PENDAHULUAN Dimulai dengan keterlibatannya dalam Perang Dunia I, Amerika Serikat muncul sebagai salah satu aktor utama dalam politik dunia. Perannya yang menentukan dalam mengakhiri Perang Dunia II, hingga berakhirnya Perang Dingin, telah menjadikan Amerika Serikat kini sebagai satu-satunya negara adidaya. Status ini tidak hanya terwujud melalui berakhirnya perlombaan senjata di masa Perang Dingin yang tidak secara langsung ia menangkan setelah pecahnya Uni Soviet, tetapi Amerika Serikat juga merupakan negara dengan kekuatan ekonomi dan militer terbesar di dunia. Sampai dengan tahun 2014, Amerika Serikat tercatat mempunyai anggaran militer sebesar $610 milyar (34% total anggaran militer dunia)1 dan Gross Domestic Product (GDP) sebesar $17,4 trilyun (terbesar di dunia).2 Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi dan militer yang besar, Amerika Serikat memahami betul pentingnya peran yang ia pegang dalam politik internasional. Posisi yang strategis dalam berbagai organisasi pemerintah negara-negara dunia dan kepercayaan akan „American exceptionalism‟3 yang berkembang di dalam negeri turut mendukung peran yang ia mainkan saat ini. Namun, merujuk pada sebuah pepatah lama “with great power comes great responsibility,” dengan kekuatan ekonomi dan militernya yang besar Amerika Serikat pun dihadapkan kepada tanggung jawab-tanggung jawab yang besar pada politik dunia. Isu terorisme yang terus berkembang, soal proliferasi nuklir dan senjata pemusnah masal lainnya, tantangan keamanan nasional yang dikaitkan dengan isu kebebasan sipil, konflik yang terus bergulir di negara-negara Timur Tengah dan Asia Barat Daya, ancaman degradasi ekosfir, serta pemanasan global merupakan beberapa tantangan yang saat ini harus dihadapi oleh Amerika Serikat, khususnya dalam politik luar negerinya. Politik luar negeri merupakan semua hubungan eksternal yang dilakukan oleh negara berdaulat dalam hubungan internasional. Politik luar negeri dapat juga diartikan sebagai strategi hubungan eksternal yang dilakukan negara berdaulat untuk mencapai tujuannya. Dalam perspektif ekonomi liberal, politik luar negeri dilakukan untuk memenuhi tujuan-tujuan ekonomi 1 S. Perlo-Freeman, A. Fleurant, P.D. Wezeman & S.T. Wezeman, Trends in World Military Expenditure, 2014, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) Fact Sheet, Solna, April 2015, p. 2. 2 „World Economic Outlook Report,‟ International Monetary Fund (daring), October 2014, <http://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2014/02/weodata/index.aspx>, diakses pada 30 Maret 2015. 3 American exceptionalism adalah sebuah “teori” yang menyatakan bahwa Amerika Serikat secara kualitatif berbeda dan superior dari negara-negara lainnya. Lihat S.M. Lipset, American Exceptionalism: A Double-Edged Sword, W.W. Norton & Co., New York, 1996, p. 18. negara, yakni demi mencapai keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya, sedangkan dalam perspektif realis, politik luar negeri ialah urusan menggunakan kekuatan dan mengamankan wilayah negara.4 Definisi-definisi politik luar negeri ini menunjukan posisi negara sebagai aktor yang sentral dalam politik luar negeri. Namun, pada kenyataannya, negara tidak memiliki kemampuan untuk berpikir. Kebijakan dalam politik luar negeri dibuat oleh sejumlah kecil individu yang bertindak atas nama sebuah negara, terutama presiden dan beberapa penasihatnya. Beberapa presiden Amerika Serikat telah menunjukkan hal ini. Misalnya, Harry Truman pernah mengatakan “I make American foreign policy,” dan Thomas Jefferson mengeluarkan pernyataan bernada sama: “The management of foreign affairs is executive altogether.”5 Untuk alasan ini, politik luar negeri Amerika Serikat dapat dipahami melalui tindakan dan kebijakan yang diambil oleh presiden dan jajaran staf administrasi lembaga eksekutif. Dalam konteks ini, “doktrin” merupakan kata yang sering ditemukan ketika mempelajari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh presiden Amerika Serikat terkait urusan luar negeri negara tersebut. Secara historis, terdapat Doktrin Monroe, Doktrin Truman, Doktrin Eisenhower, Doktrin Kennedy, Doktrin Nixon, Doktrin Carter, Doktrin Reagan, dan yang mungkin paling kontroversial, Doktrin Bush dengan “Global War on Terror.” Presiden Amerika Serikat saat ini, Barack Hussein Obama II, juga tidak lepas dari hal doktrin politik luar negeri. Presiden yang ke-44 ini telah menjabat sejak tahun 2009. Dalam enam tahun kepemimpinannya, sejumlah kebijakan yang diambil Obama memunculkan sebuah pola strategi yang terbentuk atas beberapa karakteristik. Telah banyak buku, jurnal ilmiah, dan media masa yang mencoba untuk mengidentifikasikan karakteristik-karakteristik kebijakan Obama dalam menangani urusan luar negeri Amerika Serikat. “Doktrin Obama” kemudian muncul di berbagai media dan tulisan ilmiah untuk merepresentasikan strategi berpolitik Obama dalam menangani isu-isu politik luar negeri yang ia hadapi. Untuk memahami posisi Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya dalam politik dunia dewasa ini, penting untuk mengetahui bagaimana kebijakan politik luar negeri Presiden Barack Obama dijalankan – mengingat masa jabatannya yang masih akan berlangsung hingga awal tahun 2017. Pengetahuan ini dapat berguna untuk memahami secara lebih luas berbagai perubahan dalam politik internasional yang sedang dan akan terjadi. Evaluasi terhadap 4 C. Alden & A. Aran, Foreign Policy Analysis: New Approaches, Routledge, New York, 2012, pp. 18-29. E.R. Wittkopf, C.M. Jones & C.W. Kegley, Jr., American Foreign Policy: Pattern and Process, 7th edn, Thomson Wadsworth, Belmont, 2008, p. 491. 5 Doktrin Obama juga dapat dilakukan dengan berbekal pengetahuan ini, khususnya untuk menilik berbagai isu yang sedang dihadapi bukan saja oleh Amerika Serikat, namun juga secara global, yakni proliferasi nuklir Iran dan Korea Utara, konflik di kawasan Timur Tengah, serta kebangkitan Cina di Asia. Skripsi ini akan mendiskusikan Doktrin Obama, mulai dari perkembangannya, definisi, dan respon yang ditujukan kepada doktrin tersebut. Untuk menjelaskan hal-hal ini, penulis menggunakan konsep smart power. Smart power adalah sebuah pendekatan dalam politik luar negeri yang mengacu pada kombinasi antara strategi hard power dan soft power sebagaimana diperkenalkan oleh Joseph Nye. Hard power merupakan kemampuan untuk mendapatkan keinginan melalui tindakan koersif yang dilakukan melalui pemberian insentif atau ancaman. Sementara itu, soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui daya tarik persuasif, tanpa penggunaan tindakan koersif atau pembayaran.6 Konsep smart power mengakui pentingnya kekuatan militer yang besar, yang diikuti dengan investasi politik pada aliansi, persekutuan, dan institusi-institusi pada semua tingkatan untuk memperluas pengaruh Amerika Serikat dan membangun legitimasi atas tindakan yang ia ambil dalam politik internasional.7 Smart power merujuk kepada penggunaan strategis instrumen-instrumen seperti diplomasi, persuasi, pembangunan kapasitas, serta proyeksi kekuatan dan pengaruh dalam bentuk yang efektif dan memiliki legitimasi politik dan sosial.8 Konsep ini berkembang seiring dengan munculnya kesadaran bahwa meskipun kekuatan militer memegang peranan yang penting dalam politik internasional, aktor-aktor politik internasional tidak dapat terus bersandar pada kekuatan militer dalam upaya penyelesaian segala permasalahan yang muncul. Hal ini berlaku bagi negara maupun sistem internasional itu sendiri. Konsepsi smart power digunakan dalam skripsi ini untuk mengidentifikasi karakteristik, strategi, serta tujuan penerapan Doktrin Obama dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Obama menjalankan politik luar negeri yang berbeda dari presiden sebelumnya. Dalam menjalankan politik luar negeri, Obama cenderung menggunakan instrumen diplomasi, negosiasi, dan forum multilateral. Doktrin Obama dalam kata-kata Obama sendiri berbunyi “We will engage, but we preserve all our capabilities.” Doktrin Obama merupakan 6 J.S. Nye, Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics, Public Affairs, New York, 2004, pp. 5-8. R.L. Armitage & J.S. Nye, Jr., CSIS Commission on Smart Power: A Smarter, More Secure America, Center for Strategic International Studies, Washington, D.C., 2007, p. 7. 8 C.A. Crocker, F.O. Hampson & P. Aall (eds.), Leashing the Dogs of War: Conflict Management in a Divided World, US Institute of Peace Press, Washington, D.C., 2007, p. 13. 7 bentuk penerapan kombinasi hard power dan soft power dalam politik luar negeri Amerika Serikat yang bertujuan bukan hanya untuk mencapai kepentingan-kepentingan Amerika Serikat dalam politik luar negerinya, tetapi juga menghadirkan legitimasi atas tindakantindakan yang diambil oleh negara tersebut. Karakter dan penggunaan smart power ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan luar negeri yang Obama ambil. Mengambil kebijakan politik atas nama sebuah negara sebesar Amerika Serikat bukanlah hal yang mudah; Obama mendapatkan kontroversi atas strategi kebijakan yang ia ambil. Berbagai respon dukungan maupun penolakan terhadap penerapan doktrin ini muncul dari dalam pemerintahan maupun dari luar pemerintahan Obama. Kajian penulis akan dibatasi pada masa pemerintahan Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat pada periode Januari 2009 hingga Agustus 2015. Obama telah menerapkan karakteristik-karakteristik yang diasosiasikan dengan doktrin atas namanya ini bahkan sebelum ia terpilih menjadi presiden. Namun, barulah ketika menjadi presiden Obama mendapat kesempatan untuk mewujudkan ide-ide yang ia percaya dalam bentuk kebijakan. Di awal jabatan periode pertama, misalnya, ia mencoba memperbaiki hubungan Amerika Serikat dengan negaranegara Muslim. Diplomasi dan negosiasi muncul dalam berbagai aktivitas politik luar negeri yang dijalankan Obama. Strategi yang ia pilih dalam mengantisipasi kebangkitan Cina di kawasan Asia serta „kebandelan‟ Korea Utara dalam tes-tes nuklir – yang membuat sekutu Amerika Serikat di kawasan menjadi khawatir – berpusat pada diplomasi, pendekatan multilateral, dan penguatan kehadiran militer di pangkalan-pangkalan militer Amerika Serikat di Asia. Pada periode kedua pemerintahan, pendekatan yang sama juga digunakan oleh Obama dalam upaya pemulihan hubungan Amerika Serikat dengan Kuba dan proliferasi nuklir Iran. Setelah bagian Pendahuluan ini, penulis menjelaskan penggunaan konsep „doktrin‟ dalam politik luar negeri Amerika Serikat. Pembahasan mengenai Doktrin Obama akan dilakukan dengan menilik proses munculnya doktrin tersebut dalam politik luar negeri Amerika Serikat, yang dilanjutkan dengan penjelasan atas kebijakan luar negeri Obama dalam masa pemerintahannya, dan definisi Doktrin Obama dalam batasan waktu di atas. Semua ini dianalisis menggunakan konsep smart power. Berikutnya, penulis akan menunjukkan respon-respon yang muncul terhadap penerapan Doktrin Obama, baik dari dalam maupun luar negeri. Skripsi akan ditutup dengan kesimpulan dan inferens yang bisa diperoleh dari temuan penelitian.