BOLEHKAH MENAMAKAN ANAK DENGAN ALLAH Dr.H.Soetrisno

advertisement
BOLEHKAH MENAMAKAN ANAK DENGAN ALLAH
Dr.H.Soetrisno Hadi, SH.MM.MSi
(٢٤( ْ‫ُمَ كْ كاَ حُِ كَُ ال ي حه كَ لو كَُ مي كز حع لَع ُمي كِ حَ ل‬
‫لُ ك ب ل‬
‫ُِ ُميَكا حم لا ُمي كا حيل ُمي لْ كه رح ل ك لَ ُ ال ي كَنا لُ ُمي لِ يَه كْس ا ل كَه ح ر لِّ ك لَ كْا حُ ب‬
“Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Dia memiliki
nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada-Nya. Dan Dialah
Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”(QS.al-Hasyr,24).
H
idup ini memang ada-ada
saja. Belum lama berselang ada orang di Banyu
wangi dengan nama Tuhan. Kemu
dian di Banyuasin, Sumatera Selat
an, ada orang dengan nama Saiton.
Berikutnya diketahui ada seorang
gadis dengan nama D. Belakangan
diketahui ada seorang dengan na
ma Allah Husomat (28), pria asal
Muarakati, Kecamatan Tiang Pum
pung Kepungut (TPK), Kabupaten
Musirawas (Mura) Palembang.
Lalu persoalannya adalah apa
kah boleh orang dengan seenaknya
saja memberikan nama anak deng
an nama-nama seperti tersebut di
atas. Tentu saja, ada aturan yang
patut dipatuhi oleh semua orang.
Termasuk kita semua yang meng
aku beriman pada Allah swt. Kare
na memang agama diturunkan un
tuk memberikan panduan dan acuan etik dalam hidup manusia yang
beriman.
Ada yang menjadi hak kita
sebagai manusia dan ada pula yang
menjadi hak selain kita termasuk
Allah swt.
Seperti disebutkan dalam sebuah hadits sahih bahwa salah satu
hak anak atas orang tuanya adalah
mendapatkan nama yang baik (an
yuhsina ismahu). Rasulullah saw
memberikan panduan pada kita
semua bahwa nama yang baik itu
misalnya dengan menyebut salah
satu nama Allah swt dan menyisip
kan kata “abdun”. Sehingga bila di
gabung menjadi “Abdun ar-Rah
man” (dibaca : Abdurrahman).
Sedangkan penyebutan nama
orang dengan menyebut nama
“Allah” swt para ulama sepakat di
larang (haram). Karena nama itu
adalah “lafdz al-jalalah”, kata
yang mencerminkan keagungan
dan kemuliaan pemiliknya. Karena
Yang Maha Agung dan Maha
Mulia hanya Allah swt maka pem
berian nama itu bagi manusia men
jadi terlarang.
Bukan saja karena tidak layak
namun juga akan menimbulkan ke
rancuan bagi orang yang menyebutnya. Seolah-olah Tuhan itu
adalah manusia yang diwujudkan
dalam bentuk orang yang bernama
Allah.
Meskipun dibelakangnya diberi
imbuhan Husomat untuk melafal
kan kalimat dalam al-Qur’an surat
al-Ikhlas (Allah ash Shomad atau
dibaca Allahus shomad).
Belum lagi dari segi translitera
si, penulisan itu jelas tidak mem
perhatikan norma-norma dalam
penulisan kata atau kalimat dalam
bahasa baku yang dikenal dalam
dunia internasional dan akademik.
Apalagi dari segi makna yang arti
nya Allah tempat meminta semua
makhlukNya. Lalu, apakah benar
dan dibenarkan jika kemudian
orang itu dipersonifikasikan seperti
itu, sebagai tempat meminta semua
makhluk yang ada ini. Tentu saja,
jawabnya tidak. Karenanya, penye
butan nama bagi anak haruslah
juga memperhatikan sejumlah per
timbangan baik religius maupun
etis.
Bila nama dianggap sebagai
harapan atau doa dari seorang ayah
terhadap anaknya itu. Dengan
harapan suatu saat ketika besar dan
dewasa memiliki sifat seperti nama
yang disandangnya itupun tidak
tepat atau keliru. Karena kalau
juga mau mengikuti hadits qudsiy
yang menyebutkan berakhlaklah
kamu seperti akhlaknya Allah
(takhallaquu bi akhlaqillahi),
maka seyogyanya namanya men-
jadi gabungan antara nama hamba
(‘abdun) dengan nama Allah (ashShomad). Sehingga menjadi “Abd
ash-Shomad” (dibaca Abdussomad). Bukan Allah Husomat seper
ti yang tertera dalam KTP orang
yang bersangkutan.
Kalau nama Alla swt dilekatkan
menjadi nama hamba Allah saja
tidak diperkenankan apalagi bila
memberi nama anak dengan nama
Tuhan. Meski tidak secara langsung merujuk pada nama Allah na
mun mempunyai konotasi negatif
bila disebut sebagai nama manusia.
Tuhan berarti sesuatu yang disembah. Bisa berupa berhala, patung, makhluk, atau lainnya.
Apalagi penyebutan nama manu
sia dengan Saiton, meskipun seca
ra transliterasi tidak sama dengan
kata “Shaithan” (dibaca Syaiton)
untuk menyebut setan dalam lafal
Arab. Namun, penamaan seperti
itu jelas tidak sejalan dengan logi
ka yang wajar. Karenanya di
anggap tidak manusiawi. Nampak
sekali bahwa orang tua dari orang
yang bernama Saiton merasa nya
man dengan pemberian nama seru
pa itu, karena – mungkin – pang
gilan sehari-harinya bisa menjadi
Tony atau lainnya. Atau juga
karena kehilangan harapan dan
kurangnya perbendaharaan namanama yang indah dengan enteng
nya memberi nama anak dengan
Saiton.
Imam Abu Bakar Jabir alJazairy, Imam Besar Masjid
Nabawi, dalam kitabnya yang
terkenal “Minhaj al-Muslim” me
nyebutkan bahwa bagi anak ter
dapat terdapat sejumlah hak yang
harus dipenuhi oleh orang tuanya.
Di antaranya ialah : berhak men
dapat nama yang baik, disembelih
kan aqiqah bila mampu, dikhitan
kan, mengasihi dan menyayangi
dengan sepenuh jiwa, memberikan
nafkah kepadanya dengan nafkah
yang halal dan bergizi, memberi
kan pendidikan yang baik, mementingkan hidup islami di rumah tang
ga, membiasakan dengan adab dan
tradisi islami di rumah, mengajar
kan ta’lim Islam, menunaikan kefardhuan dan amal-amal yang sunnah. Itu semua dilakukan hingga
anak itu dewasa dan menikah.
Berbeda halnya dengan masya
rakat di Eropa atau Amerika Seri
kat (AS). Anak bila telah meng
injak usia delapan belas tahun su
dah harus “keluar” dan diberikan
kebebasan untuk memilih tetap
tinggal di rumah orang tuanya atau
pisah dan tinggal di luar rumah.
Selain itu, mereka diberi juga kebe
basan untuk memutuskan agama
apa yang akan dianutnya. Tetap
seperti agama orang tuanya atau
boleh pindah agama menurut
keyakinannya.
Ada hal yang positif dalam pola
hidup seperti itu, namun juga ada
hal-hal yang amat kritis dan meng
khawatirkan dari segi agama
(Islam). Positifnya, anak akan man
diri dan bisa hidup sendiri tanpa
tergantung orang tua dan meng
andalkan bantuan dan belas kasih
orang tuanya. Tetapi, segi negatif
nya tidak semua anak pada usia se
perti itu telah siap secara lahir
batin untuk bisa hidup mandiri dan
berpisah dari orang tuanya.
Buktinya, cukup banyak anak
pada usia remaja (teenagers) se
perti yang kedapatan mati bunuh
diri karena tidak kuat menanggung
hidup sendiri. Seperti pengalaman
saya ketika tinggal di Seattle,
Washington State, AS. Ada anak
remaja umur delapan belas tahun
yang kedapatan mati bunuh diri
karena tidak sanggup menahan
derita harus keluar rumah dan me
nanggung segala sesuatu yang
selama ini diberikan oleh orang
tuanya.
Dari segi ini, nampak Islam
lebih unggul dalam hal proteksi
orang tua terhadap anak dalam
kehidupan sosial. Namun, ada juga
hal yang perlu mendapat perhatian
semua pihak tentang kemungkinan
anak menjadi begitu “dependent”
terhadap orang tua dan tidak bisa
cepat dewasa dalam arti sesung
guhnya. Ada ketergantungan anak
pada orang tua atau begitu sebalik
nya.
Lepas dari itu semua, yang pasti
ada tanggung jawab orang tua ter
hadap anak untuk memberi nama
anak dengan nama yang baik dan
membuat anak bangga dengan
namanya. Sebab dengan nama
yang baik itu – bukan Tuhan,
Saiton, atau Allah – nanti di hari
kiamat tatkala namanya dipanggil
di hadapan begitu banyak manusia
dan jin. Ia akan bangga dengan
menyandang nama yang indah dan
baik itu. Bisa dibayangkan seperti
apa malunya anak bila dipanggil
dengan sebutan atau nama yang
asal-asalan saja.
Berdasarkan petunjuk Rasul
Allah saw yang memberi nama cu
cu beliau di hari ketujuh sejak lahir
nya bayi (Hassan dan Hussein),
bersamaan dengan itu dilakukan
aqiqah terhadap sang anak dengan
menyembelih dua ekor kambing
bila laki-laki dan satu ekor kam
bing bila perempuan. Maka kepada
kita pun disunnahkan mengikuti
keteladanan Nabi Muhammad saw
tersebut.
Ada sebagian ulama yang mem
bolehkan menggabungkan nama
anak dengan nama lokal untuk
menguatkan identitas dan jati diri
anak. Tetapi dengan tetap memberi
kan nama anak yang salah satu
namanya baik nama depan atau
nama belakang mencerminkan
nilai-nilai islami. Seperti kata
“Hadi” berasal dari nama Allah
swt “al-Hadi” artinya pemberi
petunjuk. Sedangkan nama depan
nya menggunakan nama dan pe
nyebutan lokal. Gabungan kedua
nya diharapkan menghasilkan
sinergi berupa keislaman yang
kokoh dan kebangsaan yang juga
melekat erat.
Ada pelajaran buat kita dari
kasus penamaan anak ini, yaitu
sebagai orang tua kita tidak
seyogyanya memberikan nama
anak dengan nama yang asal-asal
an. Karena nama anak adalah
harapan orang tua maka berikanlah
nama anak itu dengan nama yang
baik seperti diajarkan Rasulullah
saw.
Download