Jurnal Penelitian Psikologi 2013, Vol. 04, No. 01, 21-34 PLAY THERAPY DALAM IDENTIFIKASI KASUS KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK Sri Maslihah Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung [email protected] Abstract: This study is based on the handling of the case of a girl who became the victim of sexual harassement. The focus of this study was the identification of a sexual harassement case through therapeutic play. This has a function to describe sexual abuse incidence and to explore the feelings of the victims. This was a qualitative research using a case study method. Techniques of data collection were obtained through play therapy as a primary technique accompanied by interviews and observation. The results of this study indicated that through play therapy, a description of location and chronology of the harassment can be obtained. In addition, the subject of the case can express her anger related to the case. Keywords: sexual abuse on children, play therapy, case study Abstrak: Penelitian ini diangkat dari penanganan kasus seorang anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual seksual yang dilakukan oleh seorang anak lakilaki.Fokus penelitian ini adalah identifikasi kasus kekerasan seksual pada anak melalui terapi bermain untuk mendapatkan gambaran tentang kejadian kekerasan seksual yang terjadi dan menggali perasaan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan terapi bermain sebagai teknik utama disertai wawancara dan observasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui terapi bermain diperoleh informasi tentang lokasi dan kronologis kekerasan. Selain itu subyek melalui terapi bermain subyek dapat mengekspresikan perasaan marah sehubungan dengan kasus yang terjadi. Kata kunci: kekerasan seksual anak, play therapy, studi kasus A. Pendahuluan Latar Belakang Permasalahan Selama tahun 2011 Komisi Nasional Perlindungan Anak atau Komnas PA menerima 1.789 laporan kasus kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, seksual dan kekerasan psikis yang terjadi di lingkungan domestik (keluarga) maupun sekolah. Diantara bentuk-bentuk kekerasan terhadap anak tersebut, kekerasan seksual merupakan kekerasan yang paling banyak dilaporkan (http://berita.liputan6.com) Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi 21 22 Sri Maslihah sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. (CASAT Programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). Sementara Lyness (dalam Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002). Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak (Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie, Heath, Dunne, Bucholz, Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000) Sementara Weber dan Smith (2011) mengungkapkan dampak jangka panjang kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian hari. Ketidakberdayaan korban saat menghadapi tindakan kekerasan seksual di masa kanak-kanak, tanpa disadari digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau tidak berdaya. Pelaku kekerasan seksual terhadap anak umumnya orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya anak. Dari kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dilaporkan pada Komnas Perlindungan Anak, pelaku kekerasan terhadap anak bisa bisa ayah kandung, ibu kandung, ayah tiri, ibu tiri, paman, tante, saudara kandung, kakek, nenek, tetangga, bapak guru, ibu guru, anak, teman ataupun pacar. Sebagaimana diungkapkan Lalor dan McElvana (2010) bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah anggota keluarga, kerabat, tetangga, atau mereka dikenal dan dipercaya oleh anak. Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 23 Di lain pihak, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak ini yang dilaporkan pihak keluarga kepada kepolisian atau lembaga-lembaga swadaya masyarakat sebagian besar tidak diikuti dengan proses penanganan hukum hingga selesai. Banyak kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak ini tidak berlanjut ke meja pengadilan, disebabkan kurangnya bukti dan saksi, dan keluarga korban yang tidak mampu mengeluarkan biaya untuk visum, dan pemeriksaan lainnya. Sebagaimana kasus-kasus yang ditangani Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LAPPAN) Maluku pada tahun 2011, hanya 35 kasus yang sempat ditangani sebenarnya masih banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang tidak ditangani secaran hukum (http://www.republika.co.id). Selain masalah biaya dalam proses penanganan hukum, faktor kedekatan hubungan antara pelaku dan korban kekerasan seksual terhadap anak menyebabkan banyak pihak keluarga korban yang tidak bersedia melaporkan kasus kekerasan seksual kepada pihak kepolisian karena merasa malu. Apalagi bila pelaku kekerasan seksual masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan si anak yang menjadi korban kekerasan atau pelecehan seksual terhadap anak. Karenanya dengan dalih melindungi “nama baik” baik keluarga, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak ditutupi keluarga dan tidak dilaporkan ke public atau diproses secara hukum (Joni, 2011) Hambatan dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual terhadap anak adalah usia korban yang masih kanak-kanak menjadi hambatan tersendiri dalam pengungkapan kasus ketika kasus sudah diproses hukum atau diangkap ke public. Dengan kemampuan berbicara yang masih terbatas dan adanya faktor emosional pada korban saat menghadapi proses identifikasi kasus oleh petugas khususnya kepolisian, petugas mengalami kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang kronologis atau identifikasi kasus. Mengingat karakteristik usia anak adalah usia bermain, penulis berpendapat pendekatan dengan metode bermain kepada anak yang menjadi korban kekerasan seksual bisa menjadi alternative dalam melakukan proses pengungkapan kasus kekerasan seksual yang terjadi. Sebagaimana diungkapkan Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan seksual. Fokus Penelitian : Fokus penelitian ini adalah melakukan identifikasi kasus kekerasan seksual yang terjadi pada seorang anak perempuan melalui terapi bermain untuk mendapatkan gambaran mengenai kejadian kekerasan seksual yang terjadi dan menggali perasaan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. 24 Sri Maslihah Tinjauan Pustaka Secara umum pengertian kekerasan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual. (CASAT programe, Child Development Institute; Boyscouts of America; Komnas PA). UU Perlindungan Anak no 23 tahun 2002 memberi batasan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan Lyness (dalam Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya. Kekerasan seksual (sexual abuse) merupakan jenis penganiayaan yang biasanya dibagi dua dalam kategori berdasar identitas pelaku, yaitu: a. Familial Abuse Termasuk familial abuse adalah incest, yaitu kekerasan seksual dimana antara korban dan pelaku masih dalam hubungan darah, menjadi bagian dalam keluarga inti. Dalam hal ini termasuk seseorang yang menjadi pengganti orang tua, misalnya ayah tiri, atau kekasih, pengasuh atau orang yang dipercaya merawat anak (Bogorad,1998). Lebih lanjut Bogorad menyatakan seorang peneliti menyatakan bahwa lebih dari 70% dari pelaku adalah anggota keluarga dekat atau seseorang yang sangat dekat dengan keluarga. Peneliti lain menyatakan bahwa sekitar 30% dari semua pelaku pelecehan seksual yang berkaitan dengan korban mereka, 60% dari pelaku adalah kenalan keluarga, seperti pengasuh, tetangga atau teman dan 10% dari pelaku dalam kasus-kasus pelecehan seksual anak orang asing (Whealin, 2007). Mayer (dalam Tower, 2002) menyebutkan kategori incest dalam keluarga dan mengaitkan dengan kekerasan pada anak. Kategori pertama, sexual molestation (penganiayaan). Hal ini meliputi interaksi noncoitus, petting, fondling, exhibitionism, dan voyeurism, semua hal yang berkaitan untuk menstimulasi pelaku secara seksual. Kategori kedua, sexual assault (perkosaan), berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Kategori terakhir yang paling fatal disebut forcible rape (perkosaan secara paksa), meliputi kontak seksual. Rasa takut, kekerasan, dan ancaman menjadi sulit bagi korban. Mayer mengatakan bahwa paling banyak ada dua kategori terakhir yang menimbulkan trauma terberat bagi anak-anak, namun korban-korban sebelumnya tidak mengatakan demikian. Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 25 b. Extrafamilial Abuse Kekerasan seksual yang digolongkan extrafamilial abuse ini dilakukan oleh orang lain di luar keluarga korban, dan hanya 40% yang melaporkan peristiwa kekerasan. Kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa dikenal sebagai pedophile, yang menjadi korban utamanya adalah anak-anak. Pedophilia diartikan ”menyukai anak-anak” (deYong dalam Tower, 2002). Menurut Hall (2007), sekitar 95% dari insiden pelecehan seksual terhadap anak usia 12 dan lebih muda dilakukan oleh pelaku yang memenuhi kriteria diagnostik untuk pedofilia, dan bahwa orang-orang tersebut menyusun 65% dari pelaku penganiayaan anak. Penganiaya anak pedofil melakukan tindakan seksual lebih dari sepuluh kali terhadap anak-anak dari penganiaya anak nonpedofil. Dampak kekerasan seksual terhadap anak diantaranya adanya perasaan bersalah dan menyalahkan diri sendiri, bayangan kejadian dimana anak menerima kekerasan seksual, mimpi buruk, insomnia, takut hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan (termasuk benda, bau, tempat, kunjungan dokter, dll), masalah harga diri, disfungsi seksual, sakit kronis, kecanduan, keinginan bunuh diri cedera, bunuh diri, keluhan somatik, depresi (Roosa, Reinholtz., Angelini, 1999). Selain itu muncul gangguan-gangguan psikologis seperti pasca-trauma stress disorder, kecemasan, jiwa penyakit lain (termasuk gangguan kepribadian dan gangguan identitas disosiatif, kecenderungan untuk reviktimisasi di masa dewasa, bulimia nervosa, cedera fisik kepada anak, (Widom, 1999; Levitan, Rector, Sheldon, & Goering, 2003; Messman-Moore, Terri Patricia, 2000; Dinwiddie , Heath , Dunne, Bucholz , Madden, Slutske, Bierut, Statham et al, 2000) Sementara Finkelhor (1994) dan Julia (2004) menyebutkan bahwa sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual kenal dengan korban-korban mereka. sekitar 30% adalah kerabat si anak, paling sering saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu, sekitar 60% adalah kenalan lain seperti teman-teman dari keluarga, babysitter, atau tetangga; orang asing adalah pelanggar dalam sekitar 10% kasus pelecehan seksual anak. Finkelhor, Ormrod, Chaffin (2009) menambahkan bahwa dalam lebih dari sepertiga kasus, pelaku juga di bawah umur. Pada anak-anak yang mengalami ketegangan dan kemarahan yang tidak bisa diekspresikan secara terbuka, maka bermain dapat berfungsi sebagai sarana bagi anak untuk melepaskan ketegangan, perasaan tertekan dan memunculkan dorongan-dorongan dalam diri anak (katarsis). Setidaknya dengan proses katarsis melalui bermain ini anak dapat menjadi lebih relaks (Dewi, 2007). 26 Sri Maslihah Menurut Wakenshaw (2001, dalam Cholidah 2005) terapi permainan adalah suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan kesadaran dalam dunia anak atau wawasan anak melalui wahana utama komunikasi mereka, yaitu bermain yang merupakan cara yang terbaik untuk anak mengekspresikan perasaannya. Karenanya penulis berpendapat bahwa metode bermain dapat diaplikasikan dalam proses pengungkapan kasus kekerasan terhadap anak. Dibalik sikap mayoritas anak yang cenderung menyatakan secara jujur apa adanya dan apa yang sebenarnya terjadi, pada anak-anak korban kekerasan seksual umumnya mereka berada dalam tekanan dan ancaman pelaku untuk tidak mengungkapkan apa yang terjadi. Selain itu, keterbatasan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan terutama kepada orang asing menjadi hambatan tersendiri dalam proses identifikasi kasus atau penyelidikan. Oleh karena itu mengajak anak bermain menjadi salah satu pendekatan dalam proses penanganan kasus kekerasan terhadap anak termasuk sejak proses identifikasi kasus. Cholidah (2005) menyatakan bahwa diantara tujuan terapi bermain adalah mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan perilaku, fisik, psikis, social, sensori dan komunikasi dan mengembangkan kemampuan yang masih dimiliki secara optimal. Terkait dengan kasus kekerasan seksual pada anak, Jongsma, Peterson dan Mclnnis (2000) menyatakan bahwa terapi bermain (play therapy) merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi dan menggalikan perasaan anak korban kekerasan seksual. Melalui terapi bermain selain kasus dapat diidentifikasi apa yang terjadi pada diri anak, anak juga dapat mengekpresikan perasaan atas kasus yang terjadi pada dirinya Untuk mengaplikasikan terapi bermain dalam identifikasi kasus kekerasan seksual terhadap anak, terapis perlu mempersiapkan beberapa hal, diantaranya mainan seperti boneka, tempat tidur, kursi, lemari dan sebagainya. Ginnot (1960 dalam Christiana, 2008) memberikan beberapa saran dalam pemilihan mainan, antara lain mainan harus : 1) memudahkan untuk mengembangkan kontak dengan anak, 2) membangkitkan dan mendorong untuk katarsis, 3) membantu mengembangkan insight, 4) melengkapi dalam mengetes realitas, 5) sebagai media untuk terjadi perubahan. Mengacu pada perilaku anak-anak usia prasekolah, Ryan dan Edge (2011) menyarankan penggunaan tema atau terapi bermain tematik (Thematic Play Therapy) dalam terapi bermain untuk anak usia dini atau prasekolah. Selain anak yang memiliki pengalaman sehubungan kasus yang dialamiya, terapis juga menggunakan dirinya sebagai pribadi, baik secara kognitif maupun emosional dalam menentukan tema. Metode Penelitian Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 27 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus (case study). Subyek penelitian adalah seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelaku anak adalah seorang anak laki-laki usia 11 tahun kelas 5 Sekolah Dasar yang merupakan kakak sepupu. Subyek anak ke 2 dari 2 bersaudara. Teknik pengumpulan data atau teknik asesmen yang digunakan adalah terapi bermain, wawancara dan observasi. Terapi bermain merupakan teknik utama untuk mengidentifikasi kasus kekerasan seksual yang dialami anak sehingga diperoleh deskripsi tentang kekerasan seksual yang dialami anak sekaligus menggali perasaan anak. Peneliti yang sekaligus berperan sebagai terapis menentukan tema dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam permainan. Terapi bermain yang dipilih adalah bermain rumah-rumahan. Tokoh-tokoh yang berperan dalam tema tersebut dipilih sesuai dengan peran yang analog dengan kasus yang terjadi pada subyek, yaitu tokoh anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan tokoh anak laki-laki yang berbadan lebih besar dan berusia lebih tua sebagai pelaku kekerasan seksual. Tokoh lain yang ada hubungannya dengan kasus kekerasan seksual yang dialami anak yaitu sepupu korban yaitu seorang anak usia 2 tahun. Pemberian nama pemain (boneka) dalam permainan ini dipersilakan kepada subyek Media yang digunakan dalam terapi bermain ini adalah mainan berupa : boneka-boneka manusia, mainan furniture seperti meja, kursi, ranjang, dan beberapa batang stik kayu untuk membuat denah lokasi atau pembatas antar ruangan. Wawancara dilakukan sesudah permainan berlangsung untuk menggali kesan anak terhadap terapi bermain yang telah dilakukan sekaligus menggali perasaan anak yang belum terekplorasi selama terapi berlangsung. Observasi dilakukan selama kedua metode asesmen, yaitu terapi bermain dan wawancara berlangsung untuk melengkapi data yang diperlukan sebagaimana focus penelitian yang ditetapkan. Hasil dan Pembahasan Hasil Penelitian Kasus kekerasan seksual yang terjadi pada subyek terungkap ketika satu saat subyek bercerita kepada ibunya tentang kejadian yang terjadi siang hari saat ia bermain bersama pelaku di rumah subyek yang saat itu sedang sepi karena ibu subyek bekerja dan kakak subyek sekolah. Subyek menyatakan rasa jijiknya dengan kejadian yang terjadi saat bermain bersama sepupunya, yang pada dasarnya merupakan kekerasan seksual. Menurut subyek kepada ibunya, ia sering diajak pelaku bermain seperti kejadian yang baru diceritakan kepada ibunya. 28 Sri Maslihah Sehari-hari subyek ditinggal sendiri bekerja ibunya di rumah dan dititipkan ibu subyek kepada nenek atau tantenya yang tinggal di samping rumah subyek. Tanpa keputusan cerai resmi di pengadilan, hampir 2 tahun ayah subyek meninggalkan keluarganya sehingga pemenuhan kebutuhan hidup subyek dan kakaknya menjadi tanggungan ibu subyek. Dengan menggunakan beberapa media permainan, terapis melakukan terapi bermain bersama subyek dimana terapis berperan menentukan tema dan arahan permainan, dan subyek yang memainkan boneka-boneka yang disediakan. Hasil terapi bermain ini diperoleh deskripsi: - lokasi kejadian kekerasan seksual yang dialami subyek beberapa kali dan semuanya terjadi di rumah subyek namun di ruangan yang berbeda (subyek tidak bisa menjelaskan secara tepat berapa kali kekerasan seksual yang diamalinya terjadi) - Kronologis kekerasan atau pelecehan seksual yang selama ini dialami subyek oleh pelaku yang sama. - Jenis kekerasan seksual yang terjadi adalah familial abuse kategori kedua, sexual assault (Tower, 2002). Sexual assault (perkosaan) yang terjadi pada subyek berupa oral atau hubungan dengan alat kelamin, masturbasi, fellatio (stimulasi oral pada penis), dan cunnilingus (stimulasi oral pada klitoris). Hal ini dibuktikan dengan hasil visum dokter menunjukkan terjadi kerusakan selaput dara subyek (robek) Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, bahwa kejadian kekerasan atau pelecehan seksual yang dilakukan pelaku kepada subyek terjadi lebih dari satu kali dan semua kejadian terjadi pada siang hari, saat rumah subyek dalam keadaan kosong atau tidak ada orang dewasa. Kalaupun ada orang lain, seperti adanya sepupu subyek dan pelaku yang berusia lebih kecil dari subyek, pelaku meminta anak tersebut untuk meninggalkan subyek dan pelaku dengan alasan mereka hanya ingin bermain berdua. Namun inisitiatif permainan selalu dimulai pelaku, dan pelaku juga memberikan ancaman kepada subyek untuk tidak menceritakan permainan mereka kepada orang lain terutama ibu subyek. Dari beberapa kejadian kekerasan seksual terhadap subyek, pelaku selalu melakukan pada siang hari saat pulang sekolah dan rumah subyek dalam keadaan kosong. Kejadian terakhir yang diceritakan subyek kepada ibu subyek merupakan kejadian yang menjijikkan karena subyek “dikencingi” oleh pelaku. Meskipun selama asesmen berlangsung subyek tidak menunjukkan adanya perasaan sedih atau menangis, namun sesekali tampak intonasi berbicara subyek menjadi tinggi terutama saat subyek menyatakan rasa kesal kepada boneka yang dianalogikan dengan pelaku. Hasil asesmen dapat terungkap adanya perasaan marah subyek kepada pelaku, namun rasa marah tersebut bukan disebabkan pelaku melakukan tindakan yang disebutkan Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 29 subyek kepada ibunya menjijikkan. Kemarahan subyek marah kepada pelaku, disebabkan karena dengan terungkapnya kasus ini, ibu subyek dan orang tua pelaku terlibat bertikaian sampai membawa mereka ke kantor polisi dan ibu subyek seperti dimusuhi oleh keluarga besarnya. Pembahasan Berdasarkan wawancara dan terapi bermain kepada subyek, diperoleh gambaran pelaku tampak memegang kendali “permainan” yang dilakukannya kepada subyek, bahkan beberapa kejadian pelecehan seksual yang dialami subyek terjadi tanpa adanya kekerasan fisik atau paksaan. Pelaku menyuruh subyek melakukan sesuatu yang diperintahkannya dan umumnya diakhiri dengan pesan untuk tidak menyampaikan apa yang terjadi kepada orang lain terutama kepada orang tua mereka. Adapun jenis kekerasan seksual yang terjadi pada subyek dimana pelaku melakukan perbuatan yang tergolong pencabulan seperti mempermainkan alat kelamin subyek, meminta subyek untuk menstimulasi alat kelamin pelaku dan sebaliknya. Tampaknya kekerasan seksual yang dialami subyek yang masih tergolong anak-anak dimaknai sebagai bermain. Bermain rumah-rumahan dengan mempraktekkan kejadian-kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari merupakan salah bentuk permainan yang umumnya meniru apa yang mereka dapatkan dari lingkungan. Perilaku pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami subyek, terjadi sebagai inisiatif pelaku yang sangat dimungkinkan diperoleh pelaku dari lingkungannya baik lingkungan rumah ataupun media informasi terutama yang menampilkan pornografi maupun pornoaksi yang saat ini sangat mudah diakses sekalipun oleh anak-anak. Sebagaimana diungkapkan Neutze, Seto, Schaefer, Mundt dan Beier (2011) bahwa sebagai bentuk eksploitasi seksual anak produk-produk pornografi anak melibatkan eksploitasi seksual dan dalam banyak kasus, pelecehan seksual terhadap anak. Pornografi seringkali mengenalkan pada anak sensasi seksual sebelum waktunya. Padahal secara perkembangan, anak-anak belumlah siap menghadapinya. Pengetahuan tentang sensasi seksual ini dapat membingungkan dan memberi rangsangan berlebihan pada anak. Rangsangan seksual pornografi dan akibat akhir yang diperoleh darinya adalah merusak kondisi psikologis anak. Contohnya, jika rangsangan awal pada seorang anak lelaki adalah foto-foto porno, dia akan terbiasa terangsang melalui foto-foto ini. Pada fase anak, otak depan seorang anak belum berkembang dengan baik. Otak depan adalah pusat untuk melakukan penilaian, perencanaan, dan menjadi eksekutif yang akan memerintahkan tubuh untuk melakukan sesuatu. Otak belakang merupakan pendukung dari otak depan. Otak bagian ini menghasilkan dopamine, yaitu hormon yang menghasilkan perasaan nyaman, rileks atau fly pada seseorang (Maslihah, 2010). 30 Sri Maslihah Mengacu pada pendapat Finkelhor (1994) dan Julia (2004) yang menyebutkan bahwa sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria mengalami pelecehan seksual ketika mereka masih anak-anak. Kebanyakan pelaku pelecehan seksual kenal dengan korban-korban mereka. Sekitar 30% adalah kerabat si anak, paling sering saudara, ayah, ibu, paman atau sepupu. Kasus yang terjadi pada subyek tidak terlepas dari minimnya pengetahuan subyek yang masih berusia kanak-kanak dan kurangnya bimbingan orang tua tentang keamanan untuk menjaga wilayah pribadi. Kedekatan hubungan subyek dan pelaku yang masih memiliki hubungan keluarga, tidak menimbulkan kecurigaan akan terjadinya kasus kekerasan atau pelecehan seksual pada subyek. Sebaliknya ibu subyek justru menaruh kepercayaan bahwa subyek aman bermain atau diasuh pelaku saat dirinya bekerja. Tanggung jawab ibu subyek sebagai orang tua tunggal menyebabkan subyek seringkali ditinggal sendiri di rumah tanpa pengawasan dan kontrol terhadap perilaku anak, khususnya saat ibu subyek bekerja. Kurangnya control dan pengawasan ini memberi keleluasaan ruang bagi pelaku dalam melakukan tindak kekerasan atau pelecehan seksual kepada subyek yang terjadi lebih dari satu kali dan semua terjadi pada siang hari di rumah subyek. Padahal di sekitar rumah subyek tinggal keluarga besar subyek dan pelaku, namun tidak ada satu pun orang dewasa yang mencurigai perilaku subyek dan pelaku. Sebaliknya, sebagian besar keluarga memandang pelaku anak baik yang bersedia mengasuh saudara-saudaranya. Di sekitar rumah subyek tinggal sepupu lain pelaku yang berusia lebih kecil dari subyek korban kekerasan seksual pelaku. Wakenshaw (2001, dalam Cholidah 2005) mengungkapkan bahwa terapi permainan merupakan pendekatan sistematis untuk mendapatkan kesadaran dalam dunia anak atau wawasan anak melalui wahana utama komunikasi mereka, yaitu bermain yang merupakan cara yang terbaik untuk anak mengekspresikan perasaannya. Hasil asesmen kepada subyek terungkap adanya perasaan marah subyek kepada pelaku, namun rasa marah tersebut bukan disebabkan pelaku melakukan tindakan yang disebutkan subyek kepada ibunya “menjijikan” namun subyek marah kepada pelaku, karena dengan terungkapnya kasus ini ibu subyek dan orang tua pelaku terlibat bertikaian sampai membawa mereka ke kantor polisi dan ibu subyek dimarahi oleh keluarga besarnya. Tampaknya subyek belum memahami kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya dan belum memahami dampak bagi dirinya sehubungan kekerasan seksual yang terjadi. Pemahaman subyek pada kasus yang terjadi, didasarkan pada fenomena yang dilihatnya secara konkrit di lingkungannya, yaitu adanya pertikaian antara ibu dan orang tua pelaku serta sikap keluarga besar yang ditangkap subyek sebagai memusuhi ibunya disebabkan karena Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 31 masalah kejadian antara dirinya dan pelaku yang dilaporkan ibunya ke kantor polisi. Konflik antara ibu subyek dan keluarga besar khususnya orang tua pelaku yang masih memiliki hubungan saudara karena ibu subyek melaporkan kasus ini kepada kepolisian, menjadi rangkaian fenomena sulitnya memproses secara hukum kasus kekerasan seksual dan menjadikan kasus kekerasan seksual seperti fenomena gunung es. Sebagaimana diungkapkan Joni (2011) kasuskasus kekerasan seksual terhadap anak seringkali ditutupi keluarga dan tidak dilaporkan ke publik atau diproses secara hukum dengan alasan untuk melindungi “nama baik” baik keluarga. Meskipun penelitian ini hanya menyoroti subyek sebagai korban kekerasan atau pelecehan seksual, pada dasarnya pelaku yang masih duduk di bangku sekolah dasar dapat digolongkan sebagai korban kekerasan seksual (Saeroni, 2011). Tindak pencabulan atau kekerasan seksual yang dilakukan anak dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor baik faktor keluarga maupun faktor-faktor lain seperti dampak negatif dari arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya hidup masyarakat membawa perubahan sosial serta memberikan pengaruh terhadap nilai dan perilaku anak (Romanda, 2010). Simpulan dan Saran Penanganan kasus hukum yang melibatkan anak-anak tidak semata-mata dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mengingat kasus yang dihadapi adalah anak yang masih berada dalam proses perkembangan, maka pendekatan integrative yang melibatkan berbagai professional dari berbagai latar belakang keilmuwan menjadi satu keniscayaan dalam menghadapi kompleksitas permasalahan kasus hukum pada saat ini, termasuk peran professional dalam bidang psikologi. Tidak hanya dalam proses analisis perilaku pelaku ataupun korban sehubungan dengan kasus yang dihadapi, namun profesional dalam bidang psikologi dapat membantu proses identifikasi kasus atau penyelidikan kasus kekerasan seksual terhadap anak diantaranya melalui metode terapi bermain. Sebagai media untuk mengekpresikan pikiran dan perasaan, terapi bermain dapat digunakan untuk mengungkap kasus kekerasan seksual pada anak . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui terapi bermain, disertai wawancara dan observasi diperoleh gambaran tentang lokasi dan kronologis kejadian kekerasan seksual yang terjadi pada subyek penelitian, serta dapat mengungkap jenis kekerasan seksual yang terjadi pada subyek. Selain itu melalui terapi bermain subyek dilengkapi wawancara dan observasi, subyek dapat mengekpresikan perasaan marah sehubungan dengan kasus yang menimpa dirinya. 32 Sri Maslihah Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan mengekplorasi kondisi psikologis yang terjadi pada pelaku yang masih berusia kanak-kanak dan melakukan pendekatan longitudinal baik pada korban maupun pelaku kekerasan seksual yang tergolong berusia kakak-kanak. Daftar Pustaka Bogorad, Barabara E.(1998), Sexual Abuse:Surviving the Pain". The American Academy of Experts in Traumatic Stress, Inc. (online) .Tersedia:http: // www.aaets.org/article htm. (akses:5/4/2012) Chalidah, Ellah Siti (2005). Terapi Permainan Bagi Anak yangMemerlukan Layanan Pendidikan Khusus. Jakarta: Depdikbud Christiana, Elizabeth (2008).Teknik Terapi Bermain pada Anak Usia Sekolah.Jurnal Pendidikan Dasar. 9 (1): 81-84. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya Dewi, Endah Kumala (2007). Aplikasi Play Therapy pada Kasus Kecemasan pada Anak. Prosiding Konferensi Nasional Stress Management dalam Berbagai Setting Kehidupan,. Bandung : Ikatan Psikologi Klinis Indonesia Dinwiddie S, Heath AC, Dunne MP, Bucholz KK, Madden PA, Slutske WS, Bierut LJ, Statham DB et al (2000). "Early sexual abuse and lifetime psychopathology: a co-twin-control study". Psychological Medicine (online). 30 (1): 41–52 Tersedia: http://www.answers.com/topic/childabuse (akses 5/3/2012) Finkelhor, David; Richard Ormrod, and Mark Chaffin (2009). "Juveniles Who Commit Sex Offenses Against Minors". Washington, DC: Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention. Office of Justice Programs, Department of Justice. (Online). Tersedia: http ://www.answers.com/topic/child-abuse (akses 25/2/2012) Hall RC, Hall RC (2007). "A profile of pedophilia: definition, characteristics of offenders, recidivism, treatment outcomes, and forensic issues". Mayo Clinic Proceedings. Mayo Clinic 82 (4): 457–71. Tersedia: http:// id.wikipedia.org. (akses 4/4/2012) Jajeli, Rois (2012). Didiskriminasi, Belasan Anak Korban Kekerasan Seksual Wadul ke Dewan (Online). Tersedia : http://surabaya.detik.com (akses 10/3/2012) Jongsma, Arthur E., Peterson, L.Mark., Mclnnis, William P (2000). The Child Psychotherapy Treatment Planner. Toronto : John Willey & Sons, Inc. Play Therapy dalam Identifikasi Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak 33 Joni, Muhammad (2011).Hentikan Kekerasan terhadap Anak Sekarang (online) tersedia : http://www.medanbisnisdaily.com (akses 4/4/2011) Lalor, Kevin., Mc.Elvaney, Rosaleen. (2010). “Child Sexual Abuse, Links to Later Sexual Exploitation/High-Risk Sexual Behavior, and Prevention/Treatment Programs” dalam Trauma, Violence, &: Abuse (Online). 11(4) 159-177 Tersedia : http://tva.sagepub.com (akses 26/2/2012) Levitan, R. D., N. A. Rector, Sheldon, T., & Goering, P. (2003). “Childhood adversities associated with major depression and/or anxiety disorders incommunity sample of Ontario Issues of co-morbidity and specifity,”Depression & Anxiety (online) ; 17, 34-42. Tersedia http://www.answers.com/topic/childabuse(akses 25/2/2012) Maslihah, Sri (2006). “Kekerasan Terhadap Anak: Model Transisional dan Dampak Jangka Panjang. Edukid : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.I (1).2533 Maslihah, Sri (2010). “Pornografi Anak dan Pendidikan Seks”. Makalah pada Seminar Peran Ibu Dalam Mendidik dan Melindungi Anak Terhadap Bahaya Pornografi. Purwakarta, Jawa Barat Messman-Moore, Terri L.; Long, Patricia J. (2000). "Child Sexual Abuse and Revictimization in the Form of Adult Sexual Abuse, Adult Physical Abuse, and Adult Psychological Maltreatment".Journal of Interpersonal Violence (Online). 15 (5): 489–502, Tersedia: http://www.answers.com/topic/childabuse (akses 5/3/2012) Neutze, Janina. Seto, Michael., Schaefer, Gerard A., Mundt, Ingrid A., Beier, Klaus. (2011). “Predictors of Child Pornography Offenses and Child Sexual Abuse in a Community Sample of Pedophiles and Hebephiles” .Sexual Abuse: A Journal of Research and Treatment 23(2) 212– 242 Pasek, Kathy Hirts dan Roberta Michnick Golinkoff (2006). Einstein Never Used Flash Cards. Bandung : Mizan. Ryan, Virginia., Edge, Andrew (2011). The Role of Play Themes in NonDirective Play Therapy. Dalam Clininal Child Psychology http://ccp.sagepub.com (akses 4/4/2012) (Online). 1-16. Tersedia: Romanda, Hartyman (2010). Upaya Penegakan Hukum Kepolisian Republik Indonesia Terhadap Anak Sebagai Pelaku Pencabulan Anak. Studi Kasus di Wilayah Polres Surabaya Selatan. Skripsi. Surabaya: Fakultas Hukum. Universitas 34 Sri Maslihah Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur (online) Tersedia : http: eprints.upnjatim.ac.id (akses 5/3/2012) Roosa M.W., Reinholtz C., Angelini P.J. (1999). "The relation of child sexual abuse and depression in young women: comparisons across four ethnic groups". Journal of Abnormal Child Psychology 27 (1): 65–76 Saeroni, Muhammad (2011). Fenomena Anak Sebagai Pelaku Kekerasan (Online). Tersedia : http: // sahabatperempuan.wordpress.com. (akses : 25/2/2012) Tower, Cynthia Crosson (2002). Understanding Child Abuse and Neglect. Boston: Allyn & Bacon Weber, Mark Reese., Smith, Dana M.(2010). Outcomes of Child Sexual Abuse as Predictors of laters Sexual Victimization. Dalam Journal of International Violence. (Online). 26 (9): 1899-1905. Akses (3/3/2012) Whealin, Julia (2007). "Child Sexual Abuse". National Center for Post Traumatic Stress Disorder,US Department of Veterans Affair (Online). Tersedia http://www.answers.com/topic/child-abuse Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ---------Prihatin Kekerasan Seksual Meningkat, Anak-Anak Teraniaya. Tersedia: http://www.republika.co.id (akses 25/2/2012) -------- http://berita.liputan6.com (akses : 25/2/2012)