Kasus: Ada 1.a yang sebuah dibangun rumah dipinggir sungai dan didekat jembatan. Rumah tersebut menjorok ke jalan raya. Gambar 1.1 Analisa kasus: 1) Dalam kasus di atas maka pendirian bangunan rumah ini secara yuridis tidak dapat dibenarkan bahkan boleh dikatakan penduduk yang menempati dan mendirikan bangunan dibantaran sungai tersebut telah melanggar peraturan keagrariaan. Jarak pemukiman yang ditetapkan paling sedikit seharusnya 100 meter di kanan kiri sungai. Pemerintah seharusnya memberi sanksi tegas terhadap pendirian bangunan di bantaran sungai karena seharusnya di bantaran sungai merupakan tempat penghijauan agar tidak terjadi banjir dan longsor. Selain itu pemukiman di sekitar sungai akan membuat lingkungan menjadi kumuh karena sungai dijadikan tempat pembuangan limbah. 2) Menurut pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Salah satu kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum meliputi jalan umum. Jika tanah yang ditempati tersebut diperlukan untuk pembangunan atau pelebaran jalan demi kepentingan umum, maka berdasarkan pasal tersebut pemilik rumah harus suka rela menyerahkan hak atas tanah serta bangunan dengan adanya ganti rugi yang layak. 3) Kebanyakan bangunan yang ada di bantaran sungai tidak mempunyai izin resmi dan tidak mempunyai sertifikat, sedangkan salah satu bukti kepemilikan yang sah atas tanah dan bangunan harus mempunyai sertifikat. Jika tidak mempunyai sertifikat tersebut maka tidak ada bukti yang sah atas kepemilikan dan akan mengakibarkan timbulnya konflik atau sengketa. Sertifikat hak atas tanah adalah bukti kepemilikan seseorang atas suatu tanah beserta bangunannya. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”): “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.” “Pendaftaran tanah bertujuan: untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.” Berdasarkan uraian pasal tersebut dapat kita lihat bahwa sertifikat hak atas tanah berguna sebagai alat bukti kepemilikan suatu hak atas tanah bagi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Ini berarti bahwa sertifikat atas tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak atas tanah tersebut. 4) Mendirikan bangunan haruslah mempunya izin terlebih dahulu sekalipun tanah itu milik nya sendiri. Maka dari itu izin sangatlah penting sebelum mendirikan bangunan. Dalam hukum tanah adat, hak ulayat, yang merupakan hak persekutuan hukum atas tanah merupakan pusat pengaturannya. Hak perseorangan warga masyarakat adat, memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila warga tersebut terus menggarap bidang tanah termaksud secara efektif, maka hubungan hak miliknya menjadi lebih intensif dan dapat turun temurun. Tetapi apabila warga tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya maka tanah itu kembali ke dalam cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur. 5) Sedangkan menurut hukum agraria, izin mendirikan bangunan dapat diperoleh dan dimiliki dengan cara yang sesuai dan telah diatur dalam undang-undang. Undang-undang tersebut adalah Pasal 32 PP 40/1996 menentukan bahwa pemegang hak guna bangunan berhak untuk menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan hak guna bangunan selama jangka waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. Bagi pemegang hak guna bangunan yang letak tanahnya mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, yang bersangkutan juga wajib untuk memberikan jalan ke luar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung. b. Kasus: Ada tiang listrik yang menjorok ke jalan atau ke pekarangan warga. Sehingga melanggar aturan. Gambar 1.2 Analisis kasus: 1) Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPA terdapat asas Tingkatan yang Tertinggi yang berbunyi "Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang Terkandung di dalamnya Dikuasai oleh Negara". Sesuai dengan pendirian tersebut, perkataan “dikuasai” di sini bukan berarti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberikan wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan bangsa Indonesia pada tingkatan yang tertinggi untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam. Dalam hal ini adalah pengadaan tiang listrik. 2) Jika dipandang dari sisi masyarakat yang tanah atau pekaranganya digunakan untuk pembangunan fasilitas umum, dalam hal ini adalah tiang listrik, maka masyarakat harus mengutamakan pembangunan fasilitas tersebut. Karena fasilitas tersebut merupakan hal yang bersangkutan dengan kepentingan umum dan mengatur hajat hidup orang banyak. Hal ini dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 3 UU Poin 3 yaitu tentang asas Kepentingan umum yang artinya adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Maksudnya asas ini menghendaki pemerintah harus mengutamakan kepentingan umum terlebih dahulu. Maka dari itu sebagai warga negara yang baik dan taat pada aturan hukum masyarakat haruslah menjalankannya. 3) Jika dipandang dari sisi pemerintah dalam hal ini adalah yang melaksanakan pembangunan fasilitas listrik harus sesuai dengan asas akuntabilitas yang diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah bagian kedua tentang asas penyelenggaraan pemerintahan Pasal 20 angka 1 . Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka dari itu pemerintah dalam hal ini sebagai penyelenggara pembangunan harus melaksanakannya. 4) Jika terjadi sesuatu yang dapat merugikan masyarakat, misalnya saja ada tiang listrik yang ambruk dan menimpa rumah warga. Maka pemerintah wajib memberikan ganti rugi atau warga berhak menuntut meminta ganti rugi. Dasar hukumnya adalah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian.” 5) Berpedoman pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU 1/2011”). Pada dasarnya, tiang listrik sebagai bagian dari jaringan listrik merupakan salah satu utilitas umum di kawasan permukiman sebagaimana disebut dalam Pasal 28 UU 1/2011. Sedangkan yang dimaksud dengan utilitas umum adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 23 UU 1/2011. Pada pengaturannya, soal pemasangan utilitas ini diserahkan kembali pengaturannya pada peraturan daerah setempat. Jadi, pemasangan tiang listrik harus memperhatikan peraturan-peraturan daerah setempat. `Kasus 1: Ada rumah 2. yang saling berhimpitan dan ditengahnya ada pohon, sebagian ranting pohon tersebut mengenai pekarangan atau menjorok ke rumah tetangga. Analisis kasus 1: 1) Menurut Pasal 665 KUHPerdata Buku Kedua tentang Kebendaan yang berbunyi “Menanam pohon atau pagar hidup yang tinggi tumbuhnya dilarang, kecuali jika pohon atau pagar itu ditanam dengan mengambil jarak menurut peraturan khusus atau kebiasaan yang berlaku dalam hal itu, dan bila tidak ada peraturan dan kebiasaan, dengan mengambil jarak dua puluh telapak, dari garis batas kedua pekarangan, sepanjang mengenai pohon-pohon yang tinggi dan lima telapak sepanjang mengenai pagar hidup.” Jadi, menurut pasal tersebut menanam pohon haruslah sesuai dengan aturan khusus atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu daerah tertentu. Jarak antara pohon dan rumah tetangga minimal adalah dua puluh telapak tangan dari garis kedua pekarangan agar tidak mengganggu ketentraman tetangga dan tidak menimbulkan konflik. 2) Jika tetangga merasa terganggu dengan adanya pohon tersebut, maka dapat meminta tetangga untuk memotong dahan yang masuk ke pekarangan. Apabila sudah meminta ke tetangga untuk memotong dahan namun ditolak, maka tetangga yang merasa terganggu dapat memotong sendiri dahan yang masuk ke pekarangannya. 3) Jika tetangga merasa dirugikan, maka dapat menempuh upaya hukum Sesuai dengan pasal 666 KUHPerdata Buku Kedua tentang Kebendaan yang berbunyi : “Tetangga mempunyai hak untuk menuntut agar pohon dan pagar hidup yang ditanam dalam jarak yang lebih dekat daripada jarak tersebut di atas dimusnahkan. Orang yang di atas pekarangannya menjulur dalam pohon tetangganya, maka ia menuntut agar tetangganya menolaknya setelah ada teguran pertama dan asalkan ia sendiri tidak menginjak pekarangan si tetangga.” 4) Jika tidak bisa disingkirkan kecuali dengan dipotong maka pemilik tanah boleh memotongnya, dan dia tidak memiliki kewajiban untuk memberikan ganti, terkait pemotongan dahan tersebut. 5) Jika dahan atau ranting pohon menjalar ke tanah atau udara orang lain, dan orang tersebut tidak merelakan keberadaan dahan tersebut, maka pemilik pohon diperintahkan untuk memangkas dahan tersebut. Kasus 2: Ada rumah yang saling berhimpitan dan ditengahnya ada pohon yang berbuah lebat. Sebagian buah tersebut mengenai pekarangan atau menjorok ke rumah tetangga. Analisis kasus 2: 1) Pohon tersebut sebaiknya ditebang karena mengganggu kenyamanan. Apabila pohon tersebut berbuah, rumah yang terganggu karena ada buah yang menjorok itu berhak mendapatkan buah dari pohon tersebut. Karena sebagai imbalan dari membersihkan dedaunan yang jatuh. 2) Apabila ada pohon yg akar dan batangnya menjalai kepekarangan tetangga maka akar dan batangnya tetap kepunyaan pemilik pohon. Jadi buah yang masih ada di dahan juga nasih milik nya yang punya pohon. 3) Sedangkan apabila si tetangga merelakan ranting pohon tersebut tumbuh diatas tanahnya, ia tidak berhak mengambil buah tersebut, dan apabila mengambilnya harus meminta izin dulu pada pemiliknya. 4) Misalkan tetangga kita memiliki pohon buah yang batangnya menjorok ke halaman kita dan daun-daun dari pohon tersebut mengotori halaman kita, maka buah yang ada di dahan yang menjorok ke halaman kita itu menjadi hak milik kita dan itu hukumnya halal kalau diambil. Tapi hal itu harus dibicarakan dahulu, karena tidak semua orang memahami hal tersebut. 5) Jika tumbuhnya buah tersebut menganggu maka gangguan tersebut harus dihilangkan tanpa menimbulkan gangguan yang semisal. 3.a Tanah Warisan Kasus: Ada sebuah keluarga dimana kedua orangtua tersebut meninggal dunia dan meninggalkan 3 orang anak, dimana anak pertama adalah laki-laki dan anak kedua dan ketiga adalah perempuan. Orangtua tersebut meninggalkan warisan berupa tanah. Bagaimana pembagian warisan tersebut? Analisis kasus: 1) Menurut hukum adat, jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya, yang menjadi ahli waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka. 2) Dalam hukum Islam, bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa laki-laki lah yang oleh syariat Islam dibebankan tanggung jawab untuk memberi nafkah keluarga dan membebaskan prempuan dari kewajiban tersebut, meskipun perempuanboleh saja ikut mencari nafkah. 3) Dalam KUHPerdata, yang berhak untuk mewaris adalah keluarga atau ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Dalam KUHPerdata Pasal 852 menjelaskan bahwa, yang menerima warisan adalah anak-anak atau keturunan mereka, baik dilahirkan dari lain perkawinan sekalipun, dengan tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan dan tidak ada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu. 4) Menurut hukum agraria pasal 20 ayat 1 UUPA tentang hak milik yaitu, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan sampai pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. 5) Berdasarkan interprestasinya membagi ahli wris menurut UU menjadi empat golongan, yaitu: Golongan pertama, terdiri dari suami/istri dan keturunannya; Golongan kedua, terdiri dari orang tua, saudara dan keturunan saudara; Golongan ketiga, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya; Golongan keempat, terdiri dari sanak keluarga lain-lainnya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat keenam. Apabila golongan pertama masih ada maka golongan selanjutnya tidak mendapatkan apa-apa. b. Tanah warisan Kasus: Ada keluarga dimana sang istri meniggal dunia dan meninggalkan dua anak baik laki-laki atau perempuan. Kemudian sang ayah menikah lagi dan mempunyai seorang anak dari pernikahan kedua. Istri pertama yang meninggal tadi mempunyai warisan berupa tanah. Bagaimana cara pembagian warisan ? Analisis kasus: 1) Perlu diketahui bahwa yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama (Pasal 832 KUHPerdata). Berdasarkan prinsip pewarisan dalam hukum perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak dari istrinya yang pertama tetap mendapatkan warisan. 2) Yang perlu diperhatikan justru warisan yang akan diterima oleh istri kedua. Berdasarkan Pasal 852a ayat (1) KUHPerdata, dikatakan bahwa bagian suami atau istri yang ditinggal mati oleh pewaris adalah sama dengan seorang anak sah. Dengan ketentuan bila perkawinan tersebut adalah perkawinan kedua dan selanjutnya, sedangkan dari perkawinan sebelumnya ada anak-anak atau keturunan dari anak-anak tersebut, istri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dari bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak dari perkawinan sebelumnya. 3) Seorang ahli waris berhak untuk menuntut upaya segala apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris (heriditatis petito). Hak penuntutan ini menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan itu harus ditujukan kepada orang yang menguasai satu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Menurut pasal 834 BW. 4) Dalam pasal 832 KUHPdt dinyatakan bahwa menurut undang - undang yang berhak menjadi ahli waris ialah, para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama. 5) Semua anak dari istri pertama dan kedua mendapat warisan karena saudara sebapak. Ini berdasarkan hukum Islam. 4. WNI WNI WNI WNA Kasus: Ada orangtua yang berkewarganegaraan Indonesia yang mempunyai anak. Anak tersebut menikah dengan orang yang berkewarganegaraan Norwegia. Berhubung Indonesia dan Norwegia tidak mempunyai hubungan diplomasi, maka anak tersebut menikah di Singapura yang mempunyai hubungan diplomasi. Pertanyaanya, bagaimana proses pernikahan dan akibat hukum: 1. Di dalam negeri 2. Di luar negeri Analisis kasus 1: 1) Jika kedua orang tersebut menikah di dalam negeri (indonesia) maka harus menggunakan hukum yang berlaku di indonesia yaitu, undang-undang republik indonesia nomor 1 tahun 1974. berdasarkan undang-undang tersebut, perkawinan sah apabila sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. hal ini diatur dalam pasal 2 ayat (1) yang berbunyi "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaan itu". 2) Karena anda berencana untuk menikah di Indonesia, maka perkawinan dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 (pasal 59 ayat (2)) yaitu: " Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang perkawinan ini". Jadi, pasangan tersebut jika menikah di dalam negeri khususnya Indonesia, maka harus dilakukan menurut undang-undang yang ada di Indonesia. 3) Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang belum berumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan). 4) Pernikahan tersebut bisa berjalan dengan sah sesuai hukum, adat, budaya, agama, atau dengan ketentuan yang berlaku. Tetapi, jika ingin mendapatkan status kewarganegaraan Indonesia, harus melaksanakan Naturalisasi. Ini sangat berpengaruh dalam menentukan status kewarganegaraan anaknya nanti. Membuktikan bahwa keturunan tersebut adalah keturunan dari pasangan WNI asli. Proses Naturalisasi di Indonesia sudah mempunyai ketentuan tersendiri yang berlaku. Jika yang berstatus WNA sudah menjalankan proses Naturalisasi, maka perkawinan campur tersebut dinyatakan sah. 5) Persyaratan menjadi warga negara Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI. Untuk orang asing yang berkeinginan menjadi warga negara Indonesia dapat menempuh jalan pewarganegaraan atau dengan jalan naturalisasi. Hal ini disebutkan dalam pasal 8, 9, 10, 11, dan pasal 12. Warga negara asing dalam mengajukan permohonan naturalisasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1.Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin. 2.Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturutturut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut. 3. Sehat jasmani dan rohani. 4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui Dasar Negara Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Indonesia tahun 1945. 5.Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih. 6.Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi berkewarganegaraan ganda (bipatride). 7. Mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap. 8. Membayar biaya pewarganegaraan ke kas negara. 9. Permohonan pewarganegaraan diajukan di Indonesia dan ditulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai yang cukup kepada Presiden melalui Kementerian Hukum dan HAM RI. Analisis kasus 2: 1) Merujuk pada pasal 56 ayat (1) uu nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal ini menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar indonesia adalah sah apabila: perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan. bagi WNI tidak melanggar ketentuan undang-undang perkawinan. 2) Bila perkawinan campuran akan dilakukan di luar Indonesia, tentunya harus mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut dan selanjutnya dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat. Selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan, maka perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum di sini, misalnya status mengenai anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban suami-istri bila perkawinan berakhir karena perceraian dan/atau sebagainya. 3) Berikutnya di pasal 56 ayat (2) disebutkan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka. 4) Bagi WNI yang akan melangsungkan pernikahannya di Luar Negeri harus menyampaikan kehendak nikahnya ke bagian konsuler Perwakilan RI di Luar Negeri, Penghulu di Luar Negeri harus memastikan bahwa berkas pemberitahuan kehendak nikah telah dipenuhi dengan melampirkan syaratsyarat. 5) Menurut Pasal 58 UUP bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Dalam Pasal 26 ayat (1) UU Kewarganegaraan, yang berbunyi: “ Perempuan Warga Negara Indonesia yang kawin dengan lakilaki warga negara asing kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suaminya, kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sebagai akibat perkawinan tersebut.” Jadi, perempuan tersebut hilang kewarganegaraanya sebagai warga negara indonesia dan berganti status kewarganegaraan mengikuti suami. 5. Apa saja hak-hak buruh selain menerima upah? Hak buruh di Indonesia diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan no.13 tahun 2003 (UUK no. 13 th. 2003). Hak-hak buruh tersebut diantaranya adalah: 1. Hak Atas Jaminan Sosial Jaminan sosial merupakan jaminan yang diberikan kepada seseorang atas resiko sosial yang dialaminya karena bekerja. Jaminan sosial tersebut meliputi: 1.Jaminan Pelayanan Kesehatan 2.Jaminan Kecelakaan Kerja 3.Jaminan Kematian 4.Jaminan Hari Tua 5.Jaminan perumahan 6.Jaminan Kesehatan reproduksi 7.Jaminan Keluarga 8.Jaminan perlindungan hukum Jaminan Sosial ini berlaku pada buruh perempuan dan buruh lakilaki. Jaminan sosial ini merupakan kompensasi atas hilangnya waktu dan tenaga akibat pekerjaan yang telah dilakukan oleh seorang buruh. Jaminan sosial juga berfungsi sebagai jaminan keamanan atas pekerjaan yang dilakukan oleh seorang buruh. Jaminan sosial ini juga berfungsi untuk jaminan keamanan bagi keluarga buruh. Dalam aturan ketenagakerjaan jaminan sosial bagi buruh di indonesia dicover oleh jamsostek. Hanya saja jamsostek belum mampu mengkover semua jaminan tersebut. Jaminan yang tercover oleh jamsostek baru pada: jaminan pelayanan kesehan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan jaminan kematian. Itupun pada prakteknya belum semua dinikmati buruh, karena adanya perusahaan yang nakal yang setorannya selalu kurang pada jamsostek. Peraturan Pelindung: 1.UUD 45 pasal 28H “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. “Setiap orang berhak atas Jaminan Sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.” 2.UU Jamsostek 1992. 3.Konvensi ILO. 2. Hak Atas Tunjangan Selain mendapatkan upah, setiap buruh berhak atas tunjangan. Tunjangan ini dibagi menjadi 2: 1.Tunjangan tetap: tunjangan yang wajib diterima buruh tanpa dipengaruhi kehadiran kerja. Misal: tunjangan keluarga, tunjangan masa kerja, THR dll. 2.Tunjangan tidak tetap: tunjangan yang diterima buruh berdasarkan kehadiran mereka ditempat kerja. Misal: tunjangan transportasi, makan, premi hadir. Tunjangan ini biasanya merupakan komponen dari upah, selain upah pokok. 3. Hak Waktu Istirahat dan Cuti Setiap buruh berhak menikmati waktu istirahat. Waktu istirahat sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Selama menikmati cuti tersebut buruh berhak untuk tetap mendapatkan upah. Apabila buruh tidak mengambil hak cutinya maka buruh berhak menerima uang penggannti dari hak cuti tersebut. Pengaturan tentang hak cuti terdapat pada UUK No 13 Tahun 2003 pasal 79. Hak cuti ini meliputi cuti sakit, cuti haidl, cuti melahirkan, cuti kawin, cuti keluarga meninggal, cuti mengkhitankan anak, cuti tahunan dll (UUK no.13 th. 2003 psl. 79). 4. Hak Untuk Menikmati Hari Libur dan Uang Lembur Hak ini terkait dengan waktu kerja buruh. Dalam UUK No.13 tahun 2003 pasal 77 menyatakan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja bagi buruh adaah 7 jam dalam 1 hari yang berarti 40 jam dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Artinya dalam 1 minggu minimal buruh dapat menikmati hari libur minimal 1 hari ketika waktu kerjanya 7 jam kerja. Buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Pengusaha yang memperkerjakan buruh melebihi waktu kerja harus memenuhi syarat: 1.Ada persetujuan dari buruh yang bersangkutan. Artinya buruh berhak untuk menolak kerja lembur. 2.Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu. Pengusaha diatas wajib membayar upah kerja lembur, yang ketentuan besarnya diatur dalam keputusan menteri. 5. Hak Atas Pesangon bila di PHK Ketika berakhirnya hubungan kerja karena adanya PHK yang dilakukan oleh pihak pengusaha semua hak diatas menjadi gugur, namun pengusaha wajib memenuhi hak atas pesangon buruh dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima. Besar kecilnya perhitungan uang pesangon ini dihitung berdasarkan lamanya masa kerja(UUK no.13 th. 2003 psl. 156)