kecerdasan sosial dalam selera musik

advertisement
KECERDASAN SOSIAL DALAM SELERA MUSIK
Leo Panji Mahendra & A. Harsawibawa
Program Studi Filsafat
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
______________________________________________________________________________
ABSTRAK
Nama
: Leo Panji Mahendra
Program Studi : Ilmu Filsafat
Judul
: Kecerdasan Sosial dalam Selera Musik
Dalam perdebatan tentang musik, terdapat gagasan bahwa akses manusia kepada musik dapat
dicapai melalui emosi. Gagasan ini memiliki kelemahan, yaitu bahwa kita menyandarkan
pemahaman kita pada hal yang bersifat tidak stabil. Akses yang layak bagi manusia adalah
melalui kognisi. Kognisi bekerja melalui proses sosial, lebih daripada proses individual. Melalui
interaksi sosial, manusia mendapatkan kontak yang intens terhadap musik dan nilai-nilai estetika
yang berkembang. Dalam interaksi sosial, pola pikir dan perilaku manusia mengalami modifikasi
atas dasar gaya-gaya sosial yang bekerja di dalam masyarakat. Kognisi manusia dapat mengalami
tekanan tertentu yang mendorongnya untuk memiliki kepekaan tertentu terhadap kualitas
musikal, sehingga manusia dapat memiliki kecerdasan selera tertentu, dengan intervensi yang
kuat dari pendidikan.
Kata kunci: Habitus; Kecerdasan; Pendidikan; Selera
Name
Major
Title
ABSTRACT
: Leo Panji Mahendra
: Philosophy
: Social Intelligence of the Taste of Music
In the academic debate, there is an idea of human’s understanding of music, which is reached by
the human’s emotion. This idea had a weakness, i.e. we cannot rely our understanding on that
unstable thing. The proper access for human understanding is through the cognition. Human’s
cognition is worked under the force of the social process, rather than an individual force.
Through the social interaction, human makes some intense contacts to the music and any
developed aesthetic’s value. With those social interactions, human’s mind and behaviour are
modified under the social forces. Human’s cognition has been driven to be able to get some
certain sensitivities to the musical quality, so that human can modified his/her own particular
inteligence of taste, with a strong intervention of eduacational system.
Key Words: Education; Habitus; Intelligence; Taste
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
A.
Pendahuluan
Musik seringkali dipahami sebagai sebuah pelepasan emosi manusia ke dalam karya seni
auditif. Penggunaan nada dalam musik merupakan implementasi kondisi mental manusia.
Dengan perkembangan dalam sejarah musik, manusia dapat memanfaatkan nada-nada yang ada
untuk meniru kondisi mentalnya. Gambaran tentang kondisi mental manusia dapat diwujudkan
melalui penggunaan unsur-unsur musikal, seperti nada, tempo dan tensi. Berbagai unsur tersebut
dapat dipolakan melalui emosi manusia.
Dari sisi pendengar, musik dapat dipahami melalui emosi. Makna musik dapat diakses
jika pendengar mencoba memahami sebuah karya melalui emosinya. Andrew Bowie menyatakan
emosi sebagai “The line between mere feeling, which supposedly has no cognitive content, and
emotion, which does, seems to me less clear-cut than is often thought”. Manusia, sebagai
pendengar, akan merasakan kedekatan emosional dengan karya tersebut, sehingga makna
intrinsik di balik rangkaian nada tersebut dapat dipahaminya, bukan hanya sebagai suara, tetapi
sebagai suatu entitas yang bermakna bagi dirinya. Pada gagasan ini, pemahaman terhadap musik
bersifat subjektif, dalam arti, pemahaman pendengar akan disesuaikan dengan latar belakangnya,
sehingga pendengar dapat merasakan keserupaan emosi pada musik tersebut dengan emosi
tertentu yang pernah dirasakannya.
Pada musik-musik tertentu yang memiliki aransemen sederhana (musik pop), emosi dapat
dirasakan dengan mudah, sebab musik tersebut cenderung berirama stabil, sebab musik pop
memiliki ciri khas kesederhanaan, dalam arti, mudah dipahami oleh pendengarnya. Namun,
dengan munculnya musik-musik yang lebih modern, kerumitan aransemennya pun meningkat.
Kesederhanaan dan stabilitas irama pun menjadi dipertanyakan. Gagasan modernitas dalam
musik tidak hanya mencakup stabilitas, tetapi juga ketidakstabilan unsur-usur musikal. Perubahan
dapat terjadi dengan sangat cepat pada gagasan modern. Hal itulah yang menjadi gagasan baru
dalam musik. Sebagai representasi dari realitas, musik modern, bersama dengan perkembangan
pemikiran modern, menggambarkan keseluruhan realitas manusia, termasuk ketidakstabilan dan
dinamika dalam kehidupan sosial, yang tertanam di dalam kesadaran manusia. Gagasan ini
seringkali muncul dalam musik-musik progressive dan klasik kontemporer yang menonjolkan
perubahan dinamika musik secara tiba-tiba. Musik tidak hanya memberikan ketenangan pada
manusia, namun juga memberikan gangguan pada stabilitas antisipasi musikal manusia.
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
Dalam perkembangan musik semacam ini, emosi manusia tidak lagi memadai untuk
memahami tingkat kerumitan musik. Emosi bekerja pada tataran non kognitif manusia,
sedangkan musik-musik modern diciptakan melalui proses kognitif yang rumit, penuh dengan
perhitungan dalam mengakali antisipasi musikal manusia.
Aspek kognitif manusia memiliki keterkaitan yang kuat dengan logika, sedangkan emosi
memiliki keterkaitan dengan insting manusia sebagai makhluk hidup. Seringkali, manusia
melakukan tindakan berdasarkan instingnya, sehingga membawa manusia pada konsekuansi
tertentu atas tindakannya. Konsekuensi tersebut dapat diperkirakan melalui hukum kausalitas.
Insting manusia bekerja untuk mempertahankan eksistensi manusia sebagai bagian dari semesta
yang bersifat naturalistik. Namun, dengan adanya logika, manusia dapat mengakali konsekuensi
naturalistik semesta. Penggunaan logika dalam sistem kognisi seringkali melawan insting
manusia. Logika digunakan untuk mempelajari insting manusia, sehingga instng tersebut dapat
diatasi. Gagasan semacam ini digunakan dalam musik-musik modern, sehingga antisipasi
manusia terhadap pola harmoni klasik dalam musik pop dapat diatasi. Manusia menggunakan
dinamika musikal, yang didasarkan pada sistem kognitif, untuk melahirkan sensasi baru pada
musik, yang tidak hanya bekerja pada tataran emosional manusia, tetapi lebih pada tataran
kognitif manusia. Pola kognitif semacam ini memunculkan musik yang berada di taraf keindahan
yang lebih tinggi (high art). Konsekuensi dari stratifikasi seni ini adalah bahwa penikmat musik
high art dapat memahami musik pop art, sedangkan penikmat musik pop art belum tentu dapat
memahami musik high art. Hal ini menunjukan bahwa musik bekerja di tataran kognitif, bukan
emosi, sebab, emosi manusia dapat bekerja jika manusia memiliki pengetahuan tentang emosi
tersebut, atau setidaknya, jika manusia mengetahui bahwa dirinya mengalami kondisi emosional
tertentu. Maka, musik dan maknanya dapat diakses secara penuh oleh sistem kognisi manusia,
jika manusia memiliki tingkat kognitif cukup tinggi.
Dari latar belakang ini, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
•
Bagaimana musik dapat mempengaruhi tatanan kehidupan sosial masyarakat?
•
Bagaimana musik dapat menjadi indikator kecerdasan manusia di dalam lingkungan
sosialnya?
•
Bagaimana selera musik seseorang memiliki keterkaitan dengan tingkat pendidikannya?
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
Penulisan ini memiliki tujuan untuk membongkar konsep estetika di dalam musik, melalui
kerangka epistemologi, yang mendasarkan diri pada gaya-gaya sosial di dalam masyarakat.
Konsep sosial menjadi krusial, sebab, musik mengalami perkembangan secara pesat melalui
interaksi sosial manusia, yang terjadi sepanjang sejarah.
B.
Tinjauan Teoretis
Persoalan tentang musik, sebagai kasus, seringkali dianggap sebagai persoalan nilai yang
bersifat subjektif dan personal. Ada kecenderungan untuk menyatakan bahwa musik dengan
segala kompleksitasnya merupakan hal yang bersifat personal dan tidak terjamah oleh ranah
sosial manusia. Kemampuan mausia dalam memahami musik merupakan sebuah kemapuan
bawaan yang telah tertanam di dalam otak manusia. Gagasan neurosains menjadi teori yang akan
dikaji lebih lanjut.
Dalam pembahasan tentang musik sebagai proses sosial, gagasan Pierre Bourdieu akan
digunakan untuk menganalisis segala proses sosial yang terjadi di dalam persoalan selera musik.
Teori tentang habitus dan kelas sosial akan mendasari penjelasan tentang kemampuan
pemahaman musik yang dimiliki oleh setiap individu manusia.
C.
Metode Penelitian
Penulisan ini menggunakan metode kritik reflektif, dengan gagasan sosiologis dalam
pemahaman manusia terhadap musik. Pendekatan sosiologis akan menjadi peralatan analisis
dalam kemampuan musikal manusia, yaitu kecerdasan musikal manusia merupakan bentukan dari
gaya sosial yang bekerja di dalam masyarakat.
D.
Pembahasan
Musik merupakan suatu entitas yang nyata bagi manusia. Pada masa pencerahan, musik
menjadi karya seni yang diagungkan, sekaligus objek penelitian berbagai disiplin ilmu, terutama
filsafat. Musik menjadi simbol dari modernitas, bersama dengan ilmu pengetahuan, dan menjadi
sarana untuk mengangkat eksistensi manusia di dunia. Sejak saat itu, musik berkembang menjadi
sistem yang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, dan sekaligus
menjadi indikator peradaban manusia.
Filsafat mengalami perkembangan pesat pada masa modern, mencakup banyak bidang
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
kehidupan, termasuk musik. Hal yang membuat musik menjadi kajian filsafat adalah karena
musik makna, bukan hanya karena musik dapat diinterpratasi oleh pendengar, tetapi karena
musik adalah bahasa itu sendiri. Musik bukan hanya mengada sebagai pelengkap kebutuhan
manusia akan keindahan, melainkan terus berkembang menjadi sistem yang kompleks, yang
dapat mempengaruhi pikiran manusia. Dalam pemahaman ini, musik berdiri sebagai entitas
tersendiri yang dapat terlepas dari kekuasaan manusia, sebab dalam moment tertentu, musiklah
yang menguasai manusia, secara emosional, bahkan juga dapat membentuk identitas manusia.
Dalam gagasan ilmu sosial, musik dianggap sebagai sarana bagi pertukaran dan
penyebaran nilai-nilai. Pandangan ini memposisikan musik sebagai entitas yang tergantung pada
eksistensi manusia. Kehadiran musik merupakan alat untuk memperkuat posisi seseorang secara
sosial, kultural maupun politis. Makna sebuah musik tergantung pada kepentingan manusia
sebagai pencipta musik.
Manusia dan musik memiliki posisi ganda dalam hubungannya. Secara populer, manusia
dianggap sebagai subjek bagi musik. Hal ini terkait dengan gagasan modern yang mengangkat
posisi manusia sebagai subjek dari segala realitas, termasuk musik. Posisi subjek ini
memungkinkan manusia untuk mempelajari dan menjadikan musik sebagai objek kajiannya.
Sebagai objek, musik bersifat pasif bagi manusia, dalam arti, musik tidak dapat melakukan
apapun pada manusia, kecuali jika sebuah musik memang dirancang untuk mempengaruhi
manusia. Posisi ini diterapkan pada ilmu sosial tentang musik. Sedangkan pada bidang filsafat,
musik memiliki posisi yang berbeda. Musik tidak hanya merupakan alat bagi hegemoni politik
manusia, melainkan suatu entitas tersendiri. Hal inilah yang memposisikan musik sebagai subjek,
berdampingan dengan manusia, sebagai pencipta sekaligus penikmat musik. Melalui kajian
filosofis, musik bukan hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan manusia, tapi juga entitas
tersendiri yang memiliki karakter serta eksistensinya yang khas di dalam realitas.
Pada filsafat, musik mendapatkan tempat yang lebih tinggi daripada sekedar objek. Musik
tidak hanya menjadi interpretasi kondisi psikis manusia, tetapi juga sekaligus dapat
mempengaruhi manusia. Filsafat menyediakan tempat bagi musik untuk menjadi sebuah ontologi
yang nyata di dunia, bukan hanya pelengkap manusia. Musik dapat dibicarakan sebagai suatu
entitas yang mengada dan memiliki pemaknaan yang penuh bagi manusia, sekaligus dapat
memaknai ulang keberadaan manusia. Pada posisi ini, musik menjadi objek sekaligus subjek.
Musik merupakan kemampuan bawaan manusia yang berkembang melalui evolusi
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
makhluk hidup. Gagasan tentang musik merupakan perkembangan dari insting manusia untuk
menarik lawan jenis, sebab, musik sebagai sistem keindahan, juga memiliki fungsi atraktif dan
memberikan kenyamanan pada manusia. Pemahaman manusia terhadap musik merupakan
kemampuan otak manusia dalam mengolah data suara menjadi sebuah judgment keindahan.
Proses ini melibatkan komputasi otak manusia dalam mengidentifikasi stimulus suara yang
ditangkap oleh indera. Keindahan yang ditangkap manusia sebagai sebuah sensasi, pada dasarnya
merupakan perhitungan akurasi matematis terhadap gelombang suara yang memiliki rasio
tertentu. Maka, pemahaman dan judgment tentang keindahan musik merupakan kerja otak secara
mekanistik.
Perbedaan utama antara sosiologi musik dan filsafat musik adalah pada posisi musik di
dalam dunia. Sosiologi musik menjadikan musik sebagai objek, sedangkan filsafat musik
memposisikan musik sebagai objek sekaligus subjek.
Dalam gagasan Bourdieu, selera musik merupakan bentukan sosial. Hal ini melibatkan
kekuatan sosial yang bekerja dan berseteru secara terus menerus dalam masyarakat. Melalui gaya
sosial ini, kognisi individu mengalami pembentukan, yaitu sebagai habitus, atau pola perilaku
dalam praktek sosial. Hal ini menjadikan individu memiliki suatu selera yang berkaitan erat
dengan pola konsumsinya. Habitus mengasumsikan bahwa pembentukan kecerdasan musikal
seseorang merupakan proses yang bersifat sosial dan dinamis. Menarik untuk dipelajari bahwa
Bourdieu memaparkan gagasan tentang selera sebagai suatu fenomena yang kompleks dan
melibatkan banyak hal.
Gagasan Bourdieu tentang habitus menunjukkan bahwa terdapat tingkatan di dalam selera
manusia. Tingkatan ini ditentukan dari kualitas keindahan yang dapat dinikmati oleh manusia
melalui sensasi yang dirasakannya. Seni yang lebih tinggi tercipta dari pola pikir manusia yang
lebih cerdas. Kecerdasan ini merupakan hasil dari kontak sosial manusia. Pada kebudayaan yang
lebih tinggi, manusia dapat melepaskan diri dari naluri hewani, yaitu orientasi akan kuantitas
kepuasan demi bertahan hidup. Manusia membutuhkan kepuasan yang lebih berkualitas untuk
mengakali keterbatasan durasi dalam menikmati sensasi keindahan. Dengan adanya seni yang
lebih tinggi, maka setiap sensasi yang dirasakan manusia menjadi lebih bermakna dalam
pemuasan keindahannya.
Kelas yang lebih tinggi dalam selera, mengasumsikan adanya kecerdasan yang lebih
tinggi pula. Selera ini dibentuk dari pendidikan yang didapatkannya. Pendidikan yang didapatkan
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
oleh manusia membutuhkan suatu kurikulum yang berfungsi untuk menjaga kualitas keindahan.
Kurikulum tersebut memastikan agar manusia memiliki penguasaan keterampilan dasar untuk
menciptakan karya yang lebih baik.
Dalam musik, gagasan Bourdieu menunjukkan bahwa musik memiliki kualitas yang harus
dipenuhi untuk menciptakan karya yang memenuhi standarisasi ketrampilan dan keindahan.
Pendidikan berfungsi untuk menjaga kesempurnaan sensasi yang dapat dinikmati oleh manusia.
Setiap sensasi harus memiliki kualitas yang baik, sehingga pada perjalanannya, manusia dapat
melakukan peningkatan kualitas secara terus menerus. Kesempurnaan sensasi dalam musik
menunjukkan tingkat pola pikir manusia yang lebih tinggi. Maka, untuk mencapai peradaban
yang tinggi, manusia perlu menjaga kualitas karya dalam setiap detail sensasi yang dirasakannya.
Bourdieu mengajukan gagasan tentang selera sebagai bentukan sosial, terutama melalui
perseteruan antar kelas masyarakat. Hal ini berbeda dengan gagasan Kantian yang mengajukan
bahwa selera merupakan fungsi sistem kognisi manusia yang bersifat individual. Gagasan
Kantian ini mendapat kritikan keras dari Bourdieu, terutama pada persoalan pola kehidupan
sosial yang penuh dengan pertukaran nilai. Individu mendapatkan identitasnya melalui kontak
dengan lingkungan sosial. Melalui kontak itu, terjadi pertukaran niali secara terus menerus antara
individu dan individu, maupun individu dengan komunitas. Meningkatnya kompleksitas corak
kehidupan sosial mengasumsikan bahwa identitas manusia terbentuk melalui proses yang lebih
rumit pula. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat dilepaskan dari gaya sosial
yang bekerja di dalam masyarakat.
Habitus merupakan struktur yang mengklasifikasi watak dan praktek perilaku seseorang.
Klasifikasi didasarkan pada pengetahuan yang layak terhadap objek. Perilaku seseorang dibentuk
oleh struktur kebudayaan yang rumit, beserta segala perseteruan dan dialektika di dalamnya.
Musik merupakan selera akan keindahan auditif. Manusia akan selalu membuat
judgement tentang apa yang dianggap indah. Pada taraf habitus, judgement dibuat bukan lagi
sebagai hasil refleksi yang panjang, tetapi menjadi suatu tindakan refleks manusia melalui
kognisinya. Dalam perdebatan tentang selera musik, ada perbedaan pandangan musik dari
kelompok awam dan profesional musik. Kaum awam memiliki pengetahuan terbatas tentang
musik. Pengetahuan yang terbatas itu akan memunculkan stagnansi perdebatan selera pada
tingkatan tertentu.
Dalam prakteknya, ilmu komposisi dapat dipelajari dalam institusi pendidikan musik.
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
Sebagai sebuah institusi, musik telah dipelajari strukturnya dan dibuatkan perumusannya untuk
dapat diaplikasikan secara turun temurun ke generasi selanjutnya. Warisan ilmu tersebut, dalam
perkembangannya akan menjadi semakin kompleks dengan eksplorasi terhadap nada-nada.
Perkembangan yang turun temurun itu akan membawa progres kognitif dalam kultur musik. Dan
sebagai institusi, ada jaminan bahwa musik merupakan suatu wilayah yang dapat dibicarakan
secara ilmiah. Hal ini menunjukan bahwa musik tidak cukup hanya dapat dirasakan secara
emotif, melainkan dapat dipahami sejauh tingkatan kognisi manusia. Musik bukanlah suatu
wilayah subjektif manusia yang tidak dapat diakses oleh orang lain. Akses musikal dapat
dipelajari dalam institusi dan menjadi sebuah warisan kognitif bagi generasi mendatang. Semakin
tinggi kemampuan kognisi musikal seseorang, maka dia dapat menciptakan komposisi musik
yang lebih baik. Karena itu, standarisasi musikal institutif perlu dibuat untuk menjaga kualitas
musik sebagai sebuah kemajuan peradaban. Dengan semua dorongan kognitif, musik
mendapatkan gairahnya. Sekalipun terbukti benar bahwa musik dapat membangkitkan emosi
seseorang, namun kemampuan kognisi berkuasa atas musik tersebut, dan pada gilirannya akan
berkuasa terhadap emosi seseorang.
Dari kutipan Andrew Bowie atas Schlegel: ‘Beauty (harmony) is the essence of music, the
highest of all arts. It is the most general (art). Every art has musical principles and when it is
completed it itself becomes music’.1 Hal ini menunjukkan adanya prinsip yang harus dipenuhi
dalam bermusik. Prinsip tersebut merupakan struktur yang dapat dipelajari melalui kognisi.
Dalam hal ini, musik mendapatkan tempatnya sebagai sebuah bahasa, yang memiliki struktur
tertentu untuk dapat dipahami.
Keindahan musik juga dapat dipahami oleh para pendengar musik. Pada dasarnya, prinsip
pembuatan judgment dalam apresiasi tidak berbeda jauh dengan proses kreasi, hanya saja berasal
dari posisi yang berbeda. Pendengar musik dapat menikmati sebuah musik sejauh kemampuan
kognisinya dapat memahami pola-pola nada dalam suatu musik. Kognisi pendengar musik juga
dapat mengalami peningkatan seperti yang terjadi pada konposer musik. Namun, institusi
pendidikan apresiasi musik mungkin kurang populer dibandingkan dengan institusi pendidikan
kreasi musik. Hal ini mengakibatkan standarisasi apresiasi musik kurang dikenal secara luas
dalam budaya populer. Sarana apresiasi musik yang cukup dikenal hanyalah sebatas media
1
Andrew Bowie. 2007. Music, Philosophy and Modernity. New York: Cambridge University Press. Hal 101. Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
populer, yang didalamnya kekuatan kapitalisme kultural bekerja, sehingga standarisasi yang
dikenal lebih luas adalah seberapa banyak musik tersebut didengar oleh masyarakat.
Dalam proses apresisasi musik, semua orang dapat ikut serta. Hal ini disebabkan karena
musik dapat didengarkan, sehingga semua orang yang memiliki pendengaran dapat mengakses
musik. Para kreator musik pun juga termasuk di dalam proses apresiasi, karena pembuat musik
pasti juga mendengarkan musik yang mereka ciptakan. Karena itu, kelas apresiasi musik lebih
luas lingkupnya dibandingkan kelas kreasi musik.
Manusia dapat mendengarkan musik sejauh musik tersedia baginya untuk didengarkan.
Di sini, kita berbicara tentang distribusi karya musik melalui media. Seorang pendengar musik
tidak memiliki kewajiban untuk mendengarkan beragam jenis musik. Karena itu, sering terjadi
bahwa masyarakat hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang musik.
Dalam penjelasan di atas tentang komposisi musik, ada musik yang memiliki komposisi
sederhana dan rumit. Musik sederhana memiliki syarat sebatas tidak fals dan dapat diapahami
oleh semua orang. Sifat mudah dipahami ini mengasumsikan bahwa orang-orang yang tidak
memiliki kognisi musikal tinggi pun dapat menikmatinya, apalagi orang yang memiliki kognisi
musikal tinggi.
Jika berbicara tentang musik yang dipahami secara luas, maka kita harus berbicara
tentang kapitalisme kultural dalam musik. Musik telah menjadi industri untuk mencari
keuntungan. Karena tidak ada jaminan bahwa setiap orang mempelajari musik, maka industri
musik akan menghasilkan lebih banyak karya musik dengan komposisi sederhana agar dapat
diterima lebih luas. Industri, yang memiliki modal besar, memiliki akses media untuk
mendistribusikan produknya. Hal ini juga sejalan di dalam bidang musik. Media populer yang
memiliki akses luas kepada masyarakat, dikuasai oleh industri musik, sehingga pada wilayahwilayah tertentu, masyarakatnya tidak memiliki pilihan untuk mengakses beragam jenis musik.
Mereka hanya dapat mengakses musik yang disediakan oleh media. Wilayah ini menjadi sasaran
industri untuk mendominasi pengetahuan masyarakat secara besar-besaran. Dalam istilah budaya
populer, hal ini disebut dengan pembentukan selera pasar.
Selera merupakan judgment seseorang yang dibuat berdasarkan pengetahuannya terhadap
objek. Hal ini berarti, pengetahuan menjadi syarat bagi adanya judgment. Manusia dapat
memiliki pengetahuan sejauh adanya akses bagi pengetahuan. Jika akses pengetahuan dibatasi,
maka kemampuan kognisi manusia pun menjadi terbatas. Dalam kajian budaya populer,
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
kelompok ini disebut dengan low culture, karena ketiadaan struktur pengetahuan yang cukup
tinggi bagi progres kebudayaan. Dalam proses kapitalisme, kelompok ini harus dijaga
keberadaannya sebagai konsumen utama. Jika pengetahuan mereka meningkat, maka industri
kehilangan pasar potensialnya.
“The lower positions -and, correlatively, the dispositions of their occupants--derive some of their characteristics from the fact that they are objectively related
to the corresponding positions at the higher level, towards which they tend and
'pre-tend'.”2
Dalam perkembangannya, ada sebagian dari kelompok low culture yang berhasil
mengakses lebih banyak pengetahuan daripada yang disediakan, sehingga tingkat kemampuan
kognisi mereka meningkat. Akibatnya, standarisasi aesthetic judgment mereka pun meningkat.
Mereka memiliki kesadaran akan keindahan yang lebih tinggi, sebab mereka bisa membuat
perbandingan dengan objek-objek yang lebih banyak. Hal ini masih sejalan dengan gagasan lack
dan desire dari Lacan. Mereka berhasil melawan represi industri pengetahuan. Namun hal ini
tidak menghentikan langkah industri. Industri akan membuat represi yang lebih kuat bagi struktur
pengetahuan masyarakat, misalnya dengan pembelokan istilah musik untuk keindahan menjadi
musik untuk sesuatu yang lain (refreshing dari kepenatan hidup). Dengan cara ini, fokus
masyarakat akan dialihkan dari perkembangan intelektual musik. Musik akan tetap ada dalam
masyarakat, namun hanya sebagai salah satu sarana hiburan bagi mereka yang penat akan
fokusnya terhadap pekerjaan di bidang lain. inilah cara yang digunakan untuk mengurangi
kesadaran musikal masyarakat.
Melalui kerangka kerja ini, apresiasi musik hanya dapat mengalami kemajuan sejauh
masyarakat berhasil melawan represi industri tanda (pengetahuan). Kemampuan kognitif manusia
dapat direkayasa sejauh kepentingan industri. Namun di sisi lain, institusi pendidikan berusaha
membebaskan manusia dari struktur kognisi bentukan industri. Pada ranah apresiasi ini,
kesadaran dan kognisi musikal manusia dipertaruhkan oleh dua kekuatan tersebut. Perseteruan
antara subjek dan other terjadi dengan lebih sengit pada ranah apresiasi ini. Subjek direpresi
habis-habisan oleh bahasa yang diternakkan oleh industri (other).
Taste represents the concealed exercise of power; it is a ‘matter of course’, the ‘natural
2
Pierre Bourdieu. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard College. Hal. 123 Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
difference’ that has grown apart from the social.3 Selera musik, merupakan persoalan identitas
manusia yang berkaitan dengan kelas sosial. Melalui selera, manusia mengidentifikasi dirinya ke
dalam suatu komunitas. Karena selera merupakan hasil dari suatu pola pikir tertentu, individu
tersebut telah mengalami perseteruan antara gaya-gaya sosial yang terjadi di dalam lingkungan
sosialnya. Bahkan, perseteruan tersebut akan mengalami perseteruan lebih lanjut dengan sisi
subjektifnya. Latar belakang seseorang, termasuk kecerdasan dan tingkat pendidikannya, akan
menentukan tingkatan seleranya.
Manusia memahami keindahan seni melalui proses pembelajaran reflektif yang
dirumuskan melalui pendidikan. Sebagai sebuah sistem, keindahan seni dan musik, merupakan
kesepakatan bersama yang berkembang dalam kebudayaan melalui pola pikir komunal
masyarakat terhadap respon realitas. Karena keindahan musik merupakan bentukan sosial, maka
manusia mempelajari nilai tersebut melalui kontak sosial. Semakin tinggi tingkat kecerdasan
seseorang mengasumsikan semakin tingginya kelas sosial. Kecerdasan ini mengarahkan pola
pikir dan pola perilaku manusia pada kelas tertentu. Maka, selera keindahan manusia ditentukan
oleh tingkat pendidikan dan kecerdasan yang dimilikinya di dalam kehidupan sosial.
Musik merupakan suatu keindahan bebunyian yang memiliki struktur tertentu. Struktur inilah
yang menjadikan musik mendapatkan unsur keindahannya, dan menjadi berbeda dengan sebuah
kumpulan suara. Pemahaman tentang struktur musik bisa didapatkan dari kontak sosial manusia.
Dengan kontak yang berlangsung secara terus menerus, manusia bisa memahami struktur
keindahan di dalam musik.
Namun, seiring perkembangan musik dan kompleksitasnya, kontak sosial tidak lagi
memadai untuk memahami musik dengan struktur harmoni baru. Seringkali, musik ditampilkan
dengan harmoni yang tidak lazim. Kontak sosial manusia masih mampu untuk menjadi sarana
pembelajaran struktur harmoni yang lazim. Namun, dalam struktur harmoni yang tidak lazim dan
memiliki kompleksitas tinggi, manusia membutuhkan pembelajaran yang lebih dari sebatas
kontak sosial.
Struktur musik yang kompleks tidak lagi memberikan kenyamanan musikal yang
didasarkan pada kesesuaian antisipasi manusia. Musik modern memberikan penekanan pada
3
Simon Susen & Bryan Turner. 2011. The Legacy of Pierre Bourdieu: A Critical Essays. London: Anthem Press. Hlm 126. Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
gagasan keindahan itu sendiri. Keindahan didapatkan melalui pemahaman terhadap struktur,
bahkan struktur yang rumit sekalipun. Maka, dengan struktur harmoni tertentu, musik akan
mendapatkan keindahannya.
Dalam praktek pembelajaran musik, sering ditemukan eksplorasi pada komposisi nada.
Musik yang umum muncul di dalam kebudayaan, terutama pada kebudayaan pop, hanya
mengekspos sebagian kecil struktur harmoni musikal. Di luar struktur umum tersebut, ada banyak
sekali struktur lain yang memiliki harmoni berbeda. Pembelajaran musikal akan menuntut
individu untuk dapat memperluas wawasan akan keindahan dari struktur lainnya. Secara filosofis,
kemampuan untuk memahami struktur harmoni ini merupakan suatu proses adptasi kognitif
manusia terhadap realitas musikal. Individu manusia mengalami kontak denga realitas, yaitu
nada-nada musik yang didengarnya. Setiap nada tersebut memberikan sensasi tertentu pada
manusia. Jika manusia bisa mendapatkan struktur harmoni keindahannya, maka otak manusia
telah melakukan proses adaptasi dalam mencerna nada tersebut. Namun, jika manusia tidak
mendapatkan struktur keindahan di dalam pola nada tersebut, maka otaknya belum mampu
beradaptasi terhadap pola tersebut. Dalam rangka adaptasi ini, manusia melakukan proses
pembelajaran.
Pembelajaran dilakukan manusia terhadap kemampuan kognitifnya, artinya dilakukan
untuk meningkatkan pengetahuannya. Hal ini dilakukan dengan jalan pendidikan. Secara
mendasar, pendidikan mengasumsikan bahwa objek kajian dapat didiskusikan. Dengan begitu,
maka individu bisa mencapai sebuah kesepakatan tentang musik, atau dengan kata lain,
keindahan musik memiliki sifat objektif.
Fungsi paling penting dari pendidikan adalah sebagai standarisasi kualitas musikal.
Pendidikan menuntut individu untuk menguasai teknik dasar yang tepat. Hal ini bertujuan untuk
melatih individu agar memiliki kepekaan terhadap detail kualitas keindahan. Dengan memiliki
kepekaan tersebut, individu akan membentuk seleranya kepada kelas yang lebih tinggi secara
hirarkis. Kepuasan dalam seni bukanlah mengacu pada kuantitas konsumsi keindahan, tetapi pada
kualitas. Dengan kepekaan terhadap kualitas, individu berada di taraf yang lebih tinggi, sebab,
individu tersebut telah mampu menempatkan pola adaptasinya di taraf kepuasan kognitif. Di
posisi ini, individu mampu mengatasi keterikatannya dengan naluri alamiahnya, yaitu
ketergantungan pada kuantitas.
Kepekaan terhadap detail kualitas mengasumsikan bahwa individu mampu memproses
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
(bukan hanya mendengarkan) musik dengan baik. Hal inilah yang menunjukkan bahwa individu
memiliki selera yang lebih tinggi. Secara sosial, hal ini ditentukan dari tingkat dan jenis
konsumsinya. Namun, secara filosofis, hal ini menunjukkan bahwa identitas hirarkis ditentukan
oleh kemampuan kognisinya dalam membuat judgment. Ada standarisasi yang perlu diperhatikan
dalam memperbincangkan sebuah keindahan. Jika suatu karya telah memenuhi standard
keindahan, maka karya tersebut menjadi layak untuk diperbincangkan. Untuk menentukan
kelayakan ini, individu membutuhkan kepekaan terhadap kualitas.
Maka,
kepekaan
terhadap
kualitas
ini
merupakan
identitas
seseorang,
yang
membedakannya dengan individu lain, didasarkan pada kemampuan kognitifnya yang terbentuk
melalui proses sosial. Dari persoalan pendidikan, kepekaan ini membutuhkan suatu proses
reflektif manusia terhadap realitas keindahan, melebihi kemampuan bawaan otaknya.
Gagasan neurosains, tentang kemampuan manusia dalam memahami keindahan musik,
memiliki keterbatasan, yaitu pada reduksi pemahaman selera manusia kepada insting alamiah.
Manusia tidak selalu terikat pada naluri alamiahnya. Ada proses reflektif yang dilakukan oleh
manusia, sebagai usahanya untuk melepaskan diri dari respon alamiah tersebut. Sekalipun
manusia mengalami proses evolusi yang membentuk kecerdasannya, gagasan tentang insting,
sebagai mekanisme respon manusia terhadap alam, tidak memadai untuk menjelaskan dinamika
selera manusia. Musik tidak hanya berhubungan dengan emosi, tetapi lebih pada kognisi
manusia. Manusia mendapatkan makna sebuah musik melalui pengetahuan dan pemahamannya
terhadap musik sebagai realitas. Kecerdasan manusia akan membentuk tingkat selera musiknya.
Selera musik tidak hanya berbeda secara horizontal, tetapi juga secara vertikal. Ada tingkatan
kualitas musik yang menjadi orientasi manusia dalam merespon keindahan. Fokus terhadap
kualitas ini hanya bisa dipelajari manusia melalui pendidikan, sebab, sistematika pendidikan
memastikan agar kualitas keindahan musik tetap terjaga dari ketidaksempurnaan teknis dasar dan
teori.
Pendidikan memiliki pengaruh paling penting dalam tingkat pemahaman manusia akan
musik. Musik memiliki tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Hal ini membutuhkan tingkat
kognitif yang lebih tinggi pada manusia untuk dapat memahami berbagai variasi musik. Manusia
memang membutuhkan kapasitas kemampuan otak dalam memahami musik, namun, hal tersebut
tidaklah cukup dalam meningkatkan kecerdasan selera bermusik manusia. Kemampuan otak
manusia dalam memahami musik dapat dimaksimalkan dengan pendidikan yang didapatkan
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
manusia melalui kontak sosialnya.
Musik sebagai seni, mendapatkan identitasnya melalui konstitusi sosial dalam judgment
akan keindahan. Keindahan yang dirasakan oleh manusia merupakan implikasi dari kontak
manusia dengan realitas yang berada disekitarnya. Realitas yang dimaksud bukan hanya yang
bersifat naturalistik. Dengan kompleksitas kehidupan manusia yang semakin tinggi, keindahan
juga muncul dari kehidupan sosial manusia. Bahkan, seiring dengan perkembangan peradaban,
kehidupan sosial memegang peranan mayoritas dalam realitas manusia. Segala aspek yang
berkaitan dengan manusia, termasuk keindahan, mendapatkan konstitusinya dari kehidupan
sosial. Karena itu, nilai keindahan merupakan bentukan sosial, sehingga terdapat standarisasi
keindahan di dalam seni yang mengasumsikan adanya seni yang lebih tinggi dan lebih rendah.
untuk dapat mengetahui standarisasi tersebut, manusia harus melakukan kontak dengan
lingkungan sosialnya. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan neurosains tentang kapasitas
kemampuan otak manusia tidaklah memadai untuk menjelaskan proses pemahaman manusia
terhadap berbagai tingkat kerumitan musik. Gagasan neurosains tidak akan bekerja jika tidak ada
penjelasan sosiologis tentang proses sosial dalam pemahaman musik.
E.
KESIMPULAN
Pendidikan menjadi akses bagi manusia untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya
dalam segala hal, termasuk musik. Makna pendidikan yang dimaksud bukanlah dalam arti
sempit, yaitu pendidikan yang didapatkan melalui suatu institusi formal, tetapi lebih pada
pendidikan dalam arti luas, yaitu proses pembebasan manusia untuk mendapatkan
kemanusiaannya melalui pengetahuan dan keterampilan. Terdapat kelas-kelas dalam seni musik
yang berkaitan dengan tingkat kerumitannya. Namun, hal yang lebih penting dalam musik adalah
penguasaan terhadap teori dan teknik dasar untuk menciptakan suatu karya yang layak untuk
disebut musik, bukan hanya suara bising (noise). Penguasaan teknik dasar inilah yang seringkali
luput dalam berbagai karya musik, sehingga ada ketidaksempurnaan dalam musik. Dalam proses
sosial, ketidaksempurnaan ini dapat meluas dalam masyarakat, sehingga dapat mempengaruhi
kualitas musikal yang ada di dalam masyarakat. Karena itulah, pendidikan dalam musik menjadi
faktor penting untuk menjaga kualitas keindahan musik. Pendidikan dibutuhkan agar standarisasi
musik terhindar dari kontaminasi ketidaksempurnaan teknis dasar. Dengan adanya komunitas
sosial dalam musik, walaupun bersifat non formal, standarisasi musik dapat dijaga melalui
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
akurasi teknik dan teori dasar musik, sehingga kualitas musik akan tetap terjaga keindahannya.
Namun, jika komunitas atau institusi tersebut bersifat formal, pendidikan akan lebih baik, sebab
ada sistem kurikulum yang menjadikan penguasaan teknik dasar sebagai kewajiban dalam musik.
Pendidikan juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan kualitas musikal,
sehingga komposisi musik dapat berkembang menjadi lebih variatif dengan tetap berpegang pada
standarisasi keindahan. Jika selera menjadi dasar dari penciptaan karya musik, maka pendidikan
berfungsi menentukan tingkat kecerdasan manusia dalam selera bermusiknya. Setiap genre musik
memiliki karakternya yang khas. Karakter itu diperkuat dengan penguasaan teknik dasar dalam
pendidikan, sehingga identitas dari suatu genre menjadi jelas. Sebagai identitas, suatu genre
musik memiliki kemungkinan untuk mengalami stagnasi dalam variasi musikal. Hal ini dapat
dihindari dengan pendidikan musik, yaitu melalui peningkatan selera keindahan manusia, yang
mungkin memiliki konsekuensi pada meningkatnya kerumitan dalam komposisi musik.
Kerumitan inilah yang seringkali menjadi kendala bagi banyak orang yang tidak kemampuan dan
pemahaman untuk melakukan praktek itu. Namun, dengan standarisasi penguasaan teknik dasar,
manusia dapat mengalami peningkatan gradual dalam menguasai kerumitan komposisi musik
tertentu, baik secara teori maupun praktek. Maka, pendidikan dapat meningkatkan kemampuan
musikal manusia secara signifikan. Dan sebagai representasi dari realitas, pendidikan musik
memiliki peranan dalam peningkatan kualitas kemanusiaan yang bekerja pada ranah kognitif
manusia, melebihi kemampuan bawaan manusia yang terdapat pada gagasan neurosains.
F.
KEPUSTAKAAN
Allison, Henry E. 2001. Kant’s Theory of Taste: A Reading of the Critique of Aesthetic
Judgment. Cambridge University Press.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard
College.
Bowie, Andrew. 2007. Music, `Philosophy and Modernity. Cambridge University Press.
Bowman, Wayne D. 1998. Philosophical Perspectives on Music. New York: Oxford
University Press.
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
Channey, David. 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. (terj). Yogyakarta:
Jalasutra.
Demetriou, . and Efklides, A. 1994. Intelligence, Mind, and Reasoning: Structure and
Development. Amsterdam: North-Holland.
Eagleton, Terry. 1991. Ideology: An Introduction. London and New York: Verso.
Goleman, Daniel. 1996. Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ.
London: Bloomsbury Publishing.
Levitin, Daniel J. 2006. This Is Your Brain on Music. Dutton.
Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Edisi Pertama. Diterjemahkan oleh: Hasti T.
Champion. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Susen, Simon & Bryan Turner. 2011. The Legacy of Pierre Bourdieu: A Critical Essays.
London: Anthem Press.
Thagard, Paul. 2005. Mind: Introduction to Cognitive Science. MIT Press.
Kecerdasan sosial…, Leo Panji Mahendra, FIB UI, 2013
Download