BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang “Kami tidak bertanya apa gunanya burung-burung itu berkicau, karena kicauan adalah kepuasan mereka dan mereka diciptakan untuk berkicau. Seperti juga kita tidak boleh bertanya mengapa manusia direpotkan oleh pemikiran untuk mendalami rahasia-rahasia langit... keanekaragaman gejala-gejala alam begitu besar, dan harta karun yang tersimpan di langit begitu banyak, pasti agar pikiran manusia tidak kekurangan makanan segar.”-Johannes KeplerKutipan di atas sengaja dipampang di bagian muka sebagai kiasan untuk masuk dalam penyelidikan lebih jauh perihal misteri manusia. Sebagai makhluk yang memiliki rasa penasaran, manusia senantiasa mempertanyakan lingkungannya dan sekaligus mempertanyakan kediriannya. Dahulu, manusia mengawali kegelisahan tentang keberadaannya dengan memandangi kemegahan langit. Dari situ kemudian muncul spekulasi yang beragam tentang bentuk bumi yang mereka tinggali. Konon, awalnya manusia percaya bahwa bumi berbentuk datar dengan tiang pancang berdiri kokoh di tiap tepinya. Adapun ujung bumi digambarkan berbentuk jurang yang teramat dalam. Meski begitu, pergerakan matahari yang menyebabkan terjadinya siang dan malam, juga tidak luput dari perhatian manusia. Berdasarkan pengamatan tersebut manusia lalu berpikir bahwa bumi yang mereka tempati bergerak. Lalu manusia mulai hidup menetap, menemukan pola pertanian dan secara perlahan peradaban 1 2 muncul seiring timbulnya kesadaran akan dunianya. Perjalanan hidup manusia adalah bagian nyata dari kosmos. Sedari lahir, manusia sudah terikat dengan lingkungannya dan tumbuh berkembang seiring proses kebudayaan. Secara alamiah dan konsisten, manusia selalu mengalami dialektika dengan realitas diluar dirinya. Menurut Van Peursen, hidup manusia sendiri berlangsung ditengah-tengah arus proses-proses kehidupan (imanensi), tetapi manusia juga selalu bisa muncul dari arus alam raya tersebut untuk menilai dan mengubah alamnya sendiri (transendensi). Hal tersebut menjadikan kebudayaan sebagai ketegangan imanensi dan transendensi dapat dipandang sebagai ciri khas kehidupan manusia (Peursen, 1999: 15). Sebagai salah satu makhluk di dalam kosmos, manusia memiliki kemampuan yang unik karena kesadaran yang melekat padanya. Melalui kesadaran tersebut manusia merasa seolah-olah dialah pusat alam semesta ini, yang menurut anggapannya, merupakan titik untuk melihat panorama spritual dan material kosmis (Toynbee, 2007: 4). Berbekal kesadaran itu pula, manusia belajar mengenali kediriannya sekaligus mempersepsi alam dalam dunianya. Menurut Carl Sagan, manusia mampu mengenal dunia, dan memang selalu begitu. Manusia selalu bisa melakukan perburuhan dan membuat api oleh karena manusia bisa membayangkan sesuatu (imajinasi) (Sagan, 1997: 50). Imajinasi sendiri merupakan daya untuk membentuk gambaran atau konsepkonsep mental yang tidak secara langsung didapatkan dari sensasi (pengindraan). Berbeda dengan fantasi yang tak ubahnya daya khayal dan berkaitan dengan objek 3 yang tidak mungkin ada dalam kenyataan, imajinasi justru daya yang menghasilkan objek yang mungkin (Tedjoworo, 2001: 23). Jean Paul Sartre mengartikan kata imaji merujuk pada hubungan kesadaran dengan objek; imaji merupakan cara dimana objek menampakkan dirinya dalam kesadaran, atau cara di mana kesadaran menghadirkan objek untuk kesadaran itu sendiri (Sartre, 2001: 10). Sebagaimana disinggung diatas, kesadaran-imajinatif, pada titik ini menjadi salah satu tema besar dan persoalan yang menarik untuk diulas dalam kerangka filsafat manusia. Kesadaran-imajinatif tersebut merujuk pada keberadaan manusia sekaligus proses manusia memaknai realitas (dunia). Dari proses tersebut, manusia lantas membangun sebuah bangunan imajinasi kosmologis yang memiliki karakter dan corak masing-masing. Di titik ini, kiranya manusia bisa disebut sebagai makhluk kosmos yang tiada henti berproses memaknai dunia. Sebab dari situ, manusia bisa tampil sebagai ‘kawan’ dan juga ‘musuh’ bagi alam. Lalu dari situ pulalah tugas filsafat manusia muncul guna menggali lebih jauh perihal esensi manusia itu sendiri. Tiga corak pemikiran kosmologi yang berkaitan dengan imajinasi kosmologis dan telah diajarkan dalam mata kuliah kosmologi, sangatlah jarang diulas lebih jauh. Bukan hanya itu, kalaupun dibahas, lebih sering hanyalah berupa paparan-paparan singkat dan kurang ditelisik sisi problematikanya, termasuk mempertanyakan bahwa apakah proses imajinasi tersebut berada pada satu pola hierarkis dalam sejarah peradaban? Atau malah ketiga fase imajinasi kosmologi itu merupakan sebuah keniscayaan atas dilema usaha manusia rasional dalam mempertanyakan keberadaannya? Kalaupun memang demikian, lantas pertanyaan 4 yang muncul ialah, apalagi setelah antroposentrisme? Sama halnya tiga tahap kebudayaan yang digambarkan oleh Van Peursen. Peralihan proses berpikir dari mitis, ontologis menuju fungsional turut pula mengandaikan adanya peralihan dari persoalan ontologis menuju epistemologis, seperti disinggung oleh Donny Gahral Adian dalam Senjakala Metafisika Barat: “Asumsi dasar metafisika bahwa realitas sesungguhnya dappat dipahami di mana penampakan adalah semu atau sekedar jembatan untuk sampai pada pengertian hakiki akhirnya mendapatkan tantangan berat. Ontologi sebagai disiplin yang meneliti objek sebagaimana adanya bergeser pada epistemologi yang lebih menitikberatkan fokus kajian pada subjek yang mengetahui...” (Adian, 2012: 42). Era kuno, yang terkenal dengan Kosmosentrisme, selain telah membuka gerbang lahirnya mitologi tertentu, turut memunculkan personifikasi dewa-dewa atas fenomena-fenomena yang terjadi. Melalui mitologi, manusia dan alam tidak memiliki garis pemisah. Keduanya diandaikan berada dalam suatu totalitas sebagaimana terlihat dalam fungsi mitos, yakni menyadarkan manusia akan adanya kekuatankekuatan gaib di alam. Alhasil, relasi manusia dan alam berada dalam kekuatankekuatan alam yang dimitoskannya sendiri. Kultus kesuburan Mesir dan Babilon misalnya, meyakini bahwa bumi adalah betina dan matahari bersifat jantan. Dari keyakinan tersebut membuat mereka melalukan pemujaan terhadap lembu yang dianggap sebagai perwujudan kesuburan sehingga dewa-dewa lembu banyak dipuja (Russel, 2007: 5). Di Indonesia sendiri juga tidak jauh berbeda, dalam komunitas masyarakat pertanian, Dewi Sri digambarkan sebagai sumber kesuburan. Oleh karena 5 itu, perlu upacara-upacara khusus agar sang dewi mau singgah guna memberi hasil panen yang berlimpah. Lalu muncul Teosenstrisme, yang menyebabkan agama tampil begitu dominan. Agama yang dimaksud disini bukan lagi tampil sebagaimana mitologimitologi kuno. Sebaliknya, agama justru menyingkirkan mitos-mitos tersebut dan menggantinya dengan tafsir yang didasarkan pada kitab suci. Agama pada masa teosentris juga merujuk pada institusionalisasi dan konsepsi monoteis. Akibatnya, personifikasi dewa-dewa yang tidak sejalan dengan semangat tersebut disesatkan. Selain itu, bayangan dunia sepenuhnya berada dalam genggaman agama dan mengubah kerangka imajinatif terhadap kosmos. Pada puncak era ini, Galileo menjadi sosok yang menanggung penyiksaan akibat penolakannya terhadap pandangan yang telah mapan saat itu. Sebab bagi intitusi agama, kosmos diimani sebagai bukti adanya Sang Pencipta. Jawaban atas pertanyaan seputar terbentuk dan perjalanan kosmos mestilah merujuk pada kitab suci, meragukan atau bahkan menentang, berarti membangkang terhadap keimanan itu sendiri. Alhasil, ilmu berada di dalam bayang-bayang agama. Kebuntuan tersebut pada akhirnya melatarbekangi lahirnya peradaban modern melalui wajah Atroposenstrisme. Disatu sisi, munculnya cara pandang kosmologi-filosofis yang bercorak Antroposentris membuat manusia berpikir bebas dan lepas dari kungkungan mitologi ataupun intitusi agama. Antroposentrisme sekaligus juga menandai kelahiran modernitas yang mengusung semangat subjektivitas. Melalui semangat tersebut, manusia memulai penaklukan atas alam. Namun disisi lain, kemajuan dalam bidang 6 ilmu yang dibawanya, justru menggiring peradabadan manusia pada berbagai patologi. Krisis lingkungan, dehumanisasi, krisis spiritual misalnya, merupakan oleholeh yang tidak dapat terhindarkan dari imajinasi antroposenstris. Selanjutnya, kemunculan renaissance turut pula memunculkan kecenderungan Logosentrisme. Derrida mengkritik logosentrisme karena membuat tradisi filsafat barat menekankan peran utama bahasa percakapan di dalam penyingkapan makna “Ada”. Berangkat dari pemaparan tersebut, penulis berupaya menggali kembali kerangka imajinasi manusia sebagai makhluk kosmos dan proses peralihan dari keempat imajinasi kosmologis tersebut. Sebab, bagi penulis, penelusuran terhadap persoalan tersebut merupakan poin mendasar sebelum pengandaian-pengandaian etis relasi manusia dengan alam. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah disebutkan diatas, rumusan pertanyaan yang muncul kemudian ialah: 1. Apa yang dimaksud dengan imajinasi kosmologis? 2. Apa pengaruh imajinasi kosmologis tersebut bagi relasi manusia dan alam? 7 C. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran penulis, beberapa judul penelitian yang berhubungan dengan tema persoalan kesadaran kosmologi, imajinasi, sekaligus relasi manusia dan alam diantaranya ialah: - Relevansi Kesadaran Kosmis Masyarakat Jawa bagi Pengembangan Lingkungan Hidup, Lilik Jangkung Yono, 1994, Skripsi Fakulstas Filsafat. - Kosmos dalam Perspektif Sains dan Religi: Sebuah Pencarian Paradigma Pemahaman Baru terhadap Alam Semesta, Nana Ahmad Hanafi, 1998, Skripsi Fakultas Filsafat. - Konsep ‘Imajinasi’ Sebagai dasar Kejahatan Menurut Analisis Filsafat Timur (Tinjauan Filsafat Manusia), Zul Tery Absari, 1998, Skripsi Fakultas Filsafat. - Kosmologi Bertrand Russel: Telaah Kritis atas Tempat di Alam Semesta, Murni Wijiningsih, 2003, Skripsi Fakultas Filsafat. - Hakekat Alam: Refleksi Kritis atas Naturalisme, Zainuddin, 2005, Skripsi Fakultas Filsafat. - Antroposentrisme Lingkungan dalam Perspektif Konsepsi Jatidiri Manusia Alfred North Whitehead, Martholomeus Suryadi, 2011, Skripsi Fakultas Filsafat. - Kesatuan Manusia dan Alam Menurut Iqbal, Wardi, 2006, Skripsi Fakultas Filsafat. - Eksistensi Manusia dalam Aliran Deep Ecology Movement, Irfan Ardani, 2007, Skripsi Fakultas Filsafat. 8 - Kosmologi Frijtof Capra Terhadap Relasi Manusia dan Alam dalam Masalah Pemanasan Global, Datu Hendrawan, 2010, Skripsi Fakultas Filsafat. - Kearifan Ekologis Merapi: Studi atas Pandangan Mbah Maridjan tentang Hubungan Manusia dan Alam, Syamsul Ma’arif Mujiarto, 2009, Laporan Penelitian Kearifan Lokal Fakultas Filsafat. - Kosmologi Pranoto Mongso: Relevansinya terhadap Kelestarian Alam, Agus Sutono, 2010, Tesis Fakultas Filsafat. Berdasarkan judul-judul penelitian diatas, penulis belum menemukan persoalan yang sama persis dengan penelitian yang hendak dikaji ini. Sehingga keaslian penelitian tentang “Imajinasi Kosmologis Dalam Perspektif Filsafat Manusia” dengan bidang ilmu Filsafat Manusia ini dapat dipertanggungjawabkan. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi: 1. Peneliti pribadi Sebagai uji kompetensi pemahaman filosofis terhadap permasalahan yang diulas dalam penulisan tema ini. Penelitian ini juga menjadi wahana aktualisasi proses berfilsafat dalam diri penulis. Selain itu, penelitian ini turut menjadi prasyarat guna memperoleh gelar sarjana. 2. Bagi perkembangan ilmu filsafat Menambah khasanah keilmuan bidang filsafat, khususnya kajian atas pandangan filosofis tertentu yang terdapat dalam suatu masyarakat dalam 9 memaknai alam. Penelitian ini juga diharapkan sebagai sesuatu yang tidak begitu saja dianggap selesai, agar terbentuk iklim keilmuan yang dialektis bagi pemikiran filsafat itu sendiri. 3. Kehidupan berbangsa dan bernegara Ketika membahas bangsa dan negara, berarti harus menyebut masyarakat secara umum dan khusus. Bagi masyarakat dalam arti khusus, penelitian diharapkan mampu memberi pegangan dan kekuatan pada suku, komunitas, kelompok, ataupun organisasi yang selama ini bergelut dalam visi ‘menjaga’ alam. Bagai masyarakat dalam arti umum, penelitian ini diharapkan mampu menjadi refleksi atas cara pandang relasi manusia dan alam guna terbentuk kehidupan yang harmonis. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengulas persoalan yang dirumuskan dalam rumusan masalah: 1. Mendeskripsikan apa yang yang dimaksud dengan imajinasi kosmologis serta berupaya untuk menyebutkan karakteristik tiap imajinasi tersebut. 2. Menggambarkan pengaruh pada relasi manusia dan alam yang muncul dari tiap imajinasi kosmologis yang dibangun oleh manusia. F. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini akan dipaparkan beberapa literatur yang mengemukakan tentang bagaimana manusia menggambarkan sekaligus relasi dengan 10 alam. Penulis menganggap bahwa secara tidak langsung, beberapa kajian tersebut mencoba untuk mengulas suatu konsep imajinasi yang juga berkaitan dengan imajinasi kosmologis. Bedanya, ulasan-ulasan tersebut secara langsung menelaah pemikiran yang sudah matang tanpa membedah aspek mental yang memungkinkan manusia untuk membangun imajinasi kosmologis. Menurut Bertens, setidaknya terdapat dua kutub pemikiran dalam memahami dunia; pertama adalah pendirian objektivistis. Dunia dalam hal ini, meliputi segala sesuatu yang ada. Dunia adalah omnitudo rilitatis, keseluruhan hal-hal yang riil. Manusia sendiri juga termasuk dalam dunia. Kedua berdasarkan subjektivistis yang berkebalikan dengan pandangan sebelumnya. Dunia dipahami sebagai sesuatu yang terdapat pada subjek. Mereka meyakini bahwa dunia tidak mempunyai realitas diluar subjek (Bertens, 2005:91). Ketika mengkaji hakikat alam semesta, salah satu pandangan yang tidak dapat dikesampingkan adalah naturalisme. Sebagaimana ditulis oleh Zainuddin dalam “Hakikat Alam Semesta: Refleksi Kritis Terhadap Naturalisme”, menyebutkan bahwa naturalisme sebagai suatu faham merupakan musuh yang nyata bagi kaum beragama. Naturalisme berangkat dari paradigma pemikiran yang menyatakan bahwa ‘natura’ (alam) sebagai hakikat segala realitas. Naturalisme juga menganggap bahwa apa yang spesifik manusiawi sebagai suatu perluasan dari tata biologis menurut prinsip alam (Zainuddin, 2004: 7). Berangkat dari pemahaman tersebut, naturalisme selalu mengandalkan metode-metode ilmiah, memberi peran yang penting bagi manusia, serta berbagai 11 tendensi-tendensi lain yang mengarah pada sikap rasional dan empiris. Naturalisme juga meyakini bahwa tidak ada realitas lain di luar alam materi. Manusia sendiri merupakan makhluk berkemampuan lebih (melalui akalnya), guna secara penuh dan utuh memahami realitas alam (Zainuddin, 2004: 174). Pandangan yang berkebalikan digambarkan Wardi dalam Kesatuan Manusia dan Alam Menurut Muhammad Iqbal. Manusia menurut Muhammad Iqbal adalah inti kehidupan, karena Tuhan menciptakan alam semesta dalam rangka mendukung eksistensi manusia (Wardi, 2006: 39). Makna penciptaan manusia bukan semata-mata peristiwa atau episode dalam evolusi raksasa, bukan pula pada titik di dalam realitas kosmis yang sangat besar. Manusia merupakan tokoh utama dari drama penciptaan semesta. Manusia merupakan kisah utama atau kitab utama, sedangkan alam semesta hanyalah kitab pengantar. Manusia adalah buah terbaik dari pohon eksistensi dan mahkota kemuliaan dari pencipta ilahi (Wardi, 2006: 39). Alam merupakan salah satu objek telaah dalam ilmu. Hal tersebut turut melahirkan berbagai ilmu yang terkait dengan penyelidikan mengenai alam, seperti ilmu alam (Wardi, 2006: 52). Memahami alam tidak bisa dilepaskan dari persepsi dan pengertian yang telah dipupuk sepanjang hidup. Persepsi dan pengertian itu merupakan hasil dari pembentukan pengalaman sehari-hari. Menurut Iqbal, pengalaman yang berlangsung dalam waktu memiliki tiga tingkatan: tingkat materi, tingkat hidup, serta tingkat pikiran dan kesadaran. Jadi, untuk bisa memahami struktur dasar realitas alam; berarti mengintegralkan tingkat-tingkat pengalaman tersebut (Wardi, 2006:53). 12 Meski demikian, Iqbal menggarisbawahi pengertian alam bukan hanya semata-mata dalam arti materialnya saja, seperti penjabaran kaum materialis. Sebab pandangan alam sebagai kumpulan material yang tersusun dari atom-atom yang menempati sebuah ruang, membuat pandangan dunia menjadi mati dan tidak berkembang (Wardi, 2006: 54). Selanjutnya, melalui instuisi langsung, kodrat alam dan manusia ternyata bukanlah sebongkah benda yang berada ditengah ruang kosong, melainkan sebuah tindakan atau kehendak kratif. Alam bukanlah benda atau mesin, tetapi sebuah intelegensi organis dengan proses pergerakannya mempunyai arah dan tujuan yang dipimpin oleh ‘Amir’ (Wardi, 2006: 60). Sedangkan penelitian Datu Hendrawan tentang Tinjauan Kosmologi Frijtof Capra Terhadap Relasi Manusia dan Alam dalam Masalah Pemansan Global, menyebutkan bahwa alam dipandang mekanistik sesuai dengan fisika klasik dalam mendeskripsikan fenomena fisis. Pandangan tersebut dinilai berhasil sebagai landasan lahirnya teknologi. Namun pandangan ini tidak lagi memadai guna menjabarkan fenomena fisis dalam dunia submikroskopik (Hendrawan, 2010: 48). Akibat dari pandangan mekanistis tersebut, salah satunya adalah pemanasan global, karena manusia menganalogikan alam sebagai mesin yang bebas diekploitasi (Hendrawan, 2010: 113). Sejalan dengan itu, Martholomeus Suryadi menyebutkan bahwa Antroposentrisme merupakan pengandaian dasar filosofis tentang manusia yang naif, mereduksi nilai hanya pada realitas manusia dan kemanusiaan. Dalam wilayah praksis terbukti dapat menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kehidupan 13 manusia dan juga lingkungan (Suryadi, 2011: 102). Dunia merupakan multisiplinitas benda-benda riil yang benar, dalam istilah Whitehead disebut sebagai entitas aktual, sekaligus sebagai unsur terkahir yang membentuk kenyataan. Alam semesta merupakan keterjalinan atau jaringan entitas-entitas aktual tersebut (Suryadi, 2011: 32). Manusia merupakan hasil dari konkresi entitas-entitas aktual yang berada di alam semesta. Entitas aktual ini, secara ontologis dapat disamakan dengan substansi atau unsur yang ada di alam semesta, sehingga dari kesatuan konkresi tersebut menunjukkan kebernilaian manusia (Suryadi, 2011: 93). Beranjak dari aspek teoritis diatas lantas diperlukan sebuah pandangan etis yang baru terhadap alam dan salah satu alternatifnya adalah, Deep Ecology. Sebagaimana ditulis oleh Irfan Ardani dalam “Eksistensi Manusia dalam Aliran Deep Ecology Movement”, disitu disebutkan bahwa realisasi manusia sebagai sebuah pemenuhan dan perwujudan semua kemampuan manusia sebagai makhluk ekologis. Manusia hanya akan menjadi manusia ketika ia sadar bahwa dirinya merupakan bagian dari alam. Manusia sadar bahwa dirinya berada dalam suatu kesatuan asasi dan berinteraksi dengan berbagai komponen alam lainnya (Ardani, 2007: 62). Sementara itu, Samsul Ma’arif dalam penelitiannya Kearifan Ekologis Merapi: Studi atas Pandangan Mbah Maridjan tentang Hubungan Manusia dan Alam, menjabarkan sebuah keyakinan bahwa alam dan manusia mempunyai relasi yang harmonis, seperti dinyatakan dalam ungkapan Jawa; “manunggaling jagad cilik lan gedhe”. Jagad cilik (kecil) adalah manusia, sedangkan jagad gedhe (besar) ialah alam raya. Hal ini berarti bahwa manusia dan alam harus bisa ‘manunggal’ dalam 14 pengertian yang sebenarnya. Yakni, sebuah penyatuan organis yang tidak terpisahkan satu sama lain (Ma’arif, 2009: 35). Sama halnya dijelaskan oleh Lilik J Yuono dalam skripsinya yang menyebutkan bahwa alam atau makrokosmos dihayati oleh masyarakat Jawa sebagai kesatuan totalitas yang utuh dan terkandung pada manusia sebagai mikrokosmos. Alam juga dipandang sebagai sesuatu yang teratur dan tertib dalam keselarasan universal. Tugas manusia adalah menjaga keselarasan tersebut, sebagaimana masyarakat jawa yang memiliki ritus-ritus simbolik yang berkaitan dengan hal tersebut (Yuono, 1994: 90). G. Landasan Teori Filsafat manusia, seperti halnya dengan ilmu-ilmu tentang manusia, juga mengasumsikan adanya suatu watak-sifat manusia, suatu kumpulan corak-corak yang khas, serangkaian bentuk dinamis yang khas, yang mutlak terdapat pada manusia (Leahy, 1984 : 5). Adapun yang membedakan filsafat manusia dengan ilmu-ilmu lainnya ialah pada objek formalnya yakni inti manusia, alam kodratnya, dan struktul fundamentalnya (Leahy, 1984 : 10). Selain itu, terdapat dua ciri yang membedakan dalam filsafat manusia, yakni ekstensif dan intensif. Ciri ekstensif dapat ditinjau dari luas jangkauan atau menyeluruhnya objek kajian yang digeluti oleh filsafat. Pada titik ini, filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau sinopsis tentang realitas manusia. Selanjutnya berdasarkan ciri intensifnya, filsafat manusia berusaha mencari inti, esensi, ataupun struktur dasar yang melandasi kenyataan manusia, baik yang 15 tampak pada gejala sehari-hari (prailmiah) maupun yang terdapat dalam data-data dan teori-teori ilmiah (Abidin, 2006: 10-11). Dalam prakata Kosmologi & Ekologi; “Filsafat Tentang Kosmos dan Rumah Tangga Manusia”, Anton Bakker menyebutkan bahwa Kosmologi merupakan perpanjangan dan perluasan filsafat manusia. Hal tersebut dilandasi oleh keyakinan bahwa manusia dengan sendirinya tidak dapat terlepas dari dunianya. Kosmologi sendiri merujuk pada makna etimologi yang berarti pengetahuan tentang alam ataupun dunia. Maksudnya ialah dunia dalam pengertian apa yang dihayati dan dialami manusia sebagai lingkungan, terutama hubungan langsung dengan diriya sendiri. Alam (dunia) saat ini kerap dianggap hanya membicarakan benda material yang mati atau fenomena fisio-kimia (Bakker, 1995: 28). Tradisi filsafat bahkan dimulai dari penyelidikan pada manusia (human faculties) sebagai subjek pengetahuan. Merujuk pada fakta tersebut, filsafat transendental Immanuel Kant sama halnya sebagai sebuah filsafat manusia (Adian, 2012 : 5). Diibandingkan dengan ilmu-ilmu yang mengkaji tentang manusia (human studies), filsafat manusia memilih untuk tidak membatasi diri pada kajian-kajian yang empiris. Aspek-aspek yang bersifat dimensional atau nilai-nilai yang metafisis, spiritual, dan universal merupakan bagian yang selalu diperbincangkan dalam filsafat manusia (Abidin, 2006:4). Saking luasnya lapangan penyelidikan filsafat manusia, bahkan dapat menjangkau kajian kosmologi, terutama pada setiap struktur metafisik dalam substansi-substansi duniawi yang pertama-tama direalisasikan manusia dengan cara 16 jelas dan sadar. Dari situ kemudian, kosmologi sendiri juga menjadikan manusia sebagai protipe dan titik pangkal penelitian sejauh dia secara sadar berkorelasi dengan masyarakat dan dunianya (Bakker, 1995:29). Aristoteles mengajukan satu tahap yang harus dilalui sebelum manusia mengetahui, yaitu tahap pembentukan imaji. Pembentukan imaji lebih aktif dari persepsi yang hanya menerima bentuk-bentuk inderawi. Pembentukan imaji bekerja dengan membuat suatu gambaran mental di benak manusia dari bentuk-bentuk yang disediakan oleh persepsi-persepsi inderawi (Adian, 2012 : 36). Jauh sebelum peradaban modern, manusia memaknai keberadaannya secara beragam. Salah satu respon manusia terhadap tantangan misteri fenomena yang ditanggapinya dengan fakultas kesadarannya yang unik ialah agama (Toynbee, 2007: 6). Manusia menyembah dewa-dewa setelah menyadari diri mereka sebagai manusia: mereka menciptakan agama-agama sama persis ketika mereka menciptakan karya seni (Armstrong, 2012: 20). Agama yang dimaksud tentu berkaitan dengan kepercayaan dan mitologi-mitologi yang terbentuk dalam suatu masyarakat dalam kaitannya mencoba mengenali lingkungannya. Mircea Eliade sendiri mengartikan mitos sebagai suatu kesadaran akan situasi tertentu di dalam kosmos (Eliade, 2002). Mitos penciptaan misalnya, merupakan suatu pengisahan harfiah yang mustahil, karena tidak ada orang yang hadir pada saat peristiwa-peristiwa yang tidak terbayangkan itu terjadi (Armstrong, 2012: 33). Ketika belum mampu untuk menciptakan teknologi canggih, manusia memaknai kejadian-kejadian disekitarnya melalui mistisifikasi dan 17 mengungkapkannya melalui mitologi. Lazimnya dipahami, mitos dan simbol merupakan satu-satunya cara yang sesuai guna menjelaskan peristiwa-peristiwa kosmologi (Armstrong, 2012: 33). Selanjutnya, mitologi-mitologi tersebut menjiwai suatu kebudayaan diwariskan pada generasi berikutnya. Filsuf kenamaan, Immanuel Kant bahkan menyebutkan bahwa ciri khas kebudayaan terdapat dalam kemampuan manusia untuk mengajar dirinya sendiri. Sebagaimana konsep ontologi ‘primitif’ yang sama; objek, artefak atau tindakan yang menjadi real hanya sejauh hal itu mengulang pola yang asali (arketipe). Objek atau artefak merupakan sarana komunikasi, ritual, ibadah, ataupun tindakan religius lainnya. Benda-benda buatan manusia itu sejalan dengan sifat imajinatifnya terhadap alam. Objek atau artefak-artefak itu pada arti tertentu hanya berfungsi sebagai kendaraan imanen yang menghadirkan kesadaran nilai atau makna keagamaan transendental (Piliang, 2011: xxv). Kemunculan agama monoteis yang disebarluarkan oleh para nabinya, turut menggiring pandangan manusia terhadap alam. Kisah pada Tuhan Israel misalnya, pada awalnya membedakan dirinya dari dewa-dewa pagan dengan cara menampakkan dirinya dalam peristiwa-peristiwa langsung yang konkret, bukan mitologi dan liturgi. Dari nabi-nabi itu pula, ajaran bahwa bencana atupun kemenangan politik merupakan keperkasaan atas dunia yang dimiliki-Nya (Armstrong, 2012: 84). Dari uraian diatas yang merupakan bagian dari pengetahuan dan pengalaman, dapat ditarik sebuah titik tolak yang menurut Leahy merupakan objek kajian yang 18 tepat bagi filsafat manusia. Sebuah pengalaman memanglah primordial; mendahului perbedaan segala disiplin dan merupakan landasan bagi timbulnya pelbagai disiplin (Leahy, 1984 : 10). Setelah identifikasi persoalan manusia, tujuan filsafat manusia sendiri pada taraf akhir tidak lain untuk memahami manusia (pemahaman-diri). Dari situ, filsafat manusia berusaha mengkritisi pengetahuan, ilmu, kebudayaan, atau ideologi yang baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pemahaman diri manusia (Abidin, 2006:12). Refleksi filsafat sendiri dimaksudkan untuk mencapai visi yang lebih jelas tentang manusia (Leenhouwers, 1988 : 62). Merujuk dari sifat reflektif manusia itulah diharapkan dapat tercapai suatu pemahaman tentang imajinasi kosmologi. H. Metodologi Penelitian 1. Bahan atau materi penelitian: Penelitian merupakan studi kepustakaan yang menggunakan pengambilan data melalui berbagai sumber tertulis, seperti: literatur, jurnal, buku, naskah, makalah yang berkaitan dengan objek material dan objek formal dalam pembahasan dalam penulisan ini. a. Pustaka primer: 1. Objek formal: o Manusia, Sebuah Misteri: Sintesa Filosofis Tentang Makhluk Paradoksal, karya Louis Leahy, 1984, Gramedia, Jakarta. 19 o Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei Tentang Manusia,karya Ernst Cassirer, 1987, Gramedia, Jakarta. 2. Objek material: o Sejarah Tuhan: Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia, karya Karen Armstrong, 2012, Mizan, Bandung. o Kosmologi & Ekologi: Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia, karya Anton Bakker, 1995, Kanisius, Yogyakarta. o Psikologi Imajinasi, karya Jean Paul Sartre, 2001, Bentang Pustaka, Yogyakarta. o Imaji dan Imajinasi: Suatu Telaah Filsafat Posmodern, karya H Tedjoworo, 2001, Kanisius, Yogyakarta. o Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, karya Yasraf Amir Piliang, 2011, Mizan, Bandung. Pustaka sekunder: Bahan sekunder merupakan tulisan ataupun naskah-naskah yang berkaitan dengan gambaran hubungan manusia dan alam serta dasar-dasar filsafat yang dapat memperkaya penelitian ini. 2. Jalan penelitian Penelitian ini meliputi beberapa tahapan, yaitu: a. Pengumpulan data kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian yang akan diulas. 20 b. Pengolahan serta menganalisis data yang telah diklarifikasi sehingga diperoleh pemahaman yang searah dengan kerangka penelitian. c. Penyusunan penelitian yang didapat dari hasil analisis data primer dan sekunder yang telah dikelompokkan hingga pada akhirnya dituangkan dalam bentuk penulisan yang sistematis. 3. Analisis hasil Penelitian ini memakai metode hermeneutika dan unsur-unsur metodis yang mengacu pada Metode Penelitian Filsafat karya Anton Bakker dan Charris Zubair (1990: 63); a. Deskripsi: Peneliti memberikan gambaran mengenai objek material dan objek formal seobjektif mungkin. b. Interpretasi Mengkaji secara kritis data yang ada untuk mencari konsep imajinasi kosmologis menurut filsafat manusia. c. Hermeneutika Proses interpretasi dilanjutkan dengan analisis hermeneutika guna menangkap makna esensial dengan melakukan penafsiran terhadap data sehingga esensi data sesuai dengan waktu dan keadaan sekarang. d. Refleksi peneliti pribadi Setelah ketiga tahapan diatas dilalui, penulis berupaya merefleksikan sekian bahan-bahan yang diperoleh dengan persoalan yang dibahas dalam penelitian ini. 21 I. Capaian Hasil Penelitian 1. Memperoleh pemahaman secara sistematis tentang relasi manusia dan alam yang dilandasi oleh imajinasi kosmologi. 2. Mendapatkan gambaran kritis dan dinamis terhadap pengaruh yang ditimbulkan dari imajinasi kosmologi yang mewujud dalam relasi antara manusia dan alam. J. Sistematika Penulisan Penjabaran penelitian yang akan ditawarkan penulis terbagi dalam lima bab berikut: 1. BAB I: Pendahuluan Beisi latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak diajukan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan dicapai, dan sistematika penulisan. 2. BAB II: Manusia dalam Filsafat Manusia Pemaparan mengenai manusia dalam filsafat manusia. Karakteristik dan fokus kajian filsafat manusia. 3. BAB III: Manusia Menmbangun Imajinasi Kosmologis Berisi deskripsi tentang imajinasi manusia berdasarkan beberapa varian dalam kuliah kosmologi yakni Kosmosentrisme, Teosentrisme, Antroposenstrisme, dan Logosentrisme. 4. BAB IV: Imajinasi Kosmologis Manusia sebagai Sebuah Dilema 22 Setelah menjabarkan manusia serta keterkaikan antara filsafat manusia dengan imajinasi kosmologi, pada bab ini akan dianalisa karakteristik imajinasi kosmologis yang mewujud dalam pemikiran kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan Logosentrisme. Selain itu, turut dianalisis pengaruh yang ditimbulkan dari relasi yang muncul dari pandangan kosmologi-filosofis tersebut. 5. BAB V: Kesimpulan Berisi uraian singkat dari penjelasan bab-bab sebelumnya.