BUKU MODUL INDUK NEUROPEDIATRI KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA (KNI) PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA (PERDOSSI) 2013 1 MODUL INDUK NEUROPEDIATRI 1. Perkembangan saraf anak normal 2. Gangguan tumbuh kembang saraf anak 3. Penyakit-penyakit saraf pada anak, diagnosis dan tatalaksana PENYUSUN Dr. Yetty Ramli, Sp.S (K) – FKUI, Jakarta Dr. Anna MG. Sinardja, SpS (K) - FK.UNUD, Denpasar Dr. Kiking Ritarwan, SpS (K) – FK USU, Medan Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS (K) – FK USU, Medan Dr. Uni Gamayani, SpS (K) – FK UNPAD, Bandung Dr. Sri Sutarni Sudarmadji – FK UGM, Yogyakarta Dr. Hj. Siti Hanafiah, Sp.S - FK- UNAND, Padang Dr. Hj. Meiti Frida, Sp.S FK-UNAND, Padang 2 1. ALOKASI WAKTU Mengembangkan Kompetensi Sesi di dalam kelas Waktu (selama 2 bulan) 15 jam (classroom session), terbagi dalam tatap muka alih pengetahuan tentang epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis banding, manajemen-preventif kuratif, rehabilitatif dan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi dari : Perkembangan anak normal : 1 x 2 jam Gangguan tumbuh kembang anak : 1 x 2 jam Gangguan neurologik lain pada anak : 1 x 1 jam Infeksi SSP pada anak : 1 x 30 menit Epilepsi anak : 1 x 2 jam Tumor anak : 1 x 30 menit Gangguan saraf tepi dan otot : 1 x 2 jam Kelainan vaskular pada anak : 1 x 2 jam Nyeri dan nyeri kepala pada anak : 1 x 2 jam Gangguan gerak pada anak : 1 x 2 jam Penurunan kesadaran pada anak : 1 x 1 jam Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 1x per minggu/ 1jam (coaching session) dalam kurun waktu 2 bulan stase di ruang rawat dan poliklinik Sesi praktik dan pencapaian kompetensi 1x per minggu / 1jam (facilitation and assessment) dalam kurun waktu 2 bulan ruang rawat dan Poliklinik 2. TUJUAN UMUM 1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat 2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah penyakit secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah dibidang neurologi terutama stroke yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kompetensi sebagai spesialis saraf 3. TUJUAN KHUSUS 1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari aspek ilmu-ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi, rehabilitasi dan kegawatan. 2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis. komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mengobati penderita sehingga menjadi lebih baik. 3 3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai ketrampilan dalam penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan. 4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu pengetahuan. 5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan ilmu kedokteran, khususnya bidang neurologi. 6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan penyelesaian dan menyusun prioritas masalah neurologi dengan cara penalaran ilmiah, melalui perencanaan, implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan kegawat daruratan neurologi khususnya stroke. 7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi melalui pendekatan Evidance Base Medicine. 8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan serta mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat mencapai tingkat akademis lebih tinggi. 9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi atau masalah yang dihadapi masyarakat. 4. STRATEGI PEMBELAJARAN Pembelajaran diselenggarakan di Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit Lahan / Jejaring Pendidikan. Pelatih memberi kuliah dengan topik yang relevan, mutakhir, dengan memperhatikan evidence-based medicine. Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan diskusi, baik antara pelatih dengan peserta didik maupun antar peserta didik. Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan simulasi pemeriksaan fisik lengkap (umum dan neurologik) sambil menulis hasil yang ditemukan dalam status pemeriksan fisik neurologik lengkap. Pembelajaran ini difasilitasi oleh seorang atau lebih pelatih yang bertanggung jawab terhadap penyelesaian modul secara lengkap, sampai dengan evaluasi pencapaian kompetensi. Pelatih menyiapkan kasus-kasus yang relevan dengan tujuan pembelajaran. Peserta didik mengerjakan pre-test, evaluasi ditengah-tengah proses pembelajaran, dan ujian akhir yang berkaitan dengan kompetensi peserta didik. RINCIAN STRATEGI PEMBELAJARAN, DENGAN MENGACU PADA TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN AGAR TERCAPAI KOMPETENSI, adalah sebagai berikut: Tujuan-1: Mengidentifikasi perkembangan anak normal dan tidak normal Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, penayangan video, referat, tugas baca Peserta didik menjelaskan manfaat pengenalan tumbuh kembang anak normal dan tumbuh kembang anak tidak normal sehubungan dengan penegakan diagnosis, rencana pemeriksaan penunjang, pemberian terapi dan prognosis. Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. 4 Tujuan-2: Menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan diagnosa etiologis penyakit saraf pada anak Peserta didik melakukan simulasi pemeriksaan fisik umum dan neurologik (mulai dari anamnesa sampai selesai semua pemeriksaan klinis) untuk kasus simulasi atau pemeriksaan fisik saat bed side teaching dengan kasus nyata. Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik. Peserta didik menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan diagnosa etiologis. Peserta didik juga menentukan diagnosa banding. Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik serta menayangkan video pemeriksaan fisik pada anak. Tujuan-3: Menerangkan proses patogenesis terjadinya gangguan / penyakit saraf pada anak Peserta didik dapat menerangkan proses patogenesis setiap gangguan / penyakit saraf pada anak. Peserta didik dapat menganalisa hubungan antara proses patogenesis tersebut dengan gejala dan tanda klinis yang didapat dari pasien. Cara belajar menggunakan metode ceramah, diskusi aktif, tugas membaca, referat. Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-4: melakukan pemeriksaan penunjang dan konsultasi ke sub bagian / bagian lain sesuai indikasi Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik sehingga peserta didik dapat menentukan pemeriksaan penunjang dan konsultasi ke departemen lainnya yang diperlukan pasien sesuai indikasinya. Peserta didik dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan hasil konsultasi. Cara belajar menggunakan kasus nyata atau kasus simulasi ( role play ). Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-5: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik Peserta didik menjelaskan gejala dan tanda klinik yang dijumpai. Peserta didik menjelaskan dan merangkum pemeriksaan yang diperlukan pasien sesuai indikasinya. Peserta didik membuat diagnosis dan diagnosis banding berdasarkan hasil pemeriksaan. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-6: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding yang dibuat berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang Peserta didik menjelaskan alasan pemberian terapi yang berkaitan dengan diagnosis. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. 5 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang Peserta didik menjelaskan alasan membuat rujukan kepada departemen lain. Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan. Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran tambahan, terapetik dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban rujukan. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang ditanggung oleh pasien Peserta didik menjelaskan alasan pemeriksaan penunjang dan rujukan. Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guidelines dan evidence-based medicine. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-9: Menganalisa prognosis quo ad vitam, ad fungsionam dan ad sanasionam Peserta didik dapat menetapkan prognosis pasien quo ad vitam, ad fungsionam dan ad sanasionam. Peserta didik dapat menjelaskan alasan pemilihan semua prognosis. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. Tujuan-10: Menunjukkan kecakapan dalam hal menjelaskan rencana rehabilitasi dan prevensi, KIE (Komuniasi, Informasi dan Edukasi) pada pasien dan keluarga Peserta didik merangkum dan menganalisi seluruh masalah sebagai dasar untuk penyusunan rencana kontrol dan lanjutan terapi medikamentosa serta neuro rehabilitasi. Peserta didik melakukan komunikasi dan memotivasi pasien dan keluarga dalam hal informasi dan edukasi tentang gangguan saraf pada anak. Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi. Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik. 5. PERSIAPAN SESI Ruang Kuliah Peralatan Audiovisual Kasus : Kasus-kasus tentang gangguan perkembangan anak, penyakit-penyakit saraf pada anak dan gangguan neurologik lain pada anak. Alat Bantu Latih : Tensimeter, stetoskop, palu refleks, senter, garpu tala, jarum, oftalmoskop, kapas, kopi, teh, larutan KJ, tepung, selimut Video tentang pemeriksaan neurologi pada anak Computer Assisted Learning Material 6 Materi presentasi termasuk VCD /DVD pemeriksaan fisik pada anak dan kasus penyakit saraf pada anak. Status pemeriksaan neurologi klinik, hasil laboratorium, gambaran pemeriksaan penunjang termasuk EEG dan lumbal pungsi. Penuntun Belajar Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Penyakit Saraf Pada Anak termasuk kelengkapan referensi. Daftar Tilik Kompetensi Penatalaksanaan Penyakit Saraf pada Anak. 6. REFERENSI Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, Kolegium Neurologi Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006 Swaiman K.F, Ashwal S, Ferriero D.M,et al. Swaiman’s Pediatric Neurology : Principles and Practice. Fifth edition. Vol I-II. Elsevier 2012. General Practice in Neurology, Menkes 7. KOMPETENSI Setelah menyelesaikan modul neuropediatri ini diharapkan para peserta didik memiliki kompetensi menyeluruh dan terpadu tentang gangguan saraf pada anak yang mencakup pengetahuan dan ketrampilan tentang epidemiologi, anatomi patofisiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan neurologi dan penunjang yang diperlukan serta manajemennya. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab II angka 1) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran yang diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, halaman 61 (2.14) tentang neuropediatri. 8. GAMBARAN UMUM Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan praktik ketrampilan dalam hal manajemen gangguan saraf pada anak secara komprehensif dengan memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning). 9.CONTOH KASUS Kasus 1 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 1 Diskusi kasus 1 Kasus 2 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 2 Diskusi Kasus 2 Kasus 3 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 3 Diskusi Kasus 3 7 Kasus 4 Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 4 Diskusi Kasus 4 10.TUJUAN PEMBELAJARAN o Mengenal perkembangan saraf normal pada anak o Mengenal gangguan perkembangan saraf pada anak o Menegakkan diagnosis klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan diagnosa etiologis o Menentukan diagnosis banding o Menganalisa dan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi, o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan EEG dan Lumbal Pungsi o Menginterpretasi dan merangkum semua hasil pemeriksaan ( kemampuan pendekatan diagnostik ) untuk membuat keputusan klinik o Memberikan terapi sesuai indikasi dan sesuai kebutuhan pasien o Merencanakan program neuro rehabilitasi o Menganalisa prognosis baik quo vitam, fungsionam dan sanasionam o Melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi ( KIE ) pada pasien dan keluarga pasien, pengasuh dalam rangka preventif, kuratif dan rehabilitatif 11. METODE PEMBELAJARAN Metode pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berbasis kasus (casebased learning), dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif, psikomotor, dan afektif dengan penekanan pada professional behavior yang ditunjukkan dengan : a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik b. Komunikator c. Kolaborator d. Manajer e. Advokasi kesehatan f. Kesarjanaan g. Profesional h. Performance 12. RANGKUMAN a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan memperhatikan dan menilai hal hal tersebut dibawah ini : Anamnesis Pemeriksaan fisik / neurologik Diagnosis kerja dan Diagnosis banding Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik) Pemeriksaan penunjang Konsultasi / Kerjasama antara departemental Manajemen Komprehensif – promotif, preventif primer / sekunder, kuratif medikamentosa / operatif termasuk neuroemergensi di UGD / ruang rawat, neurorestorasi - neurorehabilitatif Prognosis – ad vitam, ad finctionam – ad sanationam 8 Rencana pulang termasuk KIE pada keluarga dan pasien Sistem rujukan b. Penilaian kompetensi Hasil ujian tulis (nilai) – untuk kognitif Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik) Hasil penilaian peragaan ketrampilan ( dengan daftar tilik ) – psikomotor c.Instrumen pengukuran kompetensi kognitif Pre-test – MCQ sebelum sesi dimulai Mid-test – Essay ditengah stase Final test – Essay dan lisan di akhir stase d.Penilaian kinerja ketrampilan – pengukuran kompetensi psikomotor – final test Instrument pengukuran kompetensi psikomotor : penuntun kinerja dan daftar tilik 13.EVALUASI Tugas pembimbing Pembimbing memperhatikan dan mengeksplorasi prior knowledge para peserta didik tentang dasar dan teknik pemeriksaan penyakit saraf pada anak secara benar yang diperoleh ketika menjalani kepaniteraan ( ceklis daftar penilaian pembimbing untuk keaktifan anak didik ) Pembimbing mengaktifkan para peserta didik untuk mempresentasikan dan / atau memeragakan teknik pemeriksaan saraf pada anak ( diskusi dengan menggunakan ilustrasi kasus ) Pembimbing menggunakan forum umpan balik secara menyeluruh dan rangkuman tentang kompetensi. Bagi peserta didik yang diniilai belum kompeten diberi kesempatan untuk mengulang. a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara penilaian (dengan daftar tilik) saat final-test dengan kasus yang relevan / sesuai final-test, dilakukan tiap selesai stase yang waktunya telah ditetapkan. Penilaiannya meliputi hal hal sebagai berikut : Cara Pengambilan / Kelengkapan Anamnesis Cara Melakukan, Menilai hasil dan Interpretasi Pemeriksaan fisik / neurologik Alur Fikir Pembuatan Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding Alur Fikir dalam menegakkan Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi anatomik) Alur Fikir Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium Klinik,CT Scan, MRI, dll) berdasarkan indikasi, dan apa saja hasil yang diharapkan yang akan lebih mendekatkan pada diagnosis pasti, pertimbangan biaya Konsultasi / Kerjasama antar departemental berdasarkan keterbatan kompetensi dan indikasi kuat untuk kerjasama dengan ahli lain atas dasar kepentingan pasien Menilai kemampuan dalam merencanakan, melakukan manajemen komprehensif baik preventif – primer dan sekunder, Kuratif – suportif, medikamentosa, operatif, Rehabilitatif – neurorestorasi dan neurobehavior dan Manajemen Emergensi di UGD dan Ruang Rawat Menilai alur fikir prognosis baik ad vitam, ad functionam maupun ad sanasionam Menilai cara dan rencana Komunikasi, Informasi maupun Edukasi yang akan dan 9 sudah diberikan kepada pasien maupun keluarganya serta seluruh kegiatan setelah pasien pulang kerumah Menilai kemampuan dalam melaksanakan sistem rujukan b. Penilaian kompetensi psikomotor Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan saat stase (dengan daftar tilik yang dipergunakan saat mid-test dan final-test untuk kasus yang relevan/sesuai 14. INSTRUMEN PENILAIAN 1). Kompetensi Kognitif Waktu dan cara penilaian Pre-test dengn MCQ Mid-test dengan Essay Final test dengan Essay dan Lisan 2). Kompetensi psikomotor Waktu dan cara penilaian Pre-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan neurologi anak yang sesuai dengan kasus ( saat masuk ) Mid-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan klinik dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang (resume) berdasarkan kasus yng relevan (tengah stase) Final –test dengan daftar tilik yang sama dengan mid-test dengan kasus simulasi ataupun kasus nyata (akhir stase) 15. PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR INFORMED CHOICE (contoh) Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.: 1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan) 2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan). Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal 3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan) NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: ................................. INFORMED CHOICE 1. Sapa dengan hormat pasien anda 2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara 10 3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap 4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan penatalaksanaan untuk kelainan yang ada 5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti) 6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari operator/dokter 7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN MANAJEMEN Neuropediatri Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini: : Memuaskan: Langzkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan standar : Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau panduan standar T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________ KEGIATAN NILAI Kaji Ulang Diagnosis dan Manajemen 1. Nilai kelengkapan pengambilan anamnesis 2. Nilai cara melakukan pemeriksaan klinis umum dan klinis neurologis 3. Nilai alur fikir penegakkan diagnosis kerja 4. Nilai indikasi yang tepat untuk pengiriman pemeriksaan penunjang 11 KEGIATAN NILAI 5. Nilai kemampuan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang 6. Nilai rangkuman kasus (anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang dan hasil konsultasi) 7. Nilai penegakkan Diagnosis dan Differensial Diagnosis 8. Nilai pembuatan daftar masalah dan rencana manajemen 9. Nilai cara prognosis – ad vitam, ad fungsionam, ad sanasionam 10. Nilai cara pemberian KIE pada pasien dan keluarga PROSEDUR PEMERIKSAAN NEURO PADA ANAK Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini: : Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan standar : Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau panduan standar T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta selama proses evaluasi oleh pelatih PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________ KEGIATAN NILAI Kaji Ulang Diagnosis dan Prosedur Pemeriksaan EEG 1. Nilai kesesuaian diagnosis dan rencana pemeriksaan yang dituliskan di status pasien 2. Kaji kelengkapan prosedur administratif untuk tindakan pemeriksaan EEG dan persiapan alat yang diperlukan serta persiapan pasien 3. Nilai cara melakukan pemeriksaan EEG 4. Nilai kemampuan interpretasi hasil 5. Nilai kemampuan menjawab konsultasi dalam hal pemberian saran pemeriksaan lanjutan, terapi serta hal lainnya sesuai dengan kebutuhan pasien 12 17. MATERI BAKU - PERKEMBANGAN SARAF ANAK NORMAL - PEMERIKSAAN NEUROLOGI ANAK -ANAMNESIS -PEMERIKSAAN FISIK - GANGGUAN MOTORIK ANAK (CEREBRAL PALSY) - GANGGUAN KOGNISI (RETARDASI MENTAL) - GANGGUAN BELAJAR SPESIFIK - GANGGUAN PERKEMBANGAN BAHASA - ADHD - AUTISME - GANGGUAN NEUROLOGIK LAIN PADA ANAK -METABOLIK -EPILEPSI -MIGREN -DISTROFI MUSKULAR -KOMPLIKASI INTRA-UTERIN -GENETIK -DEGENERATIF -TATALAKSANA EPILEPSI ANAK BERDASARKAN JENIS BANGKITAN (ILAE 1981) - TATALAKSANA INFEKSI SSP PADA ANAK -MENINGITIS -ENSEFALITIS -SPONDILITIS -ABSES OTAK -INFEKSI KONGENITAL -INFEKSI HIV -SSPE (MORBILI, VARICELLA) - TUMOR ANAK -TUMOR SUPRATENTORIAL -TUMOR INFRATENTORIAL - GANGGUAN SARAF TEPI DAN OTOT -SMA (SPINAL MUSCULAR ATROPHY) -GBS (GUILLAN-BARRE SYNDROME) -CIDP (CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING POLYNEUROPATHY) -POLINEUROPATI AKUT -POLIO -DMP (DYSTROPHIA MUSCULORUM PROGRESSIVA) -MIASTENIA GRAVIS - NEUROVASKULAR PADA ANAK -STROKE -TROMBOSIS SINUS -HEMIPLEGIC INFANTILE ENCEPHALOPATHY 13 - TATALAKSANA NYERI PADA ANAK - NYERI KEPALA PADA ANAK - GANGGUAN GERAK -TIC ( TOURETTE SYNDROME) -DISTONIA -KHOREA - PENURUNAN KESADARAN -ETIOLOGI INTRAKRANIAL -ETIOLOGI EKSTRAKRANIAL I. PERKEMBANGAN SARAF ANAK NORMAL ( Catatan : Belum ada materi ) II.PEMERIKSAAN NEUROLOGI ANAK Pemeriksaan neurologi bayi dan anak lebih sulit dibanding dewasa. Oleh karena selalu mengalami pertumbuhan yang cepat, misalnya maturasi dari mielin. Ukuran kepala merupakan refleksi dari perkembangan otak. Maturasi dari otak selama 2 tahun pertama bertambah + 12 cm dan + 5 cm sampai usia 16 tahun. Mielin mulai terbentuk pada trimester ke dua kehamilan sampai dengan masa kanak-kanak. Pada tahun pertama di traktus kortikospinalis dimana diperlukan untuk mempertahankan sikap duduk, berjalan tanpa bantuan. Pemeriksan neurologi pada anak berbeda-beda tergantung pada saat pemeriksan. Pemeriksaan terutama pada motorik kasar, motorik halus serta interaksi sosial. Pada pemeriksaan anak diperlukan kerjasama, kejujuran orang tua, interaksi dengan anak, serta pengetahuan dokter dalam patofisiologi penyakit. Anamnesis merupakan hal yang sangat penting, dapat diperoleh dari orang tua dan anak. Riwayat Penyakit Keluhan utama : suatu tanda atau gejala mengapa orang tua datang membawa anak berobat. Dari keluhan utama sudah dipikirkan diagnosis banding dari perjalanan penyakit. Secara kronologis di tanyakan antara lain : - Kapan keluhan dirasakan saat pertama kali, umur berapa ? Berapa lama ? - Apakah terjadi mendadak / pelan-pelan, hilang timbul, apa ada hubungan dengan waktu, aktifitas ? - Apakah terlokalisir, menjalar, periodik ? - Semakin lama apakah semakin berat, berkurang atau menetap ? - Apakah sudah mendapat pengobatan ? Dengan obat tersebut penyakit berkurang / bertambah ? - Apakah ada faktor pencetus yang memicu timbulnya penyakit tersebut ? - Apakah dalam keluarga ada yang menderita sakit yang serupa ? Riwayat Kehamilan - Usia berapa saat ibu melahirkan pasien ? - Penyakit apa yang pernah diderita ibu saat hamil, apakah ada infeksi saluran kemih, hipertensi, DM , penyakit jantung, kejang-kejang, dsb ? - Apakah selama hamil antenatal care teratur oleh bidan atau dokter ? 14 - Apakah pernah terkena infeksi TORCHS ( Toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, herpes simpleks, HIV, sifilis ) - Obat-obat, jamu apa saja yang dimakan selama masa kehamilan ? - Apakah kehamilan itu diharapkan atau tidak ? - Kebiasaan merokok, alkohol atau narkoba ? Riwayat Kelahiran - Bagaimana cara persalinan, normal, vakum, forcep atau sectio, dengan siapa pertolongan tersebut ? Menangis, biru, apgar score berapa, apakah ada trauma persalinan, hipoksia ? - Apakah ada penyulit pada persalinan, malformasi ? - Gemelli atau tunggal ? - Ukuran berat badan, panjang badan, lingkar kepala ? BBLR, BBLSR ? - Apakah sianosis, kejang, kuning, anemia ? Riwayat Penyakit Dahulu dan Imunsasi - Apakah pernah dirawat sebelumnya ? - Penyakit apa yang pernah diderita sebelumnya, apakah ada hubungan dengan penyakit sekarang atau tidak ? - Apakah pernah mengalami operasi ? - Apakah pernah kejang-kejang atau kejang demam, asma, penyakit jantung ? - Apakah minum obat sampai sekarang, apa obatnya ? - Apakah imunisasi lengkap atau tidak, dengan siapa dan dimana ? Riwayat Penyakit Keluarga - Apakah ada anggota keluarga dengan penyakit kelumpuhan, kejang-kejang, cacat bawaan, tuli / gangguan pendengaran, buta, gangguan perkembangan dan pertumbuhan, gangguan belajar, migren, epilepsi, Tourette’s syndrome ? - Apakah ada anggota keluarga dengan penyakit hipertensi, asma, kelainan jantung? - Apakah ada yang mengalami penyakit serupa dengan penderita ? Riwayat Perkembangan dan Pendidikan - Kapan anak dapat melihat / kontak, tersenyum, tertawa, mulai menyusun katakata, kalimat atau bicara dengan lancar. - Umur berapa anak pandai tengkurap, merangkak, berdiri, merambat dan berjalan sendiri, menaiki tangga dapat diperiksa dengan Denver develompental screening test, Bibbet test. - Apakah anak mengalami kemunduran bicara / berjalan, apakah anak dapat mendengar. - Jika anak sudah sekolah, bagaimana prestasi belajar, naik kelas atau tidak, bagaimana sosialisasi dengan teman apakah sering mengganggu atau diam saja. Pemeriksaan Fisik Inspeksi Saat penderita masuk sudah dapat menilai kondisi penderita, bersamaan waktu anamnesis dapat memperhatikan gerak dan aktifitas, apakah dapat berjalan, koordinasi yang baik. Perhatikan komunikasi, suara apakah disartria, disfonia atau gangguan artikulasi. Apakah ada gerakan abnormal, tic, tremor, chorea, atetoid kelemahan, dan gait yang abnormal akan jelas ketika anak berjalan dan bermain. Pemeriksaan Status Generalis 15 - Kepala : lingkaran kepala, sutura menutup / tidak, bentuk kepala, makrosefali, mikrosefali, ubun-ubun menonjol atau tidak. - Muka : bentuk dan penampilan : down syndrome hypotiroid, kelainan metabolik ( fenilketonuria). Ada stigmata atau tidak, misalnya hemangioma pada wajah (Storage Weber syndrome). - Telinga : Bentuk dan posisi telinga lebih rendah, lubang telinga dan fungsi pendengaran. - Mata : Ptosis, endoftalmos, exoftalmos, sklera, konjungtiva, pupil, iris, jarak kedua mata. - Hidung dan mulut : Labio / genato / palatoskisis. - Leher : Bentuk, benjolan, Turner syndrome. - Dada : Jantung, paru-paru ada kelainan atau tidak. - Abdomen : ada kelainan atau tidak. - Genitalia eksterna : ada kelainan atau tidak. - Tulang belakang : kifosis, lordosis yang berlebihan, gibbus. - Anggota gerak atas dan bawah, kelainan jari-jari, telapak kaki equinovarus / valgus. Status Neurologis Pemeriksaan neurologis anak lebih sulit dibanding dewasa, memerlukan kesabaran oleh karena anak belum kooperatif, pemeriksa harus ikut bermain untuk menaruh anak. Pemeriksaan harus berdasarkan tujuan adanya kelainan neurologis, menentukan lokasi, penanganan yang tepat sekaligus evaluasi dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh karena sistem neurologis pada bayi, organ yang masih berkembang maka evaluasinya dapat berubah sesuai dengan usia. Pemeriksaan Kepala - Makrosefalus : Ukuran kepala lebih besar, tanda-tanda kenaikan tekanan intra kranial, ubun-ubun membenjol, sutura melebar atau ada vena-vena kepala. - Mikrosefalus atau kraniosinostosis penutupan sutura begitu cepat misalnya akibat infeksi toksoplasmosis kongenital, rubella dan citomegalovirus. - Pembesaran fossa posterior, oksiput menonjol kemungkinan syndroma Dandy walker. - Pembesaran biparietal, kemungkinan hematom subdural. - Pada perkusi timbul nyeri mungkin osteomielitis lokal atau abses otak. - Mengukur lingkaran kepala secara serial dapat sebagai parameter hidrocefalus. Saraf Cranialis Pemeriksaan saraf otak pada anak sudah dapat dilakukan dinilai mulai anamnesa dan anak sambil bermain tidak harus berututan. N I (Olfaktorius) Sulit diperiksa pada bayi dan anak, baru dapat dmulai jika usia anak 4-6 tahun, dengan bau-bauan yang sudah dikenal sebelumnya. Pemerikaaan N I tidak dapat dinilai jika anak keadaan pilek, hidung tersumbat, atas trauma cribrivormis. N II (Optikus) - Apabila sudah ada kontak mata sudah dapat dilakukan berarti visus normal, untuk ketajaman penglihatan diperlukan perimetri, atau pemeriksaan funduskopi hal ini dilakukan pada saat terakhir dari pemeriksaan, apabila anak sudah percaya pada dokter. 16 - Untuk pemeriksaan lapang pandang dengan mainan yang disenangi anak, mulai digerakkan dari samping kanan kiri, apabila anak melihat disuruh mengatakan ya. Umumnya anak akan berusah untuk menggapainya. - Reflek kedip, apabila secara mendadak diarahkan pada mata spontan mata akan berkedip, berarti visus baik, reflek kedip belum timbul pada umur dibawah 4 bulan. Papilla N. optikus : bentuk, warna, batas dan keadaan sekitar normal, pupil warna merah muda, bentuk oval / elips, bagian temporal lebih pucat dibanding bagian nasal, sedang batas papil temporal lebih tegas daripada batas papil nasal. Pemeriksaan yang canggih dengan VER ( Visual Evoked Response ), pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui retina, papil nervus optikus. Dengan syarat oftalmoskop yang baik, ruangan gelap dan nyaman, penderita kooperatif, pupil tidak ada gangguan. N III, IV, VI (Nn Okulomotorius, Troklearis, Abdusen) Nervi okularis ( saraf penggerak otot-otot mata ) : Perhatikan posisi mata keadaan istirahat, bentuk, ukuran pupil, pemeriksaan akomodasi dan reflek cahaya lampu senter atau digerakan pada daerah 6 ( enam ) lapangan pandang. Prinsip pemeriksaan nervi okularis : - Observasi terhadap kelopak mata - Fungsi dan reaksi pupil - Gerakan bola mata Lesi N III : Mata deviasi ke lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, midriasis pupil tidak bereaksi terhadap cahaya. Lesi N IV : Biasanya jarang, stabismus konvergen penderita tidak mampu turun tangga biasanya kepala dimiringkan. Lesi N VI : strabismus konvergen diplopia paling sering karena perjalanan nervus lebih panjang. N V (N. Trigeminus) Berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik. Sensorik N.V-1 : cabang oftalmikus (wajah bagian atas), N.V-2 : cabang maxilaris (wajah bagian tengah) dan N.V-3 : cabang mandibularis (wajah bagian bawah). Cara pemeriksaan dengan kapas dioleskan pada wajah dengan mata tertutup, dibandingkan antara kanan dan kiri, pada anak pemeriksaan ini agak sulit. Nervus V motorik mensarafi otot-otot pengunyah : massetter, petrygoid dan temporalis. Cara pemeriksaan : penderita disuruh menggigit sesuatu dengan kuat, pada sisi lesi kontraksi lebih lemah. Pemeriksaan reflek kornea dengan kapas, penderita melihat jauh kornea dioles, respon mata tertutup bilateral. Reflek masseter dengan meletakan jari pada dagu dan penderita bicara a a a a dengan mengetok palu pada dagu tersebut maka respon mulut akan tertutup. N VII (N. Fascialis) N VII mensarafi otot-otot wajah. Otot wajah bagian atas mendapat persarafan secara bilateral sedangkan wajah bagian bawah persarafan secara kontra lateral. Pemeriksan : penderita disuruh membuka mulut, tersenyum, menutup mata dan mengerutkan dahi. Pada kelainan perifer (LMN) tidak dapat menutup mata, mengerutkan dahi dan nasolabial fold mendatar pada sisi lesi, sedang kelainan sentral (UMN) tidak mengenai muka bagian atas. Pemeriksaan pengecapan 2/3 lidah bagian depan dengan meletakkan gula, garam, pada lidah. N VIII (N. Akustikus) 17 Terdiri dari pendengaran (Nervus Chohlearis) dan keseimbangan (Nervus vestibularis). Saat anamnesis pendengaran anak secara sederhana sudah dapat dinilai, dapat dengar kertas disamping belakang telinga, anak memberi respon atau tidak, atau menjatuhkan benda apakah anak mendengar atau tidak, dengar jam, bunyi bel atau garpu tala. Untuk uji pendengaran lebih akurat dengan Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP). Untuk tes keseimbangan harus diperhatikan sikap badan saat berdiri dan sikap saat bergerak serta memperhatikan adanya nistagmus. Pemeriksaan dengan Romberg test : Penderita berdiri dengan kaki rapat, mata dipejamkan stabil atau tidak, pada gangguan keseimbangan akan akan jatuh pada sisi lesi. Tes ini dilakukan jika tidak ada kelemahan motorik. Untuk membangkitkan nistagmus anak dapat disuruh berputar-putar sesuai dengan jarum jam. N IX (N. Glosofaringeus) dan N X (N. Vagus) Fungsi dan anatomi kedua saraf ini hampir bersamaan fungsi N.IX motorik dan sensorik sedangkan N.X sebagai sensorik dan vegetatif. Pemeriksaan : Reflek muntah, kesukaran menelan (disfagia), suara sengau (disfoni), penderita disuruh membuka mulut sambil bicara ‘aaaah’, uvula akan terdorong pada sisi lesi. Pada gangguan N X selain gangguan tersebut diatas penderita mengalami : takikardi, bradikardi, sesak nafas. N XI dan XIII (N.Asesorius dan N.Hipoglosus) Pada kelainan N.XI penderita tidak dapat memutar kepala dan tidak mampu mengangkat bahu sehingga tampak posisi tidak simetris, kepala miring, wajah menoleh salah satu sisi dikenal dengan tortikolis. Pada pemeriksaan N.XII penderita diminta untuk mengeluarkan lidah, keadaan normal, lidah pada posisi tengah. Jika mengalami kelemahan lidah akan terdorong pada sisi lesi, biasanya penderita bicara pelo (mengucapkan kata-kata kurang jelas). PEMERIKSAAN MOTORIK Pemeriksaan motorik ini tergantung dari integritas traktus piramidalis, ekstra piramidalis dan cerebellum. Observasi motorik akan tampak pada posisi anak, gerakan ke 4 anggota gerak, sikap pada bayi akan tercermin apakah ada nyeri, fraktur, paresis atau gangguan tonus otot. Menilai kekuatan otot dinilai secara subjektif kekuatan ( Swaiman’s,2012) : 5 = Normal, dapat menahan tekanan kuat 4 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan sedang 3 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan ringan atau gravitasi. 2 = Gerakan aktif tanpa melawan gravitasi 1 = Hanya kontraksi sendi 0 = Tidak bergerak sama sekali Pemeriksaan kekuatan harus dibandingkan kanan dan kiri. Pemeriksaan motorik menyangkut pada pemeriksaan tonus otot. Pemeriksaan ini sangat tergantung dengan suasana, kondisi anak, pemeriksa dan lingkungan, pada anak menangis akan timbul kekakuan, pemeriksaan akan sulit interpretasinya. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan santai, tungkai dan lengan dapat digerakkan secara pasif dengan digoyang-goyangkan secara luwes berarti tonus normal. Apabila jatuh lunglai berarti hipotonus : tonus menurun, jika ada tahanan/kaku : berarti hipertonus : tonus meningkat. Pemeriksaan tonus pada bayi : 18 normal cenderung keadaan fleksi dalam posisi telentang. Pemeriksaan cara reaksi tarikan : Telunjuk pemeriksa diletakkan pada telapak tangan pasien, maka bayi akan menggenggam, secara lembut pemeriksa memegang tangan pasien sekaligus menarik kearah duduk, normal : kepala terangkat bersamaan dengan badan sehinggan anggota gerak keadaan, abnormal : kepala akan jatuh ke belakang dan tidak ada tonus pada anggota gerak. Pemeriksaan suspensi vertikal : Dari belakang tangan pemeriksa diletakkan pada ketiak penderita secara lembut penderita diangkat : normal apabila kepala tetap tegak anggota gerak fleksi, abnormal kaki lurus atau menyilang. Pada suspensi horizontal pemeriksa mengangkat dada penderita, pada bayi normal kepala diangkat dengan fleksi anggota gerak. Pada bayi abormal kepala dan anggota gerak jatuh lunglai, atau kepala leher dan punggung melengkung kebelakang. Reflek primitif pada bayi : 1. Reflek moro Bayi posisi telentang, kepala diangkat 300, tiba- tiba dijatuhkan pada tangan pemeriksa bayi akan kaget lengan direntangkan posisi abduksi ekstensi dan disusul gerakan abduksi dan fleksi jika tidak terjadi rentangan atau asymetris berarti patologis 2. Tonic neck reflek Posisi bayi telentang, kepala ditolehkan ke kanan maka anggota gerak akan ekstensi sedangkan anggota gerak kiri fleksi 3. Plantar grasp reflek Jari pemeriksa diletakan di telapak kaki penderita terjadi fleksi jari-jari kaki 4. Palmar grasp reflek Sesuatu diletakkan pada telapak tangan penderita terjadi fleksi jari tangan atau menggenggam Reflek – Reflek Fisiologis 1. Reflek umbilikus Dengan menggores kiri kakan umbilikus dengan titik sudut pada simpisis dan xyphoid berbentuk belah ketupat, respon umbilicus akan bergerak pada tiap goresan. Reflek negatif pada anak < 1 tahun, poliomyelitis dan lesi sentral 2. Reflek Cremaster Dengan menggores pada bagian dalam paha terjadi elevasi testis 3. Reflek tendon Fleksi sendi siku apabila tendon bisep diketok 4. Reflek tricep Terjadi extensi sendi siku, jika tendon trisep diketok 5. Reflek patela (knee) Dengan mengetok tendon patela respon ekstensi sendi lutut 6. Reflek achiles Mengetok tendon achiles respon palnter fleksi jari-jari kaki. Reflek Patologi 1. Reflek babinski Menggores telapak kaki dari tumit searah sepanjang jari kelingking sampai arah medial (ibu jari) respon terjadi ekstensi ibu jari dan diikuti oleh jari-jari lainnya 19 seperti kipas (ekstensor plantar respon. Reflek positif pada bayi sampai umur 18 bulan. Jika > 2 tahun reflek positif : ada kelainan UMN 2. Reflek Chaddok Dengan menggores bagian lateral kaki /maleolus eksternus 3. Oppenheim Dengan nenekan tulang kering (ostibia) dengan jari-jari pemeriksa di gerakkan dari proksimal ke distal 4. Gordon Memencet betis penderita 5. Schaeffer Dengan memencet tendon achiles Semua reflek ini respon dengan babinski : ekstensi ibu jari diikuti dengan jari-jari berikutnya. Reflek patologi di tangan 1. Reflek Tromner Dengan mencolok ujung jari tengah respon : ibu jari mengalami fleksi. 2. Reflek Hoffman Colekan pada ujung kuku jari tengah respon : ibu jari dan jari lainnya fleksi Reflek patologis timbul akibat lesi UMN, pada bayi oleh karena mielinisasi belum lengkap reflek tersebut positif Pemeriksaan tanda-tanda rangsangan meningeal : 1. Kaku kuduk : leher ditekuk cara pasif pada sternum akan terjadi tahanan, dis : kaku kuduk (+) 2. Brudzinki I : pada saat leher ditekuk akan terjadi fleksi tungkai sendi lutut dan panggul, disebut Brudzinki I positif 3. Brudzinki II : posisi kaki lurus dengan fleksi sendi lutut akan terjadi fleksi pada lutut dan panggul kontra lateral 4. Tanda Kernig : Tungkai atas difleksikan tegak lurus, kemudian tungkai bawah diluruskan di sendi lutut, test positif jika tungkai kontra lateral terdapat fleksi lutut dan panggul secara reflektoris Pemeriksaan sensorik Pada anak pemeriksaan sensibilitas sangat sulit apabali pada bayi, pada pemeriksaan ini harus diperlihatkan kooperatif dari pasien, pemeriksaan dapat dilakukan pada anak diatas 6 tahun 1. Rasa raba : Meraba permukaan tubuh dengan kapas mata penderita ditutup, penderita ditanyakan terasa atau tidak. 2. Rasa nyeri : Dengan jarum memberikan rangsangan tusuk, jarum ditusukkan pada penderita kemudian bergantian dengan memisahkan ujung jari pemeriksa untuk membedakan tusuk tajam atau tusuk tumpul. Pada pemeriksaan mata penderita ditutup dengan roda yang bergerigi / rader jahit : digelindingkan pada permukaan kulit dari arah defisit sensoris ke daerah normal dan sebaliknya, sehingga kita dapat menentukan batas defisit sensoris tersebut. 3. Rasa termis /suhu : Rasa panas + 40-450, dingin 10-150 dengan botol ditempelkan pada kulit penderita. Pada pemeriksaan ini harus diperhatikan botol yang dipakai benar-benar kering, permukaan tubuh yang tertutup lebih peka dengan yang tidak 20 tertutup, pada orang tua pada umumnya sudah terjadi hipestesi oleh karena vaskularisasi pada bagian-bagian distal berkurang. Perasaan Getar / Vibrasi Dengan garputala : garputala yang sudah digerakkan frekuensi + 128hz/detik, kaki garputala tersebut diletakkan pada sisi maleolus/ lateralis, ditanyakan pada penderita perasaan apa yang terjadi dalam keadaan mata tertutup. Sebelum pemeriksaan penderita di beri tahu dulu, pemeriksaan apa yang telah kita lakukan dan apa yang dirasakan. Gangguan getar pada penyakit-penyakit saraf perifer : tabes dorsalis neuropati dm juga penderita histeri. Perasaan Gerak / Posisi Ujung jari penderita digerakkan secara pasif jari penderita digerakkkan cara pasif keatas, bawah samping kiri dan kanan. Penderita diminta untuk memberi tahukan arah gerakan tersebut, pada anak dapat dilakukan sambil bermain, berdiri kondisi mata keadaan tertutup. Perasaan Diskriminasi (kondisi mata keadaan tertutup) 1. Sterognosis Posisi mata tertutup penderita diminta untuk identifikasi benda-benda tertutup pemeriksa diminta untuk identifikasi benda-benda yang disodorkan pada tangannya supaya penderita dapat mengenal bentuk benda tersebut.. seharusnya benda-benda yang sudah dikenal oleh penderita : uang logam, karet penghapus, lilin, dsb 2. Diskriminasi 2 titik Dengan memakai 2 jarum ditusukkan pada permukaan tubuh penderita, jarak kedua jarum dilebarkan. Pada permukaan tubuh pasien dapat membedakan jarak 2 titik tersebut tapi tidak sama pada semua permukaan tubuh. Pada jari : 2-7mm, telapak tangan 8-12mm pada lidah + 1mm, tungkai 40mm. 3. Grapestesia Pemeriksa menulis angka pada permukaan kulit, telapak tangan, paha dan sebagainya, penderita dapat mengenal angka atau huruf apa yang dituliskan tersebut. 4. Topognosis Dengan tusukan penderita dapat menentukan bagian tubuh mana yang disentuh oleh pemeriksa misalnya pipi kiri / kanan dengan jelas. Daftar Rujukan : 1. Swaiman KF. Neurological examination of the older child, dalam Swaiman KF Pediatric Neurology, principles and practice, 3rd ed Toronto ; mosby. 1999 : 1430 2. Swaiman KF : neurologic examination after the Neuborn period until 2 years of age : dlm Swaiman KF : pediatric neurology, principles and practice ; 3rd ed : Toronto mosby ; 1999, : 31-38 3. Fredman NR, Cohen BH : The neurological examination of the infant and child dalam Noseworthy JH dalam neurological therapeutics, principles and practice, 2nd ed Martin Dunit 2, Mayo fundation for medical education and recearch ; 2003 ; Vol 2 : 1577-1583 21 4. Priguna Sidharta MD Ph.D. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi , PT Dian Rakyat, 1985 5. Setio Menggolo TS, Ismail Sofyan : Pemeriksaan neurologi pada anak dan bayi. Buku ajar : Neurologis anak, IDAI, Jakarta. 1999 : 1-35 III. PALSI SEREBRAL Pendahuluan Palsi Serebral merupakan suatu istilah diskriptif non spesifik yang digunakan untuk gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak - kanak dini, yang ditandai dengan perubahan tonus otot, gerakan involunter, ataksia atau kombinasi dari kelainan-kelainan tersebut. CP seringkali juga disertai dengan beberapa komorbiditas seperti epilepsi, gangguan visual, auditory dan retardasi mental 1 Kelainan tersebut menimbulkan disabilitas pada anak , sehingga deteksi dini Palsi Serebral dapat membantu penanganannya sehingga didapat kemampuan fungsional yang optimal. Definisi Secara umum Cerebral Palsy adalah sindroma klinik, ditandai adanya defisit motorik sentral yang bersifat tidak progresif, disebabkan kerusakan otak yang belum matur 1,2 Swaiman mendifinisikan CP sebagai suatu istilah diskriptif non spesifik yang digunakan untuk gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak – kanak dini yang ditandai dengan perubahan tonus otot (umumnya spastik), gerakan involunter, ataksia atau kombinasi dari kelainan-kelainan tersebut, tidak bersifat episodik ataupun progresif. Keluhan paling sering mengenai ekstremitas, namun dapat juga mengenai batang tubuh.3 Menkes mendefinisikan CP sebagai sindrom kelainan gerak dan postur yang menetap yang disebabkan oleh lesi otak yang bersifat tidak progresif yang didapat selama perkembangan.5 Walaupun kerusakan jaringan otaknya tidak mengalami progresifitas, penampilan klinis CP dapat berubah sesuai dengan pematangan system saraf anak. 4 Epidemiologi Insidensi CP di Negara maju berkisar antara 2 - 2,5 per 1000 kelahiran hidup. Risiko CP pada bayi prematur adalah 5 – 80 per 1000 kelahiran hidup, meskipun mayoritas kasus adalah pada bayi yang lahir aterm. 1,4 Sedangkan data epidemiologi di Indonesia, sampai saat ini belum ada. Klasifikasi CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis maupun beratnya penyakit, fungsi dan aspek terapeutik. Klasifikasi klinis 5 : 1. Tipe spastik : Kuadriparesis spastik Diplegia spastik Hemiparesis spastik 2. Tipe ekstrapiramidal 3. Tipe hipotonik (atonik) 4. Tipe serebellar 5. Tipe campuran atau atipikal 22 Klasifikasi atas dasar fungsional penderita (sesuai aktivitas motorik kasar ) (Gross Motor Function Classification System/GMFCS) 1 Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik kasar yang lebih rumit. Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan di luar rumah dan di lingkungan masyarakat. Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan alat bantu gerak yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di l ingkungan masyarakat. Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah menggunakan alat bantu dengan teknologi canggih. Etiologi Etiologi CP diperkirakan berhubungan dengan kejadian pra, peri dan pasca natal yang pada umumnya bersifat multifaktor dan sulit menentukan mana yang paling berperan menyebabkan CP. Meskipun demikian seringkali kita tidak dapat memberi keterangan tentang penyebab, karena tidak didapat faktor-faktor berupa kelainan pada masa kehamilan, persalinan maupun periode awal kehidupan,6 Secara statistik beberapa risiko yang berhubungan dengan kejadian CP adalah 4 Faktor risiko prenatal : infeksi intra uterin, malformasi kongenital, zat toksik atau teratogenik, kehamilan multiple, trauma abdomen, penyakit maternal. Faktor risiko neonatal : prematuritas, berat badan lahir < 2500 gr, retardasi pertumbuhan, perdarahan intrakranial, trauma, infeksi, bradikardi dan hipoksia, bangkitan, hiperbilirubinemia, presentasi lahir yang abnormal. Faktor risiko pascanatal : trauma, infeksi, perdarahan intrakranial, kelainan koagulopati Patofisiologi CP terjadi akibat lesi statis permanen pada korteks motorik yang terjadi sebelum, saat atau dalam 2 tahun pertama sejak kelahiran. Meskipun lesi tidak mengalami perubahan, manifestasi klinik dari lesi tersebut dapat berubah sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.. Secara umum lesi yang dapat menimbulkan gangguan motorik kronik pada anak adalah 3: - Perdarahan subependimal dan intraventrikular, biasanya berhubungan dengan hipoksik-iskemik pada bayi. - Perubahan kistik pada substantia alba, misalnya akibat infeksi, gangguan metabolik atau penurunan aliran darah di daerah periventrikular. - Adanya gambaran dismorfik, anomali kongenital di luar SSP dan mikrosefali pada saat lahir menunjukkan adanya defek perkembangan. Diagnosis Orang tua seringkali membawa anaknya ke dokter dengan keluhan keterlambatan perkembangan dalam mencapai patokan perkembangan. Anamnesis sangat penting untuk menegakkan diagnosis CP yang meliputi riwayat kehamilan ibu, riwayat partus, periode neonatal maupun adanya infeksi SSP. Selain anamnesis, diperlukan juga pemeriksaan perkembangan ( tes skrining perkembangan), pemeriksaan fisik umum 23 dan pemeriksaan neurologis termasuk penilaian refleks perkembangan infantil, tonus, refleks fisiologis dan refleks patologis. Pada anak dengan CP ringan, dapat terjadi perbaikan pada pemeriksaan berkala. Kelainan motorik yang terjadi tidak boleh bersifat progresif.3 CP dapat didiagnosa pada umur 12 – 18 bulan, ditandai dengan gagalnya pencapaian patokan perkembangan dan tampak adanya perbedaan kualitas perkembangan motorik, misalnya fungsi motorik kasar asimetris, kekakuan atau kelemahan otot. 1 Gambaran klinis CP pada bayi dapat berupa : • Kesulitan makan : tidak mampu menghisap dan menelan • Abnormalitas gaze, tidak dapat memfiksasi pandangan saat diberi makan, terlambat tersenyum. • Abnormalitas tonus otot • Abnormalitas tingkah laku : iritabilitas, cemas, tidak tertarik akan rangsangan suara atau visual • Perkembangan postural terlambat : asimetri persisten, kontrol kepala dan batang tubuh, reaksi keseimbangan. • Perkembangan asimetri gerakan atau tonus • Keterlambatan perkembangan motorik Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan otak adalah USG, MRI atau CT scan kepala. Apabila disertai adanya riwayat kejang, perlu dilakukan pemeriksaan EEG. Kelainan penyerta yang dapat terjadi pada penderita CP adalah 4 1. Gastrointestinal dan nutrisional : • Failure to thrive (FTT) karena kesulitan makan dan menelan ( sekunder akibat kontrol oromotor yang buruk). • Obesitas (jarang) • Konstipasi • Refluks gastroesofageal yang dapat berhubungan dengan pneumonia aspirasi • Karies dentis 2. Respirasi • Risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor • Bronchopulmonal dysplasia • Bronchitis / asma 3. Kulit : dekubitus dan lecet 4. Tulang : kontraktur, dislokasi panggul, skoliosis 5. Epilepsi 6. Auditori : gangguan pendengaran terutama pada penderita dengan riwayat kern icterus 7. Visual • Penurunan visus karena retinopati prematuritas dengan hipervaskularisasi dan kemungkinan pelepasan retina • Abnormalitas lapang pandang karena jejas kortikal • Strabismus 8. Kognisi / psikologi / tingkah laku 24 • Peningkatan insidensi ADHD, retardasi mental, dan disabilitas belajar spesifik. • Pengaruh pada tampilan akademik dan kepercayaan diri • Peningkatan insidensi depresi • Peningkatan insidensi progressive developmental disorder atau autisme 9. Kesulitan integrasi sensorik American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan algoritma evaluasi penderita CP 7 Penatalaksanaan Hal yang penting ditekankan adalah kemungkinan kesembuhan pada gangguan motorik neurologis tidak terlalu memuaskan. Terapi yang diberikan bertujuan untuk memaksimalkan potensi fungsional anak, sedangkan defisit neurologis aktual tidak dapat diubah. Walaupun demikian tidak berarti tidak akan ada perubahan, karena itu perlu dilakukan penilaian ulang pada interval reguler, baik oleh tenaga medis maupun oleh keluaraga.8 25 AAN merekomendasikan Algoritma penatalaksanaan CP dengan melakukan penapisan kelainan yang menyertai CP pada saat penilaian awal yaitu : retardasi mental, gangguan penglihatan dan pendengaran, gamgguan bicara dan bahasa, dan disfungsi oromotor.4,7 Penatalaksanaan sebaiknya dilakukan oleh tim ahli dari berbagai disiplin ilmu yaitu saraf anak, psikiatri, THT, rehabilitasi medik, ortopedi, bedah syaraf, pulmonologi, gastroentrologi, genetik, psikolog. Walaupun sampai saat ini belum ditemukan program yang terbukti dapat memperbaiki fungsi motorik, tetapi dapat dilakukan pengelolaan yang bertujuan untuk memperbaiki kelainan neuromuskularnya dan juga membantu anak dalam menguasai ketrampilan dan mencegah komplikasi.5 Fisioterapi dapat mencegah deformitas dan mengoptimalkan fungsi motorik dan postur. Terapi okupasi dapat membantu untuk meningkatkan ketrampilan motorik, bila terdapat gangguan makan dan menelan dapat dilakukan terapi makan minum atau terapi wicara. Pembedahan dilakukan unruk reposisi pada kontraktur atau spastisitas. Selain itu kelainan penyerta lain juga dikelola dengan baik seperti adanya strabismus, gangguan pendengaran atau gangguan penglihatan.5 Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah sesuai indikasi : • Obat anti epilepsi, bila ada epilepsi • Baclofen dan benzodiazepin biasanya digunakan untuk mengatasi spastisitas, dapat juga digunakan botolinum toksin A. Penatalaksanaan spastisitas ini dapat meningkatkan kisaran gerak, menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap terapi okupasi dan fisik. • Gangguan gerak seperti distonia, mioklonus, chorea, atetosis dapat digunakan anti parkinson, antidopaminergik, antikonvulsan, antispastisitas dan antidepresan. Penatalaksanaan anak dengan CP sangat memerlukan dukungan orang tua, karena itu orang tua juga perlu mendapatkan informasi mengenai diagnosis, program terapi, dan kemungkinan hasil yang dapat dicapai. Diagnosis Banding • Tampilan kelemahan otot : Duchene/Becker muscular dystrophy Infantile neuroaxonal dystrophy Mitochondral cytopathy • Distonia dan gerakan involunter Dopa responsive dystonia Glutaric aciduria type 1 Juvenile neuronal ceroid lipofuscinosis Lesch-Nyhan syndrome Pelizaeus-Merzbacher disease Rett syndrome 3-methyl glutaconic aciduria 3-methylcrotonyl1 CoA carboxylase deficiency • Predominan diplegi atau tetraplegi Adenoleukodystrophy, adenomyeloneuropathy Arginase deficiency Hereditary progressive spastic paraplegia Holocarboxylase synthetase deficiency 26 Metachromatic leucodystrophy • Ataksia Angelman syndrome Ataxia telengiectasia Chronic/adult GM 1 gangliosidosis Mitochondrial cytopathy Nieman Pick disease type C Pontocerebellar atrophy/hypoplasia Posterior fossa tumor X linked spinocerebellar ataxia Prognosis Harapan hidup penderita CP berhubungan dengan jenis dan keparahan disabilitas motorik. Mortalitas lebih tinggi dan harapan hidup lebih pendek pada penderita dengan kuadriparesis berat, hidrosefalus, epilepsi yang intraktabel, anak dengan ketrampilan fungsional dasar yang kurang memadai, retardasi mental berat. 3,4 Demikian pula bila makin banyak disertai dengan kelainan yang memperberat maka prognosis juga semakin buruk. Apabila didukung oleh perawatan kesehatan yang sesuai, penderita CP tanpa kelainan penyerta yang berat dapat mencapai usia harapan hidup mendekati populasi umum.4 Kepustakaan 1. Rosenbaum P. Cerebral Palsy : What parents and doctors want to know. BMJ 2003;326 : 970-4. 2. Cogher F, Sawage E, Smith MF. Cerebral Palsy, The child and Young Person, 1st Ed.. Chapman and Hall Medical, London, 1992 : 3 – 16. 3. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric neurology : principles and practice. 3rd Ed. USA : Mosby Inc., 1999 : 312 – 322. 4. Ratanawongsa B. Cerebral Palsy. Last updated : August 9, 2005. http://www.emedicine.com// 5. Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal Asphyxia and Trauma. In Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. 6th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, 2006 : 396 6. Brett EM. Cerebral Palsy. In Brett EM Ed. Paediatric Neurology. Churchill Livingstone, London, 1997 : 291 -30. 7. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G. Practice parameter : Diagnostic Assesment of the child eith cerebral palsy. Report of the quality standards subcommittee of the child Neurology Society. Neurology 2004 ; 62 : 851 – 63. 8. Bax M, Brown JK. The spectrum of disorders known as cerebral palsy. In : Scrutton D, Damiano D, Mayston M. Management of the motoe disorders of children with cerebral palsy. London : Cambridge University Press, 2004 ; 9-20 EPILEPSI PADA ANAK DEFINISI Epilepsi : Keadaan yang ditandai oleh bangkitan yang timbul dua kali atau lebih secara spontan. (Epilepsia 1993; Epilepsia 1997) 27 Catatan : Bangkitan berulang yang terjadi dalam waktu 24 jam dianggap sebagai satu kejadian bangkitan tunggal, bukan epilepsi Sindroma Epilepsi : Epilepsi yg ditandai oleh sekumpulan tanda dan gejala yang terjadi secara bersamaan, meliputi bentuk bangkitan, etiologi, EEG, anatomi, faktor pencetus, usia awitan, berat gejala, dan prognosis (Epilepsia 1989) Insidensi Negara berkembang: ± 41-50 / 100.000 penduduk . Insidensi tinggi: usia < 2 tahun & usia > 65 tahun. (Epilepsi Foundation 2003. Dari 200.000 kasus baru pertahun, didapatkan 45.000 kasus epilepsi anak usia <15 tahun. Insidensi epilepsi anak dari lahir sampai usia 16 tahun: ± 40 / 100.000 anak / tahun KLASIFIKASI SINDROMA EPILEPSI ILAE, 1989 (Epilepsia 1989) 1. Epilepsi parsial dan sindromanya Berhubungan dengan lokasi 1.1. Epilepsi Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia) Epilepsi benigna pada masa anak dengan gelombang paku di sentrotemporal Epilepsi pada masa kanak dengan paroksismal di oksipital Epilepsi primer pada saat membaca 1.2. Epilepsi Simtomatik Epilepsi parsialis kontinua kronik pada masa anak (sindroma Kojewnikow) Sindroma dimana secara karakteristik bangkitan dicetuskan oleh faktor pencetus spesifik Epilepsi lobus temporal Epilepsi lobus frontal Epilepsi lobus parietal Epilepsi lobus oksipital 1.3. Epilepsi kriptogenik 2. Epilepsi umum dan sindroma 2.1. Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia; urutan berdasarkan usia) Bangkitan neonatal familial benigna Bangkitan neonatal benigna Epilepsi mioklonik benigna pada masa anak Epilepsi lena/lena pada masa anak (Pyknolepsy) Epilepsi absence / lena pada masa remaja (JAE) Epilepsi mioklonik pada masa remaja (Impulsive Petit Mal) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik (grand mal) saat bangun tidur Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak disebut di atas Epilepsi dengan bangkitan yang dicetuskan oleh pencetus spesifik. 28 2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (sesuai urutan usia) Sindroma West (spasme infantil, Blitz-Nick-Salaam Kramfe) Sindroma Lennox-Gastaut Epilepsi dengan bangkitan mioklonik astatik Epilepsi dengan bangkitan mioklonik absence/lena 2.3. Simtomatik 2.3.1. Tanpa etiologi spesifik • Ensefalopati mioklonik dini • Ensefalopati epileptik dengan suppression-burst pada masa anak dini • Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak disebut diatas 2.3.2. Sindroma spesifik • Bangkitan epilepsi yang dapat memperberat keadaan penyakit lain. Termasuk penyakit di mana bangkitan merupakan gejala awal yang penting dari penyakit tersebut 3. Epilepsi dan sindroma epilepsi dengan bangkitan yang tidak dapat ditentukan umum / parsial 3.1. Dengan bangkitan umum maupun parsial Bangkitan neonatal Epilepsi mioklonik berat pada masa anak Epilepsi dengan gelombang tajam lambat kontinu saat tidur Afasia akibat epilepsi (sindroma Landau-Kleffner) Epilepsi lain dari kelompok ini yang tidak disebut di atas 3.2.Tanpa gambaran bangkitan umum maupun parsial yang jelas Semua kasus dengan bangkitan umum tonik klonik dimana gejala klinis maupun EEG tidak dapat dapat dimasukkan dalam klasifikasi sebagai epilepsi umum / parsial. Contoh: sleep grand mal 4. Sindroma khusus 4.1. Berhubungan dengan keadaan tertentu (Gelegenheitsan-falle) Kejang demam Bangkitan / status epileptikus terisolasi Bangkitan yang hanya terjadi jika ada gangguan metabolik akut / keadaan toksik oleh berbagai faktor, diantaranya alkohol, obatobatan, eklamsia, hiperglikemia nonketotik Klasifikasi lain Semiological Seizure Classification Klasifikasi Engel PENATALAKSANAAN PENDERITA EPILEPSI ANAK Anamnesis 29 Gambaran bentuk bangkitan (dari penderita &/ orang tua / saksi) Keadaan penderita saat bangkitan ? Duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih Aura? speech arrest? Apa yang tampak selama kejadian ? Gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme Inkontinensia, lidah tergigit Pucat, berkeringat, deviasi mata Durasi kejadian ? Keadaan saat dan setelah kejadian ? Bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah Riwayat Penyakit Sebelumnya Jejas SSP sebelumnya o Riwayat perinatal / perkembangan o Trauma, infeksi SSP, dll o Kejang demam (sederhana atau kompleks) Riwayat Keluarga o Riwayat epilepsi dan kejang demam pada keluarga o Penyakit neurologis lain Pemeriksaan Fisik dan neurologis o Lingkar kepala o Dismorfik o Kelainan kulit o Pemerksaan jantung o Hiperventilasi, evaluasi psikogenik o Defisit neurologis PEMERIKSAAN PENUNJANG EEG Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom, Epilepsi umum idiopatik Childhood absence epilepsy : 3 Hz SWC Juvenile absence epilepsy : 3 – 4 Hz SWC dan polyspikes wave complex Juvenile myoclonic epilepsy : 4 – 6 Hz polyspikes wave complex Epilepsi parsial idiopatik Benign Rolandic Epilepsy : stereotyped biphasic centrotemporal spike wave Epilepsi umum simtomatik/kriptogenik Spasme infantile : hypsarrhythmia LGS : slow generalized SWC 30 Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman EEG interiktal: Waktu perekaman Perekaman pascaictal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang epilepsi interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar (51%) dibandingkan bila perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%). Perekaman berulang Keadaan kurang tidur (sleep deprivation) Aktivasi: tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas. Video EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk penentuan lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman EEG interiktal : Waktu perekaman Perekaman pascaictal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang epilepsi interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar (51%) dibandingkan bila perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%). Perekaman berulang Keadaan kurang tidur (sleep deprivation) Aktivasi: tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik. Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas. Video EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk penentuan lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi. PENCITRAAN Pencitraan otak dapat digunakan untuk melihat struktur otak dalam rangka mencari penyebab patologis epilepsi, melihat fungsi otak dinamik dalam rangka mencari gangguan fungsi otak melihat akibat epilepsi. INDIKASI Status epileptikus atau epilepsi akut yang berat Penderita epilepsi fokal kecuali yang memiliki sindroma elektroklinis yang tipikal untuk BCECTs Epilepsi refrakter Bila ditemukan developmental delay atau adanya bukti sindroma neurokutan JENIS PENCITRAAN Pencitraan Struktrural : CT scan kepala MRI MR spectroscopy Pencitraan Fungsional : 31 PET SPECT fMRI PENCITRAAN STRUKTURAL CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20% pasien, sedangkan MRI memungkinkan diagnosis radiologis pada 50% pasien epilepsi parsial refrakter MRI lebih baik dalam mendeteksi abnormalitas fokal berukuran kecil dibandingkan CT scan PENCITRAAN FUNGSIONAL Kegunaan: - Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi epilepsi - Membantu identifikasi regio epileptogenik - Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan - Melokalisasi fungsi otak - Dibandingkan dengan pencitraan struktural, pencitraan fungsional cenderung untuk menilai derajat epileptogenik korteks serebri secara berlebihan PENATALAKSANAAN Prinsip Umum : Setelah frekkuensi kejang 2 kali atau lebih dalam 1 tahun. Pertimbangkan keuntungan dan kerugiannya, kemungkinan berulang dan kepatuhan pasien. Pilihan obat anti kejang berdasarkan bentuk kejang : Bentuk kejang Pilihan 1 Pilihan 2 Parsial Carbamazepine Valproat Phenytoin Lamotrigine Oxcarbazepine Gabapentin Topiramate Levetiracetam Tonic-clonic Valproate Lamotrigine Carbamazepine Oxcarbazepine Phenytoin Topiramate Absence Valproate Lamotrigine Myoclonic Valproate Topiramate Lamotrigine Levetiracetam Obat Anti Epilepsi (OAE) I: mulai dosis minimal kemudian secara bertahap dinaikkan bertahap hingga mencapai dosis maksimal atau timbulnya efek samping. Bila bangkitan masih terjadi, maka OAE II mulai dosis minimal dinaikkan secara bertahap hingga mencapai dosis maksimal. OAE I diturunkan bertahap secara cepat Jika OAE II gagal penggunaan OAE III dengan cara yang sama, jika OAE III gagal maka diberikan politerapi. 32 Catatan : sebaiknya pasien dibekali diazepam perrectal untuk kejang, maksimal 2x pemberian Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi OAE Fenobarbiton Cara kerja multipel (↓Na, ↓Ca, GABA, Glutamat ↓ ) Spektrum Luas ya Fenitoin Sodium channel blocker tidak Karbamazepin Sodium channel blocker tidak Asam valproat multipel ya Levetirasetam Berikatan dengan protein vesikel sinaptik SV2A Ya Ya Topiramat multipel Dosis dan cara pemberian Nama obat Dosis (mg/kgBB/hari) Frekuensi Fenobarbital 3-5 mg/kg (<5thn) 2-3 mg/kg (>5thn) 2 x atau 1x / hr Fenitoin 8-10mg/kg (<3thn) 4-7mg/kg (>3thn) 2 x / hr Asam valproat 15-40 mg/kg 2–3 x / hr Karbamazepin 10-20 mg/kg 2 x / hr Klobazam 0,4 – 1,2 mg/kg/hari 1 – 3 x/hr Klonazepam 0,05-0,2 mg/kg/hari 2 – 3 x/hr 33 Gabapentin 30 – 60 mg/kg/hari 2 - 3 x/hr Lamotrigin + VPA: 1 – 5 mg/kg/hr + enzyme-inducer AED: 5 – 15 mg/kg/hari 2 x/hr Topiramat 3 – 9 mg/kg/hari 2 x/hr Oxkarbazepin 20 – 40 mg/kg/hari 2 x/hr Levetirasetam 20 – 40 mg/kg/hari 2 x/hr OAE YANG MEMPERBURUK SINDROMA TERTENTU AED Sindroma epilepsi / bentuk bangkitan Carbamazepine, Vigabatrin, Tiagabine, Phenytoin Childhood absence epilepsy Juvenile absence epilepsy Juvenile myoclonic epilepsy Vigabatrin Clonazepam Lamotrigine Absence & absence status GTC in Lennox-Gastaut Sindroma Dravet Juvenile myoclonic epilepsy PENGHENTIAN OAE Klinis: bebas bangkitan minimal 2 tahun (SIGN,2005) Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan).(SIGN,2005) Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali dengan dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan RESIKO terjadinya relaps meningkat : Anak dengan epilepsi simtomatik Awitan bangkitan umur ≥ 12 tahun Durasi bebas bangkitan < 6 bulan EEG abnormal saat penghentian bangkitan 34 Sindroma dengan risiko relaps tinggi: Juvenile Myoclonic Epilepsy, sindroma epilepsi pada remaja DIAGNOSIS BANDING Benign myoclonus Sandifer’s syndrome Hyperekplexia Breath-holding attack Night terrors Masturbatory episodes Alternating hemiplegia Syncope Migraine Shuddering attacks Movement syndrome Parasomnias Inattention / daydreaming INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT PADA ANAK MENINGITIS Pendahuluan Infeksi SSP sampai sekarang masih merupakan keadaan yang membahayakan kehidupan anak, dengan berpotensi menyebabkan kerusakan permanen pada pasien anak yang hidup.1,2 Penyebab infeksi SSP bisa karena virus, bakteri atau mikroorganisme yang lain. Diantara penyakit infeksi SSP yang amat berbahaya adalah meningitis dan ensefalitis. Para klinisi diharapkan dapat mengenal infeksi lebih dini sehingga dapat memberikan pengobatan dan pencegahan yang lebih akurat.3,4 Meningitis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat yang mengenai meningen. Meningen terdiri dari tiga buah lapisan, lapisan paling luar adalah pakhimening atau duramater dan lapisan paling dalam adalah leptomening yang terbagi atas dua bagian yaitu arakhnoid dan piamater.2,5 Meningitis bakterial akut disebut juga sebagai meningitis piogenik akut atau lebih dikenal dengan meningitis purulenta yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis yang menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.2 Sedangkan meningitis tuberkulosa merupakan salah satu penyulit tuberkulosis, yang mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi. Di Indonesia saat ini tuberkulosis dianggap 35 sebagai reemerging disease, serta negara Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India Dan Cina.4 1. Meningitis Bakterial Definisi Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.1-3 Epidemiologi Di Amerika serikat, diperkirakan 25.000 kasus meningitis pertahunnya dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun. Insidensi di Amerika serikat dan eropa adalah 3-5 kasus per 100.000 penduduk pertahun.2,5-7 Di negara-negara sedang berkembang angka statistik yang tepat sulit didapatkan namun diduga angka kejadiannya jauh lebih tinggi. Di Senegal (Afrika barat) insidensi meningitis diperkirakan 50 kasus per 100.000 penduduk pertahun dengan angka kematian 40%. Di Brasilia insidensinya adalah 45,8 kasus per 100.000 penduduk pertahun. Penyakit ini dijumpai lebih banyak pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 1,7:1.3 Etiologi Pola bakteri penyebab meningitis bakterial akut perlu diketahui sebelum memberikan terapi yang tepat, berikut disebutkan penyebab yang sering dan yang jarang pada meningitis bakterial akut, sesuai dengan usia. Pada pasien dengan faktor resiko tertentu dapat diperkirakan bakteri penyebabnya lalu diberikan terapi empiris yang sesuai dengan bakteri penyebab tersebut seperti yang dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 1. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang sering, menurut usia: ( Swaiman’s 2012) Lamanya Bakteri Patogen Penyakit 0-4 minggu Streptococcus agalactiae Escherichia coli Listeria monocytogenes Streptococcus pneumoniae E. coli 1-3 bulan L. monocytogenes Neisseria meningitidis S. agalactiae S. pneumoniae Haemophilus Influenzae 3-18 tahun N. meningitidis S. pneumoniae H.influenzae 36 Tabel 2. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang jarang, pada bayi dan anakanak ( Swaiman’s 2012) FAKTOR PREDISPOSISI BAKTERI PATOGEN Escherechia coli* Infeksi saluran kemih, imunosupresi Staphylococcus Trauma, bedah saraf, shunt aureus Staphylococcus Trauma, bedah saraf, shunt epidermidis Grup A streptococcus Faringitis, sepsis Enterococcus spp. Periode neonatal Viridans streptococci Endocarditis, defek anatomi Moraxella Otitis media Klebsiella Imunosupresi pneumoniae Salmonella Sickle cell disease, imunosupresi Proteus Periode neonatal, imunosupresi Citrobacter Periode neonatal, imunosupresi Enterobacteriaceae Imunosupresi lain Pseudomonaas Imunosupresi aeruginosa Pasteurella multocida Gigitan serangga Francisella tularensis Kontak dengan hewan liar Propionibacterium Shunt acnes Nocardia Penyakit paru kronis Catatan : * jarang pada periode neonatal Patogenesa Infeksi meningitis bakterial pada SSP dapat terjadi secara akut ( simptom berkembang dalam 1-24 jam), sub akut (1-7 hari), ataupun kronis (> 1 minggu). Infeksi bakteri difus melibatkan leptomenings, struktur kortikal superfisial dan pembuluh darah. Meskipun namanya ” meningitis”, pada parenkim otak juga terjadi inflamasi, pembuluh darah otak diinfiltrasi oleh sel-sel inflamatori dan dapat menyebabkan rusaknya sel, stenosis pembuluh darah, iskemik sekunder dan infark.2 Secara patologis, proses peradangan melibatkan semua struktur intrakranial pada derajat tertentu. Pada proses akut, inflamasi ini dapat mengakibatkan terjadinya edema serebral atau mempengaruhi aliran cairan serebrospinal hingga terjadi hidrosefalus.8 37 Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui: 1. Lewat aliran darah (hematogen) yaitu penyebaran infeksi dari tempat lain, seperti: faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi, ataupun terjadi secara primer, misalnya primary pneumococcal meningitis, meningococcal meningitis. 2. Perluasan langsung dari infeksi (percontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari daerah sekitarnya ( misal sinus paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus cavernosus). 3. Implantasi langsung pada trauma terbuka kepala ( biasanya fraktur basis kranii), tindakan bedah otak dan lumbal punksi. 4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena: a. aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir, b. Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria. Gejala klinis Lebih kurang 25% penderita dengan meningitis bakterial memberikan gejala-gejala dalam waktu 24 jam setelah onset. Pada penderita yang lain, gejala neurologis dapat timbul dalam waktu 1- 7 hari. Pada bayi, gejala neonatal bacterial meningitis berupa: demam (low grade fever), letargi atau penurunan kesadaran, nafsu makan menurun dan atau muntah-muntah, distres nafas, apnea, cyanosis. Pada anak, gejala yang dijumpai berupa: demam, sakit kepala, mual dan muntah, kaku kuduk, penurunan kesadaran, kejang, cranial nerve palsy dan gangguan penglihatan. Gejala sakit kepala sering diikuti dengan fotofobia, disebabkan inflamasi pada pembuluh darah meningen dan sebagai hasil dari peninggian tekanan intrakranial. Kaku kuduk dan rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf otak (cranial nerve palsy) disebabkan oleh inflamsi lokal pada perineum, juga karena terganggunya suplai vaskuler ke saraf. Saraf-saraf kranial III,IV dan VI adalah yang paling sering terkena. 30-40% kejang umum ataun parsial pada neonatus ataupun anak dewasa muda sedangkan 20-30% pada dewasa. Tanda kejang fokal ini menandakan terlibatnya serebral hemisfer oleh bakteri,sitokin atau lesi vaskuler.2,3,6,10 Diagnosa 2,6,8,9,16 1. Analisa cairan serebrospinal melalui lumbal punksi Pada fase akut dijumpai sel-sel polimorfonuklear (90%), leukositosis > 1000 sampai 10.000 sel/ ul, glucose < 40 mg/dl, Rasio analisa cairan CSF dengan glucose < 0,40 dan protein 50-500mg/dl. 2. Pemeriksaan antigen spesifik - Coagglutination - Latex agglutination 3. Pemeriksaan x-ray: skull, mastoid dan sinus paranasalis 4. Pemeriksaan neuroimaging 38 Pada fase akut meningitis bakterial, CT Scan dan MRI biasanya normal, atau dapat menunjukkan enhancement pada meningen dan ependima dengan pelebaran dari sisterna-sisterna pada basal otak dan sulkus-slkus pada korteks, akibat pengumpalan eksudat purulen. Pengobatan 2,3,5,9 1. Pemberian antibiotika spektrum luas Setelah organisme spesifik berdasarkan umur ditemukan, pemberian antibiotika dapat diganti dengan antibiotika yang sensitif. Durasi terapi tidak ditentukan secara tegas dan disesuaikan dengan respon klinis terhadap pengobatan. Meningitis yang disebabkan N. meningitidis dapat diberikan pengobatan selama 4 hari ( Crosswell et al. 2006 ), dan pada meningitis karena S.pneumoniae atau H.influenzae, diberikan pengobatan selama 4-7 hari pada penelitian metaanalisis tidak lebih buruk hasilnya dibandingkan dengan pemberian selama 7-14 hari. (Karageorgopoulos et al.2009 ). Meningitis karena Enterobacteriaceae, L.monocytogenes, bakteri lainnya atau organisme dengan sensitivitas rendah terhadap antibiotik mungkin membutuhkan pengobatan yang lebih lama. Tabel 3.Rekomendasi Terapi Empiris Antibiotik pada Meningitis Bakterial ( Swaiman’s 2012 ) Pasien dan keadaan dimodifikasi Antibiotik Dosis (IV) Neonatus/ infant <3 bulan Ampisilin + cefotaxime atau Gerntamicin 50-100 mg/kg setiap 6-8 jam 100mg/kg setiap 8-12 jam 2.5mg/kg setiap 8 jam Preterm Neonatus, BBLR Vancomycin + Ceftazidime 15mg/kg setiap 8-24 jam 100 mg/kg setiap 8-12 jam >3 tahun – 50 tahun Ceftriaxone atau Cefotaxime 100mg/kg setiap 24 jam ( maks.4g per 24 jam) 100mg/kg setiap 8 jam (maks.12g per hari) Drug-resitance Streptococcus pneumoniae Ceftriaxone+ Rifampisin atau Vankomisin 100mg/kg setiap 24 jam ( maks.4g perhari) 10-20mg/kg setiap 24 jam (maks. 600mg per 24 jam) 15mg/kg setiap 6 jam ( maks. 500mg setiap 6 jam) Bedah sarah, shunt LCS, trauma kepala Ceftazidime + Nafcillin atau Flucloxacillin ( atau Vankomisin + Aminoglikosida 100mg/kg setiap 8 jam (maks.12g perhari) 50mg/kg setiap 6 jam ( maks. 12 g perhari ) 15 mg/kg setiap 6 jam ( maks. 500mg perhari ) 2.0-2.5 mg/kg setiap 8 jam 39 2. Pemberian steroid Pemberian deksamethason dapat menghambat reaksi inflamasi dalam ruangan subarachnoid yang disebabkan oleh lisis bakteri karena pemberian antibiotika. Akibatnya terjadi penurunan konsekuensi patofisiologi dari meningitis bakteri seperti edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Dosis deksamethasone yang dianjurkan adalah 0,6 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 6 dosis. Pada literatur lain (Swaiman’s 2012 ) disebutkan dosis yang direkomendasikan adalah 0,15mg/kg setiap 6 jam yang diberikan paling lama 4 hari, sedangkan pemberian 2 hari sama efektifnya. Prognosis Lebih dari 90% meningitis bakterial akan berakibat kematian sebelum pemberian antibiotika. Penggunaan antibiotika dapat menurunkan angka kematian, tetapi walaupun telah ditemukan banyak antibiotika baru, ternyata angka kematian karena meningitis bakterial tidak berubah 20-40% dalam dekade terakhir ini. Prognosis pasien meningitis bakterial tergantung dari banyak faktor antara lain: umur pasien, jenis mikroorganisme penyebab, berat ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan dan kepekaan bakteri terhadap antibiotika yang diberikan.2,8,9 Tabel4. Faktor resiko yang berhubungan dengan buruknya prognosis pada meningitis bakterial Faktor Resiko Etiologi Streptococcus pneumoniae Bakteri enterik gram negatif Titer bakteri tinggi Pasien Bayi baru lahir Penurunan daya tahan tubuh Keparahan penyakit Advanced disease Ditemukan neurologis fokal Koma Cardiovascular compromise Tidak adanya demam Lekosit pada LCS <1000x106/L Manajemen Membutuhkan intensive care Terapi antibiotik inadekuat Kurangnya terapi anti-inflmasi Stadium meningitis Pensterilan LCS yang terlambat Keparahan komplikasi 40 2. Meningitis Tuberkulosis Definisi Meningitis tuberkulosis sendiri adalah infeksi pada meningen yang disebabkan oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberkulosis.1,2,7,10,12 Etiologi Mycobacterium tuberculosis termasuk golongan ordo Actinomycetales, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Kuman Mycobacterium tuberkulosis berbentuk batang, ramping, tidak bergerak, berukuran panjang 1-4 mikrometer dan lebar 0,3-0,6 mikrometer. Kuman ini hidup dalam lingkungan aerob dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini tumbuh optimal pada suhu rata-rata berkisar 33 – 39o C dan maksimal tumbuh di lingkungan dengan pH 6,6 – 6,8. Bakteri tuberkulosis mengandung banyak lemak karena itu bila Mycobacterium tuberculosa telah mengalami pewarnaan tidak akan kehilangan warnanya (decolorization) walaupun dengan pemberian alkohol asam sehingga dikenal istilah basil tahan asam. Kuman TB ini terdiri dari lemak dan protein. Komponen protein utamanya dikenal dengan istilah tuberkuloprotein (tuberculin).3,4,10-12 Patogenesa Patogenesa dari meningitis tuberkulosa dimulai dari adanya infeksi primer dari tuberkulosis dibagian tubuh manusia, terutama sekali pada bagian paru-paru. Hal ini terjadi sebagai akibat komplikasi dari tuberkulosis milier yang menyebabkan perluasan ke meningen atau akibat mikroemboli otak dan lintasan yang melalui dinding dari small arteries.4,10,11,12 Infeksi Mikobacterium tuberkulosis pada sistem saraf pusat dimulai perinhalasi dengan menghisap partikel yang infeksius. Droplet yang berukuran satu sampai sepuluh mikrometer akan mencapai bronkhioli terminalis atau alveoli. Setelah mencapai alveoli, organisme ini akan bermultiplikasi didalam ruang alveoli atau difagosit (dimakan) oleh makrofag yang berasal dari sirkulasi. Dari alveoli paru, makrofag ini akan bermigrasi melalui jalur limfatikus ke nodus limfatikus pada hilus. Ikut sertanya makrofag akan menghasilkan dua substansi yakni Interleukin-I (IL-1) dan tumor necrosis factors (TNF). Substansi IL-1 akan bekerja sebagai mediator demam, TNF atau kahektin akan mempengaruhi metabolisme lipid dan menyebabkan penurunan berat badan.7,12 Pada stadium awal dalam dua sampai empat minggu pertama, infeksi menyebar secara hematogen ke seluruh tubuh. Organ paru, hati, limpa dan sumsum tulang akan menjaring mikroorganisme ini dari darah. Organ-organ lain yang tidak termasuk dalam sistem retikuler endotelial seperti otak dan sumsum tulang akan menjaring sedikit mikroorganisme ini. Pada stadium ini belum terjadi respons terhadap infeksi. Dua sampai empat minggu atau dalam 30 hari setelah infeksi tersebut baru akan terbentuk imunitas seluler terhadap organisme, limfosit T akan dirangsang oleh antigen bakteri untuk 41 menghasilkan limfokin, yang kemudian akan menarik dan mengaktifkan fagosit mononuklear dari aliran darah.7,13 Respons imun yang didominasi oleh sel T helper ini berkembang dari nodus limfatikus pada hilus kebeberapa tempat. Pada saat ini test tuberkulin pada kulit akan menjadi positif, dan pada foto toraks akan tampak bercak-bercak densitas. Respons pertahanan immunologis akan menghambat proliferasi organisme dan menghambat penyebaran lokal, sementara makrofag yang diaktivasi oleh sel T akan mulai membunuh organisme atau menghambat pertumbuhannya. Pada saat ini sejumlah bakteri sudah tersebar keseluruh tubuh ( terutama pada nodus limfatikus didaerah hilus), membentuk tuberkel yakni granuloma kecil yang terdiri sari sel epitel, giant sel, makrofag dan limfosit yang mengelilingi ini kaseosa dan jaringan nekrotik, dikenal dengan istilah fokus Rich.10,12 Pada otak, granuloma terletak dekat ventrikel ini akan melepaskan basil Mikobacterium tuberkulosis kedalam CSF, organisme ini kemudian menyeberang ke ruang subarchnoid terutama didaerah sisterna basalis. Granuloma yang terletak disekitar saraf kranial akan menyebabkan disfungsi saraf kranial. Selain itu juga meningitis basalis akan menimbulkan infark karena penyumbatan arteri dan vena, hidrosefalus internus, perlengketan kanalis sentralis yang akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.11,12 Berdasarkan penelitian secara klinis Rich dan Mc Cordock (cit. Garg, 1999) menemukan bahwa tuberkulosis SSP terjadi dalam dua stadium yakni:13 1. Stadium awal Lesi tuberkulosis yang kecil (Fokus Rich) timbul didalam SSP bersamaan dengan stadium bakteriemi dan infeksi tb primer atau segera setelahnya. Lesi awal ini dapat ditemukan di meningen, permukaan subpial atau subependimal dari otak atau medula spinalis dan tetap dorman dalam beberapa tahun setelah infeksi pertama. 2. Stadium lanjut Terjadinya ruptur atau pembesaran dari satu atau lebih lesi Fokus Rich ini yang akan menimbulkan berbagai keadaan tuberkulosis SSP. Patologi Menurut Rich pada tahun 1951 (cit Garg 1999):13 1. Tuberkel milier disseminata (Disseminated milliary tubercles) Merupakan 75 – 80% dari tuberkel milier generalisata. Jumlahnya biasanya sedikit sehingga diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendapatkannya pada meningen. Tuberkel tersebut lebih sering ditemukan pada bagian lateral dari lobus parietal dan temporal atau pada kedua sisi dari fissura sylvii serta sepanjang pembuluh darah kecil di daerah tersebut. Jenisnya dapat berupa sel epiteloid padat atau kaseosa akut sesuai dengan tuberkel ditempat lain dalam tubuh. 2. Plak kaseosa fokal (The focal caseous plaque) 42 Dianggap sebagai sumber dari meningitis difus, ukurannya bermacam-macam mulai dari satu atau dua millimeter sampai sentimeter. Sering ditemukan pada bagian dalam sulkus, berentuk bulat atau irregular. 3. Meningitis proliferatif (Proliferative meningitis) Khas ditandai oleh banyaknya fibroblast yang lebih sering merupakan proses lokal pada sisi lesi tuberkulosis di korteks atau meningen. 4. Meningitis kaseosa inflamasi akut (Acute inflammatory casous meningitis) Bentuk difus dari lesi ini dianggap sebagai meningitis tuberkulosis, biasanya terlokalisir yang disertai perkejuan dari tuberkel didaerah korteks. Gambaran Klinis Beratnya klinis dari meningitis tuberkulosa dapat diklasifikasikan berdasarkan British Medical Research Council yang terdiri dari 3 stage, yakni:14 Tabel 1.Stage klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa. Dikutip dari: Singhi P, Singhi S. Current Treatment Options in infectious Disease 2001. Stage Klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa Stage I ( awal ) ( 1-2 minggu) -Tanda dan gejala tidak spesifik ( demam, malaise, nyeri kepala, iritabilitas ) -Tak ada penurunan kesadaran -Tak ada defisit neurologi Stage II ( lanjutan ) -Iritasi meningeal -defisit neurologis minor ( kelumpuhan nervur cranialis ) Stage III -Pergerakan abnormal -Konvulsi -Stupor atau koma -Defisit neurologis berat ( hemiplegia, paraplegia, deserebrasi ) Menurut Misra UK (2001), gambaran klinis meningitis tuberkulosa dan anak-anak dan dewasa dapat dilihat pada table 2.yakni:12 Tabel 2. Gambaran klinis pada Meningitis TB pada anak dan dewasa. Dikutip dari: Misra UK (2001) Educational Course Literature. World Congress of Neurology XVII, London Gambaran Anak (%) Dewasa (%) Gejala - Nyeri Kepala 20-50 50-60 - Mual, muntah 50-75 8-40 - Apatis, perubahan perilaku 30-70 30-70 - Kejang 10-20 0-13 - Riwayat TB sebelumnya 55 0-12 43 Tanda - Demam Meningismus Lumpuh saraf kranial Koma 50-100 70-100 15-30 30-45 60-100 60-70 15-40 20-30 Ahuya dan kawan-kawan ( cit Garg,1999 ) menegakkan diagnosis tuberkulosis berdasarkan gejala klinis, perubahan CSF dan gambaran neuroimaging. Gejala klinis dapat berupa panas badan dan nyeri kepala lebih dari 14 hari, muntah, penurunan kesadaran atau defisit neurologis fokal. Perubahan CSF berupa terdapatnya pleositosis ( jumlah sel >20, jumlah limfosit >60% ), peningkatan protein CSF >100 mg/dl, penurunan kadar glukosa CSF <60% kadar glukosa darah, pemeriksaan tinta India dan pemeriksaan mikroskopis untuk sel ganas negatif. Pemeriksaan neuroimaging menunjukkan eksudat pada sisterna basalis atau hidrosefalus, infark pada ganglia basalis, penyengatan/ enhancement pada girus, dan terbentuknya tuberkuloma.13 Pemeriksaan Penunjang 1. Analisa cairan serebrospinal;1,2,4,9,10,16,17 - Warna : Jernih atau opalescent - Tekanan : Tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar antara 40-75% pada anak-anak dan 50% pada dewasa. - Glukosa : Penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. Dikatakan kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar glukosa darah, dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10 mg/dl. - Protein : Akan meningkat mencapai 150-200mg%. - Sel : Pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB, pada 90100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3 cairan serebrospinalis umunya mencapai 300/mm3. - Mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus yang positif. 2. Laju Endap darah (LED) hanya menunjukkan sedikit peningkatan yakni 18-90 mm/jam, rata-rata 57 mm/jam.7-12 3. Pemeriksaan Radiologik - Head CT scan: dapat menunjukkan gambaran ‘isoatenuasi’ atau ‘hiperatenuasi’ pada sisterna basalis pada pemeriksaan tanpa zat kontras dan memberikan penyegatan yang homogen setelah pemberian zat kontras. Head CT scan serial berguna untuk identifikasi komplikasi yang baru terjadi seperti hidrosefalus, area kalsifikasi, ensefalomalasia, osteitis tb dari kranium, dan osteomastoiditis tb.14,16 - MRI lebih sensitive daripada Head CT untuk mendeteksi adanya meningitis basal, infark serebri, hidrosefalus dan tuberkuloma pada parenkim.17 44 4. Arteriografi dapat menunjukkan adanya arteritis pada sirkulus Willisi atau cabangcabangnya yang terlibat dalam proses meningitis basal. Pembuluh darah yang terkena ditemukan adanya penyempitan dan oklusi ditandai dengan area yang irregular.12,13 5. Reaksi imunologis terhadap tuberculosis diperlihatkan oleh test kulit tuberculin ( Test mantoux). Tuberkulin sendiri adalah material protein yang dibentuk oleh mikobakterium tuberkulosa. Campuran protein ini dikenal sebagai PPD (Purified Protein Derivate). Test mantoux umumnya positif, tetapi pada 25% kasus dapat memberikan reaksi negative, terutama pada kasus lanjut, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid atau pada keadaan umum yang buruk, keadaan malnutrisi, kelemahan umum dan imunospuresi oleh penyakit sistemik yang berat.10,12 Pengobatan Obat Dosis harian Lama pengobatan ( mg/kgBB/hari ) INH 10 12 bulan Rifampisisn 5 12 bulan Pirazinamid 15 – 40 2 bulan Streptomisin 15 – 40 1 – 3 bulan Prednison 1–2 4 – 8 minggu, tap off 2 – 4 minggu ENSEFALITIS Ensefalitis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat pada parenkim otak. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis pada anak yang terbanyak adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan western Equine St Louis encephalitis. Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (coxsackie dan echovirus), parotitis, adenovirus, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus. Enampuluh persen penyebab ensefalitis tidak diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira-kira 67% berhubungan dengan penyakit infeksi pada anak seperti parotitis, varisela, morbili dan rubela, 20% adalah dari kelompok arbovirus dan Herpes simplex, 5% dari kelompok Enterovirus, sisanya dari agent lainnya.5-7 ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS Definisi Merupakan infeksi pada parenkhim otak yang ditandai dengan demam, kejang, perubahan kesadaran serta defisit neurologi fokal, sering berakibat fatal yang disebabkan oleh virus herpes simpleks.1,2 Epidemiologi 1,2,5,6 Herpes simpleks merupakan salah satu penyebab dari penyakit ensefalitis akut. Biasanya merupakan penyebab nonepidemik, sporadic ensefalitis fokal akut. Sekitar 200 kasus terjadi setiap tahun di USA dan ditaksir 10% dari semua kasus ensefalitis disebabkan virus herpes simplek, 30-70% dari kasus ini adalah fatal. Mayoritas dari 45 penderita yang hidup setelah pengobatan akan mendapatkan gangguan neurologis. Virus ini mengenai semua umur dan segala jenis suku bangsa. Penyebab tersering dari HSV ensefalitis adalah HSV tipe 1 yang juga merupakan kausa dari lesi herpes pada mukosa mulut. HSV tipe 2 bisa juga mengakibatkan akut ensefalitis umumnya terjadi pada masa neonatus dan punya hubungan dengan terjadinya infeksi virus herpes pada genitalia ibu. Ensefalitis herpes simplek ini kira-kira 20% terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan setengahnya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Patogenesis dan Patologi 1,2 Infeksi herpes simplek merupakan infeksi primer yang masuk melalui mukosa membrane pada manusia. Pada anak-anak infeksi ini kebanyakan asymptomatic sedangkan pada orang dewasa ditandai dengan terjadinya gingivostomatitis, keratitis atau dijumpai herpes genitalia yang biasanya berat, nyeri disertai manifestasi sistemik. Virus ini mengadakan replikasi pada pintu masuk kemudian bergerak ke ganglia sensorik, kemudian menyebar secara intra axonal. Virus akan terus berada di neuron sensorik terutama pada ganglia tregiminal, saraf simpatik servikal atas, ganglia vagus jugularis dan ganglia sacralis. Keberadaan di otak akan terlihat pada system olfaktorius dan nucleus trigeminus di mesensefalon. Di otak akan dijumpai adanya edema, nekrosis, perubahan mikroskopis, infiltrate parenkim yang terdiri dari dari limfosit T (T4, T8), macrophage dan granulosit. Ensefalitis ini lokasinya khas yaitu pada bagian tengah lobus temporalis dan bagian orbital dari lobus frontalis, jarang terjadi pada batang otak. Lesi cenderung menyebar disepenjang girus cingulus dan kadang-kadang pada bagian lateral lobus temporalis biasanya bilateral tetapi tidak simetris. Adanya infeksi pada hidung dan traktus olfaktorius akan mengaktifkan virus yang terdapat pada ganglia trigeminus. Kriteria Diagnosis 1,2,10 Klinis Gejala akut, nyeri kepala, panas badan, kejang, penurunan kesadaran, defisit neurologis fokal, gangguan tingkah laku. Laboratorium Pemeriksaan lumbal pungsi: warna jernih, kadang-kadang kemerahan, sel normal atau sedikit meningkat, Pleositosis( range 10-500 sel per mm3), protein sedikit meningkat ( 60-150 mg/dl), glukosa normal (40 mg/dl).. Radiologi MRI terdapat kelainan di lobus temporal. MRI punya sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan CT pada kasus ensefalitis. MRI pada fase akut memperlihatkan penambahan lobus temporalis dan frontalis yang dikelilingi edema dengan gambaran hipointense pada T1 weighted dan fiperintense pada T2 weighted. Pada stadium kronik MRI akan memperlihatkan hilangnya substansi, nekrosis otak, pelebaran dari sulkus dan 46 dilatasi ventrikel. EEG Sering memperlihatkan gambaran periodik voltage tinggi 2-3 Hz gelombang spike dan sharp pada lobus temporalis. Gambar. EEG pada pasien dengan ensefalitis herpes simpleks. Pola EEG meliputi perlambatan fokal, spike, paroxysmal lateralizing epileptiform dishgarges. Aktivitas focal-temporal atau lateralized polymorphic delta adalah perubahan yang paling awal terlihat. Perlambatan difus kemudian mengikuti, dengan kecenderungan temporal yang persisten. Komplek pseudoperiodik terlihat pada EEG serial pada dua dari tiga kasus yang dibuktikan dengan biopsi, muncul disepanjang regio temporal di awal stadium penyakit, biasanya dalam 1 bulan dari onset penyakit. ( Adapted from: Goldstein MA and Harden CL. Infectious states. In: Ettinger AB and Devinsky O, eds. Managing epilepsy and co-existing disorders. Boston: Butterworth-Heinemann; 2002;83-133. With permission from Elsevier (www.elsevier.com). ) Gold standar PCR, IgM dan IgG HSV 1 (pada anak dan dewa dapat dilakukan segera, karena baru + setelah minggu pertama. Diagnosis Banding 1,2,10 Meningitis virus, Abses otak, stroke. Penatalaksanaan 1,2 Medikamentosa - Asiklovir 10 mg/kgBB/kali iv diberikan setiap 8 jam selama 10 hari. Diberikan sedini mungkin dan boleh diberikan bila terdapat kecurigaan terhadap ensefalitis herpes simpleks dan dihentikan bila terbukti bukan ensefalitis 47 herpes simpleks. - Manitol bila terdapat oedem otak atau tekanan intrakranial yang meningkat - Antikonvulsan bila ada kejang - Antipiretik - Antibiotika untuk infeksi sekunder - Surgical decompression, dilakukan untuk mencegah herniasi pada kasus-kasus dimana terjadi penginggian tekanan intrakranial yang cepat. Suportif - Monitoring tanda vital - Evaluasi status neurologi setiap hari - Mengatasi gangguan nafas - Monitoring intake dan output, elektrolit - Pengukuran lingkar kepala - Nutrisi yang baik Daftar Pustaka 1. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York, Mc Graw Hill. 2000 2. Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. 7th ed.Lippincott William & Wilkins. 2005. 3. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. The Lancet 1985, 346:1675-80. 4. Machfoed MH. Recent Advance in Tuberculous Meningitis; Clinic, Diagnostic and Therapeutic aspects. Neurona 2004;21:24-31. 5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Disease. 24th ed. American Academy of Pediatrics.1997. 6. Darto Suharso, Siti Nurul Hidayati. Infeksi SSP pada Anak. Buku Ajar Neurologi Anak. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit BP IDAI, 1999:339-85. 7. Shakir RA, Newman PK, Poser CM. Tropical Neurology. London. WB. Saunders, Company. 1996. 8. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. Americ. Family Physians. 1997, 56(5):1355-62. 9. Quangliarello V, Scheld WM. Bacterial meningitis. Pathogenesis, pathofisiology and Prognosa. NEJM 1997, 36(10):708-716. 10. Buku Pedoman SPM dan SPO Neurologi. Perdossi. Jakarta.2006. 11.Zugar A. Tuberculosis. In: Scheld WM, Whitney RJ, Marra CM. Editors. In : Infectious of the Central Nervous System. 3rd ed.Philadelphia Lippincott Williams & Wilkins, 2004.p.441-56. 12.Misra UK. Tuberculous meningitis. Educational Course literature. World Congress of Neurology XVII. London.2001. 13. Garg RK. Tuberkulosis of the CNS. Postgrad Med J. 1999;75:133-140. 14.Singhi P, Singhi S.Current Tratment option infectious Disease. 2001. 48 15.Ogawa KS, Smith MA, Brennesel DJ. Tuberculos Meningitis in an Urban medical Center Medicine, 1987;6:317-26. 16.American Academy of Pediatrics. Task Force on diagnosis and Management of meningitis. Diagnosis and management of Meningits. Pediatr. 1986:8:959-82. 17.Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman R. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York.Mc Graw Hill.1999. SSPE ( Subacute Sclerosis Panencephalitis ) Pendahuluan SSPE, penyakit yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi virus lambat dari sistem susunan saraf pusat yang berhubungan dengan infeksi campak (measles). (www.medscape.com) SSPE, keadaan yang terbilang jarang pada wilayah yang mempunyai programimunisasi campak, mulai 5-10 tahun setelah infeksi campak dan biasanya mengenai anak-anak usia rata-rata 7 tahun. Gangguan ini menimbulkan perjalanan gejala yang khas, dimulai dengan penurunan kognisi dan perilaku yang tersembunyi dan membahayakan yang mirip dengan gangguan psikiatri. Myoklonus, gejala yang menonjol pada fase lanjutan SSPE, termasuk ekstremitas, trunkus, atau kepala, dan kejang fokal atau umum yang timbul bersamaan. Dengan berlanjutnya gangguan, kemampuan bicara dan intelektual juga memburuk; myoklonus semakin hebat dan kelainan neurologis lainnya seperti koreoar=tetosis, bradikinesia atau rigiditas, muncul. Rangkainan gangguan ini diakhiri dengan debilitas, koma, dan kematin. Sekitar setengah dari pasien mengalami korioretinitis dan kerusakan penglihatan; hanya sedikit kasus yang terjadi pada orang dewasa, atau memiliki gejala yang atipikal dengan perburukan cepat dan meninggal. ( swaiman’s 2012) Patogenesis Perjalanan penyakit dari SSPE walau masih tidak jelas, menggambarkan replikasi yang buruk dari virus measles di jaringan saraf. ( swaiman’s 2012) Pemeriksaan Penunjang - Pasien dengan SSPE memiliki tingkat imunoglobulin LCS yang tinggi, ikatan oligoclonal dan meningkat nilai sintesis IgG, menunjukkan produksi masif dari measlesspecific IgG. Peningkatan titer IgG dari measles-specific IgG menyebabkan pengambilan diagnosis SSPE dan RNA virus measles dapat dideteksi di LCS atau plasma dengan reverse transcription PCR. ( swaiman’s 2012) - EEG : sangat spesifik dan ditandai dengan kompleks periodik amplitudo tinggi yang bilateral, bianya sinkron dan simetris. Sangat khusus dan terdiri dari dua atau lebih gelombang delta dengan atau tanpa gabungan dengan komponen gelombang tajam. Kompleks periodik berulang dengan reguralitas sedang setaip 4 – 10 detik dan terdapat hubungan 1 : 1 dari kompleks periodik EEG dengan sentakan myoklonik saat muncul. Pada stadium awal penyakit, kompleks periodik dapat ditemukan iregular dan interval 49 panjang dimana tidur dapat mengaktifkan. Perekaman saat tidur direkomendasikan pada kasus tersangka SSPE dimana pemeriksaan saat tidak tidur tidak ditemukan kompleks periodik. Pada stadium awal juga terdapat kompleks periodik yang berhunungan dengan sentakan myoklonik asimetris kontralateral dengan kompleks periodik. Pada stadium penyakit selanjutnya, kompleks periodik dapat simetris bilateral dan sinkron. (Semin Neurol. 2003;23(1) © 2003 Thieme Medical Publishers. Diunduh dari www.medscape.com ) - MRI : biasanya terlihat perluasan T2 di subkortikal dan periventricular white matter dan terkadanga atropi kortikal. Daftar Pustaka 1. INFEKSI KONGENITAL PADA SISTEM SARAF PUSAT Pendahuluan Infeksi TORCH (Toxoplasma gondii, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes simpleks) masih menjadi penyebab utama terjadinya infeksi kongenital. Walau metode ahli laboratorium sudah mengganti titerer asli TORCH dan patogen baru telah ditmbahkan k dalam daftar penyebab, TORCH tetap telah berkembang, namun atorch tetap contoh yang berguna, menegaskan bahwa janin yang terinfeksi di dalam uterin, memiliki manifestisitas klinis yang sama pada anak yang lebih besar. Epidemiologi Cytomegalovirus menjadi penyebab tersering pada anak-anak di negara berkembang, menginfeksi sekitar 1% bayi baru lahir, biasanya asimtomatis. Pada anak dan dewasa terinfeksi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Fetus terinfeksi dalam 40% infeksi CMV maternal primer. Rubella sudah jarang menjadi penyebab karena perkembangan imunisasi. Rubella menular melaui kontak dengan udara yang terinfeksi. Virus Herpes simpleks tipe 1 dan 2 menginfeksi kira-kira 1000 bayi per tahunnya, menyebabkan penyakit mukokutaneus atau invasif pada neonatus namun jarang kongenital. HSV menyebar melalui kontak langsung dengan permukaan mukosa orang yang terinfeksi. Varicella zoster virus ( VZV ) penyebab varicella dan herpes zoster, terkadang mengakibatkan infeksi kongenital, the fetal varicella syndrome. Ibu yang selama kehamilan trimester pertama atau kedua terinfeksi VZV memiliki 2% kemungkinan melahirkan bayi dengan varicella syndrome. Virus menyebar via kontak dengan orang yang terinfeksi atau lewat udara. Toxoplasma gondii dapat menginfeksi manusia karena mengkonsumsi makanan, buah, sayur yang terkontaminasi dengan organisme ini. Sekitar 0,1-2% populasi dewasa 50 terinfeksi Toxoplasma Gondii pertahunnya dan infeksi dapat menyebar pada 40% fetus dari wanita hamil dengan infeksi tersebut. Treponema pallidum mengakibatkan sifilis kongenital akibat penyebaran infeksi intra uterin, angka kejadiannya rendah pada hampir seluruh negara yang sudah maju. Ibu dengan infeksi sifilis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kematian janin, kelahiran mati, abortus dan infeksi kongenital. Klinis CMV: 90% bayi baru lahir dengan infeksi CMV tidak menampakkan gejala pada saat lahir. Bayi dengan infeksi CMV simtomatis menunjukkan retardasi perkembangan intrauterin, jaundice, hepatosplenomegali, mikrosefali, korioretinitis, dan ptekiae atau purpura. Rubella: katarak, retinopati, mikro-oftalmia, mikrosefali atau hilang pendengangaran tipe sensorineural, meningoensefalitis, osteopati, pneumonitis, hepatitis, hepatosplenomegali, trombositopenia, jaundice, miokarditis, patent ductus arteriosus, stenosis katup, ventricular atau atrial septal defect HSV: lesi pada kulit, korioretinitis atau katarak, mikroftalmia, mikrosefali atau hidranensefali dan sangat menyerupai neonatus dengan fetal varicella syndrome. VZV: bayi dengan fetal varicella syndrome menunjukkan lesi di kulit, korioretinitis, mikroftalmia, katarak, paralisis, mikrosefali, hidrosefalus, hipoplasia tungkai, Sindrom Horner kongenital. Sikatriks menjadi tanda khas yaitu jaringan parut dan pembentukan kulit baru yang sesuai denagn distribusi dermatom. Lymphotic choriomeningitis virus (LCM): korioretinopati, makrosefali, mikrosefali, lesi kulit bulosa atau vaskular. Arbovirus (VEE dan WNV): bayi dengan infeksi Arbovirus dapat mengalami lahir mati atau bila bertahan menjadi mikrosefali, mikroftalmia, hidranensefali, atau lesi hemoragik dari susunan saraf pusat. Keturunan dari wanita dengan WNV selama kehamilan dapat terkena korioretinitis dan ensefalomalasia kistik. Parvovirus B19: aplasia sel darah merah, anemia, gagal jantung. Infeksi berat dpat mengakibatkan hydrops fetalis yang menyebabkan hipoperfusi serebral dan sekuele SSP ) T. gondii : jaundice, splenomegali, hepatomegali, demam, anemia, korioretinitis, hidrosefalus atau mikrosefali dan petekiae, tombositopenia sekunder. T. cruzi : bayi dengan Chaga’s disease kongenital meunjukkan hepatosplenomegali, jaundice, anemia, respiratory distress, kejang, bony lesions yang mirip dengan sifilis kongenital atau CRS. Tabel 1.Manifestasi Klinis sesuai organisme penyebab Organisme Manifestasi Klinis Cytomegalovirus Hepatosplenomegali, jaundice, petechial rash, mikrosefali, korioretinitis, sensorineural hearing loss 51 Rubella Herpes Simplex Viruses Varicella zoster virus LCMa virus Arbovirus Toxoplasma gondii Trypanosoma cruzi Trepanoma pallidum Hepatosplenomegali, jaundice, petechial rash, mikrosefali, osteopati, koreoretinopati, katarak, sensorineural hearing loss Mikrosefali, katarak, vesicular skin rash, cystic encephalomalacia, mikroftalmia Hidranensefali, katarak, mikroftalmia, sikatriks, hipoplasia tungkai, congenital Horner syndrome Hidrosefalus, mikrosefali, korioretinitis Korioretinitis, hidranensefali, cystic encephalomalacia Hepatosplenomegali, jaundice, hidrosefalus, korioretinitis Hepatosplenomegali, jaundice, kejang, osteopati Fase Awal : intrauterine growth retardation, rash, hepatosplenomegali, jaundice, limfadenopati, pseudoparalisis, osteokondritis. Fase Lanjut : tuli sensorineural, abnormalitas gigi, saddle nose, saber shins, hidrosefalus Diagnosis Infeksi kongenital harus dicurigai pada bayi baru lahir dengan jaundice, hepatosplenomegali, rash, kejang, makrosefali, mikrosefali, korioretinitis atau katarak. Pada gejala khusus seperti ukuran kepala besar saat lahir, lesi pada kulit, dan adanya penyakit jantung kongenital. Bagan 1. Diagnosis infeksi kongenital Bayi baru lahir dengan suspek infeksi kongenital Makrosefali Yes No 52 Pemeriksaan serologis T. gondii untuk CMV Kultur urine Positif Negatif Negatif Positif Bayi Bayi dengan Toksoplasmosis Kongenital CMV Kongenital dengan Infeksi Hasil pemeriksaan Virus LCM Positif Bayi dengan infeksi kongenital virus LCM Toksoplasmosis Kongenital Negatif Hasil pemeriksaan T. gondii Negatif Positif Bayi dengan Re-evaluasi bayi dan hasil pemeriksaan mikrobiologi. Ambil kultur urine baru. Pertimbangkan infeksi lain kelainan genetik dan metabolik sebagai diagnosis banding Pemeriksaan Penunjang -Laboratorium : dapat ditemukan pada infeksi kongenital trombositopenia, anemia, leukopenia, direct hiperbilirubinemia, peningkatana transaminase hepar. 53 CSF dapat normal atau menunjkkan mixed pleocytosis, penurunan minimal kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. -Roentgent: osteokondritis, pneumonitis -CT Scan : Dapat dilakukan pada periode perinatal. Kalsifikasi intrakranial sebagai penanda infeksi intra-uterin pada bayi dengan infeksi kongenital, terdapat di periventrikular untuk CMV, rubella, LCM virus namun dapat difus pada toxoplasmosis kongenital atau juga thalamus atau ganglia basal simetris pada infeksi HSV dan VZV. Leukomalasia periventrikular juga sering terjadi bersama kalsifikasi intrakranial pada bayi dengan infeksi CMV dan CRS. -Pemeriksaan tambahan : pemeriksaan oftalmologi, audiometri, CRS, evaluasi kardiak -Mikrobiologi : mendeteksi virus pada saliva dan urin yang diambil sampelnya pada usia 3 minggu pertama bayi dengan infeksi CMV intra uterin. Ineksi CRS dengan mendeteksi virus pada cairan tubuh ( sekret nasal, urin, LCS) rubella ditemukan IgM spesifik virus pada serum. Terapi -CMV : ganciclovir dosis 8 atau 12 mg/kgBB/hari intravena selama 6 minggu. Congenital rubella syndrome : karena tidak dapat diberikan terapi antiviral, maka diberi vaksinasi saat usia 12-15 bulan dan usia sekolah 4-6 tahun. -HSV : acyclovir 60mg/kgBB/day iv dibagi dalam 3 dosis selama 21 hari. -VZV : acyclovir 60mg/kgBB/hari iv dibagi dalam 3 dosis selama 7-14 hari.belum ada terapi efektif dengan sindrom varicella kongenital karena dengan pemberian acyclovir memberikan efek samping pada perkembangan otak seperti cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, hilang penglihatan, epilepsi. -LCM, Arbovirus, Parvovirus B19 : Belum ada terapi efektif. -Toksoplasmosis kongenital : pirimetamin 1mg/kgBB/hari per oral setiap 2-3 hari serta sulfadiazin 100-200mg/kgBB/hari per poral setiap hari, Asam folat 5-10mg 3 kali dalam seminggu diberikan bersamaan. Terapi agresif dan bedah saraf juga dapat mengurangi kemungkinan sekuele perkembangan saraf pada infeksi toksoplasmosis intra-uterin. Pada salah satu penelitian, 79% bayi yang mengalami perkembangan mental dalam batas normal dan anak dengan hidrosefalus bereaksi baik pada pemasangan shunt. -Trypanosoma cruzi : Nifurtimox atau benznidazole 7 mg / kgBB selama 60 hari -Treponema pallidum : penisilin G 50.000 U/kg iv setiap 12 jam saat minggu pertama kehidupan kemudian setiap 8 jam, setelahnya dengan total 10 hari. Pilihan lain penisilin prokain G im dengan dosis 50.000 U/kg sekali sehari selama 10 hari. Daftar Pustaka Singer H S, Kossoff E H, et all. “Treatment of Pediatric Neurologic Disorders”. Congenital Infectious and the Nervous System. Pg 279-86. 2005. 54 ABSES OTAK PADA ANAK Puji Pinta O. Sinurat Departemen Neurologi FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan Pendahuluan Abses otak merupakan timbunan nanah akibat inflamasi dan penumpukan material penginfeksi yang terlokalisasi di dalam jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau tidak.1 Meskipun jarang, abses otak pada anak merupakan keadaan yang serius dan dapat mengancam kehidupan. Penyebab infeksi yang paling sering adalah bakteri dan virus, akan tetapi meskipun jarang; parasit, jamur, dan jenis kuman lain juga dapat menginfeksi.2,3,4 Sumber infeksi bisa berasal dari infeksi pada struktur yang berdekatan (seperti pada otitis media kronik, infeksi gigi, mastoiditis atau sinusitis), secara sekunder akibat perluasan hematogen dari tempat yang jauh (terutama pada pasien dengan penyakit jantung kongenital sianotik), paska trauma, operasi tengkorak atau paska meningitis (jarang).3,5,6 Berdasarkan lokasi abses di otak dapat diperkirakan kemungkinan lokasi lesi primer, misalnya infeksi telinga tengah menyebabkan lesi di fossa kranii media dan posterior, penyakit jantung kongenital dengan pirau dari kanan ke kiri sering menyebabkan abses pada area distribusi arteri serebri media, dan infeksi sinus frontalis dan ethmoidalis biasanya di sinus-sinus subdural.7 Otitis media kronik dan mastoiditis umumnya meluas ke lobus temporalis inferior dan serebellum. Infeksi sinus frontal atau ethmoid dan infeksi gigi ke lobus frontalis.3 Sedikitnya 15% kasus tidak diketahui sumber infeksinya (Cyptogenic).3,4,7 Computerized tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) scan merupakan alat pemeriksaan penting yang mampu mendiagnosa infeksi secara akurat.1-8 Hal yang sangat penting dalam penanganan abses otak adalah pemilihan antimikroba yang tepat, sesuai dan mempunyai daya penetrasi yang baik ke otak. Abses otak terutama pada fase serebritis dini dapat berespon terhadap terapi antimikroba tanpa memerlukan drainase bedah. Dengan adanya antimikroba dan meningkatnya ketersediaan imaging saat ini, angka kematian akibat abses otak telah menurun hingga < 5-15%. Tingginya angka kematian (hingga > 80%) erat kaitannya dengan rupturnya abses.3 Definisi Abses otak adalah terdapatnya timbunan nanah yang terlokalisasi dalam jaringan otak, baik itu disertai pembentukan kapsul ataupun tidak.1 Epidemiologi Insidens suatu abses diperkirakan berkisar antara 0,3 – 1,3 per 100.000 penduduk pertahun. Lebih sering mengenai laki-laki dari pada wanita dengan perbandingan 3:1. Dapat terjadi sepanjang masa usia anak tetapi paling sering pada usia 4 – 8 tahun. Lebih kurang 80% abses berlokasi di hemisfer serebri baik di lobus frontal, parietal dan temporal dan sisanya 20% kasus di lobus occipital, serebellum 55 dan batang otak. Umumnya tunggal tetapi 30% multiple dan melibatkan lebih dari satu lobus otak.5 Di USA, sebelum munculnya pandemik AIDS diperkirakan jumlah kasus 1 dalam 10.000 pasien yang datang ke rumah sakit, atau 1500 – 2500 kasus setiap tahunnya. Prevalensinya pada pasien AIDS lebih tinggi, sehingga angka rata-rata secara keseluruhan menjadi meningkat. Frekuensi abses yang disebabkan oleh jamur telah meningkat akibat seringnya penggunaan antimikroba berspektrum luas, obat-obat immunosupressif dan kortikosteroid.6,7 Dengan diperkenalkannya antimikroba dan ketersediaan studi imejing seperti CT scan dan MRI, angka kematian telah menurun hingga kurang dari 5-15%. Rupturnya abses menyebabkan meningkatnya angka kematian higga 80%. Sekuele pada pasien yang selamat bervariasi dari 20-70% tergantung pada seberapa cepat diagnose ditegakkan dan pemberian antibiotika.3,5 Sutomenggolo dkk selama tahun 1986 – 1989 telah merawat sejumlah 20 pasien anak berusia antara 1- 12 tahun di RSCM, dan sejumlah 45 pasien berusia 0– 10 tahun di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1989 – 1994 di mana dilaporkan sebanyak 24% meninggal dan 58% menderita gejala sisa. Ditemukan insidens yang lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (3 : 1). 1 Etiologi Organisme penyebab yang paling sering sesuai dengan urutan frekuensinya adalah streptokokus anaerobik dan mikroaerophilik, Fusobacterium spesies, streptokokus betahemolitikus, staphilokokus aureus dan pneumokokus. Aktinomises (Gram positif), Bakterioides dan Gram negatif bentuk batang lainnnya terutama spesies Haemophilus kelihatannya lebih jarang. Meskipun lebih jarang, Aspergillus dan Nocardia atau protozoa seperti Toxoplasma menimbulkan abses pada host nonimmunocompromised.3 Keadaan tertentu yang dihubungkan dengan organisme penyebab abses otak antara lain:3 Infeksi sinus dan gigi : Streptokokus aerobik dan anaerobik, basil gram negatif anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium, Stapilokokus aureus, Enterobakteriaseae. Infeksi pulmoner : Streptokokus aerobik dan anaerobic, basil gram negatif anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium, Aktinomises, Nokardia. Penyakit Jantung Kongenital : Streptokokus aerobik dan mikroaeropilik, Stapilokokus aureus. Trauma tembus : Stapilokokus aureus, Streptokokus aerobik, Enterobakteriaseae, klostridium. Transplantasi : basil gram negatif aerobik, Aspergillus, Kandida, Mucorales. Infeksi HIV : T. Gondii, Mycobacterium, Cryptococcus, Nokardia, Listeria monocytogenes. 56 Patogenesis 2 Dalam kejadian abses otak selalu dijumpai adanya keadaan patologik di tempat yang berdekatan ataupun di tempat jauh. Menurut pengalaman Ersahin dkk, tahun 1944 (cit. Maria BL), abses yang disebabkan oleh meningitis terjadi pada 36% kasus, otitis 27%, trauma kepala 16% dan penyakit jantung kongenital 9%. Abses multiple terjadi pada 29% anak-anak. Hasil studi Children’s Hospital Boston melaporkan bahwa penyakit jantung kongenital merupakan faktor predisposisi yang paling sering antara tahun 1981 –2000 dan tahun 1945-1980(cit. Maria BL). Paling sedikit sedikitnya 15% kasus abses serebri tidak diketahui sumber infeksinya (cryptogenic). Patofisiologi Abses otak sering terjadi bila bakteri atau jamur menginfeksi bagian dari otak, dan sebagai respon terjadilah inflamasi. Sel-sel otak yang terinfeksi, sel-sel darah putih dan mikroorganisme yang hidup maupun yang sudah mati berkumpul dalam suatu area yang terbatas di otak. Area ini menjadi tertutup oleh suatu membran yang terbentuk disekelilingnya dan membentuk suatu massa. Adakalanya respon immun ini dapat melindungi otak dengan cara mengisolasi infeksi, namun dapat juga lebih merugikan. Otak membengkak oleh karena inflamasi, dan massa dapat menekan jaringan otak yang lembut. Material yang terinfeksi dapat memblok pembuluh darah otak untuk selanjutnya merusak jaringan otak yang menyebabkan kematian sel dan menambah sel yang mengalami pembengkakan. Multipel abses jarang terjadi kecuali pada pasienpasien immunocompromised. Infeksi dapat memasuki kompartemen intrakranial melalui 3 cara yakni: 3 1. Contiguous Suppurative Focus (45-50% kasus) Perluasan langsung dapat terjadi melalui area nekrotik dari osteomielitis di dinding posterior sinus frontalis, sinus spenoidalis dan ethmoidalis. Perluasan langsung ini lebih sering berhubungan dengan infeksi otitis kronik dan mastoiditis dibandingkan dengan sinusitis. Infeksi gigi dapat meluas ke ruang intrakranial melalui perluasan langsung atau secara hematogen. Otitis media kronik dan mastoiditis umumnya meluas ke lobus temporalis inferior dan serebellum, infeksi sinus frontal atau ethmoid dan infeksi gigi ke lobus frontalis. 2.Trauma (10%kasus) Trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak terbuka memungkinkan organisme memasuki otak secara langsung. Abses otak dapat juga terjadi sebagai komplikasi operasi intracranial, benda asing, peluru dan serpihannya. 3. Perluasan hematogen dari infeksi fokal di tempat jauh . (25% kasus) Perluasan dengan cara ini umumnya lebih sering multiple dan multilokulated dan sering dijumpai pada area distribusi dari arteri serebri media. Sumber infeksi yang sering antara lain berhubungan dengan penyakit jantung sianotik, endokarditis, infeksi paru (misalnya abses, empyema, bronkiektasis), infeksi kulit, infeksi abdomen dan 57 pelvis, neutropenia, transplantasi, dilatasi esophageal, penggunaan obat secara injeksi dan infeksi HIV. Patologi Secara histologi terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu: 8 1.Stadium Serebritis Dini (The Early Cerebritis Stage) Serebritis berarti inflamasi dari serebrum sebagai akibat dari infeksi permulaan dari pembentukan abses otak. Terjadi infeksi dari parenkim otak dengan edema white matter di sekelilingnya. Secara patologi terlihat suatu massa tidak berkapsul dengan kongesti pembuluh darah, ptechial hemorrhage, dan edema. Dijumpai fokus nekrotik yang tersebar (scattered necrotic foci) dengan microscopic petechial haemorrhages, namun tidak dijumpai adanya jaringan otak yang besar. Stadium ini terjadi pada hari pertama sampai ke tiga. 2. Stadium Serebritis Lanjut (The Late Cerebritis Stage) Reaksi terhadap bahan- bahan infeksius berlanjut menjadi late cerebritis. Infeksi menjadi lebih fokal dengan daerah nekrosis. Pembuluh darah mengelilingi proliferasi infeksi. Bagian tengah dari infeksi mengalami nekrosis, dikelilingi ole sel-sel inflamasi berbentuk cincin, makrofag, jaringan granulasi dan fibroblast. Stadium ini berlangsung pada hari ke 4-9. 3. Stadium Pembentukan Kapsul Dini (The Early Capsule Stage). Dengan mulainya stadium pembentukan kapsul, kollagen dan retikulum membentuk kapsul berbatas jelas. Bagian inti tengah terdiri dari jaringan nekrotik dan debris inflamasi. Kapsul semakin menebal dengan bertambahnya kollagen. Dengan pembetukan kapsul berbatas tegas, efek massa dan edema yang mengelilinginya mulai berkurang. Selanjutnya gliosis disekitar pinggir abses mempertegas area ini. Stadium ini berlangsung hari ke 10-13. 4. Stadium Pembentukan Kapsul Lanjut (The Late Capsule Stage). Kapsul yang matang dan tebal mengelilingi bagian tengah yang berongga yang mengandung sel debris dan sel-sel polimorfonuklear. Secara patologi dinding dari kapsul abses disusun dari 3 lapisan yaitu lapisan sebelah dalam merupakan jaringan granulasi, lapisan bagian tengah yang relatif tebal terdiri dari kollagen dan lapisan paling luar merupakan jaringan gliotik. Lapisan kollagen memegang peranan penting dalam pengkapsulan jaringan otak yang terinfeksi, dan ini berasal dari fibroblast. Stadium ini terjadi setelah hari ke 14 ke atas dan dapat berlangsung selama berbulanbulan. Faktor-faktor yang berperan mempengaruhi kecepatan dan kematangan pembentukan abses otak antara lain organisme penyebab, asal infeksi (ekstensi langsung atau metastasis), mekanisme pertahanan penderita, pemberian kortikosterod dan terapi antibiotika.8 Manifestasi Klinik 58 Manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh abses otak merupakan akibat peningkatan tekanan intrakranial akibat lesi (seperti nyeri kepala, muntah, konfusi, koma), infeksi (demzam, lesu dsb) dan defisit neurologi fokal (hemiparese, afasia dsb). Gejala yang paling sering muncul adalah nyeri , kepala, drawsiness, konfusi, seizure, hemiparese atau gangguan bicara bersama dengan demam dengan progresifitas yang cepat.7 Gejala dan tanda tergantung pada lokasi abses di otak. Suatu abses di serebellum misalnya dapat menyebabkan keluhan tambahan akibat komporessi batang otak dan hidrosefalus. Pada kasus tertentu kadang-kadang pemeriksaan neurologi menunjukkan adanya kaku kuduk sehingga menimbulkan dugaan suatu meningitis. Trias gejala berupa demam, nyeri kepala dan tanda neurologik fokal adalah besar kemungkinan suatu abses otak.7 Pada fase awal infeksi dapat bermanifestasi sebagai bentuk ensefalitis yang tidak spesifik (seperti demam subferis, nyeri kepala dan letargi) disertai dengan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.3,5 Papiledema muncul pada anak-anak dan bulging fontanel bisa muncul pada bayi. Sesuai dengan progresifitas perkembangan abses yakni akibat proses inflamasi, gejala-gejala neurologik yang pada awalnya minimal atau tidak ada sama sekali mulai muncul seperti muntah, nyeri kepala hebat, kejang, papiledema, deficit neurologis fokal (hemiparese), bahkan koma bisa terjadi.3,5 Pada kira-kira dua per tiga kasus, gejala-gejala muncul dalam 2 minggu atau kurang. Rentang perjalanan klinik mulai dari perjalanan lambat hingga fulminan.3 Gejala yang muncul terjadi akibat ukuran dan lokasi lesi yang menimbulkan desak ruang. Kurang dari 50% pasien muncul triad gejala yakni demam, nyeri kepala dan defisit neurologik fokal. Gejala dan tanda yang sering muncul antara lain nyeri kepala (70%), perubahan status mental (65%), defisit neurologik fokal (65%), demam 50%, seizure (25-35%), nausea dan muntah (40%), kaku kuduk (25%) dan papil edema (25%). Perburukan nyeri kepala yang tiba-tiba diikuti dengan tanda meningismus sering dihubungkan dengan rupturnya abses.3 Tanda neurologik fokal sebagai akibat gangguan fungsi langsung dari abses sesuai dengan lokasinya di otak antara lain:3 Abses Serebellar : Nystagmus, ataksia, muntah, dan dismetria. Abses Batang Otak : Facial weakness, nyeri kepala, demam, muntah, disphagia, dan hemiparesis. Abses Frontal : Nyeri kepala, Inattensi, drowsiness, perubahan status mental, motor speech disorder, dan hemiparese unilateral. Abses Lobus Temporalis : nyeri kepala, afasia ipsilateral (bila di hemisfer dominan), dan gangguan visus. Diagnosis Laboratorium : Jumlah leukosit darah tepi bisa normal atau meningkat. : Pada dua pertiga kasus dijumpai peningkatan sedimentasi eritrosit. Kadar natrium serum dapat menurun sebagai akibat produksi Antidiuretik hormon yang tidak sesuai. 59 Jumlah platelet dapat tinggi atau rendah. Lebih kurang 10% kasus dilaporkan kultur darah positif. Pemeriksaan CSF menunjukkan hasil yang bervariasi, leukosit dan protein bisa sedikit meningkat atau normal. Kadar glukosa sedikit rendah dan kultur CSF jarang positif. Bila terjadi ruptur ruptur abses ke dalam cairan serebrospinal, jumlah leukosit umumnya meningkat hingga 100.000/ul atau lebih. Banyak sel eritrosit umumnya ditemukan pada saat itu, dan kadar asam laktat cairan serebrospinal meningkat > 500 mg. Namun karena hasil pemeriksaan CSF tidak terlalu bermanfaat dan prosedur Lumbal Punksi dapat mengakibatkan herniasi tonsil serebellar maka prosedur ini tidak dilakukan pada anak yang diduga mengalami suatu abses di otak. Gambaran EEG kadang-kadang menunjukkan rekaman voltase tinggi dengan aktivitas lambat. Gambaran ini tidak spesifik dan jarang mempunyai nilai diagnostik. Studi imejing Pemeriksaan CT scan (sebaiknya dengan kontras) merupakan pemeriksaan utama dalam menegakkan diagnosa dan follow-up perawatan untuk memonitor perbaikan setelah pengobatan. Pada fase permulaan inflamasi (yang dikenal sebagai cerebriris), lesi immature tidak mempunyai kapsul dan sulit membedakannya dari space-occupying lesion atau infark di otak. Dalam 4-5 hari inflamasi dan jaringan otak yang telah rusak dikelilingi oleh kapsul, di mana setelah penyuntikan zat kontras, CT scan secara khas menunjukkan rongga abses sebagai suatu sentral yang hypodense dengan ring enhancement. 3,5 Kebanyakan peneliti menganggap MRI sebagai suatu metode diagnostik yang utama dalam mendiagnosa abses otak, karena dapat menegakkan diagnosa lebih akurat dan follow-up lesi dengan sangat baikdi mana sensitivitas dan spesifisitasnya lebih tinggi. Contrast enhancement dengan gadolinium diethylenetriaminepentaacetic acid membantu membedakan abses, ring enhancement dan edema serebri disekelilingnya. Pada T1-weighted kapsul abses enhance dan pada T2-weighted dapat menunjukkan zona yang edema disekeliling abses. Dengan adanya CT scan dan MRI angka kematian telah menurun hingga 90%. Gambar 1 : Abses otak 60 Dikutip dari : Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic200.htm Gambar 2 : Gambaran MRI dari suatu abses otak Dikutip dari : Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic200.htm Gambar 3 : Gambaran CT scan suatu abses otak multipel 61 Gambar CT scan menunjukkan multiple loculated cystic lesion berdiameter 2-3 cm (dark areas with rims of enhancement). Pada gambar menunjukkan distensi dari fossa posterior dengan midline shift ke kanan Dikutip dari: Pascua,LU. Fever and Lethargy in an Infant Radiology cases in Pediatric Emergency Medicine. Vol 5.9 Pengobatan Pengobatan abses otak harus mencakup pencarian sumber infeksi dan memerlukan kerja sama antara ahli penyakit infeksi, ahli saraf, ahli neuroradiologi, ahli mikrobiologi, dan kadang-kadang ahli THT, ahli bedah, dokter gigi atau ahli bedah maksillar.3,5 Pengobatan terdiri dari tindakan bedah dan konservatif. Pembedahan dapat berupa aspirasi atau eksisi. Tujuan pengobatan adalah: 1. mengurangi efek massa bila ada, 2. identifikasi agen patologis dengan kultur, 3. kontrol dan eradikasi infeksi, 4. minimalisasi hilangnya fungsi neurologis dan 5. terapi supportif sistemik.10 Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pendekatan terapi yang sesuai antara lain: 3 o Terapi antimikroba umumnya berespon baik terhadap abses berukuran < 2.5 cm, sedangkan abses berukuran > 2.5 cm tidak. o Hal penting dalam perencanaan terapi antimikroba yang sesuai adalah menegakkan diagnosa berdasarkan mikrobiologi. o Lamanya gejala sebelum diagnosa ditegakkan merupakan faktor yang penting. Abses bakteri di otak didahului oleh infark dan serebritis. Terapi antibiotik pada stadium awal dapat mencegah tahap perkembangan dari stadium serebritis menjadi abses bila tidak terbukti perluasan lesi. o Pasien-pasien yang mengalami gejala < 1 minggu lebih berespon baik terhadap terapi obat-obatan dari pada dengan gejala yang sudah berlangsung > 1 minggu. o Pasien-pasien yang diobati dengan terapi obat-obatan saja biasanya menunjukkan perkembangan klinik sebelum perubahan pada gambaran CT scan terlihat. o CT scan dan MRI harus terbukti menunjukkan penurunan ukuran lesi, edema yang menyertai dan ring enhancementnya. Perbaikan pada CT scan umumnya terlihat dalam 1-4 minggu (rata-rata 2.5minggu) dan resolusi yang komplit dalam 1-11 bulan (rata-rata 3.5 bulan). Pemeriksaan scanning ulang paling sedikit sekali seminggu penting dalam memonitor respon terapi. o Pengobatan abses otak dengan antimikroba umumnya lama (6-8 minggu) oleh karena itu diperlukan waktu yang lama untuk repair jaringan otak dan untuk menutupnya rongga abses. Pada permulaannya diberikan secara intravena diikuti 2-6 bulan dengan terapi oral yang sesuai. Pemberian yang lebih singkat (3-4 minggu) mungkin cukup pada pasien yang menjalani drainase surgikal. 62 o Oleh karena sulitnya berbagai antimikroba menembus sawar darah otak, pilihan antibiotik terbatas dan sering memerlukan dosis maksimal. o Pemberian cairan intra vena biasanya dibatasi hingga 1500 ml/m2 untuk minamlisasi edema serebri. 5 Pengobatan Konservatif Antibiotika Terapi antimikroba empirik harus bersifat komprehensif dan harus mampu mencakup keseluruhan kuman patogen secara klinik. Pemberian antibiotika merupakan pengobatan utama dan harus segera dimulai setelah lebih dahulu mengambil aspirat untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas(treatment approach by eppocrates,internet). Bila hasil kultur dan sensitivitas sudah diperoleh maka jenis antibiotic selanjutnya harus disesuaikan.5,10 Pada fase cerebritis dini atau kasus dengan abses multiple dapat berespon terhadap antibiotik saja tanpa memerlukan operasi.2 Alasan pemilihan Meropenem sebagai monoterapi adalah karena memberi hasil yang baik terhadap basil gram negatif, anaerob, staphylokokus, dan streptokokus, termasuk pneumokokkus yang resisten antibiotik.5 Terapi empirik antimikroba harus didasarkan pada agen penyebab menurut predisposisi yang paling mungkin, sumber infeksi primer dan perkiraan patogenesis pembentukan abses. Lama pemberian antibiotik tergantung jenis organisme dan respon pengobatan, biasanya 4 – 6 minggu.5 Begitu hasil kultur diperoleh dan organisme diisolasi, terapi empirik diberikan untuk pengobatan bakteri secara spesifik antara lain:3 o Untuk streptokokus : Pnc G dosis tinggi atau sepalosforin generasi ke tiga (misalnya cefotaksim, seftriakson). Untuk mencakup kuman anerob yang resisten penisillin (seperti basil gram negatif) ditambahkan metronidazole. o Bila curiga disebabkan oleh S. aureus (setelah neurosurgery atau trauma) dapat diberikan Nafcillin atau vankomisin (bila resisten terhadap metisillin atau alergi penicillin) o Untuk Pseudomonas aeruginosa : Cefepim atau ceftazidim o Pasien dengan infeksi HIV mungkin membutuhkan terapi untuk Toxoplasmosis. o Antibiotik spesifik: o Penisillin mampu menembus ke dalam rongga abses secara baik dan aktif melawan organisme anaerob maupun aerob yang menghasilkan non – beta–lactamase. o Klorampenikol mampu menembus ke dalam ruang intrakranial dengan baik dan juga aktif terhadap spesies Haemophilus, S pneumoniae, dan organisme anaerob. Namun penggunaan di kebanyakan senter di USA telah berkurang secara dramatis oleh karena efikasinya dan efek obat 63 antimikroba kombinasi yang kurang toksik (seperti sefotaksim ditambah metronidazol). o Metronidazol menembus ke dalam susunan saraf pusat dengan baik dan tidak dipengaruhi oleh terapi steroid secara bersama-sama, namun hanya aktif terhadap bakteri anaerob sedangkan terhadap kuman anaerob gram positif bentuk kokus kurang optimal. o Sefalosporin generasi ke tiga (seperti sefotaksim, seftriakson) umumnya adekuat terhadap organisme aerobik gram negatif. Untuk Pseudomonas dipilih sefalosporin baik ceftazidim maupun cefepim. o Aminoglikosida kurang mampu menembus ke dalam SSP dan relatif kurang aktif oleh karena kondisi abses yang anaerob dan bersifat asam. o Penisilin yang resisten terhadap Beta-lactamase (seperti, oxacillin, methicillin, nafcillin) mampu mencakup S aureus yang sensitif methicillin, namun penetrasinya kurang dibandingkan dengan penicillin; penambahan rifampicin menunjukkan hasil yang baik pada meningitis staphylococcal. o Vancomycin paling efektif terhadap methicillin-resistant S aureus dan Staphylococcus epidermidis dan juga streptokokus aerobik dan anaerobik dan spesies klostridium. o Kebanyakan patogen anaerob sensitive terhadap penisillin kecuali terhadap kelompok Bacteroides fragilis beberapa strain dari spesies Prevotella, Porphyromonas dan Fusobacterium. Oleh karena organisme yang predominan pada abses otak adalah organisme anaerob yang resisten penisillin, maka sebagai terapi empirik harus memberikan juga obat yang efektif terhadapnya serta mampu menembus sawar darah otak seperti metronidazol, klorampenikol, ticarcillin dengan clavulanic acid, imipenem, atau meropenem. o Pengobatan dengan penisillin sebaiknya ditambahkan dengan metronidazol untuk mencakup streptokokus aerobik dan microaerophilic. o Pemberian beta-lactamase–resistant penicillin atau vancomycin (jika ditemukan methicillin-resistant staphylococci) umumnya direkomendasikan untuk pengobatan S aureus. o Amphotericin B diberikan untuk infeksi Candida, Cryptococcus, and Mucorales ; voriconazole untuk infeksi Aspergillus and P boydii. o Infeksi T gondii diobati dengan pyrimethamine dan sulfadiazine Pemilihan kombinasi empirik terapi harus mampu mencakup bakteri patogen baik aerobik maupun anaerobik, dengan predisposisi sebagai berikut: 3,5 Otitis, mastoiditis, dan sinusitis : kombinasi metronidazol dengan sefalosporin generasi ketiga. Infeksi gigi : Penisillin dengan metronidazol 64 Infeksi pulmoner: Penisillin dengan metronidazol dan sulfonamid (untuk infeksi Nocardia) Penyakit jantung kongenital : sefalosporin generasi ketiga dengan atau tanpa ampisillin. Endokarditis: Vancomycin dengan gentamisin Penyalahgunaan obat secara intravena : Nafcillin atau vancomycin dengan cefepim atau ceftazidim. Trauma: Vancomycin dengan sefalosporin generasi ketiga. Paskaoperasi :Vancomycin, cefepim atau ceftazidim, dan metronidazol. Komplikasi meningitis pada infant : Cefotaxim, ampicillin, dan vancomycin Bila tidak ada keadaan predisposisi : Metronidazol, vancomycin, atau sefalosporin generasi ketiga Antikonvulsan Pemberian obat antikonvulsa sebagai terapi propilaksis kejang dianjurkan pada kasus abses serebri. Pilihan pertama adalah phenytoin, carbamazepin dan valproate. Levetiracetam semakin meningkat penggunaannya karena mempunyai efek samping yang lebih dapat diterima.10 Kortikosteroid 10 Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema vasogenik yang terjadi pada abses serebri. Steroid hanya diberikan bila dijumpai efek massa yang menyebabkan manifestasi neurologis fokal dan penurunan kesadaran atau kondisi dekompensasi akut sebagai life saving. Sebaiknya bila telah terjadi perbaikan kesadaran dan status neurologi, pemberian steroid harus segera dihentikan secara berangsur-angsur. (buku ajar neurologi anak). Pada pasien dengan kondisi stabil hindari penggunaannya oleh karena diyakini bahwa kortikosteroid dapat menurunkan respon immune dan pemulihan blood-brain barrier dengan menurunkan penetrasi antimikroba ke SSP. Terapi Pembedahan Pembedahan dianjurkan bila diameter abses > 2,5 cm, abses mengandung gas, multilokulated, lokasi di fossa posterior, atau teridentifikasi adanya jamur.5 o Drainase surgikal memberikan hasil terapi yang paling optimal. Prosedur ini dilakukan dengan melakukan aspirasi melalui suatu bur hole dan eksisi komplit setelah kraniotomi. Aspirasi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dengan prosedur stereotaktik dengan dipandu CT atau MRI scan. Untuk hasil yang optimal prosedur dilakukan sebelum diberikan terapi antibiotik. Untuk pengobatan abses otak yang ruptur ke dalam ventrikel dilakukan drainase ventrikuler dikombinasi dengan pemberian antimikroba secara intravena atau intratekal atau kedua-duanya.5 Dengan diperkenalkannya CT-guided needle aspiration dapat memberikan informasi penting.3 Algoritme penanganan abses otak 65 Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of Water Hall, SUNY Upstate Medical University. Available from : URL: HYPERLINK https://online.epocrates.com Algoritme penanganan abses otak Apakah ada efek massa sat ini atau membakat? Ya Tidak - Operasi segera dengan tujuan evakuasi abses, spesimen untuk kultur dan mengurangi efek massa Adakah lesi yang dapat diakses operasi dengan dimensi terbesarnya>2,5cm 66 Ya Tidak Operasi untuk evakuasi dan kultur Diagnosis belum pasti? Operasi ( kraniotomi atau biopsi stereotaktik untuk biopsi/kultur) Terapi medikamentosa Adakah >1 lesi membesar walau dalam pengobatan antibiotik? Ya Operasi, evakuasi lesi refrakter Tidak Lanjutkan pengobatan, serial imaging Terapi Medikamentosa : 3 Contoh Obat dan Dosis (Itzhak Brook internet). : - Ampicillin (Marcillin, Omnipen) : 300-400 mg/kg/hari IV - Cefotaxime (Claforan) : 200 mg/kg/hari IV - Ceftriaxone (Rocephin) : 100 mg/kg/hari IV dalam dosis terbagi setiap 4-6jam - Ceftazidime (Fortaz, Ceptaz, Tazidime) : 50 mg/kg / 8 jamIV - Chloramphenicol (Chloromycetin) : 80-100 mg/kg/hari IV - Imipenem + cilastatin (Primaxin) : - <12 tahun : Not established - >12 tahun: 15-25 mg/kg/hari IV N dekompensasi neurologik - Meropenem (Merrem) : 67 - Preterm: 20 mg/kg/dosis/12 jamIV ; Untuk pengobatan terhadap organisme dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 40 mg/kg/dose/ 12 jam IV. - <3 bulan: 20 mg/kg/dosis IV/ 8 jam; Untuk pengobatan terhadap organisme dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 40 mg/kg/dose/ - >3 bulan, BB <50 kg: 40 mg/kg/dosis/ 8 jam IV BB >50 kg: 1 g IV setiap 8 jam; Untuk pengobatan terhadap organisme dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 2 g IV/ 8 jam. - Metronidazole (Flagyl) : 30 mg/kg/hari IV - Vancomycin (Vancocin) : 40 mg/kg/hari IV setiap 6-8 jam - Cefepime (Maxipime) : 50 mg/kg / 8 jam IV - Dexamethasone (Decadron, Dexasone) : Loading dose: 1-2 mg/kg/dosis IV satu kali pemberian. Dosis pemeliharaan : 1-1.5 mg/kg/hari IV. Tidak boleh melebihi 16 mg/hari dalam dosis terbagi IV setiap 4-6jam selama 5 hari.; taper dose selama 5 hari kemudian stop(Itzhak Brook internet). Prognosis Angka kematian akibat abses otak telah menurun hingga lebih kurang 5–10% sejak penggunaan CT atau MRI scan dan antibiotika yang sesuai serta pembedahan. Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian antara lain adalah abses mutipel, koma dan tidak ada fasilitas CT scan. Sekuele jangka panjang terjadi pada ± 50% kasus yang hidup antara lain hemiparesis, kejang, hydrocephalus, gangguan saraf kranial, dan perubahan tingkah laku dan problem belajar. Prognosa buruk berhubungan dengan terlambatnya diagnose atau salah diagnose, abses multiple dan lokasinya dalam, rupture abses ke ventrikel, koma, terapi tidak adekuat, dan organisme spesifik (Aspergillus species, jamur lain, Pseudomonas species).1,3 Daftar Pustaka 1.Soetomenggolo T.S., Ismael, S. Buku Ajar Neurologi Anak. 2nd. pp 339-375. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. 2.Maria B.L. and Bale, J F. 2006. Infections of the Nervous System.In : Menkes, 3.J.H, Sarnat, H.B. and Maria, B.L.Child Neurology. 7 th ed. pp 433-555. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 4.Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic200.htm 5.Kastenbauer, S., Pfister, H-W, Wispelwey, B. and Scheld, W.M. 2004. Brain Abscess. In: Scheld, W.M., Whitley, R.J., and Marra, C.M. Infections of The Central Nervous System. 3 rd ed. pp 479-521. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia. 6.Haslam, R.H.A. Brain Abscess. In : Berhman, Kliegman and Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. 68 7.Nadalo, L. A. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK http://www.emedicine.com. 8.Pascua,LU. Fever and Lethargy in an Infant Radiology cases in Pediatric Emergency Medicine.Vol 5. Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of Water Hall, SUNY Upstate Medical University. Available from : URL: HYPERLINK https://online.epocrates.com INFEKSI HIV PADA ANAK Pendahuluan Data WHO menunjukkan sekitar 7500 orang ( 100 diantaranya anak-anak) terinfeksi HIV-1 setiap harinya sesuai dengan kisaran 3 juta orang terinfeksi HIV-1 dalam tahun 2007. Lebih dari 20 juta bayi, anak, dan dewasa telah meninggal sejak kasus AIDS ditemukan pertama kali pada tahun 1981. Kini sekitar 90 persen infeksi baru HIV-1 terjadi pada penduduk Asia dan Afrika dan jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS di seluruh dunia masih sangat besar, sekitar 33 juta pada tahun 2007. Bayi yang terineksi HIV-1 secara vertikal dapat simtomatis setelah 3 bulan awal masa kehidupan, manifestasinya berupa hepatomegali, limfadenopati, gagal tumbuh, pneumonitis interstisial, infeksi oportunistik ( terutama Pneumocystis jiroveci – dulunya Pneumocytis carinii atau cytomegalovirus) atau penyakit saraf lainnya. Pada beberapa anak, infeksi HIV-1 dapat tetap dorman, dan 10 tahun atau lebih dapat relaps sebelum gejala infeksi HIV-1 muncul. Diagnosis Menurut American Academy of Pediatrics, 2008, transfer pasif melalui antibodi ibu menyulitkan deteksi infeksi HIV-1 pada 18 bulan pertama setelah anak lahir dan 30 persen atau lebih anak yang terpapar virus tidak terdeksi virus dalam serumnya. Maka pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA atau RNA HI-1 menjadi penting. Infeksi HIV-1 pada bayi yang terpapar ( sebagai contoh, bayi dengan antibodi positif sesaat setelah lahir tau bayi yang lahir dari seorang ibu yang positif HIV-1) dapat diperiksa dengan PCR serial dengan tes pertama segera setelah kelahiran, tes kedua dilakukan saat usia 1 atau 2 bulan, tes ketiga antara usia 3-6 tahun. Bila dua sampel positif HIV-1, maka bayi dinggap terinfeksi, sedangkan dua hasil tes negatif menyatakan tidak terinfeksi. Pemeriksaan enzyme linked immunosorbent dan Western blot dilakukan pada anak dan remaja. Pencatatan PCR transkiptase terbalik dari banyaknya virus sebagai pedoman pemberian terapi pada bayi, anak dan remaja yang terinfeksi. LCS biasanya normal walau EEG dapat menunjukkan perlambatan difus. Pada neuro imaging, menunjukkan atrofi korteks pada infeksi vertikal maupun horizontal. Kalsifikasi pada basal gangglia atau substansia alba frontal. Paling banyak pada MRI 69 dengan infeksi HIV vertickal. CT scan, MRI dan LCS atau darah dapat menunjukkan infeksi sekunder dan komplikasi neoplastik. Tatalaksana Kombinasi terapi antiretroviral dan terapi tambahan untuk komplikasi infeksi atau neoplastik pada AIDS telah meningkatkan angka pasien dengan HIV-1 yang selamat. Rata-rata waktu kelangsungan hidup pada anak yang di terapi dapat melebihi 10 tahun, dimana jauh lebih baik dari anak dengan infeksi HIV-1 yang diberikan terapi pada tahun 1990-an, resiko kematian menurun dengan signifikan. Walau tingkat kematian pasien AIDS di amerika serikar sangat kecil, namun tetap menjadi tantangan untuk menjadikan yang serupa di daerah lain. Di seluruh dunia, anak meninggal dengan infeksi HIV/AIDS setiap menitnya, dan lebih dari 2 juta anak hidup denga HIV/AIDS, namun tidak sampai 10 persennya mendapatkan terapi antiretroviral pada tahun 2007 (WHO 2008). Beberapa infeksi ikutan termasuk CMV, retinitis, toksoplasmosis serebral, P. jiroveci, herpes zoster, dan infeksi jamur SSP ataupun sistemik berrespon baik dengan pengobatan anti virus, anti spastik, dan anti jamur. Immunoglobulin IV juga bermanfaat bagi anak dengan hipogamaglobulinemia atau infeksi bakteri ulangan. Kini pemberian antiretrovirus dikombinasikan setidaknya tiga dari golongan nukelotida/ nucleotide transverse antiretroviral drugs, inhibitor protease, dan nonnucletide transverse antiretroviral drugs. Tujuannya adalah untuk menurunkan viral load, hingga tidak terdeteksi dan untuk mengembalikan funsi imunitas. Kombinasi terapi menghasilkan peningkatan imunitas dan neuro kognitif bahkan pada infeksi HIV1 yang berat. Pemeriksaan CD4, plasma HIV-1 RNA, darah lengkap, profil kimia darah ( terutama fungsi ginjal dan hepar) juga T.gondii, hepaitis, dan tuberkulosis diperlukan saat memulai pemberian terpi antiretrovirus untuk menilai keberhasilan terapi kelak. Pada saat imunitas mulai meningkat akan terjadi immune restoration disease, seperti eksaserbasi berlawanan dari infeksi sekunder selama 6 bulan masa pengobatan. Anak yang mendapat terapi kombinasi dapat mengalami lipodistrofi, resistensi insulin, osteopenia, dan gagal tumbuh. *Pada SA journal of children health disebutkan Defisit neurologis dan neurokognitif sering terjadi pada anak terinfeksi HIV. Prevalensi dan perluasan defisit tidak berubah secara signifikan pada respon jangka pendek HAART ( highly active antiretroviral therapy) , mengindikasikan tidak adanya kemajuan spontan maupun perburukan sepanjang pengobatan awal. ENSEFALOPATI HIV Pendahuluan Sebagai bagian dari sindrom HIV dalama serokonversi, pasien dapat mengalami ensefalopati HIV. HIV-associated progressive encephalopathy (HPE) adalah kumpulan gejala klinis dalam kognitif, motorik dan perilaku pada anak-anak. Frekuensi HPE 70 sebagai gejala awal AIDS pada anak adalah 12-67%. Pada anak yang tidak diobati, prevalensi terjadinya HPE adalah 50%. Pada satu studi ensefalopati HIV pada anak dengan infeksi HIV yang mendapat HIV active antiretroviral therapy, angka kejadian HPE aktif di tahun 2000 adalah 1,6% dan prevalensi arrested HPE adalah 10%. HPE relaps terjadi pada 23% dari grup sampel dengan kejadian arrested HPE sebelumnya. Patofisiologi HIV dianggap memasuki otak melalui makrofag dan limfosit yang terinfeksi HIV. Sedangkan yang lain menganggap mekanismenya melalui perjalanan virus tanpa sel ke otak dan pelepasan sel endotelial yang mengeluarkan virus. Virus bereplikasi pada selsel tersebut lalu, pada teorinya, menginfeksi sel-sel lain seperti mikroglia, oligodendrosit, astrosit, dan neuron; makrofag dan makroglia merupakan sel yang paling sering terinfeksi. Infeksi HIV pada sistem saraf pusat dapat dideteksi dan dimonitor melalui perhitungan viral load dari LCS. Korelasi positif telah dikembangkan oleh banyak peneliti antara viral load LCS dan luasnya disfungsi kognitif. Penelitian kimia-imunihistologi menunjukkan bahwa virus terletak paling banyak di ganglia basalis, regio subkortikal dan korteks frontal. Perubahan patologis pada autopsi juga sebagian besar ditemukan di subkortikal, termasuk regio deep-gray ( gangglia basalis, thalamus ) dan regio white-matter. Mekanisme bagaimana infeksi HIV pada SSP yang mengakibatkan gangguan neuro kognitif kemungkinan multi faktorial dan masih dalam penelitian. Prognosis Pasien yang diterapi dengan HAART, jarang mengalami HEP dan bila terjadi, lebih sering dapat disembuhkan. Bila kontrol virus tidak diberikan lagi, dapat terjadi relaps. Klinis Pada anak dengan HPE terdapat riwayat khas berupa penurunan intelektual dan motorik. Pada anak yang lebih kecil, tingkat kemampuan menambah keahlian baru berkurang dan kemampuan motorik halus serta ketangkasan menjadi lemah. Kesulitan makan dapat terjadi, pada anak yang lebih besar dan remaja, gejalanya mirip dengan AIDS Dementia Complex pada dewasa. Pemeriksaan Fisik Pada neonatus, hasil pemeriksaan fisik dalam batas normal, walau onset terjadinya gangguan dapat terjadi pada tahun pertama anak. Manifestasi klinis dapat tidak disadari hingga mencapai usia 2-3 tahun. Pada masa ini, anak dapat memperlihatkan kelemahan kognitif, masklike facies, acquired microcephaly, dan pseudobulbar dan tanda traktus kortikospinal. Tanda yang sering ditemukan pada anak yang lebih besar dan remaja adalah lemahnya perhatian, penurunan kemampuan berbicara dan performa di sekolah menurun, perlambatan psikomotor, emosional yang labil dan penarikan diri dari lingkungan. Kriteria HEP 71 American Academy of Neurology menyatakan HPE sebagai keadaan ang terjadi setidaknya 2 bulan, dengan minimal terdapat satu dari gejala tersebut dibawah tanpa penyakit ikutan selain infeksi HIV, gejala sebagai berikut : -Gagal mencapai atau tertinggal dalam mencapai target perkembangan mental atau tertinggal dalam kempuan intelektual yang dapat dipastikan dengan tes perkembangan standar atau neuropsikologis. -Acquired microcephaly dengan pemeriksaan lingkar kepala atau atrofi otak pada CT scan serial atau MRI pada anak kurang dari 2 tahun -Defisit motorik simetris yang didapat, dengan 2 dari keadaan berikut: paresis, refleks patologis, ataksia atau gangguan saat berjalan. SEKUELE INFEKSI SSP PADA ANAK Meningitis Sekuele neurologis merupakan komplikasi meningitis bakterial yang paling sering terjadi, mencapai 50-65% di negara berkembang. Faktor resiko timbulnya sekuele beragam, beberapa sekuela pada awal penyakit, sebagian menetap sehingga menimbulkan ganguan perkembangan akibat disabilitas. (Novarini,dkk ) Pada meningitis bakterial terjadi hipoksi, produksi neurotoksik bakteri dan gabungan mediator dapat menyebabkan kerukan neuron. Hasil akhir dari neuron yang rusak karena bakteri atau derivat leukosit dan elemen toksik lainnya adalah radikal bebas. Aktivitas sel yang mengalami apoptosis dan nekrosis menyebabkan sekuele neurologis yang menetap, bahkan kematian. Beberapa faktor resiko terkait dengan prognosis pasien meningitis bakterial adalah usia, durasi antara timbulnya gejala dan pemberian pengobatan adekuat, spesifikasi bakteri, peningkatan jumlah resistensi obat, derajat gejala klinis awal, komplikasi SSP seperti hidrosefalus, abses otak yang mempengsruhi vaskularisasi serebrovaskular. Kejang > 30 menit dan kejang tidak terkontrol lebih besar kemungkinan terjadi sekuele pasca meningitis bakterial. Jenis sekuele paling sering pada gangguan neuromotor termasuk hemiparesis atau tetraparesis spastik, sekuele lain epilepsi dan keterlambatan global. Tabel 1. Sekuele pada pasien meningitis bakterial Sekuele Jumlah ( % ) Tetrapasresis spastik 19 ( 50 ) Hidrosefalus 3 (7) Buta 4 (10) Tuli 3 (8) Epilepsi 8 (21) Global developmental delay 9 (23) 72 Pada penelitian di RSUP Dr.Sardjito, RSUD Banyumas dan RSU Suradji Tirtonegoro Klaten tahun2003-2006, hasil analisis regresi logistik multivariat faktor resiko sekuele meningitis bakterial adalah lama kejang >30 menit, kejang tidak terkontrol >72 jam, skor PCS yang rendah (< 8) dan onser antara gejala dan pemberian terapi adekuat. Dari regresi logistik multivariat ternyata kejang > 30 menit mempunyai resiko sekuele dengan OR 4,29 (IK 95% 1,38-12,99), PCS < 8 mempunyai OR 3,76 (IK 95% 1,15-12,28) dan kejang tidak terkontrol >72 jam mempunyai OR 5,24 (IK 95% 1,49-18,430), sedangkan durasi antara onset dan pemberian terapi tidak mempunyai perbedaan bermakna, OR 2,43 (IK 95 % 0,73-8,13). Angka kematian di negara maju lebih re3ndah karena terdapat beberapa faktor, antara lain cakupan imunisasi tinggi terhadap bakteri penyebab meningitis, tindakan diagnostik serta fasilitas perawatan yang lebih baik. Pada penelitian di pakistan terdapat multifaktor yang dapat menyebabkan sekuele pada meni9ngitis bakterial dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor neurologis dan sitemik (non neurologi ). Nerologis Sistemik ( non neurologis ) Onset Akut Prolong fever Perubahan status mental / koma Syok septik dan DIC Edema serebral dan peningkatan tekanan Kolaps vasomotor intrakranial Loss of airways reflexes Kejang onset akut Respiratory arrest Efusi subdural atau empiema Efusi perikardial Cranial nerve palsies Hipotalamik dan disfungsi endokrin Hidrosefalus lainnnya Defisit sensorineural Hiponatermia Hemiparesis atau kuadriparesis Perdarahan adrena bilateral Kebutaan Kematian Onset lambat Late onset seizure (epilepsy) disorder Ataxia Abnormalitas serebrovaskular Gangguan neuropsikologis Gangguan perkembangan Defisit intelektual TUMOR OTAK BATASAN DAN PENGERTIAN Tumor pada sistem saraf pusat meliputi 20% dari keseluruhan tumor yang didapatkan pada anak-anak. Angka kejadian tumor otak pada anak kecil. Di RSUD dr. Moewardi 73 Solo, selama tahun 2006 hanya dirawat 2 orang anak yang menderita tumor otak, 1 orang di serebelum, 1 orang di hemisfer serebri. Tumor otak yang ditemui pada anak-anak pada umumnya merupakan tumor otak primer. Di mana tumor otak primer didefinisikan sebagai sekumpulan massa sel abnormal yang berasal dari sel otak. Tumor otak dapat terlokalisir pada suatu area yang kecil, dapat infasif menyebar ke daerah sekitarnya, dapat bersifat jinak (non cancerous) maupun ganas (cancerous). Tumor otak yang jinak (benigna) tidak mengandung sel-sel kanker dan biasanya memiliki batas yang tegas sehingga setelah tumor berhasil diangkat, pada umumnya tidak terjadi residif. Namun tumor otak yang jinak ini dapat memiliki sifat seperti tumor yang ganas sebagai akibat dari ukuran tumor dan lokasi di mana tumor berada sehingga dapat mengganggu fungsi vital otak. Tumor otak yang ganas (maligna) mengandung sel-sel kanker. Tumor jenis ini biasanya tumbuh cepat dan menyebar ke jaringan sekitarnya. Tumor otak maligna jarang menyebar ke bagian tubuh yang lain, hanya setelah pengobatan bisa terjadi pertmbuhan sel-sel tumor lagi. Pengklasifikasian tumor otak terutama berdasar lokasi, jenis jaringan asal tumor, jinak atau ganasnya tumor. Berdasarkan jenis asal jaringan tumor dapat dibagi menjadi : Glioma PNET (primitive neuroectodermal tumors) Kraniofaringioma Tumor dari glandula pinealis. Glioma Glioma merupakan jenis tumor yang paling sering ditemukan. Tumor jenis ini berasal dari sel-sel glia, yang merupakan jaringan penunjang otak. Terdapat beberapa jenis glioma yang digolongkan berdasar lokasi ditemukannya dan jenis sel asal tumor. Astrositoma Tumor ini berasal dari sel-sel astrosit yang merupakan sel jaringan penghubung. Astrosit dapat ditemukan di berbagai tempat di otak maupun medula spinalis, sehingga astrositoma dapat ditemukan di berbagai tempat. Astrositoma merupakan jenis tumor yang tersering didapatkan pada tumor otak anak. Secara klinikopatologik, astrositoma dibagi menjadi astrositoma pilositik (WHO grade I), astrositoma difus (WHO grade II) astrositoma anaplastik (WHO grade III), glioblastoma multiforme (WHO grade IV). Sebagian besar astrositoma termasuk jenis low grade (WHO grade I – II). Tumor ini seringkali tumbuh di daerah garis tengah seperti di daerah serebelum dan regio diensefalik, termasuk jalur visual dan hipotalamus. Sebagian lainnya termasuk high grade (WHO grade III – IV) yang tergolong tumor ganas. Jenis tumor ini pada umumnya didapatkan di hemisfer serebri dan di daerah pons di batang otak. Glioma batang otak (brain stem gliomas) Tumor ini sering didapatkan pada usia sekolah dan jarang didapatkan pada orang dewasa. Glioma nervus optikus 74 Tumor jenis ini sering didapatkan pada anak-anak dengan neurofibromatosis. Ependimoma Ependimoma juga termasuk tumor sel glia. Tumor ini tumbuh pada tepi ventrikel atau medul spinalis. Pada anak-anak, tempat yang paling sering adalah dekat serebelum. Pertumbuhan tumor seringkali mengakibatkan sumbatan aliran liquor serebro spinal, sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial. PNET (primitive neuroectodermal tumors) PNET bisa didapatkan di semua tempat di otak pada anak-anak, namun lokasi tersering adalah di daerah otak bagian belakang dekat serebelum. Pada tumor yang tumbuh di daerah oeak bagian belakang dinamakan meduloblastoma. Meduloblastoma tumbuhnya cepat dan seringkali bersifat maligna, serta menyebar ke bagian otak yang lain dan medula spinalis. Kraniofaringioma Kraniofaringioma secara histologis adalah tumor jinak neuroepitelial, seringkali didapatkan pada anak umur 5 – 10 tahun. Tumor ini tumbuh dari sel skuamosa embriologik yang terdapat di daerah adenohipofisis dan duktus kraniofaringeal. Sehingga tumor didapatkan di daerah dasar otak dekat dengan nervus optikus dan pusat hormonal. Walaupun secara histologis tumor ini jinak, namun karena lokasinya yang berada di daerah yang vital, sehingga seringkali tumor residif setelah dilakukan pengobatan. PATOFISIOLOGI Pembicaraan mengenai sebab pasti terjadinya tumor pada anak masih tetap dalam penelitian. Beberapa faktor yang diyakini berperan adalah abnormalitas gen dalam mengontrol siklus perkembangan sel, infeksi virus tertentu dan paparan zat kimia tertentu pada orang tua penderita tumor. MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinik dari tumor otak sangat bervariasi tergantung pada ukuran tumor dan lokasi di mana tumor berada. Secara umum gejala dan tanda yang nampak adalah akibat dari peningkatan tekanan intra kranial. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan adanya jaringan tambahan di dalam rongga kepala yang pada akhirnya akan menghambat aliran cairan serebro spinal, sehingga terjadi bendungan cairan serebro spinal di dalam otak. Beberapa manifestasi klinik dari peningkatan tekanan intra kranial adalah : Nyeri kepala Walaupun pada orang dewasa nyeri kepala merupakan gejala yang menonjol pada keadaan tekanan intra kranial yang meningkat, tidaklah demikian pada anak-anak. Pada penelitian yang dilakukan Bailey, dilaporkan hanya 50% yang mengeluhkan nyeri kepala. Lokasi nyeri kepala yang dikeluhkan biasanya di daerah bifrontal, sehingga tidak banyak membantu untuk menentukan lokalisasi tumor. Tumor fosa posterior dapat menyebabkan iritasi pada radik saraf spinal sehingga mengakibatkan nyeri di bagian belakang kepala dan leher. Pada umumnya nyeri kepala tidak menetap, kebanyakan dikeluhkan pada pagi hari atau menyebabkan anak terbangun pada waktu tidur malam hari. 75 Muntah Muntah merupakan salah satu tanda peningkatan tekanan intra kranial yang dijumpai pada anak-anak. Dari penelitian yang dilakukan Bailey, didapatkan 84% penderita tumor otak pada anak mengalami muntah. Muntah dapat merupakan akibat dari peningkatan tekanan intra kranial ataupun iritasi pada batang otak oleh tumor fosa posterior. Muntah bisa bersifat tidak proyektil, dan dapat berbarengan dengan mual. Seringkali orang tua penderita mengatakan bahwa muntah dapat mengurangi nyeri kepala yang terjadi. Seperti pada nyeri kepala, muntah juga sering didapatkan pada pagi hari dan tidak berhubungan dengan makan. Papil edema Bailey dalam penelitiannya menemukan 85% anak-anak penderita tumor mengalami papil edema. Kaburnya batas diskus dan tidak adanya pulsasi vena sentralis merupakan tanda awal dan sangat penting pada pemeriksaan oftalmoskopi. Apabila peningkatan tekanan intra kranial berlanjut, maka dapat terjadi pembuntuan vaskular disertai adanya perdarahan dan eksudat. Mekanisme terjadinya papil edema adalah adanya ruang subarahnoid di sekitar nervus optikus yang merupakan kelanjutan dari dalam ruang kranium menyebabkan transmisi dari tekanan intra kranial. Ketika terjadi peningkatan tekanan maka tekanan pada jaringan nervus optikus juga meningkat. Gangguan penglihatan Diplopia biasanya sebagai akibat dari paralisis satu atau dua muskulus rektus lateralis. Strabismus akan lebih terlihat pada saat sore atau malam hari, berfluktuasi sesuai dengan beratnya peningkatan tekanan intra kranial. Kejang Kejang jarang merupakan pertanda awal dari tumor otak pada anak. Pada sebuah penelitian dilaporkan, kejang hanya meliputi 15% dari anak yang menderita tumor otak. Dengan semakin besarnya tumor, maka kejang akan semakin sering terjadi. Kejang merupakan gejala yang paling akhir pada tumor fosa posterior. Jenis kejang yang paling sering terjadi adalah parsial komplek. Tumor yang terletak di lobus temporalis yang paling banyak menimbulkan gejala kejang. Perubahan afek dan kesadaran Walaupun perubahan mental dan problem psikiatri banyak didapatkan pada penderita tumor otak dewasa dan merupakan pentunjuk lokasi lesi di lobus frontalis atau temporalis, hal ini jarang terjadi pada penderita tumor otak anak-anak. Pada anak-anak yang sering terjadi adalah anak menjadi sering mengantuk, perubahan kepribadian, iritabilitas, yang menunjukkan keterlibatan hipotalamus maupun talamus. Sedangkan tumor di daerah frontal sering menunjukkan gejala perubahan pola tidur dan selera makan. Pada peningkatan tekanan intra kranial dan penekanan pada sistim aktifasi retikular akan terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif. 76 Penurunan fungsi jantung dan pernapasan. Gejala dan tanda yang muncul sebagai akibat adanya tumor bervariasi tergantung letak tumornya. Pada tumor di supra tentorial akan terjadi : Kejang Gangguan penglihatan Bicara gagap (slurred speech) Hemiparesis Peningkatan tekanan intra kranial Mengantuk dan bingung (drowsiness, confusion) Perubahan kepribadian. Pada tumor di infra tentorial akan terjadi : Gangguan penglihatan atau penglihatan dobel Nyeri kepala Paralisis nervi kranialis atau hemiparesis Gangguan pernapasan Peningkatan tekanan intra krranial Muntah Nyeri kepala Ganguan koordinasi Gangguan jalan (ataksia) DIAGNOSIS BANDING Peningkatan tekanan intra kranial tidak hanya disebabkan oleh tumor otak, berbagai lesi massa di dalam rongga kepala juga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial. Pada bayi, tumor otak lebih jarang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial bila dibandingkan dengan hidrosefalus, perdarahan intra kranial, dan proses infeksi. Mulai umur 2 tahun, tumor otak merupakan penyebab tersering keadaan tekanan intra kranial yang meningkat. Abses otak Abses otak merupakan salah satu dari bentuk proses desak ruang. Abses dapat tumbuh dari penyebaran langsung bakteri dari infeksi di telinga, mastoid, dan sinus paranasal atau penyebaran secara hematogen dari sumber infeksi yang jauh. Abses otak dapat terjadi pada penderita kelainan jantung kongenital, terutama yang mengalami rightto-left shunt. Apabila dijumpai adanya peningkatan tekanan intra kranial pada penderita penyakit jantung kongenital maka kemungkinan abses otak haruslah dipikirkan yang pertama kali. Pada penderita abses otak, demam hanya ditemukan sekitar 30%, sehingga tidak didapatkannya demam tidaklah menyingkirkan kemungkinan adanya abses otak. Pseudo tumor serebri Pada pseudo tumor serebri, tekanan intra kranial meningkat tanpa adanya lesi massa. Tidak ada tanda defisit neurologis fokal, cairan serebro spinal normal, sementara 77 pencitraan menunjukkan sistim ventrikular yang normal ataupun sedikit mengecil dibandingkan ukuran normal. Ensefalitis herpes simplek Ensefalitis herpes simplek yang berat dapat menyerupai lesi pada lobus temporalis, oleh karena edema yang terjadi akibat proses infeksi, di man tempat predileksinya adalah di lobus temporalis. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG Pemeriksaan yang baik akan dapat mendeteksi tumor otak dalam fase yang lebih dini. Karena penatalaksanaan pada saat tumor dalam stadium awal akan meningkatkan tingkat kesembuhan penderita. Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya anamnesis, ditujukan untuk mencari baik kelainan difus maupun kelainan fokal. Kelainan difus diakibatkan dari peningkatan tekanan intra kranial, sedang kelainan fokal diakibatkan efek tumor pada jaringan di sekitarnya. Pada pasien yang sudah dicurigai adanya tumor otak, maka pemeriksaan neurologis ditujukan untuk mengetahui lokasi tumor. Computerized Tomography scan (CT scan) dan MRI merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tumor otak yang utama. Kedua pemeriksaan tersebut dilakukan dengan menggunakan kontras. CT scan lebih unggul dalam hal mendeteksi adanya kalsifikasi pada beberapa tumor otak. Demikian juga adanya pembesaran dan pergeseran ventrikel lebih mudah diperlihatkan dengan CT scan. Sedangkan MRI lebih unggul dari pada CT scan dalam hal memperlihatkan tumor low grade serta tumor di daerah fosa posterior juga tumor yang mengenai sela tursika dan daerah chiasma. Electro encephalography (EEG) kurang bermanfaat untuk menegakkan diagnosis tumor otak. Pada anak-anak dengan kejang parsial komplek, EEG dapat menyokong kecurigaan adanya tumor di daerah lobus temporalis. Pada beberapa penderita dengan gambaran perlambatan fokal yang kontinyu disertai adanya gelombang paku yang berkaitan dengan kejang, sangat mungkin menggambarkan adanya proses desak ruang, dan oleh karenanya diperlukan pemeriksaan neuro imaging. Foto kepala (skull photo) dapat mencurigakan adanya lesi massa intra kranial apabila memperlihatkan pelebaran sutura, erosi atau pembesaran sela tursika, osteoporosis utamanya apabila didapatkan penipisan daerah sphenoid. Ultrasound dapat digunakan untuk membantu adanya lesi massa intra kranial pada bayi dan neonatus yang fontanelanya masih terbuka. Biopsi yang dipandu dengan CT merupakan prosedur untuk mengetahui lebih pasti jenis tumor. Lumbal pungsi, dikerjakan pada kecurigaan medulobalstoma, untuk melihat apakah terdapat sel-sel tumor pada cairan serebro spinal. PENATALAKSANAAN 78 Pengobatan yang dini akan sangat meningkatkan derajat kesembuhan yang lebih baik. Tujuan dari penatalaksanaan meliputi, pengobtan tumor itu sendiri, menghilangkan berbagai keluhan yang timbul berkenaan dengan tumor sehingga anak merasa nyaman dan meningkatkan fungsi otak. Penatalaksanaan tumor pada anak bergantung pada beberapa hal, yaitu : Usia anak saat terdeteksi adanya tumor anak, kondisi fisik anak dan riwayat penyakit yang pernah maupun yang sedang diderita. Jenis, lokasi dan ukuran tumor. Penyebaran tumor. Toleransi anak pada pengobatan, maupun prosedur tertentu. Perkiraan perjalanan penyakit selajutnya. Di samping itu juga tergantung bagaimana penerimaan orang tua penderita. Beberapa macam penatalaksanaan dapat dilakukan bersama-sama. Pembedahan untuk mengangkat tumor merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan tumor otak. Beberapa tumor dapat diangkat secara keseluruhan, namun sebagian lagi tidak bisa diangkat secara keseluruhan. Pada tumor yang terletak di bagian yang dalam, apabila tidak bisa diambil secara keseluruhan, maka pembedahan dilakukan untuk mengurangi ukuran besarnya tumor. Dalam hal ini, prosedur pembedahan tetap dapat membantu mengurangi tekanan intra kranial dan mengurangi keluhan. Penatalaksanaan yang lain meliputi : Pemasangan ventriculoperitoneal shunt (VP shunt); untuk mengalirkan cairan serebro spinal yang terbendung. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra kranial yang meningkat. Kemoterapi. Sampai saat ini kemoterapi belum menunjukkan hasil yang sangat diharapkan dalam pengobatan tumor otak. Pada umumnya, kemoterapi diberikan sebagai terapi tambahan pada tumor yang tidak bisa diangkat secara keseluruhan, ataupun karena letaknya tidak mungkin dilakukan operasi pengangkatan tumor. Radioterapi. Radioterapi diberikan sebagai terapi tambahan atau pilihan pada tumortumor yang tidak bisa diangkat secara keseluruhan, ataupun pada tumor yang mengalami residif. Efek radiasi akan merusak endotel vaskular yang relatif lebih radiosensitif daripada neuron. Hal ini akan mengakibatkan obstruksi pada pembuluh darah yang kecil dan sedang serta menyebabkan thrombosis dan infark pada substansia alba bagian dalam, sementara kortek dan substansia alba yang dekat kortek relatif tidak mengalami gangguan. Pemberian obat-obatan : Kortikosteroid. Untuk mengurangi maupun mencegah terjadinya edema serebri. Deksametason merupakan pilihan untuk tumor serebri. Dosis awal adalah 0,02 – 0,3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 – 4 dosis. Pemberian deksametason harus diturunkan secara perlahan setelah 7 hari. Selain kortikosteroid, dapat juga diberikan manitol maupun diuretika yang lain. 79 Obat anti kejang. Diberikan untuk mengobati kejang yang terjadi baik sebagai akibat dari tumornya sendiri maupun sebagai akibat dari peningkatan tekanan intra kranial. Obat-obat anti kejang dapat diberikan dengan pemberian dosis sesuai berat badan anak. Apabila pernah terjadi kejang, maka obat anti kejang diberikan selamanya. Obat anti nyeri, untuk mengatasi nyeri yang timbul sebagai akibat dari tumor. Obat anti nyeri diberikan hanya apabila diperlukan. KOMPLIKASI (komplikasi tumor, pengobatan) Komplikasi yang terjadi dapat sebagai akibat dari tumornya sendiri maupun akibat dari pengobatan, khususnya radioterapi dan kemoterapi. Komplikasi dari tumor yang paling serius adalah terjadinya herniasi otak sebagai akibat terjadinya peningkatan tekanan intra kranial. Sedangkan komplikasi dari radioterapi dapat terjadi selama penyinaran, segera sesudahnya, maupun berjangka waktu agak lama dari saat penyinaran. Gangguan neurologis yang terjadi adalah karena terjadinya edema serebri akibat dari kerusakan vaskular dan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, sehingga terjadi perivaskular edema, perdarahan kecil-kecil dan trombi. Manifestasi kliniknya bervariasi, namun pada umumnya ditandai dengan letargi, mual dan muntah, kejang, dan perburukan atau kembalinya defisit neurologis. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi adalah gangguan fungsi kognisi. Komplikasi kemoterapi bisa berupa mielosupresi, anoreksia, kerusakan ginjal dan hepar, gangguan pendengaran maupun komplikasi metabolik yang lain. Sementara itu, gangguan pertumbuhan dan infertilitas dapat terjadi sebagai akibat sekuele dari kemoterapi. PROGNOSA Prognosis dari tumor otak pada anak sangat bervariasi, tergantung pada beberapa hal : Tipe dan jenis tumor; Lokasi dan ukuran besarnya tumor; Ada tidaknya metastasis; Respon tumor terhadap pengobatan; Toleransi anak terhadap pengobatan; Umur anak dan kondisi fisik anak secara umum; Perkembangan terbaru dari pengobatan tumor. Pada low grade astrositoma, rata-rata untuk angka harapan hidup 10 tahun (years survival rate = ysr) adalah 60% - 95%. Sedangkan untuk high grade astrositoma 10 ysr kurang dari 30%, di mana yang bisa bertahan, hidup dengan kecacadan. Pada meduloblastoma, 5 ysr paling tinggi adalah 78% dengan catatan tidak ada metastasis dan tumor yang tersisa setelah operasi tidak lebih dari 1,5cm2. Sementara untuk tumor yang sudah ada metastasis serta ukuran tumor setelah operasi masih bersisa lebih dari 1,5cm2, prognosis berkisar antara 30% - 50%. Sedangkan pada anak-anak kurang dari 3 tahun, angka 5 ysr berkisar 30%. Pada ependimoma, besar kecilnya tumor yang bisa direseksi sangat mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang bisa dilakukan reseksi otal atau hampir total (lebih dari 90%), memiliki 5 ysr sebesar 50% - 80%. Sedang bagi yang reseksi hanya bisa dilakukan kurang dari 90% besar tumor, angka 5 ysr paling tinggi adalah 26%. 80 Kraniofaringioma memiliki angka 10 ysr antara 86% - 100% pada penderita yang bisa direseksi secara total. Sedangkan bagi yang reseksinya subtotal atau yang rekuren dan dilakukan radioterapi, angka 10 ysr berkisar 57% - 86%. TUMOR MEDULA SPINALIS Tumor medula spinalis bisa didapatkan pada berbagai tempat sepanjang medula spinalis. Angka kejadian tumor medula spinalis pada anak-anak sekitar seperlima dari keseluruhan tumor pada sistim saraf pusat. Sedangkan untuk tumor intra medula dilaporkan kejadiannya 35 – 40% dari keseluruhan tumor pada medula spinalis. Beberapa jenis tumor pada medula spinalis, baik yang terdapat pada intra medula maupun ekstra medula dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Jenis tumor Astrositoma Ependimoma Meningioma Neurofibroma Sarkoma Schwanoma Asal jaringan / sel Sel-sel dari jaringan penyangga sel saraf Dinding sel pada kanalis sentralis medula spinalis Sel-sel mening (selaput otak) Sel-sel yang menyanga sel saraf tepi Sel jaringan penghubung (connective tissue) Sel myelin yang menyelubungi saraf perifer (sel schwan) Sifat tumor Bisa jinak atau ganas Jinak Jinak, namun dapat berulang dan kadangkadang menjadi ganas Biasanya jinak Ganas Biasanya jinak. PATOFISIOLOGI Seperti juga tumor di tempat lain, tumor medulla spinalis juga masih belum jelas benar penyebabnya. Dugaan paling kuat adalah keterlibatan faktor genetika. Astrositoma dan ependimoma sering dijumpai pada pasien neurofibromatosis tipe 2, di mana dijumpai kelainan pada kromosom 22. Sementara itu hemangioblastoma dijumpai pada 30% pasien sindroma Von Hippel-Lindau yang berkaitan dengan kelainan pada kromososm 3. MANIFESTASI KLINIK Untuk kepentingan klinik, biasanya tumor pada medula spinalis dibagi menjadi tumor intra medula, tumor ekstra medula – intra dura, dan tumor ekstra dura. Tumor intra medula biasanya mengakibatkan kelemahan dan atrofi yang simetris pada segmen yang terkena, sedangkan pada tumor ekstra medula kelemahan cenderung unilateral. Tumor ekstra medula seringkali diawali dengan keluhan nyeri yang sesisi pada distribusi segmen yang terkena. Nyeri biasanya bersamaan dengan keluhan baal dan parestesia. Gangguan berjalan, nyeri dan kekakuan pada punggung dan tungkai pada umumnya merupakan keluhan awal tumor medula spinalis. Pada tumor ekstra medula, kekakuan pada punggung kadang-kadang tidak disertai dengan keluhan nyeri, kemudian berlanjut dengan inkontinensia urin dan gangguan sensoris. 81 Defisit neurologis diakibatkan oleh dua gangguan, yaitu terganggunya medula spinalis secara segmental serta terganggunya traktus ascenden dan descenden di dalam medula spinalis. Adanya kelemahan yang segmental, atrofi, hiporefleksia dan gangguan sensoris merupakan akibat dari terganggunya substansia grisea pada sentral medula spinalis atau akar saraf spinal. Sedangkan terganggunya traktus ascenden dan descenden akan berakibat spastisitas, defisit sensoris yang sesuai dengan segmen medula spinalis dan gangguan berkemih. Sindroma Brown – Sequard merupakan akibat dari tumor ekstra medula dan terjadi hemiseksi medula spinalis. Sindroma ini terdiri dari kelemahan homolateral, spastisitas, ataksia serta gangguan nyeri dan suhu kontra lateral lesi. Dapat juga dijumpai adanya nistagmus dan papil edema. Pada beberapa keadaan, papil edema sebagai akibat terganggunya absorpsi liquor serebro spinal karena tumpukan material musinus akibat dari proses degenerasi tumor. Beberapa keadaan lain yang bisa menyebabkan papil edema adalah infiltrasi lapisan selaput otak oleh tumor, perdarahan subarahnoid, dan hidrosefalus karena malformasi Arnold – Chiari. PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG Pemeriksaan lebih lanjut perlu segera dilakukan apabila ditemukan nyeri punggung (dapat ditimbulkan dengan mengetuk tulang vertebra dengan hammer reflek) atau nyeri pada ekstremitas disertai dengan gangguan berkemih dan buang air besar, gangguan berjalan, kelemahan otot serta kelainan pada vertebra. Foto polos vertebra dapat memberikan dugaan adanya tumor medula spinalis. Dapat dijumpai adanya destruksi tulang, erosi dari pedikel atau korpus vertebra dan pelebaran jarak antar pedikel. MRI dengan pemberian kontras merupakan pilihan utama untuk menegakkan diagnosis tumor medula spinalis, menggantikan pemeriksaan dengan CT scan dan myelografi. PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS Pembedahan merupakan terapi utama tumor medula spinalis. Tumor ekstra medula yang dapat diambil total memberikan prognosis yang sangat bagus. Pada tumor ekstra medula yang tidak bisa diambil total, biasanya bisa mengurangi bahkan menghilangkan keluhan dalam waktu yang lama, terutama apabila setelah pembedahan diikuti dengan radioterapi. Tumor intra medula akan memberikan prognosis yang lebih bagus apabila menggunakan teknik pembedahan yang moderen seperti ultrasonic aspirator, contact laser dan disertai neurophysiological intra operative monitoring. Pada tumor yang ganas, pembedahan berupa dekompresi dan debulking harus diikuti dengan radioterapi. Pada umumnya tumor intra medula adalah jinak, yaitu astrositoma dan ependimoma dan memiliki prognosis yang bagus. Sedang glioblastoma, neuroblastoma dan sarkoma memiliki prognosis buruk. KOMPLIKASI Komplikasi pada umumnya akibat radiasi. Dapat terjadi myelopati yang bersifat sementara atau myelomalacia yang ireversibel. Myelopati ditandai dengan parastesi atau 82 sensasi seperti kejutan listrik di ekstremitas yang dipicu oleh gerakan fleksi pada leher. Myelomalasia berupa paraplegia ssebagai akibat dari gannguan pada pembuluh darah. Komplikasi akibat radiasi yang jarang terjadi adalah amiotrofi, mielitis akut transversa dan myelopati yang berkembang menjadi mielitis transversa. FAKOMATOSIS (SINDROMA NEUROKUTANEUS) Fakomatosis adalah kelompok penyakit herediter yang ditandai dengan kecenderungan adanya malformasi dan tumor di sejumlah organ, khususnya di kulit dan sistem saraf pusat. Beberapa penyakit yang biasanya digolongkan dalam fakomatosis adalah neurofibromatosis, tuberous sklerosis, sindroma Sturge-Weber, penyakit von Hippel-Lindau, dan ataxia-telangiectasia. NEUROFIBROMATOSIS (penyakit von Recklinghausen) Neurofibromatosis diturunkan secara autosomal dominant. Secara umum, neurofibromatosis dibagi menjadi dua berdasarkan letak kelainan kromosom, yaitu neurofibromatosis tipe 1, kelainan terletak pada kromosom 17q.11.2. dan neurofibromatosis tipe 2, kelainan terletak pada kromosom 22q12. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1 Neurofibromatosis tipe 1 disebut juga sebagai neurofibromatosis perifer. Walaupun sebenarnya istilah neurofibromatosis perifer kurang tepat, karena sistim saraf pusat kadang-kadang juga mengalami kelainan. Angka kejadian neurofibromatosis 1 adalah 1 di antara 2500 – 3000 kelahiran hidup. Manifestasi klinik Penyakit ini ditandai adanya berbagai tumor di sistim saraf pusat maupun perifer, pigmentasi kulit, lesi pada vaskular dan organ, serta ada kecenderungan pada beberapa jaringan berubah menjadi ganas. Lesi pada kulit yang paling sering dijumpai adalah café au lait spot. Lesi ini berupa area coklat muda, biasanya didapatkan di daerah badan. Lesi ini sebagai akibat aktifitas melanoblas pada lamina basalis epidermis. Berbagai tipe tumor kulit dapat dijumpai, yang khas untuk neurofibromatosis adalah pedunculated molluscum fibrosum dan neurofibroma subkutan. Lokasi lesi bisa pada satu serabut saraf, ataupun sekelompok serabut saraf di punggung atau badan. Pada umumnya tumor akan bertambah besar seiring bertambahnya umur. Nodul multipel pada iris pertama kali digambarkan oleh Lisch. Nodul Lisch awalnya berwarna terang, semakin lama menjadi bertambah gelap. Nodul ini didapatkan pada pasien yang berumur lebih dari 21 tahun, sedangkan pada anak-anak usia 5-6 tahun hanya didapatkan separuh. Abnormalitas pada tulang menyebabkan sering terjadi short stature, kifoskoliosis. Hipertensi sering didapatkan sebagai akibat pheochomocytoma atau stenosis arteri renalis. Manifestasi neurologi dapat dibagi menjadi 5 golongan : 83 1. Gangguan kognitif. Walaupun sebanyak 40% pasien mengalami gangguan belajar, namun hanya sedikit yang mengalami retardasi. Pada umumnya gangguan ini asimtomatis. 2. Tumor intra kranial. Dapat terjadi sepanjang waktu, yang paling sering adalah nervus optikus. Adanya tumor intra cranial dapat menyebabkan kejang fokal maupun general. 3. Tumor pada saraf perifer. Dapat terjadi di semua umur, dan mengenai saraf-saraf yang besar. Tumor dapat dijumpai pada saraf otonom yang menginervasi organ. Organ yang sering terganggu adalah lambung, lidah, mediastinum, usus besar, medulla adrenalis. 4. Tumor intraspinal. Pada umumnya berkembang lebih lambat dari pada tumor intra cranial. Sekitar 50% berupa tumor multiple, dan sering kali dijumpai bersamaan dengan malformasi lain seperti siringomielia. 5. Stroke. Hal ini sering terjadi sebagai akibat dari sumbatan pada vascular di otak. Lokasi yang paling sering mengalami sumbatan adalah cabang-cabang dari arteri karotis interna. Diagnosis Kriteria diagnosis untuk neurfibomatosis tipe 1 adalah apabila dijumpai dua atau lebih di antara tujuh kriteria ini : 1. Didapatkan enam atau lebih macula café au lait dengan diameter lebih dari 5mm untuk pasien prapubertas dan lebih dari 15mm untuk pasien pascapubertas. 2. Didapatkan dua atau lebih neurofibroma berbagai tipe, atau satu neurofibroma pleksiform. 3. Bintik-bintik pada daerah inguinal atau aksila. 4. Glioma optikus 5. Didapatkan dua atau lebih nodul Lisch (hamartoma iris) 6. Lesi tulang yang khusus seperti displasia pada tulang sfenoid, penipisan lapisan kortek tulang-tulang panjang dengan atau tanpa disertai pseudoartrosis. 7. Keturunan pertama dari pasien neurofibromatosis 1 sesuai dengan kriteria di atas. NEUROFIBROMATOSIS TIPE 2 Neurofibromatosis tipe 2 berbeda secara klinis maupun genetik dari neurofibromatosis tipe 2, ditandai dengan tumor intrakranial, khususnya schwanoma vestibular bilateral. Angka kejadiannya lebih jarang sekitar 1 di antara 30.000 sampai 120.000 kelahiran hidup. Kelainan genetik yang terjadi pada penyakit ini adalah ketiadaan schwanomin, suatu protein yang dihasilkan kromosom 22, yang menyebabkan migrasi sel atau hilangnya inhibisi kontak. Namun demikian bagaimana korelasi dengan manifestasi klinik penyakit ini belum jelas. Manifestasi klinis Manifestasi klinis neurofibromatosis tipe 2 ditandai schanoma vetibular bilateral (neurinoma akustik). Pada umumnya tumor ini asimtomatis pada saat pubertas. Beberapa jenis tumor lain yang dijumpai adalah meningioma, tumor multipel yang berasal dari glia atau meningeal. Lesi pada kulit seperti café au lait atau neurofibroma lebih jarang dijumpai. 84 Diagnosis Kriteria diagnosis neurofibroma tipe 2 adalah apabila dijumpai satu atau lebih dari : 1. Schawnoma vestibular bilateral 2. Orang tua, saudara kandung atau anak dengan neurofibroma 2 disertai dengan massa nervus akustik unilateral lain atau dijumpai dua dari neurofibroma, meningioma, glioma, schwanoma atau juvenile posterior subscapular lenticular opacity. Penatalaksanaan dan prognosis Penatalaksanaan yang dilakukan simtomatik. Tindakan bedah pada tumor untuk memperpanjang hidup. Apabila tumor terbatas pada saraf perifer, prognosisnya bagus. Sedang tumor intrakranial, prognosis tergantung pada lokasi tumor. Pemeriksaan genetik dilakukan untuk mengetahi apakah ada faktor herediter ataukah terdapat mutasi genetik. TUBEROUS SKLEROSIS Merupakan penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominant. Angka kejadiannya adalah 1 di antara 6000 sampai dengan 15.000. Abnormalitas dapat dijumpai di otak, mata, kulit, ginjal, tulang, jantung, dan paru. Di otak secara makroskopik didapatkan adanya ”tuber”, suatu area jaringan glia yang keras dengan berbagai ukuran. Tuber dapat berada di berbagai lokasi di hemisfer cerebri. Tumor dapat berkembang dari tuber kortikal atau subependimal. Tumor subependimal biasanya terletak di dinding ventrikel lateral atau di permukaan ganglia basalis. Walaupun jarang berubah menajdi maligna, namun dapat terjadi pembuntuan formen Monro. Manifestasi klinis Manifestasi klinis dapat bervariasi tergantung dari umur onset, berat ringannya serta kecepatan progresifitas. Terdapat empat gangguan utama yaitu retardasi mental, epilepsi, lesi di kulit dan tumor di berbagai organ termasuk di otak. Deteriorasi mental dapat merupakan gangguan tersendiri atau akibat dari kejang yang tidak terkontrol maupun karena peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat dari pembuntuan foramen Monro. Kejang atau berbagai bentuk bangkitan epilepsi lain merupakan keluhan utma yang sering dijumpai pada pasien tuberous sklerosis. Derajat beratnya kejang dan respon terhadap obat anti epilepsi tidak dapat diramalkan. Dan seringkali menjadi epilepsi yang intraktabel. Adenoma sebaseum (angiofibroma) merupakan karakteristik klinis lesi di kulit. Lesi berupa makula kemerahan di daerah hidung, dagu dan pipi, muncul saat usia 1 – 5 tahun. Dijumpai beberapa rambut yang berwarna abu-abu atau putih pada jumlah yang cukup besar. Adanya perubahan warna pada rambut merupakan manifestasi klinis awal tuberous sklerosis dan seringkali mendahului terjadinya depigmentasi nevus. Depigmentasi nevus dibedakan dari vitiligo, dimana pada vitiligo tidak didapatkan 85 melanosit, sedang pada depigmentasi nevus jumlah melanosit tetap tetapi kandungan melaninnya berkurang. Tumor intra kranial lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan neurofibromatosis. Terdapat tiga jenis tumor yang bisa dijumpai yaitu giant cell astrocytoma (sering tumbuh dan menyebabkan tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial), tuber kortikal dan nodul subependimal. Tumor ekstrakranial yang paling sering dijumpai terletak di retina. Lokasi lain yang pernah dijumpai adalah kulit, ginjal, tulang, hati dan limpa. Penyebab kematian yang tersering adalah status epileptikus, gangguan ginjal, tumor otak, dan limphangiomiomatosis pada paru. Diagnosis Diagnosis berdasarkan karakteristik lesi kulit, epilepsi, dan ganguan atau deteriorasi mental. Pada bayi, dapat dikombinasikan dengan depigmentasi nevus, spasme infantil, dan gangguan tumbuh kembang. Pada tahun 1998 National Institute of Health mengeluarkan konsensus untuk kriteria diagnosis tuberous sklerosis, yaitu : Definite tuberous sclerosis, apabila dijumpai sedikitnya dua gambaran mayor atau satu gambaran mayor disertai dua gambaran minor. Probable tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor dan satu gambaran minor. Possible tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor atau dua atau lebih gambaran minor. Adapun yang termasuk gambaran mayor dan minor adalah sebagai berikut : Gambaran mayor : Manifestasi kulit Angiofibroma wajah Fibroma ungual Lebih dari tiga makula hipomelanotik Shagreen patch Lesi di otak Tuber kortikal Nodul subependimal Subependymal giant cell astrocytoma Lesi mata Nodul hamartoma multipel pada retina Tumor organ lain Rhabdomioma jantung Lymphangioleiomyomatosis Angiomiolipoma ginjal Gambaran minor Multiple randomly distributed pits in dental enamel Polip rekti Kista tulang 86 Abnormalitas migrasi pada substansia alba otak pada neuroimaging Fibroma gingiva Hamartoma non renal Bercak achromik pada retina Confetti skin lesions Kista renal multiple Pemeriksaan CT scan kepala tidak dapat menunjukkan gambaran yang pasti untuk tuberous sklerosis. Gambaran yang dijumpai adalah penumpukan kalsium yang multipel, dengan ukuran yang bervariasi, terletak di daerah yang berdekatan dengan dinding ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta foramen Monro. Pemeriksaan MRI kepala dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tuberous sklerosis. Dapat dijumpai gambaran lesi supratentorial meliputi tuber kortikal, nodul subependimal, subependymal giant cell astrocytoma, white matter linear migration lines, agenesis atau displasi korpus kalosum, displasia kortikal. Lesi infra tentorial jarang didapatkan. Apabila dijumpai fokus menyerupai kistik pada jari-jari, dapat dijadikan petunjuk mengarah ke tuberous sklerosis. Lesi ini tidak tampak saat lahir, mulai timbul saat pubertas. Penatalaksanaan dan prognosis Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang spesifik untuk tuberous sklerosis. Untuk penanganan kejang, diberikan obat anti epilepsi yang sesuai. Untuk spasme infantil maupun tuberous sklerosis vigabatrin merupakan pilihan utama. Tindakan bedah untuk mereseksi tuber epilepstogenik memberikan hasil yang cukup memuaskan ditandai dengan berkurangnya frekuensi kejang. SINDROMA STURGE-WEBER Sindroma Sturge-Weber disebut juga sebagai ensefalotrigeminal angiomatosis. Sindroma ini ditandai dengan angioma pada wajah terutama di daerah inervasi n. Oftalmikus dan n. Maksilaris, deteriorasi neurologis yang berulang dan keterlambatan tumbuh kembang neurologis. Angioma di wajah disebut juga port wine stain. Ciri khas anomali pembuluh darah intrakranial adalah angiomatosis leptomeningeal pada satu atau lebih lobus otak pada satu atau kedua hemisfer. Tidak ada bukti ditemukannya faktor herediter pada sindroma ini. Patogenesis Dua anomali struktur pada sindroma Sturge-Weber melemahkan aliran darah otak. Pertama obstruksi pada angiomatosis menyebabkan stasis, penurunan aliran balik vena, dan hipoksia. Kedua, gangguan pembuluh darah pada leptomeningeal mengakibatkan terhalangnya oksigenasi neurglia, terutama pada saat kebutuhan meningkat, seperti pada saat terjadi kejang. Hipoksia mengakibatkan sejumlah perubahan fisiologis, yaitu abnormalitas aliran pada pelksus yang dalam dan hipertrofi pleksus choroideus, peningkatan permeabilitas kapiler, gangguan pada keasaman (pH), deposisi kalsium, atrofi serebri dan terkoyaknya blood brain barrier. 87 Buruknya aliran vena pada satu atau kedua hemisfer ditunjukkan dengan adanya pelebaran pembuluh darah kortikal melewati batas angiomatosis leptomeningeal. Kelemahan vaskular bertanggungjawab terhadap berulangnya deteriorasi neurologis dan keterlambatan tumbuh kembang neurologis. Fenomena berulangnya deteriorasi dapat diterangkan dengan berulangnya kejadian thrombosis yang disebabkan oleh stasis mikrosirkuler pada angioma leptomeningeal. Stasis yang terjadi mengakibatkan progresifitas dan berulangnya infark yang mendasari gangguan neurologis. Predileksi angioma leptomeningeal adalah di lobus oksipital atau daerah oksipitoparietal. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat dinding pembuluh darah angioma ditutupi dengan deposit kalsium dan besi. Manifestasi klinik Sindroma Sturge-Weber merupakan penyakit yang progresif. Prot wine nevus pada kulit sudah terlihat saat kelahiran dan melibatkan setidaknya satu kelopak mata atau area supra orbital. Angioma juga sering dijumpai pada membran mukosa faring maupun organ lain. Angioma pada membran choroid mata berhubungan dengan buftalmos dan glaukoma kongenital unilateral. Tidak semua bayi atau anak-anak dengan malformasi vaskular kutaneus di wajah menderita sindroma Sturge-Weber. Apabila malformasi vaskular tersebut terdapat pada area n. Oftalmikus, maka kecenderungan untuk menderita sindroma Sturge-Weber meningkat. Sebagian besar penderita sindroma Sturge-Weber mengalami kejang fokal atau general. Kejang seringkali merupakan manifestasi klinik yang awal dan seringkali terjadi pada tahun pertama kehidupan. Seringkali kejang menjadi refrakter terhadap obat anti epilepsi dan diikuti dengan hemiparesis sementara ataupun menetap. Hemiparesis sering diikuti dengan hemianopia homonim. Gejala klinik lain yang dapat dijumpai antaara lain nyeri kepala vaskular, retardasi mental dan keterlambatan tumbuh kembang, glaukoma, hemiparesis dan hemianopsia. Diagnosis Diagnosis sindroma Sturge-Weber dibuat berdasarkan adanya atau ketiadaan gangguan neurologis dan oftalmologis. Apabila dijumpai kejang dan nevus vaskular di wajah, maka kecurigaan menderita sindroma Sturge Weber meningkat. MRI merupakan pemeriksaan tambahan pilihan untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan CT scan kepala dapat menunjukkan lokasi kalsifikasi intrakranial. Penatalaksanaan dan prognosis Penderita sindroma Sturge-Weber memerlukan pengawasan untuk memonitor perkembangan glaukoma, kejang, nyeri kepala dan episode stroke. Terapi medisional dan tindakan bedah untuk glaukoma ditujukan untuk mengontrol tekanan bola mata serta mencegah kerusakan pada nervus optikus. Terapi laser untuk malformasi vaskular di wajah sebaiknya segera dikerjakan untuk mendapatkan kebrhasilan yang lebih baik. Kejang harus dikelola dengan baik untuk mengurangi efek hipometabolisme dan hipoksia. Apabila berkembang menjadi intraktabel, maka perlu dipertimbangkan untuk dilakukan bedah epilepsi. 88 Hemiparesis dan gangguan lapang pandang sementara tidak selalu berkaitan dengan kejang, oleh karena itu diperlukan monitoring yang baik. Aspirin direkomendasikan dengan dosis 3 – 5 mg/KgBB/hari untuk profilaksis episode menyerupai stroke tersebut. Untuk mengatasi migren, pada umumnya cukup responsif dengan pemberian obat untuk menghilangkan dan mencegah migren. Golongan triptan cukup aman untuk diberikan. Prognosis sindroma Sturge-Weber bervariasi. Walaupun sering didapatkan komplikasi neurologis, namun fungsi-fungsi lainnya masih dalam batas normal. ATAKSIA TELANGIEKTASIS Ataksia telangiektasis ditandai dengan ataksia serebelar yang progresif lambat, apraksia okulomotor, khoreoatetosis, telangiektasis pada kulit dan konjungtiva, kecendrungan mendapatkan infeksi bronkopulmonal, neoplasia limforetikular, keganasan lain, sensitifitas terhadap radiasi ionisasi. Angka kejadian penyakit ini 1 di antara 40.000 kelahiran, disebabkan kelainan pada kromosom 11. Manifestasi klinik Tanda-tanda gangguan serebelar muncul saat bayi dan awal masa kanak-kanak. Ciri khas telangiektasis muncul pada area yang terpapar sinar, yaitu konjungtiva bulbi, hidung, telinga, leher, fosa antekubiti dijumpai pada usia 3 – 10 tahun, semakin jelas terlihat dengan semakin banyak paparan dengan sinar ultraviolet. Sekitar 85%penderita mengalami khoreoatetosis, apraksia gerakan mata dan nistagmus. Hipotonia, menurunnya reflek tendon dan kelemahan otot muncul belakangan. Intelegensia pada umumnya terganggu seiring dengan berkembangnya penyakit. Sebagian besar penderita mengalami infeksi sinopulmonar berulang, dan sering dijumpai neoplasma. Diagnosis Diagnosis mudah ditegakkan apabila dijumpai lesi okulokutaneus dan gambaran kelainan neurologis khususnya apraksia okulomotorik. Apabila tidak semua gejala dan tanda khas muncul, dapat dibantu dengan pemeriksaan uji radiosensitif, immunoblotting dan deteksi mutasi genetik. Pemeriksaan MRI menunjukkan atrofi serebelar. Penatalaksanaan Tidak ada pentalaksanaan khusus untuk mencegah progresifitas. Untuk prevensi infeksi sinopulmonar yang berulang dapat diberikan imunoglobulin serta pemberian antibiotik dan drainasi postural. PENYAKIT VON HIPPEL-LINDAU Penyakit ini ditandai dengan hemngioblastoma serebelar, angioma medula spinalis, kista multipel kongenital pada pankreas dan ginjal, karsinoma renal dan 89 hemangioma retinal. Kelainan terletak pada kromosom 3 dan diturunkan secara autosomal dominant. Penyakit Von Hippel-Lindau tidak tampak pada masa kanak-kanak, baru terlihat pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Keterkaitan antara lesi retina dan otak dengan lesi sistemik cenderung progresif dan semakin tampak pada saat dewasa. KEPUSTAKAAN Menkes J.H., Till K., 1995. Tumors of the Nervous System. In : Menkes J.H. Textbook of Child Neurology.5th ed. Baltimore, Maryland, William & Wilkins, pp: 635-74. Maria BL, Menkes JH, 2006. Tumors of the Nervous System. In : Menkes JH. Textbook of Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 740-802. Maria BL, Menkes JH, 2006. Neurocutaneous Syndrome. In : Menkes JH. Textbook of Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 804-829 Jallo G.I., Freed D., Epstein F (2003) Intramedullary spinal cord tumors in children. Childs Nerv Syst 19:641–649. Nanda R., 2006. Brain tumor – children. http://www..nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000768.htm Cripe T.P., 2007. Brain Tumors. http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22484/router.asp Mac Donald T., 2006. Astrocytoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic154.htm Lasky III J.L., 2007. Craniopharyngioma. http://www. Emedicine.com/ped/topic158.htm Mac Donald T., 2006. Ependymoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic693.htm Mac Donald T., 2006. Meduloblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1396.htm Lacayo N.J., 2007. Neuroblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1570.htm Stefanovic I.S., et al (2005) The Application of Sandostatin in Therapy of High Risk Medulloblastomas. Medicine and Biology Vol.12, No 3, 2005, pp. 170 – 173. Jallo G.I., 2007. Pediatric Spinal Cord Tumors. http//www.spineuniverse.com/displayarticle.php/article1462.html Shapiro W.R., 2008. Spinal Cord Tumors. http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch088/ch088.c.html GANGGUAN SARAF TEPI DAN OTOT 90 A. POLIO Definisi Poliomielitis merupakan infeksi enterovirus yang bisa bermanifestasi menjadi 4 bentuk yang berbeda (lihat klasifikasi). Sebelum abad ke-19 poliomielitis timbul secara sporadik. Selama abad ke-19 dan 20, poliomielitis epidemik lebih sering dijumpai, yang mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1950-an. Semenjak program imunisasi yang agresif, prevalensi di seluruh dunia menurun secara signifikan. Epidemiologi Tidak ada lagi kasus polio tipe-ganas yang pernah dilaporkan di AS sejak tahun 1979. Hingga tahun 1998, kira-kira 8-10 kasus yang berkaitan dengan vaksinasi dilaporkan setiap tahunnya. Sejak kebijakan penetapan penggunaan vaksin poliovirus inaktif (IPV) dalam imunisasi rutin, kasus yang berkaitan dengan vaksinasi berkurang secara signifikan. Insiden secara global penyakit ini telah berkurang lebih dari 99% sejak tahun 1988. Empat negara terakhir yang masih melaporkan adanya transmisi poliovirus tipe ganas yaitu Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan India, juga menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam eradikasi poliomielitis sejak tahun 2009. Pria dan wanita pada usia anak-anak ditemukan seimbang. Penyakit ini terutama mengenai anak-anak, namun bisa juga ditemukan pada segala usia (terutama yang mengalami gangguan fungsi imun). Etiologi Virus Polio merupakan enterovirus yang termasuk dalam famili picornaviridae. Virus-virus ini resisten terhadap eter dan kloroform, tapi bisa diinaktivasi dengan formaldehid. Virus ini bermultiplikasi dalam saluran cerna tapi bersifat neurotropik. Patofisiologi Virus Polio merupakan virus RNA yang ditransmisikan melalui rute fekaloral atau melalui air yang terkontaminasi. Ada 3 serotipe yang bisa menginfeksi manusia. Masa inkubasi penyakit ini adalah 5-35 hari. Partikel virus awalnya bereplikasi di nasofaring dan saluran cerna dan kemudian menginvasi jaringan limfoid, diikuti penyebaran secara hematologik. Setelah periode viremia, virus menjadi bersifat neurotropik dan menyebabkan kerusakan neuron motorik pada kornu anterior dan batang otak. Kerusakan neuron-neuron ini mengakibatkan terjadinya paralisis flaksid, dengan distribusi spinal atau bulbar. Klasifikasi Poliomielitis bisa bermanifestasi dalam 4 bentuk berbeda: 1. Asimtomatik (inapparent infection) 2. Penyakit abortif 3. Tipe nonparalitik 4. Tipe paralitik 91 Manifestasi klinis 1. Kasus ringan/tidak bergejala (inapparent infection) Sebagian besar pasien yang terinfeksi virus polio berkembang menjadi infeksi yang tidak bergejala (inapparent infection) dan seringkali asimtomatik. 2. Tipe abortif Pada kasus poliomielitis abortif (5-10%), ditemukan riwayat gejala dan tanda nonspesifik seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, nyeri perut, hiperemia orofaring, dengan temuan pemeriksaan neurologik normal. Durasi penyakit biasanya kurang dari 5 hari. 3. Tipe nonparalitik Pada poliomielitis nonparalitik, gejala yang ditemukan serupa dengan yang dijumpai pada tipe abortif, disertai adanya tanda iritasi meningen. 4. Tipe paralitik Poliomielitis paralitik (< 5%) memperlihatkan manifestasi sistemik, seperti gagal napas, selain gejala-gejala yang ada pada tipe nonparalitik. Beberapa tanda klinis yang khas yaitu gangguan neuron motorik bisa terlokalisir atau luas, sering ditemukan gangguan fungsi otot yang asimetris yang melibatkan kelompok-kelompok otot besar, atrofi otot biasanya dijumpai beberapa minggu setelah mulainya gejala. Pemulihan pada tipe ini bisa komplit, parsial atau tidak ada pemulihan sama sekali. Pemeriksaan penunjang 1. Laboratorium Pengambilan sampel cairan serebrospinal (CSS), feses, dan apusan tenggorok untuk pemeriksaan kultur virus pada pasien yang dicurigai menderita poliomielitis. Selain itu, bisa dilakukan pemeriksaan konsentrasi antibodi serum terhadap 3 virus polio. Peningkatan 4 kali lipat titer antibodi IgG atau titer antiIgM positif selama stadium akut dianggap sebagai diagnostik. 2. Radiologis/Pencitraan Ferraz-Filho dkk menemukan bahwa magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam membedakan poliomielitis paralitik terkait-vaksin dan kondisi lainnya dan dalam menilai derajat lesi. Choudhary dkk meneliti poliomielitis di India dan menyimpulkan bahwa MRI memperlihatkan perubahan signal pada substansia nigra bilateral dan kornu anterior medula spinalis yang bisa digunakan sebagai dasar diagnostik untuk anak dengan poliomielitis. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala/tanda klinis, dan pemeriksaan penunjang laboratorium/radiologis. Diagnosis Banding 1. Botulisme 2. Infeksi enterovirus lain. 3. Sindroma Guillain Barré 4. Kugelberg Welander Spinal Muscular Atrophy 5. Myotonic dystrophy 92 6. Rabies 7. Tetanus. Penatalaksanaan Tidak ada antivirus yang efektif terhadap virus polio. Penatalaksanaan poliomielitis terutama bersifat suportif. Analgesik diindikasikan pada kasus-kasus mialgia dan nyeri kepala, ventilasi mekanik seringkali dibutuhkan untuk pasien dengan paralisis bulbar, trakeostomi untuk pasien yang membutuhkan bantuan ventilator jangka panjang, fisioterapi untuk kasus-kasus paralitik (dibutuhkan mobilisasi rutin untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus; latihan gerakan aktif dan pasif diperlukan selama masa pemulihan). Laksatif bisa diberikan bila mulai terdapat konstipasi. Total hip arthroplasty merupakan pilihan terapi operatif untuk pasien dengan sekuel poliomielitis paralitik yang mengalami displasia pinggul dan penyakit degeneratif. Prognosis Pasien poliomielitis abortif dapat sembuh sempurna. Untuk kasus yang berkembang menjadi meningitis aseptik, gejala bisa berlangsung 2-10 hari, diikuti oleh pemulihan sempurna. Untuk kasus polio spinal, jika neuron yang terkena mengalami kerusakan total, paralisis akan bersifat permanen; sedangkan sel-sel yang tidak rusak tapi mengalami gangguan fungsi sementara, dapat pulih dalam waktu 4-6 minggu setelah onset penyakit. Separuh pasien polio spinal pulih sepenuhnya; seperempat tetap memiliki kecacatan ringan, dan seperempat sisanya memiliki kecacatan berat. Pasien yang sembuh dari poliomielitis (paralitik) kadangkala mengalami sindroma post-poliomielitis, dimana terjadi kelemahan atau kelelahan berulang dan biasanya mengenai kelompok otot yang terkena saat menderita polio. Sindroma ini bisa terjadi 20-40 tahun setelah terinfeksi virus polio, bersifat progresif lambat, dan tidak ada pengobatan khusus untuk sindroma ini. Daftar Pustaka 1. Estrada B. Pediatric poliomyelitis [Internet]. 2012 [updated 2012 apr 16; cited 2014 Feb 7]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/967950 2. Neumann D . Polio: its impact on the people of the United States and the emerging profession of physical therapy. The Journal of orthopaedic and sports physical therapy 2004;34 (8): 479–92. 3. Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. 2004. B. DISTROFI MUSKULAR PROGRESIF (DMP) Definisi Distrofi muskular merupakan kelainan miogenik yang diturunkan, ditandai oleh atrofi otot yang progresif dan kelemahan dengan berbagai variasi distribusi 93 dan derajat penyakit. Piña-Garza menggunakan istilah ini untuk semua miopati genetik yang disebabkan oleh defek pada struktur protein otot. Klasifikasi Distrofi muskular dapat dibagi menjadi: bentuk kongenital; Duchenne dan Becker; Emery-Dreifuss; distal; fascioscapulohumeral; oculopharingeal; limbgirdle muscular dystrophy. Epidemiologi Karena X-linked DMD telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu, insidennya sudah tercatat dengan cukup baik. Berdasarkan 40 studi yang melibatkan beberapa juta angka kelahiran laki-laki, insiden DMD saat kelahiran berkisar 300 x 10-6, dan prevalensinya dalam populasi berkisar 60 x 10-6. Gambaran epidemiologis untuk distrofi yang lain belum begitu akurat diperoleh. Etiologi dan Patofisiologi Ketika dystrophin ditemukan sebagai defek protein pada duchenne muscular dystrophy (DMD), para peneliti kemudian berasumsi bahwa, karena protein ini berkaitan dengan sarkolemma, defisiensi dystrophin akan mengakibatkan penghancuran membran otot. Proses ini kemudian akan menyebabkan kehilangan enzim otot, termasuk kreatin kinase (CK), dan kemudian menyebabkan kelemahan otot. Akan tetapi, untuk beberapa alasan, hipotesis ini membuktikan suatu penyederhanaan yang berlebihan. Hubungan ikatan berbagai protein terkait-sarkolemma terbukti jauh lebih kompleks dari yang sebelumnya diyakini. Satu kemungkinan yaitu interaksi antara berbagai protein ini dapat mencetuskan perubahan penyesuaian diri dalam calcium channel yang mengakibatkan peningkatan aktivitasnya, terutama melalui interaksi abnormal dari sitoskeletal-reseptor-asetilkolin. Proses ini kemudian akan menyebabkan disfungsi mitokondrial, dan pada akhirnya, kematian sel. Peningkatan kalsium intraseluler telah diketahui sebagai temuan awaal yang penting pada DMD. Manifestasi klinis 1) Distrofi muskular kongenital Anak-anak yang termasuk dalam kelompok penyakit bawaan otosomal resesif yang heterogen ini memperlihatkan adanya hipotonia dan kelemahan saat lahir atau dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Ada beberapa bentuk distrofi kongenital, sebagian disertai retardasi mental yang signifikan, dan sebagian lagi tidak. Dua bentuk distrofi kongenital yang tidak disertai defisiensi mental disebabkan oleh ketiadaan merosin (laminin 2, suatu protein ekstraseluler otot) atau integrin 7 (sangat jarang). Meskipun tidak disertai retardasi mental, anak-anak dengan defisiensi merosin ini, memperlihatkan perubahan substansia alba pada MRI. Sebagian bisa berdiri dengan alat bantu, namun sangat sedikit yang bisa berjalan. Kelemahan otot biasanya tidak 94 prograsif, namun banyak yang mengalami kontraktur sendi sehingga mengakibatkan imobilisasi. Meskipun fungsi jantung normal, prognosis jangka panjang kurang baik karena banyak pasien yang mengalami gangguan makan dan respirasi yang serius. Insiden distrofi muskular kongenital Fukuyama di Jepang adalah tersering kedua setelah Duchenne muscular dystrophy (DMD), namun sangat jarang dijumpai di tempat lain. Kelainan ini dinamai sesuai Yukio Fukuyama dari Tokyo, yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada tahun 1960. Onset pada saat bayi dengan gejala hipotonia dan kelemahan otot. Anak-anak yang terkena sangat jarang yang bisa berjalan. Sebagian besat terganggu secara mental dan banyak diantaranya yang mengalami epilepsi. Produk protein dari gen yang berkaitan dinamakan fukutin, namun fungsinya masih belum jelas. 2) Duchenne dan Becker muscular dystrophy Pada Duchenne muscular dystrophy (DMD), onset pada masa kanak-kanak awal, dengan kesulitan berlari dan, kemudian, menaiki tangga. Kelemahan ekstensor lutut dan pinggul menghasilkan manuver Gower. Sedikit gangguan mental sering dijumpai, berkisar 20% anak laki-laki yang terkena memiliki IQ kurang dari 70. Sebagian besar memiliki pembesaran otot betis, sehingga istilah untuk kelainan ini sebelumnya dikenal sebagai pseudohypertrophic muscular dystrophy; akan tetapi hipertrofi otot betis tidak hanya ditemukan pada DMD namun juga pada distrofi lainnya seperti distrofi Becker. Kelemahan terutama pada otot proksimal dan bersifat progresif. Pada akhirnya akan membutuhkan kursi roda (sebagian besar pada usia 12 tahun). Pneumonia disertai gangguan jantung merupakan penyebab kematian tersering, yang biasanya terjadi pada masa remaja akhir atau awal usia 20-an. Pada Becker muscular dystrophy (BMD), distribusi atrofi dan kelemahan otot sangat mirip dengan DMD, kecuali perjalanan penyakit lebih ringan, dengan onset penyakit sekitar usia 12 tahun; beberapa pasien tidak bergejala hingga beberapa tahun kemudian. Gangguan ambulasi bervariasi sejak masa remaja, dengan kematian biasanya pada dekade ke-4 atau ke-5. Gangguan mental juga pernah dilaporkan. Pada DMD dan BMD, kira-kira 5-10% carrier wanita menunjukkan sedikit kelemahan otot, dan sering terdapat pembesaran otot betis–yang disebut manifesting carriers (carrier bergejala). Kelemahan tersebut seringkali asimetrik, dan bisa berkembang pada masa kanak-kanak ataupun tidak terlihat hingga dewasa, dan bisa progresif perlahan atau tetap statik. Carrier juga bisa mengalami kardiomiopati hipertrofi , yang bisa berkembang meskipun tanpa kelemahan yang nyata. Gen Duchene berlokasi pada Xp21, yang memperngaruhi dystrophin protein sarkolema, dan ber-alel dengan BMD. Dystrophin biasanya tidak ditemukan pada pasien DMD, namun seringkali jumlahnya berkurang atau ukurannya abnormal pada BMD. 3) Emery-Dreifuss muscular dystrophy Kelainan ini ditandai oleh trias gejala: 95 Kontraktur awal (sebelum terdapat kelemahan yang nyata secara klinis) dari tendon achilles, siku, dan otot servikal posterior, dengan gejala awal terbatasnya gerakan fleksi leher; kemudian fleksi ke depan untuk keseluruhan tulang belakang menjadi terbatas. Atrofi otot yang berkembang perlahan disertai kelemahan dengan distribusi humeroperoneal yaitu pada proksimal ekstremitas atas dan distal ekstremitas bawah––yang terjadi pada awal perjalanan penyakit. Setelah itu, otot-otot proksimal extremitas dan tubuh juga akan terkena. Timbulnya kardiomiopati. Keterlibatan jantung umumnya menjadi lebih nyata setelah berkembangnya kelemahan otot, biasanya dimulai pada usia 30 tahun. 4) Distal muscular dystrophy Pada distrofi ini, kelemahan terutama dialami di bagian distal. Ada 2 kelompok utama: onset lambat (di atas usia 40 tahun) yang diturunkan secara otosomal dominan, termasuk penyakit Welander; dan onset awal (sebelum usia 30 tahun) yang diturunkan secara otosomal resesif. Akan tetapi, penyebab yang mendasari penyakit ini belum diketahui. Karena ditemukan variasi dalam ukuran serabut dan rimmed vacuoles – bukan perubahan–perubahan distrofik–pada histologi otot, maka kelainan ini lebih dianggap sebagai miopati daripada distrofi. 5) Fascioscapulohumeral muscular dystrophy Distrofi ini dinamai berdasarkan kelompok otot yang paling mulanya terkena: wajah (facial) dan gelang bahu (shoulder girdle). Kemudian, otot ekstensor kaki dan pinggul yang terkena. Jantung tidak terkena pada sebagian besar kasus, meskipun pernah dilaporkan adanya aritmia dan defek konduksi jantung. Selian itu, bisa dijumpai penyakit vaskular retina dan gangguan pendengaran. Kelainan otosomal dominan ini berhubungan dengan subtelomeric deletion kromosom 4q, disertai hilangnya 3·3 kb tandem-repeat units. Hilangnya 10 atau kurangnya repeats dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini, dan secara umum, semakin sedikit jumlah repeats, makin serius penyakit secara klinis. Namun fungsi gen khusus yang menjadi penyebab penyakit masih belum jelas. 6) Oculopharyngeal muscular dystrophy Kelainan ini terutama dipelajari di Kanada Perancis, di mana penyakit ini bisa ditelusuri kembali pada para imigran dari Perancis tahun 1634. Namun, meskipun paling sering ditemukan di Kanada, penyakit ini juga dijumpai di bagian lain Amerika utara dan Eropa. Onset pada kisaran usia dekade ketiga kehidupan, mengenai otot-otot ekstraokular (meskipun diplopia yang nyata jarang dijumpai), otot wajah bagian atas dengan ptosis, dan terdapat kelemahan otot-otot leher dan ektremitas atas (bahkan ekstremitas bawah) bagian proksimal. Disfagia merupakan manifestasi yang serius. 96 Kode lokus gen (14q) untuk poly-(A)-binding protein, pada ekson pertama biasanya terdapat ekspansi triplet (GCG). Pada individu yang terkena, ekpansi ini memiliki dua hingga tujuh repeats. 7) Limb-girdle muscular dystrophy Pada kelainan ini, kelemahan terutama di otot-otot bagian proksimal ekstremitas dan tubuh (limb-girdle). Sampai saat ini, ada 15 tipe yang berbeda secara genetik telah diidentifikasi, yang menunjukkan pola yang sangat heterogen secara klinis dan genetik. Bentuk dominan otosomal sangat jarang dan secara umum lebih ringan dibandingkan tipe resesif. Beberapa jenis kelainan ini berkaitan dengan keterlibatan jantung yang nyata secara klinis (tipe 1B, 1D, 2C, 2E, dan 2F), dan individu yang terkena sebaiknya diawasi secara teliti untuk tanda-tanda penyakit jantung. Pemeriksaan penunjang 1. Kreatin kinase (CK) serum Pengukuran kadar CK serum merupakan pemeriksaan diagnostik yang sederhana dan terjangkau, dimana bentuk distrofi yang berat berkaitan dengan kadar CK yang tinggi. 2. Elektromiografi Pemeriksaan ini penting untuk memastikan kelainan miogenik dan menyingkirkan penyebab kelemahan neurogenik seperti kelainan saraf tepi. Namun karena bersifat invasif, teknik ini kurang digemari dalam menegakkan diagnosis pada anak-anak. 3. Histologi otot Satu gambaran yang mempersatukan semua jenis distrofi sebagai temuan histologis otot dengan variasi pada ukuran serabut, nekrosis serabut, invasi makrofag, dan pada akhirnya pergantian oleh jaringan lemak dan penghubung. 4. Imunohistokimia dan analisis mutasi Pada distrofi yang berkaitan dengan defisiensi sarcolemmal-associated protein, imunohistokimia (atau analisis western-blot) dengan antibodi berlabel untuk protein ini menjadi dasar diagnosis. Untuk kasus dimana antibodi spesifik belum tersedia, atau bila protein yang ditemukan bukan sarkolemma, maka analisis mutasi mungkin menjadi satusatunya cara untuk menegakkan diagnosis. Analisis mutasi juga penting untuk konseling genetik dan diagnosis prenatal. Diagnosis Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit keluarga serta pemeriksaan penunjang seperti yang tercantum di atas. Penatalaksanaan Penatalaksanaan individu dengan distrofi sangat bergantung pada jenis distrofi dan derajatnya. 1. Pembedahan 97 Secara umum, pembedahan awal tidak direkomendasikan; karena tidak hanya menggagalkan perbaikan kekuatan otot dan kemampuan berjalan, namun juga terdapat risiko anestetik, dan periode tirah baring setelah tindakan operatif bisa memberikan efek yang merugikan. Akan tetapi, koreksi pembedahan terhadap kontraktur bisa membantu pada stadium lanjut panyakit ketika berjalan menjadi sulit, dan tujuan selanjutnya untuk memperpanjang ambulasi. Koreksi penbedahan untuk skoliosis saat ini sudah diterima secara luas. Tindakan operatif juga bisa membantu mempertahankan fungsi paru dan mungkin bisa memperpanjang kehidupan hingga beberapa tahun. 2. Penatalaksanaan Medis Tidak ada obat untuk semua jenis distrofi, sehingga penatalaksanaan ditekankan pada penanganan respirasi dan komplikasi kardiologis. Jika diduga terdapat penurunan fungsi respirasi segera dilakukan pengukuran kapasitas vital pernapasan. Insufisiensi pernapasan dapat ditangani dengan non-invasive intermittent positive pressure ventilation melalui masker nasal. Selanjutnya, trakeostomi elektif juga sudah sering dilakukan. Dengan trakeostomi dan bantuan ventilasi, anak dengan duchenne muscular dystrophy sebagai contoh, bisa bertahan hidup hingga dekade ke tiga. Deteksi awal suatu kardiomiopati sangat penting, dan metode untuk mendeteksinya berupa elektrokardiografi dan ekokardiogafi. Pengobatan mencakup pemakaian konvensional diuretik, angiotensin-converting enzym (ACE) inhibitor, dan digitalis. Pemasangan pacemaker bisa menyelamatkan nyawa, pada defek konduksi jantung pada pasien distrofi (emery-dreifuss muscular dystrophy), sehingga penting untuk dilakukan deteksi dini. 98 3. Pengobatan Banyak obat-obatan telah diujicobakan pada kasus duchenne muscular dystrophy, namun tidak ada yang terbukti efektif untuk menghentikan perjalanan penyakit. Prognosis Prognosis untuk penderita DMP bervariasi menurut jenis distrofi dan progresivitas penyakitnya. Daftar Pustaka 1. Emery AEH. The Muscular Dystrophies. Lancet 2002; 359: 687–95 2. Piña-Garza JE. Flaccid limb weakness in childhood. In: Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:174–88 C. MIASTENIA GRAVIS Definisi Miastenia gravis (MG) adalah suatu penyakit otoimun dimana antibodiantibodi terbentuk terhadap membran poliisinaptik pada paut saraf-otot, sehingga mengakibatkan kelemahan otot dan mudah lelah (fatigability). Patofisiologi Sebagian besar kasus MG disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin nikotinik (AchR). Pasien yang memiliki antibodi AchR desebut sebagai seropositif. Antibodi AchR lebih jarang ditemukan pada pasien prapubertas dibandingkan pasien remaja/dewasa. Antibodi muscle-spesific kinase (MuSK)dan Leucine rich protein 4 (LRP4) pernah dilaporkan pada beberapa pasien yang seronegatif. Klasifikasi Terdapat 2 bentuk klinis miastenia gravis, yaitu: 1. Miastenia okular yang terutama atau hanya mengenai otot-otot mata (otot-otot wajah dan anggota gerak bisa juga menunjukkan gangguan yang minimal), 2. Miastenia umum (generalized), dengan gejala kelemahan otot-otot bulbar dan angota gerak sedang hingga berat. Selain itu juga, dikenal beberapa subtipe miastenia pada anak-anak: - Miastenia neonatal, sementara yaitu miastenia yang bersifat sementara, terjadi pada 10-20% bayi yang lahir dari ibu yang menderita MG, akibat transfer antibodi secara plasental dari ibu yang menderita MG selama kehamilan. - Miastenia kongenital, yang merupakan kelainan genetik (non imun) pada paut saraf otot, yang ditemukan pada bayi baru lahir. Penyakit ini bisa dibagi lagi menjadi: presinaptik (10%), sinaptik (15%), dan postsinaptik (75%). 99 - Juvenile myasthenia (miastenia pada remaja), yaitu miastenia gravis pada anak/remaja (di bawah 19 tahun) yang diperantarai proses imun. Penyakit ini serupa dengan miastenia pada orang dewasa. Epidemiologi MG relatif jarang ditemukan pada anak, namun insiden dan prevalensinya bervariasi secara geografis. Presentasi MG pediatrik lebih sering pada populasi oriental dibandingkan kaukasia. Hingga 50% dari semua kasus MG pada populasi orang Cina terjadi pada masa kanak-kanak, terutama dengan manifestasi okular, dengan onset terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sebaliknya, pada populasi kaukasia, lebih cenderung ditemukan pada usia dewasa, dengan onset prapubertas <10% kasus. Manifestasi klinis Gejala-gejala awal tidak tampak hingga mencapai usia 6 bulan; dimana 75 % penderita anak-anak menunjukkan gejala setelah usia 10 tahun. Onset prapubertas berkaitan dengan kecenderungan pada laki-laki, gejala okular saja, dan seronegatif terhadap antibodi reseptor asetilkolin, sedangkan onset postpubertas berhubungan dengan kecenderungan pada perempuan, miastenia umum, dan seropositivitas. Gambaran awal pada kedua bentuk klinis (baik okular maupun umum) biasanya berupa ptosis, diplopia, atau keduanya. Antara 40 dan 50 % pasien memiliki kelemahan otot bulbar atau anggota pada saat onset gejala okular. Anak-anak dengan miastenia okular bisa menunjukkan gejala kelemahan wajah ringan dan mudah lelah (fatigability) pada anggota gerak. Namun, tidak ditemukan adanya kesulitan pernapasan atau berbicara maupun menelan. Kurang lebih 20% pasien mengalami remisi permanen. Onset prapubertas lebih sering berhubungan dengan remisi spontan. Anak-anak dengan miastenia umum menunjukkan kelemahan umum dalam 1 tahun setelah gejala okular awal. Gejala-gejala berupa disartria, disfagia, kesulitan mengunyah, dan mudah lelah pada anggota gerak. Remisi spontan sangat jarang ditemukan pada tipe ini. Insufisiensi pernapasan terjadi pada sepertiga pasien anak yang tidak diobati. Timoma dijumpai pada 15 % orang dewasa dengan miastenia umum, namun pada anak diperkirakan kurang dari 5%. Saat dijumpai timoma pada anak, meningkatkan kemungkinan ke arah malignan. Diagnosis Tes dengan edrophonium chloride seringkali ditetapkan sebagai standar diagnosis, namun memiliki keterbatasan dan bahaya. Edrophonium chloride merupakan antikolinesterase kerja singkat yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,15 mg/kg. sebelum memulai tes ini, harus ditetapkan target akhir dari pemeriksaan, yaitu resolusi dari ptosis atau perbaikan motilitas okular, dan hasil tes sulit dievaluasi tanpa adanya hasil-hasil tersebut. Ptosis biasanya berespon lebih baik dibandingkan kelumpuhan otot okular. Efek yang mungkin terjadi pada pasien yang supersensitif yaitu berupa fasikulasi dan henti napas. Untuk alasan ini, pertama-tama suntikkan dosis uji coba sebesar sepersepuluh dari dosis penuh (meskipun masih mungkin menimbulkan gangguan pernapasan pada dosis ini). 100 Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu disiapkan hand ventilator, dan antidot efek muskarinik edrophonium yaitu atropin. Pemeriksaan lain yaitu ice-pack test yang lebih mudah dan aman. Letakkan kompres yang sangat dingin pada kelopak mata yang ptosis selama 2 menit. Pembukaan parsial dari kelopak tersebut mendukung kemungkinan miastenia. Lima menit beristirahat dengan mata tertutup bisa memberikan hasil serupa, tanpa menggunakan es. Hasil pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) abnormal pada 66% anak-anak dengan stimulasi saraf proksimal, dan 33% pada stimulasi saraf distal. RNS abnormal jarang ditemukan pada miastenia okular, namun merupakan keharusan pada miastenia umum. pada miastenia ringan, didapatkan respon decrement pada stimulasi frekuensi rendah (2-5 per detik) namun tidak halnya pada stimulasi frekuensi tinggi (50 per detik). Sedangkan pada miastenia berat, respon decrement didapatkan pada frekuensi rendah dan tinggi. Single fiber EMG pada frontalis atau orbikularis okuli sangat sensitif untuk diagnosis miastenia. 85% pasien miastenia yang diperantarai imun menunjukkan peningkatan konsentrasi antibodi serum terhadap reseptor asetilkolin (>10 nmol/L). Di antara yang seronegatif, banyak yang memiliki kelainan genetik akibat mutasi rapsyn dan lainnya memiliki antibodi terhadap muscle specific tyrosine kinase (MuSK). Diagnosis Banding Botulisme Infantil Sindroma miastenik kongenital Penatalaksanaan Dasar penanganan miastenia non-genetik pada anak adalah pengalaman dan studi retrospektif, yang terutama dilakukan pada orang dewasa. Anak dengan miastenia okular memiliki harapan untuk remisi spontan, namun berbeda halnya dengan miastenia umum. Terapi antikolinesterase merupakan pilihan pengobatan untuk myastenia okular. Dosis awal neostigmin 0,5 mg/kg tiap 4 jam pada anak < 5 tahun dan 0,25 mg/kg pada anak lebih besar (tidak melebihi 15 mg per dosis). Dosis ekuivalen piridostigmin adalah empat kali lebih besar. Setelah memulai pengobatan, dosis perlahan ditingkatkan sesuai kebutuhan dan toleransi. Tidak didapatkan bukti yang kuat mengenai efektivitas imunoterapi awal dan timektomi dalam mencegah perburukan miastenia okular menjadi umum, sehingga tidak diterapkan pada anak-anak. Tindakan timektomi dalam penatalaksanaan miastenia masih belum jelas. Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak yang menjalani timektomi pada awal perjalanan penyakit akan mengalami remisi dalam 3 tahun. Namun, kortikosteroid juga memberikan hasil yang sama, dan tindakan timektomi tidak akan mengurangi kebutuhan pengobatan kortikosteroid jangka panjang. Dosis awal prednison adalah 1,5 mg/kg/hari, tidak melebihi 100 mg/hari. Setelah 5 hari, diberikan terapi selang sehari sampai sebulan. Dosis kemudian diturunkan 10 % tiap bulannya hingga mencapai dosis dimana pasien mengalami bebas gejala. Dosis maintenance biasanya 10-20 mg selang sehari. Pemberian bersamaan dengan 101 antikolinesterase tidak diperlukan kecuali jika pasien mengalami kelemahan pada hari-hari di saat kortikosteroid tidak diberikan (alternate days). Plasmaferesis, imunoglobulin intravena, dan kortikosteroid intravena dosis tinggi bermanfaat untuk intervensi akut pada pasien dengan insufisiensi pernapasan. Daftar Pustaka 1. Ashraf VV, Taly AB, Veerendrakumar M, Rao S. Myasthenia gravis in children: a longitudinal study. Acta Neurol Scand 2006;114:119 – 23 2. Finnis MF, Jayawant S. JuvenileMyasthenia Gravis: A Paediatric Perspective. Autoimmune Diseases 2011:1–5 3. Piña-Garza JE. Disorders of Ocular Motility. In: Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:301–3 D. POLINEUROPATI AKUT Polineuropati secara harafiah diartikan sebagai disfungsi atau penyakit yang mengenai banyak atau semua saraf perifer. Polineuropati akut relatif jarang dijumpai, diantaranya sindroma Guillain Barré (GBS) atau yang juga dikenal dengan acute inflamatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) yang paling khas, dengan onset beberapa hari hingga maksimal beberapa minggu. Polineuropati secara umum dibagi 2: demielinisasi dan aksonal (tabel 1). Pada bayi baru lahir dan anak-anak istilah demielinisasi juga mengacu pada kelainan dimana mielin tidak terbentuk (hipomielinisasi). Tabel 1 Polineuropati dengan kemungkinan onset saat masa bayi. Sumber: Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology 7th ed. 2013. 102 Daftar Pustaka 1. Piña-Garza JE. The Hypotonic Infant. In: Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013: GANGGUAN GERAK Gangguan gerak adalah gangguan gerakan yang kompleks. Pada saat pemeriksaan klinik, bila gangguan gerak belum terlihat, mintakan pasien atau keluarga pasien untuk membuat rekaman video. Kebanyakan gerakan adalah intermiten dan paroksismal. Dapat diawali oleh gerakan (Chorea Huntington), startle (myoclonus), dan stres atau gerakan gerakan (tic). Banyak gerakan abnormalitas menghilang dengan tidur tetapi harap dicatat pengecualian dengan kejang, restless leg syndrome dan gerakan periodik saat tidur. Karakteristik Klinik Axial : terutama mencakup badan, dengan atau tanpa titubation (suatu gerakan involunter ritmis kepala dan badan) Appendicular : Terutama mengenai ekstremitas - Proksimal : - bahu - pelvis - Distal : - tangan - jari jari - tungkai - bilateral atau unilateral Opsoclonus : -gerakan chaotic mata -gerakan paroksismal tak terduga dan tak teratur Neuroanatomi Secara anatomi belum dapat dipastikan lokasi kelainan di otak, namun dapat dikatakan bahwa sistem ekstrapiramidal sering terlibat. Klinisi harus ingat bahwa gerakan normal adalah hasil sintesis kompleks aliran dari piramidalis, ekstrapiramidalis dan sistem serebelar, dimana satu dan lainnya saling mempengaruhi dan modulasi efek satu dengan lainnya. 1. Ekstrapiramidalis - Striatum (contoh, putamen dan nukleus kaudatus) - Globus palidus - Substansia nigra 2. Serebelum - Vermis - Hemisfer serebelum 103 Gangguan Klinik Chorea dan athetosis Tampak seperti gerakan tarian cepat yang mengenai sebarang tubuh dalam bentuk stereotipik atau ritmik. Dalam usaha untuk menutupi chorea, seorang anak mungkin mencoba membuat gerakan seolah bertujuan. Gerakan seolah bermain piano sering dipakai untuk menggambarkan gerakan chorea tangan dan jari. Chorea dapat dibuat dengan menyuruh anak menjulurkan lidah selama 10 sampai 30 detik. Tak dapat menjaga lidah tetap terjulur atau lidah keluar masuk menyarankan adanya chorea. Tanda milkmaid adalah tanda tak bisa menjaga genggaman pada jari pemeriksa. Tanda pronator adalah ketidakmampuan memegang tangan yang terentang di atas kepala dengan tapak tangan mengarah ke dalam. Tangan akan cenderung kembali ke posisi pronasi. Tanda shelving adalah hiperekstensi dari tangan bila dipegang dalam posisi pronasi. Athetosis didefinisikan sebagai gerakan writhing lambat yang secara primer mencakup bagian distal ekstremitas. Pronasi dan supinasi alternating dengan gerakan difokuskan pada aksis panjang tungkai tampak. Emosi yang meninggi atau stres bisa meningkatkan gerakan. Bila writhing disertai gerakan cepat, disebutlah choreoathetosis. Chorea dan athetosis sering terlihat dalam concert (contoh, choreaathetosis). Perbedaan keadaan ini secara besar mirip. Diagnosis Banding DB diantara chorea dan/ atau athetosis atau satu kombinasi keduanya (choreoathetosis) dapat agak luas. Perbedaan harus dimulai dengan satu grup generik (cth., kongenital, genetik, obat obatan, infeksi, metabolik, neoplastik, vaskuler, dll). Daftar berikut tidak dimaksudkan exhaustive, tetapi mencakup etiologi yang paling prominent Etiologi 1.Kongenital - Kernicterus - Choreoathetotic cerebral palsy 2. Hipoksik iskemik - Ruptur uteri - Placenta abruptio 3. Genetik atau degeneratif Huntington disease : Riwayat keluarga yang positif, tidak ada bayangan kaudatus pada CT Scan, abnormalitas kromosom 4 Hallervorden-Spatz disease : Riwayat keluarga positif, deposit besi pada ganglia basalis, gambaran mata macan pada MRI. Penyakit Wilson; -kadar copper meningkat dalam urin -menurunnya kadar seruloplasmin -cincin Kayser-Fleischer -hasil tes fungsi liver abnormal *Choreoathetosis paroksismal familial *Abetalipoproteinemia (Bassen-Korzweig); -acanthocytosis -- lipoprotein menurun -kadar kolesterol menurun 104 -retinitis pigmentosa -foul bulky kotoran BAB Obat obatan ; -karbonmonoksida -logam berat -lithium -Air raksa (Hg) Infeksi ; *pasca streptokokus (Sydenham); -meningkatnya antistreptolisin-O -meningkatnya anti DNAse B -meningkatnya titer antinikotinamid adenin dinukleotidase -murmur jantung *ensefalitis; Metabolik; -hipokalsemia -hipoglikemia -tirotoksikosis -hipoparatiroid Neoplasma; -tumor talamus -tumor ganglia basalis Vaskuler-kolagen; -lupus -poliarteritis -hipertiroid -anticardiolipin antibody syndrome Trauma; -Adalah sebab paling sering dari gangguan ini Terapi (lihat di anak, pilihan obat, dosis) Chorea berespon terhadap pengobatan dan obat yang umum dipakai adalah sbb; *blok reseptor dopamin -haloperidol -thorazine *barbiturat *steroid *benzodiazepin -diazepam -lorazepam -klonazepam *asam valproat *penisilin; chorea Sydenham *penisilinamin; penyakit Wilson *inhibitor tiroid untuk tirotoksikosis *dopamin untuk distonia responsif dopamin (penyakit Segawa) 105 Balismus Gerakan balismus adalah gerakan flinging beramplitudo tinggi dari bahu atau pelvis. Gerakan ini sering terlihat pada isolasi dalam anak. Distonia Karakteristik klinik Distonia adalah suatu tingkah postural abnormal yang berasal dari kontraksi otot agonis dan antagonis. Dapat disertai dengan pemutaran (twisting) atau pembalikan sepanjang aksis tubuh, menghasilkan kontorsi tubuh. Distonia dapat disertai dengan ketidakmampuan bergerak, berdiri atau berjalan. Bila distonia mengenai otot bulber, akan mengganggu bicara sehingga timbul disartri dan gangguan intelegensia. Tortikolis spasmodik, distonia torsi dengan posisi equinovarus, dan distonia fokal (cth. writer’s cramp, blefarospasme atau distonia spasmodik) mengenai kelompok otot selektif. Diagnosis Banding *Obat; fenotiazin, blok reseptor dopamin *Histeria *Simtomatik; pos infeksi, traumatik *Genetik; Batte disease, Huntington disease, Hallervorden-Spatz disease Distonia Paroksismal 1. Distonia paroksismal (nonkinesiogenik) khoreoatetosis; -episode distonia dan khoreoatetosis -mengenai wajah, tangan, badan dan ekstremitas -berakhir dalam menit sampai jam -bisa mulai saat istirahat -timbul mendadak -diperkirakan diturunkan -berespon dengan klonazepam, haloperidol, asam valproat dan asetazolamid 2. Kinesiogenik paroksismal khoreoatetosis; -lebih singkat dari nonkinesiogenik khoreoatetosis (kurang 2 menit) -bisa timbul sampai lebih 100x per hari -presipitasi oleh gerakan, stratle, stres dan kegembiraan berlebihan -gerakan terdiri dari distonia, khoreoatetosis dan balismus -berespon dengan antikonvulsan 3.Distonia yang respon terhadap Dopa (Segawa disease); -dominan otosomal -onset 5 tahun -variasi diurnal yang memburuk malam hari dan membaik pagi hari -dengan distonia kaki -gambaran Parkinson -respon secara dramatis dengan L-Dopa dosis kecil Mioklonus Didefinisikan sebagai jerking cepat dari sebuah atau sekelompok otot, biasanya disertai keseleo sendi. Dapat fokal atau umum, ritmis atau aritmis dan spontan atau dicetus oleh gerakan. Kebanyakan dicetus oleh tidur. Mioklonus yang diaktifkan dengan gerakan 106 disebut mioklonus aksi dan yang dicetus oleh sitmulasi sensorik disebut mioklonus sensitif refleks. Opsoklonus adalah gerakan konjugasi mata yang cepat, chaotic dan seperti menari. Jarang yang dengan diskonjugasi dan kadang kadang disertai osilopsia yakni sensasi gerakan visual ketika mata digerakkan dari satu posisi ke posisi lain. Klasifikasi 1. Epileptik dan non epileptik 2. fisiologik; benign, tidur 3. patologik; umum, subkorteks, batang otak, medula spinalis 4. progresif atau nonprogresif 5. tonus negatif (cth; arteriksis-kehilangan tonus) Clinical entities *Epilepsi; JME, Infantile spasm *HIE *Gangguan ganglia basalis *Drug induced; asam valproat, karbamazepin, TCA *Storage disease *Ensefalopati metabolik ; liver disease, renal failure *Infeksi: ensefalitis, SSPE (Subacute sclerosing pan-encephalitis) Tics Adalah gerakan stereotipik tiba tiba yang dapat berupa motorik atau vokal. Bersifat involunter dan dengan usaha, dapat ditekan. Karakteristik Klinis *Meningkat dengan stres *Bila tidur menghilang *Biasanya paroksismal atau bukal *Mulainya akhir separuh dekade pertama kehidupan; bisa seumur hidup. Jenis 1. Sederhana; kedip mata, gerakan bahu, gerakan lengan dan tungkai 2. Kompleks; meraba, bruxism, melompat, skipping, ekhopraksia 3. Vokal; sederhana atau kompleks seperti grunting, snorting, barking atau neologism, panting, bersiul, koprolalia Tremor Adalah gerakan ritmis, osilasi dengan kecepatan, ampiltudo dan kekuatan yang dapat diramalkan. Dapat pelan atau cepat. *Familial; -Dominan otosomal -Mengenai tangan dan dapat menjalar proksimal, sering dagu dan kepala mengeleng geleng. -Baik dengan blok beta dan etanol *Tremor postural; Terjadi bila lengan extensi. Frekuensi dapat berubah sepanjang waktu, dihambat dengan blok adrenergik. Tremor ini meningkat oleh capek dan cemas, hipertiroidism dan agonis epinefrin. 107 Spasmus Nutan Bersifat horizontal bobbing (tremor “no”) dari kepala; disertai dengan nistagmus satu atau ke dua mata. -Onset 3 bulan sampai 1 tahun -Menghilang usia 2-4 tahun -harus disingkirkan glioma khiasmatik Sindroma Tourette 1. Tics; gejala khas adalah tic motorik atau fokal yang berlangsung lebih setahun 2. disertai gambaran; gangguan obsesi kompulsif, ADHD, ada riwayat keluarga 3. terapi dengan blok reseptor dopamin, klonidin, pimozin, selective serotonin reuptake inhibitors dan konseling. Kriteria diagnosis a. Onset gejala sebelum usia 21 tahun b. Adanya tic motorik dan setidaknya satu vokal ( tidak harus berbarengan) c. Gejala hilang timbul dengan perkembangan tic progresif d. Gejala tic setidaknya satu tahun. e. Tidak adanya penyakit yang mendahului ( seperti ensefalitis, stroke, penyakit degeneratif) atau berhubungan dengan potensial tic-dicetuskan obat-obatan. f. Pengamatan ticdari pengetahuan individu. Tics, komponen penting dalam sindrom ini / karakteristik : a. Brief voluntary suppression ( supresi volunter singkat ) b. Eksaserbasi karena ansietas, excitement, kemarahan atau kelelahan c. Penurunan selama pengurangan aktifitas dan tidur; d. Fluctuation over time (Fluktuasi berulang) Daftar Pustaka; 1.Barkley RA., ADHD. in Mash EJ., ed. Childhood disorder. The Guilford Press. New York. 1989:39-66 2.Cohen ME., Duffner PK., Weiner&Levitt’s Pediatric Neurology. 4th ed.Lippincott., Philadelphia. 2003: 257-267. 3.Maria BL., Tourette’s syndrome. In: Current management in child neurology. 3rd.ed. BC Decker Inc. London.2005: 350-351 CEDERA KEPALA Pendahuluan Cedera kepala merupakan salah satu dari penyebab tersering kecacatan dan kematian pada anak. Setiap tahun cedera kepala menyebabkan kematian 7.000 anak di Amerika. Di Indonesia data epidemiologis secara nasional belum ada.. Kejadian pada anak laki-laki 2 kali lebih banyak dari pada anak perempuan. Insiden paling tinggi pada usia remaja dan insiden kedua tertinggi pada anak usia < 1 tahun. Mekanisme penyebab cedera yang paling sering adalah jatuh, kecelakaan motor atau pejalan kaki di jalan raya, kecelakaan bersepeda atau olah raga dan akibat penganiayan pada anak. Kecacatan yang timbul setelah trauma dapat berupa cacat fisik, epilepsi paska trauma, gangguan kognitif 108 dan gangguan belajar, problem emosi dan prilaku dan berdampak terhadap kualitas hidup anak. Definisi Berdasarkan anatomi cedera kepala merupakan trauma diatas dari mandibula termasuk kulit kepala, tengkorak, meningen, pembuluh darah intra maupun ekstraserebral dan kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera otak traumatik merupakan subgrup dari cedera kepala.(1) Klasifikasi (2,3) Beratnya cedera otak ditentukan oleh lamanya penurunan kesadaran dengan parameter Skala Koma Glasgow (SKG) setelah resusitasi. Klasifikasi ini dibagi 3 kondisi antara lain: 1. Cedera otak ringan dengan Skala Glasgow Koma 13-15 2. Cedera otak sedang dengan Skala Glasgow Koma 9-12 3. Cedera otak berat dengan Skala Glasgow Koma ≤ 8. Tabel 1. Skala Glasgow Koma pada anak < 6 bulan 6-12 bulan 1-2 tahun 2-4 tahun ≥ 5 tahun Membuka Spontan Dipanggil mata =4 =3 Dengan nyeri = 2 Tidak =1 Respon verbal Menangis =2 Tidak respon = 1 Respon motorik Fleksi = 3 Elstensi = 2 Tidak respon= 1 Total skor 9 Spontan = 4 Dipanggil = 3 Dengan nyeri =2 Tidak =1 Bunyi vokal 3 Menangis = 2 Tidak =1 Spontan = 4 Dipanggil = 3 Dengan nyeri = 2 Tidak =1 Kata-kata = 4 Bunyi vokal 3 Menangis = 2 Tidak =1 Spontan = 4 Dipanggil = 3 Dengan nyeri =2 Tidak =1 Kata-kata = 4 Bunyi vokal 3 Menangis = 2 Tidak =1 Lokalisasi = 4 Fleksi =3 Ekstensi = 2 Tidak =1 Lokalisasi = 4 Fleksi =3 Ekstensi = 2 Tidak =1 Bisa diperintah = 5 Lokalisasi = 4 Fleksi =3 Ekstensi = 2 Tidak =1 Spontan = 4 Dipanggil = 3 Dengan nyeri =2 Tidak =1 Orientasi = 5 Kata-kata = 4 Bunyi vokal 3 Menangis = 2 Tidak =1 Bisa diperintah = 5 Lokalisasi = 4 Fleksi =3 Ekstensi = 2 Tidak =1 11 12 13 14 Patofisiologi Efek cedera akibat trauma ada 2 mekanisme: A. Efek primer akibat proses percepatan dan perlambatan akibat tekanan fisik pada kepala . Kerusakan tersebut bisa lokal atau difus. Kerusakan lokal berupa kontusio maupun laserasi ditempat benturan ( `coup` ) dan bisa diseberangnya (`contracoup`) 1. Lesi yang timbul merupakan efek langsung dari trauma dapat berupa : 1) Lesi intra aksial (a) Diffus aksonal injuri (b) Kontusio di kortikal (c) Subkortikal injuri (d) Brainstem injuri 2) Hematom ekstra aksial (a) Ekstra dural (b) Subdural 109 3) Perdarahan difus (a) Subarakhnoid (b) Intraventrikuler 4) Injuri primer pada vaskuler 2. Efek sekunder timbul akibat proses komplikasi dari injuri : (3) i) Gangguan aliran darah serebral menimbulkan hipoperfusi dalam 24 jam pertama, berkurangnya respon vasodilator endogen (nitrik oksida, adenosin, siklik AMP) ii) Eksitoksik akibat peningkatan glutama, diikuti akivasi Ca intraseluler dan pelepasana radikal bebas dan merusak mitokondria dan DNA iii) Oksidative stress ; produksi radikal bebas menyebabkan kerusakan neuron dan pembuluh darah iv) Inflamasi akibat peleningkatan sitokin v) Apotosis teraktivasi akibat kerusakan mitokondria dan DNA vi) Udem serebri menyebabkan intrakranial hipertensi, iskemi sekunder Pada 24 jam setelah trauma aliran darah otak meningkat, hiperemia sering ditemukan pada bayi dan anak-anak menyebabkan hilangnya autoregulaasi otak dan berakibat udem otak masif, peningggian tekanan intra kranial, herniasi dan kompresi. CEDERA KEPALA KHUSUS Patah Tulang Tengkorak Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. bisa melukai arteri dan vena, Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser. Konkusio Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah cedera pada otak Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan 110 struktural yang nyata. Bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak. Gejala : kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang abnormal Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.. Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio. Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini. Untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Perdarahan Intrakranial Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. perdarahan bisa terlihat pada CT scan atau MRI. Gejala: sakit kepala yang menetap penurunan kesadaran sampai koma kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi gangguan pernafasan atau gangguan jantung, hematoma yang luas akan menyebabkan herniasi. kematian. Hematoma epidural dan subdural Epidural hematom berasal dari perdarahan di arteri atau vena yang terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak.Subdural hematom akut terjadi akibat robeknya vena yang melewati ruang subdural ke sinus duramater. Diagnosis dini sangat penting dan dideteksi dengan CT scan. Gambar 1. CT scan epidural hematom 111 Gambar 2 CT scan Subdural hematom sebelum, dan sesudah operasi evakuasi hematom Tabel 1. Gejala klinis epidural dan subdural hematom (4) Supratentorial Epidural Subdural Frekuensi Fraktur tulang kepala Sumber perdarahan Usia Lokasi Lateralisasi Kejang Perdarahan preretina Peninggian TIK Gambaran CT scan Kematian Morbiditi Tidak sering 70% Arteri atau vena Biasanya > 2 tahun Biasanya temporaparietal Biasanya unilateral < 25 % Tidak biasa Ya Biasanya lentikuler Relative tinggi Rendah 5-10 x lebih sering 30% Hampir selalu vena Biasanya < 1 tahun Biasanya frontoparietal 75% bilateral 75 % Sering Ya Seperti bulan sabit Biasanya rendah Tinggi Infratentorial Epidural Subdural Frekuensi Fraktur tulang kepala Sumber perdarahan Gangguan kesadran Akut hidrosefalus/ kompresi medulari Gejala posterior yang lain 2-3 x lebih sering Hampir selalu Vena Sering Bervariasi Kurang Sering Vena Sering Bervariasi Bervariasi Bervariasi Hematoma epidural dan subdural diatasi sesegera mungkin dengan operasi sesuai indikasi. Perdarahan Subrakhnoid Perdarahan diruang subarakhnoid sering pada shaking injuri Gejala : sakit kepala Kaku kuduk letargi 112 Gambar 3. Perdarahan subarakhnoid Epilepsi Paska Trauma Epilepsi paska trauma adalah kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. . Dari onset timbulnya kejang setelah trauma dibagi atas: I Impact seizures : dalam 24 jam II Early seizures : dalam 1 minggu setelah trauma III Late seizures : Lebih dari 1 minggu setelah trauma Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) dipakai untuk mengatasi kejang paska trauma yang segera timbul dan early seizure. Profilaksis tidak diindikasikan pada late seizures Amnesia Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma) Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Jenis ingatan yang bisa terkena amnesia: - Ingatan segera : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sebelumnya - Ingatan menengah : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sampai beberapa hari sebelumnya - Ingatan jangka panjang : ingatan akan peristiwa di masa lalu. Evaluasi cedera otak 1. Anamnesis : Tanyakan secara detail ; Bagaimana mekanisme trauma, kecepatan trauma, ketinggian jatuh, penurunan kesadaran atau tidak, lamanya, amnesia, kejang ( onsetnya berapa lama, fokal / umum, kesadaran setelah kejang), muntah, iritabel ( abnormal prilaku, emosi ). Jika bisa ditanya anaknya, apakah ada sakit kepala, kelelahan, gangguan penglihatan ,nyeri leher, kesemutan. 113 Apakah ada predisposisi terjadinya trauma sebelumnya: Gangguan gait, pemakaian obat-obatan, alkohol, obat antikoagulan, kejang sebelum trauma, perdarahan diasthesis Pada bayi sering gejalanya asimtomatik. 2. Pemeriksaan fisik Tanda vital: tekanan darah, nadi, suhu, Kepala : hematom, perdarahan, jejas, benjolan, tulang retak. Bila ubun-ubun belum menutup raba membonjol atau tidak memastikan tanda peninggian TIK. Mata ; teliti kelopak mata, visus, reflek cahaya, sklera, periorbital ekimosis (Raccon eyes) Hidung: apakah ada rhinorhea, epistaksis, patah tulang hidung Wajah: lihat simetris wajah, tanda-tanda patah tulang wajah Telinga ; lihat apakah ada otorhea, perdarahan telinga Leher apakah ada echimosis retroaurikular ( Batltle`s sign) tanda patah tulang leher, bahu maupun ekstremitas, gerakan semua anggota tubuh apakah ada yang lumpuh Periksa organ di dada, abdomen apakah ada patah tulang, trauma tumpul abdomen hati, limpa, ginjal, uretra dll. Pemeriksaan Neurologi PemeriksaanSkala Koma Glasgow, Status mental, Pemeriksaan Tanda fraktur basis : otorhea, rhinorhea, racoon eyes, bathel sign Nervus kranial: Sensorimotor: asimetri, tonus otot, koordinasi, (jika mungkin), gerakan. Reflek: asimtri, hiper atau hiporeflek Otonom : Pemeriksaan diagnostik 1. Lab darah rutin, Analisa gas darah untuk pasien tidak sadar, gangguan nafas, elektrolit, kimia darah, hemostasis (sesuai indikasi) 2. Ro kepala, Ro thorak, Ro servikal , Ro anggota gerak bila ada kecurigaan fraktur Indikasi pemeriksaan Ro kepala(1,2,3,4) Adanya penurunan kesadaran Adanya defisit neurologis Gejala dan tanda peningkatan TIK Tanda fraktur basis kranii, tengkorak Luka tembus Sefal hematom Usia < 1 th Jatuh dr ketinggian 3. CT scan (1,2,3,4) Indikasi CT scan cedera otak anak < 2 tahun Indikasi pasti ( resiko tinggi) Penurunan kesadran, iritabel Defisit neurologi fokal Fraktur tulang kepala Kejang Ubun-ubun membonjol 114 Muntah ≥ 5 kali atau > 6 jam Perburukan defisit neurologis Kecurigaan penganiayaan anak Indikasi relatif (resiko sedang) Muntah 3-4 kali Penurunan kesadaran < 1 menit Riwayat sebelumnya iritabel, lethargy dan saat diperiksa sudah membaik Hematom dikepala Mekanisme kecelakaan berat, tinggi Riwayat koagulopati Tatalaksana (2,3,4,5) Medikamentosa: 1. ABC : bebaskan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, terapi bila ada syok, hipotensi, hipoksia. Elevasi kepala 30 derajat 2. Bila terjadi penggian TIK atasi dengan pemberian cairan hiperosmolar seperti Manitol dosis 0,5-1 gr/kgBB dengan terlebih dahulu menghitung osmolaritas darah pasien sebelumnya, bisa diberikan Furosemid dosis 0,51 mg/kgBB setiap 4-6 jam, liat kesadaran menurun. 3. Bila tidak berhasil dapat diberikan barbiturat 4-6mg/ kg IV thiopental diikuti infus kontinu 6-8mg/kg. 4. Bila kejang beri IV fosfophenitoin 10-15mg/kg loading dose, diikuti maintence 4-8 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.Alternative lain lorazepam 0,05- 0,1 mg/kgBB). Bila status tatalaksana sesuai dengan tatalaksana status konvulsivus. 5. Atasi gangguan elekttrolit yang ditemukan. 6. Nutrisi sesuai kebutuhan dan umur anak. Operasi : Indikasi untuk operasi pada anak tidak terlalu agresif. Operasi dilakukan bila hematoma > 5 mm, ada peninggian TIK. Prognosis: (5) Tergantung dari : • penyebab dan berat cedera otak • Type dan perluasan cedera • Variasi diluar cedera • Usia anak • Riwayat Behavioral • Premorbid keluarga • Faktor setelah cedera • Peran keluarga • Rehabilitasi Gejala sisa setelah truma • Defisit Motorik, pendengaran and penglihatan • Gangguan berbahasa • Perubahan Behavioral • Disfungsi Kognitif : penurunan IQ, gangguan memori, atensi, konsentrasi, fungsi eksekutif 115 • Gangguan belajar Daftar Pustaka 1. American Academy of Pediatrics. The Management of Minor Closed head Injury in Children. Pediatrics 1999. Vol 104 (6). 1407-1415 2. Berger Pardes Rachael and Adelson David. Evaluation and Management of pediatric head trauma in The Emergency department : Current Concept and Stateof-the Art research. Clinical Pediatric Emergency Medicine, 2005. Elsevier 6:8-15 3. Menkes J.H Sarnat H.B, Maria. Bernard; Postnatal trauma and Injuries by Physical agents;Child Neurology, 7 ed, Liipincot William Philadelphia 2006, 659- 670 4. Maria Bernard, Current Management in Child neurology 3 ed. BC Decker London , 2006. page 515-524 5. Swaiman K, Ashnal S, Ferriero, traumatic Brain Injury in Children; Pediatric Neurology Principles & Practices, 4 ed Elsevier, 2006, page 873-897 ASSESMEN SERTA MANAGEMEN PAIN PADA ANAK Pendahuluan Pain atau nyeri merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada anak. Penyebab beberapa penyakit dapat bermanifestasikan nyeri, sedangkan anak sering kali belum dapat menyampaikan keluhannya secara tepat. Perlu kerja sama antara orang tua, pengasuh serta dokter yang menangani keluhan sakit tersebut. Dengan menangis ataupun rewel orang disekitar sudah harus tanggap apa sebenarnya yang dialami anak. Mungkin karena kencing, buang air besar, nyeri kepala, panas, kedinginan, dsb. Bagian I: standard pain 1 Pain merupakan suatu keluhan yang cukup mendominer, serta merupakan problem yang banyak menyita masalah di Amerika Serikat. Apakah sebenarnya pain itu? Pain merupakan suatu rasa luka atau rasa yang tidak nyaman. Hal tersebut dapat bervariasi mulai dari rasa tak nyaman sampai dengan nyeri dengan derjat berat. Baru-baru ini JCAHO mengadopsi beberapa standard managemen pain baru dan akan dibuat skor, dimulai dari tahun 2001. Standard baru tersebut memerlukan fasilitas kesehatan untuk: 1. Memilih pasien yang memerlukan asesmen dan managemen nyeri 2. Mengetes eksistensi dan bila perlu bagaimana proses alamiah serta intensitas nyeri pada semua pasien. 3. Catat semua hasil asesmen secara teratur ulangi dan ikuti perkembangannya. 4. Tentukan serta atasi nyeri sesuai dengan kompetensi masing-masing serta tentukan dan manage nyeri untuk orientasi terhadap semua staf baru. 5. Mantapkan cara serta prosedur untuk mendukung pengobatan pain secara efektif. 6. Didik pasien serta keluarga tentang managemen pain yang efektif. 7. Sampaikan pada pasien untuk mengatasi gejala guna merencanakan proses selanjutnya. Beberapa kondisi statistik di Amerika Serikat 9% dari populasi dewasa dari 25 juta orang menderita nyeri derajat sedang sampai berat dalam 6 bulan terakhir, tidak termsuk pain karena kanker. Perlangsungan nyeri dilaporkan sbb.: 116 Antara 6 bulan sampai 1 tahun : 10% Satu - 5 tahun : 34% Lebih dari 5 tahun : 56% Berikut ini pengaruh gaya hidup yang mempengaruhi nyeri: Gangguan tidur : 68% Kesulitan berjalan : 53% Tidak dapat konsentrasi : 42% Problem pekerjaan : 34% Hubungan kerja kurang baik: 26% Depresi : 18% Merasa tak berguna : 12% Alkoholisme : 10% Minoritas etnis mendapat terapi kurang adekuat untuk painnya dibanding kelompok non minoritas. Hanya 35% dari minoritas pasien dengan kanker mendapat pengobatan dosis tinggi dibanding 50% etnis Kaukasia. Pasien dengan umur lebih tua melaporkan nyeri dua kali lebih berat dibanding kelompok lainnya Bagian II: Penentuan pain dengan 5 vital sign Manajemen pain akan berhasil bila asesmen pain dibuat dengan tepat. Jangan pernah membuat asumsi bahwa pasien tidak nyeri. Tanya beberapa kali dan ulang. Beri perhatian terhadap ekspresi wajah serta bahasa tubuhnya. Asesmen nyeri dikerjakan secara teratur, individual terhadap masing-masing pasien, serta catat dengan baik. Berikut ini adalah komponen dari asesmen nyeri: - Dimana rasa terlukanya? - Bagaimana rasanya? - Seberat apakah nyerinya? - Berapa lama nyeri berlangsung, apakah hilang timbul atau menetap? - Apa yang membuat membaik atau memperburuk? - Apakah mengganggu tidur? Pain dapat bersifat akut atau kronis. Mayoritas nyeri akut berlangsung singkat dan hampir semuanya disebabkan oleh kerusakan jaringan atau organ. Sebagian besar nyerinya akan menghilang setelah pengobatan. Nyeri kronis perlu waktu untuk kesembuhannya. Hal ini mungkin berhubungan dengan trauma serius seperti terbakar atau karena kanker. Mungkin juga sebabnya tak diketahui. Ke dua jenis nyeri tersebut dapat diobati secara efektif. Bagian III: Managemen pain Nyeri sebaiknya diterapi dengan obat-obatan, cara invasif chas atau dengan beberapa alternatif penghilang nyeri secara non invasif. Analgesik atau penghilang nyeri dibagi menjadi 3 katagori. 1. Non-opioid selain non steroid anti inflamasi seperti ibuprofen atau asetaminophen (Tylenol). Obat-obat tersebut digunakan untuk mengobati nyeri derajat ringan sampai sedang. 2. Opioid digunakan untuk nyeri derajat sedang sampai berat. Obat lain yang termasuk golongan tersebut antara lain: morphine, codeine dan fentanyl. 3. Beberapa obat lain yang dapat digunakan sebagai pengganti opioid atau non-opioid. antara lain anti depresan untuk stimulasi steroid. 117 Salah satu efek samping yang paling sering dijumpai adalah konstipasi, yang harus diterapi dengan meningkatkan intake cairan, latihan secara teratur, tingkatkan diit serat dari makanan berupa buah dan sayur. Bicarakan kemungkinan diberikan laksan oleh dokter Prosedur invasif mungkin digunakan untuk nyeri kronis dan dilakukan oleh spesialis pain. Lisensi terhadap dokter yang akan melakukannya termasuk rhizotomi dan atau blok saraf. Beberapa tindakan lain yang tak invasif antara lain: masase, terapi pamnas atau dingin, relaksasi dengan biofeedback, latihan pernafasan, relaksasi otot secara progresif, akupunktur, latihan serta terapi sentuhan. Dapat ditambahkan bahwa penentun nyeri harus dilakukan secara teratur, harus didokumentasikan serta catat secara lengkap setelah dilakukan pengobatan atau perlakuan. Bagian IV : Managemen pain dalam siklus kehidupan 1.Bayi Karena bayi belum dapat menyatakan nyerinya secara verbal, maka pembantu harus dapat melihat gejala non verbal yang menunjukkan adanya gejala nyeri. Disini termasuk tangisa, gelisah, tangan dan kaki kaku, berdebar atau tekanan darah meningkat. Tentukan kondisi paling nyaman pada bayi termasuk pemberian obat dan lain-lain. 2.Anak dalam masa pra sekolah atau masa sekolah (Gambar???) Anak yang merasakan sakit belum dapat menceriterakan secara jelas seperti orang dewasa. Anak kurang dari 4 tahun akan lebih susah menyampaikan derajat keluhan nyerinya dibanding umur yang lebih tu. Penggunaan skala nyeri dengan penanda akan lebih efektif untuk anak seumur ini. Satu penanda berarti sedikit nyeri, tanda II berarti lebih nyeri, III lebih nyeri dan IV berarti paling sakit Anak-anak sekitar 5 tahun mungkin dapat dinilai secara lebih efektif dari ekspresi wajahnya, sementara pada anak umur 6 tahun ke atas secara keseluruhan sudah dapat mengatakan nyeri secara keseluruhan. Mungkin mereka dapat memfokuskan rasa nyerinya atau dimana lokasi nyerinya Mungkin juga mereka dapat menentukan kondisi yang dapat membuat lebih nyaman. Mungkin anak dapat memperlihatkan nyerinya dengan menangis, dari wajah yang kesakitan atau dengan menunjukkan dimana lokasi rasa nyeri tersebut. Mungkin juga mereka makan lebih sedikit dibanding biasanya, kurang aktif dan atau lebih banyak tidur dibanding biasanya. Mungkin pula onsetnya sebentar, nyeri jelas, seperti ditusuk jarum yang lebih nyata dibanding nyeri lainnya. Sering kali anak memberikan respon yang bagus terhadap penghilang nyeri. Orng tua adalah pengobat psikologi terbaik untuk nyeri. Pemberian perhatian diluar pengobatan biasanya akan sangat membantu mengurangi keluhan nyeri. Bagian V: pasien nyeri dengan gangguan berpikir dan berbicara Penderita dengan penurunan kemampuan berkomunikasi secara efektif karena demensia atau trauma , sukar untuk mengekspreikan nyeri atau rasa ketidak nyamanan untuk jangka waktu agak lama.. Dapat ditambahkan bahwa riwayat sebelumnya membuat pasien kurang peka terhadap nyeri atau dalam membedakannya dengan keluhan lainnya. Pada kenyataannya kasus sehat secara keseluruhan sukar untuk menyatakan adanya pain sebagai keluhan verbal Gejala non verbal sangat bervariasi, antra lain termasuk: 1). Kesakitan, nyeri di seluruh kepala, serta mengeratkan gigi 118 2). Rasa nyeri hilang timbul 3). Rasa tak nyaman 4). Menangis atau nafas bersuara Beberapa tambahan teknis dalam menentukan nyeri termasuk: 1). Gunakan kata singkat serta nada suara normal. 2). Menggunakan waktu secara efisien selama komunikasi dengan pasien 3). Tanyakan pada pasien dengan jawaban ya atau tidak sambil menunjuk lokasi nyeri 4). Individu biasanya masih mampu menggunakan skala nyeri secara sederhana dari angka 1 sampai 5, atau dari skala ekspresi wajah 5). Tanyakan pada keluarga dan atau perawatnya yang mungkin melihat pasien relatif lebih sering serta teratur. Bagian VI: rencana perawatan pin Tujuan managemen nyeri terhadap pasien adalah memperkecil atau menghilangkan nyeri, atau mengurangi nyeri sampai tingkat yang bisa diterima pasien. Mencegah nyeri lebih mudah dibanding mengobati merupakan salah satu cara yang harus dipegang. Nyeri merupakan suatu kondisi darurat. Penting mengikuti perkembangan pasien dengan lanjutan keluhannya walaupun sudah diberikan pengobatan. Jawaban dari perawat akan menunjukkan perkembangan nyeri pasien. Perawat perlu pro aktif dalam mendapatkan rencana perawatan pain chususnya untuk jenis yang kronis, sbb., 1). Ikuti dan antisipasi masalah-masalah yang berkaitan dengan nyeri 2). Harapan hasil achir dari intervensi serta pasien dengan nyeri derajat berat 3). Tentukan strategi dalam mangemen pain. Salah satu bagian nyeri pada anak yang tidak kalah pentingnya adalah nyeri kepala. Nyeri kepala menduduki peringkat pertma dari seluruh keluhan nyeri Headache atau nyeri kepala pada anak merupakan masalah umum yang sering dikeluhkan anak. Nyeri kepala disini mungkin merupakan manifestasi nyeri kepala primer karena migrain, tension, cluster headache atau nyeri kepala sekunder akibat kelainan di sistema saraf pusat. Penanganan nyeri kepala oleh dokter, tidak boleh melupakan faktor emosi serta fisik agar didapat diagnosis yang benar dan penanganan yang tepat. Orang tua serta dokter harus mewaspadai kemungkinan penyebab neurologis yang cukup serius pada nyeri kepala, walaupun sering kali dikira penyebab di luar sistema saraf sentral.. 2 Penyebab nyeri pada anak, dapat pula karena neuropati perifer.4. Neuropati perifer pada anak juga perlu dicermati. Beberapa kasus neuropati pada anak sering sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup anak, sedangkan sebagian diantaranya kurang efektif di dalam pengobatannya. Untuk kelainan bawaan neuropati masih sangat minim diketahui mekanismenya, sehingga untuk kelanjutannya yang akan bersifat progresif dan ireversibel kurang memberikan harapan. Neuropati karena inflamasi lebih mudah di terapi sebab etiologinya jelas. Terdapat kemungkinan untuk keberhasilan terapi. 1) Bila penyebabnya dapat diidentifikasi maka pengobatan lngsung ditujukan pada penyebabnya. 2). Seandainya tidak diketahui penyebabnya, perbaikan metabolisme sarafnya sendiri perlu dievaluasi. 3). Pengobatan simtomatis tidak boleh dilupakan, chususnya pada anak yang masih bertumbuh dan berkembang. Operasi mungkin direkomendasikan untuk mencegah kontraktur, atau mungkin dengan prothese. 119 Diagnosis neuropati perifer dapat ditegakkan berdasarkan proses patologis yang mempengaruhi saraf tepi antara brainstem atau medula spinalis yang akan merangsang gerakan. Beberapa ktagori neuropati anak antara lain: 1. Polineuropati Polineuropati akan mengenai sistema motorik dan sensorik saraf dalam bentuk campuran. Distribusinya bagian distal lebih dominan dan biasanya simetris. Gejala yang ditimbulkan dapat bersifat kronis atau akut, genetik, toksik, defisiensi nutrisi atau inflamasi. 2. Mononeuropati Mononeuropati mengenai satu sisi saraf dengan tipe campuran motorik dan sensorik. Lokasi biasanya pada satu saraf dengan penyebab karena trauma, entrapment atau keganasan. 3. Mononeuritis multipleks Mononeuritis multipleks mengenai saraf tepi secara multipel, melibatkan saraf serta lokasi multipel, dengan penyebab vaskular serta melibatkan jaringan kolagen. 4. Radikulopati Radikulopati melibatkan simpul saraf spinal tunggal dengan lokasi yang sesuai dengan simpul saraf yang terkena. Penyebab radikulopati antara lain karena sebab struktural, tumor, kolagen atau vaskular. 5. Poliradikulopati Poliradikulopati mengenai simpul saraf secaramultipel, sesuai dengan dermatom atau miotom yang terkena. Penyebab poliradikulopati dapat karena inflamasi, infeksi serta neoplasma 6. Pleksopati Pleksopati melibatkan pleksus brachial dan lumbal. Distribusinya kompleks dan mengenai pleksus secara selektif. Pleksopati dapat disebabkan karena proses inflamasi, struktural serta karena trauma. ABC mangemen pain AHCPR (The Agency for Health Care Policy and Research) merekomendasikan ABC untuk mnagemen pin atau nyeri : A: tanyakan tentng pain secara teratur dan tentukan nyerinya secara sistematis B: percaya pada pasien dan keluarganya tentang laporan nyeri serta apa faktor yang dapat mengurangi nyerinya C: pilih beberapa alternatif yang diharapkan pasien , keluarga berikut cara yang dapat mengontrol nyeri D: kirimkan waktu untuk intervensi, logis serta kerja sama yang baik E: berdayakan pasien dan keluarganya. Pasien diberi pengarahan agar dapat mengontrol kondisinya bila memungkinkan Kesimpulan 1). Nyeri pada anak cukup banyak dikeluhkan 2). Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, sehingga perlu anamnesis yang teliti terhadap anak, orang tua, guru atau orang terdekat disekeliling pasien 3). Kesulitan dalam mengekspresikan nyeri, perlu suatu asesmen sebagai salah satu parameter obyektif 4). Pemberian analgesik bersifat simtomatis untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri sesuai dengan derajat nyeri. Terpenting adalah mencari penyebab nyeri 120 5). Edukasi terhadap pasien sangat menentukan keberhasilan managemen nyeri 6). Nyeri kepala merupakan keluhan nyeri terbanyak Daftar Pustaka 1. Champion Medical Staffing . Pain Assesment and Management 2. Rothner AD. Hedaches dalam Pediatric Neurology Principles and Practice KE Swaiman & S. Ashal (eds). 3 rd ed. Vol. 2 Mosby Inc., Toronto, pp 747758, 1999 3. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology, A Sign and Symptom Approach. 4 th. ed. Saunders Elsevier Science, Philadelphia, 2001. 4. .Ouvrier R; Ryan MM & Redmond A. Treatment of Peripheral Neuropathies in Treatment of Pediatric Neurologic Disorders. Harvey SS; Kossoff EH; Hartman AL & Crawford TO. Eds. Taylor & Francis Group USA pp 177-184, 2005 Penurunan Kesadaran pada anak Diagnosis, Etiologi dan Tatalaksana PENDAHULUAN Penurunan kesadaran pada anak merupakan keadaan darurat yang membutuhkan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dan segera. Penatalaksanaan yang cepat dan tepat dapat mencegah kerusakan otak lebih lanjut. Pengetahuan yang cukup mengenai, anamnesis, manifestasi klinik, pemeriksaan fisik dan neurologic akan menuntun ke arah diagnosis dan etiologi penurunan kesadaran, sehingga tatalaksana pada penderita menjadi lebih baik. DEFINISI Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi waspada dengan kesiagaan yang terus menerus terhadap diri sendiri dan keadaan lingkungan. Seseorang dengan tingkat kesadaran yang normal mempunyai respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya.1 Kesadaran dapat terjaga akibat interaksi yang kompleks dan terus menerus secara efektif dan seimbang antara hemisfer otak, formasio retikularis di batang otak serta semua rangsang sensorik yang masuk ke dalam tubuh. Kesadaran mempunyai dua komponen, yaitu:1,2,3 1. Bangun (arousal atau wakefulness) yang tergantung pada fungsi Reticular activating system (RAS) yaitu suatu hubungan yang di atur oleh fungsi otonom vegetative otak yang bekerja akibat adanya stimulus ascenden dari tegmentum 121 pontin, hipotalamus posterior dan thalamus (Ascending Reticular Activaring System, ARAS) 2. Waspada (awareness), yang tergantung pada neuron di korteks sesebri dan hubungan yang timbal balik dengan nuclei di subkortikal. Kewaspadaan memerlukan bangun, tetapi tidak sebaliknya. Penurunan kesadaran dapat terjadi karena adanya disfungsi RAS atau disfungsi korteks serebri. Kesadaran ini terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu 2 1. Kompos mentis : keadaan sangat tanggap terhadap lingkungan baik ada maupun tidak ada rangsangan. 2. Apatis (obtundasi ) : gangguan kesadaran ringan disertai dengan berkurangnya perhatian terhadap lingkungan sekitar. 3. Somnolen (letargi) : pasien tampak mengantuk sampai tidur, masih dapat dibangunkan sampai sadar dengan rangsang suara. 4. Sopor (stupor) : gangguan kesadaran menyerupai tidur yang dalam dan dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri yang kuat, komunikasi minimal, reaksi berupa gerakan menghindar dari nyeri dan mengerang. 5. Koma : gangguan kesadaran berat, pasien tampak tidur dalam dan tidak dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, dan tidak ada reaksi terhadap rangsang nyeri. Penentuan tingkat kesadaran dapat dinilai dengan cara lain yang obyektif dan ditentukan dengan skala numeric yaitu dengan Skala Koma Glasgow (SKG). SKG ini biasa dilakukan pada trauma kapitis, dan dapat juga digunakan untuk penurunan kesadaran karena sebab lain. Penilaian dilakukan terhadap respon buka mata, fungsi motorik dan respon verbal. Tabel 1. Penilaian Skala Koma Glasgow dan modifikasi pada anak 4 Tanda Skala Koma Glasgow Buka mata Spontan Terhadap perintah Terhadap sakit Tidak ada Respon verbal Terorientasi Bingung Disorientasi Kata-kata tidak tepat Skala koma Glasgow-modifikasi untuk anak Spontan Terhadap suara Terhadap nyeri Tidak ada Nilai 4 3 2 1 Sesuai usia, terorientasi, ikuti 5 objek, senyum social. Menangis, tetapi dapat dibujuk 4 Rewel, tidak kooperatif, tanggap lingkungan. Rewel, tangis persisten, dapat 3 122 dibujuk tapi inkonsisten Menangis tidak dapat dibujuk, 2 tidak tanggap terhadap lingkungan, gelisah, agitasi. Tidak ada 1 Suara tidak dimengerti Tidak ada Respon motor Nilai terbaik Mengikuti perintah Mengikuti perintah, gerakan spontan. Melokalisasi nyeri Melokalisasi nyeri Menghindari nyeri Menghindari nyeri Fleksi abnormal Fleksi abnormal terhadap nyeri terhadap nyeri Ekstensi abnormal Ekstensi abnormal Tidak ada Tidak ada total 6 5 4 3 2 1 15 Tabel 2. Skala Koma Pediatric5 Tanda Buka mata Respon Spontan Terhadap suara Terhadap nyeri Tidak ada Nilai 4 3 2 1 Respon verbal terbaik Terorientasi Kata-kata Suara-suara Menangis Tidak ada 5 4 3 2 1 Respon motor terbaik Mengikuti perintah Melokalisasi nyeri Fleksi terhadap nyeri Ekstensi terhadap nyeri Tidak ada 5 4 3 2 1 Nilai agregat normal Lahir sampai 6 bulan 1 sampai 2 tahun 2 sampai 5 tahun Lebih dari 5 tahun 9 11 12 14 PATOFISIOLOGI 1,2,3 123 Kesadaran merupakan hubungan yang kompleks antara korteks serebri dan ARAS. Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang menyebabkan terjadinya disfungsi korteks serebri bilateral, disfungsi ARAS atau keduanya. Beberapa keadaan yang daapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah : 1. Ensefalopati metabolic, toksik, infeksi mengakibatkan gangguan difus pada hemisfer serebri , ARAS atau keduanya. 2. Massa supratentorial yang menyebabkan penekanan atau perubahan struktur diensefalon atau batang otak 3. Massa subtentorial atau lesi destruktif yang menyebabkan penekanan atau kerusakan pada ARAS. 4. Traumatic Axonal injury menyebabkan kerusakan hemisfer serebri dan ARAS atau hubungan diantaranya. DIAGNOSIS A. Anamnesis 1,6,7 Anamnesis yang didapat dari orang tua adalah informasi yang penting dalam evaluasi untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Berbagai hal yang perlu ditanyakan adalah sebagai berikut : penyakit yang pernah diderita sebelum terjadi gangguan kesadaran, seperti epilepsy, diabetes, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit jantung kongenital. Selain itu juga riwayat pemakaian obat-obatan, inborn error metabolism atau juga riwayat penggunaan pemanas (kemungkinnan keracunan karbon monoksida). Ditanyakan juga apakah kejadian penurunan kesadaran ini terjadi mendadak (kemungkinan suatu perdarahan intracranial), adanya trauma kapitis sebelumnya, atau terjadi gangguan kesadaran secara bertahap (tumor supratentorial, kelainan metabolic). Penting juga diketahui apakah terdapat deficit neurologi yang menyertai gangguan kesadaran. Hal lain yang perlu diketahui adalah adakah panas badan, nyeri kepala, muntah-muntah. Anamnesis ini juga dapat menentukan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran ini apakah structural atau metabolic. Kelainan structural dicurigai bila kejadiannya mendadak, terdapat deficit neurologi yang jelas. B. Pemeriksaan fisik umum 1,6,7 Mulai dengan pemeriksaan tanda vital, yaitu : menentukan tingkat kesadaran, memeriksa nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu tubuh. Adanya laju nadi yang cepat kemungkinan terjadi syok hipovolemik, efek sekunder dari panas badan yang tinggi, atau gagal jantung . Laju nadi yang kurang dari normal kemungkinan disebabkan hipoksemia yang lama, peningkatan tekanan intracranial atau gangguan myokard. Respirasi yang cepat kemungkinan karena adanya oksigenasi yang abnormal seperti pneumonia, asma, asidosis atau uremia. Lesi di batang otak 124 akan menyebabkan central neurogenic hyperventilation (CNH). Respirasi yang lambat, ireguler atau periodic breathing patterns kemungkinan disebabkan karena peningkatan tekanan intracranial atau karena toksik. Hipotensi dapat disebabkan karena syok, sepsis, pengaruh obat-obatan, insufisiensi adrenal atau gangguan jantung. Hipertensi dapat disebabkan oleh hypertensi ensefalopati atau respon kompensasi untuk menstabilkan perfusi darah ke otak akibat adanya stroke atau peningkatan tekanan intra cranial. Suhu tubuh yang tinggi disebabkan oleh adanya infeksi atau karena adanya kegagalan fungsi mekanisme pengatur suhu sentral. Panas badan disertai dengan gangguan kesadaran dapat disebabkan karena sepsis, pneumonia, meningitia, ensefalitis, abses intracranial atau empyema. Inspeksi pada kepala, kulit dapat member petunjuk, seperti cyanosis kemungkinan adanya oksigenasi yang kurang, ikterik menunjukkan kemungkinan kelainan hepar. Kulit yang sangat pucat kemungkinan adanya anemia atau syok dan kulit kemerahan (cherry-red color) kemungkinan keracunan carbonmonoksida. Adanya sefalhematom, pembengkakan kulit kepala kemungkinan adanya trauma kapitis. Adanya perdarahan atau keluar cairan bening dari hidung atau telinga menunjjukkan kemungkinan adanya fraktur basis cranii. Adanya rash disertai gangguan kesadaran kemungkinan infeksi meningokoksemia, atau riketsia. Adanya lesi neurokutan seperti depigmentasi kemungkinan tuberosklerosis yang mungkin menyebabkan kejang atau massa intracranial yang menyebabkan gangguan kesadaran. Peningkatan pigmentasi secara umum kemungkinan disebabkan oleh penyakit Addison atau adrenoleukodistrofi. Keracunan dapat memberikan bau tertentu seperti pada intoksikasi alcohol, ketiasidosis diabetika (sweet-fruity), uremia (bau urin). Pemeriksaan kardiovaskuler diperlukan untuk menentukan kelainan jantung congenital atau endokarditis yang dapat menyebabkan abses intracranial. Abdomen yang rigid kemungkinan terdapat perdarahan intra abdomen yang menyebabkan syok. C. Pemeriksaan neurologic 1,6,7 Pemeriksaan neurologic sangat penting untuk mengevaluasi setiap pasien dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan neurologic dapat menetapkan apakah penyebab penurunan kesadaran adalah proses structural atau karena kelainan medical/metabolic. Selain itu, pemeriksaan neurologic dapat menetapkan pula letak proses patologik di otak maupun batang otak. Selain pemeriksaan neurologis yang umum, perlu juga dilakukan pemeriksaan neurologis khusus yang meliputi: 1. Kesadaran, yang dapat diperiksa dengan SKG ataupun skala tingkat kesadaran (composmentis, somnolen, sopor, coma). 125 2. Pemeriksaan untuk menentukan letak lesi patologis di otak atau batang otak, yang meliputi : Observasi umum adakah gerakan menelan, menguap, adanya gerakan ini menunjukkan bahwa fungsi nucleus batang otak masih relative baik. Posisi lengan dan tungkai, bila kedua lengan dalam keadaan fleksi kemungkinan letak lesi di hemisfer otak, apabila kedua lengan dan tungkai ekstensi kemungkinan gangguan ada di batang otak dan serius. Selain itu pola pernafasan juga dapat menunjukkan kelainan di otak seperti dapat dilihat pada tabel : Tabel 3. Pola pernafasan disertai gangguan susunan saraf Pusat 8 Jenis nafas Cheyne Stokes Hiperventilasi Apneustik Ataksik Hipoventilasi Pola nafas Apneu disertai dengan hiperpneu Gangguan serebral bilateral atau diensefalon (ancaman herniasi atau gangguan metabolik Pernafasan cepat Asidosis metabolic, hipoksia atau keracunan (amfetamin, kokain) Kelainan di daerah mid pons – mid brain) Berhentinya inspirasi Kelainan di pons atau medulla Tidak ada pola Kelainan di medulla Akibat alcohol, narkotik atau sedative Kelainan di ARAS Ukuran dan reaktifitas pupil, gerakan bola mata Reaksi pupil (kontriksi dan dilatasi diatur oleh system saraf simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis) yang relative tidak dipengaruhi oleh gangguan metabolic. Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya kemungkinan disebabkan karena kelainan structural yang mempengaruhi derajat kesadaran. Daerah batang otak yang mengurus kesadaran berdekatan dengan daerah yang mengatur pupil, sehingga perubahan pupil penting dalam menentukan lokalisasi proses yang menyebabkan koma. Serabut-serabut simpatis berasal dari hipotalamus, menurun ke daerah spina torasikus dan naik sepanjang arteri karotis interna dan melalui fisura orbitalis superior menuju pupil. Serabut parasimpatis berasal dari midbrain dan menuju pupil melalui saraf okulomotorius (n. III). Ensefalopati metabolic atau intoksikasi glutamat menyebabkan pupil mengecil dan kontriksi tetapi tetap responsive terhadap cahaya. Lesi di diensefalon dan intoksikasi barbiturate memberikan respon yang sama. Lesi di midbrain mempengaruhi serabut simpatis dan parasimpatis sehingga pupil terfiksasi di tengah, pupil miosis dan tidak responsive terhadap 126 rangsang cahaya. Pupil pinpoint ditemukan akibat lesi di daerah pontin. Pada table dapat dilihat kelainan pupil. Tabel 4. Gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata pada penurunan kesadaran Dilatasi pupil Unilateral : ipsi lateral, perdarahan intrakranial, tumor, ancaman herniasi, pasca kejang, atau lesi N. III. Bilateral : pasca kejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan menetap, ensefalitis, syok perdarahan Konstriksi pupil Menetap : kelainan pons, atau metabolic Reaktif : kelainan medulla dan metabolic Pupil midsized Gerakan bola mata Menetap, herniasi sentral Deviasi kearah kerusakan hemisfer, menjauhi fokus kejang, dan menjauhi lesi batang otak, hemiplegia. Ke bawah dan ke luar (down and out) : neuropati diabetes, peningkatan tekanan intracranial, meningitis di daerah pons. Refleks Doll’s eye : bola mata bergerak berlawanan dengan gerakan kepala batang otak baik Tes kalori : air es dialirkan pada membrane timpani yang intak, mata bergerak kea rah yang dirangsang. Respon motorik1,6,7 Fungsi motorik dapat memberikan informasi lokasi lesi, karena itu perhatikan posisi ekstremitas, gerakan spontan, reaksi terhadap nyeri dan refleks. Kelemahan motorik unilateral merupakan petunjuk lesi structural Tidak adanya respon motorik dengan flasiditas dan arefleksi dapat terjadi pada ensefalopati toksik-metabolik dan lesi yang menyebabkan hilangnya seluruh fungsi kortikal dan batang otak sampai daerah ponto-medularis sepertipada koma terminal atau keracunan sedative berat. 127 Dekortikasi atau posisi kedua lengan fleksi menunjukkan adanya kerusakan hemisfer serebri bilateral dengan fungsi batang otak yang masih baik. Deserebrasi atau posisi kedua lengan ekstensi menunjukkan adanya kerusakan di daerah midbrain dan pons bagian atas dan dapat terjadi juga pada kelainan metabolic berat seperti ensefalopati hepatic atau ensefalopati hipoksik iskemik. Lesi yang menyebabkan deserebrasi umumnya lebih berat dibandingkan dengan dekortikasi. Adanya postur asimetri lebih ke arah kelainan structural dibandingkan dengan kelainan metabolic. Sindrom herniasi harus selalu dipikirkan pada penderita dengan postur yang abnormal. Pemeriksaan dengan alat : pemeriksaan dengan oftalmoskop diperlukan untuk melihat adanya edem papil, perdarahan retina, tuberkel. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan adakah peningkatan tekanan intracranial. Tabel 5. Evaluasi batang otak 6 Respon terhadap nyeri Fleksi pada rangsang nyeri Diensefalik supraokuler. Ekstensi pada rangsang nyeri Midbrain/pons bagian atas supraokuler Tidak ada Dibawah pons Postur Normal Hemiparesis Dekortikasi Deserebrasi Flaksid Batang otak baik Herniasi uncal Diensefalon Midbrain/pons bagian atas Dibawah pons Tonus/refleks/plantar Normal Unilateral pyramidal Bilateral pyramidal Flaksid/plantar ekstensi Batang otak baik Herniasi uncal Diensefalik Dibawah pons Okulosefalik (doll’s eye) Sebelumnya pastikan tidak ada trauma cervical. Kepala digerakkan ke kiri dan kanan, lihat pergerakan mata Gerakan sakkadik Deviasi mata maksimal Deviasi mata minimal Tidak ada gerakan mata Normal Diensefalik Midbrain/di atas pons Dibawah pons Okulovestibuler (tes kalori) Pastikan membrane timpani intak. Kepala ditengah , kepala 30⁰. Masukkan 20 cc air es ke liang telinga. Amati gerakan mata Nistagmus Deviasi mata ke arah telinga yang dimasuki air Deviasi mata minimal Tidak ada gerakan mata Normal Diensefalik Midrain/di atas pons Dibawah pons 128 Ukuran pupil Normal di tengah Kecil Dilatasi Unilateral Dilatasi bilateral Midbrain/ diatas pons Diensefalik Herniasi uncal Di bawah pons Respon pupil terhadap cahaya Bereaksi cepat Tidak responsif Batang otak baik Midbrain/ di atas pons Pola respirasi Normal Cheyne Stokes Hyperventilasi Ataksik, dangkal Gasping, lambat, ireguler Batang otak baik Diensefalik Midbrain/ di atas pons Pons bagian bawah Medulla Tabel 6 . Sindroma herniasi 6 Uncal Dilatasi pupil unilateral Ptosis unilateral Minimal deviasi pada mata saat tes okulosefali/okulovestibuler Hemiparesis Diensefalik Pupil kecil, reaktif terhadap rangsang cahaya Deviasi maksimal pada mata saat tes oculosefalik/okulovestiuler Fleksi terhadap rangsang nyeri dan atau postur dekortikasi Hipertonia dan atau hiperefleksia disertai plantar ekstensi Respirasi Cheine Stokes Midbrain/diatas pons Pupil midpoint, tidak reaktif dengan rangsang cahaya Deviasi minimal pada mata saat tes okulosefalik atau okulovestibuler Ekstensi terhadap rangsang nyeri dan atau postur deserebrasi Hiperventilasi Bagian bawah Pons Pupil midpoint, tidak reaktif terhadap rangsang cahaya Tidak ada respon pada tes okulosefalik dan okulovestibuler Tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau hanya fleksi pada tungkai Flaksid dan plantar ekstensi Pernafasan ataksik atau dangkal Medulla Pupil dilatasi dan tidak reaktif terhadap rangsang cahaya Respirasi lambat, ireguler, gasping Respiratory arrest dengan cardiac output yang adekuat. 129 ETIOLOGI Etiologi penurunan kesadaran dibagi dalam 2 bagian besar yaitu structural dan metabolik. Kelainan structural dapat berupa trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, infeksi dan hidrosefalus. Mekanisme penting kelainan structural ini menyebabkan penurunan kesadaran adalah adanya herniasi pada struktur otak dan batang otak. Kelainan metabolic yang menyebabkan penurunan kesadaran adalah gangguan metabolic, toksin atau racun eksogen, hipoksik iskemik, infeksi dan kelainan paroksismal seperti status epileptikus. Dibawah ini beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran pada anak : Tabel 7. Penyebab penurunan kesadaran pada anak 1,9,10 Infeksi atau Inflamasi A. Infeksi Meningitis bakterialis Ensefalitis Riketsia, protozoa Infeksi cacing B. Inflamasi Ensefalopati sepsis Vaskulitis Acute demielinating encephalomyelitis Multiple sclerosis Struktural A. Trauma Kontusio Perdarahan intraserebral Diffuse axonal injury B. Neoplasma C. Penyakit vaskuler Infark serebri Kelainan congenital D. Infeksi fokal Abses Serebritis E. Hidrosefalus F. Kejang Metabolic, nutrisi atau toksin A. Hipoksik-Iskemik Syok Gagal jantung-paru Tenggelam Keracunan CO, sianida Strangulasi B. Kelainan metabolic Sarkoidosis Hipo / hiperglikemia Gangguan cairan dan elektrolit Kelainan endokrin Asidosis Ketoasidosis diabetika Aminoasidemia Organic asidemia Hiperamonia Hepatik, uremia,sindroma Reye Uremia, porfiria Penyakit mitokondria C. Nutrisi Defiensi tiamin, piridokasin, asam folat D. Toksin eksogen Obat-obatan, logam berat E. Ensefalopati hipertensi F. Ensefalopati luka bakar 130 Tabel 8. Diagnosis gangguan kesadaran menurut umur 11 Bayi Infeksi Metabolic Inborn error Kejang Kekerasan Anak Toksin Infeksi Kejang Intususepsi Kekerasan/trauma Remaja Toksin Trauma Psikiatrik Kejang PEMERIKSAAN PENUNJANG Semua penderita dengan kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan gula darah. Penyebab toksik metabolic diperiksa darah rutin, urin, aspirat lambung dan cairan serebrospinal. Pemeriksaan kimia darah meliputi gula darah, natrium, kalium, kalsium, magnesium, BUN dan ammonia. Analisa gas darah sering juga diperlukan. Kultur darah dan urin dilakukan bila kemungkinan terjadi infeksi. Pungsi Lumbal diperlukan bila dicurigai ada infeksi pada susunan saraf pusat, bila perlu dilakukan setelah pemeriksaan CT scan kepala. Selain itu CT scan atau MRI dengan kontras diperlukan bila curiga ada kelainan structural.9,10,12 TATA LAKSANA Panatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran haruslah cepat dan tepat, agar dapat menghindari kerusakan otak lebih lanjut. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah resusitasi ABC (jalan nafas, pernafasan dan cardiovaskuler). Seringkali gangguan kesadaran disertai dengan stridor, sehingga mengamankan jalan nafas sangat perlu dengan cara menghilangkan sumber obstruksi. Semua anak diberikan oksigen inisial 100% sampai oksigenasi adekuat.9,10,12 Selanjutnya di pasang iv line untuk pemberian cairan dan medikasi. Infus cairan NaCl 0,9 % diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan perfusi pada organ-organ vital. Pemeriksaan darah dapat menunjukkan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran, pemeriksaan gula darah harus segera dilakukan, karena hipoglikrmi adalah salah satu keadaan yang sering menimbulkan gangguan kesadaran, dan bila terdapat hipoglikemi, segera perbaiki dengan pemberian glukosa intra vena. Dapat juga diberikan langsung Dextrose 25 % sebanyak 1 – 4 ml/kgBB, sambil memperhatikan responnya, bila terdapat perbaikan dramatis, selanjutnya diberikan infuse glukosa 10 %, apabila kesadaran tidak pulih, kemungkinan menyebab penurunan kesadaran bukan hipoglikemi. Apabila di dapat riwayat keracunan opiate dan didapat tanda-tandanya (pupil pintpoin, koma, depresi nafas) segera berikan antagonis opiate, nalokson dapat diberikan iv.12 131 Setelah anak dalam keadaan stabil, dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis mengarah pada kelainan structural, maka segera dilakukan intervensi untuk menurunkan tekanan tinggi intracranial, yaitu dengan cara memposisikan kepala 30 ⁰, posisi ditengah, untuk melancarkan drainase pembuluh darah vena cerebri, kemudian lakukan pemeriksaan CT scan kepala segera. Dipikirkan juga untuk konsul ke dokter bedah saraf, bila kemungkinan harus ada tindakan yang dilakukan. Untuk menurunkan tekanan tinggi intracranial dapat dilakukan pemberian manitol 20 % drip intra vena dengan dosis 0,5 – 2 gr/kgBB selama 30 menit setiap 6 jam. Kortikosteroid seperti deksametason bermanfaat bila terdapat edem perifokal karena tumor, diberikan intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Posisi kepala dipertahankan 30⁰ diatas bahan datar. CT scan harus dilakukan pada setiap anak dengan penurunan kesadaran akibat trauma kepala tertutup atau penyebab yang tidak dapat ditentukan. 11,12 Status epileptikus perlu dipertimbangkan bila terdapat riwayat kejang, dan pemeriksaan EEG harus dilakukan. Pertimbangkan pula adanya status epileptikus non konvulsif. Bila kejang masih ada berikan obat kejang sesuai protap pada status epileptikus. Bila dicurigai ada infeksi SSP, dilakukan pungsi lumbal dan diberikan antibiotika atau antivirus yang sesuai. Perlu diperhatikan kontra indikasi pungsi lumbal, yaitu : 13 SKG ≤ 8 Syok SKG yang cenderung turun Bradikardia (≤ 60) Tanda deficit neurologic fokal Hipertensi ( > 95th percentile) Kejang terakhir lebih dari 10 menit dan SKG Secara klinik didapat infeksi meningokokal masih ≤ 12 Dilatasi pupil (uni/bilateral) Pola nafas abnormal Reaksi pupil lambat atau tidak ada Doll’s eye abnormal Tanda peningkatan tekanan intra kranial Posture abnormal Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, bila didapatkan ketidak seimbangan. Pemberian cairan harus tepat sesuai dengan indikasinya. Hiponatremia,hipernatremia, hipokalsemia, atau hipomagnesemia seringkali terjadi bersama penyakit sistemik, dan perlu dikoreksi. Adanya asidosis dan alkalosis metabolic atau respiratorik juga harus dikoreksi.11,12 Antipiretik yang sesuai perlu diberikan untuk mengontrol suhu tubuh.11 Agitasi dapat meningkatkan tekanan intracranial dan menyulitkan bantuan ventilasi mekanik sehingga dapat dipertimbangkan pemberian sedative walaupun mungkin akan menyulitkan evaluasi neurologic berkala.11,12 132 Algoritma tatalaksana penurunan kesadaran.12 Jalan napas – intubasi bila SKG ≤ 8 Pernapasan – pertahankan Saturasi 02 > 80% Sirkulasi – pertahankan tekanan arteri > 70 Pemeriksaan darah untuk glukosa, elektrolit, analisa gas darah, fungsi hati, fungsi ginjal, fungsi tiroid, darah lengkap, skrining toksikologi PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Hiperventilasi, manitol 0,5 – 1,0 gram/kgBB, bila tekanan intracranial meningkat atau herniasi Tiamin (100 mg IV) diikuti dengan 25 gram glukosa bila serum glukosa < 60 mg/dl Nalokson bila overdosis narkotika, diberikan infuse intravena 0,8 mg/kgBB/jam Bilas lambung dengan activated charcoal bila dicurigai keracunan obat. CT scan / MRI kepala bila dicurigai adanya kelainan struktur otak Riwayat lengkap dan pemeriksaan sistemik Pertimbangkan: EEG, pungsi lumbal dll 133 RINGKASAN Penurunan kesadaran pada anak merupakan suatu keadaan klinik dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Penilaian tingkat kesadaran dengan segera dan menentukan penyebab sangatlah diperlukan. Penyebab structural dan metabolic/medical dapat di tentukan dengan anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik dan neurilogik yang baik. Adanya deficit neurologic yang asimetris seperti dilatasi pupil, diskonyugasi pergerakan bola mata, dan asimetri motorik mengarah pada kelainan structural ; progresifitas yang lambat dan deficit neurologic yang simetris biasanya penyebabnya adalah kelainan medical. Temuan deficit neurologic yang spesifik yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial dapat disebabkan adanya herniasi uncal atau sentral. Gangguan metabolic, hepar, ginjal, paru-paru, dan jantung maupun toksik sering juga menjadi sebab penurunan kesadaran pada anak. Penanganan yang baik diharapkan dapat meningkatkan prognosis menjadi lebih baik. Daftar pustaka 1. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam : Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology : Principle & Practice, Edisi 4. Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. H. 1378 – 400. 2. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s, Principle of neurology. Edisi ke 9. New York : Mc Graw Hill, 2009. H. 339 – 61. 3. Plum F. Posner J. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia, Pa: FA Davis 1980 4. Hahn YS. Chyung C, Barthel MJ, et al. head Injuries in children under 36 months of age. Child Nerv Syst 1988;4:34 5. Reilly PL, Simpson DA, Sprod R, et al. Assesing the conscious level in infants and young children: a pediatric version of the Glasgow Coma Scale. Childs Nerv Syst 1988; 4: 30 6. Kirkham FJ. Non Traumatic coma in children. Arch Dis Child. 2001;85:303-12 7. Avner JR. Altered States of Consciousness. Pediatr Rev 2006 ; 27;331-8 8. Ziai WC, Mirski MA. Evaliation and management of the unconscious patient. Dalam: Johnson RT, penyunting. Current therapy in neurologyc disease, Edisi ke 6. St. Louis : Mosby, 2002. h. 1-8 9. Cohen BH. Andresfky JC. Altered states of consciousness. Dalam : Maria BL, penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-3. Hamilton: BC Decker Inc, 2005. H. 551-62. 134 10. Fenichel GM. Pediatric Neurology, Edisi ke 6. Philadelphia: Elsevier Saunders 2009. h. 49 – 78. 11. King D, Avner JR. Altered Mental Status. Clin Ped Emerg Med 2003; 4: 171-8 12. Stevens RD. Bhardwaj A. Approach tu the comatose patient. Crit Care Med 2006; 34: 31-41 13. Bowker RP, Stephenson TJ, Baumer JH. Evidence-based guidline for the management of decreased conscious level. Arch Dis Child Ed 2006; 91: 115-22 135