BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Orangutan ( Pongo pygmaeus) 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Orangutan (Pongo pygmaeus)
1.
Klasifikasi
Menurut Groves (2001), orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan
familia Homonidae, dengan klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrae
Classis
: Mamalia
Ordo
: Primata
Familia
: Homonidae
Genus
: Pongo
Species
: Pongo pygmaeus
Pongo abelii
Gambar 2.1. Orangutan dan anaknya (Pongo pygmaeus)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
5
6
2.
Morfologi Orangutan (Pongo pygmaeus)
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di pohon dan
orangutan dewasa mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: tubuh besar dengan berat
berkisar antara 50-90 kg, tubuh ditutupi oleh rambut berwarna coklat kemerahan,
tidak berekor, orangutan jantan pada kedua pipinya terlihat ada tonjolan, dan ukuran
tubuh yang jantan dua kali lebih besar dari pada yang betina (Gambar 2.2). Perbedaan
antara orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan orangutan Kalimantan (Pongo
pygmaeus) adalah pada orangutan Sumatra, warna rambut lebih pucat seperti ginge
(jahe), dan rambutnya lebih lembut dan lemas. Kadang-kadang mempunyai bulu
putih pada mukanya (Galdikas, 1986).
(A)
(B)
Gambar 2.2 : Orangutan (Pongo pygmaeus )
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Keterangan gambar:
A. Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus)
B. Orangutan sumatra (Pongo pygmaeus abelii)
3.
Habitat dan Penyebaran Orangutan (Pongo pygmaeus)
Menurut Rijksen, (1978) sisa prasejarah orangutan dapat ditemukan di gua-gua
bagian selatan China, Vietnam utara dan Sumatera. Kenyataan ini mengindikasikan
bahwa penyebaran hewan ini lebih luas pada masa lampau, bahkan mungkin meliputi
7
seluruh Jazirah Asia Tenggara (Dataran Sunda). Orangutan hidup di hutan tropik
dataran rendah, rawa-rawa, sampai hutan perbukitan dengan ketinggian 1500 mdpl.
Pada umumnya, di hutan Kalimantan orangutan hidup di hutan primer, dan hutan
sekunder. Namun seiring adanya kerusakan hutan, orangutan diidentifikasi berada di
pinggiran pemukiman. Selanjutnya Galdikas (1986) menjelaskan bahwa saat ini
habitat orangutan dapat dikategorikan sebagai habitat in situ (hutan alam) dan habitat
ex situ (hutan binaan/rehabilitasi dan reintroduksi, kebun binatang, dan lain
sebagainya).
4.
Prilaku Orangutan (Pongo pygmaeus)
Utami (1991), menyatakan bahwa orangutan merupakan satwa diurnal dan
arboreal. Orangutan dewasa pada umumnya bangun tidur sekitar pukul 06.00 WIB
dan tidur kembali sekitar pukul 18.00 WIB. Beberapa saat setelah bangun kegiatan
hariannya dimulai dengan mengeluarkan kotoran di luar sarang. Jika di sekitar sarang
tercium bau khas kotoran dan urine berarti orangutan telah memulai perilaku
hariannya, dan bila terjadi sebaliknya berarti orangutan masih berada di sarangnya.
Selanjutnya orangutan akan menuju sumber makanan yang terdekat. Jika pohon
tempat bersarang tersebut juga merupakan pohon pakan, maka orangutan akan
langsung makan di pohon tersebut. Setelah itu aktivitasnya berkisar antara makan,
istirahat, bergerak dan social
5.
Perlindungan
Fauna, khususnya primata, merupakan kekayaan alam yang harus dijaga
kelestariannya, sangat potensial untuk dimanfaatkan dan mempunyai daya tarik
8
sendiri bagi kehidupan manusia, akan tetapi masih ada tindakan manusia yang kurang
ramah lingkungan dan dapat mengganggu kelestarian fauna. Pemerintah selalu
mengusahakan adanya tindakan preservasif dan konservasif dari masyarakat. Melalui
undang-undang tentang konservasi lingkungan, masyarakat diharapkan semakin
paham akan pentingnya usaha penyelamatan fauna dari kepunahan. Dalam Bab V
Undang-Undang Konservasi Lingkungan Tahun 1990, tentang pengawetan jenis
tumbuhan dan satwa, Pasal 21 Ayat 2, dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk:
a.
Menangkap,
melukai,
membunuh,
menyimpan,
memiliki,
memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
b.
Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa
yang dilindungi dalam keadaan mati
c.
Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
d.
Memperniagakan, menyimpan, atau memiliki kulit, tubuh atau bagian-bagian
lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian
satwa tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat
lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.
Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.
Sedangkan dalam Pasal 22, dinyatakan:
9
a)
Pengecualian dari larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 hanya dapat
dilakukan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, dan/atau penyelamatan
jenis tumbuhan dan satwa yang bersangkutan.
b) Termasuk dalam penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), adalah
pemberian atau penukaran jenis tumbuhan dan satwa kepada pihak lain di luar
negeri dengan izin Pemerintah.
B. Cacing Parasit
Parasit adalah organisme yang hidup dari adanya organisme yang lain. Dengan
demikian, parasit tidak hanya bertempat tainggal dan mendapat makanan dari hospes,
bahkan juga mendapat perlindungan dan pemeliharaan. Kehidupan sebagai parasit ini,
berhubungan dengan keadaan organisme tersebut yang tidak mampu mengadakan
sintesis untuk makanan. Sebagai contoh adalah parasit dalam usus manusia yang
memerlukan asam amino, peptida lemak dan gula sederhana, yang tidak dapat
dihasilkan sendiri. Tanpa substansi tersenut parasit akan mati. Jadi parasit mutlak
memerlukan hospes, tanpa hospes mereka akan punah. Sebaliknya hospes tanpa
parasit hidupnya lebih baik.
Beberapa contoh hewan parasit adalah Protozoa, Plathyhelmintes, Nematoda dan
sebagian Arthropoda. Tergantung dari mana parasit mengambil makanan dari hospes
maka, parasit dapat dibedakan menjadi dua jenis parasit yaitu ectoparasit yaitu
parasit yang melekat pada permukaan tubuh organisme seperti kulit dan rambut
dengan perlengkapan alat penghisap atau alat pengait, yang di gunakan untuk
10
menggigit, memotong kulit dan mengambil cairan tubuh hospes seperti kutu, lintah
dan pacet. Sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di organ tubuh inang
seperti saluran cerna, hati, kantung empedu, jantung dan saluran pernapasan seperti
cacing dan protozoa.
Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari jasad-jasad yang hidup untuk
sementara atau tetap di dalam atau pada permukaan jasad lain dengan untuk
mengambil makanan dan mempelajari hubungan antara jasad-jasad tersebut dengan
inangnya (Simangunsong, 1986). Helmintologi adalah ilmu cabang dari parasitologi,
yang dalam bidang kedokteran dikenal sebagai ilmu yang mempelajari infeksi
kecacingan pada manusia, apakah itu menyangkut infeksi kecacingan, faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya infeksi kecacingan, dampak yang ditimbulkan oleh
infeksi karena cacing, serta upaya pencegahan dan pengobatan infeksi kecacingan
tersebut. Helmintologi, diadopsi dari kata helmintos yang artinya cacing, dan logos
yang artinya ilmu. Sementara parasitologi berasal dari kata parasitos yang artinya
organisme yang mengambil makan, dan logos yang artinya ilmu, telaah. Dalam kaitan
dengan masalah kesehatan, maka parasitologi medik mempelajari parasit yang
menghinggapi manusia dapat menyebabkan penyakit dan bahkan kematian
(Rasmaliah, 2001).
11
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah parasit sehingga mampu berkembang
serta mencapai kematangan seksual tergantung pada (a) kesempatan hospes
berkenalan dengan parasit, (b) biologi parasit, dan (c) tingkat kerentanan hospes. Tiap
parasit memiliki sifat khusus dalam daur hidupnya dan kemampuan dari parasit untuk
menghasilkan keturunannya. Parasit akan bertahan tergantung pada jumlah telur yang
dihasilkan, panjang waktu menghasilkan telur dan jumlah telur yang dihasilkan setiap
hari (Subronto dan Tjahajati, 2001).
Helminth (cacing) diklasifikasikan dalam kingdom animalia yang terdiri dari tiga
filum, yaitu Platyhelmintes (cacing pipih), Nemathelmintes (cacing gilig), dan
Acanthocephala. filum Platyhelmintes di bagi mejadi tiga kelas yaitu Turbellaria,
Trematoda dan Cestoidea, sedangkan Nemathelmintes memiliki satu kelas yaitu
Nematoda (Radiopoetro, 1986).
Hewan-hewan yang termasuk filum Platyhelmintes, Nemathelmintes, dan
Acanthocepala memiliki ciri-ciri bertubuh memanjang, simetri bilateral, dengan
struktur tubuh primitif. Tidak ada yang bersifat metameri dan benyak yang hidup
sebagai parasit.
1.
Filum Plathyhelmintes
Cacing daun ini bersifat triploblastik, tetapi tidak berselom. Ruang digesti berupa
ruang gastrovaskular yang tidak lengkap. Cacing nemertial bertraktus digestivus
lengkap. Cacing pita tidak mempunyai saluran digesti. Walaupun hewan-hewan itu
bersimetri bilateral, namun mereka mempunyai system ekskretorius, saraf dan
reproduksi. Sebagian anggota cacing daun itu hidup parasit pada manusia dan hewan.
12
Filum Platyhelmintes terdiri dari 3 kelas yaitu:
a.
Kelas Turbellaria
Anggota turbelaria hidup mandiri dalam air tawar, air laut, atau di daratan yang
basah, jarang yang hidup parasitis. Epitel bersilia, menyalurkan lendir. Tubuh
berbentuk tongkat atau bentuk rabdit (Yunani, rhabdit = tongkat). Cacing-cacing
golongan ini pada bentuk dewasanya, epidermisnya bercilia, yang tidak terdapat pada
2 kelas lainnya (Trematoda dan Cestoidea).
Berdasarkan atas jumlah cabang pokok dari intestiniumnya, kelas Turbellaria
menjadi 5 ordo:
1) Ordo: Acela.
Ordo Acela memiliki ciri-ciri: tidak mempunyai intestinum, hidup di laut, jumlah
speciesnya sedikit. Contoh: Aneparus suclatus.
2) Ordo: Alloeacela.
Ordo Alloeacela memiliki ciri-ciri intestinum mempunyai satu cabang utama
dengan cabang-cabang kecil (ceca) kelateral. Contoh: Baicalartia gulo.
3) Ordo: Polycladida
Memiliki ciri-ciri intestinum mempunyai banyak cabang pokok dan semua
anggotanya hidup di laut. Contoh: Limnostylocus bornencis (terdapat di Borneo).
4) Ordo: Rhabdocela
Memiliki ciri-ciri intestinum sederhana dan lurus dan memiliki mulut pada ujung
anterior, bersifat aquatis, makan secara phagocytose. Contoh: Alaurina couposita.
13
5) Ordo: Tricladida
Intestinum mempunyai tiga cabang pokok, bersifat aquatis, terutama dalam air
tawar, tapi ada juga yang hidup di air laut, dan ada beberapa species yang bersifat
terrestrial. Contoh: Dugesia tigrina
b. Kelas Trematoda
1) Deskripsi Cacing Trematoda
Semua spesies trematoda yang berparasit pada ruminansia adalah Ordo Digenea.
Bentuk tubuh trematoda pipih dorsoventral menyerupai bentuk daun dan tidak
bersegmen. Dalam keadaan hidup cacing ini bertubuh relatif tebal. Bagian paling luar
disebut tegumen, ujung anterior tubuh terdapat batil hisap (oral sucker) dan pada
bagian ventralnya terdapat acetabulum (ventral sucker). Acetabulum terletak di
sepertiga bagian anterior tubuh, namun posisi ini bervariasi menurut jenis trematoda
(Bowman (1969), Fowler (1989), dan Kusumamiharja (1995)). Organ ini digunakan
sebagai alat untuk menempel pada habitatnya dalam tubuh inang definitif. Sistem
pencernaan diawali oleh bagian mulut yang dikelilingi oleh oral sucker, dilanjutkan
ke posterior oleh otot faring, esofagus, usus yang biasanya bercabang dua menjadi
saluran buntu yang disebut caeca. Sistem ekskretori terdiri dari gelembunggelembung yang merupakan kantung sederhana yang bentuknya bervariasi, biasanya
terbuka pada bagian ekstremitas posterior tubuh. Bagian tersebut memiliki cabangcabang saluran menuju parenkim yang berakhir pada organ terminal yang disebut sel
api (flame cell) (Simangunsong, 1986).
14
2) Taksonomi dan Klasifikasi Cacing Trematoda
Berdasarkan perbedaan siklus hidupnya, kelas Trematoda terbagi atas dua ordo
yaitu:
a)
Ordo Monogenea.
Cacing isap yang mempunyai satu hospes dalam siklus hidup terutama bersifat
terutama bersifat ectoparasit, hidup melekat pada permukaan tubuh hospes, yaitu
pada Pisces, Amphibia dan Reptilia. Batil pengisap didaerah mulut umumnya tidak
ada, sedang alat pengisap dibagian posterior umumnya ada. Dari tiap ovum
menghasilkan satu bentuk dewasa. Contoh: Polystomium sp., Octobothrium sp.
b) Ordo Digenea.
Semua bersifat entoparasit yang spesifik pada berbagai organ, hidup dalam
berbagai hospes. Dibutuhkan 2 (dua) hospes atau lebih untuk siklus hidupnya yang
sempurna. Avertebrata merupakan hospes untuk stadium larva, sedang Vertebrata
sebagai hospes untuk dewasa.
Batil penghisap terdapat di sekitar mulut dan di bagian medio-ventral. Cacingcacing dewasa umumnya melakukan fertilisasi silang, tetapi jika hanya ada seekor
cacing di dalam hospes, maka akan terjadi autofertilisasi. Kebanyakan bersifat
hermaprodit, kecuali Schistosomatidae bersifat gonochoristis. Cacing-cacing ini
merupakan parasit yang penting dalam ilmu kedokteran. Contoh: Fasciola hepatica,
Schistosoma mansoni, Australorbis antiguensis. Banyak ditemukan di Asia dan
Pasifik barat daya
15
Taksonomi dan klasifikasi cacing trematoda yang banyak ditemukan pada Primata
menurut Bowman (1969), dan Fowler (1989) adalah Kingdom Animalia, Filum
Platyhelminthes, Kelas Trematoda, Sub Ordo Digenea. famili dari Ordo Digenea
adalah Paramphistomidae dengan Genus Paramphistomum.
3) Siklus Hidup Cacing Trematoda
Cacing trematoda pada primata bersifat hermafrodit kecuali Schistosoma. Cacing
ini memiliki kemampuan reproduksi secara aseksual di dalam tubuh inang antaranya
yaitu berbagai jenis siput di lingkungan aquatik. Untuk melengkapi siklus hidupnya
trematoda membutuhkan inang antara berupa berbagai jenis siput menurut spesies
trematoda. Pada umumnya distribusi jenis-jenis trematoda secara geografis
tergantung pada distribusi spesies siput yang cocok. Paramphistomum dengan inang
antara jenis siput Planorbis, Fasciola hepatica dengan inang antara jenis siput
Lymnea truncatula dan Fasciola Gigantica dengan jenis siput Lymnea rubiginosa
(Soulsby, 1982 dan Kusumamiharja, 1995).
Habitat cacing dewasa di dalam saluran empedu (Fasciola sp.), pankreas
(Eurytrema sp.), rumen (Paramphistomum sp.), atau saluran darah inang definitif
(Schistosoma sp.) (Soulsby, 1982, Levine, 1990, Kusumamiharja, 1995). Cacing
dewasa bertelur di dalam habitatnya kemudian menuju usus dan dikeluarkan
bersama-sama tinja. Telur beroperkulum yang telah mengandung embrio kemudian
menetas membebaskan mirasidium yang bergerak aktif dalam lingkungan akuatik
dengan menggunakan silianya mencari dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh siput
yang cocok kemudian berkembang menjadi beberapa stadium (menurut jenis
16
trematoda) secara aseksual. Lima sampai tujuh minggu setelah infeksi serkaria yang
menyerupai berudu keluar dari tubuh siput dan berenang bebas kemudian kontak
dengan tanaman di sekitarnya membentuk metasekaria. Perkembangan selanjutnya,
serkaria membentuk kista pada tanaman atau rumput di area penggembalaan. Infeksi
terjadi karena inang definitif memakan rumput yang terkontaminasi metaserkaria.
Setelah termakan, metaserkaria mengalami ekskistasi membebaskan cacing muda
dalam intestin. Kemudian cacing muda ini menembus intestin bermigrasi menuju
kapsul hati dan akhirnya mencapai parensim hati. Setelah sekitar enam sampai
delapan minggu cacing muda masuk ke dalam saluran empedu dan berkembang
menjadi cacing dewasa hingga memproduksi telur.
Pada dasarnya daur hidup trematoda ini melampui beberapa beberapa fase
kehidupan dimana dalam fase tersebut memerlukan hospes intermedier untuk
perkembangannya. Fase daur hidup tersebut adalah sebagai berikut:
Telur---meracidium---sporocyst---redia---cercaria—metacercaria---cacing dewasa.
17
Dimana fase daur hidup tersebut sedikit berbeda untuk setiap spesies cacing
Trematoda
sporocyst
Telur meracidium
sporocyst
cercaria
redia
cercaria
dewasa(1)
metacercaria
redia
cercaria
redia
cercaria
dewasa(2)
dewasa(3)
metacercaria
dewasa(4)
keterangan:
(1) Schistosoma
(2) Paragonimus
(3) Clonorchis
(4) Echinostoma
18
2.
Kelas Cestoidea
a.
Siklus Hidup Cacing Cestoda
Siklus hidup cacing Cestoda berbeda tergantung jenisnya. Contoh:
1) T. Saginata dan T. Solium
Proglotida gravida dalam usus manusia mengandung telur yang telah dibuahi.
Telur keluar dari proglotida dan terbawa tinja. Di tanah embrio tumbuh dan di telan
oleh inang. Dalam duodenum sapi atau babi embrio menetas, memasuki dinding usus,
mengikuti peredaran darah ke hati, ke jantung dan seterusnya mengikuti peredaran
darah besar dan di angkut oleh otot bergaris (paha, kista, interkostal, diafragma,
pengunya, lidah dan sebagainya) dan menjadi kista yang di sebut cysticercus bovis
(Taenia saginata) atau cysticercus sellulosae (T. solium). Kista itu berupa gelembung
dan juga di sebut sebagai metacestoda. Manusia tertular cacing pita daging sapi atau
cacing pita daging babi karena makan daging sapi atau daging babi mentah (setengah
masak) yang mengandung sistiserkus.
2) Cacing pita pada herbivora dan ayam
Siklus hidup C. Infundibilum dan M. expansa serupa dengan siklus hidup cacing
pita pada manusia, hanya berbeda inang perantaranya. Cacing pita pada herbivora dan
ayam menggunakan artropoda (kumbang atau tungau) sebagai inang perantara dan
dalam tubuh inang perantara itu berbentuk sistiserkoid atau juga disebut
kriptoserkoid. Sistiserkoid itu juga sebagai stadium metakrestoda yang tidak
mengandung cairan seperti pada sisteserkus.
19
3) D. Latum (cacing pita lebar)
Siklus hidup cacing pita lebar pada dasarnya serupa dengan siklus hidup cacing
pita pada umunya, tetapi menggunakan insekta air (Cyclops sp.) sebagai inang
perantara pertama, dan ikan air tawar kecil sebagai inang perantara kedua. Kadangkadang mennggunakan ikan air tawar yang lebih besar sebagai inag perantara ketiga.
Siklop yang mengandung larva proserkoid ditelan ikan kecil. Kadang-kadang ikan
kecil itu dimakan oleh ikan yang lebih besar. Dalam ikan yang terakhir ini, cacing
pita muda tetap sebagai pleroserkoid. Anjing dan manusia tertular dengan cacing pita
lebar karena makan ikan (inang perantara) secara mentah.
Kelas Cestoidea di bagi atas 2 subkelas yaitu: subkelas Cestodaria dan subkelas
Cestoda. Subkelas Cestodaria memiliki ciri-ciri tubuh (strobila) tidak bersegmen,
tidak memiliki alat reproduksi tunggal, tidak memiliki tractus digestivus, oncospher
mempunyai 10 kait, kebanyakan bersifat parasit pada ikan. Sedangkan subkelas
Cestoda memiliki segment yang disebut proglatid, umumnya mempunyai satu alat
reproduksi atau lebih, onchosper mempunyai 6 kait, subkelas cestoda memiliki 3 ordo
yaitu: Pseudophyllidea, Cyclophyllidea, dan Tetraphyllidea. Spesies dari ordo
Pseudophyllidea, Cyclophyllidea merupakan cacing yang bersifat parasit.
b. Ordo Pseudophyllidea
Ordo Pseudophyllidea memiliki ciri-ciri scolex umumnya mempunyai 2 bothria
atau celah dan kadang-kadang terdapat 4 proboscis dengan kait, porus uterin pada
permukaan proglottid yang datar, uterus mempunyai sebuah sacculus (kantung kecil)
20
dan
vitellaria
tersebar,
ova
bercapsula
dan
oncosper
bersilia.
Contoh:
Diphyllobothrium cordatum, Diplogonoporus grandis, Ligula intestinalis.
c.
Ordo Cyclophyllidea
Ordo Cyclophyllidea memiliki ciri-ciri scolex mempunyai 4 alat penghisap
berbentuk mangkok dan mempunyai rostellum, porus uterin tidak ada, proglatid yang
telah gravid akan terputus, ova tidak bercapsula dan oncosper tidak bersilia. Contoh:
Taenia solium, Dipylidium caninum, Hymenelepsis nana.
d. Ordo Tetraphyllidea
Ordo Tetraphyllidea memiliki ciri-ciri scolex memiliki 4 bothridia, 4 alat
penghisap (Proboscis) kadang-kadang dengan kait, porus uterin jarang ada dan
vitellaria diffus terdapat di bagian lateral proglottid, ova tidak bercapsula, onchosper
tidak bersilia, spesies bersifat parasit pada Pisces, Amphibia dan Reptilia. Contoh:
Phyllobathrium dahrnii.
Primata bertindak sebagai inang antara maupun inang definitif cestoda. Taksonomi
dan klasifikasi cacing cestoda yang banyak ditemukan pada Primata menurut
Bowman (1969), dan Fowler (1989) adalah sebagai berikut, Kingdom Animalia,
Filum Platyhelminthes, Kelas Cestoda, Ordo Cyclophyllidea dengan Famili
Anoplocephalidae), Genus Bertiella, dan spesies Bertiella studeri. Selain itu terdapat
juga Famili Anoplocephalidae dengan genus Hymenolepsis dengan species
Hymenolepsis nana.
21
2.
Filum Nemathelminthes
Ciri-ciri umum: Tubuh berbentuk bulat panjang dan silindris, atau filiform,
dengan ujung bulat atau berbentuk conus, bilateral simetris tidak bersegmentsegment. Rongga badan sudah ada, tetapi belum merupakan rongga yang sebenarnya
atau celom, yang dibatasi oleh mesoderm, sehingga disebut pseudocela. Tructus
digestivus sudah lengkap dan terdiri atas: mulut, esophagus, intestinium dan anus.
Sudah terpisahnya sistem digestorium dari sistem cardiovascular. Pada sistem
cardiovascular Nemathelmintes sudah lebih berkembang daripada sistem nervosum
phylum Plathyhelmintes, dan terdiri atas ganglion cerebrale (2 kelompok sel-sel saraf
dengan commisura) dan berkas saraf longitudinal (truncus nervosus) ada 2-3 buah.
Kebanyakan bersifat gonochoristis. Terdiri atas 2 (dua) kelas yaitu kelas Nematoda
dan Nematomorpha.
Terdapat 2 tipe umum bentuk badan dari Nematoda yaitu fusiform dan filiform.
Fusiform ialah berbentuk bulat panjang, bagian tengahnya merupakan bagian yang
terlebar dan runcing ke arah ujung-ujungnya; ujung posterior umumnya lebih pipih
dan lebih runcing daripada ujung anteriornya dan pada Rhabditis filiformis tubuh
sangat langsing. Tipe filiform adalah berbentuk seperti benang dan berdiameter
penampang melintang pada seluruh bagian tubuh adalah sama tidak memipih ke arah
ujung-ujungnya. Nematoda tipe filiform lebih sedikit daripada fusiform terutama
meliputi anggota-anggota Mermithidae, Filariodea dan genus Capillaria.
22
a.
Nematoda
Kelas Nematoda memiliki ciri-ciri umum yaitu kutikula polos dan bercincin,
kebanyakan memiliki bulu kaku dan tidak bercilia. Kutikula merupakan modifikasi
epidermis ke arah superficial. Di bawah epidermis terdapat lapisan otot yang hanya
terdiri atas serabut-serabut longitudinal. Lumen pharynx dalam penampang
melintangnya
berbentuk
triradial,
organa
excrotaria
tidak
tersusun
atas
protonephridia, tetapi terdiri atas 1 atau dua sel glanduler atau canalis excretorius.
Kebanyakan bersifat gonochoristis. Gonad tunggal atau sepasang berbentuk tubuler,
saluran kelamin jantan bermuara pada intestinium, sedang saluran kelamin betina
mempunyai lubang muara keluar sendiri. Nematoda kurang lebih meliputi 80.000
spesies dan 560 genera yang sudah di kenal, yang 364 genera bersifat parasit.
Klasifikasi menurut Radiopoetro (1986) kelas nematode di bagi menjadi ordo (tabel
2.1). ordo-ordo tersebut sebagian besar parasit pada Primata dan binatang peliharaan
dan pada tumbuhan yang dapat menyebabkan penyakit dan kematian. Kebanyakan
dari ordo Trichinellida dan Diotophymatida hidup bebas di dalam tanah dan air, baik
air tawar maupun air laut, dan sedikit parasit pada invertebrata, vertebrata dan
tumbuhan.
23
Klasifikasi secara keseluruhan dari kelas nematoda sampai tingkat famili adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi nematoda sampai tingkat famili
Ordo
Subordo
Superfamilia
Ascarida
Ascaridina
Rhabditida
Rhabditoidea
Strongylida
Strongylina
Trichostrongylina
Metastrongylina
Oxyurina
Spirurina
Spirurida
Camallanina
Filariina
Trichinellida
Trichinellina
Diotophymatida
Disctophymatina
Ascaridoidea
Familia
Ascaridae
Toxocaridae
Rhabditidea
Rhabditidae
Rhabdasoidea
Strongyloididae
Strongyloidea
Strongylidae
Sungamoidea
Syngamidea
Anclystomatoidea
Anclystomatidae
Uncinariidae
Trichostrongyloidea Trichostrongylidae
Heligmosomatoidea Heligmosomatidae
Metastrongyloidea
Metastrongylidae
Protstrongylidea
Protstrongylidae
Oxyuridea
Oxyuridae
Syphaciodea
Syphaciodae
Spiruridea
Spiruridae
Thelezioidea
Thelezioidae
Gnatostomatidea
Gnatostomatidae
Physolopteroidea
Physolopteroidae
Camallanoidea
Camallanoidae
Dracunculoidea
Dracunculoidae
Filarioidea
Diplotriaenidae
Onchocercidae
Onchocercoidea
Dirofilariidae
Dipetalonematidae
Trichenilloidea
Trichenilloidae
Trichuridae
Disctophymatoidea Disctophymatoidaae
24
Beberapa cacing dari kelas Nematoda yang menginfeksi usus antara lain: Ascaris
lumbricoides, Strongyloides stercoralis, Trichuris triciura, Oesophagustomum sp.,
Trichostrongylus sp.
1) Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)
a)
Morfologi.
Cacing dewasa berbentuk silindris yang mengecil pada kedua ujungnya,
berwarna putih susu sampai coklat muda. Cacing ini panjangnya 12-31 cm dan
lebarnya 3-6 mm. Cacing jantan lebih kecil, panjangnya 12-31 cm dan lebarnya 2-4
mm, dan mempunyai ekor yang membengkok. Kepalanya mempunyai 3 bibir pada
ujung anterior dan mempunyai gigi kecil. Bibirnya dapat di tutup dan di panjangkan
untuk memasukkan makanan. Telur yang di buahi berbentuk ovoid dan berukuran 6070 X 30-50 µ. Bila baru di keluarkan tidak infektif dan berisi sel tunggal. Membran
ini berisi vitelin yang tipis. Di sekitar membran ini terdapat kulit bening dan tebal
yang di kelilingi oleh lapisan albuminoid yang tidak teratur dan menghasilkan telur
tanpa kulit (decorticated). Di dalam usus telur berwarna kecoklatan dari pigmen
empedu. Telur yang tidak di buahi berukuran 88-94 X 40-44µ dengan lapisan
albuminoid yang kurang sempurna dan isinya tidak teratur.
b) Siklus hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10 30 cm, sedangkan betina 22 – 35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari
telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur
25
yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.
Bentuk infektif ini bila tertelan hospes, akan menetas menjadi larva di usus halus,
larva tersebut menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan
dialirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding
pembuluh darah, lalu melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian
naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring,
sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam
esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut
memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa
(Gandahusada, 1998).
c)
Patofisiologi
Disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut
sindroma Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak
dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius,
bila cacing mengumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus
obstructive) (Effendy, 1997).
d) Gejala Klinik dan Diagnosis
Gejala penyakit Cacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan
penyakit-penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofelia.
26
Orang (anak) yang menderita Cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, konsentrasi
belajar kurang.
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis perutnya nampak buncit (karena
jumlah cacing dan kembung perut); biasanya matanya pucat dan kotor seperti sakit
mata (rembes), dan seperti batuk pilek. Perut sering sakit, diare, nafsu makan kurang.
Karena orang (anak) masih dapat berjalan dan sekolah atau bekerja, sering kali tidak
dianggap sakit, sehingga terjadi salah diagnosis dan salah pengobatan. Padahal secara
ekonomis sudah menunjukkan kerugian yaitu menurunkan produktifitas kerja dan
mengurangi kemampuan belajar.
Karena gejala klinik yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk
membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam
tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan
beratnya infeksi (dengan cara menghitung telur).
e)
Epidemiologi
Telur cacing gelang keluar bersama tinja pada tempat yang lembab dan tidak
terkena sinar matahari, telur tersebut tumbuh menjadi infektif. Infeksi cacing gelang
terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman
dan dapat pula melalui tangan yang kotor (tercemar tanah dengan telur cacing).
f)
Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat
Piperasin, Pyrantel pamoate, Albendazole atau Mebendazole.
27
2) Strongyloides stercoralis (Cacing benang)
a)
Morfologi dan Siklus Hidup
Cacing ini di sebut cacing benang. Cacing dewasa dapat bersifat parasit maupun
bebas. Bentuk parasit panjangnya 2-9 mm dan langsing. Cacing strongyloides
mempunyai esophagus yang sangat panjang dan berbentuk hampir silindris. Siklus
hidupnya berbeda dengan siklus hidup Nematoda parasit yang lainnya, karena cacing
ini mempunyai fase hidup parasitic dan fase hidup bebas dan terdapat dua
kemungkinan jalur yang di lalui pada fase bebas. Cacing betina parasit menghasilkan
telur yang berembrio atau larva yang keluar bersama tinja. Larva stadium pertama
rabditiform dan makan mikroorganisme dalam tinja kemudian kemudian menjadi
larva stadium kedua, setelah menjadi larva stadium ketiga genus Strongyloides sp.
Bias menjadi dua type. Beberapa larva dari stadium ketiga mempunyai esophagus
filiform (silindris). Mereka menginfeksi infeksi vertebrata dengan menembus kulit,
atau tertelan. Apabila masuk kulit kemudiam akan masuk ke kapiler darah dan di
bawa oleh darah
masuk ke paru-paru dan merusak dinding kapiler dan akan
berimigrasi ke trakea dan turun ke esophagus menuju usus halus, dan menjadi larva
stadium empat dan menjadi dewasa. Apabila tertelan larva berkembang dalam usus
halus tanpa berimigrasi. Ini di sebut siklus hidup type homogonik. Beberapa larva
stadium ke tiga mempunyai esofaghus rabditiform yang masuk ke usus melalui siklus
heterogonik. Cacing ini makan dan menjadi cacing jantan dan betina kemudian
menjadi dewasa secara bebas.
28
b) Patologi
Pengaruh patologi dari cacing ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu: fase invasi;
pulmonaris dan intestinal. Penetrasi melalui kulit dengan larva invasif dapat
mengakibatkan perdarahan kecil dan pembengkakan sehingga menimbulkan rasa
gatal pada lokasi masuknya cacing. Luka tersebut dapat menyebabkan infeksi
sekundar oleh bakteri patogen yang dapat menyebabkan inflamasi.
Selama migrasi dari cacing muda menuju paru dapat menyebabkan kerusakan
jaringan paru sehingga menimbulkan reaksi sel paru dan dapat sedikit memperlambat
migrasi cacing tersebut. Hal ini dapat menyebabkan cacing dapat bertahan di paru dan
bahkan dapat beradaptasi dan kemudian berproduksi seperti di dalam intestinum,
karena cacing dapat menyesuaikan diri pada kondisi dalam paru. Hal demikian dapat
menimbulkan rasa panas didaerah dada dan terjadi batuk kering (tanpa dahak) juga
menyebabkan broncho-pneumonia. Gejala tersebut dapat dikelirukan dengan gejala
penyakit TBC.
Setelah tertelan, cacing betina muda masuk kedalam kripta mukosa intestinum
dan cepat menjadi dewasa dan menembus jaringan sampai sub-mukosa atau sampai
kedalam muskularis mukosa. Cacing bermigrasi kemukosa dan mengeluarkan telur
tiap hari, pada saat ini akan timbul rasa sakit dan panas pada perut. Kerusakan
jaringan oleh cacing dewasa dan larva menimbulkan pengelupasan mukosa dan pada
kondisi kronis dapat diganti oleh jaringan ikat kadang menimbulkan nekrotik jaringan
yang diikuti oleh ilserasi dari intestinum.
29
c)
Diagnosis
Dengan cara fecal smear secara langsung biasanya segera dapat terdeteksi pada
kasus infeksi yang berat. Pada kasus terjadinya diare, telur dapat dilihat dalam feses
dan bentuknya mirip dengan telur cacing kait (hook worm) tetapi lebih bulat.
d) Pengobatan
Yang paling efektif adalah dengan Thiabendazole.
3) Trichuris triciura (Cacing cambuk)
a)
Morfologi
Cacing dewasa jantan panjangnya 30-45 mm dan yang betina 35-50 mm. Parasit
ini di kenal sebagai cacing cambuk, karena 3/5 bagian anteriornya memanjang dan
halus, dan 2/5 bagian posterior berotot dan mengembung. Satu sifat cacing golongan
ini adalah esofagus yang halus yang di kelilingi sel kelenjar yang di sebut stikosit.
Cacing dewasa biasanya bersarang di sekum dan mengeluarkan telur berbentuk
tempayan, berwarna kecoklatan dan panjangnya 22-50 µ, telur pada ujungnya
memiliki sumbat dan tidak infektif bila baru di keluarkan. Di dalam tanah telur
menjadi telur menjadi infektif dalam waktu 3 minggu
b) Siklus Hidup
Primata merupakan hospes cacing ini. Cacing betina panjangnya sekitar 5 cm dan
yang jantan sekitar 4 cm. Cacing dewasa hidup di kolon asendens dengan bagian
anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Satu ekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur sehari sekitar 3.000 – 5.000 butir. Telur yang dibuahi dikelurkan
30
dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang (berisi larva dan infektif) dalam
waktu 3 – 6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung
terjadi bila telur yang matang tertelan oleh hospes, kemudian larva akan keluar dari
telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus
bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai
tertelan sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30 – 90 hari.
c)
Patofisiologi
Cacing cambuk pada hospes terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan di
dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar
diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini
memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang
menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Disamping itu cacing ini menghisap darah hospesnya
sehingga dapat menyebabkan anemia.
d) Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi cacing cambuk yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang
jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi cacing cambuk yang berat dan
menahun terutama pada hospes menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia,
berat badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi cacing
cambuk yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja.
31
e)
Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini adalah terkontaminasinya tanah dengan tinja yang
mengandung telur cacing cambuk. Telur tumbuh dalam tanah liat, lembab dan tanah
dengan suhu optimal + 30oC. Infeksi cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif
masuk melalui mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar atau melalui
tangan yang kotor.
f)
Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh cacing cambuk
adalah Albendazole/ Mebendazole dan Oksantel pamoate.
4) Oesophagustomum sp. (Cacing Benjol)
a)
Morfologi
Cacing Oesophagustomum biasa di sebut sebagai cacing benjol karena cacing ini
menyebabkan benjol di bagian usus. Cacing jantan mempunyai panjang 12-16 mm
dan cacing betina 14-18 mm dengan telur 74-88 X 45-54 µ telur tersebut memiliki
ciri-ciri elips, blastomer yang memenuhi telur dengan cangkang yang terdiri dari satu
lapis.
b) Siklus hidup
Telur yang keluar bersama tinja akan menetas dalam waktu 20 jam, larva infektif
dicapai dalam waktu 5-6 hari. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang
tertelan oleh hospes. Larva infektif yang tertelan itu ekdisis dalam usus kecil,
terutama ileum dan masuk dalam mucosa usus kecil atau sekum serta tinggal didalam
32
mukosa selama 10 hari membentuk nodul. Selama itu larva tumbuh menjadi larva ke
empat. Larva kembali kedalam lumen usus dan menjadi dewasa serta tinggal dalam
kolon. Telur ditemukan dalam tinja sapi 37-41 hari sesudah infeksi.
c)
Patologi
Larva yang tertelan masuk dalam mucosa sampai submukosa ileum dan sekum
membentuk nodul dengan garis tengah 1.0 mm. Sepuluh hari sesudah infeksi nodul
tersebut besarnya menjjadi dua kali lipat. Beberapa nodul pecah dan berdarah, yang
menunjukan bahwa larva kembali ke lumen usus menjadi dewasa. Sebagian dari
nodul berisi nanah. Usus tidak dapat dijadikan kulit sosis Secara histologis
menghasilkan abses kecil yang berisi leukosit. Dua puluh hari sesudah infeksi usus
mengalami peradangan dan oedema. Infeksi yang beruntun menimbulkan perdarahan
serta radang usus yang hebat dan nodulnya dapat mencapai garis tengah 4-5 mm.
Nodulnya didominasi oleh sel eosinofil, sel raksasa, kapsul epiteloid dan fibroblas.
Kerusakan terutama disebabkan oleh larva, sedang cacing dewasa yang tinggal
dalam lumen kolon atau sekum diduga kurang patogen. Tetapi 1000 cacing dewasa
mulai menimbulkan gejala klinis pada anak sapi. Pada hewan muda biasanya
ditemukan sedikit nodul dan banyak cacing dewasa, sebaliknya pada hewan tua
ditemukan banyak nodul dan sdikit cacing dewasa yang menunjukan adanya
kekebalan.
33
d) Gejala Klinis
Enteritis, mencret berdarah, suhu badan naik 4-10 hari sesudah infeksi (20.000250.000 larva), diikuti dengan anoreksia, anemia, kurus dan prostasi. Infeksi berat
dapat menyebabkan kematian.
e)
Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis saja tidak cukup, harus dikuatkan dengan pemeriksaan
tinja dan identifikasi larva.
f)
Pengobatan
Kelompok benzimidazole sebagai anthelmentika yang berspektrum luas.
Mekanisme kerjanya adalah mengganggu metabolisme energi
dengan menjadi
inhibitor fumarat reduktase. Ketidaktersediaan energi menyebabkan cacing mati.
Golongan benzimidazol sebaiknya tidak digunakan saat masa kebuntingan awal.
5) Trichostrongylus sp.
a)
Morfologi
Cacing dewasa kecil, panjangnya 5-10 mm. tidak mempunyai rongga mulut
tetapi punya bursa yang kokoh. Telurnya seperti telur Oesophagustomum sp. tapi
lebih kecil dan panjang dan biasanya di keluarkan bersama tinja dalam bentuk
morula.
b) Siklus hidup
Siklus hidup untuk semua genus sama telur yang terdapat pada tinja dan biasanya
menetas di tanah. Larva stadium pertama hidup dari mikroorganisme di dalam tinja,
34
menyilih menjadi larva stasium kedua, dan kemudian menjadi larva stadium ketiga
berpindah menuju ke tumbuhan dan tertelan oleh hospes. Kemudian di saluran
gastrointestinal cacing tersebut melepaskan selubungnya dan menjadi larva stadium
keempat dan menjadi dewasa, selamanya tinggal di lumen atau hanya sebentar
terdapat pada mukosa. Terdapat 34 jenis pada mamalia dan 2 jenis pada unggas.
c)
Gejala Klinis
Dalam banyak kasus, infeksi tidak menimbulkan gejala. Pada infeksi berat,
mungkin ada gangguan gastrointestinal dan anemia riangan.
d) Diagnosis
Berdasarkan gejala klinis saja tidak cukup, harus dikuatkan dengan pemeriksaan
tinja dan identifikasi larva.
e)
Pengobatan
Pengobatan dengan menggunakan anthelmatik di tambah dengan zat besi dan
asam folat.
3.
Filum Acanthocepala
Cacing ini juga berbentuk gilig dan pada ujung anterior terdapat sebuah
proboscis yang berkait (berduri), sebab itu cacing ini juga di sebut cacing kepala duri.
Semua hidup parasit dalam usus vertebrata, dan menggunakan insekta sebagai inang
sementara. Pada hewan ini terdapat pseudosoelom dan system ekskresi. Hewan ini
diesius dan alat ekskresinya berupa cilia. Sebagai contoh: Macracanthorynchus
(Echinorhyncus).
Download