sejarah, teori, prinsip dan kontroversi ham

advertisement
1
SEJARAH, TEORI, PRINSIP DAN KONTROVERSI HAM1
Oleh
Andrey Sujatmoko2
A. Pengantar
Pengajaran hak asasi manusia (HAM) di perguruan tinggi merupakan salah
satu metode untuk menyebarluaskan dan menanamkan nilai-nilai tentang HAM
melalui jalur pendidikan. Hal tersebut diperlukan, mengingat pendidikan
merupakan sarana yang dapat memainkan peran yang penting dalam rangka
memajukan penghormatan terhadap HAM. Oleh karena itu pengajaran HAM di
lingkungan perguruan tinggi merupakan conditio sine qua non bagi terciptanya
insan yang memiliki human rights sense.
HAM dapat dipandang dari berbagai perspektif. Salah satunya adalah
perspektif historis. Untuk itu sangat diperlukan pemahaman akan sejarah HAM.
Dengan mempelajari sejarah HAM akan dapat diketahui hal-hal yang
melatarbelakangi kemunculan dan asal usul HAM serta segala aspek yang
relevan dengan hal tersebut. Di samping itu, akan dapat membantu untuk
memahami HAM sebagai objek kajian yang dinamis.
Lahirnya ide tentang HAM juga tidak terlepas dari kontribusi pemikiran
para pemikir besar yang mempengaruhi kemunculan maupun perkembangan
HAM yang kita kenal pada saat ini. Dengan mempelajari berbagai teori HAM
yang ada, paling tidak, akan dapat diketahui hal-hal yang bersifat elementer
mengenai eksistensi dan sumber HAM, kedudukan HAM sebagai hak, kaitan
antara HAM yang satu dengan yang lain.
Persoalan lain yang juga tidak kalah pentingya dalam mempalajari HAM
adalah menyangkut prinsip-prinsip dasar yang melandasi hukum HAM
internasional. Menyangkut perkembangan HAM, perlu dipelajari pula hubungan
antara hukum HAM internasional dan individu, serta masalah universalisme dan
partikularisme HAM yang hingga kini masih terus diperbincangkan pada tataran
teoretis maupun praktis.
Makalah ini akan membahas hal-hal di atas secara ringkas yang ruang
lingkupnya akan mencakup: sejarah, teori dan prinsip HAM, hubungan antara
hukum HAM internasional dan individu. Kemudian pada bagian akhir akan
dijelaskan tentang masalah universalisme dan partikularisme HAM.
1
Dipresentasikan pada “Training Metode Pendekatan Pengajaran, Penelitian, Penulisan Disertasi dan
Pencarian Bahan Hukum HAM bagi Dosen-dosen Hukum HAM” yang diselenggarakan oleh PUSHAM
UII Yogyakarta bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Universitas OsloNorwegia, pada tanggal 12-13 Maret 2009 di Hotel Santika Premiere, Yogyakarta.
2
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Sekretaris Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM
(terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti.
2
B. Latar Belakang dan Sejarah HAM
Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama tuanya
dengan keberadaan manusia di muka bumi. Mengapa dikatakan demikian,
karena HAM memiliki sifat yang selalu melekat (inherent) pada diri setiap
manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kehidupan
umat manusia.
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata –sejak
dahulu hingga saat sekarang ini– tercermin dari perjuangan manusia dalam
mempertahankan harkat dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang
penguasa yang tiran. Timbulnya kesadaran manusia akan hak-haknya sebagai
manusia merupakan salah satu faktor penting yang melatarbelakangi dan
melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM.
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan
kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan sematamata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.3 Dengan demikian, faktorfaktor seperti ras, jenis kelamin, agama maupun bahasa tidak dapat menegasikan
eksistensi HAM pada diri manusia.
Meskipun beberapa pakar menyatakan dapat merunut konsep HAM yang
sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat yurisprudensi
hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-undang
Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep HAM yang modern dapat
dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17
dan ke-18.4
Hugo de Groot –seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai
“bapak hukum internasional”– atau yang dikenal dengan nama Latinnya,
Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrat Aquinas dengan
memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran
sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan
selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke
mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke
mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam
revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17
dan ke-18.5
3
Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, Ithaca and London: Cornell University
Press, 2003, hlm. 7-21 dan Maurice Cranston, What are Human Rights? New York: Taplinger, 1973
dalam Rhona K. M. Smith, et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM-UII, 2008, hlm.
11.
4
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional,
Jakarta: Grafiti, 1994, hlm. 2.
5
Rhona K. M. Smith, et. al., op. cit., hlm. 12.
3
Paham HAM lahir di Inggris pada abad ke-17. Inggris memiliki tradisi
perlawanan yang lama terhadap segala usaha raja untuk mengambil kekuasaan
mutlak.6 Sementara Magna Charta (1215) sering keliru dianggap sebagai cikal
bakal kebebasan warga negara Inggris –piagam ini sesungguhnya hanyalah
kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para bangsawannya, dan
baru belakangan kata-kata dalam piagam ini– sebenarnya baru dalam Bill of
Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau
kebebasan individu.7
Kemudian, tahun 1679 menghasilkan pernyataan Habeas Corpus, suatu
dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang
ditahan harus dihadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim dan
diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan. Pernyataan ini menjadi dasar prinsip
hukum bahwa orang hanya boleh ditahan atas perintah hakim.8
Bill of Rights (1689), sebagaimana diperikan dengan judulnya yang
panjang “An act Declaring the Rights and the Liberties and the Subject and
Setting the Succession of the Crown” (Akta Deklarsi Hak dan Kebebasan
Kawula dan Tatacara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan Parlemen
melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuart yang sewenang-wenang pada
abad ke-17. Disahkan setelah raja James II dipaksa turun takhta dan William II
serta Mary II naik ke singgasana menyusul “Revolusi Gemilang” (Glorious
Revolution) pada tahun 1688, Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai
deklarasi undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang yang
baru, menundukkan monarki di bawah kekuasaan Parlemen, dengan menyatakan
bahwa kekuasaan Raja untuk membekukan dan memberlakukan seperti yang
diklaim raja adalah ilegal.9 Perlu dicatat pula bahwa dengan adanya Bill of
Rights timbul kebebasan untuk berbicara (speech) dan berdebat (debate),
sekalipun hanya untuk anggota Parlemen dan untuk digunakan di dalam gedung
parlemen.
Para pemimpin koloni-koloni Inggris di Amerika Utara yang memberontak
pada paruh kedua abad ke-18 tidak melupakan pengalaman Revolusi Inggris dan
berbagai upaya filosofis dan teoretis untuk membenarkan revolusi itu. Dalam
upaya melepaskan koloni-koloni itu dari kekuasaan Inggris, menyusul
ketidakpuasan akan tingginya pajak dan tiadanya wakil dalam Parlemen Inggris,
para pendiri Amerika Serikat ini mencari pembenaran dalam teori kontrak sosial
dan hak-hak kodrati dari Locke dan para filsuf Prancis. Dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika (1776) yang disusun oleh Thomas Jefferson, gagasangagasan ini diungkapkan dengan kata-kata yang sangat jelas dan tepat.10
Deklarasi tersebut secara eksplisit mengakui kesetaraan manusia dan adanya
6
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta:
Gramedia, 1994, hlm. 123.
7
Scott Davidson, op. cit., hlm. 2.
8
Franz Magnis Suseno, op. cit., hlm. 123.
9
Scott Davidson, op. cit., hlm. 3.
10
Ibid., hlm. 4.
4
hak-hak pada diri manusia yang tidak dapat dicabut (inalienable), yaitu hak
untuk hidup, bebas dan mengejar kebahagiaan.
Pada tahun 1791 barulah Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang
memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya. Hal ini terjadi melalui
sejumlah amandemen terhadap konstitusi. Di antara amandemen-amandemen
yang tekenal adalah Amandemen Pertama yang melindungi kebebasan
beragama, kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat dan hak berserikat;
Amandemen Kelima yang menetapkan larangan memberatkan diri sendiri dan
hak atas proses hukum yang benar.11
Deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat kemudian dijadikan model yang
mempengaruhi revolusi di Prancis dalam menentang rezim yang tiran. Revolusi
ini menghasilkan Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration
of the Rights of Man and of the Citizen) (1789). Deklarasi ini membedakan
antara hak-hak yang dimiliki oleh manusia secara kodrati yang dibawa ke dalam
masyarakat dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga negara.
Beberapa hak yang disebutkan dalam Deklarasi, antara lain, yaitu: hak atas
kebebasan, hak milik, hak atas keamanan, hak untuk melawan penindasan.
Apapun debat teoretis atau doktriner mengenai dasar-dasar revolusi
Inggris, Amerika dan Prancis yang jelas masing-masing revolusi itu, dengan
caranya sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan bentuk-bentuk
demokrasi liberal di mana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal terpenting
dalam melindungi individu terhadap kecenderungan ke arah otoriterisme yang
melekat pada negara. Hal penting mengenai hak-hak yang diproteksi itu adalah
bahwa hak-hak ini bersifat individualistis dan membebaskan (libertarian): hakhak ini didominasi dengan kata-kata “bebas dari” dan bukan “berhak atas”.
Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik, karena
hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan organ-organ negara.
Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini sehingga hanya sedikit konstitusi
modern yang tidak menyatakan akan melindungi hak-hak individu ini.12
Dalam perkembangannya, hak-hak yang dicirikan dengan kata-kata
“berhak atas” kemudian dikenal sebagai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Selanjutnya, dikenal pula apa yang disebut dengan hak-hak solidaritas
(solidarity rights) yang muncul sebagai perkembangan terakhir menyangkut
HAM.
Babak baru perkembangan HAM secara internasional terjadi setelah dunia
mengalami kehancuran luar biasa akibat dari PD II. Terbentuknya Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional pada tahun 1945 tidak
dapat dipungkiri memiliki pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan
HAM di kemudian hari. Hal itu, antara lain, ditandai dengan adanya pengakuan
11
12
Ibid., hlm. 5.
Ibid., hlm. 7-8.
5
di dalam Piagam PBB (United Nations Charter) akan eksistensi HAM dan
tujuan didirikannya PBB sendiri yaitu dalam rangka untuk mendorong
penghormatan terhadap HAM secara internasional. Walaupun di dalam Piagam
belum dirumuskan secara jelas apa yang dimaksud dengan HAM.
Tonggak sejarah pengaturan HAM yang bersifat internasional baru
dihasilkan tepatnya setelah Majelis Umum PBB mengesahkan Deklarasi
Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10
Desember 1948. Deklarasi ini merupakan dokumen internasional pertama yang
di dalamnya berisikan “katalog” HAM yang dibuat berdasarkan suatu
kesepakatan internasional.
Deklarasi tersebut tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan
oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman
penindasan oleh rezim-rezim fasis dan nasionalis-nasionalis tahun dua puluh
sampai empat puluhan. Sementara itu elit nasional bangsa-bangsa yang dijajah
mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan dirinya
sendiri”, sebagai senjata ampuh dalam usaha untuk meligitimasikan perjuangan
mereka untuk mencapai kemerdekaan.13
Kemudian, pada tahun 1966 dihasilkan perjanjian internasional (treaty)
yang di dalamnya terdapat mekanisme pengawasan dan perlindungan HAM,
yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Poitik (International
Covenant on Civil and Political Rights) serta Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Ketiganya dikenal dengan istilah “the International Bill of Human Rights”.
Secara historis dapat dikatakan bahwa latar belakang dibuatnya mekanisme
tersebut adalah akibat dari kekejaman-kekejaman di luar batas-batas peri
kemanusiaan yang terjadi selama PD II yang menimbulkan korban terhadap
manusia dalam jumlah besar. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu
mekanisme internasional yang dapat melindungi HAM secara lebih efektif.
Dengan tersedianya mekanisme tersebut diharapkan pelanggaran-pelanggaran
terhadap HAM paling tidak dapat dicegah atau dikurangi.
Berdasarkan pemaparan sejarah HAM secara singkat seperti telah diuraikan
di atas, terlihat bahwa pengertian HAM mengalami perubahan atau
perkembangan dari waktu ke waktu. Pengertian HAM yang pada awalnya hanya
dimaksudkan untuk melindungi individu dari kesewenang-wenangan negara –
yang dalam hal ini diwakili oleh hak-hak sipil dan politik–, kemudian beralih
untuk mendorong kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif bagi individu–yang
dalam hal ini diwakili oleh hak-hak ekonomi sosial dan budaya. Berdasarkan hal
tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa HAM senantiasa berkembang dan
bersifat dinamis.
13
Franz Magnis Suseno, op. cit., hlm. 125.
6
C. Teori-teori HAM
Banyak pertanyaan yang muncul menyangkut eksistensi dan hakikat HAM.
Hal tersebut misalnya: apakah yang dimaksud dengan HAM?; dari mana HAM
berasal?; apakah HAM dapat dihapuskan?; apakah ketiga generasi HAM benarbenar merupakan HAM?; apakah semua HAM sederajat? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhkan pemahaman tentang HAM
berdasarkan suatu kerangka teori.
Teori dapat berfungsi untuk menyediakan suatu alat analisis yang
memungkinkan pertanyaan penting seperti di atas dapat diajukan dan jawaban
tentatif dapat diberikan. Teori memungkinkan dibangunnya paradigma yang
memberikan koherensi dan konsistensi bagi segala perdebatan mengenai hak
dan menyumbangkan suatu model yang dapat dipakai untuk mengkur hak-hak
yang diandaikan itu. Teori juga menyediakan mekanisme yang dapat dipakai
untuk menetapkan dengan tepat batas hak-hak yang eksistensinya telah
disepakati.14
Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan dalam agamaagama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan (theology)
menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari hukum yang
lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah Tuhan (Supreme
Being). Tentunya, teori ini mengadaikan adanya penerimaan dari doktrin yang
dilahirkan sebagai sumber dari HAM.15
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan HAM,
antara lain, yaitu: teori hak-hak kodrati (natural rights theory), teori positivisme
(positivist theory) dan teori relativisme budaya (cultural relativist theory).
Menurut teori hak-hak kodrati, HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh
semua orang setiap saat dan di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan
sebagai manusia. Hak-hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan
harta kekayaan seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak
diperlukan bagi HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum,
karena HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM
sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.16
Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai “Bill of
Rights”, seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris (1689), Deklarasi
14
Scott Davidson, op. cit., hlm. 34.
Lihat Jerome J. Shestack, Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron, edit., Human Rights
in International Law Legal and Policy Issues, New York: Oxford University Press, 1992, hlm. 76. Hal
itu dinyatakan sebagai berikut: “The term ‘human rights’ as such is not found in traditional religions.
Nonetheless, theology presents the basis for a human rights theory stemming from a law higher than the
state and whose source is the Supreme Being. Of course, this theory presupposes an acceptance of
revealed doctrine as the source of such rights”.
16
Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New
Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 15-16.
15
7
Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga
Negara Prancis (1789). Lebih dari satu setengah abad kemudian, di penghujung
PD II, Deklarasi Universal HAM (1948) telah disebarluaskan kepada
masyarakat internasional di bawah bendera teori hak-hak kodrati. Warisan dari
teori hak-hak kodrati juga dapat ditemukan dalam berbagai instrumen HAM di
benua Amerika dan Eropa.17
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu
sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara,
yaitu norma HAM internasional. Namun demikian, kemunculan sebagai norma
internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi
sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang
terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang
terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan oleh John Locke).
Kandungan hak dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hakhak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak
“baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah
seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.18
Tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak kodrati. Teori
positivis termasuk salah satunya. Penganut teori ini berpendapat, bahwa mereka
secara luas dikenal dan percaya bahwa hak harus berasal dari suatu tempat.
Kemudian, hak seharusnya diciptakan dan diberikan oleh konstitusi, hukum atau
kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi
saya, hak merupakan anak hukum; dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari
hukum imajiner, dari hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner...Hak kodrati adalah
omong kosong belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong
kosong retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.”19
Teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori hak-hak kodrati.
Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati sumbernya dianggap
tidak jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah berasal dari sumber yang
jelas, seperti dari peraturan perundang-undangan atau konstitusi yang dibuat
oleh negara.
Dengan perkataan lain, jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan
gagasan mereka tentang hak itu dari Tuhan, nalar atau pengandaian moral yang
a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak hanya dapat
diturunkan dari hukum negara.20
Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut
pengamatan Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana hukum–,
17
Ibid., hlm. 16-17.
Rhona K. M. Smith, et. al., op. cit., hlm. 14.
19
Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 18.
20
Scott Davison, op. cit., hlm. 40.
18
8
perdebatan secara tradisional yang membagi hukum kodrat dan teori positivis
saat ini sudah kehilangan validitas dan ketajaman yang sebelumnya berlaku.
Benarkah demikian, setelah kita menyaksikan tidak hanya terjadinya suatu
proses penyatuan (rapprochment), tetapi juga suatu proses positivisasi
(positivization) ide-ide HAM? Menurut Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin
benar, khususnya jika kita membaca instrumen-instrumen hukum HAM
internasional dan konstitusi-konstitusi dari berbagai negara. Sebagai contoh,
konstitusi Indonesia, Malaysia dan Filipina telah memuat ketentuan-ketentuan
yang merupakan hak-hak kodrati.21
Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak kodrati berasal dari teori
relativisme budaya (cultural relativist theory) yang memandang teori hak-hak
kodrati dan penekanannya pada universalitas sebagai suatu pemaksaan atas
suatu budaya terhadap budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya
(cultural imperalism). 22
Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak yang
bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati mengabaikan
dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagai manusia. Manusia
selalu merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial dan budaya dan
tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuat cara-cara yang
berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh
manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan
manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).23
Apa yang ditawarkan oleh para penganut teori ini adalah kontekstualisasi
HAM dalam suatu cara seperti yang dinyatakan oleh Asosiasi Anthropolog
Amerika (American Anthropologial Association) di hadapan Komisi HAM
PBB ketika Komisi ini sedang mempersiapkan rancangan Deklarasi Universal
HAM. Pernyataan itu pada intinya menginginkan perlunya dipikirkan, dalam
rangka menyusun Deklarasi, untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti:
bagaimana Deklarasi nantinya dapat berlaku bagi seluruh manusia dan tidak
merupakan suatu pernyataan mengenai hak-hak (statement of rights) yang hanya
menggambarkan nilai-nilai yang lazim terdapat di negara-negara Eropa Barat
dan Amerika.24
21
Todung Mulya Lubis, op. cit., hlm. 18-19.
Ibid., hlm. 19.
23
Ibid. Yaitu dinyatakan sebagai berikut: “According to cultural relativists, there is no such thing as
universal rights. They feel that natural rights theory ignores the social basis of an individual’s identity as
a human being. A human being is always the product of some social and cultural milieu and different
traditions of culture and civilization contain different ways of being human. It follows, therefore, that
rights belonging to all human beings at all times and in all places would be the rights of desocialized and
deculturized beings”.
24
Ibid., hlm. 19-20.
22
9
D. Prinsip-prinsip HAM
Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM
internasional, maka akan terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum
internasional (general principles of law) yang juga merupakan salah satu sumber
hukum internasional yang utama (primer), di samping perjanjian internasional
(treaty), hukum kebiasaan internasional (customary international law),
yurisprudensi dan doktrin.
Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip umum
hukum internasional diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan (acceptance)
dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional. Dengan demikian,
prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat tersebut memiliki
kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada kenyataannya, hal itu
kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrumen hukum HAM internasional,
misalnya perjanjian internasional.
Beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat di
hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak yang
lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif
yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak
tertentu.25
Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan. Prinsip
ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut harkat dan
martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan di dalam HAM. Berbagai perbedaan
yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan kedudukan manusia
menjadi tidak setara, karena walaupun begitu tetaplah ia sebagai manusia. Hal
tersebut misalnya tercermin dari prinsip equal pay for equal work yang dalam
UDHR dianggap sebagai hak yang sama atas pekerjaan yang sama. Prinsip
tersebut sekaligus juga merupakan HAM.
Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada
situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana
pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.26
Pelarangan terhadap diskriminasi non-diskriminasi merupakan salah satu
bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya
tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan
untuk mencapai kesetaraan).27 Prinsip ini dikenal pula dengan nama prinsip nondiskriminasi. Dalam “International Bill of Human Rights”, yaitu UDHR,
ICCPR maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara tegas. Bahkan
25
Rhona K. M. Smith, et. al., hlm. 39.
Ibid.
27
Ibid., hlm 40.
26
10
sebelumnya, hal yang sama juga telah lebih dahulu ditegaskan dalam Piagam
PBB (United Nations Charter).
Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR
menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau
kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status
lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak
pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya
orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.28
Prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi logis dari
adanya ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah
pihak yang memegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi sebagai
pemegang kewajiban (duty bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban untuk:
melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfill) HAM setiap
individu.
Malahan, menurut hukum internasional, kewajiban di atas merupakan
kewajiban yang bersifat erga omnes atau kewajiban bagi seluruh negara jika
menyangkut norma-norma HAM yang berkategori sebagai jus cogens
(peremptory norms). Misalnya, larangan melakukan: perbudakan, genocide dan
penyiksaan.
E. Hukum HAM Internasional dan Individu
HAM yang kini telah menjadi objek kajian dari disiplin ilmu tersendiri
merupakan suatu hal yang timbul akibat dari perkembangan yang terjadi dalam
hukum internasional. Perkembangan tersebut terutama terjadi setelah PD II,
yaitu terkait dengan status atau kedudukan individu sebagai subjek hukum
internasional.
Menurut Slomanson, secara historis pada awalnya hukum internasional
hanya mengakui negara sebagai subjek hukum. Negara-negara kemudian
membuat aturan yang dimaksudkan untuk mengikat mereka dalam hubungannya
satu sama lain. Adapun individu secara historis dianggap sebagai subjek dari
hukum nasional dari satu negara atau lebih ketika tindakannya muncul dalam
konteks internasional.29
Secara tradisional hukum internasional didefinisikan sebagai hukum yang
mengatur hubungan-hubungan antarnegara secara eksklusif, sehingga hanya
negara yang dianggap sebagai subjek hukum dan memiliki hak-hak hukum
28
Ibid.
Wiliam R. Slomanson, Fundamental Perspectives on International Law, 3rd Edition, Belmont:
Wadsworth, 2000, hlm. 172.
29
11
menurut hukum internasional.30 Hal yang sama juga dinyatakan oleh Rhona K.
M. Smith sebagai berikut: “Originally, international law was, literally, the law of
nations. It was exclusively concerned with interaction of State–diplomatic
relations and the laws of war. Individuals were considered the property of the
State in which they lived.”31
Para individu dianggap tidak memiliki hak-hak hukum internasional
(international legal rights), mereka lebih dianggap sebagai objek daripada
subjek hukum internasional. Sepanjang negara-negara mempunyai suatu
kewajiban hukum internasional (international legal obligations) terhadap
individu, mereka dianggap mempunyai kewajiban terhadap negara yang menjadi
nasionalitas dari individu tersebut.32
Kenyataan di atas erat kaitannya dengan aliran pemikiran yang berkuasa
pada saat itu. Ajaran hukum alam (natural law) sesungguhnya mengakui
individu sebagai subjek yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum
internasional hingga pertengahan abad ke-19. Namun, setelah itu ajaran
kedaulatan negara (state sovereignty) menggantikan ajaran hukum alam. Ajaran
kedaulatan negara berpandangan bahwa hanya negaralah yang merupakan
subjek hukum internasional. Menyangkut kepentingan individu, hukum
internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap individu, tetapi
mewajibkan negara-negara untuk memperlakukan individu-individu dalam suatu
cara tertentu.33
Berdasarkan hal di atas, menyangkut individu, suatu negara akan memiliki
kewajiban secara hukum hanya dalam hubungannya dengan negara yang
menjadi nasionalitas dari individu tersebut. Pada saat itu perlakuan suatu negara
terhadap warga negaranya belum diatur oleh hukum internasional. Oleh karena
itu hukum internasional tidak berlaku terhadap pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap warga negaranya, mengingat seluruh
persoalan tersebut diangggap termasuk dalam yurisdiksi domestik masingmasing negara. 34
Hal di atas sejalan dengan pandangan pada abad ke-19 bahwa hak dan
kewajiban menurut hukum internasional hanya berlaku secara eksklusif bagi
negara. Adapun para individu memiliki kewajiban berdasarkan hukum nasional.
Oleh karena itu mereka hanya dapat melanggar hukum nasional.35
30
Thomas Buergenthal, International Human Rights, St. Paul, Minn.: West Publishing Co., 1995, hlm.
2.
31
Rhona K. M. Smith, Textbook on International Human Rights, 3rd Edition, New York: Oxford
University Press, 2007, hlm. 6.
32
Thomas Buergenthal, op. cit., hlm. 2.
33
Karl Josef Partsch, Individuals in International Law, dalam Rudolf L. Bindshdler, et.al., Encyclopedia
of Public International Law, Jilid ke-8, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987, hlm. 316.
34
Ibid., hlm. 2-3.
35
Wiliam R. Slomanson, op. cit., hlm. 173.
12
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya kritik terhadap doktrin
klasik tersebut datang dari berbagai sumber dan aliran-aliran pemikiran di abad
ke-20. Salah satunya yaitu aliran sosiologis dari Prancis (misalnya: Duguit,
Scelle, Politis) yang berpandangan bahwa individu pada awalnya tidak hanya
dipandang sebagai objek dari keseluruhan tatanan hukum, termasuk hukum
internasional, tetapi bahkan dianggap sebagai subjek yang eksklusif (exclusive
subject). Negara hanya berfungsi untuk menyediakan suatu “mesin hukum”
(“legal machinery”) untuk mengatur hak-hak dan kewajiban dari kelompok para
individu.36
Doktrin bahwa hanya negara yang merupakan subjek hukum internasional
juga mendapat tantangan dari para ahli hukum internasional, maupun para
sarjana dari Inggris dan Amerika. Mereka berpandangan bahwa individu adalah
subjek hukum internasional. Mereka menegaskan bahwa individu menikmati
hak-hak internasional –khususnya HAM– dan hak-hak tersebut harus
dipertahankan tidak hanya oleh negara tetapi juga oleh organ-organ
internasional yang memiliki kewenangan hukum untuk turut campur dalam
masalah-masalah internal dari negara tertentu.37
Perkembangan HAM dalam hukum internasional hingga seperti sekarang
ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan individu dalam
hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu diakuinya individu
sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tertentu menurut
hukum internasional.
Menurut Ved Nanda, hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan secara
dramatis kedudukan (status) individu yang beralih dari semata-mata sebagai
objek menjadi subjek hukum internasional. Individu memiliki hak untuk
mencari pelunasan (redress) di forum internasional. Perlindungan HAM yang
diakui secara internasional merupakan suatu perubahan yang bersifat
revolusioner.38
Dengan status individu sebagai subjek hukum internasional, maka secara
teori individu dapat melanggar hukum internasional (di samping hukum
nasional). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-tindakan
mengerikan yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman. Teori tersebut dihidupkan
kembali oleh para sarjana dan ahli hukum dari negara-negara Barat yang
menyatakan bahwa individu dapat melanggar hukum internasional. Teori
tersebut dikenang dalam putusan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo. Praktek
negara kemudian setuju untuk mengadili para individu atas tindakannya
melanggar hukum internasional.39
36
Karl Josef Partsch, dalam Bindshdler, et.al., op. cit., hlm. 316.
Wiliam R. Slomanson, op. cit., hlm. 173.
38
V. Nanda, International Law in the Twenty-First Century, ch. 5 in N. Jasentuliyana (ed.), Perspectives
on International Law, at 83 (London: Kluwer, 1995) dalam Ibid., hlm. 175.
39
Wiliam R. Slomanson, op. cit., hlm. 173-174.
37
13
Berkenaan dengan diadilinya para penjahat perang secara individual di
hadapan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, Ian Brownlie menyatakan bahwa
sejak pertengahan abad ke-19 secara umum telah diakui bahwa ada beberapa
tindakan (acts) atau kelalaian (omissions) yang menyebabkan berlakunya
tanggung jawab pidana pada para individu dan atas hal itu penghukuman bisa
diberlakukan, baik oleh pengadilan internasional atau nasional dan pengadilan
militer.40
Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional
mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka
memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban yang
dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum perang tidak
dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan dari negara, jika
negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di luar kewenangannya
menurut hukum internasional.41
Tanggung jawab yang bersifat individual selanjutnya juga diterapkan oleh
Mahkamah Pidana Internasional ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan
kemanusiaan yang terjadi di Bekas Yugoslavia (1993) dan di Rwanda (1994).
Hal tersebut juga diatur di dalam Piagam Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court/ICC) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2002.
Dalam hukum perjanjian internasional juga telah diatur bahwa individu
merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, individu harus bertanggung
jawab secara individual apabila melakukan kejahatan genocide yang merupakan
suatu kejahatan menurut hukum internasional, terlepas dari jabatan yang
dimilikinya. Hal tersebut diatur dalam Convention on the Prevention and
Punishment of the Crime of Genocide tahun 1948, yaitu sebagai berikut:
“Persons committing genocide or any of the other act enumerated in article II
shall be punished, whether they are constitutionally responsible rulers, public
officials or private individuals.”42
Isu HAM dalam konteks internasional, secara luas mulai lebih disuarakan
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Besarnya korban jiwa yang jatuh semasa
perang tersebut telah menyadarkan negara-negara di dunia untuk lebih
memperhatikan aspek kemanusiaan. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan
adanya keinginan yang kuat dari sejumlah besar negara untuk menempatkan
HAM dalam posisi yang penting.
40
Ian Brownlie, Principles of Public International Law, 5th edition, New York: Oxford University Press,
1998, hlm. 565. Ia mengatakan bahwa: “Since the latter half of the nineteenth century it has been
generally recognized that there are acts or omissions for which international law imposes criminal
responsibility on individuals and for which punishment may be imposed, either by properly empowered
international tribunals or by national courts and military tribunals.”
41
Ibid., hlm. 565-566.
42
Pasal IV Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948.
14
Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat yang sangat penting
terhadap eksistensi HAM. Dibentuknya PBB juga merefleksikan komitmen dari
sejumlah besar negara menyangkut HAM. Hal tersebut terlihat dari ketentuanketentuan mengenai HAM yang terkandung di dalam Piagam PBB.
Menurut Ian Brownlie, klausul-klausul mengenai HAM di dalam Piagam
PBB meletakkan suatu dasar dan dorongan bagi perkembangan selanjutnya
dalam perlindungan HAM. Hal itu terlihat dalam bagian mukadimah Piagam
yang menyatakan bahwa negara-negara anggota PBB menegaskan kembali
keyakinannya terhadap HAM yang fundamental. Kemudian dalam Pasal 1
dinyatakan pula bahwa PBB memiliki tujuan dalam mendorong kerja sama
internasional dalam rangka mempromosikan dan mendorong penghormatan
terhadap HAM dan kebebasan mendasar bagi semua orang tanpa membedakan
ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.43
Piagam PBB tersebut tidak dipungkiri lagi memiliki sejumlah konsekuensi
penting bagi perkembangan HAM dewasa ini. Pertama, Piagam PBB
“menginternasionalisasi” HAM. Dengan terikat pada Piagam, sebagai perjanjian
multilateral, Negara-negara Pihak mengakui bahwa “HAM” yang mengacu
kepada Piagam adalah subjek yang menjadi perhatian internasional dan HAM
tidak lagi secara eksklusif menjadi masalah yurisdiksi domestik. Kedua,
kewajiban dari negara-negara anggota PBB untuk bekerja sama dengan PBB
dalam mempromosikan HAM dan kebebasan mendasar telah melengkapi PBB
dengan kewenangan hukum yang diperlukan untuk mengambil langkah-langkah
secara massif untuk menentukan dan mengkodifikasikan HAM. Upaya tersebut
direfleksikan dengan diadopsikannya “International Bill of Human Rights” dan
sejumlah instrumen HAM lain yang ada saat ini. Ketiga, PBB telah berhasil
menjelaskan ruang lingkup kewajiban anggota PBB untuk mempromosikan
HAM, memperluas dan menciptakan institusi-institusi berdasarkan Piagam PBB
(Charter-based) yang dirancang untuk menjamin pelaksanaan oleh
pemerintah.44
Sejalan dengan terbentuknya PBB, HAM semakin mendapatkan perhatian
yang besar. Hal ini dibuktikan dari adanya mandat yang diberikan oleh
ECOSOC kepada Komisi HAM PBB agar menyusun semacam dokumen HAM.
Dokumen tersebut berisi daftar hak-hak yang termasuk kategori HAM.
Dokumen tersebut dikenal sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau
The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang disetujui oleh
Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Deklarasi tersebut merupakan tonggak
sejarah bagi perkembangan HAM di dunia.
Pertama-tama dapat dicatat bahwa UDHR merupakan pernyataan
internasional dasar yang mengatur/menentukan hak-hak yang tidak dapat
dipisahkan dan tidak dapat dicabut/dilanggar dari semua keluarga kemanusiaan.
43
44
Ian Brownlie, op. cit., hlm. 573-574.
Thomas Buergenthal, op. cit., hlm. 25-27.
15
Deklarasi tadi dimaksudkan sebagai suatu standar pencapaian bersama bagi
semua orang dan semua bangsa (the common standard of achievement for all
peoples and all nations).45
Dengan adanya UDHR, dapat dikatakan bahwa HAM memasuki fase baru.
Hal itu disebabkan, dimuatnya HAM di dalam dokumen yang bersifat
internasional merupakan suatu pengakuan terhadap eksistensi HAM, khususnya
ditinjau dari sudut pandang hukum internasional. Walaupun UDHR tidak
memiliki kekuatan mengikat secara hukum, karena lahir berdasarkan suatu
Resolusi Majelis Umum PBB, namun demikian UDHR tidak dipungkiri lagi
sangat mempengaruhi perkembangan HAM di berbagai negara.
Pengaruh yang terjadi antara lain, banyak negara yang mencantumkan
sejumlah hak yang terdapat di dalam UDHR ke dalam konstitusi negaranya.
Kesadaran dari negara-negara untuk mengatur HAM lebih lanjut ke dalam
sistem hukumnya dapat dianggap sebagai bentuk pengakuan sekaligus
penghormatan terhadap HAM.
Deklarasi Universal HAM, sesuai dengan namanya, berbentuk “deklarasi”
Majelis Umum PBB. Ini berarti bahwa secara hukum Deklarasi tersebut tidak
mengikat para anggota PBB. Namun demikian, beberapa pakar dengan
mengajukan berbagai teori ingin membuktikan bahwa Deklarasi toh memiliki
daya mengikat. Von Glahn, berpendapat bahwa Deklarasi tersebut merupakan
suatu penafsiran resmi atau expository interpretation dari beberapa ketentuan
tentang HAM yang bersifat sangat umum, yang terdapat dalam Piagam PBB dan
ketentuan dalam Piagam mengikat semua angggota PBB.46
Adapun Lung Chu Chen berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang
mengatur HAM, terutama yang terdapat dalam Deklarasi sudah dapat
digolongkan sebagai jus cogens yang berarti bahwa ketentuan itu hanya dapat
diubah atau ditiadakan oleh ketentuan yang berstatus jus cogens juga.47
David Ott, seorang pakar lain, berpendapat bahwa UDHR dapat dianggap
telah menjadi dasar bagi tersusunnya customary internatinal human rights.
Gagasan ini berdasarkan kenyataan bahwa UDHR: telah berulang kali dijadikan
referensi dari sejumlah resolusi PBB; demikian pula telah dijadikan referensi
dalam persidangan badan internasional, antara lain, dalam Final Act dari
Konferensi Helsinki tahun 1975; telah dicantumkan dalam beberapa statement
dan agreement antarnegara yang dibuat di luar lingkungan PBB.48
45
GPH. Haryomataram, Hukum Humaniter: Hubungan dan Keterkaitannya dengan Hukum Hak Asasi
Manusia Internasional dan Hukum Perlucutan Senjata, Pidato Pengukuhan Diucapkan pada Upacara
Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti di
Jakarta, tgl. 2 Oktober 1997, hlm. 10.
46
Ibid., hlm. 13.
47
Loc. cit.
48
Ibid.
16
Berkaitan dengan berbagai pandangan (teori) yang dikemukakan di atas,
Thomas Buergenthal berkesimpulan bahwa apapun teorinya, sekarang ini telah
jelas bahwa komunitas internasional memberikan suatu atribut moral yang
khusus (very special moral) dan status hukum (normative status) kepada
Deklarasi Universal HAM bahwa tidak ada instrumen lain semacam itu yang
memiliki kedua hal tersebut.49
F. Universalitas dan Partikularitas HAM
HAM sebagai suatu konsep sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang
membentuknya, seperti ideologi, politik maupun budaya yang melingkupinya.
Walaupun HAM secara historis sudah ada jauh ke belakang, tetapi perdebatan
menyangkut unversalitas serta partikularitas HAM masih diperbincangkan di
berbagai kesempatan oleh berbagai kalangan hingga saat ini.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir
adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan HAM pada
skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya
(cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan
semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk
kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat.
Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu
budaya tradisional tidak dapat diubah.50
Menyinggung perdebatan tersebut, dapat diutarakan bahwa sejak awal
masalah universalitas dan relativisme HAM merupakan sumber perdebatan dan
pertengkaran. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “The question of the
‘universal’ or ‘relative’ character of the rights declared in the major instruments
of the human rights movement has been a source of debate and contention from
the movement’s start.”51
Perdebatan tersebut terutama akan terkait dengan dua teori yang memiliki
pandangan yang saling bertolak belakang menyangkut gagasan dan penerapan
HAM, yaitu teori universalis (universalist theory) dan teori relativisme budaya
(cultural relativist theory).
Doktrin kontemporer HAM merupakan salah satu dari sejumlah perspektif
moral universalis. Asal muasal dan perkembangan HAM tidak dapat terpisahkan
dari perkembangan universalisme nilai moral. Prasyarat yang penting bagi
pembelaan HAM di antaranya konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah”
tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan
49
Thomas Buergenthal, op. cit, hlm. 37-38. Ia menyatakan bahwa: “Whatever the theory, it is today
clear that the international community attributes a very special moral and normative status to the
Universal Declaration that no other instrument of its kind has acquired.”
50
Rhona K. M. Smith., et. al., op. cit., hlm. 18.
51
Henry J. Steiner dan Philip Alston, International Human Rights in Context, Law, Politics, Moral, New
York: Oxford University Press, 2000, hlm. 366.
17
adil bagi setiap individu secara rasional. Menurut teori universalis, HAM
berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan
kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia.
Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat
lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional.52
Secara singkat, teori universalis berpandangan bahwa HAM bersifat
universal, sehingga HAM dimiliki oleh individu terlepas dari nilai-nilai atau
budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada suatu
negara. Oleh karena itu HAM tidak memerlukan pengakuan dari otoritas
manapun, seperti negara atau penguasa tertentu.
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang akhir
Perang Dingin sebagai respons terhadap klaim universal dari gagasan HAM
internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa
kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral.
Karena itu HAM dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masingmasing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang
sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan
relativisme budaya menolak universalisasi HAM, apalagi bila ia didominasi oleh
suatu budaya tertentu.53
Teori relativisme budaya pada intinya berpandangan bahwa HAM harus
diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak
yang bersifat universal. Dengan perkataan lain HAM harus dilihat dari
perspektif budaya suatu masyarakat atau negara.
Perdebatan di atas dapat dicarikan titik temu dengan cara mengkaji HAM
dilihat dari esensinya dan aktualisasinya. Hal ini secara sederhana dapat dimulai
dengan menjelaskan pengertian HAM. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa
pengertian HAM yang sekarang dipahami berasal dari pandangan universalis.
Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku dan
bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé
mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal dan
otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang dapat
dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis
pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia yang
bersifat melekat dari manusia.54 Definisi HAM lainnya yang telah dikenal yaitu,
52
Ibid., hlm. 19.
Ibid., hlm. 20.
54
H. Victor Condé, A Handbook of International Human Rights Terminology, Lincoln N.E.: University
of Nebraska Press, 1999, hlm. 15. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “There is no universally accepted
and authoritative definition of human rights. Many define it as a legally enforceable claim or entitlement
that is held by an individual human being vis-á-vis the state government for the protection of the inherent
human dignity of the human being”.
53
18
HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat pada diri
manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai manusia.55
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi HAM
merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat sifatnya yang melekat
(inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena HAM merupakan karunia
dari Tuhan dan bukan merupakan pemberian dari orang atau penguasa, maka
orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk merampas atau mencabut HAM
seseorang. Di samping itu, HAM mengatasi batas-batas geografis maupun
adanya perbedaan-perbedaan ras, jenis kelamin, agama, bahasa atau budaya
yang melekat pada diri seseorang.
Sedangkan mengenai aktualisasi HAM-nya adalah bersifat partikular,
artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan yang
bersifat lokal. Sifat partikular HAM merupakan kompleksitas HAM yang
multidimensi, artinya HAM mengandung banyak elemen di dalamnya, seperti
politik, hukum, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu pelaksanaanya
pun disesuaikan dengan elemen-elemen tersebut yang bersifat lokal.
Dengan demikian masalah universalitas HAM adalah menyangkut esensi
dari HAM, sedangkan partikularitas HAM adalah masalah aktualisasi dari
HAM. Kedua hal itu harus dipahami dengan baik, karena pemaknaan yang
keliru terhadap dua masalah tersebut akan menimbulkan pandangan yang salah.
Berkaitan dengan hal di atas, Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa:
“Antara kontekstualitas dan universalitas HAM tidak ada pertentangan.
Universalitas menyangkut isi HAM, sedangkan kontekstualitas menyangkut
relevansinya. HAM memang berlaku universal, jadi segenap orang harus
diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu...”.
Oleh karena esensi HAM bersifat universal, maka pandangan yang
menyatakan bahwa HAM berasal dari budaya “Barat” sehingga bertentangan
dengan budaya “Timur” adalah keliru. Sesunguhnya, persoalan HAM bukanlah
masalah budaya “Barat” berhadapan dengan budaya “Timur”, sehingga tesis
yang menghadapkan kedua hal tersebut dan kemudian mempertentangkannya
adalah tidak sesuai dengan sifat melekat dan universal dari HAM.
Dapat dicatat di sini, bahwa revolusi yang tejadi di Inggris, Amerika
Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 dapat dianggap sebagai asal-usul
konsep HAM yang modern. Namun demikian hal tersebut tidak berarti bahwa
HAM berasal dari (bangsa) Barat atau Eropa. Berdasarkan fakta sejarah, HAM
muncul karena adanya penindasan terhadap manusia oleh penguasa yang tiran,
sehingga menimbulkan kesadaran menyangkut harkat dan martabat manusia.
55
The United Nations, Human Rights Questions and Answers, New York; the United Nations
Department of Public Information, 1988, hlm. 4. Yaitu dinyatakan: “Human rights could be generally
defined as those rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as human
being”.
19
Meskipun pengertian HAM baru dirumuskan secara eksplisit pada abad ke-18,
asal mula pendapat dari segi hukum dan prinsip dasarnya sudah lebih dahulu
eksis jauh ke belakang dalam sejarah.
***
20
DAFTAR PUSTAKA
Bindshdler, Rudolf L. et.al., Encyclopedia of Public International Law, Jilid ke8, Amsterdam: Elsevier Science Publisher B.V., 1987.
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, 5th edition, New York:
Oxford University Press, 1998.
Buergenthal, Thomas, International Human Rights, St. Paul, Minn.: West
Publishing Co., 1995.
Condé, H. Victor, A Handbook of International Human Rights Terminology,
Lincoln N.E.: University of Nebraska Press, 1999.
Davidson, Scott, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, Jakarta: Grafiti, 1994.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia, 1994.
Meron, Theodor, edit., Human Rights in International Law Legal and Policy
Issues, New York: Oxford University Press, 1992.
Slomanson, Wiliam R., Fundamental Perspectives on International Law, 3rd
Edition, Belmont: Wadsworth, 2000.
Steiner, Henry J. dan Alston, Philip, International Human Rights in Context,
Law, Politics, Moral, New York: Oxford University Press, 2000.
Smith, Rhona K. M., Textbook on International Human Rights, 3rd Edition, New
York: Oxford University Press, 2007.
Smith, Rhona K. M., et. al., Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM
UII, 2008.
The United Nations, Human Rights Questions and Answers, New York; the
United Nations Department of Public Information, 1988.
Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of
Indonesia’s New Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia, 1993.
***
Download