ISKCON dan Antar Agama

advertisement
I SK C ON d an An tar Agama
ISKCON dalam Hubungan dengan Para
Penganut Ketuhanan
ISKCON
(International
Society for
Krishna
Consciousness)
termasuk
dalam sampradaya/tradisi Gaudiya
Vaisnava, sebuah tradisi monoteistik
dalam lingkup budaya Veda atau Hindu.
Budaya Hindu sangatlah luas, dan
istilah ‘Hindu’ meliputi berbagai
teologi, filosofi, tradisi keagamaan, dan
budaya spiritual. Dengan demikian,
sering
terjadi
kesulitan
untuk
melakukan dialog dengan tradisi-tradisi
Hindu. Tidak ada wakil resmi Agama
Hindu, sebab istilah Hindu tidak
menyatakan sebuah tradisi spiritual
tunggal. Karena itu, pernyataan ini
mewakili budaya dan agama Hindu
sebagaimana yang termanifestasi di
dalam
ISKCON,
sebuah
tradisi
monoteistik Vaisnava Vedanta.
BagianSatu
PernyataanDialogAntarAgamaISKCON
ISKCONdalamHubungandenganParaPenganutKetuhanan
Di dalam ISKCON, kami memandang bahwa cinta kepada sesosok
pribadi Tuhan Yang Mahatinggi sebagai bentuk tertinggi ekspresi
keagamaan, dan kami mengakui dan menghormati keberadaan
ekspresi yang sama ini dalam tradisi-tradisi teistik lainnya. Kami
menghormati kedudukan spiritual berbagai jalan keinsafan diri
yang asli dan sejati dan pencarian terhadap Kebenaran Mutlak,
yang berpegang pada konsep tentang sosok personal Tuhan yang
tidak bersifat eksplisit. Kami memandang pula bahwa komunitas
dan organisasi lainnya yang mengangkat wacana kemanusiaan,
etika, dan standar moralitas telah memberi manfaat bagi
masyarakat.
ISKCON memandang bahwa dialog antara anggotanya dengan
para penganut keyakinan yang berbeda adalah sebuah
kesempatan untuk mendengarkan pihak lain, untuk
mengembangkan hubungan saling pengertian dan saling percaya,
dan untuk berbagi komitmen dan keyakinan kami kepada pihak
lain, sambil tetap menghormati komitmen mereka terhadap
keyakinan mereka sendiri.
ISKCON mengakui bahwa perihal kebenaran, wahyu Tuhan atau
jalinan hubungan kita dengan Tuhan tidak menjadi monopoli satu
agama tertentu.
Anggota ISKCON didorong untuk menghormati para penganut
keyakinan dan tradisi lain dan mengerti bahwa orang-orang
dengan keyakinan yang berbeda-beda perlu bekerjasama untuk
memberi manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan dan untuk
memuliakan keagungan Tuhan.
ISKCON menegaskan tanggungjawab tiap-tiap individu untuk
mengembangkan hubungan mereka dengan Tuhan Yang Maha
Esa.
Ketika
Bagian Dua
Misi ISKCON
A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada (1896–1977),
pendiri dan Acarya (guru spiritual) ISKCON, awalnya
mendaftarkan ISKCON sebagai sebuah badan hukum di New York
pada tahun 1966, beliau menyatakan bahwa tujuan utama
perkumpulan ini adalah: ‘Secara sistematis menyebarluaskan
pengetahuan spiritual kepada masyarakat luas dan mendidik
semua orang dalam suatu cara kehidupan spiritual dalam upaya
memperbaiki ketidakseimbangan nilai-nilai kehidupan dan
mencapai persatuan yang sejati dan perdamaian di dunia.’1
Selaras dengan tujuan tersebut, anggota perkumpulan Hare
Krsna,
• menghargai perbuatan kedermawanan, nirkekerasan,
pendidikan spiritual, pemikiran dan tindakan yang berlandaskan
moral, kebaktian, dan pelayanan kepada Tuhan.
• menghargai sifat-sifat seperti kerendahan hati, toleransi, welas
asih, kebersihan, pengendalian diri, kesederhanaan, keteguhan,
pengetahuan, kejujuran, dan integritas pribadi.
• menghargai dan menghormati hak hidup semua makhluk hidup
lainnya, baik manusia, binatang, binatang air, ataupun tumbuhtumbuhan. Kami menghargai lingkungan dan sumber daya alam
dengan memandangnya sebagai milik Tuhan, dan kita
bertanggungjawab untuk menghormati dan melindunginya.
• mengakui keberadaan keluarga sebagai unsur penting dalam
memelihara stabilitas sosial dan dalam memperkenalkan nilainilai spiritual.
Kami memandang bahwa sikap hormat terhadap orangtua, guru,
dan wakil pemerintah adalah hal yang penting untuk memelihara
stabilitas masyarakat. Sikap hormat dan perlindungan terhadap
kaum manula, wanita, anak-anak, dan makhluk-makhluk hidup
yang lemah dan mengantungkan diri kepada manusia, serta
orang-orang yang mengabdikan diri untuk kebaikan orang lain
dan untuk pelayanan kepada Tuhan, adalah juga unsur-unsur
penting dalam perkembangan sebuah masyarakat yang sehat dan
aman.
Kami memahami pula bahwa ada banyak orang yang terinspirasi
di bidang spiritual, altruistik, dan kemanusiaan yang berpegang
pula pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang sama tersebut. Kami
menghormati dan menghargai tradisi atau budaya mana pun
yang berusaha untuk memperkenalkan, memelihara dan
mengembangkan sifat-sifat dan perilaku yang demikian.
Bhaktivinoda Thakura (1838–1914), seorang Acarya Vaisnava
yang sangat dihormati, menjelaskan bahwa yang merupakan
lawan bukanlah agama lain, melainkan ateisme. (Sri CaitanyaSiksamrtam, hal. 9) Misi Srila Prabhupada dan sampradaya
(tradisi keagamaan) yang diwakilinya ini mendorong moralitas
dan praktik-praktik yang mendukung perkembangan spiritualitas
individu maupun sosial, sambil pada saat yang sama menyoroti
prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang ateistik dan materialistik.
ISKCON: Dialog dan misi
Sejumlah orang mungkin merasa bahwa, bagi sebuah
perkumpulan yang berpegang pada sebuah misi, dialog dengan
mereka yang tidak berpandangan spiritual atau keagamaan yang
sama adalah hal yang bertentangan dengan tujuan. Akan tetapi,
ajaran-ajaran Gaudiya Vaisnava mendukung dilakukannya dialog
dan kerjasama dengan tradisi keagamaan lain sebagai sebuah
sarana untuk saling memperkaya pemahaman, melalui
penemuan nilai-nilai yang unik dan universal di dalam berbagai
tradisi teistik dan moralitas.
Secara historis, anggota tradisi
kami telah menjalin komunikasi
dengan anggota komunitas
keyakinan lain sejak setidaknya
masa Caitanya Mahaprabhu
(1486–1534), walau upayaupaya
sistematis
untuk
melakukan
dialog
dengan
keyakinan-keyakinan lain baru
diawali
oleh
Bhaktivinoda
Thakura.
Dapatkahsebuah
perkumpulanyang
berpegangpada
sebuahmisi
melakukandialog
denganagamalain?
Hubungan saling percaya dapat berkembang dari dialog yang
tulus dan apa adanya dengan berbagai penganut keyakinan.
Hubungan tersebut dapat mendorong umat beragama dari segala
tradisi untuk bekerjasama menegakkan kesimpulan-kesimpulan
teistik yang akan mengantarkan pada semangat kesadaran Tuhan
di dunia modern kita ini. Dengan demikian, dialog dan hubungan
kerjasama yang saling menghormati dengan komunitas keyakinan
lain adalah hal yang sejalan dengan misi ISKCON dan penting bagi
tercapainya keharmonisan sosial.
Pada tahun 1950an, Srila Prabhupada membenarkan cara
pendekatan ini dalam sebuah permohonan yang beliau
sampaikan kepada para pemimpin agama-agama dunia: ‘Umat
Hindu, Muslim, Kristen, dan umat agama lain yang memiliki
keyakinan kuat terhadap kekuasaan Tuhan tidak boleh duduk
diam berpangku tangan melihat pesatnya pertumbuhan
peradaban yang tidak berketuhanan ini. Ada kehendak tertinggi
Tuhan, dan tidak ada masyarakat atau bangsa yang bisa hidup
damai dan sejahtera tanpa mengakui kebenaran penting ini.’
(Cahaya Bhagavata, hal. 20)
Walaupun kami menjunjung tinggi budaya spiritual kami sendiri
dan berusaha untuk membangun keyakinan kami terhadap Krsna
di Vrndavana, kami memandang bahwa tidaklah pantas bagi
seorang Vaisnava untuk berusaha menarik perhatian orang
menuju pemujaan kepada Tuhan dengan cara menjelekkan,
menyajikan secara keliru, atau merendahkan anggota komunitas
keyakinan lain. Terkait hal ini, Bhaktivinoda Thakura menulis:
‘Tetapi,
tidak
sepantasnya
seseorang
terus-menerus
mengemukakan tentang superioritas pengajar-pengajar dari
negerinya sendiri, membandingkannya dengan pengajar-pengajar
dari negeri lain. Walau memang, seseorang hendaknya
menjunjung tinggi keyakinannya tersebut agar ia mencapai
kemantapan
terhadap
keyakinannya
sendiri.
Tetapi,
pertengkaran-pertengkaran semacam itu tidak memberikan
kebaikan apa pun bagi dunia.’ (Sri-Caitanya-Siksamritam, hal. 7)
Srila Prabhupada membahas juga hal ini di dalam penjelasanpenjelasan beliau dalam Srimad-Bhagavatam: ‘Poin penting
lainnya yang disebutkan terkait hal ini adalah anindaya
[menghindari perbuatan menghina] — kita hendaknya tidak
mengkritik metode keagamaan orang lain... Seorang penyembah
tidak akan mengkritik cara tersebut, melainkan ia akan
mendorong pengikut tradisi tersebut untuk setia memegang
prinsip-prinsip
mereka.’
(Srimad-Bhagavatam
4.22.24,
penjelasan)
Para Vaisnava berusaha untuk mendorong dan meningkatkan
jalinan hubungan antara Tuhan dan para penyembah-Nya. Dalam
upaya untuk melakukan hal tersebut, para penyembah
berhadapan dengan orang lain yang memiliki cara pendekatan
yang berbeda terhadap Tuhan dalam hal jenis pemujaan,
keanekaragaman cara pelayanan, dan ekspresi cinta. Dalam
sebuah ceramah di depan publik pada tahun 1969, Srila
Prabhupada menyatakan, ‘Semua orang hendaknya mengikuti
tradisi atau sampradaya tertentu, yakni prinsip-prinsip aturan
agama Anda sendiri. Hal ini perlu adanya, sebagaimana halnya
ada partai-partai politik yang berbeda-beda walaupun semuanya
dimaksudkan untuk melayani satu negara yang sama’. Dengan
demikian, keanekaragaman diakui, tetapi tidak dengan
mengesampingkan kesatuan. Agama-agama tidak harus menjadi
homogen atau dijadikan satu, melainkan mereka dapat
mengembangkan hubungan yang saling menghormati dan nyata
satu sama lain. Dengan pemahaman seperti ini, ISKCON tidak
punya misi untuk mengubah keyakinan orang lain.
Menerima dengan tangan terbuka jiwa-jiwa tulus yang
memperlihatkan keinginan mereka untuk mendapatkan naungan
dan bimbingan spiritual, inilah yang menjadi misi ISKCON.
Semangat misionaris tentu ada di dalam Vaisnavaisme dan
Hinduisme, tetapi pelaksanaannya diatur bukan dengan model
konversi yang eksklusif. Dari perspektif Gaudiya Vaisnava, yang
disasar bukanlah ‘konversi’ melainkan perkembangan spiritual.
Maka ‘konversi’ akan menjadi sebuah pengalaman individual,
atau perjalanan spiritual seseorang, yakni perjalanan yang
melampaui institusi keagamaan dan afiliasi sektarian. Modelmodel konversi yang bergantung pada tuntutan afiliasi eksklusif
seringkali melakukan upaya konversi tanpa mempertimbangkan
kemahakuasaan dan independensi Tuhan.
Melalui dialog, orang-orang dari latar belakang tradisi dan
keyakinan yang berbeda-beda dapat bekerjasama dan berbagi
prinsip-prinsip dan wilayah-wilayah yang menjadi perhatian
mereka. Mereka kemudian dapat bersama-sama mengarahkan
spiritualitas individu mereka untuk menyoroti masalah-masalah
seperti perang, kekerasan, kemerosotan moral, kejahatan,
penyalahgunaan narkotika, kemiskinan dan kelaparan,
ketidakstabilan sosial, dan kemerosotan lingkungan.
Melalui dialog, kaum teistik dan mereka yang tekun dalam
pencarian terhadap Kebenaran Mutlak dapat saling mendorong
satu sama lain untuk lebih khusyuk dalam praktik mereka
masing-masing. Banyak tradisi telah menetapkan bentuk-bentuk
disiplin seperti pengendalian diri, pengorbanan, pertapaan dan
kedermawanan untuk membantu tercapainya pencerahan
spiritual, tetapi kita semua membutuhkan dorongan semangat
dan inspirasi dalam upaya yang sedang kita jalani.
Untuk memenuhi permintaan guru-guru spiritual kita dan untuk
memberikan teladan bagi masyarakat, kita perlu saling
mendorong satu sama lain agar setia pada prinsip-prinsip tradisi
kita masing-masing.3
Dialog dapat menjadi tantangan bagi keyakinan umat dari setiap
tradisi. Tantangan seperti ini adalah hal yang diperlukan dan
disambut keberadaannya di dunia yang multi-keyakinan ini.
Dialog tersebut dapat membantu untuk memperkuat keyakinan
dan karakter masing-masing individu, memperkuat integritas dan
visi masing-masing institusi, dan memperkuat dukungan dan
apresiasi dari mereka yang mengharapkan adanya kepemimpinan
spiritual yang mengantarkan pada pencerahan. Demikianlah
dialog dapat mengantarkan pada keinsafan yang mendalam
terhadap misi, dalam makna terluasnya.
Kaum teistik dapat saling mendorong satu sama lain
untuk lebih khusyuk dalam praktik mereka masingmasing.
Bagian Tiga
ISKCON:Dasar Teologis untuk Melakukan Dialog
Teologi Vaisnava dan konsep tentang agama
Serupa dengan banyak pengikut tradisi Vedanta, para
penyembah Krsna membedakan antara kesadaran Krsna, atau
cinta murni kepada Tuhan4 (sanatana-dharma), dengan apa yang
umumnya dipahami sebagai agama (dharma). Dalam kata
pengantar Bhagavad-gita karya beliau, Srila Prabhupada
menjelaskan:
Yang dimaksud sanatana-dharma bukanlah proses
keagamaan sektarian manapun. Sanatana-dharma adalah
fungsi kekal entitas hidup yang kekal dalam jalinan
hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa yang kekal.... Kata
agama dalam bahasa Inggris memiliki makna yang agak
berbeda dengan sanatana-dharma. Agama menyatakan
gagasan tentang keyakinan, dan keyakinan dapat berubah.
Mungkin seseorang meyakini suatu proses tertentu, dan
keyakinannya kemudian berubah untuk menjalani proses
yang lain, tetapi yang dimaksud dengan sanatana-dharma
adalah kegiatan yang tidak bisa berubah. (Bhagavad-gita
Menurut Aslinya, hal. 18)
Para Vaisnava memandang bahwa kesadaran Krsna, atau
sanatana-dharma, bersifat non-sektarian, walau mereka yang
mempraktikkan sanatana-dharma bisa jadi mengaitkan diri
mereka secara individu dengan tradisi keagamaan tertentu. Srila
Prabhupada menulis, ‘Kami tidak menganjurkan suatu bentuk
keagamaan yang bersifat sektarian. Yang menjadi perhatian kami
adalah bagaimana membangkitkan cinta kita yang sedang
terpendam kepada Tuhan. Kita menyambut metode mana pun
yang membantu kita untuk mencapai tataran tersebut.’5
Dalam ulasan beliau atas kitab Upadesamrta karya Rupa
Gosvami, Srila Prabhupada menjelaskan lebih lanjut: ‘Di seluruh
bagian dunia, seberapa pun tertinggalnya masyarakat manusia di
sana, ada suatu sistem keagamaan... Ketika sebuah sistem
keagamaan berkembang dan beralih menjadi cinta kepada Tuhan,
maka sistem keagamaan tersebut mencapai sukses.’
(Upadesamrta, hal. 44) 6
Karena itu, Vaisnavaisme mengakui keberadaan spiritualitas yang
melekat pada diri semua entitas hidup beserta hubungan
individu mereka dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dikenal
dengan banyak nama. Menurut Vaisnavaisme, kebahagiaan tiaptiap individu dapat mereka temukan dalam pelayanan kepada
Yang Mahakuasa, dan ‘pelayanan suci yang dilakukan tersebut
haruslah tanpa motif dan dilaksanakan secara berkesinambungan
untuk dapat sepenuhnya memuaskan sang diri’ (SrimadBhagavatam 1.2.6). Tanpa pelayanan semacam itu, kebahagiaan
akan kita cari di tempat lain dan kita pun akan menuhankan para
dewa, tokoh-tokoh besar, fenomena alam, atau berhala, sesuai
kecenderungan dan keadaan kita.
Tuhan senantiasa mengakui dan mempertahankan jalinan
hubungan
Diri-Nya
dengan
jiwa-jiwa
individu
dan
memperhatikan upaya kita untuk mengetahui dan mengerti
tentang Diri-Nya, meski kita melakukannya dengan cara yang
tidak sempurna atau tidak selayaknya. Krsna meminta kepada
jiwa-jiwa individu, ‘Tinggalkanlah segala jenis dharma dan hanya
berserah diri kepada-Ku. Aku akan menyelamatkan engkau dari
segala reaksi dosa. Jangan takut.’ (Bhagavad-gita 18.66). Karena
itu, Krsna menekankan bahwa jalinan hubungan pribadi antara
Diri-Nya dengan jiwa individu berkedudukan lebih tinggi daripada
semata-mata klaim kelembagaan ataupun sektarian sebagai yang
paling dekat dengan Diri-Nya.
Teologi Vaisnava dan landasan untuk dialog
Caitanya Mahaprabhu mewariskan hanya delapan ayat tertulis,
yang disebut Sri Siksastaka. Ayat yang ketiga berbunyi: ‘Barang
siapa yang memosisikan dirinya lebih rendah daripada rumput,
lebih toleransi daripada pohon, dan tidak berharap menerima
penghormatan pribadi melainkan selalu siap menghormati
semua orang, dapat dengan sangat mudah mengucapkan nama
suci Tuhan senantiasa.’ (Lagu-Lagu Para Acarya Vaisnava, hal.
22–5)
Ayat ini tidak menyisakan sedikit
pun keraguan tentang standar
kerendahan hati, sikap hormat
dan
pengabdian
yang
diharapkan hadir pada diri
seorang
Vaishnava
yang
berserah diri kepada Sri Krsna
dengan hati yang murni. Frasa
‘menghormati semua orang”
tentu saja dapat secara langsung
diterapkan terhadap orangorang yang menganut keyakinan
yang berbeda.
Kitamengakui
keberadaan
spiritualitas yang
melekat pada diri
semua entitas hidup
beserta hubungan
individu mereka
dengan Tuhan Yang
Maha Esa
Merupakan kewajiban para penyembah Tuhan untuk bersikap
hormat khususnya terhadap orang-orang yang tulus berusaha
mencintai dan melayani Tuhan. Sikap hormat, toleransi dan
kerendahan hati tersebut menjadi landasan bagi jenis hubungan
yang benar bagi seorang Vaisnava.
Skanda Sebelas Srimad-Bhagavatam menguraikan tentang tiga
tingkatan kemajuan dalam perkembangan hubungan spiritual:
pemula (kanistha), matang (madhyama) dan maju (uttama).
Bhagavatam menyajikan tahap-tahap perkembangan tersebut
sebagai sebuah fenomena yang berlaku universal dan dapat
diamati pada para penganut semua tradisi keagamaan. Seorang
pemula umumnya memperlihatkan sikap fanatisme dan
eksklusivisme. Seorang pemula tidak tahu bagaimana berperilaku
di tengah-tengah komunitas penyembah. Ia belum mampu
membedakan dengan benar antara penyembah dan bukan
penyembah (Srimad-Bhagavatam 11.2.47, penjelasan) dan tidak
efektif jika diajak berdialog, tanpa memandang dari tradisi mana
ia berasal. Srila Prabhupada memberi peringatan, ‘tetapi jika
orang itu adalah pengikut buta yang dogmatis, maka hindarilah
berdiskusi dengannya.’7
Penyembah yang matang, yang sangat memberi perhatian pada
jalinan hubungan yang benar, (Srimad-Bhagavatam, 11.2.46,
penjelasan) dapat mengenali siapa yang merupakan penyembah
Tuhan dengan melihat sifat-sifat dan gerak perasaan mereka; ia
tidak menilai orang dari afiliasi agama mereka.8 Di mana pun
sikap bhakti atau devosi terwujud, di sana ia mengenali
keberadaan seorang penyembah Tuhan. Penyembah yang
matang akan mengenali keberadaan bhakti kepada Tuhan dengan
melihat adanya salah satu di antara sembilan proses bhakti yang
digariskan oleh otoritas Vaisnava yang bernama Maharaja
Prahlada.9 Srila Prabhupada menyatakan bahwa walaupun dua di
antara sembilan proses tersebut yakni mendengarkan suara
spiritual (sravanam) dan mengucapkan nama Tuhan (kirtanam),
dianjurkan secara khusus sebagai metode latihan spiritual yang
paling efektif untuk zaman saat ini, yang mana pun di antara
sembilan proses lainnya tetap efektif untuk setiap zaman.
Setelah mencapai tingkatan matang, penglihatan yang diperlukan
untuk terjalinnya hubungan yang tulus dan saling percaya dengan
anggota komunitas keyakinan lain berkembang pada diri seorang
penyembah.
Tingkatan keyakinan yang telah maju, atau tingkatan uttama,
mengantarkan tercapainya keinsafan spiritual. Seorang
penyembah yang telah maju melihat semua makhluk hidup
sebagai pelayan-pelayan kekal Krsna dan ia memperlakukan
mereka berdasarkan penglihatan tersebut. Ia tidak akan memiliki
ketertarikan terhadap julukan-julukan sektarian seperti ras, jenis
kelamin, ataupun agama dan ia meninggalkan segala pergaulan
yang duniawi dan materialistik, mengalihkan pergaulannya
kepada orang-orang yang mengabdikan diri dalam bhakti yang
murni kepada Personalitas Tuhan Yang Maha Esa.
Vaisnavaisme mengakui bahwa kehidupan spiritual atau
kehidupan kegamaan pada dasarnya adalah perihal hubungan
pribadi dan indvidual antara jiwa individu yang kekal dengan Jiwa
Tertinggi yang kekal. Walaupun seorang penyembah melakukan
berbagai pelayanan yang barangkali dapat memuaskan Tuhan,
keinsafan spiritual dan cinta kasih bhakti yang murni diberkati
oleh Tuhan secara bebas sesuai kehendak-Nya Sendiri. Dengan
demikian, penganut Vaisnavaisme menolak pemikiran bahwa
kebenaran atau jalinan hubungan dengan Tuhan dapat
dimonopoli oleh agama atau organisasi tententu. Para Vaisnava
mengakui bahwa Krsna, Tuhan, bebas menjalin hubungan cinta
kasih dengan siapa pun yang Dia inginkan, tanpa
mempertimbangkan warna kulit, golongan atau keyakinan.
Bagian Empat
Prinsip-Prinsip dan Petunjuk untuk Melakukan Pendekatan
dengan ParaPenganut Ketuhanan
Prinsip-prinsip
Prinsip-prinsip berikut akan membantu anggota ISKCON dalam
melakukan pendekatan dengan anggota komunitas keyakinan
lain. Prinsip-prinsip yang diberikan di sini adalah dalam bentuk
yang ringkas dan memerlukan pertimbangan yang lebih cermat.
(1) Rendah hati. Tradisi Gaudiya Vaisnava menegakkan bahwa ini
adalah kunci untuk membangun hubungan spiritual.
(2) Sifat Krsna yang tanpa batas. Kebenaran Mutlak itu universal.
Tidak ada individu atau organisasi yang memegang hak monopoli
atas Tuhan. Tuhan mengungkap tentang Diri-Nya, di mana pun,
kapan pun, dengan cara apa pun, dan kepada siapa pun, sesuai
kehendak-Nya sendiri.
(3) Kejujuran. Selalu bersikap jujur. Ini adalah landasan
tercapainya kepercayaan untuk terjalinnya hubungan yang
sukses.
(4) Sikap hormat. Selalu bersikap hormat, bahkan jika kita tidak
menerima penghormatan yang sama sebagai balasannya. Sri
Caitanya berkata, ‘amanina manadena’: seseorang harus selalu
siap untuk menghormati orang lain, tanpa mengharapkan
penghormatan bagi dirinya sendiri.
Tidak ada individu atau organisasi yangmemegang hak
monopoli atas Tuhan.
(5) Toleransi. Ketika kita berinteraksi dengan orang-orang yang
menunjukkan sikap tidak hormat atau tidak sensitif terhadap
tradisi dan budaya kita, itu terjadi mungkin karena mereka telah
berprasangka buruk terhadap kita, maka kita harus toleransi,
berikan penjelasan dengan sopan, dan maafkan kesalahpahaman
mereka.
(6) Pertimbangan waktu, tempat dan keadaan. Gunakan
kebijaksanaan dan akal sehat kita dalam menjalin dan
mengembangkan hubungan. Sensitiflah terhadap rekan yang kita
ajak berdialog atau terhadap pendengar kita.
(7) Saling pengertian. Siapkan diri untuk mendengarkan orang
lain, memahami bahasa penyampaian mereka, asumsi-asumi,
budaya dan nilai-nilai yang mereka pegang. Karena itu, jangan
menghakimi praktik yang dijalani orang lain dengan
membandingkannya dengan idealisme-idealisme kita.
(8) Keinsafan pribadi. Keinsafan spiritual pribadi kita sendiri
dalam kesadaran Krsna harus kita kembangkan dengan tulus jika
kita ingin menghadirkan gerakan sankirtana ini dengan efektif.10
Dalam menyampaikan sesuatu, berusaha menyampaikannya
melalui teladan dan keinsafan pribadi.
(9) Hubungan personal. Tradisi Vaisnava berlandaskan pada
jalinan hubungan personal yang tulus. Kita bisa hidup tanpa
filosofi, ritual, dan institusi, tetapi kita tidak dapat hidup tanpa
hubungan cinta dan pelayanan kita kepada Krsna dan para
penyembah Krsna.
(10) Sikap dan perilaku yang baik. Srila Prabhupada menulis,
‘Sikap-perilaku seorang penyembah mencerminkan tujuan sejati
prinsip-prinsip keagamaan. (Sri Caitanya-caritamrta, Madhya-lila,
17.195)
Petunjuk-Petunjuk
• Tujuan yang utama adalah membangun hubungan
persahabatan yang mengedepankan saling pengertian dan sikap
hormat.
• Dengarkan dan hargai penyampaian dari penganut keyakinan
lain dengan penuh sikap hormat.
• Beri kesempatan kepada penganut keyakinan lain untuk
mengungkapkan secara bebas tentang kepercayaan dan
keyakinan yang mereka pegang dengan tulus hati.
• Perkenankan penganut keyakinan lain untuk menjelaskan
tentang diri mereka dalam bahasa mereka sendiri dan dalam
budaya mereka sendiri tanpa memaksakan definisi-definisi
tertentu terhadap mereka, dengan demikian menghindari
membanding-bandingkan praktik yang mereka jalani dengan
idealisme-idealisme kita.
• Hormati pola makan, pakaian, ritual, dan etika pihak lain.
• Akui bahwa kita semua bisa jadi belum sesuai dengan standarstandar ideal tradisi kita masing-masing.
• Jangan meremehkan atau keliru menggambarkan tentang
keyakinan atau praktik keagamaan pihak lain. Jika kita ingin
mengerti tentang keyakinan mereka, maka kita dapat bertanya
dengan sopan dan rendah hati. Hormati bahwa orang lain
berkomitmen dengan keyakinan yang mereka pilih.
• Jujur dan apa adanya perihal maksud-maksud yang ingin kita
sampaikan. Ini akan diapresiasi oleh orang yang kita jumpai dan
membantu berkembangnya kepercayaan dalam jalinan hubungan
tersebut.
• Bersikap sensitif dan sopan terhadap semua orang yang kita
jumpai, bahkan jika kita tidak berkesempatan untuk berinteraksi
pada tingkat yang lebih dalam.
• Hormati hak orang lain untuk tidak setuju dan hormati
keinginan mereka jika mereka ingin untuk tidak diganggu.
• Filosofi dan nilai-nilai yang kita pegang tidak perlu
dikompromikan.
• Ketika melakukan dialog dengan penganut agama, kita tidak
perlu merasa bahwa kita harus mengubah keyakinan mereka.
• Kita akan menjumpai fundamentalis-fundamentalis dan
cendekiawan-cendekiawan ateis. Bersikaplah hormat kepada
mereka lalu tinggalkan. Dialog yang tulus perihal topik-topik
spiritual kemungkinan besar tidak mungkin dilakukan dengan
mereka.
• Jangan takut untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban
‘Saya tidak tahu’. Kejujuran lebih baik daripada spekulasi.
Perkenankan penganut keyakinan lainuntuk menjelaskan
tentang diri mereka dalam bahasa mereka sendiri dan
dalam budaya mereka sendiri.
Bagian Lima
Tanggapan
Pernyataan Dialog Antar Agama ISKCON adalah sesuatu yang
masih terus didiskusikan dan terbuka untuk menerima
tanggapan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Michael Ipgrave,
Adviser on Interfaith Relations to the Archbishops Council
(Church of England), di dalam tanggapannya, bahwa pernyataan
ini ‘memiliki potensi untuk berfungsi sebagai pedoman hidup’.
Walaupun sebagian besar tanggapan yang diterima memberikan
analisis yang positif, seringkali juga bersifat terus terang perihal
kelemahan-kelemahan pernyataan ini dan ini tentu saja
merupakan bagian dari dialog juga.
Buletin kecil ini hanya dapat memuat beberapa di antara tema
utama yang berkembang di dalam tanggapan-tanggapan
tersebut. Tanggapan-tanggapan yang selengkapnya dapat
ditemukan di www.iskcon.com/icj/ responses.htm.
Satu reaksi alamiah saat mencermati pergulatan tradisi keyakinan
lain perihal topik penting ini adalah bahwa kita akan mencermati
cara pendekatan yang dilakukan oleh keyakinan kita sendiri.
Monsignor Machado, sekretaris perwakilan Pontifical Council for
Interreligious Dialogue dan seorang cendekiawan dalam tradisi
bhakti (ISKCON termasuk di dalamnya), mendapat banyak
masukan dari dokumen-dokumen Vatikan, termasuk dokumen
Nostra Aetate. Beliau memberikan ulasan yang cermat untuk
tiap-tiap poin pernyataan, sambil pada saat yang sama
menguraikan pemahaman Gereja Katolik tentang dialog antar
agama. Di sana beliau mengingatkan pembaca bahwa, ‘dialog
dimulai, bertumbuh secara autentik dan membuahkan hasil,
walau dihadapkan pada kesulitan-kesulitan, jika ia berdiri di atas
landasan saling percaya yang kuat di antara para pihak’.
Sifat pribadi dialog antar agama mengisi sebagian besar
pernyataan aslinya dan tanggapan-tanggapan lanjutannya. Brian
Pearce, Director of the UK’s Interfaith Network, mengingatkan
kita bahwa ‘dalam dialog kita berjumpa dengan orang-orang —
dan orang-orang datang dari bagian tertentu tradisi mereka dan
mengungkapkan pengalaman pribadi mereka tentang tradisi
mereka. Kita berdialog bukan dengan konsep-konsep.’ Atau,
sebagaimana yang dikemukakan oleh John Borelli, US National
Conference of Catholic Bishops, ‘Yang berdialog bukanlah agama,
melainkan orang.’
Dalam pernyataan dialog antar agama ISKCON, telah banyak
dimuat tentang perlunya sikap menghormati. Hal ini mendapat
sejumlah tanggapan yang menarik. Gavin D’Costa, Department of
Theology at the University of Bristol (UK), menanyakan
bagaimana mungkin ISKCON menghargai komunitas dan
organisasi non-teistik yang mendorong standar-standar
kemanusiaan
dan
moralitas
sementara
Vaisnavaisme
mengajarkan bahwa ‘kesadaran Tuhan adalah prasyarat yang
benar bagi etika dan perbuatan yang benar.’ Ia mengatakan
bahwa ‘dokumen ini nampaknya menjungkirbalikkan unsur
tradisi Vaisnavaisme tersebut, dan hal ini memerlukan dasar
kebenaran yang lebih cermat lagi daripada yang telah
disediakan.’
Hans Ucko, World Council of Churches, menyoroti tentang
kekhawatiran umum bahwa dialog antar agama adalah sebuah
upaya untuk membangun sebuah ‘agama-super cinta-universal,
persaudaraan global dan kesadaran kosmis yang dirancang untuk
abad ke-21, ... serupa dengan campuran es krim dan jeli: mudah
dicerna, tetapi tanpa substansi.’ Tantangan terbesar bagi cara
pandang seperti itu adalah untuk mendefinisikan landasan
teologis bagi dialog antar agama. Landasan teologis ini
mengundang beberapa di antara tanggapan terpenting.
Michael Ipgrave menggambarkan bahwa pernyataan ini
memberikan dasar bagi “perbuatan yang benar di tengah
keortodokan, keyakinan yang benar’. Dalam tanggapannya, Felix
Machado memberikan landasan teologis Kristen untuk
melakukan dialog, sebagai perbandingan, dengan mengutip
pernyataan Paus saat ini: ‘saat kita membuka diri dalam dialog
dengan satu sama lain, kita membuka diri juga kepada Tuhan.’
Gavin D’Costa memandang landasan teologis pernyataan ini
sebagai ‘bagian terpenting yang dapat digunakan untuk menilai
keselarasan dan integritas keseluruhan dokumen’ dan ia
menggunakan sebuah pendekatan intra-sistematik untuk
menganalisis dokumen ini dengan menggunakan logika internal
yang ada di dalamnya.
Pernyataan ISKCON menyebutkan bahwa ‘tidak ada satu agama
pun yang memegang monopoli atas kebenaran’. Teolog Kristen
Protestan dari Jerman, Ulrich Dehn, meyakini bahwa ini adalah
‘sebuah pemahaman yang cocok dituliskan dalam buku harian
sejumlah umat Kristen.’ Akan tetapi, bercermin pada kejadiankejadian tidak mengenakkan yang dialaminya sebelumnya, ia
menantang ISKCON untuk menyelaraskan teori pernyataan dialog
antara agamanya tersebut dengan praktik yang nyata dijalani
ISKCON.
Gavin D’Costa menemukan bahwa pembedaan yang dilakukan
oleh para Vaisnava antara “cinta kasih yang murni kepada Tuhan
dengan apa yang umumnya dipahami sebagai agama”,
‘memungkinkan bagi terciptanya kesatuan yang fundamental
bagi orang-orang yang menganut kebaktian terhadap kepribadian
tertentu, baik mereka penganut Kristen, Yahudi, Hindu ataupun
Muslim.’
‘Saat kita membuka diri dalam dialogdengan satu sama
lain,kita membuka diri juga kepada Tuhan.’
Pendeta Anglikan dan Joint-President of the World Congress of
Faiths, Marcus Braybrooke, menaruh minat terhadap tiga
tingkatan penyembah yang diuraikan di dalam pernyataan ini: (1)
penyembah yang belum matang yang mengekspresikan
‘fanatisme dan eksklusivisme’; (2) penyembah yang telah
matang, yang ‘mengenali penyembah lain dari kualitas kehidupan
mereka’ bukannya dari afiliasi keagamaan mereka; dan (3)
penyembah yang telah maju yang memandang bahwa semua
orang adalah pelayan-pelayan Tuhan. Yang menarik adalah, ia
memberi catatan bahwa ‘walaupun sejumlah pemimpin besar
keagamaan mengakui tentang tingkatan maju (tingkatan yang
ketiga) ini, agama-agama — dan sesungguhnya banyak organisasi
dialog antar agama — berjalan pada tingkatan kedua.’ Ia
menambahkan: ‘Kebanyakan dari kita memerlukan komunitas
keyakinan tempat kita menerima dukungan dan tempat kita
memberi kontribusi. Namun kita perlu diusik juga oleh para
penyembah yang telah maju itu yang mengingatkan kepada kita
bahwa Tuhan bebas untuk menjalin hubungan cinta kasih dengan
siapa pun sesuai kehendak-Nya.’
Satu poin yang potensial menjadi sorotan dalam dialog antar
agama adalah wacana tentang konversi. Terkait hal ini, Rabbi
Jacqueline Tabick menyebutkan bahwa ‘aktivitas perkumpulan
Hare Krishna pada masa-masa awal telah menimbulkan
kecurigaan yang cukup besar dalam komunitas Yahudi.’ Ia
menambahkan ‘Dialog yang sesungguhnya hanya dapat
berlangsung di antara mereka yang tidak memiliki agenda untuk
melakukan konversi, dan di antara mereka yang telah merasa
aman dengan keyakinan mereka sendiri.’
“Tuhan bebas untuk menjalin hubungan cinta kasih
dengan siapa punsesuai kehendak-Nya”
Alan Unterman, dari sudut pandang seorang Yahudi ortodok,
mengemukakan tantangan yang tegas kepada ISKCON terkait hal
ini. Ia menguraikan tentang adanya kontradiksi di dalam
pernyataan dialog antar agama ISKCON yakni antara ‘serangkaian
pernyataan yang mengisyaratkan tentang pandangan negatif
terhadap aktivitas misionaris, dengan Tujuh Tujuan ISKCON. Ia
meyakini bahwa Tujuh Tujuan ISKCON ini ‘menjadikan misi dan
konversi sebagai sebuah aspek utama dari cara pandang ISKCON.’
Secara singkat, ia menemukan bahwa ‘dokumen ISKCON tersebut
dapat dianggap mengekspresikan sebuah kedudukan yang tipikal
sektarian.’
Telah disebutkan di atas bahwa pernyataan dialog antar agama
ISKCON ini bukanlah kata akhir dalam proses dialog; Cracknell
mengingatkan kita, setelah memetakan historis upaya ISKCON
dalam dialog antar agama, bahwa ini juga bukanlah pernyataan
pertama ISKCON, dan ia menemukan bahwa petunjuk-petunjuk
di dalam pernyataan ini ‘mencerminkan upaya tulus dan penuh
semangat ISKCON dalam lapangan ini’. Ia menelaah cakupan yang
mungkin dijangkau bagi dialog antara Vaishnava dengan Kristen,
baik pada level teologis maupun berdasarkan pengalaman
pribadi yang mendalam. ‘Mungkinkah,’ ia bertanya, ‘bahwa rekan
terbaik kita dalam dialog Kristen-Hindu adalah mereka yang
berasal dari tradisi-tradisi bhakti? Tidak dapatkah kami, dari
sudut pandang Kristen kami, menganggap bahwa adalah
merupakan sebuah takdir di mana Srila Prabhupada telah dengan
begitu briliannya mengajarkan kepada orang-orang Barat? Tidak
dapatkah kita mengatakan bahwa, melalui ajaran tokoh ini,
Tuhan telah membangkitkan sebuah generasi baru penafsirpenafsir jalan pengabdian suci bhakti? Bahkan, mungkinkah ini
akan menjadi titik balik dalam sejarah panjang percaturan
hubungan Kristen-Hindu?’
Lampiran
Tujuan ISKCON
1)Secara sistematis menyebarluaskan pengetahuan spiritual
kepada masyarakat luas dan mendidik semua orangdalam suatu
cara kehidupan spiritualdalam upaya memperbaiki
ketidakseimbangan nilai- nilai kehidupan dan mencapai
persatuan yangsejati dan perdamaian didunia.
2)Memperkenalkan suatu kesadaran Krishna(Tuhan), seperti
diungkapkan dalam Pustaka Suci Veda,Bhagavad-gita dan
Srimad-Bhagavatam.
3)Membawa anggota lebih dekat satu sama laindan lebih dekat
kepada Krishna, Entitas Tertinggi, mengembangkan pengertian di
antara anggota dan masyarakat dalam arti luas,bahwa tiap-tiap
jiwa (roh) merupakan bagian dari bagian kualitas Tuhan Yang
Maha Esa (Krishna).
4)Mengajarkan dan mendorong gerakan sankirtana,
mengucapkan nama suci Tuhan secara beramai- ramai,seperti
diungkapkan dalam ajaran Tuhan SriCaitanya Mahaprabhu.
5)Membangun untuk para anggota dan masyarakat luas suatu
tempat suci kegiatan rohani yangdipersembahkan kepada
Personalitas Tuhan SriKrishna.
6)Membawa para anggota lebih dekat satu sama laindemi
mengajarkan pola hidup yanglebih sederhana dan alami.
7)Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut,maka dilakukan
kegiatan:memublikasikan dan menyebarkan majalah,buku-buku,
dan tulisan-tulisan lain.
Catatan
Sejak diterbitkannya “ISKCON dalam Hubungan dengan Para
Penganut Ketuhanan”, Perkumpulan telah menjadikan dialog antar
agama, dalam prinsip maupun praktik, sebagai bagian penting di
kampus teologi ISKCON di Radhadesh, Belgia.
1. Tujuh tujuan ISKCON, sebagaimana yang dituliskan oleh Srila
Prabhupada, disajikan secara lengkap di dalam Lampiran.
2. Sebuah pranama-mantra adalah mantra (atau doa) penghormatan
dan pemujian. Telah menjadi tradisi bagi murid-murid dari seorang
guru spiritual atau orang suci untuk mengucapkan sebuah pranamamantra yang khusus disusun untuk memuliakan sang guru.
3. Terkait hal ini Srila Prabhupada menulis, ‘Tidak menjadi masalah
prinsip keagamaan mana yang seseorang ikuti: satu-satunya
peringatannya adalah agar ia mengikutinya dengan taat. Baik ia orang
Hindu, Muslim atau Kristen, prinsip-prinsip keagamaannya sendiri
haruslah ia ikuti.’ Srimad-Bhagavatam 5.26.15, penjelasan.
4. Bagi para penyembah Vaishnava, cinta kepada Tuhan didefinisikan
di dalam Srimad-Bhagavatam 1.2.6: ‘Kesibukan yang tertinggi dan
kekal bagi seluruh umat manusia adalah kesibukan yang
memungkinkan dia mencapai pelayanan cinta kasih rohani kepada
Tuhan. Pelayanan suci tersebut haruslah bebas dari motif-motif dan
dilaksanakan secara berkesinambungan agar sepenuhnya
memuaskan sang diri.’ Dan Bhaktirasamrta-sindhu 1.1.11: ‘Ketika
bhakti kelas utama berkembang, seseorang haruslah bebas dari
keinginan material, pengetahuan yang diperoleh melalui filsafat
monistik, dan kegiatan berpahala. Sang penyembah harus senantiasa
melayani Krsna dengan cara yang menyenangkan hati Krsna, sesuai
dengan keinginan Krsna.’
5. Surat Srila Prabhupada kepada Rupanuga Dasa, 3 Juni 1968.
6. Untuk dapat memahami tentang perkembangan agama, baik
secara individu maupun secara kolektif, kita dapat mempelajari
filsafat Vaishnava dalam kaitan dengan paradigma karma, jñana dan
bhakti. Dasar-dasar cara pandang tersebut disajikan dengan sangat
baik oleh Ravindra Svarapa Dasa, dalam artikelnya yang berjudul
‘Agama dan Agama-Agama,’ Jurnal Komunikasi ISKCON, Vol. 1, 1993.
7. Surat Srila Prabhupada kepada Krsna Dasa, 23 Juni 1970.
8. Untuk menggambarkan poin ini, Srila Prabhupada mengamati
bahwa, ‘Tidak ada perbedaan antara seorang penganut Kristen yang
murni dengan seorang penyembah Krsna yang tulus.’ Perbincangan di
dalam ruangan, Bombay, 5 April 1977.
9. Di dalam Srimad-Bhagavatam 7.5.23–4, sembilan proses tersebut
disebutkan sebagai berikut: (1) mendengarkan dan (2) mengucapkan
nama suci, bentuk, sifat, kelengkapan dan kegiatan rohani Sri Visnu,
(3) mengingat hal-hal tersebut, (4) melayani kaki-padma Tuhan, (5)
mempersembahkan pemujaan penuh hormat kepada Tuhan dengan
enam belas jenis perlengkapan, (6) memanjatkan doa-doa kepada
Tuhan, (7) menjadi pelayan-Nya, (8) menjadikan Tuhan sebagai
kawan terbaik, dan (9) berserah segalanya kepada Tuhan (dengan
kata lain, melayani Tuhan dengan badan, pikiran dan kata-kata).
10. Srila Prabhupada menjelaskan apa yang dimaksud dengan
keinsafan. ‘Keinsafan pribadi bukan berarti bahwa seseorang
berusaha memamerkan pengetahuannya dengan dilatari oleh sikap
menyombongkan diri, berusaha melampaui acarya terdahulu. Ia
harus memiliki keyakinan penuh terhadap para acarya dan pada saat
yang sama ia harus menginsafi topik tersebut dengan sangat baik
sehingga dia dapat menyajikannya dengan cara yang cocok untuk
keadaan tertentu.’ Srimad-Bhagavatam 1.4.1 penjelasan.
Srila Prabhupada telah memberikan pula pengetahuan dasar yang
harus dimiliki oleh seorang pengajar dalam rangka menyampaikan
ajaran beliau. “Harus dimengerti bahwa Tuhan adalah Sang Penikmat
Tertinggi, bahwa Dia adalah pemilik segala sesuatu, dan bahwa Dia
adalah kawan terbaik setiap insan.’ Srimad-Bhagavatam 7.6.24
penjelasan.
“ISKCONdalamHubungandenganParaPenganut
Ketuhanan”disusunolehKomisiDialogAntarAgama
ISKCONdandisahkanolehKomiteEksekutifGBCISKCON.
Prosespenyusunanmeliputikonsultasimendalamdengan
banyakVaisnavaterhormat,cendekiawanterkemuka,dan
perwakilanagama.
ProsesinidiketuaiolehSaunakaRsiDasa,KetuaKomisi
DialogAntarAgamaISKCON,danbeberapayangtermasukdi
dalamnyaadalah,Prof.FrankClooney,Prof.Kenneth
Cracknell,HrdayanandaDasaGoswami,MukundaGoswami,
TamalaKrsnaGoswami,Prof.KlausKlostermaier,Dr.Julius
Lipner,Prof.JohnSaliba,Prof.LarryShinndanRavindra
SvarupaDasa.
Segalakorespondensidapatdikirimkankepada:
KomisiDialogAntarAgamaISKCON
63DivinityRdOxford
OX41LHUnitedKingdom
[email protected]
ATAU
ISKCONCommunicationsIndonesia
[email protected]
“ISKCONdalamHubungandenganParaPenganut
Ketuhanan”dipublikasikanolehdanhakciptadipegangoleh
ISKCONCommunications,2004.
Terjemahan11/2015[Anantavijayadasa]
InternationalSocietyforKrishnaConsciousness(ISKCON)
Acarya-Pendiri HisDivineGraceA.C.BhaktivedantaSwamiPrabhupada
www.iskcon.id
Dokumen ini adalah pernyataan resmi pertama yang
dikeluarkan oleh International Society for Krishna
Consciousness (ISKCON) perihal hubungan Perkumpulan
dengan para penganut Ketuhanan lainnya.
Upaya ini mewakili langkah penting dalam proses integrasi
sosial dan proses pematangan ISKCON. Seiring
bertumbuhnya ISKCON, basis keanggotaan dan
pengaruhnya meluas, sehingga tanggungjawab yang lebih
luas harus pula diemban. ISKCON adalah perkumpulan
Vaisnava global pertama, sehingga ISKCON perlu dan
bertanggungjawab untuk memberi perhatian pada
hubungan dengan komunitas keyakinan lainnya.
Pernyataan ini berfungsi sebagai sebuah deklarasi tujuan
dan landasan penting bagi hubungan ISKCON dengan
rekan-rekan dialog. Bagi anggota ISKCON, pernyataan ini
menyediakan prinsip, petunjuk dan cara pandang yang
jelas bagi hubungan dengan penganut keyakinan lain.
Download