Pendidikan Melalui R Universitas di Jep Riset: Sebuah Pengalaman

advertisement
Pendidikan Melalui Riset:
R
Sebuah Pengalaman Melakukan
elakukan Riset di
Universitas
niversitas di Jepang dan Malaysia
HADI NUR
Ibnu Sina Institute for Fundamental Science Studies
Universiti Teknologi Malaysia, 81310 UTM Skudai, Johor, Malaysia
Tel: +60-7-5536162
+60
Fax: +60-7-5536080
E-mail: [email protected]
Website: http://www.hadinur.com
Dalam milenium ini, Indonesia harus berusaha keras untuk tampil sebagai salah satu negara
yang dapat bersaing diperingkat dunia. Untuk mencapai
ncapai ini, Indonesia harus
ha
menciptakan
universitas riset. Riset di universitas
rsitas merupakan aktivitas intelektual yang mulia. Oleh karena itu,
perlunya kualitas yang menyeluruh
enyeluruh dalam pendidikan dan riset menjadi sangat penting. Dalam
konteks ini, cara Jepang dan Malaysia untuk mencapai keberhasilan dalam pendidikan dan riset
diterangkan.
PENDIDIKAN MELALUI RISET
pengala
yang saya perolehi sebagai mahasiswa,
hasiswa, peneliti dan
Artikel ini adalah hasil dari pengalaman
dosen di Indonesia, Malaysia dan Jepang. Pengalaman saya di Institut Teknologi
ologi Bandung (19871995), di Universiti Teknologi Malaysia (1995-1999, 2002 sampai sekarang) dan di Hokkaido
University (1999-2002), memb
berikan saya gambaran untuk dapat membandingkan
mbandingkan sistem
pendidikan dan riset di Universitas
Universit
di ketiga negara tersebut.. Sebelum saya masuk
membicarakan mengenai pendidikan melalui riset, ada baiknya kita memperhatikan foto di bawah
ini.
"Studi menunjukkan bahwa
uang dan nilai sosial diproses
di dalam otak manusia pada
wilayah otak sama, yang
memberikan wawasan
tentang bagaimana kita
membuat keputusan"
Seorang Guru Besar di Universitas Indonesia yang selalu menggunakan
sepeda bukannya menggunakan mobil mewah ke kampus. Mana yang
menjadi simbol status, mobil atau gelar?
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
Pernyataan dan foto di atas mempunyai makna yang dalam mengenai cara kita memandang harta
dan juga status sosial. Saya melihat dunia (pendidikan) sekarang ini lebih mementingkan kebendaan
dan status simbol dibandingkan dengan moral. Kadang-kadang kita lupa bahwa tujuan kita
mendirikan universitas adalah untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai ilmu dan juga
bermoral. Kita lupa makna dari kata “pendidikan tinggi”, lupa dengan tujuan kita mendidik
mahasiswa supaya mempunyai moral integrity yang baik. Kita lebih banyak menggunakan
“cosmetics“, yang hanya membuat kita cantik dan gagah kalau dilihat dari “luar”.
Indahnya sebuah universitas
Tujuan dari pendidikan melalui riset adalah menghasilkan sarjana yang bisa
berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan masyarakat. Ini adalah kartun
yang digambar oleh Mohd Desa Omar yang diambil dari bukunya yang berjudul “The Good, The Bad and The Ugly of M. Desa”, terbitan Berita
Publishing Sdn Bhd, Kuala Lumpur pada tahun 2001, dengan sedikit modifikasi pada kartun yang asli.
Richard Feynman, pemenang
Nobel Fisika pernah mengatakan bahwa sebagai saintis dia
akan lebih menikmati keindahan bunga dengan lebih ‘mendalam’ dibandingkan artis. Artis
atau orang biasa hanya akan
menikmati dan mengapresiasikan keindahan bunga — hanya
dari tampak luar saja. Sebagai
saintis dia lebih menikmati
keindahan bunga — bukan
hanya dari bentuk luarnya saja
— tetapi jauh lebih dalam, seperti struktur molekul, metabolisme, biofisika dan aspek-aspek ilmiah yang lain.
Berpijak dari pandangan di
atas, sebagai dosen dan
peneliti, saya juga dapat
menganologikan
universitas
sebagai ‘bunga’-nya Richard Feynman. Universitas bukan hanya dilihat dari fasilitas fisiknya saja
(tampak luarnya saja), tetapi jauh lebih dalam — iaitu ‘proses’ pendidikan dan penelitian
didalamnya. Proses ini harus didasari dari ‘budaya ilmiah‘. Universitas harus memperhatikan dan
melaksanakan proses ini supaya menjadi universitas yang terpandang. Apalah artinya publikasi
ilmiah, paten dan medali-medali yang didapatkan dari pameran jika hanya memamerkan
‘keindahan luar’ dari universitas — sama seperti bunga yang keindahannya hanya dinikmati oleh
orang-orang biasa yang tidak mengerti mengenai keindahan sebenarnya dari bunga, seperti yang
dikatakan oleh Richard Feynman.
Seorang kolega saya, Profesor yang akan pensiun dua tahun lagi di Osaka University mengatakan
bahwa “Proses lebih penting dibandingkan hasil”. Beliau mengamati bahwa telah terjadi
pergeseran nilai-nilai dalam pendidikan tinggi. Sekarang universitas lebih cenderung untuk
mencapai tujuan ’semu’ yang sifatnya hanya tujuan ‘kosmetik’, seperti ingin terkenal, ingin masuk
ranking, yang untuk mencapai tujuan tersebut banyak meninggalkan nilai-nilai ‘hakiki’ pendidikan.
Beliau mengatakan, ketika beliau dulu menyelesaikan PhD di Osaka University pada tahun 70-an,
pembimbing beliau hanya mengatakan — “lakukanlah penelitian dengan cara yang baik (good
work), karena ini lebih penting daripada hasil penelitian itu sendiri”. Dengan kata lain “proses” jauh
lebih penting daripada “hasil”.
2
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
MENTALITAS SEORANG PROFESOR
Tujuan dari pendidikan melalui riset adalah menghasilkan sarjana
yang bisa berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Ada kecendrungan, masyarakat sekarang, lebih memandang lebih
kepada profesi-profesi yang kadangkala
kala tidak memerlukan pengetapengeta
huan dan tingkat pendidikan
dikan yang tinggi --- seperti yang ditunjukkan
dalam kartun di atas ini.
Sejak
saya dipromosikan sebagai associate professor banyak kawankawan saya memanggil saya “prof”,
suatu gelaran yang kadang-kadang
kadang
membuat
buat saya malu dan bertanya:
“Layakkah saya dipanggil dengan gelar
itu?”. Saya malu karena saya merasa
mentalitas saya tidaklah mencermin
kualitas profesional seorang profesor
‘yang sebenarnya’ — kalau tidak dikatakan ‘profesor kampung’ yang hanya
jago bertanding di kandang sendiri.
Tulisan ini betujuan untuk mengmeng
gambarkan sikap dan mentalitas yang
perlu dipunyai oleh seorang professor,
yang nota bene adalah seorang
pendidik.. Saya akan berusaha kearah
itu.
Mentalitas Mutu
Inilah ciri utama dari seorang profesor
yang profesional, yaitu mementingkan kualitas daripada kuantitas. Menurut saya seseorang
seseora tidaklah
layak menjadi seseorang profesor jika dia hanya mengandalkan kuantitas saja — apakah karena
telah mengajar selama puluhan tahun tanpa sembarang hasil riset yang berkualitas layak dihargai
sebagai profesor?
Mentalitas Altruistik
as kedua yang harus dipunyai oleh seorang profesor — setelah dia memenuhi
Inilah mentalitas
mentalitas mutu di atas. Mentalitas ini didorong oleh pengabdian untuk mengajarkan dan
mengembangkan ilmu yang dipunyainya untuk orang lain. Menurut Wikipedia:
Wikipedia “Altruisme adalah
perhatian terhadap kesejahteraan ‘orang lain’ tanpa memperhatikan diri sendiri”. Dalam hal ini,
karena profesor selalu berhadapan langsung dengan masyarakat ilmiah dan mahasiswa yang diajar
dan dibimbingnya, maka mereka tersebut adalah ‘orang lain’ tersebut.
tersebu
Mentalitas Mendidik
Mendidik tidak sama dengan mengajar. Dalam mendidik faktor panutan memegang peranan
penting. Tidaklah mendidik jika seorang profesor bercerita bahwa perbuatan mencuri adalah
perbuatan yang tercela jika dia melakukan plagiat dan tidak
tidak menghargai jerih payah mahasiswanya
— seperti dengan mencantumkan namanya paling depan dipublikasi ilmiah — padahal semua hasil
dalam publikasi ilmiah itu adalah hasil jerih payah mahasiswanya, dari ide, membuat proposal dan
menulis publikasi tersebut. Sang
ang profesor hanya bertugas memperbaiki bahasa Inggrisnya saja.
Mentalitas Pembelajar
Profesor hendaklah selalu meningkatkan
men
pengetahuannya setiap saat. Jangan sampai mahasiswa
yang dibimbingnya mengatakan profesor tersebut tidak layak sebagai pembimbing. Saya pernah
bertemu dengan seorang mahasiswa yang mengatakan hal ini kepada saya. Sampai mahasiswa
tersebut menasehati profesornya untuk memberikan perhatian yang lebih banyak kepada
penyelidikan. Sungguh sangat memalukan.
3
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
Mentalitas Pengabdian
Mengabdi untuk ilmu pengetahuan merupakan mentalitas profesional seorang profesor. Masih
banyak profesor ‘administrasi’ yang tidak mempunyai mentalitas ini — dimana seseorang diangkat
menjadi profesor karena jabatan administrasi bukan karena prestasi ilmiah. Sebagai contoh,
seseorang dinaikkan pangkat menjadi profesor karena ‘akan’ atau telah ‘menjabat’ sesuatu jabatan
administratif seperti dekan atau pembantu dekan.
Mentalitas Kreatif
Kreativitas tidak hanya perlu dipunyai oleh profesor tetapi juga oleh semua orang. Namun, jika
profesor tidak kreatif, dapat dibayangkan bahwa tidak akan ada penemuan-penemuan baru yang
dihasilkan olehnya.
Mentalitas Etis
Masalah etika kadang-kadang jarang diperhatikan. Sains, ilmuwan, riset dan pendidikan merupakan
hal yang sangat berkaitan erat. Saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa riset dan
mengajar merupakan hal yang bersifat perkalian bukan pertambahan, salah satu sifat utama yang
melekat kepada seseorang yang digelari ilmuwan Ini berarti bahwa seseorang akan nol sebagai
ilmuwan jika tidak melakukan riset. Dan juga berarti akan nol sebagai ilmuwan jika tidak mengajar.
Sains adalah alat untuk mencari kebenaran. Dan dapat disadari untuk mencari kebenaran kita perlu
strategi yang beretika. Strategi disini adalah metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi
pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific
fraud). Disinilah seorang professor memainkan peranannya sebagai seorang pendidik untuk
mengajarkan dan juga mencontohkan kepada para mahasiswa dan juga masyarakat mengenei
pentingnya etika yang baik.
RISET DI JEPANG
(Di bawah ini saya menceritakan pengalaman dan pengamatan saya mengenai riset di Jepang.
Karena mungkin, tulisan ini agak panjang, maka untuk memudahkan, saya menulis dengan huruf
tebal untuk kalimat kunci.)
Pengamatan saya di sini memperlihatkan bahwa Profesor dan mahasiswa Pasca sarjana (master
dan doktor) di Jepang adalah pekerja keras. Ini diperlihatkan dari jam kerja yang kadang-kadang
mencapai 12 jam per hari! Hal ini juga diperlihatkan oleh staf-staf muda (associate Prof. dan research
associate/instructor) yang bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang bersuasana riset, dan
mereka tidak dibebani dengan banyak mengajar di depan kelas dan tugas-tugas administrasi. Coba
bandingkan dengan Indonesia; Doktor yang baru selesai dari luar negeri langsung dibebani tugas
administrasi; seperti Ketua jurusan atau Dekan, bukannya dibebani dengan tuntutan untuk membuat
riset.
Promosi untuk menjadi Profesor hanya berdasarkan kriteria akademik. Hanya Assoc. Prof. yang
berkaliber saja yang diangkat untuk menjadi Profesor. Hal ini terlihat dari track record riset dari
profesor tersebut. Berbeda dengan Indonesia, banyak profesor di Indonesia yang menjadi profesor
hanya karena mempunyai pengalaman mengajar yang lama dan kedudukan administratif yang tinggi,
bukan karena pengalaman melakukan riset. Hal ini terlihat dari publikasi ilmiah para profesor kita.
Malah ada yang sama sekali tidak pernah melakukan riset. Jikapun pernah mempunyai publikasi
ilmiah, itupun dulu, ketika dia menjadi mahasiswa doktor di luar negeri.
4
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
Pelajaran berharga lain yang saya peroleh dari melakukan riset di Jepang adalah; ‘tidak semua
orang’ dapat menjadi peneliti yang hebat. Banyaknya publikasi dari conference, symposium dan
seminar tidaklah memperlihatkan kecanggihan seseorang dalam melakukan riset. Hanya publikasi
dari first class journal yang dapat memperlihatkan peneliti mempunyai riset yang hebat. Peneliti
yang hebat harus menerima bahwa ide-ide baru akan berakhir dengan keusangan. Dia harus belajar
untuk menerima kegagalan, dan mencoba terus-menerus tanpa henti-hentinya. Semua ini
memerlukan waktu yang panjang dan konsentrasi, karena riset memerlukan ‘pemikiran yang dalam’
dan tidak bisa dilakukan dalam waktu yang pendek.
Bagaimana mendidik seseorang untuk berinovasi dan menemukan merupakan hal berharga yang
saya perolehi dari profesor saya di sini. Sehingga saya dapat merasakan pengalaman (’sensasi’) dari
suatu penemuan tersebut. Selama melakukan riset di sini, kami telah mengusulkan konsep baru
dalam bidang katalisis yang dinamakan sebagai ‘Phase-boundary catalysis‘ dan telah dipublikasikan
di jurnal yang prestius (Chemical Communications, Journal of Catalysis dan Langmuir). Faktor lain
juga sangat menentukan keberhasilan riset saya di Jepang adalah; saya memulai riset ketika
laboratorium hanya memiliki empat orang peneliti (profesor, assistant Prof., seorang postdoc dan
seorang mahasiswa master), sehingga saat itu kami terpaksa berpikir untuk memulai riset baru. Hal
berharga yang dapat diambil dari pengalaman ini adalah; ‘tim riset yang kompak merupakan
inkubator untuk memperbanyak ide‘ karena dalam riset yang dilakukan secara tim akan terjadi
pertukaran ide, kritik dan kompetisi. Dan ini berarti, riset yang hebat biasanya dihasilkan oleh tim
riset yang hebat, bukan dari perorangan.
Budaya ilmiah yang kental sangat terasa di Hokkaido University. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh
kebijakan dari Universitas (University policies). Hal ini ditandai dengan banyaknya seminar antar
disiplin ilmu dengan peserta yang banyak. Salah satu hal yang juga sangat mendukung suasana ini
adalah tidak adanya politik yang masuk ke administrasi universitas. Hal terakhir ini mulai
diterapkan di Indonesia oleh beberapa perguruan tinggi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB)
yang pemilihan rektornya tanpa intervensi dari pemerintah. Karena riset di Universitas sangat
bergantung kepada program pasca sarjananya, maka kesejahteraan para mahasiswa di Jepang
sangat diperhatikan sehingga mahasiswa pasca sarjana menerima gaji yang cukup. Karena inilah
ujung tombak dari riset di Universitas
RISET DI MALAYSIA DAN BUDAYA ILMIAH
Pengalaman saya mengatakan bahwa, walaupun suasana dan budaya ilmiah di Malaysia tidak
setinggi Jepang, namun Malaysia masih lebih baik dibandingkan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan
pencapaian risetnya dan juga dengan banyaknya mahasiwa asing belajar di Malaysia, terutama dari
Indonesia. Pencapaian lain yang terukur adalah telah diakuinya beberapa laboratorium di Malaysia
untuk melakukan kerjasama riset yang bersifat International, dan peringkat universitas di Malaysia
yang lebih baik dibandingkan dengan universitas di Indonesia. Ada beberapa hal yang menonjol dari
universitas di Malaysia dan patut dicontoh adalah:
• menciptakan suasana akademik dengan mendatangkan dan mengontrak profesor dan peneliti
asing untuk mengajar dan melakukan riset,
• memberikan insentif lebih (penghargaan) kepada pencapaian akademik dan riset yang
cemerlang, dan
• manajemen universitas yang baik.
Pendidikan melalui riset merupakan elemen yang sangat penting di Universiti Teknologi Malaysia
(UTM), universitas tempat saya bekerja sekarang. Hal ini juga didukung dengan dana riset yang
5
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
cukup setelah UTM dinaikkan statusnya sebagai universitas riset (research university) pada tahun
2010 ini. Untuk itu, “budaya ilmiah” perlu diwujudkan dilingkungan universitas supaya pendidikan
melalui riset dapat dilaksanakan dengan baik. Di bawah ini adalah penjelasan mengenai budaya
ilmiah, budaya yang secara khusus saya terapkan di grup penelitian saya di Ibnu Sina Institute for
Fundamental Science Studies, di Universiti Teknologi Malaysia.
Apa itu budaya ilmiah atau biasa juga disebut sebagai budaya saintifik (scientific culture)? Apakah
kita sudah memiliki budaya tersebut? Pertanyaan yang penting bagi institusi pengajian tinggi. Saya
teringat dengan jawaban dari beberapa orang visiting professor yang saya tanyai apa syarat-syarat
sebuah universitas bisa menjadi universitas yang terkenal — seperti universitas tempat mereka
bekerja. Kebetulan mereka berasal dari universitas yang memiliki prestasi akademik yang hebat;
Osaka University, Hokkaido University, University of London dan Leipzig University. Kenapa kita tidak
dapat seperti mereka? — walaupun kita memiliki fasilitas penelitian yang tidak kalah daripada
mereka? Jawabannya adalah kita masih belum memiliki budaya ilmiah.
Patut disadari bahwa universitas tidak akan menjadi unggul dan dihormati dari segi akademik jika
orang-orang yang berada dalam universitas tersebut tidak memiliki budaya ilmiah. Menurut saya,
tidak ada jalan lain selain membangun dan melaksanakan budaya ilmiah untuk membawa universitas
menjadi unggul dan disegani — karena inilah yang harus perlu dibina sejak awal universitas itu
dibangun.
“Sudahkah kita memiliki budaya ilmiah?” Untuk menjawabnya kita perlu mengetahui unsur-unsur
yang diperlukan untuk membangun budaya ilmiah tersebut.
Norma ilmiah
• Memberikan penghargaan (credit) yang sepatutnya kepada orang yang memberikan kontribusi
kepada penelitian; pengarang bersama (authorship) atau ucapan terima kasih
(acknowledgement) — (Catatan: norma ini yang selalunya tidak diikuti — mungkin untuk
kenaikan pangkat atau ingin dianggap hebat oleh orang lain).
• Jujur dalam memberikan penilaian kepada hasil pekerjaan orang lain.
• Publikasi di jurnal ilmiah yang dinilai oleh rekan sejawat (peer-reviewed journals) adalah media
untuk menciptakan reputasi. Sejarah telah membuktikan bahwa tidak ada jalan selain ini —
reputasi ilmiah tidak akan tercipta melalui publikasi di koran dan televisi.
Ciri-ciri dari budaya ilmiah
• Metoda saintifik
• Penilaian dari rekan sejawat (peer-reviewed system).
• Akumulasi dari pengetahuan yang dipublikasikan dalam peer-reviewed journals dan disimpan
untuk bahan rujukan.
• Buku catatan laboratorium — (Catatan: saya mengamati banyak kawan-kawan saya yang juga
dosen, walaupun mereka lulusan dari perguruan tinggi ternama, mereka tidak mempunyai
buku ini, walaupun ada — tetapi tidak ditulis dengan cara yang betul)
Kebiasaan ilmiah
• Selalu mempublikasikan hasil penelitian. (Catatan: masih banyak profesor yang sedikit sekali
publikasinya, yang menandakan mereka tidak pernah melakukan penelitian yang bermutu —
apakah mereka masih dianggap pakar?)
• Dapatkan pendidikan yang setinggi-tingginya — PhD dalam bidang sains.
• Pendidikan yang dimulai dengan bimbingan dan kemudian baru bekerja secara mandiri.
• Mobilitas yang tinggi dari para saintis, berpindah dari satu universitas ke universitas yang lain.
6
Hadi Nur 2010 Pendidikan Melalui Riset: Sebuah Pengalaman....
• Selalu berinteraksi dengan orang-orang yang pintar yang memiliki ketertarikan dalam bidang
yang sama dalam sains.
Peraturan-peraturan dalam dunia ilmu pengetahuan
• Menyelidiki efek dari satu variabel dengan cara mengontrol variabel-variabel yang lain.
• Selalu beragumentasi berasaskan fakta-fakta yang betul.
• Mengemukakan hipotesis, iaitu kesimpulan sementara dari proses penelitian, yang nantinya akan
dibuktikan kebenarannya.
• Selalu merujuk hasil penelitian orang lain.
• Selalu menyimpan hasil-hasil penelitian dengan rapi, supaya orang lain dapat mengulangi
eksperimen-ekesperimen yang telah dilakukan.
• Penemuan yang luar biasa selalunya harus didukung oleh fakta-fakta pendukung yang juga luar
biasa.
• Teori dikatakan bagus jika teori tersebut dapat menjelaskan banyak fenomena-fenomena,
dibandingkan dengan teori yang hanya sesuai untuk beberapa fenomena saja.
• Jika data baru tidak sesuai dengan teori lama, salah-satu dari mereka — data baru atau teori lama
tersebut — pasti tidak betul.
• Alam semesta ini selalunya memiliki aturan-aturan yang jelas dan juga teratur.
Hal-hal yang tidak patut dilakukan dalam dunia ilmu pengetahuan
• Tidak objektif dan tidak menerima fakta-fakta yang didapatkan dari hasil eksperimen yang
dilakukan dengan cara yang betul.
• Menipu dalam melaporkan data — membuat data palsu dan mengubah data.
• Plagiat
• Tidak memberikan penghargaan (credit) kepada orang yang juga memberikan sumbangan ilmiah
kepada penelitian yang dilakukan.
Setelah membaca tulisan ini, saya mengharapkan, terutama kepada orang-orang yang menganggap
dirinya saintis dan ilmuwan, untuk kembali bertanya “Apakah kita memiliki budaya ilmiah?”
REFLEKSI
Saya pernah membaca tulisan, kalau tidak salah, ditulis oleh peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) mengenai karakter orang yang duduk dipemerintahan di Indonesia. Peneliti ini
mengatakan bahwa jarang orang yang duduk dipemerintahan yang memiliki ketiga-tiga karakter ini
sekaligus; pintar, jujur (tidak korupsi) dan disenangi oleh para penguasa (dekat dengan pemerintah). Kebanyakan hanya memiliki satu atau dua dari ketiga karakter dan sifat yang baik-baik tersebut. Kalau dia pintar dan jujur, pasti tidak disenangi oleh penguasa. Kalau jujur dan disenangi oleh
penguasa biasanya bodoh. Kalau dia pintar dan disenangi oleh para penguasa biasanya suka korupsi.
Sungguh susah memiliki ketiga-ketiga sifat yang baik-baik di atas. Sebagai pendidik, kita harus berusaha supaya para mahasiswa kita nantinya memiliki ketiga-tiga karakter ini sekaligus; pintar, jujur dan disenangi oleh semua orang.
Johor Bahru, 26 Juli 2010
7
Download