NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TENTANG PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA BAGIAN PERTAMA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi adalah sumber keburukan/kejahatan, karena korupsi itu sendiri adalah sesuatu yang buruk dan jahat. Dampak kejahatan korupsi tidak sekedar adanya kerugian keuangan negara atau terganggunya perekonomian nasional (sebagaimana bunyi pasal-pasal dalam aturan hukum), tetapi korupsi justru menjadi penyebab kemiskinan yang kian masif, rusaknya sistem pelayanan publik, sulitnya keadilan diperoleh, terlanggarnya hak-hak asasi manusia, dan lain-lain. Kendatipun upaya pemberantasan korupsi di Indonesia gencar dilakukan namun angka kejahatan korupsi serta sikap dan perilaku koruptif di sebagian masyarakat belum menunjukkan penurunan berarti. Hal ini ditunjukkan dari indeks persepsi korupsi (corruption perception index) Indonesia menurut Transparency International, pada dua tahun terakhir tetap pada skor 2,8.1 Hukum memegang peran yang strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, melalui serangkaian kebijakan regulasi, implementasi dan penegakan hukum. Sebagaimana diketahui, di era reformasi ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai peraturan pelaksanaannya. Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa pendekatan hukum ternyata bukan satu-satunya instrumen dalam memberantas korupsi. Diperlukan pendekatan sistem untuk membangun dan mewujudkan good governance dalam penyelenggaran pemerintahan, karena ketika nilai-nilai good governance diinternalisasikan dalam praktik 11 Apabila dibandingkan dengan angka pada tahun-tahun sebelumnya, indeks persepsi korupsi ini sebetulnya telah mengalami peningkatan, di mana pada tahun 2005 tercatat 2,2, tahun 2006 tercatat 2,4, tahun 2007 tercatat 2,3, dan tahun 2008 tercatat 2,6. pemerintahan, maka akan menghindarkan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara umum ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktik good governance. Pertama, praktik good governance harus memberi ruang kepada aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan pemerintahan sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara aktor dan lembaga pemerintah dengan non pemerintah seperti masyarakat sipil dan pelaku pasar. Kedua, dalam praktik good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap (responsiveness) menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktik good governance adalah praktik pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu, praktik pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.2 Sebetulnya sejak awal reformasi, komitmen untuk mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia telah terlihat dengan diterbitkannya TAP MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di samping itu, kemudian ditetapkan pula TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Namun demikian, tantangan utama mewujudkan good governance adalah menyangkut bagaimana cara mewujudkan ketiga karakteristik tersebut di atas dalam praktik pemerintahan sehari-hari. Bagaimana membagi peran yang proporsional antara pemerintah dengan masyarakat sipil dan pelaku pasar, sembari membuat pemerintah dapat bekerja secara efektif dan mengembangkan pemerintah yang bersih dan bebas KKN, bukanlah sesuatu yang mudah. Menurut Agus Dwiyanto, pengembangan good governance akan lebih mudah jika dimulai dari sektor pelayanan publik. Artinya, pembaharuan penyelenggaraan pelayanan publik dapat digunakan sebagai entry point 2 Agus Dwiyanto, Mewujudkan Good Governance melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, hal. 17-18. dan penggerak utama untuk mendorong perubahan praktik good governance.3 Sehubungan dengan itu, telah diterbitkan berbagai perangkat peraturan yang terkait dengan perwujudan good governance melalui pelayanan publik, yaitu Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Apa yang diuraikan di atas menunjukkan hubungan korelatif signifikan antara pemberantasan korupsi, good governance, dan pelayanan publik. Secara jelas terdeskripsikan bahwa pencegahan KKN dalam penyelenggaraan pemerintahan, di samping melalui pendekatan hukum, juga memerlukan pendekatan sistem yang dapat dilakukan dengan membangun sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good governance. Apabila hal ini dikaitkan dengan pengadaan barang jasa, maka dapat dinyatakan bahwa pencegahan KKN dalam pengadaan barang dan jasa juga dapat dilakukan dengan membangun sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good governance. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu celah terjadinya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah di bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini karena terkait dengan sistem pengadaan barang dan jasa tersebut, di satu pihak ada pejabat yang mempunyai kewenangan, menguasai sumber-sumber keuangan, serta dapat menentukan siapa mendapatkan apa, sementara di pihak lain ada pihak swasta yang menawarkan barang dan/atau jasa yang bersaing untuk mendapatkan kesempatan. Dalam kaitan ini, benarlah apa yang dinyatakan oleh Robert 3 Ibid. Paling tidak terdapat tiga alasan yang melatarbelakangi hal tersebut, yaitu: Pertama, perbaikan kinerja pelayanan publik dinilai penting oleh semua stakeholders, yaitu pemerintah, warga masyarakat pengguna, dan pelaku pasar. Pemerintah berkepentingan dengan upaya perbaikan pelayanan publik karena jika berhasil memperbaiki pelayanan publik, mereka akan dapat memperbaiki legitimasi. Membaiknya pelayanan publik juga akan dapat memperkecil biaya birokrasi, yang pada gilirannya dapat memperbaiki kesejahteraan warga pengguna dan efisiensi bagi pelaku pasar. Karena itu, reformasi pelayanan publik akan mendapatkan dukungan yang luas. Kedua, melalui penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah, warga pengguna dan pelaku pasar, melakukan pergumulan secara intensif, sehingga apabila pemerintah dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat dan para pelaku pasar. Dampaknya, mereka menjadi semakin percaya bahwa pemerintah memang telah serius melakukan perubahan. Kepercayaan ini merupakan prasyarat yang sangat penting untuk menggalang dukungan yang luas bagi pengembangan praktik good governance, sehingga semua pihak menjadi yakin bahwa good governance bukan hanya mitos tetapi dapat menjadi realitas apabila pemerintah dan unsur-unsur non pemerintah bekerja keras untuk menggalang semua potensi yang dimiliki untuk mewujudkan good governance. Ketiga, nilai-nilai yang selama ini mencirikan praktik good governance, dapat diterjemahkan secara relatif mudah dan nyata melalui pelayanan publik. Nilai seperti efisiensi, keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dapat diukur secara mudah dalam praktik penyelenggaraan pelayanan publik. Klitgaard, yaitu jika ada seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas (dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu), maka kemungkinan besar akan ditemukan korupsi di situ.4 Sebetulnya, perangkat peraturan yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, yaitu Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 dengan beberapa kali perubahannya, yang kini telah diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, telah menerapkan strategi yang berangkat dari teori Robert Klitgaard di atas, yaitu dengan membangun sistem pengadaan barang dan jasa yang membatasi atau mengurangi kekuasaan monopolistik, menjelaskan dan membatasi wewenang, dan meningkatkan keterbukaan.5 Secara teoretik sistem ini seharusnya mampu menutup peluang korupsi. Namun, pengadaan barang dan jasa yang dijalankan berdasarkan peraturan di atas, ternyata masih melahirkan angka korupsi yang tetap tinggi. Data menunjukkan bahwa ……. (data korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa)………….??????????????? Berbagai modus operandi korupsi dipraktekkan dalam pengadaan barang dan jasa, mulai dari mark-up, suap, pemerasan, kolusi, dan sebagainya, yang semuanya berujung pada dirugikannya keuangan negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendekatan hukum, pendekatan sistem pelayanan publik yang berbasiskan nilai-nilai good governance, bukanlah instrument yang paripurna untuk menghindarkan KKN dalam pengadaan barang dan jasa. Masih diperlukan pendekatan lain yaitu pendekatan moralitas yang akan menjadi rambu-rambu pembatas untuk meluruskan langkah dan memperkuat integritas para pejabat publik dan berbagai pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Pendekatan inilah yang melahirkan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Pakta Integritas merupakan salah satu alat (tools) yang dikembangkan Transparency International pada tahun 90-an, dengan tujuan menyediakan sarana bagi 4 Robert Klitgaard et al, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, Alih Bahasa oleh Yayasan Obor, yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 29. 5 Menurut Robert Klitgaard, Ibid., korupsi (C=corruption) akan terjadi ketika ada kekuasaan monopoli (M=monopoly power) yang dimiliki oleh seorang pejabat, dan dia mempunyai wewenang untuk memutuskan (D=discretion by official), serta tidak ada akuntabilitas (A=accountability). Pendapat tersebut dirumuskannya dalam formula berikut: C = M + D – A. Pemerintah, Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme, terutama dalam kontrak-kontrak pemerintah (public contracting). Kecuali Keppres Nomor 80 Tahun 2003, dan kini Perpres Nomor 54 Tahun 2010, belum ada suatu peraturan yang spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di Indonesia, namun konsep dan penerapannya sangat relevan dengan amanat penegakkan hukum dan pengelolaan negara yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel dan transparan. Dikaitkan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, di mana kepada Pemerintah daerah diberi kewenangan otonomi, maka penerapan pakta integritas dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa di daerah juga merupakan suatu keharusan dan bahkan suatu kebutuhan. Dalam soal komitmen pencegahan KKN dalam pengadaan barang dan jasa, Kota Semarang sebagai daerah otonom, sebetulnya dapat dikatakan telah melangkah lebih maju. Pada tanggal 18 Juni 2008 telah ditandatangani sebuah dokumen yang berjudul Pedoman Umum Penerapan Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Penandatangan dilakukan oleh Wakil Walikota Semarang Bp. H. Mahfudz Ali, S.H.M.Si, sebagai representasi dari Pemerintah Kota Semarang, Bp/Ibu …. Sebagai wakil pengusaha, Bp/Ibu ….. sebagai wakil dari masyarakat, Bp/Ibu ….. wakil dari Transparansi Internasional Indonesia, dan Bp Hendrik Rosdinar dari Perkumpulan PATTIRO Semarang. Ditandatanganinya dokumen tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa keberadaan peraturan tentang pengadaan barang dan jasa ternyata belum mampu secara maksimal dan konsisten diterapakan oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari berbagai bentuk masalah dan penyimpangan yang masih terjadi dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah. Hasil proses Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) dengan Asosiasi-Asosiasi Pengusaha Indonesia pada tahun 2007, Serial Discussion dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh PATTIRO Semarang dengan Ormas, LSM, Organisasi Mahasiswa dan Kelompok Warga pada tahun 2008, teridentifikasi berbagai bentuk dan penyebab terjadinya permasalahan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu sebagai berikut:6 1. Masih terjadinya praktik penyuapan dan pembayaran tidak resmi. 2. Masih terjadinya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan (abuse power). 3. Masih adanya pejabat/pegawai dan penyelenggara negara yang beraktivitas bisnis terkait jabatannya. 4. Masih adanya konflik kepentingan. 5. Masih adanya praktik pemerasan. 6. Adanya pertentangan hukum dengan tidak mempertimbagkan kaidah hukum yang berlaku. 7. Rendahnya keterlibatan masyarakat untuk melakukan pemantauan dalam proses pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan. 8. Kekeliruan pemahaman tentang jenis pekerjaan swakelola. 9. Kurangnya pemahaman dalam pelaksanaan metoda penunjukan langsung. 10. Kurangnya pemahaman dalam penentuan metoda pengadaan jasa konsultasi. 11. Masih terjadinya tender diatur (tender arisan). 12. Masih terjadinya pengalihan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama kepada pihak lain (Jual beli proyek). 13. Pelaksanaan penyelesaian pengaduan dan penyelesaian masalah yang di luar prosedur. 14. Kurangnya penghargaan dan lemahnya pemberian sanksi kepada pihak yang terkait. 15. Lemahnya Pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan. Karena itu, dalam dokumen tersebut dicantumkan berbagai komitmen baik komitmen dari keseluruhan aparatur Pemerintah Kota, maupun komitmen dari para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, serta penyedia barang dan jasa. Berbagai komitmen tersebut dimaksudkan sebagai kewajiban etis yang dicantumkan dalam Pakta Integritas sebagai bentuk niat untuk dijalankan dan diterapkan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Maksud penerapan Pakta Intergitas dalam pengadaan barang dan jasa adalah untuk mewujudkan akuntabilitas, transparansi, partisipasi dan persaingan usaha yang lebih sehat dalam proses pengadaan barang dan 6 Pemerintah Kota Semarang, Pedoman Umum Penerapan Pakta Integritas Pengadaan Barang dan Jasa di Lingkungan Pemerintah Kota Semarang, 2008, hlm. 4-6. jasa di lingkungan Pemerintah Kota Semarang. Sementara itu, penerapan Pakta Integritas ditujukan untuk: a. Mewujudkan Tata Pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN; b. Mewujudkan pelayanan publik prima dan menjamin aksesibilitas bagi perempuan, anak dan kelompok marginal yang lain; c. Meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat; d. Mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan, bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel; e. Mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam pengadaan barang dan jasa; f. Meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan tanggung jawab pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa; g. Menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa; Persoalannya adalah, berbagai komitmen tersebut kendatipun substansinya sangat bagus untuk menghindarkan terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa, tetapi karena keberadaannya tidak dibingkai dalam bentuk peraturan hukum, maka kekuatan mengikatnya kurang. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya untuk mengintegrasikan berbagai komitmen tersebut dalam sebuah peraturan hukum, sehingga penerapan dan pelaksanaannya menjadi sebuah keharusan dengan konsekuensi yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi hukum. B. Telaah Akademik 1. Landasan Filosofis Istilah “korupsi” berasal dari bahasa latin, yaitu corruptio atau corruptus. Dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption, dan dalam bahasa Belanda menjadi coruptie. Dalam bahasa belanda, kata coruptie mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Secara harfiah istilah tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam arti sosial masyarakat mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau kantor) dan menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Centre for International Crime Prevention (CICP) salah satu organ PBB yang berkedudukan di Wina secara luas mendefinisikan korupsi sebagai “misuse of (publik) power for private gain”. Menurut CICP, korupsi di dalamnya termasuk tindak pidana suap (bribery), penggelapan (embezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang terkait dengan jabatan (extortion), penyalahgunaan wewenang (abuse of discretion), pemanfaatan kedudukan untuk kepentingan ilegal (exploiting a conflict interests), nepotisme (nepotism), komisi yang diterima pejabat publik dalam kaitan bisnis (illegal commision), dan kontribusi secara ilegal untuk partai politik. Dilihat dari pelakunya, tindak pidana korupsi berbeda luas sebaran dan jenisnya, mulai dari yang dilakukan secara “free lance” hingga yang dilakukan secara sistematis (berjamaah). Korupsi yang sama sekali tidak menghiraukan aturan main dan dilakukan secara sistematis, sering disebut hypercorruption.7 Korupsi sistematis menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik karena meremehkan lembaga-lembaga pemerintahan, dan kerugian sosial karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan orang-orang yang tidak berhak. Mengingat dampaknya yang begitu dasyat, maka korupsi digolongkan ke dalam “extraordinary crime”, sehingga memerlukan “extraordinary measures” untuk memberantasnya. Menurut Robert Klitgaard, korupsi (C=corruption) akan terjadi ketika ada kekuasaan monopoli (M=monopoly power) yang dimiliki oleh seorang pejabat, dan dia mempunyai wewenang untuk memutuskan (D=discretion by official), serta tidak ada akuntabilitas (A=accountability). Pendapat tersebut dirumuskannya dalam formula C=M+D–A.8 Jadi, misalnya, jika ada seseorang memegang monopoli atas barang atau jasa dan memiliki wewenang untuk memutuskan siapa yang berhak mendapatkan barang atau jasa itu dan berapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas (dalam arti orang lain dapat menyaksikan apa yang diputuskan oleh orang yang memegang wewenang itu), maka kemungkinan besar akan ditemukan korupsi di situ. Tetapi apakah korupsi betul-betul terjadi ataukah tidak, tergantung juga pada faktor 7 8 Robert Klitgaard et al, Op. Cit., hlm. 3. Ibid, hlm. 29. subyektif pelakunya, karena reaksi orang pada peluang untuk melakukan korupsi tidak sama. Namun demikian penting untuk disadari bahwa semakin besar godaan dan peluang untuk melakukan korupsi, semakin banyak korupsi terjadi. Menurut Francisco Ramirez Torres, godaan untuk melakukan korupsi ada ketika keuntungan atau hasilnya besar, kemungkinan tertangkapnya kecil, dan hukumannya ringan.9 Bertitik tolak dari karakteristik korupsi dengan dampaknya yang dasyat, maka strategi pemberantasan korupsi paling tidak harus menggunakan 4 (empat) pendekatan, yaitu: pendekatan hukum, pendekatan moralistik dan keimanan, pendekatan edukatif dan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan hukum memegang peran yang strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, melalui serangkaian kebijakan regulasi, implementasi dan penegakan hukum. Sementara itu, pendekatan moralistik dan keimanan merupakan rambu-rambu pembatas untuk meluruskan langkah para pejabat publik khususnya penegak hukum untuk memperkuat integritas dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Pendekatan edukatif melengkapi kedua pendekatan tersebut di atas dan berfungsi menggerakkan dan meningkatkan daya nalar masyarakat sehingga mempunyai pemahaman yang komprehensif mengenai latar belakang, penyebab, serta dampak korupsi, serta langkah-langkah pencegahannya. Sementara itu, pendekatan sosio kultural berfungsi membangun kultur masyarakat yang mengutuk tindak pidana korupsi dengan melakukan kampanye publik yang meluas ke seluruh lapisan masyarakat. Deskripsi tentang penyebab korupsi maupun strategi pemberantasannya sebagaimana diuraikan di atas, akan berkaitan dengan diskursus tentang hukum dan moral. Moral dapat memiliki arti sebagai keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ihwal “baik” atau perbuatan baik manusia.10 Kaum positivistik berpegang teguh pada pandangan bahwa antara hukum dan moral harus diadakan perbedaan, walaupun di antara keduanya sulit untuk dipisahkan. Untuk membedakan antara moral dan hukum, Emanuel Kant (1724-1804) mengajukan perbedaan antara moralitas dan legalitas perbuatan manusia. Moralitas suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah moral (morele wetten), sedangkan legalitas suatu perbuatan menyatakan bahwa perbuatan itu sesuai dengan kaidah 9 Ibid, hlm. 30. J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Alih bahasa oleh Arief Sidharta, Citra Aditya Bahkti, Bandung, 1996, hlm. 223 10 hukum (Juridische wetten).11 Dengan demikian, perbedaan antara hukum dan moral terletak pada perbedaan dalam tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh kedua jenis kaidah itu terhadap perbuatan. Kaidah hukum mengarahkan diri hanya pada perbuatan-perbuatan lahiriah, sedangkan kaidah moral mempunyai kaitan juga dengan alasan-alasan (motivasi) yang mendorong pada dilakukannya perbuatan lahiriah.12 Namun demikian, antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Di satu sisi, hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas, karena kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa. Di sisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau dilembagakan dalam masyarakat. Dikaitkan dengan perilaku manusia, maka dapat dikatakan bahwa pencapaian tujuan hukum, tidak hanya memerlukan peraturan yang baik secara moral, tetapi juga memerlukan pelaksana hukum yang bermoral baik. Orang yang secara moral baik, adalah juga orang yang mempunyai integritas moral yang tinggi. Integritas merujuk pada mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan dan kejujuran.13 Jadi, integritas adalah konsistensi antara tindakan dan nilai. Orang memiliki integritas hidup sejalan dengan nilai-nilai prinsipnya. Kesesuaian antara kata-kata dan perbuatan merupakan hal yang esensial. Jika setiap orang tidak lagi memegang kata-katanya, maka hubungan fundamental yang berkaitan dengan kepercayaan, berada diambang kehancuran. Menurut Andrian Gostik & Dana Telford, ada 10 karakteristik yang secara konsisten diperlihatkan oleh orang-orang yang memiliki integritas, yaitu:14 1. 11 Anda menyadari bahwa hal-hal kecil itu penting Agar memiliki keunggulan integritas, anda tidak boleh berbohong dalam hal-hal kecil; dan sebagai hasilnya, anda tidak akan tergoda oleh hal-hal yang lebih besar- kekuasaan, prestise, atau uang. Hal yang juga penting, sebagai orang yang berintegritas, anda setia pada nilai moral internal anda, bahkan bila itu Ibid., hlm. 233. Ibid., hlm. 234. 13 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 437. 14 bto.depnakertrans.go.id 12 berarti anda harus berhadapan dengan resiko kehilangan tempat yang nyaman di dunia. 2. Anda menemukan yang benar (saat yang lain melihat warna abu-abu). Untuk mendapatkan keunggulan integritas, anda tidak boleh mengambil keputusan sendiri. Anda mengajukan pertanyaan, menerima saran, berefleksi, dan melihat jauh ke depan. Ringkasnya, pastikan bahwa anda mengambil keputusan yang tidak bertentangan dengan kode integritas pribadi. 3. Anda bertanggung jawab. Untuk memiliki keunggulan integritas, anda sadar bahwa pencarian integritas merupakan bagian yang integral dari kepemimpinan. Anda bersikap terbuka dan jujur, mengungkapkan cerita yang baik maupun yang buruk secara lengkap. Anda berbagi semua informasi penting, tidak hanya informasi yang menguntungkan anda. Anda mengaku ketika berbuat salah, meminta maaf, dan memperbaikinya. 4. Menciptakan budaya kepercayaan. Dengan memiliki keunggulan integritas, Anda membantu menciptakan lingkungan kerja yang benar, yakni lingkungan yang tidak menguji integritas pribadi karyawan atau rekan kerja anda. Anda memperkuat integritas itu melalui prinsip, control, dan teladan pribadi. Dan Anda memberikan penghargaan pribadi dalam segala tindakan mereka. 5. Anda menepati janji. Karyawan tidak akan mengikuti kata-kata pemimpin yang tidak mereka percayai. Atasan tidak akan mempekerjakan atau mempromosikan pekerja yang tidak mereka percayai. Klien tidak akan membeli produk dari pemasok yang tidak mereka percayai. Untuk memperoleh keunggulan integritas, Anda perlu berlaku penuh integritas, guna memperoleh kepercayaan. 6. Anda peduli terhadap kebaikan yang lebih besar Untuk memiliki keunggulan integritas, Anda berkomitmen sangat kuat untuk memberikan keuntungan terhadap organisasi tempat anda bernaung. Anda memedulikan perusahaan, produk, serta layanan anda, dan khususnya rekan satu tim anda. Melalui kerja, Anda memperoleh perasaan tentang adanya tujuan yang lebih dalam. 7. Anda jujur namun rendah hati. Untuk memiliki keunggulan integritas, anda tidak memproklamasikan kebaikan atau kejujuran anda. Itu seperti menyombongkan kerendahan hati. Anda seharusnya membuat tindakan anda berbicara lebih keras daripada kata-kata. 8. Anda bertindak sebagai sedang diawasi. Untuk memiliki keunggulan integritas, anda perlu berfikir bahwa setiap tindakan anda selalu diawasi. Anda perlu memastikan bahwa integritas anda itu diteruskan ke generasi-generasi mendatang melalui teladan yang anda berikan. 9. Anda mempekerjakan Integritas. Untuk memiliki keunggulan integritas, anda perlu mempekerjakan dan mengelilingi diri anda dengan orang-orang berintegritas tinggi. Anda mempromosikan orang yang memperlihatkan kemampuan untuk dipercaya. 10. Anda konsisten. Untuk memiliki keunggulan integritas, anda harus memiliki konsistensi dan keterdugaan etis. Hidup anda mencerminkan keutuhan dan keselarasan antara nilai dan tindakan anda. Dikaitkan dengan landasan filosofi bangsa Indonesia yaitu Pancasila, maka integritas moral seseorang pada dasarnya merupakan manifestasi pengamalan Sila I tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini, di dalamnya mengandung nilai keyakinan terhadap keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dengan segenap sifat KeMahaannya. Implikasi dari pengakuan ini maka di dalamnya juga terkandung dimanifestasikan nilai dengan ketaqwaa cara terhadap Tuhan yang Maha menjalankan semua perintah Esa, dan yang larangan- laranganNya.15 Sila I inilah yang menjiwai keseluruhan sila-sila lainnya, sehingga integritas moral seseorang yang didasarkan pada kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa akan menuntunnya untuk bersikap hormat pada kemanusiaan, mengutamakan persatuan, menjalankan demokrasi dan mewujudkan keadilan sosial. 2. Landasan Yuridis Konstruksi konstitusi sebagai hukum dasar dalam sistem hukum Indonesia secara jelas menggambarkan betapa negara dan perangkat kelembagaannya termasuk sistem hukum yang dibangunnya, antara lain dimaksudkan bagi terselenggaranya pemerintahan negara yang bersih. Tujuan mencapai kesejahteraan umum akan menuntut pengelolaan sumber daya secara benar dan fair. Untuk tujuan itu, maka pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi pilihan agar dalam penyelenggaraan pemerintahan negara terjadi mekanisme check and balances, sehingga tidak ada kekuasaan yang absolut dan akhirnya korup. Di samping itu, Pasal 33 ayat (3) secara jelas mengamanatkan agar sumber daya alam sebagai modal dasar pembangunan dikuasai oleh negara untuk menjamin kemakmuran rakyat. Karena itu, maka sistem perekonomian nasional diselenggarakan dengan mendasarkan diri pada prinsip kebersamaa, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (vide Pasal 33 ayat (4)). Komitmen untuk mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia terlihat dengan diterbitkannya TAP MPR No XI/MPR/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Undang-Undang Nomor 15 Dardji Darmodihardjo dkk., Santiaji Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta, 1978, hlm. 51. 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di samping itu, kemudian ditetapkan pula TAP MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Di samping itu, diterbitkan pula undang-undang yang secara khusus mengatur tentang bagaimana pemberantasan korupsi dilakukan melalui criminal justice system, yaitu Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pada tingkatan peraturan pelaksanaan, telah diterbitkan pula Peraturan pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara dan Peraturan pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai peraturan tersebut menekankan bahwa penyelenggara negara harus bersih dari KKN dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan dan pemerintahan. Salah satu indikasi bersihnya penyelenggara adalah ketika penyelenggara negara tersebut tidak melakukan perbuatan KKN. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diletakkan berbagai asas penyelenggaraan negara sebagai landasan pengaturan maupun tindakan penyelenggaraan pemerintahan16 dan berbagai kewajiban penyelenggara negara.17 Dalam konteks pemberantasan KKN, peran serta masyarakat merupakan hal yang esensial, karena melalui peran serta tersebut tindak pidana KKN 16 Dalam Pasal 3 UU No. 28 tahun 1999 disebutkan tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu (1) asas kepastian hukum; (2) asas tertib penyelenggaraan negara; (3) asas kepentingan umum; (4) asas keterbukaan; (5) asas proporsionalitas; (6) asas profesionalitas; (7) dan asas akuntabilitas. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, ketujuh asas tersebut masih ditambah dua asas lagi, yaitu asas efektivitas dan efisiensi. 17 Pasal 5 UU No. 28 tahun 1999 menegaskan bahwa setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk: (1) mengucapkan sumpah atau janji sebelum memangku jabatannya; 92) bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat; (3) melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat; tidak melakukan perbuatan KKN; (5) melaksanakan tugas tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan; (6) melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tanpa pamrih serta tidak melakukan perbuatan yang tercela; (7) bersedia menjadi saksi dalam perkara KKN serta perkara lain. dapat dicegah terjadinya dan mudah diketahui ketika telah terjadi, serta terpantau dalam penyelesaian hukumnya. Sehubungan dengan itu, baik UU No. 28 tahun 1999, UU No. 31 tahun 1999, UU No. 30 tahun 2002, UU No. 46 Tahun 2009, maupun PP No. 71 Tahun 2000, membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan KKN. Untuk menjamin peran serta tersebut, maka keterbukaan informasi menjadi syarat mutlak, karena keterbukaan tersebut adalah pintu masuk bagi peran serta. Di samping itu, perlindungan hukum juga diatur sebagai bentuk jaminan hukum bagi masyarakat yang berperan serta dalam pemberantasan KKN. Siapa saja yang dimaksud dengan penyelenggara negara menurut undangundang tersebut yaitu: (1) Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; (2) Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;18 (3) Menteri; (4) Gubernur; (5) Hakim; (6) Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku (seperti Duta Besar Luar biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota); (7) Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (seperti pejabat structural pada BUMN/BUMD, Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan Perguruan Tingggi negeri, Pejabat Eseleon I, Jaksa, Penyidik,penitera Pengadilan, dan Pemimpin dan Bendaharawan proyek). Penyebutan siapa yang dimaksud pejabat negara dalam UU No. 28 tahun 1999 tersebut, termasuk di dalamnya adalah pejabat administrasi yang melaksanakan tugas pemerintahan di tingkat proyek. Dalam konteks Hukum Administrasi, badan-badan publik seperti negara, provinsi, kabupaten/kota dalam menjalankan kewenangan publiknya, menggunakan berbagai instrumen pemerintahan (sarana tata usaha negara) yang antara lain adalah barang-barang/benda-benda.19 Barang-barang ini menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara disebut dengan barang milik negara/daerah, yaitu semua barang yang diperoleh atau dibeli atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.20 Barang-barang tersebut 18 Setelah diamandemennya UUD 1945, pembedaan antara lembaga tinggi negara dan lembaga negara tidak ada lagi. Yang ada adalah lembaga negara. 19 Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 180. 20 Yang dimaksud dengan perolehan lainnya yang sah menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 tahun 2004 meliputi: (a) barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; (b) barang yang diperoleh sebagai berada di bawah penguasaan pengelola barang milik negara/daerah yaitu Menteri/Gubernur/Bupati/walikota. Pengelolaan barang milik negara/daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai. (Pasal 3 ayat (1) PP No. 6 tahun 2006). Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PP No. 6 Tahun 2006, pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi kegiatan: (a) perencanaan; (b) pengadaan; (c) penggunaan; (d) pemanfaatan; (e) pengamanan dan pemeliharaan; (f) penilaian; (g) penghapusan; (h) pemindahtanganan; (i) penatausahaan; dan (j) pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Dari kesekian aktivitas yang termasuk dalam ruang lingkup pengelolaan barang milik negara/daerah, aktivitas pengadaan merupakan aktivitas yang mempunyai posisi penting. Hal ini karena, aktivitas pengadaan ini merupakan simpul yang menghubungkan antara perencanaan kebutuhan akan barang milik negara/daerah dengan kepemilikan serta penggunaan barang tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dikaitkan dengan komitmen untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN, pengadaan barang ini memerlukan pengawasan yang serius mengingat di kegiatan ini rawan akan terjadinya KKN. Sehubungan dengan itu, maka menurut Pasal 11 PP No. 6 Tahun 2006, pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel. Berangkat dari maksud untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa yang bebas KKN berdasarkan 6 (enam) prinsip di atas, maka kemudian ditetapkanlah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. peraturan pemerintah ini menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2003 dengan tujuh kali perubahannya. Menurut Perpres No. 54 Tahun 2010, pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. (Pasal 1 butir 1). pelaksanaan dari perjanjian/kontrak; (c) barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang; atau (d) barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pengaturan pengadaan barang/jasa dalam perpres ini diperuntukkan bagi pengadaan: (a) Barang; (b) Pekerjaan Konstruksi; (c) Jasa Konsultansi; dan (d) Jasa Lainnya. Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa menurut Pasal 3, dilakukan melalui: (a) swakelola; dan/atau (b) pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Swakelola merupakan kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat. Swakelola sebagai salah satu prosedur pengadaan barang/jasa, pelaksanaannya meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, penyerahan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Menurut Pasal 26 ayat (4), pengadaan melalui swakelola dapat dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi lainnya sebagai penanggung jawab anggaran, Instansi Pemerintah lain Pelaksana Swakelola, dan/atau Kelompok Masyarakat Pelaksana Swakelola. Sementara itu, pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa, pada dasarnya meliputi kegiatan persiapan, pelaksanaan pemilihan, penetapan dan pengumuman pemenang, penandatangan kontrak, pelaksanaan kontrak, pengawasan, penyerahan pekerjaan, pelaporan dan pertanggungjawaban pekerjaan. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa melalui penyedia barang/jasa dijalankan oleh organisasi pengadaan barang/jasa dan penyedia barang dan jasa. Organisasi Pengadaan Barang/Jasa untuk Pengadaan melalui penyedia barang/jasa, menurut Pasal 7, terdiri atas: a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; b. Pejabat Pembuat Komitmen; c. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan; dan d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan Untuk menjamin prinsip keterbukaan, sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka setiap tahapan dalam proses pengadaan barang dan jasa harus diumumkan dan dokumen-dokumen yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa juga harus disediakan dan bersifat terbuka untuk umum. Karena itu, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) undang-undang tersebut mewajibkan badan publik untuk menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Namun demikian, perlu diperhatikan juga ada beberapa kategori informasi yang dikecualikan dari kewajiban untuk dibuka kepada publik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tersebut. Untuk menghindari terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa, maka menurut Pasal 6, para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa wajib mematuhi etika sebagai berikut: a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa; b. bekerja secara profesional dan mandiri, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa; c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat; d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak; e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa; f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. Untuk menjamin dipatuhinya etika di atas, maka para pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, harus menandatangi pakta integritas. Pakta integritas menurut Pasal 1 butir 13 adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. Apabila dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ditemukan adanya indikasi penyimpangan prosedur, KKN, dan persaingan yang sehat, menurut Pasal 117 Perpres No. 54 Tahun 2010, masyarakat berhak mengajukan pengaduan atas proses pemilihan Penyedia Barang/Jasa kepada Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang bersangkutan dan/atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, disertai bukti-bukti kuat yang terkait langsung dengan materi pengaduan. Pengaduan tersebut, menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, juga dapat disampaikan kepada Ombudsman Republik Indonesia apabila terdapat maladministrasi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Apabila dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka menurut Pasal 36 undang-undang tersebut, penyelenggara, dalam hal ini pengguna barang/jasa, berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. Apabila dari hasil pengelolaan pengaduan tersebut, dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa ditemukan adanya penyimpangan prosedur, KKN, dan persaingan yang sehat, maka para pihak yang terkait dengan pengadaan barang/jasa yang melakukan pelanggaran dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sanksi tersebut meliputi baik sanksi perdata, pidana, maupun administrasi. Apabila pelanggaran tersebut dilakukan oleh pejabat administrasi yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa, maka sanksi administrasi yang dijatuhnya sejalan dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. 3. Landasan Sosiologis Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) sebagaimana dikonsepkan oleh Roscoe Pound, meniscayakan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) pada posisi yang sangat penting dalam mengatur tata kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bagaimana negara atau pemerintah menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Menurut Stiglitz, setidaknya ada empat fungsi yang dilaksanakan oleh pemerintah, yaitu: (1) menyediakan (memproduksi) barang dan jasa, (2) membuat regulasi , (3) melakukan redistribusi pendapatan (sumber daya ekonomi), serta (4) menggunakan (konsumen) barang dan jasa.21 Untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah menggunakan instrumen birokrasi dan unit usaha pemerintah. Dengan kata lain, birokrasi pemerintah dan unit usaha milik pemerintah (BUMN) yang selama ini berjalan adalah dalam rangka melaksanakan keempat fungsi pemerintah tersebut. Menurut Morgan, organisasi birokrasi dapat dimetaforakan sebagai organisme hidup yang kehidupannya sangat tergantung dari lingkungan di sekitarnya. Ketika masyarakat sebagai lingkungan eksternal birokrasi mengalami perubahan maka brikorasi pemerintah juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Ketika masyarakat tengah bergerak ke arah modern di bawah pengaruh nilai-nilai global yang menjunjung tinggi demokrasi, hak asasi manusia, persamaan, keadilan, dan transparansi, maka dinamika ini membutuhkan perubahan sosok dan fungsi birokrasi pemerintah yang diidealkan mampu memenuhi harapan atau preferensi masyarakat tersebut.22 Perubahan-perubahan tersebut harus direspon oleh birokrasi melalui reformasi birokrasi agar tidak ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri. Sejalan dengan perubahan masyarakat tersebut, maka reformasi birokrasi harus ditujukan untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat secara maksimal serta pengelolaan keuangan negara secara transparan dan akuntabel. Tujuan reformasi birokrasi adalah: (a) meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat yang dilaksanakan dengan meningkatkan efisiensi jalur birokrasi; (b) menekan peluang-peluang terjadinya praktek penyalahgunaan birokrasi untuk kepentingan pihak tertentu dalam bentuk korupsi, kolusi, dan sebagainya; (c) menurunkan beban ekonomi biaya tinggi sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi; dan (d) meningkatkan kualitas dan jangkauan penyediaan layanan kebutuhan dasar masyarakat seperti pendidikan dan kesehatan. Dikaitkan dengan fungsi hukum sebagai social engineering seperti telah diuraikan sebelumnya, maka perubahan birokrasi tersebut agar sejalan dengan tuntutan masyarakat, akan membutuhkan peraturan hukum. Dalam konteks otonomi 21 Komisi Pemberantasan Korupsi, Integritas Sektor Publik Indonesia Tahun 2008, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, Jakarta, 2009, hlm. 2 22 Erwan Agus Purwanto, Strategi Penerapan Standar pelayanan untuk Reformasi Birokrasi, dalam Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, Editor Erwan Agus Purwanto dan Agus Pramusinto, Gana Media bekerjasama dengan JIAN UGM dan MAP UGM, Yogyakarta, 2209, hlm. 304. daerah, peraturan hukum tertulis yang diperlukan tidak sebatas peraturan hukum dari tingkat pusat, tetapi juga diperlukan peraturan hukum lokal. Peraturan walikota dalam konteks Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah adalah salah satu bentuk peraturan perundang-undangan tingkat lokal. Sebagai hukum tertulis, maka pembentukannya harus memperhatikan kebutuhan masyarakat (social need), kondisi masyarakat (social condition), dan modal/kekayaan masyarakat (social capital), agar substansinya sejalan dengan apa yang menjadi kebutuhan, kondisi, dan modal yang dimiliki masyarakat. Hal ini akan berdampak pada penerimaan masyarakat, peraturan walikota yang ditetapkan tersebut mampu mengarahkan perilaku setiap stakeholder yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam konteks keilmuan hukum, persoalan penerimaan masyarakat terhadap hukum yang ditetapkan akan berkaitan dengan teori keberlakuan kaidah hukum. Menurut Bruggink23, ada tiga faktor yang menjadi parameter sebuah produk hukum dapat berlaku secara baik, yakni mempunyai dasar keberlakuan yuridis, sosiologis, dan filosofis. Keberlakuan yuridis atau normatif suatu peraturan atau kaidah jika kaidah itu merupakan bagian dari suatu kaidah hukum tertentu yang di dalam kaidah-kaidah hukum tersebut saling menunjuk yang satu terhadap yang lain. Sistem kaidah hukum yang demikian terdiri atas suatu keseluruhan hirarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah hukum umum. Di dalamnya kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi.24 Dengan demikian berarti bahwa dalam penetapan peraturan walikota harus dipastikan agar bentuk dan substansi peraturan tersebut merupakan bagian dari sistem pengadaan barang dan jasa yang telah ditetapkan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan dengan pengadaan barang dan jasa. Karena substansi peraturan walikota tersebut merupakan derivasi dari kaidah hukum yang lebih tinggi, maka pembentukannya 23 J.J.H. Bruggink, Op. Cit., hlm. 142-152. Menurut Bagir Manan, keberlakuan yuridis ini diperinci dalam empat syarat, yaitu: (1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan; (2) keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur; (3) keharusan mengikuti tata cara tertentu; dan (4) keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. 24 harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: (1) ruang lingkup kewenangan pemerintah daerah terkait dengan pengadaan barang dan jasa; (2) bentuk, jenis, dan materi muatannya haruslah sejalan dengan peraturan yang menjadi dasarnya; (3) prosedur pembuatannya sejalan dengan peraturan yang menjadi dasarnya; dan (4) substansi peraturannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.25 Sementara itu, keberlakuan empiris /sosiologis berhubungan dengan situasi ketika para warga masyarakat mematuhi hukum di mana hukum itu diberlakukan. Dengan demikian, peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa harus mampu mengarahkan setiap stakeholder yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa untuk berperilaku sejalan dengan substansi peraturan tersebut, yaitu untuk tidak melakukan KKN dan menjalankan proses pengadaan barang dan jasa secara transparan dan partisipatif. Dalam kerangka itu, maka perlu diperhatikan beberapa hal: (1) penyusunannya didasarkan pada kebijakan perencanaan yang telah ditetapkan; (2) diperlukan pemahaman yang memadai tentang teori, metodologi, serta teknik perancangannya secara komprehensif; (3) penyiapan dan pembahasannya harus partisipatif; Keberlakuan filosofis/evaluatif berkaitan dengan keharusan peraturan hukum mencerminkan sistem nilai, baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, berarti peraturan walikota terkait dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa harus mencerminkan sistem nilai yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.26 Sehubungan dengan itu, maka pembentukan produk hukum lokal dengan berbasis riset akan dapat lebih menjamin terserapnya nilai-nilai lokal dalam substansi peraturan yang diitetapkan. C. Identifikasi Masalah Dengan memahami permasalahan yang melatarbelakangi perlunya diatur penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa, maka ada beberapa hal layak diatur dalam peraturan tersebut, agar arah, ruang lingkup, dan efektivitas 25 Lihat Pasal 136 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 136 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain menegaskan bahwa peraturan daerah disusun dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. 26 peraturan tersebut dapat dapat mencapai tujuan utama pengaturan, yaitu mencegah terjadinya KKN dalam proses pengadaan barang dan jasa. Berikut ini adalah identifikasi beberapa permasalahan yang perlu diakomodasi dalam pengaturan, yaitu: 1. Mengapa dalam pengadaan barang dan jasa perlu menerapkan pakta integritas? Pertanyaan ini merupakan titik berangkat untuk merumuskan tujuan pengaturan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. 2. Komitmen apa saja yang hendak diwujudkan dalam proses pengadaan barang dan jasa? Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan tentang berbagai komitmen yang harus diwujudkan baik oleh pemerintah, penyedia barang dan jasa, serta stakeholder lainnya dalam proses pengadaan barang dan jasa untuk menghindari KKN. 3. Atas dasar nilai-nilai apa, penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa diterapkan? Pertanyaan ini berkaitan dengan perlu diaturnya asas-asas yang melandasi penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Asas-asas inilah yang akan menjiwai pengaturan dalam batang tubuh peraturan. 4. Bagaimana menerapkan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa? Pertanyaan ini berkaitan dengan ruang lingkup penerapan pakta integritas dalam setiap tahapan dari proses pengadaan barang dan jasa. Dengan demikian, diperlukan pengaturan yang dapat menjelaskan setiap tahapan pengadaan barang dan jasa secara runtun, runtut, logis, dan sistematis, mulai dari perencanaan hingga penyerahan barang dan jasa, dan nilai-nilai pakta integritas apa yang mesti dijalankan baik oleh pemerintah sebagai penyelenggara pengadaan barang dan jasa, penyedia barang dan jasa, maupun masyarakat. 5. Siapa-siapa yang terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa, dan bagaimana hubungan di antara berbagai pihak tersebut? Pertanyaan ini berkaitan dengan perumusan hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa, baik itu pemerintah, penyedia barang dan jasa, maupun masyarakat. 6. Apakah penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa dapat dijamin konsistensinya? Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan tentang instrument-instrumen kebijakan pendukung untuk lebih mendorong efektivitas penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Instrument-instrumen tersebut meliputi, baik insentif, disinsentif, pengawasan, dan penegakan hukumnya. 7. Bagaimana masyarakat berperan serta agar penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengurangi tingkat KKN? Pertanyaan ini berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam penerapan pakta integritas tersebut, yang meliputi pengaturan tentang bentuk-bentuk peran serta dan mekanisme peran serta. 8. Bagaimana apabila pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tidak mencerminkan pakta integritas yang seharusnya diterapkan? Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan mengenai pengaduan masyarakat apabila dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Pengaturan tersebut meliputi: (a) atas peristiwa-peristiwa apa masyarakat dapat mengajukan pengaduan?; (b) kepada siapa pengaduan ditujukan, atau lembaga apa yang berwenang menerima dan memproses pengaduan?: (c) apa syarat-syarat sebuah pengaduan?; (d) bagaimana mekanisme penanganan pengaduan?; dan (e) apa dan bagaimana konsekuensi hukum pengaduan masyarakat tersebut? 9. Bagaimana implikasi hukum dari terbitnya peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa terhadap peraturan perundangundangan lain di kota semarang, dan terhadap aktivitas pengadaan barang dan jasa yang tengah berlangsung? Pertanyaan ini berkaitan dengan pengaturan tentang ketentuan peralihan. Pengaturan mengenai hal ini penting untuk diperhatikan agar peraturan walikota ini tidak menimbulkan persoalan dalam implementasinya. D. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan Disusunnya naskah akademik untuk rancangan peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang ditujukan untuk: a. Menggali dasar-dasar teoretik, yuridis, dan sosiologis untuk memberikan argumentasi akademik tentang urgensi pembentukan peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang, sehingga dapat menjadi landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan peraturan walikota tersebut; b. Memberikan arah dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang; c. Menyerap aspirasi masyarakat tentang substansi rancangan peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang. 2. Kegunaan Kegunaan naskah akademik untuk rancangan peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang adalah: a. Sebagai bahan masukan bagi pembuatan rancangan peraturan walikota tentang Rancangan Peraturan Walikota tentang Penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang; b. Sebagai bahan awal bagi pihak-pihak yang berkepentingan agar dapat memberikan masukan bagi terbentuknya peraturan walikota tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan Jasa di kota Semarang. E. Metode Penelitian Metode pendekatan yang dipergunakan dalam menyusun Naskah Akademik ini adalah socio legal research. Melalui pendekatan ini, pengkajian hukum ditujukan terhadap dua obyek, yaitu obyek hukum yang berupa peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan dan obyek realitas sosial yang berupa kebutuhan dan aspirasi masyarakat akan peraturan walikota terkait dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Obyek hukum diperoleh melalui studi pustaka terhadap: a. peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa serta pakta integritas serta peraturan perundang-undangan yang relevan lainnya, baik peraturan perundang-undangan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah; b. kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa serta pakta integritas dalam rangka pencegahan korupsi, kolusi , dan nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik yang ditetapkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah kota. Obyek sosial diperoleh melalui: a. Focus group discussion yang melibatkan berbagai stakeholder, baik yang berasal dari unsur pemerintahan, dunia usaha, akademisi, LSM, maupun tokoh masyarakat dan masyarakat pada umumnya. Melalui FGD ini diharapkan ditemukan kecenderungankecenderungan dan pola atas suatu isu secara kolektif yang terkait dengan pengaturan tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa yang menggambarkan apa yang diinginkan oleh masyarakat. b. Studi pustaka terhadap berbagai hasil penelitian yang relevan yang telah dilakukan sebelumnya. Dokumen penelitian yang telah dilakukan oleh PATTIRO yang berkaitan dengan ……. akan menjadi bahan awal. Di samping itu diperlukan juga dokumendokumen hasil penelitian yang lain yang terkait dengan ……….. yang berasal dari berbagai sumber. Pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan dan kebijakan dilakukan melalui statute approach terhadap peraturan-peraturan hukum positif dan dokumendokumen hukum yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa dan pakta integritas baik terhadap peraturan perundang-undangan tingkat pusat maupun tingkat daerah. Sementara itu, pengkajian terhadap kebutuhan masyarakat akan peraturan terkait dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa dilakukan terhadap pandangan, persepsi, keinginan, dan harapan masyarakat yang terekam dari hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil FGD yang telah dilakukan, dilakukan melalui analisis sosial. BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN Dalam konteks struktur normatif sebuah norma hukum, asas mempunyai kedudukan di atas norma, atau meta norma. Dengan demikian, maka nilai-nilai yang terkandung dalam asas-asas tersebut sudah seharusnya menjadi penuntun dalam penetapan norma. Dengan kata lain, penetapan norma wajib merujuk pada asas-asas yang telah diterapkan. Sehubungan dengan itu, maka ruang lingkup, substansi, dan arah peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari asas-asas yang melandasinya. Asas-asas tersebut dapat ditelusur dari dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan, dan dapat juga ditelusur berbagai teori, gagasan, konsep keilmuan yang terkait dengan materi peraturan. Berdasarkan pada apa yang telah diuraikan di atas, maka penyusunan rancangan peraturan walikota tentang Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa, harus juga didasarkan atas beberapa asas yang relevan. Relevansi asas-asas yang hendak diletakkan sebagai dasar tersebut tentunya berkaitan dengan substansi pengaturan yang berhubungan dengan aktivitas penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Jadi persoalannya adalah, dalam konteks pengadaan barang dan jasa, prinsip-prinsip dasar apa yang harus diperhatikan dan dijadikan landasan agar penerapan pakta integritas dapat menghindarkan terjadinya KKN dalam pengadaan barang dan jasa. Menurut van Wijk dan Willem Konijnenbelt, setiap tindakan dan atau keputusan pemerintah, haruslah didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu prinsip negara hukum (rechtsstaat), prinsip demokrasi, dan prinsip instrumental.27 Prinsip negara hukum (rechtsstaat) berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat dari kekuasaan pemerintahan. Sementara itu, prinsip-prinsip umum negara hukum yang langsung berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap kekuasaan pemerintahan adalah apa yang oleh van Wijk dan Willem Konijnenbelt dikatakan termasuk dalam “de belangrijkste elementen van rechtsstaatideaal”, yakni:28 a. asas legalitas dalam pelaksanaan pemerintahan (wetmatigheid van bestuur); b. perlindungan hak-hak dasar (grondrechten); c. pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan (machtsverdeling); 27 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum, Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 2. Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, 1997, hlm. 41. 28 d. pengawasan oleh pengadilan. Agar pelaksanaan kewenangan pemerintahan merupakan tindakan yang sah secara hukum, maka pelaksanaan kewenangan pemerintahan tersebut harus mencerminkan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur), yang di dalamnya mengandung tiga makna, yaitu: (1) dinyatakan secara tegas adanya suatu wewenang (uitdrukkelijke bevoegdheid); (2) adanya persamaan dalam pengurusan pemerintahan (geleijkheid van behandeling); dan adanya kepastian hukum (rechtszekerheid).29 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepastian hukum dapat dijamin ketika pemerintah bertindak berdasarkan kewenangan yang jelas, dan dalam tindakannya itu dijamin adanya asas persamaan. Karena itu, kepastian hukum adalah syarat mutlak agar setiap tindakan pemerintahan sah secara hukum. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas kepastian hukum merupakan asas mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam perspektif konsep negara kesejahteraan (welfare state) setiap aktivitas negara/pemerintah pada dasarnya dimaksudkan bagi terciptanya kesejahteraan rakyatnya. Menurut N.M. Splet dan Ten Berge, aktivitas pemerintahan dalam kerangka tersebut, dapat dibedakan ke dalam dua macam tugas, yaitu tugas-tugas mengatur dan tugas-tugas mengurus (ordenede en verzorgende taken).30 Dalam kerangka pelaksanaan tugas-tugas tersebut, pemerintah menetapkan berbagai instrument kebijakan. Melalui pelaksanaan tugas tersebut dan penerapan instrumen kebijakan itu, diharapkan tujuan kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Di sini mengandung arti bahwa pemerintah, melalui berbagai aktivitas dan kebijakan tersebut, pemerintah tengah memberikan janji-janji kepada rakyatnya bahwa kesejahteraannya akan dapat tercapai melalui tindakan tersebut, dan kepada rakyatnya, pemerintah mengharapkan adanya kepercayaan akan janji-janji pemerintah tersebut. di sinilah pentingnya asas kepercayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Philipus M. hadjon, asas kepercayaan juga termasuk asas yang mendasar dalam hukum publik. Dalam hukum administrasi, asas ini mengandung arti bahwa harapan-harapan yang telah ditimbulkan sedapat mungkin dipenuhi.31 Dengan demikian, janji-janji yang telah disampaikan oleh pemerintah kepada rakyatnya, haruslah dipenuhi. Asas ini terutama penting sebagai dasar bagi arti yuridis dari janji-janji, keterangan- 29 Ibid. N.M. Spelt dan Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993, hlm. 1. 31 Philipus M. Hadjon et al, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 272. 30 keterangan, aturan-aturan kebijaksanaan dan bentuk-bentuk rencana.32 Bila suatu badan pemerintah atau seorang pejabat yang berwenang bertindak atas nama pemerintah itu memberikan janji kepada warga masyarakat, maka asas kepercayaan menuntut supaya badan pemerintah atau pejabat pemerintah tersebut dalam pelaksanaan kewenangannya itu, terikat pada janjinya. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa, ketika badan atau pejabat pemerintah berjanji hendak menerapkan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa, maka janji-janji tersebut juga harus direalisasikan. Jadi, bukan sekedar janji yang berada di atas kertas, baik itu peraturan maupun keputusan, tetapi betul-betul dapat dilihat dalam prakteknya bahwa dalam setiap tahapan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, prinsipprinsip yang terkandung dalam pakta integritas betul-betul diejawantahkan, sehingga tindakan KKN dapat dihindarkan. Di samping prinsip negara hukum, penyelenggaraan pemerintahan juga didasarkan pada prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi terutama berkaitan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik berupa pengambilan keputusan maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Dalam kaitan inilah hubungan antara pihak pemerintah dengan masyarakat pada masing bidang urusan pemerintahan ditandai oleh dua saluran kegiatan, yaitu: pihak pemerintah yang mempengaruhi masyarakat, dan masyarakat mempengaruhi pemerintah. Menurut van Wijk dan Willem Konijnenbelt, prinsip demokrasi yang melandasi hukum administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, di dalamnya mengandung beberapa asas, yaitu:33 a. kedudukan badan perwakilan rakyat (positie vertegen woordigende lichamen); b. asas tidak ada jabatan seumur hidup (afzetbaarheid van bestuurders); c. asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan (wet openbaarheid van bestuur); d. peran serta (inspraak); e. sedapat mungkin dihormatinya kepentingan-kepentingan orang lain (andere belangen zoveel mogelijk onzien). Dari kelima asas tersebut, karena prinsip demokrasi brkaitan dengan prosedur dan substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka ada dua asas yang mempunyai posisi penting dari kelima asas di atas, yaitu asas keterbukaan dan peran serta atau partisipasi. Asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk secara aktif memberikan 32 33 Ibid. Suparto Wijoyo, Op. Cit., hlm. 42. informasi kepada masyarakat tentang suatu permohonan atas suatu rencana tindak pemerintahan dan mewajibkan pula untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat atas berbagai hal yang diminta. Asas keterbukaan mewajibkan pula kepada pemerintah untuk mengumumkan setiap keputusan atau tindakan pemerintahan.34 Dalam suatu negara yang demokratis, di mana kekuasaan ada di tangan rakyat, berlaku ketentuan bahwa wewenang pihak pemerintah dalam beberapa bentuk selalu terbatas. Wewenang tersebut dilaksanakan oleh badan-badan yang dibentuk secara demokratis, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan, kalangan masyarakat dapat menyalurkan pengaruhnya melalui peran serta, atas penanganan wewenang yang dilakukan oleh institusi atau pejabat pemerintahan. Dikaitkan dengan asas keterbukaan tadi, maka dengan adanya keterbukaan tersebut akan memungkinkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peran serta masyarakat ini, di satu sisi akan dapat meningkatkan kualitas setiap tindakan atau keputusan yang hendak dan dan tengah diambil oleh pemerintah, dan pada sisi yang yang lain, melalui peran serta ini masyarakat dapat secara efektif melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan agar selalu sejalan dengan norma-norma hukum yang telah ditetapkan. Dengan demikian, asas keterbukaan dan peran serta, adalah dua asas yang akan memberikan landasan yuridis bagi terlibatnya masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Melalui dua asas ini, masyarakat menjadi berhak atas informasi dan berhak pula untuk memberikan masukan dalam soal-soal yang berkaitan dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang menjadi penentu dalam penyelenggaraan negara, karena rakyatlah yang berdaulat. Negara hanyalah institusi public bentukan rakyat yang diberi mandat untuk menjalankan kekuasaan demi kesejahteraan rakyat. Karena itu, setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Dalam kaitan ini, maka akuntabilitas adalah sesuatu yang mendasar dalam pelaksanaan pemerintahan apabila dikaitkan dengan kewajiban pemegang mandat terhadap pemegang kedaulatan. Deklarasi Tokyo mengartikan akuntabilitas sebagai kewajiban-kewajiban dari 34 Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 6. individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program. Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standar pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standar-standar tersebut.35 Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya. Uraian di atas secara jelas menggambarkan bahwa asas akuntabilitas merupakan asas yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama berkaitan dengan keharusan adanya pertanggungjawaban penyelenggara pemerintahan terhadap setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Dikaitkan dengan penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa, maka asas ini mengandung arti bahwa penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa haruslah dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik dalam prosesnya maupun dalam hasil akhirnya. Setiap aktivitas penyelenggaraan pemerintahan oleh institusi pemerintah atau pejabat administrasi negara, akan sangat mungkin menimbulkan kerugiankerugian tertentu pada warga masyarakat. Kerugian-kerugian tersebut dapat terjadi baik dalam bentuk tidak diperolehnya hak-hak maupun terlanggarnya hak-hak, serta kurang maksimalnya hak-hak tersebut dipenuhi oleh pemerintah. Karena itu, sejalan dengan prinsip negara hukum, maka perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang dirugikan oleh tindakan pemerintah dalam berbagai bentuk tadi, haruslah mendapatkan perlindungan hukum. Di sinilah asas perlindungan 35 hukum menjadi penting untuk melandasi aktivitas penyelenggaraan Teguh Arifiyadi, Konsep tentang Akuntabilitas dan Implementasinya di Indonesia, Inspektorat Jenderal Depkominfo, Jakarta, 2008, hlm. 2 pemerintahan, termasuk di dalamnya aktivitas pengadaan barang dan jasa, agar hak-hak warga masyarakat dapat dijamin perlindungannya dari kesewenang-wenangan pemerintah. Dari uraian yang telah dipaparkan dalam bab ini, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa asas yang layak melandasi penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. Asas-asas tersebut meliputi: a. asas kepastian hukum; b. asas kepercayaan; c. asas transparansi; d. asas partisipasi; e. asas akuntabilitas; dan f. asas perlindungan hukum. BAB III MATERI MUATAN PERATURAN WALIKOTA DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF Bab ini berisi materi muatan yang disarankan untuk diatur dalam Peraturan Walikota tentang Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa dan kajian/analisis keterkaitan materi peraturan walikota tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan, sehingga peraturan walikota tersebut tidak tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lain. Kajian mengenai hal tersebut ditampilkan dalam bentuk matriks berikut: No. Bagian dan Rumusan Normanya Judul: Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa Keterangan (Keterkaitan dengan Peraturan Perundang-undangan lain) Formulasi judul ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sebetulnya di lingkungan Pemkot Semarang telah ada dokumen tentang pedoman umum penerapan pakta integritas pengadaan dalam barang dan jasa yang telah ditandantangani oleh Wakil Walikota sebagai representasi Pemkot Semarang, bersama-sama dengan stakeholder lainnya yaitu wakil pengusaha, tokoh masyarakat, Transparansi Indonesia dan Pattiro Semarang pada tanggal 18 Juni 2008. Namun demikian, dokumen tersebut bukan berbentuk peraturan perundang-undangan dalam pengertian UU No. 10 Tahun 2004. Di samping itu, saat ini telah ditetapkan Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagai pengganti Keppres No. 80 Tahun 2003 dengan berbagai perubahannya. Judul raperwal disejajarkan dengan judul dokumen di atas, karena yang dimaksudkan adalah untuk mengatur bagaimana komitmen-komitmen yang termuat dalam dokumen pakta integritas di atas harus diwujudkan dalam aktivitas pengadaan barang dan jasa yang kini pengaturannya telah berubah berdasarkan Perpres No. 54 Tahun 2010. Jadi, Penentuan judul raperwal hanya berusaha mengambil alih judul dokumen yang telah ditandatangani itu, untuk kemudian diberi bentuk peraturan perundangundangan dan substansinya disesuaikan dengan ketentuan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010, sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Prinsip dasar pengaturan: Sistematika/Kerangka Peraturan Walikota: Judul Konsiderans (menimbang) Dasar Hukum (Mengingat) Bab I : Ketentuan Umum Bab II : Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup Bab III : Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan Barang dan Jasa Bab IV : Mekanisme Pengawasan Bab V : Peran Serta Masyarakat Bab VI : Pengelolaan Pengaduan Bab VII : Ketentuan Peralihan Bab X : Ketentuan Penutup Konsiderans (Menimbang): a. bahwa pakta integritas merupakan salah satu sarana bagi Pemerintah, Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme demi peningkatan kualitas pelayanan publik; b. bahwa aktivitas pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu aktivitas yang di dalamnya rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga memerlukan penerapan pakta integritas dalam pelaksanaannya; c. bahwa sampai saat ini di lingkungan Pemerintah Kota Semarang belum ada regulasi yang mengatur tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa. d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c di atas, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa. Dasar Hukum (Mengingat): 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Himpunan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3854) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara republic Indonesia Nomor 3817); Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558); Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899); 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 19. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 20. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 24. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 25. Perda tentang SOTK Perangkat Daerah Kota Semarang??????? Bab I: Ketentuan Umum Dalam Peraturan Walikota ini, yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kota Semarang. 2. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 3. Walikota adalah Walikota Semarang. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang. 5. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang dan/atau Jasa milik Daerah di masing-masing SKPD. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran SKPD. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah daerah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di SKPD yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. Aparat Pengawas Intern Pemerintah daerah atau pengawas intern pada institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya. Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang. Dokumen Pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola. 21. Bab II: Asas dan Tujuan 1. Asas: a. asas b. asas c. asas d. asas e. asas f. asas kepastian hukum; kepercayaan; transparansi; partisipasi; akuntabilitas; perlindungan hukum. a. Yang dimaksud dengan “asas kapastian hukum” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap tindakan dan keputusan pejabat administrasi negara. b. Yang dimaksud dengan “asas kepercayaan” adalah asas yang menuntut agar badan atau pejabat administrasi negara dalam pelaksanaan kewenangannya, terikat pada janjinya. c. Yang dimaksud dengan “asas transparansi” adalah asas yang membuka diri terhadaphak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak pribadi, golongan, dan rahasia negara. d. Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah asas yang membuka ruang bagi setiap anggota masyarakat untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa, baik secara langsung maupun tidak langsung. e. Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir pelaksanaan pengadaan barang dan jasa harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. f. Yang dimaksud dengan “asas perlindungan hukum” adalah asas yang menjamin terlindunginya secara hukum para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa serta masyarakat dalam setiap aktivitasnya dalam rangka menghindarkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa. 2. Tujuan: a. mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN; b. mewujudkan pelayanan publik yang prima dan menjamin aksesibilitas bagi perempuan, anak dan kelompok marginal yang lain; c. meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat; d. mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan, bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel; e. mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam pengadaan barang dan jasa; f. meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan tanggung jawab pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa; g. menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa. Bab III : PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA A. Umum 1. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa wajib didasarkan pada Pencantuman komitmen pada huruf akomitmen sebagai berikut: h diambil dari Pasal 6 Perpres No. 54 a. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab Tahun 2010. Sedangkan komitmen untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya pada huruf i-m diambil dari dokumen tujuan pengadaan barang/jasa; Pedoman Umum Penerapan Pakta b. bekerja secara profesional dan mandiri,; Integritas Pengadaan Barang dan Jasa c. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung di Lingkungan Pemerintah Kota yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat; Semarang yang telah ditandatangani d. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang oleh Wakil Walikota, Wakil Pengusaha, ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak; Transparansi Internasional, dan e. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan PATTIRO, dengan penyempurnaan. para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak Penyempurnaan dilakukan untuk langsung dalam proses pengadaan barang/jasa; menjadikan komitmen tersebut dalam f. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan satu kategori yang jelas, yaitu kategori kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; sikap yang dituntut dari para pihak g. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau yang terkait dengan pengadaan kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau barang dan jasa, dalam kondisi pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kekinian. negara; dan h. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. i. menjamin keterbukaan informasi proses dan dokumen pengadaan barang dan jasa dengan tetap menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa; j. membuka ruang bagi partisipasi masyarakat; k. mendayagunakan mekanisme pengelolaan pengaduan untuk menyelesaikan setiap laporan tentang adanya indikasi pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa; l. mengakui eksistensi dan fungsi lembaga pemantau independen; m. menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang dalam aktivitasnya yang bertujuan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa. 2. Komitmen sebagaimana dimaksud pada butir 1, wajib dimiliki dan dilaksanakan oleh: a. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; b. Pejabat Pembuat Komitmen; c. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan; d. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; e. Penyedia barang/jasa; dan f. Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa. 3. Untuk melaksanakan komitmen sebagaimana dimaksud pada butir 1, para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 2, wajib menandatangani Pakta Integritas. B. Dokumen Pakta Integritas 4. Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 3 sekurangkurangnya memuat: a. Uraian mengenai nama dan periode waktu proyek; b. Nama dan jabatan dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang bersangkutan; c. Pernyataan/komitmen akan melakukan dan/atau tidak akan melakukan sesuatu terkait dengan kewajiban dan/atau larangan dalam pengadaan barang dan jasa; d. Isi komitmen (komitmen umum dan komitmen khusus?); e. Pernyataan kesediaan menerima konsekuensi hukum apabila melanggar komitmen; f. Tempat dan waktu penandatanganan; g. Nama dan jabatan saksi yang ikut menandatangani Pakta Integritas; h. Tanda tangan. C. Penandatangan Pakta Integritas 5. Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4 ditandangani oleh oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa pada setiap proyek pengadaan barang dan jasa yang diadakan. Penyebutan para pihak pada huruf a-e disesuaikan dengan Pasal 7, Pasal 19, dan Pasal 26 Perpres No. 54 Tahun 2010. Pakta: permufakatan, persetujuan, kesepakatan, kontrak, koalisi) Integritas: perangai ahlak, kebulatan, kepaduan, kejujuran) 6. Penandatangan Pakta Integritas oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 5 dilakukan dengan cara membubuhkan tanda tangan yang bersangkutan di atas formulir yang telah disediakan dengan diberi materai yang cukup menurut ketentuan peraturan perundangundangan. 7. Penandatangan Pakta Integritas oleh PA/KPA: - PA/KPA wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PA/KPA berisi komitmenkomitmen sebagai berikut: ………????? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh …..????? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh PA/KPA adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. 8. Penandatangan Pakta Integritas oleh Pejabat Pembuat Komitmen - PPK wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK berisi komitmenkomitmen sebagai berikut: ………???? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh PPK dilakukan pada saat ….??? dengan disaksikan oleh …..???? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh PPK adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. 9. Penandatangan Pakta Integritas oleh Unit Layanan Pengaduan/Pejabat Pengadaan. - Pejabat di lingkungan ULP wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Pejabat di lingkungan ULP berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: ………???? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh Pejabat di lingkungan ULP dilakukan pada saat ….??? dengan disaksikan oleh …..??? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Pejabat di lingkungan ULP adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. 10. Penandatangan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan - Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: ………???? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan dilakukan pada saat ….??? Dengan disaksikan oleh …..??? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. 11. Penandatangan Pakta Integritas oleh Penyedia barang/jasa - Penyedia barang/jasa wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Penyedia barang/jasa berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: ………???? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh Penyedia barang/jasa dilakukan pada saat ….??? Dengan disaksikan oleh …..???? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Penyedia barang/jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. 12. Penandatangan Pakta Integritas oleh Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa. - Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa wajib menandatangani Pakta integritas; - Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa berisi komitmenkomitmen sebagai berikut: ………???? - Penandatanganan Pakta Integritas oleh Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa dilakukan pada saat ….??? Dengan disaksikan oleh …..???? - Bentuk dan isi Pakta Integritas yang ditandatangani oleh Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Bab IV PERAN SERTA MASYARAKAT 13. Pakta Integritas yang telah ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 4, merupakan dokumen yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. Disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 11 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 14. Para pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 2, wajib menyediakan dokumen Pakta Integritas sebagai informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 15. Masyarakat berhak mengetahui dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4 dan dapat mengaksesnya sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 22 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 16. Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap substansi dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4. Saran masyarakat tersebut berupa masukan terhadap isi komitmen yang tercantum dalam pakta integritas, baik penambahan, pengurangan, maupun perbaikan redaksi Pakta Integritas. BAB V PENGELOLAAN PENGADUAN A. Pengaduan 17. Pejabat di lingkungan organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat dapat mengajukan pengaduan apabila menemukan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas. Para pihak yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa dan masyarakat. Mereka masing-masing dapat melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan maupun pakta integritas. Karena itu, siapa saja, baik itu pejabat/instansi pemerintah, badan hukum swasta, maupun perorangan anggota masyarakat dapat mengadukan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh pihak lain. 18. Pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 17, dapat berupa: a. Pelanggaran terhadap ketentuan administratif; b. Pelanggaran terhadap kontrak;dan/atau c. Pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan yang sehat. Dirumuskan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 117 Perpres No. 54 Tahun 2010. Baik pelanggaran terhadap peraturan perundangundangan maupun pelanggaran terhadap Pakta Integritas, apapun bentuk pelanggarannya, tetapsaja dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan administratif misalnya kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa, kekurangan persyaratan dokumen atau, kekeliruan pertimbangan, dan sebagainya. Pelanggaran terhadap kontrak misalnya keterlambatan penyelesaian proyek, pemindahtanganan pelaksanaan proyek, pengurangan kualitas dan/atau kuantitas barang dan jasa. Pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan yang sehat merupakan pelanggaran yang mengandung unsur-unsur tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 19. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 diajukan kepada P5. Menurut Pasal 117 ayat (2) Perpres No. 54 tahun 2010, pengaduan terkait adanya penyimpangan prosedur, KKN, dan/atau pelanggaran persiangan yang sehat diajukan kepada APIP dan atau LKPP. Pemberian kewenangan kepada P5 dalam peraturan Walikota ini dimaksudkan untuk memberdayakan P5 sebagai institusi yang telah lama terbentuk di Kota semarang. Agar tidak bertentangan dengan Perpres No. 54 Tahun 2010, maka pemberian kewenangan kepada P5 dalam menangani pengaduan masyarakat, diformat sebagai berikut: - P5 digunakan sebagai pintu masuknya setiap pengaduan; - P5 diberi mendistribusikan penanganan pengaduan yang berkualifikasi ada unsur tindak pidananya kepada instansi yang berwenang; - P5 diberi kewenangan menangani pengaduan yang terkait dengan pelanggaran administrasi dan pelanggaran kontrak. - Dalam menangani pelanggaran administrasi, P5 membuat keputusan, sedangkan dalam menangani pelanggaran kontrak P5 menjadi fasilitator atau mediator bagi para pihak yang bersengketa. 20. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 dapat diajukan secara langsung maupun tidak langsung. 21. Pengaduan yang diajukan secara langsung dapat berupa pengaduan tertulis maupun lisan. 22. Terhadap pengaduan yang diajukan secara lisan, P5 wajib membantu merumuskannya dalam bentuk tertulis. 23. Pengaduan yang diajukan secara tidak langsung dapat berupa pengaduan melalui surat dan/atau melalui on line. 24. Pengajuan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 21 harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. identitas pihak yang mengajukan pengaduan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan; b. identitas pihak yang diadukan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan; dan c. uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan secara rinci; d. tempat, waktu pengajuan, dan tanda tangan. 25. Perumusan pengaduan lisan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 22 harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada butir 24. 26. Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 24 dapat dilampiri dengan bukti-bukti pendukung. 27. Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan. Dirahasiakannya identitas pengadu, dimaksudkan untuk melindungi pengadu dari tindakan/tindakan yang mungkin dapat membahayakan keselamatannya akibat pengaduan yang diajukan yang bersangkutan. 28. Dirahasiakannya nama dan identitas pengadu diputuskan oleh P5 berdasarkan permohonan dari pengadu. 29. Dalam hal P5 memandang perlu untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu maka P5 dapat memutuskan untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu tanpa permohonan dari pengadu. 30. Dalam keadaan tertentu, pengajuan pengaduan dapat dikuasakan kepada pihak lain. 31. Dalam hal pengaduan dikuasakan kepada pihak lain, maka pengaduan harus disertai surat kuasa yang sah. 32. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 17 diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari semenjak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan terjadi. B. Tata Cara Penyelesaian Pengaduan 1. Penerimaan Pengaduan: 33. P5 wajib menerima pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 21. 34. Dalam hal pengaduan disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada butir 21, P5 wajib mencatatnya dalam buku daftar pengaduan pada saat pengaduan diterima dan memberikan tanda terima pengaduan kepada pengadu. 35. Tanda terima pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: a. identitas pengadu secara lengkap; b. ringkasan peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan; Pada prinsipnya, dirahasiakannya nama dan identitas pengadu didasarkan pada permohonan dari pengadu. Tetapi apabila menurut pertimbangan P5 ada ancaman terhadap keselamatan pengadu, maka P5 dapat memutuskan untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu tanpa permohonan dari pengadu. c. tempat dan waktu penerimaan pengaduan; dan d. tanda tangan serta nama pejabat/pegawai yang menerima pengaduan. 36. Dalam hal pengaduan disampaikan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada butir 23, P5 wajib mencatatnya dalam buku daftar pengaduan pada saat pengaduan diterima dan menyampaikan tanda terima pengaduan kepada pengadu melalui surat tercatat dan/atau on line. 2. Penelitian Berkas Pengaduan: 37. P5 wajib meneliti berkas pengaduan dan menyampaikan hasil penelitian tersebut dalam waktu 14 (empat belas hari) sejak pengaduan diterima. 38. Penelitian berkas pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 37 ditujukan untuk membuat keputusan mengenai: a. kelengkapan persyaratan pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 24, 26, dan 31; dan/atau b. dapat/tidaknya pengaduan ditindaklanjuti; 39. Pengaduan tidak dapat ditindaklanjuti, apabila: a. peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan nyata-nyata tidak berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa yang sedang dilaksanakan; b. peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dianggap melanggar, ternyata sudah diperbaiki oleh pihak yang diadukan; c. pengaduan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu. 40. Dalam hal pengaduan dapat ditindaklanjuti dan persyaratan pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 24, 26, dan 31 telah lengkap, P5 memutuskan bahwa pengaduan dapat ditindaklanjuti. 41. Dalam hal pengaduan dapat ditindaklanjuti tetapi persyaratan pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 24, 26, dan 31 tidak lengkap, maka P5 memutuskan bahwa pengaduan dapat ditindaklanjuti dan memerintahkan kepada pengadu untuk melengkapi persyaratan pengaduan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak pengadu menerima keputusan P5. 42. Dalam hal persyaratan pengaduan tidak dilengkapi dalam waktu sebagaimana dimaksud pada butir 41, pengadu dianggap mencabut pengaduannya. 43. Dalam hal pengaduan tidak dapat ditindaklanjuti karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud pada butir 39, P5 memutuskan tidak menindaklanjuti pengaduan. 44. Terhadap keputusan P5 sebagaimana dimaksud dalam butir 43, pengadu dapat mengajukan banding administratif kepada Walikota. 45. Walikota memutuskan pengajuan banding dalam tenggang waktu 14 (empat belas hari) sejak surat banding administrasi diterima. 46. Dalam hal pengadu tidak menerima keputusan Walikota sebagaimana dimaksud pada butir 45, pengadu dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemeriksaan Awal: 47. Dalam hal pengaduan diputuskan untuk ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada butir 40, P5 melakukan pemeriksaan awal terhadap materi pengaduan. 48. Pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada butir 47 dilakukan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari semenjak diputuskan untuk ditindaklanjuti. 49. Dalam pemeriksaan awal P5 memutuskan bahwa terhadap materi pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 47 akan dilakukan pemeriksaan lanjutan yang berupa: a. diperiksa sendiri; atau b. diteruskan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota dan atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota. 50. Materi pengaduan yang diperiksa sendiri oleh P5 sebagaimana dimaksud pada butir 49 adalah materi pengaduan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan administratif dan pelanggaran terhadap kontrak sebagaimana dimaksud pada butir 18 huruf a dan b. 51. Materi pengaduan yang diteruskan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota dan atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Kota adalah materi pengaduan yang berkaitan dengan pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau pelanggaran persaingan yang sehat sebagaimana dimaksud pada butir 18 huruf c. 52. P5 menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud pada butir 49 kepada pengadu melalui surat tercatat atau on line selambatlambatnya 7 (tujuh) hari semenjak diputuskan. 4. Pemeriksaan Lanjutan: Pemeriksaan oleh P5 Pemeriksaan terhadap Materi Pengaduan Pelanggaran Administrasi 53. P5 melakukan pemeriksaan terhadap materi pengaduan pelanggaran administrasi. 54. Dalam memeriksa materi pengaduan, P5 wajib: a. berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, dan tidak memihak; b. mempermudah pengadu dalam menyampaikan penjelasannya; c. mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak; Prinsip dimaksudkan untuk mencegah keberpihakan P5 dalam menyelesaikan materi pengaduan, sehingga menghasilkan penyelesaian masalah yang adil. dan d. menjaga kerahasiaan, kecuali untuk hal-hal yang berdasarkan peraturan perundang-undangan wajib diinformasikan; Informasi yang dirahasiakan disesuaikan dengan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Infrormasi Publik. 55. Kewajiban menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada butir 54 huruf d tidak gugur setelah pejabat yang melakukan pemeriksaan berhenti atau diberhentikan dari jabatannya. 56. Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir 53 P5 berwenang: a. memanggil pengadu, pihak yang diadukan, saksi, ahli, dan/atau pihak lain yang diperlukan untuk dimintai keterangan; b. meminta penjelasan secara tertulis kepada pengadu, pihak yang diadukan, saksi, ahli, dan/atau pihak lain; dan/atau c. melakukan pemeriksaan lapangan. 57. Pemeriksaan materi pengaduan pelanggaran administrasi sebagaimana dimaksud pada butir 53 terdiri atas tahapantahapan berikut: a. Klarifikasi pengaduan; b. Pemeriksaan para pihak c. Pengambilan putusan. 58. Klarifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf a dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan mengenai maksud pengaduan dan duduk persoalan yang dipermasalahkan. 59. Untuk memperoleh kejelasan mengenai maksud pengaduan dan duduk persoalan yang dipermasalahkan sebagaimana dimaksud pada butir 58, P5 melakukan langkah-langkah: a. Memanggil pengadu untuk menjelaskan materi pengaduan dan/atau menyampaikan bukti-bukti atau bukti-bukti tambahan terkait dengan pengaduannya. b. Menginformasikan pengaduan kepada pihak yang diadukan untuk memberikan tanggapan dan/atau menyampaikan bukti-bukti yang dianggap perlu. 60. Pemanggilan pengadu sebagaimana dimaksud pada butir 59 huruf a dilakukan melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya pemeriksaan. 61. Pengadu wajib memenuhi panggilan dan memberikan penjelasan kepada P5 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat panggilan sebagaimana dimaksud pada butir 60. 62. Apabila dalam pengadu tidak kedua melalui dimaksud pada waktu sebagaimana dimaksud pada butir 61 memenuhi panggilan, P5 melakukan panggilan cara dan dalam tenggang waktu sebagaimana butir 60. Pemanggilan secara tertulis terhadap pihak yang diadukan, saksi, ahli, dan/atau pihak lain dilakukan melalui surat tercatat. 63. Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat panggilan kedua pengadu tidak memenuhi panggilan, pengadu dianggap mencabut pengaduannya. 64. Penyampaian informasi adanya pengaduan kepada pihak yang diadukan sebagaimana dimaksud pada butir 59 huruf b dilakukan melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak dimulainya pemeriksaan. 65. Pihak yang diadukan memberikan penjelasan secara tertulis kepada P5 selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada butir 64. 66. Apabila dalam waktu sebagaimana dimaksud pada butir 65 pihak yang diadukan tidak memberikan penjelasan tertulis, P5 untuk kedua kalinya meminta penjelasan secara tertulis kepada pihak yang diadukan. 67. Apabila dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan penjelasan kedua sebagaimana dimaksud pada butir 66 pihak yang diadukan tidak memberikan penjelasan tertulis, maka pihak yang diadukan dianggap tidak menggunakan haknya untuk menjawab. 68. Dalam rangka klarifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf a, P5 dapat melaksanakan pemeriksaan lapangan terhadap obyek-obyek yang diperlukan. Pemeriksaan lapangan dapat dilakukan apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut: a. Hasil pemeriksaan dokumen tidak cukup mendukung untuk menyusun kesimpulan akhir. b. Pihak terkait tidak memberikan klarifikasi atau klarifikasi yang diberikan tidak cukup menjawab substansi permintaan klarifikasi TPP. c. TPP memerlukan jawaban secara langsung dari pihak-pihak yang terkait. d. TPP memerlukan melihat secara langsung objek laporan di lapangan. Namun demikian, perlu diperhatikan juga bahwa hasil dari pemeriksaan lapangan sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. 69. Pejabat yang melakukan pemeriksaan terhadap obyek-obyek yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada butir 68, wajib membawa surat tugas dari P5. 70. Berdasarkan pertimbangan tertentu, pemeriksaan objek-obyek yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada butir 68, dapat Pada dasarnya, pemeriksaan lapangan dilakukan dengan pemberitahuan dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi atau pihak yang diperiksa, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan kesusilaan. terlebih dahulu. Tetapi berdasarkan pertimbangan tertentu, pemberitahuan tersebut tidak diperlukan. Pertimbangan tertentu yang dimaksud dalam butir ini misalnya, karena alasan kemendesakan dan/atau alasan untuk menghindari disembunyikan dan/atau dimusnahkannya bukti-bukti tertentu. 71. Dalam melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada butir 56 huruf c, P5 dapat melihat dokumen asli dan/atau meminta salinan dokumen yang berkaitan dengan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme yang ditempuh oleh P5 untuk melihat dan meminta dokumen tunduk pada UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 72. Pemeriksaan para pihak sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf b dimaksudkan untuk melakukan pemeriksaan silang terhadap penjelasan, fakta-fakta, dan bukti-bukti yang dikemukakan pengadu dan pihak yang diadukan serta hasil pemeriksaan lapangan pada tahap konfirmasi. 73. Pemeriksaan silang sebagaimana dimaksud pemeriksaan silang pada butir 72, dilakukan dengan menghadirkan pengadu dan pihak yang diadukan untuk dipertemukan. 74. Pemanggilan pengadu dan pihak yang diadukan sebagaimana dimaksud pada butir 73, dilakukan melalui surat tercatat dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari semenjak berakhirnya tahap klarifikasi sebagaimana dimaksud pada butir 57 huruf a. 75. Dalam hal pengadu dan/atau pihak yang diadukan keberatan dipertemukan karena alasan tertentu yang dapat mengancam atau merugikan kepentingan kedua belah pihak tersebut, pemeriksaan dapat dilakukan secara terpisah. 76. Dalam hal pengadu telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut dalam cara dan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada butir 74 tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, pengadu dianggap tidak meneruskan pengaduannya. 77. Dalam hal pihak yang diadukan telah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut dalam cara dan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada butir 74 tidak memenuhi panggilan dengan alasan yang sah, pemeriksaan dilanjutkan tanpa kehadiran pihak yang diadukan. 78. Untuk kepentingan pemeriksaan, P5 dapat menghadirkan saksi, ahli, dan/atau penterjemah baik yang diajukan oleh pengadu maupun pihak yang diadukan. Ketidakhadiran pihak yang diadukan akan berakibat tidak adanya keterangan dari yang bersangkutan. Ketiadaan keterangan dari pihak yang diadukan tersebut dapat mengakibatkan kerugian bagi yang bersangkutan. 79. Pemanggilan saksi, ahli, dan/atau penterjemah sebagaimana dimaksud pada butir 78 dilakukan dengan surat tercatat. 80. Sebelum memberikan keterangannya saksi, ahli, penterjemah wajib mengucapkan sumpah atau janji. dan/atau 81. Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan sungguh- sungguh menyatakan kebenaran yang sebenarbenarnya mengenai setiap dan seluruh keterangan yang saya berikan”. 82. Bunyi sumpah/janji yang diucapkan oleh ahli dan penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas saya dengan tidak memihak dan bahwa saya akan melaksanakan tugas saya secara profesional dan dengan sejujur-jujurnya”. 83. Setelah pemeriksaan para pihak selesai, P5 wajib membuat kesimpulan terhadap hasil pemeriksaan pengaduan. 84. Kesimpulan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 83 dapat berupa ditemukan adanya pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa atau tidak ditemukan adanya pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa. 85. Dalam hal P5 menyimpulkan ditemukan adanya pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 84, P5 menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada: a. Walikota melalui APIP dan merekomendasikan untuk ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pelanggaran dilakukan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan, dan/atau Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; atau b. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen/Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan sesuai dengan kewenangannya untuk ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam hal pelanggaran dilakukan oleh penyedia barang/jasa. 86. Dalam hal P5 menyimpulkan tidak ditemukan adanya pelanggaran dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 84, P5 menyatakan bahwa proses pengadaan barang dan jasa sudah benar dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Walikota melalui APIP dengan tembusan kepada pengadu dan pihak yang diadukan. Pengaturan huruf a disesuaikan dengan Pasal 117 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010. Pengaturan huruf b disesuaikan dengan Pasal 118 ayat (3), (4), dan (5) Perpres No. 54 Tahun 2010. 87. Hasil pemeriksaan dan tembusannya sebagaimana dimaksud pada butir 85 dan butir 86 disampaikan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diputuskan. Pemeriksaan terhadap terhadap Kontrak Materi Pengaduan Pelanggaran 88. Pelanggaran kontrak pengadaan barang dan jasa yang menimbulkan sengketa di antara para pihak dapat dimintakan penyelesaiannya kepada P5. 89. Permintaan sebagaimana dimaksud pada butir 88 disampaikan secara tertulis oleh pengadu bersamaan dengan pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 20. 90. P5 hanya dapat memeriksa sengketa pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 88, apabila pihak yang diadukan menyatakan persetujuan secara tertulis mengenai penyelesaian sengketa oleh P5. 91. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 90, dimintakan oleh P5 kepada pihak yang diadukan bersamaan dengan pemberitahuan adanya pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 59 huruf b. 92. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 90 disampaikan oleh pihak yang diadukan bersamaan dengan penyempaian penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada butir 65, atau dapat disampaikan secara terpisah. 93. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada butir 92 disampaikan kepada P5 oleh pihak yang diadukan dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada butir 65. 94. Apabila dalam waktu sebagaimana butir 93 pihak yang diadukan tidak menyampaikan persetujuannya, maka pihak yang diadukan dianggap menolak menyelesaikan pengaduan pelanggaran kontrak melalui P5. 95. Dalam hal pihak yang diadukan menolak menyelesaikan pengaduan pelanggaran kontrak oleh P5 sebagaimana dimaksud pada butir 94, maka P5 memutuskan menolak menyelesaikan pengaduan. 96. Putusan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 94 berisi alasan penolakan dan saran/rekomendasi agar sengketa tersebut diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 97. Putusan P5 sebagaimana dimaksud pada butir 94 disampaikan kepada pengadu dan pihak yang diadukan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diputuskan. Yang dimaksud dengan menurut peraturan yang berlaku adalah melalui pengadilan dalam rangka gugatan keperdataan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata. 98. Dalam hal pihak yang diadukan menyetujui penyelesaian pengaduan pelanggaran kontrak melalui P5, maka P5 memanggil pihak pengadu dan pihak yang diadukan. 99. Pemanggilan pihak pengadu dan pihak yang diadukan sebagaimana dimaksud pada butir 98 dilakukan melalui surat tercatat dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya persetujuan tertulis dari pihak yang diadukan. 100. P5 menawarkan mekanisme penyelesaian pengaduan kepada para pihak sebagaimana dimaksud pada butir 99 untuk mendapatkan persetujuan bersama. 101. Mekanisme penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 100 dapat berupa: a. Negosiasi; dan b. Mediasi. 102. Dalam hal para pihak memilih mekanisme penyelesaian pengaduan dengan negosiasi sebagaimana dimaksud dalam butir 101 huruf a, maka P5 berperan sebagai fasilitator berjalannya negosiasi oleh para pihak. Sebagai fasilitator, P5 memerankan dirinya sebagai pihak yang membantu kelancaran proses negosiasi demi tercapainya kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa. Peran tersebut dijalankan antara lain dengan menyediakan tempat, bantuan pendokumentasian, dan fasilitasfasilitas lain yang diperlukan dalam proses negosiasi tersebut. 103. Dalam hal para pihak memilih mekanisme penyelesaian pengaduan dengan mediasi, P5 berperan sebagai mediator. Sebagai mediator, P5 berperan lebih aktif menjadi pihak ketiga netral yang menjadi penengah tercapainya kesepakatan dalam rangka penyelesaian sengketa. 104. Hasil kesepakatan penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 101 dituangkan dalam bentuk kesepakatan bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan P5 sebagai saksi di atas kertas bermaterai cukup. 105. P5 dapat membantu merumuskan redaksi kesepakatan bersama sebagaimana dimaksud pada butir 104. 106. Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penyelesaian pangaduan pelanggaran kontrak, diatur dengan peraturan Ketua P5 (?). Pemeriksaan terhadap Materi Pengaduan Pelanggaran yang Terdapat Unsur KKN dan/atau Persaingan yang Sehat. 107. APIP Kota memeriksa dan menindaklanjuti pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 51 berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 108. 109. Hasil pemeriksaan dan tindak lanjut pengaduan sebagaimana dimaksud pada butir 107, dilaporkan kepada Walikota untuk ditindaklanjuti berdasarkan peraturan perundang-undangan. Disesuaikan dengan Pasal 117 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010. Dalam hal diyakini terdapat indikasi KKN yang akan merugikan keuangan negara, hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada butir 107 dapat dilaporkan kepada instansi yang berwenang dengan persetujuan Kepala Daerah, dengan tembusan kepada LKPP Kota dan BPKP. Disesuaikan dengan Pasal 117 ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010. Bab VI. Kelembagaan: P5 110. Dengan Peraturan Walikota ini P5 sebagaimana dimaksud dalam …… (peraturan dasar pembentukan P5 Kota semarang) difungsikan sebagai lembaga yang menjalankan fungsi sebagai tempat pengaduan dan penyelesaian pengaduan terhadap pelanggaran tertentu peraturan perundang-undangan dan/atau Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota. Pengaturan alternatif: Dengan Peraturan Walikota ini dibentuk P5 P5 adalah lembaga mandiri yang menjalankan fungsi penyelesaian pengaduan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota. 111. Sekretariat P5 berkedudukan di SKPD yang tugas pokok dan fungsinya di bidang ……………….. 112. Dalam kaitannya dengan pangadaan barang/jasa pemerintah kota, P5 bertugas : a. Menerima semua pengaduan pelanggaran peraturan perundang-undangan dan/atau Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota. b. memeriksa, dan memutus pengaduan pelanggaran administrai dan pelanggaran kontrak dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota; c. meneruskan pengaduan pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan sehat dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kota kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah Daerah; 113. Dalam menjalankan tugasnya sebagaimana dimaksud pada butir 112, P5 memiliki wewenang: a. memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang bersengketa; b. memasuki tempat kerja baik di kantor-kantor badan publik maupun badan-badan swasta; c. meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh Badan Publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan pengaduan; Melalui Perwal ini dapat dipilih kebijakan yang tepat untuk melakukan rekonstruksi P5. Apakah P5 akan dibuat seperti sebelumnya dan hanya ditambahi fungsi sebagai penerima dan pemutus pengaduan dalam pengadaan barang/jasa, ataukah akan diberdayakan sebagai lembaga mandiri dengan fungsi sebagaimana sebelumnya dan ditambahi dengan fungsi sebagai penerima dan pemutus pengaduan dalam pengadaan barang/jasa. d. meminta keterangan atau menghadirkan pejabat Badan Publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik; e. mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam penyelesaian pengaduan; dan f. menetapkan peraturan pelaksanaan sebagai pedoman kerja dalam rangka pelaksanaan tugasnya. g. membuat kode etik sebagai standar pelaksanaan tugasnya. 114. P5 bertanggung jawab kepada walikota melalui Sekretaris Daerah dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 115. Laporan sebagaimana dimaksud pada butir 114 bersifat terbuka untuk umum. 116. Untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dalam organisasi P5 ditambahkan Pokja Pengaduan Barang/Jasa (atau nama lain). 117. Susunan Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada butir 116 adalah sebagai berikut: a. Ketua merangkap anggota; b. Sekretaris merangkap anggota; c. Anggota tetap; dan d. Anggota tidak tetap. 118. Ketua dan sekretaris Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada butir 117 huruf a dan b adalah pegawai negeri sipil di lingkungan P5 yang diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. 119. Anggota tetap Pokja Pengaduan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada butir 117 huruf c adalah: a. pegawai negeri sipil di lingkungan Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota yang ditugaskan; dan b. lembaga swadaya masyarakat. Keberadaan PNS yang berasal dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota merupakan sebuah keniscayaan karena: berdasarkan Perwal ini, P5 mengambil sebagian fungsi APIP sebagai institusi yang menurut Pasal 117 Perpres No. 54 Tahun 2010 berfungsi menerima pengaduan masyarakat; dan P5 berdasarkan Perwal ini juga mempunyai keterkaitan dengan APIP dalam prosedur pengelolaan pengaduan. Keberadaan lembaga swadaya masyarakay sebgai anggota tetap Pokja, menunjukkan keseriusan dalam upaya pemberdayaan P5 sebagai lembaga yang kredibel dan partisipatif. 120. Anggota tidak tetap sebagaimana dimaksud pada butir 117 huruf d berasal dari: a. Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Semarang yang menjadi Pengguna Anggaran dari proyek pengadaan barang/jasa yang bersangkutan; dan b. Pakar. 121. Lembaga swadaya masyarakat sebagai anggota tetap sebagaimana dimaksud pada butir 119 huruf b dan pakar sebagai anggota tidak tetap sebagaimana dimaksud pada butir 120 huruf b ditetapkan oleh Walikota atas usul Kepala P5. 122. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja P5 diatur dengan Peraturan Kepala P5. Bab VII: ketentuan Peralihan 123. Pada saat Peraturan Walikota ini berlaku: a. Bentuk dan isi pakta integritas yang terkait dengan pengadaan barang/jasa yang sedang berjalan tetap dilanjutkan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasarnya. b. Pengaduan masyarakat dalam pengadaan barang/jasa yang sedang diproses tetap dilanjutkan dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasarnya. Bab VIII: Ketentuan Penutup 124. Pembentukan Pokja Pengadaan Barang dan Jasa sebagai bagian dari organisasi P5 dilaksanakan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Peraturan Walikota ini ditetapkan/diundangkan. 125. Peraturan Walikota ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. 126. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Walikota ini dengan penempatannya dalam Berita daerah kota Semarang. bidang kepakaran dari pakar sebagai anggota tidak tetap disesuaikan dengan bidang pengadaan barang dan jasa yang sedang ditangani pengaduannya. Bagian Kedua: KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN WALIKOTA PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR ….. TAHUN …….. TENTANG PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang : a. bahwa pakta integritas merupakan salah satu sarana bagi Pemerintah, Perusahaan swasta dan masyarakat umum untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme demi peningkatan kualitas pelayanan publik; b. bahwa aktivitas pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan salah satu aktivitas yang di dalamnya rawan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga memerlukan penerapan pakta integritas dalam pelaksanaannya; c. bahwa sampai saat ini di lingkungan Pemerintah Kota Semarang belum ada regulasi yang mengatur tentang penerapan pakta integritas dalam pengadaan barang dan jasa; d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c di atas, perlu membentuk Peraturan Walikota tentang Penerapan Pakta Integritas dalam Pengadaan barang dan Jasa. Mengingat : 26. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Himpunan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950); 27. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 28. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851); 29. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3854) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150); 30. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara republic Indonesia Nomor 3817); 31. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 32. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 33. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); 34. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 35. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 36. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4557); 37. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4558); 38. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4846); 39. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899); 40. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3866); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3956); 43. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4855); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135); 49. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah; 50. Perda tentang SOTK Perangkat Daerah Kota Semarang??????? MEMUTUSKAN, Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan: 22. Daerah adalah Kota Semarang. 23. Pemerintah Daerah adalah Walikota dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 24. Walikota adalah Walikota Semarang. 25. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang. 26. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa. 27. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disebut SKPD adalah instansi/institusi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 28. Pengguna Barang/Jasa adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan Barang dan/atau Jasa milik Daerah di masing-masing SKPD. 29. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP adalah lembaga Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang/Jasa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 30. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut PA adalah Pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran SKPD. 31. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disebut KPA adalah pejabat yang ditetapkan oleh PA untuk menggunakan APBN atau ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk menggunakan APBD. 32. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disebut PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. 33. Unit Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah daerah yang berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di SKPD yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. 34. Pejabat Pengadaan adalah personil yang memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa yang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa. 35. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil pekerjaan. 36. Aparat Pengawas Intern Pemerintah daerah atau pengawas intern pada institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. 37. Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya. 38. Pakta Integritas adalah surat pernyataan yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme dalam Pengadaan Barang/Jasa. 39. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh Pengguna Barang. 40. Dokumen Pengadaan adalah dokumen yang ditetapkan oleh ULP/Pejabat Pengadaan yang memuat informasi dan ketentuan yang harus ditaati oleh para pihak dalam proses Pengadaan Barang/Jasa. 41. Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola. 42. Dst…… BAB II ASAS DAN TUJUAN Bagian Kesatu Asas Pasal 2 Penerapan Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Kota berasaskan: a. b. c. d. e. f. asas asas asas asas asas asas kepastian hukum; kepercayaan; transparansi; partisipasi; akuntabilitas; perlindungan hukum. Bagian Kedua Tujuan Pasal 3 Penerapan Pakta Integritas dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Kota bertujuan: h. mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN; i. mewujudkan pelayanan publik yang prima dan menjamin aksesibilitas bagi perempuan, anak dan kelompok marginal yang lain; j. meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat; k. mendorong terwujudnya pengadaan barang dan jasa yang efisien, efektif, transparan, bersaing, tidak diskriminatif dan akuntabel; l. mencegah kebocoran anggaran dan kerugian negara dalam pengadaan barang dan jasa; m. meningkatkan profesionalisme, kemandirian, kredibilitas dan tanggung jawab pengguna barang dan jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa; n. menciptakan persaingan usaha yang sehat antara Pengguna panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang dan jasa. barang dan jasa, BAB III PENERAPAN PAKTA INTEGRITAS DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA Bagian Pertama Komitmen Pengadaan Barang/Jasa Pasal 4 (1) Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa wajib didasarkan pada komitmen sebagai berikut: n. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa; o. bekerja secara profesional dan mandiri,; p. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat terjadinya persaingan tidak sehat; q. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis para pihak; r. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa; s. menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan negara dalam pengadaan barang/jasa; t. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; dan u. tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat dan berupa apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. v. menjamin keterbukaan informasi proses dan dokumen pengadaan barang dan jasa dengan tetap menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam Pengadaan Barang/Jasa; w. membuka ruang bagi partisipasi masyarakat; x. mendayagunakan mekanisme pengelolaan pengaduan untuk menyelesaikan setiap laporan tentang adanya indikasi pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa; y. mengakui eksistensi dan fungsi lembaga pemantau independen; z. menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang dalam aktivitasnya yang bertujuan mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa. (2) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimiliki dan dilaksanakan oleh: g. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; h. Pejabat Pembuat Komitmen; i. Unit Layanan Pengadaan/Pejabat Pengadaan; j. Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan; k. Penyedia barang/jasa; dan l. Kelompok masyarakat yang melaksanakan pengadaan barang dan jasa. Bagian Kedua Dokumen Pakta Integritas Pasal 5 a. b. Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dimuat dalam Dokumen Pakta Integritas. Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat: i. Uraian mengenai nama dan periode waktu proyek; j. Nama dan jabatan dalam proyek pengadaan barang dan jasa yang bersangkutan; k. Pernyataan/komitmen akan melakukan dan/atau tidak akan melakukan sesuatu terkait dengan kewajiban dan/atau larangan dalam pengadaan barang dan jasa; l. Isi komitmen (komitmen umum dan komitmen khusus?); m. Pernyataan kesediaan menerima konsekuensi hukum apabila melanggar komitmen; n. Tempat dan waktu penandatanganan; o. Nama dan jabatan saksi yang ikut menandatangani Pakta Integritas; p. Tanda tangan. Pasal 6 (1) Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dibuat, dan disediakan oleh Pengguna Anggaran. (2) Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai dokumen baku pengadaan barang/jasa setelah substansinya mendapatkan masukan dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah Kota atau Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah Kota dan/atau masyarakat. (3) Dokumen Pakta Integritas dituangkan dalam formulir yang keberadaannya menjadi syarat wajib bagi setiap pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (4) Formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disediakan tersendiri untuk masing-masing pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). Bagian Ketiga Penandatanganan Pakta Integritas Paragraph 1 Umum Pasal 7 (1) Para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), wajib menandatangani Pakta Integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). (2) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap proyek pengadaan barang/jasa yang diadakan. (3) Penandatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara membubuhkan tanda tangan yang bersangkutan di atas formulir yang telah disediakan oleh Pengguna Anggaran dengan diberi materai yang cukup menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh diwakilkan. Paragraf 2 Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA Pasal 8 (1) PA/KPA wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PA/KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: …………… ???????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh PA/KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Paragaf 3 Penandatangan Pakta Integritas oleh PPK Pasal 9 (1) PPK wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: …………… ???????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Paragaf 4 Penandatangan Pakta Integritas oleh ULP/Pejabat Pengadaan Pasal 10 (1) ULP/Pejabat Pengadaan wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh ULP/Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: …………… ???????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh ULP/Pejabat Pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Paragaf 5 Penandatangan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan Pasal 11 (1) Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: …………… ???????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Paragaf 6 Penandatangan Pakta Integritas oleh Penyedia Barang/Jasa Pasal 12 (1) Penyedia Barang/Jasa wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmen-komitmen sebagai berikut: …………… ???????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Penyedia Barang/Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. Paragaf 7 Penandatangan Pakta Integritas oleh Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa Pasal 13 (1) Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa wajib menandatangani Pakta Integritas. (2) Pakta Integritas yang ditandatangi oleh Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi komitmenkomitmen sebagai berikut: …………………. ??????????? (3) Penandatanganan Pakta Integritas oleh Kelompok Masyarakat yang Melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa.PPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat ….???? dengan disaksikan oleh ………. ????????? (4) Bentuk dan isi Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Walikota ini. BAB IV PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 14 (1) Dokumen Pakta Integritas yang telah ditandatangani oleh para pihak yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada butir 4, merupakan informasi yang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat. (2) Masyarakat berhak mengetahui Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat mengaksesnya sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) PA/KPA wajib menyediakan Dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai informasi yang dapat diakses oleh masyarakat. Pasal 15 (1) Masyarakat dapat memberikan masukan terhadap substansi dokumen Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 4. (2) Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk tertulis kepada PA/KPA. (3) PA/KPA wajib menerima dan mempertimbangkan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB V PENGELOLAAN PENGADUAN Bagian Pertama Pengaduan Pasal 16 i.Pejabat di lingkungan organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat dapat mengajukan pengaduan apabila menemukan adanya indikasi pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas. ii.Pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa dan/atau Pakta Integritas sebagaimana dimaksud pada butir 17, dapat berupa: d. Pelanggaran terhadap ketentuan administratif; e. Pelanggaran terhadap kontrak;dan/atau f. Pelanggaran yang terdapat unsur KKN dan/atau persaingan yang sehat. Pasal 17 (1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diajukan kepada P5. (2) Pegaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pejabat di lingkungan organisasi pengadaan barang/jasa, Penyedia Barang/Jasa atau masyarakat yang merasa kepentingannya ditugikan oleh terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2). (3) Dalam keadaan tertentu, pengajuan pengaduan dapat dikuasakan kepada pihak lain. (4) Dalam hal pengaduan dikuasakan kepada pihak lain, maka pengaduan harus disertai surat kuasa yang sah. Pasal 18 (1) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dapat diajukan secara langsung maupun tidak langsung. (2) Pengaduan yang diajukan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengaduan tertulis maupun lisan. (3) Terhadap pengaduan yang diajukan secara lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), P5 wajib membantu merumuskannya dalam bentuk tertulis. (4) Pengaduan yang diajukan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengaduan melalui surat dan/atau melalui on line. Pasal 19 Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) diajukan dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari semenjak peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan terjadi. Pasal 20 (1) Pengajuan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. identitas pihak yang mengajukan pengaduan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan; b. identitas pihak yang diadukan, yang terdiri dari nama dan alamat lengkap, serta pekerjaan; c. uraian peristiwa, tindakan, atau keputusan yang diadukan secara rinci; dan d. tempat, waktu pengajuan, dan tanda tangan. (2) Perumusan pengaduan lisan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam butir 24 dapat dilampiri dengan bukti-bukti pendukung. Pasal 21 (1) Dalam keadaan tertentu, nama dan identitas pengadu dapat dirahasiakan. (2) Dirahasiakannya nama dan identitas pengadu diputuskan oleh P5 berdasarkan permohonan dari pengadu. (3) Dalam hal P5 memandang perlu untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu maka P5 dapat memutuskan untuk merahasiakan nama dan identitas pengadu tanpa permohonan dari pengadu. Bagian Kedua Tata Cara Penyelesaian Pengaduan Paragraf 1 Penerimaan Pengaduan Pasal 22 Ditetapkan di Semarang Pada tanggal ……. WALIKOTA SEMARANG Ttd Diundangkan Di Semarang pada tanggal …… SUMARMO HS SEKRETARIS DAERAH KOTA SEMARANG Ttd ……………………………………… BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN ….. NOMOR ……