NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA

advertisement
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA SEMARANG
TENTANG PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS
DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
BAGIAN PERTAMA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi adalah sumber keburukan/kejahatan, karena korupsi itu sendiri
adalah sesuatu yang buruk dan jahat. Dampak kejahatan korupsi tidak sekedar adanya
kerugian keuangan negara atau terganggunya perekonomian nasional (sebagaimana
bunyi pasal-pasal dalam aturan hukum), tetapi korupsi justru menjadi penyebab
kemiskinan yang kian masif, rusaknya sistem pelayanan publik, sulitnya keadilan
diperoleh, terlanggarnya hak-hak asasi manusia, dan lain-lain. Kendatipun upaya
pemberantasan korupsi di Indonesia gencar dilakukan namun angka kejahatan korupsi
serta sikap dan perilaku koruptif di sebagian masyarakat belum menunjukkan penurunan
berarti. Hal ini ditunjukkan dari indeks persepsi korupsi (corruption perception index)
Indonesia menurut Transparency International, pada dua tahun terakhir tetap pada skor
2,8.1
Hukum memegang peran yang strategis dalam pemberantasan
tindak
pidana korupsi, melalui serangkaian kebijakan regulasi, implementasi dan penegakan
hukum. Sebagaimana diketahui, di era reformasi ini telah diundangkan Undang-Undang
Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai peraturan pelaksanaannya.
Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa pendekatan hukum ternyata
bukan satu-satunya instrumen dalam memberantas korupsi. Diperlukan pendekatan
sistem untuk membangun dan mewujudkan good governance dalam penyelenggaran
pemerintahan, karena ketika nilai-nilai good governance diinternalisasikan dalam praktik
11
Apabila dibandingkan dengan angka pada tahun-tahun sebelumnya, indeks persepsi korupsi ini sebetulnya
telah mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2005 tercatat 2,2, tahun 2006 tercatat 2,4, tahun 2007 tercatat 2,3,
dan tahun 2008 tercatat 2,6.
pemerintahan, maka akan menghindarkan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN). Secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik
good governance. Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada
aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan
pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga
pemerintah dengan non pemerintah seperti masyarakat sipil dan pelaku pasar. Kedua,
dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat
lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti
efisiensi, keadilan, dan daya tanggap (responsiveness) menjadi nilai yang penting.
Ketiga, praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas
dari KKN serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu, praktik pemerintahan
dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas
publik.2
Sebetulnya sejak awal reformasi, komitmen untuk mewujudkan good
governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah terlihat dengan
diterbitkannya TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
penerbitan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di samping itu, kemudian ditetapkan
pula TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan TAP MPR No.
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Namun demikian, tantangan utama mewujudkan good governance adalah
menyangkut bagaimana cara mewujudkan ketiga karakteristik tersebut di atas dalam
praktik pemerintahan sehari-hari. Bagaimana membagi peran yang proporsional antara
pemerintah dengan masyarakat sipil dan pelaku pasar, sembari membuat pemerintah
dapat bekerja secara efektif dan mengembangkan pemerintah yang bersih dan bebas
KKN, bukanlah sesuatu yang mudah.
Menurut Agus Dwiyanto, pengembangan good
governance akan lebih mudah jika dimulai dari sektor pelayanan publik. Artinya,
pembaharuan penyelenggaraan pelayanan publik dapat digunakan sebagai entry point
2
Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 2005, hal. 17-18.
dan penggerak utama untuk mendorong perubahan praktik good governance.3
Sehubungan dengan itu, telah diterbitkan berbagai perangkat peraturan yang terkait
dengan perwujudan good governance melalui pelayanan publik, yaitu Undang Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Apa yang diuraikan di atas menunjukkan hubungan korelatif signifikan
antara pemberantasan korupsi, good governance, dan pelayanan publik.
Secara jelas
terdeskripsikan bahwa pencegahan KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan, di
samping melalui pendekatan hukum, juga memerlukan pendekatan sistem yang dapat
dilakukan dengan membangun sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good
governance.
Apabila hal ini dikaitkan dengan pengadaan barang jasa, maka dapat
dinyatakan bahwa
pencegahan KKN dalam pengadaan barang dan jasa juga dapat
dilakukan dengan membangun sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good
governance.
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu celah terjadinya korupsi dalam
penyelenggaraan pemerintahan adalah di bidang pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Hal ini karena terkait dengan sistem pengadaan barang dan jasa tersebut,
di satu pihak ada pejabat yang mempunyai kewenangan, menguasai sumber-sumber
keuangan, serta dapat menentukan siapa mendapatkan apa, sementara di pihak lain
ada pihak swasta yang menawarkan barang dan/atau jasa yang bersaing untuk
mendapatkan kesempatan. Dalam kaitan ini, benarlah apa yang dinyatakan oleh Robert
3
Ibid. Paling tidak terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, yaitu: Pertama, perbaikan
kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh semua stakeholders, yaitu pemerintah, warga masyarakat pengguna,
dan pelaku pasar. Pemerintah berkepentingan dengan upaya perbaikan pelayanan publik karena jika berhasil
memperbaiki pelayanan publik, mereka akan dapat memperbaiki legitimasi. Membaiknya pelayanan publik juga
akan dapat memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna
dan efisiensi bagi pelaku pasar. Karena itu, reformasi pelayanan publik akan mendapatkan dukungan yang luas.
Kedua, melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah, warga pengguna dan pelaku pasar, melakukan
pergumulan secara intensif, sehingga apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka
manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para pelaku pasar. Dampaknya, mereka menjadi
semakin percaya bahwa pemerintah memang telah serius melakukan perubahan. Kepercayaan ini merupakan
prasyarat yang sangat penting untuk menggalang dukungan yang luas bagi pengembangan praktik good governance,
sehingga semua pihak menjadi yakin bahwa good governance bukan hanya mitos tetapi dapat menjadi realitas
apabila pemerintah dan unsur-unsur non pemerintah bekerja keras untuk menggalang semua potensi yang dimiliki
untuk mewujudkan good governance. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance, dapat
diterjemahkan secara relatif mudah dan nyata melalui pelayanan publik. Nilai seperti efisiensi, keadilan,
transparansi, dan akuntabilitas dapat diukur secara mudah dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik.
Klitgaard, yaitu jika ada seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan
memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau
jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas (dalam arti orang lain dapat
menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu), maka
kemungkinan besar akan ditemukan korupsi di situ.4
Sebetulnya, perangkat peraturan yang terkait dengan pengadaan barang
dan jasa, yaitu Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 dengan beberapa kali
perubahannya, yang kini telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010, telah menerapkan strategi yang berangkat dari teori Robert Klitgaard di atas,
yaitu dengan membangun sistem pengadaan barang dan jasa yang membatasi atau
mengurangi kekuasaan monopolistik, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan
meningkatkan keterbukaan.5 Secara teoretik sistem ini seharusnya mampu menutup
peluang korupsi. Namun, pengadaan barang dan jasa yang dijalankan berdasarkan
peraturan di atas, ternyata masih melahirkan angka korupsi yang tetap tinggi. Data
menunjukkan
bahwa
…….
(data
korupsi
di
bidang
pengadaan
barang
dan
jasa)………….??????????????? Berbagai modus operandi korupsi dipraktekkan dalam
pengadaan barang dan jasa, mulai dari mark-up, suap, pemerasan, kolusi, dan
sebagainya, yang semuanya berujung pada dirugikannya keuangan negara.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan hukum, pendekatan
sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good governance, bukanlah
instrument yang paripurna untuk menghindarkan KKN dalam pengadaan barang dan
jasa. Masih diperlukan pendekatan lain yaitu pendekatan moralitas yang akan menjadi
rambu-rambu pembatas untuk meluruskan
langkah dan memperkuat integritas para
pejabat publik dan berbagai pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa.
Pendekatan inilah yang melahirkan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang
dan jasa. Pakta Integritas merupakan salah satu alat (tools) yang dikembangkan
Transparency International pada tahun 90-an, dengan tujuan menyediakan sarana bagi
4
Robert Klitgaard et al, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Alih Bahasa
oleh Yayasan Obor, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 29.
5
Menurut Robert Klitgaard, Ibid., korupsi (C=corruption) akan terjadi ketika ada kekuasaan monopoli
(M=monopoly power) yang dimiliki oleh seorang pejabat, dan dia mempunyai wewenang untuk memutuskan
(D=discretion by official), serta tidak ada akuntabilitas (A=accountability). Pendapat tersebut dirumuskannya dalam
formula berikut: C = M + D – A.
Pemerintah, Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi, kolusi
dan nepotisme, terutama dalam kontrak-kontrak pemerintah (public contracting).
Kecuali Keppres Nomor 80 Tahun 2003, dan kini Perpres Nomor 54 Tahun
2010, belum ada suatu peraturan yang spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di
Indonesia, namun konsep dan penerapannya sangat relevan dengan amanat
penegakkan hukum dan pengelolaan negara yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel
dan transparan. Dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di mana kepada Pemerintah daerah
diberi kewenangan otonomi, maka penerapan pakta integritas dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa di daerah juga merupakan suatu keharusan dan bahkan
suatu kebutuhan.
Dalam soal komitmen pencegahan KKN dalam pengadaan barang dan jasa,
Kota Semarang sebagai daerah otonom, sebetulnya dapat dikatakan telah melangkah
lebih maju. Pada tanggal 18 Juni 2008 telah ditandatangani sebuah dokumen yang
berjudul Pedoman Umum Penerapan Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa di
Lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Penandatangan dilakukan oleh Wakil Walikota
Semarang Bp. H. Mahfudz Ali, S.H.M.Si, sebagai representasi dari Pemerintah Kota
Semarang, Bp/Ibu …. Sebagai wakil pengusaha, Bp/Ibu ….. sebagai wakil dari
masyarakat, Bp/Ibu ….. wakil dari Transparansi Internasional Indonesia, dan Bp Hendrik
Rosdinar dari Perkumpulan PATTIRO Semarang.
Ditandatanganinya dokumen tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa
keberadaan peraturan tentang pengadaan barang dan jasa ternyata belum mampu
secara maksimal dan konsisten diterapakan oleh pemerintah.
Hal ini terlihat dari
berbagai bentuk masalah dan penyimpangan yang masih terjadi dalam proses
pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah.
Hasil proses Focus Group
Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII)
dengan Asosiasi-Asosiasi Pengusaha Indonesia pada tahun 2007, Serial Discussion dan
Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh PATTIRO Semarang dengan Ormas,
LSM, Organisasi Mahasiswa dan Kelompok Warga pada tahun 2008, teridentifikasi
berbagai bentuk dan penyebab terjadinya permasalahan dalam pengadaan barang dan
jasa pemerintah, yaitu sebagai berikut:6
1.
Masih terjadinya praktik penyuapan dan pembayaran tidak resmi.
2.
Masih terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse power).
3.
Masih adanya pejabat/pegawai dan penyelenggara negara yang beraktivitas bisnis
terkait jabatannya.
4.
Masih adanya konflik kepentingan.
5.
Masih adanya praktik pemerasan.
6.
Adanya pertentangan hukum dengan tidak mempertimbagkan kaidah hukum yang
berlaku.
7.
Rendahnya keterlibatan masyarakat untuk melakukan pemantauan dalam proses
pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan.
8.
Kekeliruan pemahaman tentang jenis pekerjaan swakelola.
9.
Kurangnya pemahaman dalam pelaksanaan metoda penunjukan langsung.
10. Kurangnya pemahaman dalam penentuan metoda pengadaan jasa konsultasi.
11. Masih terjadinya tender diatur (tender arisan).
12. Masih terjadinya pengalihan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan
utama kepada pihak lain (Jual beli proyek).
13. Pelaksanaan penyelesaian pengaduan dan penyelesaian masalah yang di luar
prosedur.
14. Kurangnya penghargaan dan lemahnya pemberian sanksi kepada pihak yang terkait.
15. Lemahnya Pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan.
Karena itu, dalam dokumen tersebut dicantumkan berbagai komitmen baik
komitmen dari keseluruhan aparatur Pemerintah Kota, maupun komitmen dari para
pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, serta penyedia barang dan jasa.
Berbagai komitmen tersebut dimaksudkan sebagai kewajiban etis yang dicantumkan
dalam Pakta Integritas sebagai bentuk niat untuk dijalankan dan diterapkan dalam
proses pengadaan barang dan jasa. Maksud penerapan Pakta Intergitas dalam
pengadaan barang dan jasa adalah untuk mewujudkan akuntabilitas, transparansi,
partisipasi dan persaingan usaha yang lebih sehat dalam proses pengadaan barang dan
6
Pemerintah Kota Semarang, Pedoman Umum Penerapan Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa
di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, 2008, hlm. 4-6.
jasa di lingkungan Pemerintah Kota Semarang.
Sementara itu, penerapan Pakta
Integritas ditujukan untuk:
a. Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan negara yang bersih
dari KKN;
b. Mewujudkan pelayanan publik prima dan menjamin aksesibilitas bagi perempuan,
anak dan kelompok marginal yang lain;
c. Meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat;
d. Mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan,
bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel;
e. Mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam pengadaan barang dan
jasa;
f. Meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan tanggung jawab
pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan
jasa;
g. Menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna barang dan jasa,
panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa;
Persoalannya adalah, berbagai komitmen tersebut kendatipun substansinya
sangat bagus untuk menghindarkan terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa,
tetapi karena keberadaannya tidak dibingkai dalam bentuk peraturan hukum, maka
kekuatan mengikatnya kurang. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya untuk
mengintegrasikan berbagai komitmen tersebut dalam sebuah peraturan hukum,
sehingga
penerapan
dan
pelaksanaannya
menjadi
sebuah
keharusan
dengan
konsekuensi yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi hukum.
B. Telaah Akademik
1. Landasan Filosofis
Istilah “korupsi” berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio atau corruptus.
Dalam bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis
menjadi corruption, dan dalam bahasa Belanda menjadi coruptie. Dalam bahasa
belanda, kata coruptie mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Secara harfiah
istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam arti
sosial masyarakat mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara
atau kantor) dan menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau
pekerjaan. Centre for International Crime Prevention (CICP) salah satu organ PBB
yang berkedudukan di Wina secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “misuse of
(publik) power for private gain”. Menurut CICP, korupsi di dalamnya termasuk tindak
pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (fraud), pemerasan
yang terkait dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of
discretion), pemanfaatan kedudukan untuk kepentingan ilegal (exploiting a conflict
interests), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan
bisnis (illegal commision), dan kontribusi secara ilegal untuk partai politik.
Dilihat dari pelakunya, tindak pidana korupsi berbeda luas sebaran dan
jenisnya, mulai dari yang dilakukan secara “free lance” hingga yang dilakukan secara
sistematis (berjamaah). Korupsi yang sama sekali tidak menghiraukan aturan main
dan dilakukan secara sistematis, sering disebut hypercorruption.7 Korupsi sistematis
menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik karena
meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan kerugian sosial karena kekayaan
dan kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Mengingat
dampaknya yang begitu dasyat, maka korupsi digolongkan ke dalam “extraordinary
crime”, sehingga memerlukan “extraordinary measures” untuk memberantasnya.
Menurut Robert Klitgaard, korupsi (C=corruption) akan terjadi ketika ada
kekuasaan monopoli (M=monopoly power) yang dimiliki oleh seorang pejabat, dan
dia mempunyai wewenang untuk memutuskan (D=discretion by official), serta tidak
ada akuntabilitas (A=accountability). Pendapat tersebut dirumuskannya dalam
formula C=M+D–A.8 Jadi, misalnya, jika ada seseorang memegang monopoli atas
barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak
mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas
(dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang
memegang wewenang itu), maka kemungkinan besar akan ditemukan korupsi di situ.
Tetapi apakah korupsi betul-betul terjadi ataukah tidak, tergantung juga pada faktor
7
8
Robert Klitgaard et al, Op. Cit., hlm. 3.
Ibid, hlm. 29.
subyektif pelakunya, karena reaksi orang pada peluang untuk melakukan korupsi
tidak sama. Namun demikian penting untuk disadari bahwa semakin besar godaan
dan peluang untuk melakukan korupsi, semakin banyak korupsi terjadi. Menurut
Francisco Ramirez Torres, godaan untuk melakukan korupsi ada ketika keuntungan
atau hasilnya besar, kemungkinan tertangkapnya kecil, dan hukumannya ringan.9
Bertitik tolak dari karakteristik korupsi dengan dampaknya yang dasyat,
maka strategi pemberantasan korupsi paling tidak harus menggunakan 4 (empat)
pendekatan, yaitu: pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan,
pendekatan edukatif dan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan hukum memegang
peran yang strategis dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, melalui
serangkaian kebijakan regulasi, implementasi dan penegakan hukum. Sementara itu,
pendekatan moralistik dan keimanan merupakan rambu-rambu pembatas untuk
meluruskan
langkah para pejabat publik khususnya penegak hukum untuk
memperkuat integritas dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Pendekatan
edukatif melengkapi kedua pendekatan tersebut di atas dan berfungsi menggerakkan
dan meningkatkan daya nalar masyarakat sehingga mempunyai pemahaman yang
komprehensif mengenai latar belakang, penyebab, serta dampak korupsi, serta
langkah-langkah pencegahannya. Sementara itu, pendekatan sosio kultural berfungsi
membangun kultur masyarakat yang mengutuk tindak pidana korupsi dengan
melakukan kampanye publik yang meluas ke seluruh lapisan masyarakat.
Deskripsi tentang penyebab korupsi maupun strategi pemberantasannya
sebagaimana diuraikan di atas, akan berkaitan dengan diskursus tentang hukum dan
moral. Moral dapat memiliki arti sebagai keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan
dengan ihwal “baik” atau perbuatan baik manusia.10 Kaum positivistik berpegang
teguh pada pandangan bahwa antara hukum dan moral harus diadakan perbedaan,
walaupun di antara keduanya sulit untuk dipisahkan. Untuk membedakan antara
moral dan hukum, Emanuel Kant (1724-1804) mengajukan perbedaan antara
moralitas dan legalitas perbuatan manusia. Moralitas suatu perbuatan menyatakan
bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah moral (morele wetten), sedangkan
legalitas suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah
9
Ibid, hlm. 30.
J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bahkti, Bandung,
1996, hlm. 223
10
hukum (Juridische wetten).11 Dengan demikian, perbedaan antara hukum dan moral
terletak pada perbedaan dalam tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kedua jenis
kaidah itu terhadap perbuatan. Kaidah hukum mengarahkan diri hanya pada
perbuatan-perbuatan lahiriah, sedangkan kaidah moral mempunyai kaitan juga
dengan alasan-alasan (motivasi) yang mendorong pada dilakukannya perbuatan
lahiriah.12
Namun demikian, antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat
sekali. Di satu sisi, hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas, karena kualitas
hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak
kosong dan hampa. Di sisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa
hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau dilembagakan dalam
masyarakat. Dikaitkan dengan perilaku manusia, maka dapat dikatakan bahwa
pencapaian tujuan hukum, tidak hanya memerlukan peraturan yang baik secara
moral, tetapi juga memerlukan pelaksana hukum yang bermoral baik.
Orang yang secara moral baik, adalah juga orang yang mempunyai
integritas moral yang tinggi. Integritas merujuk pada mutu, sifat, atau keadaan yang
menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan dan kejujuran.13 Jadi, integritas adalah konsistensi antara
tindakan dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai
prinsipnya. Kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial.
Jika setiap orang tidak lagi memegang kata-katanya, maka hubungan fundamental
yang berkaitan dengan kepercayaan, berada diambang kehancuran. Menurut Andrian
Gostik & Dana Telford, ada 10 karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh
orang-orang yang memiliki integritas, yaitu:14
1.
11
Anda menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting
Agar memiliki keunggulan integritas, anda tidak boleh berbohong dalam hal-hal
kecil; dan sebagai hasilnya, anda tidak akan tergoda oleh hal-hal yang lebih
besar- kekuasaan, prestise, atau uang. Hal yang juga penting, sebagai orang
yang berintegritas, anda setia pada nilai moral internal anda, bahkan bila itu
Ibid., hlm. 233.
Ibid., hlm. 234.
13
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 2002, hlm. 437.
14
bto.depnakertrans.go.id
12
berarti anda harus berhadapan dengan resiko kehilangan tempat yang nyaman di
dunia.
2. Anda menemukan yang benar (saat yang lain melihat warna abu-abu).
Untuk mendapatkan keunggulan integritas, anda tidak boleh mengambil
keputusan sendiri. Anda mengajukan pertanyaan, menerima saran, berefleksi,
dan melihat jauh ke depan. Ringkasnya, pastikan bahwa anda mengambil
keputusan yang tidak bertentangan dengan kode integritas pribadi.
3. Anda bertanggung jawab.
Untuk memiliki keunggulan integritas, anda sadar bahwa pencarian integritas
merupakan bagian yang integral dari kepemimpinan. Anda bersikap terbuka dan
jujur, mengungkapkan cerita yang baik maupun yang buruk secara lengkap.
Anda berbagi semua informasi penting, tidak hanya informasi yang
menguntungkan anda. Anda mengaku ketika berbuat salah, meminta maaf, dan
memperbaikinya.
4. Menciptakan budaya kepercayaan.
Dengan memiliki keunggulan integritas, Anda membantu menciptakan
lingkungan kerja yang benar, yakni lingkungan yang tidak menguji integritas
pribadi karyawan atau rekan kerja anda. Anda memperkuat integritas itu melalui
prinsip, control, dan teladan pribadi. Dan Anda memberikan penghargaan pribadi
dalam segala tindakan mereka.
5. Anda menepati janji.
Karyawan tidak akan mengikuti kata-kata pemimpin yang tidak mereka percayai.
Atasan tidak akan mempekerjakan atau mempromosikan pekerja yang tidak
mereka percayai. Klien tidak akan membeli produk dari pemasok yang tidak
mereka percayai. Untuk memperoleh keunggulan integritas, Anda perlu berlaku
penuh integritas, guna memperoleh kepercayaan.
6. Anda peduli terhadap kebaikan yang lebih besar
Untuk memiliki keunggulan integritas, Anda berkomitmen sangat kuat untuk
memberikan keuntungan terhadap organisasi tempat anda bernaung. Anda
memedulikan perusahaan, produk, serta layanan anda, dan khususnya rekan
satu tim anda. Melalui kerja, Anda memperoleh perasaan tentang adanya tujuan
yang lebih dalam.
7. Anda jujur namun rendah hati.
Untuk memiliki keunggulan integritas, anda tidak memproklamasikan kebaikan
atau kejujuran anda. Itu seperti menyombongkan kerendahan hati. Anda
seharusnya membuat tindakan anda berbicara lebih keras daripada kata-kata.
8. Anda bertindak sebagai sedang diawasi.
Untuk memiliki keunggulan integritas, anda perlu berfikir bahwa setiap tindakan
anda selalu diawasi. Anda perlu memastikan bahwa integritas anda itu diteruskan
ke generasi-generasi mendatang melalui teladan yang anda berikan.
9. Anda mempekerjakan Integritas.
Untuk memiliki keunggulan integritas, anda perlu mempekerjakan dan
mengelilingi diri anda dengan orang-orang berintegritas tinggi. Anda
mempromosikan orang yang memperlihatkan kemampuan untuk dipercaya.
10. Anda konsisten.
Untuk memiliki keunggulan integritas, anda harus memiliki konsistensi dan
keterdugaan etis. Hidup anda mencerminkan keutuhan dan keselarasan antara
nilai dan tindakan anda.
Dikaitkan dengan landasan filosofi bangsa Indonesia yaitu Pancasila,
maka integritas moral seseorang pada dasarnya merupakan manifestasi pengamalan
Sila I tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, di
dalamnya mengandung nilai keyakinan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa
dengan segenap sifat KeMahaannya. Implikasi dari pengakuan ini maka di dalamnya
juga
terkandung
dimanifestasikan
nilai
dengan
ketaqwaa
cara
terhadap
Tuhan
yang
Maha
menjalankan
semua
perintah
Esa,
dan
yang
larangan-
laranganNya.15 Sila I inilah yang menjiwai keseluruhan sila-sila lainnya, sehingga
integritas moral seseorang yang didasarkan pada kepercayaannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa akan menuntunnya untuk bersikap hormat pada kemanusiaan,
mengutamakan persatuan, menjalankan demokrasi dan mewujudkan keadilan sosial.
2. Landasan Yuridis
Konstruksi konstitusi sebagai hukum dasar dalam sistem hukum Indonesia
secara jelas menggambarkan betapa negara dan perangkat kelembagaannya
termasuk
sistem hukum yang dibangunnya, antara lain dimaksudkan bagi
terselenggaranya pemerintahan negara yang bersih. Tujuan mencapai kesejahteraan
umum akan menuntut pengelolaan sumber daya secara benar dan fair. Untuk tujuan
itu, maka pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi pilihan agar dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara terjadi mekanisme check and balances,
sehingga tidak ada kekuasaan yang absolut dan akhirnya korup. Di samping itu, Pasal
33 ayat (3) secara jelas mengamanatkan agar sumber daya alam sebagai modal
dasar pembangunan dikuasai oleh negara untuk menjamin kemakmuran rakyat.
Karena
itu,
maka
sistem
perekonomian
nasional
diselenggarakan
dengan
mendasarkan diri pada prinsip kebersamaa, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian,
serta
dengan
menjaga
keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (vide Pasal 33 ayat (4)).
Komitmen untuk mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia terlihat dengan diterbitkannya TAP MPR No XI/MPR/1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang Nomor
15
Dardji Darmodihardjo dkk., Santiaji Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta, 1978, hlm. 51.
28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme. Di samping itu, kemudian ditetapkan pula TAP MPR No. VI/MPR/2001
tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Di samping itu, diterbitkan pula undang-undang yang secara khusus
mengatur tentang bagaimana pemberantasan korupsi dilakukan melalui criminal
justice system, yaitu Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20
tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada tingkatan peraturan
pelaksanaan, telah diterbitkan pula Peraturan pemerintah Nomor 68 Tahun 1999
tentang Tata cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Negara dan Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berbagai peraturan tersebut menekankan bahwa penyelenggara negara
harus bersih dari KKN dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan dan pemerintahan.
Salah satu indikasi bersihnya penyelenggara adalah ketika penyelenggara negara
tersebut tidak melakukan perbuatan KKN. Untuk mencapai tujuan tersebut maka
diletakkan berbagai asas penyelenggaraan negara sebagai landasan pengaturan
maupun
tindakan
penyelenggaraan
pemerintahan16
dan
berbagai
kewajiban
penyelenggara negara.17 Dalam konteks pemberantasan KKN, peran serta masyarakat
merupakan hal yang esensial, karena melalui peran serta tersebut tindak pidana KKN
16
Dalam Pasal 3 UU No. 28 tahun 1999 disebutkan tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu (1) asas
kepastian hukum; (2) asas tertib penyelenggaraan negara; (3) asas kepentingan umum; (4) asas keterbukaan; (5)
asas proporsionalitas; (6) asas profesionalitas; (7) dan asas akuntabilitas. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas tersebut masih ditambah dua asas lagi, yaitu asas efektivitas dan
efisiensi.
17
Pasal 5 UU No. 28 tahun 1999 menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk: (1)
mengucapkan sumpah atau janji sebelum memangku jabatannya; 92) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum,
selama, dan setelah menjabat; (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; tidak
melakukan perbuatan KKN; (5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; (6)
melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tanpa pamrih serta tidak melakukan perbuatan yang
tercela; (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN serta perkara lain.
dapat dicegah terjadinya dan mudah diketahui ketika telah terjadi, serta terpantau
dalam penyelesaian hukumnya. Sehubungan dengan itu, baik UU No. 28 tahun 1999,
UU No. 31 tahun 1999, UU No. 30 tahun 2002, UU No. 46 Tahun 2009, maupun PP
No.
71
Tahun
2000,
membuka
ruang
bagi
partisipasi
masyarakat
dalam
pemberantasan KKN. Untuk menjamin peran serta tersebut, maka keterbukaan
informasi menjadi syarat mutlak, karena keterbukaan tersebut adalah pintu masuk
bagi peran serta. Di samping itu, perlindungan hukum juga diatur sebagai bentuk
jaminan hukum bagi masyarakat yang berperan serta dalam pemberantasan KKN.
Siapa saja yang dimaksud dengan penyelenggara negara menurut undangundang tersebut yaitu: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2)
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;18
(3) Menteri; (4) Gubernur; (5)
Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (seperti Duta Besar Luar biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil
Gubernur, dan Bupati/Walikota); (7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (seperti pejabat structural pada BUMN/BUMD,
Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Perguruan Tingggi negeri, Pejabat Eseleon I,
Jaksa, Penyidik,penitera Pengadilan, dan Pemimpin dan Bendaharawan proyek).
Penyebutan siapa yang dimaksud pejabat negara dalam UU No. 28 tahun 1999
tersebut, termasuk di dalamnya adalah pejabat administrasi yang melaksanakan
tugas pemerintahan di tingkat proyek.
Dalam konteks Hukum Administrasi, badan-badan publik seperti negara,
provinsi, kabupaten/kota dalam menjalankan kewenangan publiknya, menggunakan
berbagai instrumen pemerintahan (sarana tata usaha negara) yang antara lain adalah
barang-barang/benda-benda.19 Barang-barang ini menurut Undang-Undang Nomor 1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebut dengan barang
milik
negara/daerah, yaitu semua barang yang diperoleh atau dibeli atas beban
APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.20 Barang-barang tersebut
18
Setelah diamandemennya UUD 1945, pembedaan antara lembaga tinggi negara dan lembaga negara tidak
ada lagi. Yang ada adalah lembaga negara.
19
Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2002, hlm. 180.
20
Yang dimaksud dengan perolehan lainnya yang sah menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004
meliputi: (a) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; (b) barang yang diperoleh sebagai
berada di
bawah penguasaan pengelola barang milik negara/daerah yaitu
Menteri/Gubernur/Bupati/walikota. Pengelolaan barang milik negara/daerah menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum,
transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. (Pasal 3
ayat (1) PP No. 6 tahun 2006).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2006, pengelolaan barang
milik negara/daerah meliputi kegiatan: (a) perencanaan; (b) pengadaan; (c)
penggunaan; (d) pemanfaatan; (e) pengamanan dan pemeliharaan; (f) penilaian; (g)
penghapusan; (h) pemindahtanganan; (i) penatausahaan; dan (j) pembinaan,
pengawasan dan pengendalian. Dari kesekian aktivitas yang termasuk dalam ruang
lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah, aktivitas pengadaan merupakan
aktivitas yang mempunyai posisi penting. Hal ini karena, aktivitas pengadaan ini
merupakan simpul yang menghubungkan antara perencanaan kebutuhan akan
barang milik negara/daerah dengan kepemilikan serta penggunaan barang tersebut
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan.
Dikaitkan
dengan
komitmen
untuk
mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, pengadaan barang ini memerlukan
pengawasan yang serius mengingat di kegiatan ini rawan akan terjadinya KKN.
Sehubungan dengan itu, maka menurut Pasal 11 PP No. 6 Tahun 2006, pengadaan
barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif,
transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Berangkat dari maksud untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa
yang bebas KKN berdasarkan 6 (enam) prinsip di atas, maka kemudian ditetapkanlah
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. peraturan pemerintah ini menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu
Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2003 dengan tujuh kali perubahannya. Menurut
Perpres No. 54 Tahun 2010, pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan
untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai
diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. (Pasal 1 butir 1).
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; (c) barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau (d)
barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengaturan pengadaan barang/jasa dalam perpres ini diperuntukkan bagi
pengadaan: (a) Barang; (b) Pekerjaan Konstruksi; (c) Jasa Konsultansi; dan (d) Jasa
Lainnya. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa menurut Pasal 3, dilakukan melalui:
(a) swakelola; dan/atau (b) pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Swakelola merupakan
kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan
dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/
Institusi lainnya sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain
dan/atau kelompok masyarakat. Swakelola sebagai salah satu prosedur pengadaan
barang/jasa,
pelaksanaannya
meliputi
kegiatan
perencanaan,
pelaksanaan,
pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Menurut
Pasal
26
ayat
(4),
pengadaan
melalui
swakelola
dapat
dilakukan
oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya sebagai
penanggung jawab anggaran, Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola,
dan/atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola.
Sementara itu, pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa, pada
dasarnya
meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan pemilihan, penetapan dan
pengumuman
pemenang,
penandatangan
kontrak,
pelaksanaan
kontrak,
pengawasan, penyerahan pekerjaan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan.
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa dijalankan oleh
organisasi pengadaan barang/jasa dan penyedia barang dan jasa. Organisasi
Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui penyedia barang/jasa, menurut
Pasal 7, terdiri atas:
a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. Pejabat Pembuat Komitmen;
c. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan; dan
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
Untuk menjamin prinsip keterbukaan, sejalan dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka setiap tahapan
dalam proses pengadaan barang dan jasa harus diumumkan dan dokumen-dokumen
yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa juga harus disediakan dan bersifat
terbuka untuk umum. Karena itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) undang-undang
tersebut mewajibkan badan publik untuk menyediakan, memberikan dan/atau
menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada
Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan
ketentuan. Namun demikian, perlu diperhatikan juga ada beberapa kategori informasi
yang dikecualikan dari kewajiban untuk dibuka kepada publik sebagaimana diatur
dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tersebut.
Untuk menghindari terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa,
maka menurut Pasal 6, para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa wajib
mematuhi etika sebagai berikut:
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk
mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan
barang/jasa;
b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen
pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk
mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa;
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang
berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak
yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pengadaan barang/jasa;
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan
negara dalam pengadaan barang/jasa;
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi
dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau
menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada
siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan
barang/jasa.
Untuk menjamin dipatuhinya etika di atas, maka para pihak yang terkait
dengan pengadaan barang dan jasa, harus menandatangi pakta integritas. Pakta
integritas menurut Pasal 1 butir 13 adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk
mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan
Barang/Jasa. Apabila dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ditemukan
adanya indikasi penyimpangan prosedur, KKN, dan persaingan yang sehat, menurut
Pasal 117 Perpres No. 54 Tahun 2010, masyarakat berhak mengajukan pengaduan
atas proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada Aparat Pengawas Intern
Pemerintah yang bersangkutan dan/atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah, disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi
pengaduan. Pengaduan tersebut, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008
tentang
Ombudsman
Republik
Indonesia,
juga
dapat
disampaikan
kepada
Ombudsman Republik Indonesia apabila terdapat maladministrasi dalam proses
pengadaan barang dan jasa. Apabila dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka menurut Pasal 36 undang-undang
tersebut, penyelenggara, dalam hal ini pengguna barang/jasa, berkewajiban
menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam
pengelolaan pengaduan.
Apabila dari hasil pengelolaan pengaduan tersebut, dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa ditemukan adanya penyimpangan prosedur, KKN, dan
persaingan yang sehat, maka para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa
yang melakukan pelanggaran dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sanksi tersebut meliputi baik sanksi perdata, pidana,
maupun
administrasi.
Apabila
pelanggaran
tersebut
dilakukan
oleh
pejabat
administrasi yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, maka sanksi
administrasi yang dijatuhnya sejalan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
3. Landasan Sosiologis
Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social
engineering) sebagaimana dikonsepkan oleh Roscoe Pound, meniscayakan hukum
tertulis (peraturan perundang-undangan) pada posisi yang sangat penting dalam
mengatur tata kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bagaimana negara atau
pemerintah menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Menurut Stiglitz, setidaknya
ada empat fungsi yang dilaksanakan oleh pemerintah, yaitu: (1) menyediakan
(memproduksi) barang dan jasa, (2) membuat regulasi , (3) melakukan redistribusi
pendapatan (sumber daya ekonomi), serta (4) menggunakan (konsumen) barang dan
jasa.21 Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah menggunakan
instrumen birokrasi dan unit usaha pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi
pemerintah dan unit usaha milik pemerintah (BUMN) yang selama ini berjalan adalah
dalam rangka melaksanakan keempat fungsi pemerintah tersebut.
Menurut Morgan, organisasi birokrasi dapat dimetaforakan sebagai
organisme hidup yang kehidupannya sangat tergantung dari lingkungan di sekitarnya.
Ketika masyarakat sebagai lingkungan eksternal birokrasi mengalami perubahan
maka brikorasi pemerintah juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut.
Ketika masyarakat tengah bergerak ke arah modern di bawah pengaruh nilai-nilai
global yang menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, persamaan, keadilan,
dan transparansi, maka dinamika ini membutuhkan perubahan sosok dan fungsi
birokrasi pemerintah yang diidealkan mampu memenuhi harapan atau preferensi
masyarakat tersebut.22
Perubahan-perubahan tersebut harus direspon oleh birokrasi melalui
reformasi birokrasi agar tidak ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Sejalan
dengan perubahan masyarakat tersebut, maka reformasi birokrasi harus ditujukan
untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap
masyarakat secara maksimal serta pengelolaan keuangan negara secara transparan
dan akuntabel. Tujuan reformasi birokrasi adalah: (a) meningkatkan kualitas
pelayanan kepada masyarakat yang dilaksanakan dengan meningkatkan efisiensi jalur
birokrasi; (b) menekan peluang-peluang terjadinya praktek penyalahgunaan birokrasi
untuk kepentingan pihak tertentu dalam bentuk korupsi, kolusi, dan sebagainya; (c)
menurunkan beban ekonomi biaya tinggi sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi; dan (d) meningkatkan kualitas dan jangkauan penyediaan layanan
kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan.
Dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai social engineering seperti telah
diuraikan sebelumnya, maka perubahan birokrasi tersebut agar sejalan dengan
tuntutan masyarakat, akan membutuhkan peraturan hukum. Dalam konteks otonomi
21
Komisi Pemberantasan Korupsi, Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2008, Direktorat Penelitian
dan Pengembangan KPK, Jakarta, 2009, hlm. 2
22
Erwan Agus Purwanto, Strategi Penerapan Standar pelayanan untuk Reformasi Birokrasi, dalam
Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di
Indonesia, Editor Erwan Agus Purwanto dan Agus Pramusinto, Gana Media bekerjasama dengan JIAN UGM dan
MAP UGM, Yogyakarta, 2209, hlm. 304.
daerah, peraturan hukum tertulis yang diperlukan tidak sebatas peraturan hukum dari
tingkat pusat, tetapi juga diperlukan peraturan hukum lokal. Peraturan walikota
dalam konteks Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 2006 tentang
Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah adalah salah
satu bentuk peraturan perundang-undangan tingkat lokal. Sebagai hukum tertulis,
maka pembentukannya harus memperhatikan kebutuhan masyarakat (social need),
kondisi masyarakat (social condition), dan modal/kekayaan masyarakat (social
capital), agar substansinya sejalan dengan apa yang menjadi kebutuhan, kondisi, dan
modal yang dimiliki masyarakat. Hal ini akan berdampak pada
penerimaan
masyarakat, peraturan walikota yang ditetapkan tersebut mampu mengarahkan
perilaku setiap stakeholder yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dalam konteks keilmuan hukum, persoalan penerimaan masyarakat
terhadap hukum yang ditetapkan akan berkaitan dengan teori keberlakuan kaidah
hukum. Menurut Bruggink23, ada tiga faktor yang menjadi parameter sebuah produk
hukum
dapat berlaku secara baik, yakni mempunyai dasar keberlakuan yuridis,
sosiologis, dan filosofis. Keberlakuan yuridis atau normatif suatu peraturan atau
kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang di
dalam kaidah-kaidah hukum tersebut saling menunjuk yang satu terhadap yang lain.
Sistem kaidah hukum yang demikian terdiri atas suatu keseluruhan hirarkhi kaidah
hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah
hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.24
Dengan demikian berarti bahwa dalam penetapan
peraturan walikota harus
dipastikan agar bentuk dan substansi peraturan tersebut merupakan bagian dari
sistem pengadaan barang dan jasa yang telah ditetapkan dalam Perpres No. 54
Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan
pengadaan barang dan jasa. Karena substansi peraturan walikota tersebut
merupakan derivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi, maka pembentukannya
23
J.J.H. Bruggink, Op. Cit., hlm. 142-152.
Menurut Bagir Manan, keberlakuan yuridis ini diperinci dalam empat syarat, yaitu: (1) keharusan adanya
kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan; (2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau
peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur; (3) keharusan mengikuti tata cara tertentu; dan (4)
keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
24
harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) ruang lingkup kewenangan pemerintah
daerah terkait dengan pengadaan barang dan jasa; (2) bentuk, jenis, dan materi
muatannya haruslah sejalan dengan peraturan yang menjadi dasarnya; (3) prosedur
pembuatannya sejalan dengan peraturan yang menjadi dasarnya; dan (4) substansi
peraturannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan kepentingan umum.25
Sementara itu, keberlakuan empiris /sosiologis berhubungan dengan situasi
ketika para warga masyarakat mematuhi hukum di mana hukum itu diberlakukan.
Dengan demikian, peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa harus mampu mengarahkan setiap stakeholder yang
terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk berperilaku sejalan dengan
substansi peraturan tersebut, yaitu untuk tidak melakukan KKN dan menjalankan
proses pengadaan barang dan jasa secara transparan dan partisipatif. Dalam
kerangka itu, maka perlu diperhatikan beberapa hal: (1) penyusunannya didasarkan
pada kebijakan perencanaan yang telah ditetapkan; (2) diperlukan pemahaman yang
memadai
tentang
teori,
metodologi,
serta
teknik
perancangannya
secara
komprehensif; (3) penyiapan dan pembahasannya harus partisipatif;
Keberlakuan filosofis/evaluatif berkaitan dengan keharusan peraturan
hukum mencerminkan sistem nilai, baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai
maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Dengan
demikian, berarti peraturan walikota terkait dengan penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa harus mencerminkan sistem nilai yang hidup dalam
masyarakat yang bersangkutan.26 Sehubungan dengan itu, maka pembentukan
produk hukum lokal dengan berbasis riset akan dapat lebih menjamin terserapnya
nilai-nilai lokal dalam substansi peraturan yang diitetapkan.
C. Identifikasi Masalah
Dengan memahami permasalahan yang melatarbelakangi perlunya diatur
penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa, maka ada beberapa hal
layak diatur dalam peraturan tersebut, agar arah, ruang lingkup, dan efektivitas
25
Lihat Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain menegaskan bahwa
peraturan daerah disusun dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
26
peraturan tersebut dapat dapat mencapai tujuan utama pengaturan, yaitu mencegah
terjadinya KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa. Berikut ini adalah identifikasi
beberapa permasalahan yang perlu diakomodasi dalam pengaturan, yaitu:
1. Mengapa dalam pengadaan barang dan jasa perlu menerapkan pakta integritas?
Pertanyaan ini merupakan titik berangkat untuk merumuskan tujuan pengaturan
penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa.
2. Komitmen apa saja yang hendak diwujudkan dalam proses pengadaan barang dan
jasa?
Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan tentang berbagai komitmen yang harus
diwujudkan baik oleh pemerintah, penyedia barang dan jasa, serta stakeholder
lainnya dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk menghindari KKN.
3. Atas dasar nilai-nilai apa, penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan
jasa diterapkan?
Pertanyaan ini berkaitan dengan perlu diaturnya asas-asas yang melandasi penerapan
pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Asas-asas inilah yang akan
menjiwai pengaturan dalam batang tubuh peraturan.
4. Bagaimana menerapkan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa?
Pertanyaan ini berkaitan dengan ruang lingkup penerapan pakta integritas dalam
setiap tahapan dari proses pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, diperlukan
pengaturan yang dapat menjelaskan setiap tahapan pengadaan barang dan jasa
secara
runtun, runtut, logis, dan sistematis, mulai dari perencanaan hingga
penyerahan barang dan jasa, dan nilai-nilai pakta integritas apa yang mesti
dijalankan baik oleh pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan barang dan jasa,
penyedia barang dan jasa, maupun masyarakat.
5. Siapa-siapa yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan bagaimana
hubungan di antara berbagai pihak tersebut?
Pertanyaan ini berkaitan dengan perumusan hak dan kewajiban pihak-pihak yang
terkait dengan pengadaan barang dan jasa, baik itu pemerintah, penyedia barang
dan jasa, maupun masyarakat.
6. Apakah penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa dapat dijamin
konsistensinya?
Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan tentang instrument-instrumen kebijakan
pendukung untuk lebih mendorong efektivitas penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa. Instrument-instrumen tersebut meliputi, baik insentif,
disinsentif, pengawasan, dan penegakan hukumnya.
7. Bagaimana masyarakat berperan serta agar penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa dapat mengurangi tingkat KKN?
Pertanyaan ini berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam penerapan pakta
integritas tersebut, yang meliputi pengaturan tentang bentuk-bentuk peran serta dan
mekanisme peran serta.
8. Bagaimana apabila pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tidak mencerminkan
pakta integritas yang seharusnya diterapkan?
Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan mengenai pengaduan masyarakat
apabila dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Pengaturan tersebut
meliputi:
(a)
atas
peristiwa-peristiwa
apa
masyarakat
dapat
mengajukan
pengaduan?; (b) kepada siapa pengaduan ditujukan, atau lembaga apa yang
berwenang menerima dan memproses pengaduan?: (c) apa syarat-syarat sebuah
pengaduan?; (d) bagaimana mekanisme penanganan pengaduan?; dan (e) apa dan
bagaimana konsekuensi hukum pengaduan masyarakat tersebut?
9. Bagaimana implikasi hukum dari terbitnya peraturan walikota tentang penerapan
pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa terhadap peraturan perundangundangan lain di kota semarang, dan terhadap aktivitas pengadaan barang dan jasa
yang tengah berlangsung?
Pertanyaan
ini
berkaitan
dengan
pengaturan
tentang
ketentuan
peralihan.
Pengaturan mengenai hal ini penting untuk diperhatikan agar peraturan walikota ini
tidak menimbulkan persoalan dalam implementasinya.
D. Tujuan dan Kegunaan
1. Tujuan
Disusunnya naskah akademik untuk rancangan peraturan walikota tentang penerapan
pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang ditujukan
untuk:
a. Menggali dasar-dasar teoretik, yuridis, dan sosiologis untuk
memberikan
argumentasi akademik tentang urgensi pembentukan peraturan walikota tentang
penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang,
sehingga dapat menjadi landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan
walikota tersebut;
b. Memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan
walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di
kota Semarang;
c. Menyerap aspirasi masyarakat tentang substansi rancangan peraturan walikota
tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota
Semarang.
2. Kegunaan
Kegunaan naskah akademik untuk rancangan peraturan walikota tentang penerapan
pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang adalah:
a. Sebagai bahan masukan bagi pembuatan rancangan peraturan walikota tentang
Rancangan Peraturan Walikota tentang Penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang;
b. Sebagai
bahan
awal
bagi
pihak-pihak
yang
berkepentingan
agar
dapat
memberikan masukan bagi terbentuknya peraturan walikota tentang penerapan
pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang.
E. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam menyusun Naskah Akademik ini
adalah socio legal research. Melalui
pendekatan ini, pengkajian hukum ditujukan
terhadap dua obyek, yaitu obyek hukum yang berupa peraturan perundang-undangan
dan/atau kebijakan dan obyek realitas sosial yang berupa kebutuhan dan aspirasi
masyarakat akan peraturan walikota terkait dengan penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa.
Obyek hukum diperoleh melalui studi pustaka terhadap:
a. peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa serta pakta
integritas serta peraturan perundang-undangan yang relevan lainnya, baik peraturan
perundang-undangan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah;
b. kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa serta pakta integritas
dalam rangka pencegahan korupsi, kolusi , dan nepotisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan, baik yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah
kota.
Obyek sosial diperoleh melalui:
a. Focus group discussion yang melibatkan berbagai stakeholder, baik yang berasal dari
unsur pemerintahan, dunia usaha, akademisi, LSM, maupun tokoh masyarakat dan
masyarakat pada umumnya. Melalui FGD ini diharapkan ditemukan kecenderungankecenderungan dan pola atas suatu isu secara kolektif yang terkait dengan
pengaturan tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa
yang menggambarkan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
b. Studi pustaka terhadap berbagai hasil penelitian yang relevan yang telah dilakukan
sebelumnya. Dokumen penelitian yang telah dilakukan oleh PATTIRO yang berkaitan
dengan ……. akan menjadi bahan awal. Di samping itu diperlukan juga dokumendokumen hasil penelitian yang lain yang terkait dengan ……….. yang berasal dari
berbagai sumber.
Pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan dilakukan
melalui statute approach terhadap peraturan-peraturan hukum positif dan dokumendokumen hukum yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa dan pakta integritas
baik terhadap peraturan perundang-undangan tingkat pusat maupun tingkat daerah.
Sementara itu, pengkajian terhadap kebutuhan masyarakat akan peraturan terkait
dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan
terhadap pandangan, persepsi, keinginan, dan harapan masyarakat yang terekam dari
hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil FGD yang telah dilakukan, dilakukan melalui analisis
sosial.
BAB II
ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN
Dalam konteks struktur normatif sebuah norma hukum, asas mempunyai
kedudukan di atas norma, atau meta norma. Dengan demikian, maka nilai-nilai yang
terkandung dalam asas-asas tersebut sudah seharusnya menjadi penuntun dalam penetapan
norma. Dengan kata lain, penetapan norma wajib merujuk pada asas-asas yang telah
diterapkan. Sehubungan dengan itu, maka ruang lingkup, substansi, dan arah peraturan
perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari asas-asas yang melandasinya. Asas-asas
tersebut dapat ditelusur dari dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang telah menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan, dan dapat juga ditelusur berbagai
teori, gagasan, konsep keilmuan yang terkait dengan materi peraturan.
Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, maka penyusunan rancangan
peraturan walikota tentang Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa,
harus juga didasarkan atas beberapa asas yang relevan. Relevansi asas-asas yang hendak
diletakkan sebagai dasar tersebut tentunya berkaitan dengan substansi pengaturan yang
berhubungan dengan aktivitas penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan
jasa. Jadi persoalannya adalah, dalam konteks pengadaan barang dan jasa, prinsip-prinsip
dasar apa yang harus diperhatikan dan dijadikan landasan agar penerapan pakta integritas
dapat menghindarkan terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa.
Menurut van Wijk dan Willem Konijnenbelt, setiap tindakan dan atau keputusan
pemerintah, haruslah didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu prinsip negara hukum
(rechtsstaat), prinsip demokrasi, dan prinsip instrumental.27 Prinsip negara hukum
(rechtsstaat) berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat dari kekuasaan
pemerintahan. Sementara itu, prinsip-prinsip umum negara hukum yang langsung berkaitan
dengan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap kekuasaan pemerintahan adalah
apa yang oleh van Wijk dan Willem Konijnenbelt dikatakan termasuk dalam “de belangrijkste
elementen van rechtsstaatideaal”, yakni:28
a. asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan (wetmatigheid van bestuur);
b. perlindungan hak-hak dasar (grondrechten);
c. pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan (machtsverdeling);
27
Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum, Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 2.
Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press,
Surabaya, 1997, hlm. 41.
28
d. pengawasan oleh pengadilan.
Agar pelaksanaan kewenangan pemerintahan merupakan tindakan yang sah secara hukum,
maka pelaksanaan kewenangan pemerintahan tersebut harus mencerminkan asas legalitas
(wetmatigheid van bestuur), yang di dalamnya mengandung tiga makna, yaitu: (1)
dinyatakan secara tegas adanya suatu wewenang (uitdrukkelijke bevoegdheid); (2) adanya
persamaan dalam pengurusan pemerintahan (geleijkheid van behandeling); dan adanya
kepastian hukum (rechtszekerheid).29 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepastian
hukum dapat dijamin ketika pemerintah bertindak berdasarkan kewenangan yang jelas, dan
dalam tindakannya itu dijamin adanya asas persamaan. Karena itu, kepastian hukum adalah
syarat mutlak agar setiap tindakan pemerintahan sah secara hukum. Dari uraian tersebut
dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum merupakan asas mendasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Dalam perspektif konsep negara kesejahteraan (welfare state) setiap aktivitas
negara/pemerintah pada dasarnya dimaksudkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya.
Menurut N.M. Splet dan Ten Berge, aktivitas pemerintahan dalam kerangka tersebut, dapat
dibedakan ke dalam dua macam tugas, yaitu tugas-tugas mengatur dan tugas-tugas
mengurus (ordenede en verzorgende taken).30 Dalam kerangka pelaksanaan tugas-tugas
tersebut, pemerintah menetapkan berbagai instrument kebijakan. Melalui pelaksanaan tugas
tersebut dan penerapan instrumen kebijakan itu, diharapkan tujuan kesejahteraan rakyat
dapat tercapai. Di sini mengandung arti bahwa pemerintah, melalui berbagai aktivitas dan
kebijakan tersebut, pemerintah tengah memberikan janji-janji kepada rakyatnya bahwa
kesejahteraannya akan dapat tercapai melalui tindakan tersebut, dan kepada rakyatnya,
pemerintah mengharapkan adanya kepercayaan akan janji-janji pemerintah tersebut. di
sinilah pentingnya asas kepercayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Menurut Philipus M. hadjon, asas kepercayaan juga termasuk asas yang
mendasar dalam hukum publik. Dalam hukum administrasi, asas ini mengandung arti bahwa
harapan-harapan yang telah ditimbulkan sedapat mungkin dipenuhi.31 Dengan demikian,
janji-janji yang telah disampaikan oleh pemerintah kepada rakyatnya, haruslah dipenuhi.
Asas ini terutama penting sebagai dasar bagi arti yuridis dari janji-janji, keterangan-
29
Ibid.
N.M. Spelt dan Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 1.
31
Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2002, hlm. 272.
30
keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan bentuk-bentuk rencana.32 Bila suatu badan
pemerintah atau seorang pejabat yang berwenang bertindak atas nama pemerintah itu
memberikan janji kepada warga masyarakat, maka asas kepercayaan menuntut supaya
badan pemerintah atau pejabat pemerintah tersebut dalam pelaksanaan kewenangannya itu,
terikat pada janjinya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa, ketika badan atau pejabat
pemerintah berjanji hendak menerapkan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa,
maka janji-janji tersebut juga harus direalisasikan. Jadi, bukan sekedar janji yang berada di
atas kertas, baik itu peraturan maupun keputusan, tetapi betul-betul dapat dilihat dalam
prakteknya bahwa dalam setiap tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, prinsipprinsip yang terkandung dalam pakta integritas betul-betul diejawantahkan, sehingga
tindakan KKN dapat dihindarkan.
Di samping prinsip negara hukum, penyelenggaraan pemerintahan juga
didasarkan pada prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi terutama berkaitan dengan prosedur
dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik berupa pengambilan keputusan
maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Dalam kaitan inilah hubungan antara pihak
pemerintah dengan masyarakat pada masing bidang urusan pemerintahan ditandai oleh dua
saluran kegiatan, yaitu: pihak pemerintah yang mempengaruhi masyarakat, dan masyarakat
mempengaruhi pemerintah. Menurut van Wijk dan Willem Konijnenbelt, prinsip demokrasi
yang melandasi hukum administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, di dalamnya
mengandung beberapa asas, yaitu:33
a.
kedudukan badan perwakilan rakyat (positie vertegen woordigende lichamen);
b.
asas tidak ada jabatan seumur hidup (afzetbaarheid van bestuurders);
c.
asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan (wet openbaarheid van bestuur);
d.
peran serta (inspraak);
e.
sedapat mungkin dihormatinya kepentingan-kepentingan orang lain (andere belangen
zoveel mogelijk onzien).
Dari kelima asas tersebut, karena prinsip demokrasi brkaitan dengan prosedur
dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka ada dua asas yang mempunyai
posisi penting dari kelima asas di atas, yaitu asas keterbukaan dan peran serta atau
partisipasi. Asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk secara aktif memberikan
32
33
Ibid.
Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm. 42.
informasi kepada masyarakat tentang suatu permohonan atas suatu rencana tindak
pemerintahan dan mewajibkan pula untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat atas
berbagai hal yang diminta. Asas keterbukaan mewajibkan pula kepada pemerintah untuk
mengumumkan setiap keputusan atau tindakan pemerintahan.34 Dalam suatu negara yang
demokratis, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, berlaku ketentuan bahwa wewenang
pihak pemerintah dalam beberapa bentuk selalu terbatas. Wewenang tersebut dilaksanakan
oleh badan-badan yang dibentuk secara demokratis, dan dalam penyelenggaraan
pemerintahan, kalangan masyarakat dapat menyalurkan pengaruhnya melalui peran serta,
atas penanganan wewenang yang dilakukan oleh institusi atau pejabat pemerintahan.
Dikaitkan dengan asas keterbukaan tadi, maka dengan adanya keterbukaan tersebut akan
memungkinkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peran serta
masyarakat ini, di satu sisi akan dapat meningkatkan kualitas setiap tindakan atau keputusan
yang hendak dan dan tengah diambil oleh pemerintah, dan pada sisi yang yang lain, melalui
peran serta ini masyarakat dapat secara efektif melakukan pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemerintahan agar selalu sejalan dengan norma-norma hukum yang telah
ditetapkan.
Dengan demikian, asas keterbukaan dan peran serta, adalah dua asas yang akan
memberikan
landasan
yuridis
bagi
terlibatnya
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan, termasuk dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Melalui dua asas
ini, masyarakat menjadi berhak atas informasi dan berhak pula untuk memberikan masukan
dalam soal-soal yang berkaitan dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang
dan jasa.
Dalam
negara
demokrasi,
rakyatlah
yang
menjadi
penentu
dalam
penyelenggaraan negara, karena rakyatlah yang berdaulat. Negara hanyalah institusi public
bentukan rakyat yang diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan demi kesejahteraan
rakyat. Karena itu, setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan
haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam
kaitan ini, maka akuntabilitas adalah sesuatu yang mendasar dalam pelaksanaan
pemerintahan apabila dikaitkan dengan kewajiban pemegang mandat terhadap pemegang
kedaulatan. Deklarasi Tokyo mengartikan akuntabilitas sebagai kewajiban-kewajiban dari
34
Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,
1994, hlm. 6.
individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya
publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut
pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Ini berarti bahwa akuntabilitas
berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standar pelaksanaan kegiatan,
apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan
apabila
dirasa
sudah
tepat,
manajemen
memiliki
tanggung
jawab
untuk
mengimlementasikan standar-standar tersebut.35 Akuntabilitas juga merupakan instrumen
untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam
hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana
pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian
(control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling
menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien
dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga
sebaliknya.
Uraian di atas secara jelas menggambarkan bahwa asas akuntabilitas merupakan
asas yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama berkaitan dengan
keharusan adanya pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan terhadap setiap
kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi. Dikaitkan dengan penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa, maka asas ini mengandung arti bahwa penerapan pakta
integritas dalam pengadaan barang dan jasa haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat, baik dalam prosesnya maupun dalam hasil akhirnya.
Setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh institusi pemerintah atau
pejabat administrasi negara, akan sangat mungkin menimbulkan kerugiankerugian tertentu
pada warga masyarakat. Kerugian-kerugian tersebut dapat terjadi baik dalam bentuk tidak
diperolehnya hak-hak maupun terlanggarnya hak-hak, serta kurang maksimalnya hak-hak
tersebut dipenuhi oleh pemerintah. Karena itu, sejalan dengan prinsip negara hukum, maka
perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang dirugikan oleh tindakan pemerintah dalam
berbagai bentuk tadi, haruslah mendapatkan perlindungan hukum. Di sinilah asas
perlindungan
35
hukum
menjadi
penting
untuk
melandasi
aktivitas
penyelenggaraan
Teguh Arifiyadi, Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia, Inspektorat Jenderal
Depkominfo, Jakarta, 2008, hlm. 2
pemerintahan, termasuk di dalamnya aktivitas pengadaan barang dan jasa, agar hak-hak
warga masyarakat dapat dijamin perlindungannya dari kesewenang-wenangan pemerintah.
Dari uraian yang telah dipaparkan dalam bab ini, maka dapat disimpulkan bahwa
ada beberapa asas yang layak melandasi penerapan pakta integritas dalam pengadaan
barang dan jasa. Asas-asas tersebut meliputi:
a. asas kepastian hukum;
b. asas kepercayaan;
c. asas transparansi;
d. asas partisipasi;
e. asas akuntabilitas; dan
f. asas perlindungan hukum.
BAB III
MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM
POSITIF
Bab ini berisi materi muatan yang disarankan untuk diatur dalam Peraturan Walikota tentang
Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa dan kajian/analisis keterkaitan
materi peraturan walikota tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan, sehingga peraturan walikota tersebut tidak tumpang tindih dengan peraturan
perundang-undangan lain. Kajian mengenai hal tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks
berikut:
No.
Bagian dan Rumusan Normanya
Judul:
Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Keterangan (Keterkaitan dengan
Peraturan Perundang-undangan
lain)
Formulasi judul ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa sebetulnya di
lingkungan Pemkot Semarang telah
ada dokumen tentang pedoman umum
penerapan pakta integritas pengadaan
dalam barang dan jasa yang telah
ditandantangani oleh Wakil Walikota
sebagai representasi Pemkot
Semarang, bersama-sama dengan
stakeholder lainnya yaitu wakil
pengusaha, tokoh masyarakat,
Transparansi Indonesia dan Pattiro
Semarang pada tanggal 18 Juni 2008.
Namun demikian, dokumen tersebut
bukan berbentuk peraturan
perundang-undangan dalam
pengertian UU No. 10 Tahun 2004.
Di samping itu, saat ini telah
ditetapkan Perpres No. 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah sebagai pengganti Keppres
No. 80 Tahun 2003 dengan berbagai
perubahannya.
Judul raperwal disejajarkan dengan
judul dokumen di atas, karena yang
dimaksudkan adalah untuk mengatur
bagaimana komitmen-komitmen yang
termuat dalam dokumen pakta
integritas di atas harus diwujudkan
dalam aktivitas pengadaan barang dan
jasa yang kini pengaturannya telah
berubah berdasarkan Perpres No. 54
Tahun 2010. Jadi, Penentuan judul
raperwal hanya berusaha mengambil
alih judul dokumen yang telah
ditandatangani itu, untuk kemudian
diberi bentuk peraturan perundangundangan dan substansinya
disesuaikan dengan ketentuan dalam
Perpres No. 54 Tahun 2010, sehingga
mempunyai kekuatan hukum mengikat
untuk dilaksanakan.
Prinsip dasar pengaturan:
Sistematika/Kerangka Peraturan Walikota:
Judul
Konsiderans (menimbang)
Dasar Hukum (Mengingat)
Bab I
: Ketentuan Umum
Bab II
: Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Bab III : Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa
Bab IV
: Mekanisme Pengawasan
Bab V
: Peran Serta Masyarakat
Bab VI
: Pengelolaan Pengaduan
Bab VII : Ketentuan Peralihan
Bab X
: Ketentuan Penutup
Konsiderans (Menimbang):
a. bahwa pakta integritas merupakan salah satu sarana bagi Pemerintah,
Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi,
kolusi dan nepotisme demi peningkatan kualitas pelayanan publik;
b. bahwa aktivitas pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan
salah satu aktivitas yang di dalamnya rawan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, sehingga memerlukan penerapan pakta integritas dalam
pelaksanaannya;
c. bahwa sampai saat ini di lingkungan Pemerintah Kota Semarang belum
ada regulasi yang mengatur tentang penerapan pakta integritas dalam
pengadaan barang dan jasa.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, dan c di atas, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang
Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa.
Dasar Hukum (Mengingat):
1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Himpunan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor
55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041)
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3890);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3854) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara republic
Indonesia Nomor 3817);
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4389);
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4558);
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4846);
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899);
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5038);
16. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866);
17. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan
Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3956);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4578);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4855);
21. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi
dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
22. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4741);
23. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
24. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
25. Perda tentang SOTK Perangkat Daerah Kota Semarang???????
Bab I: Ketentuan Umum
Dalam Peraturan Walikota ini, yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Kota Semarang.
2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai
unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
3. Walikota adalah Walikota Semarang.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang.
5. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan
kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh
Barang/Jasa.
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah
instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan
penggunaan Barang dan/atau Jasa milik Daerah di masing-masing
SKPD.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang
selanjutnya disebut LKPP adalah lembaga Pemerintah yang bertugas
mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun
2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat
pemegang kewenangan penggunaan anggaran SKPD.
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah
pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau
ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD.
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa.
Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit
organisasi pemerintah daerah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan
Barang/Jasa di SKPD yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau
melekat pada unit yang sudah ada.
Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian
Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang
ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan.
Aparat Pengawas Intern Pemerintah daerah atau pengawas intern pada
institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang
melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan
kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi
organisasi.
Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan
yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa
Lainnya.
Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk
mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam
Pengadaan Barang/Jasa.
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,
bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang.
Dokumen Pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh
ULP/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang
harus ditaati oleh para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa.
Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak
adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau
pelaksana Swakelola.
21.
Bab II: Asas dan Tujuan
1. Asas:
a. asas
b. asas
c. asas
d. asas
e. asas
f. asas
kepastian hukum;
kepercayaan;
transparansi;
partisipasi;
akuntabilitas;
perlindungan hukum.
a. Yang dimaksud dengan “asas
kapastian hukum” adalah asas
dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan,
dan keadilan dalam setiap tindakan
dan keputusan pejabat administrasi
negara.
b. Yang dimaksud dengan “asas
kepercayaan” adalah asas yang
menuntut agar badan atau pejabat
administrasi negara dalam
pelaksanaan kewenangannya,
terikat pada janjinya.
c. Yang dimaksud dengan “asas
transparansi” adalah asas yang
membuka diri terhadaphak
masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan
tidak diskriminatif tentang
pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas
hak pribadi, golongan, dan rahasia
negara.
d. Yang dimaksud dengan “asas
partisipasi” adalah asas yang
membuka ruang bagi setiap
anggota masyarakat untuk
berperan aktif dalam pengambilan
keputusan dan pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa, baik
secara langsung maupun tidak
langsung.
e. Yang dimaksud dengan “asas
akuntabilitas” adalah asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan
dan hasil akhir pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa harus
dapat dipertanggungjawabkan
kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
f. Yang dimaksud dengan “asas
perlindungan hukum” adalah asas
yang menjamin terlindunginya
secara hukum para pihak yang
terlibat dalam pengadaan barang
dan jasa serta masyarakat dalam
setiap aktivitasnya dalam rangka
menghindarkan praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme dalam
pengadaan barang dan jasa.
2. Tujuan:
a. mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan
negara yang bersih dari KKN;
b. mewujudkan pelayanan publik yang prima dan menjamin
aksesibilitas bagi perempuan, anak dan kelompok marginal yang
lain;
c. meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat;
d. mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien,
efektif, transparan, bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel;
e. mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam
pengadaan barang dan jasa;
f. meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan
tanggung jawab pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat
pengadaan, dan penyedia barang dan jasa;
g. menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna barang
dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa.
Bab III
: PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN
JASA
A. Umum
1. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa wajib didasarkan pada  Pencantuman komitmen pada huruf akomitmen sebagai berikut:
h diambil dari Pasal 6 Perpres No. 54
a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab
Tahun 2010. Sedangkan komitmen
untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya
pada huruf i-m diambil dari dokumen
tujuan pengadaan barang/jasa;
Pedoman Umum Penerapan Pakta
b. bekerja secara profesional dan mandiri,;
Integritas Pengadaan Barang dan Jasa
c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung
di Lingkungan Pemerintah Kota
yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat;
Semarang yang telah ditandatangani
d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang
oleh Wakil Walikota, Wakil Pengusaha,
ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak;
Transparansi Internasional, dan
e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan
PATTIRO, dengan penyempurnaan.
para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak
 Penyempurnaan dilakukan untuk
langsung dalam proses pengadaan barang/jasa;
menjadikan komitmen tersebut dalam
f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan
satu kategori yang jelas, yaitu kategori
kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa;
sikap yang dituntut dari para pihak
g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau yang terkait dengan pengadaan
kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau
barang dan jasa, dalam kondisi
pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
kekinian.
negara; dan
h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk
memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan
berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau
patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
i. menjamin keterbukaan informasi proses dan dokumen pengadaan
barang dan jasa dengan tetap menjaga kerahasiaan dokumen
pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus
dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
j. membuka ruang bagi partisipasi masyarakat;
k. mendayagunakan mekanisme pengelolaan pengaduan untuk
menyelesaikan setiap laporan tentang adanya indikasi
pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa;
l. mengakui eksistensi dan fungsi lembaga pemantau independen;
m. menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang dalam
aktivitasnya yang bertujuan mencegah terjadinya korupsi, kolusi
dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa.
2. Komitmen sebagaimana dimaksud pada butir 1, wajib dimiliki dan
dilaksanakan oleh:
a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
b. Pejabat Pembuat Komitmen;
c. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan;
d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
e. Penyedia barang/jasa; dan
f. Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan
jasa.
3. Untuk melaksanakan komitmen sebagaimana dimaksud pada butir 1,
para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa
sebagaimana dimaksud pada butir 2, wajib menandatangani Pakta
Integritas.
B. Dokumen Pakta Integritas
4. Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 3 sekurangkurangnya memuat:
a. Uraian mengenai nama dan periode waktu proyek;
b. Nama dan jabatan dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang
bersangkutan;
c. Pernyataan/komitmen akan melakukan dan/atau tidak akan
melakukan sesuatu terkait dengan kewajiban dan/atau larangan
dalam pengadaan barang dan jasa;
d. Isi komitmen (komitmen umum dan komitmen khusus?);
e. Pernyataan kesediaan menerima konsekuensi hukum apabila
melanggar komitmen;
f. Tempat dan waktu penandatanganan;
g. Nama dan jabatan saksi yang ikut menandatangani Pakta
Integritas;
h. Tanda tangan.
C. Penandatangan Pakta Integritas
5. Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4 ditandangani
oleh oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa
pada setiap proyek pengadaan barang dan jasa yang diadakan.
Penyebutan para pihak pada huruf a-e
disesuaikan dengan Pasal 7, Pasal 19,
dan Pasal 26 Perpres No. 54 Tahun
2010.
Pakta: permufakatan, persetujuan,
kesepakatan, kontrak, koalisi)
Integritas: perangai ahlak,
kebulatan, kepaduan, kejujuran)
6. Penandatangan Pakta Integritas oleh para pihak yang terlibat dalam
pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 5
dilakukan dengan cara membubuhkan tanda tangan yang
bersangkutan di atas formulir yang telah disediakan dengan diberi
materai yang cukup menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
7. Penandatangan Pakta Integritas oleh PA/KPA:
- PA/KPA wajib menandatangani Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PA/KPA berisi komitmenkomitmen sebagai berikut:
………?????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA dilakukan pada
saat ….???? dengan disaksikan oleh …..?????
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh PA/KPA
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
8. Penandatangan Pakta Integritas oleh Pejabat Pembuat Komitmen
- PPK wajib menandatangani Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK berisi komitmenkomitmen sebagai berikut:
………????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh PPK dilakukan pada saat
….??? dengan disaksikan oleh …..????
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh PPK
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
9. Penandatangan Pakta Integritas oleh Unit Layanan Pengaduan/Pejabat
Pengadaan.
- Pejabat di lingkungan ULP wajib menandatangani Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Pejabat di lingkungan ULP
berisi komitmen-komitmen sebagai berikut:
………????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh Pejabat di lingkungan ULP
dilakukan pada saat ….??? dengan disaksikan oleh …..???
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Pejabat di
lingkungan ULP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
10. Penandatangan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan
- Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib menandatangani
Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Panitia/Pejabat Penerima
Hasil Pekerjaan berisi komitmen-komitmen sebagai berikut:
………????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima
Hasil Pekerjaan dilakukan pada saat ….??? Dengan disaksikan oleh
…..???
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh
Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IV sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
11. Penandatangan Pakta Integritas oleh Penyedia barang/jasa
- Penyedia barang/jasa wajib menandatangani Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Penyedia barang/jasa
berisi komitmen-komitmen sebagai berikut:
………????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh Penyedia barang/jasa
dilakukan pada saat ….??? Dengan disaksikan oleh …..????
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Penyedia
barang/jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
12. Penandatangan Pakta Integritas oleh Kelompok masyarakat yang
melaksanakan pengadaan barang dan jasa.
- Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan
jasa wajib menandatangani Pakta integritas;
- Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Kelompok masyarakat yang
melaksanakan pengadaan barang dan jasa berisi komitmenkomitmen sebagai berikut:
………????
- Penandatanganan Pakta Integritas oleh Kelompok masyarakat yang
melaksanakan pengadaan barang dan jasa dilakukan pada saat
….??? Dengan disaksikan oleh …..????
- Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Kelompok
masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini.
Bab IV PERAN SERTA MASYARAKAT
13. Pakta Integritas yang telah ditandatangani oleh para pihak yang
terlibat dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud
pada butir 4, merupakan dokumen yang bersifat terbuka dan dapat
diakses oleh masyarakat.
Disesuaikan dengan ketentuan dalam
Pasal 2 dan Pasal 11 UU No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik.
14. Para pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa
sebagaimana dimaksud pada butir 2, wajib menyediakan dokumen
Pakta Integritas sebagai informasi yang dapat diakses oleh
masyarakat.
Disesuaikan dengan ketentuan dalam
Pasal 7 UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
15. Masyarakat berhak mengetahui dokumen Pakta Integritas
sebagaimana dimaksud pada butir 4 dan dapat mengaksesnya sesuai
dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Disesuaikan dengan ketentuan dalam
Pasal 22 UU No. 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
16. Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap substansi dokumen
Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4.
Saran masyarakat tersebut berupa
masukan terhadap isi komitmen yang
tercantum dalam pakta integritas, baik
penambahan, pengurangan, maupun
perbaikan redaksi Pakta Integritas.
BAB V PENGELOLAAN PENGADUAN
A. Pengaduan
17. Pejabat di lingkungan organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia
Barang/Jasa atau masyarakat dapat mengajukan pengaduan apabila
menemukan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta
Integritas.
Para pihak yang terkait dengan
pengadaan barang dan jasa meliputi
organisasi pengadaan barang/jasa,
Penyedia Barang/Jasa dan
masyarakat. Mereka masing-masing
dapat melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan maupun pakta
integritas. Karena itu, siapa saja, baik
itu pejabat/instansi pemerintah, badan
hukum swasta, maupun perorangan
anggota masyarakat dapat
mengadukan adanya pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak lain.
18. Pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan
barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas sebagaimana dimaksud
pada butir 17, dapat berupa:
a. Pelanggaran terhadap ketentuan administratif;
b. Pelanggaran terhadap kontrak;dan/atau
c. Pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan yang
sehat.
Dirumuskan dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 117 Perpres No. 54
Tahun 2010. Baik pelanggaran
terhadap peraturan perundangundangan maupun pelanggaran
terhadap Pakta Integritas, apapun
bentuk pelanggarannya, tetapsaja
dapat dikategorikan ke dalam tiga
kategori tersebut.
Pelanggaran terhadap ketentuan
administratif misalnya kesalahan
prosedur pengadaan barang dan jasa,
kekurangan persyaratan dokumen
atau, kekeliruan pertimbangan, dan
sebagainya.
Pelanggaran terhadap kontrak
misalnya keterlambatan penyelesaian
proyek, pemindahtanganan
pelaksanaan proyek, pengurangan
kualitas dan/atau kuantitas barang
dan jasa.
Pelanggaran yang terdapat unsur KKN
dan/atau persaingan yang sehat
merupakan pelanggaran yang
mengandung unsur-unsur tindak
pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme
sebagaimana diatur dalam UU No. 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2001, dan UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
19. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 diajukan kepada P5.
Menurut Pasal 117 ayat (2) Perpres
No. 54 tahun 2010, pengaduan terkait
adanya penyimpangan prosedur, KKN,
dan/atau pelanggaran persiangan
yang sehat diajukan kepada APIP dan
atau LKPP. Pemberian kewenangan
kepada P5 dalam peraturan Walikota
ini dimaksudkan untuk
memberdayakan P5 sebagai institusi
yang telah lama terbentuk di Kota
semarang. Agar tidak bertentangan
dengan Perpres No. 54 Tahun 2010,
maka pemberian kewenangan kepada
P5 dalam menangani pengaduan
masyarakat, diformat sebagai berikut:
- P5 digunakan sebagai pintu
masuknya setiap pengaduan;
- P5 diberi mendistribusikan
penanganan pengaduan yang
berkualifikasi ada unsur tindak
pidananya kepada instansi yang
berwenang;
- P5 diberi kewenangan menangani
pengaduan yang terkait dengan
pelanggaran administrasi dan
pelanggaran kontrak.
- Dalam menangani pelanggaran
administrasi, P5 membuat
keputusan, sedangkan dalam
menangani pelanggaran kontrak P5
menjadi fasilitator atau mediator
bagi para pihak yang bersengketa.
20. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 dapat diajukan
secara langsung maupun tidak langsung.
21. Pengaduan yang diajukan secara langsung dapat berupa pengaduan
tertulis maupun lisan.
22. Terhadap pengaduan yang diajukan secara lisan, P5 wajib membantu
merumuskannya dalam bentuk tertulis.
23. Pengaduan yang diajukan secara tidak langsung dapat berupa
pengaduan melalui surat dan/atau melalui on line.
24. Pengajuan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 21 harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. identitas pihak yang mengajukan pengaduan, yang terdiri dari
nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan;
b. identitas pihak yang diadukan, yang terdiri dari nama dan alamat
lengkap, serta pekerjaan; dan
c. uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan secara
rinci;
d. tempat, waktu pengajuan, dan tanda tangan.
25. Perumusan pengaduan lisan dalam bentuk tertulis sebagaimana
dimaksud pada butir 22 harus memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada butir 24.
26. Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 24 dapat dilampiri
dengan bukti-bukti pendukung.
27. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat
dirahasiakan.
Dirahasiakannya identitas pengadu,
dimaksudkan untuk melindungi
pengadu dari tindakan/tindakan yang
mungkin dapat membahayakan
keselamatannya akibat pengaduan
yang diajukan yang bersangkutan.
28. Dirahasiakannya nama dan identitas pengadu diputuskan oleh P5
berdasarkan permohonan dari pengadu.
29. Dalam hal P5 memandang perlu untuk merahasiakan nama dan
identitas pengadu maka P5 dapat memutuskan untuk merahasiakan
nama dan identitas pengadu tanpa permohonan dari pengadu.
30. Dalam keadaan tertentu, pengajuan pengaduan dapat dikuasakan
kepada pihak lain.
31. Dalam hal pengaduan dikuasakan kepada pihak lain, maka pengaduan
harus disertai surat kuasa yang sah.
32. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 diajukan dalam
waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari semenjak peristiwa,
tindakan, atau keputusan yang diadukan terjadi.
B. Tata Cara Penyelesaian Pengaduan
1. Penerimaan Pengaduan:
33. P5 wajib menerima pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 21.
34. Dalam hal pengaduan disampaikan secara langsung sebagaimana
dimaksud pada butir 21, P5 wajib mencatatnya dalam buku daftar
pengaduan pada saat pengaduan diterima dan memberikan tanda
terima pengaduan kepada pengadu.
35. Tanda terima pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya memuat:
a. identitas pengadu secara lengkap;
b. ringkasan peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan;
Pada prinsipnya, dirahasiakannya
nama dan identitas pengadu
didasarkan pada permohonan dari
pengadu. Tetapi apabila menurut
pertimbangan P5 ada ancaman
terhadap keselamatan pengadu, maka
P5 dapat memutuskan untuk
merahasiakan nama dan identitas
pengadu tanpa permohonan dari
pengadu.
c. tempat dan waktu penerimaan pengaduan; dan
d. tanda tangan serta nama pejabat/pegawai yang menerima
pengaduan.
36. Dalam hal pengaduan disampaikan secara tidak langsung
sebagaimana dimaksud pada butir 23, P5 wajib mencatatnya dalam
buku daftar pengaduan pada saat pengaduan diterima dan
menyampaikan tanda terima pengaduan kepada pengadu melalui
surat tercatat dan/atau on line.
2. Penelitian Berkas Pengaduan:
37. P5 wajib meneliti berkas pengaduan dan menyampaikan hasil
penelitian tersebut dalam waktu 14 (empat belas hari) sejak
pengaduan diterima.
38. Penelitian berkas pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 37
ditujukan untuk membuat keputusan mengenai:
a. kelengkapan persyaratan pengaduan sebagaimana dimaksud pada
butir 24, 26, dan 31; dan/atau
b. dapat/tidaknya pengaduan ditindaklanjuti;
39. Pengaduan tidak dapat ditindaklanjuti, apabila:
a. peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan nyata-nyata
tidak berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa yang
sedang dilaksanakan;
b. peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dianggap melanggar,
ternyata sudah diperbaiki oleh pihak yang diadukan;
c. pengaduan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu.
40. Dalam hal pengaduan dapat ditindaklanjuti dan persyaratan
pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 24, 26, dan 31 telah
lengkap, P5 memutuskan bahwa pengaduan dapat ditindaklanjuti.
41. Dalam hal pengaduan dapat ditindaklanjuti tetapi persyaratan
pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 24, 26, dan 31 tidak
lengkap, maka P5 memutuskan bahwa pengaduan dapat
ditindaklanjuti dan memerintahkan kepada pengadu untuk melengkapi
persyaratan pengaduan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja
sejak pengadu menerima keputusan P5.
42. Dalam hal persyaratan pengaduan tidak dilengkapi dalam waktu
sebagaimana dimaksud pada butir 41, pengadu dianggap mencabut
pengaduannya.
43. Dalam hal pengaduan tidak dapat ditindaklanjuti karena alasan-alasan
sebagaimana dimaksud pada butir 39, P5 memutuskan tidak
menindaklanjuti pengaduan.
44. Terhadap keputusan P5 sebagaimana dimaksud dalam butir 43,
pengadu dapat mengajukan banding administratif kepada Walikota.
45. Walikota memutuskan pengajuan banding dalam tenggang waktu 14
(empat belas hari) sejak surat banding administrasi diterima.
46. Dalam hal pengadu tidak menerima keputusan Walikota sebagaimana
dimaksud pada butir 45, pengadu dapat mengajukan gugatan kepada
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3. Pemeriksaan Awal:
47. Dalam hal pengaduan diputuskan untuk ditindaklanjuti sebagaimana
dimaksud pada butir 40, P5 melakukan pemeriksaan awal terhadap
materi pengaduan.
48. Pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada butir 47 dilakukan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari semenjak diputuskan untuk
ditindaklanjuti.
49. Dalam pemeriksaan awal P5 memutuskan bahwa terhadap materi
pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 47 akan dilakukan
pemeriksaan lanjutan yang berupa:
a. diperiksa sendiri; atau
b. diteruskan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota dan
atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota.
50. Materi pengaduan yang diperiksa sendiri oleh P5 sebagaimana
dimaksud pada butir 49 adalah materi pengaduan yang berkaitan
dengan pelanggaran terhadap ketentuan administratif dan
pelanggaran terhadap kontrak sebagaimana dimaksud pada butir 18
huruf a dan b.
51. Materi pengaduan yang diteruskan kepada Aparat Pengawas Internal
Pemerintah Kota dan atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah Kota adalah materi pengaduan yang berkaitan dengan
pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau pelanggaran
persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada butir 18 huruf c.
52. P5 menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada butir 49
kepada pengadu melalui surat tercatat atau on line selambatlambatnya 7 (tujuh) hari semenjak diputuskan.
4. Pemeriksaan Lanjutan:
 Pemeriksaan oleh P5
 Pemeriksaan terhadap Materi Pengaduan Pelanggaran
Administrasi
53. P5 melakukan pemeriksaan terhadap materi pengaduan
pelanggaran administrasi.
54. Dalam memeriksa materi pengaduan, P5 wajib:
a. berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, dan
tidak memihak;
b. mempermudah pengadu dalam menyampaikan penjelasannya;
c. mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak;
Prinsip dimaksudkan untuk mencegah
keberpihakan P5 dalam menyelesaikan
materi pengaduan, sehingga
menghasilkan penyelesaian masalah
yang adil.
dan
d. menjaga kerahasiaan, kecuali untuk hal-hal yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan wajib diinformasikan;
Informasi yang dirahasiakan
disesuaikan dengan Pasal 17 UU No.
14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Infrormasi Publik.
55. Kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada
butir 54 huruf d tidak gugur setelah pejabat yang melakukan
pemeriksaan berhenti atau diberhentikan dari jabatannya.
56. Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir
53 P5 berwenang:
a. memanggil pengadu, pihak yang diadukan, saksi, ahli,
dan/atau pihak lain yang diperlukan untuk dimintai
keterangan;
b. meminta penjelasan secara tertulis kepada pengadu, pihak
yang diadukan, saksi, ahli, dan/atau pihak lain; dan/atau
c. melakukan pemeriksaan lapangan.
57. Pemeriksaan materi pengaduan pelanggaran administrasi
sebagaimana dimaksud pada butir 53 terdiri atas tahapantahapan berikut:
a. Klarifikasi pengaduan;
b. Pemeriksaan para pihak
c. Pengambilan putusan.
58. Klarifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf
a dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai maksud
pengaduan dan duduk persoalan yang dipermasalahkan.
59. Untuk memperoleh kejelasan mengenai maksud pengaduan dan
duduk persoalan yang dipermasalahkan sebagaimana dimaksud
pada butir 58, P5 melakukan langkah-langkah:
a. Memanggil pengadu untuk menjelaskan materi pengaduan
dan/atau menyampaikan bukti-bukti atau bukti-bukti
tambahan terkait dengan pengaduannya.
b. Menginformasikan pengaduan kepada pihak yang diadukan
untuk memberikan tanggapan dan/atau menyampaikan
bukti-bukti yang dianggap perlu.
60. Pemanggilan pengadu sebagaimana dimaksud pada butir 59
huruf a dilakukan melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari sejak dimulainya pemeriksaan.
61. Pengadu wajib memenuhi panggilan dan memberikan penjelasan
kepada P5 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
surat panggilan sebagaimana dimaksud pada butir 60.
62. Apabila dalam
pengadu tidak
kedua melalui
dimaksud pada
waktu sebagaimana dimaksud pada butir 61
memenuhi panggilan, P5 melakukan panggilan
cara dan dalam tenggang waktu sebagaimana
butir 60.
Pemanggilan secara tertulis terhadap
pihak yang diadukan, saksi, ahli,
dan/atau pihak lain dilakukan melalui
surat tercatat.
63. Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat
panggilan kedua pengadu tidak memenuhi panggilan, pengadu
dianggap mencabut pengaduannya.
64. Penyampaian informasi adanya pengaduan kepada pihak yang
diadukan sebagaimana dimaksud pada butir 59 huruf b dilakukan
melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak
dimulainya pemeriksaan.
65. Pihak yang diadukan memberikan penjelasan secara tertulis
kepada P5 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada butir 64.
66. Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada butir 65 pihak
yang diadukan tidak memberikan penjelasan tertulis, P5 untuk kedua
kalinya meminta penjelasan secara tertulis kepada pihak yang
diadukan.
67. Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak
tanggal
diterimanya
surat
permintaan
penjelasan
kedua
sebagaimana dimaksud pada butir 66 pihak yang diadukan tidak
memberikan penjelasan tertulis, maka pihak yang diadukan
dianggap tidak menggunakan haknya untuk menjawab.
68. Dalam rangka klarifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud pada
butir 57 huruf a, P5 dapat melaksanakan pemeriksaan lapangan
terhadap obyek-obyek yang diperlukan.
Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan
apabila terdapat alasan-alasan sebagai
berikut:
a. Hasil pemeriksaan dokumen tidak
cukup mendukung untuk menyusun
kesimpulan akhir.
b. Pihak terkait tidak memberikan
klarifikasi atau klarifikasi yang
diberikan tidak cukup menjawab
substansi permintaan klarifikasi
TPP.
c. TPP memerlukan jawaban secara
langsung dari pihak-pihak yang
terkait.
d. TPP memerlukan melihat secara
langsung objek laporan di
lapangan.
Namun demikian, perlu diperhatikan
juga bahwa hasil dari pemeriksaan
lapangan sebanding dengan biaya
yang dikeluarkan.
69. Pejabat yang melakukan pemeriksaan terhadap obyek-obyek
yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada butir 68, wajib
membawa surat tugas dari P5.
70. Berdasarkan pertimbangan tertentu, pemeriksaan objek-obyek
yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada butir 68, dapat
Pada dasarnya, pemeriksaan lapangan
dilakukan dengan pemberitahuan
dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat
atau instansi atau pihak yang diperiksa, dengan tetap
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan,
ketertiban, dan kesusilaan.
terlebih dahulu. Tetapi berdasarkan
pertimbangan tertentu,
pemberitahuan tersebut tidak
diperlukan. Pertimbangan tertentu
yang dimaksud dalam butir ini
misalnya, karena alasan
kemendesakan dan/atau alasan untuk
menghindari disembunyikan dan/atau
dimusnahkannya bukti-bukti tertentu.
71. Dalam melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud
pada butir 56 huruf c, P5 dapat melihat dokumen asli dan/atau
meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mekanisme yang ditempuh oleh P5
untuk melihat dan meminta dokumen
tunduk pada UU No. 14 tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
72. Pemeriksaan para pihak sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf
b dimaksudkan untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap
penjelasan, fakta-fakta, dan bukti-bukti yang dikemukakan pengadu
dan pihak yang diadukan serta hasil pemeriksaan lapangan pada
tahap konfirmasi.
73. Pemeriksaan silang sebagaimana dimaksud pemeriksaan silang
pada butir 72, dilakukan dengan menghadirkan pengadu dan
pihak yang diadukan untuk dipertemukan.
74. Pemanggilan pengadu dan pihak yang diadukan sebagaimana
dimaksud pada butir 73, dilakukan melalui surat tercatat dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari semenjak berakhirnya tahap
klarifikasi sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf a.
75. Dalam hal pengadu dan/atau pihak yang diadukan keberatan
dipertemukan karena alasan tertentu yang dapat mengancam
atau merugikan kepentingan kedua belah pihak tersebut,
pemeriksaan dapat dilakukan secara terpisah.
76. Dalam hal pengadu telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut
dalam cara dan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada
butir 74 tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah,
pengadu dianggap tidak meneruskan pengaduannya.
77. Dalam hal pihak yang diadukan telah dipanggil 3 (tiga) kali
berturut-turut dalam cara dan tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada butir 74 tidak memenuhi panggilan dengan alasan
yang sah, pemeriksaan dilanjutkan tanpa kehadiran pihak yang
diadukan.
78. Untuk kepentingan pemeriksaan, P5 dapat menghadirkan saksi,
ahli, dan/atau penterjemah baik yang diajukan oleh pengadu
maupun pihak yang diadukan.
Ketidakhadiran pihak yang diadukan
akan berakibat tidak adanya
keterangan dari yang bersangkutan.
Ketiadaan keterangan dari pihak yang
diadukan tersebut dapat
mengakibatkan kerugian bagi yang
bersangkutan.
79. Pemanggilan saksi, ahli, dan/atau penterjemah sebagaimana
dimaksud pada butir 78 dilakukan dengan surat tercatat.
80. Sebelum memberikan keterangannya saksi, ahli,
penterjemah wajib mengucapkan sumpah atau janji.
dan/atau
81. Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh saksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
sungguh- sungguh menyatakan kebenaran yang sebenarbenarnya mengenai setiap dan seluruh keterangan yang saya
berikan”.
82. Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh ahli dan penerjemah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
“Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan
melaksanakan tugas saya dengan tidak memihak dan bahwa saya
akan melaksanakan tugas saya secara profesional dan dengan
sejujur-jujurnya”.
83. Setelah pemeriksaan para pihak selesai, P5 wajib membuat
kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan pengaduan.
84. Kesimpulan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 83 dapat
berupa ditemukan adanya pelanggaran dalam pengadaan barang
dan jasa atau tidak ditemukan adanya pelanggaran dalam
pengadaan barang dan jasa.
85. Dalam hal P5 menyimpulkan ditemukan adanya pelanggaran
dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada
butir 84, P5 menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada:
a. Walikota melalui APIP dan merekomendasikan untuk
ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam hal pelanggaran dilakukan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat
Komitmen, Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan,
dan/atau Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; atau
b. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat
Pembuat Komitmen/Unit Layanan Pengadaan/Pejabat
Pengadaan sesuai dengan kewenangannya untuk
ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dalam hal pelanggaran dilakukan oleh penyedia
barang/jasa.
86. Dalam hal P5 menyimpulkan tidak ditemukan adanya pelanggaran
dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada
butir 84, P5 menyatakan bahwa proses pengadaan barang dan
jasa sudah benar dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut
kepada Walikota melalui APIP dengan tembusan kepada pengadu
dan pihak yang diadukan.
 Pengaturan huruf a disesuaikan
dengan Pasal 117 ayat (4) Perpres
No. 54 Tahun 2010.
 Pengaturan huruf b disesuaikan
dengan Pasal 118 ayat (3), (4), dan
(5) Perpres No. 54 Tahun 2010.
87. Hasil pemeriksaan dan tembusannya sebagaimana dimaksud
pada butir 85 dan butir 86 disampaikan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari sejak diputuskan.
 Pemeriksaan terhadap
terhadap Kontrak
Materi
Pengaduan
Pelanggaran
88. Pelanggaran kontrak pengadaan barang dan jasa yang
menimbulkan sengketa di antara para pihak dapat dimintakan
penyelesaiannya kepada P5.
89. Permintaan sebagaimana dimaksud pada butir 88 disampaikan
secara tertulis oleh pengadu bersamaan dengan pengaduan
sebagaimana dimaksud pada butir 20.
90. P5 hanya dapat memeriksa sengketa pengadaan barang dan jasa
sebagaimana dimaksud pada butir 88, apabila pihak yang
diadukan menyatakan persetujuan secara tertulis mengenai
penyelesaian sengketa oleh P5.
91. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 90,
dimintakan oleh P5 kepada pihak yang diadukan bersamaan
dengan pemberitahuan adanya pengaduan sebagaimana
dimaksud pada butir 59 huruf b.
92. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 90
disampaikan oleh pihak yang diadukan bersamaan dengan
penyempaian penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada
butir 65, atau dapat disampaikan secara terpisah.
93. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada butir 92 disampaikan
kepada P5 oleh pihak yang diadukan dalam tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada butir 65.
94. Apabila dalam waktu sebagaimana butir 93 pihak yang diadukan
tidak menyampaikan persetujuannya, maka pihak yang diadukan
dianggap menolak menyelesaikan pengaduan pelanggaran
kontrak melalui P5.
95. Dalam hal pihak yang diadukan menolak menyelesaikan
pengaduan pelanggaran kontrak oleh P5 sebagaimana dimaksud
pada butir 94, maka P5 memutuskan menolak menyelesaikan
pengaduan.
96. Putusan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 94 berisi alasan
penolakan dan saran/rekomendasi agar sengketa tersebut
diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
97. Putusan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 94 disampaikan
kepada pengadu dan pihak yang diadukan dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari sejak diputuskan.
Yang dimaksud dengan menurut
peraturan yang berlaku adalah melalui
pengadilan dalam rangka gugatan
keperdataan berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara
Perdata.
98. Dalam hal pihak yang diadukan menyetujui penyelesaian
pengaduan pelanggaran kontrak melalui P5, maka P5 memanggil
pihak pengadu dan pihak yang diadukan.
99. Pemanggilan pihak pengadu dan pihak yang diadukan
sebagaimana dimaksud pada butir 98 dilakukan melalui surat
tercatat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
persetujuan tertulis dari pihak yang diadukan.
100. P5 menawarkan mekanisme penyelesaian pengaduan kepada
para pihak sebagaimana dimaksud pada butir 99 untuk
mendapatkan persetujuan bersama.
101.
Mekanisme penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada
butir 100 dapat berupa:
a. Negosiasi; dan
b. Mediasi.
102.
Dalam hal para pihak memilih mekanisme penyelesaian pengaduan
dengan negosiasi sebagaimana dimaksud dalam butir 101 huruf a,
maka P5 berperan sebagai fasilitator berjalannya negosiasi oleh para
pihak.
Sebagai fasilitator, P5 memerankan
dirinya sebagai pihak yang membantu
kelancaran proses negosiasi demi
tercapainya kesepakatan dalam rangka
penyelesaian sengketa. Peran tersebut
dijalankan
antara
lain
dengan
menyediakan
tempat,
bantuan
pendokumentasian,
dan
fasilitasfasilitas lain yang diperlukan dalam
proses negosiasi tersebut.
103.
Dalam hal para pihak memilih mekanisme penyelesaian pengaduan
dengan mediasi, P5 berperan sebagai mediator.
Sebagai mediator, P5 berperan lebih
aktif menjadi pihak ketiga netral yang
menjadi
penengah
tercapainya
kesepakatan
dalam
rangka
penyelesaian sengketa.
104.
Hasil kesepakatan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud
pada butir 101 dituangkan dalam bentuk kesepakatan bersama yang
ditandatangani oleh para pihak dan P5 sebagai saksi di atas kertas
bermaterai cukup.
105.
P5 dapat membantu merumuskan redaksi kesepakatan bersama
sebagaimana dimaksud pada butir 104.
106.
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian
pangaduan pelanggaran kontrak, diatur dengan peraturan Ketua P5
(?).
 Pemeriksaan terhadap Materi Pengaduan Pelanggaran yang
Terdapat Unsur KKN dan/atau Persaingan yang Sehat.
107.
APIP Kota memeriksa dan menindaklanjuti pengaduan
sebagaimana dimaksud pada butir 51 berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
108.
109.
Hasil pemeriksaan dan tindak lanjut pengaduan sebagaimana
dimaksud pada butir 107, dilaporkan kepada Walikota untuk
ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Disesuaikan dengan Pasal 117 ayat (4)
Perpres No. 54 Tahun 2010.
Dalam hal diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan
keuangan negara, hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada butir 107 dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang
dengan persetujuan Kepala Daerah, dengan tembusan kepada
LKPP Kota dan BPKP.
Disesuaikan dengan Pasal 117 ayat (4)
Perpres No. 54 Tahun 2010.
Bab VI. Kelembagaan: P5
110.
Dengan Peraturan Walikota ini P5 sebagaimana dimaksud dalam
…… (peraturan dasar pembentukan P5 Kota semarang)
difungsikan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi sebagai
tempat pengaduan dan penyelesaian pengaduan terhadap
pelanggaran tertentu peraturan perundang-undangan dan/atau
Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota.
Pengaturan alternatif:
 Dengan Peraturan Walikota ini dibentuk P5
 P5 adalah lembaga mandiri yang menjalankan fungsi
penyelesaian pengaduan pelanggaran peraturan
perundang-undangan dan/atau Pakta Integritas dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah kota.
111.
Sekretariat P5 berkedudukan di SKPD yang tugas pokok dan
fungsinya di bidang ………………..
112.
Dalam kaitannya dengan pangadaan barang/jasa pemerintah
kota, P5 bertugas :
a. Menerima
semua pengaduan pelanggaran peraturan
perundang-undangan dan/atau Pakta Integritas dalam
pengadaan barang/jasa pemerintah kota.
b. memeriksa, dan memutus pengaduan pelanggaran administrai
dan pelanggaran kontrak dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah kota;
c. meneruskan pengaduan pelanggaran yang terdapat unsur KKN
dan/atau persaingan sehat dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah kota kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah
Daerah;
113. Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada butir
112, P5 memiliki wewenang:
a. memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang
bersengketa;
b. memasuki tempat kerja baik di kantor-kantor badan publik
maupun badan-badan swasta;
c. meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh
Badan Publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya
menyelesaikan pengaduan;
Melalui Perwal ini dapat dipilih
kebijakan yang tepat untuk melakukan
rekonstruksi P5. Apakah P5 akan
dibuat seperti sebelumnya dan hanya
ditambahi fungsi sebagai penerima
dan pemutus pengaduan dalam
pengadaan barang/jasa, ataukah akan
diberdayakan sebagai lembaga mandiri
dengan fungsi sebagaimana
sebelumnya dan ditambahi dengan
fungsi sebagai penerima dan pemutus
pengaduan dalam pengadaan
barang/jasa.
d. meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik
ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian
Sengketa Informasi Publik;
e. mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya
dalam penyelesaian pengaduan; dan
f. menetapkan peraturan pelaksanaan sebagai pedoman kerja
dalam rangka pelaksanaan tugasnya.
g. membuat kode etik sebagai standar pelaksanaan tugasnya.
114.
P5 bertanggung jawab kepada walikota melalui Sekretaris Daerah
dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas,
dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
115.
Laporan sebagaimana dimaksud pada butir 114 bersifat terbuka
untuk umum.
116.
Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dalam organisasi
P5 ditambahkan Pokja Pengaduan Barang/Jasa (atau nama
lain).
117.
Susunan Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud
pada butir 116 adalah sebagai berikut:
a. Ketua merangkap anggota;
b. Sekretaris merangkap anggota;
c. Anggota tetap; dan
d. Anggota tidak tetap.
118.
Ketua dan sekretaris Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana
dimaksud pada butir 117 huruf a dan b adalah pegawai negeri
sipil di lingkungan P5 yang diangkat untuk menduduki jabatan
tersebut.
119.
Anggota tetap Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana
dimaksud pada butir 117 huruf c adalah:
a. pegawai negeri sipil di lingkungan Aparat Pengawas Internal
Pemerintah Kota yang ditugaskan; dan
b. lembaga swadaya masyarakat.
Keberadaan PNS yang berasal dari
Aparat Pengawas Internal Pemerintah
Kota merupakan sebuah keniscayaan
karena:
berdasarkan Perwal ini, P5 mengambil
sebagian fungsi APIP sebagai institusi
yang menurut Pasal 117 Perpres No.
54 Tahun 2010 berfungsi menerima
pengaduan masyarakat; dan
P5 berdasarkan Perwal ini juga
mempunyai keterkaitan dengan APIP
dalam prosedur pengelolaan
pengaduan.
Keberadaan lembaga swadaya
masyarakay sebgai anggota tetap
Pokja, menunjukkan keseriusan dalam
upaya pemberdayaan P5 sebagai
lembaga yang kredibel dan partisipatif.
120.
Anggota tidak tetap sebagaimana dimaksud pada butir 117 huruf
d berasal dari:
a. Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Semarang yang
menjadi Pengguna Anggaran dari proyek pengadaan
barang/jasa yang bersangkutan; dan
b. Pakar.
121.
Lembaga swadaya masyarakat sebagai anggota tetap
sebagaimana dimaksud pada butir 119 huruf b dan pakar sebagai
anggota tidak tetap sebagaimana dimaksud pada butir 120 huruf
b ditetapkan oleh Walikota atas usul Kepala P5.
122.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja P5
diatur dengan Peraturan Kepala P5.
Bab VII: ketentuan Peralihan
123.
Pada saat Peraturan Walikota ini berlaku:
a. Bentuk dan isi pakta integritas yang terkait dengan pengadaan
barang/jasa yang sedang berjalan tetap dilanjutkan dengan
berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasarnya.
b. Pengaduan masyarakat dalam pengadaan barang/jasa yang
sedang diproses tetap dilanjutkan dengan berpedoman pada
peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasarnya.
Bab VIII: Ketentuan Penutup
124.
Pembentukan Pokja Pengadaan Barang dan Jasa sebagai bagian
dari organisasi P5 dilaksanakan selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak Peraturan Walikota ini ditetapkan/diundangkan.
125.
Peraturan Walikota ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
126.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya
dalam Berita daerah kota Semarang.
bidang kepakaran dari pakar sebagai
anggota tidak tetap disesuaikan
dengan bidang pengadaan barang dan
jasa yang sedang ditangani
pengaduannya.
Bagian Kedua: KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA
PERATURAN WALIKOTA SEMARANG
NOMOR ….. TAHUN ……..
TENTANG
PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
WALIKOTA SURABAYA,
Menimbang
:
a. bahwa pakta integritas merupakan salah satu sarana bagi Pemerintah,
Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi,
kolusi dan nepotisme demi peningkatan kualitas pelayanan publik;
b. bahwa aktivitas pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan
salah satu aktivitas yang di dalamnya rawan korupsi, kolusi, dan
nepotisme, sehingga memerlukan penerapan pakta integritas dalam
pelaksanaannya;
c. bahwa sampai saat ini di lingkungan Pemerintah Kota Semarang
belum ada regulasi yang mengatur tentang penerapan pakta integritas
dalam pengadaan barang dan jasa;
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, dan c di atas, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang
Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa.
Mengingat
:
26. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Himpunan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950);
27. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3041) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3890);
28. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
29. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3854) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150);
30. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran
Negara republic Indonesia Nomor 3817);
31. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
32. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
33. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4389);
34. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
35. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
36. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557);
37. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4558);
38. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4846);
39. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899);
40. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5038);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866);
42. Peraturan
Pemerintah
Nomor
29
Tahun
2000
tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3956);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4578);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4855);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
47. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4741);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135);
49. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;
50. Perda tentang SOTK Perangkat Daerah Kota Semarang???????
MEMUTUSKAN,
Menetapkan :
PERATURAN WALIKOTA TENTANG PENERAPAN PAKTA
INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan:
22. Daerah adalah Kota Semarang.
23. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
24. Walikota adalah Walikota Semarang.
25. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kota Semarang.
26. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan
Barang/Jasa
adalah
kegiatan
untuk
memperoleh
Barang/Jasa
oleh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya
dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk
memperoleh Barang/Jasa.
27. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah instansi/institusi
yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
28. Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang
dan/atau Jasa milik Daerah di masing-masing SKPD.
29. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP
adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan
Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 106
Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
30. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan
penggunaan anggaran SKPD.
31. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang ditetapkan
oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan
APBD.
32. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
33. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah
daerah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di SKPD yang bersifat
permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.
34. Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan
Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.
35. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh
PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan.
36. Aparat Pengawas Intern Pemerintah daerah atau pengawas intern pada institusi lain yang
selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu,
evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan
fungsi organisasi.
37. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan
Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.
38. Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak
melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa.
39. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak
bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
Pengguna Barang.
40. Dokumen Pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang
memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam proses
Pengadaan Barang/Jasa.
41. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis
antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
42. Dst……
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Penerapan Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Kota berasaskan:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
asas
asas
asas
asas
asas
asas
kepastian hukum;
kepercayaan;
transparansi;
partisipasi;
akuntabilitas;
perlindungan hukum.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Penerapan Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Kota bertujuan:
h. mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan negara yang bersih dari
KKN;
i. mewujudkan pelayanan publik yang prima dan menjamin aksesibilitas bagi perempuan, anak
dan kelompok marginal yang lain;
j. meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat;
k. mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan,
bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel;
l. mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam pengadaan barang dan jasa;
m. meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan tanggung jawab pengguna
barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa;
n. menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna
panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa.
barang
dan
jasa,
BAB III
PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
Bagian Pertama
Komitmen Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 4
(1) Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa wajib didasarkan pada komitmen sebagai berikut:
n. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai
sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;
o. bekerja secara profesional dan mandiri,;
p. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat
terjadinya persaingan tidak sehat;
q. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai
dengan kesepakatan tertulis para pihak;
r. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang
terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan
barang/jasa;
s. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara
dalam pengadaan barang/jasa;
t. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan
untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan negara; dan
u. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau
menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada
siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa.
v. menjamin keterbukaan informasi proses dan dokumen pengadaan barang dan jasa
dengan tetap menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut
sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam
Pengadaan Barang/Jasa;
w. membuka ruang bagi partisipasi masyarakat;
x. mendayagunakan mekanisme pengelolaan pengaduan untuk menyelesaikan setiap
laporan tentang adanya indikasi pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa;
y. mengakui eksistensi dan fungsi lembaga pemantau independen;
z. menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang dalam aktivitasnya yang bertujuan
mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa.
(2) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki dan dilaksanakan oleh:
g. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran;
h. Pejabat Pembuat Komitmen;
i. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan;
j. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan;
k. Penyedia barang/jasa; dan
l. Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa.
Bagian Kedua
Dokumen Pakta Integritas
Pasal 5
a.
b.
Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dimuat dalam Dokumen Pakta
Integritas.
Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat:
i. Uraian mengenai nama dan periode waktu proyek;
j. Nama dan jabatan dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang bersangkutan;
k. Pernyataan/komitmen akan melakukan dan/atau tidak akan melakukan sesuatu terkait
dengan kewajiban dan/atau larangan dalam pengadaan barang dan jasa;
l. Isi komitmen (komitmen umum dan komitmen khusus?);
m. Pernyataan kesediaan menerima konsekuensi hukum apabila melanggar komitmen;
n. Tempat dan waktu penandatanganan;
o. Nama dan jabatan saksi yang ikut menandatangani Pakta Integritas;
p. Tanda tangan.
Pasal 6
(1) Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibuat, dan
disediakan oleh Pengguna Anggaran.
(2) Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai
dokumen baku pengadaan barang/jasa setelah substansinya mendapatkan masukan dari
Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota atau Lembaga Kebijakan Pengadaan
barang/Jasa Pemerintah Kota dan/atau masyarakat.
(3) Dokumen Pakta Integritas dituangkan dalam formulir yang keberadaannya menjadi syarat
wajib bagi setiap pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
(4) Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disediakan tersendiri untuk masing-masing
pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
Bagian Ketiga
Penandatanganan Pakta Integritas
Paragraph 1
Umum
Pasal 7
(1) Para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (2), wajib menandatangani Pakta Integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3).
(2) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh para pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap proyek pengadaan barang/jasa yang
diadakan.
(3) Penandatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
membubuhkan tanda tangan yang bersangkutan di atas formulir yang telah disediakan oleh
Pengguna Anggaran dengan diberi materai yang cukup menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh diwakilkan.
Paragraf 2
Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA
Pasal 8
(1) PA/KPA wajib menandatangani Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PA/KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
komitmen-komitmen sebagai berikut:
…………… ????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
Paragaf 3
Penandatangan Pakta Integritas oleh PPK
Pasal 9
(1) PPK wajib menandatangani Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
komitmen-komitmen sebagai berikut:
…………… ????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
Paragaf 4
Penandatangan Pakta Integritas oleh ULP/Pejabat Pengadaan
Pasal 10
(1) ULP/Pejabat Pengadaan wajib menandatangani Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh ULP/Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut:
…………… ????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh ULP/Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
Paragaf 5
Penandatangan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
Pasal 11
(1) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib menandatangani Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut:
…………… ????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh
………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
Paragaf 6
Penandatangan Pakta Integritas oleh Penyedia Barang/Jasa
Pasal 12
(1) Penyedia Barang/Jasa wajib menandatangani Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi
komitmen-komitmen sebagai berikut:
…………… ????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
Paragaf 7
Penandatangan Pakta Integritas oleh
Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 13
(1) Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa wajib menandatangani
Pakta Integritas.
(2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa.PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmenkomitmen sebagai berikut:
…………………. ???????????
(3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan
Pengadaan Barang/Jasa.PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat
….???? dengan disaksikan oleh ………. ?????????
(4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota
ini.
BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 14
(1) Dokumen Pakta Integritas yang telah ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam
pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 4, merupakan informasi
yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat.
(2) Masyarakat berhak mengetahui Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan dapat mengaksesnya sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) PA/KPA wajib menyediakan Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai informasi yang dapat diakses oleh masyarakat.
Pasal 15
(1) Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap substansi dokumen Pakta Integritas
sebagaimana dimaksud pada butir 4.
(2) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk tertulis kepada
PA/KPA.
(3) PA/KPA wajib menerima dan mempertimbangkan masukan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB V
PENGELOLAAN PENGADUAN
Bagian Pertama
Pengaduan
Pasal 16
i.Pejabat di lingkungan organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat dapat
mengajukan pengaduan apabila menemukan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas.
ii.Pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta
Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 17, dapat berupa:
d. Pelanggaran terhadap ketentuan administratif;
e. Pelanggaran terhadap kontrak;dan/atau
f. Pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan yang sehat.
Pasal 17
(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diajukan kepada P5.
(2) Pegaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pejabat di lingkungan organisasi
pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat yang merasa kepentingannya
ditugikan oleh terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2).
(3) Dalam keadaan tertentu, pengajuan pengaduan dapat dikuasakan kepada pihak lain.
(4) Dalam hal pengaduan dikuasakan kepada pihak lain, maka pengaduan harus disertai surat kuasa
yang sah.
Pasal 18
(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dapat diajukan secara langsung maupun
tidak langsung.
(2) Pengaduan yang diajukan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengaduan tertulis maupun lisan.
(3) Terhadap pengaduan yang diajukan secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), P5 wajib
membantu merumuskannya dalam bentuk tertulis.
(4) Pengaduan yang diajukan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengaduan melalui surat dan/atau melalui on line.
Pasal 19
Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari semenjak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan terjadi.
Pasal 20
(1) Pengajuan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. identitas pihak yang mengajukan pengaduan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta
pekerjaan;
b. identitas pihak yang diadukan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan;
c. uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan secara rinci; dan
d. tempat, waktu pengajuan, dan tanda tangan.
(2) Perumusan pengaduan lisan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4)
harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 24 dapat dilampiri dengan bukti-bukti pendukung.
Pasal 21
(1) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan.
(2) Dirahasiakannya nama dan identitas pengadu diputuskan oleh P5 berdasarkan permohonan dari
pengadu.
(3) Dalam hal P5 memandang perlu untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu maka P5 dapat
memutuskan untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu tanpa permohonan dari pengadu.
Bagian Kedua
Tata Cara Penyelesaian Pengaduan
Paragraf 1
Penerimaan Pengaduan
Pasal 22
Ditetapkan di Semarang
Pada tanggal …….
WALIKOTA SEMARANG
Ttd
Diundangkan Di Semarang
pada tanggal ……
SUMARMO HS
SEKRETARIS DAERAH KOTA SEMARANG
Ttd
………………………………………
BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN ….. NOMOR ……
Download