9 BAB II KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM

advertisement
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB II
KEJAHATAN PERANG DAN PENGATURANNYA DALAM HUKUM
HUMANITER
Hukum humaniter yang pada awalnya dikenal dengan istilah hukum perang,
setelah Perang Dunia II maka dirasakan pentingnya pengaturan mengenai perang,
kodifikasi hukum humaniter internasional sesudah Perang Dunia II, juga
menandakan masuknya unsur hukum kemanusiaan dalam pengaturan kejahatan
perang sebagai pelanggaran berat. Masyarakat yang pada saat itu mempunyai
kesadaran untuk menghindari dan memperkecil terjadinya perang membuat aturan
mengenai pedoman berperang. Hingga akhirnya ada aturan seperti Konvensi Den
Haag tahun 1899 dan 1907 mengatur cara dan alat berperang.
Konvensi Jenewa tahun 1949 mengatur mengenai perlindungan korban
perang. Kemudian pada thaun 1977 disepakati adanya Protokol Tambahan I yang
mengatur tentang konflik bersenjata yang bersifat internasional dan II yang
mengatur mengenai konflik bersenjata non-internasional guna menyempurnakan
Konvensi Jenewa 1949.
2.1 Jenis Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional
Konflik bersenjata adalah suatu peristiwa penuh dengan kekerasan dan
permusuhan antara pihak-pihak yang bertikai. Dalam sejarah konflik bersenjata
telah terbukti bahwa konflik tidak saja dilakukan secara adil, tetapi juga
9
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
10
menimbulkan kekejaman.11 Untuk dapat disebut sebagai suatu konflik bersenjata,
maka dalam konflik tersebut harus terdapat keterlibatan penggunaan angkatan
bersenjata dari suatu negara terhadap negara lain, konflik bersnjata yang menjadi
pihak tidak tentu hanya terdiri dari negara saja akan tetapi yang menjadi pihak
dalam konflik bersenjata merupakan pihak bukan negara.
Konflik bersenjata internasional dibagi menjadi dua jenis yakni konflik
bersenjata internasional yang murni (terjadi dua atau lebih negara) dan semu
(konflik bersenjata diantara disau pihak bukan negara), konflik bersenjata
internasional yang semu dapat dibagi menjadi dua:
1. Perang pembebasan nasional, dapat diberlakukan pada konflik bersenjata
seperti perang pembebasan nasional apabila terpenuhi beberapa syarat:
a
Penguasa dari suatu bangsa mengirimkan deklarasi sepihak;
b
Deklarasi sepihak ditunjukan kepada Negara Penyimpan dari
Protokol Tambahan 1977, yaitu dalam swiss federal council;
c
Deklarasi sepihak memuat kesediaan pemimpin negara untuk
mentaati Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977.12
2. Konflik
bersenjata
yang
diinternasionalisasikan,
dianggap
telah
diinternasionalisasikan karena hal hal sebagai berikut:
11
Asep Darmawan, Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Komandan Dalam Hukum
Humaniter KumpulanTulisan, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, 2005, hlm 51.
12
Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM (terAs), Jakarta, 2012. hy.13
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
11
a
Negara yang diberontaki telah mengakui pemberontak sebagai
pihak yang bersengketa;
b
Satu atau beberapa negara telah membantu dengan angkatan
perangnya kepada salah satu pihak dalam konflik;
c
Dua negara telah memberikan bantuan angkatan perang mereka,
masing-masing membantu pihak yang berbeda.
Konflik bersenjata non internasional terbagi dua, yaitu:
1. Konflik bersenjata Non intenasional yang ada diketentuan Pasal 3
Konvensi Jenewa 1949, syarat untuk menjadi konflik bersenjata non
internasional adalah bahwa pihak yang memberontak terhadap pemerintah
memiliki kekuatan militer yang terorganisir, melaksanakan operasi
diwilayah tertentu, dan mempunyai sarana tertentu untuk menghormati
Konvensi Jenewa 1949.13
2. Konflik bersenjata non internasional yang ada pada pada Protokol
Tambahan II 1977. Protokol tidak memberikan definisi tentang apa yang
dimaksud dengan ‘non-international armed conflict’ sengketa bersenjata
non-internasional melibatkan beberapa pihak, yakni pemerintah yang sah
dan pemberontak, maka sengketa bersenjata non-internasional dapat
terlihat sebagai suatu situasi di mana terjadi permusuhan antara angkatan
bersenjata pemerintah yang sah dengan kelompok-kelompok bersenjata
yang terorganisir (organized armed groups) di dalam wilayah suatu
13
Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi
Hukum Humaniter dan HAM (terAs), Jakarta, 2012. H.16
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
12
negara. Namun, di samping itu, sengketa bersenjata non-internasional
mungkin pula terjadi pada situasi-situasi di mana faksi-faksi bersenjata
(armed factions) saling bermusuhan satu sama lain tanpa intervensi dari
angkatan bersenjata pemerintah yang sah.14
Konflik Ukraina menurut Hukum Humaniter Internasional
Konflik yang terjadi di wilayah Ukraina diawali dengan turunya Presiden
Yanukovich, kubu demonstran anti Yanukovich menanggapi peristiwa turunya
Presiden dengan perayaan, tidak dengan pemerintah Rusia dan rakyat Ukraina
Timur dan selatan yang mendukung Yanukovich. Rusia khawatir kalau Ukraina
berhasil dipimpin oleh Presiden pro Uni Eropa, dikawatirkan kepentingan
ekonomi Rusia di wilayah semenanjung Crimea nantinya dimanfaatkan oleh
North Atlantic Treaty Organization (NATO), organisasi yang sebagian besar
anggotanya berstatus sebagai anggota Uni Eropa.15
Tergulingnya Presiden menambah kekacauan konflik di wilayah Ukraina
hingga menimbulkan efek di Semenanjung Ukraina Selatan, tempat dimana
pangkalan militer Rusia berada Semenanjung Ukraina Selatan merupakan tempat
milisi pro Rusia berada, mereka menyandera gedung pemerintahan dan menggelar
referendum secara sepihak, referendum tersebut dimenangkan oleh kubu pro
Rusia, pemerintah Ukraina tidak bisa menangani kondisi dalam negerinya karena
khawatir akan ada intervensi dari Rusia.16
14
Protokol Tambahan II 1977
www.Isea.ac.uk/Ukraine diakeses tanggal 2 Februari 2015
16
www.aljazeera.com/ukraine political crisis diakses pada 19 Februari 2015
15
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
13
Rusia yang merasa memiliki hubungan dengan wilayah tersebut melakukan
latihan militer di perbatasan kedua negara. Presiden Rusia Vladimir Putin
mengakui Crimea sebagai negara republik yang berdaulat, pengakuan tesebut
dituangkan dalam keputusan yang ditandatangani Putin pada tanggal 17 Maret
2014, selain mengakui pengakuan atas Crimea, Putin menyetujui draf perjanjian
yang memasukan Crimea sebagai bagian dari Federasi Rusia. Referendum digelar
pada 15 Maret 2014 dan diikuti 1,5 juta penduduk Crimea dan sebagian besar
memilih jadi negara merdeka dan bergabung dengan Rusia.
Sejumlah
milisi
pro
Rusia
menduduki
gedung
pemerintah
dan
mendeklarasikan berdirinya negara yang bernama Republik Rakyat Donetsk.
Tindakan tersebut telah membuat Ukraina mengambil tindakan yang menyatakan
penolakan atas deklarasi tersebut, tetapi hal itu tidak dihiraukan, hingga pada
bulan April pemerintah Ukraina mengirimkan pasukan ke Ukraina Timur, tanggal
15 April 2014 setelah ultimatum dari pemerintah Ukraina tidak dihiraukan oleh
separatis, pemerintah Ukraina akhirnya mengirimkan pasukan ke Ukraina Timur,
inilah awal dari pecahnya perang DonBass, perang saudara yang terjadi Ukraina
atau dikenal dengan nama lain Perang di Ukaina dan Perang Ukraina Timur,
pasukan pemerintah Ukraina terlibat konflik bersenjata dengan pasukan pejuang
kemerdekaan Donetsk.17
Pada bulan Mei pertempuran di Donetsk terjadi pasukan Ukraina melakukan
penyerbuan ke wilayah yang dikuasai oleh kubu pemberontak , ditengah perang
17
www.aljazeera.com/ Ukraine says 15 revels killed in border clash diakeses pada 6
Januari 2015
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
14
yang terjadi antara pasukan Ukraina dan separatis pada bulan Juli pesawat MH-17
ditembak jatuh di wilayah langit Donbass.18
Konflik yang terjadi antara pasukan Ukraina dan pemberontak pro Rusia
terus terjadi, foto satelit yang didapat dari NATO, foto-foto yang dirilis NATO
itu menampilkan barisan ratusan tank dan kendaraan lapis baja di sebuah lapangan
kosong berjarak 50 kilometer dari perbatasan Ukraina. Rusia mengirimkan tank
prajurit untuk membantu para pemberontak, keadaan pasukan pemberontak
semakin kuat dan membuat pasukan Ukraina kewalahan. 19 Foto yang dilirilis
menunjukan tank, kendaraan lapis baja, artileri, gambar yang dirilis oleh NATO
menunjukan bahwa tentara Rusia ikut aktif berperang di Ukraina. Rusia membuat
klaim yang menyatakan telah mendirikan pengendalian operasional lengkap,
menurut Duta Besar Rusia untuk PBB mengatakan bahwa 15.000 tentara Rusia di
Crimea.20
Bentuk intervensi Rusia lainya adalah keterangan dari pejabat NATO, Rusia
pindah artileri ke wilayah Ukraina. Tentara Rusia ditangkap di Donetsk, Rusia
mengeklaim bahwa mereka telah menyebrang dengan sengaja.21 Pada tanggal 27
Agustus 2014 dua tank Rusia memasuki wilayah Ukraina dalam mendukung
separatis pro Rusia di Donetsk dan Luhansk, para pejabat NATO menyatakan
bahwa lebih dari 1000 tentara Rusia yang beroperasi di Ukraina, insiden tersebut
18
www.nbcnews.com/malaysia airlines MH17 Plane Crash in Ukraine diakses pada 12
Januari 2015
19
www.newsela.com/ Russian tanks and troops invade Ukraine, NATO says diakses pada
19 Januari 2015
20
www.foreignpolicyi.org/FPI Fact Sheet on Russia’s Millitary Intervention in Ukraine
diakses tanggal 2 Februari 2015
21
www.bbcnews.com/captured russian troops in Ukraine by accident diakses pada
tanggal 30 Januari 2015
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
15
dianggap sebuah serangan. 22 Ada pernyataan pemberontak pro Rusia yang
menyebutkan bahwa pasukan Rusia ikut bergabung dalam aksi pemberontakan,
perdana menteri memproklamirkan diri Republik Rakyat Donetsk menyatakan
bahwa 3000 tentara Rusia ikut berjuang dalam barisan pemberontakan.23
Sebagian besar warga Rusia juga terlibat dalam konflik ini, hal tersebut
diakui oleh para pemimpin pemberontak, rekruitmen pemberontak Donbass
dilakukan secara terbuka dikota Rusia dengan fasilitas yang disediakan oleh
Rusia. Persenjataan layanan penelitian menerbitkan laporan mengenai senjata
yang digunakan oleh kedua pihak yang berkonflik, senjata yang digunakan
pemberontak Pro Rusia sebagian besar diproduksi di Rusia, laporan tersebut tidak
menunjukan bahwa adanya ekspor senjata dari Rusia ke Ukraina.24
Militer Ukraina menyatakan bahwa Rusia telah mengirimkan tentaranya
dengan cara menggunakan seragam pemberontak Ukraina, menyamar untuk bisa
ikut dalam aksi pemberontakan. 25 Kendaraan milter beriiringan dengan pelat
militerRusia resmi menyebrang ke Ukraina dekat pemberontak pada Agustus
2014, termasuk 30 tank dan 120 kendaraan lapis baja.26
Dari urutan kejadian di wilayah Ukraina, konflik internal di Ukraina
merupakan konflik bersenjata non-internasional karena status hukum masing
22
TheHuffubftonPost.com.inc/NATO military officer:More than 1000 Russian Troops
Operating Inside Ukraine diakses tanggal 1 Februari 2015
23
www.ukrainianpravda.com /Russian troops fighting for us on holiday diakses pada
tanggal 1 Februari 2015
24
www.armamentresearch.com/an examination of arms and munitions in the outgoing
conflikct in Ukraine 2014/ diakses pada tanggal 29 Januari 2015
25
Ukraine Today/more Russian army soldiers sent to Ukraine diakeses tanggal 6 Februari
2015
26
Theguardian.com/Konvoi bantuan berhenti pendek dari perbatasan sebagai
kendaraan militer Rusia memasuki Ukraina diakses tanggal 5 Februari 2015
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
16
pihak dalam konflik bersenjata. Dalam konflik bersenjata internasional kedua
belah pihak adalah negara, sedangkan dalam konflik bersenjata non-internasional
status hukum kedua pihak tidak sama, yaitu pihak yang satu negara sedangkan
pihak yang lain bukan suatu negara, atau dapat digambarkan sebagai terjadinya
situasi dimana pertempuran antara angkatan bersenjata atau kelompok bersenjata
yang terorganisir didalam suatu wilayah negara, sesuai dengan Pasal 3 Konvensi
Jenewa 1949 yang mengatur mengenai konflik bersenjata yang bukan dari
karakter internasional, tetapi yang tercantum dalam batas-batas satu negara. Hal
ini memberikan perlindungan terbatas pada korban, termasuk orang yang tidak
mengambil bagian aktif dalam permusuhan harus diperlakukan secara manusiawi
(termasuk orang-orang militer yang sudah tidak aktif akibat sakit, cedera atau
penahanan), orang tang terluka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Pada
alinea ke 4 mengatur mengenai jaminan kepada Pemerintah yang sah bahwa
Pemerintah yang bersangkutan memberlakukan kelompok pemberontak yang ada
di wilayah Ukraina sesuai dengan Pasal 3 maka keadaan tersebut tidak merubah
kedudukan atau status hukum kelompok pemberontak menjadi pihak yang
bersengketa, status hukum mereka tetap sebagai pemberontak. Pemerintah
Ukraina tidak mengakui keberadaan pemberontak, tindakan yang dilakukan oleh
kelompok pemberontak seperti pemilu yang diakan di wilayah Donetsk dianggap
illegal oleh pemerintah Ukraina.
Perkembangan selanjutnya konflik bersenjata yang terjadi Ukraina telah
berubah menjadi konflik bersenjata internasional, hal ini disebabkan oleh adanya
intervensi dari Rusia, tindakan tersebut dalam hukum internasional tidak dilarang
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
17
tetapi harus melihat juga alasan, motif dan dampak siapa saja yang terlibat di
dalamnya.
Piagam
PBB
menyebutkan
ketentuan
mengenai
kewajiban
internasional semua negara untuk menghormati pesamaan kedaulatan negara,
tidak menggunakan ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan dan keutuhan
wilayah, tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu negara dan berusaha
menyelesaikan pertikaian dengan cara damai. Perubahan jenis konflik bersenjata
dapat akibat adanya suatu pengakuan atau bantuan dari negara ketiga, maka
sebuah konflik tersebut dimungkinkan untuk berkembang.27
2.2 Pengertian Kejahatan Perang
Kejahatan perang adalah tindakan tertentu dan kelalaian yang dilakukan
dimasa perang yang dikriminalisasikan oleh hukum internasional, berbeda dengan
pelanggaran berat merupakan pelanggaran tertentu terbatas hanya pada
pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa 1949 yang memunculkan kewajiban
negara untuk menerapkan dan menegakkan hukum terhadap setiap pelanggaran
berat yang terjadi dalam hukum pidana nasional.28 Kejahatan perang merupakan
suatu perbuatan yang secara serius bertentangan dengan hukum humaniter
internasional dan kebiasaan perang. Setiap pelanggaran terhadap hukum perang
atau hukum humaniter internasional menyebabkan tanggung jawab pidana secara
individual yang sering kali dianggap sebagai kejahatan perang. Kejahatan perang
yang keji yang dilakukan pada waktu perang dapat dikatakan sebagai
27
Haryomatara, GPH., Refleksi dan Kompleksitas Hukum Humaniter, Pusat Studi Hukum
Humaniter dan HAM (terAs), Jakarta, 2012.h 11
28
Dr.Yustina Trihoni Nalesti Dewi,S.H., M.Hum, Kejahahatan Peang dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 49.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
18
pelanggaraan terhadap hukum perang dan hukum kebiasaan perang dan karena itu
pelakunya dapat dihukum baik yang dilakukan oleh kombatan maupun penduduk
sipil.
Istilah kejahatan perang semakin dikenal karena sebagai akibat dari perang
dunia dan adanya upaya untuk menuntut tanggung jawab pelaku pelanggar hukum
humaniter internasional serta menuntut tanggung jawab pidana bagi para pelaku
kejahatan. Pelanggaran berat yang ditafsirkan sebagai kejahatan perang dalam
Pasal 1 (2) European Convention tahun 1974, Pasal 85 (5) Protokol I Tahun 1977
yang juga menyatakan bahwa pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol I 1977 dianggap sebagai kejahatan perang.
Sebelum berlangsung Perang Dunia I, negara telah menyepakati bahwa
pengertian kejahatan perang diartikan sebagai tindakan tertentu yang dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap hukum perang, yang sebagian besar
telah dikodifikasi dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907, sedangkan London
Charter of the International Military Tribunal mendefinisikan kejahatan perang
sebagai pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan perang yang meliputi
pembunuhan, penganiyaan, atau pendeportasian penduduk sipil, penghancuran
secara besar-besaran yang bukan karena kepentingan militer.29
Menurut Konvensi Jenewa 1949 kejahatan perang diartikan sebagai
pelanggaran berat terhadap keempat konvensi Jenewa 1949. Statuta International
Criminal Court (ICC), International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia
(ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Sierra Leone dan
29
Pasal 6 (b) Charter of The International Military Tribunal. London, 8 August 1945
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
19
United Nations Transitional Administration in East Timor Regulation,
mendefinisikan kejahatan perang sebagai pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan yang berlaku dalam pertikaiaan bersenjata.
Kejahatan perang sering diartikan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan
berdasarkan suatu target tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu rencana atau
kebijakan, atau yang dilakukan sebagai bagian dari pelaksanaan suatu kegiatan
berskala besar yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Artinya kejahatan tersebut
sudah dipersiapkan lebih dahulu secara matang, dengan rantai komando yang
jelas.30
Pengertian kejahatan perang menurut para sarjana yang membagi War
Criminal atau kejahatan perang dalam empat jenis, yaitu:31
1. Pelanggaran-pelanggaran peraturan perang yang berlaku dengan sah, oleh
anggota angkatan bersenjata;
2. Semua tindakan permusuhan bersenjata yang dilakukan oleh oknum yang
bukan anggota Angkatan Bersenjata musuh;
3. Spionase perang; dan
4. Tindakan- tindakan yang merupakan penggedoran.
2.2.1 Pengaturan kejahatan perang
2.2 Pengaturan Kejahatan Perang Sebelum Perang Dunia II
Pada awalnya setiap bangsa mempunyai aturan sendiri aturan yang berupa
pembatasan perilaku dalam melakukan hubungan permusuhan atau bisa disebut
30
“Sekilas Tentang International Criminal Court (ICC),” Lembar Info Seri 49, LBH
Apik dan USAID (2002): 2
31
Ali Sastroamidjojo., Pengantar Hukum Internasional, Bhatara, Jakarta, 1971., h. 283286.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
20
dengan perang, dahulu aturan perang hanya bersifat kebiasaan, dalam
perkembanganya aturan kebiasaan yang berlaku ditegaskan kembali dalam
perjanjian sehingga hukum humaniter internasional tersebar menjadi perjanjian
internasional, aturan perilaku dalam situasi pertempuran yang ada dalam hukum
perjanjian tetapi bukan berasal dari hukum kebiasaan makin lama membenyuk
hukum humaniter internasional kebiasaan, hal itu dapat terjadi apabila
dipraktekkan oleh negara dan diyakini untuk mengikat sebagai norma.
Strategi perang pertama kali ditulis oleh Sun Tzu di Cina, tulisan tersebut
mengenai cara atau petunjuk yang paling efektif untuk memperoleh kemenangan,
tulisan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum
kejahatan perang karena di dalamnya juga diatur mengenai tata cara
memperlakukan seorang musuh. Selanjutnya di wilayah Mediterania kebudayaan
Hindu di Asia Selatan yang membuat aturan yang dinamakan The Manu Smiriti,
Kitab tersebut berkaitan tentang aspek hukum termasuk prinsip tentang perang
yang manusiawi menyebutkan larangan penggunaan senjata yang berbahaya dan
larangan terhadap keterlibatan pihak yang tidak terlibat dalam peperangan.32
Di wilayah Amerika pada tahun 1863 pemerintah memberlakukan lieber
code, antara lain mengharuskan perlakuan manusiawi bagi penduduk sipil di
daerah konflik dan juga melarang eksekusi tawanan perang, lieber code
digunakan sebagai hukum yang mengatur pertempuran antara angkatan bersenjata
pemberontak waktu terjadinya perang saudara. Lieber Code dalam aturannya
memuat aturan mengenai kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, perkosaaan.
32
McCormack & Simpson.,(edit), 1997,The Law of War Crimes: National and
International Approaches, Kluwer Law International, The Hague/London/Boston dikutip dari
Buku Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hal.83
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
21
Kapten Henry, seorang dokter Swiss yang diperbantukan pada angkatan
bersenjata Konfederasi dan bertanggung jawab terhadap 45.000 tawanan perang di
kamp Andersonsville, telah diadili di Washington DC pada tahun 1865. Kapten
Henry terbukti secara kejam telah melakukan konspirasi untuk merusak kesehatan
dan membunuh serdadu Amerika yang ditahan di kamp tawanan tersebut.
Pelanggaran terhadap hukum perang yang dilakukan Kapten Henry tersebut maka
ia dijatuhi hukuman mati dan kemudian segera diekskusi.33
2.2.3 Pengaturan Kejahatan Perang Setelah Perang Dunia II
1. Pengadilan Internasional Nuremberg dan Pengadilan Internasional Tokyo
Pengadilan di Nuremberg mengadili pelaku kejahatan perang pertama di
dunia pengadilan ini digunakan untuk menyidang kasus yang berkaitan dengan
para anggota utama kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi Nazi
Jerman. Piagam Nuremberg dalam ketentuanya menekankan kata-kata seperti
pembasmian, perbudakan, deportasi, dan tindakan yang tidak manusiawi dan
penyiksaan atas dasar politik, rasial, atau agama yang berhubungan dengan
kejahatan lainya bukanlah kejahatan perang yang dilakukan terhadap tentara
musuh, namun terhadap warga sipil Jerman sendiri. Mereka adalah kaum Yahudi,
gipsil, homoseksual dan penyandang cacat yang dianggap sebagai manusia palsu.
Tindakan kejahatan ini tidak dilakukan karena keadaan perang, melainkan karena
sikap rasialisme dari pimpinan Nazi, Kesemuanya ini merupakan kejahatan
terhadap kemanusiaan.
34
Pada pasal 7 Piagam Nuremberg menyebutkan
33
Judith Gail Gardam, Non Combatant Immunity As A Norm of Internatonal
Humanitarian Law, Martinus Nijhoff Publisher, Dodrecht, Boston, London, h.42.
34
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan Perjuangan untuk
Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002, h.271-272.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
22
pengadilan ini memiliki yuridiksi atas kejahatan terhadap perdamaian dan
kejahatan terhadap kemanusiaan, di pasal ini dijelaskan mengenai tanggung jawab
seorang individu, tidak bisa menghapuskan hukuman pidananya meskipun
seseorang tersebut melaksanakan tugas negara atau sebagai aparat negara.
Pengadilan Internasional Tokyo, mempunyai wewenang untuk mengadili
dan menghukum para penjahat perang di Timur Jauh sebagai individu maupun
sebagai anggota dari organisasi jika seseorang didakwa dalam posisinya sebagai
anggota
organisasi
tertentu
maka
yang
dikenakan
atasnya
adalah
dakwaan/tuntutan atas tindakan yang termasuk dalam kejahatan terhadap
perdamaian
Kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan terdapat pada Pasal 6 Statuta
Tokyo:
a. Kejahatan terhadap perdamaian: perencanaan, persiapan, pencetusan, dan
pelaksanaan
perang sebagai tindakan agresi baik yang dideklarasikan maupun
tidak; atau perang yang melanggar hukum atau perjanjian internasional; atau ikut
serta dalam suatu rencana bersama atau konspirasi demi terlaksananya salah satu
bentuk kejahatan di atas;
b. Kejahatan perang konvensional: pelanggaran atas hukum dan kebiasaan perang;
c. Kejahatan terhadap kemanusiaan: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan,
deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap
populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa perang, atau persecution
berdasar politik atau ras, sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan
bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan, baik
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
23
tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak menurut hukum
domestik dimana tindakan tersebut dilakukan.
2. Konvensi Jenewa 1949
Grave Breaches of the Geneva Convention of 1949 yang mempunyai
berbagai bentuk :
1. Wailful killing
Terjadi ketika korban mati karena hasil dari tindakan yang dilakukan oleh
pelaku, tindakan itu dimaksudkan untuk membunuh dan mencederai seseorang
secara serius dan hal tersebut disadari akibatnya oleh pelaku. Istilah Wailful
killing berasal dari keempat konvensi Jenewa, pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal
51 Konvensi Jenewa II, Pasal 147 Konvensi Jenewa IV dan Pasal 130 Konvensi
Jenewa III.
2. Taking civilian as hostages
Penggunaan ancaman terhadap tahanan yang ditunjukan untuk mendapatkan
kepatuhan atau mendapatkan keuntungan. Kejahatan ini dilarang dalam pasal 3
bersama konvensi Jenewa 1949, Pasal 34 dan 147 dari Konvensi Jenewa IV, dan
Pasal 75 (2) (c) Protokol tambahan 1.
3. Wilfully causing great suffring or injury to body or health
Terjadi ketika tindakan tersebut diarahkan kepada orang yang dilindungi
oleh Konvensi Jenewa 1949. Tindakan yang diarahkan tersebut menimbulkan
luka fisik dan penderitaan yang berat dan hal yang dilakukan oleh pelaku harus
dapat dibuktikan.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
24
4. Extensive destruction appropriation of property, not justified by millitary
necessity and carried out unlawfully and wantonly
Ketika unsur konflik bersenjata dan unsur kejahatan dan unsur yang harus
dipenuhi lainya adalah kerusakan pada benda yang berlebihan benda yang
memiliki perlindungan Konvensi Jenewa 1949 dan harus dilakukan dalah operasi
militer terkait benda yang terletak diwilayah yang dikuasai. Pelaku mempunyai
maksud untuk menghancurkan benda dengan tidak hati-hati tidak menghiraukan
kehancuran benda tersebut.
5. Violation of the law or customs of war
Employment of poisonous weapomns or other weapons calculated to cause
unnecessary suffering Tindakan penggunaaan senjata yang menyebabkan
penderitaan yang tidak perlu, unsurnya dijelaskan pada pasal 8 (2) (b) (xviii-xix)
element of crime statuta roma, pelarangan mengenai jenis senjata apa saja yang
dilarang, pelaku dalam tindakan nya sadar bahwa aksinya dilakukan pada saat
konflik bersenjata.
6. Attack or bombardment by whatever means of underfended town, villages,
dwelling, or buildings
Serangan yang dilakukan merupakan cara berperang yang menyebabkan
kematian dan membuat persoalan yang serius dalam populasi penduduk sipil atau
memberi kerusakan pada harta benda penduduk sipil.
7. Seizure of destruction or wilful damage done to institution dedicated to
religion charity and education, the arts and sciences, historic munuments and
works of art and science.-
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
25
Pelarangan terhadap tindakan berasal dari Konvensi Den Haag 107.
Kejahatan yang merupakan pelanggaran terhadap nilai nilai yang dilindungi oleh
masyarakat.
8. Plunder of public or private property
Kejahatan perampasan properti milik pribadi atau properti tersebut milik
umum, karena dalam konvensi Jenewa tidak dibedakan antara public property dan
private property dengan adanya kejahatan tersebut maka timbulah kejahatan
pidana individu.
Pengertian kejahatan perang juga dapat diartikan sebagai suatu
pelanggaran berat (diantaranya) terhadap Konvensi Jenewa, yaitu masing-masing
dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hak milik yang dilindungi
berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan :
a. Konvensi Jenewa I, II dan III : Ketentuan ini menyatakan bahwa pengrusakkan
dan tindakan pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan
militer dan yang akan dilaksanakan secara luas, dengan melawan hukum dan
dengan sewenang-wenang.
b. Konvensi Jenewa III dan IV :
a) Memaksa seorang tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa
untuk berdinas dalam ketentaraan negara musuh.
b) Merampas dengan sengaja hak-hak tawanan perang atau orang yang dilindungi oleh
Konvensi Jenewa atas peradilan yang adil dan wajar yang ditentukan dalam Konvensi.
c. Konvensi Jenewa IV Pasal 147 :
a) Deportasi dan pemindahan secara tidak sah.
b) Penahanan yang tidak sah.
c) Penyanderaan.
d. Protokol Tambahan I :
a) Setiap perbuatan yang dapat membahayakan kesehatan atau integritas fisik maupun
mental.
b) Dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan kematian atau luka berat
atas badan atau kesehatan, sebagai berikut :
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
26
(1) Serangan terhadap masyarakat sipil.
(2) Serangan membabi buta yang merugikan masyarakat sipil /obyek sipil.
(3) Serangan yang diarahkan pada instalasi yang berisi kekuatan yang berbahaya.
(4) Serangan yang diarahkan pada perkampungan yang tidak dipertahankan dan daerah
diluar operasi militer.
(5) Serangan terhadap orang yang tidak lagi ikut dalam pertempuran.
(6) Penyalahgunaan tanda pelindung.
e. Dengan sengaja melakukan perbuatan sebagai berikut :
a) Pemindahan sebagian dari masyarakat sipilnya oleh pihak yang menduduki ke dalam
wilayah yang sedang diduduki, serta deportasi atau pemindahan sebagian atau seluruh
masyarakat sipil yang diduduki.
b) Keterlambatan dalam repatriasi tawanan perang atau orang sipil.
c) Tindakan yang merendahkan martabat manusia dan diskriminasi berdasarkan atas
perbedaan ras.
d) Serangan terhadap monumen sejarah, benda budaya dan tempat ibadah.
e) Tidak menghormati hak setiap orang yang dilindungi oleh Hukum Jenewa untuk
menerima pengadilan yang wajar.
Perbuatan-perbuatan yang dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran berat
berdasarkan Konvensi Jenewa I,II,III dan IV antara lain pembunuhan yang
disengaja, penganiayaan dan perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk
percobaan biologis, perbuatan yang menyebabkan penderitaan besar atau luka
berat atas badan atau kesehatan.
3. Statuta International Criminal Tribul for the Former Yugoslavia (ICTY)
Kejahatan perang diartikan sebagai pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa
1949 35 meliputi :
a. pembunuhan yang disengaja;
b. penganiyaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;
c. dengan sengaja mengakibatkan pemderitaan yang luar biasa atau luka yang serius
pada kesehatan tubuh atau kesehatan manusia;
d. perusakan secara besar-besaran dan pemilikan harta benda yang tidak dapat
dibenarkan oleh kepentingan militer serta dilaksanakan secara tidak sah dan keji;
e. memaksa seorang tawanan perang atau penduduk sipil untuk bekerja pada angkatan
bersenjata negara musuh;
f. dengan sengaja mengurangi hak seorang tawanan perang atau orang sipil atas
kesamaanya didepan hukum;
g. melakukan penyanderaan sipil.
35
Pasal 2 Statuta ICTY.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
27
Pada pasal 3 pengadilan ini memiliki kewenangan mengadili orang yang
melakukan pelanggaran hukum dan kebiasaan perang yang meliputi tapi tidak
terbatas pada:36
a. penggunaan senjata beracun atau senjata lain yang mengakibatkan penderitaan tidak
perlu;
b. perusakan secara besar-besaran terhadap kota-kota, kampung, atau desa yang tidak
dapat dibenarkan berdasarkan kepentingan militer;
c. serangan atau pemboman, dengan cara apapun atas kota yang tidak dpaat dibenarkan
berdasarkan kepentingan militer;
d. penyitaan atau penghancuran yang disengaja yang dilakukan terhadap institusi yang
ditunjukkan untuk masalah keagamaa, sosial, pendidikan, seni, monumen bersejarah dan
kesenian lainya;
e. penjarahan atas harta benda milik publik maupun milik masyarakat.
Dalam Statuta ICTY tidak menggunakan istilah kejahatan perang melainkan
menggunakan istilah pelanggaran berat Konvensi Jenewa1949, dan kejahatan
yang ada pada Statuta ini merupakan kejahatan yang diambil dari Konvensi Den
Haag 1907.
4. Statuta International Criminal Tribunal for the Former Rwanda (ICTR)
Pada pasal 1 Statuta ICTR menjelaskan mengenai tanggung jawab orang
yang melakukan pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang
dilakukan di wilayah Rwanda dan bertanggung jawab untuk pembunuhan masal
yang dilakukan antara 1 Januari 1994 dan 31 Desember 1994.
Pengadilan Internasional untuk Rwanda (International Criminal Tribunal
for Rwanda, ICTR) ini dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no.
S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan
pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan
internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah: genosida (pasal 2);
36
Pasal 3 Statuta ICTY.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
28
kejahatan terhadap kemanusiaan (pasal 3); dan pelanggaran pasal 3 seluruh
Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 (pasal
4).
Istilah kejahatan perang tidak secara eksplisit tercantum dalam Statuta,
istilah yang disebut adalah pelanggaran serius terhadap Hukum Humaniter
Internasional.
5. Statuta International Criminal Court (ICC)
Pasal 13 Statuta ICC memberlakukan yuridiksi terhadap tindak pidana
seperti disebutkan dalam Pasal 5 jika:
a.
Situasi dimana satu atau lebih tindak pidsana telah terjadi dan
melimpahkanya kepada Jaksa Penuntut oleh Negara Pihak;
b.
Situasi dimana satu atau lebih tindak pidana telah terjadi dan dilimpahkan
kepada jaksa Penuntut oleh Dewan Keamanan yang bertindak atas dasar Bab VII
Piagam PBB;
c.
Jaksa Penuntut mengambil prakarsa melakukan suatu pengadilan berkaitan
dengan tindak pidana berdasarkan Pasal 15 Statuta.
d.
Terdapat tiga pihak yang dapat mengajukan suatu perkara tindak pidana ke
Jaksa Penuntut, yaitu negara pihak pada Statuta, Dewan Keamanan PBB, dan
Prakarsa Jaksa Penuntut itu sendiri.
Menurut ICC, kejahatan perang adalah setiap kejahatan yang bertentangan
dengan Pasal 8 Statuta Roma 1998, kejahatan perang dikelompokan menjadi
empat bagian yaitu
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
29
a. Pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa 1949 yang mencakup tindakan
yang ditunjukan terjadap orang atau benda yang dilindungi konvensi-konvensi
Jenewa 1949. :
1. Pembunuhan secara sengaja;
2. Penyiksaan atau perlakuan secara secara tidak manusiawi, termasuk
eksperimen biologis;
3. Penghancuran dan perampasan barang dalam skala yang luas tanpa
pertimbangan keperluan militer, serta dilakukan secara tidak sah dan secara
sembarangan;
4. Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk melakukan tugas didalam
angkatan bersenjata pihak musuh;
5. Secara sengaja menyangkal hak untuk diadili secara jujur dalam pengadilan
biasa yang dimiliki oleh tawanan perang;
6. Deportasi, pemindahan, atau penahanan penduduk sipil secara tidak sah;
7. Menyandera penduduk sipil;
b. Pelanggaran serius lain terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam
konflik bersenjata, Statuta roma memberi pengertian yang luas terhadap
pengertian perang, tinndakan yang termasuk dalam kategori ini adalah:
1. Secara sengaja mengarahkan serangan pada penduduk sipil atau seorang sipil
yang tidak terlibat dalam permusuhan;
2. Secara sengaja mengarahkan serangan pada sasaran sipil yakni objek yang bukan
merupakan sasaran militer;
3. Secara sengaja mengarahkan serangan pada personal, instalasi, bahan-bahan, unit
atau kendaraan yang terlibat dalam tugas bantuan kemanusiaan atau misi penjaga
perdamaian sesuai dengan piagam PBB, sepanjang mereka mendapatkan
perlindungan selayaknya objek sipil atau penduduk sipil berdasarkan hukum
internasional yang mengatur tentang konflik bersenjata;
4. Secara sengaja melancarkan serangan dengan pengetahuan bahwa serangan
tersebut akan menyebabkan hilangnya nyawa atau melukai penduduk sipil,
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
30
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Skripsi
menimbulkan kerusakan terhadap objek sipil, ataupun menimbulkan kerusakan
lingkungan yang berat dan berjangka panjang, yang bersifat berlebihan apabila
dilihat dari tujuan keuntungan militer yang dicapai;
Dengan sarana apapun menyerang atau melakukan pemboman terhadap kota,
desa, pemukiman atau gedung-gedung yang tidak memiliki pertanahan dan juga
bukan merupakan sasaran militer;
Membunuh atau melukai combatant yang memutuskan untuk menyerah setelah
meletakan senjata dengan demikian tidak bisa mempertahankan diri;
Menyalahgunakan tanda gencatan senjata, bendera, seragam, dan tanda militer
musuh, seragam dan tanda-tanda pbb dan lambang khusus konvensi-konvensi
Jenewa sehingga menyebabkan kematian atau luka serius;
Pemindahan secara langsung maupun tidak langsung oleh penguasa pendudukan
terhadap penduduk sipil sendiri ke wilayah yang diduduki atau deportasi maupun
pemindahan sebagian atau seluruh penduduk sipil di wilayah pendudukan dari
satu tempat ketempat lain didalam wilayah atau keluar wilayah pendudukan;
Secara sengaja mengerahkan serangan pada bangunan yang dipergunakan untuk
keperluan keagamaan, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan, amal, monumen
bersejarah, ataupun rumah sakit dan tempat dimana mereka yang luka dan sakit
dikumpulkan, sepanjang objek dan tempat itu bukan merupakan sasaran militer.
Menyerahkan orang yang berada ditangan musuh untuk menjalani mutilasi fisik
atau untuk menjalani segala jenis percobaan medis maupun ilmiah yang tidak
dilakukan dalam kerangka perawatan rumah sakit, kesehatan atau gigi, yang tidak
pula dilakukan demi kepentingan orang tersebut, yang mengakibatkan kematian
atau secara serius mengancam kesehatan orang tersebut;
Membunuh atau melukai individu warga negara musuh atau angkatan bersenjata
musuh secara kejam;
Menyatakan bahwa pengampunan tidak akan diberikan;
Menghancurkan atau merampas milik musuh, kecuali kalau penghancuran atau
perampasan itu dibenarkan atas dasar kepentingan perang;
Menyatakan bahwa hak-hak dan tindakan warga negara musuh dihapuskan,
ditangguhkan atau tidak diterima oleh pengadilan;
Memaksa warga negara yang menjadi pihak musuh untuk mengambil bagian
dalam operasi pertempuran yang ditunjukkan terhadap negara mereka, bahkan
kalau warga negara itu bekerja pada peserta tempur sebelum perang dimulai;
Merampok kota atau suatu tempat, meskipun kota atau tempat itu direbut melalui
serangan;
Menggunakan racun atau senjata yang diberi racun;
Menggunakan gas pencekik, gas beracun, atau jenis gas lain, serta cairan, bahan
atau peralatan yang sejenis dengan itu;
Mengggunakan peluru yang dengan mudah dapat menyebar atau memampat
didalam tubuh manusia, seperti peluru dengan selongsong keras yang tidak
sepenuhnya menutup inti peluru.
Menggunakan senjata, projektil serta bahan dan cara berperang menurut sifatnya
dapat menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, atau
yang secara inheren melanggar hukum tentang konflik bersenjata secara tidak
pandang bulu, sepanjang senjata, projektil, serta bahan dan cara berperang itu
dilarang secara komperehensif dan dicantumkan didalam annex statuta.
Melakukan kebiadaban terhadap kehormatan pribadi, khususnya yang berupa
perlakuan yang bersifat merendahkan dan menghina martabat.
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
31
22. Melakukan perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa,
sebagaimana didefinisakan didalam artikel 7 paragraf 2(f), pemandulan paksa,
dan segala bentuk kekerasan seksual yang juga merupakan pelaggaran berat
terhadap konvensi jenewa.
23. Memanfaatkan kehadiran penduduk sipil atau orang lain yang dilindungi
sedemikian rupa sehingga menyebabkan titik tertentu, area atau kekuatan militer
menjadi imun dari serangan militer.
24. Secara sengaja melancarkan serangan terhadap bangunan, bahan, unit medis,
transportasi medis, dan orang orang yang sesuai dengan hukum internasional
menggunakan lambang pembeda yang diatur dalam konvensi jenewa.
2.3 Analisa Penembakan Pesawat MH-17 sebagai Kejahatan Perang
Terdapat tiga elemen penting dalam kejahatan perang, yang pertama adalah
suatu perbuatan atau tindakan merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan
kebiasaan perang, Penembakan pesawat MH-17 oleh pemberontak pro Rusia
merupakan tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan perang karena
tindakan tersebut sengaja dilancarkan mengenai objek sipil (pesawat sipil) yang
tidak ikut secara langsung dalam permusuhan, sesuai dengan Pasal 85 (3) (a) ;
Pasal 51 (2) Protokol tambahan Tahun 1977 (PT) I, Pasal 8 (2)(b)(i) Statuta Roma
1998.
Pelancaran rudal Buk merupakan suatu serangan yang jelas diketahui bahwa
serangan tersebut akan menyebabkan kerugian bagi penduduk sipil yang tidak
terlibat dalam permusuhan, pesawat MH-17 yang bukan termasuk merupakan
objek militer. Aksi penembakan pesawat MH-17 merupakan tindakan pelanggaran
hukum dan kebiasaan perang, disebut melakukan kejahatan perang karena
melanggar aturan aturan perang, pelaku penembakan seharusnya memperhatikan
dan meneliti benar objek serangan, objek seharusnya tidak mendapatkan
perlindungan khusus , objek yang diserang adalah objek yang telah dinyatakan
terlarang.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
32
Dengan ditembaknya pesawat sipil maka juga terlanggarnya prinsip
pembedaan dalam hukum humaniter internasional,
prinsip ini membedakan
antara penduduk sipil dan combatant. Dalam suatu sengketa bersenjata dapat
dibedakan menjadi dua golongan, yaitu kombatan dan civilian. Kombatan adalah
mereka yang ikut serta dalam konflik bersenjata secara langsung dan dibedakan
dari penduduk sipil. Apabila seorang kombatan tertangkap oleh musuh maka dia
mendapatkan status sebagai tawanan perang dan mendapat perlindungan secara
khusus. 37
Pembedaan antara penduduk sipil (civilian) dan kombatan diperlukan agar
adanya pengualifikasian siapa saja yang boleh turut serta dalam permusuhan
sehingga boleh dijadikan sasaran serangan dan siapa saja yang tidak turut serta,
dalam permusuhan sehingga tidak boleh dijadikan sasaran peperangan.38
Hal lain yang harus diperhatikan adalah alat dan cara menyerang dengan
maksud mencegah serta mengurangi korban di kalangan penduduk sipil dan harus
juga menangguhkan penentuan serangan yang dapat diperkirakan mampu
menimbulkan korban di kalangan penduduk sipil dan kerusakan pada objek sipil,
dan aksi tersebut juga kerugiannya melebihi keuntungan militer, aksi yang
dilakukan harus proporsional sifatnya, tidak berlebihan dalam kaitan dengan
diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung dengan tetap
memperhatikan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran.
Unsur yang kedua adalah bahwa tindakan tersebut dilakukan pada situasi
pertikaian bersenjata (unsur kontekstual). Unsur tersebut membedakan kejahatan
37
Ambarwati.Denny Ramdhany.Rina Rusman, Hukum Humaniter Internasional dalam
Studi Hubungan Internasional, PT Rajagrafindo Persada, 2012, h.35
38
Haryomataram, Hukum Humaniter,Rajawali Press, Jakarta, 1984, h.63.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
33
perang dengan kejahatan kriminal biasa. Harus ada hubungan antara tindak pidana
dan konflik bersenjata.39
Terdapat dua jenis konflik bersenjata, yaitu konflik bersenjata internasional
dan konflik bersenjata non internasional. Situasi konflik bersenjata dianggap
terbentuk ketika terdapat penggunaan pasukan bersenjata antara negara atau
negara atau sebuah kekerasan bersenjata antara negara atau sebuah organized
armed group atau antar dua armed groups dalam sebuah negara. Dalam definisi
diatas yang dimaksud penggunaan pasukan bersenjata antara negara adalah
konflik bersenjata internasional, sedangkan kekerasan bersenjata berkepanjangan
antara organized armed group dalam sebuah negara adalah konflik bersenjata non
internasional, untuk menilai suatu konflik sudah memenuhi syarat untuk menjadi
suatu konflik bersenjata non internasional hakim akan melihat berbagai faktor,
yaitu keseriusan dari serangan dan apakah terjadi peningkatan pasukan bersenjata,
adanya perluasan wilayah bentrokan, dan konflik tersebut telah menarik dewan
keamanan PBB dan dewan PBB telah mengeluarkan resolusi mengenai berapa
banyak penduduk sipil yang mengalami kerugian dari konflik tersebut, tipe
persenjataan apa yang digunakan atau senjata apa yang digunakan dalam perang.
Dalam menilai apakah pihak yang berkonflik sudah memenuhi organized
armed group akan dilihat faktor sebagai berikut apakah para pihak memiliki
strukstur dan seperangkat peraturan apakah anggota pasukan bertindak sesuai
standar yang diterima kelompok dan tidak bertindak sendiri sendiri, sebuah
organized armed groups memerlukan struktur hierarki dan kemimpinanya dan
39
ICTY, Judgement, The Prosecutor v. Dusko Tadic, IT-94-1-T, para.572 dikutip dari buku
Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional hal.49
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
34
harus mempunyai anggota. Kejahatan perang memerlukan koneksi antara
tindakan kejahatan dan konflik bersenjata, hal itu yang membuat adanya
pembedaan antara hukum humaniter internasional kejahatan perang dengan
kejahatan umum yang diatur dalam hukum nasional, untuk membuktikan adanya
hubungan koneksi antara tindakan kejahatan dan konflik bersenjata harus melihat
apakah konflik bersenjata yang menjadi faktor substansial dalam pelaksanaan
kejahatan, apakah korban adalah bagian dari pihak musuh pelaku, apakah aksi
kejahatan merupakan bagian tugas dalam konteks kewajiban pelaku, dan apakah
korban merupakan pejuang atau bukan.
Konflik Ukraina mengancam perdamaian dunia, konflik ini menelan korban
dari pihak yang menginginkan referendum, Hukum Internasional menetapkan
aturan mengenai prinsip non intervensi, tidak berhaknya negara lain atau
organisasi untuk mencampuri urusan dalam negri suatu negara. Sebab kedaulatan
negara tidak dapat diganggu gugat.
Intervensi militer yang dilakukan oleh Rusia di wilayah Ukraina dilatar
belakangi oleh kependudukan wilayah dengan tujuan utama merebut kembali
Crimea agar menjadi bagian dari Rusia. Tindakan Rusia telah melanggar
kedaulatan dan integritas teritorial Ukraina.40
Konflik di Ukraina dapat digolongkan sebagai Konflik bersenjata Non
internasional, karena konflik terjadi merupakan sengketa bersenjata yang terjadi
didalam wilayah Ukraina antara pasukan bersenjata negara Ukraina dengan
pasukan bersenjata pemberontak separatis pro Rusia. Konflik yang terjadi di
40
www.parliament.uk/Ukraine,Crimea and Russiam diakses pada tanggal 11 Februari
2015
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
35
Ukraina yang sebelumnya merupakan konflik bersenjata non internasional
berubah menjadi konflik bersenjata internasional sejak adanya intervensi dari
negara Rusia, melibatkan angkatan bersenjata dari dua negara, menurut Pasal 2
Konvensi Jenewa 1949 setiap perbedaan yang muncul antar dua negara dan
menyebabkan intervensi angkatan bersenjata adalah sengketa bersenjata sekalipun
salah satu pihak tidak mengakui keberadaan keadaan perang.
Unsur ketiga adalah bahwa tindakan tersebut menimbulkan tanggung jawab
pidana secara individual, pemidanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan
agar seorang pelaku yang terlibat dalam kejahatan perang harus bertanggung
jawab karena sifatnya sangat mutlak, selain tanggung jawab secara individu ada
kemungkinan timbulnya tanggung jawab negara. Hal penting yang menentukan
suatu tindakan disebut sebagai kejahatan perang yaitu apabila dilakukan terhadap
orang-orang atau objek-objek yang dilindungi oleh hukum perang.
Tujuan hukum humaniter internasional adalah memberikan perlindungan
baik untuk pihak yang terlibat maupun juga penduduk sipil (civilian). Dalam
terjadinya konflik bersenjatan segala sesuatu itu berhubungan dengan Hak Asasi
Manusia dan hal itu merupakan sesuatu hal yang harus selalu dipahami dan harus
dipertahankan dalam situasi apapun, namun dalam keadaan darurat yang
diumumkan secara resmi yang sifatnya mengecam, disini negara harus dapat
melindungi hak-hak penduduk sipil, hak- hak tersebut adalah :
a. Hak untuk hidup;
b. Hak untuk tidak dipaksa;
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
36
c. Hak untuk tidak diperbudak;
d. Hak untuk tidak dipenjara atas dasar tidak menjalankan kewajiban kontraktual;
e. Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
f. Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum;
g. Hak untuk kebebasan berfikir, berkeyakinan, dan beragama.41
Hak tersebut dijamin oleh seluruh instrumen hukum internasional dan hak
tersebut jika dilanggar makan dapat dikatakan sebagai kejahatan perang.
Penerbangan pesawat MH-17 Malaysia airlines yang saat ditembak pesawat
ini menuju utara menjauhi jalur selatan yang biasa digunakan untuk penerbangan
dari Bandara Schiphol, Amsterdam,
ke Kuala Lumpur, Malaysia. Pesawat
tersebut tercatat meminta izin terbang di ketinggian 33 ribu kaki, dengan melintasi
rute penerbangan di wilayah konflik. Penerbangan tersebut sebenarnya ada pada
jalur penerbangan yang benar, sebelum tragedi penembakan pesawat MH-17 rute
melalui wilayah Donetsk dianggap sebagai jalur aman untuk penerbangan sipil
terlepas dari wilayah daratannya.42 Meski daerah tersebut dinyatakan aman dan
tidak ada larangan seharusnya maskapai juga memperhatikan kondisi langit
wilayah Ukraina yang sedang ada konflik, tidak hanya Malaysia airlines saja yang
bertanggung jawab, tetapi juga Ukraina yang seharusnya memberi peringatan
pada semua maskapai yang akan melintasi wilayah langitnya, dengan adanya
konfirmasi
maka
meminimalkan
resiko
pelanggaran
hukum
humaniter
internasional.
41
Kovenan Internasional Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik, pasal 4 ayat 2.
42
“Separatis incar pesawat militer ukraina mengapa MH17 tidak alihkan rute”
,www.tribunnews.com diakses 21 November 2014
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
37
Kejadian penembakan pesawat MH-17 ini setidaknya ada 298 orang
meninggal dunia, keprihatinan akan hal-hal yang membuat masyarakat
internasional perlu untuk memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia
penduduk sipil diwaktu kondisi perang, oleh karena itu lahirnya Konvensi
Internasional mengatur mengenai perlindungan sipil di waktu perang, diantaranya
konvensi Den Haag 1907 mengenai hukum dan kebiasaan perang , adapula
konvensi Jenewa 1949 yang sebagian besar ketentuanya ditetapkan untuk
melindungi penduduk sipil yang termasuk kategori orang yang dilindungi dalam
konvensi tersebut. perlindungan orang sipil diwaktu perang yang terdapat pada
bagian IV. Konvensi Jenewa 1949 merupakan konvensi yang melengkapi
ketentuan-ketentuan yang ada sebelumnya, aturan ini membatasi akibat yang
timbul dari perbuatan para pihak dalam keadaan perang, menyelamatkan
penduduk sipil dari kerusakan dan penderitaan perang. Pada prinsipnya hal
tersebut merupakan usaha untuk menghindarkan penduduk sipil dari tindakan
sewenang-wenang.
Penduduk sipil bagian dari orang yang tidak ikut serta dalam perang, maka
berdasarkan ketentuan dari Konvensi Jenewa 1949 pada bagian IV dalam
ketentuan umum mengatur mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu
perang berhak atas hal-hal sebagai berikut :
a.
Perlindungan diri dan kehormatan manusia
1.
Dalam pasal 27 Paragraf 1 mengatur bahwa orang yang dilindung dalam
segala keadaan berhak akan penghormatan atas pribadi, hak kekeluargaan,
keyakinan, dan praktek keagamaan serta kebiasaan mereka. Terhadap penduduk
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
38
sipil harus diperlakukakan tindakan dengan perikemanusiaan, dan terutama harus
dilimdungi terhadap segala tindakan kekerasan;
2.
Dalam pasal 27 Paragraf 2 mengatur bahwa wanita terutama dilindungi
terhadap setiap bentuk pelanggaran atas kehormatanya khusunya terhadap
perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap bentuk pelanggaran kesusilaan
lainya;
3.
Dalam pasal 28 yang mengatur pihak dalam pertikaian tidak boleh
menggunakan orang yang dilindungi dalam konvensi untuk dijadikan sasaran atau
daaerah tertentu kebal dari operasi militer dalam pertempuran dengan musuh;
4.
Pasal 29 menyatakan pihak-pihak dalam pertikaian bertanggung jawab atas
perlakuan yang diberikan oleh pejabat atau anggota bersenjata kepada oreangorang yang dilindungi yang ada dalam kekuasaan mereka;
b.
1.
Tindakan tindakan yang dilarang
Diatur dalam pasal 27 dan Pasal 31 mewajibkan bahwa pihak peserta
konvensi harus melindungi dan menghormati orang-orang yang dilindungi yang
melarang pula dilakukannya tindakan paksaan baik jasmani maupun rohani, untuk
memperoleh keterangan dari mereka.
2.
Dalam Pasal 33 Konvensi Jenewa ini melarang pihak dalam pertikaian
untuk menjatuhkan hukuman kolektif, melakukan tindakan intimidasi terorisme,
dan perampokan apalagi tindakan pembalasan terhadap penduduk sipil baik
terhadap diri, maupun harta milik mereka
Dalam pasal 3 ayat (1) dan Pasal 34 Bagian IV Konvensi Jenewa 1949 mengenai
Perlindungan terhadap Penduduk Sipil diwaktu perang. Konvensi ini secara
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
39
mutlak melarang pihak dalam pertikaian untuk menangkap penduduk sipil dengan
maksud untuk menahan mereka sebagai sandera.
Skripsi
PENEMBAKAN PESAWAT MH-17 DITINJAU DARI
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
ADELIANA KARTIKA PUTRI
Download