Bab I PENDAHULUAN 1.1. Istilah dan Pengertian Hukum Humaniter Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter atau hukum humaniter internasional.2 Hukum Humaniter (HH), sering kali juga disebut sebagai hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang, atau hukum konflik bersenjata, adalah batang tubuh hukum yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag beserta perjanjian-perjanjian, yurisprudensi, dan Hukum Internasional Kebiasaan yang mengikutinya. HH menetapkan perilaku dan tanggung jawab negara-negara yang berperang, negara-negara netral, dan individu-individu yang terlibat peperangan, yaitu terhadap satu sama lain dan terhadap orang-orang yang dilindungi, biasanya berarti orang sipil. HH adalah wajib bagi negara yang terikat oleh perjanjian-perjanjian yang relevan dalam hukum tersebut. Ada juga sejumlah aturan perang tak tertulis yang merupakan kebiasaan, yang banyak di antaranya dieksplorasi dalam Persidangan Mahkamah Perang Nuremberg. Dalam pengertian yang diperluas, aturan-aturan tak tertulis ini juga menetapkan sejumlah hak permisif serta sejumlah larangan perilaku bagi negara-negara yang berperang bila mereka berurusan dengan pasukan yang tidak reguler atau dengan pihak non-penandatangan. Haryomataram membagi HH menjadi 2 (dua) atura-aturan pokok, yaitu 1: 1. Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/ The Hague Laws); 2 Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humanter, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 1994, hlm 1. 1 1 2. Hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/ The Geneva Laws) Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut2: 1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; 2. Jus in bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua) yaitu: a. Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws. b. Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini umumnya disebut The Geneva Laws. Berdasarkan uraian diatas, maka HH terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum DenHaag dan Hukum Jenewa3. Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghidarkan dan bahkan meniadakan perang. Upaya-upaya tersebut melalui 4: 1. Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Karena para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka p ara anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, bila mereka terlibat dalam suatu permusuhan. 2. Usaha lain ialah terbentuknya Kellogg-Briand Pact atau disebut juga Paris Pact tahun 1928. Secara resmi Pact ini disebut Treaty for The Renunciation of War. Perjanjian ini ditandatangani oleh Jerman, Amerika Serikat, Belgia, Inggris, Perancis, Italia, Jepang, Polandia dan Ceska. Di dalam preambul dinyatatakan 2 3 4 Haryomataram, Hukum Humaniter, CV Radjawali, Jakarta, 1994, hlm 2-3. Lihat The Federal Ministry of Defence of The Federal of Republic of Germany VR II 3, Humanitarian Law in Armed Conflict, 1992, hlm 3. Haryomataram, Hukum Humaniter, op.cit, hlm 6. 2 bahwa mereka menolak atau tidak mengajui perang sebagai alat politik nasional, dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka hanya dengan damai. Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam penggunaan istilah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict)5. Istilah hukum sengketa bersenjata (Law of Armed Conflict) sebagai pengganti hukum perang (Law of War) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jeneva 1949 dan kedua Protokol Tambahan. Dalam perkembangan selanjutnya yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang yang konsepsikonsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity priciple). Dengan adanya perkembangan baru ini maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter yang berlaku dalam sengketa bersenjata (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan Hukum Humaniter, namun istilah tersebut memiliki arti yang sama. Dalam kepustakaan hukum internasional istilah hukum humaniter merupakan istilah yang dianggap relatif baru. Istilah ini lahir tahun 1970-an, ditandai dengan diadakannya Conference of Government Expert on The Reaffirmation and Development in Armed Conflict tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat berbagai rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter dari para ahli dengan ruang lingkupnya. Rumusan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menurut Jean Pictet 5 Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law, Henry Dunant Institute, 1993, hlm 3. 3 “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being 2. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa hukum humaniter adalah: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri” 3. Geza Herzegh merumuskan hukum humaniter internasional sebagai berikut: “Part of the rules of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. It’s place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these it’s purpose and spirit being different” 4. Esbjorn Rosebland merumuskan hukum humaniter internasional dengan mengadakan pembedaan antara: The Law of Armed Conflict berhubungan dengan: a.Permulaan dan berakhirnya pertikaian b. Pendudukan wilayah lawan c.Hubungan pihak bertikai dengan negara netral Sedangkan law of Warfare ini antara lain mencakup: a. Metoda dan sarana berperang b. Status kombatan c. Perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil 5. Panitia Tetap (Pantap) Hukum Humaniter, Departemen Hukum dan Perundangan undangan merumuskan sebagai berikut: 4 “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabak seseorang” Melihat pengertian dan atau definisi yang disebutkan di atas maka ruang lingkupnya hukum humaniter dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu aliran luas, aliran tengah dan aliran sempit. Jean Picket misalnya, menganut pengertian hukum humaniter dalam arti luas, yaitu bahwa HH mencakup Hukum Jenewa, Hukum Den Haag dan Hak Asasi Manusia. Sebaliknya Geza Herzegh menganut aliran sempit, dimana menurutnya HH hanya menyangkut Hukum Jenewa. Sedangkan Starke, menyatakan bahwa HH terdiri atas Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag6. 1.2. Asas-asas Hukum Humaniter Dalam hukum humaniter dikenal ada tiga asas, yaitu: 1. Asas Kepentingan Militer (military necessity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujua dan keberhasilan perang. 2. Asas Perikemanusiaan (humanity) Berdasarkan asas ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu. 3. 6 Asas Ksatria (chivalry) Haryomataram, op.cit, hlm 15-25. 5 Asas ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. i 1.3. Tujuan Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip perikemanusiaan. Mohammed bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut: 1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering). 2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini terpenting adalah asas perikemanusiaan 7 . 1.4. Asal Usul Awalnya ada beberapa aturan yang tidak tertulis berdasarkan kebiasaan yang mengatur tentang konflik bersenjata. Kemudian perjanjian-perjanjian bilateral (kartel) yang kerincian aturannya berbeda-beda, perlahan-lahan mulai diberlakukan. Pihak-pihak yang berperang kadangkala meratifikasinya setelah pertempuran berakhir. Ada juga peraturan yang dikeluarkan oleh negara bagi pasukan-pasukannya. Kemudian hukum yang dapat berlaku dalam konflik bersenjata adalah hukum yang terbatas baik dalam hal waktu maupun tempat dan hukum itu sah hanya dalam satu pertempuran atau konflik tertentu saja. Aturannya bervariasi tergantung pada masa, tempat, moral dan peradaban. 7 F rederic de Mullinen, Handbook on The Law of The War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, hlm 2. 6 Ada dua orang yang memegang peranan penting dalam pembentukan hukum humaniter, yaitu Henry Dunant dan Guillaume-Henri Dufour. Dunant memformulasikan gagasannya dalam kenangan dari Solferino, diterbitkan pada tahun 1862. Berdasarkan kekuatan pengalaman perang pribadinya, Jenderal Dufour mengggunakan tiap waktunya untuk selalu memberikan dukungan moral secara aktif, salah satunya dengan memimpin Konferensi Diplomatik tahun 1864. Akan menjadi sebuah kesalahan bila mengklaim bahwa pendirian Palang Merah tahun 1863 ataupun pengadopsian Konvensi Jenewa pertama tahun 1864 menandai lahirnya hukum humaniter seperti yang dikenal sekarang ini. Sebagaimana tidak ada satu masyarakat yang tidak memiliki seperangkat aturan sendiri, demikian pula belum pernah ada perang yang tidak memiliki aturan jelas ataupun samar-samar yang mengatur tentang mulai dan berakhirnya suatu permusuhan serta dalam hal bagaimana perang itu dilaksanakan. Secara keseluruhan, praktek-praktek berperang orang-orang primitif menggambarkan aneka ragam jenis aturan perang internasional seperti yang diketahui. Aturan pembedaan tipe musuh, aturan penentuan keadaan, kewenangan dan formalitas untuk memulai dan mengakhiri perang, aturan pembatasan jumlah orang, waktu, tempat, serta tata cara pelaksanaan dan pedoman berperilaku, bahkan aturan pencabutan atau penghentian perang semua ada di dalamnya. Hukum-hukum perang pertama telah diproklamsikan oleh sebagian besar peradaban ribuan tahun sebelum masa sekarang. Banyak naskah kuno seperti Mahabharata, Kitab Suci dan Al’Quran memuat aturan yang mendukung penghormatan terhadap pihak lawan. Contoh, Viqayet, sebuah naskah yang ditulis pada akhir abad 13 di masa kejayaan Negara Arab menguasai Spanyol, memuat sebuah pedoman perang yang sesungguhnya. Konvensi tahun 1864 dalam bentuk perjanjian multilateral kemudian dikodifikasi dan memperkuat hukum dan kebiasaan kuno yang terpencar dan terpisah satu dengan lainnya untuk melindungi orang yang terluka dan mereka yang merawatnya. 7