PDF - Jurnal UNESA

advertisement
MATHEdunesa
Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika Volume 3 No. 5 Tahun 2016
ISSN : 2301-9085
LINTASAN BELAJAR SISWA PADA MATERI JAJARGENJANG DENGAN METODE
PENEMUAN TERBIMBING MELALUI PENELITIAN DESAIN
Asty Ridha Harini
Pendidikan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya, e-mail : [email protected]
Abdul Haris Rosyidi, S.Pd., M.Pd.
Pendidikan Matematika, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya, e-mail : [email protected]
Abstrak
Matematika adalah sebuah ilmu dengan objek kajian yang bersifat hirarkis, yaitu suatu topik matematika tertentu
akan menjadi materi prasyarat bagi topik berikutnya. Untuk mempelajari suatu topik matematika yang baru, pengalaman
belajar siswa akan mempengaruhi proses pembelajaran. Suatu materi tertentu akan dikuasai oleh siswa dengan baik ketika
ia mampu memahami materi prasyarat dengan baik. Dengan karakteristik siswa tersebut, guru dapat membelajarkan suatu
materi apabila guru memiliki gambaran tentang kemungkinan lintasan atau jalur yang dilalui siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang ditetapkan. Oleh karena itu, perlu diketahui lintasan belajar siswa pada saat mempelajari jajargenjang.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian desain dengan model Gravemeijer dan Cobb (2006). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan proses dan menghasilkan lintasan belajar siswa pada materi jajargenjang dengan metode
penemuan terbimbing.
Hasil penelitian ini adalah lintasan belajar siswa pada materi jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing
dapat dihasilkan dari hypothetical learning trajectory yang didesain melalui penelitian desain yang terdiri dari tiga tahap,
yaitu preparing for the experiment, design experiment, dan retrospective analysis. Lintasan belajar didapatkan dengan
merevisi hypothetical learning trajectory hasil uji coba serta diskusi dengan guru mata pelajaran. Hasil tes menunjukkan
bahwa 48,39% siswa mendapatkan nilai lebih dari KKM yang ditetapkan sekolah.
Kata Kunci: Jajargenjang, Lintasan Belajar, Penelitian Desain
Abstract
Mathematics is a science with the study object is hierarchical , ie a specific mathematical topic will be the
prerequisites material for the next topic. To learn a new mathematics topic, students’ experience will influence the
learning process. A certain material will be mastered well by the students when they can understand the prerequisites
material well. With that characteristic, teacher can teach a material if she has a plan of learning trajectory which students
through the learning goals. That’s why, learning trajectory is important for the students to learn parallelogram.
This research includes design study according Gravemeijer and Cobb (2006). The aim of this research was to
describe the process and produce a students’ learning trajectory during study parallelogram with guided discovery
learning methode.
The result of this research is students’ learning trajectory during study parallelogram with guided discovery
learning was produced from hypothetical learning trajectory which designed by design research in three steps, which are
preparing for the experiment, design experiment, and retrospective analysis. Learning trajectory obtained by revising the
hypothetical learning trajectory test result and discussions with the teachers’ subjects. The results of the test shows that
48,39% students have a score higher than the standart score of the school.
Key Words: Parallelogram, Learning Trajectory, Design Research.
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
tahun pelajaran 2014/2015 yang dikeluarkan oleh BSNP,
Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemdikbud.
Wilayah Jawa Timur memperoleh rata-rata 53,81 pada
tingkat provinsi dan 46,21 pada tingkat nasional untuk
indikator menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan
luas bangun datar. Rata-rata 67,65 pada tingkat provinsi
dan 59,98 pada tingkat nasional untuk indikator
menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keliling
bangun datar.
Salah satu materi yang merupakan submateri
geometri adalah jajargenjang. Berdasarkan hasil
wawancara dengan salah satu guru SMP di Surabaya,
beliau mengatakan bahwa siswa telah mengetahui rumus
keliling dan luas jajargenjang sejak di sekolah dasar tetapi
mereka tidak tahu darimana mendapatkan rumus tersebut.
Informasi lain yang didapatkan ialah siswa mengira bahwa
sisi miring pada jajargenjang merupakan tinggi
jajargenjang. Sehingga untuk mencari luasnya, siswa
mengalikan sisi alas dengan sisi miring pada jajargenjang.
Dari rata-rata hasil ujian nasional dan pendapat dari guru
tersebut, siswa perlu diajak untuk menemukan dan
memahami suatu konsep melalui penemuannya sendiri.
Sehingga pembelajaran yang berlangsung berpusat pada
siswa dan guru hanya sebagai fasilitator selama
pembelajaran.
Untuk mengetahui lintasan belajar siswa, peneliti
akan melakukan penelitian desain (design research) yang
mendesain dan mengujikan serangkaian aktivitas
pembelajaran dan aspek-aspek lain dalam mendesain.
Learning trajectory dapat diketahui dengan mendesain
hypothetical learing trajectory terlebih dahulu.
Hypothetical learning trajectory merupakan instrumen
utama dalam penelitian desain.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan penelitian
yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana
proses mendesain dan hasil lintasan belajar siswa pada
materi jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
proses dan menghasilkan lintasan belajar siswa pada
materi jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing.
PENDAHULUAN
Matematika adalah sebuah ilmu dengan objek kajian
yang bersifat hirarkis, yaitu suatu topik matematika
tertentu akan menjadi materi prasyarat bagi topik
berikutnya. Untuk mempelajari suatu topik matematika
yang baru, pengalaman belajar siswa akan mempengaruhi
proses pembelajaran. Suatu materi tertentu akan dikuasai
oleh siswa dengan baik ketika ia mampu memahami
materi prasyarat dengan baik. Dengan karakteristik siswa
yang demikian, guru dapat membelajarkan suatu materi
apabila guru memiliki gambaran tentang kemungkinan
lintasan atau jalur yang dilalui siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
Pada dasarnya siswa memiliki kemampuan yang
berbeda sehingga setiap siswa memiliki lintasan belajar
(learning trajectory) yang berbeda untuk mencapai tujuan
pembelajaran yang sama. Clements dan Sarama (dalam
Empson, 2011) mendefinisikan learning trajectory adalah
susunan kompleks yang terdiri dari pertimbangan bersama
mengenai tujuan pembelajaran, model pemikiran siswa,
model guru dan peneliti mengenai pemikiran siswa, urutan
tugas pembelajaran, dan interaksi pada level yang
mendetail dari analisis proses.
Pada setiap kurikulum yang berlaku di tingkat
sekolah menuntut siswa untuk aktif berperan dalam
pembelajaran yang berlangsung. Salah satu metode yang
menuntut siswa untuk aktif dalam pembelajaran
menemukan konsep secara mandiri dengan bimbingan
guru adalah metode penemuan terbimbing. Metode
penemuan terbimbing dapat membantu guru untuk
mengetahui lintasan belajar siswa selama pembelajaran
adalah metode penemuan terbimbing. Irawan (2015)
menjelaskan bahwa metode penemuan terbimbing adalah
pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan informasi baru berupa konsep-konsep,
rumus-rumus, atau prinsip-prinsip dalam suatu proses
mental siswa sendiri dengan bimbingan dan petunjuk yang
diberikan oleh guru. Sedangkan hasil penelitian
Rahmawati (2013) menunjukkan bahwa rata-rata
pemahaman konsep matematis siswa dan ketuntasan
belajar siswa yang mengikuti pembelajaran metode
penemuan terbimbing lebih tinggi daripada siswa yang
mengikuti pembelajaran konvensional dan kesimpulannya
bahwa metode penemuan terbimbing efektif diterapkan
terhadap kemampuan pemahaman konsep matematis
siswa.
Metode penemuan terbimbing dapat diterapkan
dalam pembelajaran matematika. Salah satu materi yang
dianggap sulit dalam matematika adalah materi geometri.
Materi ini dianggap sulit karena membutuhkan
kemampuan visualisasi siswa yang relatif tinggi. Hal ini
diperkuat dengan laporan hasil ujian nasional SMP/MTS
METODE PENEMUAN TERBIMBING
Penemuan
merupakan
salah
satu
model
pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan
konstruktivisme. Model ini menekankan pada pemahaman
struktur dan ide penting dalam pembelajaran. Dalam
pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk belajar
melibatkan dirinya dalam proses menemukan suatu
konsep, prinsip, maupun rumus, dan guru hanya sebagai
fasilitator yang mendorong siswa untuk memiliki
pengalaman dan melakukan percobaannya.
Bruner (dalam Kemdikbud, 2013) menjelaskan
bahwa pembelajaran penemuan didefinisikan sebagai
28
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
proses pembelajaran yang terjadi bila siswa tidak disajikan
dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan
mengorganisasinya sendiri.
Bell (dalam Irawan, 2015) mengungkapkan bahwa
pembelajaran penemuan adalah pembelajaran yang terjadi
sebagai hasil siswa dalam manipulasi, membuat struktur,
dan mentransformasikan informasi sedemikian hingga ia
menemukan informasi baru.
Irawan (2015) mendefinisikan pembelajaran
penemuan adalah pembelajaran dimana materi pelajaran
yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk
final, akan tetapi siswa didorong untuk terlibat secara aktif
mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan
dengan
mencari
informasi
sendiri
kemudian
mengorganisasi atau mengkonstruksi apa yang mereka
ketahui dan mereka pahami dalam bentuk akhir.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembelajaran penemuan adalah
pembelajaran tidak disampaikan secara final yang
memungkinkan siswa untuk menemukan dan mencari
informasi untuk membangun suatu konsep yang baru.
Pembelajaran penemuan dibagi menjadi tiga jenis, di
antaranya:
1. Penemuan murni, pembelajaran terpusat pada siswa.
Siswa yang menentukan tujuan dan pengalaman
belajar yang diinginkan, guru hanya memberi
masalah.
2. Penemuan terbimbing, pembelajaran terpusat pada
siswa untuk menemukan konsep melalui
penemuannya sendiri, guru hanya membimbing
siswa dalam bentuk petunjuk.
3. Penemuan laboratory, menggunakan objek nyata
dengan cara mengkaji, menganalisis, menemukan
secara induktif, dan menarik kesimpulan.
pada siswa untuk menemukan dan menyimpulkan suatu
konsep pembelajaran secara mandiri dengan bimbingan
guru.
DESIGN RESEARCH (PENELITIAN DESAIN)
Plomp (2013) mengatakan bahwa design research
adalah kajian sistematis tentang merancang dan
mengembangkan suatu intervensi pendidikan (seperti
program, strategi dan bahan pembelajaran, produk dan
sistem) sebagai solusi untuk memecahkan masalah yang
kompleks dalam praktik pendidikan, yang juga bertujuan
untuk memajukan pengetahuan kita tentang karakteristik
dari intervensi-intervensi tersebut serta proses
perancangan dan pengembangan intervensi-intervensi
pendidikan (misalnya proses belajar, lingkungan belajar,
dan sebagainya) dengan tujuan untuk mengambangkan
atau memvalidasi teori tersebut.
Istilah design research juga dimasukkan ke dalam
penelitian pengembangan karena berkaitan dengan
mengembangkan materi atau bahan pembelajaran. Inti dari
penelitian desain adalah proses siklik dari kegiatan
mendesain atau mengujikan serangkaian aktivitas
pembelajaran dan aspek-aspek lain dalam mendesain.
Salah satu tokoh yang turut berpartisipasi dalam
menyusun langkah-langkah penelitian desain adalah
Gravemeijer dan Cobb (2006). Gravemeijer dan Cobb
mengembangkan suatu instrumen utama dalam penelitian
desain yang dikenal dengan istilah Hypothetical Learning
Trajectory (HLT). HLT digunakan sebagai pedoman atau
panduan selama penelitian. Model Gravemeijer dan Cobb
(2006) membagi tiga tahapan dalam design research,
yaitu:
1. Preparing for the experiment
2. Design experiment
3. Retrospective analysis
Sutrisno (dalam Nurcholis, 2013) mengemukakan
bahwa pembelajaran dengan penemuan terbimbing
memberikan kesempatan siswa untuk menyusun,
memproses, mengorganisir, suatu data yang diberikan
guru. Hastari (2012) mengemukakan bahwa pembelajaran
penemuan terbimbing merupakan salah satu yang mampu
mengondisikan siswa untuk terbiasa menemukan,
mencari, dan mendiskusikan sesuatu yang berkaitan
dengan pembelajaran, serta diharapkan mampu
mengkonstruksi sendiri apa yang telah dipelajari dengan
bantuan guru.
Markaban (2006) menjelaskan bahwa pembelajaran
dengan metode penemuan terbimbing guru membimbing
siswa jika diperlukan dan didorong untuk berpikir sendiri
sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan
bahan yang disediakan oleh guru. Dari beberapa pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode penemuan
terbimbing adalah metode pembelajaran yang berpusat
HYPOTHETICAL LEARNING TRAJECTORY (HLT)
Hypothetical learning trajectory pertama kali
dipopulerkan oleh Simon (dalam Daro, 2011)
mengungkapkan bahwa HLT terdiri dari tiga komponen,
yaitu tujuan pembelajaran untuk mendefinisikan arah dan
mencapai tujuan pembelajaran yang bermakna, kegiatan
pembelajaran berupa sekumpulan tugas, dan hipotesis
proses belajar berupa prediksi tentang bagaimana
pemikiran dan pemahaman siswa yang berkembang
selama kegiatan pembelajaran.
Hadi (2009) mengungkapkan alur belajar hipotetik
adalah dugaan peneliti mengenai kemungkinan alur
belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang
pembelajaran. Karena bersifat hipotetik maka tidak selalu
benar. Apa yang terjadi di dalam kelas seringkali tidak
sesuai dengan apa yang diinginkan. Oleh karena itu
peneliti melakukan uji coba yang akan diperoleh alur
29
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
pembelajaran yang sebenarnya. Pada siklus selanjutnya
alur belajar tadi dapat dijadikan sebagai alur belajar
hipotetik yang baru untuk pembelajaran berikutnya.
Gravemeijer (dalam Putri, 2012) menjelaskan bahwa
hypothetical learning trajectory merupakan dugaan yang
dikaji lebih lanjut dari hari ke hari selama penelitian
berlangsung berdasarkan rencana dalam aktivitasaktivitas pembelajaran. Dari beberapa pendapat para ahli,
dapat disimpulkan bahwa hypothetical learning
trajectory merupakan hipotesis atau dugaan tentang
bagaimana pemikiran dan pemahaman siswa yang
berkembang
selama
pembelajaran
dengan
mempertimbangkan tujuan pembelajaran, aktivitas
pembelajaran, proses berpikir siswa, serta antisipasi yang
dilakukan oleh guru.
Hypothetical learning trajectory berperan dalam
setiap tahapan penelitian desain. Berikut peran dan posisi
HLT dalam penelitian desain.
1. Tahap preparing for the experiment. HLT
dirancang untuk membimbing proses pembelajaran
yang akan dilakukan.
2. Tahap design experiment. HLT berfungsi sebagai
petunjuk atau pembimbing bagi guru maupun
peneliti tentang apa yang akan difokuskan dalam
penelitian. Perubahan pada HLT disebabkan karena
adanya kejadian atau perilaku siswa yang belum
dapat diantisipasi, strategi yang belum terlaksana,
serta kegiatan yang sulit dilakukan.
3. Tahap retrospective analysis. HLT berperan
sebagai petunjuk dalam menentukan fokus dalam
penelitian.
2.
3.
secara matematis merupakan hal pokok dan saling
berhubungan, konsisten dengan pemikiran siswa, dan
berguna dalam pembelajaran berikutnya.
Development Progressions: The Paths of Learning
Bagian kedua dari LT terdiri dari tingkatan
level berpikir, mulai dari yang mudah sampai yang
sukar, membimbing siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran matematika.
Instructional Tasks: The Paths of Teaching
Bagian ketiga dari LT terdiri dari sekumpulan
tugas yang sesuai dengan tingkat berpikir siswa.
Tugas tersebut disusun untuk membantu siswa
belajar tentang ide dan kemampuan yang dibutuhkan
untuk mencapai suatu tingkatan berpikir.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian design
research (penelitian desain) yang mendesain learning
trajectory atau lintasan belajar siswa pada materi
jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing. Model
penelitian desain yang digunakan adalah model
Gravemeijer dan Cobb (2006) yang mendefinisikan
penelitian desain menjadi tiga tahap, yaitu preparing for
the experiment, design experiment, dan retrospective
analysis.
1. Preparing for the experiment. Pada tahap ini
dilakukan kajian literatur mengenai metode
penemuan terbimbing, materi jajargenjang, dan
analisis kurikulum yang berlaku. Setelah itu
dilakukan pendesainan HLT sebagai dugaan peneliti
tentang pemikiran siswa yang berkembang selama
pembelajaran.
2. Design experiment. Pada tahap ini, HLT yang telah
didesain diujicobakan pada dua siklus, yaitu siklus
pilot experiment dan teaching experiment. Uji coba
siklus pilot experiment melibatkan siswa dalam
kelompok kecil yang terdiri dari enam siswa dengan
masing-masing dua siswa berkemampuan tinggi,
sedang, dan rendah. Uji coba ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah HLT yang telah didesain sesuai
dengan aktivitas siswa. Data hasil uji coba siklus
pilot experiment digunakan untuk merevisi HLT
menjadi LT yang akan digunakan pada siklus
teaching experiment. Subjek uji coba siklus teaching
experiment adalah siswa satu kelas tanpa melibatkan
subjek siklus pilot experiment.
3. Retrospective analysis. Pada tahap ini, data yang
diperoleh dari tahap design experiment dianalisis.
HLT yang telah didesain dan diujicobakan pada
siklus pilot experiment akan dibandingkan dengan
pembelajaran siklus teaching experiment.
LEARNING TRAJECTORY (LT)
Clement dan Sarama (dalam Empson, 2011)
menjelaskan bahwa learning trajectory adalah susunan
kompleks yang terdiri dari pertimbangan bersama
mengenai tujuan pembelajaran matematika, model
pemikiran siswa, model guru dan peneliti mengenai
pemikiran siswa, urutan tugas pembelajaran, dan interaksi
pada level yang mendetail dari analisis proses.
Learning trajectory memberikan petunjuk bagi guru
untuk menentukan dan merumuskan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai. Setelah menentukan tujuan
pembelajaran guru dapat menyusun langkah, strategi,
model, ataupun metode untuk mencapai tujuan
pembelajaran tersebut.
Learning trajectories memiliki tiga bagian penting
menurut Clements dan Sarama (2009), yaitu:
1. Goals: The Big Ideas of Mathematics
Tujuan pembelajaran seorang guru merupakan
the big ideas of mathematics yakni pengelompokan
konsep-konsep dan kemampuan-kemampuan yang
30
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
rendah, yang kemudian dibagi menjadi dua
kelompok heterogen.
Siswa mengelompokkan bangun datar
yang termasuk jajargenjang dan memberikan
alasan pada tabel yang telah tersedia. Berikut
jawaban masing-masing kelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Penelitian
Berikut kegiatan yang dilakukan dalam setiap
tahapan penelitian desain model Gravemiejer dan Cobb
(2006).
1. Preparing for the experiment
Pada tahap ini, dikumpulkan literatur yang
berhubungan
dengan
metode
penemuan
terbimbimbing, jajargenjang, dan melakukan analisis
kurikulum yang berlaku. Setelah itu dilakukan
pendesainan HLT. Berikut garis besar HLT yang
telah didesain.
Mengidentifikasi jajargenjang dan bukan
jajargenjang
Menjelaskan pengertian jajargenjang
Menyebutkan sifat-sifat jajargenjang
Membuktikan sifat-sifat jajargenjang
Mengonstruksi rumus keliling persegipanjang
Gambar 2. Pengelompokan Bangun Datar
Dari gambar 2, dapat disimpulkan bahwa siswa
mengelompokkan
jajargenjang
dengan
memperhatikan sudut dan sisi yang dimiliki
oleh jajargenjang.
Kedua kelompok kemudian diminta untuk
menyimpulkan pengertian jajargenjang dari
pengelompokan bangun datar tersebut. Berikut
kesimpulan yang mereka berikan.
Mengonstruksi rumus keliling jajargenjang
Membandingkan luas jajargenjang dengan luas
persegipanjang dan luas jajargenjang dengan luas
segitiga
2.
Mengonstruksi rumus luas jajargenjang
Gambar 1. Garis Besar HLT
Design experiment
Pada tahap ini, HLT diujicobakan pada dua
siklus. HLT digunakan sebagai panduan peneliti
selama pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan
selama dua hari pada setiap siklus. Pada hari pertama
siswa diajak untuk mengonstruksi pengertian
jajargenjang dan membuktikan sifat-sifat yang
dimiliki jajargenjang. Hari kedua siswa diajak untuk
mengonstruksi rumus keliling dan rumus luas
jajargenjang. Berikut deskripsi proses yang
dilakukan selama penelitian.
a. Siklus pilot experiment
Subjek uji coba pada siklus ini terdiri dari
enam siswa kelas VII dengan masing-masing
dua siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan
Gambar 3. Pengertian Jajargenjang
Gambar 3 menunjukkan bahwa siswa
mengartikan jajargenjang berdasarkan sifatsifat yang dimiliki jajargenjang serta dengan
melihat bangun datar pembentuk jajargenjang.
Pengertian tersebut muncul di luar dugaan
peneliti dalam mendesain HLT. Sehingga
pengertian tersebut akan ditambahkan pada
HLT yang baru.
31
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
Langkah pembelajaran selanjutnya ialah
siswa diajak untuk menyebutkan dan
membuktikan sifat-sifat jajargenjang. Siswa
mampu menyebutkan sifat jajargenjang dengan
benar. Untuk pembuktiannya, siswa diberikan
kertas
lipat
sebagai
bantuan
dalam
membuktikan sifat-sifat jajargenjang. Namun
kertas lipat hanya digunakan siswa untuk
membuktikan sifat terkait simetri putar dan
simetri lipat, selebihnya siswa membuktikan
dengan penggaris dan busur derajat.
Untuk mengonstruksi rumus keliling
jajargenjang, siswa diajak untuk mengingat
kembali rumus keliling persegipanjang. Kedua
kelompok diminta untuk menghitung panjang
lintasan suatu lapangan dalam satu kali putaran.
Pada HLT, peneliti menduga siswa menghitung
panjang lintasan dengan tiga cara, di antaranya
(1) 𝐾 = 𝑝 + 𝑙 + 𝑝 + 𝑙; (2) 𝐾 = (2 × 𝑝) + (2 ×
𝑙); (3) 𝐾 = 2 × (𝑝 + 𝑙). Namun dalam uji coba,
dugaan nomor (2) tidak nampak selama
pembelajaran.
Sehingga
dengan
menggeneralisasikan rumus persegipanjang,
siswa mampu menemukan rumus keliling
jajargenjang.
Untuk
menemukan
rumus
luas
jajargenjang, siswa diminta untuk menduga
hubungan luas jajargenjang dengan luas
persegipanjang dan luas jajargenjang dengan
luas segitiga. Untuk hubungan luas jajargenjang
dengan luas persegipanjang, siswa memiliki
pendapat yang berbeda. Satu kelompok
menyebutkan bahwa jajargenjang memiliki luas
yang lebih besar. Sedangkan kelompok lain
menyebutkan bahwa keduanya memiliki luas
yang sama. Untuk hubungan luas jajargenjang
dengan segitiga, siswa menyebutkan bahwa
jajargenjang lebih luas dari segitiga dan luas
jajargenjang merupakan dua kali luas segitiga.
Siswa diberikan kertas berpetak untuk
membuktikan rumus luas jajargenjang. Siswa
dapat membuktikan luas jajargenjang sama
dengan luas persegipanjang dengan memotong
garis tinggi pada jajargenjang kemudian
menempelkan pada sisi yang lain hingga
terbentuk bangun persegipanjang. Sedangkan
dengan menggunakan pendekatan segitiga,
siswa menempelkan segitiga pada jajargenjang
dengan syarat bahwa segitiga dan jajargenjang
memiliki ukuran panjang alas dan tinggi yang
sama. Karena segitiga yang ditempelkan hanya
satu, maka ada bagian jajargenjang yang masih
b.
32
terbuka dan berbentuk segitiga. Sehingga siswa
kembali membuat segitiga dengan ukuran yang
sama dan menempelkan pada bagian
jajargenjang yang terbuka. Sehingga siswa
dapat menyimpulkan bahwa luas jajargenjang
sama dengan dua kali luas segitiga.
Siklus teaching experiment
Subjek uji coba pada siklus ini terdiri dari
26 siswa. Dari 26 siswa selanjutnya dibagi
menjadi beberapa kelompok heterogen
berdasarkan kemampuan yang terdiri dari 4 – 5
orang siswa dalam satu kelompok.
Saat
siswa
diminta
untuk
mengelompokkan bangun datar yang termasuk
jajargenjang dengan memberikan alasan, alasan
yang diberikan siswa pada siklus teaching
experiment lebih bervariasi, di antaranya siswa
menyebutkan bahwa jajargenjang memiliki sisi
miring yang sejajar dan memiliki sudut yang
berhadapan sama besar.
Sedangkan untuk pengertian jajargenjang
yang diberikan subjek pada siklus ini sama
seperti dengan pengertian yang diberikan
subjek pada siklus pilot experiment.
Untuk membuktikan sifat-sifat yang
dimiliki oleh jajargenjang, siswa diberikan
kertas lipat untuk memudahkan siswa dalam
membuktikan. Subjek pada siklus ini lebih
memanfaatkan kertas lipat yaitu menggunakan
kertas lipat untuk membuktikan sifat-sifat yang
lain selain simetri putar dan simetri lipat, yaitu
digunakan untuk membuktikan bahwa diagonal
jajargenjang saling memotong dua sama
panjang.
Siswa diajak untuk menemukan rumus
keliling jajargenjang dengan pendekatan rumus
keliling jajargenjang. Sesuai dengan HLT yang
telah direvisi menjadi LT, maka siswa
membuktikan panjang lintasan lapangan
berbentuk persegipanjang dengan poin (1) dan
(3). Dari rumus keliling persegipanjang
tersebut, siswa mampu menemukan rumus
keliling jajargenjang.
Seperti uji coba siklus pilot experiment
siswa diminta untuk menduga hubungan luas
jajargenjang dengan luas persegipanjang dan
luas jajargenjang dengan luas segitiga. Namun
siswa pada subjek ini menyimpulkan bahwa
rumus jajargenjang memiliki luas yang sama
dengan persegipanjang sedangkan luas
jajargenjang lebih besar dari luas segitiga.
Untuk membuktikan hal tersebut, siswa
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
3.
diberikan kertas berpetak dan meminta siswa
untuk mendiskusikan dala kelompok. Siswa
pada subjek ini mampu berfikir lebih cepat
daripada siklus sebelumnya, meskipun siswa
sama-sama membuktikan dengan cara yang
sama.
Untuk mengetahui pemahaman siswa
pada materi jajargenjang yang telah diajarkan,
setiap siswa diberikan tes dengan menggunakan
satu lembar penilaian dan meminta siswa untuk
mengerjakan dalam waktu yang telah
ditentukan.
Retrospective analysis
Pada tahap ini akan dianalisis tentang
pembelajaran yang diantisipasi menggunakan HLT
dengan
pembelajaran
yang
sebenarnya
menggunakan LT, selain itu akan dianalisis hasil
pengerjaan lembar penilaian siswa.
Gambar 4. Lembar Penilaian Nomor 3
Siswa dapat menghitung soal nomor 3a dan 3b yaitu
menghitung keliling dan luas jajargenjang ABCD, namun
siswa belum mampu menghitung soal nomor 3c. Untuk
menjawab soal nomor 3c, siswa melihat bahwa panjang
garis tinggi EF sama dengan panjang garis tinggi BG,
sehingga panjang EF sama dengan 8cm.
SIMPULAN
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan,
diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Tahap preparing for the experiment
Pada tahap ini dilakukan kajian literatur
mengenai metode penemuan terbimbing, materi
jajargenjang, analisis kurikulum yang berlaku untuk
mendesain garis besar HLT.
2. Tahap design experiment
Pada tahap ini HLT yang telah didesain
diujicobakan pada dua siklus yaitu pilot experiment
dan teaching experiment. Subjek siklus pilot
experiment terdiri dari enam siswa, dengan masingmasing siswa berkemampuan tinggi, dua siswa
berkemampuan
sedang,
dan
dua
siswa
berkemampuan rendah. Subjek siklus teaching
experiment terdiri dari 26 siswa yang kemudian
terbagi menjadi beberapa kelompok heterogen
berdasarkan kemampuan. HLT yang tidak nampak
saat uji coba pilot experiment, nampak pada saat uji
coba siklus teaching experiment karena jumlah siswa
yang lebih banyak dari siklus pilot experiment.
Sehingga siswa lebih aktif bertanya sesuai dengan
pemikiran siswa.
Untuk mengukur pemahaman siswa selama
pembelajaran yang telah berlangsung, siswa
diberikan tes menggunakan lembar penilaian dan
meminta siswa untuk mengerjakan dalam waktu
yang telah ditentukan.
3. Tahap retrospective analysis
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap
pembelajaran yang diantisipasi menggunakan HLT
dengan pembelajaran yang sebenarnya serta analisis
hasil tes menggunakan lembar penilaian. Dugaan
yang belum dapat diduga oleh peneliti akan
ditambahkan pada HLT yang akan direvisi menjadi
LT. Perubahan pada HLT juga mempertimbangkan
pendapat dari guru mata pelajaran kelas yang
bersangkutan.
Hasil Penelitian
Secara keseluruhan subjek pada siklus pilot
experiment lebih pasif daripada subjek siklus teaching
experiment yang siswanya lebih aktif. Hal itu
dimungkinkan karena subjek siklus teaching experiment
jumlah siswanya lebih banyak daripada subjek siklus pilot
experiment yang hanya terdiri dari enam siswa, sehingga
pemikiran siswa siklus teaching experiment jauh lebih
beragam dan siswa tidak merasa canggung untuk
mengungkapkan pendapatnya. Berbeda dengan subjek
siklus pilot experiment, mereka malu untuk berpendapat.
HLT dugaan peneliti tidak semua terealisasi saat uji coba
siklus pilot esperiment, namun dugaan tersebut nampak
pada saat uji coba teaching exeriment. Sedangkan HLT
yang belum dapat diduga oleh peneliti ditambahkan pada
HLT yang akan direvisi menjadi LT dengan
mempertimbangkan pendapat guru mata pelajaran kelas
tersebut.
Analisis hasil lembar penilaian siswa menunjukkan
bahwa dari 32 siswa, 1 siswa tidak mengikuti tes sehingga
jumlah siswa yang mengikuti tes sebanyak 31 siswa. Dari
31 siswa, 15 siswa di antaranya mendapatkan nilai lebih
dari atau sama dengan nilai KKM yang ditetapkan sekolah
mitra sedangkan 16 siswa lainnya belum melampaui KKM
yang ditetapkan. Sehingga ketuntasan belajar hanya
tercapai 48,39%.
Dari hasil analisis tes menggunakan lembar penilaian
tersebut diketahui bahwa siswa belum menguasai konsep
garis tinggi pada jajargenjang. Siswa mengartikan bahwa
garis tinggi pada jajargenjang selalu memiliki panjang
yang sama. Sehingga ketika dihadapkan pada soal nomor
3 seperti berikut.
33
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
Dapat disimpulkan bahwa HLT yang diduga
oleh peneliti tidak banyak berubah. Perubahan hanya
terjadi pada proses berpikir yang dialami siswa.
Namun secara garis besar HLT yang didesain sesuai
dengan
pembelajaran
sebenarnya
sehingga
menghasilkan learning trajectory siswa pada materi
jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing.
Hasil tes menunjukkan 48,39% siswa tuntas
dalam mengerjakan lembar penilaian, yaitu sebanyak
15 siswa dari 31 siswa yang mampu melampaui
KKM yang ditentukan oleh sekolah mitra.
DAFTAR PUSTAKA
Clements, Douglas H. and Sarama J. 2009. Learning and
Teaching Early Math The Learning Trajectories
Approach. New York: Routledge.
Daro, Phil., dkk. 2011. Learning Trajectories In
Mathematics. CPRE (Consortium for Policy
Research in Education) (Online) (www.cpre.org).
Empson, Susan B. 2011. “On the Idea of Learning
Trajectories: Promises and Pitfalls”. Jurnal The
Mathematics Enthusiast. Vol. 8. No. 3, pp. 571596. The University of Montana & Information
Age Publishing.
SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti
memberikan saran sebagai berikut.
1. Untuk memperbaiki learning trajectory pada materi
jajargenjang dengan metode penemuan terbimbing,
sebaiknya dilakukan minimal dua kali siklus untuk
memperoleh learning trajectory yang valid.
2. Guru sebaiknya menjelaskan konsep garis tinggi dari
semua sisi jajargenjang.
Gravemeijer and Cobb. 2006. Design Research from the
Learning Design Perspective. Dalam Akker,
Bannan, Kelly, Nieveen, dan Plomp. Educational
Design Research Part A: An Introduction.
Netherland: SLO.
Hadi, Sutanto. 2009. Adapting European Curriculum
Materials For Indonesian Schools. Banjarmasin:
Lambung Mangkurat University.
Hastari, Ratri Candra. 2012. Pembelajaran Penemuan
Terbimbing Untuk Materi Luas Segiempat Di
Kelas VII SMPN 33 Surabaya. (Online)
(http://jurnal.stkippgritulungagung.ac.id/jurnal/d
esember%202012/Ratri%20Candra%20H,%20P
embelajaran%20%20Penemuan%20terbimbing
%20,%20Desember%202012.pdf diakses pada
10 Januari 2016).
Irawan,
Johan. 2015. Pembelajaran Penemuan
Terbimbing Untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Siswa Kelas XI Pada Topik
Trigonometri Jumlah Dan Selisih Dua Sudut.
Tesis tidak dipusblikasikan. Universitas Negeri
Surabaya.
Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika
Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing.
Yogyakarta: Depdiknas.
Nurcholis. 2013. Implementasi Metode Penemuan
Terbimbing Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
Siswa Pada Penarikan Kesimpulan Logika
Matematika. (Online)
(http://download.portalgaruda.org/article.php?art
icle=129932&val=5148 diakses pada 10 Januari
2016)
34
Volume 3 No. 5 Tahun 2016
Plomp and Nieveen. 2013. Educational Design Research
Part A: An Introduction. Netherlands: SLO.
Putri, Ratu Ilma Indra. 2012. “Pendisainan Hypothetical
Learning Trajectory (HLT) Cerita Malin
Kundang Pada Pembelajaran Matematika”.
Dalam Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika FMIPA UNY dengan
tema “Kontribusi Pendidikan Matematika dan
Matematika dalam Membangun Karakter Guru
dan Siswa”. Yogyakarta Hal. 1 – 9.
Rahmawati, dkk. 2013. “Efektivitas Penerapan Metode
Penemuan Terbimbing Terhadap Kemampuan
Pemahaman Konsep Matematis Siswa”. Jurnal
Pendidikan Matematika. Vol. 2 (2): hal. 142 –
147.
(Online)
(http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/MTK/art
icle/view/386/249 diakses pada 10 Januari 2016)
UU Sisdiknas. 2003.
35
Download