim wajib mengetahui dan mengimani sifat-sifat yang wajib,
mustahil serta yang jaiz bagi Rasul. Sifat-sifat yang wajib bagi Rasul ada empat, sifat
yang mustahil juga ada empat karena merupakan lawan dari sifat yang wajib. Empat
sifat yang wajib dan mustahil dimiliki oleh seorang Rasul adalah sebagai berikut:
(a) Sifat shiddiq (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 10)
‫ٔيجت فٗ حك انشسم عه ٓى انظالح ٔانسالو انظذق ٔضذِ انكزة‬
Wajib bagi seorang Rasul „alaihimush shalātu wassalām memiliki sifat
Shiddiq yang berarti jujur yaitu bahwa semua berita yang disampaikan oleh para
Rasul adalah sesuai dengan kenyataan (perintah Allah SWT dan fitrah manusia),
meskipun itu berasal dari keyakinan para Rasul itu sendiri. Adapun lawan dari sifat
shiddiq adalah kidzib yang artinya berbohong/dusta.
(b) Sifat Amānah (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 10)
‫ٔيجت فٗ حمٓى انشسم عه ٓى انظالح ٔانسالو اآليبَخ ٔضذْب انخ بَخ‬
Wajib bagi setiap Rasul „alaihimush shalātu wassalām mempunyai sifat
Amānah (dapat dipercaya), yaitu menjaga anggota lahir dan bathin mereka agar tidak
menjalani hal-hal yang dilarang (meskipun larangan tersebut berupa hal yang
makruh). Mereka terjaga dari semua perbuatan maksiat, baik yang bersifat lahiriah
maupun bathiniah. Yang bersifat lahiriah misalnya seperti: perbuatan zina, minum
khamer, judi, berbohong dan lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat bathiniah
seperti: dengki, sombong, riya dan lain sebagainya.
(c) Sifat Tablîgh (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 11)
ِ‫ٔيجت فٗ حمٓى انشسم عه ٓى انظالح ٔانسالو تجه غ يب أيشٔا ثتجه غّ نهخهك ٔضذ‬
ٌ‫كتًب‬
Wajib bagi para Rasul „alaihimush shalātu wassalām mempunyai sifat
Tablîgh yaitu menyampaikan semua yang mereka dapat dari Allah SWT (sebagai
perintah) kepada seluruh umat manusia. Kecuali pada hal-hal yang mereka
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembunyikannya atau untuk memilihnya.
Masing-masing dari hal tersebut maka mereka tidak wajib menyampaikan kepada
umat manusia, bahkan mereka wajib menyimpan dan sama sekali tidak wajib
menyampaikan kepada umat manusia terhadap hal-hal yang mana mereka
diperintahkan untuk memilihnya.
Adapun lawan dari sifat Tablîgh adalah Kitmān, yaitu menyembu-nyikan
semua yang mereka diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan kepada
seluruh umat manusia. Maka Tidak Mungkin Seorang Rasul mempunyai sifat
Kitmān, karena jika mereka memiliki sifat Kitmān berarti mereka menyambunyikan
sesuatu dari wahyu-wahyu yang diperintahkan untuk disampaikan, maka pastilah kita
diperintahkan untuk menyembunyikan (menyimpan) ilmu, sementara tidak
dibenarkan kita menyembunyikan ilmu, karena orang yang menyembunyikan ilmu
adalah dilaknat.
(d) Sifat fathānah (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 11)
‫ٔيجت فٗ حمٓى انشسم عه ٓى انظالح ٔانسالو انفطبَخ ٔضذْب انجالدح‬
Wajib bagi para Rasul „alaihimush shalātu wassalām mempunyai sifat fathānah
(cerdas), yaitu ketangkasan dalam melumpuhkan musuh serta menggagalkan usaha
serta pengakuan mereka akan hal-hal yang bathil. Serta tangkas dan tanggap dalam
hal menyampaikan ajaran yang dibawanya dari Allah SWT.
Adapun lawan dari sifat fathānah adalah Balādah (bodoh), dalilnya apabila
mereka mempunyai sifat bodoh niscaya mereka tidak akan mampu menegakkan
kalimat Allah SWT untuk melumpuhkan lawan. Maka tidak mungkin seorang Rasul
mempunyai sifat bodoh.
e. Pendidikan tentang Kewajiban bagi Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Sifat jaiz
bagi Rasul (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 11)
Penjelasan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi mengenai kewajiban seorang
mukallaf untuk mengetahui sifat jaiz bagi Rasul dalam kitab Tîjan al-Darāry adalah
sebagai berikut.
‫ٔانجبئض فٗ حمٓى حمٓى انشسم عه ٓى انظالح ٔانسالو األعشاع انجششيخ‬
Sifat jaiz bagi Rasul ada satu, yaitu ‫انجششيخ‬
‫( األعشاع‬sifat kemanusiaan) yang sama
sekali tidak mengurangi ketinggian derajatnya, seperti sakit (yang tidak menjijikan),
lapar, haus, tidur, makan, minum, berjalan, menaiki kendaraan, jual-beli dan mempergauli
wanita dengan jalan yang halal (sebab adanya pernikahan) (Syaikh Muhammad Nawawi
al-Jawi, T.t: 11).
Berbeda dengan penyakit gila yang parah/tidak, penyakit kusta (lepra), buta dan lainlain dari penyakit yang menjijikan. Dan berbeda juga dengan hal-hal yang dapat merusak
sifat keperwiraannya, seperti makan di jalan dan mengerjakan perbuatan yang hina, dan
lain-lain dari pekerjaan yang tidak sesuai dengan mereka. Hal tersebut adalah tidak
wenang (jaiz) bagi para Rasul.
f.
Pendidikan tentang Kewajiban Seorang Mukallaf untuk Mengetahui Nasab
Rasulullah SAW (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 12)
a. Nasab Nabi Muhammad SAW
Kewajiban seorang mukallaf untuk mengetahui nasab baginda Rasulullah
SAW yang di jelaskan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Tîjan alDarāry adalah sebagai berikut:
ٍ‫يجت عهٗ انشخض أٌ يعشف َسجّ طهٗ هللا عه ّ ٔانسالو يٍ جٓخ أث ّ ٔي‬
ّ‫جٓخ أي‬
Adapun yang termasuk kewajiban seorang mukallaf adalah mengetahui garis
nasab Nabi Muhammad SAW dari sisi ayah atau ibunya sampai ke Sayyid Adnan.
Dan mengetahui nasab beliau setelah Sayyid Adnan adalah tidak diwajibkan, bahkan
Imam Malik menganggapnya makruh (Achmad Sunarto, 2010: 40).
Nasab beliau SAW yang dari sisi ayah ialah Muhammad SAW putra dari
Abdullah bin Abdul Muthalib, beliau pernah berkata dalam syairnya yang berbentuk
bahar thawil:
“Generasi yang muncul disetiap kota menetapkan kami memiliki keutamaan
sebagai pemimpin dunia, Ayah kami orang yang mulia lagi pemimpin menjadi
panutan semua penduduk.”
Nasab beliau dari sisi ayah ialah: Muhammad putra dari Abdullah putra dari
Abdul Muthalib, putra Hasyim, putra Abdul Manaf, putra Qushayi, putra Kilab, putra
Luayyi, putra Ghalib, putra Fuhrin, putra Malik, putra Nadlar, putra Kinanah, putra
Khuzaimah, putra Mudrikah, putra Ilyas, putra Mudlar, putra Nizar, putra Ma‟ad
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 12).
Ma‟ad adalah putra laki-laki Adnan. Menurut pendapat yang shahih
bahwa Adnan hidup dizaman Nabi Musa As. Dan menurut kesepakatan para
ulama, bahwa nasab beliau (Nabi Muhammad SAW) hanya sampai pada Sayyid
Adnan, oleh karena setelah itu sampai Nabi Adam As tidak terdapat jalan (garis
nasab) yang shahih dan dapat dinukil. Adapun pendapat-pendapat yang ada sangat
jauh perbedaannya (Achmad Sunarto, 2010: 41).
Adapun nasab beliau dari sisi ibu ialah: Muhammad putra dari Aminah,
putri Wahab, putra Abdul Manaf, putra Kilab. Perlu diketahui bahwa Abdul
Manaf adalah nasab beliau dari sisi ibu, bukan Abdul Manaf kakek beliau dari
nasab bapak. Namun Kilab adalah salah satu dari kakek beliau SAW. Oleh karena
itu nasab beliau baik dari sisi ayah atau ibu bertemu nasabnya pada kakek, yaitu
Kilab (Achmad Sunarto, 2010: 41).
Garis nasab Nabi Muhammad SAW baik dari jalur ayah atau ibunya sampai
pada batas yang telah ditentukan diatas bersih/suci (terbebas) dari segala sifat
yang buruk. Dengan kata lain mereka semua adalah termasuk golongan orangorang yang terpilih (Achmad Sunarto, 2010: 42).
Oleh karena itu, wajib bagi kita sebagai seorang muslim untuk mengimani
bahwa Nabi Muhammad adalah benar-benar utusan Allah SWT. Karena jika dilihat
dari segi nasab beliau memang pantas menjadi seorang utusan dari Allah SWT dan
menjadi penutup dari para Nabi sampai akhir zaman.
b. Telaga Nabi Muhammad SAW (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 12)
Termasuk kewajiban pula bagi setiap orang mukallaf untuk mengetahui
bahwa nabi muhammad mempunyai telaga, dimana telaga ini akan diberikan oleh
allah swt kepada beliau di akhirat nanti.
Allah SWT memberikan wahyu kepada nabi Isa As, bahwasanya nabi
muhammad saw mempunyai telaga yang luasnya antara kota makkah hingga tempat
terbitnya matahari. Didalam telaga itu ada beberapa wadah yang berisi sejumlah
bilangan bintang-bintang dilangit. Disana terdapat minum-minuman yang beraneka
warna dan rasa buah-buahan dari surga. Barang siapa meminumnya, maka akan
menjumpai rasa buah-buahan surga.
c. Syafaat Rasulullah SAW (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 13)
Setiap orang mukallaf wajib mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW
memberi syafa‟at didalam keputusan yang memisahkan antara manusia (manusia
yang baik amalnya dan manusia yang buruk amalnya) (Syaikh Muhammad Nawawi
al-Jawi, T.t: 13)
Syafa‟at Nabi Muhammad SAW akan diperoleh besuk pada hari kiamat. Hari
dimana semua umat manusia akan dikumpulkan oleh Allah SWT di satu areal
(padang mahsyar), lalu bermunculan api neraka dengan saling tindih antara sebagian
dengan sebagian yang lain, Malaikat penjaga neraka (Malaikat Malik) menghalangi
api itu agar tidak menjilat manusia. Api neraka pun berkata: Demi keAgungan
Tuhanku, sesungguhnya telah dibiarkan antara aku dan istri-istriku. Malaikat itu
bertanya: siapakah para istrimu itu? Api menjawab: yaitu setiap orang yang sombong
dan bertindak sewenang-wenang. Maka, tiada berhentinya manusia saling tumpang
tindih di dalam api neraka dengan jangkau waktu sehari ibarat seribu tahun lamanya.
Sedangkan Allah SWT tidak berkata sepatah katapun. Keadaan akan semakin
menakutkan bagi mereka, sehingga mereka mengharapkan bisa lari dari tempat itu
meskipun menuju ke neraka jahannam (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 13).
Kemudian sebagian mereka berkata dengan sebagian yang lain: pergilah
kalian pada bapak kalian Nabi Adam. Mereka pun datang menghadap Nabi Adam As
untuk meminta pertolongan, tapi Nabi Adam As tidak bisa memberikan pertolongan,
karena beliau bukanlah pemilik syafa‟at. Kemudian mereka datang berbondongbondong menghadap Nabi Ibrahim As, Nabi Musa As, dan Nabi Isa As, dan juga
kepada Nabi Muhammad SAW. Dari semua nabi yang didatangi oleh umat manusia
tersebut, tidak ada yang bisa memberikan syafa‟at kepada umatnya, kecuali hanya
satu yaitu Nabi Muhammad SAW. Karena Nabi Muhammad SAW lah yang telah
dipilih oleh Allah SWT sebagai pemilik syafa‟at bagi seluruh umatnya (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 13).
Umat yang memperoleh syafaatnya meliputi semua makhluk, baik dari
golongan manusia, jin dari umat Nabi Muhammad SAW maupun umat Nabi-nabi
sebelumnya. Karena itulah dinamakan syafaat yang agung (syafa‟atul „udzma) dan
merupakan awal dari “maqamam mahmudah” (derajat yang terpuji) (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 13).
d. Para Rasul yang disebut dalam al-Qur‟an secara Terperinci (Syaikh Muhammad
Nawawi al-Jawi, T.t: 13)
Berikut ini penjelasan syaikh muhammad nawawi al-jawi dalam kitab Tîjan
al-Darāry tentang kewajiban mengetahui jumlah para rasul yang telah disebutkan di
dalam al-qur‟an secara terperinci.
‫ٔيًب يجت أيضب أٌ يعشف انشسم انًزكشيٍ في انمشآٌ تفظ ال‬
Termasuk pula didalam kewajiban setiap orang mukallaf mengetahui jumlah
para rasul yang disebutkan dalam al-qur‟an secara teperinci yang seluruhnya
berjumlah 25 orang.
Adapun ke 25 nabi yang disebutkan di dalam al-qur‟an secara terperinci yang
wajib kita imani adalah:
1) Nabi Adam As
14) Nabi Ilyas As
2) Nabi Idris As
15) Nabi Ilyasa As
3) Nabi Nuh As
16) Nabi Isa As
4) Nabi Hud As
17) Nabi Musa As
5) Nabi Shaleh As
18) Nabi Yahya As
6) Nabi Ibrahim As
19) Nabi Syu‟aib As
7) Nabi Luth As
20) Nabi Ismail As
8) Nabi Ishakq As
21) Nabi Zakariya As
9) Nabi Harun As
22) Nabi Yunus As
10) Nabi Zulkifli As
23) Nabi Ayyup As
11) Nabi Ya‟kub As
24) Nabi Yusuf As
12) Nabi Sulaiman As
25) Nabi Muhammad SAW
13) Nabi Daud As
e. Kurun Waktu Rasulullah SAW adalah yang Terbaik (Syaikh Muhammad Nawawi alJawi, T.t: 14)
Penjelasan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Tîjan al-Darāry
mangenai kurun waktu Rasulullah SAW adalah yang terbaik, berikut ini
penjelasannya:
ٌ‫ أفضم انمشٌٔ ثى انمشٌ انزٖ ثعذِ ثى ثى انمش‬.‫و‬.‫ٔيًب يجت إعتمبد أيضب أٌ لشَّ ص‬
ِ‫انزٖ ثعذ‬
Demikian pula yang termasuk kewajiban bagi setiap orang mukallaf
mengetahui bahwa kurun waktu bagi Nabi Muhammad SAW merupakan masa yang
paling mulia diantara masa-masa yang ada, kemudian kurun yang sesudah beliau
(tabi‟in) dan yang sesudahnya lagi (tabi‟at at-tabi‟in).
Artinya,
setiap orang
mukallaf wajib meyakini bahwa kurun para sahabt nabi juga merupakan kurun yang
paling mulia diantara kurun-kurun yang terakhir dan kurun yang terdahulu selain
masa para nabi dan rasul. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
ٍ ‫إٌ هللا إختبس أطحبثٗ عهٗ انعهً ٍ سٕٖ انُج ٍ ٔانًشسه‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT memilih para sahabat-sahabatku yang
kemuliaan mereka melebuhi kemuliaan seluruh alam, selain para Nabi dan Rasul”
Oleh karena itu tidak diragukan lagi keunggulan sahabat yang hidup pada
masa beliau, dimana mereka berperang bersama Rasul dan gugur di medan perang
dibawah panji-panjinya (Allah SWT).
Dari sekian banyak jumlah sahabat yang hidup pada masa rasul, sahabat yang
paling utama adalah 10 orang, yaitu orang-orang yang telah dijanjikan oleh rasulullah
saw akan masuk surga. 10 sahabat itu adalah:
1) Abu Bakar as-Shiddiq
2) Umar bin Khattab
3) Usman bin Affan
4) Ali bin Abi Thalib
5) Thalhah bin Ubaidillah
6) Zubair bin Awwam
7) Abdurrahman bin „Auf
8) Sa‟d bin Abi Waqqash
9) Sa‟id bin Zaid
10) Abu Ubaidah bin Jarrah
Dari kesepuluh orang sahabat tersebut yang paling utama adalah empat orang sahabat
yang terpilih menjadi khulafa‟ur rasyidin, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
f.
Keutamaan Ahlul Bait (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 15)
Pentingnya mengetahui keluarga Nabi Muhammad SAW bagi seorang
mukallaf yang telah dipaparkan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab
Tîjan al-Darāry adalah sebagai berikut:
Hendaklah bagi seorang mukallaf mengetahui (mengenal) putra-putri
Rasulullah SAW baik hitungan maupun urutan kelahirannya, karena akan lebih baik
jika seseorang mengetahui pemimpin-pemimpin umat.
Putra-putri rasulullah saw semua berjumlah tujuh orang. Tiga orang
diantaranya adalah laki-laki dan empat orang perempuan. Adapun tujuh putra-putri
nabi tersebut adalah:
1) Sayyid Qasim
2) Zainab
3) Ruqayah
4) Fatimah
5) Umi Kultsum
6) Sayyid Abdullah
7) Sayyid Ibrahim
Dari ke tujuh putra-putrinya semuanya lahir dari Khadijjah al-Kubra, kecuali
Sayyid Ibrahim. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah SAW dan
beliau tidak menikah dengan wanita lain hingga Khadijah wafat. Khadijah adalah
wanita paling mulia diantara istri-istri beliau.
Sedangkan Sayyid Ibrahim lahir dari ibu Mariah al-Qibthiyah, yaitu salah
seorang budak wanita Rasulullah Saw yang merupakan hadiah dari raja Maquqis alQibthi.
BAB IV
SIGNIFIKANSI PENDIDIKAN TAUHID DALAM KITAB TIJAN AL-DARAY UNTUK
MENGENAL ZAT ALLAH SWT
Signifikansi Pendidikan tauhid yang dijelaskan dalam kitab Tījan al-Darāry untuk
mengenal zat Allah SWT :
a. Signifikansi pendidikan tauhid tentang sifat wajib dan mustahil bagi Allah SWT untuk
mengenal zat Allah SWT.
b.
Signifikansi pendidikan tauhid tentang sifat jaiz bagi Allah SWT untuk mengenal zat
Allah SWT.
Dapat penulis kemukakan bahwa analisis pendidikan tauhid yang dimaksud ialah
yang ada hubungannya dengan penjelasan tentang sifat-sifat Allah SWT dalam kitab Tījan alDarāry untuk mengenal zat Allah SWT.
A. Signifikansi Pendidikan Tauhid tentang Sifat Wajib dan Mustahil bagi Allah SWT
untuk Mengenal Zat Allah SWT.
Pada masa Rasulullah SAW
dan masa para Sahabat, istilah ilmu tauhid belum
dikenal seperti sekarang ini. Ilmu tauhid mulai dikenal setelah ilmu-ilmu keislaman lainya
muncul satu-persatu dan setelah orang banyak membicarakan tentang hal-hal yang ghoib
atau metafisika. Ilmu tauhid ini tidak sekaligus muncul pada satu masa, melainkan
melalui tahap-tahap perkembangan dari abad ke abad.
Pada waktu Rasulullah SAW masih hidup, pembicaraan tentang sifat-sifat Allah SWT
tidaklah menjadi perbincangan yang jauh, karena apabila sahabat-sahabat menemukan
suatu kesulitan atau sesuatu yang tidak dapat dipahami, mereka langsung menanyakan
kepada Rasulullah SAW. Jawaban Rasulullah SAW itu sudah cukup menjadi keputusan
final. Terhadap dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur‟an, para sahabat menerimanya
sebagai akidah dan tidak terlalu jauh memperbincangkannya dengan penafsiran yang
berbeda-beda seperti apa yang dialami oleh para ahli ilmu kalam dikemudian hari.
Setelah Rasulullah SAW wafat, maka kepemimpinan umat Islam diganti oleh
khulafaur rasyidin. Pada masa pemerintahan khulafaur rasyidin inilah mulai muncul
berbagai masalah ketauhidan yang bermula dari masalah-masalah politik tentang
perebutan jabatan pengganti Nabi sebagai pemimpin umat. Dari situlah muncul berbagai
aliran yang membawa berbagai faham mereka masing-masing, dimana faham itu mereka
yakini sebagai faham yang paling benar dalam memahami hukum Islam.
Pada masa itu juga munculah berbagai dialog dan perdebatan yang terjadi antara
pemikir masalah-masalah akidah tentang beberapa hal. Misalnya tentang al-Qur‟an
apakah khaliq atau bukan, hadits atau qadim. Tentang taqdir apakah manusia mempunyai
hak untuk ikhtiar atau tidak. Tentang orang yang berdosa besar kafir atau tidak. Dan lain
sebagainya. Pembicaraan dan perdebatan luas seperti itu terjadi karena cara berfikir
rasional dan filsafati mempengaruhi para pemikir dan ulama Islam. Akibatnya Islam
terpecah belah menjadi beberapa aliran.
Maka dari itu, untuk menyelamatkan manusia dari lembah ketaqlidan mengenai
aqidah-aqidah yang menyesatkan, dibutuhkan pendidikan yang dapat membantu manusia
memperoleh keyakinan yang kuat mengenai suatu kebenaran dalam hal aqidah, yaitu
pendidikan tauhid.
Adapun pengertian pendidikan itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007: 263) ialah berasal dari kata didik, kemudian mendapatkan awalan pe- dan akhiran
-an yang berarti pengukuhan sikap dan tata perilaku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, cara
dan perbuatan mendidik.
Menurut Ishom el-Saha (2008: 23) pendidikan adalah suatu pengarahan dan
bimbingan, maupun latihan yang diberikan kepada peserta didik dalam menghadapi
pertumbuhan dan perkembanganya.
Sedangkan menurut Tim Pengembangan Ilmu Pendidikan (2007: ix) pendidikan
adalah usaha sadar dan sistematis yang dilakukan tidak hanya untuk memanusiakan
manusia saja, tetapi juga agar manusia menyadari posisinya sebagai khalifatullah fil
ardhi, yang pada giliranya akan semakin meningkatkan dirinya untuk menjadi manusia
yang bertakwa, beriman, berilmu dan beramal shaleh.
Dari beberapa pengertian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan
adalah suatu usaha sadar yang dilakukan untuk mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran, pengarahan, maupun latihan agar manusia dapat menyadari tanggung
jawabnya sebagai hamba Allah dan sebagai kholifatullah fil ardhi.
Adapun pengertian tauhid secara bahasa kata tauhid berasal dari bahasa arab,
bentuk masdar dari kata ‫ا‬
‫ ت ْوَوٕ ِّح ْوذًد‬- ‫ ي َوُهٕ ِّ ّبحذُه‬-‫َؤ َّححذَو‬
yang berarti percaya kepada Allah SWT
yang Maha Esa (Yusuf Sukri Farhat, 2007: 637).
Menurut Yunahar Ilyas (2009: 18) arti tauhid yaitu mengesakan Allah SWT.
Dari kedua pengertian tauhid diatas, dapat penulis simpulkan bahwa tauhid
adalah mengesakan Allah SWT, yaitu dengan cara mempercayai bahwa Allah SWT
adalah satu-satunya Tuhan di seluruh alam semesta ini, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Jadi, pendidikan tauhid adalah suatu usaha sadar yang dilakukan melalui proses
pengarahan dan bimbingan tentang cara meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya
Tuhan di seluruh alam semesta ini, sehingga akan memperoleh suatu keyakinan yang
kuat.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pendidikan tauhid merupakan pendidikan
yang paling vital di dalam Islam. Sebab ilmu tauhid merupakan sebagian dari tanda-tanda
agama sejati. karena bertalian erat dengan ajaran yang membahas tentang ketuhanan
Allah SWT, kenabian, dan hal yang ghaib.
Dari ketiga pembahasan diatas, pembahasan yang paling menonjol dalam Islam
adalah pembahasan yang pertama, yaitu mengenai ketuhanan. Dalam pembahasan tentang
ketuhanan ini, seseorang dapat mengenal hakikat Allah SWT, baik dari segi zat, sifat,
maupun perbuatan-Nya.
Menurut Sa‟id Hawa (2005: 7) Mengenal Allah SWT (ma‟rifat Allah) melalui
sifat-sifat-Nya adalah perbuatan yang baik, karena mengenal Allah SWT adalah pokok
dasar agama, dalam arti ia merupakan sentral agama Islam secara menyeluruh. Tanpa
ma‟rifat ini, semua amal dalam ajaran Islam pada hakikatnya tidak ada harganya sama
sekali. Maka dari itu, mengenal Allah SWT dengan mengetahui sifat-sifat-Nya hukumnya
adalah wajib bagi setiap orang muslim yang mukallaf.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi
dalam kitab Tîjan al-Darāry tentang hukum bagi seorang mukallaf untuk mengetahui
sifat-sifat Allah SWT adalah wajib.
‫يجت عهٗ كم يكهف يٍ ر كش ٔأَثٗ ٔنٕ يٍ انعٕا و ٔانعج ذ ٔانخذو ٔجٕثب ثبع ُ ب‬
‫أٌ يعشف يب يجت فٗ حمّ تعانٗ ٔيب يستح م ٔيب يجٕص‬
Diwajibkan bagi setiap muslim mukallaf laki-laki maupun perempuan, meskipun ia
orang awam, hamba dan budak untuk mengetahui sifat-sifat yang wajib ada pada zat
Allah SWT, sifat-sifat yang mustahil bagi Allah SWT dan sifat yang jaiz bagi Allah SWT
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3).
Yang dimaksud mukallaf disini adalah orang yang sudah baligh/ dewasa. Jadi,
dalam kitab Tîjan al-Darāry ini, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi berpendapat bahwa
yang dikenai hukum wajib untuk mengetahui sifat-sifat Allah SWT baik yang wajib,
mustahil ataupun yang jaiz adalah dibatasi bagi orang yang sudah baligh/dewasa.
Imam sanusi (T.t: 13-15) mengungkapkan pendapat yang sama dengan
pendapatnya Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi bahwa menurut syari‟at agama wajib
bagi setiap muslim mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat Allah SWT baik yang wajib,
mustahil ataupun yang jaiz bagi-Nya.
Adapun makna wajib yang dimaksud dalam sifat wajib bagi Allah SWT menurut
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (T.t: 2) adalah sesuatu yang tidak dimungkinkan
tiadanya.
Sedangkan menurut Syaikh Muhammad al-Fudholi wajib disini bermakna sesuatu
yang dimana akal manusia tidak dapat menerimanya jika sesuatu itu tidak ada (Achmad
Sunarto, 2012: 17).
Dari kedua pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa wajib adalah sesuatu
yang harus ada sehingga akal dapat menerimanya sebagai suatu kebenaran. Seperti
contohnya zat Allah SWT itu harus wujud maka tidak mungkin zat Allah SWT tidak ada.
Kemudian makna mustahil yang dimaksud dalam sifat mustahil bagi Allah SWT
adalah kebalikan dari makna wajib diatas.
Makna jaiz dalam sifat jaiz bagi Allah SWT menurut Syaikh Muhammad
Nawawi al-Jawi (T.t: 2) adalah sesuatu yang dimungkinkan adanya atau tiadanya.
Menurut Syaikh Muhammad al-Fudholi jaiz disini bermakna sesuatu yang ada
atau tidak adanya sama-sama dapat diterima oleh akal.
Dari kedua pendapat tersebut maksudnya adalah sama, hanya penyampaiannya
yang sedikit berbeda.
Menurut pendapat Imam Sanusi (T.t: 15) sifat wajib bagi Allah SWT yang wajib
diketahui jumlahnya ada 20, yaitu sifat Wujud, Qidam, Baqa‟, Mukhalafatu lil Hawadits,
Qiyamuhu Binafsi, Wahdaniyah, Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayyat, Sama‟, Bashar, Kalam,
Qadiran, Muridan, Aliman, Hayan, Sami‟an, Bashiran, Mutakaliman.
Begitu pula menurut Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, bahwa Sifat wajib bagi
Allah SWT yang wajib diketahui oleh orang mukallaf dalam kitab Tîjan al-Darāry
berjumlah 20.
Adapun pentingnya materi pendidikan tauhid yang ada dalam kitab Tîjan Al-Darāry
untuk mengenal Allah SWT materinya adalah tentang 20 sifat wajib dan 20 sifat mustahil
bagi Allah SWT serta 1 sifat jaiz bagi Allah SWT.
Materi pendidikan tauhid tentang 20 sifat wajib bagi Allah SWT berikut lawanlawanya adalah sebagai berikut:
1. Sifat Wujûd (ada) bagi Allah SWT lawannya adalah adam (tidak ada)
‫ف جت فٗ حمّ تعبنٗ انٕجٕد انزا تٗ انزٖ ال يمجم انعذو أصال ٔال أثذا‬
Sifat wujûd itu harus ada pada zat Allah SWT, yaitu zat Allah SWT yang tidak
menerima ketidakberadaan-Nya. Artinya, harus ada sifat tersebut bagi Allah SWT,
baik itu dahulu, sekarang maupun yang akan datang (selamanya). Lawan dari sifat
ini adalah adam (tidak ada) .
Allah SWT itu ada, tidak mungkin Allah SWT tidak ada. Dalil aqli yang
membukti bahwa Allah SWT itu ada adalah penciptaan alam semesta beserta isinya.
Sebagaimana Allah telah berfirman:
‫اَّللُه … لُه ِّم َّح‬
‫ع لُه ِّم َّح‬
‫بس‬
ِّ ‫س َوً َوبٔا‬
ِّ ٕ‫َويءٍن َؤ ُهْ َوٕ ْوان َو‬
‫لُه ْوم َوي ْوٍ َوسةُّ ان َّح‬
‫احذُه ْوانمَو َّحٓ ُه‬
ِّ ‫د َؤ ْواأل َو ْوس‬
‫اَّللُه خَوب ِّن ُهك ُهك ِّّبم ش ْو‬
]16 :‫[انشعذ‬
Artinya: Katakanlah: “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Jawabnya: “Allah”. …..”
Katakanlah: “Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa”. (ar-Ra‟du: 16) (Departemen Agama, 2005: 251).
Ayat diatas sudah jelas membuktikan bahwa Allah SWT itu ada, karena
Allah SWT telah menciptakan alam semesta dan seisinya mulai dari „Arsy hingga
bagian bumi yang paling bawah, semua itu merupakan perkara yang baru
keberadaannya. Artinya, perkara yang ada (tercipta) setelah tidak ada. Dan setiap
perkara yang baru pasti ada pencipta yang tetap wujudnya. Maka, alam jelas ada yang
menciptakan. Keberadaan Sang Pencipta diperoleh dari dalil sifat keesaan dan dari
ketetapan sifat wujud bagi Allah SWT. Dengan demikian, menjadai mustahil bila
Allah SWT mempunyai sifat yang berlawanan dengan sifat wujud-Nya.
Makna wujud menurut Syaikh Muhammad Nawai al-Jawi (T.t: 3) adalah
sifat mengenai ketetapan yang mensifati (dengan wujud itu) untuk menunjukkan
hakikat zat.
Sedangkan makna wujud menurut Syaikh Muhammad al-Fudholi
dalam
kitab Kifāyah al-Awām adalah suatu keadaan yang harus dimiliki suatu zat , selama
zat tersebut masih ada, dan keadaan seperti ini tidak bisa dibatasi suatu alasan
(Achmad Sunarto, 2010: 28).
Kedua makna diatas maksudnya adalah sama, hanya saja bahasa
penyampainnya yang berbeda.
2. Sifat qidam (dahulu) lawannya adalah sifat huduts (baru)
‫ٔيجت فٗ حمّ ٔيعُبِ أَّ تعبنٗ ال أٔل نّ أٖ نى يسجمٕجٕدِ تعبنٗ عذو‬
Sifat qidam wajib ada dalam zat Allah SWT. Artinya, bahwa Allah SWT tidak
ada permulaan bagi-Nya dan wujud Allah SWT tidak didahului oleh sifat-Nya, lawan
dari sifat ini adalah huduts (baru) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3).
Allah SWT adalah al-Awal, tidak ada permulaan bagi wujud-Nya, dan juga alAkhir, artinya tidak ada akhir dari wujud-Nya.
Dalil aqli yang membuktikan bahwa Allah SWT bersifat qidam menurut
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi (T,t: 3) adalah Seandainya Allah SWT
hudust (ada awalnya) pasti Allah SWT membutuhkan yang menciptakan, dan itu
mustahil bagi Allah SWT. Karena Allah SWT adalah zat yang Maha Awal dan yang
Maha Akhir sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya: “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Dzahir dan Yang Bathin,
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hadid: 3) (Departemen Agama,
2005: 537)
Syaikh Muhammad al-Fudholi berpendapat bahwa bukti yang menunjukkan
bahwa Allah SWT itu qidam adalah jika seandainya Allah SWT tidak qidam, sudah
barang tentu Allah SWT itu hadits, karena antara qidam dan hadits itu tidak ada
perantaranya sehingga setiap sesuatu yang terlepas dari qidam pasti ia hadits, dan jika
Allah SWT itu hadits sudah barang tentu ada yang menciptakannya. Sedangkan yang
menciptakan Allah SWT akan butuh yang menciptakannya lagi, begitu pula
seterusnya.
Dari kedua pendapat diatas maksudnya adalah sama, bahwa Allah adalah zat
Awal dan yang Akhir, tidak ada yang mengawali dan mengakhiri wujudnya Allah
(Achmad Sunarto, 2010: 47).
3. Sifat Baqā‟ (kekal) bagi Allah SWT lawannya adalah sifat fana‟ (rusak)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انجمبء‬
Sifat Baqā‟ wajib ada didalam zat Allah SWT, karena Allah SWT adalah zat
yang kekal abadi. Allah SWT ada untuk selama-lamanya, tidak mengalami
kebinasaan atau kehancuran, tidak mempunyai akhir kesudahan. Lawan dari sifat ini
adalah sifat fana‟ (rusak) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 3).
Wajib bagi Allah SWT bersifat baqa‟, bukti bahwa Allah SWT bersifat baqa‟
adalah jika Allah SWT tidak memiliki sifat baqa‟ maka ada kemungkinan Allah SWT
akan rusak. Dan adanya kemungkinan tersebut tidak akan pernah terjadi karena Allah
SWT adalah zat yang qadim dan kekal untuk selama-lamanya, sesuai bunyi firman
Allah SWT:
‫اإل ْوك َوش ِّاو‬
ِّ ‫َؤيَو ْوجمَوٗ َؤجْو ُّه َوس ِّثّب َو رُهٔ ْوان َوج َوال ِّل َؤ ْو‬
Artinya:
Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan
kemuliaan (ar-Rahman: 27) (Departemen Agama, 2005: 532).
4. Sifat Mukhālafah lil Hawādits (tidak menyerupai makhluk-Nya) lawannya sifat
Mumatsalatu Lil Hawadits (menyerupai makhluknya)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انًخبنفخ نهحٕاد ث‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Mukhālafah lil Hawādits, lawan dari
sifat ini adalah sifat mumatsalatu lil hawadits (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi,
T.t: 3).
Wajib bagi Allah SWT memiliki sifat Mukhālafah lil Hawādits, karena Allah
SWT berbeda dengan makhluk-Nya baik dari segi zat, sifat, dan perbuatan-Nya.
Dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Fudholi Allah SWT itu tidak sama dengan
makhluk baik itu manusia, jin, malaikat ataupun makhluk lainya. Dalam hal ini Allah
SWT tidak mungkin mempunyai sifat yang dimiliki oleh semua makhluk seperti
berjalan, duduk, atau mempunyai susunan anggota badan. Allah SWT terlepas dari
susunan anggota tubuh seperti punya mulut, mata, telinga dan anggota tubuh lainnya
(Achmad Sunarto, 2012: 55).
Dalil yang menunjukkan sifat mukhalafatul lil hawaditsinya Allah SWT adalah
Seandainya Allah SWT Mumatsalah (menyerupai makhluk) maka Allah SWT tidak
ada bedanya dengan makhluk, dan itu mustahil. Ditegaskan dalam al-Qur‟an
sebagaimana firman-Nya:
…
Artinya: “ Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dialah yang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syura: 11) (Departemen Agama,
2005: 484)
Jadi, sudah jelas Allah SWT itu berbeda dengan makhluknya baik dari segi sifat,
zat, maupun af‟al-Nya, karena tidak mungkin terjadi persamaan, antara Tuhan Sang
Pencipta dengan makhluk yang diciptakan.
5. Sifat Qiyāmuhu Binafsihi (berdiri sendiri) lawannya Ihktiyaju li Ghairihi
(membutuhkan makluknya)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انم بو ثبنُفس‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Qiyāmuhu Binafsihi (berdiri sendiri),
lawan dari sifat ini adalah ihtiyajuhu lighairihi, yaitu allah membutuhkan makhluk
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 4).
Arti dari sifat Qiyāmuhu Binafsihi ini dijelaskan melalui dua perkara. Yang
pertama, bahwa Allah SWT tidak membutuhkan ruang untuk ditempati, sedangkan
yang kedua, bahwa Allah SWT tidak membutuhkan ketentuan (perkara yang
mewujudkan). Allah SWT berdiri dan berbuat dengan kekuatannya diri-Nya sendiri.
Wujud Allah SWT ditentukan oleh diri-Nya sendiri, bukan oleh yang lain diluar diriNya.
Dalil yang menunjukkan bahwa Allah SWT bersifat Qiyāmuhu Binafsihi
adalah Seandainya Allah SWT Ihtiyaj (membutuhkan tempat atau pencipta) maka
Allah SWT bersifat seperti warna putih (sifat) dan membutuhkan benda (untuk
tempat), apabila benda itu hilang maka warna putih pun akan ikut hilang. Dan itu
mustahil bagi Allah SWT.
‫ ِّإ َّحٌ َّح‬...
‫ع ٍِّ ْوان َوعبنَو ًِّ ٍَو‬
‫ي َو‬
ٌّ ُِّ ‫اَّللَو نَوغَو‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam” (Al-„Ankabut: 6) (Departemen Agama, 2005: 396).
Allah SWT ada dan berdiri dengan kekuasaan dan kekuatannya sendiri, karena
Allah SWT adalah Tuhan yang Maha Kaya atas segala-galanya, maka tidak mungkin
jika Allah SWT mempunyai sifat ikhtiyaju lighairihi yaitu membutuhkan yang lain.
6. Sifat Wahdāniyah ( Maha Esa) lawannya sifat ta‟adud (berbilang)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انٕحذاَ خ فٗ انزاد ٔفٗ انظفبد ٔفٗ األفعبل‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat “Wahdāniyah” di dalam sifat, zat,
dan perbuatan (af‟al)-Nya. Lawan dari sifat ini adalah sifat ta‟adud (Syaikh
Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 4).
Makna Wahdāniyah dalam zat menurut Syaikh Muhammad Nawawi alJawi, (T.t: 4) adalah bahwa zat Allah SWT tidak tersusun dari bagian yang banyak
dan juga tidak tersusun dari beberapa bagian
Adapun makna Wahdāniyah dalam sifat menurut pendapat Syaikh
Muhammad al-Fudholi adalah tidak adanya banyak sifat, maksudnya Allah SWT
tidak mempunyai banyak sebutan ataupun makna. Jelasnya, Allah SWT tidak
mempunyai dua sifat yang sama, baik sama disalam nama ataupun artinya. Seperti
dua sifat Qudrat, dua sifat iradah, dua sifat Ilmu dan sebagainya. Allah SWT hanya
memiliki satu sifat qudrat, satu sifat iradat, dan satu sifat ilmu (Achmad Sunarto,
2012: 64).
Sedangkan makna Wahdāniyah dalam perbuatan adalah, bahwa tidak ada
satupun perbuatan makhluk yang sama dengan perbuatan Allah SWT. Seperti; Allah
SWT menciptakan makhluk, memberi rezeki, menghidupkan, mematikan, dan lainlain (Achmad Sunarto, 2010: 8).
Khusus tentang Wahdāniyah dalam perbuatan (al-Wahdatu fil-Af‟al) Humaidi
(1990: 64) menambahkan bahwa artinya ialah Allah SWT menyendiri dalam berbuat,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Perbuatan-perbuatan yang dikerjakan-Nya semata-mata
terjadi atas kehendak dan kekuasaan-Nya yang absolut, tanpa ada campur tangan dari
pihak lain. Dia adalah satu-satunya Allah Sang Maha Pencipta dalam arti yang
sebenar-benarnya, yang tidak disamai oleh siapapun atau apapun.
Dalil yang menunjukkan sifat wahdaniyah Allah SWT menurut Syaikh
Muhammad al-Fudholi adalah apabila ada dua Tuhan maka adakalanya kedua Tuhan
tersebut akan mempunyai kehendak yang berbeda dan Tuhan yang satu
dapat
melaksanakan kehendaknya sementara Tuhan yang lain tidak, maka Tuhan yang tidak
mampu melaksanakan kehendaknya juga lemah sehingga karena kelemahan itu dia
tidak akan mampu menciptakan alam ini sendirian. Dengan demikian Tuhan ini hanya
ada satu. Yaitu Allah yang Maha Esa.
Allah SWT menegaskan dalm firman-Nya:
Artinya: “Andaikata saja ada Tuhan-tuhan selain Allah di langit dan dibumi,
niscaya keduanya telah rusak dan binasa, karena itu Maha Suci Allah yang
memiliki „Arsy” (Al-Anbiya‟: 22) (Departemen Agama, 2005: 323).
Tapi adakalanya juga kedua Tuhan tersebut akan bersatu dalam menciptakan
alam secara bersama-sama, apabila alam ini terwujud atas kerja sama kedua Tuhan
tersebut sudah barang tentu akan terjadi bertemunya dua Tuhan dalam menciptakan
satu makhluk. Padahal hal yang demikian itu sangat mustahil. Karena alam ini
diciptaka oleh Allah SWT yang Maha Esa sendiri tanpa bantuan dari siapapun.
7. Sifat Qudrat (berkuasa) lawanya ajzun (lemah)
ّ‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انمذسح ْٔٗ طفخ ٔجٕديخ لذيًخ لبئًخ ثزات‬
ٗ‫تعبنٗ يٕجذ تعبن‬
Allah SWT wajib mempunyai sifat qudrat. Lawan dari sifat ini adalah sifat
ajzun (lemah) (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 6).
Sifat qudrat ini merupakan aplikasi dari sifat wujud dan yang telah dahulu dan
selalu menetap pada zat Allah SWT. Dengan sifat qudrat ini, Allah SWT akan
mewujudkan dan meniadakan segala sesuatu kemungkinan yang sesuai dengan
kehendak-Nya.
Adapun dalil qudrahnya Allah SWT adalah Seandainya Allah „Ajzu (tidak bisa
apa-apa) pasti tidak akan pernah ada ciptaan-Nya, padahal Allah SWT telah
mengadakan alam semesta beserta isinya dengan berbagai keadaan, misalnya alam
binatang, alam tumbuh-tumbuhan dan alam-alam lainya. Karena itu, sangat mustahil
bagi Allah SWT zat yang telah mengadakan alam dengan keagungan dan kebenaran
ini bersifat „Ajz (Abdullah Zakiy, 1999: 33). Allah SWT telah menegaskan dalam
firman-Nya:
‫ إ ِِّ َّحٌ َّح‬...
]20 :‫ِّيش [انجمشح‬
ٌ ‫َويءٍن لَوذ‬
‫اَّللَو َو‬
‫عهَوٗ ُهك ِّّبم ش ْو‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” (Al-Baqarah:
20) (Departemen Agama, 2005: 4) .
Allah SWT adalah Raja Mahadiraja, kekuasaan-Nya meliputi segala yang
dilangit dan dibumi. Seluruh alam semesta beserta isinya diciptakan dengan
kekuasaan-Nya, maka mustahil jika Allah SWT mempunyai sifat „Ajz lemah.
8. Sifat Irādah (berkehendak) lawannya sifat Karahah (terpaksa)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ اإلسادح ٔيشادفٓبانًش ئخ‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Iradat. Iradat adalah sifat yang wujud,
dahulu, dan menetap pada zat Allah SWT. Adapun lawan dari sifat ini adalah sifat
karahah yang artinya terpaksa (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 6).
Tidak akan terjadi segala sesuatu melainkan atas kehendak-Nya. Maka
apapun yang dikehendaki-Nya pasti ada, dan apapun yang tidak dikehendaki-Nya
maka tidak mungkin terjadi.
Dalil yang membuktikan sifat iradahnya Allah SWT adalah seandainya Allah
SWT Karahah (terpaksa) pasti Allah SWT „Ajzu (lemah). Dan itu mustahil, karena
alam ini tercipta dengan jalan iradah dan ikhtiyarnya Allah SWT (Abdullah Zakiy,
1999: 31). Sebagaimana Allah SWT berfirman:
‫ ِّإ َّحٌ َوسثَّح َو فَوعَّحب ٌل ِّن َوًب ي ُِّهشيذ ُه‬...
Artinya: “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia
kehendaki” (Hud: 107 ) (Departemen Agama, 2005: 233) .
Maka dari itu, sama sekali tidak boleh menganggap bahwa adanya alam ini
dengan tanpa iradah dan ikhtiyarnya Allah SWT, karena Allah SWT mempunyai
kehendak dan pemilihan untuk kehendak-Nya itu.
9. Sifat Ilmu (mengetahui) lawannya adalah Jahl (bodoh)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انعهى‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Ilmu, yang artinya mengetahui. Lawan
dari sifat ini adalah jahl (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 7).
Menurut pendapat
Humaidi (1990: 65) pengetahuan Tuhan meliputi segala
sesuatu dari yang sebesar-besarnya sampai yang sekecil-kecilnya, baik yang telah
ataupun yang akan terjadi di bumi, di udara, di laut, dan di mana saja, di dalam gelap
atau terang, lahir atau bathin. Mustahil Allah SWT tidak mengetahui, karena tidak
mengetahui berarti bodoh. Kebodohan adalah sifat kekurangan, sedang Allah SWT
Maha Suci dari sifat kekurangan.
Seandainya Allah SWT jahl (bodoh) tidak mengetahui apa-apa pasti Allah SWT
tidak Iradat (tidak berkehendak karena bodoh) untuk menciptakan alam ini serta allah
tidak akan mengetahui apa yang ada dialam semesta ini. Dan itu mustahil, karena
buktinya alam ini sekarang ada. Dan Allah SWT lah yang mengatur segala kejadian
yang terjadi di alam ini dengan sifat iradah dan ilmunya Allah SWT. Sebagaimana
firman Allah SWT yang berbunyi:
Artinya: “ Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan segala sesuatu
yang ada dibumi. Dia mengetahui apa-apa yang kamu sembunyikan dan semua yang
kamu tampakkan. Dan Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di dalam hati
manusia ”(At-Taghabun: 4) (Departemen agama, 2005: 556)
10. Sifat Hayāt (hidup) lawannya adalah sifat Maut (mati)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انح بح‬
Wajib
bagi Allah SWT mempunyai sifat Hayāt, lawan dari sifat hayat ini
adalah sifat maut yang artinya mati (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 7)
Kehidupan Allah SWT itu kekal abadi, tidak ada waktu lahirnya dan tidak ada
waktu matinya. Allah SWT hidup untuk selama-lamanya dengan tidak berkesudahan.
Dalil tentang sifat hayatnya Allah SWT adalah seandainya Allah SWT
Maut (Mati) pasti Allah SWT tidak Qudrat, Iradat dan tidak „Ilmu, dan itu mustahil.
‫َّح‬
255 :‫ انجمشح‬.... ‫ي ْوانمَو ُّٕ ُهو‬
ُّ ‫اَّللُه َوال ِّإنَوَّو ِّإ َّحال ُهْ َوٕ ْوان َوح‬
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia
yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) “ (Al-Baqarah: 255)
(Departemen Agama, 2005: 42)
Jadi, Allah SWT tidak mungkin bersifat Maut, karena Allah SWT hidup
selama-lamanya.
11. Sifat Sama‟ dan Bashar (mendengar dan melihat) lawannya sifat Ashamu dan „Ama
(tuli dan buta)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انسًبء ٔانجظش‬
Wajib bagi Allah SWT mempuyai sifat sama‟ dan bashar, yang artinya Mendengar
dan Melihat. Lawan dari kedua sifat ini adalah ashamu dan „ama yang artinya tuli
dan buta (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t:7 )
Pendengaran dan penglihatan Allah SWT meliputi segalanya. Kedua sifat
tersebut merupakan sifat yang harus ada pada zat Allah SWT yang memiliki
keterkaitan dengan segala yang ada, yaitu dengan memiliki kedua sifat tersebut segala
sesuatu yang ada di dunia akan tampak jelas oleh-Nya baik yang ada itu wajib atau
jaiz (Achmad Sunarto, 2012:106).
Dalilnya sifat Sama‟ dan Bashar adalah tidak mungkin Allah SWT tuli dan buta.
Karena jika Allah SWT tuli dan buta maka Allah SWT tidak akan dapat menciptakan
dan mengetahui segala apa yang ada di alam semesta ini. Sebagaiman firman Allah
SWT:
Artinya: “Dan Dia lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (AsySyûrā: 11) (Departemen Agama, 2005: 42)
12. Sifat Kalām (berbicara) lawanya bukmu (bisu)
‫ٔيجت فٗ حمّ تعبنٗ انكالو‬
Wajib bagi Allah SWT mempunyai sifat Kalām, artinya Berbicara. Lawan dari
sifat ini adalah sifat Bukmu yang artinya bisu (Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi,
T.t: 8).
Berbicaranya Allah SWT berbeda dengan bicaranya makhluk, karena
sesungguhnya bicaranya makhluk adalah sesuatu yang diciptakan pada diri makhluk
dengan membutuhkan perantara, seperti mulut, lidah dan dua bibir. Sedangkan
bicaranya Allah SWT adalah berupa firman atau kalāmullah.
Adapun yang dimaksud dengan kalam Allah SWT menurut pendapat Syaikh
Muhammad al-Fudhali bukanlah lafadz-lafadz syari‟fah (al-Qur‟an) yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw itu, karena al-Qur‟an tersebut baru saja di turunkan,
sementara kalam yang ada pada Allah SWT itu qadim (sudah ada sejak dahulu kala)
(Achmad Sunarto, 2012: 116)
Sedangkan menurut pendapat Abdullah Zakiy (1999: 34) kalam adalah sifat
Allah SWT yang qadim dan berdiri dengan zatnya sendiri yang dilakukan tidak
menggunakan huruf dan tidak pula menggunakan suara.
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kalam adalah sifat Allah
SWT yang bukan berupa suara, huruf, atau bukanlah lafadz-lafadz al-Qur‟an
melainkan sifat Allah SWT yang ada karena zat-Nya sendiri sejak zaman dahulu kala
(qadim).
Dalil tentang sifat Kalam Allah SWT adalah apabila Allah SWT Bukmu (bisu)
maka sudah pasti Allah SWT memiliki sifat kekurangan, dan muhal sekali bagi Allah
SWT yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya
mempunyai sifat
kekurangan. Dan Allah SWT pun memberikan kepada sebagian makhluknya untuk
berbicara, maka mustahil jika Allah SWT bisu.
Allah SWT telah berfirman:
‫ َؤ َوكهَّح َوى َّح‬...
164 :‫سٗ ت َو ْوك ِّه ًدًب انُسبء‬
‫اَّللُه ُهيٕ َو‬
Artinya: “Dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung” (annisa‟: 164) (Departemen Agama, 2005: 104)
Adapun analisis sifat Qadiran, Muridan, Aliman, Hayyan, Sami‟an, Bashiran
dan Mutakaliman dalilnya adalah sama dengan sifat Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat,
Sama‟, Bashar dan Kalam.
B. Signifikansi Pendidikan Tauhid tentang Sifat Jaiz bagi Allah SWT untuk Mengenal
Zat Allah Swt.
Materi pendidikan tauhid tentang sifat jaiz bagi Allah SWT yang dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab tîjan al-darāry untuk mengenal zat Allah
SWT adalah sebagai berikut:
ّ ‫ٔانجب ئض فٗ حمّ تعبنٗ فعم كم يًكٍ أٔ تشكّ ٔانًًكٍ ْٕ انزٖ يجٕص عه‬
‫انٕجٕد ٔانعذو ٔنٕ ششا كبنكفش ٔانًعبص ٔانخهك ٔانشصق َٔحْٕب‬
Sifat Jaiz (kewenangan) bagi Allah SWT adalah sifat yang boleh ada pada Allah
SWT. Hanya ada satu sifat, yaitu
‫فِّ ْوع ُهم ُهك ّب ِّم ُهي ْوً ِّك ٍنٍ اَو ْؤ ت ْوَوش ُهكُّه‬
(menciptakan setiap yang
mungkin wujudnya atau tidak menciptakanya). Yang disebut “mungkin” ialah sesuatu
yang bisa wujud dan bisa pula tidak wujud, sekalipun itu berupa perkara yang jelek
seperti; kufur atau maksiat, menciptakan makhluk, memberi rezeki, dan lain sebagainya
(Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, T.t: 10).
Harus kita ingat bahwa Allah SWT itu sempurna kekuasaannya, sempurna
ilmunya dan sesuatu yang jaiz itu tentu boleh ada dan boleh tidak ada. Maka Allah SWT
pun Maha Kuasa untuk mengadakan dan meniadakan. Sesuatu yang dapat kita jadikan
pedoman bahwa Allah SWT itu jaiz mengadakan atau meniadakan setiap sesuatu,
sekalipun betapa besar dan beratnya ialah alam semesta. Semua hasil ciptaan Allah SWT
yang Maha Hebat, Maha Indah dan Maha Mengagumkan itu tidak mungkin terjadi tanpa
sifat qudrah-Nya Allah SWT yang berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan.
Termasuk juga Allah SWT telah mengutus Rasul dan memberikan mu‟jizat kepada para
Rasul untuk menetapkan kebenaran mereka sebagai Rasul (Abdullah Zakiy al-Kaaf,
1999: 47).
Jadi Allah SWT boleh berbuat sesuatu, boleh juga tidak berbuat sesuatu. Berbuat
atau tidak berbuat, menjadi wewenang sepenuhnya bagi Allah SWT. Dia bebas dan
merdeka untuk menentukannya sendiri apa yang ingin diperbuat-Nya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan oleh penulis sebagaimana dalam bab-bab
sebelumnya, dapat disimpulkan:
1. Pemikiran Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi tentang Nilai Pendidikan Tauhid dari
sifat-sifat Allah SWT dalam kitab Tîjān al-Darāry adalah:
6. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat
wajib bagi Allah SWT yang ada 20 yaitu, wujûd, qidam, baqā‟, mukhālafatul lil
hawādits, qiyāmu binnafsihi, wahdāniyah, qudrat, irādah, ilmu, hayāt, sama‟,
bashar, kalām, qādiran, murîdan, ‟āliman, hayyan, samî‟an, bashîran, mutakaliman.
7. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat
mustahil bagi Allah SWT yang merupakan lawan dari sifat wajib bagi Allah SWT.
8. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat jaiz
bagi Allah SWT yang ada satu, yaitu ‫ت ْوَوش ُهكُّه‬
ٔ‫( فِّ ْوع ُهم ُهك ِّّبم ُهي ْوً ِّك ٍنٍ ا َو ْو‬menciptakan setiap yang
mungkin wujudnya atau tidak menciptakanya).
9. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat
wajib bagi Rasulullah SAW yang ada 4, yaitu shiddiq, amānah, tablîgh, fathānah.
10. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat
mustahil bagi Rasulullah SAW, yang merupakan lawan dari sifat wajib bagi
Rasulullah SAW.
11. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui sifat-sifat jaiz
bagi Rasulullah SAW yang ada satu, yaitu ‫انجششيخ‬
‫( األعشاع‬sifat kemanusiaan).
12. Pendidikan tentang kewajiban bagi seorang mukallaf untuk mengetahui nasab
Rasulullah SAW.
2. Signifikansi Nilai Pendidikan Tauhid dari Sifat-sifat Allah SWT untuk Mengenal zat
Allah SWT adalah:
a. Signifikansi pendidikan tauhid tentang sifat wajib dan mustahil bagi Allah SWT
untuk mengenal zat Allah SWT.
b.
Signifikansi pendidikan tauhid tentang sifat jaiz bagi Allah SWT untuk mengenal zat
Allah SWT.
B. SARAN
1. Untuk Lembaga Pendidikan Islam
Pengajaran dan penanaman nilai pendidikan tauhid baik yang bersumber dari alQur‟an, as-Sunah maupun empiris harus terus dilakukan, dimana krisis aqidah dan moral
yang sedang melanda negri ini. Oleh karena itu, hendaknya para ulama dan para pendidik
selalu memberikan pembelajaran tauhid kepada anak didiknya mulai sejak dini. Sehingga
ketika nanti anak didik itu sudah dewasa dan sudah dikenai kewajiban untuk mengetahui
sifat-sifat Allah SWT, mereka tidak akan merasa asing dengan ilmu tersebut.
2. Untuk Masyarakat
Pada dasarnya pendidikan tauhid mengenai perintah untuk beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta larangan untuk menyekutukan Allah SWT telah
nyata dijelaskan oleh al-Qur‟an dan as-Sunah. Oleh karena itu penulis menyarankan agar
penggalian dan penanaman ajaran tauhid tersebut terus dilakukan/disosialisasikan kepada
masyarakat sebagai salah satu langkah perbaikan aqidah dalam jiwa manusia untuk
menjalani kehidupan di dunia ini yang semata-mata untuk beribadah dan menggapai ridho
Allah SWT, agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Sirajjudin. 2008. I‟tiqad Ahlussunah wal Jamaah. Jakarta Selatan: Pustaka
Tarbiyah Baru.
Amir, Ja‟far. 2000. Terjemah Jawahirul Kalamiyah Ilmu Tauhid. Pekalongan: Raja
Murah.
Al-Ghulayaini, Musthafa. 2009. Izhatun Nasyi‟in. Terjemahan jilid 1 oleh Siroj
Zaenuri Hadi Nur. Jakarta: PT Albama.
Al-Kaaf, Abdullah Zakiy. 1999. Memperkokoh Akidah Islamiyah. Bandung: CV
Pustaka Setia.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1973. Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid atau Kalam.
Jakarta: PT Bulan Bintang.
Az-Zahidiy, Moh. Munawir. 2007. Terjemah Risalatul Mu‟awanah. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
Departemen Agama. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemah. Bandung: CV Penerbit
Jumānatul ‟Ali-art (J-art).
El-Saha, M. Ishom, dan Haedari, Amin. 2008. Manajemen Pendidikan Pesantren.
Jakarta: Transwacana.
Ilyas, Yunahar. 2009. Kuliyah Aqidah Islam. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan
Pengalaman Islam (LPPI).
Jahja, Zurkani. 1996. Teologi al-Ghazali Pendekatan Metodologi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI).
Manaf, Mujdahid Abdul. 1996. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Maslikhah. 2009. Ensiklopedia Pendidikan. Salatiga: STAIN Salatiga Press.
Nawawi al-Jawi, Muhammad. T.t. Tîjān al-Darāry. Semarang: Pustaka al-‟Alawiyah.
Sunarto, Achmad. 2010. Terjemah Tîjān al-Darāry. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Sunarto, Achamd. 2012. Terjemah Kitab Kifayah al-„Awam. Al-Miftah. Surabaya.
Syamsu, Muhammad. 1996. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya.
Jakarta: Penerbit Lentera.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung:
PT Imperial Bhakti Utama.
Tatapangarsa, Humaidi. 1990. Kuliah Aqidah Lengkap. Surabaya: PT Bina Ilmu.
(http://nulibya.wordpress.com.14/06/2013).
(http://aladamyarrantawie.blogspot.com.14/06/2013).
(http://ariffadholi.blogspot.com/10/2010).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Muntahanik
Tempat/ Tanggal lahir : Semarang, 21 Oktober 1991
Alamat
: Dusun. manggung Desa. Jimbaran
Kec. Bandungan Kab. Semarang
Pendidikan
: RA Sabilul Huda lulus tahun 1997
MI Sabilul Huda lulus tahun 2003
MTS Jimbaran lulus tahun 2006
MAK Al-Manar lulus tahun 2009
STAIN Salatiga lulus tahun 2013
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya.
Penulis
Muntahanik
Download