PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF

advertisement
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM
HUMANITER DALAM TINDAKAN AGRESI
(Studi Kasus; Agresi Israel ke Lebanon Tahun 2006)
Levina Yustitianingtyas
Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
Abstract: Israel aggression to Lebanon happening on July 2006 is actually a series of
sequence of Middlle East crisis in 1982. The reason behind laying on the aggression is that
Hezbollah soldiers catch two Israel soldiers and eight civilians. This aggression emerges a
state responsibility. One state will receive in the state responsibility if the state breaks the
international treaty, violates other state sovereignty, attacks other state, injures diplomatic
representatives, and treats foreigners haphazardly. Therefore, the problem of this research
is how Israel is responsible for its military aggression to Lebanon according to
International Humanitarian Law. Research method uses the secondary data and
documentary study. The result of the research is that Israel can be charged the
responsibility based on international Law, because the aggression has impacted many
demages in Lebanon and many civilian victims. Thus, the weak awareness of many state to
implement international humanitarian law and of punishment from international agency,
and more dominant political factor make legal protection for civilians less optimal.
Keywords: state responsibility, international humanitarian law, civilian protection
Abstrak: Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli Tahun 2006 merupakan lanjutan dari
krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Latar belakang dari Israel melakukan
agraesi ke Lebanon pada tanggal 12 Juli 2006 adalah karena pasukan Hezbollah
menangkap dua tentara Israel dan delapan masyarakat sipil. Akibat dari serangan militer
Israel tersebut menimbulkan pertanggngjawaban negara. Suatu negara dapat dibebankan
pertanggungjawaban jika negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian
internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai
perwakilan diplomatik serta memperlakukan warga asing dengan semena-mena. Adapun
yang dijadikan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam tindakan agresi
yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli 2006, bagaimana negara Israel
bertanggungjawab atas pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Metode Penelitian
yang dipakai dalam tulisan ini menggunakan data sekunder dan alat penelitian yang
digunakan adalah studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Israel dapat
dikenai pertanggungjawaban menurut ketentuan Hukum Internasional (Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Act), karena serangan Israel tersebut telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi Lebanon dan penduduk sipil yang menjadi
korban. Kesadaran yang lemah dari setiap negara untuk mengimplementasikan hukum
humaniter, sanksi yang tidak tegas dari organisasi internasional, faktor hukum yang lemah,
dan faktor politis yang lebih dominan menyebabkan perlindungan terhadap penduduk sipil
tidak optimal.
Kata kunci: tanggungjawab negara, hukum humaniter, perlindungan penduduk sipil
33
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
Pendahuluan
Dari waktu ke waktu, tensi hubungan antar negara semakin meningkat.
Tidak jarang dalam mengadakan hubungan dengan negara lain baik disengaja
maupun tidak disengaja, suatu negara telah menyinggung atau menimbulkan kerugian pada negara lain. Sudah merupakan sifat alami jika dalam kehidupan di
masyarakat (internasional) pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain timbul
keinginan untuk minta pertanggungjawaban pada pihak yang merugikan.
Tanggungjawab negara muncul sebagai
akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum
internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara
yang terlanggar haknya untuk menuntut
respirasi.1 Suatu negara dapat dikatakan
bertanggungjawab apabila negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan
negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara lain
serta memperlakukan warga asing dengan
seenaknya.
Pertanggungjawaban negara (State
Responsibility) merupakan seperangkat
aturan internasional yang mengatur mengenai konsekuensi hukum pelanggaran
kewajiban internasional negara-negara.
Kewajiban internasional ini bersumber
dari traktat, hukum kebiasaan inrternasional, keputusan pengadilan, dan hal
lainnya. Jadi pertanggungjawaban negara
di sini adalah tindakan-tindakan yang dinyatakan salah secara internasional. Maksudnya bahwa analisa terakhir pertanggungjawaban negara ditentukan oleh norma-norma internasional dan tergantung
pada hukum internasional, sejauh mana
tindakan atau kelalaian negara dianggap
melanggar hukum.2
Keadaan di berbagai belahan dunia
akhir-akhir ini sering terjadi pertikaian
atau sengketa antarnegara. Salah satu
sengketa antarnegara yang pernah berlangsung dalam masyarakat internasional
adalah ’Pertikaian antara Israel dan
Lebanon’. Agresi Israel ke Lebanon merupakan konflik krisis Timur Tengah
yang terjadi sejak tahun 1982. Ketegangan antara Israel dan Lebanon dimulai
ketika terjadi bentrokan di perbatasan
tanggal 12 Juli 2006 dengan disusul
pasukan Hezbollah menangkap 2 tentara
Israel dan membunuh 8 orang lainnya.
Hal ini tentu saja membuat tentara Israel
menjadi marah dan bersiap melakukan
serangan balasan. Serangan Israel ke
Lebanon diawali dengan menjatuhkan
bom di bandara Internasional Lebanon
Rafiq Al-Hariri tanggal 13 Juli 2006 pada
pagi hari pukul 06.00 dan telah menewaskan 45 orang warga sipil. Serangan ini
merupakan serangan terbesar Israel ke
Lebanon dalam 24 tahun terakhir. Serangan itu sudah jelas merupakan pelanggaran atas kedaulatan Lebanon.3 Serangan Israel ke Lebanon terus berlanjut,
seperti pada tanggal 14 Juli 2006 pesawat
tempur Israel mengebom jalan raya
Bairut – Damaskus, memperketat blokade
laut, darat, dan udara atas Lebanon.
Dalam setiap konflik bersenjata
pasti timbul banyak korban dari berbagai
pihak. Untuk itu, hukum humaniter internasional menetapkan adanya prinsip asas
pembedaan (distinction principle) yang
merupakan suatu asas yang membedakan
2
1
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum
Internasional
Komtemporer,
PT.
Refika
Adhitama, Bandung, 2006, hal. 193
JG Starke, Introduction to International Law,
Butterworths, London, 1989, hal. 293-294
3
www.kompas.com. Bandara Internasional
Dibom, Kompas Cyber Media, 14 Juli 2006.
34
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
penduduk dari suatu negara yang sedang
berperang, atau yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua
golongan, yaitu kombatan (Combatant)
dan penduduk sipil (Civilians). Perlindungan korban pertikaian bersenjata
mendapat pengaturan dalam Konvensi
Jenewa IV tahun 1949 berikut Protoko
Tambahan I dan II Tahun 1977.
Dalam tulisan Jaka Triyana,
Hukum Internasional mengenal prinsipprinsip pertanggungjawaban negara dalam suatu konflik bersenjata yang melanggar kewajiban internasional atau perjanjian internasional.4 Tanggungjawab
negara dalam Hukum Humaniter Internasional tercermin dalam Konvensi
Jenewa tahun 1949, Pasal 51 Konvensi I,
Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi
III dan Pasal 148 Konvensi IV, yang menentukan bahwa:
”Tiada Pihak Peserta Agung diperkenankan membebaskan dirinya
atau Pihak Peserta Agung lain
manapun dari tanggungjawab apapun yang disebabkan olehnya sendiri atau Pihak Peserta Agung Penandatangan lain berkenaan dengan
pelanggaran-pelanggaran yang termaktub dalam Pasal-Pasal terdahulu.” 5
Memperhatikan kondisi yang demikian sangatlah pantas jika Israel harus
bertanggung jawab atas semua kesengsaraan yang terjadi di Lebanon. Karena akibat serangannya yang membabi buta, para
penduduk sipil banyak yang menjadi
korban. Sesuai kenyataan tersebut, aksi
4
H. Jaka Triyana, “Relevansi Penerapan Prinsip
Pembedaan (Distincion Principle) dan Penerapan
saksi DK PBB terhadap Upaya Perlindungan
Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI”,
Mimbar Hukum UGM, Yogyakarta, 2000.
5
Lihat isi Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi
II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148
Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949.
militer yang dilakukan Israel ke Lebanon
tidak dapat memilah antara obyek sipil
dan obyek militer, karena banyak serangan yang dilakukan salah sasaran di mana
menimpa pemukiman penduduk sipil
yang mengakibatkan mereka (balita,
anak-anak, orang dewasa, orang lanjut
usia) tewas, hanya karena Israel ingin
memenuhi ambisinya yaitu menghancurkan musuh bebuyutannya Hezbollah.6
Karena aksi militernya tersebut,
muncul konsekuensi bagi Israel, berupa
pertanggung jawaban negara. Dalam hal
pertanggung jawaban negara ini ada tiga
karakteristik penting yang bergantung
pada faktor-faktor dasar, yaitu: pertama,
adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar dua negara
tertentu; kedua, adanya suatu perbuatan
atau kelalain yang melanggar kewajiban
internasional tersebut yang melahirkan
pertanggung jawaban negara; dan ketiga,
adanya kerusakan atau kerugian sebagai
akibat tindakan yang melanggar hukum
atau kelalaian7.
Jika melihat pada faktor-faktor tersebut, maka apa yang terjadi di Lebanon,
tindakan yang dilakukan oleh Israel telah
melanggar prinsip kemanusiaan dan ketentuan hukum humaniter internasional
dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan
prinsip umum pertanggung jawaban
negara menurut hukum internasional.
Oleh sebab itu, sehubungan dengan tindakan agresi yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli tahun 2006,
penting untuk dikaji bagaimana pertanggung jawaban negara Israel terhadap
Lebanon atas pelanggaran hukum huma6
Kompas, Israel Alami Kerugian Besar, 14
Agustus 2006, hal. 15.
7
Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam
Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 174.
35
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
niter internasional. Penelitian ini menganalisis bentuk pertanggungjawaban Israel terhadap Lebanon sebagai akibat dari
aksi militernya yaitu Agresi Israel ke
Lebanon pada bulan Juli 2006 dan
bentuk-bentuk atau tindakan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil
sebagai korban perang.
Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu
proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.8 Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, yaitu
penelitian terhadap asas-asas hukum,
sistematika hukum, perbandingan hukum
dan sejarah hukum. Dengan demikian,
data yang dibutuhkan adalah data sekunder, meliputi:
a.
Bahan hukum primer, yaitu bahanbahan hukum yang mengikat, seperti:
 Piagam Perserikatan BangsaBangsa;
 Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang;
 Protokol I Tahun 1977 Konvensi
Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Sengketa
Bersenjata secara internasional;
 Protokol II tahun 1977 Konvensi
Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Sengketa
Bersenjata Non-internasional;
 Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1559 tentang Penghentian
Pelucutan Senjata di Lebanon;
8
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hal. 35.
 Resolisi Dewan Keamanan Nomor 1701 tentang Penghentian Perang;
 ILC Draft Articles Responsibility
of State for Internationally Wrongful Acts tahun 2001;
 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83 12 Desember 2001;
 Keputusan Mahkamah Internasional;
 Konvensi-Konvensi Internasional
yang terkait.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu
bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari
hasil-hasil penelitian yang terkait,
tulisan-tulisan atau karya-karya dari
kalangan hukum.
c.
Bahan hukum tertier, yaitu bahanbahan yang memberikan petunjuk
atau penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder yang
berupa kamus ataupun ensiklopedia.
Pengumpulan
data
dilakukan
dengan penelitian kepustakaan (library
reseach) dengan mempelajari dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dirumuska dalam
penelitian. Dilakukan analisis terhadap
data yang terkumpul dengan analisis yang
bersifat kualitatif berdasarkan permasalahan konflik bersenjata antara IsraelLebanon. Data-data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk selanjutnya
dianalisa berdasarkan kualitas data
sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu tentang tanggungjawab negara.
Selanjutnya data sekunder yang
diperoleh kemudian dikelompokkan menurut variabelnya masing-masing menjadi:
36
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
a. Kelompok data yang berhubungan
dengan tanggungjawab Israel terhadap Lebanon atas tindakan agresi
yang dilakukan Israel;
b. Kelompok data yang berhubungan
dengan ketentuan-ketentuan dan teori-teori mengenai hukum dan caracara atau bentuk-bentuk dari pertanggungjawaban negara;
c. Kelompok data yang berhubungan
dengan sanksi yang diberikan kepada
negara atas pelanggaran tersebut,
khususnya sengketa antara Lebanon
dengan Israel.
Setelah dikelompokkan, maka data
tersebut dianalisis menggunakan:
a. Metode induksi, yaitu dengan memaparkan fakta-fakta mengenai bentuk
atau tindakan dari tanggungjawab
negara dan cara-cara pertanggungjawaban tersebut.
b. Metode deduksi, yaitu dengan memaparkan kaitan antara ketentuan-ketentuan dan teori-teori hukum mengenai
pertanggungjawaban negara dan dalam hal memberikan perlindungan
kepada penduduk sipil pada kasus
Agresi Israel ke Lebanon
Hasil dan Pembahasan
Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional
1. Prinsip Umum Pertanggungjawaban Negara
Timbulnya tanggungjawab negara
dalam hukum internasional adalah bahwa
tidak ada satu negarapun yang dapat
menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Oleh sebab itu,
setiap pelanggaran terhadap hak negara
lain menyebabkan suatu negara wajib
untuk memperbaiki atau bertanggung-
jawab atas pelanggaran hak itu.9 Tanggungjawab negara umumnya diartikan
sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan kerugian (duty to make reparation), yang timbul dari akibat adanya tindakan (act or ommission) yang dapat dipersalahkan (wrongful act), karena melanggar kewajiban internasional.10
Dalam hal pertanggungjawaban
negara terdapat dua istilah yang harus
diperhatikan, yaitu responsibility dan
liability. Kedua istilah ini memiliki arti
yang berbeda tetapi mempunyai hubungan yang erat. Istilah responsibility digunakan untuk menunjukkan pada kewajiban (duty). Sedangkan istilah liability
digunakan untuk menunjuk pada suatu
konsekuensi dari suatu kesalahan atau
kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi standar
tertentu yang telah ditetapkan. 11
Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik adanya pertanggungjawaban
negara tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut:
1. Adanya suatu kewajiban dalam hukum internasional yang berlaku antara
dua negara tertentu;
2. Adanya duatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban
hukum internasional yang melahirkan
tanggungjawab negara;
9
Huala Adolf, op.cit., hal. 173
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggungjawab
Negara terhadap dampak Komersial Ruang
Angkasa, PT. Refika Aditama, hal. 55.
Bandingkan dengan pendapat Brownlie: ” breach
of duty denotes an illegal act or ommission, an
injury in the broad sense. Damage denote loss,
damnum, whether this is a financial quantification
of phisichal injury or damage, or of other
consequences of breach of duty”.
11
Marsudi Triatmodjo, “Pertanggungjawaban
Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan
Internasional”, Mimbar Hukum Fakultas Hukum
UGM No. 33/X/99, 1999, hal. 173.
10
37
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang
melanggar hukum atau kelalaian12.
Menurut Sharon Williams, dalam
menetapkan adanya pertanggungjawaban
negara dikenal ada 4 (empat) kriteria sebagai dasar, yaitu subjective fault criteria, objective fault criteria, strict liability,
dan absolute liability. Konsep subjective
fault criteria menentukan arti penting
dari kesalahan (baik dolus maupun culpa)
pelaku. Sedangkan konsep objective fault
criteria menentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya
pelanggaran terhadap suatu kewajiban
internasional. Jika suatu negara dapat
menunjukkan adanya force majeure atau
adanya tindakan dari pihak ketiga, maka
ia dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut. Dalam konsep strict
liability, negara dibebani pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak
berbuat yang terjadi di wilayahnya yang
mengakibatkan kerugian yang diderita
negara lain. Sedang konsep yang terakhir
adalah absolute liability tidak ada alasan
pemaaf yang dapat digunakan seperti
dalam konsep strict liability. 13
2. Status Draf Responsibility of State
for Internationally Wrongful Acts
2001 dalam Masyarakat Internasional
Berkaitan dengan pertanggungjawaban negara akhir-akhir ini sudah ada
suatu upaya dari masyarakat internasional
untuk membentuk suatu ketentuan yang
mengaturnya, yang kemudian melahirkan
sebuah draf mengenai State Responsibility yang dihasilkan oleh International
Law Comission (ILC) pada tahun 2001.
Draf ini telah disetujui oleh Majelis
12
13
Huala Adolf, op.cit., hal. 256-257.
Marsudi Triatmodjo, op.cit., hal. 176-178.
Umum PBB dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83
tanggal 12 Desember 200114 tentang
Responsibility of State for Internationally
Wrongful Acts 2001. Pada dasarnya, draf
Responsibility of State for Internationally
Wrongful Acts 2001 belum mempunyai
kekuatan mengikat. Namun, apabila negara ingin menggunakan draf tersebut
sebagai pedoman juga tidak salah. Resolusi merupakan salah satu bentuk
keputusan yang dapat dikeluarkan oleh
suatu organisasi internasional.
Tidak semua resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional tersebut mengikat secara hukum bagi semua
anggotanya, hal itu tergantung dari instrumen pokok dari organisasi internasional tersebut. Keputusan atau resolusi
yang tidak mempunyai kekuatan hukum
pada umumnya bersifat rekomendatif dan
hanya bersifat moral dan politis saja.
Bagi keputusan-keputusan atau resolusiresolusi yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum seperti DK PBB,
agar negara dapat melaksanakannya, instrumen pokok atau Piagam PBB telah
mencantumkan ketentuan mengenai sanksi seperti penangguhan keanggotaannya,
mengeluarkan dari keanggotannnya dalam organisasi inetrnasional tersebut, pengenaan sanksi ekonomi sampai kepada
pengenaaan sanksi militer.
Kekuatan hukum dari resolusiresolusi Majelis Umum PBB dapat digolongkan dalam dua kategori:
a. Interna corporis
Resolusi-resolusi yang terkait dengan lingkungan dalam badan-badan
14
Dengan dikeluarkannya resolusi tersebut akan
menjadikan Draft Responsibility of State for
Internationally Wrongful Acts 2001 mempunyai
kekuatan mengikat secara moral, paling tidak bagi
negara anggota PBB.
38
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
PBB sendiri, apabila tidak ditentukan lain
maka bersifat non-rekomndatif atau mengikat. Contoh, resolusi yang ditetapkan
untuk memasukkan mata acara ke dalam
agenda sidang Majelis Umum PBB, masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan piagam, fungsi elektif, fungsi
keuangan dan fungsi administratif seperti
masuknya negara baru sebagai anggota
PBB, pemilihan sekjen PBB, pemilihanpemilihan keanggotan badan-badan PBB
seperti Dewan Ekonomi dan Sosial,
Dewan Perwalian dan keanggotaan tidak
tetap Dewan Keamanan, Presiden dan
para Wakil Presiden Majelis Umum PBB
serta para hakim Mahkamah Internasional.
b. Eksterna corporis
Resolusi-resolusi yang berhubungan dengan lingkungan luar dari badanbadan PBB pada umumnya hanya bersifat
rekomendatif, seperti yang ditentukan
dalam Pasal 10-14 dan Pasal 18 Piagam.
Sekalipun resolusi itu pada
dasarnya bersifat rekomendatif, namun
terdapat be-berapa resolusi mengikat
secara hukum, seperti:
1. Resolusi Majelis Umum PBB yang
menciptakan adanya fakta-fakta dan
situasi hukum yang kongkrit (kenyataan hukum dan fakta dan situasisituasi tertentu), seperti Resolusi
Majelis Umum PBB 1542 (XV).
2. Resolusi Majelis Umum PBB meskipun tidak membentuk hukum internasional, tetapi menegaskan kembali
adanya aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dan menyatakan
prinsip-prinsip hukum secara umum
yang dapat menjadi sumber hukum
internasional dalam kerangka Pasal
38 Statuta Mahkamah Internasional.
Sebagai contoh adalah Resolusi
Majelis Umum PBB 95 (I) mengenai
Nuremberg Principles on War Crime.
3. Resolusi-resolisi tertentu dari Majelis
Umum PBB mengenai perdamaian
dan keamanan internasional. Seperti
Resolusi Majelis Umum PBB 377 (V)
yang ternyata menimbulkan perubahan hukum karena keperluan politis sehingga ditafsirkan bahwa Majelis
Umum PBB mempunyai kemampuan
hukum (legal capacity) untuk bertindak di masa mendatang.
4. Resolusi Majelis Umum PBB yang
menyatakan adanya persetujuan dari
kalangan anggotanya (multilateral
executive agreement). Misalnya, Resolisi 1962 (XVIII) tentang Declaration of Legal Principles Governing
the Activities of State in the Exploration and Use Outer Space.
5. Resolusi Majelis Umum PBB yang
memuat tentang kekuatan mengikatnya instrument lainnya di luar
Piagam. Misalnya tentang Resolusi
tentang Declaration of Human Right.
6. Resolusi Nomor 289 (IV) mengenai
Koloni Italia (Libya, Erithrea dan
Somalia) yang diambil dari Italian
Peace Treaty 1947, yang antara lain
menyatakan:
“Powers concerned agreed to
accept the Assembly’s recommendations, in case of non-agreement
among themselves about the future
of these colonies”.15
International Law Commission
(ILC) adalah salah satu badan PBB yang
tugasnya megurus dan membahas ketentuan-ketentuan dan hukum internasional. Salah satunya yang sampai sekarang masih dilakukan adalah merumuskan dan membahas draf tentang keten-
15
Ibid. hal. 92-95
39
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
tuan tanggung jawab negara, sebagai
pelaksanaan 13 ayat 1 Piagam PBB.
Draf Responsibility of State for
Internationally Wrongful Acts 2001 pada
dasarnya merupakan himpunan kodifikasi
dan progressive development mengenai
aturan State Responsibility yang tertuang
dalam bentuk ILC Draft dan akan menjadi aturan sekunder (secondary rules)
hukum internasional, mendampingi aturan primernya yang tertuang dalam traktat,
hukum kebiasaan internasional dan sumber hukum lainnya.16
Menurut Pasal 1 ILC Draft, Responsibility of State for Internationally
Wrongful Acts 2001, adanya tanggungjawab negara sebagai suatu kewajiban
yang timbul setalah adanya tindakan
salah.17 Kemudian dalam Pasal 2 ILC
Draft, Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, dinyatakan bahwa tindakan salah atau tindakan
tidak sah secara internasional dapat
timbul apabila: 18
a. Perbuatan tersebut terdiri atas suatu
tindakan atau kelalaian negara menurut hukum internasional;
b. Perbuatan tersebut merupakan suatu
pelanggaran kewajiban internasional.
Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal
3 ILC Draft Responsibility of State for
Internationally Wrongful Acts 2001,
bahwa tindakan yang salah adalah tindakan (act or ommision) yang secara hukum
dapat dikaitkan dengan negara, dan
merupakan pelanggaran terhadap kewa-
jiban internasional.19 Jadi dalam hal ini
untuk timbulnya pertanggung jawaban,
ILC mengkategorikannya ke dalam dua
cara, action dan omission. Action adalah
pertanggung jawaban yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan ommision adalah pertanggungjawaban yang timbul karena kegagalan negara
karena tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam hukum internasional.
Walaupun tidak secara eksplisit
memasukkan kerugian sebagai unsur
tanggungjawab, ILC tidak bermaksud
untuk memandang unsur tersebut sebagai
unsur yang terpisahkan, bahkan ILC memandang unsur itu sebagai unsur tak
terpisahkan. Unsur kerugian adalah unsur implisit dari suatu tanggung jawab.
Unsur kerugian menurut ILC merupakan
unsur alamiah suatu tanggungjawab.20
Timbulnya State Responsibility
menurut ILC Draft adalah adanya tindakan salah (wrongful act) oleh negara.
Untuk membuktikan negara wrongful act,
maka harus menggunakan pembuktian
dengan teori subyektif dan obyektif.
Dalam draf Responsibility of State
for Internationally Wrongful Acts 2001,
ada beberapa keadaan yang membuat
suatu tindakan salah (wrongful act) tidak
menimbulkan tanggungjawab negara,
yaitu: 21
a. Tindakan tersebut dilakukan dengan
persetujuan negara yang dirugikan
(Pasal 20);
19
16
Artikel Muhammad Mova Al Afghani, ”Konsep
Kealpaan dalam Hukum Pertanggungjawaban
Negara”, 2005.
17
Article 1 ILC Draft, ....every internationally
wrongful act of a state entails the international
responsibility of that State...
18
Lihat Article 2 ILC Draft Responsibility of
State for Internationally Wrongful Acts 2001.
Article 3 ILC Draft, …...the characterization of
an act of a State as internationally wrongful is
governed
by
international
law.
Such
characterization is not affected by the
characterization of the same act as lawful by
internal Law.
20
Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., hal. 57-58
21
Lihat Article 20-23, article 25 ILC Draft
Responsibility of State of Internationally
Wrongfull Acts 2001.
40
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
b. Tindakan yang dilakukan merupakan
tindakan membela diri (Pasal 21);
c. Tindakan-tindakan balasan yang diperkenankan dalam hukum internasional (Pasal 22);
d. Force majeure (Pasal 23);
e. Tindakan yang sangat diperlukan
(Pasal 25).
Jika dilihat pada kategori penentuan pertanggungjawaban yang diberikan
oleh ILC pada drafnya tahun 2001, maka
tindakan agresi yang dilakukan oleh
Israel terhadap Lebanon merupakan pertanggungjawaban yang mutlak (elemen
obyektif), karena Israel pada faktanya
terbukti telah melanggar kewajiban internasional dan kepadanya dapat dimintai
pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional.
Perlindungan Penduduk Sipil dalam
Hukum Humaniter Internasional
1. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan terhadap Penduduk Sipil
Perlindungan penduduk sipil sebagai akibat pertikaian bersenjata mendapatkan pengaturan dalam Hukum
Humaniter Internasional22. Dalam memberikan perlindungan kepada penduduk
sipil, hukum humaniter mengenal beberapa prinsip yaitu:
22
Menurut Pictet, Hukum Humaniter diartikan
sebagai seperangkat ketentuan hukum internasional yang menjamin penghormatan individu
dan mendorong kemajuannya. Sedangkan menurut Haryomataram, Hukum Humaniter Internasional terbagi menjadi dua aturan pokok, yaitu:
a). Hukum yang mengatur tentang cara dan alat
yang boleh dipergunakan dalam konflik bersenjata (Hukum Den Haag/The Hague Laws); b).
Hukum yang mengatur tentang perlindungan
terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat
konflik bersenjata (Hukum Jenewa/The Genewa
Laws). F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum
Humaniter Internasional, tidak diterbitkan, hal.
1; Arlina Permanasari, et all, 1999, Pengantar
Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, hal. 5.
1). Prinsip Kemanusiaan, prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk bertindak
dengan mengutamakan aspek kemanusiaan;
2). Prinsip Pembedaan adalah prinsip
yang membedakan antara kombatan
dan penduduk sipil dalam wilayah
negara yang sedang terjadi konflik;
3). Prinsip Proporsional adalah prinsip
yang mempunyai tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentiangan
militer dan resiko yang akan diderita
oleh penduduk sipil. Prinsip ini diatur
dalam Protokol Tambahan I 1977 Sub
Bagian II;23
4). Prinsip Larangan untuk Menyebabkan
Penderitaan yang Berlebihan, pada
prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip kemanusiaan;
5). Prinsip Kepentingan Militer, dalam
prinsip ini ditentukan mengenai kewajiban para pihak dalam menggunakan kekuatan militer haruslah
sesuai hukum24.
2. Pengaturan Internasional Terhadap Perlindungan Penduduk Sipil
23
F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum
Humaniter, op.cit. hal. 10.
24
Dalam penggunaan prinsip harus melalui lima
tahap yang kesemuanya haruslah dipenuhi tanpa
terkecuali, yaitu:
a. Tindakan yang dilakukan tidak melanggar
ketentuan Hukum Humaniter Internasional;
b. Harus benar-benar ada keharusan untuk melakukan tindakan tersebut;
c. Tindakan yang dilakukan dalah paling tepat
untuk meraih keuntungan yang diharapkan
pada saat itu;
d. Akibat dari tindakan tersebut telah memenuhi
prinsip proporsionalitas;
e. Cara yang diambil sudah melalui pertimbangan segala aspek yang terkait. Sri S. Suwardi,
“Serangan
Israel
Terhadap
Lebanon
Dikaitkan Dengan Prinsip-Prinsip Hukum
Humaniter”, Jurnal Hukum Internasional,
Vol. 4, Nomor I, 2006, hal. 12.
41
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa
1949, perlindungan terhadap penduduk
sipil memang sudah disinggung dalam
Konvensi Den Haag, namun masih
kurang lengkap dan hanya mengatur perlindungan penduduk sipil di wilayah yang
diduduki. Sehingga dapatlah dikatakan
bahwa pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa IV
merupakan suatu pengaturan yang baru.
Perlindungan penduduk sipil ditemukan
dalam berbagai instrumen hukum internasional, seperti:
a). Instruksi Lieber Tahun 1863
Menurut instruksi ini, orang sipil
dibedakan atas:
i. orang sipil yang in-offensive,
ii. orang sipil yg ikut serta langsung
dalam permusuhan ( levee en masse)
iii. orang sipil yg terkait aktif dalam
pelaksanaan
tugas
Angkatan
25
Bersenjata .
b). Konvensi Jenewa Tahun 1864
Konvensi ini mengatur tingkah
laku orang sipil dalam pertikaian bersenjata berikut perlindungannya26.
c). Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868
Dalam deklarasi secara implisit
menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan diberikan dengan mencantumkan prinsip pembedaan dalam
konsideran deklarasi tersebut. Mereka
yang bukan anggota angkatan bersenjata
musuh tergolong orang sipil27.
d). Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan
Tahun 1907 (Konvensi Den Haag)
25
Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum
Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan
Perlindungannya dalam Pertikaian Bersenjata,
dalam , Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat
Studi Hukum Humaniter FH – Universitas
Trisakti, Jakarta, hal.43.
26
Ibid.
27
Ibid., hal. 44.
Dalam Konvensi Den Haag diatur
tentang Belligerents (istilah sekarang
Kombatan), yaitu mereka yang ikut aktif
dalam permusuhan, oleh karenanya ia
tunduk pada hukum perang. Sedangkan
mereka yang tidak tergolong belligerents,
yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam
permusuhan adalah orang sipil. Orang
sipil yang berada di wilayah pendudukan
harus dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan pihak musuh yang mendudukinya28.
e). Konvensi Jenewa 1949
Perlindungan terhadap penduduk
sipil utamanya diatur dalam Konvensi IV.
Konvensi IV dalam mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dikelompokkan atas perlindungan umum dan perlindungan khusus. Perlindungan umum dimaksudkan bahwa perlindungan yang
diberikan terhadap penduduk sipil tidak
boleh dilakukan secara diskriminatif.
Sedangkan perlindungan khusus, yaitu
ditujukan pada penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial atau
kemanusiaan.
f). Protokol Tambahan 1977, Konvensi
Jenewa 1949
Secara umum, perlindungan terhadap penduduk sipil dan orang sipil berupa larangan penyerangan terhadap
28
Secara garis besar bentuk perlindungan
terhadap orang sipil itu antara lain:
a. Orang sipil tidak bisa dipaksa untuk memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan yang bertikai, termasuk
perlengkapan pertahanannya;
b. Mereka tidak boleh dipaksa bersumpah untuk setia kepad musuh yang menguasai;
c. Penghormatan hak-hak pribadi dan harta
orang sipil;
d. Larangan penjarahan pada penduduk sipil;
e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan
yang sejenis secara sewenang-wenang;
f. Larangan penghukuman kolektif pada orang
sipil;
g. Larangan pencabutan hak milik orang sipil
secara sewenang-wenang.
42
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
mereka. Mereka menikmati perlindungan
dari bahaya yang timbul dari operasi militer.
Latar Belakang Agresi Israel ke Lebanon
Konflik antara Israel dan Lebanon
ini sebenarnya memiliki akar sejarah
yang panjang. Tahun 1975, sebenarnya
telah muncul konflik dengan adanya
perang saudara yaitu orang Palestina
penganut Islam Shiah melawan kelompok
Kristen Maronit yang menimbulkan korban sekitar 400.000 orang mati dan
100.000 orang luka-luka.29 Tingkah laku
orang Palestina ini menyebabkan pendekatan kelompok Kristen dengan Israel,
masuklah serangan Israel atas kantongkantong pengungsi basis gerilya Palestina
di Lebanon. Usaha AS mendamaikan
sampai tahun 1982 belum berhasil, bahkan ketika Presiden Lebanon Bashir
Gemayel terbunuh oleh bom yang meledak menghancurkan markas milisi Kristen Phalangis, semakin menggila pula
perang antara antara milisi itu. Tiga hari
kemudian, kamp-kamp pengungsi Palestina Shatilla dan Sabra diserbu sehingga
menimbulkan korban besar. Dunia terkejut maka, PBB lalu mengirimkan pasukan perdamaian yang terdiri atas pasukan
AS, Inggris, Italia dan Prancis. Tahun
1984, Israel masuk ke Lebanon ini dengan alasan untuk mencari orang-orang
yang dianggap bertanggung jawab atas
pembunuhan Dubes Israel di London,
kelompok yang dianggap bertanggungjawab adalah kelompok garis keras Abu
Nidal. Pada saatu, dengan kekuatan militer penuh, Israel menggempur wilayah
Lebanon dan menghancurkan kamp
pejuang-pejuang militan, ribuan orang
29
www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang
Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006.
tewas dan puluhan ribu orang luka-luka.
PBB kemudian mengirimkan pasukan
perdamaian multi nasional dari berbagai
negara. Namun sebelum masa tugasnya
berakhir, pasukan perdamaian tersebut
sudah ditarik dan Israel kembali melakukan serangan-serangan ke wilayah-wilayah Lebanon30.
Agresi militer Israel kedua, tanggal 12 Juli 2006 tersebut dipicu oleh tertawannya serdadu-serdadu Israel oleh
para pejuang Palestina dan Hezbullah.
Sebenarnya banyak orang yang sudah
tahu bahwa alasan Israel melakukan agresi tersebut adalah bukan alasan tersebut.
Invasi Ariel Sharon 1982 ke Lebanon
juga menggunakan legitimasi propaganda
yang serupa, juga didasarkan atas justifikasi rencana percobaan bom syahid Abu
Nidals di keduataan Israel di Inggris.
Pada saat ini, kasus Hezbullah dijadikan
dalih yang sama. Agenda utama lain
yaitu, memaksa Hezbullah keluar dari
Lebanon selatan dan berusaha untuk
menghancurkan sebanyak mungkin peralatan militer Hezbullah.
Menteri Pertahanan Israel, Amir
Perets secara terbuka mengatakan Israel
ingin mengusir dari Lebanon. Bahkan
pada tanggal 23 Juli 2006 lalu, Perdana
Menteri Israel, Ehud Olmert mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama hingga infrastruktur Hezbullah di Lebanon dapat
dihancurkan. Israel juga secara tegas
menolak usul utusan PBB untuk gencatan
senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok teroris tidak mengenal upaya
diplomasi.
30
Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol dalam
Pembangunan Kharismatik, Fundamentalis.
Revolusi Gagal Membangun Jakarta, Yayasan Tri
Mawar, hal. 35.
43
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
Seorang pengamat masalah Timur
Tengah asal Inggris, Patrick Seal mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas
menghadapi Hezbullah. Di antara alasan
itu adalah historis konflik HezbullahIsrael31.
Dari kalangan umat Islam di beberapa negara Arab termasuk Ikhwanul
Muslimin menanggapi Israel sebagai bagian dari upaya bangsa Yahudi untuk
mewujudkan eksistensi negeri Israel
Raya. Aksi ini juga implementasi dari
agenda AS untuk mewujudkan The
Greater Middle East yang dilontarkan AS
sebelum menginvasi Irak.
Selain
itu,
sinyal
skenario
dukungan politik dari negara sekutu
semisal Prancis juga terekan pada
peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dalam
pertemuan dengan Bashar Al-Assad
sepeninggal mendiang ayahnya, Chirac
sempat menyampaikan pesan bahwa satusatunya solusi konflik Timur Tengah
adalah di-tariknya tentara Suriah dari
Lebanon. Pada awal tahu 2004 semakin
kuat du-kungan Prancis dan AS dalam
menuntut terwujudnya demokratisasi di
Lebanon. Tak lama berselang, September
2004 muncul resolusi Dewan Keamanan
PBB No. 1559 yang menuntut dilucutinya persenjataan Hezbullah dan desakan
mundur tentara Suriah dan Lebanon.
Kemudian terjadilah peristiwa tewasnya
Rafiq Hariri salah satu penggagas
resolusi PBB 1559 dalam ledakan bom
bunuh diri pada 14 Februari 2005. Tak
lama kemudian, pada 27 April tentara
Suriah berhasil dipaksa menarik diri dari
Lebanon. Pada tanggal 17 Mei 2006,
Prancis masih mengusulkan resolusi
31
www.kompas.com., Laknatullah Teroris, Faq,
Israel Raya : Agenda Tersembunyi di Balik
Kekejaman Israel, 6 Agustus 2006.
Dewan Keamanan PBB yang menuntut
Damaskus untuk meninjau kembali garis
perbatasannya dengan Lebanon dan
melakukan pertukaran duta besarnya.
Perubahan sikap Prancis ini tidak terlepas
dari kompensasi Amerika Serikat atas
dukungannya terhadap kasus sengketa
Prancis dengan tetangganya di pesisir
pantai.32
Agresi Israel ke Lebanon sudah
berdampak amat serius tidak hanya bagi
Lebanon akan tetapi juga dunia. Sikap
arogan Israel telah menyebabkan harga
minyak mentah dunia melambung sampai
US$ 78 dollar per barel, bahkan bisa
menembus US$ 100 barel bila perang tak
cepat reda33. Selain itu, hal yang lebih
urgen, agresi Israel sendiri pada saat yang
sama menciptakan serius bagi perdamaian global. Semangat permusuhan dan
yang menyeret isu agama dan rasial akan
muncul di mana-mana, sehingga akan
menciptakan ancaman internal di negaranegara yang terkait isu agama dan rasial
sekaligus menciptakan ketegangan di tatanan global.
Ketentuan-Ketentuan Hukum Internasional dalam Sengketa Israel–
Lebanon
Sengketa Israel–Lebanon yang terjadi pada beberapa tahun lalu, apabila
diperhatikan dari aspek hukum internasional terdapat adanya kejahatan agresi, yang masuk dalam kategori kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)34, dan pelanggaran HAM Berat (HAM Berat). Ruang
32
Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman
Global, Kompas, 28 Juli 2006.
33
www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang
Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006.
34
Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma.
44
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
lingkup Pelanggaran HAM Berat (gross
violation of human rights) pada hakikatnya sangat luas, mencakup pula pelanggaran terhadap hukum humaniter35.
1. Berlakunya Hukum Humaniter dalam Konflik Bersenjata
Sebagaimana diketahui bahwa
Hukum Humaniter Internasional (HHI)
atau International Humanitarian Law
merupakan bagian dari Hukum Perang,
dan hukum perang sendiri merupakan
bagian dari Hukum Internasional. Hukum
perang merupakan bagian hukum tertua
dari hukum internasional dan sebagian
besar dari hukum perang merupakan
hukum tertulis atau telah terkodifikasi.
Secara sederhana HHI dapat diberi
pengertian sebagai hukum yang mengatur
tentang perlindungan korban perang36.
Dari pengertian yang sederhana ini ada
dua aktifitas bisa diperhatikan, yaitu
aktifitas perang dan aktifitas perlindung-
an korban perang. Hukum Humaniter
Internasional memberikan perlindungan
kepada korban perang atau mereka yang
terlibat dalam pertempuran secara garis
besar dapat dikategorikan menjadi;
Pertama, perlindungan yang di-berikan
kepada Kombatan (Combatant), yaitu
mereka yang terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang
diberikan kepadanya yaitu status sebagai
tawanan perang bila ternyata berada di
tangan pihak lawan. Sebagai tawanan
perang mereka harus diperlakukan secara
manusiawi dan dijamin hak-hak dan kewajibannya37. Kedua, perlindungan yang
diberikan kepada penduduk sipil (Civilian population)38, yaitu penduduk dari
pihak yang bertikai yang tidak terlibat
aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya
berupa larangan untuk menjadikan mereka sebagai obyek atau sasaran serangan39.
Ketiga, perlindungan yang diberikan kepada orang yang karena pekerjaanya
35
Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar
HAM Berat di Era Demokrasi, Dalam Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1, Mei-Agustus,
2000, hal. 43-44.
36
Beberapa pengertian Hukum Humaniter
Internasional sebagaimana dikemukakan oleh
Mochtar
Kusumaatmadja,
bahwa
hukum
humaniter adalah bagian dari hukum perang yang
mengatur
ketentuan-ketentuan
perlindungan
Korban Perang. Berlainan dengan bagian Hukum
Perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan
segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan
perang. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa
adalah identik dengan hukum humaniter.
Sedangkan hukum perang identik dengan hukum
den haag. Menurut Jean Pictet, bahwa hukum
humaniter trmasuk di dalamnya hukum den haag,
hukum jenewa, dan hak asasi manusia. Pendapat
lain dikemukakan oleh Geza Herczegh, bahwa
hukum humaniter internasional hanya sebatas
pada hukum Geneva saja. Apabila hukum den
haag dimasukkan maka akan mengurangi sifat
humaniter yang begitu diutamakan. Lihat
Haryomataram,
2005,
Pengantar
Hukum
Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.
18 – 22.
37
Perlindungan terhadap tawanan perang diatur
dalam Konvensi Jenewa III.
38
Perlu ditegaskan di sini tentang istilah
Penduduk sipil (civilan population), yaitu semua
orang yang tergolong orang sipil; Orang sipil
(civilian) adalah orang yang tidak termasuk dalam
orang-orang yang dilindungi oleh Pasal 4 A (1, 2,
3, dan 6) Konvensi III, yang menyatakan bahwa:
a). anggota angkatan bersenjata dari pihak yang
bertikai dan anggota-anggota milisi atau korps
sekarela yang merupakan bagian dari angkatan
bersenjata, b). anggota-anggota milisi lain, korps
sukarela, termasuk gerakan perlawanan yang
terorganisir yang tergolong pada suatu pihak yang
bertikai dan beroperasi di luar atau di wilayah
sendiri, sepanjang mereka memenuhi syaratsyarat tertentu, c). Anggota angkatan bersenjata
reguler yang menyatakan kesetiaannya pada
pemerintah yang tidak diakui oleh negara
penahan, d). Levee en masse, apabila jatuh
ketangan musuh akan memperoleh status sebagai
tawanan Perang. Sedangkan Obyek sipil semua
objek yang bukan sasaran militer.
39
Perlindungan terhadap Penduduk Sipil diatur
dalam Konvensi Jenewa IV.
45
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
harus dihormati dan tidak boleh dijadikan
sasaran serangan40.
Adanya bentuk-bentuk perlindungan yang demikian tentunya terkait
dengan salah satu prinsip atau asas dalam
hukum humaniter, yaitu Prinsip Pembedaan (Distinction Principle). Prinsip ini
menegaskan bahwa penduduk suatu
negara yang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata atau berperang dibedakan atas Kombatan (Combatant)41 dan
Penduduk Sipil (Civilian Population).
Latar belakang munculnya prinsip ini,
untuk mengetahui siapa yang boleh turut
aktif dalam pertikaian bersenjata atau
perang dan siapa yang tidak; juga untuk
menentukan siapa yang dapat dijadikan
sasaran obyek serangan dan siapa yang
tidak. Oleh karena itu, dalam situasi pertikaian bersenjata atau perang seseorang
harus menentukan pilihan dia akan masuk
kedalam golongan mana, seseorang pada
saat yang sama tidak dapat masuk kedalam dua golongan.
Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada
penduduk sipil tidak boleh dilakukan
secara diskriminatif. Terhadap mereka
tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 34 Konvensi IV42.
40
Pasal 25 Konvensi Jenewa I dan Pasal 36
Konvensi Jenewa II.
41
Kombatan diartikan sebagai anggota angkatan
bersenjata yang terlibat langsung dalam sebuah
konflik bersenjata. Mereka mempunyai hak untuk
terlibat langsung dalam konflik bersenjata yang
bertindak atas nama negara atau kelompok. Dan
mereka mendapat perlindungan jika jatuh ke
tangan musuh, dalam kondisi sakit, luka atau
dalam kapal karam sesuai dengan cara/metode
yang ditetapkan dalam perang.
42
Dalam rangka melakukan perlindungan
terhadap penduduk sipil dilarang:
a) Melakukan pemaksaan jasmani maupun
rohani untuk memperoleh keterangan;
2. Hukum HAM dan Hukum Hukum
Humaniter
Keterkaitan antara Hukum HAM dan
Hukum Humaniter
Guna mengetahui hubungan antara
hukum HAM dengan hukum humaniter
dapat digunakan tiga teori atau pendekatan:
1) Teori integrasionist. Menurut teori
ini, keberadaan suatu sistem hukum
berasal dari hukum yang lain, sehingga terdapat dua kemungkinan yaitu:
a) Keberadaan HHI didasarkan pada
HAM;
b) HHI menjadi dasar dari HAM.
2) Teori Separatis. Teori ini melihat
bahwa HHI dan HAM adalah dua
sistem hukum yang berbeda. Letak
perbedaannya ada pada:
a) Obyeknya;
b) Sifatnya;
HHI bersifat mandatory, sedangkan HAM bersifat declaratory;
c) Saat berlakunya.
Sedangkan
menurut
Marion
Mushat, perbedaan antara HHI dengan
HAM nampak pada:
a) HHI berhubungan dengan akibat
sengketa
bersenjata,
sedangkan
HAM berkaitan dengan pertentangan
antara pemerintah dengan individu di
dalam negara yang bersangkutan;
b) Hukum humaniter mulai berlaku
pada saat hak asasi manusia tidak
berlaku lagi;
b) Melakukan tindakan yang menimbulkan
penderitaan jasmani;
c) Menjatuhkan hukuman kolektif;
d) Melakukan intimidasi, terorisme dan
perampokan;
e) Melakukan pembalasan (reprisal);
f) Menjadikan mereka sebagai sandera;
g) Melakukan tindakan yang menimbulkan
penderitaan jasmani, atau permusuhan terhadap
orang-orang yang dilindungi.
46
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
c) HHI melindungi mereka yang tidak
mampu atau tidak turut bertempur,
dan penduduk sipil. Sedangkan HAM
tidak ada dalam sengketa bersenjata,
karena fungsinya telah diambil oleh
HHI.
3). Teori Komplemetaris
Teori ini memandang bahwa antara
HHI dan HAM melalui proses yang
bertahap berkembang secara pararel dan
saling melengkapi. Dalam banyak hal
teori Komplementaris ini lebih sesuai
dengan kebutuhan bagi jaminan perlindungan dan penghormatan atas hak-hak
individu. Karena teori ini tidak mengedepankan perbedaan yang ada 43.
Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran Hukum Humaniter
Baik dalam hukum HAM maupun
dalam Hukum Humaniter dikenal adanya
Pelanggaran Berat (gross violation of
human rights). Dalam hukum HAM pelanggaran berat terjadi bila pelanggaran
tersebut melibatkan atau difasilitasi oleh
pemerintah, dilakukan secara sistematis
dan meluas44 serta merupakan bagian dari
43
Arlina Permanasari, dkk., op. cit. hal. 337 –
339.; Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum
Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia,
dalam, Hukum Humaniter suatu Prespektif, Pusat
Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti,
Jakarta, hal. 92.
44
Istilah (me) luas dan sistematis menurut M.
Cherif Bassiouni memandang bahwa istilahistilah (me)luas dan sistematis tersebut memiliki
dua maksud yang jelas, pertama, untuk
mengeliminasi konflik kelompok yang spontan
atautidak terkontrol dari cakupan kejahatan
terhadap kemanusiaan, dan kedua, guna
merefleksikan eksistensi aksi atau kebijakan
negara tersebut yang dilakukan oleh aktor-aktor
negara dan elemen kebijakan tersebut bagi
pelaku-pelaku
non-negara.
Sedangkan
International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) mengintepretasikan makna sistematis
sebagai tindakan secara menyeluruh terorganisir
dan mengikuti pola teratur atas dasar suatu
kebijakan umum yang menyangkut atau
kebijakan negara45. Sedangkan dalam
hukum humaniter, pelanggaran berat
(grave breaches) terjadi karena tindakan
tersebut termasuk tindakan yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 194946 atau
dalam Protokol I Konvensi Jenewa 1949.
Pelanggaran berat dalam hukum humaniter termasuk kejahatan perang47.
melibatkan sumber daya publik atau privat yang
substansial. Sedangkan suatu kejahatan bersifat
meluas atau dilakukan dalam skala yang besar
dengan efek kumulatif atas serangkaian tindakantindakan tidak manusiawi atau efek tunggal dari
suatu tindakan tidak manusiawi yang besarnya
luar biasa. Erikson Hasiholan Gultom, 2006,
Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional
dalam
Peradilan
Kejahatan
Terhadap
Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa,
Jakarta, hal. 54-59.
45
Menurut Frank E Hagan, pelanggaran HAM
berat mempunyai nuansa khusus yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam arti para pelaku berbuat
dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh
kekuasaan pemerintah. Dalam pelanggaran HAM
berat terdapat beberapa unsur:
1) Adanya abuse of power dalam kerangka
asosiasi
dengan
pemerintah.
Termasuk
didalamnya apa yang disebut dengan delik omisi
(violation by ommision).
2) Kejahatan tersebut dianggap merendahkan
martabat manusia dan melanggar asas-asas
kemanusiaan yang mendasar.
3) Perbuatan
tersebut
dikutuk
secara
internasional.
4) Dilakukan secara sistemik dan meluas.
Muladi, 2000. Op. Cit., hal. 41. ; Muladi, PrinsipPrinsip pembentukan Pengadilan HAM di
Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional,
Paper Seminar, Jakarta, hal.11; Article 7 Statute
of ICC, 1998.
46
Pengertian Grave breaches dalam Konvensi
Jenewa 1949 di samping diatur dalam Pasal 50
Konvensi I juga diatur dalam Pasal 51 Konvensi
Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan
Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, juga Protokol I.
Konvensi Jenewa 1949.
47
Kejahatan perang sendiri dirumuskan sebagai
kejahatan yang melanggar hukum dan kebiasaan
perang yang dilakukan dalam waktu perang baik
oleh warga negara dari negara musuh maupun
orang asing yang bertugas pada musuh.
Haryomataram, “Masalah Kejahatan Perang,
Penjahat Perang, dan Penanganan Penjahat
Perang”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1 dan 2,
April 2006, Pusat Studi Hukum Humaniter FHUniversitas Trisakti, Jakarta, 2006, hal. 213.
47
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
Berkaitan dengan kejahatan perang
atau pelanggaran berat hukum hmaniter,
Statuta Roma juga menegaskan bahwa
kejahatan-kejahatan Perang merupakan
kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICC. Adapun jenis kejahatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8
ayat 248.
Adanya pelanggaran HAM berat
dan pelanggaran berat dalam hukum
humaniter tersebut bila dikaitkan dengan
pertikaian antara Israel dan Lebanon,
maka tindakan Israel telah memenuhi
unsur adanya pelanggaran berat hukum
humaniter. Karena Tindakan Israel telah
mengakibatkan terbunuhnya ribuan penduduk sipil serta hancurnya sarana dan
prasarana sipil atau peribadatan.
3. Agresi dalam Konteks Hukum
Internasional
Sampai saat ini, belum ada definisi
dan konsep yang tegas mengenai agresi.
Bahkan Mahkamah Internasional dalam
Statuta Roma tidak dapat menetapkan
yurisdiksinya atas agresi. Statuta Roma
hanya mencantumkan tentang kejahatan
agresi tanpa pengertian lebih lanjut49.
Dari sudut pandang psikologi dan ilmu
sosial lainnya, pengertian agresi merujuk
pada perilaku yang dimaksudkan untuk
membuat objeknya mengalami bahaya
atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan
secara verbal atau fisik. Pengrusakan
barang dan perilaku destruktif lainnya
juga termasuk dalam definisi agresi.
Agresi tidak sama dengan ketegasan50.
Menurut Hanurawan, hal utama yang
menyebabkan munculnya perilaku agresi
48
Tindakan yang termasuk kejahatan perang
sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Statuta
Roma.
49
Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma.
50
Id.wikipedia.org/wiki/agresi.
adalah frustrasi.51 Pengertian tentang
agresi tersebut bila dikaitkan dengan peristiwa pertikaian antara Israel dan
Lebanon, dapat dikatakan bahwa telah
terjadi tindakan agresi oleh Israel terhadap Lebanon.
Tanggungjawab Negara Israel dalam
Tindakan Agresi di Lebanon pada
Bulan Juli 2006
1. Hakekat Tanggungjawab Negara
Jika kita membicarakan mengenai
tanggungjawab, maka yang ada dalam
fikiran bahwa telah terjadi suatu kesalahan. Tidak akan ada tanggungjawab jika
tidak ada kesalahan.
Agresi Israel yang dilakukan terhadap Lebanon telah menimbulkan
banyak pertentangan dari berbagai pihak
dan pelanggaran dalam hukum internasional yaitu terkait dengan pertanggungjawaban negara. Karakteristik esensial
dari pertanggungjawaban tergantung dari
beberapa faktor. Pertama, terdapatnya
eksistensi akan sebuah kewajiban internasional. Kedua, telah terjadinya sebuah
tindakan (commision) atau kelalaian
(omission) yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran. Ketiga, adalah terdapatnya
kerugian yang diakibatkan oleh tindakan
yang melawan hukum. Faktor-faktor ini
telah diakui dalam beberapa kasus, misalnya dalam kasus the Spanish Zone of
Morocco52. Pasal 1 ILC Draft53
51
Hadrianus Wahyudi, “Prilaku Agresi Ternyata
Menular”, Universitas Sanata Dharma. 26
November
2008.
Http://m.kompas.com/news/read/data/2008.11.26.
22565170?fs=s.
52
Thontowi Jawahir dan Iskansar Pranoto, 2006,
Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika
Aditama, Bandung, hal. 197
53
Article 1 Draft Article Responsibility of State
for Internationally Wrongful Acts 2001 ”Every
internationally wrongful act of a State entails the
international responsibility of that State”.
48
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
menyatakan bahwa setiap perbuatan salah
yang berdimensi internasional dari suatu
negara dengan sendirinya memiliki konsekuensi bagi pertanggungjawaban. Lebih
lanjut ditegaskan bahwa suatu tindakan
salah secara internasional bila merupakan
tindakan negara dibawah hukum internasional, dan merupakan pelanggaran
hukum internasional54. Sedangkan menurut Crawford dan Olleson, perbuatan
salah yang berdimensi internasional memiliki syarat, yaitu:
a. dapat ditujukan pada sebuah negara;
b. mengandung pelanggaran atas kewajiban internasional yang dimiliki oleh
negara55.
Oleh karena itu, elemen untuk
adanya pertanggungjawaban negara adalah adanya atribusi dan pelanggaran.
Namun terhadap tindakan negara dalam
rangka membela diri atau dalam keadaan
darurat merupakan pengecualian untuk
timbulnya tanggung jawab negara.
2. Tindakan Individu yang Dapat
Menimbulkan Tanggungjawab Negara
Negara dalam bertindak adalah
melalui individu yang bertindak sebagai
organ atau perwakilan atau pejabat
negara. Tindakan ndividu yang bertindak
atas nama negara tersebut dapat menimbulkan tanggungjawab negara, jika:
a. tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional;
b. menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut dapat dilimpahkan kepada negara.
Dalam Pasal 4 ILC Draft diatur
tindakan organ negara yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara
54
Lihat Article 2 Draft article responsibility,
2001.
55
Ibid., hal.169.
yaitu bagian dari organ negara dan statusnya diakui oleh hukum nasionalnya.
Demikian juga beberapa tindakan yang
dapat dilimpahkan pada negara untuk menimbulkan pertanggungjawaban negara
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 – 10
ILC Deaft.
3. Penegakan Hukum dalam Perlindungan terhadap Penduduk Sipil
Dalam rangka penegakan hukum
berkaitan dengan pertikaian antara Israel
dan Lebanon beberapa pihak yang terlibat
dalam penegakan hukum, seperti Dewan
Keamanan dan Organisasi Palang Merah
Internasional. Dewan Keamanan sebagai
pihak yang mempunyai kewenangan
mengeluarkan instrumen sebagai upaya
untuk meminta bahkan memaksa pihakpihak yang melakukan pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional untuk menghentikan kegiatannya. Sedangkan organisasi Palang Merah
internasional, sebagai organisasi yang
independen berperan membantu penanganan korban pertikaian bersenjata, baik
pihak sipil maupun kombatan. Bahkan,
organisasi ini dapat bertindak sebagai
mediator bagi pihak-pihak yang bertikai.
Peran Dewan Keamanan dalam pertikaian antara Israel dan Spanyol
ditunjukkan dengan berhasil dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan Nomor
1559 dan Resolusi Nomor 1701. Sedangkan peran organisasi Palang Merah Internasional, ditunjukkan pada penanganpenangan medis yang dilakukan terhadap
penduduk sipil yang menjadi korban pertikaian, dengan jalan melakukan perawatan dan evakuasi ke tempat yang aman.
Juga organisasi ini mendorong dan mengingatkan pada para pihak yang bertikai
untuk memperhatikan prinsip-prinsip ke-
49
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
manusiaan dan hukum humaniter internasional.
Dalam kaitannya dengan penegakan
hukum disini diperlukan kesadaran para
pihak untuk tetap memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional, baik yang
bersumber pada pertanjian internasional
maupun hukum kebiasaan internasional,
untuk dalam melakukan tindakannya
mengindahkan aturan-aturan yang berlaku dalam pertikaian bersenjata.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang pembahasan permasalahan tersebut di atas
maka dapat disimpulkan bahwa, agresi
Israel ke Lebanon pada bulan Juli tahun
2006 telah berdampak sangat hebat di
dunia internasional dan telah menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Lobanon.
Sampai saat ini kondisi dalam negeri
Lebanon belum sepenuhnya pulih sebagai
akibat aksi militer Israel tersebut. Bila
diperhatikan tindakan Israel telah melakukan pelanggaran dalam kaidah atau
norma-norma hukum internasional yang
dalam hal ini pelanggaran terhadap
hukum humaniter, hukum hak asasi
manusia. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam agresi Israel ke Lebanon
tidak dapat berjalan secara maksimal dan
menyeluruh, karena dominannya faktorfaktor politis di bandingkan faktor hukum
dalam upaya penyelesaian konflik. Selain
itu, terdapat kelemahan-kelemahan dalam
upaya penerapan maupun penegakan
hukum humaniter internasional, diantaranya:
a. Lemahnya
ketentuan
mengenai
prosedur-prosedur internasional yang
menetukan efektifitas hukum internasional dapat diberlakukan apabila
telah diimplementasikan dalam hukum nasional setiap negara;
b. Lemahnya kesadaran dari setiap
negara untuk mengimplementasikan
kaidah-kaidah hukum humaniter
internasional dalam hukum nasional
setiap negara;
c. Lemahnya sanksi dari organisasi
internasional atas pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional
sehingga menyebabkan pelaku dapat
dengan leluasa semakin memperluas
seragannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka
seharusnya Israel bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakannyayang dilakukan terhadap Lebanon. Adapun bentuk
pertanggunjawabannya dapat berupa:
a. Restitusi
Suatu tindakan untuk mengembalikan
keadaan dengan segala yang mungkin
sehingga tercapai keadaan seperti semula seolah-olah tidak terjadi apaapa.
b. Kompensasi
Berupa pembayaran sejumlah uang
yang sebanding dengan kerugian yang
diderita. Kompensasi harus meliputi
semua kerugian yang ditimbulkan.
c. Pemuasan (Satisfaction)
Upaya pelunasan kerugian yang tidak
bisa dibayar dengan uang seperti
kehormatan atau prestice negara.
Pemuasan dapat dilakukan dengan
permintaan maaf resmi, pengakuan
bersalah secara resmi dan lain-lain.
Namun demikian, penulis memandang bahwa Israel belum bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan
dalam pertikaiannya dengan Lebanon.
Saran
Hendaknya Pemerintah Israel segera bertanggung jawab atas kerusakan
50
Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52
struktur dan infrastruktur yang terjadi di
Lebanon akibat perang yang ditimbulkannya, baik berupa permintaan maaf
secara resmi kepada pemerintah Lebanon
melalui media massa, pemberian bantuan
kepada para korban perang terutama para
penduduk sipil maupun ganti rugi atas
segala kerugian yang diderita Lebanon.
Organisasi Internasional dalam hal
ini PBB segera mengambil tindakan yaitu
berupa pemberian sanksi sesuai dengan
hukum internasional yang berlaku atas
pelanggaraan yang dilakukan Israel.
Daftar Bacaan
Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum Humaniter Internasional dan Hak
Asasi Manusia, dalam, Hukum
Humaniter suatu Prespektif, Pusat
Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta.
Arlina Permanasari, et all, 1999,
Pengantar Hukum Humaniter,
ICRC, Jakarta.
Erikson Hasiholan Gultom, 2006,
Kompetensi mahkamah Pidana
Internasional dalam Peradilan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
di Timor Timur, PT Tatanusa,
Jakarta.
H. Jaka Triyana, 2000, Relevansi
Penerapan Prinsip Pembedaan
(Distincion
Principle)
dan
Penerapan saksi DK PBB terhadap
Upaya Perlindungan Penduduk
Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI,
Mimbar
Hukum
UGM,
Yogyakarta.
Hadrianus Wahyudi, Prilaku Agresi
Ternyata Menular, Universitas
Sanata Dharma. 26 November
2008.
Haryomataram,
2006,
Masalah
Kejahatan
Perang,
Penjahat
Perang, dan Penanganan Penjahat
Perang, dalam Jurnal Hukum
Humaniter, Vol.1 dan 2, April
2006,
Pusat
Studi
Hukum
Humaniter FH-Universitas Trisakti,
Jakarta.
Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara
Dalam Hukum Internasional, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ida Bagus Wyasa Putra, 2001,
Tanggungjawab Negara terhadap
dampak Komersial Ruang Angkasa,
PT. Refika Aditama.
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar,
2006,
Hukum
Internasional
Komtemporer,
PT.
Refika
Adhitama, Bandung.
JG Starke, 1989, Introduction to
International Law, Butterworths,
London.
Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman
Global, Kompas, 28 Juli 2006.
Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol
Dalam Pembangunan Kharismatik,
Fundamentalis. Revolusi Gagal
Membangun Jakarta, Yayasan Tri
Mawar.
Kompas, Israel Alami Kerugian Besar,
14 Agustus 2006,
Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum
Humaniter, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Marsudi
Triatmodjo,
Pertanggungjawaban
Negara
Terhadap Pencemaran Lingkungan
Internasional, Mimbar Hukum
Fakultas Hukum UGM No.
33/X/99, 1999.
Muhammad Mova Al Afghani, 2005,
”Konsep Kealpaan dalam Hukum
Pertanggungjawaban Negara”, tp.
ttp.
Muladi, Pengadilan Pidana bagi
Pelanggar HAM Berat di Era
Demokrasi,
Dalam
Jurnal
Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1,
Mei-Agustus, 2000.
---------, Prinsip-Prinsip pembentukan
Pengadilan HAM di Indonesia dan
Pengadilan Pidana Internasional,
Paper Seminar, Jakarta.
51
Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ……….
Peter Mahmud Marzuki, 2000, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Sri S. Suwardi, Serangan Israel
Terhadap
Lebanon
Dikaitkan
Dengan Prinsip-Prinsip Hukum
Humaniter,
Jurnal
Hukum
Internasional Vol. 4, Nomor I,
2006.
Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum
Humaniter Internasional Pada
Orang Sipil dan Perlindungannya
dalam
Pertikaian
Bersenjata,
dalam Hukum Humaniter Suatu
Perspektif, Pusat Studi Hukum
Humaniter FH – Universitas
Trisakti, Jakarta.
--------, Bahan Ajar Hukum Humaniter
Internasional, tidak diterbitkan.
www. Assyaukanie.com, Sejarah itu
Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli
2006.
www.kompas.com.
Bandara
Internasional Dibom, Kompas
Cyber Media, 14 Juli 2006.
www.kompas.com., Laknatullah Teroris,
Faq,
Israel
Raya:
Agenda
Tersembunyi Di Balik Kekejaman
Israel, 6 Agustus 2006.
52
Download