PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DALAM PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER DALAM TINDAKAN AGRESI (Studi Kasus; Agresi Israel ke Lebanon Tahun 2006) Levina Yustitianingtyas Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya Abstract: Israel aggression to Lebanon happening on July 2006 is actually a series of sequence of Middlle East crisis in 1982. The reason behind laying on the aggression is that Hezbollah soldiers catch two Israel soldiers and eight civilians. This aggression emerges a state responsibility. One state will receive in the state responsibility if the state breaks the international treaty, violates other state sovereignty, attacks other state, injures diplomatic representatives, and treats foreigners haphazardly. Therefore, the problem of this research is how Israel is responsible for its military aggression to Lebanon according to International Humanitarian Law. Research method uses the secondary data and documentary study. The result of the research is that Israel can be charged the responsibility based on international Law, because the aggression has impacted many demages in Lebanon and many civilian victims. Thus, the weak awareness of many state to implement international humanitarian law and of punishment from international agency, and more dominant political factor make legal protection for civilians less optimal. Keywords: state responsibility, international humanitarian law, civilian protection Abstrak: Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli Tahun 2006 merupakan lanjutan dari krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Latar belakang dari Israel melakukan agraesi ke Lebanon pada tanggal 12 Juli 2006 adalah karena pasukan Hezbollah menangkap dua tentara Israel dan delapan masyarakat sipil. Akibat dari serangan militer Israel tersebut menimbulkan pertanggngjawaban negara. Suatu negara dapat dibebankan pertanggungjawaban jika negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik serta memperlakukan warga asing dengan semena-mena. Adapun yang dijadikan permasalahan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam tindakan agresi yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli 2006, bagaimana negara Israel bertanggungjawab atas pelanggaran Hukum Humaniter Internasional. Metode Penelitian yang dipakai dalam tulisan ini menggunakan data sekunder dan alat penelitian yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Israel dapat dikenai pertanggungjawaban menurut ketentuan Hukum Internasional (Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Act), karena serangan Israel tersebut telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar bagi Lebanon dan penduduk sipil yang menjadi korban. Kesadaran yang lemah dari setiap negara untuk mengimplementasikan hukum humaniter, sanksi yang tidak tegas dari organisasi internasional, faktor hukum yang lemah, dan faktor politis yang lebih dominan menyebabkan perlindungan terhadap penduduk sipil tidak optimal. Kata kunci: tanggungjawab negara, hukum humaniter, perlindungan penduduk sipil 33 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. Pendahuluan Dari waktu ke waktu, tensi hubungan antar negara semakin meningkat. Tidak jarang dalam mengadakan hubungan dengan negara lain baik disengaja maupun tidak disengaja, suatu negara telah menyinggung atau menimbulkan kerugian pada negara lain. Sudah merupakan sifat alami jika dalam kehidupan di masyarakat (internasional) pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain timbul keinginan untuk minta pertanggungjawaban pada pihak yang merugikan. Tanggungjawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut respirasi.1 Suatu negara dapat dikatakan bertanggungjawab apabila negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar kedaulatan negara lain, menyerang negara lain, mencederai perwakilan diplomatik negara lain serta memperlakukan warga asing dengan seenaknya. Pertanggungjawaban negara (State Responsibility) merupakan seperangkat aturan internasional yang mengatur mengenai konsekuensi hukum pelanggaran kewajiban internasional negara-negara. Kewajiban internasional ini bersumber dari traktat, hukum kebiasaan inrternasional, keputusan pengadilan, dan hal lainnya. Jadi pertanggungjawaban negara di sini adalah tindakan-tindakan yang dinyatakan salah secara internasional. Maksudnya bahwa analisa terakhir pertanggungjawaban negara ditentukan oleh norma-norma internasional dan tergantung pada hukum internasional, sejauh mana tindakan atau kelalaian negara dianggap melanggar hukum.2 Keadaan di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini sering terjadi pertikaian atau sengketa antarnegara. Salah satu sengketa antarnegara yang pernah berlangsung dalam masyarakat internasional adalah ’Pertikaian antara Israel dan Lebanon’. Agresi Israel ke Lebanon merupakan konflik krisis Timur Tengah yang terjadi sejak tahun 1982. Ketegangan antara Israel dan Lebanon dimulai ketika terjadi bentrokan di perbatasan tanggal 12 Juli 2006 dengan disusul pasukan Hezbollah menangkap 2 tentara Israel dan membunuh 8 orang lainnya. Hal ini tentu saja membuat tentara Israel menjadi marah dan bersiap melakukan serangan balasan. Serangan Israel ke Lebanon diawali dengan menjatuhkan bom di bandara Internasional Lebanon Rafiq Al-Hariri tanggal 13 Juli 2006 pada pagi hari pukul 06.00 dan telah menewaskan 45 orang warga sipil. Serangan ini merupakan serangan terbesar Israel ke Lebanon dalam 24 tahun terakhir. Serangan itu sudah jelas merupakan pelanggaran atas kedaulatan Lebanon.3 Serangan Israel ke Lebanon terus berlanjut, seperti pada tanggal 14 Juli 2006 pesawat tempur Israel mengebom jalan raya Bairut – Damaskus, memperketat blokade laut, darat, dan udara atas Lebanon. Dalam setiap konflik bersenjata pasti timbul banyak korban dari berbagai pihak. Untuk itu, hukum humaniter internasional menetapkan adanya prinsip asas pembedaan (distinction principle) yang merupakan suatu asas yang membedakan 2 1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Komtemporer, PT. Refika Adhitama, Bandung, 2006, hal. 193 JG Starke, Introduction to International Law, Butterworths, London, 1989, hal. 293-294 3 www.kompas.com. Bandara Internasional Dibom, Kompas Cyber Media, 14 Juli 2006. 34 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (Combatant) dan penduduk sipil (Civilians). Perlindungan korban pertikaian bersenjata mendapat pengaturan dalam Konvensi Jenewa IV tahun 1949 berikut Protoko Tambahan I dan II Tahun 1977. Dalam tulisan Jaka Triyana, Hukum Internasional mengenal prinsipprinsip pertanggungjawaban negara dalam suatu konflik bersenjata yang melanggar kewajiban internasional atau perjanjian internasional.4 Tanggungjawab negara dalam Hukum Humaniter Internasional tercermin dalam Konvensi Jenewa tahun 1949, Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV, yang menentukan bahwa: ”Tiada Pihak Peserta Agung diperkenankan membebaskan dirinya atau Pihak Peserta Agung lain manapun dari tanggungjawab apapun yang disebabkan olehnya sendiri atau Pihak Peserta Agung Penandatangan lain berkenaan dengan pelanggaran-pelanggaran yang termaktub dalam Pasal-Pasal terdahulu.” 5 Memperhatikan kondisi yang demikian sangatlah pantas jika Israel harus bertanggung jawab atas semua kesengsaraan yang terjadi di Lebanon. Karena akibat serangannya yang membabi buta, para penduduk sipil banyak yang menjadi korban. Sesuai kenyataan tersebut, aksi 4 H. Jaka Triyana, “Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distincion Principle) dan Penerapan saksi DK PBB terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI”, Mimbar Hukum UGM, Yogyakarta, 2000. 5 Lihat isi Pasal 51 Konvensi I, Pasal 52 Konvensi II, Pasal 131 Konvensi III dan Pasal 148 Konvensi IV Konvensi Jenewa 1949. militer yang dilakukan Israel ke Lebanon tidak dapat memilah antara obyek sipil dan obyek militer, karena banyak serangan yang dilakukan salah sasaran di mana menimpa pemukiman penduduk sipil yang mengakibatkan mereka (balita, anak-anak, orang dewasa, orang lanjut usia) tewas, hanya karena Israel ingin memenuhi ambisinya yaitu menghancurkan musuh bebuyutannya Hezbollah.6 Karena aksi militernya tersebut, muncul konsekuensi bagi Israel, berupa pertanggung jawaban negara. Dalam hal pertanggung jawaban negara ini ada tiga karakteristik penting yang bergantung pada faktor-faktor dasar, yaitu: pertama, adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antar dua negara tertentu; kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalain yang melanggar kewajiban internasional tersebut yang melahirkan pertanggung jawaban negara; dan ketiga, adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian7. Jika melihat pada faktor-faktor tersebut, maka apa yang terjadi di Lebanon, tindakan yang dilakukan oleh Israel telah melanggar prinsip kemanusiaan dan ketentuan hukum humaniter internasional dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan prinsip umum pertanggung jawaban negara menurut hukum internasional. Oleh sebab itu, sehubungan dengan tindakan agresi yang dilakukan Israel terhadap Lebanon pada bulan Juli tahun 2006, penting untuk dikaji bagaimana pertanggung jawaban negara Israel terhadap Lebanon atas pelanggaran hukum huma6 Kompas, Israel Alami Kerugian Besar, 14 Agustus 2006, hal. 15. 7 Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 174. 35 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. niter internasional. Penelitian ini menganalisis bentuk pertanggungjawaban Israel terhadap Lebanon sebagai akibat dari aksi militernya yaitu Agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli 2006 dan bentuk-bentuk atau tindakan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil sebagai korban perang. Metode Penelitian Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrindoktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.8 Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. Dengan demikian, data yang dibutuhkan adalah data sekunder, meliputi: a. Bahan hukum primer, yaitu bahanbahan hukum yang mengikat, seperti: Piagam Perserikatan BangsaBangsa; Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang; Protokol I Tahun 1977 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Sengketa Bersenjata secara internasional; Protokol II tahun 1977 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang dalam Sengketa Bersenjata Non-internasional; Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1559 tentang Penghentian Pelucutan Senjata di Lebanon; 8 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 35. Resolisi Dewan Keamanan Nomor 1701 tentang Penghentian Perang; ILC Draft Articles Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts tahun 2001; Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83 12 Desember 2001; Keputusan Mahkamah Internasional; Konvensi-Konvensi Internasional yang terkait. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang terkait, tulisan-tulisan atau karya-karya dari kalangan hukum. c. Bahan hukum tertier, yaitu bahanbahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun sekunder yang berupa kamus ataupun ensiklopedia. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library reseach) dengan mempelajari dan mengkaji bahan-bahan yang berkaitan dengan permasalahan yang dirumuska dalam penelitian. Dilakukan analisis terhadap data yang terkumpul dengan analisis yang bersifat kualitatif berdasarkan permasalahan konflik bersenjata antara IsraelLebanon. Data-data yang diperoleh disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisa berdasarkan kualitas data sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu tentang tanggungjawab negara. Selanjutnya data sekunder yang diperoleh kemudian dikelompokkan menurut variabelnya masing-masing menjadi: 36 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 a. Kelompok data yang berhubungan dengan tanggungjawab Israel terhadap Lebanon atas tindakan agresi yang dilakukan Israel; b. Kelompok data yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dan teori-teori mengenai hukum dan caracara atau bentuk-bentuk dari pertanggungjawaban negara; c. Kelompok data yang berhubungan dengan sanksi yang diberikan kepada negara atas pelanggaran tersebut, khususnya sengketa antara Lebanon dengan Israel. Setelah dikelompokkan, maka data tersebut dianalisis menggunakan: a. Metode induksi, yaitu dengan memaparkan fakta-fakta mengenai bentuk atau tindakan dari tanggungjawab negara dan cara-cara pertanggungjawaban tersebut. b. Metode deduksi, yaitu dengan memaparkan kaitan antara ketentuan-ketentuan dan teori-teori hukum mengenai pertanggungjawaban negara dan dalam hal memberikan perlindungan kepada penduduk sipil pada kasus Agresi Israel ke Lebanon Hasil dan Pembahasan Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional 1. Prinsip Umum Pertanggungjawaban Negara Timbulnya tanggungjawab negara dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negarapun yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Oleh sebab itu, setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan suatu negara wajib untuk memperbaiki atau bertanggung- jawab atas pelanggaran hak itu.9 Tanggungjawab negara umumnya diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan pemulihan kerugian (duty to make reparation), yang timbul dari akibat adanya tindakan (act or ommission) yang dapat dipersalahkan (wrongful act), karena melanggar kewajiban internasional.10 Dalam hal pertanggungjawaban negara terdapat dua istilah yang harus diperhatikan, yaitu responsibility dan liability. Kedua istilah ini memiliki arti yang berbeda tetapi mempunyai hubungan yang erat. Istilah responsibility digunakan untuk menunjukkan pada kewajiban (duty). Sedangkan istilah liability digunakan untuk menunjuk pada suatu konsekuensi dari suatu kesalahan atau kegagalan untuk melaksanakan suatu kewajiban atau untuk memenuhi standar tertentu yang telah ditetapkan. 11 Menurut Shaw, yang menjadi karakteristik adanya pertanggungjawaban negara tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut: 1. Adanya suatu kewajiban dalam hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu; 2. Adanya duatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional yang melahirkan tanggungjawab negara; 9 Huala Adolf, op.cit., hal. 173 Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggungjawab Negara terhadap dampak Komersial Ruang Angkasa, PT. Refika Aditama, hal. 55. Bandingkan dengan pendapat Brownlie: ” breach of duty denotes an illegal act or ommission, an injury in the broad sense. Damage denote loss, damnum, whether this is a financial quantification of phisichal injury or damage, or of other consequences of breach of duty”. 11 Marsudi Triatmodjo, “Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional”, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No. 33/X/99, 1999, hal. 173. 10 37 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. 3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian12. Menurut Sharon Williams, dalam menetapkan adanya pertanggungjawaban negara dikenal ada 4 (empat) kriteria sebagai dasar, yaitu subjective fault criteria, objective fault criteria, strict liability, dan absolute liability. Konsep subjective fault criteria menentukan arti penting dari kesalahan (baik dolus maupun culpa) pelaku. Sedangkan konsep objective fault criteria menentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya force majeure atau adanya tindakan dari pihak ketiga, maka ia dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut. Dalam konsep strict liability, negara dibebani pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang mengakibatkan kerugian yang diderita negara lain. Sedang konsep yang terakhir adalah absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam konsep strict liability. 13 2. Status Draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 dalam Masyarakat Internasional Berkaitan dengan pertanggungjawaban negara akhir-akhir ini sudah ada suatu upaya dari masyarakat internasional untuk membentuk suatu ketentuan yang mengaturnya, yang kemudian melahirkan sebuah draf mengenai State Responsibility yang dihasilkan oleh International Law Comission (ILC) pada tahun 2001. Draf ini telah disetujui oleh Majelis 12 13 Huala Adolf, op.cit., hal. 256-257. Marsudi Triatmodjo, op.cit., hal. 176-178. Umum PBB dengan dikeluarkannya Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 56/83 tanggal 12 Desember 200114 tentang Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001. Pada dasarnya, draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 belum mempunyai kekuatan mengikat. Namun, apabila negara ingin menggunakan draf tersebut sebagai pedoman juga tidak salah. Resolusi merupakan salah satu bentuk keputusan yang dapat dikeluarkan oleh suatu organisasi internasional. Tidak semua resolusi yang dikeluarkan oleh organisasi internasional tersebut mengikat secara hukum bagi semua anggotanya, hal itu tergantung dari instrumen pokok dari organisasi internasional tersebut. Keputusan atau resolusi yang tidak mempunyai kekuatan hukum pada umumnya bersifat rekomendatif dan hanya bersifat moral dan politis saja. Bagi keputusan-keputusan atau resolusiresolusi yang mempunyai kekuatan mengikat secara hukum seperti DK PBB, agar negara dapat melaksanakannya, instrumen pokok atau Piagam PBB telah mencantumkan ketentuan mengenai sanksi seperti penangguhan keanggotaannya, mengeluarkan dari keanggotannnya dalam organisasi inetrnasional tersebut, pengenaan sanksi ekonomi sampai kepada pengenaaan sanksi militer. Kekuatan hukum dari resolusiresolusi Majelis Umum PBB dapat digolongkan dalam dua kategori: a. Interna corporis Resolusi-resolusi yang terkait dengan lingkungan dalam badan-badan 14 Dengan dikeluarkannya resolusi tersebut akan menjadikan Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 mempunyai kekuatan mengikat secara moral, paling tidak bagi negara anggota PBB. 38 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 PBB sendiri, apabila tidak ditentukan lain maka bersifat non-rekomndatif atau mengikat. Contoh, resolusi yang ditetapkan untuk memasukkan mata acara ke dalam agenda sidang Majelis Umum PBB, masalah-masalah yang berkaitan dengan perubahan piagam, fungsi elektif, fungsi keuangan dan fungsi administratif seperti masuknya negara baru sebagai anggota PBB, pemilihan sekjen PBB, pemilihanpemilihan keanggotan badan-badan PBB seperti Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwalian dan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan, Presiden dan para Wakil Presiden Majelis Umum PBB serta para hakim Mahkamah Internasional. b. Eksterna corporis Resolusi-resolusi yang berhubungan dengan lingkungan luar dari badanbadan PBB pada umumnya hanya bersifat rekomendatif, seperti yang ditentukan dalam Pasal 10-14 dan Pasal 18 Piagam. Sekalipun resolusi itu pada dasarnya bersifat rekomendatif, namun terdapat be-berapa resolusi mengikat secara hukum, seperti: 1. Resolusi Majelis Umum PBB yang menciptakan adanya fakta-fakta dan situasi hukum yang kongkrit (kenyataan hukum dan fakta dan situasisituasi tertentu), seperti Resolusi Majelis Umum PBB 1542 (XV). 2. Resolusi Majelis Umum PBB meskipun tidak membentuk hukum internasional, tetapi menegaskan kembali adanya aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dan menyatakan prinsip-prinsip hukum secara umum yang dapat menjadi sumber hukum internasional dalam kerangka Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sebagai contoh adalah Resolusi Majelis Umum PBB 95 (I) mengenai Nuremberg Principles on War Crime. 3. Resolusi-resolisi tertentu dari Majelis Umum PBB mengenai perdamaian dan keamanan internasional. Seperti Resolusi Majelis Umum PBB 377 (V) yang ternyata menimbulkan perubahan hukum karena keperluan politis sehingga ditafsirkan bahwa Majelis Umum PBB mempunyai kemampuan hukum (legal capacity) untuk bertindak di masa mendatang. 4. Resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan adanya persetujuan dari kalangan anggotanya (multilateral executive agreement). Misalnya, Resolisi 1962 (XVIII) tentang Declaration of Legal Principles Governing the Activities of State in the Exploration and Use Outer Space. 5. Resolusi Majelis Umum PBB yang memuat tentang kekuatan mengikatnya instrument lainnya di luar Piagam. Misalnya tentang Resolusi tentang Declaration of Human Right. 6. Resolusi Nomor 289 (IV) mengenai Koloni Italia (Libya, Erithrea dan Somalia) yang diambil dari Italian Peace Treaty 1947, yang antara lain menyatakan: “Powers concerned agreed to accept the Assembly’s recommendations, in case of non-agreement among themselves about the future of these colonies”.15 International Law Commission (ILC) adalah salah satu badan PBB yang tugasnya megurus dan membahas ketentuan-ketentuan dan hukum internasional. Salah satunya yang sampai sekarang masih dilakukan adalah merumuskan dan membahas draf tentang keten- 15 Ibid. hal. 92-95 39 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. tuan tanggung jawab negara, sebagai pelaksanaan 13 ayat 1 Piagam PBB. Draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 pada dasarnya merupakan himpunan kodifikasi dan progressive development mengenai aturan State Responsibility yang tertuang dalam bentuk ILC Draft dan akan menjadi aturan sekunder (secondary rules) hukum internasional, mendampingi aturan primernya yang tertuang dalam traktat, hukum kebiasaan internasional dan sumber hukum lainnya.16 Menurut Pasal 1 ILC Draft, Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, adanya tanggungjawab negara sebagai suatu kewajiban yang timbul setalah adanya tindakan salah.17 Kemudian dalam Pasal 2 ILC Draft, Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, dinyatakan bahwa tindakan salah atau tindakan tidak sah secara internasional dapat timbul apabila: 18 a. Perbuatan tersebut terdiri atas suatu tindakan atau kelalaian negara menurut hukum internasional; b. Perbuatan tersebut merupakan suatu pelanggaran kewajiban internasional. Selanjutnya ditegaskan dalam Pasal 3 ILC Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, bahwa tindakan yang salah adalah tindakan (act or ommision) yang secara hukum dapat dikaitkan dengan negara, dan merupakan pelanggaran terhadap kewa- jiban internasional.19 Jadi dalam hal ini untuk timbulnya pertanggung jawaban, ILC mengkategorikannya ke dalam dua cara, action dan omission. Action adalah pertanggung jawaban yang timbul sebagai akibat dari perbuatannya. Sedangkan ommision adalah pertanggungjawaban yang timbul karena kegagalan negara karena tidak melakukan hal yang seharusnya dilakukan dalam hukum internasional. Walaupun tidak secara eksplisit memasukkan kerugian sebagai unsur tanggungjawab, ILC tidak bermaksud untuk memandang unsur tersebut sebagai unsur yang terpisahkan, bahkan ILC memandang unsur itu sebagai unsur tak terpisahkan. Unsur kerugian adalah unsur implisit dari suatu tanggung jawab. Unsur kerugian menurut ILC merupakan unsur alamiah suatu tanggungjawab.20 Timbulnya State Responsibility menurut ILC Draft adalah adanya tindakan salah (wrongful act) oleh negara. Untuk membuktikan negara wrongful act, maka harus menggunakan pembuktian dengan teori subyektif dan obyektif. Dalam draf Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001, ada beberapa keadaan yang membuat suatu tindakan salah (wrongful act) tidak menimbulkan tanggungjawab negara, yaitu: 21 a. Tindakan tersebut dilakukan dengan persetujuan negara yang dirugikan (Pasal 20); 19 16 Artikel Muhammad Mova Al Afghani, ”Konsep Kealpaan dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara”, 2005. 17 Article 1 ILC Draft, ....every internationally wrongful act of a state entails the international responsibility of that State... 18 Lihat Article 2 ILC Draft Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001. Article 3 ILC Draft, …...the characterization of an act of a State as internationally wrongful is governed by international law. Such characterization is not affected by the characterization of the same act as lawful by internal Law. 20 Ida Bagus Wyasa Putra, op.cit., hal. 57-58 21 Lihat Article 20-23, article 25 ILC Draft Responsibility of State of Internationally Wrongfull Acts 2001. 40 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 b. Tindakan yang dilakukan merupakan tindakan membela diri (Pasal 21); c. Tindakan-tindakan balasan yang diperkenankan dalam hukum internasional (Pasal 22); d. Force majeure (Pasal 23); e. Tindakan yang sangat diperlukan (Pasal 25). Jika dilihat pada kategori penentuan pertanggungjawaban yang diberikan oleh ILC pada drafnya tahun 2001, maka tindakan agresi yang dilakukan oleh Israel terhadap Lebanon merupakan pertanggungjawaban yang mutlak (elemen obyektif), karena Israel pada faktanya terbukti telah melanggar kewajiban internasional dan kepadanya dapat dimintai pertanggungjawaban negara menurut hukum internasional. Perlindungan Penduduk Sipil dalam Hukum Humaniter Internasional 1. Prinsip-Prinsip Umum Perlindungan terhadap Penduduk Sipil Perlindungan penduduk sipil sebagai akibat pertikaian bersenjata mendapatkan pengaturan dalam Hukum Humaniter Internasional22. Dalam memberikan perlindungan kepada penduduk sipil, hukum humaniter mengenal beberapa prinsip yaitu: 22 Menurut Pictet, Hukum Humaniter diartikan sebagai seperangkat ketentuan hukum internasional yang menjamin penghormatan individu dan mendorong kemajuannya. Sedangkan menurut Haryomataram, Hukum Humaniter Internasional terbagi menjadi dua aturan pokok, yaitu: a). Hukum yang mengatur tentang cara dan alat yang boleh dipergunakan dalam konflik bersenjata (Hukum Den Haag/The Hague Laws); b). Hukum yang mengatur tentang perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat konflik bersenjata (Hukum Jenewa/The Genewa Laws). F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum Humaniter Internasional, tidak diterbitkan, hal. 1; Arlina Permanasari, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, hal. 5. 1). Prinsip Kemanusiaan, prinsip ini menentukan bahwa pihak yang berperang diwajibkan untuk bertindak dengan mengutamakan aspek kemanusiaan; 2). Prinsip Pembedaan adalah prinsip yang membedakan antara kombatan dan penduduk sipil dalam wilayah negara yang sedang terjadi konflik; 3). Prinsip Proporsional adalah prinsip yang mempunyai tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentiangan militer dan resiko yang akan diderita oleh penduduk sipil. Prinsip ini diatur dalam Protokol Tambahan I 1977 Sub Bagian II;23 4). Prinsip Larangan untuk Menyebabkan Penderitaan yang Berlebihan, pada prinsip ini erat kaitannya dengan prinsip kemanusiaan; 5). Prinsip Kepentingan Militer, dalam prinsip ini ditentukan mengenai kewajiban para pihak dalam menggunakan kekuatan militer haruslah sesuai hukum24. 2. Pengaturan Internasional Terhadap Perlindungan Penduduk Sipil 23 F. Sugeng Istanto, Bahan Ajar Hukum Humaniter, op.cit. hal. 10. 24 Dalam penggunaan prinsip harus melalui lima tahap yang kesemuanya haruslah dipenuhi tanpa terkecuali, yaitu: a. Tindakan yang dilakukan tidak melanggar ketentuan Hukum Humaniter Internasional; b. Harus benar-benar ada keharusan untuk melakukan tindakan tersebut; c. Tindakan yang dilakukan dalah paling tepat untuk meraih keuntungan yang diharapkan pada saat itu; d. Akibat dari tindakan tersebut telah memenuhi prinsip proporsionalitas; e. Cara yang diambil sudah melalui pertimbangan segala aspek yang terkait. Sri S. Suwardi, “Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan Dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter”, Jurnal Hukum Internasional, Vol. 4, Nomor I, 2006, hal. 12. 41 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, perlindungan terhadap penduduk sipil memang sudah disinggung dalam Konvensi Den Haag, namun masih kurang lengkap dan hanya mengatur perlindungan penduduk sipil di wilayah yang diduduki. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa pengaturan perlindungan penduduk sipil dalam Konvensi Jenewa IV merupakan suatu pengaturan yang baru. Perlindungan penduduk sipil ditemukan dalam berbagai instrumen hukum internasional, seperti: a). Instruksi Lieber Tahun 1863 Menurut instruksi ini, orang sipil dibedakan atas: i. orang sipil yang in-offensive, ii. orang sipil yg ikut serta langsung dalam permusuhan ( levee en masse) iii. orang sipil yg terkait aktif dalam pelaksanaan tugas Angkatan 25 Bersenjata . b). Konvensi Jenewa Tahun 1864 Konvensi ini mengatur tingkah laku orang sipil dalam pertikaian bersenjata berikut perlindungannya26. c). Deklarasi St. Petersburg Tahun 1868 Dalam deklarasi secara implisit menetapkan perlindungan bagi orang sipil. Perlindungan diberikan dengan mencantumkan prinsip pembedaan dalam konsideran deklarasi tersebut. Mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata musuh tergolong orang sipil27. d). Konvensi Den Haag Tahun 1899 dan Tahun 1907 (Konvensi Den Haag) 25 Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan Perlindungannya dalam Pertikaian Bersenjata, dalam , Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH – Universitas Trisakti, Jakarta, hal.43. 26 Ibid. 27 Ibid., hal. 44. Dalam Konvensi Den Haag diatur tentang Belligerents (istilah sekarang Kombatan), yaitu mereka yang ikut aktif dalam permusuhan, oleh karenanya ia tunduk pada hukum perang. Sedangkan mereka yang tidak tergolong belligerents, yaitu orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan adalah orang sipil. Orang sipil yang berada di wilayah pendudukan harus dilindungi dari tindakan kesewenang-wenangan pihak musuh yang mendudukinya28. e). Konvensi Jenewa 1949 Perlindungan terhadap penduduk sipil utamanya diatur dalam Konvensi IV. Konvensi IV dalam mengatur perlindungan terhadap penduduk sipil dikelompokkan atas perlindungan umum dan perlindungan khusus. Perlindungan umum dimaksudkan bahwa perlindungan yang diberikan terhadap penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Sedangkan perlindungan khusus, yaitu ditujukan pada penduduk sipil yang tergabung dalam suatu organisasi sosial atau kemanusiaan. f). Protokol Tambahan 1977, Konvensi Jenewa 1949 Secara umum, perlindungan terhadap penduduk sipil dan orang sipil berupa larangan penyerangan terhadap 28 Secara garis besar bentuk perlindungan terhadap orang sipil itu antara lain: a. Orang sipil tidak bisa dipaksa untuk memberikan informasi tentang angkatan bersenjata pihak lawan yang bertikai, termasuk perlengkapan pertahanannya; b. Mereka tidak boleh dipaksa bersumpah untuk setia kepad musuh yang menguasai; c. Penghormatan hak-hak pribadi dan harta orang sipil; d. Larangan penjarahan pada penduduk sipil; e. Larangan pemungutan pajak dan pungutan yang sejenis secara sewenang-wenang; f. Larangan penghukuman kolektif pada orang sipil; g. Larangan pencabutan hak milik orang sipil secara sewenang-wenang. 42 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 mereka. Mereka menikmati perlindungan dari bahaya yang timbul dari operasi militer. Latar Belakang Agresi Israel ke Lebanon Konflik antara Israel dan Lebanon ini sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang. Tahun 1975, sebenarnya telah muncul konflik dengan adanya perang saudara yaitu orang Palestina penganut Islam Shiah melawan kelompok Kristen Maronit yang menimbulkan korban sekitar 400.000 orang mati dan 100.000 orang luka-luka.29 Tingkah laku orang Palestina ini menyebabkan pendekatan kelompok Kristen dengan Israel, masuklah serangan Israel atas kantongkantong pengungsi basis gerilya Palestina di Lebanon. Usaha AS mendamaikan sampai tahun 1982 belum berhasil, bahkan ketika Presiden Lebanon Bashir Gemayel terbunuh oleh bom yang meledak menghancurkan markas milisi Kristen Phalangis, semakin menggila pula perang antara antara milisi itu. Tiga hari kemudian, kamp-kamp pengungsi Palestina Shatilla dan Sabra diserbu sehingga menimbulkan korban besar. Dunia terkejut maka, PBB lalu mengirimkan pasukan perdamaian yang terdiri atas pasukan AS, Inggris, Italia dan Prancis. Tahun 1984, Israel masuk ke Lebanon ini dengan alasan untuk mencari orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan Dubes Israel di London, kelompok yang dianggap bertanggungjawab adalah kelompok garis keras Abu Nidal. Pada saatu, dengan kekuatan militer penuh, Israel menggempur wilayah Lebanon dan menghancurkan kamp pejuang-pejuang militan, ribuan orang 29 www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006. tewas dan puluhan ribu orang luka-luka. PBB kemudian mengirimkan pasukan perdamaian multi nasional dari berbagai negara. Namun sebelum masa tugasnya berakhir, pasukan perdamaian tersebut sudah ditarik dan Israel kembali melakukan serangan-serangan ke wilayah-wilayah Lebanon30. Agresi militer Israel kedua, tanggal 12 Juli 2006 tersebut dipicu oleh tertawannya serdadu-serdadu Israel oleh para pejuang Palestina dan Hezbullah. Sebenarnya banyak orang yang sudah tahu bahwa alasan Israel melakukan agresi tersebut adalah bukan alasan tersebut. Invasi Ariel Sharon 1982 ke Lebanon juga menggunakan legitimasi propaganda yang serupa, juga didasarkan atas justifikasi rencana percobaan bom syahid Abu Nidals di keduataan Israel di Inggris. Pada saat ini, kasus Hezbullah dijadikan dalih yang sama. Agenda utama lain yaitu, memaksa Hezbullah keluar dari Lebanon selatan dan berusaha untuk menghancurkan sebanyak mungkin peralatan militer Hezbullah. Menteri Pertahanan Israel, Amir Perets secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir dari Lebanon. Bahkan pada tanggal 23 Juli 2006 lalu, Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama hingga infrastruktur Hezbullah di Lebanon dapat dihancurkan. Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok teroris tidak mengenal upaya diplomasi. 30 Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol dalam Pembangunan Kharismatik, Fundamentalis. Revolusi Gagal Membangun Jakarta, Yayasan Tri Mawar, hal. 35. 43 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. Seorang pengamat masalah Timur Tengah asal Inggris, Patrick Seal mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hezbullah. Di antara alasan itu adalah historis konflik HezbullahIsrael31. Dari kalangan umat Islam di beberapa negara Arab termasuk Ikhwanul Muslimin menanggapi Israel sebagai bagian dari upaya bangsa Yahudi untuk mewujudkan eksistensi negeri Israel Raya. Aksi ini juga implementasi dari agenda AS untuk mewujudkan The Greater Middle East yang dilontarkan AS sebelum menginvasi Irak. Selain itu, sinyal skenario dukungan politik dari negara sekutu semisal Prancis juga terekan pada peristiwa-peristiwa sebelumnya. Dalam pertemuan dengan Bashar Al-Assad sepeninggal mendiang ayahnya, Chirac sempat menyampaikan pesan bahwa satusatunya solusi konflik Timur Tengah adalah di-tariknya tentara Suriah dari Lebanon. Pada awal tahu 2004 semakin kuat du-kungan Prancis dan AS dalam menuntut terwujudnya demokratisasi di Lebanon. Tak lama berselang, September 2004 muncul resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1559 yang menuntut dilucutinya persenjataan Hezbullah dan desakan mundur tentara Suriah dan Lebanon. Kemudian terjadilah peristiwa tewasnya Rafiq Hariri salah satu penggagas resolusi PBB 1559 dalam ledakan bom bunuh diri pada 14 Februari 2005. Tak lama kemudian, pada 27 April tentara Suriah berhasil dipaksa menarik diri dari Lebanon. Pada tanggal 17 Mei 2006, Prancis masih mengusulkan resolusi 31 www.kompas.com., Laknatullah Teroris, Faq, Israel Raya : Agenda Tersembunyi di Balik Kekejaman Israel, 6 Agustus 2006. Dewan Keamanan PBB yang menuntut Damaskus untuk meninjau kembali garis perbatasannya dengan Lebanon dan melakukan pertukaran duta besarnya. Perubahan sikap Prancis ini tidak terlepas dari kompensasi Amerika Serikat atas dukungannya terhadap kasus sengketa Prancis dengan tetangganya di pesisir pantai.32 Agresi Israel ke Lebanon sudah berdampak amat serius tidak hanya bagi Lebanon akan tetapi juga dunia. Sikap arogan Israel telah menyebabkan harga minyak mentah dunia melambung sampai US$ 78 dollar per barel, bahkan bisa menembus US$ 100 barel bila perang tak cepat reda33. Selain itu, hal yang lebih urgen, agresi Israel sendiri pada saat yang sama menciptakan serius bagi perdamaian global. Semangat permusuhan dan yang menyeret isu agama dan rasial akan muncul di mana-mana, sehingga akan menciptakan ancaman internal di negaranegara yang terkait isu agama dan rasial sekaligus menciptakan ketegangan di tatanan global. Ketentuan-Ketentuan Hukum Internasional dalam Sengketa Israel– Lebanon Sengketa Israel–Lebanon yang terjadi pada beberapa tahun lalu, apabila diperhatikan dari aspek hukum internasional terdapat adanya kejahatan agresi, yang masuk dalam kategori kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)34, dan pelanggaran HAM Berat (HAM Berat). Ruang 32 Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman Global, Kompas, 28 Juli 2006. 33 www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006. 34 Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma. 44 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 lingkup Pelanggaran HAM Berat (gross violation of human rights) pada hakikatnya sangat luas, mencakup pula pelanggaran terhadap hukum humaniter35. 1. Berlakunya Hukum Humaniter dalam Konflik Bersenjata Sebagaimana diketahui bahwa Hukum Humaniter Internasional (HHI) atau International Humanitarian Law merupakan bagian dari Hukum Perang, dan hukum perang sendiri merupakan bagian dari Hukum Internasional. Hukum perang merupakan bagian hukum tertua dari hukum internasional dan sebagian besar dari hukum perang merupakan hukum tertulis atau telah terkodifikasi. Secara sederhana HHI dapat diberi pengertian sebagai hukum yang mengatur tentang perlindungan korban perang36. Dari pengertian yang sederhana ini ada dua aktifitas bisa diperhatikan, yaitu aktifitas perang dan aktifitas perlindung- an korban perang. Hukum Humaniter Internasional memberikan perlindungan kepada korban perang atau mereka yang terlibat dalam pertempuran secara garis besar dapat dikategorikan menjadi; Pertama, perlindungan yang di-berikan kepada Kombatan (Combatant), yaitu mereka yang terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya yaitu status sebagai tawanan perang bila ternyata berada di tangan pihak lawan. Sebagai tawanan perang mereka harus diperlakukan secara manusiawi dan dijamin hak-hak dan kewajibannya37. Kedua, perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil (Civilian population)38, yaitu penduduk dari pihak yang bertikai yang tidak terlibat aktif dalam pertempuran. Bentuk perlindungan yang diberikan kepadanya berupa larangan untuk menjadikan mereka sebagai obyek atau sasaran serangan39. Ketiga, perlindungan yang diberikan kepada orang yang karena pekerjaanya 35 Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, Dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1, Mei-Agustus, 2000, hal. 43-44. 36 Beberapa pengertian Hukum Humaniter Internasional sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum humaniter adalah bagian dari hukum perang yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan Korban Perang. Berlainan dengan bagian Hukum Perang yang mengatur peperangan itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang. Lebih lanjut Beliau mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Jenewa adalah identik dengan hukum humaniter. Sedangkan hukum perang identik dengan hukum den haag. Menurut Jean Pictet, bahwa hukum humaniter trmasuk di dalamnya hukum den haag, hukum jenewa, dan hak asasi manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Geza Herczegh, bahwa hukum humaniter internasional hanya sebatas pada hukum Geneva saja. Apabila hukum den haag dimasukkan maka akan mengurangi sifat humaniter yang begitu diutamakan. Lihat Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 18 – 22. 37 Perlindungan terhadap tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. 38 Perlu ditegaskan di sini tentang istilah Penduduk sipil (civilan population), yaitu semua orang yang tergolong orang sipil; Orang sipil (civilian) adalah orang yang tidak termasuk dalam orang-orang yang dilindungi oleh Pasal 4 A (1, 2, 3, dan 6) Konvensi III, yang menyatakan bahwa: a). anggota angkatan bersenjata dari pihak yang bertikai dan anggota-anggota milisi atau korps sekarela yang merupakan bagian dari angkatan bersenjata, b). anggota-anggota milisi lain, korps sukarela, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisir yang tergolong pada suatu pihak yang bertikai dan beroperasi di luar atau di wilayah sendiri, sepanjang mereka memenuhi syaratsyarat tertentu, c). Anggota angkatan bersenjata reguler yang menyatakan kesetiaannya pada pemerintah yang tidak diakui oleh negara penahan, d). Levee en masse, apabila jatuh ketangan musuh akan memperoleh status sebagai tawanan Perang. Sedangkan Obyek sipil semua objek yang bukan sasaran militer. 39 Perlindungan terhadap Penduduk Sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV. 45 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. harus dihormati dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan40. Adanya bentuk-bentuk perlindungan yang demikian tentunya terkait dengan salah satu prinsip atau asas dalam hukum humaniter, yaitu Prinsip Pembedaan (Distinction Principle). Prinsip ini menegaskan bahwa penduduk suatu negara yang terlibat dalam suatu pertikaian bersenjata atau berperang dibedakan atas Kombatan (Combatant)41 dan Penduduk Sipil (Civilian Population). Latar belakang munculnya prinsip ini, untuk mengetahui siapa yang boleh turut aktif dalam pertikaian bersenjata atau perang dan siapa yang tidak; juga untuk menentukan siapa yang dapat dijadikan sasaran obyek serangan dan siapa yang tidak. Oleh karena itu, dalam situasi pertikaian bersenjata atau perang seseorang harus menentukan pilihan dia akan masuk kedalam golongan mana, seseorang pada saat yang sama tidak dapat masuk kedalam dua golongan. Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Terhadap mereka tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 Konvensi IV42. 40 Pasal 25 Konvensi Jenewa I dan Pasal 36 Konvensi Jenewa II. 41 Kombatan diartikan sebagai anggota angkatan bersenjata yang terlibat langsung dalam sebuah konflik bersenjata. Mereka mempunyai hak untuk terlibat langsung dalam konflik bersenjata yang bertindak atas nama negara atau kelompok. Dan mereka mendapat perlindungan jika jatuh ke tangan musuh, dalam kondisi sakit, luka atau dalam kapal karam sesuai dengan cara/metode yang ditetapkan dalam perang. 42 Dalam rangka melakukan perlindungan terhadap penduduk sipil dilarang: a) Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk memperoleh keterangan; 2. Hukum HAM dan Hukum Hukum Humaniter Keterkaitan antara Hukum HAM dan Hukum Humaniter Guna mengetahui hubungan antara hukum HAM dengan hukum humaniter dapat digunakan tiga teori atau pendekatan: 1) Teori integrasionist. Menurut teori ini, keberadaan suatu sistem hukum berasal dari hukum yang lain, sehingga terdapat dua kemungkinan yaitu: a) Keberadaan HHI didasarkan pada HAM; b) HHI menjadi dasar dari HAM. 2) Teori Separatis. Teori ini melihat bahwa HHI dan HAM adalah dua sistem hukum yang berbeda. Letak perbedaannya ada pada: a) Obyeknya; b) Sifatnya; HHI bersifat mandatory, sedangkan HAM bersifat declaratory; c) Saat berlakunya. Sedangkan menurut Marion Mushat, perbedaan antara HHI dengan HAM nampak pada: a) HHI berhubungan dengan akibat sengketa bersenjata, sedangkan HAM berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan; b) Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia tidak berlaku lagi; b) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani; c) Menjatuhkan hukuman kolektif; d) Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan; e) Melakukan pembalasan (reprisal); f) Menjadikan mereka sebagai sandera; g) Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani, atau permusuhan terhadap orang-orang yang dilindungi. 46 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 c) HHI melindungi mereka yang tidak mampu atau tidak turut bertempur, dan penduduk sipil. Sedangkan HAM tidak ada dalam sengketa bersenjata, karena fungsinya telah diambil oleh HHI. 3). Teori Komplemetaris Teori ini memandang bahwa antara HHI dan HAM melalui proses yang bertahap berkembang secara pararel dan saling melengkapi. Dalam banyak hal teori Komplementaris ini lebih sesuai dengan kebutuhan bagi jaminan perlindungan dan penghormatan atas hak-hak individu. Karena teori ini tidak mengedepankan perbedaan yang ada 43. Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran Hukum Humaniter Baik dalam hukum HAM maupun dalam Hukum Humaniter dikenal adanya Pelanggaran Berat (gross violation of human rights). Dalam hukum HAM pelanggaran berat terjadi bila pelanggaran tersebut melibatkan atau difasilitasi oleh pemerintah, dilakukan secara sistematis dan meluas44 serta merupakan bagian dari 43 Arlina Permanasari, dkk., op. cit. hal. 337 – 339.; Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, dalam, Hukum Humaniter suatu Prespektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 92. 44 Istilah (me) luas dan sistematis menurut M. Cherif Bassiouni memandang bahwa istilahistilah (me)luas dan sistematis tersebut memiliki dua maksud yang jelas, pertama, untuk mengeliminasi konflik kelompok yang spontan atautidak terkontrol dari cakupan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kedua, guna merefleksikan eksistensi aksi atau kebijakan negara tersebut yang dilakukan oleh aktor-aktor negara dan elemen kebijakan tersebut bagi pelaku-pelaku non-negara. Sedangkan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) mengintepretasikan makna sistematis sebagai tindakan secara menyeluruh terorganisir dan mengikuti pola teratur atas dasar suatu kebijakan umum yang menyangkut atau kebijakan negara45. Sedangkan dalam hukum humaniter, pelanggaran berat (grave breaches) terjadi karena tindakan tersebut termasuk tindakan yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 194946 atau dalam Protokol I Konvensi Jenewa 1949. Pelanggaran berat dalam hukum humaniter termasuk kejahatan perang47. melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial. Sedangkan suatu kejahatan bersifat meluas atau dilakukan dalam skala yang besar dengan efek kumulatif atas serangkaian tindakantindakan tidak manusiawi atau efek tunggal dari suatu tindakan tidak manusiawi yang besarnya luar biasa. Erikson Hasiholan Gultom, 2006, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta, hal. 54-59. 45 Menurut Frank E Hagan, pelanggaran HAM berat mempunyai nuansa khusus yakni penyalahgunaan kekuasaan dalam arti para pelaku berbuat dalam konteks pemerintahan dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah. Dalam pelanggaran HAM berat terdapat beberapa unsur: 1) Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah. Termasuk didalamnya apa yang disebut dengan delik omisi (violation by ommision). 2) Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia dan melanggar asas-asas kemanusiaan yang mendasar. 3) Perbuatan tersebut dikutuk secara internasional. 4) Dilakukan secara sistemik dan meluas. Muladi, 2000. Op. Cit., hal. 41. ; Muladi, PrinsipPrinsip pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Paper Seminar, Jakarta, hal.11; Article 7 Statute of ICC, 1998. 46 Pengertian Grave breaches dalam Konvensi Jenewa 1949 di samping diatur dalam Pasal 50 Konvensi I juga diatur dalam Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, dan Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, juga Protokol I. Konvensi Jenewa 1949. 47 Kejahatan perang sendiri dirumuskan sebagai kejahatan yang melanggar hukum dan kebiasaan perang yang dilakukan dalam waktu perang baik oleh warga negara dari negara musuh maupun orang asing yang bertugas pada musuh. Haryomataram, “Masalah Kejahatan Perang, Penjahat Perang, dan Penanganan Penjahat Perang”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1 dan 2, April 2006, Pusat Studi Hukum Humaniter FHUniversitas Trisakti, Jakarta, 2006, hal. 213. 47 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. Berkaitan dengan kejahatan perang atau pelanggaran berat hukum hmaniter, Statuta Roma juga menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan Perang merupakan kejahatan yang berada di bawah yurisdiksi ICC. Adapun jenis kejahatan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 248. Adanya pelanggaran HAM berat dan pelanggaran berat dalam hukum humaniter tersebut bila dikaitkan dengan pertikaian antara Israel dan Lebanon, maka tindakan Israel telah memenuhi unsur adanya pelanggaran berat hukum humaniter. Karena Tindakan Israel telah mengakibatkan terbunuhnya ribuan penduduk sipil serta hancurnya sarana dan prasarana sipil atau peribadatan. 3. Agresi dalam Konteks Hukum Internasional Sampai saat ini, belum ada definisi dan konsep yang tegas mengenai agresi. Bahkan Mahkamah Internasional dalam Statuta Roma tidak dapat menetapkan yurisdiksinya atas agresi. Statuta Roma hanya mencantumkan tentang kejahatan agresi tanpa pengertian lebih lanjut49. Dari sudut pandang psikologi dan ilmu sosial lainnya, pengertian agresi merujuk pada perilaku yang dimaksudkan untuk membuat objeknya mengalami bahaya atau kesakitan. Agresi dapat dilakukan secara verbal atau fisik. Pengrusakan barang dan perilaku destruktif lainnya juga termasuk dalam definisi agresi. Agresi tidak sama dengan ketegasan50. Menurut Hanurawan, hal utama yang menyebabkan munculnya perilaku agresi 48 Tindakan yang termasuk kejahatan perang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma. 49 Pasal 5 ayat 2 Statuta Roma. 50 Id.wikipedia.org/wiki/agresi. adalah frustrasi.51 Pengertian tentang agresi tersebut bila dikaitkan dengan peristiwa pertikaian antara Israel dan Lebanon, dapat dikatakan bahwa telah terjadi tindakan agresi oleh Israel terhadap Lebanon. Tanggungjawab Negara Israel dalam Tindakan Agresi di Lebanon pada Bulan Juli 2006 1. Hakekat Tanggungjawab Negara Jika kita membicarakan mengenai tanggungjawab, maka yang ada dalam fikiran bahwa telah terjadi suatu kesalahan. Tidak akan ada tanggungjawab jika tidak ada kesalahan. Agresi Israel yang dilakukan terhadap Lebanon telah menimbulkan banyak pertentangan dari berbagai pihak dan pelanggaran dalam hukum internasional yaitu terkait dengan pertanggungjawaban negara. Karakteristik esensial dari pertanggungjawaban tergantung dari beberapa faktor. Pertama, terdapatnya eksistensi akan sebuah kewajiban internasional. Kedua, telah terjadinya sebuah tindakan (commision) atau kelalaian (omission) yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. Ketiga, adalah terdapatnya kerugian yang diakibatkan oleh tindakan yang melawan hukum. Faktor-faktor ini telah diakui dalam beberapa kasus, misalnya dalam kasus the Spanish Zone of Morocco52. Pasal 1 ILC Draft53 51 Hadrianus Wahyudi, “Prilaku Agresi Ternyata Menular”, Universitas Sanata Dharma. 26 November 2008. Http://m.kompas.com/news/read/data/2008.11.26. 22565170?fs=s. 52 Thontowi Jawahir dan Iskansar Pranoto, 2006, Hukum Internasional Kontemporer, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 197 53 Article 1 Draft Article Responsibility of State for Internationally Wrongful Acts 2001 ”Every internationally wrongful act of a State entails the international responsibility of that State”. 48 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 menyatakan bahwa setiap perbuatan salah yang berdimensi internasional dari suatu negara dengan sendirinya memiliki konsekuensi bagi pertanggungjawaban. Lebih lanjut ditegaskan bahwa suatu tindakan salah secara internasional bila merupakan tindakan negara dibawah hukum internasional, dan merupakan pelanggaran hukum internasional54. Sedangkan menurut Crawford dan Olleson, perbuatan salah yang berdimensi internasional memiliki syarat, yaitu: a. dapat ditujukan pada sebuah negara; b. mengandung pelanggaran atas kewajiban internasional yang dimiliki oleh negara55. Oleh karena itu, elemen untuk adanya pertanggungjawaban negara adalah adanya atribusi dan pelanggaran. Namun terhadap tindakan negara dalam rangka membela diri atau dalam keadaan darurat merupakan pengecualian untuk timbulnya tanggung jawab negara. 2. Tindakan Individu yang Dapat Menimbulkan Tanggungjawab Negara Negara dalam bertindak adalah melalui individu yang bertindak sebagai organ atau perwakilan atau pejabat negara. Tindakan ndividu yang bertindak atas nama negara tersebut dapat menimbulkan tanggungjawab negara, jika: a. tindakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional; b. menurut hukum internasional, pelanggaran tersebut dapat dilimpahkan kepada negara. Dalam Pasal 4 ILC Draft diatur tindakan organ negara yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara 54 Lihat Article 2 Draft article responsibility, 2001. 55 Ibid., hal.169. yaitu bagian dari organ negara dan statusnya diakui oleh hukum nasionalnya. Demikian juga beberapa tindakan yang dapat dilimpahkan pada negara untuk menimbulkan pertanggungjawaban negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 – 10 ILC Deaft. 3. Penegakan Hukum dalam Perlindungan terhadap Penduduk Sipil Dalam rangka penegakan hukum berkaitan dengan pertikaian antara Israel dan Lebanon beberapa pihak yang terlibat dalam penegakan hukum, seperti Dewan Keamanan dan Organisasi Palang Merah Internasional. Dewan Keamanan sebagai pihak yang mempunyai kewenangan mengeluarkan instrumen sebagai upaya untuk meminta bahkan memaksa pihakpihak yang melakukan pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional untuk menghentikan kegiatannya. Sedangkan organisasi Palang Merah internasional, sebagai organisasi yang independen berperan membantu penanganan korban pertikaian bersenjata, baik pihak sipil maupun kombatan. Bahkan, organisasi ini dapat bertindak sebagai mediator bagi pihak-pihak yang bertikai. Peran Dewan Keamanan dalam pertikaian antara Israel dan Spanyol ditunjukkan dengan berhasil dikeluarkannya Resolusi Dewan Keamanan Nomor 1559 dan Resolusi Nomor 1701. Sedangkan peran organisasi Palang Merah Internasional, ditunjukkan pada penanganpenangan medis yang dilakukan terhadap penduduk sipil yang menjadi korban pertikaian, dengan jalan melakukan perawatan dan evakuasi ke tempat yang aman. Juga organisasi ini mendorong dan mengingatkan pada para pihak yang bertikai untuk memperhatikan prinsip-prinsip ke- 49 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. manusiaan dan hukum humaniter internasional. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum disini diperlukan kesadaran para pihak untuk tetap memperhatikan kewajiban-kewajiban internasional, baik yang bersumber pada pertanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional, untuk dalam melakukan tindakannya mengindahkan aturan-aturan yang berlaku dalam pertikaian bersenjata. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Berdasarkan uraian tentang pembahasan permasalahan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa, agresi Israel ke Lebanon pada bulan Juli tahun 2006 telah berdampak sangat hebat di dunia internasional dan telah menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat Lobanon. Sampai saat ini kondisi dalam negeri Lebanon belum sepenuhnya pulih sebagai akibat aksi militer Israel tersebut. Bila diperhatikan tindakan Israel telah melakukan pelanggaran dalam kaidah atau norma-norma hukum internasional yang dalam hal ini pelanggaran terhadap hukum humaniter, hukum hak asasi manusia. Perlindungan terhadap penduduk sipil dalam agresi Israel ke Lebanon tidak dapat berjalan secara maksimal dan menyeluruh, karena dominannya faktorfaktor politis di bandingkan faktor hukum dalam upaya penyelesaian konflik. Selain itu, terdapat kelemahan-kelemahan dalam upaya penerapan maupun penegakan hukum humaniter internasional, diantaranya: a. Lemahnya ketentuan mengenai prosedur-prosedur internasional yang menetukan efektifitas hukum internasional dapat diberlakukan apabila telah diimplementasikan dalam hukum nasional setiap negara; b. Lemahnya kesadaran dari setiap negara untuk mengimplementasikan kaidah-kaidah hukum humaniter internasional dalam hukum nasional setiap negara; c. Lemahnya sanksi dari organisasi internasional atas pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional sehingga menyebabkan pelaku dapat dengan leluasa semakin memperluas seragannya. Berdasarkan uraian di atas, maka seharusnya Israel bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakannyayang dilakukan terhadap Lebanon. Adapun bentuk pertanggunjawabannya dapat berupa: a. Restitusi Suatu tindakan untuk mengembalikan keadaan dengan segala yang mungkin sehingga tercapai keadaan seperti semula seolah-olah tidak terjadi apaapa. b. Kompensasi Berupa pembayaran sejumlah uang yang sebanding dengan kerugian yang diderita. Kompensasi harus meliputi semua kerugian yang ditimbulkan. c. Pemuasan (Satisfaction) Upaya pelunasan kerugian yang tidak bisa dibayar dengan uang seperti kehormatan atau prestice negara. Pemuasan dapat dilakukan dengan permintaan maaf resmi, pengakuan bersalah secara resmi dan lain-lain. Namun demikian, penulis memandang bahwa Israel belum bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan dalam pertikaiannya dengan Lebanon. Saran Hendaknya Pemerintah Israel segera bertanggung jawab atas kerusakan 50 Perspektif Hukum, Vol. 14 No. 1 Mei 2014 : 33-52 struktur dan infrastruktur yang terjadi di Lebanon akibat perang yang ditimbulkannya, baik berupa permintaan maaf secara resmi kepada pemerintah Lebanon melalui media massa, pemberian bantuan kepada para korban perang terutama para penduduk sipil maupun ganti rugi atas segala kerugian yang diderita Lebanon. Organisasi Internasional dalam hal ini PBB segera mengambil tindakan yaitu berupa pemberian sanksi sesuai dengan hukum internasional yang berlaku atas pelanggaraan yang dilakukan Israel. Daftar Bacaan Anne Sophie Gindroz, 1997, Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia, dalam, Hukum Humaniter suatu Prespektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta. Arlina Permanasari, et all, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta. Erikson Hasiholan Gultom, 2006, Kompetensi mahkamah Pidana Internasional dalam Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, PT Tatanusa, Jakarta. H. Jaka Triyana, 2000, Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distincion Principle) dan Penerapan saksi DK PBB terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Berat HHI, Mimbar Hukum UGM, Yogyakarta. Hadrianus Wahyudi, Prilaku Agresi Ternyata Menular, Universitas Sanata Dharma. 26 November 2008. Haryomataram, 2006, Masalah Kejahatan Perang, Penjahat Perang, dan Penanganan Penjahat Perang, dalam Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1 dan 2, April 2006, Pusat Studi Hukum Humaniter FH-Universitas Trisakti, Jakarta. Huala Adolf, 2002, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggungjawab Negara terhadap dampak Komersial Ruang Angkasa, PT. Refika Aditama. Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, 2006, Hukum Internasional Komtemporer, PT. Refika Adhitama, Bandung. JG Starke, 1989, Introduction to International Law, Butterworths, London. Kamil, Lutfi, Agresi Israel dan Ancaman Global, Kompas, 28 Juli 2006. Kasiyanto, MJ, 1995, Masalah Sospol Dalam Pembangunan Kharismatik, Fundamentalis. Revolusi Gagal Membangun Jakarta, Yayasan Tri Mawar. Kompas, Israel Alami Kerugian Besar, 14 Agustus 2006, Haryomataram, 2005, Pengantar Hukum Humaniter, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Marsudi Triatmodjo, Pertanggungjawaban Negara Terhadap Pencemaran Lingkungan Internasional, Mimbar Hukum Fakultas Hukum UGM No. 33/X/99, 1999. Muhammad Mova Al Afghani, 2005, ”Konsep Kealpaan dalam Hukum Pertanggungjawaban Negara”, tp. ttp. Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, Dalam Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol.1 No.1, Mei-Agustus, 2000. ---------, Prinsip-Prinsip pembentukan Pengadilan HAM di Indonesia dan Pengadilan Pidana Internasional, Paper Seminar, Jakarta. 51 Levina Yustitianingtyas, Pertanggungjawaban Negara Dalam Perspektif Hukum Humaniter ………. Peter Mahmud Marzuki, 2000, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Sri S. Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan Dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter, Jurnal Hukum Internasional Vol. 4, Nomor I, 2006. Sugeng Istanto, 1997, Penerapan Hukum Humaniter Internasional Pada Orang Sipil dan Perlindungannya dalam Pertikaian Bersenjata, dalam Hukum Humaniter Suatu Perspektif, Pusat Studi Hukum Humaniter FH – Universitas Trisakti, Jakarta. --------, Bahan Ajar Hukum Humaniter Internasional, tidak diterbitkan. www. Assyaukanie.com, Sejarah itu Berulang Lagi di Lebanon, 27 Juli 2006. www.kompas.com. Bandara Internasional Dibom, Kompas Cyber Media, 14 Juli 2006. www.kompas.com., Laknatullah Teroris, Faq, Israel Raya: Agenda Tersembunyi Di Balik Kekejaman Israel, 6 Agustus 2006. 52