BAB VIII - Repository UNIMAL

advertisement
BAB VIII
HUKUM HUMANITER DAN
HAK ASASI MANUSIA
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Pada akhir kuliah mahasiswa diharapkan dapat memberikan
argumentasi tentang perlindungan Hukum dan HAM terhadap
sengketa bersenjata, baik internasional maupun non-internasional.
SASARAN BELAJAR (SB)
Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Menyebutkan pengertian Hukum Humaniter Internasional;
2. Menjelaskan metode dan sarana berperang yang diatur dalam
hukum humaniter;
3. Menjelaskan arti penting perlindungan HAM dan hukum
humaniter dalam sebuah konflik bersenjata.
Malahayati, S.H., LL.M.
POKOK BAHASAN
HUKUM HUMANITER
PENGERTIAN
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya international humanitarian law
applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang
kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict),
yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter.
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu
hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum
Jenewa/The Geneva Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad
bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang
berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu hukum yang
mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa disebut The Hague
Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws.
Menurut Palang Merah Indonesia, Hukum Humaniter dikenal dengan istilah
Hukum Perikemanusiaan Internasional yang merupakan bagian dari Hukum
Internasional. Dalam sejarahnya hukum perikemanusiaan internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum tersebut dimulai pada abad ke-19. Sejak itu,
negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, berdasarkan
pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum itu mewakili suatu keseimbangan
antara tuntutan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring
dengan berkembangnya komunitas internasional sejumlah negara di seluruh dunia
telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum perikemanusiaan
internasional. Dewasa ini hukum perikemanusiaan internasional diakui sebagai suatu
sistem hukum yang benar-benar universal.
Hukum Perikemanusiaan Internasional adalah seperangkat aturan yang karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian bersenjata.
Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian dan
membatasi cara-cara dan metode peperangan. Hukum Perikemanusiaan Internasional
adalah istilah yang digunakan oleh Palang Merah Indonesia untuk Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian Law). Istilah lain dari Hukum Humaniter
Internasional ini adalah "Hukum Perang" (Law of War) dan "Hukum Konflik Bersenjata"
(Law of Armed Conflict).
Menurut Panitia Tetap, Hukum Humaniter adalah keseluruhan asas, kaidah dan
ketentuan internasional baik tertulis maupun tidak tertulis yang mencakup hukum
perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang.
Dalam hukum humaniter dikenal tiga asas utama, yaitu :
a) Asas kepentingan militer (military necessity), dimana pihak yang bersengketa
dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi
tercapainya tujuan dan keberhasilan perang;
b) Asas perikemanusiaan (humanity) yang mengharuskan pihak yang
bersengketa untuk memperhatikan perikemanusiaan dan dilarang
menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan
atau penderitaan yang tidak perlu;
c) Asas ksatriaan (chivalry) yaitu asas yang mengandung arti bahwa di dalam
peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak
terhormat, berbagai macam tipu daya dan cara-cara yang bersifat khianat
dilarang.
Hukum humaniter tidak bermaksud untuk melarang perang, karena dari sudut
pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat
dihindari. Tujuan hukum humaniter diantaranya adalah memberikan perlindungan
terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu;
menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke
tangan musuh; mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas.
Yang terpenting adalah adanya asas perikemanusiaan.
METODE DAN SARANA BERPERANG
Ketentuan utama tentang metode dan sarana berperang terdapat dalam
Konvensi Den Haag IV (1907), terutama Lampirannya yang berjudul “Regulations
respecting the Laws and customs of war on land” atau sering disebut Hague
Regulations. Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat,
termasuk ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan
dasar yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan peperangan dalam
suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan
sarana atau alat berperang.
Peraturan Hague Regulations (HR) melarang membunuh atau melukai orang dari
pihak musuh secara curang atau khianat; melarang melakukan perang dengan kejam,
seperti melarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau melarang
dilakukan pemboman terhadap kota, desa, daerah-daerah berpenduduk atau daerah
yang tidak dipertahankan.
Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang dalam Protokol
ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan aturan dasar,
ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan lambang-lambang
internasional yang harus dihormati selama masa peperangan, dan perluasan kategori
orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa bersenjata.
PRINSIP PEMBEDAAN
Prinsip atau asas pembedaan merupakan suatu asas penting dalam Hukum
Humaniter, yaitu suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk
dari suatu negara yang sedang berperang, atau sedang terlibat dalam konflik
bersenjata, ke dalam dua golongan yaitu Kombatan dan Penduduk Sipil. Kombatan
adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan, sedangkan
penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.
Menurut Jean Pictet, prinsip pembedaan berasal dari asas umum yang
dinamakan asas pembatasan ratione personae yang menyatakan bahwa penduduk dan
individu sipil seharusnya mendapatkan perlindungan dari bahaya yang timbul akibat
operasi militer. Adapun penjabaran dari asas ini dapat dilihat bahwa :
a. Pihak yang bersengketa harus membedakan antara kombatan dan penduduk
sipil;
b. Penduduk sipil dan individu sipil tidak boleh dijadikan objek serangan;
c. Tidak boleh dilakukannya tindakan terror terhadap penduduk sipil;
d. Pihak yang bersengketa harus mencegah dan menyelamatkan penduduk sipil
dari kerugian akibat perang atau permusuhan;
e. Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan
musuh.
Prinsip pembedaan lebih ditujukan sebagai upaya untuk melindungi penduduk
sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata, secara tidak langsung prinsip ini juga
melindungi para kombatan atau anggota angkatan bersenjata dari pihak-pihak yang
terlibat perang atau konflik bersenjata. Secara normatif, prinsip ini dapat
menghilangkan kemungkinan terjadinya pelanggarn yang dilakukan oleh kombatan
terhadap penduduk sipil, yang akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran
terhadap hak asasi manusia.
Yang diatur di dalam Konvensi Den Haag adalah penegasan bahwa hukum, hak,
dan kewajiban perang bukan hanya berlaku bagi tentara, melainkan juga bagi milisi dan
korps sukarelawan, sepanjang memenuhi persyaratan tertentu. Ditegaskan juga bahwa
di negara-negara yang milisi dan korps sukarelawan merupakan tentara atau
merupakan bagian dari tentara, maka milisi dan korps sukarelawan itu dimasukkan
dalam sebutan tentara. Maksudnya bagi milisi dan korps sukarelawan itu hukum, hak
dan kewajiban mereka tidak berbeda dengan hukum, hak dan kewajiban tentara.
ORANG-ORANG YANG DILINDUNGI
Dalam suatu sengketa bersenjata, orang-orang yang dilindungi meliputi
kombatan dan penduduk sipil. Kombatan harus dilindungi dan dihormati dalam segala
keadaan. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh mendapatkan status sebagai tawanan
perang. Perlindungan dan hak-hak sebagai seorang tawanan perang diatur dalam
Konvensi Jenewa III. Sedangkan penduduk sipil berhak mendapatkan perlindungan
sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa IV dan Protokol Tambahan 1977.
Berdasarkan Pasal 4A Konvensi III, yang berhak mendapatkan status sebagai
tawanan perang adalah :
a.
Para anggota angkatan perang dari pihak yang bersengketa, anggota-anggota
milisi atau korps sukarelawan yang merupakan bagian dari angkatan perang
itu;
b.
Para anggota milisi lainnya, termasuk gerakan perlawanan yang terorganisir
(organized resistence movement) yang tergolong pada satu pihak yang
bersengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka, sekalipun
wilayah itu diduduki;
c.
Para aggota angkatan perang reguler yang menyatakan kesetiaannya pada
suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui oleh negara penahan;
d.
Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa menjadi anggota dari
angkatan perang itu;
e.
Awak kapal niaga termasuk nakhoda, pandu laut, dan taruna serta awak
pesawat terbang sipil dari pihak-pihak yang bersengketa yang tidak
mendapat perlakuan yang lebih baik menurut ketentuan apapun dalam
hukum internasional;
f.
Penduduk wilayah yang belum diduduki, yang karena serangan musuh, atas
kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata untuk melawan
musuh, tanpa memilik waktu yang cukup untuk membentuk kesatuan
bersenjata secara teratur, asal mereka menggunakan senjata secara terbuka
dan menghormati hukum dan kebiasaan perang.
Pada prinsipnya, pihak-pihak yang bersengketa harus melakukan tindakan
terhadap orang-orang yang dilindungi dengan menjamin penghormatan yang artinya
mereka harus diperlakukan secara manusiawi; menjamin perlindungan yang artinya
mereka harus dilindungi dari ketidakadilan dan bahaya yang mungkin timbul dari suatu
peperangan; dan memberikan perawatan kesehatan yang artinya mereka berhak atas
perawatan kesehatan yang setara dan tidak boleh diabaikan, walaupun ia pihak musuh.
Proses pemulangan tawanan perang yang diatur dalam Pasal 109-119 Konvensi
III adalah segera setelah mampu berjalan, orang yang luka dan sakit parah harus
langsung dikembalikan tanpa penangguhan. Komisi kesehatan bersama akan
memutuskan siapa saja yang akan dipulangkan; setelah peperangan berakhir, semua
tawanan harus dibebaskan dan sipulangkan setiap saat tanpa penundaan; tanpa
menunggu barakhirnya perang, para pihak yang bersengketa hendaknya memulangkan
para tawanan atas dasar kemanusiaan dan sedapat mungkin bersifat timbal balik yaitu
dengan cara melakukan pertukaran tawanan perang secara langsung atau melalui pihak
ketiga yang netral.
Perlindungan terhadap penduduk sipil diatur dalam Konvensi Jenewa IV yang
berupa perlindungan umum (general protection). Sedangkan dalam Protokol
Tambahan, perlindungan itu diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil diantaranya
mengenai perlindungan umum (general protection against the effect of hostilities);
bantuan terhadap penduduk sipil (relief in favour of the civilian population); serta
perlakuan orang-orang yang berada dalam salah satu kekuasaan pihak yang
bersengketa (treatment of persons in the power of a party to a conflict).
Berdasarkan Konvensi Jenewa, perlindungan umum yang diberikan kepada
penduduk sipil tidak boleh dilakukan secara diskriminatif. Terhadap mereka tidak boleh:
d. Dilakukan tindakan-tindakan pemaksaan jasmani dan rohani untuk
memperoleh keterangan;
e. Dilakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani;
f. Menjatuhkan hukuman kolektif;
g. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;
h. Melakukan pembalasan;
i.
Menjadikan mereka sebagai sandera;
j.
Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan jasmani atau
permusuhan terhadap orang yang dilindungi.
HUKUM HAK ASASI MANUSIA
HAM DALAM KERANGKA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
1. Peranan PBB
PBB dalam rangka melakukan perlindungan hak-hak asasi manusia telah
melakukan beberapa hal, yang dibagi dalam beberapa periode, yaitu:
a. Periode Pembentukan Sistem, dari Piagam PBB sampai Deklarasi Universal
HAM (1945-1948).
b. Periode Perbaikan Sistem, yang menuju pengesahan konvensi dan organ
HAM internasional (1949-1966).
c. Periode Pelaksanaan Sistem, dari pengesahan organ atau instrumen sampai
Konvensi Wina (1967-1993).
d. Periode Perluasan Sistem, dair Konferensi Wina sampai pelaksanaan tindak
lanjut (1993-1995).
e. Periode menuju perlindungan HAM baru (1996-2000).
PBB juga selalu menegaskan mengenai peran PBB dalam mendorong,
mengembangkan dan mendukung penghormatan secara universal dan efektif hakhak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok bagi semua tanpa
membedakan suku, kelamin, bahasa dan agama.
Dalam melaksanakan pemantauan atau pengawasan terhadap pelaksanaan
perlindungan HAM, PBB telah membentuk enam Badan Pemantauan Instrumen,
yaitu:
a. Komite HAM, yang memantau hak-hak sipil dan politik;
b. Komite Ekonomi dan Sosial Budaya, memantau pelaksanaan hak-hak
ekonomi dan sosial budaya;
c. Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi, khusus memantau
emngenai bentuk diskriminasi;
d. Komite Anti Penyiksaan, yang memantau pelaksanaan Konvensi Anti
Penyiksaan;
e. Komite Penghapusan
diskriminasi wanita;
Diskriminasi
Terhadap
Wanita,
memantau
f. Komite Hak-hak Anak, khusus memantau pelaksanaan Konvensi Hak-hak
Anak.
2. Deklarasi Universal HAM
Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mengeluarkan Pernyataan Umum
tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), tanggal 10
Desember 1948. Deklarasi tersebut merupakan
pengembangan perlindungan terhadap HAM.
tonggak
sejarah
bagi
Pasal 1 Deklarasi menegaskan bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat
dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana
yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan dari segi ras, warna kulit,
jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal usul kebangsaan
atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
Adapun hak-hak sipil dan politik yang dimiliki oleh setiap orang yang diatur
dalam Pasal 3 sampai Pasal 21 Deklarasi tersebut adalah:
 Hak untuk hidup;
 Kebebasan dan keamanan pribadi;
 Bebas dari perbudakan dan penghambaan;
 Bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak
berperikemanusiaan ataupun yang merendahkan derajat kemanusiaan;
 Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja sebagai pribadi;
 Hak untuk pengampunan hukuman yang efektif;
 Bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenangwenang;
 Hak untuk peradilan yang adil dan dengar pendapat yang dilakukan oleh
pengadilan yang independen dan tidak memihak;
 Hak untuk praduga tak bersalah;
 Bebas dari campur tangan sewenang-wenang terhadap keleluasaan pribadi,
keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat;
 Bebas dari serangan kehormatan dan nama baik;
 Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan kehormatan dan nama
baik;
 Bebas bergerak, hak untuk memperoleh suaka, hak atas suatu kebangsaan,
hak untuk menikah dna membentuk keluarga, hak untuk mempunyai hak
milik;
 Bebas berpikir, berkesadaran dan beragama, dan menyatakan pendapat;
 Hak untuk menghimpun dan berserikat, hak untuk ambil bagian dalam
pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan
masyarakat.
Sedangkan dalam Pasal 22 sampai Pasal 27 ditentukan mengenai hak-hak
ekonomi, sosial dan kebudayaan yang menjadi hak semua orang, yaitu:
 Hak atas jaminan sosial;
 Hak untuk bekerja;
 Hak untuk membentuk dan bergabung pada serikat buruh;
 Hak atas istirahat dan waktu senggang;
 Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan;
 Hak atas pendidikan;
 Hak untuk berpartisipasi dalam kebudayaan masyarakat.
KENDALA DALAM UNIVERSALITAS HAM
1. Kendala Ideologis
Dalam melaksanakan dan menyebarluaskan konsep perlindungan terhadap
HAM ini, ada beberapa kendala yang harus dihadapai, diantaranya kendala
ideologis. Perbedaan pandangan mengenai HAM itu sendiri telah melahirkan dua
konsepsi yang berbeda mengenai individu dalam masyarakat dan hubungan antara
orang perorangan dan kekuasaan. Konsepsi Barat lebih mengutamakan
penghormatan terhadap hak-hak pribadi, sipil dan politik, maka Konsepsi sosialis
lebih menonjolkan peran negaranya. Menurut konsepsi sosialis, individu
merupakan anggota dari masyarakat sehingga dengan sendirinya kepentingan
individu akan tenggelam diantara kepentingan masyarakat.
2. Kendala Ekonomi
Perkembangan perlindungan HAM di negara yang sudah mapan
perekonomiannya bukanlah sesuatu masalah yang rumit. Di lain pihak, di negara
yang masih berkembang, masalah HAM adalah masalah yang belum dianggap
penting. Hal ini didasarkan dari tingkat kebutuhan dan perekonomian yang belum
cukup memenuhi standar, sehingga mereka tidak banyak waktu untuk
memperhatikan masalah-masalah yang menurut mereka tidak signifikan dengan
kehidupan mereka.
3. Kendala Teknis
Selain kedua kendala di atas, masih ada kendala yang cukup perlu perhatian
dalam universalisasi HAM, yaitu kendala teknis. Kendala teknis muncul dalam hal
adanya konvensi HAM yang banyak jumlahnya, namun ada sebagian konvensi yang
diratifiksi oleh sedikit sekali negara-negara peserta. Artinya, walaupun banyak
konvensi atau pengaturan mengenai HAM, namun dalam pelaksanaannya akan
lemah atau tidak berarti kalau negara yang meratifikasinya sedikit sekali. Untuk
dapat diberlakukannya suatu konvensi, diperlukan jumlah tertentu negara yang
harus meratifikasi konvensi tersebut.
RINGKASAN
1. Menyebutkan pengertian Hukum Humaniter Internasional;
Haryomataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan pokok, yaitu
hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang
(Hukum Den Haag/The Hague Laws); dan hukum yang mengatur mengenai
perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum
Jenewa/The Geneva Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang menjadi Jus ad
bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang hal bagaimana negara
dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata; dan Jus in bello yaitu hukum yang
berlaku dalam perang. Dimana hukum ini dibagi lagi dalam dua hal yaitu hukum
yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war) yang biasa disebut The
Hague Laws; dan hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi
korban perang, yang biasanya disebut The Geneva Laws.
2. Menjelaskan metode dan sarana berperang yang diatur dalam hukum humaniter;
Peraturan ini mengatur mengenai hukum dan kebiasaan perang di darat, termasuk
ketentuan-ketentuan mengenai metode dan sarana berperang. Peraturan dasar
yang paling utama dalam menggunakan alat untuk melakukan peperangan dalam
suatu sengketa bersenjata adalah keterbatasan dalam memilih dan menggunakan
sarana atau alat berperang. Peraturan Hague Regulations (HR) melarang
membunuh atau melukai orang dari pihak musuh secara curang atau khianat;
melarang melakukan perang dengan kejam, seperti melarang membunuh atau
melukai musuh yang telah menyerah, atau melarang dilakukan pemboman
terhadap kota, desa, daerah-daerah berpenduduk atau daerah yang tidak
dipertahankan. Secara garis besar ketentuan mengenai alat dan cara berperang
dalam Protokol ini disempurnakan lagi, diantaranya dengan adanya penambahan
aturan dasar, ketentuan mengenai senjata-senjata baru, adanya penambahan
lambang-lambang internasional yang harus dihormati selama masa peperangan,
dan perluasan kategori orang-orang yang dapat terlibat dalam sengketa
bersenjata.
LATIHAN
Mahasiswa secara kelompok mendiskusikan tentang arti penting perlindungan HAM
dan Hukum Humaniter dalam sebuah Konflik Bersenjata. Berikan argumentasi tentang
pelaksanaannya dalam praktik negara-negara dewasa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Brierly, J.L, The Law of Nations, 6th Edition, Edited by Sir Humpherly Waldock,
Oxford, London, 1985
Brownly, Ian. Principles of Publik International Law, Fourth edition, Oxford
University Press, 1990
-----------------, Basic Document on International Law. Clarendon Press: Oxford,
1974.
Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980.
Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa,
Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989
Dorman, Peter J., Running Press Dictionary of Law. Philadelphia: Running Press,
1976.
Dunoff, Jeffrey L. International Law: Norm, Actors, Process: A Problem Oriented
Approach, 2nd edition. Aspen Publishers, NY. 2006
Kusumaatmadja. Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung,
2003.
-----------, Bunga Rampai Hukum Laut, Penerbit Bina Cipta, 1978.
Konvensi Wina 1986 tentan Perjanjian Internasional Antara Negara dan
Organisasi Internasional dan Sesama Organisasi Internasional
Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik
Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler
Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban Perang
Pratiana Wayan., 1981, Perjanjian Internasional , Hukum dan Pembangunan No.
4 Thn ke-XI.
Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition,
Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.
Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit Undip,
Semarang, 1995.
Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London,
1987
Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969.
Schwarzenberger, Georg, and Brown, A Manual of International Law, 6th edition,
Professional Books Limiter, London and Cardiff, 1976.
Soekotjo Hardiwinoto, Pengantar Hukum Internasional, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995
Starke, An Introduction to International Law, 9th edition, Butterworths, London,
1987
Download