1 PEMBERIAN PAKAN, PEMELIHARAAN DAN GAMBARAN DARAH PADA SAPI BALI (Bos sondaicus) INFERTIL Dradjat AS*, Dahlanuddin+, Ali M#, Imran+, Lestari++dan Maskur++ *Lab Reproduksi Ternak, +Lab Nutrisi & Makanan ternak, #Lab Mikrobiologi, ++Lab Pemuliaan ternak. Fakultas Peternakan Universitas Mataram. Jl. Pendidikan Mataram NTB 83125 I. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi pengaruh pemeliharaan dan kesehatan terhadap infertilitas sapi Bali. Penelitian ini dilakukan dengan pemberian skor pemeliharaan dan pemberian pakan, berikutnya dilakukan pemeriksaan gambaran hematologi sapi yang infertil dibandingkan dengan yang fertil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 103 sapi 9 ekor (8,74%) termasuk kategori infertil. Skor pemeliharaan sapi yang infertil pemeliharaanya tidak berbeda dengan sapi fertil yaitu 2,33±0,71 dan 2,55±0,51. Hasil pemeriksaan hematologi pada sapi infertil (rata-rata ± SD) kadar glukosa 31,88 ± 4,85 mg/ 100ml, total protein 8,30 ± 0,73 g/ 100 ml, albumin 3,39 ± 0,20 g/ 100 ml, urea 27,63 ± 12,07 mg/ 100ml. Jumlah sel darah putih 11,28 ± 1,52 x103/μL, jumlah sel darah merah 6,99 ± 1,11 x106/μL, kadar hemoglobin 12,95 ± 1,47 g/dL, bagian padat/ korpuskular darah (hematokrit) 37,73 ± 4,83 %. Dari hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan bahwa nilai hematologi sapi infertil termasuk dalam kisaran data hematologi sapi fertil. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa pola pemeliharaan dan lingkungan pada kelompok sapi yang diteliti tidak berbeda pada sapi fertil dan infertil. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa infertilitas pada sapi Bali dalam penelitian ini tidak disebabkan oleh makanan, pemeliharaan dan kesehatan. Kata kunci: Pakan, Gambaran darah, Sapi Bali, Infertil II. PENDAHULUAN Infertilitas adalah sifat reproduksi sapi yang tidak mau kawin, atau yang mau kawin tetapi tidak bunting yang akhirnya tidak beranak. Sapi yang tidak dapat menghasilkan anak sangat membuat peternak sapi potong frustasi, memelihara sapi betina dewasa tanpa menghasilkan anak yang berarti bekerja tanpa mendapat imbalan. Masalah ini tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju (Lamb et al., 2008). Perkiraan sementara bahwa infertilitas pada sapi Bali disebabkan karena proses inbreeding namun belum ada data pendukung, namun hasil penelitian Krehbiel et al., (1969), menunjukkan bahwa tidak ada indikasi hubungan inbreeding dengan infertilitas pada sapi potong, mungkin ini juga terjadi pada sapi Bali. Penyebab infertilitas pada sapi potong terbagi menjadi 3 komponen utama dan masing masing komponen terdiri dari berbagai faktor (Mossman, 1984) yaitu 1. Komponen pejantan yaitu libido yang terdiri dari faktor a. genetik, b. makanan dan c. penyakit. 2. Komponen perkawinan induk yang terdiri dari beberapa faktor yaitu a. nutrisi, b. management, c. penyakit, 3. Komponen betina pada saat melahirkan yang terdiri dari beberapa faktor yaitu a. makanan, b. genetic, c. topografi, d. management, e. tingkah laku, f. penyakit. Para ahli perkembangbiakan ternak belakangan (Weigel, 2008) menyatakan bahwa infertilitas disebabkan oleh 3 faktor utama yaitu 87,5% disebabkan oleh management dan lingkungan, 10% disebabkan oleh faktor sapi betina dan dari 2,5% penyebanya adalah sapi jantan. Dari informasi tersebut ternyata gabungan faktor menejemen 87,5% dan faktor betina 10%. menjadi 97,5%, inilah penyebab utama infertilitas bila menggunakan pejantan yang baik dengan metode kawin alam. Peneliti lain Hartwig (2000) menyatakan bahwa faktor penyebab kegagalan kebuntingan disebabkan adalah nutrisi, yaitu kekurangan energi sebelum dan sesudah melahirkan, yang berdampak pada kesuburan setelah melahirkan, dapat menyebabkan infertilitas. 2 Selanjutnya Lamb et al., 2008 menyatakan bahwa penyebab infertilitas adalah penyakit dan managemen yang tidak baik. Apabila jumlah betina produktif di NTB sepertiga dari populasi sapi Bali yang ada, maka jumlah betina produktif adalah sebesar 160 458 ekor. Sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa infertiliti pada sapi yang dikelola dengan menejemen yang baik infertility mencapai 15% hingga 30% (Entwistle 1984). Bila infertility di NTB juga sebesar 20% maka infertilitas tersebut akan diderita oleh 32091 ekor sapi, sehingga sapi sapi tersebut tidak menghasilkan pedet maka pada akhir tahun produksi, pedet tersebut sudah bernilai lebih dari 1 juta rupiah, maka NTB akan rugi sebesar 32 milyard rupiah setiap tahun. Masalah infertilitas inilah yang perlu ditanggulangi untuk meningkatkan reproduktifitas yaitu: sapi tidak menunjukkan tingkah laku birahi sama sekali dan sapi yang birahi dan dikawini oleh sapi jantan tetapi tidak bunting. Dari uraian tersebut penelitian ini dilakukan untuk melakukan evaluasi faktor menejemen dan faktor kesehatan sapi betina terhadap infertilitas. Faktor menegement dilakukan dengan melakukan evaluasi pemeliharaan dan pemberian pakan, sedangkan faktor kesehatan dengan pemeriksaan hematologi. III. MATERI DAN METODA Sapi yang dievaluasi berjumlah 103 ekor, merupakan sapi Bali betina dewasa milik masyarakat di Lombok Tengah, NTB. Sapi-sapi tersebut berasal dari 3 kelompok peternak yaitu Sumber Rejeki, Jaya Gembala dan Rejeki Nomplok, masing masing kelompok memelihara sebanyak 37, 47 dan 19 ekor induk. Pemeliharaan oleh petani dilakukan dengan tatalaksana sesuai dengan kondisi setempat. Data dan informasi tentang kebuntingan dari sapi sapi tersebut dapat dilakukan dengan wawancara dengan pemilik sapi. Wawancara dengan pemilik sapi tersebut fokus pada aspek kesuburan, berikutnya dikonfirmasikan dengan catatan petugas lapangan ACIAR SMAR/2006/096 selama 3 tahun terakhir. Pola perkawiman sapi tersebut dengan tatalaksana kawin alam yang telah diterapkan dalam kegiatan ACIAR, yaitu sapi betina pada saat menunjukkan tingkah laku birahi di campur dengan sapi jantan, bila kembali birahi diulang hingga bunting, pola perkawinan tersebut telah berlangsung selama 3 tahun. Pengamatan pakan dan pemeliharaan dilakukan dengan pengamatan pemeliharaan, perkandangan dan pemberian pakan menggunakan skor sebagai berikut. Skor 1. Pemeliharaan kurang baik, kandang kotor, pemberian pakan (± 20 kg)/ hari, Skor 2. Pemeliharaan cukup baik, kandang relatif bersih, pemberian pakan (± 20-30 kg)/ hari, Skor 3. Pemeliharaan baik, kandang bersih, pemberian pakan (> 30 kg)/ hari. Skor pemeliharaan sapi yang mandul dibandingkan dengan sapi yang subur. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara sapi dimasukkan ke kandang jepit dan dipegang oleh pemilik, vena jugularis ditekan dengan tangan kiri, tangan kanan memasukkan jarum venoject ke vena jugularis, setelah jarum masuk ke vena tabung vakum di tekan, sehingga darah dapat terhisap ke dalam tabung. Sampel darah yang diambil yaitu dari sapi yang dari catatan ACIAR dan dari hasil wawancara dengan petani sudah lebih dari 1 tahun tidak beranak, tidak kawin atau kawin tetapi tidak bunting. Sebagai pembanding (kontrol) diambil darah sapi yang subur sebanyak 20 ekor, yaitu yang beranak setiap tahun selama tiga tahun terakhir. Pemeriksaan hematologi untuk evaluasi kebutuhan pakan dilakukan terhadap kadar glukosa (Metode Glucosa HK), protein (Metode Biuret), albumin (Metode Bromcresol Green), urea (Metode Berthelot). Berikutnya dilakukan pemeriksaan darah rutin yang terkait dengan infeksi dan infestasi bakteri, virus dan parasit dengan memeriksa sel darah merah (RBC), sel darah putih (WBC) dan trombosit (PLT) (Metode Cellcounter). 3 Data data lapangan yang diperoleh dianalisa secara diskriptif dan data hematologi dievaluasi dengan pembanding data hematolgi sapi yang subur (fertil) untuk evaluasi sapi yang mandul (infertil). IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Infertilitas sapi bali dalam penelitian ini mencapai 8,74% dari sapi betina pada umur produktif yang diperiksa (Tabel 1). Hasil infertilitas ini relatif kecil karena menejemen perkawinan dilakukan dengan kawin alam berulang, yaitu bila kembali birahi dikawinkan kembali dengan sapi jantan yang selalu tersedia di kandang. Angka kebuntingan dalam penelitian ini mencapai 92,6%. Angka kebuntingan ini relatif tinggi dibanding dengan kebuntingan pada sapi Bos indicus di daerah tropik di Australia yang menghasilkan kebuntingan antara 80- 85% (Entwistle 1984), atau infertilitas sebesar 15 hingga 20%. Namun demikian pada sapi potong didapatkan bahwa kematian fetus didalam perut induk berkisar 7-12%, sehingga anak sapi yang lepas sapih tinggal 70-78% (Entwistle 1984), sehingga total infertilitas meningkat dari 15% hingga 20% menjadi 22% hingga 30%. Status infertilitas dari 9 ekor sapi tersebut sangat bervariasi dari yang tidak pernah menunjukkan tanda birahi hingga yang mau kawin tetapi tidak pernah bunting (Tabel 2). Tabel.1 Infertilitas, jumlah kepemilikan dan jumlah betina sapi Bali. No Diskripsi Nilai 1 Jumlah sapi pada 3 kelompok (ekor) 192 2 Petani yang terlibat (orang) 87 3 Kepemilikan (rata2 ± SD ekor) 2,21 ± 1,11 4 Kisaran kepemilikan (ekor) 1- 5 5 Jumlah induk (ekor) 130 7 Sapi yang dievaluasi (ekor) 103 8 Sapi yang infertil (ekor) 9 9 Sapi yang infertil (%) 8,74 Tabel.2 Status infertilitas sapi hasil wawancara, catatan peternak. No Pemilik sapi Status infertilitas 1 Bagem (sapi 1) Menunjukan tanda birahi tetapi tidak mau dikawini 2 Pernah beranak, lebih dari 1 tahun yang lalu, tetapi tidak Ratmaji (sapi 1) pernah menunjukkan tanda birahi 3 Sapi sudah berumur 3 tahun tetapi tidak pernah menunjukkan Ratmaji (sapi 2) tanda birahi 4 Sapi sudah berumur 3 tahun tetapi tidak pernah menunjukkan Bagem (sapi 2) tanda birahi 5 Sapi sudah berumur 3 tahun tetapi tidak pernah menunjukkan Endang tanda birahi 6 Khaerudin Sudah kawin 5 kali tetapi tidak pernah bunting 7 Pernah kawin tapi tidak bunting, tidak ada tanda birahi setelah Marzuki itu 8 Romli A Tidak ada tanda tanda birahi 9 Gunawan Pernah kawin tetapi tidak bunting, tidak pernah beranak, dan tidak ada tanda birahi yang tampak. 4 Tabel 3. Skor pemeliharaan sapi Bali fertil dan infertil Fertil (n= 20) Skor Rata- rata 2,55* SD 0,51 Infertil (n= 9) 2,33* 0,71 Keterangan: Nilai pada baris yang sama dengan superskrip yang sama tidak berbeda secara signifikan (P>0.05) Hasil memberikan skor pemeliharaan dan pemberian pakan ini rata rata ± SD skor pemeliharaan sapi bali fertil dan infertil tidak berbeda yaitu skor 2,55 ± 0,51 dan 2,33 ± 0,71 (Tabel 3). Ini menunjukkan bahwa pola pemberian pakan dan pemeliharaan sapi yang fertil dan yang infertil tidak berbeda, hal ini kemungkinan disebabkan karena kelompok tersebut telah dibina selama 3 tahun oleh tim peneliti ACIAR, sehingga telah terjadi perbaikan pemberian pakan pemeliharaan dan perkawinan. Sebagai evaluasi pemeriksaan darah sapi infertil di ambil pembanding darah sapi yang subur yaitu sapi yang beranak terus setiap tahun selama tiga tahun terakhir (Tabel 4). Pada Tabel tersebut hasil pemeriksaan sapi subur dibandingkan dengan sapi Bos indicus (Anonim, 2006). Hasil penelitian darah sapi yang subur yaitu yang beranak setiap tahun dengan sampel darah sebanyak 20 ekor dengan nilai gambaran darah dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tabel tersebut ternyata gambaran darah sapi Bali normal dan subur kadar glukosa bervariasi luas, protein, albumin dan urea relatif tinggi. Untuk pemeriksaan rutin darah, kadar hemoglobin dan hematokrit relatif tinggi di banding pada Bos indicus (Anonim, 2006). Perbedaan ini adalah variasi gambaran pemeriksaan laboratorium pada sapi normal, yang dilaporkan sangat bervariasi tergantung jenis, umur dan habitat atau letak secara geografi (Blood et al, 1979). Tabel. 4 Kadar glukosa, total protein, albumin dan urea dalam darah sapi yang infertil, fertil dan pembanding. No 1 2 3 Sapi penelitian Infertil (Rata2 ± SD) Min- max Fertil (Rata2 ± SD) Min- max Bos indicus* Glukosa (mg/ 100ml) Total Protein (g/ 100 ml) Albumin (g/ 100 ml) Urea (mg/ 100 ml) 31,88 ± 4,85a 26,0 – 37,0 38,5 ± 20,4a 22 - 97 35,0-55,0 8,30 ± 0,73 a 7,20 - 9,20 8,17 ± 0,59 a 7,0 - 9,1 6.0-8,5 3,39 ± 0,20 a 3,10 - 3,60 3,64 ± 0,26 a 3,2 - 4,2 2,1-3,2 27,63 ± 12,07 a 15,0 - 45,0 30,25 ± 10,15 a 14,0 – 53,0 6.0-27,0 Keterangan: *Anonim, 2006. Nilai pada kolom yang sama dengan superskrip yang berbeda, berbeda secara signifikan (P>0,05) Kadar glukosa, total protein, albumin, urea darah sapi mencerminkan pemberian pakan pada sapi yang dicerna oleh saluran pencernaan hingga terabsorbsi dan masuk dalam darah yang beredar keseluruh tubuh. Kadar glukosa, total protein, albumin, urea darah sapi infertil pada Tabel 5, bila dibandingkan dengan Tabel 4, hanya kadar total protein sapi milik Marzuki 9,2 g/ 100 ml lebih tinggi dari kadar protein sapi Bos taurus normal (Blood et al, 1979). Tenak yang lain tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari kadar glukosa, total protein, albumin, urea darah sapi fertil (subur). Dengan demikian artinya gambaran kadar glukosa, total protein, albumin, urea darah sapi yang infertil tidak berbeda dengan kadarnya pada sapi yang fertil dan tidak berbeda jauh dibanding laporan pada sapi Bos taurus (Blood et al, 1979). Kadar glukosa dalam darah merefleksikan sumber energi dalam tubuh (Anonim 2005; Bloomfield et al., 2006). Sapi akan menjadi lemah bila energi tidak mencukupi dalam darah atau hipoglikemia yang dapat terjadi pada sapi yang kurang pakan. Kadar glukosa dalam darah adalah 5 yang merefleksikan sumber energi dalam tubuh. Sapi akan menjadi lemah bila energi tidak mencukupi dalam darah. Pada sapi yang diberi makanan yang tidak mencukupi, dapat menyebabkan kadar protein darah rendah. Protein darah terdiri dari tiga penyusun utama yaitu albumin (60%), fibrinogen 4% dan globulin (36%), globulin terdiri dari tiga imunoglabulin yaitu IgA, IgB, & IgG (Anonim 2005). Kadar protein darah rendah juga dapat terjadi apabila terjadi penyakit kelainan hipoproteinemia, yaitu perdarahan, gangguan ginjal, gangguan retensi garam pada ginjal dan defisiensi protein akut. Total protein dalam darah pada penelitian ini berada didalam batas laporan pada sapi Bos taurus (Blood et al, 1979). Fungsi protein yang lain adalah melindungi tubuh dari mikroba dengan perlindungan antibody melalui gamma globulins (Anonim 2005). Pemeriksaan kadar albumin dalam darah dapat digunakan untuk mendiagnosa kecukupan pemberian makanan dan melakukan evaluasi fungsi hati. Albumin adalah protein yang bebas dari karbohidrat, yang menyusun 55-65% protein darah. Hiper albuminemia jarang terjadi kecuali pada hewan yang dehidrasi. Kadar Albumin pada penelitian ini (Tabel 5), masih berada didalam batas hasil penelitian pada sapi Bos taurus (Blood et al, 1979). Kadar albumin darah turun pada penderita penyakit ginjal, karena albumin adalah protein yang terkecil dalam darah, sehingga mudah masuk dinding kapiler pembuluh darah. Pada sapi yang menderita penyakit ginjal, sejumlah besar albumin dapat dieksresikan melalui tubulus ginjal (Anonim 2005) Urea dalam darah meningkat dapat disebabkan oleh makanan yang baik, protein katabolisme meningkat, dehidrasi, gangguan jantung dan prerenal uremia. Urea dihasilkan oleh hati sebagai sisa deaminasi asam amino, bila kadar tinggi dalam darah maka akan dibuang melalui ginjal. Kadar Urea dalam darah sapi pada penelitian ini (Tabel 5) sebesar 34,0 ± 3,4 mg/ 100 ml dengan kisaran (32,0 - 39,0) lebih tinggi dibanding dengan laporan pada sapi Bos taurus (Blood et al, 1979). Urea dalam darah meningkat dapat disebabkan oleh makanan yang baik. Urea dihasilkan oleh hati sebagai sisa deaminasi asam amino, bila kadar tinggi dalam darah maka akan dibuang melalui ginjal (Blood et al, 1979). Tabel. 5 Kadar sel darah putih (WBC), sel darah merah (RBC), (HCT) darah sapi yang infertil, fertil dan pembanding. No Sapi penelitian WBC (x103/μL) RBC (x106/μL) 1 Infertil (Rata2 ± SD) 11,28 ± 1,52 a 6,99 ± 1,11 a Min- max 8,60 - 13,20 5,29 - 8,44 2 Fertil (Rata2 ± SD) 9,25 ± 2,41 a 5,74 ± 0,65 a Min- max 4,9 - 14,90 4,53 - 6,86 3 Bos indicus* 5,9-14,0 5,0-7,2 hemoglobin (HGB) dan hematokrit HGB(g/dL) HCT(%) 12,95 ± 1,47 a 11,00 - 15,20 12,28 ± 1,21 a 10,5 - 14,70 8,7-12,4 37,73 ± 4,83 a 31,60 - 44,30 34,76 ± 3,54 a 29,9 - 41,10 25-33 Keterangan: *Anonim, 2006. Nilai pada kolom yang sama dengan superskrip yang berbeda, berbeda secara signifikan (P>0,05) Dari hasil pemeriksaan sel darah putih dan sel darah merah sapi infertil yang dibandingkan dengan hasil dengan sapi yang fertil, ternyata sel darah putih dan sel darah merah sapi infertil masih dalam batas sapi fertil. Dengan kata lain sel darah putih atau WBC (x103/μL), dalam darah sapi yang infertil pada Tabel 5 bila dibandingkan dengan Tabel 4, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dari jumlah WBC sapi subur. Sehingga disimpulkan bahwa sel darah putih sapi infertil tidak berbeda dengan sel darah putih sapi fertil. Bila sel darah putih meningkat dapat dijadikan tanda bahwa bahwa sapi tersebut terinfeksi virus, bakteri atau parasit. Pada penelitian ini tidak dilakukan penelusuran penyakit, namun hanya membandingkan sel darah puting sapi yang tidak subur dan sapi yang subur. Jumlah sel darah merah atau RBC (x106/μL) dalam darah sapi yang infertil pada Tabel 6 bila dibandingkan dengan sapi fertil pada Tabel 4,sampel kode I, II,III, IV lebih tinggi dari jumlah RBC sapi subur. Kadar sel darah merah yang tinggi bahkan lebih baik dan tidak mempunyai pengaruh 6 negatif, yang artinya dengan RBC lebing tinggi sapi lebih sehat. Hasil penelitian ini sapi yang tergolong tidak subur mempunyai kadar sel darah merah lebih tinggi dari sapi yang subur. Demikian juga dengan kadar hemoglobin atau HGB (g/dL) dalam darah sapi yang infertil pada Tabel 6 bila dibandingkan dengan sapi fertil pada Tabel 4, sampel kode III lebih tinggi dari jumlah HGB sapi subur. Sapi tersebut bahkan lebih sehat bila mempunyai kadar HGB yang lebih tinggi. Pemeriksaan hematokrit atau HCT (%) dalam darah sapi yang infertil pada Tabel 6 bila dibandingkan dengan sapi fertil pada Tabel 4,sampel kode II, III lebih tinggi dari jumlah HCT sapi subur. Hematokrit adalah persentase bagian korpuskular atau butir-butir darah dalam darah secara keseluruhan, yang juga menunjukkan persentase plasma darah dalam keseluruhan di dalam darah. Dari hasil diatas ke dua sapi infertil tersebut persentase butir butir darah lebih tinggi dari sapi yang subur. Hasil penelitian ini, ternyata sapi infertil tidak disebabkan pemeliharaan, makanan atau kesehatan yang dievaluasi dari pemeriksaan darah. Kemungkinan yang lain adalah evaluasi pemeliharaan dan pemeriksaan darah sewaktu tidak dapat mengindikasikan infertilitas. Kemungkinan lain bahwa infertilitas disebabkan oleh genetik (Hansen, 2008; Gomez-Raya et al., 2008), manajemen dan kelainan reproduksi seperti pemberian pakan sebelum melahirkan, involusi uterus, anestrus (Short et al., 1990). Untuk menanggulangi masalah infertilitas menurut Short et al., (1990) adalah perbaikan menejeman perkawinan, pemberian pakan sebelum melahirkan dan penyapihan pedet. V. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa infertilitas sapi bali mencapai 8,74%, yang bervariasi dari yang tidak pernah birahi hingga yang kawin tetapi tidak pernah bunting. Pola pemeliharaan dan pemberian pakan sapi yang fertil dan yang infertil juga tidak berbeda. Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa, total protein, albumin, urea darah sapi infertil tidak berbeda dengan sapi fertil. Pemeriksaan sel darah putih, sel darah merah, kadar hemoglobin dan hematokrit ternyata sapi infertil tidak lebih rendah dibanding dengan sapi fertil. Dari data infertilitas dan evaluasi pemeliharaan, pemberian pakan yang berlangsung lama dan hematologi yang dilakukan dalam waktu yang relatif pendek kemungkinan tidak menunjukkan perbedaan antara sapi yang fertil dan yang infertil. Kemungkinan lain adalah bahwa infertilitas sapi tersebut tidak disebabkan oleh pemeliharaan, pakan atau akibat yang terkait kesehatan dan penyakit, tetapi memungkinan disebabkan karena faktor genetik, oleh karena itu disarankan penelitian lebih lanjut untuk meneliti infertilitas sapi Bali secara genetik. VI. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada tenaga lapangan ACIAR SMAR/2006/096 atas bantuanya untuk identifikasi sapi infertil. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada Lembaga Penelitian Unran dan fihak terkait dengan Hibah Penelitian Strategis Nasional, Th 2009 DIPA UNRAM No. 0234.0/023-04.2/XXI/2009, atas dukungan pembiayaan penelitian ini. 7 VII. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2005. Veterinary Hematology 101; 2005 Abstract. http://www.science. dovada.net.au/ 13800.php Anonim, 2006. Clinical Pathology Laboratory - Reference Intervals. Hematology Reference Intervals for Advia 2120. http://www.diaglab.net.cornell. edu/clinpath/ refference/ hema.asp Blood DC, Henderson JA and Radostits OM, 1979. Veterinary Medicine. ELBS and Biallere Tindall; Fifth Edition. Entwistle, 1984. Practical considerations in beef cattle reproductive programs. Proceedings of dairy cattle production. The post graduate committee in veterinary science. No 68:311-328. Gomez-Raya L. Priest K. Rauw WM. Okomo-Adhiambo M. Thain Bruce DB. Rink A.Torell R. Grellman L Narayanan R. and Beattie CW, 2008. The value of DNA paternity identification in beef cattle: Examples from Nevada’s free-range ranche. J. Anim Sci. 2008. 86:17-24. Hansen P J.2008. Improving dairy cow fertility through genetics. http://en.ergomix.com/MA-dairy cattle/genet. Hartwig (2000) Infectious diseases that affect cattle fertility. “Beef cattle breeding management Seminar. http://www.iowabeefcenter.org/publication/B Krehbiel, EV Carter, RC. Bovard, KP. Gaines JA.and Priode BM. 1969. Effects of Inbreeding and Environment on Fertility of Beef Cattle Matings. J. Anim Sci. 29:528-533. Lamb GC, Dahlen C and Maddox M (2008) What is the Economic Impact of Infertility in Beef Cattle? http://www.thecattlesite. com/articles Mossman, 1984. Proceedings of dairy cattle production. The post graduate committee in veterinary science. No 78:223-227 Short RE., Bellows RA., Staigmiller RB., Berardinelli JG. And Custer EE, 1990. Physiological mechanisms controlling anestrus and infertility in postpartum beef cattle. J. Anim. Sci. 68:799816. Weigel K.A, 2008. Genetic improvement of male and female fertility. http://www.adsa.org/ simposia/2003.86pdf