musik pada upacara adat perkawinan batak toba di kota medan

advertisement
MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI
KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA
NIM: 090707026
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
MUSIK PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA DI
KOTA MEDAN: KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN
SKRIPSI SARJANA
O
L
E
H
NAMA: ANITA ROMAULI PRISKILA
NIM: 090707026
Disetujui
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP : 196512211991031001
Drs. Torang Naiborhu, M. Hum
NIP : 19630814199001004
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2015
DISETUJUI OLEH:
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Medan, 10 Juli 2015
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D
NIP. 196512211991031001
iii
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Seni dalam bidang
Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara Medan.
Medan
Hari: Jumat
Tanggal: 10 Juli 2015
FAKULTAS ILMU BUDAYA USU
DEKAN,
Dr. Syahron Lubis, M.Si.,Ph.D.
NIP. 195110131976031001
PANITIA UJIAN
No.
Nama
Tanda Tangan
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D
(
)
2. Torang Naiborhu M.Hum
(
)
3. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D
(
)
4. Dra. Herestina Dewi M.Pd
(
)
5. Fadlin, M.A
(
)
iv
ABSTRAK
Medan merupakan ibukota dari sumatera utara, yang mana di dalamnya
terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Salah satunya suku Batak
Toba yang ada di kota medan. Upacara adat perkawinan di kota medan telah
mengalami perubahan dari yang penulis ketahui melalui buku maupun media
lainnya, dahulunya gondang sabangunan merupakan musik pengiring upacara adat
perkawinan suku batak toba. Modernisasi yang terdapat di kota medan menjadi
salah satu penyebab perubahan yang terjadi dalam musik pada upacara adat
perkawinan batak toba, khususnya di kota Medan. Masuknya alat musik modern
kedalam musik perkawinan menjadi kesatuan yang kompleks dengan alat musik
tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba, tanpa menghilangkan nilai
tradisinya. Melalui pengamatan awal penulis, pada setiap upacara perkawinan
musik yang digunakan selalu berbeda-bed. Ada yang menggunakan musik tiup
kombinasi dengan keyboard, ada juga yang menggunakan uning-uningan sebagai
musik perkawinan, tergantung kepada si pembuat pesta.
Musik perkawinan pada upacara adat Batak Toba memiliki dua peranan,
yaitu pernanan vertikal dan peranan horizontal. Peran vertikal berarti
penghormatan kepada Sang Pencipta, peran horizontal berarti penghormatan
sesama manusia (secara khusus penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).
Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengangkat judul: “Musik Pada
Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi,
Kontinuitas, dan Perubahan.”
v
KATA PENGANTAR
Segala puji, hormat dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa telah
melimpahkan Berkat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba di
Kota Medan. Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan Perubahan”. Adapun tujuan skripsi
ini adalah sebagai kelengkapan tugas dalam memenuhi salah satu persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
Selama dalam penyusunan skripsi ini ,penulis telah banyak menerima
bantuan dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur, penulis menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Syaron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara yang telah banyak membantu di kantor jurusan, serta kepada
seluruh staf pengajar jurusan etnomusikologi penulis mengucapkan terima
kasih atas bimbingan dan bantuan yang diberikan, sehingga memperluas
wawasan penulis dalam pengetahuan selama mengikuti perkuliahan.
2. Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D. selaku ketua jurusan
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus
Dosen Pembimbing dalam menyelesaikan tugas akhir dan Ibu Dra. Heristina
Dewi, M.PD selaku sekretaris jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya
yang telah memberikan dukungan dan bantuan administrasi sertaregi strasi
perkuliahan dalam menyelesaikan tugas akhir penulis.
vi
3. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum dan Bapak Drs.Muhammad Takkari,
M.Hum, Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar dalam membantu
penulis dan selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
4. Orang tua penulis tercinta, Kanur Purba dan Risdawati Tindaon yang penulis
kasihi dan sangat berjasa dalam kehidupan penulis atas setiap bimbingan dan
didikan yang diberikan mama dan bapak. Terima kasih untuk cinta yang
diberikan, untuk semangat dan doa yang tiada henti diberikan hingga sampai
terselesaikannya tulisan ini dan selalu sabar membimbing penulis dalam
menjalani kehidupan ini. Tak akan terbalaskan kebaikan mama dan bapa.
5. Adik kandung penulis tercinta, L. Maria Natalia Purba, Riama Arima Gabe
Purba, Agustinus Pardamean Purba, Albert Roberto Purba, dan Christin
Novelia Nauli Purba yang menjadi saudara dalam suka dan duka dan yang
selalu memberikan dukungan doa, dan juga Hendra Sinaga yang telah
mengingatkan dan memberikan semangat dalam proses penyusunan tugas
akhir.
6. Keluarga Besar Gereja Pentakosta Indonesia sidang Padang Bulan, baik para
Pendeta, Guru Injil, Sintua dan jemaat yang menjadi “rumah” selama penulis
berada di Medan, terima kasih untuk semangat, bimbingan rohani, dan doa
yang hidup yang diberikan kepada penulis.
7. Rekan-rekan pemuda/i GPI sidang Padang Bulan. Terima kasih untuk
persaudaraan yang erat dan telah menjadi teman seiman penulis dalam berbagi
suka dan duka selama di Medan. Terima kasih abang, kakak, dan adik-adikku
untuk setiap bantuan, semangat dan doa yang kalian berikan. Terkhusus terima
kasih untuk keluarga Kak Stefani Hutabalian, SKM, Tulang B. Anwar
vii
Manullang, S. Ked, yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan
semangat untuk mengerjakan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk
Evalentina Nababan, Obet P. Tobing, Esti Nababan, Samuel Malau, Jelita
Butar-butar yang telah menjadi saudara kandung akhir-akhir ini. Terima kasih
untuk kalian semua yang telah menerima penulis menjadi bagian dalam hidup
kalian, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
8. Keluarga Besar Paduan Suara Mahasiswa Universitas Sumatera Utara yang
menjadi keluarga dan wadah di Kampus dalam mengikuti paduan suara.
9. Martin Tambunan, S.sn, Perawati Simbolon, Nerly C. Samosir, dan lain-lain
yang telah memberikan masukan dan semangat selama proses penyelesaian
tugas akhir.
10. Rekan-rekan Etnomusikologi 2009.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis masih banyak terdapat kekurangan dan
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan rendah hati penulis
menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca hingga pada
akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
khususnya mahasiswa Jurusan Etnomusikologi.
Medan,
Juli 2015
ANITA ROMAULI P
NIM. 090707026
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Pokok Permasalahan ....................................................................... 16
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 17
1.3.1 Tujuan penelitian ................................................................... 17
1.3.2 Manfaat penelitian ................................................................. 17
1.4 Konsep dan Teori ............................................................................ 18
1.4.1 Konsep .................................................................................. 18
1.4.2 Teori ..................................................................................... 21
1.5 Metode Penelitian .......................................................................... 24
1.5.1 Studi kepustakaan .................................................................. 27
1.5.2 Penelitian lapangan ................................................................ 27
1.5.3 Penelusuran data online ......................................................... 28
1.5.4 Kerja laboratorium ................................................................. 28
1.5.5 Lokasi penelitian dan informan .............................................. 29
BAB II MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN ....................... 31
2.1 Geografis KotaMedan .................................................................... 31
2.2 Konsep Adat .................................................................................. 32
2.3 Religi atau Kepercayaan ................................................................. 36
2.4 Konsep Kemasyarakatan ................................................................ 40
2.5 Konsep Kekerabatan ...................................................................... 41
2.6 Persebaran Masyarakat Batak Toba ............................................... 45
2.7 Budaya Musikal Batak Toba .......................................................... 50
2.7.1 Musik vokal ................................................................................ 50
2.7.2 Musik pada upacara perkawinan ................................................. 53
2.7.2.1 Ensambel gondang hasapi ........................................................ 54
2.7.2.2 Ensambel gondang sabangunan ................................................ 56
2.7.2.3 Ensambel musik tiup ................................................................ 58
BAB III KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA .................. 60
3.1 Perkawinan Pada Masyarakaat Batak Toba ........................................ 60
3.1.1 Tahapan upacara perkawinan .................................................... 61
3.1.1.1 Martumpol ................................................................... 61
3.1.1.2 Proses pemberkatan pernikahan .................................... 62
3.1.1.2.1 waktu ............................................................. 62
3.1.1.2.2 tempat ............................................................ 62
3.1.1.2.3 pemimpin upacara .......................................... 62
3.1.1.2.4 jemaat ............................................................ 62
3.1.1.3 Proses upacara adat ...................................................... 63
3.1.1.3.1 waktu ............................................................. 63
3.1.1.3.2 tempat ............................................................ 63
3.1.1.3.3 pemimpin upacara .......................................... 63
3.1.1.3.4 peserta upacara ............................................... 64
ix
3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan ................................................. 64
3.1.3 Syarat-syarat Perkawinan ......................................................... 65
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba .............................................. 65
3.2.1 Masa pra-kristen ....................................................................... 65
3.2.2 Masa kristen ............................................................................. 66
3.2.3 Masa sekarang .......................................................................... 66
3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Perkawinan Adat Batak Toba ................. 67
3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional .............................................. 67
3.3.2 Fungsi penghayatan estetis ....................................................... 68
3.3.3 Fungsi hiburan .......................................................................... 70
3.3.4 Fungsi komunikasi ................................................................... 71
3.3.5 Fungsi perlambangan ............................................................... 72
3.3.6 Fungsi reaksi jasmani ............................................................... 73
3.4 Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba Sebagai Kajian
Kontinuitas dan Perubahan ................................................................ 74
3.4.1 Kajian perubahan musik ........................................................... 74
3.4.2 Kajian kontinuitas musik .......................................................... 76
BAB IV TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI .......................................... 78
4.1 Transkripsi ......................................................................................... 78
4.2 Analisis .............................................................................................. 81
4.3 Pemilihan Sampel Lagu ..................................................................... 84
4.4 Model Notasi ..................................................................................... 85
4.6 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi) .................... 87
4.6.1 Analisis tangga nada ................................................................. 90
4.6.2 wilayah nada ............................................................................ 90
4.6.3 Nada dasar ................................................................................ 91
4.6.4 Jumlah nada ............................................................................. 91
4.6.5 Interval ..................................................................................... 92
4.6.6 Formula melodi ........................................................................ 94
4.6.6.1 Analisis bentuk, frasa, dan motif ................................... 95
4.6.7 Kadens ..................................................................................... 97
4.6.8 Kantur ...................................................................................... 98
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 101
5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 101
5.2 Saran ................................................................................................ 102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 104
DAFTAR WEBSITE ...................................................................................... 107
DATA INFORMAN ....................................................................................... 108
LAMPIRAN ................................................................................................... 109
x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap masyarakat di dunia pasti memiliki kebudayaan1 yang berbeda dari
masyarakat lainnya. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Demikian halnya suku Batak Toba, meskipun merupakan
bagian dari enam 2 sub suku Batak. Suku Batak Toba tentunya memiliki kebudayaan
sendiri yang membedakannya dari lima sub suku Batak lainnya.
Medan merupakan ibukota dari Sumatera Utara, yang mana di dalamnya
terdapat manusia yang memiliki beragam kebudayaan. Masyarakat di Medan terdiri
dari beberapa suku, ada suku Batak, Melayu, Jawa, Sunda, dan sebagainya.
Terlepas dari keibukotaannya, masyarakat di Medan juga masih melakukan tradisi
adat untuk setiap aktivitas kebudayaan, salah satunya masyarakat suku Batak Toba
yang terdapat di kota Medan.
Masyarakat Batak Toba memiliki adat istiadat yang diwariskan oleh nenek
moyangya dan turun-temurun diwariskan melalui tradisi oral (oral tradition). Di
sini adat istiadat ialah berbagai aktivitas sosial budaya termasuk upacara-upacara
kebudayaan yang disepakati menjadi tradisi dan berlaku secara umum di
1
Kebudayaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan hasil kegiatan
atau penciptaan batin akal budi manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan
sebagainya.
2
Enam sub suku batak yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak
Mandailing, Batak Angkola, dan Batak Pakpak.
1
masyarakat. Sementara tradisi adalah segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,
kebiasaan, upacara dan sebagainya yang secara turun temurun diwariskan
Menurut Aritonang (1988:47), seorang teolog Kristen, adat bagi orang
Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial, melainkan sesuatu
yang mencakupi seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani, masa kini dan
masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan seluruh jagad
raya (makrokosmos). Dengan kata lain, adat bagi orang Batak Toba adalah sesuatu
yang bersifat totalitas (Aritonang 1988:48), yang dapat diartikan sebagai pandangan
hidup orang Batak Toba. Adat bermanfaat untuk mencegah bencana, menjaga
keharmonisan dan kesuburan tanah, memastikan akan adanya kesinambungan
kebutuhan penduduk desa, serta menjaga keutuhan kekerabatan.
Umumnya di dalam setiap pelaksanaan upacara adat, masyarakat Batak
Toba selalu menggunakan musik tradisional sebagai media disetiap pelaksanaan
upacara adat. Salah satu upacara/kegiatan adat yang menjadi tradisi turun temurun
dan juga merupakan kegiatan yang dianggap sakral bagi masyarakat Batak Toba
ialah upacara perkawinan. Perkawinan adalah ikatan sosial atau perjanjian hukum
antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu
pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi.
Perkawinan dalam masyarakat Batak Toba bukan hanya menjadi urusan ayah, ibu,
dari kedua calon pengantin, tetapi merpakan menjadi urusan semua anggota
keluargayang menyangkut dalihan natolu. Peran-peran dalam upacara perkawinan
adat Batak Toba selalau terkait dalam tiga kedudukan utama dalam adat (dalihan
2
natolu)3 tersebut. Dalam masyarakat Batak Toba hingga sekarang ini, adat dalihan
na tolu masih tetap dihargai sebagai asas kehidupan. Asas kehidupan itu tergambar
pada falsafah dalihan na tolu, yaitu somba marhula-hula (hormat kepada pihak
marga orangtua dari istri [mertua]), elek marboru (sayang kepada pihak marga
daripada suami anak perempuan [menantu]), manat mardongan tubu (berhati-hati
kepada pihak marga daripada suami [lelaki bersaudara]).
Perkawinan dalam adat Batak Toba tidak terlepas dari musik-musik yang
mengiringi proses upacara tersebut berlangsung, yang mana alat musik yang
digunakan memiliki peran dalam setiap rangkaian kegiatan upacara adat maka
dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan di masyarakat Batak Toba tentu
tidak terlepas dari adanya aktivitas musikal. Aktivitas musikal tersebut memiliki
peran dan fungsi dalam setiap bagian tahapan-tahapan upacara yang dilaksanakan.
Pelaksanaan upacara perkawinan Batak Toba dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang dianggap sakral karena ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat
kepada Tuhan.
Pada masyarakat Batak Toba terdapat dua jenis ensambel musik yang sangat
penting, yakni gondang hasapi dan gondang sabangunan. Kedua ensambel musik
ini selalu menjadi bagian dari aktivitas upacara ritual dan adat bagi masyarakat
Batak Toba dalam mengiringi musik gondang, seperti gondang mula-mula,
gondang somba-somba, gondang elek-elek, gondang liat-liat, dan gondang
hasahatan. Dahulunya, musik yang digunakan untuk upacara perkawinan Batak
Toba ialah gondang sabangunan. Gondang sabangunan lazimnya dimainkan di
3
Dalihan natolu adalah falsafah batak yaitu: hulahula, boru, dongan tubu.
3
halaman rumah, baik menggunakan atau pun tanpa panggung. Selain itu gondang
sabangunan juga diletakan di balkon rumah adat yang ada di bagian luar.
Namun di Kota Medan khususnya pada upacara perkawinan, musik yang
digunakan pada umumnya mereka menyebutnya berbeda-beda4, ada yang
menyebutnya sebagai gondang, musik tiup, ataupun uning-uningan. Dalam bahasa
Batak Toba, kata gondang mengandung banyak pengertian, di antaranya adalah
instrumen musikal, ensambel musik, judul sebuah komposisi musik, judul kolektif
dari beberapa komposisi musik (repertoar)5, tempo pada komposisi suatu rangkaian
upacara, menunjukkan suatu kelompok misalnya kelompok kekerabatan atau pun
tingkat usia, dan bisa juga berarti sebuah doa.
Musik dikebudayaan Batak Toba biasanya digunakan untuk upacara ritual
adat yang biasanya menyangkut tentang kepercayaan suku Batak Toba kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yang menyebabkan musik perkawinan pada upacara adat
perkawinan Batak Toba mempunyai dua peranan yaitu peranan vertikal dan
peranan horizontal. Peranan vertikal berarti penghormatan kepada sang pencipta,
peranan horizontal berarti penghormatan sesama manusia (secara khusus
penghormatan dalam unsur-unsur dalihan na tolu).
Musik pada upacara perkawinan juga memiliki peran dan fungsi dalam
setiap rangkaian upacara adat yang dilaksanakan, mulai dari marhusip, upacar
pemberkatan di gereja, dan sampai pada tahap upacara adat dimana musik itu juga
memiliki fungsi seperti dalam teori Allan P. Meriam bahwa“ethnomusicology as
4
Tergantung kepada konsumen yang melaksanakan upacara perkawinan tersebut
menginginkan jenis musik seperti apa yang akan dipakai pada upacara adat yang mereka laksanakan.
Banyaknya kasus yang terjadi ketika sebuah gondang yang dikenal dengan judul A dapat disebut
dengan judul B di tempat lain.
5
Repertoar ialah komposisi musik yang siap untuk dipertunjukkan.
4
the study of music culture” sehingga dapat disarikan bahwa etnomusikologi adalah
lahan kajian studi tentang musik milik kebudayaan suku tertentu baik dari aspek
fisik atau materi musiknya maupun konteks budaya masyarakat yang memiliki
musik itu sendiri. Dimana dalam hal ini musik dikatakan sebagai fungsi, yaitu
dalam hal menyampaikan permohonan kepada Tuhan. Permohonan kepada Tuhan
ini merupakan penyampaian sebuah doa/harapan yang baik kepada si pengantin.
Salah satu penyebab perubahan musik dalam upacara adat perkawinan
masyarakat Batak Toba ialah modernisasi. Modernisasi suatu masyarakat
merupakan suatu poses transformasi yang meliputi segala aspek kehidupan. Dilihat
dari segi kebudayaan, modernisasi dapat diartikan sebagai proses pergeseran sikap
dan mentalitas sebagian warga masyarakat yang disebabkan oleh adanya kebutuhan
untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman masa kini. Perkembangan zaman
mempengaruhi terjadinya perubahan dalam setiap bagian upacara adat perkawinan
masyarakat Batak Toba.
Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat adat yang secara berkelanjutan
mengalami perubahan diberbagai aspek kehidupan. Perubahan sosial mendorong
perubahan produk kebudayaannya yang tidak saja dalam lingkup konsep atau
gagasan tetapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih konkrit dan visual. Dampak
perubahan sosial ini mengakibatkan adanya nilai-nilai tradisi yang tetap berlanjut
dan bertambah.
Zaman yang semakin maju dan berkembang dapat mempengaruhi
keberlanjutan musik tradisi menjadi semakin berkembang atau semakin
5
menghilang, seperti yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang ada di Kota
Medan.
Alat musik yang di gunakan pada saat upacara pernikahan telah mengalami
perkembangan yang pesat tanpa menghilangkan nilai tradisinya, masuknya alat
musik modern kedalam musik penikahan menjadi kesatuan yang kompleks dengan
alat musik tradisi pada musik perkawinan adat Batak Toba di kota Medan.
Berhubungan dengan hal tersebut, khususnya pada masyarakat Batak Toba di kota
Medan pelaksanaan upacara adat seperti upacara perkawinan, dalam pengamatan
sementara penulis pada peristiwa budaya, musik sebagai kelengkapan adat
perkawinan penyajiannya telah menggabungkan alat musik barat dengan alat musik
tradisional. Alat musik barat yang digunakan dalam upacara adat perkawinan
tersebut pada umumnya adalah alat musik keyboard, saxophone, ataupun terompet.
Keyboard merupakan salah satu alat musik yang multifungsi, dimana praktisi atau
pemain keyboard tersebut menggunakan fitur-fitur yang ada didalamnya untuk
memprogram atau menciptakan irama musik yang dibutuhkan, demikian juga
dengan saxophone ataupun terompet. Alat musik keyboard dan saxophone ataupun
terompet tersebut tidak dimainkan bersama alat musik modern saja, akan tetapi
digabungkan dengan alat musik tradisional, yaitu taganing, sulim, sarune, maupun
hesek.
Melalui pengamatan penulis juga pada setiap upacara adat perkawinan,
musik yang digunakan selalu berbeda-beda. Ada yang menggunakan sulim,
keyboard, taganing, ada juga yang menggunakan musik uning-uningan. Namun
6
semuanya itu, musik perkawinan di kota medan telah mengalami percampuran
dengan alat musik modern.
Muisk tiup atau musik uning-uningan pada upacara adat perkawinan Batak
Toba di kota medan disajikan untuk mengiringi upacara adat. Upacara adat yang
dilaksanakan pada pesta perkawinan adalah manortor, sehingga penyajian alat
musik sangat berperan sebagai pengiring tor-tor atau sebagai media menyampaikan
pesan antar tamu adat. Ada empat judul gondang yang disajikan didalam
mengiringi upacara adat yang dilaksanakan, yaitu gondang mula-mula, gondang
somba-somba, gondang elek-elek dan gondang hasahatan. Makna dari ke empat
gondang tersebut adalah sebagai sarana untuk menyembah hula-hula, mangelek
boru, dan dipercayai dapat memberi kemakmuran bagi yang melaksanakan upacara
adat.
Dengan demikian, penulis lebih tertarik untuk mengakaji lebih dalam lagi
mengenai perubahan dan kontinuitas yang terjadi dalam musik perkawinan di Kota
Medan dan fungsi dari musik perkawinan itu sendiri. Maka dari itu, berdasarkan
latar belakang tersebut penulis mengangkat penelitian ini menjadi sebuah tulisan
ilmiah dalam bentuk skripsi dengan memberi judul: “Musik Pada Upacara Adat
Perkawinan Batak Toba di Kota Medan: Kajian Fungsi, Kontinuitas, dan
Perubahan.”
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka tulisan ini akan
membahas pokok permasalahan sebagai berikut:
7
1. Bagaimana peran dan fungsi musik pada upacara adat perkawinan Batak Toba?
2. Bagaimana perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak
Toba?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mendeskripsikan peran dan fungsi musik pada pada upacara adat
perkawinan Batak Toba.
2.
Untuk mendeskripsikan dan menganalisis hal-hal yang melatarbelakangi
terjadinya perubahan dan kontinuitas musik pada adat perkawinan Batak Toba.
1.3.2 Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat bagi pembaca, baik yang
berada dalam disiplin etnomusikologi maupun di luar etnomusikologi,
khususnya bagi penulis dalam menambah wawasan mengenai budaya Batak
Toba.
2. Sebagai dokumentasi dan sarana literature tentang kontinuitas dan perubahan
musikpada upacara adat perkawinan Batak Toba.
3. Sebagai dokumentasi tambahan bagi Departemen Etnomusikologi mengenai
fenomena budaya Batak Toba.
8
4. Sebagai
syarat
untuk
mendapatkan
gelar
Sarjana
di
Depertemen
Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori
1.4.1 Konsep
Konsep adalah kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang
perlu dirumuskan. Konsep juga merupakan rancangan ide atau pengertian yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, 1991:431). Untuk memperjelas konsep yang akan penulis gunakan dalam
penulisan skripsi ini, maka sebaiknya perlu dijelaskan 3 (tiga) hal pokok yang
menjadi topik utama dalam pembahasan yakni mengenai kajian fungsi, kontinuitas,
dan perubahan.
Kajian merupakan kata jadian yang terbentuk dari kata “kaji” yang berarti
mengkaji, mempelajari, memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan
mendalami.Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa pengertian kata
“kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang dilakukan
dengan teliti (Badudu, 1982: 132).
Kontinuitas
memiliki
arti
keberlanjutan,
keberlangsungan,
dankesinambungan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1988).
Kontinuitas yang dimaksud di sini adalah adanya hal-hal yang masih tetap eksis,
dipertahankan, dan masih berlanjut hingga pada saat ini.Sebagai bentuk kontinuitas
dapat dilihat dari keberlanjutan alat musik tradisional yang masih dipakai pada
9
upacara perkawinan. Dimana dengan adanya fenomena musik, konsep/ide musik
tersebut masih terus berlanjut namun telah terjadi variasi.
Perubahan dalam suatu kebudayaan wajar terjadi, karena tidak ada
kebudayaan yang tidak berubah melihat dari zaman yang dari tahun ketahun
semakin berkembang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:1234), kata
perubahan berarti; hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam bahasa
Inggris perubahan disebut change, misalnya perubahan sosial atau sosial change,
artinya perubahan dalam kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial suatu
masyarakat yang berhubungan dengan nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok
manusia (Yandianto, 2000:656; Abdulsyani, 1995:83).
Perubahan merupakan suatu proses dimana suatu keadaan berubah dan bisa
juga dikatakan peralihan dari suatu masa/era (Abdulsyani, 1995:83). Perubahan
yang dimaksud dalam konsep ini adalah suatu perubahan (peralihan) yang terjadi
pada komposisi yang terjadi pada instrument musik tradisional Batak Toba yang
member perubahan terhadap musiknya khususnya alat musik tradisional yang
digunakan pada upacara perkawinan Batak Toba. Dalam hal ini penulis bermaksud
melihat perubahan yang terjadi merupakan sebuah tindakan yang dilakukan oleh
para
seniman
dan
kebutuhan
masyarakat
akan
berkembangnya
musik
tradisionalnya. Kontinuitas dan perubahan ini akan dibatasi pada era sebelum dan
sesudahnya musik perkawinan mengalami perubahan.
Gondang dalam masyarakat Batak Toba artinya menunjuk seperangkat alat
musik (instrumen) tradisional yang dipergunakan pada saat menari (manortor)
dalam suatu upacara. Tetapi istilah gondang juga dipakai untuk komposisi lagu,
10
serta jenis tarian/tortor yang dibawakan kerabat6 dalam upacara. Dengan demikian
gondang menunjuk pada pengertian:
1. instrumen musik,
2. komposisi dan repertoar (untaian komposisi lagu),
3. jenis tortor7 kerabat.
Dalam hal ini perubahan yang terjadi pada musik yang digunakan pada upacara
perkawinan Batak Toba dimana musik yang digunakan telah mengalami perubahan,
bahwa yang awalnya musik pada upacara perkawinann Batak Toba menggunakan
gondang sabangunan yaitu taganing, sarune, gordang, ogung ihutan, ogung oloan,
ogung panggora, ogung doal dan hesek, arti kata lain masih menggunakan alat
musik tradisi Batak Toba. Sedangkan pada masa kini gondang sabangunan tersebut
telah mengalami perkembangan yaitu dengan bertambahnya alat musik modern
seperti keyboard, saxophone, atau terompet. Jadi ada keberlanjutan dan perubahan
yang terjadi itu ada pada musik upacara perkawinan masyarakat Batak Toba.
Bagi masyarakat Batak Toba, khususnya yang berada di kota medan,
hadirnya keyboard, saxophone, ataupun terompet menjadi suatu keuntungan dalam
pelaksanaan upacara adat maupun hiburan seperti yang sering dilihat pada acara
pesta perkawinan sekarang ini.
6
Karena musik gondang dan tortor merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
dalam pelaksanaan upaccara pesta adat (Emmi Simangunsong, hal. 83)
7
Tortor adalah tarian seremonial yang mendampingi penyajian.
11
1.4.2 Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas
permasalahan. Teori merupakan prinsip-prinsip umum yang ditarik dari fakta-fakta,
dan juga dugaan yang menerangkan sesuatu (Marzuki, 1999:33). Serangkaian
konsep atau konstruk yang berhubungan dengan lainnya, dan juga suatu rangkaian
dari proporsi yang mengadung suatu pandangan sistematis dari fenomena
merupakan pemahaman teori menurut Kerlinger (1973). Teori juga dapat berarti
sebagai suatu analisis terhadap suatu hal yang sudah terbukti dan teruji
kebenarannya. Teori juga merupakan landasan berpikir secara ilmiah untuk
menguji, membandingkan, atau menerapkan untuk objek penelitian. Dalam
pembahasan ini teori dapat digunakan sebagai landasan dan kerangka berpikir
dalam membahas setiap permasalahan. Oleh karena itu, penulis mengadopsi
beberapa teori sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.
Untuk melihat fungsi peada upacara perkawinan Batak Toba, penulis
mengunakan
pendekatan
yang
dikemukakan
oleh
Soedharsono
yang
mengelompokkan seni pertunjukan ke dalam tiga kategoriyaitu (1) sebagai sarana
ritual, (2) sebagai hiburan pribadi, dan (3) presentasi estetis. Pendekatan ini tidak
jauh berbeda dengan Merriam dalam bukunya The Antropology of Music
(1964:219-226) yang membagi musik ke dalam 10 kategori fungsi, yaitu fungsi :
(1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5)
perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma social, (8)
pengesahan lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian
12
masyarakat. Namun Soedarsono lebih memperkecil fungsi seni untuk memudahkan
penulis menganalisis fungsi upacara tersebut.
Menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk
menyesuaikan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan
pertumbuhan masyarakat (Soekanto, 1992:21). Suatu kebudayaan tidaklah bersifat
statis, melainkan selalu berubah dengan kemajuan zaman sebab kebudayaan
bukanlah suatu hal yang lahir hanya sekali (Ihromi, 1987:32).
Herskovits dalam Merriam mengemukakan bahwa perubahan dan
kelanjutan (kontinuitas) merupakan suatu tema yang digunakan untuk memahami
sifat stabil dan dinamis yang melekat dalam setiap kebudayaan. Berkaitan dengan
fenomena ini, teori kebudayaan secara umum mengasumsikan bahwa setiap
kebudayaan beroperasi dalam kerangka waktu yang terus mengalami kelanjutan,
dimana variasi-variasi dan perubahan yang terjadi adalah hal yang tidak dapat
dielakkan (Merriam, 1964:303).
Selain itu penulis juga menggunakan teori perubahan budaya. Menurut
Herskovitz perubahan kebudayaan dapat dilihat dari dua titik pandang, yaitu
bagaimana yang terjadi di masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan titik
pandang pertama, mereka selalu mempergunakannya dalam istilah difusi yang
didefenisikan sebagai transmisi budaya dalam proses. Perubahan dapat dipandang
dari bagaimana asal-usul sebuah kebudayaan tersebut apakah karena faktor internal
atau eksternal. Perubahan yang terjadi karena faktor internal disebut inovasi, dan
perubahan karena faktor eksternal disebut akulturasi (1948:525).
13
Sependapat dengan uraian tersebut, Koentjaraningrat (1965:135) juga
mengemukakan tentang salah satu faktor yang menyebabkan perubahan
kebudayaan, yaitu: inovasi (innovation) adalah suatu proses perubahan kebudayaan
yang besar tetapi yang terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses ini
meliputi satu penemuan baru, jalannya unsur itu disebarkan ke lain bagian
masyarakat dan cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya
dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemudian Lauwer juga berpendapat
bahwa terjadinya suatu perubahan dapat diakibatkan oleh adanya akulturasi
(acculturation), dimana akulturasi disini mengacu pada pengaruh suatu kebudayaan
lain atau saling mempengaruhi antara dua kebudayaan yang mengakibatkan
terjadinya suatu perubahan (1989:402). Perubahan kebudayaan adalah perubahan
yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama oleh sejumlah warga
masyarakat yang terdapat dalam aturan-aturan atau nomra-norma, nilai-nilai,
teknologi, selera dan rasa keindahan atau kesenian dan bahasa. Perubahan
kebudayaan bisa mencakup salah satu unsurnya dan mempengaruhi unsur-unsur
kebudayaan lainnya, atau juga dapat merubah seluruh unsur-unsur kebudayaan
tersebut. (Suparlan, 2004:24).
Gondang sabangunan pada kebudayaan Batak Toba khususnya dalam
Upacara Perkawinan telah mengalami perkembangan dan masyarakat Toba itu
sendiri menerima perubahan musik tersebut. Perubahan yang terjadi adalah dengan
bertambahnya instrument musik modern seperti keyboard, saxophone, dan terompet
yang ikut menjadi kesatuan dengan alat musik tradisional tersebut. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kebudayaan luar dapat mempengaruhi kebudayaan lain,
14
hal ini dikemukakan oleh L. Dyson dalam Sujarwa (1987:39) yang mengatakan
bahwa sikap menerima dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: faktor
kebutuhan, keuntungan langsung yang dapat dinikmati, senang pada satu hal yang
baru, dan sifat inovatif yang ingin berkreasi. Ada juga sikap menolak yang
disebabkan oleh anggapan bahwa hal-hal yang baru tersebut merugikan, atau
bertentangan dengan tata nilai yang dianut sebelumnya.
Kontinuitas merupakan perwujudan dari pelestarian dan regenerasi terhadap
masalah yang digarap untuk mencapai pengembangan yang diharapkan. Pada ranah
sosiologis, kontinuitas diwujudkan dalam bentuk kesepahaman komunitas untuk
melakukan pemberdayaan atas masalah yang diangkat ke dalam penetapan yang
diinginkan secara representatif menghasilkan perilaku budaya, respons internalisasi
pengembangan
yang
diharapkan
dalam
mencapai
tujuan
yang
menjadi
komitmennya.
Gondang sabangunan merupakan music rakyat (folk music) yang dipelajari
secara oral oleh seniman Batak Toba telah mengalami kontinuitas dan perubahan
dalam musiknya, hal ini diungkapkan oleh Bruno Nettl dan Gerald Behague
(1991:4) yang mengatakan bahwa:
…in a folk or nonliterature… a song must be sung, remembered,
and taught by one generation to the next. If this does, not
happen, it dies and is lost forever. There is another alternative: if
it is not accepted by it’s audience, it may be change to fit the
need and desires of the people who perform and hear it.
Bruno Nettl dan Gerald Behague mengatakan bahwa sebuah kebudayaan
rakyat atau kebudayaan tidak tertulis, sebuah lagu (music) harus dinyanyikan,
diingat dan diajarkan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Jika hal itu tidak
15
terjadi maka lagu atau musik tersebut akan hilang atau punah. Tetapi ada alternative
lain, jika lagu atau musik tersebut tidak diterima oleh penonton (audiens), hal ini
mungkin dapat diubah atau diberi inovasi untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan
keinginan orang-orang yang mempertunjukkan atau mendengarnya.
1.5 Metode Penelitian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:581), metode penelitian
diartikan sebagai suatu cara mencari kebenaran dan azas-azas alam, masyarakat
atau kemanusiaan yang bersangkutan. Dalam kaitan ini Hasan (1985:7) mengatakan
metode merupakan cara atau sistematika kerja untuk memahami objek yang
menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
Menurut Caplin (1989:301), metode adalah prosedur sistematis yang
tercakup dalam upaya menyelidiki suatu fakta atau konsep. Metode penelitian
dapat diartikan dalam beberapa disiplin ilmu tertentu. Di dalam ilmu-ilmu sosial,
objek pengamatan dan penelitian yang merupakan dasar dari pengetahuan ilmiah
adalah gejala-gejala masyarakat yang lebih khusus, terdiri dari kejadian-kejadian
kongkrit.
Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan metode deskriptif yang
bersifat kualitatif. Koentjaraningrat (1990:29) mengatakan bahwa penelitian
yang bersifat deskriptif adalah bertujuan untuk memaparkan secara tepat sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu untuk menentukan frekuensi
atau penyebaran dari suatu gejala ke gejala lain dalam suatu masyarakat. Menurut
Nawawi dan Martini (1995:209) penelitian kualitatif adalah rangkaian atau
16
proses
menjaring
data (informasi) yang bersifat sewajarnya mengenai suatu
masalah dalam kondisi aspek atau bidang kehidupan tertentu pada objeknya.
Menurut Nettl (1964:62-64) ada dua hal yang esensial untuk melakukan
aktivitas penelitian dalam disiplin Etnomusikologi yaitu kerja lapangan (field work)
dan kerja laboratorium (desk work). Kerja lapangan ini meliputi pemilihan
informan, pendekatan dan pengumpulan data, pengumpulan dan perekaman data,
latar belakang perilaku sosial ataupun mempelajari seluruh pemakaian musik.
Sedangkan kerja laboratorium meliputi pengolahan data yang didapat dari
lapangan, menganalisis dan membuat hasil dari keseluruhan data-data yang
diperoleh.
Di dalam tulisan ini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif yang
bersifat kualitatif. Kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati (Bongdan dan Taylor dalam Moleong, 1989:3).
Dalam mengumpulkan data-data di lapangan penulis mengacu kepada
teknik penelitian yang diungkapkan oleh Curt Sachs dalam Nettl (1964:62) yang
mengatakan bahwa: “Curt Sachs (1962) divides ethnomusicological research into
two kinds of work, field work and desk work. Field work notes the gathering of
recordings and the first-hand experience of life in a particular human culture, while
deskwork includes transcription, analysis, and the drawing of conclusions.”
Menurut Curt Sachs penelitian dalam etnomusikologi ada dua hal yang
esensial, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).
Kerja lapangan ini meliputi pemilihan informan, pendekatan dan pengumpulan
17
data, pengumpulan dan perekaman data, latar belakang perilaku sosial ataupun
mempelajari seluruh pemakaian musik. Sedangkan kerja laboratorium meliputi
pengolahan data yang didapat dari lapangan, menganalisis dan membuat hasil
dari keseluruhan data-data yang diperoleh.
Penelitian ini akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt
Sachs, namun belum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(desk work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih dahulu. Adapun
studi pustaka ini untuk pengumpulan data dalam awal penelitian.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Dalam mengumpulkan awal penulis melakukan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data dan sumber bacaan
yang mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa buku-buku, skripsi
etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan-bacaan yang diperlukan dalam mendukung
penelitian.
Dalam hal ini penulis telah membaca skripsi sarjana Etnomusikologi yang
mendukung kepada penulisan skripsi ini. Selain itu penulis mencari sumber data
dari internet dengan kata kunci World Wide Web (WWW). Penulis juga membaca
buku-buku antropologi dan etnomusikologi yaitu Pengantar Ilmu Antropologi, The
Anthropology Of Music, Folk and Traditional Music Of The Western Continents,
Worlds Of Music, Etnomusikologi, Pluralitas musik Etnik Batak Toba, Mandailing,
Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun, dan beberapa buku lainnya.
Studi kepustakaan ini juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan
18
dengan skripsi ini antara lain sosiologi dan topik tentang kebudayaan masyarakat
Batak Toba.
1.5.2 Penelitian Lapangan
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata atau
tindakan selebihnya yang berfungsi sebagai data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain (Lonfland dan Lonfland dalam Meleong, 1989). Selain kata-kata atau
tindakan perekaman audio ataupun materi musik juga menjadi sumber data yang
utama dalam penelitian ini.Dalam kerja lapangan penulis melakukan wawancara
untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang tulisan ini. Sebelum melakukan
wawancara terlebih
dahulu
penulis
menyiapkan
segala
sesuatu
yang
dibutuhkan di dalam melakukan wawancara, yaitu: menyusun pertanyaan,
mempersiapkan alat-alat tulis, menyediakan alat perekam untuk merekam hasil
wawacara dengan informan.
1.5.3 Penelusuran Data Online
Internet merupakan salah satu media online yang memberikan banyak data
informasi, baik berupa teori, data gambar, dan juga artikel-artikel yang yang penulis
butuhkan. Media online ini ada yang berbentuk laman web, blog, yang berkaitan
dengan kajian yang penulis lakukan, baik secara teoretis maupun deskriptif studi.
1.5.4 Kerja Laboratorium
19
Seluruh
data
yang
diperoleh
penulis
dari
lapangan
dan
studi
kepustakaan, kemudian dianalisis kembali di dalam kerja laboratorium. Penulis
akan melakukan seleksi data, analisis data, dan mengelompokkannya sesuai dengan
informasi yang penulis harapkan. Proses analisis data penelitian dimulai
dengan menelaah keseluruhan data yang diperoleh. Analisis data dilakukan mulai
awal penelitian dan berlangsung sampai pada saat proses penulisan laporan
peneliti an selesai. Begitu juga dengan data yang berbentuk gambar, penulis
akan mencantumkannya dalam tulisan ini. Data yang tidak bersifat musikal diolah
kemudian dan dituliskan dalam bentuk tulisan atau karya ilmiah. Selama proses
pengolahan data, penulis juga melakukan diskusi-diskusi dengan para dosen
pembimbing dan teman-teman yang ada di Departemen Etnomusikologi.
1.5.5 Lokasi Penelitian dan Informan
Dalam hal penentuan lokasi penelitian, para budayawan, musisi atau
seniman tradisional Batak Toba merupakan sumber dari data yang diperlukan oleh
penulis dalam penelitian ini. Karena sumber data dalam penelitian ini berupa
rekaman audio dan juga wawancara maka lokasi penelitian ini penulis memilih
berdasarkan tempat berdomisilinya para informan atau musisi yang dianggap
berkaitan dengan penelitian ini. Oleh karena itu melihat kasus yang terjadi di kota
medan, maka penulis memutuskan untuk memilih kota medan sebagai tempat yang
dipilih penulis untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian.
Untuk pemilihan informan8 penulis memilih para budayawan, musisi
(pargonsi) atau seniman tradisional Batak Toba yang ada di kota medan yang
8
Lihat lampiran skripsi sarjana ini
20
menurut penulis bisa memenuhi data-data yang akan penulis lakukan dalam hal
pengumpulan data melalui wawancara.
21
BAB II
MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara,
Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara
regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering
digunakan
sebagai barometer
dalam
pembangunan
dan
penyelenggaraan
pemerintah daerah.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab
berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat
dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang Malaysia.
Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar
barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang
relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236
jiwa.
Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor
tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat
perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Letak geografis Kota Medan adalah 3030 – 3043 LU, dan 980 35’-980 44’
BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km2. Kota Medan memilki
perbatasan yaitu:
(a) Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka,
22
(b) Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur
(Kabupaten Deli Serdang),
(c) Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli
Serdang), dan
(d) Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung
Morawa (Kabupaten Deli Serdang)
Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan
Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan
Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan
Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang,
Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan
Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Bandar Udara Polonia.
Secara geografsi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya
alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli
Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan
secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang
sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.2 Konsep Adat
Adat merupakan aktivitas sosial yang disepakati menjadi tradisi
dan
berlaku secara umum bagi manusia yang diwariskan oleh nenek moyang sebagai
kegiatan sehari-hari. Di dalam adat terdapat unsur hukum, aturan dan tata cara
untuk mengatur tentang hubungan manusia dengan manusia. Menurut masyarakat
23
Batak Toba, adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon yang harus dituruti
oleh makhluk penciptanya. Adat inilah yang menjadi hukum bagi setiap orang
tentang cara kehidupan untuk membedakan yang baik dan yang buruk.
Adat adalah kebiasaan atau hasomalan yang berarti aturan-aturan yang
dibiasakan. Pengertian lain yaitu kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok
marga yang berasal dari orang-orang tua dan diwariskan secara turun temurun,
berupa pesan tentang aturan atau tata tertib dan hukum yang tidak boleh diabaikan
atau dilupakan. Hukum adat merupakan pemberian Mulajadi Na Bolon sebagai
perintah yang harus dituruti dan bermula dari kebiasaan adat yang dilaksanakan
oleh sekelompok masyarakat. Maka dari itu tertanam oleh masyarakat Batak Toba
bahwa apabila adat ditaati dan dilaksanakan maka orang tersebut dipercaya akan
mendapat berkah, sedangkan orang yang tidak menaati adat tersebut akan mendapat
bala (hukum tersirat). Menurut Aritonang, seorang teolog kristen (1988:47), adat
bagi orang Batak Toba bukanlah sekedar kebiasaan atau tata tertib sosial,
melainkan sesuatu yang mencakup seluruh dimensi kehidupan: jasmani dan rohani,
masa kini dan masa depan, hubungan antara si aku (sebagai mikrokosmos) dengan
seluruh jagad raya (makrokosmos).
Secara teologis, adat adalah bentuk keseluruhan suatu agama suku, adat
merangkum, meresapi dan menentukan suku atau bangsa dengan cara yang
bagaimanapun. Adat menghubungkan orang yang hidup (kelihatan) dengan orang
yang mati (tidak kelihatan); adat mengatur tata tertib sosial untuk desa sebagai
persekutuan hukum, persekutuan produksi, dan persekutuan agama; adat
mempertahankan daya hidup mitos dimana kekuatannya terdapat pada nomisme,
24
yaitu sikap hukum yang alamiah dan tujuannya ialah utk tercapainya kelanggengan
dan keselarasan antara makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam keseluruhan aspek
ini, dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan disatu-padukan sepenuhnya sama seperti
dunia alam dan cakrawala. Adat mepunyai corak bermotif sebab ia mempunyai
dasar dalam mitos yang merupakan konsepsi suatu bangsa untuk memahami
dirinya. Oleh karena itu, adat adalah bagian lahiriah serta pengembangan mitos
dalam kehidupan bersama dan penerapannya dalam segala seluk beluknya
kehidupan (Pasaribu, 1986:61).
Adat merupakan seperangkat norma yang diturunkan dari nenek moyang,
yang berulang-ulang atau yang teratur datang kembali, lalu kembali menjadi suatu
kebiasaan atau menjadi hal yang biasa (Schreiner, 1994:18). Pola-pola kehidupan
yang tampak dalam bentuk pergaulan sehari-hari, pembangunan rumah, upacara
perkawinan, upacara kematian, semuanya dipelihara, dilaksanakan dan diatur
menurut adat (ibid, 1994:20).
Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi
oleh masyarakat pemiliknya dengan membuat perilaku terhadap nilai-nilai budaya.
Konsep masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia, adalah bahwa
kehidupan masyarakat Batak Toba selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat.
Adat dalam suku Batak Toba merupakan bagian yang harus dipatuhi dan dilakukan.
Dalam praktek pelaksanaan adat Batak Toba, realita di lapangan terdapat empat (4)
kategori adat yang dilakukan:
25
1. komunitas masyarakat Batak Toba mempunyai sistem hubungan adat yang
tersendiri, menunjuk kepada setiap komunitas mempunyai tipologi9 adat
masing-masing. Perlakuan masyarakat pedesaan terhadap adat lebih lekat dan
kental dibandingkan dengan masyarakat Batak yang tinggal di perkotaan relatif
lebih individualis dalam menyikapi respon terhadap adat Batak. Perilaku ini
muncul akibat pengaruh lingkungan yang membentuk pola pikir disamping
unsur teknologi yang juga mempengaruhinya.
2. Adat diyakini sebagai norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang
dipengaruhi oleh aturan dan norma yang sudah berlaku dalam masyarakatnya.
Seiring pula dengan aturan perundang-undangan dan hukum agama yang telah
membudaya dan juga sering dianggap sebagai bagian dari adat isitiadat.
Peraturan perundang-undangan dan hukum agama banyak mengatur kehidupan
norma masyarakat secara rinci dan detail, memperkecil peranan adat dalam
mengatur norma sosial dan kehidupan bermasyarakatnya.
3. Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba
berubah secara terus menerus, sehingga pelaksanaan adatnya juga mengalami
perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu.
4. Pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga mengalami
perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi.
Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya. Lebih jauh, adat adalah sebuah sistem yang mengatur
kehidupan manusia. Sehingga, orang Batak yang bertindak dan bertingkah laku
9
Tipologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pengelompokkan berdasarkan tipe atau
jenis (pembagian budaya menurut suku bangsa)
26
tidak sesuai dengan adat disebut dengan na so maradat (orang yang tidak
memiliki adat) dan akan ada sanksi sosial terhadap orang-orang yang
melanggar adat. Pelanggaran adat yang dilakukan dapat berbentuk perkawinan
terlarang. Misalnya, perkawinan semarga (incest). Pencurian, pencemaran
nama baik dan hal lain yang diyakini sebagai tatanan sosial masyarakat yang
tidak dapat dilanggar (bandingkan, Bruner 1961:510). Sanksi bagi pelanggar
hukum adat, diyakini datang dari kutukan ilah yang mereka percayai.
Misalnya, tidak mendapatkan keturunan, penyakit menahun yang tidak kunjung
sembuh, kerugian ekonomis dalam setiap pekerjaan bahkan sanksi kematian.
Hukuman ini berlaku bagi pelanggar adat hingga keturunan selanjutnya dalam
beberapa generasi. Karena prinsip adat Batak bersumber dari keilahian yang
diturunkan nenek moyang orang Batak, maka setiap orang Batak yang
menjalankan adat adalah orang-orang yang bersekutu dengan nenek
moyangnya.
2.3 Religi atau Kepercayaan
Menurut kepercayaan orang Batak dalam mitologinya, segala hal di dalam
kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan keilahian yang dipercaya sebagai
karya Mula Jadi Nabolon. Dalam cerita turun temurun, mitologi dalam kepercayaan
masyarakat Batak Toba ini yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara
Guru, Soripada dan Mangala Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang
memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia (Situmorang,
2009:21).
27
Dalam beberapa tulisan konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang
diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang Batak. Dalam
tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa itu bukanlah implisit dari jelmaan
Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri sendiri yaitu 1) Mulajadi
Nabolon, 2) Debata Asi-asi dan 3) Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya
di Bumi. Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta dari alam semesta untuk alam
yang besar (Nabolon), dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata
Asiasi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara
(roh leluhur, roh penghuni suatu tempat). Batara Guru berarti maha guru yang
member ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh
jahat. (Tampubolon, 1978:9-10)
Mitologi Batak pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke
mulut (tradisi lisan), biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal ini
terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan bangsa Batak.
Lebih lanjut Warneck membenarkan bahwa hampir semua suku bangsa memiliki
dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain. Masing-masing berdiri
sendiri (Hutauruk, 2006:8)
Ajaran agama Batak yang terdapat dalam mitologi Batak ini, diperjelas oleh
Batara Sangti menyebut ketiga dewa (sama dengan versi Situmorang) pemilik
otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut mengatur tata
kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak (Deang) Parujar dalam
tonggotonggo (doa) yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon menyebut: Debata
Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. Sangti menguraikan pekerjaan dan tugas
28
keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan bersusah payah dan
berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba (yang tidak
disaji dan tidak disembah) sebagai tugas keempat dimaksud dari na opat harajaon
(Sangti, 1977:279).
Dalam konteks kepercayaan tradisional “agama Batak” itu, terdapat konsep
bahwa kehidupan manusia tetap berlangsung walaupun sudah meninggal.
Kehidupan itu berada pada dunia maya, kehidupan para roh-roh yang sudah
meninggal. Anggapan bahwa roh-roh itu memiliki komunitas dan aktivitas sendiri.
Itu sebabnya, hingga kini masih terdapat kepercayaan bagi masyarakat Batak untuk
ikut menyertakan berbagai perlengkapan orang yang sudah mati, dikubur bersama
jasadnya. Misalnya, pahean (pakaian) yang dikenakan dipergunakan nantinya
setelah roh sebagai pakaian yang membungkus dari rasa dingin, dan ringgit sitio
suara (uang) untuk kebutuhan perjalanan menempuh perjalanan ‘jauh’ dari dunia
nyata ke dunia maya atau benda-benda lainnya yang dibutuhkan dalam dunia roh.
(ibid. 1978:10).
Dari beberapa versi cerita kehidupan orang Batak dapat disimpulkan, bahwa
orang Batak pada zaman keberhalaan sudah mempercayai adanya Allah yang satu
yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang
Batak kala itu percaya ada kekuatan besar Debata yang menjadikan langit dan bumi
dan segala isinya. Juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata
Mulajadi Na Bolon adalah sebagai ilahi yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia
adalah awal dari semua yang ada.
29
Dalam konsep Batak, seluruh kehidupan tertuju pada daya dan upaya untuk
mencapai kepemilikan sahala. Sahala dalam filsafat Batak sangat besar
pengaruhnya dalam segala gerak hidup orang Batak, dan semua orang Batak harus
mempunyai sahala. Penafsiran sahala menurut Warneck adalah kewibawaan hidup,
kekayaan akan harta benda dan keturunan, kemuliaan yang mencakup
kebijaksanaan, kecerdikan, kecerdasan, kekuasaan, keluhuran budi pekerti. Hal ini
terus dilakukan oleh orang Batak secara turun temurun. Implementasinya, nampak
pada setiap pekerjaan adat dan hubungan kehidupan antara sesama orang Batak.
Sehingga sahala adalah wujud dari hagabeon, hamoraon dan hasangapon. Sahala
adalah perwujudan roh (tondi) dalam kehidupan manusia di dunia. Sahala tersebut
merujuk pada sebuah kekuatan nyata yang menjadi milik orang-orang penting dan
kuat. Tanda utama kepemilikan sahala yang besar adalah ketika seseorang
memiliki keberhasilan duniawi. Sahala merupakan sebuah kualitas yang bisa
diperoleh bisa juga hilang.
Masyarakat Batak Toba memberi tingkatan hidup pada nilai-nilai
kebudayaan dalam tiga kata, yaitu harajaon (kuasa), hamoraon (kekayaan) dan
hasangapon (kehormatan). Harajaon menunjukkan bahwa tujuan setiap manusia
adalah berdiri sendiri secara merdeka dan mengelola hidup dengan wibawa dan
kuasanya. Setiap orang Batak (laki-laki), selalu mempunyai keinginan menjadi
seorang raja. Pengertian menjadi raja adalah seorang yang dapat mengatur
hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu dianggap penting untuk
membentuk rumah tangga sendiri, karena rumah tangganya adalah awal dari usahausaha untuk mendirikan ke”raja”annya sendiri.
30
Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan dalam hidup seorang Batak adalah
mensejahterakan kehidupan. Anggapan tradisional, pengertian kesejahteraan lebih
dianggap sama dengan banyak memiliki anak, ladang yang luas dan ternak yang
banyak. Kepemilikan ini dianggap sebagai hasil karena memiliki seorang Batak
memiliki sahala sebagai raja.
Hasangapon merupakan tujuan dari usaha-usaha untuk mewujudkan
gagasan-gagasan harajaon dan hamoraon. Perjuangan untuk mencapai hasangapon
digambarkan sebagai motivasi fundamental suku Batak. Secara harafiah
hasangapon bisa diartikan sebagai terpuji, tauladan, terhormat, atau nyaris tanpa
cela. Dalam mencapai harajaon, hamoraon, dan hasangapon, berarti seseorang
tesebut telah menjadi pribadi yang sempurna.
Sistem dalihan na tolu mencegah pembentukan kelas-kelas sosial yang
kaku. Selalu ada hula-hula yang harus dipelihara dan dihormati. Oleh karena itu,
masyarakat Toba memiliki ciri egaliter yang kuat, dibandingkan misalnya dengan
masyarakat jawa. Sifat ini tidak berarti bahwa masyarakat Toba bebas dari hirarki
gender, pada umumnya perempuan menempati posisi rendah dibanding laki-laki.
2.4 Konsep Kemasyarakatan
Koentjaraningrat (1995:110) mengatakan bahwa stratifikasi sosial orang
Batak dalam kehidupan sehari-hari dapat dibedakan menjadi empat (4) prinsip
yaitu:
31
1. Perbedaan tingkat umur. Yakni, sistem pelapisan sosial masyarakat Batak Toba
berdasarkan perbedaan tingkat umur ysng dapat dilihat dalam sistem adat
istiadat. Dalam pesta adat, orang-orang tua yang tingkat umurnya lebih tinggi,
akan lebih banyak berbicara atau disebut raja adat.
2. Perbedaan pangkat dan jabatan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan
pangkat dan jabatan ini dapat dilihat pada perbedaan harta dan keahlian yaitu
pada keturunan raja-raja, dukun, pemusik (pargonsi) dan juga pandai-pandai
seperti besi, tenun, ukir, dan lain-lain.
3. Perbedaan sifat keaslian. Sistem pelapisan sosial berdasarkan perbedaan sifat
dan keaslian dapat kita lihat dalam jabatan dan kepemimpinan. Dalam sistem
ini berlaku sifat keturunan contohnya, di daerah Muara adalah daerah asal
marga Simatupang. Maka secara otomatis turunan marga Simatupang ini lebih
berhak atas jabatan kepemimpinan di daerah tersebut seperti Kepala Desa atau
yang di luar jabatan pemerintahan. Demikian juga halnya dalam hak ulayat
dalam pemilikan tanah.
4. Status kawin adalah sistem pelapisan sosial berdasarkan status kawin dapat
dilihat di dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada orang Batak yang sudah
berkeluarga. Mereka sudah mempunyai wewenang untuk mengikuti acara adat
atau berbicara dalam lingkungan keluarganya, dan biasanya orang Batak yang
sudah berkeluarga akan menjaga wibawanya dalam adat ataupun dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu sangat besar arti perkawinan pada
masyarakat Batak Toba.
32
2.5 Konsep Kekerabatan
Pembagian kelompok keturunan bagi masyarakat Batak diyakini berasal
dari satu nenek moyang yang sungguh-sungguh ada, dan atau karena anggapan
mitologi seperti disebutkan dalam pembahasan di atas. Garis keturunan yang
disandang oleh setiap orang Batak sekarang ini berasal dari satu sumber yang
secara eksklusif ditarik lurus dari pihak laki-laki (keturunan agnatic, patrilineal
atau laki-laki). Garis patrilineal ini dipakai guna menentukan status keanggotaan
dalam sebuah kelompok yang dinamai marga. 10 Sedangkan patrilineal adalah garis
keturunan menurut laki-laki.
Mengenai prinsip garis keturunal patrilineal tersebut, Soerjono Soekanto
memberikan penjelasan: “Hubungan kekerabatan melalui laki-laki saja, dan karena
itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat semua kaum kerabat
ayahnya masuk kedalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum
kerabat ibunya jatuh diluar batas itu”11. Sehingga, kelompok marga Batak adalah
sebuah organisasi keluarga yang luas. Kekerabatan dari kelompok keturunan bagi
orang Batak banyak dijumpai menurut wilayah kediaman masyarakat Batak Toba.
Mereka membentuk grup-grup menjadi sebuah kelompok marga (descent group)
sebagai kesatuan sosial. Kesatuan yang diakui (de facto) oleh umum.
Sejak dulu sampai sekarang, masyarakat Batak Toba dalam beberapa hal
merupakan masyarakat yang patriakal. Dalam masyarakat tradisional, posisi
perempuan seringkali sulit. Jika seorang perempuan telah melahirkan banyak anak
10
Marga adalah nama pertanda dari keluarga mana seorang berasal. Nama marga dalam
keluarga umumnya terletak di belakang, sehingga sering disebut dengan nama belakang. Marga
turun-temurun dari kakek kepada bapak, kepada anak, kepada cucu, kepada cicit, dan seterusnya.
(www.id.wikipedia.org/wiki/marga)
11
Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 59
33
laki-laki dan satu anak perempuan akan sangat dihargai, tetapi jika perempuan tidak
melahirkan anak laki-laki akan dianggap rendah. Karena sistem marga diambil dari
anak laki-laki, seorang laki-laki yang tidak memiliki anak laki-laki tidak dapat
mengabadikan marganya. Keadaan ini dianggap sebagai rasa malu yang besar dan
laki-laki itu didesak untuk memiliki istri lagi, karena anak-anak membawa
kebanggaan dalam sebuah marga, biasanya laki-laki yang memiliki kekayaan sering
memiliki lebih dari satu istri. Karena marga adalah eksogamus, maka perkawinan
antara orang-orang dari marga yang sama dianggap tabu.
Adat Batak Toba mendorong seseorang segera menikah setelah masa
pubertas dan bagi laki-laki menikah dianggap sebagai sebuah tugas. Sistem marga
Batak Toba bersifat hirarkis, dalam arti bahwa marga (hula-hula), yang telah
memberikan anak perempuannya agar dinikahi marga yang lain dianggap lebih
tinggi dari pada marga yang menerima isteri tersebut (boru). Di pihak lain, marga
yang lebih tinggi juga berhubungan dengan marga-marga yang lain yang telah
memberikan anak-anak perempuan kepada mereka, yaitu yang dianggap lebih
tinggi.
Tiga marga adalah marga milik seseorang (dongan sabutuha, teman dari
satu rahim), hula-hula dan boru disebut dalihan na tolu, yang merujuk pada tiga
batu yang diletakkan dibawah tungku untuk memasak. Dalam hal ini tidak seorang
pun berada di atas karena setiap orang memiliki hubungan dengan sebuah marga
yang mereka anggap lebih tinggi.
Sistem kekerabatan keluarga Batak Toba, tidak dapat dipisahkan dari
filsafat hidupnya dan merupakan suatu pranata yang tidak hanya mengikat seorang
34
laki-laki dan seorang wanita, akan tetapi mengikat suatu hubungan yang tertentu
yaitu kaum kerabat dari pihak laki-laki atau kaum kerabat dari pihak perempuan.
Seluruh pihak yang masuk dalam lingkaran kerabat Batak Toba, masing-masing
memiliki nama sebutan panggilan yang menunjukkan status kekerabatan. Filsafat
hidup kekerabatan inilah yang disebut Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga) yang
terdiri dari:
1.
Hula-hula atau dinamai parrajaon (pihak yang dirajakan) yaitu marga ayah
mertua seorang laki-laki yang memberinya istri. Yang termasuk hula-hula
bukan hanya pihak mertua dan golongan semarganya tetapi juga bona ni ari
yaitu marga asal nenek (istri kakek) ego lima tingkat ke atas atau lebih, tulang
yaitu saudara laki-laki ibu, yang terdiri dari tiga bagian yaitu bona tulang
(tulang kandung dari bapak ego), tulang tangkas (tulang ego saudara), tulang
ro robot (ipar dari tulang), lae atau tunggane (ipar) yang termasuk di dalamnya
anak dari tulang anak mertua, mertua laki-laki dari anak, ipar dari ipar, cucu
ipar; bao (istri ipar) yaitu istri ipar dari pihak hula-hula mertua perempuan dan
anak laki-laki, anak perempuan dari tulang ro robot; paraman dari anak lakilaki, termasuk di dalamnya anak ipar dari hula-hula, cucu pertama, cucu dari
tulang, saudara dari menantu perempuan, paraman dari bao; hula-hula hatopan
yaitu semua abang dan adik dari pihak hula-hula.
2.
Boru yaitu marga yang menerima anak perempuan sebagai istri, yang termasuk
di dalamnya namboru (bibi) yang terdiri dari iboto ni ama niba (saudara
perempuan bapak), mertua perempuan dari saudara perempuan, nenek dari
menantu laki-laki; amang boru (suami bibi) yang termasuk di dalamnya mertua
35
laki-laki dari saudara perempuan, kakak dari menantu laki-laki; iboto (saudara
perempuan) yang termasuk di dalamnya putri dari namboru, saudara
perempuan nenek, saudara perempuan dari abang atau adik kita; lae (ipar) yang
termasuk di dalamnya saudara perempuan, anak namboru, mertua laki-laki dari
putri, amang boru dari ayah, bao dari saudara perempuan. Boru (putri) yang
termasuk di dalamnya boru tubu (putri kandung), boru ni pariban (putri kakak
atau adik perempuan), hela (menantu), yang termasuk di dalamnya suami dari
putri, suami dari putri abang atau adik kita, suami dari putri; bere atau ibebere
(kemenakan) atau anak dari saudara perempuan; boru natua-tua yaitu semua
keturunan dari putri kakak kita dari tingkat kelima.
3.
Dongan Sabutuha atau dongan tubu yaitu terdiri dari namarsaompu artinya
segenap keturunan dari kakek yang sama, dengan pengertian keturunan lakilaki dari satu marga. Setiap orang Batak Toba dapat terlihat dalam posisi
sebagai dongan tubu, hula-hula dan boru terhadap orang lain. Terhadap hulahula-nya, dia adalah boru. Sebaliknya, terhadap boru dia merupakan hula-hula
dan terhadap garis keturunannya sendiri dia merupakan dongan tubu.
Penyebutan kata somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan
tubu adalah salah satu semboyan yang hidup hingga saat ini pada masyarakat Batak
Toba yang mencerminkan keterkaitan hubungan ketiga sistem kekerabatan ini.
Artinya hula-hula menempati kedudukan yang terhormat diantara ketiga golongan
fungsional tersebut. Boru harus bersikap sujud dan patuh terhadap hula-hula dan
harus dijunjung tinggi. Hal itu tampak dari filosofi yang dianut tentang ketiga
golongan ini. Hula-hula, mata ni mual si patio-tioon, mata ni ari so husoran
36
artinya hula-hula adalah sumber mata air yang selalu dipelihara supaya tetap jernih
dan matahari yang tidak boleh ditentang. Hula-hula diberi sebutan sebagai debata
na ni ida atau wakil Tuhan yang dapat dilihat, karena merupakan sumber berkat,
perlindungan dan pendamai dalam sengketa. Elek marboru artinya hula-hula harus
selalu menyayangi borunya dan sangat pantang untuk menyakiti hati dan perasaan
boru. Manat mardongan tubu artinya orang yang semarga harus berperasaan seia
sekata dan sepenanggungan sebagai saudara kandung dan saling hormat
menghormati.
Adapun fungsi dalihan na tolu dalam hubungan sosial antar marga ialah
mengatur ketertiban dan jalannya pelaksanaan tutur, menentukan kedudukan, hak
dan kewajiban seseorang dan juga sebagai dasar musyawarah dan mufakat bagi
masyarakat Batak Toba. Dimana saja ada masyarakat Batak Toba, secara otomatis
berlaku fungsi dalihan na tolu, dan selama orang Batak Toba tetap mempertahankan
kesadaran bermarga, selama itu pulalah fungsi dalihan na tolu tetap dianggap baik
untuk mengatur tata cara dan tata hidup masyarakatnya.
2.7 Persebaran Masyarakat Batak Toba
Persebaran masyarakat Batak Toba dimulai ketika badan zending masuk ke
tanah Batak yang membuka isolasi wilayah Batak. Keterkungkungan yang lama
menyelimuti tanah Batak selama berabad-abad yang diterima sebagai suatu
kebiasaan oleh masyarakat ini. Bahkan mereka memproteksi diri dari kehidupan
lain diluar sistem sosio kemasyarakatan yang sudah terbangun pada orang Batak
Toba.
37
Badan zending yang membuka isolasi ini melalui pendidikan yang
ditularkan melalui pengajaran agama Kristen, akhirnya membuahkan hasil dengan
timbulnya minat orang Batak melakukan persebaran ke seluruh pelosok. Pendidikan
yang ditanamkan oleh missionaris agama Kristen di tanah Batak diyakini sebagai
satu cara membuka cakrawala baru untuk mengenal dunia luar lebih jauh yang
sekaligus dapat memberikan hasil dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
dan pendidikan itu dipandang sebagai sarana untuk mengatasi kemiskinan dan
meningkatkan status ekonomi dan sosial.
Status sosial bagi masyarakat Batak Toba yang dianggap paling mendasar,
membuat orang Batak selalu suka bekerja keras sehingga pekerjaan adalah sesuatu
yang penting. Adakalanya, pekerjaan sebagai guru jemaat dengan gaji yang kecil
akan dilakukan untuk mengejar status sosial. Karena anggapan bahwa seorang guru
lebih tinggi kedudukan sosialnya dari seorang petani.
Dengan terbentuknya berita dari para missionaris tentang adanya kehidupan
lain yang lebih layak di luar wilayah Batak, orang-orang Batak yang sudah
mengecap pendidikan dari pihak zending ini, mencoba mengadu nasib dan mencari
pengalaman baru di tempat yang mereka cari (parserahan). Mereka melakukan
perjalanan dengan menyusuri jalan setapak. Untuk tiba di sekitar Sumatera Timur
(penyebutan untuk wilayah tanah Simalungun dan pesisir timur Sumatera), orangorang Batak yang tinggal di Toba Na Sae (Tanah Batak Toba yang luas) harus
dengan menyusuri tepian Danau Toba dengan sampan dari Balige menuju Tigaras
dan berjalan kaki menuju Pematang Siantar melalui Tiga Dolok.
38
Selain pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak menuju Sumatera Timur,
masih ada peluang untuk keluar walau dengan resiko perjalanan yang berat dan
berbahaya. Misalnya, alternatif
jalan menuju Padang sebagai pelabuhan
internasional ketika itu, dapat dilalui dari Sibolga dengan kapal barang. Hal ini
pernah terjadi dengan adanya orang-orang Batak Toba berkediaman di tanah
Minang pada tahun 1900-an dan orang Batak yang ada di Jawa diyakini berangkat
dengan kapal api dari Padang, atau dengan masuknya tentera Paderi pada tahun
1820-an ke tanah Batak pada saat perang Paderi/Bonjol.
Akses jalan dari Sumatera Timur ke tanah Batak, awalnya dijalani melalui
beberapa titik persinggahan yang memakan waktu berhari-hari. Rute-rute kecil dari
tengah hutan sebagai jalan setapak yang dirintis oleh pedagang-pedagang lokal
(perlanja sira-penjual garam), adalah pilihan untuk dapat keluar dari tanah Batak.
Rute lain yang dipilih adalah melalui jalan menyusuri sungai Asahan dari pesisir
timur menuju kawasan Danau Toba di Porsea.
Jalan raya yang menghubungkan tanah Batak ke Sumatera Timur baru
dibuka pada tahun 1915 melalui Sibolga, Sipirok, Tarutung, Balige, Porsea,
Parapat, Tiga Dolok menuju Pematang Siantar (Cunningham, 1958:85). Dengan
dibukanya jalan raya itu, percepatan perpindahan orang Batak menuju daerah lain
semakin tampak. Salah satu sumbernya adalah informasi dari anggota keluarga
Batak yang sudah tiba lebih dahulu di tanah-tanah garapan mereka. Persebaran
masyarakat Batak Toba ke daerah lain untuk mengejar tingkat perekonomian yang
lebih baik, tidak hanya dilakukan oleh kalangan yang berpendidikan saja, tetapi
adalah juga para petani-petani yang hanya mengandalkan semangat dan
39
pengetahuan pertaniannya. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, dan
kewajiban bekerja sebagai rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di
kampungnya. Untuk kepergiannya, mereka mau membayar pajak rodi sebesar 3
(tiga) gulden ditambah pajak dan ongkos ganti rugi pekerjaan rodi selama setahun.
Perpindahan orang Batak ke daerah lain untuk menetap adalah pilihan untuk
meningkatkan taraf ekonomi mereka (Sangti, 1977:180).
Bagi orang-orang Batak yang tinggal menetap di daerah-daerah parserahan
selanjutnya membentuk komuni-komuni baru dengan membawa segala aspek
kebudayaannya. Adat istiadat yang dipakai mereka tidak dihilangkan begitu saja.
Mereka berpegang pada konsep adat yang sudah dibangun nenek moyang mereka
terdahulu. Karena beragamnya orang Batak dari berbagai latar belakang daerah di
bona pasogit, mereka menyatukan persepsi untuk membuat adat Batak itu dapat
diterima oleh komunitas mereka sendiri, tanpa melihat daerah asal mereka.
Mereka menjalankan adat Batak dengan seperti apa yang dilakukan orang Batak di
bona pasogit, termasuk dalam pemakaian musik untuk mengiringi upacara-upacara
adat Batak mereka. Masyarakat Batak Toba dewasa ini yang berada di Simalungun,
menempati hampir semua daerah yang ada di Simalungun. Mereka hidup
berkelompok di Pematang Siantar, Perdagangan, Kerasaan, Serbelawan, Dolok
Sinumbah, Bah Jambi, Maria Bandar, Panei Tongah, Saribudolok, Tiga Dolok, Tiga
Balata, Tanah Jawa, Parapat dan daerah lain.
Di Medan, sekitar tahun 1920-an perubahan dominasi etnik mulai berubah.
Orang-orang Batak yang ada di Medan mulai memunculkan diri dengan hasil
pekerjaan mereka yang cukup memuaskan sekaligus memperlihatkan identitas
40
mereka. Selain di Medan, di kota besar lainnya, seperti Jakarta, orang Batak juga
menunjukkan identitas mereka. Mereka-mereka ini adalah orang-orang yang ulet
dan pekerja keras, sehingga kelompok etnis lain heran mendapati bahwa orangorang yang tertib dan pandai yang mereka kenal ternyata adalah orang Batak.
Walaupun orang Batak merupakan kaum minoritas kecil di kota-kota, tetapi sangat
berpengaruh pada saat itu, hal ini juga menyebar ke Tapanuli Utara dan Selatan
(lihat Hasselgren, 2008:48).
Keberadaan orang Batak Toba di Jakarta (Batavia) diperkirakan sekitar
tahun 1900-an, yang dibawa oleh pihak kolonial Belanda sebagai pembantu utama
mereka. Dapat dicatat, orang Batak pertama yang sudah ada di Jakarta adalah
seorang pemuda Batak Kristen alumni sekolah Seminari Pansurnapitu Tarutung
yang menjadi guru di Batavia bernama Simon Hasibuan, dia sudah berada di
Batavia pada tahun 1907 (Sihombing, 1962:65). Setahun kemudian terjadi eksodus
orang Batak dalam mencari pekerjaan ke Batavia dengan menempuh perjalanan
sendiri.
Komunitas pertama orang Batak yang tinggal di Batavia, berada di kawasan
Sawah Besar dengan membentuk perkumpulan Batak Kristen Protestan
sebagaimana mereka dahulunya di Tapanuli (Hasibuan, 1922:61). Bagi orang Batak
yang datang ke Batavia, awalnya ditampung oleh orang Batak pertama datang ke
daerah itu, secara estafet perlakuan itu tetap dipergunakan dalam menyatukan dan
membentuk komunitas Batak di Jakarta. Hingga pada tahun 1917, kumpulan orang
Batak Kristen sudah melakukan kebaktian sebagai upaya penyatuan semua orang
41
Batak yang berada di Jakarta sebanyak 50 orang, dan berkembang sangat pesat
hingga saat ini.
Di Kalimantan orang Batak sudah mendiami daerah itu pada tahun 1923,
mereka berada di sekitar Singkawang, Pontianak dan Mempawah. Sedang di pulau
Sulawesi,
orang Batak sudah bermukim
mulai tahun 1920-an,
seperti
ditempatkannya beberapa orang Batak menjadi anggota militer. Di Papua dimulai
pada tahun 1942, dengan masuknya orang Batak sebagai tentara Heiho dan
Romusha yang dibawa oleh tentara Jepang. Tahun 1961, seorang petinggi militer
Batak telah menjumpai orang Batak di pulau Morotai Papua.
Hal yang perlu dicatat, adalah adanya orang Batak yang sudah bermukim di
luar negeri. Orang Batak pertama yang berada di Eropa tercatat pada tahun 1876
bernama Djaogot, dia dibeli oleh Pdt. Van Asselt sebagai budak yang kemudian
dikirim ke luar negeri untuk menimba ilmu di sana. Setelah itu terdapat beberapa
nama yang juga menetap di luar negeri baik itu dengan alasan untuk melanjutkan
studi ataupun mencari pekerjaan misalnya, M.H. Manullang seorang putra Tarutung
melanjutkan sekolahnya di Senior Cambridge Singapura antara tahun 1907-1909.
Tahun 1920-an sudah ada beberapa orang Batak yang menjadi guru di sana. Tahun
1927 seorang Kristen Batak tamatan sekolah Zending asal Sipirok, yakni A.
Batubara berangkat ke Singapura untuk mencari pekerjaan. Tahun 1930, Bintatar
W.F Napitupulu asal Sangkarnihuta Balige pindah ke Malaya dan bekerja di Ipoh
sebagai pegawai Lindeteves.
Sementara itu, pulau Batam juga menjadi tujuan orang-orang Batak Toba
dalam mencari pekerjaan. Berdasarkan statistik HKBP, warga HKBP di pulau
42
Batam dan Singapura tahun 1991 sebanyak 5.629 jiwa (Almanak HKBP, 1994:370).
Pada tahun 2011, masyarakat Batak yang bermukim di pulau Batam dan Tanjung
Pinang dengan statistik terdaftar sebagai penduduk menetap sebanyak 68.126
jiwa.13
2.8 Budaya Musikal Batak Toba
2.8.1 Musik vokal
Budaya musikal masyarakat Batak Toba tercakup dalam dua bahagian
besar, yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal pada masyarakat
Batak
Toba
disebut
dengan
ende.
Dalam
musik
vokal
tradisional,
pengklasifikasiannya ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat
dilihat berdasarkan liriknya. Ben Pasaribu (1986 : 27-28) membuat pembagian
terhadap musik vokal tradisional Batak Toba dalam delapan bagian, yaitu:
1.
Ende mandideng, adalah musik vokal yang berfungsi untuk menidurkan anak
(lullaby).
2. Ende sipaingot, adalah musik vokal yang berisi pesan kepada putrinya yang
akan melangsungkan pernikahan. Biasanya dinyanyikan pada waktu senggang
saat menjelang pernikahan.
3. Ende pargaulan, adalah musik vokal yang secara umum merupakan “solo
chorus”, dan dinyanyikan oleh kaum muda-mudi dan daam waktu senggang,
biasanya malam hari.
4. Ende tumba, adalah musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring
tarian hiburan (tumba). Penyanyinya sekaligus menari dengan melompat-
43
lompat dan berpegangan tangan sambil bergerak melingkar. Biasanya ende
tumba ini dilakukan oleh para muda-mudi atau remaja di alaman (halaman
kampung) pada malam terang bulan.
5. Ende sibaran, adalah musik vokal yang menggambarkan cetusan penderitaan
seseorang yang berkepanjangan. Penyanyinya adalah orang yang menderita
tersebut, dan biasanya dinyanyikan di tempat yang sepi.
6. Ende
pasu-pasuan,
adalah
musik
vokal
yang
berkaitan
dengan
pemberkatan,dan berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang
Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh para orang tua kepada keturunannya.
7. Ende hata, adalah musik vokal berupa lirik yang diimbuhi ritem yang disajikan
secara monoton, seperti metric speech. Liriknya berupa rangkaian pantun
dengan bentuk pola “aa bb” yang memiliki jumlah suku kata yang sama.
Biasanya dimainkan oleh kumpulan anak-anak yang dipimipin oleh seseorang
yang lebih dewasa atau orang tua.
8. Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup
seseorang yang telah meninggal, yang disajikn pada saat atau setelah
disemayamkan. Dalam ende andung alunan melodi biasanya muncul secara
spontan sehingga penyanyinya haruslah penyanyi yang cepat tanggap dan
terampil dalam sastra yang menguasai beberapa motif-motif lagu yang penting
untuk jenis nyanyian ini.
Demikian juga Hutasoit yang dikutip oleh Ritha Ony membagi kelompok
musik vokal menjadi tiga jenis, yaitu:
44
1. Ende namarhadohoan, yaitu musik vokal yang diyanyikan untuk acara-acara
namarhadodoan (resmi).
2. Ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak
Toba dalam kegiatan sehari-hari.
3. Ende sibaran, yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan
berbagai peristiwa kesedihan atau dukacita.
Tetapi apabila dikaji lebih rinci dari banyaknya jenis musik vokal pada
masyarakat Batak Toba, maka dibuat pengklasifikasian yang lebih mendetail
terhadap nyanyian-nyanyian tersebut sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Berikut ini adalah pembagian jenis musik vokal Batak Toba oleh Jan Harold
Brunvand yang dikutip oleh Ritha Ony (1983:13). Jenis musik vokal tersebut
sebagai berikut:
1. Nyanyian kelonan (lullaby), yaitu musik vokal yang mempunyai irama halus,
tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang sehingga
dapat membangkitkan rasa kantuk bagi si anak yang mendengarkan. Contoh:
Mandideng.
2. Nyanyian kerja (work song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama dan
kata-kata yang bersifat menggugah semangat,sehingga dapat menimbulkan rasa
gairah untuk bekerja. Contoh : Luga-luga solu.
3. Nyanyian permainan (play song), yaitu musik vokal yang mempunyai irama
gembira serta kata-kata yang lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan.
Contoh: Sampele-sampele.
45
4. Nyanyian yang bersifat kerohanian atau keagamaan, yaitu musik vokal yang
teksnya berhubungan dengan kitab Injil, legenda-legenda keagamaan, atau
pelajaran-pelajaran keagamaan. Contoh: Metmet ahu on.
5. Nyanyian nasehat, yaitu musik vokal yang liriknya berisi nasehat tentang
bagaimana pola bertingkah laku yang baik. Contoh: Siboruadi.
6. Nyanyian mengenai hubungan berpacaran dan pernikahan, yaitu musik vokal
yang liriknya biasanya mengungkapkan kebiasaan muda-mudi yang sedang
bercinta dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Contoh: Madekdek ma
Gambiri.
2.8.2
Musik pada pacara perkawinan
Ada tiga jenis enasambel musik yang umum dipakai pada upacara adat
perkawinan batak toba di kota medan dahulu dan sekarang, yaitu: ensambel
gondang hasapi, ensambel gondang sabangunan dan musik.
2.8.2.1 Ensambel gondang hasapi
Secara umum ensambel yang lazim digunakan untuk upacara adat
perkawinan namun masa sekarang hampir tidak digunakan lagi penggunaanya pada
upacara perkawinan. Instrumen yang dipakai dalam ensambel ini terdiri dari:
hasapi doal, sarune etek, garantung, mengmung, hesek.
(a) Hasapi doal, instrumen ini sama dengan hasapi ende namun dalam
permainannya hasapi doal berperan sebagai pembawa ritem konstan. Ukuran
instrumen hasapi doal lebih besar sedikit dari hasapi ende.
46
Gambar 1. Hasapi doal
(b) Sarune etek, adalah instrumen pembawa melodi yang memiliki reed tunggal.
Klasifikasi ini termasuk dalam kelompok aerophone yang memiliki lobang
nada (empat dibagian atas, satu dibagian bawah) dimainkan dengan cara
mangombus marsiulak hosa.
Gambar 2. Sarune etek
(c) Garantung, adalah instrumen pembawa melodi yang terbuat dari kayu dan
memiliki lima bilah nada. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke dalam
kelompok xylophone. Selain berperan sebagai pembawa melodi, juga berperan
47
sebagai pembawa ritem variable pada lagu-lagu tertentu, dimainkan dengan
cara mamalu.12
Gambar 3. Garantung
(d) Mengmung, adalah instrumen pembawa melodi konstan yang memiliki tiga
senar. Senarnya terbuat dari kulit bamboo tersebut. Klasifikasi instrumen ini
bisa dimasukkan kedalam kelompok idiochordophone.
(e) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari
pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong.
Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai
dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok
idiophone.
(f) Sarune bolon (shawm, oboe), yaitu sejenis alat tiup berlidah ganda (double
reed) yang berperan sebagai pembawa melodi dan dimainkan dengan cara
mangombus marsiulak hosa. Instrumen ini tergolong kepada kelompok
aerophone.
12
Mamalu dapat diartikan dengan memukul, memainkan atau membunyikan. Contoh
mamalu hasapi (membuyikan hasapi), mamalu garantung (membunyikan garantung) dan lain-lain.
Palu-palu merupakan alat pemukul berupa stik yang digunakan untuk memukul instrumen.
48
Gambar 4. Sarune Bolon
2.8.2.2 Ensambel gondang sabangunan
Sampai zaman sekarang gondang sabangunan lazim dipakai pada upacara
adat perkawinan batak toba, khususnya pada saat pemberian ulos maupun sebagai
pengisi acara. Instrumentasi yang dipakai pada ensambel yang dipakai dalam
ensambel gondang sabangunan terdiri dari:
(a) Taganing, yaitu lima buah gendang yang terdiri dari odap-odap, paidua odap,
painonga, paidua ting-ting, dan ting-ting dan berfungsi sebagai pembawa
melodi dan juga sebagai ritem variabel dalam beberapa lagu. Klasifikasi
intrumen ini termasuk kedalam kelompok membranophone, dimainkan dengan
cara dipukul membrannya dengan menggunakan palu- palu/stik. Di dalam
permainan taganing terdapat empat teknik memukul, yaitu; 1) memukul stik
pada bagian tengah gendang, 2) memukul stik pada pinggiran gendang, 3)
memukul stik pada tengah dan menghentikannya seketika dengan cara
menekan permukaan gendang dengan ujung stik, 4) menekan permukaan
gendang dengan ujung jari tangan kiri. Gordang, satu buah gendang yang lebih
besar dari taganing yang berperan sebagai pembawa ritem kostan maupun
49
variabel. Instrumen ini sering disebut sebagai bass dari ensambel gondang
sabangunan. Alat musik ini dimainkan dengan menggunkan dua buah stik
pemukul, sama dengan memainkan taganing. Sarune bolon, termasuk
pembawa melodi yang memiliki lidah ganda, dimainkan dengan cara
mangombus marsiulak hosa. Klasifikasi instrument ini termasuk kedalam
kedalam kelompok aerophone.
Gambar 5. Taganing
(b) Ogung (gong), yaitu empat buah gong yang diberi nama oloan, ihutan, doal
dan panggora. Setiap ogung mempunyai ritem yang sudah konstan. Instrument
ini berperan sebagai pembawa ritem konstan atau pembawa irama dalam
gondang sabangunan. Klasifikasi ini termasuk ke dalam kelompok idiophone.
(c) Odap, yaitu gendang dua sisi yang berperan sebagai pembawa ritem variabel.
Pada praktiknya alat musik ini sangat jarang dimainkan. Kehadirannya dalam
ensambel gondang sabangunan lebih terbatas pada upacara-upacara ritual
kepercayaan, seperti yang ditemukan pada masyarakat parmalim yang masih
melanjutkan kepercayaan Batak Toba. Klasifikasi instrumen ini termasuk ke
dalam kelompok membranophone.
50
(d) Hesek, adalah instrument pembawa tempo (ketukan dasar) yang terbuat dari
pecahan logam atau besi dan kadang kala dipukul dengan botol kosong.
Instrument ini dimainkan dengan cara mengadu pecahan logam tersebut sesuai
dengan irama dari suatu logam. Klasifikasi ini termasuk kedalam kelompok
idiophone.
2.8.2.3 Musik Tiup (Brass Band)
Musik tiup adalah ensambel yang paling umum digunakan pada upacara
adat batak toba masa kini di Kota Medan. Ensambel ini dianggap sangat efektif
karena sifatnya yang dinamis dalam arti dapat memainkan berbagai macam lagu,
baik rohani gereja, lagu populer, maupun lagu-lagu rakyat Batak dan lagu-lagu
diluar Batak lainnya. Penulis berpendapat karena kemampuannya itulah sehingga
selera masyarakat Batak secara umum, baik yang berasal dari perantauan maupun
yang berdomisili di kota medan dapat dipenuhi oleh musik ini.
Walaupun dalam penyebutannya ensambel ini disebut musik tiup atau
musik saja, namun beberapa instrumen tradisional Batak telah dipadukan dengan
musik tiup tersebut. Instrumentasinya terdiri dari:
a. Trumpet merupakan salah satu alat musik tiup logam yang pada awalnya
digunakan sebagai sinyal panggilan. Trumpet dikenal sebagai alat musik
transposisi yang bisa memainkan lagu dari semua kunci/keytone.
51
Gambar 6. Trumpet
b. Saxophone merupakan alat musik tiup logam (brass wind) dengan reed tunggal
seperti pada alat musik klarinet.
Gambar 7. Saxophone
c. Trombone merupakan instrumen yang terbuat dari bahan kuningan (brass) dan
bahan lain dari besi putih atau besi stainless. Jenis trombone ada dua, yaitu:
1. Slide trombone, alat musik tiup logam dengan warna suara tersendiri yang
memungkinkan suara diproduksi dengan halus.
2. Valve trombone, yaitu trombone yang diciptakan untuk mencapai
kemudahan dalam formasi dan penggunaannya. 13
13
Lihat tesis Monang Asi Sianturi 2012, hal. 243-245.
52
Gambar 8. Trombone
53
BAB III
KAJIAN FUNGSI, KONTINUITAS, DAN PERUBAHAN MUSIK
PADA UPACARA ADAT PERKAWINAN BATAK TOBA
3.1 Perkawinan Pada Masyarakat Batak Toba
Perkawinan merupakan pengikatan adat; pengikatan kekerabatan; sehingga
dapat terjadinya suatu perikatan membawa akibat bukan semata-mata terhadap
hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami isteri, kedudukan anak,
harta bersama, kedudukan hak dan kewajiban orangtua, tetapi menyangkut juga
kepada hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekerabatan, dan juga
menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.
Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang
mengatur tentang
bentuk bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan di Indonesia atau perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.14
Dalam hukum adat, sahnya perkawinan secara adat Batak Toba umumnya
tergantung kepada masyarakat penganut agama yang bersangkutan yang
dilaksanakan menurut tata tertib agamanya, mereka juga terlebih dahulu melakukan
upacara adat supaya dapat masuk ke dalam lingkungan masyarakat adat dan diakui
menjadi warga masyarakat adat. Masyarakat Batak Toba pada umumnya menganut
14
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mondar Maju, Bandar
Lampung,1992, hal.182
54
perkawinan monogami dan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba adalah
patrilineal15.
Perkawinan bagi suku Batak Toba adalah sakral dan suci. Dalam
perkawinan adat Batak Toba juga ada aturan yang harus ditaati dan hukumannya
sangat tegas yang dilakukan oleh suku Batak sejak dahulu kala. Apabila suku Batak
Toba melanggar aturan yang diberlakukan oleh penatua adat, maka akan diberi
hukuman, seperti di bakar hidup-hidup, dipasung, dibuang atau diungsikan dari
kampung serta dicoret dari tatanan silsilah keluarga.16
3.1.1
Tahapan upacara perkawinan
Perkawinan adat pada masyarakat Batak Toba tidak terlepas dari
perkawinan agama. Semua upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat
batak toba dalam konteks adat selalu didahului atau diikuti pengesahan agama
masing-masing. Tahapan yang umum dilakukan sebagai berikut: martumpol,
pemberkatan pernikahan, upacara adat17.
3.1.1.1 Martumpol
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga acara pertunangan,
namun secara harafiah martumpol adalah acara kedua pengantin di hadapan
pengurus jemaat gereja yang diikat dalam janji untuk melangsungkan perkawinan.
15
Maksudnya adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan yang berasal dari
pihak ayah. Patrilineal berasal dari dua kata latin, yaitu pater yang berarti ayah, dan linea yang
berarti garis. Jadi patrilineal berarti keturunan yang mengikuti garis yang diambil dari pihak ayah.
16
Jurnal Ikatan Mahasiswa Batak Toba USU
17
Beberapa penganut agama tertentu seperti Katholik, Kharismatik tidak melakukan
tahapan martumpol. Umumnya mereka melakukan langsung kepada acara pemberkatan di gereja
dan upacara adat.
55
Martumpol dihadiri oleh orang tua kedua calon pengantin dan kerabat mereka
beserta para undangan. Martumpol biasanya diadakan di gereja, karena sebagian
besar masyarakat Batak Toba beragama Kristen.
3.1.1.2 Acara pemberkatan pernikahan
3.1.1.2.1 Waktu
Acara pemberkatan dilakukan setelah proses martumpol dilaksanakan.
Biasanya selang beberapa bulan atau minggu setelah proses martumpol
dilaksanakan. Waktunya tergantung pada kesiapan kedua pengantin dan kedua
keluarga pengantin. Pemberkatan di gereja
diadakan sebelum berlangsungnya
proses upacara adat namun masih pada hari yang sama. Upacara pemberkatan
diadakan pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB sampai dengan selesai.
3.1.1.2.2 Tempat
Tempat berlangsungnya acara pemberkatan kedua pengantin dilaksanakan
di gereja. Gereja yang dipakai biasanya adalah gereja dimana salah satu dari
orangtua mempelai menjadi jemaatnya atau dapat juga meminjam gereja terdekat
apabila
gereja mempelai jauh dari lokasi pesta, namun masih dalam
lembaga/insttusi yang sama.
3.1.1.2.3 Pemimpin upacara
Pemimpin upacara dalam acara pemberkatan pernikahan di gereja yaitu
pendeta, namun dapat juga dipimpin oleh pengurus gereja seperti guru jemaat
56
(voorhanger). Pemimpin ini dibantu oleh pengurus gereja lainnya, seperti penatua
gerejaa, tim musik gereja, biblevrow, dan lain-lain.
3.1.1.2.3 Jemaat
Jemaat dalam upacara pemberkatan pernikahan yaitu kedua calon
pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari kedua pengantin, dan
kerabat dari kedua pengantin serta organisasi-organisasi kekerabatan dan
kemasyarakatan dari kedua pengantin.
Gambar 9. Upacara pemberkatan di gereja
57
3.1.1.3 Proses upacara adat
3.1.1.3.1 Waktu
Proses upacara adat berlangsung setelah selesai upacara pemberkatan
pernikahan secara agama di gereja.
3.1.1.3.2 Tempat
Tempat diadakan proses upacara adat biasanya dilakukan dekat dari
kediaman pengantin. Di Kota Medan biasanya diadakan di gedung atau wisma yang
tidak jauh dari tempat kediaman pengantin dan biasanya juga tidak jauh dari tempat
(gereja) pemberkatan pernikahan.18
3.1.1.3.3 Pemimpin upacara
Pemimpin upacara dalam upacara adat yaitu penatua-penatua adat, tokohtokoh adat, raja parhata dari masing-masing pihak pengantin laki-laki dan
perempuan.
3.1.1.3.4 Peserta upacara
Yang menjadi peserta upacara dalam upacara adat pernikahan yaitu kedua
pengantin, kedua orang tua pengantin, keluarga dari kedua pengantin, saudara dari
kedua pengantin, dan kerabat dari kedua pengantin.
18
Jika yang menjadi tuan rumah adalah pengantin laki-laki (dialap jual) maka gereja dan
tempat pesta ditentukan ditempat yang tidak terlalu jauh dari kediaman mempelai laki-laki.
Demikian sebaliknya jika pengantin wanita (diataruhon jual, sitombol) yang menjadi tuan rumah,
maka gereja dan tempat pesta juga tidak terlalu jauh dari kediaman pengantin wanita tersebut.
58
Gambar 10. Upacara adat
3.1.2 Tingkatan upacara perkawinan
Ada tiga tingkatan upacara perkawinan pada masyarakat Batak Toba, yaitu:
(1) unjuk; (2) mangadati; (3) pasahat sulang-sulang ni pahoppu.
1. Unjuk merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan semua
prosedur adat Batak yaitu Dalihan Na tolu. Inilah yang disebut sebagai tata
upacara ritus perkawinan biasa.
2. Mangadati merupakan ritus perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan
adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang bersangkutan mangalua
atau kawin lari, tetapi ritusnya sendiri dilakukan sebelum pasangan tersebut
memiliki anak.
59
3. Pasahat sulang-sulang ni pahoppu merupakan ritus perkawinan yang
dilakukan diluar adat Batak Dalihan Na Tolu, sehingga pasangan yang
bersangkutan mangalua dan ritusnya dilakukan setelah memiliki anak. 19
3.1.3
Syarat-syarat perkawinan
Syarat-syarat yang harus ada dalam perkawinan adalah adanya sinamot,
ulos, jambar, dekke.
1. Sinamot bisa juga disebut uang jujur yang merupakan salah satu syarat sah nya
perkawinan, syarat hubungan kekerabatan, terhitung dalam adat, syarat dapat
mengunjungi dan meminta bantuan kepada keluarga pihak perempuan.
2. Ulos merupakan kain tenun yang berbentuk selendang khas suku Batak Toba,
ulos artinya hangat atau berkat. Pemberian ulos kepada pengantin dimaksudkan
agar ikatan batin kedua mempelai seperti rotan20 (hotang).
3. Jambar berupa daging ataupun uang yang dibagikan kepada sanak keluarga
ataupun kerabat yang terlibat dalam pelaksanaan upacara perkawinan. Untuk
jambar daging, si empunya pesta biasanya memotong daging babi atau kerbau.
4. Dekke merupakan ikan yang akan di bagikan kepada keluarga laki-laki dari
pihak pengantin perempuan.
19
https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_adat_Batak_Toba
Pada zaman dahulu rotan adalah tali pengikat sebuah benda yang dianggap paling kuat
dan ampuh. Inilah yang dilambangkan oleh corak ulos pengantin.
20
60
3.2 Sejarah Musik Perkawinan Batak Toba
3.2.1 Masa Pra-Kristen
Dalam kehidupan sehari-hari pada masa pra-kristen, adat diwujudkan dalam
banyak bentuk dan praktek. Misalnya mamele (pemujaan roh nenek moyang), pesta
bius (upacara korban), mangongkal holi (upacara penggalian tengkorak. Praktek ini
diwariskan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya sebagai bagian dari
adat. Pada zaman pra-kristen gondang sabangunan merupakan alat musik yang
digunakan untuk upacara adat perkawinan namun digunakan bertolak-belakang
dengan ajaran kristen.
3.2.2 Masa Kristen
Sejak masuknya Nommensen ke Tanah Batak ajaran agama kristen mulai
menyebar dikalangan masyarakat Batak Toba, musik sudah tidak lagi di hantarkan
kepada Mula Jadi Na Bolon melainkan kepercayaan mereka sudah mengenal Tuhan
Yang Maha Esa. Perubahan pun sudah terjadi dalam kegiatan upacara adat sudah
diberlakukan secara agama Kristen, musik yang digunakan masih tetap
menggunakan gondang sabagunan namun dalam nyanyian, lagu-lagu yang biasa
dinyanyikan di gereja telah di nyanyikan juga ke dalam rangkain upacara adat,
khususnya nyanyian sebagai nyanyian penghantar ulos.
3.2.3 Masa sekarang
Zaman sekarang musik yang digunakan dalam upacara perkawinan adat
Batak toba telah mengalami perubahan yang pesat, dimana setelah munculnya masa
61
opera batak maka telah masuklah alat-alat musik modern untuk dipakai dan
dikombinasikan dengan sulim, taganing, hesek. Namun pada kebanyakan upacara
adat perkawinan yang penulis telusuri, sulkibta merupakan alat musik yang banyak
dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Perubahan mencolok
terlihat pada masa sekarang.
3.3 Fungsi Musik Pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba
Kesenian merupakan salah satu warna kebudayaan yang terbentuk dari hasil
kreatifitas dan inovasi masyarakat dan lingkungannya. Kesenian tradisional lahir
dari budaya masyarakat terdahulu di suatu daerah tertentun yang terus berkembang
secara turun-temurun dan terus diikuti oleh generasi berikutnya.
Di samping mengenalkan musik perkawinan, fungsi musik perkawinan
Batak Toba di Kota Medan merupakan ritual adat yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Kristen, yang mana fungsi musik perkawinan sebagai sarana upacara
adat dalam pesta perkawinan Batak Toba sebagai sarana untuk mengungkapkan
rasa kegembiraan dan sebagaai sarana hiburan.
Untuk melihat fungsi pada upacara perkawinan Batak Toba, penulis
melakukan pendekatan yang dikemukakan oleh Allan P. Merriam dalam bukunya
The Anthropology of Music yang membagi musik kedalam sepuluh (10)21 kategori
fungsi musik, adapun fungsi musik yang berkaitan pada upacara perkawinan adat
Batak Toba dalam hal ini penulis menitikberatkan enam (6) fungsi musik
21
Alan P. Merriam, 1964. The Anthropology of Music. Chicago: North Western University
Press. (1) pengungkapan emosional, (2) penghayat estetis, (3) hiburan, (4) komunikasi, (5)
perlambangan, (6) reaksi jasmani, (7) berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) pengesahan
lembaga social, (9) kesinambungan kebudayaan, (10) pengintegrasian masyarakat (lih. hal. 23).
62
perkawinan pada fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan, pengungkapan
emosional, reaksi jasmanai, penghayatan estetis dan fungsi ritual. Lima dari
keenam fungsi tersebut yaitu fungsi komunikasi, hiburan, perlambangan,
pengungkapan emosional, reaksi jasmani dan penghayatan estetis merupakan wujud
dari adanya kontinuitas yang masih tetap di pertahankan dan diterima di tengahtengan masyarakat Batak Toba di Kota Medan, sementara fungsi ritual sudah
mengalami perubahan dan bahkan telah diabaikan.
3.3.1 Fungsi pengungkapan emosional
Pada berbagai kebudayaan, musik memiliki fungsi sebagai kendaraan dalam
mengekspresikan ide-ide dan emosi. Musik digunakan untuk menstimulasi perilaku
sehingga dalam masyarakat mereka ada lagu-lagu untuk menghadirkan ketenangan.
Para pencipta musik dari waktu ke waktu telaah menunjukkan kebebasannya
mengungkapkan ekspresi emosinya yang dikaaitkan dengan berrbagai objek seperti
cinta, suka-duka, amarah dan mulai mengotak-atik nada sesuai dengan suasana
hatinya.
Musik merupakan media yang dapat digunakan untuk mengungkap
perasaan. Sebagai contoh, ada orang yang mengungkapkan perasaannya dengan
bernyayi, penulisan lirik lagu, dan ada juga yang mengungkapkan perasaannya
dengan memainkan alat musik. Pengungkapan emosional tersebut diekspresikan
dengan kondisi suasana hati orang tersebut.
Dalam perkawinan, musik yang dimainkan dapat dianggap sebagai media
untuk mengungkapkan perasaan. Pada saat orangtua dari pihak pengantin wanita
63
menyampaikan ulos hela kepada pengantin, pemusik (pargonsi) akan membawakan
lagu ataupun musik untuk menggambarkan konteks pemberian ulos tersebut.
Sebagai contoh, lagu Borhat ma dainang akan dinyanyikan sebelum dan pada saat
ulos disampaikan. Isi teks lagu ini adalah doa orang tua dan keikhlasan
memberangkatkan putrinya mengarungi bahtera rumah tangga. Dalam doa tersebut
dimohon agar pengantin memperoleh anak laki-laki dan anak perempuan
sebagaimana cita-cita dari orang Batak, walaupun harus berpisah namun batin akan
selau bersama dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.
3.3.2 Fungsi penghayatan estetis
Pada dasarnya setiap orang telah dikaruniai Tuhan dengan berbagai
kemampuan belajar (ability to learn) dan bakat (talent) tentang apa saja. Setiap
orang memiliki kemampuan dan kecepatan yang berbeda-beda dalam hal
memahami keindahan tentang apa saja termasuk pula keindahan musik.
Untuk menikmati rasa estetis (indah), maka orang perlu belajar dengan cara
membiasakan diri mendengarkan musik-musik. Setiap jenis musik memiliki
keunikan melodis, ritmis, dan haarmonis yang terkait dengan komposisi dan
instrumentasinya.
Pada dasarnya, seseorang dapat enikmati musik karena secara psikologis
mampu untuk menghayati musik itu sendiri. Seseorang juga mampu memainkan
musik dengan baik apabila mampu menghayati permainan dengan baik. Seorang
pemain musik apapun tidak akan maksimal menggunakan instrumen yang
64
dimainkannya jika tidak mampu menghayati permainan musik tersebut dengan baik
walaupun secara teknis orang tersebut mahir dalam memainkannya.
Guntur Sitohang yang merupakan salah seorang sesepuh pargonsi Batak
Toba di Harian Boho Samosir pernah berkata, “jika kita ingin mahir dalam bermain
musik maka kita harus menjadikan musik itu sebagai bagian dari kehidupan kita” 22
yang artinya kita harus menganggap musik itu sebagai sosok yang kita sayangi
setiap saat sama seperti bagaimana kita menyanyangi orang tua, keluarga, bahkan
diri kita sendiri. Dengan demikian, maka kita harus merawat, menjaga, dan
memeperlakukan instrumen dengan baik.
Selain itu, musik pada upacara adat perkawinan dapat berfungsi sebagai
media untuk penghayatan estetis, hal ini dapat dilihat dari peristiwa manortor pada
saat akan menyerahkan ulos kepada pengantin. Pada umumnya tidak semua orang
Batak Toba dapat manortor karena memperoleh pelajaran manortor, tetapi
kenyataannya jika kita melihat di lapangan terjadi sebuah keselaarasan antara
gerakan tangan, kaki, dan badan pada saat manortor dengan iraman musik yang di
mainkan oleh pargonsi (pemain musik). Hal ini menunjukkan bahwa keselarasan
itu muncul karena adaya pengahayatan estetis dari sipanortor ketika mendengarkan
alunan musik yang dimainkan.
3.3.3 Fungsi hiburan
Pada umumnya setiap orang pasti membutuhkan hiburan dalam berbagai
aspek kehidupannya. Hiburan adalah suatu kegiatan yang menyenangkaan hati.
22
Lihat wawancara Bonggud dengan Guntur Sitohang 2011.
65
Musik sebagai salah satu cabang seni juga memiliki fungsi menyenangkan hati,
membuat rasa puas akan irama, bahasa melodi, atau keteraturan dari harmoninya.
Pada hakekatnya hiburan tidak semata-mata dibutuhkan oleh orang yang diligkupi
rasa duka atau memiliki beban berat dalam hidupnya, tetapi hiburan juga dapat
dinikmati oleh orang yang senang terhadap sesuatu sehingga dia tertarik untuk
menyaksikan atau mendengarkan hiburan tersebut.
Hiburan biasanya disajikan dalam berbagai bentuk penyajian baik pada saat
bersifat formal, semi formal maupun non-formal. Hiburan yang bersifat formal
biasanya identik dengan seni pertunjukan yang ditampilkan dalam berbagai acaraacara yang bersifat akademis, kenegaraan, keaagamaan, konser akbar dan lain
sebagainya. Hiburan yang bersifat semi formal biasanya ditampilkan ketika konteks
acaranya bersifat lebih santai, biasanya dapat kita lihat pada seni pertunjukan kecil
seperti mini konser, konser dadakan dan lain sebagainya. Hiburan yang bersifat
non-formal merupakan hiburan yang dipertunjukkan untuk kepentingan pribadi
maupun golongan tertentu yang disajikan tanpa adanya aturan konsep acara yang
ditentukan dengan tujuan hanya untuk kesenangan semata atau pengisi waktu
luang.
Berkaitan dengan konteks hiburan tersebut, musik pada upacaraa
perkawinan
berfungsi sebagai media hiburan juga merupakan instrumen yang
sudah sering dipakai dalam seni pertunjukan baik bersifat formal, semi formal,
maupun non-formal. Sebagai wujud fungsi musik perkawinan sebagai media
hiburan dalam konteks formal dapat dilihat ketika musik perkawinan menjadi
instrumen pokok pada saat acara adat, dalam konteks ini ialah upacara adat
66
perkawinan dan bisa disaksikaan oleh para undangan yang menghadiri pesta adat
perkawinan tersebut.
3.3.4 Fungsi komunikasi
Musik sudah dari sejak dahulu digunakan sebagai alat komunikasi baik
dalam keadaan damai maupun perang. Bunyi-bunyi teratur, berpola ritmik, dan
menggunakan alur-alur melodi menandakan adanya fungsi komunikasi dalam
musik. Merriam mengatakan bahwa musik walaupun tanpa syair sebenarnya telah
dianggap mengkomunikasikan sesuatu.23
Dalam hal ini, fungsi musik pada upacara adat perkawinan sebagai media
komunikasi dapat dibedakan menjadi dua yaitu komunikasi secara vertikal dan
komunikasi secara horizontal. Komunikasi secara vertikal yakni komunikasi antara
manusia dengan pencipta, sedangkan komunikasi secara horizontal yakni
komunikasi antara manusia dengan sesama. Sebagai bentuk komunikasi yang
bersifat vertikal dapat kita lihat ketika musik memainkan repertoar gondang
tertentu seperti repertoar Gondang Somba-somba
yang memiliki makna
penghormatan dan penyembahan kepada sang Pencipta, dimana sang Pencipta
dalam repertoar ini menyampaikan sebuah pesan kepada semua yang hadir pada
acara tersebut. Sedangkan bentuk komunikasi yang bersifat horizontal dapat dilihat
pada saat sipargonsi memainkan repertoar
seperti repertoar Gondang Elek-elek,
Gondang Liat yang mencerminkan komunikasi antara pargonsi (pemain musik)
dengan panortor (orang yang menari).
23
Lihat Panggabean, 1996:86
67
3.3.5 Fungsi perlambangan
Dalam berbagai budaya bangsa yang masih mempertahankan tradisi nenek
moyang mereka, musik digunakan sebagai sarana mewujudkan simbol-simbol dari
nilai-nilai tradisi dan budaya setempat. Kesenangan, kesedihan, kesetiaan,
kepatuhan, penghormatan, rasa bangga, atau perasaan-perasaan khas mereka
disimbolkan melalui musik baik secara sendiri maupun menjadi bagian dari tari,
syair, dan upacara.
Alan P. Merriam juga mengatakan bahwa musik dapat berfungsi sebagai
perrlambangan atau simbol dari tingkah laku manusia.24 Berbicara mengenai
tingkah laku, orang lain diluar etnis Batak pada umumnya memandang bahwa
masyarakat Batak Toba dikenal dengan sifatnya yang keras, tegas, prinsipil, yang
terkesan kasar dan cepat dalam berbicara. Jika ditinjau dari segi musiknya, hal
tersebut bisa diterima karena bukti tersebut dapat dilihat dari musik dan repertoar
yang disajikan pada setiap acara adat masyarakat Batak Toba, biasanya repertoar
gondang selalu dibawakan dengan nuansa intonasi yang tegas, nada dan lirik yang
sangat rapat dengan tempo dan durasi yang berbeda-beda. Hal ini membuktikan
bahwa musik dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pendukungnya, dan
musik atau repertoar yang mereka sajikan sesungguhnya melambangan gambaran
umum tentang tingkah laku dari masyarakat Batak Toba itu sendiri.
Melalui repertoar gondang yang dimainkan juga dapat diketahui bahwa
repertoar tersebut adalah lambang/identitas dari kelompok tertentu, misalnya
24
Alan P. Merriam, 1964, hal. 119-222
68
gondang sampur marmeme atau pasu-pasua dimana kelompok hula-hula manortor
bersama dengan hasuhutan maka gerakan mengangkat tangan sejajar bahu dengan
posisi telungkup adalah melambangkan bahwa hula-hula adalah sumber berkat
bagi borunya.
3.3.6 Fungsi reaksi jasmani
Fungsi musikal musik pada upacara perkawinan sebagai reaksi jasmani
sejalan dengan fungsinya sebagai pengungkapaan emosional dan fungsinya sebagai
penghayatan estetis, karena reaksi jasmani muncul ketika adanya penghayatan yang
menghasilkan emosional, dan emosional tersebut yang kemudian diungkapkan
melalui reaksi jasmani. Sebagai wujud dari fungsi reaksi jasmani dapat dilihat
dengan mengambil contoh pada saat manortor pada pesta adat perkawinan
masyaraakat Batak Toba. Ketika pemain musik (pargonsi) memainkan musik
dengan repertoar yang baik, maka sipanortor akan manortor kegirangan sambil
mengeluarkan seruan “eee.. mmada...” yang secara harafiah diartikan “ya inilah
kegembiraan kita.”
Sebaliknya ketika lagu atau repertoar yang dimainkan oleh pargonsi
(pemusik) kurang keindahannya bagi panortor, maka dengan spontan para audiance
akan mendapat teriakan dan sorakan negatif dari para panortor. Dari kedua
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa nikmat atau tidaknya sajian sebuah
musik akan memperoleh reaksi jasmani positif maupun negatif pula dari orang yang
mendengarkan.
69
3.4 Musik pada Upacara Adat Perkawinan Batak Toba sebagai Kajian
Kontinuitas dan Perubahan
3.4.1 Kajian perubahan musik pada upacara adat perkawinan
Dalam pembahasan ini penulis mefokuskan ensambel musik yang
berkembang pada masyarakat Batak Toba. Dalam hal ini penulis memfokuskan
kajian pada musik yang masih berlanjut hingga sekarang ini pada penggunaannya
dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba. Penulis akan mengkaji
musik yang digunakan pada upacara adat perkaawinan di Kota Medan mulai dari
era 80-an hingga sekarang. Ada yang berlanjut dan ada perubahan yang terjadi
pada musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan di Kota Medan. Seperti
menurut Soekanto, perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaikan
diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan
masyarakat (Soekanto, 1992:21).
Musik yang pada era 80-an dengan pada era zaman sekarang telah
mengalami perubahan dan perkembangan dalam struktur musiknya. Seperti hasil
wawancara dengan Marsius Sitohang selaku dosen uning-uningan di Departemen
Etnomusikilogi bahwa pada era 80-an musik perkawinan terbagi menjadi 3 (tiga)
bagian; yakni gondang sabangunan, uning-uningan, dan musik tiup. Penggunaan
dari ketiga bagian musik tersebut dimainkan harus sesuai dengan rasa dan
perpaduan yang cocok pada saat proses mangulosi berlangsung, dengan kata lain
ada saatnya masing-masing dari bagian musik tersebut dimainkan. Namun setelah
jaman opera masuk dan berkembang, mulailah terjadi perubahan dari segi struktur
musiknya. Musik yang di pakai telah terjadi pencampuran, seperti mulai berlakunya
70
permainan sulim dengan taganing, hasapi, doal, garantung, hesek. Mulai dari tahun
90-an disitulah mulai terjadi perbahan dalam struktur musiknya, ada yang tetap
digunakan, ada yang tidak lagi digunakan, dan telah terjadi pengkolaborasian
dengan alat musik modern seperti zaman sekarang ini.
Tabel 1. Struktur musik perkawinan era 80-an
Ensambel
Instrumen
Sifat
Gondang
Taganing
Berdiri sendiri
sabangunan
Sarune
Ogung (oloan ihutan,
panggoran, doal)
Hesek
Uning-uningan
Garantung
Berdiri sendiri
Sulim
Hasapi
Hesek
Musik tiup
Terompet
Berdiri sendiri
Tuba
Trombone
drum tenor
71
Tabel 2. Struktur musik perkawinan era 90-an
Ensambel
Instrumen
Sifat
Vokal
Musik tiup
Terompet
Campuran
Sulim
berasal
Taganing
gondang
Ogung
sabangunan
Hasapi
gondang
Hesek
dan musik tiup
yang Lazimnya
dari repertoar
saat
pada
mangulosi
dan telah
terdapat
hasapi nyanyian,
diiringi
oleh
vokal dan musik.
Tabel 3. Struktur musik perkawinan era 2000-an
Ensambel
Instrumen
Sifat
Vokal
Musik
Terompet
Telah
Saxophone
pengkolaborasian
digunakan
makin
Taganing
dengan alat musik bervariasi;
lagu
Hasapi
modern.
terjadi Lagu
yang
Batak Toba, lagu
Kibod
pop, lagu pop diluar
Sulim
tradisi Batak Toba.
Jenis
makin
yakni:
grup.
72
vokal
pun
beragam,
solo,
trio,
3.4.2 Kajian kontinuitas musik pada upacara adat perkawinan
Dalam perannya musik merupakan wadah yang digunakan dalam proses
manortor dalam upacara adat perkawinan. Terdapat nama gondang yang dipakai
selama proses manortor berlangsung. Nama gondang yang dipakai dalam
pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba dari dahulu hingga sekarang
masih tetap ada dan sama; yakni gondang mula-mula, gondang somba-somba,
gondang elek-elek, gondang liat-liat, gondang hasahatan. Akan tetapi lagu yang
diapakai tidak sama dengan lagu yang dimainkan pada gondang hasapi maupun
gondang sabangunan.
Lagu-lagu dalam musik berasal dari lagu-lagu rakyat maupun lagu-lagu
lainnya di luar tradisi Batak Toba namun dapat dikelompokkan kedalam gondanggondang tertentu, misalnya gondang somba-somba pada musik tiup diambil dari
melodi lagu opera begitu juga dengan gondang lainnya dapat diambil dari lagu-lagu
rakyat yang konteksnya sesuai dengan konteks gondang.
73
BAB IV
TRANSKRIP DAN ANALISIS MELODI
4.1 Transkripsi
Sebelum melakukan kerja analisis, langkah pertama yang dikerjakan ialah
mengubah bunyi musik ke dalam lambang visual melalui sebuah proses kerja yang
disebut transkripsi. Nettl mengatakan bahwa transkripsi adalah proses menotasikan
bunyi, mengalihkan bunyi menjadi simbol visual, atau kegiatan memvisualisasikan
bunyi musik ke dalam bentuk notasi dengan cara menuliskannya ke atas kertas.25
Walaupun kegiatan mentranskripsi musik tradisional dalam bentuk notasi
visual sejak lama telah dianggap sebagai tugas yang esensial, berat dan sukar bagi
para etnomusikolog/musikolog/musisi seniman, namun untuk melihat dan
memahami bunyi musik sebagai produksi dari tata tingkah laku masyarakat
pemiliknya dalam bentuk visual, maka tidak ada cara lain kecuali melakukan
transkripsi terhadap bunyi musik yang akan dideskripsikan itu.
Pada umumnya dalam budaya oral, notasi yang digunakan ialah notasi
konvensional Barat, hal ini menjadi alternatif pilihan yang paling besar
kemungkinannya digunakan, terutama jika dalam budaya musikal yang diteliti tidak
tersedia sistem penulisan notasi musik.26
25
Nettl, op. cit. 98.
Supanggah, op. cit. 13.
26
74
Dari pengamatan yang dilakukan oleh beberapa ahli, memang terdapat
kelemahan yang serius terhadap hasil transkripsi yang menggunakan notasi musik
(Barat) yang konvensional. Hal ini disebabkan:
a.
Pertama, notasi ini terlalu subyektif, yaitu telinga manusia tidak mampu
menerima atau menangkap apa saja yang disajikan (dalam musik yang akan
ditranskripsi), sekalipun rekaman itu diulang berkali-kali, dan juga ketajaman
persepsi individual dari si pentranskripsi yang berbeda-beda.
b. Kedua, notasi musik Barat bukan didesain untuk musik tradisi lisan (lihat
Seeger, 1958).
c. Ketiga, sejauh ini belum ada satu notasi visual pun yang dirancang, termasuk
notasi Barat dengan tanda-tanda khusus untuk nada-nada non-konvensional dan
lain-lain, yang dapat mewakili, seperti kualitas suara yang asli, cara-cara yang
penting dalam memproduksi bunyi vokal atau intrumental, dan sebagainya.27
Untuk itu keterbatasan notasi musik Barat haruslah disadari apabila kita
hendak melakukan suatu transkripsi yang detail, sebagaimana di kemukakan oleh
27
Masalah di atas kemudian dapat dipecahkan dengan diciptakannya oscilograph,
sonagraph, dan melograph. Melograph model C yang dibuat oleh Charles Seeger dapat menganalisis
suara secara sangat detail serta dapat menghasilkan gambar dari rekaman nada-nada, amplitudo, dan
spektrum bunyi pada saat bersamaan ke dalam bentuk sebuah film grafik. Akan tetapi sekalipun
peralatan ini mempunyai sifat obejektif, namun terdapat kelemahan-kelemahan dari informasi yang
diberikannya, dan terdapat pula sejumlah materi yang tidak dapat dianalisis dengan menggunakan
alat ini. Di satu sisi alat ini memberikan informasi lebih banyak dari yang diperlukan (sehingga sulit
untuk dipelajari), artinya alat ini mampu menangkap lebih banyak dibanding daya tangkap telinga
manusia, padahal sebuah transkripsi haruslah berdasar kepada apa yang dapat diterima oleh indera
pendengaran manusia, dengan kata lain tujuan dari pentranskripsian adalah untuk mencatat hal-hal
yang esensial, serta menghindari hal-hal yang dipandang tidak esensial. Untuk itulah kemudian
penggunaan notasi (Barat) dalam pentranskripsian suatu musik tetap dipakai sesuai kepentingan dan
kegunaannya. Ibid., 14-15. Lihat juga Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie,
The New Grove Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan Publisher
Limited, 1980), 117.
75
Singer. “The limitations of our Western musical notation must be taken into
consideration, particularly when attempting a detailed transcription”.28
Namun demikian Nettl (1975) mengatakan bahwa untuk menemukan ciriciri yang mendasari musik yang diteliti, notasi konvensional Barat dapat digunakan,
tetapi dengan membubuhkan tanda-tanda khusus yang berguna untuk memberikan
kejelasan pada musik yang ditranskripsikan itu.29 Hal ini sejalan dengan apa yang
dikemukakan oleh Pandora Hopkins, bahwa kita menggunakan notasi karena
adanya keinginan untuk menunjukkan bahwa notasi itu adalah sebagai fenomena
yang telah memiliki arti bagi pemakainya, dan dengan notasi dapat memberikan
materi yang bernilai untuk perbandingan. 30 Lagipula, “Transcription, therefore, are
needed to visualize what we near, to enable us to study musics comparatively and
in detail, and to help us communicate to others what we think we heard”.31
Demikianlah Phylis M. May berpendapat bahwa transkripsi diperlukan untuk
memvisualisasikan apa yang didegar yang memungkinkan untuk membantu
mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta membantu untuk
mengkomunikasikannya kepada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa
yang didengar itu. Meskipun sesungguhnya mentranskripsikan bunyi musik ke
28
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 113.
29
Bruno Nettl, The Study of Ethnomusicology: Twenty-nine Issues and Concepts (Chicago:
University Press, 1983), 16.
30
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society of
Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
31
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University Archieve, 1978), 109.
76
dalam bentuk visualisasi tidak akan pernah bisa sama persis sebagaimana ketika
musik itu disajikan.32
Sebagaimana dikemukakan oleh Seeger (1958), dalam melakukan
transkripsi terdapat dua jenis notasi musik berdasarkan tujuan dan penggunaannya.
Kedua notasi itu ialah, notasi preskriptif dan notasi deskriptif, dan karena itu
pentranskripsian pun dibedakan atas transkripsi preskriptif (Inggris: prescriptive)
dan transkripsi deskriptif (Inggris: descriptive).
Transkripsi preskriptif ialah pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi
dengan hanya menuliskan nada-nada pokoknya saja. Notasi seperti ini umumnya
dipakai hanyalah sebagai petunjuk bagi para pemusik atau sebagai alat pembantu
untuk si penyaji supaya ia dapat mengingat (apa yang telah dipelajarinya secara
lisan).
Sedangkan transkripsi deskriptif ialah menuliskan bunyi musikal ke dalam
lambang notasi (konvensional Barat) secara detail menurut apa yang dapat
ditangkap oleh indera pendengaran si transkriptor dengan maksud untuk
menyampaikan ciri-ciri dan detail-detail komposisi musik yang belum diketahui
oleh pembaca.33
Sistem notasi konvensional Barat (notasi balok) tersebut digunakan dengan
pertimbangan bahwa:
a. pada budaya tradisi musikal yang diteliti tidak ditemukan sistem penulisan
musik
32
Transkripsi pada umumnya pasti dipengaruhi oleh interpretasi si transkriptor terhadap
karakter-karakter musik itu. Oleh sebab itu tidak akan dapat dihindari atau akan ada muncul
perbedaan-perbedaan akan sebuah segmen musikal dari dua orang atau lebih dalam
mentranskripsikan suatu musik. Lihat juga Nettl, Theory and Method, op.cit., 99.
33
Ibid., 99.
77
b. para etnomusikolog/musikolog pada umumnya selalu menggunakan notasi
balok dalam mentranskripsikan musik non-Barat, terutama pada budaya
dimana musik itu berada tidak terdapat sistem penulisan musik
c. notasi ini sudah dikenal secara umum terutama dikalangan akademisi
d. sangat membantu dalam melihat struktur musik melalui tinggi-rendahnya nada
pada setiap lintasan melodi (melodic line), atau dalam membedakan durasi
sebuah not dengan durasi not lainnya, serta tanda-tanda musik lainnya yang
secara umum lebih mudah dipahami oleh pembaca, dan tentu saja hal ini akan
lebih memudahkan dalam melakukan kerja analisis.
4.2 Analisis
Dalam Webster’s Third New International Dictionary of the American
Language disebutkan bahwa analisis adalah pemisahan suatu kesatuan ke dalam
unsur-unsur fundamental atau bagian-bagian komponen.34 Tujuannya ialah untuk
menguji sifat-sifat dan konotasi-konotasi dari sebuah konsep, ide, atau pun wujud.
Dengan demikian, hasil akhir dari sebuah analisis adalah pemisahan atas sifat-sifat
sebuah objek, baik dilihat secara keseluruhan maupun secara terpisah. Selanjutnya,
dari hasil analisis tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan, menerangkan,
mengujicoba, dan merancang bagian-bagiannya secara umum, mengikuti logika
keilmuan dan harus memiliki alasan-alasan tertentu yang jelas.35
Membincangkan analisis musikal sama halnya dengan membincangkan
setiap unsur-unsur bermakna yang tertuang di dalam sebuah musik. Dilakukannya
34
Philip B. Gove, Webster’s Third New International Dictionary of the American Language
(New York: The World Publishing Company, 1966), 77.
35
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti naskah
terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
78
analisis terhadap masing-masing unsur musikal itu ialah karena ada tujuan untuk
menjelaskan unsur bermakna tersebut. Namun sebagaimana dikatakan oleh Nicolas
Cook, bahwa hingga saat ini belum ada metode analisis oral maupun formal tunggal
yang sudah baku dan berlaku secara umum yang dapat dipakai untuk menganalisis
musik secara menyeluruh.
There is not any one fixed way of starting an analysis. It depends of
the music, as wel as on the analyst and the reason the analysis is
being done. But there is a presequisite to any sensible analysis, an
this is familiarity with the music.36
Berkenaan dengan gaya atau prinsip dasar struktur musikal, Willy Apel
mengatakan bahwa gaya adalah unsur atau elemen penting yang sangat
berhubungan dengan struktur suatu komposisi. Unsur atau elemen dimaksud ialah
bentuk (Inggris: form), melodi (Inggris: melody), maupun ritme atau irama (Inggris:
rhythm).37
Dalam melakukan analisis, dapat juga dikombinasikan dengan metode
weighted scale (bobot tangga nada) dari William P. Malm serta langkah-langkah
description of musical compositions yang ditawarkan oleh Bruno Nettl. Malm
mengatakan bahwa gaya musikal berkaitan dengan dua hal yang tidak terpisahkan,
yaitu melodi dan ritme atau ruang dan waktu. Unsur melodi berkaitan dengan
ruang, dimana setiap nada dalam garis melodi bergerak sesuai dengan tinggi
rendahnya nada. Sementara ketinggian dan kerendahan nada mempunyai durasi
secara panjang dan pendek yang dalam hal ini merupakan unsur dari ritme. Dengan
perkataan lain, ritme berkaitan dengan waktu, dimana setiap nada dalam melodi
36
Nicolas Cook, A Guide to Musical Analysis (London & Melbourne: J.M. Dent & Sons
Ltd, 1987), 237.
37
Willy Apel, op. cit., 811.
79
memiliki durasi yang berbeda-beda, dan dengan perbedaan durasi itulah tercipta
gerak melodi yang harmonis. Unsur-unsur yang berkaitan dengan melodi terdiri
dari:
(1) tangga nada (Inggris: modus),
(2) nada dasar (Inggris: pitch centre),
(3) wilayah nada (Inggris: range),
(4) jumlah nada-nada,
(5) jumlah interval,
(6) pola-pola kadensa,
(7) formula-formula melodik,
(8) kontur,
(9) durasi,
(10) ritme,
(11) frase dan kalimat, serta
(12) periode atau siklus.
Yang berkaitan dengan dimensi waktu yaitu:
(1) tempo,
(2) pulsa,
(3) ketukan,
(4) pola dan motif, serta
(5) birama.38
Dipihak lain Bruno Nettl mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan komposisi
38
Malm, op. cit., 7.
80
musikal harus memperhatikan unsur-unsur berikut:
(1) perbendaharaan nada,
(2) tangga nada (Inggris: modus),
(3) tonalitas,
(4) interval,
(5) kantur melodi,
(6) ritme,
(7) tempo, dan
(8) bentuk.39
4.3 Pemilihan Sampel Lagu
Dalam kaian analisis transkripsi ini, penulis hanya memilih sebuah sampel
lagu untuk dianalisis berdasarkan metode weighted scale (bobot tangga nada) dari
Willian P. Malm. Namun dari seluruh unsur yang dikemukakan oleh Malm, penulis
hanya mengambil beberapa unsur pokok saja, yaitu:
1) Tangga nada
2) Modus
3) Wilayah nada
4) Interval
5) Pola kadensa
6) Formula melodi (bentuk)
7) Identifikasi tema (thematic material)
39
Netll, Theory and Method. op. cit., 145-149.
81
8) Kontur melodi
Lagu Borhat ma dainang yang akan penulis transkripsikan dan analisi pada
bagian bab ini sebagai salah satu lagu/nyanyian pada upacara adat perkawinan
Batak Toba. Ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan penulis dalam
memilih komposisi lagu tersebut utuk di analisis, yaitu karena:
1. Menurut penulis, pada saat pemberian ulos hela merupakan bagian upacara
adat yang penulis rasa lebih menyentuh daripada bagian rangkaian
pemberian ulos lainnya.
2. Lagu Borhat ma dainang merupakan lagu yang sangat populer, dan di setiap
lokasi penelitian penulis selalu terdapat lagu tersebut pada ucara adat
perkawinan masyarakat Batak Toba di Kota Medan.
4.4 Model Notasi
Notasi yang digunakan untuk mentranskripsi lagu Borhat ma dainang adalah
notasi Barat. Notasi ini merupakan notasi yang sudah baku dan sudah umum. Di
dalamnya terdapat beberapa simbol-simbol yang digunakan dalam partitur notasi
balok dari lagu-lagu di atas. Adapun beberapa simbol tersebut akan diuraikan
secara rinci di bawah ini.
1.
Menunjukkan garis paranada dimana terdapat lima buah garis paranada dan
empat buah spasi.
2.
82
Gambar yang paling kiri menunjukkan tanda kunci (key signature) G, dimana
pada garis paranada kedua dari bawah merupakan nada G. Gambar yang ditengah
merupakan tanda kres yang berarti nada dasarnya adalah G. Sedangkan gambar
yang paling kanan menunjukkan birama 4/4 artinya dalam setiap birama memiliki
empat ketuk not seperempat.
3.
Gambar tersebut menandakan not penuh (whole note), artinya nada tersebut
memiliki nilai sebanyak empat ketuk.
4.
Gambar tersebut menandakan not seperempat (quarter note), artinya nada
tersebut memiliki nilai sebanyak satu ketuk.
5.
Gambar tersebut menandakan not seperdelapan (eighth note), artinya nada
tersebut memiliki nilai sebanyak setengah ketuk.
5.
83
Gambar tersebut menandakan not triol pada birama 4/4, artinya nada
tersebut memiliki 3 nada dalam 1 ketuk.
6.
Gambar tersebut menandakan not seperenambelas (sixteenth note), artinya
nada tersebut memiliki nilai sebanyak seperempat ketuk.
4.5 Analisis Musik Pada Saat Penyerahan Ulos (mangulosi)
Dalam pembahasan analisis musik pada saat penyerahan ulos (mangulosi).
Mangulosi merupakan proses mengalungkan kain ulos, kain adat Batak ke pundak
pengantin. Mangulosi tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, baik yang
memberi maupun yang menerima harus mengerti makna dari pemberian ulos
tersebut. Kain ulos itu sendiri memiliki makna memberi perlindungan terhadap
segala cuaca dan keadaan yang dipercayai oleh suku Batak, sehingga pemberian
ulos merupakan simbol pemberian berkat dan perlindungaan.
Pemberian ulos pada upacara perkawinan Batak Toba banyak sekali, seperti
ulos pansamot, ulos holong, ulos hela, ulos bere, ulos kepada ale-ale, dan
sebagainya. Dalam kajian ini, penulis mengambil sampel pada saat penyerahan ulos
hela. Penyampaian ulos hela ini merupakan pemberian nasihat dan umpasa-umpasa
84
dari orang tua pengantin perempuan kepada orang yang menikah. Contoh
pemberian nasihat dari orang tua pengantin perempuan kepada kedua mempelai:
Nunga dipadomu Debata hamu gabe sada Ripe Naimbaru, Sai
ganjang ma umurmu, sai Tuhanta ma namangaramoti hamu
dingolumu, dao ma nasa parsahitan. Ulos Nahapal ma Uloson, sai
dipahapal Debata ma dihamu holong ni roha dohot Dame i. Asa
songon nidok ni umpama ma:
“Pege sangkarimpang,
Hunik sahadang-hadangan,
mangangkat ma hamu rap tuginjang,
manimbung rap tu toru tongtong satahi saoloan.
Sinimbur ni pangkat ma tu sinimbur ni hotang,
tudia pe hamu mangalangka sai mamasu-masu ma Tuhanta,
disi ma hamu dapotan parsaulian.”
Selain berupa kata-kata nasihat, orang tua pun memberikan hata ni umpasa,
umpasa merupakan rangkaian kata-kata doa, bisa semacam pantun atau puisi yang
di dalamnya terdapat pernyataan restu, doa, dan harapan bagi orang yang
mendengarnya (dalam hal ini yaitu kedua mempelai). Contoh hata ni umpasa
adalah sebagai berikut:
Bintang na rumiris
Akkup ni ombul na sumorop
Anak pe di hamu deak riris
85
Boru deak torop
Tubu ma hariara
Di olang-olang ni huta
Sai tubu ma di hamu anak na sangap
Dohot boru na martua
Sahat-sahat ni solu
Sahat ma tu bontean
Leleng ma hita mangolu
Sahat tu panggabean
Setelah orang tua dari pihak parboru memberikan kata-kata nasihat dan hata ni
umpasa, mereka akan menyanyikan lagu sebagai tanda bahwa orang tua dari
pengantin perempuan telah mengikhlaskan puterinya untuk mengarungi bahtera
rumah tangga. Salah satunya Borhat ma dainang, yang akan menjadi bahan analisis
penulis. Maka orang tua pengantin perempuan akan meminta musik kepada
pargonsi (pemusik) dengan berkata: “di hamu parmusik nami, ala na nuaeng
pasahat ulos ma hami tu boru dohot hela nami, bahen hamu ma ende Borhat ma
dainang”
86
Gambar 11. Pemberian ulos hela
4.6.1
Analisis tangga nada
Sebagaimana
dikemukakan
oleh
Nettl
bahwa
cara-cara
untuk
mendeskripsikan tangga nada adalah dengan menuliskan semua nada yang dipakai
dalam membangun sebuah komposisi musik tanpa melihat fungsi masing-masing
nada tersebut dalam lagu.
Selanjutnya, tangga nada tersebut digolongkan menurut beberapa klasifikasi,
menurut jumlah nada yang dipakai. Tangga nada ditonik (dua nada), tritonic (tiga
nada), tetratonik (empat), pentatonik (lima nada), heksatonic (enam nada),
heptatonic (tujuh nada). Dua nada dengan jarak satu oktaf biasanya dianggap satu
nada saja.40
Menurut Malm, mendeskripsikan tangga nada adalah menyusun semua nada
yang dipakai dalam melodi suatu lagu. Dengan demikian penulis akan menyusun
40
Nettl, Theory and Method. op. cit., 145.
87
nada-nada yang terdapat dalam melodi lagu Borhat ma dainang mulai dari nada
terendah hingga nada tertinggi, termasuk nada-nada oktaf.
4.6.1.1 Tangga nada lagu Borhat ma dainang
Penulis mengurutkan semua nada yang dipakai dalam lagu ini, kemudian
menyusunnya ke dalam garis paranada yang disusun sesuai dengan nada-nada pada
lagu Borhat ma dainang. Setelah dianalisa, pada lagu ini terdapat enam nada dan
ditambah satu nada oktaf. Nada tersebut adalah nada G, A, B, C, D, E, F#, G’.
4.6.2
Wilayah nada lagu Borhat ma dainang
Untuk membuat wilayah nada yang terdapat pada lagu Borhat ma dainang
ini, penulis berpedoman kepada tangga nada yang sudah dibuat ke dalam bentuk
partitur yang terdapat pada sub-bab sebelumnya. Lagu Borhat ma dainang memiliki
wilayah nada dari nada D ke D’. Jarak dari nada D ke D’ adalah sebanyak enam
laras sehingga jumlah frekuensi jarak nada tersebut adalah 1200 cent.
4.6.3
Nada dasar (Pitch Center)
88
Dalam menentukan nada dasar pada setiap lagu yang akan ditranskripsikan,
penulis berpedoman kepada hasil rekaman yang dimainkan di lapangan. Atas dasar
itu, kemudian penulis mengubahnya ke dalam bentuk partitur. Namun dalam
mentranskripsikan lagu Borhat ma dainang, penulis terlebih dahulu berpedoman
kepada partitur yang sudah ada, kemudian mencocokkannya dengan hasil rekaman
yang ada di lapangan. Nada dasar dalam partitur lagu Borhat ma dainang adalah
G.
4.6.4
Jumlah nada (frequency of note)
Jumlah nada merupakan banyaknya pemakaian nada yang dipakai dalam
sebuah komposisi. Menurut Nettl (1964:146), untuk menggambarkan jumlah nadanada umumnya disampaikan lewat notasi yang ditulis pada garis paranada. Dalam
hal ini penulis akan menyusun jumlah nada yang dipakai sesuai dengan tangga
nada yang telah dibuat sebelumnya.
4.6.4.1 Jumlah nada lagu Borhat ma dainang
Frekuensi pemakaian nada pada lagu ini dapat dilihat pada garis nada di
bawah ini:
4.6.5
Interval
89
Interval ialah jarak antara satu nada ke nada berikutnya, naik maupun turun
berdasarkan jumlah laras yang mengantarai kedua nada tersebut. Berdasarkan
hukum musik, nama-nama interval telah ditentukan menurut jumlah nada yang
dipakai, sedangkan jenisnya ditentukan berdasarkan jarak kedua nada tersebut
dalam laras, seperti pada tabel berikut:
Simbol interval
Jumlah
Jumlah Nama dan jenis interval
Contoh
nada
Laras
nada
1P
1
0
Prime perfect
C-C
2M
2
1
Sekunda mayor
C-D
3M
3
2
Terts mayor
C-E
4P
4
2,5
Kwart perfect
C-F
5P
5
3,5
Kwint perfect
C-G
6M
6
4,5
Sekta mayor
C-A
7M
7
5,5
Septime mayor
C-B
8P
8
6,5
Oktaf perfect
C-C’
9M
9
7,5
None mayor
C-D’
10M
10
8,5
Decime mayor
C-E’

Catatan, interval besar (mayor, M) dikurang setengah laras menjadi interval
kecil (minor, m); interval murni (perfect, P) dan kecil (minor, m) dikurang
setengah laras menjadi interval kurang (diminish, dim); Sebaliknya, interval
besar (mayor, M) dan murni (perfect, P) ditambahsetengah laras menjadi
interval lebih (augumentasi, Ag), sedangkan interval murni (perfect) tidak
bisa menjadi interval besar ataupun kecil.
Rumus interval
dim+ ½ laras = m
m + ½ laras = M
M + ½ laras = Ag
m – ½ laras = dim
M – ½ laras = m
Ag – ½ laras = M
90
P – ½ laras = dim
P + ½ laras = Ag
Dengan demikian, berdasarkan hukum interval diatas maka interval untuk
komposisi melodi sulim di atas dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Frekuensi Pemakaian Interval
Lagu Borhat ma dainang
Interval
Naik
Turun
jumlah
1dim
2
2
1P
81
81
2M
23
49
72
2m
4
13
17
3M
4
3m
4
4
3aug
1
5
1
1
4P
2
2
5P
1
1
7aug
2
2
Total
4.6.6
187
Formula melodi
Melodi berasal dari bahasa Yunani yaitu meloidia yang artinya bernyanyi
atau berteriak. Namun berdasarkan kamus online Virginia Tech Multimedia Music
Dictionary, melodi adalah:
91
A rhythmically organized sequence of single tones so related to one
another as to make up a particular phrase or idea. [sebuah nada yang
disusun secara berurutan sehingga setiap nada berkaitan dan
membentuk sebuah frasa atau ide tertentu]
Dalam mendeskripsikan fomula melodik, ada tiga hal penting yang akan
dibahas yaitu bentuk, frasa, dan motif. Bentuk adalah suatu aspek yang
menguraikan tentang organisasi musikal. Unit terkecil dari suatu melodi disebut
dengan motif, yaitu tiga nada atau lebih yang menjadi ide sebagai pembentukan
melodi. Gabungan dari motif adalah semi frasa, dan gabungan dari semi frasa
disebut dengan frasa (kalimat).
Terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan untuk mengidentifikasi
garapan formula melodi sebuah komposisi musik. Menurut William P Malm dalam
bukunya Musical Cultures of The Pasific The Near East and Asia (1977:8), yaitu:
a. Repetitif dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk nyanyian yang
memakai formula melodi yang relatif pendek dan selalu diulang-ulang.
b. Iteratif yaitu
nyanyian dengan formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian.
c. Apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frase pertama setelah terjadi
penyimpangan-penyimpangan melodi, bentuk ini disebut reverting.
d. Jika salah satu dari bentuk tersebut diulang dengan formalitas yang sama tetapi
dengan teks nyanyian yang cenderung baru, disebut strofic.
92
e. kalau bentuknya selalu berubah dengan menggunakan materi teks yang selalu
baru, ini disebut progressive.41
Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology, mengatakan
bahwa untuk mendeskripsikan bentuk suatu komposisi, ada beberapa patokan yang
dipakai untuk membagina ke dalam berbagai bagian, yaitu:
1. Pengulangan bagian komposisi yang diulangi bisa dianggap sebagai satu unit.
2. Frasa-frasa istirahat bisa menunjukkan batas akhir suatu unit.
3. Pengulangan dengan perubahan (misal, transposisi lagu atau pengulangan
pola ritmis dengan nada-nada yang lain).
4. Satuan teks dalam musik vokal, seperti kata atau baris.
Dalam hal ini penulis membagi bentuk dalam lagu-lagu yang dianalisa dengan
patokan poin kedua diatas, yaitu membagi dengan berdasarkan frasa-frasa istirahat.
4.6.6.1 Analisis Bentuk, Frasa, dan Motif pada Lagu Borhat ma dainang
Birama
Frasa
1-4
A
5-8
B
9-12
C
13-16
B1
17-20
D
21-24
E
25-28
A1
29-32
B2
41
Malm., op. cit., 17.
93
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa A1
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B1
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa B2
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa C
94
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa D
Gambar notasi di atas merupakan notasi pada frasa E
4.6.7
Kadens
Sebagaimana kalimat bahasa yang diberi tanda baca berupa koma dan titik,
maka demikian juga halnya dengan musik, juga diberi tanda baca melalui kadenskadens yang terdapat di dalamnya. Sebuah kadens adalah satu kerangka atau
formula yang terdiri dari elemen-elemen harmonis, ritmis, dan melodis yang
menghasilkan efek kelengkapan yang bersifat sementara (kadens tak sempurna,
kadens gantung) dan yang permanen (kadens lengkap, sempurna).
Kadens yang berakhir pada nada tonal disebut kadens sempurna (lengkap),
sedangkan yang berakhir pada nada lain (seperti nada dominan atau sub-dominan)
disebut kadens gantung (tak sempurna). Analoginya dengan kalimat, kadens
sempurna itu merupakan titik; kadens gantung merupakan tanda tanya atau titikkoma. Sebuah frase yang berakhir pada kadens gantung (tak sempurna) disebut
frase anteseden dan biasanya kadens seperti ini akan segera pula diikuti oleh sebuah
frase konsequen yang berakhir dengan sebuah kadens sempurna (lengkap).
95
4.6.7.1 Pola kadensa lagu Borhat ma dainang
Pola semi kadens (half cadence) terdapat pada:
Birama ke-2
Birama ke-6
Birama ke-10
Birama ke-14
Birama ke-22
Birama ke-26
Birama ke-30
Pola kadens penuh (full cadence) yaitu terdapat pada :
Birama ke-4
Birama ke-8
Birama ke-12
Birama ke-16
96
Birama ke-24
Birama ke-28
Birama ke-32
4.6.8
Kantur
Kontur adalah garis melodi yang terdapat pada sebuah komposisi musik
yang dapat diidentifikasi berdasarkan pergerakan melodinya dan diperlihatkan
melalui grafik garis. Pada komposisi musik yang relatif panjang, identifikasi kantur
didasarkan pada bentuk melodi musiknya.
a. Bila gerak melodinya naik dari nada rendah ke nada yang lebih tinggi disebut
ascending;
b. Bila gerak melodinya menurun dari nada yang tinggi ke nada yang lebih rendah
disebut descending;
c. Bila gerak melodinya melengkung bergelombang/melengkung dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi kembali ke nada yang rendah, atau sebaliknya
disebut pendulous;
d. Bila gerak melodinya berjenjang seperti anak tangga dari nada yang rendah ke
nada yang lebih kemudian sejajar disebut terraced;
e. dan apabila gerakan-gerakan intervalnya sangat terbatas atau bersifat tetap
disebut static.
97
4.6.8.1 Kantur pada lagu Borhat ma dainang
Kontur di atas menunjukkan melodi pada lagu Borhat ma dainang ini bersifat
Pendulous, dimana melodi awalnya berada pada nada yang lebih tinggi, kemudian
bergerak ke nada yang lebih rendah dan selanjutnya kembali ke nada yang lebih
tinggi. Terdapat pada birama ke-10 sampai pada birama ke-11.
Sedangkan bentuk kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya
sifat Pendoulos yang tidak hanya menggambarkan nada dari yang lebih tinggi
menuju nada yang lebih rendah, kemudian naik kembali menuju nada yang lebih
tinggi. Tetapi dilanjut dengan pergerakan menuju ke nada yang lebih rendah. Notasi
di atas berada pada birama yang ke-24 sampai birama yang ke-25 pada lagu Borhat
ma dainang.
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat
descending, yaitu dari nada yang lebih tinggi menuju nada yang lebih rendah.
Notasi tersebut terdapat pada birama ke-20.
98
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat statis, yaitu
garis melodi yang sifatnya tetap. Notasi tersebut terdapat pada birama yang ke-18.
Jenis kontur pada gambar notasi di atas menunjukkan adanya sifat teracced,
yaitu garis melodi yang sifatnya berjenjang seperti anak tangga. Terdapat pada
birama ke-23.
99
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tentang permasalahan dan pembahasan yang
telah dijelaskan tentang musik perkawinan di Kota Medan, maka penulis
menyimpulkan bahwa musik perkawinan pada upacara pernikahan adat Batak
Toba telah mengalami perubahan dan perkembangan. Ada beberapa instrumen
tradisiona Batak Toba lainnya yang masih tetap eksis dan mampu bertahan dan
ada juga yang beberapa diantaranya mengalami kepunahan, seperti sulim, hasapi,
taganing.
Masuknya alat musik modern kedalam pengkolaborasian dengan alat
musik tradisi sebagai musik yang dipakai dalam upacara adat perkawinan Batak
Toba zaman sekarang ini, dipengaruhi karena kebutuhan manusia yang semakin
berkembang akan musik pop dan perkembangan zaman. Memang nilai tradisi
yang dahulu sudah hampir tidak ditemukan lagi pada zaman sekarang ini. Sebagai
salah satu bukti sudah tidak disebutkan lagi nama repertoar untuk musik yang
akan dimainkan pada saat penyerahan ulos, melainkan sudah menggunakan lagulagu pop/modern ataupun rohani yang dimainkan oleh pargonsi pada saat proses
mangulosi berlangsung. Hal inilah yang menyebabkan mengapa sudah tidak
digunakan lagi gondang sabangunan sebagai musik yang dipakai dalam upacara
perkawinan adat.
Namun untuk tidak menghilangkan nilai-nilai tradisi budaya Batak toba,
sulim, taganing, dan hasapi masih sering dijumpai pada upacara perkawinan adat
100
Batak Toba, karena alat musik tersebut masih cocok untuk digunakan sebagai
pengiring lagu pop/modern. Hal inilah yang dapat dikatakan musik dalam upacara
adat perkawinan mengalami pengurangan dalam jenis instrumen tradisi yang
dipakai.
Dari segi rangkaian upacara adatnya, masih tetap sama dengan zaman
sebelum berkembangnya musik modern dikalangan masyarakat Batak Toba,
hanya saja yang membedakan ialah rangkaian upacara adat tidak lagi dilakukan
berminggu-minggu atau berbulan-bulan karena faktor sanak-saudara yang sudah
berjauhan atau banyak yang di perantauan maka upacara adat perkawinan Batak
Toba cukup dilakukan selama satu hari yang dinamakan Adat Na Gok atau Ulaon
Sadari.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis kemukakan di atas, maka
penulis mengajukan beberapa saran seperti berikut ini :
1. Jikalau ada di antara pembaca yang tertarik dengan kajian tulisan ini,
penulis menyarankan agar kiranya berkenan untuk membahas lebih lanjut
tentang pembahasan ini, karena setiap periode pada waktu penggunaan
instrumen
khususnya
dalam
konteks
kebudayaan
pasti
selalu
memunculkan fenomena baru dalam setiap aspek kkehidupan masyarakat
itu sendiri.
2. Selaku masyarakat yang memiliki identitas kebudayaan, sebaiknya kita
bersama-sama untuk melestarikan setiap unsur kebudayaan secara khusus
musik tradisi yang turun-temurun diajarkan oleh para musisi pendahulu.
Aturan dan ketetapan adat yang terdahulu harus kembali di rancang agar
101
3. semakin lama tidak semakin punah tradisi kebudayaan khususnya pada
kebudayaan masyarakat Batak Toba. Namun tetap diimbangi dengan
kebutuhan masyarakat masa kini, tanpa menghilangkan nilai tradisi
sebagai suku Batak Toba.
102
DAFTAR PUSTAKA
Barbara Crader, “Ethnomusicology,” dalam Stanley Sadie, The New Grove
Dictionary of Music and Musicians (London, New York: Macmillan
Publisher Limited, 1980), 117.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Dyson, L (dalam Sujarwa). 1987. Manusia dan Seni Budaya. Jakarta: Balai
Pustaka.
Gultom, D.J. 1992. Dalihan Na Tolu: Nilai Budaya Suku Batak. Medan:
Armanda.
Kaplan, David and Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya. [trans]. Landung
Simatupang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1985. Metode-metode
Gramedia Pustaka Utama.
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi (ed). Jakarta. Rineka Cipta.
Kountur, Rony, D.M.S., Ph.D. 2003. Metode Penelitian: untuk Penulisan Skripsi
dan Tesis. Jakarta: Teruna Grafika.
Marcia Herndorn, “Analisis Struktur Musik Dalam Etnomusikologi.” seperti
naskah terjemahan M. Takari, Perikuten Tarigan (Medan: Jurusan
Etnomusikologi, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 1994), 4.
Meriam, Alan P. 1964. The Anthropology Of Music. United States Of America:
University Press.
Moleong, Lexy J. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nettl, Bruno.1964. Theory and Method in Ethnousicology. New York: The Free
Press of Glencoe.
Pandora Hopkins, “The Purpose of Transcription”, dalam Journal for the Society
of Ethnomusicology (Ann Arbor Michigan, 1966), 316.
Phylis M. May, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse in
Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 109.
Roberta L. Singer, “Philosophical Approaches to Transcription” dalam Discourse
in Ethnomusicology: Essays in Honor of George List (Indiana University
Archieve, 1978), 113.
103
Sidabutar, Bonggud. 2014. Sulim Batak TobaSebagai Kajian Kontinuitas dan
Perubahan. Medan, Universitas Sumatera Utara.
Simangunsong, Emmi. 2002. “Ensambel Gondang Sabangunan Batak Toba:
Perhubungan Di antara Muzik, Tortor Dan Adat Dalihan Na Tolu.‟
Unpublish M.A. thesis, University Sains Malaysia, Pulau Pinang,
Malaysia.
Takari, Muhammad. 2004. Interelasi Budaya Musik Batak dan Melayu di
Sumatera Utara dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing,
Melayu, Pakpak-Dairi, Angkola, Karo, Simalungun. Medan: Pusat
Dokumentasi PengkajianKebudayaan Batak, Universitas HKBP
Nommensen.
104
DAFTAR WEBSITE
http://kajiseni.blogspot.com/2012/10/tradisi-gondang-sabangunan-dan-tortor.html
https://polban.academia.edu/Aikaaikasiregar/Activity
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20345/1/Appendix.pdf
www.gobatak.com
www. meiracindy.blogspot.com
www.rolandhutajulu.blogspot.com/adat-perkawinan-batak-toba
journal of Emmi Simangunsong “Muzik Gondang Sabangunan dan Peranannya
dalam Upacara Pesta Adat Batak Toba: Satu Pengenalan”
105
DATA INFORMAN
1.
2.
3.
4.
Nama
: Coy Manurung
Alamat
: Perumnas Mandala
Umur
: 32 tahun
Pekerjaan
: Pargonsi
Nama
: Juniro Sitanggang
Alamat
: Jalan Sei Padang
Umur
: 26 tahun
Pekerjaan
: Pargonsi/Mahasiswa
Nama
: Bapak Kembar
Alamat
: Simpang Marindal
Umur
: 48 tahun
Pekerjaan
: Raja Parhata/Wiraswasta
Nama
: Marsius Sihotang
Alamat
: Jalan Sisingamangaraja. Tanjung Morawa
Umur
: 54 Tahun
Pekerjaan
: Dosen Etnomusikologi USU dan Tokoh Musik
Batak Toba
106
107
Download