BAB VIII HUKUM HUMANITER DAN HAK ASASI MANUSIA TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU) Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap sengketa bersenjata, baik internasional maupun non-internasional. SASARAN BELAJAR (SB) Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu: 1. Menyebutkan pengertian Hukum Humaniter Internasional; 2. Menjelaskan metode dan sarana berperang yang diatur dalam hukum humaniter; 3. Menjelaskan arti penting perlindungan HAM dan hukum humaniter dalam sebuah konflik bersenjata. Malahayati, S.H., LL.M. POKOK BAHASAN HUKUM HUMANITER PENGERTIAN Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa disebut The Hague Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws. Menurut Palang Merah Indonesia, Hukum Humaniter dikenal dengan istilah Hukum Perikemanusiaan Internasional yang merupakan bagian dari Hukum Internasional. Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, berdasarkan pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu mewakili suatu keseimbangan antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional sejumlah negara di seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum perikemanusiaan internasional. Dewasa ini hukum perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal. Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian dan membatasi cara-cara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah istilah yang digunakan oleh Palang Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter Internasional ini adalah "Hukum Perang" (Law of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata" (Law of Armed Conflict). Menurut Panitia Tetap, Hukum Humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang. Dalam hukum humaniter dikenal tiga asas utama, yaitu : a) Asas kepentingan militer (military necessity), dimana pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang; b) Asas perikemanusiaan (humanity) yang mengharuskan pihak yang bersengketa untuk memperhatikan perikemanusiaan dan dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu; c) Asas ksatriaan (chivalry) yaitu asas yang mengandung arti bahwa di dalam peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu daya dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Hukum humaniter tidak bermaksud untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Tujuan hukum humaniter diantaranya adalah memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu; menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh; mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Yang terpenting adalah adanya asas perikemanusiaan. METODE DAN SARANA BERPERANG Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam Konvensi Den Haag IV (1907), terutama Lampirannya yang berjudul “Regulations respecting the Laws and customs of war on land” atau sering disebut Hague Regulations. Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang. Peraturan Hague Regulations (HR) melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat; melarang melakukan perang dengan kejam, seperti melarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau melarang dilakukan pemboman terhadap kota, desa, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan aturan dasar, ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan lambang-lambang internasional yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata. PRINSIP PEMBEDAAN Prinsip atau asas pembedaan merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu Kombatan dan Penduduk Sipil. Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk dan individu sipil seharusnya mendapatkan perlindungan dari bahaya yang timbul akibat operasi militer. Adapun penjabaran dari asas ini dapat dilihat bahwa : a. Pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil; b. Penduduk sipil dan individu sipil tidak boleh dijadikan objek serangan; c. Tidak boleh dilakukannya tindakan terror terhadap penduduk sipil; d. Pihak yang bersengketa harus mencegah dan menyelamatkan penduduk sipil dari kerugian akibat perang atau permusuhan; e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh. Prinsip pembedaan lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang terlibat perang atau konflik bersenjata. Secara normatif, prinsip ini dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pelanggarn yang dilakukan oleh kombatan terhadap penduduk sipil, yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Yang diatur di dalam Konvensi Den Haag adalah penegasan bahwa hukum, hak, dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara, melainkan juga bagi milisi dan korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Ditegaskan juga bahwa di negara-negara yang milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarelawan itu dimasukkan dalam sebutan tentara. Maksudnya bagi milisi dan korps sukarelawan itu hukum, hak dan kewajiban mereka tidak berbeda dengan hukum, hak dan kewajiban tentara. ORANG-ORANG YANG DILINDUNGI Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi kombatan dan penduduk sipil. Kombatan harus dilindungi dan dihormati dalam segala keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai seorang tawanan perang diatur dalam Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977. Berdasarkan Pasal 4A Konvensi III, yang berhak mendapatkan status sebagai tawanan perang adalah : a. Para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggota-anggota milisi atau korps sukarelawan yang merupakan bagian dari angkatan perang itu; b. Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisir (organized resistence movement) yang tergolong pada satu pihak yang bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun wilayah itu diduduki; c. Para aggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan; d. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggota dari angkatan perang itu; e. Awak kapal niaga termasuk nakhoda, pandu laut, dan taruna serta awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan apapun dalam hukum internasional; f. Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang karena serangan musuh, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan musuh, tanpa memilik waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan bersenjata secara teratur, asal mereka menggunakan senjata secara terbuka dan menghormati hukum dan kebiasaan perang. Pada prinsipnya, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan terhadap orang-orang yang dilindungi dengan menjamin penghormatan yang artinya mereka harus diperlakukan secara manusiawi; menjamin perlindungan yang artinya mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang mungkin timbul dari suatu peperangan; dan memberikan perawatan kesehatan yang artinya mereka berhak atas perawatan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh. Proses pemulangan tawanan perang yang diatur dalam Pasal 109-119 Konvensi III adalah segera setelah mampu berjalan, orang yang luka dan sakit parah harus langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Komisi kesehatan bersama akan memutuskan siapa saja yang akan dipulangkan; setelah peperangan berakhir, semua tawanan harus dibebaskan dan sipulangkan setiap saat tanpa penundaan; tanpa menunggu barakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik yaitu dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara langsung atau melalui pihak ketiga yang netral. Perlindungan terhadap penduduk sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV yang berupa perlindungan umum (general protection). Sedangkan dalam Protokol Tambahan, perlindungan itu diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil diantaranya mengenai perlindungan umum (general protection against the effect of hostilities); bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict). Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Terhadap mereka tidak boleh: d. Dilakukan tindakan-tindakan pemaksaan jasmani dan rohani untuk memperoleh keterangan; e. Dilakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani; f. Menjatuhkan hukuman kolektif; g. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan; h. Melakukan pembalasan; i. Menjadikan mereka sebagai sandera; j. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau permusuhan terhadap orang yang dilindungi. HUKUM HAK ASASI MANUSIA HAM DALAM KERANGKA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA 1. Peranan PBB PBB dalam rangka melakukan perlindungan hak-hak asasi manusia telah melakukan beberapa hal, yang dibagi dalam beberapa periode, yaitu: a. Periode Pembentukan Sistem, dari Piagam PBB sampai Deklarasi Universal HAM (1945-1948). b. Periode Perbaikan Sistem, yang menuju pengesahan konvensi dan organ HAM internasional (1949-1966). c. Periode Pelaksanaan Sistem, dari pengesahan organ atau instrumen sampai Konvensi Wina (1967-1993). d. Periode Perluasan Sistem, dair Konferensi Wina sampai pelaksanaan tindak lanjut (1993-1995). e. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000). PBB juga selalu menegaskan mengenai peran PBB dalam mendorong, mengembangkan dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hakhak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa membedakan suku, kelamin, bahasa dan agama. Dalam melaksanakan pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan HAM, PBB telah membentuk enam Badan Pemantauan Instrumen, yaitu: a. Komite HAM, yang memantau hak-hak sipil dan politik; b. Komite Ekonomi dan Sosial Budaya, memantau pelaksanaan hak-hak ekonomi dan sosial budaya; c. Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, khusus memantau emngenai bentuk diskriminasi; d. Komite Anti Penyiksaan, yang memantau pelaksanaan Konvensi Anti Penyiksaan; e. Komite Penghapusan diskriminasi wanita; Diskriminasi Terhadap Wanita, memantau f. Komite Hak-hak Anak, khusus memantau pelaksanaan Konvensi Hak-hak Anak. 2. Deklarasi Universal HAM Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mengeluarkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), tanggal 10 Desember 1948. Deklarasi tersebut merupakan pengembangan perlindungan terhadap HAM. tonggak sejarah bagi Pasal 1 Deklarasi menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain. Adapun hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh setiap orang yang diatur dalam Pasal 3 sampai Pasal 21 Deklarasi tersebut adalah: Hak untuk hidup; Kebebasan dan keamanan pribadi; Bebas dari perbudakan dan penghambaan; Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berperikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan; Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja sebagai pribadi; Hak untuk pengampunan hukuman yang efektif; Bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenangwenang; Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh pengadilan yang independen dan tidak memihak; Hak untuk praduga tak bersalah; Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat; Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik; Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan kehormatan dan nama baik; Bebas bergerak, hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan, hak untuk menikah dna membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak milik; Bebas berpikir, berkesadaran dan beragama, dan menyatakan pendapat; Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 22 sampai Pasal 27 ditentukan mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang, yaitu: Hak atas jaminan sosial; Hak untuk bekerja; Hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat buruh; Hak atas istirahat dan waktu senggang; Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan; Hak atas pendidikan; Hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat. KENDALA DALAM UNIVERSALITAS HAM 1. Kendala Ideologis Dalam melaksanakan dan menyebarluaskan konsep perlindungan terhadap HAM ini, ada beberapa kendala yang harus dihadapai, diantaranya kendala ideologis. Perbedaan pandangan mengenai HAM itu sendiri telah melahirkan dua konsepsi yang berbeda mengenai individu dalam masyarakat dan hubungan antara orang perorangan dan kekuasaan. Konsepsi Barat lebih mengutamakan penghormatan terhadap hak-hak pribadi, sipil dan politik, maka Konsepsi sosialis lebih menonjolkan peran negaranya. Menurut konsepsi sosialis, individu merupakan anggota dari masyarakat sehingga dengan sendirinya kepentingan individu akan tenggelam diantara kepentingan masyarakat. 2. Kendala Ekonomi Perkembangan perlindungan HAM di negara yang sudah mapan perekonomiannya bukanlah sesuatu masalah yang rumit. Di lain pihak, di negara yang masih berkembang, masalah HAM adalah masalah yang belum dianggap penting. Hal ini didasarkan dari tingkat kebutuhan dan perekonomian yang belum cukup memenuhi standar, sehingga mereka tidak banyak waktu untuk memperhatikan masalah-masalah yang menurut mereka tidak signifikan dengan kehidupan mereka. 3. Kendala Teknis Selain kedua kendala di atas, masih ada kendala yang cukup perlu perhatian dalam universalisasi HAM, yaitu kendala teknis. Kendala teknis muncul dalam hal adanya konvensi HAM yang banyak jumlahnya, namun ada sebagian konvensi yang diratifiksi oleh sedikit sekali negara-negara peserta. Artinya, walaupun banyak konvensi atau pengaturan mengenai HAM, namun dalam pelaksanaannya akan lemah atau tidak berarti kalau negara yang meratifikasinya sedikit sekali. Untuk dapat diberlakukannya suatu konvensi, diperlukan jumlah tertentu negara yang harus meratifikasi konvensi tersebut. RINGKASAN 1. Menyebutkan pengertian Hukum Humaniter Internasional; Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur mengenai perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa/The Geneva Laws). Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa disebut The Hague Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws. 2. Menjelaskan metode dan sarana berperang yang diatur dalam hukum humaniter; Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan dasar yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan peperangan dalam suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan sarana atau alat berperang. Peraturan Hague Regulations (HR) melarang membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat; melarang melakukan perang dengan kejam, seperti melarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau melarang dilakukan pemboman terhadap kota, desa, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak dipertahankan. Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan aturan dasar, ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan lambang-lambang internasional yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata. LATIHAN Mahasiswa secara kelompok mendiskusikan tentang arti penting perlindungan HAM dan Hukum Humaniter dalam sebuah Konflik Bersenjata. Berikan argumentasi tentang pelaksanaannya dalam praktik negara-negara dewasa ini. DAFTAR PUSTAKA Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock, Oxford, London, 1985 Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford University Press, 1990 -----------------, Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford, 1974. Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980. Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989 Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press, 1976. Dunoff, Jeffrey L. International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006 Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003. -----------, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Bina Cipta, 1978. Konvensi Wina 1986 tentan Perjanjian Internasional Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Sesama Organisasi Internasional Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang Pratiana Wayan., 1981, Perjanjian Internasional , Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn ke-XI. Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976. Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1995. Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987 Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969. Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition, Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976. Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London, 1987