Riwayat Penyakit

advertisement
BUKU MODUL INDUK
NEUROPEDIATRI
KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA
(KNI)
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA
(PERDOSSI)
2013
1
MODUL INDUK
NEUROPEDIATRI
1. Perkembangan saraf anak normal
2. Gangguan tumbuh kembang saraf anak
3. Penyakit-penyakit saraf pada anak, diagnosis dan tatalaksana
PENYUSUN
Dr. Yetty Ramli, Sp.S (K) – FKUI, Jakarta
Dr. Anna MG. Sinardja, SpS (K) - FK.UNUD, Denpasar
Dr. Kiking Ritarwan, SpS (K) – FK USU, Medan
Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS (K) – FK USU, Medan
Dr. Uni Gamayani, SpS (K) – FK UNPAD, Bandung
Dr. Sri Sutarni Sudarmadji – FK UGM, Yogyakarta
Dr. Hj. Siti Hanafiah, Sp.S - FK- UNAND, Padang
Dr. Hj. Meiti Frida, Sp.S FK-UNAND, Padang
2
1. ALOKASI WAKTU
Mengembangkan Kompetensi
Sesi di dalam kelas
Waktu (selama 2 bulan)
15 jam (classroom session), terbagi dalam tatap muka
alih pengetahuan tentang epidemiologi, patofisiologi,
diagnosis, diagnosis banding, manajemen-preventif
kuratif, rehabilitatif dan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi dari :
Perkembangan anak normal
: 1 x 2 jam
Gangguan tumbuh kembang anak
: 1 x 2 jam
Gangguan neurologik lain pada anak
: 1 x 1 jam
Infeksi SSP pada anak
: 1 x 30 menit
Epilepsi anak
: 1 x 2 jam
Tumor anak
: 1 x 30 menit
Gangguan saraf tepi dan otot
: 1 x 2 jam
Kelainan vaskular pada anak
: 1 x 2 jam
Nyeri dan nyeri kepala pada anak
: 1 x 2 jam
Gangguan gerak pada anak
: 1 x 2 jam
Penurunan kesadaran pada anak
: 1 x 1 jam
Sesi dengan fasilitasi
Pembimbing
1x per minggu/ 1jam (coaching session) dalam kurun
waktu
2 bulan stase di ruang rawat dan
poliklinik
Sesi praktik dan pencapaian
kompetensi
1x per minggu / 1jam (facilitation and assessment)
dalam kurun waktu
2 bulan ruang rawat dan
Poliklinik
2. TUJUAN UMUM
1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi yaitu dalam bidang pendidikan,
penelitian dan pengabdian masyarakat
2. Mempersiapkan para kandidat dalam menangani masalah masalah penyakit
secara klinis sehingga mampu mengatasi berbagai masalah dibidang neurologi
terutama stroke yang akan dihadapi sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan tehnologi, serta kompetensi sebagai spesialis saraf
3. TUJUAN KHUSUS
1. Mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam mengenai penyakit terutama dari
aspek ilmu-ilmu dasar untuk melaksanakan kegiatan promosi, prevensi, kurasi,
rehabilitasi dan kegawatan.
2. Memiliki pengetahuan mendasar untuk melakukan analisis penyakit secara klinis.
komunitas maupun science, dan mempunyai ketrampilan mengobati penderita
sehingga menjadi lebih baik.
3
3. Berpartisipasi aktif untuk mengembangkan pengetahuan dan mempunyai
ketrampilan dalam penerapan ilmu pada penderita yang memerlukan pertolongan.
4. Dapat bekerja sama dengan profesi lain demi kepentingan pasien dan ilmu
pengetahuan.
5. Mampu menerapkan prinsip-prinsip dan metode berfikir ilmiah dalam menerapkan
ilmu kedokteran, khususnya bidang neurologi.
6. Mampu mengenal, merumuskan pendekatan penyelesaian dan menyusun prioritas
masalah neurologi dengan cara penalaran ilmiah, melalui perencanaan,
implementasi dan evaluasi terhadap upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan kegawat daruratan neurologi khususnya stroke.
7. Mampu menangani kasus kasus dengan kemampuan profesional yang tinggi
melalui pendekatan Evidance Base Medicine.
8. Mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dasar, klinis dan lapangan
serta mempunyai motivasi mengembangkan pengalaman belajar sehingga dapat
mencapai tingkat akademis lebih tinggi.
9. Bersifat terbuka, tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu dan tehnologi
atau masalah yang dihadapi masyarakat.
4. STRATEGI PEMBELAJARAN







Pembelajaran diselenggarakan di Rumah Sakit Pendidikan dan Rumah Sakit
Lahan / Jejaring Pendidikan.
Pelatih memberi kuliah dengan topik yang relevan, mutakhir, dengan
memperhatikan evidence-based medicine.
Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan
diskusi, baik antara pelatih dengan peserta didik maupun antar peserta didik.
Pelatih memberi peluang / kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan
simulasi pemeriksaan fisik lengkap (umum dan neurologik) sambil menulis hasil
yang ditemukan dalam status pemeriksan fisik neurologik lengkap.
Pembelajaran ini difasilitasi oleh seorang atau lebih pelatih yang bertanggung
jawab terhadap penyelesaian modul secara lengkap, sampai dengan evaluasi
pencapaian kompetensi.
Pelatih menyiapkan kasus-kasus yang relevan dengan tujuan pembelajaran.
Peserta didik mengerjakan pre-test, evaluasi ditengah-tengah proses
pembelajaran, dan ujian akhir yang berkaitan dengan kompetensi peserta didik.
RINCIAN STRATEGI PEMBELAJARAN, DENGAN MENGACU PADA
TUJUAN AKHIR PEMBELAJARAN AGAR TERCAPAI KOMPETENSI, adalah
sebagai berikut:
Tujuan-1: Mengidentifikasi perkembangan anak normal dan tidak normal
 Menggunakan ceramah, diskusi interaktif, penayangan video, referat, tugas baca
 Peserta didik menjelaskan manfaat pengenalan tumbuh kembang anak normal dan
tumbuh kembang anak tidak normal sehubungan dengan penegakan diagnosis,
rencana pemeriksaan penunjang, pemberian terapi dan prognosis.
 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
4
Tujuan-2: Menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan
diagnosa etiologis penyakit saraf pada anak
 Peserta didik melakukan simulasi pemeriksaan fisik umum dan neurologik (mulai
dari anamnesa sampai selesai semua pemeriksaan klinis) untuk kasus simulasi
atau pemeriksaan fisik saat bed side teaching dengan kasus nyata.
 Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik.
 Peserta didik menegakkan diagnosa klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan
diagnosa etiologis.
 Peserta didik juga menentukan diagnosa banding.
 Pembimbing memberi feedback kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik serta
menayangkan video pemeriksaan fisik pada anak.
Tujuan-3: Menerangkan proses patogenesis terjadinya gangguan / penyakit saraf pada
anak
 Peserta didik dapat menerangkan proses patogenesis setiap gangguan / penyakit
saraf pada anak.
 Peserta didik dapat menganalisa hubungan antara proses patogenesis tersebut
dengan gejala dan tanda klinis yang didapat dari pasien.
 Cara belajar menggunakan metode ceramah, diskusi aktif, tugas membaca,
referat.
 Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik.
Tujuan-4: melakukan pemeriksaan penunjang dan konsultasi ke sub bagian / bagian
lain sesuai indikasi
 Peserta didik menganalisa seluruh hasil pemeriksaan fisik umum dan neurologik
sehingga peserta didik dapat menentukan pemeriksaan penunjang dan konsultasi
ke departemen lainnya yang diperlukan pasien sesuai indikasinya.
 Peserta didik dapat menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang dan hasil
konsultasi.
 Cara belajar menggunakan kasus nyata atau kasus simulasi ( role play ).
 Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik.
Tujuan-5: Menunjukkan kemampuan dalam pendekatan diagnostik
 Peserta didik menjelaskan gejala dan tanda klinik yang dijumpai.
 Peserta didik menjelaskan dan merangkum pemeriksaan yang diperlukan pasien
sesuai indikasinya.
 Peserta didik membuat diagnosis dan diagnosis banding berdasarkan hasil
pemeriksaan.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
 Pembimbing memberi umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar tilik.
Tujuan-6: Membuat keputusan diagnostik dan terapetik yang tepat
 Peserta didik menjelaskan alasan keputusan diagnostik dan diagnostik banding
yang dibuat berdasarkan hasil rangkuman anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
 Peserta didik menjelaskan alasan pemberian terapi yang berkaitan dengan
diagnosis.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
5

Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
Tujuan-7: Memahami keterbatasan pengetahuan seseorang
 Peserta didik menjelaskan alasan membuat rujukan kepada departemen lain.
 Peserta didik mengiterpretasi hasil rujukan.
 Peserta didik mengambil keputusan diagnostik, pemeriksaan anjuran tambahan,
terapetik dan prognosis setelah mempertimbangkan jawaban rujukan.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
Tujuan-8: Memerhatikan dan mempertimbangkan analisis risiko dan biaya yang
ditanggung oleh pasien
 Peserta didik menjelaskan alasan pemeriksaan penunjang dan rujukan.
 Peserta didik menjelaskan pemberian terapi sesuai dengan guidelines dan
evidence-based medicine.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
Tujuan-9: Menganalisa prognosis quo ad vitam, ad fungsionam dan ad sanasionam
 Peserta didik dapat menetapkan prognosis pasien quo ad vitam, ad fungsionam
dan ad sanasionam.
 Peserta didik dapat menjelaskan alasan pemilihan semua prognosis.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
Tujuan-10: Menunjukkan kecakapan dalam hal menjelaskan rencana rehabilitasi
dan prevensi, KIE (Komuniasi, Informasi dan Edukasi) pada pasien dan keluarga
 Peserta didik merangkum dan menganalisi seluruh masalah sebagai dasar untuk
penyusunan rencana kontrol dan lanjutan terapi medikamentosa serta neuro
rehabilitasi.
 Peserta didik melakukan komunikasi dan memotivasi pasien dan keluarga dalam
hal informasi dan edukasi tentang gangguan saraf pada anak.
 Cara belajar dengan mempergunakan kasus nyata atau kasus simulasi.
 Pembimbing memberikan umpan balik kepada peserta didik berdasarkan daftar
tilik.
5. PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus : Kasus-kasus tentang gangguan perkembangan anak, penyakit-penyakit saraf
pada anak dan gangguan neurologik lain pada anak.
 Alat Bantu Latih : Tensimeter, stetoskop, palu refleks, senter, garpu tala, jarum,
oftalmoskop, kapas, kopi, teh, larutan KJ, tepung, selimut
Video tentang pemeriksaan neurologi pada anak
Computer Assisted Learning Material
6




Materi presentasi termasuk VCD /DVD pemeriksaan fisik pada anak dan kasus
penyakit saraf pada anak.
Status pemeriksaan neurologi klinik, hasil laboratorium, gambaran pemeriksaan
penunjang termasuk EEG dan lumbal pungsi.
Penuntun Belajar Pemeriksaan dan Penatalaksanaan Penyakit Saraf Pada Anak
termasuk kelengkapan referensi.
Daftar Tilik Kompetensi Penatalaksanaan Penyakit Saraf pada Anak.
6. REFERENSI

Buku Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, Kolegium Neurologi
Indonesia (KNI), PERDOSSI, 2006

Swaiman K.F, Ashwal S, Ferriero D.M,et al. Swaiman’s Pediatric
Neurology : Principles and Practice. Fifth edition. Vol I-II. Elsevier 2012.

General Practice in Neurology,

Menkes
7. KOMPETENSI
Setelah menyelesaikan modul neuropediatri ini diharapkan para peserta didik memiliki
kompetensi menyeluruh dan terpadu tentang gangguan saraf pada anak yang mencakup
pengetahuan dan ketrampilan tentang epidemiologi, anatomi patofisiologi, patogenesis,
gejala klinis, pemeriksaan neurologi dan penunjang yang
diperlukan serta
manajemennya. Pencapaian kompetensi ini diselaraskan dengan prinsip kompetensi (Bab
II angka 1) dan ruang lingkup kompetensi (Bab II angka 9) yang tercantum di dalam
Standar Kompetensi Dokter Spesialis Saraf tahun 2006. Indikator hasil pembelajaran
yang diharapkan setelah menyelesaikan modul ini tercantum di dalam Standar
Kompetensi Dokter Spesialis Saraf, halaman 61 (2.14) tentang neuropediatri.
8. GAMBARAN UMUM
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberi bekal pengetahuan dan
praktik ketrampilan dalam hal manajemen gangguan saraf pada anak secara komprehensif
dengan memperhatikan azas cost-effectiveness dan evidence based medicine, melalui
pendekatan pembelajaran berbasis kasus (case-based learning).
9.CONTOH KASUS
Kasus 1
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 1
Diskusi kasus 1
Kasus 2
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 2
Diskusi Kasus 2
Kasus 3
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 3
Diskusi Kasus 3
7
Kasus 4
Pertanyaan untuk belajar mandiri dari kasus 4
Diskusi Kasus 4
10.TUJUAN PEMBELAJARAN
o Mengenal perkembangan saraf normal pada anak
o Mengenal gangguan perkembangan saraf pada anak
o Menegakkan diagnosis klinis, diagnosa topis, diagnosa patologis dan
diagnosa etiologis
o Menentukan diagnosis banding
o Menganalisa dan melakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi,
o Menguasai pemeriksaan penunjang dengan EEG dan Lumbal Pungsi
o Menginterpretasi dan merangkum semua hasil pemeriksaan ( kemampuan
pendekatan diagnostik ) untuk membuat keputusan klinik
o Memberikan terapi sesuai indikasi dan sesuai kebutuhan pasien
o Merencanakan program neuro rehabilitasi
o Menganalisa prognosis baik quo vitam, fungsionam dan sanasionam
o Melakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi ( KIE ) pada pasien dan
keluarga pasien, pengasuh dalam rangka preventif, kuratif dan rehabilitatif
11. METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berbasis kasus (casebased learning), dengan memperhatikan aspek-aspek kognitif, psikomotor, dan
afektif dengan penekanan pada professional behavior yang ditunjukkan dengan :
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
12. RANGKUMAN
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan memperhatikan dan menilai hal hal
tersebut dibawah ini :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik / neurologik
 Diagnosis kerja dan Diagnosis banding
 Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi-anatomik)
 Pemeriksaan penunjang
 Konsultasi / Kerjasama antara departemental
 Manajemen Komprehensif – promotif, preventif primer / sekunder, kuratif
medikamentosa / operatif termasuk neuroemergensi di UGD / ruang rawat,
neurorestorasi - neurorehabilitatif
 Prognosis – ad vitam, ad finctionam – ad sanationam
8
 Rencana pulang termasuk KIE pada keluarga dan pasien
 Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
 Hasil ujian tulis (nilai) – untuk kognitif
 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan (dengan daftar tilik)
 Hasil penilaian peragaan ketrampilan ( dengan daftar tilik ) – psikomotor
c.Instrumen pengukuran kompetensi kognitif
 Pre-test – MCQ sebelum sesi dimulai
 Mid-test – Essay ditengah stase
 Final test – Essay dan lisan di akhir stase
d.Penilaian kinerja ketrampilan – pengukuran kompetensi psikomotor – final test
 Instrument pengukuran kompetensi psikomotor : penuntun kinerja dan daftar tilik
13.EVALUASI
Tugas pembimbing
 Pembimbing memperhatikan dan mengeksplorasi prior knowledge para peserta
didik tentang dasar dan teknik pemeriksaan penyakit saraf pada anak secara benar
yang diperoleh ketika menjalani kepaniteraan ( ceklis daftar penilaian
pembimbing untuk keaktifan anak didik )
 Pembimbing mengaktifkan para peserta didik untuk mempresentasikan dan / atau
memeragakan teknik pemeriksaan saraf pada anak ( diskusi dengan menggunakan
ilustrasi kasus )
 Pembimbing menggunakan forum umpan balik secara menyeluruh dan
rangkuman tentang kompetensi. Bagi peserta didik yang diniilai belum kompeten
diberi kesempatan untuk mengulang.
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara penilaian (dengan daftar
tilik) saat final-test dengan kasus yang relevan / sesuai final-test, dilakukan
tiap selesai stase yang waktunya telah ditetapkan.
Penilaiannya meliputi hal hal sebagai berikut :
 Cara Pengambilan / Kelengkapan Anamnesis
 Cara Melakukan, Menilai hasil dan Interpretasi Pemeriksaan fisik / neurologik
 Alur Fikir Pembuatan Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding
 Alur Fikir dalam menegakkan Diagnosis (klinik, topik, etiologik, patologi
anatomik)
 Alur Fikir Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium Klinik,CT Scan, MRI, dll)
berdasarkan indikasi, dan apa saja hasil yang diharapkan yang akan lebih
mendekatkan pada diagnosis pasti, pertimbangan biaya
 Konsultasi / Kerjasama antar departemental berdasarkan keterbatan kompetensi
dan indikasi kuat untuk kerjasama dengan ahli lain atas dasar kepentingan pasien
 Menilai kemampuan dalam merencanakan, melakukan manajemen komprehensif
baik preventif – primer dan sekunder, Kuratif – suportif, medikamentosa, operatif,
Rehabilitatif – neurorestorasi dan neurobehavior dan Manajemen Emergensi di
UGD dan Ruang Rawat
 Menilai alur fikir prognosis baik ad vitam, ad functionam maupun ad sanasionam
 Menilai cara dan rencana Komunikasi, Informasi maupun Edukasi yang akan dan
9
sudah diberikan kepada pasien maupun keluarganya serta seluruh kegiatan setelah
pasien pulang kerumah
 Menilai kemampuan dalam melaksanakan sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi psikomotor
 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan saat stase (dengan daftar
tilik yang dipergunakan saat mid-test dan final-test untuk kasus yang
relevan/sesuai
14. INSTRUMEN PENILAIAN
1). Kompetensi Kognitif
Waktu dan cara penilaian
 Pre-test dengn MCQ
 Mid-test dengan Essay
 Final test dengan Essay dan Lisan
2). Kompetensi psikomotor
Waktu dan cara penilaian
 Pre-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan neurologi anak yang sesuai dengan
kasus ( saat masuk )
 Mid-test dengan daftar tilik cara pemeriksaan klinik dan interpretasi hasil
pemeriksaan penunjang (resume) berdasarkan kasus yng relevan (tengah stase)
 Final –test dengan daftar tilik yang sama dengan mid-test dengan kasus simulasi
ataupun kasus nyata (akhir stase)
15. PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR INFORMED CHOICE (contoh)
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1
Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2
Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D
Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
NAMA PESERTA: ......................................
TANGGAL: .................................
INFORMED CHOICE
1. Sapa dengan hormat pasien anda
2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
10
3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah
sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan
dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang
menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif
dan benar dari operator/dokter
7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang
telah disediakan
DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA
PROSEDUR DIAGNOSTIK DAN MANAJEMEN
Neuropediatri
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta
pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
dibawah ini:
:
Memuaskan: Langzkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
:
Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta
selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA: _____________________________
TANGGAL :______________
KEGIATAN
NILAI
Kaji Ulang Diagnosis dan Manajemen
1. Nilai kelengkapan pengambilan anamnesis
2. Nilai cara melakukan pemeriksaan klinis umum dan klinis neurologis
3. Nilai alur fikir penegakkan diagnosis kerja
4. Nilai indikasi yang tepat untuk pengiriman pemeriksaan penunjang
11
KEGIATAN
NILAI
5. Nilai kemampuan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang
6. Nilai rangkuman kasus (anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang dan hasil konsultasi)
7. Nilai penegakkan Diagnosis dan Differensial Diagnosis
8. Nilai pembuatan daftar masalah dan rencana manajemen
9. Nilai cara prognosis – ad vitam, ad fungsionam, ad sanasionam
10. Nilai cara pemberian KIE pada pasien dan keluarga
PROSEDUR PEMERIKSAAN NEURO PADA ANAK
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta
pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan
dibawah ini:
:
Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
:
Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur
atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta
selama proses evaluasi oleh pelatih
PESERTA: _____________________________
TANGGAL :______________
KEGIATAN
NILAI
Kaji Ulang Diagnosis dan Prosedur Pemeriksaan EEG
1. Nilai kesesuaian diagnosis dan rencana pemeriksaan yang dituliskan di
status pasien
2. Kaji kelengkapan prosedur administratif untuk tindakan pemeriksaan
EEG dan persiapan alat yang diperlukan serta persiapan pasien
3. Nilai cara melakukan pemeriksaan EEG
4. Nilai kemampuan interpretasi hasil
5. Nilai kemampuan menjawab konsultasi dalam hal pemberian saran
pemeriksaan lanjutan, terapi serta hal lainnya sesuai dengan kebutuhan
pasien
12
17. MATERI BAKU
- PERKEMBANGAN SARAF ANAK NORMAL
- PEMERIKSAAN NEUROLOGI ANAK
-ANAMNESIS
-PEMERIKSAAN FISIK
- GANGGUAN MOTORIK ANAK (CEREBRAL PALSY)
- GANGGUAN KOGNISI (RETARDASI MENTAL)
- GANGGUAN BELAJAR SPESIFIK
- GANGGUAN PERKEMBANGAN BAHASA
- ADHD
- AUTISME
- GANGGUAN NEUROLOGIK LAIN PADA ANAK
-METABOLIK
-EPILEPSI
-MIGREN
-DISTROFI MUSKULAR
-KOMPLIKASI INTRA-UTERIN
-GENETIK
-DEGENERATIF
-TATALAKSANA EPILEPSI ANAK BERDASARKAN JENIS BANGKITAN
(ILAE 1981)
- TATALAKSANA INFEKSI SSP PADA ANAK
-MENINGITIS
-ENSEFALITIS
-SPONDILITIS
-ABSES OTAK
-INFEKSI KONGENITAL
-INFEKSI HIV
-SSPE (MORBILI, VARICELLA)
- TUMOR ANAK
-TUMOR SUPRATENTORIAL
-TUMOR INFRATENTORIAL
- GANGGUAN SARAF TEPI DAN OTOT
-SMA (SPINAL MUSCULAR ATROPHY)
-GBS (GUILLAN-BARRE SYNDROME)
-CIDP (CHRONIC INFLAMMATORY DEMYELINATING
POLYNEUROPATHY)
-POLINEUROPATI AKUT
-POLIO
-DMP (DYSTROPHIA MUSCULORUM PROGRESSIVA)
-MIASTENIA GRAVIS
- NEUROVASKULAR PADA ANAK
-STROKE
-TROMBOSIS SINUS
-HEMIPLEGIC INFANTILE ENCEPHALOPATHY
13
- TATALAKSANA NYERI PADA ANAK
- NYERI KEPALA PADA ANAK
- GANGGUAN GERAK
-TIC ( TOURETTE SYNDROME)
-DISTONIA
-KHOREA
- PENURUNAN KESADARAN
-ETIOLOGI INTRAKRANIAL
-ETIOLOGI EKSTRAKRANIAL
I. PERKEMBANGAN SARAF ANAK NORMAL
( Catatan : Belum ada materi )
II.PEMERIKSAAN NEUROLOGI ANAK
Pemeriksaan neurologi bayi dan anak lebih sulit dibanding dewasa. Oleh karena
selalu mengalami pertumbuhan yang cepat, misalnya maturasi dari mielin. Ukuran kepala
merupakan refleksi dari perkembangan otak. Maturasi dari otak selama 2 tahun pertama
bertambah + 12 cm dan + 5 cm sampai usia 16 tahun.
Mielin mulai terbentuk pada trimester ke dua kehamilan sampai dengan masa
kanak-kanak. Pada tahun pertama di traktus kortikospinalis dimana diperlukan untuk
mempertahankan sikap duduk, berjalan tanpa bantuan. Pemeriksan neurologi pada anak
berbeda-beda tergantung pada saat pemeriksan. Pemeriksaan terutama pada motorik
kasar, motorik halus serta interaksi sosial. Pada pemeriksaan anak diperlukan kerjasama,
kejujuran orang tua, interaksi dengan anak, serta pengetahuan dokter dalam patofisiologi
penyakit. Anamnesis merupakan hal yang sangat penting, dapat diperoleh dari orang tua
dan anak.
Riwayat Penyakit
Keluhan utama : suatu tanda atau gejala mengapa orang tua datang membawa anak
berobat. Dari keluhan utama sudah dipikirkan diagnosis banding dari perjalanan penyakit.
Secara kronologis di tanyakan antara lain :
- Kapan keluhan dirasakan saat pertama kali, umur berapa ? Berapa lama ?
- Apakah terjadi mendadak / pelan-pelan, hilang timbul, apa ada hubungan dengan
waktu, aktifitas ?
- Apakah terlokalisir, menjalar, periodik ?
- Semakin lama apakah semakin berat, berkurang atau menetap ?
- Apakah sudah mendapat pengobatan ? Dengan obat tersebut penyakit berkurang /
bertambah ?
- Apakah ada faktor pencetus yang memicu timbulnya penyakit tersebut ?
- Apakah dalam keluarga ada yang menderita sakit yang serupa ?
Riwayat Kehamilan
- Usia berapa saat ibu melahirkan pasien ?
- Penyakit apa yang pernah diderita ibu saat hamil, apakah ada infeksi saluran
kemih, hipertensi, DM , penyakit jantung, kejang-kejang, dsb ?
- Apakah selama hamil antenatal care teratur oleh bidan atau dokter ?
14
-
Apakah pernah terkena infeksi TORCHS ( Toxoplasmosis, rubella,
cytomegalovirus, herpes simpleks, HIV, sifilis )
- Obat-obat, jamu apa saja yang dimakan selama masa kehamilan ?
- Apakah kehamilan itu diharapkan atau tidak ?
- Kebiasaan merokok, alkohol atau narkoba ?
Riwayat Kelahiran
- Bagaimana cara persalinan, normal, vakum, forcep atau sectio, dengan siapa
pertolongan tersebut ? Menangis, biru, apgar score berapa, apakah ada trauma
persalinan, hipoksia ?
- Apakah ada penyulit pada persalinan, malformasi ?
- Gemelli atau tunggal ?
- Ukuran berat badan, panjang badan, lingkar kepala ? BBLR, BBLSR ?
- Apakah sianosis, kejang, kuning, anemia ?
Riwayat Penyakit Dahulu dan Imunsasi
- Apakah pernah dirawat sebelumnya ?
- Penyakit apa yang pernah diderita sebelumnya, apakah ada hubungan dengan
penyakit sekarang atau tidak ?
- Apakah pernah mengalami operasi ?
- Apakah pernah kejang-kejang atau kejang demam, asma, penyakit jantung ?
- Apakah minum obat sampai sekarang, apa obatnya ?
- Apakah imunisasi lengkap atau tidak, dengan siapa dan dimana ?
Riwayat Penyakit Keluarga
- Apakah ada anggota keluarga dengan penyakit kelumpuhan, kejang-kejang, cacat
bawaan, tuli / gangguan pendengaran, buta, gangguan perkembangan dan
pertumbuhan, gangguan belajar, migren, epilepsi, Tourette’s syndrome ?
- Apakah ada anggota keluarga dengan penyakit hipertensi, asma, kelainan
jantung?
- Apakah ada yang mengalami penyakit serupa dengan penderita ?
Riwayat Perkembangan dan Pendidikan
- Kapan anak dapat melihat / kontak, tersenyum, tertawa, mulai menyusun katakata, kalimat atau bicara dengan lancar.
- Umur berapa anak pandai tengkurap, merangkak, berdiri, merambat dan berjalan
sendiri, menaiki tangga dapat diperiksa dengan Denver develompental screening
test, Bibbet test.
- Apakah anak mengalami kemunduran bicara / berjalan, apakah anak dapat
mendengar.
- Jika anak sudah sekolah, bagaimana prestasi belajar, naik kelas atau tidak,
bagaimana sosialisasi dengan teman apakah sering mengganggu atau diam saja.
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Saat penderita masuk sudah dapat menilai kondisi penderita, bersamaan waktu anamnesis
dapat memperhatikan gerak dan aktifitas, apakah dapat berjalan, koordinasi yang baik.
Perhatikan komunikasi, suara apakah disartria, disfonia atau gangguan artikulasi. Apakah
ada gerakan abnormal, tic, tremor, chorea, atetoid kelemahan, dan gait yang abnormal
akan jelas ketika anak berjalan dan bermain.
Pemeriksaan Status Generalis
15
-
Kepala : lingkaran kepala, sutura menutup / tidak, bentuk kepala, makrosefali,
mikrosefali, ubun-ubun menonjol atau tidak.
- Muka : bentuk dan penampilan : down syndrome hypotiroid, kelainan metabolik (
fenilketonuria). Ada stigmata atau tidak, misalnya hemangioma pada wajah
(Storage Weber syndrome).
- Telinga : Bentuk dan posisi telinga lebih rendah, lubang telinga dan fungsi
pendengaran.
- Mata : Ptosis, endoftalmos, exoftalmos, sklera, konjungtiva, pupil, iris, jarak
kedua mata.
- Hidung dan mulut : Labio / genato / palatoskisis.
- Leher : Bentuk, benjolan, Turner syndrome.
- Dada : Jantung, paru-paru ada kelainan atau tidak.
- Abdomen : ada kelainan atau tidak.
- Genitalia eksterna : ada kelainan atau tidak.
- Tulang belakang : kifosis, lordosis yang berlebihan, gibbus.
- Anggota gerak atas dan bawah, kelainan jari-jari, telapak kaki equinovarus /
valgus.
Status Neurologis
Pemeriksaan neurologis anak lebih sulit dibanding dewasa, memerlukan kesabaran oleh
karena anak belum kooperatif, pemeriksa harus ikut bermain untuk menaruh anak.
Pemeriksaan harus berdasarkan tujuan adanya kelainan neurologis, menentukan lokasi,
penanganan yang tepat sekaligus evaluasi dilakukan dalam waktu yang singkat. Oleh
karena sistem neurologis pada bayi, organ yang masih berkembang maka evaluasinya
dapat berubah sesuai dengan usia.
Pemeriksaan Kepala
- Makrosefalus : Ukuran kepala lebih besar, tanda-tanda kenaikan tekanan intra
kranial, ubun-ubun membenjol, sutura melebar atau ada vena-vena kepala.
- Mikrosefalus atau kraniosinostosis penutupan sutura begitu cepat misalnya akibat
infeksi toksoplasmosis kongenital, rubella dan citomegalovirus.
- Pembesaran fossa posterior, oksiput menonjol kemungkinan syndroma Dandy
walker.
- Pembesaran biparietal, kemungkinan hematom subdural.
- Pada perkusi timbul nyeri mungkin osteomielitis lokal atau abses otak.
- Mengukur lingkaran kepala secara serial dapat sebagai parameter hidrocefalus.
Saraf Cranialis
Pemeriksaan saraf otak pada anak sudah dapat dilakukan dinilai mulai anamnesa dan
anak sambil bermain tidak harus berututan.
N I (Olfaktorius)
Sulit diperiksa pada bayi dan anak, baru dapat dmulai jika usia anak 4-6 tahun, dengan
bau-bauan yang sudah dikenal sebelumnya. Pemerikaaan N I tidak dapat dinilai jika anak
keadaan pilek, hidung tersumbat, atas trauma cribrivormis.
N II (Optikus)
- Apabila sudah ada kontak mata sudah dapat dilakukan berarti visus normal, untuk
ketajaman penglihatan diperlukan perimetri, atau pemeriksaan funduskopi hal ini
dilakukan pada saat terakhir dari pemeriksaan, apabila anak sudah percaya pada
dokter.
16
-
Untuk pemeriksaan lapang pandang dengan mainan yang disenangi anak, mulai
digerakkan dari samping kanan kiri, apabila anak melihat disuruh mengatakan ya.
Umumnya anak akan berusah untuk menggapainya.
- Reflek kedip, apabila secara mendadak diarahkan pada mata spontan mata akan
berkedip, berarti visus baik, reflek kedip belum timbul pada umur dibawah 4 bulan.
Papilla N. optikus : bentuk, warna, batas dan keadaan sekitar normal, pupil warna merah
muda, bentuk oval / elips, bagian temporal lebih pucat dibanding bagian nasal, sedang
batas papil temporal lebih tegas daripada batas papil nasal. Pemeriksaan yang canggih
dengan VER ( Visual Evoked Response ), pemeriksaan funduskopi untuk mengetahui
retina, papil nervus optikus. Dengan syarat oftalmoskop yang baik, ruangan gelap dan
nyaman, penderita kooperatif, pupil tidak ada gangguan.
N III, IV, VI (Nn Okulomotorius, Troklearis, Abdusen)
Nervi okularis ( saraf penggerak otot-otot mata ) : Perhatikan posisi mata keadaan
istirahat, bentuk, ukuran pupil, pemeriksaan akomodasi dan reflek cahaya lampu senter
atau digerakan pada daerah 6 ( enam ) lapangan pandang.
Prinsip pemeriksaan nervi okularis :
- Observasi terhadap kelopak mata
- Fungsi dan reaksi pupil
- Gerakan bola mata
Lesi N III : Mata deviasi ke lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, midriasis pupil
tidak bereaksi terhadap cahaya.
Lesi N IV : Biasanya jarang, stabismus konvergen penderita tidak mampu turun tangga
biasanya kepala dimiringkan.
Lesi N VI : strabismus konvergen diplopia paling sering karena perjalanan nervus lebih
panjang.
N V (N. Trigeminus)
Berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik. Sensorik N.V-1 : cabang oftalmikus (wajah
bagian atas), N.V-2 : cabang maxilaris (wajah bagian tengah) dan N.V-3 : cabang
mandibularis (wajah bagian bawah). Cara pemeriksaan dengan kapas dioleskan pada
wajah dengan mata tertutup, dibandingkan antara kanan dan kiri, pada anak pemeriksaan
ini agak sulit. Nervus V motorik mensarafi otot-otot pengunyah : massetter, petrygoid
dan temporalis. Cara pemeriksaan : penderita disuruh menggigit sesuatu dengan kuat,
pada sisi lesi kontraksi lebih lemah. Pemeriksaan reflek kornea dengan kapas, penderita
melihat jauh kornea dioles, respon mata tertutup bilateral. Reflek masseter dengan
meletakan jari pada dagu dan penderita bicara a a a a dengan mengetok palu pada dagu
tersebut maka respon mulut akan tertutup.
N VII (N. Fascialis)
N VII mensarafi otot-otot wajah. Otot wajah bagian atas mendapat persarafan secara
bilateral sedangkan wajah bagian bawah persarafan secara kontra lateral. Pemeriksan :
penderita disuruh membuka mulut, tersenyum, menutup mata dan mengerutkan dahi.
Pada kelainan perifer (LMN) tidak dapat menutup mata, mengerutkan dahi dan nasolabial
fold mendatar pada sisi lesi, sedang kelainan sentral (UMN) tidak mengenai muka bagian
atas. Pemeriksaan pengecapan 2/3 lidah bagian depan dengan meletakkan gula, garam,
pada lidah.
N VIII (N. Akustikus)
17
Terdiri dari pendengaran (Nervus Chohlearis) dan keseimbangan (Nervus vestibularis).
Saat anamnesis pendengaran anak secara sederhana sudah dapat dinilai, dapat dengar
kertas disamping belakang telinga, anak memberi respon atau tidak, atau menjatuhkan
benda apakah anak mendengar atau tidak, dengar jam, bunyi bel atau garpu tala. Untuk
uji pendengaran lebih akurat dengan Brainstem Auditory Evoked Potensial (BAEP).
Untuk tes keseimbangan harus diperhatikan sikap badan saat berdiri dan sikap saat
bergerak serta memperhatikan adanya nistagmus. Pemeriksaan dengan Romberg test :
Penderita berdiri dengan kaki rapat, mata dipejamkan stabil atau tidak, pada gangguan
keseimbangan akan akan jatuh pada sisi lesi. Tes ini dilakukan jika tidak ada kelemahan
motorik. Untuk membangkitkan nistagmus anak dapat disuruh berputar-putar sesuai
dengan jarum jam.
N IX (N. Glosofaringeus) dan N X (N. Vagus)
Fungsi dan anatomi kedua saraf ini hampir bersamaan fungsi N.IX motorik dan sensorik
sedangkan N.X sebagai sensorik dan vegetatif. Pemeriksaan : Reflek muntah, kesukaran
menelan (disfagia), suara sengau (disfoni), penderita disuruh membuka mulut sambil
bicara ‘aaaah’, uvula akan terdorong pada sisi lesi. Pada gangguan N X selain gangguan
tersebut diatas penderita mengalami : takikardi, bradikardi, sesak nafas.
N XI dan XIII (N.Asesorius dan N.Hipoglosus)
Pada kelainan N.XI penderita tidak dapat memutar kepala dan tidak mampu mengangkat
bahu sehingga tampak posisi tidak simetris, kepala miring, wajah menoleh salah satu sisi
dikenal dengan tortikolis. Pada pemeriksaan N.XII penderita diminta untuk
mengeluarkan lidah, keadaan normal, lidah pada posisi tengah. Jika mengalami
kelemahan lidah akan terdorong pada sisi lesi, biasanya penderita bicara pelo
(mengucapkan kata-kata kurang jelas).
PEMERIKSAAN MOTORIK
Pemeriksaan motorik ini tergantung dari integritas traktus piramidalis, ekstra piramidalis
dan cerebellum. Observasi motorik akan tampak pada posisi anak, gerakan ke 4 anggota
gerak, sikap pada bayi akan tercermin apakah ada nyeri, fraktur, paresis atau gangguan
tonus otot.
Menilai kekuatan otot dinilai secara subjektif kekuatan ( Swaiman’s,2012) :
5 = Normal, dapat menahan tekanan kuat
4 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan sedang
3 = Tidak dapat mempertahankan posisi dengan tahanan ringan atau gravitasi.
2 = Gerakan aktif tanpa melawan gravitasi
1 = Hanya kontraksi sendi
0 = Tidak bergerak sama sekali
Pemeriksaan kekuatan harus dibandingkan kanan dan kiri. Pemeriksaan motorik
menyangkut pada pemeriksaan tonus otot. Pemeriksaan ini sangat tergantung dengan
suasana, kondisi anak, pemeriksa dan lingkungan, pada anak menangis akan timbul
kekakuan, pemeriksaan akan sulit interpretasinya. Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan
santai, tungkai dan lengan dapat digerakkan secara pasif dengan digoyang-goyangkan
secara luwes berarti tonus normal.
Apabila jatuh lunglai berarti hipotonus : tonus menurun, jika ada tahanan/kaku : berarti
hipertonus : tonus meningkat.
Pemeriksaan tonus pada bayi :
18
normal cenderung keadaan fleksi dalam posisi telentang.
Pemeriksaan cara reaksi tarikan :
Telunjuk pemeriksa diletakkan pada telapak tangan pasien, maka bayi akan
menggenggam, secara lembut pemeriksa memegang tangan pasien sekaligus menarik
kearah duduk, normal : kepala terangkat bersamaan dengan badan sehinggan anggota
gerak keadaan, abnormal : kepala akan jatuh ke belakang dan tidak ada tonus pada
anggota gerak.
Pemeriksaan suspensi vertikal :
Dari belakang tangan pemeriksa diletakkan pada ketiak penderita secara lembut penderita
diangkat : normal apabila kepala tetap tegak anggota gerak fleksi, abnormal kaki lurus
atau menyilang. Pada suspensi horizontal pemeriksa mengangkat dada penderita, pada
bayi normal kepala diangkat dengan fleksi anggota gerak. Pada bayi abormal kepala dan
anggota gerak jatuh lunglai, atau kepala leher dan punggung melengkung kebelakang.
Reflek primitif pada bayi :
1. Reflek moro
Bayi posisi telentang, kepala diangkat 300, tiba- tiba dijatuhkan pada tangan
pemeriksa bayi akan kaget lengan direntangkan posisi abduksi ekstensi dan
disusul gerakan abduksi dan fleksi jika tidak terjadi rentangan atau asymetris
berarti patologis
2. Tonic neck reflek
Posisi bayi telentang, kepala ditolehkan ke kanan maka anggota gerak akan
ekstensi sedangkan anggota gerak kiri fleksi
3. Plantar grasp reflek
Jari pemeriksa diletakan di telapak kaki penderita terjadi fleksi jari-jari kaki
4. Palmar grasp reflek
Sesuatu diletakkan pada telapak tangan penderita terjadi fleksi jari tangan atau
menggenggam
Reflek – Reflek Fisiologis
1. Reflek umbilikus
Dengan menggores kiri kakan umbilikus dengan titik sudut pada simpisis dan
xyphoid berbentuk belah ketupat, respon umbilicus akan bergerak pada tiap
goresan. Reflek negatif pada anak < 1 tahun, poliomyelitis dan lesi sentral
2. Reflek Cremaster
Dengan menggores pada bagian dalam paha terjadi elevasi testis
3. Reflek tendon
Fleksi sendi siku apabila tendon bisep diketok
4. Reflek tricep
Terjadi extensi sendi siku, jika tendon trisep diketok
5. Reflek patela (knee)
Dengan mengetok tendon patela respon ekstensi sendi lutut
6. Reflek achiles
Mengetok tendon achiles respon palnter fleksi jari-jari kaki.
Reflek Patologi
1. Reflek babinski
Menggores telapak kaki dari tumit searah sepanjang jari kelingking sampai arah
medial (ibu jari) respon terjadi ekstensi ibu jari dan diikuti oleh jari-jari lainnya
19
seperti kipas (ekstensor plantar respon. Reflek positif pada bayi sampai umur 18
bulan. Jika > 2 tahun reflek positif : ada kelainan UMN
2. Reflek Chaddok
Dengan menggores bagian lateral kaki /maleolus eksternus
3. Oppenheim
Dengan nenekan tulang kering (ostibia) dengan jari-jari pemeriksa di gerakkan
dari proksimal ke distal
4. Gordon
Memencet betis penderita
5. Schaeffer
Dengan memencet tendon achiles
Semua reflek ini respon dengan babinski : ekstensi ibu jari diikuti dengan jari-jari
berikutnya.
Reflek patologi di tangan
1. Reflek Tromner
Dengan mencolok ujung jari tengah respon : ibu jari mengalami fleksi.
2. Reflek Hoffman
Colekan pada ujung kuku jari tengah respon : ibu jari dan jari lainnya fleksi
Reflek patologis timbul akibat lesi UMN, pada bayi oleh karena mielinisasi belum
lengkap reflek tersebut positif
Pemeriksaan tanda-tanda rangsangan meningeal :
1. Kaku kuduk : leher ditekuk cara pasif pada sternum akan terjadi tahanan, dis :
kaku kuduk (+)
2. Brudzinki I : pada saat leher ditekuk akan terjadi fleksi tungkai sendi lutut dan
panggul, disebut Brudzinki I positif
3. Brudzinki II : posisi kaki lurus dengan fleksi sendi lutut akan terjadi fleksi pada
lutut dan panggul kontra lateral
4. Tanda Kernig :
Tungkai atas difleksikan tegak lurus, kemudian tungkai bawah diluruskan di sendi
lutut, test positif jika tungkai kontra lateral terdapat fleksi lutut dan panggul
secara reflektoris
Pemeriksaan sensorik
Pada anak pemeriksaan sensibilitas sangat sulit apabali pada bayi, pada pemeriksaan ini
harus diperlihatkan kooperatif dari pasien, pemeriksaan dapat dilakukan pada anak diatas
6 tahun
1. Rasa raba : Meraba permukaan tubuh dengan kapas mata penderita ditutup,
penderita ditanyakan terasa atau tidak.
2. Rasa nyeri : Dengan jarum memberikan rangsangan tusuk, jarum ditusukkan pada
penderita kemudian bergantian dengan memisahkan ujung jari pemeriksa untuk
membedakan tusuk tajam atau tusuk tumpul. Pada pemeriksaan mata penderita
ditutup dengan roda yang bergerigi / rader jahit : digelindingkan pada permukaan
kulit dari arah defisit sensoris ke daerah normal dan sebaliknya, sehingga kita
dapat menentukan batas defisit sensoris tersebut.
3. Rasa termis /suhu : Rasa panas + 40-450, dingin 10-150 dengan botol ditempelkan
pada kulit penderita. Pada pemeriksaan ini harus diperhatikan botol yang dipakai
benar-benar kering, permukaan tubuh yang tertutup lebih peka dengan yang tidak
20
tertutup, pada orang tua pada umumnya sudah terjadi hipestesi oleh karena
vaskularisasi pada bagian-bagian distal berkurang.
Perasaan Getar / Vibrasi
Dengan garputala : garputala yang sudah digerakkan frekuensi + 128hz/detik, kaki
garputala tersebut diletakkan pada sisi maleolus/ lateralis, ditanyakan pada penderita
perasaan apa yang terjadi dalam keadaan mata tertutup. Sebelum pemeriksaan penderita
di beri tahu dulu, pemeriksaan apa yang telah kita lakukan dan apa yang dirasakan.
Gangguan getar pada penyakit-penyakit saraf perifer : tabes dorsalis neuropati dm juga
penderita histeri.
Perasaan Gerak / Posisi
Ujung jari penderita digerakkan secara pasif jari penderita digerakkkan cara pasif keatas,
bawah samping kiri dan kanan. Penderita diminta untuk memberi tahukan arah gerakan
tersebut, pada anak dapat dilakukan sambil bermain, berdiri kondisi mata keadaan
tertutup.
Perasaan Diskriminasi (kondisi mata keadaan tertutup)
1. Sterognosis
Posisi mata tertutup penderita diminta untuk identifikasi benda-benda tertutup
pemeriksa diminta untuk identifikasi benda-benda yang disodorkan pada
tangannya supaya penderita dapat mengenal bentuk benda tersebut.. seharusnya
benda-benda yang sudah dikenal oleh penderita : uang logam, karet penghapus,
lilin, dsb
2. Diskriminasi 2 titik
Dengan memakai 2 jarum ditusukkan pada permukaan tubuh penderita, jarak
kedua jarum dilebarkan. Pada permukaan tubuh pasien dapat membedakan jarak
2 titik tersebut tapi tidak sama pada semua permukaan tubuh. Pada jari : 2-7mm,
telapak tangan 8-12mm pada lidah + 1mm, tungkai 40mm.
3. Grapestesia
Pemeriksa menulis angka pada permukaan kulit, telapak tangan, paha dan
sebagainya, penderita dapat mengenal angka atau huruf apa yang dituliskan
tersebut.
4. Topognosis
Dengan tusukan penderita dapat menentukan bagian tubuh mana yang disentuh
oleh pemeriksa misalnya pipi kiri / kanan dengan jelas.
Daftar Rujukan :
1. Swaiman KF. Neurological examination of the older child, dalam Swaiman KF
Pediatric Neurology, principles and practice, 3rd ed Toronto ; mosby. 1999 : 1430
2. Swaiman KF : neurologic examination after the Neuborn period until 2 years of
age : dlm Swaiman KF : pediatric neurology, principles and practice ; 3rd ed :
Toronto mosby ; 1999, : 31-38
3. Fredman NR, Cohen BH : The neurological examination of the infant and child
dalam Noseworthy JH dalam neurological therapeutics, principles and practice,
2nd ed Martin Dunit 2, Mayo fundation for medical education and recearch ; 2003
; Vol 2 : 1577-1583
21
4. Priguna Sidharta MD Ph.D. Tata pemeriksaan klinis dalam neurologi , PT Dian
Rakyat, 1985
5. Setio Menggolo TS, Ismail Sofyan : Pemeriksaan neurologi pada anak dan bayi.
Buku ajar : Neurologis anak, IDAI, Jakarta. 1999 : 1-35
III. PALSI SEREBRAL
Pendahuluan
Palsi Serebral merupakan suatu istilah diskriptif non spesifik yang digunakan untuk
gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak - kanak dini, yang ditandai
dengan perubahan tonus otot, gerakan involunter, ataksia atau kombinasi dari
kelainan-kelainan tersebut. CP seringkali juga disertai dengan beberapa komorbiditas
seperti epilepsi, gangguan visual, auditory dan retardasi mental 1
Kelainan tersebut menimbulkan disabilitas pada anak , sehingga deteksi dini Palsi
Serebral dapat membantu penanganannya sehingga didapat kemampuan fungsional
yang optimal.
Definisi
Secara umum Cerebral Palsy adalah sindroma klinik, ditandai adanya defisit motorik
sentral yang bersifat tidak progresif, disebabkan kerusakan otak yang belum matur 1,2
Swaiman mendifinisikan CP sebagai suatu istilah diskriptif non spesifik yang
digunakan untuk gangguan fungsi motorik yang timbul pada masa kanak – kanak dini
yang ditandai dengan perubahan tonus otot (umumnya spastik), gerakan involunter,
ataksia atau kombinasi dari kelainan-kelainan tersebut, tidak bersifat episodik ataupun
progresif. Keluhan paling sering mengenai ekstremitas, namun dapat juga mengenai
batang tubuh.3
Menkes mendefinisikan CP sebagai sindrom kelainan gerak dan postur yang menetap
yang disebabkan oleh lesi otak yang bersifat tidak progresif yang didapat selama
perkembangan.5 Walaupun kerusakan jaringan otaknya tidak mengalami
progresifitas, penampilan klinis CP dapat berubah sesuai dengan pematangan system
saraf anak. 4
Epidemiologi
Insidensi CP di Negara maju berkisar antara 2 - 2,5 per 1000 kelahiran hidup. Risiko
CP pada bayi prematur adalah 5 – 80 per 1000 kelahiran hidup, meskipun mayoritas
kasus adalah pada bayi yang lahir aterm. 1,4
Sedangkan data epidemiologi di Indonesia, sampai saat ini belum ada.
Klasifikasi
CP dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinis maupun beratnya penyakit,
fungsi dan aspek terapeutik.
Klasifikasi klinis 5 :
1. Tipe spastik : Kuadriparesis spastik
Diplegia spastik
Hemiparesis spastik
2. Tipe ekstrapiramidal
3. Tipe hipotonik (atonik)
4. Tipe serebellar
5. Tipe campuran atau atipikal
22
Klasifikasi atas dasar fungsional penderita (sesuai aktivitas motorik kasar )
(Gross Motor Function Classification System/GMFCS) 1
Derajat I : berjalan tanpa hambatan, keterbatasan terjadi pada gerakan motorik
kasar yang lebih rumit.
Derajat II : berjalan tanpa alat bantu, keterbatasan dalam ber-jalan di luar rumah
dan di lingkungan masyarakat.
Derajat III : berjalan dengan alat bantu mobilitas, keterbatasan dalam berjalan
di luar rumah dan di lingkungan masyarakat.
Derajat IV : kemampuan bergerak sendiri terbatas, mengguna-kan alat bantu
gerak yang cukup canggih untuk berada di luar rumah dan di l
ingkungan masyarakat.
Derajat V : kemampuan bergerak sendiri sangat terbatas, walaupun sudah
menggunakan alat bantu dengan teknologi canggih.
Etiologi
Etiologi CP diperkirakan berhubungan dengan kejadian pra, peri dan pasca natal yang
pada umumnya bersifat multifaktor dan sulit menentukan mana yang paling berperan
menyebabkan CP. Meskipun demikian seringkali kita tidak dapat memberi
keterangan tentang penyebab, karena tidak didapat faktor-faktor berupa kelainan pada
masa kehamilan, persalinan maupun periode awal kehidupan,6
Secara statistik beberapa risiko yang berhubungan dengan kejadian CP adalah 4
Faktor risiko prenatal : infeksi intra uterin, malformasi kongenital, zat toksik atau
teratogenik, kehamilan multiple, trauma abdomen, penyakit maternal.
Faktor risiko neonatal : prematuritas, berat badan lahir < 2500 gr, retardasi
pertumbuhan, perdarahan intrakranial, trauma, infeksi, bradikardi dan hipoksia,
bangkitan, hiperbilirubinemia, presentasi lahir yang abnormal.
Faktor risiko pascanatal : trauma, infeksi, perdarahan intrakranial, kelainan
koagulopati
Patofisiologi
CP terjadi akibat lesi statis permanen pada korteks motorik yang terjadi sebelum, saat
atau dalam 2 tahun pertama sejak kelahiran. Meskipun lesi tidak mengalami
perubahan, manifestasi klinik dari lesi tersebut dapat berubah sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut..
Secara umum lesi yang dapat menimbulkan gangguan motorik kronik pada anak
adalah 3:
- Perdarahan subependimal dan intraventrikular, biasanya berhubungan dengan
hipoksik-iskemik pada bayi.
- Perubahan kistik pada substantia alba, misalnya akibat infeksi, gangguan
metabolik atau penurunan aliran darah di daerah periventrikular.
- Adanya gambaran dismorfik, anomali kongenital di luar SSP dan mikrosefali
pada saat lahir menunjukkan adanya defek perkembangan.
Diagnosis
Orang tua seringkali membawa anaknya ke dokter dengan keluhan keterlambatan
perkembangan dalam mencapai patokan perkembangan. Anamnesis sangat penting
untuk menegakkan diagnosis CP yang meliputi riwayat kehamilan ibu, riwayat partus,
periode neonatal maupun adanya infeksi SSP. Selain anamnesis, diperlukan juga
pemeriksaan perkembangan ( tes skrining perkembangan), pemeriksaan fisik umum
23
dan pemeriksaan neurologis termasuk penilaian refleks perkembangan infantil, tonus,
refleks fisiologis dan refleks patologis. Pada anak dengan CP ringan, dapat terjadi
perbaikan pada pemeriksaan berkala. Kelainan motorik yang terjadi tidak boleh
bersifat progresif.3
CP dapat didiagnosa pada umur 12 – 18 bulan, ditandai dengan gagalnya pencapaian
patokan perkembangan dan tampak adanya perbedaan kualitas perkembangan
motorik, misalnya fungsi motorik kasar asimetris, kekakuan atau kelemahan otot. 1
Gambaran klinis CP pada bayi dapat berupa :
•
Kesulitan makan : tidak mampu menghisap dan menelan
•
Abnormalitas gaze, tidak dapat memfiksasi pandangan saat diberi makan,
terlambat tersenyum.
•
Abnormalitas tonus otot
•
Abnormalitas tingkah laku : iritabilitas, cemas, tidak tertarik akan rangsangan
suara atau visual
•
Perkembangan postural terlambat : asimetri persisten, kontrol kepala dan
batang tubuh, reaksi keseimbangan.
•
Perkembangan asimetri gerakan atau tonus
•
Keterlambatan perkembangan motorik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk menilai luasnya kerusakan otak
adalah USG, MRI atau CT scan kepala. Apabila disertai adanya riwayat kejang, perlu
dilakukan pemeriksaan EEG.
Kelainan penyerta yang dapat terjadi pada penderita CP adalah 4
1. Gastrointestinal dan nutrisional :
•
Failure to thrive (FTT) karena kesulitan makan dan menelan ( sekunder
akibat kontrol oromotor yang buruk).
•
Obesitas (jarang)
•
Konstipasi
•
Refluks gastroesofageal yang dapat berhubungan dengan pneumonia
aspirasi
•
Karies dentis
2. Respirasi
•
Risiko pneumonia aspirasi karena disfungsi oromotor
•
Bronchopulmonal dysplasia
•
Bronchitis / asma
3. Kulit : dekubitus dan lecet
4. Tulang : kontraktur, dislokasi panggul, skoliosis
5. Epilepsi
6. Auditori : gangguan pendengaran terutama pada penderita dengan riwayat kern
icterus
7. Visual
•
Penurunan visus karena retinopati prematuritas dengan hipervaskularisasi
dan kemungkinan pelepasan retina
•
Abnormalitas lapang pandang karena jejas kortikal
•
Strabismus
8. Kognisi / psikologi / tingkah laku
24
•
Peningkatan insidensi ADHD, retardasi mental, dan disabilitas belajar
spesifik.
•
Pengaruh pada tampilan akademik dan kepercayaan diri
•
Peningkatan insidensi depresi
•
Peningkatan insidensi progressive developmental disorder atau autisme
9. Kesulitan integrasi sensorik
American Academy of Neurology (AAN) merekomendasikan algoritma evaluasi
penderita CP 7
Penatalaksanaan
Hal yang penting ditekankan adalah kemungkinan kesembuhan pada gangguan motorik
neurologis tidak terlalu memuaskan.
Terapi yang diberikan bertujuan untuk memaksimalkan potensi fungsional anak,
sedangkan defisit neurologis aktual tidak dapat diubah. Walaupun demikian tidak berarti
tidak akan ada perubahan, karena itu perlu dilakukan penilaian ulang pada interval
reguler, baik oleh tenaga medis maupun oleh keluaraga.8
25
AAN merekomendasikan Algoritma penatalaksanaan CP dengan melakukan penapisan
kelainan yang menyertai CP pada saat penilaian awal yaitu : retardasi mental, gangguan
penglihatan dan pendengaran, gamgguan bicara dan bahasa, dan disfungsi oromotor.4,7
Penatalaksanaan sebaiknya dilakukan oleh tim ahli dari berbagai disiplin ilmu yaitu saraf
anak, psikiatri, THT, rehabilitasi medik, ortopedi, bedah syaraf, pulmonologi,
gastroentrologi, genetik, psikolog.
Walaupun sampai saat ini belum ditemukan program yang terbukti dapat memperbaiki
fungsi motorik, tetapi dapat dilakukan pengelolaan yang bertujuan untuk memperbaiki
kelainan neuromuskularnya dan juga membantu anak dalam menguasai ketrampilan dan
mencegah komplikasi.5 Fisioterapi dapat mencegah deformitas dan mengoptimalkan
fungsi motorik dan postur. Terapi okupasi dapat membantu untuk meningkatkan
ketrampilan motorik, bila terdapat gangguan makan dan menelan dapat dilakukan terapi
makan minum atau terapi wicara. Pembedahan dilakukan unruk reposisi pada kontraktur
atau spastisitas. Selain itu kelainan penyerta lain juga dikelola dengan baik seperti adanya
strabismus, gangguan pendengaran atau gangguan penglihatan.5
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan adalah sesuai indikasi :
•
Obat anti epilepsi, bila ada epilepsi
•
Baclofen dan benzodiazepin biasanya digunakan untuk mengatasi spastisitas,
dapat juga digunakan botolinum toksin A. Penatalaksanaan spastisitas ini dapat
meningkatkan kisaran gerak, menurunkan deformitas, meningkatkan respon
terhadap terapi okupasi dan fisik.
•
Gangguan gerak seperti distonia, mioklonus, chorea, atetosis dapat digunakan
anti parkinson, antidopaminergik, antikonvulsan, antispastisitas dan
antidepresan.
Penatalaksanaan anak dengan CP sangat memerlukan dukungan orang tua, karena itu
orang tua juga perlu mendapatkan informasi mengenai diagnosis, program terapi, dan
kemungkinan hasil yang dapat dicapai.
Diagnosis Banding
•
Tampilan kelemahan otot :
 Duchene/Becker muscular dystrophy
 Infantile neuroaxonal dystrophy
 Mitochondral cytopathy
•
Distonia dan gerakan involunter
 Dopa responsive dystonia
 Glutaric aciduria type 1
 Juvenile neuronal ceroid lipofuscinosis
 Lesch-Nyhan syndrome
 Pelizaeus-Merzbacher disease
 Rett syndrome
 3-methyl glutaconic aciduria
 3-methylcrotonyl1 CoA carboxylase deficiency
•
Predominan diplegi atau tetraplegi
 Adenoleukodystrophy, adenomyeloneuropathy
 Arginase deficiency
 Hereditary progressive spastic paraplegia
 Holocarboxylase synthetase deficiency
26
 Metachromatic leucodystrophy
•
Ataksia
 Angelman syndrome
 Ataxia telengiectasia
 Chronic/adult GM 1 gangliosidosis
 Mitochondrial cytopathy
 Nieman Pick disease type C
 Pontocerebellar atrophy/hypoplasia
 Posterior fossa tumor
 X linked spinocerebellar ataxia
Prognosis
Harapan hidup penderita CP berhubungan dengan jenis dan keparahan disabilitas
motorik. Mortalitas lebih tinggi dan harapan hidup lebih pendek pada penderita dengan
kuadriparesis berat, hidrosefalus, epilepsi yang intraktabel, anak dengan ketrampilan
fungsional dasar yang kurang memadai, retardasi mental berat. 3,4 Demikian pula bila
makin banyak disertai dengan kelainan yang memperberat maka prognosis juga semakin
buruk.
Apabila didukung oleh perawatan kesehatan yang sesuai, penderita CP tanpa
kelainan penyerta yang berat dapat mencapai usia harapan hidup mendekati populasi
umum.4
Kepustakaan
1. Rosenbaum P. Cerebral Palsy : What parents and doctors want to know. BMJ
2003;326 : 970-4.
2. Cogher F, Sawage E, Smith MF. Cerebral Palsy, The child and Young Person, 1st Ed..
Chapman and Hall Medical, London, 1992 : 3 – 16.
3. Swaiman KF, Ashwal S. Pediatric neurology : principles and practice. 3rd Ed. USA :
Mosby Inc., 1999 : 312 – 322.
4. Ratanawongsa B. Cerebral Palsy. Last updated : August 9, 2005.
http://www.emedicine.com//
5. Menkes JH, Sarnat HB. Perinatal Asphyxia and Trauma. In Menkes JH, Sarnat HB,
Maria BL. Child Neurology. 6th Ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia,
2006 : 396
6. Brett EM. Cerebral Palsy. In Brett EM Ed. Paediatric Neurology. Churchill
Livingstone, London, 1997 : 291 -30.
7. Ashwal S, Russman BS, Blasco PA, Miller G. Practice parameter : Diagnostic
Assesment of the child eith cerebral palsy. Report of the quality standards
subcommittee of the child Neurology Society. Neurology 2004 ; 62 : 851 – 63.
8. Bax M, Brown JK. The spectrum of disorders known as cerebral palsy. In : Scrutton
D, Damiano D, Mayston M. Management of the motoe disorders of children with
cerebral palsy. London : Cambridge University Press, 2004 ; 9-20
EPILEPSI PADA ANAK
DEFINISI
Epilepsi : Keadaan yang ditandai oleh bangkitan yang timbul dua kali atau lebih secara
spontan. (Epilepsia 1993; Epilepsia 1997)
27
Catatan :
Bangkitan berulang yang terjadi dalam waktu 24 jam dianggap sebagai satu kejadian
bangkitan tunggal, bukan epilepsi
Sindroma Epilepsi : Epilepsi yg ditandai oleh sekumpulan tanda dan gejala yang terjadi
secara bersamaan, meliputi bentuk bangkitan, etiologi, EEG, anatomi, faktor pencetus,
usia awitan, berat gejala, dan prognosis (Epilepsia 1989)
Insidensi
Negara berkembang: ± 41-50 / 100.000 penduduk . Insidensi tinggi: usia < 2 tahun & usia
> 65 tahun. (Epilepsi Foundation 2003.
Dari 200.000 kasus baru pertahun, didapatkan 45.000 kasus epilepsi anak usia <15 tahun.
Insidensi epilepsi anak dari lahir sampai usia 16 tahun: ± 40 / 100.000 anak / tahun
KLASIFIKASI SINDROMA EPILEPSI
ILAE, 1989 (Epilepsia 1989)
1. Epilepsi parsial dan sindromanya
Berhubungan dengan lokasi
1.1. Epilepsi Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia)
 Epilepsi benigna pada masa anak dengan gelombang paku di
sentrotemporal
 Epilepsi pada masa kanak dengan paroksismal di oksipital
 Epilepsi primer pada saat membaca
1.2. Epilepsi Simtomatik
 Epilepsi parsialis kontinua kronik pada masa anak (sindroma
Kojewnikow)
 Sindroma dimana secara karakteristik bangkitan dicetuskan oleh
faktor pencetus spesifik
 Epilepsi lobus temporal
 Epilepsi lobus frontal
 Epilepsi lobus parietal
 Epilepsi lobus oksipital
1.3. Epilepsi kriptogenik
2. Epilepsi umum dan sindroma
2.1. Idiopatik (awitan berhubungan dengan usia; urutan berdasarkan usia)
 Bangkitan neonatal familial benigna
 Bangkitan neonatal benigna
 Epilepsi mioklonik benigna pada masa anak
 Epilepsi lena/lena pada masa anak (Pyknolepsy)
 Epilepsi absence / lena pada masa remaja (JAE)
 Epilepsi mioklonik pada masa remaja (Impulsive Petit Mal)
 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik (grand mal) saat
bangun tidur
 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak disebut di atas
 Epilepsi dengan bangkitan yang dicetuskan oleh pencetus spesifik.
28
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (sesuai urutan usia)
 Sindroma West (spasme infantil, Blitz-Nick-Salaam Kramfe)
 Sindroma Lennox-Gastaut
 Epilepsi dengan bangkitan mioklonik astatik
 Epilepsi dengan bangkitan mioklonik absence/lena
2.3. Simtomatik
2.3.1. Tanpa etiologi spesifik
• Ensefalopati mioklonik dini
• Ensefalopati epileptik dengan suppression-burst pada masa
anak dini
• Epilepsi umum simtomatik lain yang tidak disebut diatas
2.3.2. Sindroma spesifik
• Bangkitan epilepsi yang dapat memperberat keadaan
penyakit lain. Termasuk penyakit di mana bangkitan
merupakan gejala awal yang penting dari penyakit tersebut
3. Epilepsi dan sindroma epilepsi dengan bangkitan yang tidak dapat
ditentukan umum / parsial
3.1. Dengan bangkitan umum maupun parsial
 Bangkitan neonatal
 Epilepsi mioklonik berat pada masa anak
 Epilepsi dengan gelombang tajam lambat kontinu saat tidur
 Afasia akibat epilepsi (sindroma Landau-Kleffner)
 Epilepsi lain dari kelompok ini yang tidak disebut di atas
3.2.Tanpa gambaran bangkitan umum maupun parsial yang jelas
 Semua kasus dengan bangkitan umum tonik klonik dimana gejala
klinis maupun EEG tidak dapat dapat dimasukkan dalam
klasifikasi sebagai epilepsi umum / parsial. Contoh: sleep grand
mal
4. Sindroma khusus
4.1. Berhubungan dengan keadaan tertentu (Gelegenheitsan-falle)
 Kejang demam
 Bangkitan / status epileptikus terisolasi
 Bangkitan yang hanya terjadi jika ada gangguan metabolik akut /
keadaan toksik oleh berbagai faktor, diantaranya alkohol, obatobatan, eklamsia, hiperglikemia nonketotik
Klasifikasi lain
Semiological Seizure Classification
Klasifikasi Engel
PENATALAKSANAAN PENDERITA EPILEPSI ANAK
 Anamnesis
29
Gambaran bentuk bangkitan (dari penderita &/ orang tua / saksi)
 Keadaan penderita saat bangkitan ?
Duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih
Aura? speech arrest?
 Apa yang tampak selama kejadian ?
Gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme
Inkontinensia, lidah tergigit
Pucat, berkeringat, deviasi mata
 Durasi kejadian ?
 Keadaan saat dan setelah kejadian ?
Bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah
Riwayat Penyakit Sebelumnya
 Jejas SSP sebelumnya
o Riwayat perinatal / perkembangan
o Trauma, infeksi SSP, dll
o Kejang demam (sederhana atau kompleks)
Riwayat Keluarga
o Riwayat epilepsi dan kejang demam pada keluarga
o Penyakit neurologis lain
Pemeriksaan Fisik dan neurologis
o Lingkar kepala
o Dismorfik
o Kelainan kulit
o Pemerksaan jantung
o Hiperventilasi, evaluasi psikogenik
o Defisit neurologis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
 EEG
Iktal (bila memungkinkan) dan interiktal
Pola EEG tertentu dapat menunjukkan suatu sindrom,
Epilepsi umum idiopatik
 Childhood absence epilepsy : 3 Hz SWC
 Juvenile absence epilepsy : 3 – 4 Hz SWC dan polyspikes wave
complex
 Juvenile myoclonic epilepsy : 4 – 6 Hz polyspikes wave complex
Epilepsi parsial idiopatik
 Benign Rolandic Epilepsy : stereotyped biphasic centrotemporal
spike wave
Epilepsi umum simtomatik/kriptogenik
 Spasme infantile : hypsarrhythmia
 LGS : slow generalized SWC
30
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman
EEG interiktal:
 Waktu perekaman
Perekaman pascaictal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang epilepsi
interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar (51%) dibandingkan
bila perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%).
Perekaman berulang
 Keadaan kurang tidur (sleep deprivation)
 Aktivasi: tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik
 Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas. Video
EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk
penentuan lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi.
 Faktor-faktor yang dapat meningkatkan temuan gelombang epilepsi pada rekaman
EEG interiktal :
 Waktu perekaman
Perekaman pascaictal dalam 24 jam dapat menemukan gelombang epilepsi
interiktal (interictal epileptiform discharges) lebih besar (51%)
dibandingkan bila perekaman dilakukan lama setelah bangkitan (34%).
 Perekaman berulang
 Keadaan kurang tidur (sleep deprivation)
 Aktivasi: tidur, hiperventilasi, stimulasi fotik.
 Perekaman EEG iktal dibutuhkan agar diagnosis epilepsi lebih jelas.
 Video EEG telemetri digunakan bila diagnosis masih belum jelas dan untuk
penentuan lokalisasi fokus pada evaluasi praoperasi epilepsi.
PENCITRAAN
Pencitraan otak dapat digunakan untuk melihat struktur otak dalam rangka mencari
penyebab patologis epilepsi, melihat fungsi otak dinamik dalam rangka mencari
gangguan fungsi otak melihat akibat epilepsi.
INDIKASI




Status epileptikus atau epilepsi akut yang berat
Penderita epilepsi fokal kecuali yang memiliki sindroma elektroklinis
yang tipikal untuk BCECTs
Epilepsi refrakter
Bila ditemukan developmental delay atau adanya bukti sindroma
neurokutan
JENIS PENCITRAAN
 Pencitraan Struktrural :
CT scan kepala
MRI
MR spectroscopy
 Pencitraan Fungsional :
31
PET
SPECT
fMRI
PENCITRAAN STRUKTURAL
CT scan memungkinkan diagnosis radiologis pada 10-20% pasien, sedangkan MRI
memungkinkan diagnosis radiologis pada 50% pasien epilepsi parsial refrakter
MRI lebih baik dalam mendeteksi abnormalitas fokal berukuran kecil dibandingkan
CT scan
PENCITRAAN FUNGSIONAL
Kegunaan:
- Umumnya digunakan untuk perencanaan operasi epilepsi
- Membantu identifikasi regio epileptogenik
- Membantu identifikasi daerah awitan bangkitan
- Melokalisasi fungsi otak
- Dibandingkan dengan pencitraan struktural, pencitraan fungsional cenderung untuk
menilai derajat epileptogenik korteks serebri secara berlebihan
PENATALAKSANAAN
Prinsip Umum :
Setelah frekkuensi kejang 2 kali atau lebih dalam 1 tahun. Pertimbangkan keuntungan
dan kerugiannya, kemungkinan berulang dan kepatuhan pasien.
Pilihan obat anti kejang berdasarkan bentuk kejang :
Bentuk kejang
Pilihan 1
Pilihan 2
Parsial
Carbamazepine
Valproat
Phenytoin
Lamotrigine
Oxcarbazepine
Gabapentin
Topiramate
Levetiracetam
Tonic-clonic
Valproate
Lamotrigine
Carbamazepine
Oxcarbazepine
Phenytoin
Topiramate
Absence
Valproate
Lamotrigine
Myoclonic
Valproate
Topiramate
Lamotrigine
Levetiracetam
Obat Anti Epilepsi (OAE) I: mulai dosis minimal kemudian secara bertahap dinaikkan
bertahap hingga mencapai dosis maksimal atau timbulnya efek samping.
Bila bangkitan masih terjadi, maka OAE II mulai dosis minimal dinaikkan secara
bertahap hingga mencapai dosis maksimal. OAE I diturunkan bertahap secara cepat
Jika OAE II gagal penggunaan OAE III dengan cara yang sama, jika OAE III gagal
maka diberikan politerapi.
32
Catatan : sebaiknya pasien dibekali diazepam perrectal untuk kejang, maksimal 2x
pemberian
Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi
OAE
Fenobarbiton
Cara kerja
multipel
(↓Na, ↓Ca,  GABA, Glutamat ↓ )
Spektrum
Luas
ya
Fenitoin
Sodium channel blocker
tidak
Karbamazepin
Sodium channel blocker
tidak
Asam valproat
multipel
ya
Levetirasetam
Berikatan dengan protein vesikel
sinaptik SV2A
Ya
Ya
Topiramat
multipel
Dosis dan cara
pemberian
Nama obat
Dosis (mg/kgBB/hari)
Frekuensi
Fenobarbital
3-5 mg/kg (<5thn)
2-3 mg/kg (>5thn)
2 x atau
1x / hr
Fenitoin
8-10mg/kg (<3thn)
4-7mg/kg (>3thn)
2 x / hr
Asam valproat
15-40 mg/kg
2–3 x / hr
Karbamazepin
10-20 mg/kg
2 x / hr
Klobazam
0,4 – 1,2 mg/kg/hari
1 – 3 x/hr
Klonazepam
0,05-0,2 mg/kg/hari
2 – 3 x/hr
33
Gabapentin
30 – 60 mg/kg/hari
2 - 3 x/hr
Lamotrigin
+ VPA: 1 – 5 mg/kg/hr
+ enzyme-inducer AED: 5 – 15
mg/kg/hari
2 x/hr
Topiramat
3 – 9 mg/kg/hari
2 x/hr
Oxkarbazepin
20 – 40 mg/kg/hari
2 x/hr
Levetirasetam
20 – 40 mg/kg/hari
2 x/hr
OAE YANG MEMPERBURUK SINDROMA TERTENTU
AED
Sindroma epilepsi / bentuk
bangkitan
Carbamazepine, Vigabatrin,
Tiagabine, Phenytoin
Childhood absence epilepsy
Juvenile absence epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy
Vigabatrin
Clonazepam
Lamotrigine
Absence & absence status
GTC in Lennox-Gastaut
Sindroma Dravet
Juvenile myoclonic epilepsy
PENGHENTIAN OAE
Klinis: bebas bangkitan minimal 2 tahun (SIGN,2005)
Cara penurunan: secara bertahap (6 minggu s/d 6 bulan).(SIGN,2005)
Jika dalam penurunan dosis, bangkitan timbul kembali, OAE diberikan kembali dengan
dosis terakhir yang sebelumnya dapat mengontrol bangkitan
RESIKO terjadinya relaps meningkat :
 Anak dengan epilepsi simtomatik
 Awitan bangkitan umur ≥ 12 tahun
 Durasi bebas bangkitan < 6 bulan
 EEG abnormal saat penghentian bangkitan
34

Sindroma dengan risiko relaps tinggi: Juvenile Myoclonic Epilepsy,
sindroma epilepsi pada remaja
DIAGNOSIS BANDING
Benign myoclonus
Sandifer’s syndrome
Hyperekplexia
Breath-holding attack
Night terrors
Masturbatory episodes
Alternating hemiplegia
Syncope
Migraine
Shuddering attacks
Movement syndrome
Parasomnias
Inattention / daydreaming
INFEKSI SUSUNAN SARAF PUSAT PADA ANAK
MENINGITIS
Pendahuluan
Infeksi SSP sampai sekarang masih merupakan keadaan yang membahayakan
kehidupan anak, dengan berpotensi menyebabkan kerusakan permanen pada pasien anak
yang hidup.1,2 Penyebab infeksi SSP bisa karena virus, bakteri atau mikroorganisme yang
lain. Diantara penyakit infeksi SSP yang amat berbahaya adalah meningitis dan
ensefalitis. Para klinisi diharapkan dapat mengenal infeksi lebih dini sehingga dapat
memberikan pengobatan dan pencegahan yang lebih akurat.3,4
Meningitis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat yang mengenai meningen.
Meningen terdiri dari tiga buah lapisan, lapisan paling luar adalah pakhimening atau
duramater dan lapisan paling dalam adalah leptomening yang terbagi atas dua bagian
yaitu arakhnoid dan piamater.2,5 Meningitis bakterial akut disebut juga sebagai meningitis
piogenik akut atau lebih dikenal dengan meningitis purulenta yang ditandai dengan
peningkatan jumlah sel darah putih di dalam cairan serebrospinalis yang menghasilkan
eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus.2
Sedangkan meningitis tuberkulosa merupakan salah satu penyulit tuberkulosis, yang
mempunyai morbiditas dan mortalitas tinggi. Di Indonesia saat ini tuberkulosis dianggap
35
sebagai reemerging disease, serta negara Indonesia menduduki urutan ketiga setelah
India Dan Cina.4
1. Meningitis Bakterial
Definisi
Meningitis bakterial adalah suatu peradangan pada selaput otak, ditandai dengan
peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan terbukti adanya
bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.1-3
Epidemiologi
Di Amerika serikat, diperkirakan 25.000 kasus meningitis pertahunnya dijumpai
pada anak-anak dan dewasa muda. Sekitar 50% kasus terjadi pada anak dibawah usia 5
tahun. Insidensi di Amerika serikat dan eropa adalah 3-5 kasus per 100.000 penduduk
pertahun.2,5-7
Di negara-negara sedang berkembang angka statistik yang tepat sulit didapatkan
namun diduga angka kejadiannya jauh lebih tinggi. Di Senegal (Afrika barat) insidensi
meningitis diperkirakan 50 kasus per 100.000 penduduk pertahun dengan angka kematian
40%. Di Brasilia insidensinya adalah 45,8 kasus per 100.000 penduduk pertahun.
Penyakit ini dijumpai lebih banyak pada laki-laki daripada wanita dengan rasio 1,7:1.3
Etiologi
Pola bakteri penyebab meningitis bakterial akut perlu diketahui sebelum
memberikan terapi yang tepat, berikut disebutkan penyebab yang sering dan yang jarang
pada meningitis bakterial akut, sesuai dengan usia. Pada pasien dengan faktor resiko
tertentu dapat diperkirakan bakteri penyebabnya lalu diberikan terapi empiris yang sesuai
dengan bakteri penyebab tersebut seperti yang dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang sering, menurut usia: (
Swaiman’s 2012)
Lamanya
Bakteri Patogen
Penyakit
0-4 minggu Streptococcus agalactiae
Escherichia coli
Listeria monocytogenes
Streptococcus pneumoniae
E. coli
1-3 bulan
L. monocytogenes
Neisseria meningitidis
S. agalactiae
S. pneumoniae
Haemophilus Influenzae
3-18 tahun N. meningitidis
S. pneumoniae
H.influenzae
36
Tabel 2. Bakteri penyebab Meningitis Bakterial Akut yang jarang, pada bayi dan anakanak ( Swaiman’s 2012)
FAKTOR PREDISPOSISI
BAKTERI
PATOGEN
Escherechia coli*
Infeksi saluran kemih, imunosupresi
Staphylococcus
Trauma, bedah saraf, shunt
aureus
Staphylococcus
Trauma, bedah saraf, shunt
epidermidis
Grup A streptococcus Faringitis, sepsis
Enterococcus spp.
Periode neonatal
Viridans streptococci Endocarditis, defek anatomi
Moraxella
Otitis media
Klebsiella
Imunosupresi
pneumoniae
Salmonella
Sickle cell disease, imunosupresi
Proteus
Periode neonatal, imunosupresi
Citrobacter
Periode neonatal, imunosupresi
Enterobacteriaceae
Imunosupresi
lain
Pseudomonaas
Imunosupresi
aeruginosa
Pasteurella multocida Gigitan serangga
Francisella tularensis Kontak dengan hewan liar
Propionibacterium
Shunt
acnes
Nocardia
Penyakit paru kronis
Catatan : * jarang pada periode neonatal
Patogenesa
Infeksi meningitis bakterial pada SSP dapat terjadi secara akut ( simptom
berkembang dalam 1-24 jam), sub akut (1-7 hari), ataupun kronis (> 1 minggu). Infeksi
bakteri difus melibatkan leptomenings, struktur kortikal superfisial dan pembuluh darah.
Meskipun namanya ” meningitis”, pada parenkim otak juga terjadi inflamasi, pembuluh
darah otak diinfiltrasi oleh sel-sel inflamatori dan dapat menyebabkan rusaknya sel,
stenosis pembuluh darah, iskemik sekunder dan infark.2
Secara patologis, proses peradangan melibatkan semua struktur intrakranial pada
derajat tertentu. Pada proses akut, inflamasi ini dapat mengakibatkan terjadinya edema
serebral atau mempengaruhi aliran cairan serebrospinal hingga terjadi hidrosefalus.8
37
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui:
1. Lewat aliran darah (hematogen) yaitu penyebaran infeksi dari tempat lain, seperti:
faringitis, tonsilitis, endokarditis, pneumonia, infeksi gigi, ataupun terjadi secara
primer, misalnya primary pneumococcal meningitis, meningococcal meningitis.
2. Perluasan langsung dari infeksi (percontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi
dari daerah sekitarnya ( misal sinus paranasalis, mastoid, abses otak dan sinus
cavernosus).
3. Implantasi langsung pada trauma terbuka kepala ( biasanya fraktur basis kranii),
tindakan bedah otak dan lumbal punksi.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena:
a. aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir
atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir,
b. Infeksi bakterial secara transplasental terutama listeria.
Gejala klinis
Lebih kurang 25% penderita dengan meningitis bakterial memberikan gejala-gejala
dalam waktu 24 jam setelah onset. Pada penderita yang lain, gejala neurologis dapat
timbul dalam waktu 1- 7 hari.
Pada bayi, gejala neonatal bacterial meningitis berupa: demam (low grade fever),
letargi atau penurunan kesadaran, nafsu makan menurun dan atau muntah-muntah, distres
nafas, apnea, cyanosis.
Pada anak, gejala yang dijumpai berupa: demam, sakit kepala, mual dan muntah, kaku
kuduk, penurunan kesadaran, kejang, cranial nerve palsy dan gangguan penglihatan.
Gejala sakit kepala sering diikuti dengan fotofobia, disebabkan inflamasi pada pembuluh
darah meningen dan sebagai hasil dari peninggian tekanan intrakranial. Kaku kuduk dan
rigiditas spinal disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis. Kelainan saraf
otak (cranial nerve palsy) disebabkan oleh inflamsi lokal pada perineum, juga karena
terganggunya suplai vaskuler ke saraf. Saraf-saraf kranial III,IV dan VI adalah yang
paling sering terkena. 30-40% kejang umum ataun parsial pada neonatus ataupun anak
dewasa muda sedangkan 20-30% pada dewasa. Tanda kejang fokal ini menandakan
terlibatnya serebral hemisfer oleh bakteri,sitokin atau lesi vaskuler.2,3,6,10
Diagnosa 2,6,8,9,16
1. Analisa cairan serebrospinal melalui lumbal punksi
Pada fase akut dijumpai sel-sel polimorfonuklear (90%), leukositosis > 1000
sampai 10.000 sel/ ul, glucose < 40 mg/dl, Rasio analisa cairan CSF dengan
glucose < 0,40 dan protein 50-500mg/dl.
2. Pemeriksaan antigen spesifik
- Coagglutination
- Latex agglutination
3. Pemeriksaan x-ray: skull, mastoid dan sinus paranasalis
4. Pemeriksaan neuroimaging
38
Pada fase akut meningitis bakterial, CT Scan dan MRI biasanya normal, atau
dapat menunjukkan enhancement pada meningen dan ependima dengan pelebaran
dari sisterna-sisterna pada basal otak dan sulkus-slkus pada korteks, akibat
pengumpalan eksudat purulen.
Pengobatan 2,3,5,9
1. Pemberian antibiotika spektrum luas
Setelah organisme spesifik berdasarkan umur ditemukan, pemberian antibiotika
dapat diganti dengan antibiotika yang sensitif. Durasi terapi tidak ditentukan
secara tegas dan disesuaikan dengan respon klinis terhadap pengobatan.
Meningitis yang disebabkan N. meningitidis dapat diberikan pengobatan selama
4 hari ( Crosswell et al. 2006 ), dan pada meningitis karena S.pneumoniae atau
H.influenzae, diberikan pengobatan selama 4-7 hari pada penelitian metaanalisis tidak lebih buruk hasilnya dibandingkan dengan pemberian selama 7-14
hari. (Karageorgopoulos et al.2009 ). Meningitis karena Enterobacteriaceae,
L.monocytogenes, bakteri lainnya atau organisme dengan sensitivitas rendah
terhadap antibiotik mungkin membutuhkan pengobatan yang lebih lama.
Tabel 3.Rekomendasi Terapi Empiris Antibiotik pada Meningitis Bakterial ( Swaiman’s
2012 )
Pasien dan
keadaan
dimodifikasi
Antibiotik
Dosis (IV)
Neonatus/ infant
<3 bulan
Ampisilin +
cefotaxime atau
Gerntamicin
50-100 mg/kg setiap 6-8 jam
100mg/kg setiap 8-12 jam
2.5mg/kg setiap 8 jam
Preterm
Neonatus, BBLR
Vancomycin +
Ceftazidime
15mg/kg setiap 8-24 jam
100 mg/kg setiap 8-12 jam
>3 tahun – 50
tahun
Ceftriaxone atau
Cefotaxime
100mg/kg setiap 24 jam ( maks.4g per 24 jam)
100mg/kg setiap 8 jam (maks.12g per hari)
Drug-resitance
Streptococcus
pneumoniae
Ceftriaxone+
Rifampisin atau
Vankomisin
100mg/kg setiap 24 jam ( maks.4g perhari)
10-20mg/kg setiap 24 jam (maks. 600mg per
24 jam)
15mg/kg setiap 6 jam ( maks. 500mg setiap 6
jam)
Bedah sarah,
shunt LCS,
trauma kepala
Ceftazidime +
Nafcillin atau
Flucloxacillin
( atau Vankomisin
+ Aminoglikosida
100mg/kg setiap 8 jam (maks.12g perhari)
50mg/kg setiap 6 jam ( maks. 12 g perhari )
15 mg/kg setiap 6 jam ( maks. 500mg perhari )
2.0-2.5 mg/kg setiap 8 jam
39
2. Pemberian steroid
Pemberian deksamethason dapat menghambat reaksi inflamasi dalam
ruangan subarachnoid yang disebabkan oleh lisis bakteri karena pemberian
antibiotika. Akibatnya terjadi penurunan konsekuensi patofisiologi dari meningitis
bakteri seperti edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial. Dosis
deksamethasone yang dianjurkan adalah 0,6 mg/kgBB/ hari dibagi dalam 6 dosis.
Pada literatur lain (Swaiman’s 2012 ) disebutkan dosis yang direkomendasikan
adalah 0,15mg/kg setiap 6 jam yang diberikan paling lama 4 hari, sedangkan
pemberian 2 hari sama efektifnya.
Prognosis
Lebih dari 90% meningitis bakterial akan berakibat kematian sebelum pemberian
antibiotika. Penggunaan antibiotika dapat menurunkan angka kematian, tetapi walaupun
telah ditemukan banyak antibiotika baru, ternyata angka kematian karena meningitis
bakterial tidak berubah 20-40% dalam dekade terakhir ini. Prognosis pasien meningitis
bakterial tergantung dari banyak faktor antara lain: umur pasien, jenis mikroorganisme
penyebab, berat ringannya infeksi, lamanya sakit sebelum mendapat pengobatan dan
kepekaan bakteri terhadap antibiotika yang diberikan.2,8,9
Tabel4. Faktor resiko yang berhubungan dengan buruknya prognosis pada meningitis
bakterial
Faktor Resiko
Etiologi
Streptococcus pneumoniae
Bakteri enterik gram negatif
Titer bakteri tinggi
Pasien
Bayi baru lahir
Penurunan daya tahan tubuh
Keparahan
penyakit
Advanced disease
Ditemukan neurologis fokal
Koma
Cardiovascular compromise
Tidak adanya demam
Lekosit pada LCS <1000x106/L
Manajemen
Membutuhkan intensive care
Terapi antibiotik inadekuat
Kurangnya terapi anti-inflmasi
Stadium
meningitis
Pensterilan LCS yang terlambat
Keparahan komplikasi
40
2. Meningitis Tuberkulosis
Definisi
Meningitis tuberkulosis sendiri adalah infeksi pada meningen yang disebabkan
oleh basil tahan asam Mycobacterium tuberkulosis.1,2,7,10,12
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis termasuk golongan ordo Actinomycetales, familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Kuman Mycobacterium tuberkulosis
berbentuk batang, ramping, tidak bergerak, berukuran panjang 1-4 mikrometer dan lebar
0,3-0,6 mikrometer. Kuman ini hidup dalam lingkungan aerob dan tidak menghasilkan
spora. Kuman ini tumbuh optimal pada suhu rata-rata berkisar 33 – 39o C dan maksimal
tumbuh di lingkungan dengan pH 6,6 – 6,8.
Bakteri tuberkulosis mengandung banyak lemak karena itu bila Mycobacterium
tuberculosa telah mengalami pewarnaan tidak akan kehilangan warnanya
(decolorization) walaupun dengan pemberian alkohol asam sehingga dikenal istilah basil
tahan asam. Kuman TB ini terdiri dari lemak dan protein. Komponen protein utamanya
dikenal dengan istilah tuberkuloprotein (tuberculin).3,4,10-12
Patogenesa
Patogenesa dari meningitis tuberkulosa dimulai dari adanya infeksi primer dari
tuberkulosis dibagian tubuh manusia, terutama sekali pada bagian paru-paru. Hal ini
terjadi sebagai akibat komplikasi dari tuberkulosis milier yang menyebabkan perluasan
ke meningen atau akibat mikroemboli otak dan lintasan yang melalui dinding dari small
arteries.4,10,11,12
Infeksi Mikobacterium tuberkulosis pada sistem saraf pusat dimulai perinhalasi
dengan menghisap partikel yang infeksius. Droplet yang berukuran satu sampai sepuluh
mikrometer akan mencapai bronkhioli terminalis atau alveoli. Setelah mencapai alveoli,
organisme ini akan bermultiplikasi didalam ruang alveoli atau difagosit (dimakan) oleh
makrofag yang berasal dari sirkulasi. Dari alveoli paru, makrofag ini akan bermigrasi
melalui jalur limfatikus ke nodus limfatikus pada hilus. Ikut sertanya makrofag akan
menghasilkan dua substansi yakni Interleukin-I (IL-1) dan tumor necrosis factors (TNF).
Substansi IL-1 akan bekerja sebagai mediator demam, TNF atau kahektin akan
mempengaruhi metabolisme lipid dan menyebabkan penurunan berat badan.7,12
Pada stadium awal dalam dua sampai empat minggu pertama, infeksi menyebar
secara hematogen ke seluruh tubuh. Organ paru, hati, limpa dan sumsum tulang akan
menjaring mikroorganisme ini dari darah. Organ-organ lain yang tidak termasuk dalam
sistem retikuler endotelial seperti otak dan sumsum tulang akan menjaring sedikit
mikroorganisme ini. Pada stadium ini belum terjadi respons terhadap infeksi. Dua sampai
empat minggu atau dalam 30 hari setelah infeksi tersebut baru akan terbentuk imunitas
seluler terhadap organisme, limfosit T akan dirangsang oleh antigen bakteri untuk
41
menghasilkan limfokin, yang kemudian akan menarik dan mengaktifkan fagosit
mononuklear dari aliran darah.7,13
Respons imun yang didominasi oleh sel T helper ini berkembang dari nodus
limfatikus pada hilus kebeberapa tempat. Pada saat ini test tuberkulin pada kulit akan
menjadi positif, dan pada foto toraks akan tampak bercak-bercak densitas. Respons
pertahanan immunologis akan menghambat proliferasi organisme dan menghambat
penyebaran lokal, sementara makrofag yang diaktivasi oleh sel T akan mulai membunuh
organisme atau menghambat pertumbuhannya. Pada saat ini sejumlah bakteri sudah
tersebar keseluruh tubuh ( terutama pada nodus limfatikus didaerah hilus), membentuk
tuberkel yakni granuloma kecil yang terdiri sari sel epitel, giant sel, makrofag dan
limfosit yang mengelilingi ini kaseosa dan jaringan nekrotik, dikenal dengan istilah fokus
Rich.10,12
Pada otak, granuloma terletak dekat ventrikel ini akan melepaskan basil
Mikobacterium tuberkulosis kedalam CSF, organisme ini kemudian menyeberang ke
ruang subarchnoid terutama didaerah sisterna basalis. Granuloma yang terletak disekitar
saraf kranial akan menyebabkan disfungsi saraf kranial. Selain itu juga meningitis basalis
akan menimbulkan infark karena penyumbatan arteri dan vena, hidrosefalus internus,
perlengketan kanalis sentralis yang akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.11,12
Berdasarkan penelitian secara klinis Rich dan Mc Cordock (cit. Garg, 1999)
menemukan bahwa tuberkulosis SSP terjadi dalam dua stadium yakni:13
1. Stadium awal
Lesi tuberkulosis yang kecil (Fokus Rich) timbul didalam SSP bersamaan dengan
stadium bakteriemi dan infeksi tb primer atau segera setelahnya. Lesi awal ini dapat
ditemukan di meningen, permukaan subpial atau subependimal dari otak atau medula
spinalis dan tetap dorman dalam beberapa tahun setelah infeksi pertama.
2. Stadium lanjut
Terjadinya ruptur atau pembesaran dari satu atau lebih lesi Fokus Rich ini yang akan
menimbulkan berbagai keadaan tuberkulosis SSP.
Patologi
Menurut Rich pada tahun 1951 (cit Garg 1999):13
1. Tuberkel milier disseminata (Disseminated milliary tubercles)
Merupakan 75 – 80% dari tuberkel milier generalisata. Jumlahnya biasanya
sedikit sehingga diperlukan pemeriksaan yang seksama untuk mendapatkannya
pada meningen. Tuberkel tersebut lebih sering ditemukan pada bagian lateral dari
lobus parietal dan temporal atau pada kedua sisi dari fissura sylvii serta sepanjang
pembuluh darah kecil di daerah tersebut. Jenisnya dapat berupa sel epiteloid padat
atau kaseosa akut sesuai dengan tuberkel ditempat lain dalam tubuh.
2. Plak kaseosa fokal (The focal caseous plaque)
42
Dianggap sebagai sumber dari meningitis difus, ukurannya bermacam-macam
mulai dari satu atau dua millimeter sampai sentimeter. Sering ditemukan pada
bagian dalam sulkus, berentuk bulat atau irregular.
3. Meningitis proliferatif (Proliferative meningitis)
Khas ditandai oleh banyaknya fibroblast yang lebih sering merupakan proses
lokal pada sisi lesi tuberkulosis di korteks atau meningen.
4. Meningitis kaseosa inflamasi akut (Acute inflammatory casous meningitis)
Bentuk difus dari lesi ini dianggap sebagai meningitis tuberkulosis, biasanya
terlokalisir yang disertai perkejuan dari tuberkel didaerah korteks.
Gambaran Klinis
Beratnya klinis dari meningitis tuberkulosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
British Medical Research Council yang terdiri dari 3 stage, yakni:14
Tabel 1.Stage klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa. Dikutip dari: Singhi P, Singhi
S. Current Treatment Options in infectious Disease 2001.
Stage Klinis pasien dengan meningitis tuberkulosa
Stage I ( awal ) ( 1-2 minggu)
-Tanda dan gejala tidak spesifik ( demam,
malaise, nyeri kepala, iritabilitas )
-Tak ada penurunan kesadaran
-Tak ada defisit neurologi
Stage II ( lanjutan )
-Iritasi meningeal
-defisit neurologis minor ( kelumpuhan
nervur cranialis )
Stage III
-Pergerakan abnormal
-Konvulsi
-Stupor atau koma
-Defisit neurologis berat ( hemiplegia,
paraplegia, deserebrasi )
Menurut Misra UK (2001), gambaran klinis meningitis tuberkulosa dan anak-anak
dan dewasa dapat dilihat pada table 2.yakni:12
Tabel 2. Gambaran klinis pada Meningitis TB pada anak dan dewasa. Dikutip dari: Misra
UK (2001) Educational Course Literature. World Congress of Neurology XVII, London
Gambaran
Anak (%)
Dewasa (%)
Gejala
- Nyeri Kepala
20-50
50-60
- Mual, muntah
50-75
8-40
- Apatis, perubahan perilaku
30-70
30-70
- Kejang
10-20
0-13
- Riwayat TB sebelumnya
55
0-12
43
Tanda
-
Demam
Meningismus
Lumpuh saraf kranial
Koma
50-100
70-100
15-30
30-45
60-100
60-70
15-40
20-30
Ahuya dan kawan-kawan ( cit Garg,1999 ) menegakkan diagnosis tuberkulosis
berdasarkan gejala klinis, perubahan CSF dan gambaran neuroimaging. Gejala klinis
dapat berupa panas badan dan nyeri kepala lebih dari 14 hari, muntah, penurunan
kesadaran atau defisit neurologis fokal. Perubahan CSF berupa terdapatnya pleositosis (
jumlah sel >20, jumlah limfosit >60% ), peningkatan protein CSF >100 mg/dl, penurunan
kadar glukosa CSF <60% kadar glukosa darah, pemeriksaan tinta India dan pemeriksaan
mikroskopis untuk sel ganas negatif. Pemeriksaan neuroimaging menunjukkan eksudat
pada sisterna basalis atau hidrosefalus, infark pada ganglia basalis, penyengatan/
enhancement pada girus, dan terbentuknya tuberkuloma.13
Pemeriksaan Penunjang
1. Analisa cairan serebrospinal;1,2,4,9,10,16,17
- Warna
: Jernih atau opalescent
- Tekanan : Tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar antara 40-75%
pada anak-anak dan 50% pada dewasa.
- Glukosa : Penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein. Dikatakan
kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar glukosa darah,
dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10 mg/dl.
- Protein
: Akan meningkat mencapai 150-200mg%.
- Sel
: Pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB, pada 90100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3 cairan
serebrospinalis umunya mencapai 300/mm3.
- Mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus yang positif.
2. Laju Endap darah (LED) hanya menunjukkan sedikit peningkatan yakni 18-90
mm/jam, rata-rata 57 mm/jam.7-12
3. Pemeriksaan Radiologik
- Head CT scan: dapat menunjukkan gambaran ‘isoatenuasi’ atau ‘hiperatenuasi’ pada
sisterna basalis pada pemeriksaan tanpa zat kontras dan memberikan penyegatan yang
homogen setelah pemberian zat kontras. Head CT scan serial berguna untuk identifikasi
komplikasi yang baru terjadi seperti hidrosefalus, area kalsifikasi, ensefalomalasia,
osteitis tb dari kranium, dan osteomastoiditis tb.14,16
- MRI lebih sensitive daripada Head CT untuk mendeteksi adanya meningitis basal,
infark serebri, hidrosefalus dan tuberkuloma pada parenkim.17
44
4. Arteriografi dapat menunjukkan adanya arteritis pada sirkulus Willisi atau cabangcabangnya yang terlibat dalam proses meningitis basal. Pembuluh darah yang terkena
ditemukan adanya penyempitan dan oklusi ditandai dengan area yang irregular.12,13
5. Reaksi imunologis terhadap tuberculosis diperlihatkan oleh test kulit tuberculin ( Test
mantoux). Tuberkulin sendiri adalah material protein yang dibentuk oleh mikobakterium
tuberkulosa. Campuran protein ini dikenal sebagai PPD (Purified Protein Derivate). Test
mantoux umumnya positif, tetapi pada 25% kasus dapat memberikan reaksi negative,
terutama pada kasus lanjut, pasien yang mendapat pengobatan kortikosteroid atau pada
keadaan umum yang buruk, keadaan malnutrisi, kelemahan umum dan imunospuresi oleh
penyakit sistemik yang berat.10,12
Pengobatan
Obat
Dosis harian
Lama pengobatan
( mg/kgBB/hari )
INH
10
12 bulan
Rifampisisn
5
12 bulan
Pirazinamid
15 – 40
2 bulan
Streptomisin
15 – 40
1 – 3 bulan
Prednison
1–2
4 – 8 minggu, tap off 2 – 4 minggu
ENSEFALITIS
Ensefalitis adalah penyakit infeksi sistem saraf pusat pada parenkim otak.
Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis pada anak yang terbanyak
adalah Herpes simpleks, arbovirus, Eastern dan western Equine St Louis encephalitis.
Penyebab yang jarang adalah Enterovirus (coxsackie dan echovirus), parotitis,
adenovirus, Lassa virus, rabies, cytomegalovirus. Enampuluh persen penyebab ensefalitis
tidak diketahui, dari penyebab yang diketahui tersebut kira-kira 67% berhubungan
dengan penyakit infeksi pada anak seperti parotitis, varisela, morbili dan rubela, 20%
adalah dari kelompok arbovirus dan Herpes simplex, 5% dari kelompok Enterovirus,
sisanya dari agent lainnya.5-7
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS
Definisi
Merupakan infeksi pada parenkhim otak yang ditandai dengan demam, kejang,
perubahan kesadaran serta defisit neurologi fokal, sering berakibat fatal yang disebabkan
oleh virus herpes simpleks.1,2
Epidemiologi 1,2,5,6
Herpes simpleks merupakan salah satu penyebab dari penyakit ensefalitis akut.
Biasanya merupakan penyebab nonepidemik, sporadic ensefalitis fokal akut. Sekitar 200
kasus terjadi setiap tahun di USA dan ditaksir 10% dari semua kasus ensefalitis
disebabkan virus herpes simplek, 30-70% dari kasus ini adalah fatal. Mayoritas dari
45
penderita yang hidup setelah pengobatan akan mendapatkan gangguan neurologis.
Virus ini mengenai semua umur dan segala jenis suku bangsa. Penyebab tersering
dari HSV ensefalitis adalah HSV tipe 1 yang juga merupakan kausa dari lesi herpes pada
mukosa mulut. HSV tipe 2 bisa juga mengakibatkan akut ensefalitis umumnya terjadi
pada masa neonatus dan punya hubungan dengan terjadinya infeksi virus herpes pada
genitalia ibu.
Ensefalitis herpes simplek ini kira-kira 20% terjadi pada usia dibawah 20 tahun dan
setengahnya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Patogenesis dan Patologi 1,2
Infeksi herpes simplek merupakan infeksi primer yang masuk melalui mukosa
membrane pada manusia. Pada anak-anak infeksi ini kebanyakan asymptomatic
sedangkan pada orang dewasa ditandai dengan terjadinya gingivostomatitis, keratitis atau
dijumpai herpes genitalia yang biasanya berat, nyeri disertai manifestasi sistemik. Virus
ini mengadakan replikasi pada pintu masuk kemudian bergerak ke ganglia sensorik,
kemudian menyebar secara intra axonal.
Virus akan terus berada di neuron sensorik terutama pada ganglia tregiminal, saraf
simpatik servikal atas, ganglia vagus jugularis dan ganglia sacralis. Keberadaan di otak
akan terlihat pada system olfaktorius dan nucleus trigeminus di mesensefalon.
Di otak akan dijumpai adanya edema, nekrosis, perubahan mikroskopis, infiltrate
parenkim yang terdiri dari dari limfosit T (T4, T8), macrophage dan granulosit.
Ensefalitis ini lokasinya khas yaitu pada bagian tengah lobus temporalis dan
bagian orbital dari lobus frontalis, jarang terjadi pada batang otak. Lesi cenderung
menyebar disepenjang girus cingulus dan kadang-kadang pada bagian lateral lobus
temporalis biasanya bilateral tetapi tidak simetris.
Adanya infeksi pada hidung dan traktus olfaktorius akan mengaktifkan virus yang
terdapat pada ganglia trigeminus.
Kriteria Diagnosis 1,2,10
Klinis
Gejala akut, nyeri kepala, panas badan, kejang, penurunan kesadaran, defisit neurologis
fokal, gangguan tingkah laku.
Laboratorium
Pemeriksaan lumbal pungsi: warna jernih, kadang-kadang kemerahan, sel normal atau
sedikit meningkat, Pleositosis( range 10-500 sel per mm3), protein sedikit meningkat (
60-150 mg/dl), glukosa normal (40 mg/dl)..
Radiologi
MRI terdapat kelainan di lobus temporal. MRI punya sensitivitas yang lebih tinggi
dibandingkan CT pada kasus ensefalitis. MRI pada fase akut memperlihatkan
penambahan lobus temporalis dan frontalis yang dikelilingi edema dengan gambaran
hipointense pada T1 weighted dan fiperintense pada T2 weighted. Pada stadium kronik
MRI akan memperlihatkan hilangnya substansi, nekrosis otak, pelebaran dari sulkus dan
46
dilatasi ventrikel.
EEG
Sering memperlihatkan gambaran periodik voltage tinggi 2-3 Hz gelombang spike dan
sharp pada lobus temporalis.
Gambar. EEG pada pasien dengan ensefalitis herpes simpleks.
Pola EEG meliputi perlambatan fokal, spike, paroxysmal lateralizing epileptiform
dishgarges. Aktivitas focal-temporal atau lateralized polymorphic delta adalah perubahan
yang paling awal terlihat. Perlambatan difus kemudian mengikuti, dengan kecenderungan
temporal yang persisten. Komplek pseudoperiodik terlihat pada EEG serial pada dua dari
tiga kasus yang dibuktikan dengan biopsi, muncul disepanjang regio temporal di awal
stadium penyakit, biasanya dalam 1 bulan dari onset penyakit. ( Adapted from: Goldstein
MA and Harden CL. Infectious states. In: Ettinger AB and Devinsky O, eds. Managing
epilepsy and co-existing disorders. Boston: Butterworth-Heinemann; 2002;83-133.
With permission from Elsevier (www.elsevier.com). )
Gold standar
PCR, IgM dan IgG HSV 1 (pada anak dan dewa
dapat dilakukan segera, karena baru + setelah minggu pertama.
Diagnosis Banding 1,2,10
Meningitis virus, Abses otak, stroke.
Penatalaksanaan 1,2
Medikamentosa
- Asiklovir 10 mg/kgBB/kali iv diberikan setiap 8 jam selama 10 hari. Diberikan
sedini mungkin dan boleh diberikan bila terdapat kecurigaan terhadap
ensefalitis herpes simpleks dan dihentikan bila terbukti bukan ensefalitis
47
herpes simpleks.
- Manitol bila terdapat oedem otak atau tekanan intrakranial yang meningkat
- Antikonvulsan bila ada kejang
- Antipiretik
- Antibiotika untuk infeksi sekunder
- Surgical decompression, dilakukan untuk mencegah herniasi pada kasus-kasus dimana
terjadi penginggian tekanan intrakranial yang cepat.
Suportif
- Monitoring tanda vital
- Evaluasi status neurologi setiap hari
- Mengatasi gangguan nafas
- Monitoring intake dan output, elektrolit
- Pengukuran lingkar kepala
- Nutrisi yang baik
Daftar Pustaka
1. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed. New York, Mc Graw Hill. 2000
2. Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL. Child Neurology. 7th ed.Lippincott William &
Wilkins. 2005.
3. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. The Lancet 1985, 346:1675-80.
4. Machfoed MH. Recent Advance in Tuberculous Meningitis; Clinic, Diagnostic and
Therapeutic aspects. Neurona 2004;21:24-31.
5. Red Book. Report of the Committee on Infectious Disease. 24th ed. American
Academy of Pediatrics.1997.
6. Darto Suharso, Siti Nurul Hidayati. Infeksi SSP pada Anak. Buku Ajar Neurologi
Anak. Edisi pertama. Jakarta. Penerbit BP IDAI, 1999:339-85.
7. Shakir RA, Newman PK, Poser CM. Tropical Neurology. London. WB. Saunders,
Company. 1996.
8. Tunkel AR, Scheld WM. Acute Bacterial Meningitis. Americ. Family Physians. 1997,
56(5):1355-62.
9. Quangliarello V, Scheld WM. Bacterial meningitis. Pathogenesis, pathofisiology and
Prognosa. NEJM 1997, 36(10):708-716.
10. Buku Pedoman SPM dan SPO Neurologi. Perdossi. Jakarta.2006.
11.Zugar A. Tuberculosis. In: Scheld WM, Whitney RJ, Marra CM. Editors. In :
Infectious of the Central Nervous System. 3rd ed.Philadelphia Lippincott Williams &
Wilkins, 2004.p.441-56.
12.Misra UK. Tuberculous meningitis. Educational Course literature. World Congress of
Neurology XVII. London.2001.
13. Garg RK. Tuberkulosis of the CNS. Postgrad Med J. 1999;75:133-140.
14.Singhi P, Singhi S.Current Tratment option infectious Disease. 2001.
48
15.Ogawa KS, Smith MA, Brennesel DJ. Tuberculos Meningitis in an Urban medical
Center Medicine, 1987;6:317-26.
16.American Academy of Pediatrics. Task Force on diagnosis and Management of
meningitis. Diagnosis and management of Meningits. Pediatr. 1986:8:959-82.
17.Lee SH, Rao KCVG, Zimmerman R. Cranial MRI and CT. 4th ed. New York.Mc
Graw Hill.1999.
SSPE ( Subacute Sclerosis Panencephalitis )
Pendahuluan
SSPE, penyakit yang sering terjadi pada anak-anak adalah infeksi virus lambat dari
sistem susunan saraf pusat yang berhubungan dengan infeksi campak (measles).
(www.medscape.com)
SSPE, keadaan yang terbilang jarang pada wilayah yang mempunyai programimunisasi
campak, mulai 5-10 tahun setelah infeksi campak dan biasanya mengenai anak-anak
usia rata-rata 7 tahun. Gangguan ini menimbulkan perjalanan gejala yang khas, dimulai
dengan penurunan kognisi dan perilaku yang tersembunyi dan membahayakan yang
mirip dengan gangguan psikiatri. Myoklonus, gejala yang menonjol pada fase lanjutan
SSPE, termasuk ekstremitas, trunkus, atau kepala, dan kejang fokal atau umum yang
timbul bersamaan. Dengan berlanjutnya gangguan, kemampuan bicara dan intelektual
juga memburuk; myoklonus semakin hebat dan kelainan neurologis lainnya seperti
koreoar=tetosis, bradikinesia atau rigiditas, muncul. Rangkainan gangguan ini diakhiri
dengan debilitas, koma, dan kematin. Sekitar setengah dari pasien mengalami
korioretinitis dan kerusakan penglihatan; hanya sedikit kasus yang terjadi pada orang
dewasa, atau memiliki gejala yang atipikal dengan perburukan cepat dan meninggal. (
swaiman’s 2012)
Patogenesis
Perjalanan penyakit dari SSPE walau masih tidak jelas, menggambarkan replikasi yang
buruk dari virus measles di jaringan saraf. ( swaiman’s 2012)
Pemeriksaan Penunjang
- Pasien dengan SSPE memiliki tingkat imunoglobulin LCS yang tinggi, ikatan
oligoclonal dan meningkat nilai sintesis IgG, menunjukkan produksi masif dari measlesspecific IgG. Peningkatan titer IgG dari measles-specific IgG menyebabkan
pengambilan diagnosis SSPE dan RNA virus measles dapat dideteksi di LCS atau
plasma dengan reverse transcription PCR. ( swaiman’s 2012)
- EEG : sangat spesifik dan ditandai dengan kompleks periodik amplitudo tinggi yang
bilateral, bianya sinkron dan simetris. Sangat khusus dan terdiri dari dua atau lebih
gelombang delta dengan atau tanpa gabungan dengan komponen gelombang tajam.
Kompleks periodik berulang dengan reguralitas sedang setaip 4 – 10 detik dan terdapat
hubungan 1 : 1 dari kompleks periodik EEG dengan sentakan myoklonik saat muncul.
Pada stadium awal penyakit, kompleks periodik dapat ditemukan iregular dan interval
49
panjang dimana tidur dapat mengaktifkan. Perekaman saat tidur direkomendasikan pada
kasus tersangka SSPE dimana pemeriksaan saat tidak tidur tidak ditemukan kompleks
periodik. Pada stadium awal juga terdapat kompleks periodik yang berhunungan dengan
sentakan myoklonik asimetris kontralateral dengan kompleks periodik. Pada stadium
penyakit selanjutnya, kompleks periodik dapat simetris bilateral dan sinkron. (Semin
Neurol. 2003;23(1) © 2003
Thieme
Medical
Publishers.
Diunduh
dari
www.medscape.com )
- MRI : biasanya terlihat perluasan T2 di subkortikal dan periventricular white matter
dan terkadanga atropi kortikal.
Daftar Pustaka
1.
INFEKSI KONGENITAL PADA SISTEM SARAF PUSAT
Pendahuluan
Infeksi TORCH (Toxoplasma gondii, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes
simpleks) masih menjadi penyebab utama terjadinya infeksi kongenital. Walau metode
ahli laboratorium sudah mengganti titerer asli TORCH dan patogen baru telah
ditmbahkan k dalam daftar penyebab, TORCH tetap telah berkembang, namun atorch
tetap contoh yang berguna, menegaskan bahwa janin yang terinfeksi di dalam uterin,
memiliki manifestisitas klinis yang sama pada anak yang lebih besar.
Epidemiologi
Cytomegalovirus menjadi penyebab tersering pada anak-anak di negara
berkembang, menginfeksi sekitar 1% bayi baru lahir, biasanya asimtomatis. Pada anak
dan dewasa terinfeksi melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Fetus
terinfeksi dalam 40% infeksi CMV maternal primer.
Rubella sudah jarang menjadi penyebab karena perkembangan imunisasi. Rubella
menular melaui kontak dengan udara yang terinfeksi.
Virus Herpes simpleks tipe 1 dan 2 menginfeksi kira-kira 1000 bayi per tahunnya,
menyebabkan penyakit mukokutaneus atau invasif pada neonatus namun jarang
kongenital. HSV menyebar melalui kontak langsung dengan permukaan mukosa orang
yang terinfeksi.
Varicella zoster virus ( VZV ) penyebab varicella dan herpes zoster, terkadang
mengakibatkan infeksi kongenital, the fetal varicella syndrome. Ibu yang selama
kehamilan trimester pertama atau kedua terinfeksi VZV memiliki 2% kemungkinan
melahirkan bayi dengan varicella syndrome. Virus menyebar via kontak dengan orang
yang terinfeksi atau lewat udara.
Toxoplasma gondii dapat menginfeksi manusia karena mengkonsumsi makanan,
buah, sayur yang terkontaminasi dengan organisme ini. Sekitar 0,1-2% populasi dewasa
50
terinfeksi Toxoplasma Gondii pertahunnya dan infeksi dapat menyebar pada 40% fetus
dari wanita hamil dengan infeksi tersebut.
Treponema pallidum mengakibatkan sifilis kongenital akibat penyebaran infeksi
intra uterin, angka kejadiannya rendah pada hampir seluruh negara yang sudah maju.
Ibu dengan infeksi sifilis yang tidak diobati dapat mengakibatkan kematian janin,
kelahiran mati, abortus dan infeksi kongenital.
Klinis
CMV: 90% bayi baru lahir dengan infeksi CMV tidak menampakkan gejala pada saat
lahir. Bayi dengan infeksi CMV simtomatis menunjukkan retardasi perkembangan intrauterin, jaundice, hepatosplenomegali, mikrosefali, korioretinitis, dan ptekiae atau
purpura.
Rubella: katarak, retinopati, mikro-oftalmia, mikrosefali atau hilang pendengangaran tipe
sensorineural, meningoensefalitis, osteopati, pneumonitis, hepatitis, hepatosplenomegali,
trombositopenia, jaundice, miokarditis, patent ductus arteriosus, stenosis katup,
ventricular atau atrial septal defect
HSV: lesi pada kulit, korioretinitis atau katarak, mikroftalmia, mikrosefali atau
hidranensefali dan sangat menyerupai neonatus dengan fetal varicella syndrome.
VZV: bayi dengan fetal varicella syndrome menunjukkan lesi di kulit, korioretinitis,
mikroftalmia, katarak, paralisis, mikrosefali, hidrosefalus, hipoplasia tungkai, Sindrom
Horner kongenital. Sikatriks menjadi tanda khas yaitu jaringan parut dan pembentukan
kulit baru yang sesuai denagn distribusi dermatom.
Lymphotic choriomeningitis virus (LCM): korioretinopati, makrosefali, mikrosefali, lesi
kulit bulosa atau vaskular.
Arbovirus (VEE dan WNV): bayi dengan infeksi Arbovirus dapat mengalami lahir mati
atau bila bertahan menjadi mikrosefali, mikroftalmia, hidranensefali, atau lesi hemoragik
dari susunan saraf pusat. Keturunan dari wanita dengan WNV selama kehamilan dapat
terkena korioretinitis dan ensefalomalasia kistik.
Parvovirus B19: aplasia sel darah merah, anemia, gagal jantung. Infeksi berat dpat
mengakibatkan hydrops fetalis yang menyebabkan hipoperfusi serebral dan sekuele SSP )
T. gondii : jaundice, splenomegali, hepatomegali, demam, anemia, korioretinitis,
hidrosefalus atau mikrosefali dan petekiae, tombositopenia sekunder.
T. cruzi : bayi dengan Chaga’s disease kongenital meunjukkan hepatosplenomegali,
jaundice, anemia, respiratory distress, kejang, bony lesions yang mirip dengan sifilis
kongenital atau CRS.
Tabel 1.Manifestasi Klinis sesuai organisme penyebab
Organisme
Manifestasi Klinis
Cytomegalovirus
Hepatosplenomegali, jaundice, petechial
rash,
mikrosefali,
korioretinitis,
sensorineural hearing loss
51
Rubella
Herpes Simplex Viruses
Varicella zoster virus
LCMa virus
Arbovirus
Toxoplasma gondii
Trypanosoma cruzi
Trepanoma pallidum
Hepatosplenomegali, jaundice, petechial
rash,
mikrosefali,
osteopati,
koreoretinopati, katarak, sensorineural
hearing loss
Mikrosefali, katarak, vesicular skin rash,
cystic encephalomalacia, mikroftalmia
Hidranensefali, katarak, mikroftalmia,
sikatriks, hipoplasia tungkai, congenital
Horner syndrome
Hidrosefalus, mikrosefali, korioretinitis
Korioretinitis,
hidranensefali,
cystic
encephalomalacia
Hepatosplenomegali,
jaundice,
hidrosefalus, korioretinitis
Hepatosplenomegali, jaundice, kejang,
osteopati
Fase Awal : intrauterine growth retardation,
rash,
hepatosplenomegali,
jaundice,
limfadenopati,
pseudoparalisis,
osteokondritis.
Fase Lanjut : tuli sensorineural,
abnormalitas gigi, saddle nose, saber shins,
hidrosefalus
Diagnosis
Infeksi kongenital harus dicurigai pada bayi baru lahir dengan jaundice,
hepatosplenomegali, rash, kejang, makrosefali, mikrosefali, korioretinitis atau katarak.
Pada gejala khusus seperti ukuran kepala besar saat lahir, lesi pada kulit, dan adanya
penyakit jantung kongenital.
Bagan 1. Diagnosis infeksi kongenital
Bayi baru lahir dengan suspek infeksi kongenital
Makrosefali
Yes
No
52
Pemeriksaan serologis T. gondii
untuk CMV
Kultur
urine
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Bayi
Bayi dengan
Toksoplasmosis Kongenital
CMV Kongenital
dengan
Infeksi
Hasil pemeriksaan
Virus LCM
Positif
Bayi dengan
infeksi kongenital virus LCM
Toksoplasmosis Kongenital
Negatif
Hasil pemeriksaan
T. gondii
Negatif
Positif
Bayi dengan
Re-evaluasi bayi dan hasil pemeriksaan mikrobiologi.
Ambil kultur urine baru. Pertimbangkan infeksi lain
kelainan genetik dan metabolik sebagai diagnosis banding
Pemeriksaan Penunjang
-Laboratorium : dapat ditemukan pada infeksi kongenital trombositopenia, anemia,
leukopenia, direct hiperbilirubinemia, peningkatana transaminase hepar.
53
CSF dapat normal atau menunjkkan mixed pleocytosis, penurunan minimal kadar
glukosa dan peningkatan kadar protein.
-Roentgent: osteokondritis, pneumonitis
-CT Scan : Dapat dilakukan pada periode perinatal. Kalsifikasi intrakranial sebagai
penanda infeksi intra-uterin pada bayi dengan infeksi kongenital, terdapat di
periventrikular untuk CMV, rubella, LCM virus namun dapat difus pada toxoplasmosis
kongenital atau juga thalamus atau ganglia basal simetris pada infeksi HSV dan VZV.
Leukomalasia periventrikular juga sering terjadi bersama kalsifikasi intrakranial pada
bayi dengan infeksi CMV dan CRS.
-Pemeriksaan tambahan : pemeriksaan oftalmologi, audiometri, CRS, evaluasi kardiak
-Mikrobiologi : mendeteksi virus pada saliva dan urin yang diambil sampelnya pada usia
3 minggu pertama bayi dengan infeksi CMV intra uterin. Ineksi CRS dengan mendeteksi
virus pada cairan tubuh ( sekret nasal, urin, LCS) rubella ditemukan IgM spesifik virus
pada serum.
Terapi
-CMV : ganciclovir dosis 8 atau 12 mg/kgBB/hari intravena selama 6 minggu.
Congenital rubella syndrome : karena tidak dapat diberikan terapi antiviral, maka diberi
vaksinasi saat usia 12-15 bulan dan usia sekolah 4-6 tahun.
-HSV : acyclovir 60mg/kgBB/day iv dibagi dalam 3 dosis selama 21 hari.
-VZV : acyclovir 60mg/kgBB/hari iv dibagi dalam 3 dosis selama 7-14 hari.belum ada
terapi efektif dengan sindrom varicella kongenital karena dengan pemberian acyclovir
memberikan efek samping pada perkembangan otak seperti cerebral palsy, keterlambatan
perkembangan, hilang penglihatan, epilepsi.
-LCM, Arbovirus, Parvovirus B19 : Belum ada terapi efektif.
-Toksoplasmosis kongenital : pirimetamin 1mg/kgBB/hari per oral setiap 2-3 hari serta
sulfadiazin 100-200mg/kgBB/hari per poral setiap hari, Asam folat 5-10mg 3 kali dalam
seminggu diberikan bersamaan. Terapi agresif dan bedah saraf juga dapat mengurangi
kemungkinan sekuele perkembangan saraf pada infeksi toksoplasmosis intra-uterin. Pada
salah satu penelitian, 79% bayi yang mengalami perkembangan mental dalam batas
normal dan anak dengan hidrosefalus bereaksi baik pada pemasangan shunt.
-Trypanosoma cruzi : Nifurtimox atau benznidazole 7 mg / kgBB selama 60 hari
-Treponema pallidum : penisilin G 50.000 U/kg iv setiap 12 jam saat minggu pertama
kehidupan kemudian setiap 8 jam, setelahnya dengan total 10 hari. Pilihan lain penisilin
prokain G im dengan dosis 50.000 U/kg sekali sehari selama 10 hari.
Daftar Pustaka
Singer H S, Kossoff E H, et all. “Treatment of Pediatric Neurologic Disorders”.
Congenital Infectious and the Nervous System. Pg 279-86. 2005.
54
ABSES OTAK PADA ANAK
Puji Pinta O. Sinurat
Departemen Neurologi FK-USU/ RSUP H. Adam Malik Medan
Pendahuluan
Abses otak merupakan timbunan nanah akibat inflamasi dan penumpukan
material penginfeksi yang terlokalisasi di dalam jaringan otak, baik disertai pembentukan
kapsul atau tidak.1 Meskipun jarang, abses otak pada anak merupakan keadaan yang
serius dan dapat mengancam kehidupan. Penyebab infeksi yang paling sering adalah
bakteri dan virus, akan tetapi meskipun jarang; parasit, jamur, dan jenis kuman lain juga
dapat menginfeksi.2,3,4
Sumber infeksi bisa berasal dari infeksi pada struktur yang berdekatan (seperti
pada otitis media kronik, infeksi gigi, mastoiditis atau sinusitis), secara sekunder akibat
perluasan hematogen dari tempat yang jauh (terutama pada pasien dengan penyakit
jantung kongenital sianotik), paska trauma, operasi tengkorak atau paska meningitis
(jarang).3,5,6 Berdasarkan lokasi abses di otak dapat diperkirakan kemungkinan lokasi lesi
primer, misalnya infeksi telinga tengah menyebabkan lesi di fossa kranii media dan
posterior, penyakit jantung kongenital dengan pirau dari kanan ke kiri sering
menyebabkan abses pada area distribusi arteri serebri media, dan infeksi sinus frontalis
dan ethmoidalis biasanya di sinus-sinus subdural.7 Otitis media kronik dan mastoiditis
umumnya meluas ke lobus temporalis inferior dan serebellum. Infeksi sinus frontal atau
ethmoid dan infeksi gigi ke lobus frontalis.3 Sedikitnya 15% kasus tidak diketahui sumber
infeksinya (Cyptogenic).3,4,7 Computerized tomography (CT) dan magnetic resonance
imaging (MRI) scan merupakan alat pemeriksaan penting yang mampu mendiagnosa
infeksi secara akurat.1-8
Hal yang sangat penting dalam penanganan abses otak adalah pemilihan
antimikroba yang tepat, sesuai dan mempunyai daya penetrasi yang baik ke otak. Abses
otak terutama pada fase serebritis dini dapat berespon terhadap terapi antimikroba tanpa
memerlukan drainase bedah. Dengan adanya antimikroba dan meningkatnya ketersediaan
imaging saat ini, angka kematian akibat abses otak telah menurun hingga < 5-15%.
Tingginya angka kematian (hingga > 80%) erat kaitannya dengan rupturnya abses.3
Definisi
Abses otak adalah terdapatnya timbunan nanah yang terlokalisasi dalam jaringan
otak, baik itu disertai pembentukan kapsul ataupun tidak.1
Epidemiologi
Insidens suatu abses diperkirakan berkisar antara 0,3 – 1,3 per 100.000
penduduk pertahun. Lebih sering mengenai laki-laki dari pada wanita dengan
perbandingan 3:1. Dapat terjadi sepanjang masa usia anak tetapi paling sering pada
usia 4 – 8 tahun. Lebih kurang 80% abses berlokasi di hemisfer serebri baik di lobus
frontal, parietal dan temporal dan sisanya 20% kasus di lobus occipital, serebellum
55
dan batang otak. Umumnya tunggal tetapi 30% multiple dan melibatkan lebih dari satu
lobus otak.5
Di USA, sebelum munculnya pandemik AIDS diperkirakan jumlah kasus 1
dalam 10.000 pasien yang datang ke rumah sakit, atau 1500 – 2500 kasus setiap
tahunnya. Prevalensinya pada pasien AIDS lebih tinggi, sehingga angka rata-rata
secara keseluruhan menjadi meningkat. Frekuensi abses yang disebabkan oleh jamur
telah meningkat akibat seringnya penggunaan antimikroba berspektrum luas, obat-obat
immunosupressif dan kortikosteroid.6,7
Dengan diperkenalkannya antimikroba dan ketersediaan studi imejing seperti CT
scan dan MRI, angka kematian telah menurun hingga kurang dari 5-15%. Rupturnya
abses menyebabkan meningkatnya angka kematian higga 80%. Sekuele pada pasien
yang selamat bervariasi dari 20-70% tergantung pada seberapa cepat diagnose
ditegakkan dan pemberian antibiotika.3,5
Sutomenggolo dkk selama tahun 1986 – 1989 telah merawat sejumlah 20
pasien anak berusia antara 1- 12 tahun di RSCM, dan sejumlah 45 pasien berusia 0– 10
tahun di RSUD Dr. Soetomo Surabaya selama periode 1989 – 1994 di mana dilaporkan
sebanyak 24% meninggal dan 58% menderita gejala sisa. Ditemukan insidens yang
lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita (3 : 1). 1
Etiologi
Organisme penyebab yang paling sering sesuai dengan urutan frekuensinya
adalah streptokokus anaerobik dan mikroaerophilik, Fusobacterium spesies, streptokokus
betahemolitikus, staphilokokus aureus dan pneumokokus. Aktinomises (Gram positif),
Bakterioides dan Gram negatif bentuk batang lainnnya terutama spesies Haemophilus
kelihatannya lebih jarang. Meskipun lebih jarang, Aspergillus dan Nocardia atau
protozoa seperti Toxoplasma menimbulkan abses pada host nonimmunocompromised.3
Keadaan tertentu yang dihubungkan dengan organisme penyebab abses otak antara
lain:3
 Infeksi sinus dan gigi : Streptokokus aerobik dan anaerobik, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium,
Stapilokokus aureus, Enterobakteriaseae.
 Infeksi pulmoner : Streptokokus aerobik dan anaerobic, basil gram negatif
anaerobik (seperti Prevotella, Porphyromonas, Bakterioides), Fusobakterium,
Aktinomises, Nokardia.
 Penyakit Jantung Kongenital : Streptokokus aerobik dan mikroaeropilik,
Stapilokokus aureus.
 Trauma tembus : Stapilokokus aureus, Streptokokus aerobik, Enterobakteriaseae,
klostridium.
 Transplantasi : basil gram negatif aerobik, Aspergillus, Kandida, Mucorales.
 Infeksi HIV : T. Gondii, Mycobacterium, Cryptococcus, Nokardia, Listeria
monocytogenes.
56
Patogenesis 2
Dalam kejadian abses otak selalu dijumpai adanya keadaan patologik di tempat
yang berdekatan ataupun di tempat jauh. Menurut pengalaman Ersahin dkk, tahun
1944 (cit. Maria BL), abses yang disebabkan oleh meningitis terjadi pada 36% kasus,
otitis 27%, trauma kepala 16% dan penyakit jantung kongenital 9%. Abses multiple
terjadi pada 29% anak-anak. Hasil studi Children’s Hospital Boston melaporkan
bahwa penyakit jantung kongenital merupakan faktor predisposisi yang paling sering
antara tahun 1981 –2000 dan tahun 1945-1980(cit. Maria BL). Paling sedikit
sedikitnya 15% kasus abses serebri tidak diketahui sumber infeksinya (cryptogenic).
Patofisiologi
Abses otak sering terjadi bila bakteri atau jamur menginfeksi bagian dari otak,
dan sebagai respon terjadilah inflamasi. Sel-sel otak yang terinfeksi, sel-sel darah putih
dan mikroorganisme yang hidup maupun yang sudah mati berkumpul dalam suatu area
yang terbatas di otak. Area ini menjadi tertutup oleh suatu membran yang terbentuk
disekelilingnya dan membentuk suatu massa. Adakalanya respon immun ini dapat
melindungi otak dengan cara mengisolasi infeksi, namun dapat juga lebih merugikan.
Otak membengkak oleh karena inflamasi, dan massa dapat menekan jaringan otak
yang lembut. Material yang terinfeksi dapat memblok pembuluh darah otak untuk
selanjutnya merusak jaringan otak yang menyebabkan kematian sel dan menambah sel
yang mengalami pembengkakan. Multipel abses jarang terjadi kecuali pada pasienpasien immunocompromised.
Infeksi dapat memasuki kompartemen intrakranial melalui 3 cara yakni: 3
1. Contiguous Suppurative Focus (45-50% kasus)
Perluasan langsung dapat terjadi melalui area nekrotik dari osteomielitis di dinding
posterior sinus frontalis, sinus spenoidalis dan ethmoidalis. Perluasan langsung ini
lebih sering berhubungan dengan infeksi otitis kronik dan mastoiditis dibandingkan
dengan sinusitis. Infeksi gigi dapat meluas ke ruang intrakranial melalui perluasan
langsung atau secara hematogen. Otitis media kronik dan mastoiditis umumnya meluas
ke lobus temporalis inferior dan serebellum, infeksi sinus frontal atau ethmoid dan
infeksi gigi ke lobus frontalis.
2.Trauma (10%kasus)
Trauma yang menyebabkan fraktur tengkorak terbuka memungkinkan organisme
memasuki otak secara langsung. Abses otak dapat juga terjadi sebagai komplikasi operasi
intracranial, benda asing, peluru dan serpihannya.
3. Perluasan hematogen dari infeksi fokal di tempat jauh . (25% kasus)
Perluasan dengan cara ini umumnya lebih sering multiple dan multilokulated dan
sering dijumpai pada area distribusi dari arteri serebri media. Sumber infeksi yang
sering antara lain berhubungan dengan penyakit jantung sianotik, endokarditis, infeksi
paru (misalnya abses, empyema, bronkiektasis), infeksi kulit, infeksi abdomen dan
57
pelvis, neutropenia, transplantasi, dilatasi esophageal, penggunaan obat secara injeksi
dan infeksi HIV.
Patologi
Secara histologi terjadinya abses dapat dibagi menjadi empat stadium yaitu: 8
1.Stadium Serebritis Dini (The Early Cerebritis Stage)
Serebritis berarti inflamasi dari serebrum sebagai akibat dari infeksi permulaan dari
pembentukan abses otak. Terjadi infeksi dari parenkim otak dengan edema white
matter di sekelilingnya. Secara patologi terlihat suatu massa tidak berkapsul dengan
kongesti pembuluh darah, ptechial hemorrhage, dan edema. Dijumpai fokus nekrotik
yang tersebar (scattered necrotic foci) dengan microscopic petechial haemorrhages,
namun tidak dijumpai adanya jaringan otak yang besar. Stadium ini terjadi pada hari
pertama sampai ke tiga.
2. Stadium Serebritis Lanjut (The Late Cerebritis Stage)
Reaksi terhadap bahan- bahan infeksius berlanjut menjadi late cerebritis. Infeksi
menjadi lebih fokal dengan daerah nekrosis. Pembuluh darah mengelilingi proliferasi
infeksi. Bagian tengah dari infeksi mengalami nekrosis, dikelilingi ole sel-sel inflamasi
berbentuk cincin, makrofag, jaringan granulasi dan fibroblast. Stadium ini berlangsung
pada hari ke 4-9.
3. Stadium Pembentukan Kapsul Dini (The Early Capsule Stage).
Dengan mulainya stadium pembentukan kapsul, kollagen dan retikulum
membentuk kapsul berbatas jelas. Bagian inti tengah terdiri dari jaringan nekrotik dan
debris inflamasi. Kapsul semakin menebal dengan bertambahnya kollagen. Dengan
pembetukan kapsul berbatas tegas, efek massa dan edema yang mengelilinginya mulai
berkurang. Selanjutnya gliosis disekitar pinggir abses mempertegas area ini. Stadium
ini berlangsung hari ke 10-13.
4. Stadium Pembentukan Kapsul Lanjut (The Late Capsule Stage).
Kapsul yang matang dan tebal mengelilingi bagian tengah yang berongga yang
mengandung sel debris dan sel-sel polimorfonuklear. Secara patologi dinding dari
kapsul abses disusun dari 3 lapisan yaitu lapisan sebelah dalam merupakan jaringan
granulasi, lapisan bagian tengah yang relatif tebal terdiri dari kollagen dan lapisan
paling luar merupakan jaringan gliotik. Lapisan kollagen memegang peranan penting
dalam pengkapsulan jaringan otak yang terinfeksi, dan ini berasal dari fibroblast.
Stadium ini terjadi setelah hari ke 14 ke atas dan dapat berlangsung selama berbulanbulan.
Faktor-faktor yang berperan mempengaruhi kecepatan dan kematangan
pembentukan abses otak antara lain organisme penyebab, asal infeksi (ekstensi
langsung atau metastasis), mekanisme pertahanan penderita, pemberian kortikosterod
dan terapi antibiotika.8
Manifestasi Klinik
58
Manifestasi klinik yang ditimbulkan oleh abses otak merupakan akibat
peningkatan tekanan intrakranial akibat lesi (seperti nyeri kepala, muntah, konfusi,
koma), infeksi (demzam, lesu dsb) dan defisit neurologi fokal (hemiparese, afasia dsb).
Gejala yang paling sering muncul adalah nyeri , kepala, drawsiness, konfusi, seizure,
hemiparese atau gangguan bicara bersama dengan demam dengan progresifitas yang
cepat.7 Gejala dan tanda tergantung pada lokasi abses di otak. Suatu abses di
serebellum misalnya dapat menyebabkan keluhan tambahan akibat komporessi batang
otak dan hidrosefalus. Pada kasus tertentu kadang-kadang pemeriksaan neurologi
menunjukkan adanya kaku kuduk sehingga menimbulkan dugaan suatu meningitis.
Trias gejala berupa demam, nyeri kepala dan tanda neurologik fokal adalah besar
kemungkinan suatu abses otak.7
Pada fase awal infeksi dapat bermanifestasi sebagai bentuk ensefalitis yang tidak
spesifik (seperti demam subferis, nyeri kepala dan letargi) disertai dengan tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.3,5 Papiledema muncul pada anak-anak dan bulging
fontanel bisa muncul pada bayi. Sesuai dengan progresifitas perkembangan abses yakni
akibat proses inflamasi, gejala-gejala neurologik yang pada awalnya minimal atau tidak
ada sama sekali mulai muncul seperti muntah, nyeri kepala hebat, kejang, papiledema,
deficit neurologis fokal (hemiparese), bahkan koma bisa terjadi.3,5 Pada kira-kira dua per
tiga kasus, gejala-gejala muncul dalam 2 minggu atau kurang. Rentang perjalanan klinik
mulai dari perjalanan lambat hingga fulminan.3
Gejala yang muncul terjadi akibat ukuran dan lokasi lesi yang menimbulkan desak
ruang. Kurang dari 50% pasien muncul triad gejala yakni demam, nyeri kepala dan
defisit neurologik fokal. Gejala dan tanda yang sering muncul antara lain nyeri kepala
(70%), perubahan status mental (65%), defisit neurologik fokal (65%), demam 50%,
seizure (25-35%), nausea dan muntah (40%), kaku kuduk (25%) dan papil edema
(25%). Perburukan nyeri kepala yang tiba-tiba diikuti dengan tanda meningismus
sering dihubungkan dengan rupturnya abses.3
Tanda neurologik fokal sebagai akibat gangguan fungsi langsung dari abses sesuai
dengan lokasinya di otak antara lain:3
 Abses Serebellar : Nystagmus, ataksia, muntah, dan dismetria.
 Abses Batang Otak : Facial weakness, nyeri kepala, demam, muntah, disphagia,
dan hemiparesis.
 Abses Frontal : Nyeri kepala, Inattensi, drowsiness, perubahan status mental,
motor speech disorder, dan hemiparese unilateral.
 Abses Lobus Temporalis : nyeri kepala, afasia ipsilateral (bila di hemisfer
dominan), dan gangguan visus.
Diagnosis
 Laboratorium : Jumlah leukosit darah tepi bisa normal atau meningkat. : Pada dua
pertiga kasus dijumpai peningkatan sedimentasi eritrosit. Kadar natrium serum
dapat menurun sebagai akibat produksi Antidiuretik hormon yang tidak sesuai.
59
Jumlah platelet dapat tinggi atau rendah. Lebih kurang 10% kasus dilaporkan
kultur darah positif.
Pemeriksaan CSF menunjukkan hasil yang bervariasi, leukosit dan protein bisa
sedikit meningkat atau normal. Kadar glukosa sedikit rendah dan kultur CSF
jarang positif. Bila terjadi ruptur ruptur abses ke dalam cairan serebrospinal,
jumlah leukosit umumnya meningkat hingga 100.000/ul atau lebih. Banyak sel
eritrosit umumnya ditemukan pada saat itu, dan kadar asam laktat cairan
serebrospinal meningkat > 500 mg. Namun karena hasil pemeriksaan CSF tidak
terlalu bermanfaat dan prosedur Lumbal Punksi dapat mengakibatkan herniasi
tonsil serebellar maka prosedur ini tidak dilakukan pada anak yang diduga
mengalami suatu abses di otak.
 Gambaran EEG kadang-kadang menunjukkan rekaman voltase tinggi dengan
aktivitas lambat. Gambaran ini tidak spesifik dan jarang mempunyai nilai
diagnostik.
 Studi imejing
Pemeriksaan CT scan (sebaiknya dengan kontras) merupakan pemeriksaan utama
dalam menegakkan diagnosa dan follow-up perawatan untuk memonitor perbaikan
setelah pengobatan. Pada fase permulaan inflamasi (yang dikenal sebagai
cerebriris), lesi immature tidak mempunyai kapsul dan sulit membedakannya dari
space-occupying lesion atau infark di otak. Dalam 4-5 hari inflamasi dan jaringan
otak yang telah rusak dikelilingi oleh kapsul, di mana setelah penyuntikan zat
kontras, CT scan secara khas menunjukkan rongga abses sebagai suatu sentral
yang hypodense dengan ring enhancement. 3,5
Kebanyakan peneliti menganggap MRI sebagai suatu metode diagnostik yang
utama dalam mendiagnosa abses otak, karena dapat menegakkan diagnosa lebih
akurat dan follow-up lesi dengan sangat baikdi mana sensitivitas dan
spesifisitasnya lebih tinggi. Contrast enhancement dengan gadolinium
diethylenetriaminepentaacetic acid membantu membedakan abses, ring
enhancement dan edema serebri disekelilingnya. Pada T1-weighted kapsul abses
enhance dan pada T2-weighted dapat menunjukkan zona yang edema disekeliling
abses.
Dengan adanya CT scan dan MRI angka kematian telah menurun hingga 90%.
Gambar 1 : Abses otak
60
Dikutip dari : Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL:
HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic200.htm
Gambar 2 : Gambaran MRI dari suatu abses otak
Dikutip dari : Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL:
HYPERLINK http://www.emedicine.com/med/topic200.htm
Gambar 3 : Gambaran CT scan suatu abses otak multipel
61
Gambar CT scan menunjukkan multiple loculated cystic lesion berdiameter 2-3
cm (dark areas with rims of enhancement). Pada gambar menunjukkan distensi
dari fossa posterior dengan midline shift ke kanan
Dikutip dari: Pascua,LU. Fever and Lethargy in an Infant Radiology cases in
Pediatric Emergency Medicine. Vol 5.9
Pengobatan
Pengobatan abses otak harus mencakup pencarian sumber infeksi dan
memerlukan kerja sama antara ahli penyakit infeksi, ahli saraf, ahli neuroradiologi, ahli
mikrobiologi, dan kadang-kadang ahli THT, ahli bedah, dokter gigi atau ahli bedah
maksillar.3,5 Pengobatan terdiri dari tindakan bedah dan konservatif. Pembedahan
dapat berupa aspirasi atau eksisi.
Tujuan pengobatan adalah: 1. mengurangi efek massa bila ada, 2. identifikasi
agen patologis dengan kultur, 3. kontrol dan eradikasi infeksi, 4. minimalisasi
hilangnya fungsi neurologis dan 5. terapi supportif sistemik.10
Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan pendekatan terapi
yang sesuai antara lain: 3
o Terapi antimikroba umumnya berespon baik terhadap abses berukuran < 2.5 cm,
sedangkan abses berukuran > 2.5 cm tidak.
o
Hal penting dalam perencanaan terapi antimikroba yang sesuai adalah
menegakkan diagnosa berdasarkan mikrobiologi.
o Lamanya gejala sebelum diagnosa ditegakkan merupakan faktor yang penting.
Abses bakteri di otak didahului oleh infark dan serebritis. Terapi antibiotik pada
stadium awal dapat mencegah tahap perkembangan dari stadium serebritis
menjadi abses bila tidak terbukti perluasan lesi.
o Pasien-pasien yang mengalami gejala < 1 minggu lebih berespon baik terhadap
terapi obat-obatan dari pada dengan gejala yang sudah berlangsung > 1 minggu.
o Pasien-pasien yang diobati dengan terapi obat-obatan saja biasanya
menunjukkan perkembangan klinik sebelum perubahan pada gambaran CT scan
terlihat.
o CT scan dan MRI harus terbukti menunjukkan penurunan ukuran lesi, edema
yang menyertai dan ring enhancementnya. Perbaikan pada CT scan umumnya
terlihat dalam 1-4 minggu (rata-rata 2.5minggu) dan resolusi yang komplit
dalam 1-11 bulan (rata-rata 3.5 bulan). Pemeriksaan scanning ulang paling
sedikit sekali seminggu penting dalam memonitor respon terapi.
o Pengobatan abses otak dengan antimikroba umumnya lama (6-8 minggu) oleh
karena itu diperlukan waktu yang lama untuk repair jaringan otak dan untuk
menutupnya rongga abses. Pada permulaannya diberikan secara intravena diikuti
2-6 bulan dengan terapi oral yang sesuai. Pemberian yang lebih singkat (3-4
minggu) mungkin cukup pada pasien yang menjalani drainase surgikal.
62
o
Oleh karena sulitnya berbagai antimikroba menembus sawar darah otak, pilihan
antibiotik terbatas dan sering memerlukan dosis maksimal.
o
Pemberian cairan intra vena biasanya dibatasi hingga 1500 ml/m2 untuk
minamlisasi edema serebri. 5
Pengobatan Konservatif
Antibiotika
Terapi antimikroba empirik harus bersifat komprehensif dan harus mampu
mencakup keseluruhan kuman patogen secara klinik. Pemberian antibiotika merupakan
pengobatan utama dan harus segera dimulai setelah lebih dahulu mengambil aspirat
untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas(treatment approach by eppocrates,internet).
Bila hasil kultur dan sensitivitas sudah diperoleh maka jenis antibiotic selanjutnya harus
disesuaikan.5,10
Pada fase cerebritis dini atau kasus dengan abses multiple dapat berespon
terhadap antibiotik saja tanpa memerlukan operasi.2 Alasan pemilihan Meropenem
sebagai monoterapi adalah karena memberi hasil yang baik terhadap basil gram negatif,
anaerob, staphylokokus, dan streptokokus, termasuk pneumokokkus yang resisten
antibiotik.5
Terapi empirik antimikroba harus didasarkan pada agen penyebab menurut
predisposisi yang paling mungkin, sumber infeksi primer dan perkiraan patogenesis
pembentukan abses. Lama pemberian antibiotik tergantung jenis organisme dan respon
pengobatan, biasanya 4 – 6 minggu.5
Begitu hasil kultur diperoleh dan organisme diisolasi, terapi empirik diberikan untuk
pengobatan bakteri secara spesifik antara lain:3
o Untuk streptokokus : Pnc G dosis tinggi atau sepalosforin generasi ke tiga
(misalnya cefotaksim, seftriakson). Untuk mencakup kuman anerob yang
resisten penisillin (seperti basil gram negatif) ditambahkan metronidazole.
o Bila curiga disebabkan oleh S. aureus (setelah neurosurgery atau trauma) dapat
diberikan Nafcillin atau vankomisin (bila resisten terhadap metisillin atau alergi
penicillin)
o Untuk Pseudomonas aeruginosa : Cefepim atau ceftazidim
o Pasien dengan infeksi HIV mungkin membutuhkan terapi untuk Toxoplasmosis.
o Antibiotik spesifik:
o Penisillin mampu menembus ke dalam rongga abses secara baik dan aktif
melawan organisme anaerob maupun aerob yang menghasilkan non –
beta–lactamase.
o Klorampenikol mampu menembus ke dalam ruang intrakranial dengan
baik dan juga aktif terhadap spesies Haemophilus, S pneumoniae, dan
organisme anaerob. Namun penggunaan di kebanyakan senter di USA
telah berkurang secara dramatis oleh karena efikasinya dan efek obat
63
antimikroba kombinasi yang kurang toksik (seperti sefotaksim ditambah
metronidazol).
o Metronidazol menembus ke dalam susunan saraf pusat dengan baik dan
tidak dipengaruhi oleh terapi steroid secara bersama-sama, namun hanya
aktif terhadap bakteri anaerob sedangkan terhadap kuman anaerob gram
positif bentuk kokus kurang optimal.
o Sefalosporin generasi ke tiga (seperti sefotaksim, seftriakson) umumnya
adekuat terhadap organisme aerobik gram negatif. Untuk Pseudomonas
dipilih sefalosporin baik ceftazidim maupun cefepim.
o Aminoglikosida kurang mampu menembus ke dalam SSP dan relatif
kurang aktif oleh karena kondisi abses yang anaerob dan bersifat asam.
o Penisilin yang resisten terhadap Beta-lactamase (seperti, oxacillin,
methicillin, nafcillin) mampu mencakup S aureus yang sensitif
methicillin, namun penetrasinya kurang dibandingkan dengan penicillin;
penambahan rifampicin menunjukkan hasil yang baik pada meningitis
staphylococcal.
o Vancomycin paling efektif terhadap methicillin-resistant S aureus dan
Staphylococcus epidermidis dan juga streptokokus aerobik dan anaerobik
dan spesies klostridium.
o Kebanyakan patogen anaerob sensitive terhadap penisillin kecuali
terhadap kelompok Bacteroides fragilis beberapa strain dari spesies
Prevotella, Porphyromonas dan Fusobacterium. Oleh karena organisme
yang predominan pada abses otak adalah organisme anaerob yang
resisten penisillin, maka sebagai terapi empirik harus memberikan juga
obat yang efektif terhadapnya serta mampu menembus sawar darah otak
seperti metronidazol, klorampenikol, ticarcillin dengan clavulanic acid,
imipenem, atau meropenem.
o Pengobatan dengan penisillin sebaiknya ditambahkan dengan
metronidazol untuk mencakup streptokokus aerobik dan microaerophilic.
o Pemberian beta-lactamase–resistant penicillin atau vancomycin (jika
ditemukan
methicillin-resistant
staphylococci)
umumnya
direkomendasikan untuk pengobatan S aureus.
o Amphotericin B diberikan untuk infeksi Candida, Cryptococcus, and
Mucorales ; voriconazole untuk infeksi Aspergillus and P boydii.
o
Infeksi T gondii diobati dengan pyrimethamine dan sulfadiazine
Pemilihan kombinasi empirik terapi harus mampu mencakup bakteri patogen baik
aerobik maupun anaerobik, dengan predisposisi sebagai berikut: 3,5
 Otitis, mastoiditis, dan sinusitis : kombinasi metronidazol dengan sefalosporin
generasi ketiga.
 Infeksi gigi : Penisillin dengan metronidazol
64

Infeksi pulmoner: Penisillin dengan metronidazol dan sulfonamid (untuk
infeksi Nocardia)
 Penyakit jantung kongenital : sefalosporin generasi ketiga dengan atau tanpa
ampisillin.
 Endokarditis: Vancomycin dengan gentamisin
 Penyalahgunaan obat secara intravena : Nafcillin atau vancomycin dengan
cefepim atau ceftazidim.
 Trauma: Vancomycin dengan sefalosporin generasi ketiga.
 Paskaoperasi :Vancomycin, cefepim atau ceftazidim, dan metronidazol.
 Komplikasi meningitis pada infant : Cefotaxim, ampicillin, dan vancomycin
 Bila tidak ada keadaan predisposisi : Metronidazol, vancomycin, atau
sefalosporin generasi ketiga
Antikonvulsan
Pemberian obat antikonvulsa sebagai terapi propilaksis kejang dianjurkan pada
kasus abses serebri. Pilihan pertama adalah phenytoin, carbamazepin dan valproate.
Levetiracetam semakin meningkat penggunaannya karena mempunyai efek samping
yang lebih dapat diterima.10
Kortikosteroid 10
Pemberian deksametason bertujuan untuk mengurangi edema vasogenik yang
terjadi pada abses serebri. Steroid hanya diberikan bila dijumpai efek massa yang
menyebabkan manifestasi neurologis fokal dan penurunan kesadaran atau kondisi
dekompensasi akut sebagai life saving. Sebaiknya bila telah terjadi perbaikan kesadaran
dan status neurologi, pemberian steroid harus segera dihentikan secara berangsur-angsur.
(buku ajar neurologi anak). Pada pasien dengan kondisi stabil hindari penggunaannya
oleh karena diyakini bahwa kortikosteroid dapat menurunkan respon immune dan
pemulihan blood-brain barrier dengan menurunkan penetrasi antimikroba ke SSP.
Terapi Pembedahan
Pembedahan dianjurkan bila diameter abses > 2,5 cm, abses mengandung gas,
multilokulated, lokasi di fossa posterior, atau teridentifikasi adanya jamur.5
o Drainase surgikal memberikan hasil terapi yang paling optimal. Prosedur ini
dilakukan dengan melakukan aspirasi melalui suatu bur hole dan eksisi komplit
setelah kraniotomi. Aspirasi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan
dengan prosedur stereotaktik dengan dipandu CT atau MRI scan. Untuk hasil
yang optimal prosedur dilakukan sebelum diberikan terapi antibiotik. Untuk
pengobatan abses otak yang ruptur ke dalam ventrikel dilakukan drainase
ventrikuler dikombinasi dengan pemberian antimikroba secara intravena atau
intratekal atau kedua-duanya.5 Dengan diperkenalkannya CT-guided needle
aspiration dapat memberikan informasi penting.3
Algoritme penanganan abses otak
65
Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of
Water Hall, SUNY Upstate Medical University. Available from : URL:
HYPERLINK https://online.epocrates.com
Algoritme penanganan abses otak
Apakah ada efek massa sat ini atau membakat?
Ya
Tidak
-
Operasi segera dengan
tujuan evakuasi abses,
spesimen untuk kultur dan
mengurangi efek massa
Adakah lesi yang dapat
diakses operasi dengan
dimensi
terbesarnya>2,5cm
66
Ya
Tidak
Operasi untuk
evakuasi dan
kultur
Diagnosis
belum pasti?
Operasi ( kraniotomi
atau biopsi stereotaktik
untuk biopsi/kultur)
Terapi
medikamentosa
Adakah >1 lesi membesar walau
dalam pengobatan antibiotik?
Ya
Operasi, evakuasi
lesi refrakter
Tidak
Lanjutkan pengobatan,
serial imaging
Terapi Medikamentosa : 3
Contoh Obat dan Dosis (Itzhak Brook internet). :
- Ampicillin (Marcillin, Omnipen) : 300-400 mg/kg/hari IV
- Cefotaxime (Claforan) : 200 mg/kg/hari IV
- Ceftriaxone (Rocephin) : 100 mg/kg/hari IV dalam dosis terbagi setiap 4-6jam
- Ceftazidime (Fortaz, Ceptaz, Tazidime) : 50 mg/kg / 8 jamIV
- Chloramphenicol (Chloromycetin) : 80-100 mg/kg/hari IV
- Imipenem + cilastatin (Primaxin) : - <12 tahun : Not established
- >12 tahun: 15-25 mg/kg/hari IV
N dekompensasi neurologik
- Meropenem (Merrem) :
67
- Preterm:
20 mg/kg/dosis/12 jamIV ; Untuk pengobatan terhadap organisme
dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 40 mg/kg/dose/ 12 jam IV.
- <3 bulan: 20 mg/kg/dosis IV/ 8 jam; Untuk pengobatan terhadap organisme
dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat ditingkatkan
menjadi 40 mg/kg/dose/
- >3 bulan, BB <50 kg: 40 mg/kg/dosis/ 8 jam IV
BB >50 kg: 1 g IV setiap 8 jam; Untuk pengobatan terhadap
organisme dengan tingkat resistensi yang tinggi, dosis dapat
ditingkatkan menjadi 2 g IV/ 8 jam.
- Metronidazole (Flagyl) : 30 mg/kg/hari IV
- Vancomycin (Vancocin) : 40 mg/kg/hari IV setiap 6-8 jam
- Cefepime (Maxipime) : 50 mg/kg / 8 jam IV
- Dexamethasone (Decadron, Dexasone) : Loading dose: 1-2 mg/kg/dosis IV satu kali
pemberian. Dosis pemeliharaan : 1-1.5 mg/kg/hari IV. Tidak boleh melebihi 16
mg/hari dalam dosis terbagi IV setiap 4-6jam selama 5 hari.; taper dose selama 5 hari
kemudian stop(Itzhak Brook internet).
Prognosis
Angka kematian akibat abses otak telah menurun hingga lebih kurang 5–10%
sejak penggunaan CT atau MRI scan dan antibiotika yang sesuai serta pembedahan.
Beberapa faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian antara lain adalah abses
mutipel, koma dan tidak ada fasilitas CT scan. Sekuele jangka panjang terjadi pada ±
50% kasus yang hidup antara lain hemiparesis, kejang, hydrocephalus, gangguan saraf
kranial, dan perubahan tingkah laku dan problem belajar.
Prognosa buruk berhubungan dengan terlambatnya diagnose atau salah diagnose, abses
multiple dan lokasinya dalam, rupture abses ke ventrikel, koma, terapi tidak adekuat, dan
organisme spesifik (Aspergillus species, jamur lain, Pseudomonas species).1,3
Daftar Pustaka
1.Soetomenggolo T.S., Ismael, S. Buku Ajar Neurologi Anak. 2nd. pp 339-375.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.
2.Maria B.L. and Bale, J F. 2006. Infections of the Nervous System.In : Menkes,
3.J.H, Sarnat, H.B. and Maria, B.L.Child Neurology. 7 th ed. pp 433-555. Lippincot
Williams & Wilkins. Philadelphia.
4.Brook, I. 2008. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com/med/topic200.htm
5.Kastenbauer, S., Pfister, H-W, Wispelwey, B. and Scheld, W.M. 2004. Brain Abscess.
In: Scheld, W.M., Whitley, R.J., and Marra, C.M. Infections of The Central Nervous
System. 3 rd ed. pp 479-521. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia.
6.Haslam, R.H.A. Brain Abscess. In : Berhman, Kliegman and Jenson. Nelson Textbook
of Pediatrics. 17th ed.
68
7.Nadalo, L. A. Brain Abscess. Available from : URL: HYPERLINK
http://www.emedicine.com.
8.Pascua,LU. Fever and Lethargy in an Infant Radiology cases in Pediatric Emergency
Medicine.Vol 5.
Dikutip dari : Brain Abscess Treatment Aprroach. From the collection of Water Hall,
SUNY Upstate Medical University. Available from : URL: HYPERLINK
https://online.epocrates.com
INFEKSI HIV PADA ANAK
Pendahuluan
Data WHO menunjukkan sekitar 7500 orang ( 100 diantaranya anak-anak) terinfeksi
HIV-1 setiap harinya sesuai dengan kisaran 3 juta orang terinfeksi HIV-1 dalam tahun
2007. Lebih dari 20 juta bayi, anak, dan dewasa telah meninggal sejak kasus AIDS
ditemukan pertama kali pada tahun 1981. Kini sekitar 90 persen infeksi baru HIV-1
terjadi pada penduduk Asia dan Afrika dan jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS
di seluruh dunia masih sangat besar, sekitar 33 juta pada tahun 2007.
Bayi yang terineksi HIV-1 secara vertikal dapat simtomatis setelah 3 bulan awal
masa kehidupan, manifestasinya berupa hepatomegali, limfadenopati, gagal tumbuh,
pneumonitis interstisial, infeksi oportunistik ( terutama Pneumocystis jiroveci – dulunya
Pneumocytis carinii atau cytomegalovirus) atau penyakit saraf lainnya. Pada beberapa
anak, infeksi HIV-1 dapat tetap dorman, dan 10 tahun atau lebih dapat relaps sebelum
gejala infeksi HIV-1 muncul.
Diagnosis
Menurut American Academy of Pediatrics, 2008, transfer pasif melalui antibodi ibu
menyulitkan deteksi infeksi HIV-1 pada 18 bulan pertama setelah anak lahir dan 30
persen atau lebih anak yang terpapar virus tidak terdeksi virus dalam serumnya. Maka
pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA atau RNA HI-1 menjadi penting. Infeksi
HIV-1 pada bayi yang terpapar ( sebagai contoh, bayi dengan antibodi positif sesaat
setelah lahir tau bayi yang lahir dari seorang ibu yang positif HIV-1) dapat diperiksa
dengan PCR serial dengan tes pertama segera setelah kelahiran, tes kedua dilakukan saat
usia 1 atau 2 bulan, tes ketiga antara usia 3-6 tahun. Bila dua sampel positif HIV-1,
maka bayi dinggap terinfeksi, sedangkan dua hasil tes negatif menyatakan tidak
terinfeksi.
Pemeriksaan enzyme linked immunosorbent dan Western blot dilakukan pada anak
dan remaja. Pencatatan PCR transkiptase terbalik dari banyaknya virus sebagai
pedoman pemberian terapi pada bayi, anak dan remaja yang terinfeksi.
LCS biasanya normal walau EEG dapat menunjukkan perlambatan difus. Pada
neuro imaging, menunjukkan atrofi korteks pada infeksi vertikal maupun horizontal.
Kalsifikasi pada basal gangglia atau substansia alba frontal. Paling banyak pada MRI
69
dengan infeksi HIV vertickal. CT scan, MRI dan LCS atau darah dapat menunjukkan
infeksi sekunder dan komplikasi neoplastik.
Tatalaksana
Kombinasi terapi antiretroviral dan terapi tambahan untuk komplikasi infeksi atau
neoplastik pada AIDS telah meningkatkan angka pasien dengan HIV-1 yang selamat.
Rata-rata waktu kelangsungan hidup pada anak yang di terapi dapat melebihi 10 tahun,
dimana jauh lebih baik dari anak dengan infeksi HIV-1 yang diberikan terapi pada tahun
1990-an, resiko kematian menurun dengan signifikan. Walau tingkat kematian pasien
AIDS di amerika serikar sangat kecil, namun tetap menjadi tantangan untuk menjadikan
yang serupa di daerah lain. Di seluruh dunia, anak meninggal dengan infeksi HIV/AIDS
setiap menitnya, dan lebih dari 2 juta anak hidup denga HIV/AIDS, namun tidak sampai
10 persennya mendapatkan terapi antiretroviral pada tahun 2007 (WHO 2008).
Beberapa infeksi ikutan termasuk CMV, retinitis, toksoplasmosis serebral, P.
jiroveci, herpes zoster, dan infeksi jamur SSP ataupun sistemik berrespon baik dengan
pengobatan anti virus, anti spastik, dan anti jamur. Immunoglobulin IV juga bermanfaat
bagi anak dengan hipogamaglobulinemia atau infeksi bakteri ulangan.
Kini pemberian antiretrovirus dikombinasikan setidaknya tiga dari golongan
nukelotida/ nucleotide transverse antiretroviral drugs, inhibitor protease, dan nonnucletide transverse antiretroviral drugs. Tujuannya adalah untuk menurunkan viral
load, hingga tidak terdeteksi dan untuk mengembalikan funsi imunitas. Kombinasi
terapi menghasilkan peningkatan imunitas dan neuro kognitif bahkan pada infeksi HIV1 yang berat.
Pemeriksaan CD4, plasma HIV-1 RNA, darah lengkap, profil kimia darah ( terutama
fungsi ginjal dan hepar) juga T.gondii, hepaitis, dan tuberkulosis diperlukan saat
memulai pemberian terpi antiretrovirus untuk menilai keberhasilan terapi kelak. Pada
saat imunitas mulai meningkat akan terjadi immune restoration disease, seperti
eksaserbasi berlawanan dari infeksi sekunder selama 6 bulan masa pengobatan. Anak
yang mendapat terapi kombinasi dapat mengalami lipodistrofi, resistensi insulin,
osteopenia, dan gagal tumbuh.
*Pada
SA journal of children health disebutkan Defisit neurologis dan
neurokognitif sering terjadi pada anak terinfeksi HIV. Prevalensi dan perluasan defisit
tidak berubah secara signifikan pada respon jangka pendek HAART ( highly active
antiretroviral therapy) , mengindikasikan tidak adanya kemajuan spontan maupun
perburukan sepanjang pengobatan awal.
ENSEFALOPATI HIV
Pendahuluan
Sebagai bagian dari sindrom HIV dalama serokonversi, pasien dapat mengalami
ensefalopati HIV. HIV-associated progressive encephalopathy (HPE) adalah kumpulan
gejala klinis dalam kognitif, motorik dan perilaku pada anak-anak. Frekuensi HPE
70
sebagai gejala awal AIDS pada anak adalah 12-67%. Pada anak yang tidak diobati,
prevalensi terjadinya HPE adalah 50%. Pada satu studi ensefalopati HIV pada anak
dengan infeksi HIV yang mendapat HIV active antiretroviral therapy, angka kejadian
HPE aktif di tahun 2000 adalah 1,6% dan prevalensi arrested HPE adalah 10%. HPE
relaps terjadi pada 23% dari grup sampel dengan kejadian arrested HPE sebelumnya.
Patofisiologi
HIV dianggap memasuki otak melalui makrofag dan limfosit yang terinfeksi HIV.
Sedangkan yang lain menganggap mekanismenya melalui perjalanan virus tanpa sel ke
otak dan pelepasan sel endotelial yang mengeluarkan virus. Virus bereplikasi pada selsel tersebut lalu, pada teorinya, menginfeksi sel-sel lain seperti mikroglia,
oligodendrosit, astrosit, dan neuron; makrofag dan makroglia merupakan sel yang paling
sering terinfeksi. Infeksi HIV pada sistem saraf pusat dapat dideteksi dan dimonitor
melalui perhitungan viral load dari LCS. Korelasi positif telah dikembangkan oleh
banyak peneliti antara viral load LCS dan luasnya disfungsi kognitif.
Penelitian kimia-imunihistologi menunjukkan bahwa virus terletak paling banyak di
ganglia basalis, regio subkortikal dan korteks frontal. Perubahan patologis pada autopsi
juga sebagian besar ditemukan di subkortikal, termasuk regio deep-gray ( gangglia
basalis, thalamus ) dan regio white-matter. Mekanisme bagaimana infeksi HIV pada
SSP yang mengakibatkan gangguan neuro kognitif kemungkinan multi faktorial dan
masih dalam penelitian.
Prognosis
Pasien yang diterapi dengan HAART, jarang mengalami HEP dan bila terjadi, lebih
sering dapat disembuhkan. Bila kontrol virus tidak diberikan lagi, dapat terjadi relaps.
Klinis
Pada anak dengan HPE terdapat riwayat khas berupa penurunan intelektual dan
motorik. Pada anak yang lebih kecil, tingkat kemampuan menambah keahlian baru
berkurang dan kemampuan motorik halus serta ketangkasan menjadi lemah. Kesulitan
makan dapat terjadi, pada anak yang lebih besar dan remaja, gejalanya mirip dengan
AIDS Dementia Complex pada dewasa.
Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus, hasil pemeriksaan fisik dalam batas normal, walau onset terjadinya
gangguan dapat terjadi pada tahun pertama anak. Manifestasi klinis dapat tidak disadari
hingga mencapai usia 2-3 tahun. Pada masa ini, anak dapat memperlihatkan kelemahan
kognitif, masklike facies, acquired microcephaly, dan pseudobulbar dan tanda traktus
kortikospinal. Tanda yang sering ditemukan pada anak yang lebih besar dan remaja
adalah lemahnya perhatian, penurunan kemampuan berbicara dan performa di sekolah
menurun, perlambatan psikomotor, emosional yang labil dan penarikan diri dari
lingkungan.
Kriteria HEP
71
American Academy of Neurology menyatakan HPE sebagai keadaan ang terjadi
setidaknya 2 bulan, dengan minimal terdapat satu dari gejala tersebut dibawah tanpa
penyakit ikutan selain infeksi HIV, gejala sebagai berikut :
-Gagal mencapai atau tertinggal dalam mencapai target perkembangan mental atau
tertinggal dalam kempuan intelektual yang dapat dipastikan dengan tes perkembangan
standar atau neuropsikologis.
-Acquired microcephaly dengan pemeriksaan lingkar kepala atau atrofi otak pada CT
scan serial atau MRI pada anak kurang dari 2 tahun
-Defisit motorik simetris yang didapat, dengan 2 dari keadaan berikut: paresis, refleks
patologis, ataksia atau gangguan saat berjalan.
SEKUELE INFEKSI SSP PADA ANAK
Meningitis
Sekuele neurologis merupakan komplikasi meningitis bakterial yang paling sering
terjadi, mencapai 50-65% di negara berkembang. Faktor resiko timbulnya sekuele
beragam, beberapa sekuela pada awal penyakit, sebagian menetap sehingga
menimbulkan ganguan perkembangan akibat disabilitas. (Novarini,dkk )
Pada meningitis bakterial terjadi hipoksi, produksi neurotoksik bakteri dan gabungan
mediator dapat menyebabkan kerukan neuron. Hasil akhir dari neuron yang rusak
karena bakteri atau derivat leukosit dan elemen toksik lainnya adalah radikal bebas.
Aktivitas sel yang mengalami apoptosis dan nekrosis menyebabkan sekuele neurologis
yang menetap, bahkan kematian.
Beberapa faktor resiko terkait dengan prognosis pasien meningitis bakterial adalah
usia, durasi antara timbulnya gejala dan pemberian pengobatan adekuat, spesifikasi
bakteri, peningkatan jumlah resistensi obat, derajat gejala klinis awal, komplikasi SSP
seperti hidrosefalus, abses otak yang mempengsruhi vaskularisasi serebrovaskular.
Kejang > 30 menit dan kejang tidak terkontrol lebih besar kemungkinan terjadi sekuele
pasca meningitis bakterial.
Jenis sekuele paling sering pada gangguan neuromotor termasuk hemiparesis atau
tetraparesis spastik, sekuele lain epilepsi dan keterlambatan global.
Tabel 1. Sekuele pada pasien meningitis bakterial
Sekuele
Jumlah ( % )
Tetrapasresis spastik
19 ( 50 )
Hidrosefalus
3 (7)
Buta
4 (10)
Tuli
3 (8)
Epilepsi
8 (21)
Global developmental delay
9 (23)
72
Pada penelitian di RSUP Dr.Sardjito, RSUD Banyumas dan RSU Suradji
Tirtonegoro Klaten tahun2003-2006, hasil analisis regresi logistik multivariat faktor
resiko sekuele meningitis bakterial adalah lama kejang >30 menit, kejang tidak
terkontrol >72 jam, skor PCS yang rendah (< 8) dan onser antara gejala dan pemberian
terapi adekuat. Dari regresi logistik multivariat ternyata kejang > 30 menit mempunyai
resiko sekuele dengan OR 4,29 (IK 95% 1,38-12,99), PCS < 8 mempunyai OR 3,76 (IK
95% 1,15-12,28) dan kejang tidak terkontrol >72 jam mempunyai OR 5,24 (IK 95%
1,49-18,430), sedangkan durasi antara onset dan pemberian terapi tidak mempunyai
perbedaan bermakna, OR 2,43 (IK 95 % 0,73-8,13).
Angka kematian di negara maju lebih re3ndah karena terdapat beberapa faktor,
antara lain cakupan imunisasi tinggi terhadap bakteri penyebab meningitis, tindakan
diagnostik serta fasilitas perawatan yang lebih baik.
Pada penelitian di pakistan terdapat multifaktor yang dapat menyebabkan sekuele
pada meni9ngitis bakterial dapat dibagi menjadi dua yaitu faktor neurologis dan sitemik
(non neurologi ).
Nerologis
Sistemik ( non neurologis )
Onset Akut
Prolong fever
Perubahan status mental / koma
Syok septik dan DIC
Edema serebral dan peningkatan tekanan Kolaps vasomotor
intrakranial
Loss of airways reflexes
Kejang onset akut
Respiratory arrest
Efusi subdural atau empiema
Efusi perikardial
Cranial nerve palsies
Hipotalamik dan disfungsi endokrin
Hidrosefalus
lainnnya
Defisit sensorineural
Hiponatermia
Hemiparesis atau kuadriparesis
Perdarahan adrena bilateral
Kebutaan
Kematian
Onset lambat
Late onset seizure (epilepsy) disorder
Ataxia
Abnormalitas serebrovaskular
Gangguan neuropsikologis
Gangguan perkembangan
Defisit intelektual
TUMOR OTAK
BATASAN DAN PENGERTIAN
Tumor pada sistem saraf pusat meliputi 20% dari keseluruhan tumor yang didapatkan
pada anak-anak. Angka kejadian tumor otak pada anak kecil. Di RSUD dr. Moewardi
73
Solo, selama tahun 2006 hanya dirawat 2 orang anak yang menderita tumor otak, 1 orang
di serebelum, 1 orang di hemisfer serebri. Tumor otak yang ditemui pada anak-anak pada
umumnya merupakan tumor otak primer. Di mana tumor otak primer didefinisikan
sebagai sekumpulan massa sel abnormal yang berasal dari sel otak.
Tumor otak dapat terlokalisir pada suatu area yang kecil, dapat infasif menyebar ke
daerah sekitarnya, dapat bersifat jinak (non cancerous) maupun ganas (cancerous).
Tumor otak yang jinak (benigna) tidak mengandung sel-sel kanker dan biasanya memiliki
batas yang tegas sehingga setelah tumor berhasil diangkat, pada umumnya tidak terjadi
residif. Namun tumor otak yang jinak ini dapat memiliki sifat seperti tumor yang ganas
sebagai akibat dari ukuran tumor dan lokasi di mana tumor berada sehingga dapat
mengganggu fungsi vital otak.
Tumor otak yang ganas (maligna) mengandung sel-sel kanker. Tumor jenis ini
biasanya tumbuh cepat dan menyebar ke jaringan sekitarnya. Tumor otak maligna jarang
menyebar ke bagian tubuh yang lain, hanya setelah pengobatan bisa terjadi pertmbuhan
sel-sel tumor lagi.
Pengklasifikasian tumor otak terutama berdasar lokasi, jenis jaringan asal tumor,
jinak atau ganasnya tumor.
Berdasarkan jenis asal jaringan tumor dapat dibagi menjadi :
 Glioma
 PNET (primitive neuroectodermal tumors)
 Kraniofaringioma
 Tumor dari glandula pinealis.
Glioma
Glioma merupakan jenis tumor yang paling sering ditemukan. Tumor jenis ini berasal
dari sel-sel glia, yang merupakan jaringan penunjang otak. Terdapat beberapa jenis
glioma yang digolongkan berdasar lokasi ditemukannya dan jenis sel asal tumor.
Astrositoma
Tumor ini berasal dari sel-sel astrosit yang merupakan sel jaringan penghubung.
Astrosit dapat ditemukan di berbagai tempat di otak maupun medula spinalis, sehingga
astrositoma dapat ditemukan di berbagai tempat. Astrositoma merupakan jenis tumor
yang tersering didapatkan pada tumor otak anak. Secara klinikopatologik, astrositoma
dibagi menjadi astrositoma pilositik (WHO grade I), astrositoma difus (WHO grade II)
astrositoma anaplastik (WHO grade III), glioblastoma multiforme (WHO grade IV).
Sebagian besar astrositoma termasuk jenis low grade (WHO grade I – II). Tumor ini
seringkali tumbuh di daerah garis tengah seperti di daerah serebelum dan regio
diensefalik, termasuk jalur visual dan hipotalamus. Sebagian lainnya termasuk high grade
(WHO grade III – IV) yang tergolong tumor ganas. Jenis tumor ini pada umumnya
didapatkan di hemisfer serebri dan di daerah pons di batang otak.
Glioma batang otak (brain stem gliomas)
Tumor ini sering didapatkan pada usia sekolah dan jarang didapatkan pada orang
dewasa.
Glioma nervus optikus
74
Tumor jenis ini sering didapatkan pada anak-anak dengan neurofibromatosis.
Ependimoma
Ependimoma juga termasuk tumor sel glia. Tumor ini tumbuh pada tepi ventrikel atau
medul spinalis. Pada anak-anak, tempat yang paling sering adalah dekat serebelum.
Pertumbuhan tumor seringkali mengakibatkan sumbatan aliran liquor serebro spinal,
sehingga terjadi peningkatan tekanan intra kranial.
PNET (primitive neuroectodermal tumors)
PNET bisa didapatkan di semua tempat di otak pada anak-anak, namun lokasi
tersering adalah di daerah otak bagian belakang dekat serebelum. Pada tumor yang
tumbuh di daerah oeak bagian belakang dinamakan meduloblastoma. Meduloblastoma
tumbuhnya cepat dan seringkali bersifat maligna, serta menyebar ke bagian otak yang
lain dan medula spinalis.
Kraniofaringioma
Kraniofaringioma secara histologis adalah tumor jinak neuroepitelial, seringkali
didapatkan pada anak umur 5 – 10 tahun. Tumor ini tumbuh dari sel skuamosa
embriologik yang terdapat di daerah adenohipofisis dan duktus kraniofaringeal. Sehingga
tumor didapatkan di daerah dasar otak dekat dengan nervus optikus dan pusat hormonal.
Walaupun secara histologis tumor ini jinak, namun karena lokasinya yang berada di
daerah yang vital, sehingga seringkali tumor residif setelah dilakukan pengobatan.
PATOFISIOLOGI
Pembicaraan mengenai sebab pasti terjadinya tumor pada anak masih tetap dalam
penelitian. Beberapa faktor yang diyakini berperan adalah abnormalitas gen dalam
mengontrol siklus perkembangan sel, infeksi virus tertentu dan paparan zat kimia tertentu
pada orang tua penderita tumor.
MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari tumor otak sangat bervariasi tergantung pada ukuran tumor
dan lokasi di mana tumor berada. Secara umum gejala dan tanda yang nampak adalah
akibat dari peningkatan tekanan intra kranial.
Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan adanya jaringan tambahan di dalam
rongga kepala yang pada akhirnya akan menghambat aliran cairan serebro spinal,
sehingga terjadi bendungan cairan serebro spinal di dalam otak.
Beberapa manifestasi klinik dari peningkatan tekanan intra kranial adalah :
Nyeri kepala
Walaupun pada orang dewasa nyeri kepala merupakan gejala yang menonjol pada
keadaan tekanan intra kranial yang meningkat, tidaklah demikian pada anak-anak. Pada
penelitian yang dilakukan Bailey, dilaporkan hanya 50% yang mengeluhkan nyeri kepala.
Lokasi nyeri kepala yang dikeluhkan biasanya di daerah bifrontal, sehingga tidak banyak
membantu untuk menentukan lokalisasi tumor. Tumor fosa posterior dapat menyebabkan
iritasi pada radik saraf spinal sehingga mengakibatkan nyeri di bagian belakang kepala
dan leher. Pada umumnya nyeri kepala tidak menetap, kebanyakan dikeluhkan pada pagi
hari atau menyebabkan anak terbangun pada waktu tidur malam hari.
75
Muntah
Muntah merupakan salah satu tanda peningkatan tekanan intra kranial yang dijumpai
pada anak-anak. Dari penelitian yang dilakukan Bailey, didapatkan 84% penderita tumor
otak pada anak mengalami muntah. Muntah dapat merupakan akibat dari peningkatan
tekanan intra kranial ataupun iritasi pada batang otak oleh tumor fosa posterior. Muntah
bisa bersifat tidak proyektil, dan dapat berbarengan dengan mual. Seringkali orang tua
penderita mengatakan bahwa muntah dapat mengurangi nyeri kepala yang terjadi. Seperti
pada nyeri kepala, muntah juga sering didapatkan pada pagi hari dan tidak berhubungan
dengan makan.
Papil edema
Bailey dalam penelitiannya menemukan 85% anak-anak penderita tumor mengalami
papil edema. Kaburnya batas diskus dan tidak adanya pulsasi vena sentralis merupakan
tanda awal dan sangat penting pada pemeriksaan oftalmoskopi. Apabila peningkatan
tekanan intra kranial berlanjut, maka dapat terjadi pembuntuan vaskular disertai adanya
perdarahan dan eksudat.
Mekanisme terjadinya papil edema adalah adanya ruang subarahnoid di sekitar nervus
optikus yang merupakan kelanjutan dari dalam ruang kranium menyebabkan transmisi
dari tekanan intra kranial. Ketika terjadi peningkatan tekanan maka tekanan pada jaringan
nervus optikus juga meningkat.
Gangguan penglihatan
Diplopia biasanya sebagai akibat dari paralisis satu atau dua muskulus rektus lateralis.
Strabismus akan lebih terlihat pada saat sore atau malam hari, berfluktuasi sesuai dengan
beratnya peningkatan tekanan intra kranial.
Kejang
Kejang jarang merupakan pertanda awal dari tumor otak pada anak. Pada sebuah
penelitian dilaporkan, kejang hanya meliputi 15% dari anak yang menderita tumor otak.
Dengan semakin besarnya tumor, maka kejang akan semakin sering terjadi. Kejang
merupakan gejala yang paling akhir pada tumor fosa posterior. Jenis kejang yang paling
sering terjadi adalah parsial komplek. Tumor yang terletak di lobus temporalis yang
paling banyak menimbulkan gejala kejang.
Perubahan afek dan kesadaran
Walaupun perubahan mental dan problem psikiatri banyak didapatkan pada penderita
tumor otak dewasa dan merupakan pentunjuk lokasi lesi di lobus frontalis atau
temporalis, hal ini jarang terjadi pada penderita tumor otak anak-anak. Pada anak-anak
yang sering terjadi adalah anak menjadi sering mengantuk, perubahan kepribadian,
iritabilitas, yang menunjukkan keterlibatan hipotalamus maupun talamus. Sedangkan
tumor di daerah frontal sering menunjukkan gejala perubahan pola tidur dan selera
makan. Pada peningkatan tekanan intra kranial dan penekanan pada sistim aktifasi
retikular akan terjadi penurunan derajat kesadaran secara progresif.
76
Penurunan fungsi jantung dan pernapasan.
Gejala dan tanda yang muncul sebagai akibat adanya tumor bervariasi tergantung letak
tumornya.
Pada tumor di supra tentorial akan terjadi :
 Kejang
 Gangguan penglihatan
 Bicara gagap (slurred speech)
 Hemiparesis
 Peningkatan tekanan intra kranial
 Mengantuk dan bingung (drowsiness, confusion)
 Perubahan kepribadian.
Pada tumor di infra tentorial akan terjadi :
 Gangguan penglihatan atau penglihatan dobel
 Nyeri kepala
 Paralisis nervi kranialis atau hemiparesis
 Gangguan pernapasan
 Peningkatan tekanan intra krranial
 Muntah
 Nyeri kepala
 Ganguan koordinasi
 Gangguan jalan (ataksia)
DIAGNOSIS BANDING
Peningkatan tekanan intra kranial tidak hanya disebabkan oleh tumor otak, berbagai
lesi massa di dalam rongga kepala juga menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
Pada bayi, tumor otak lebih jarang menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial bila
dibandingkan dengan hidrosefalus, perdarahan intra kranial, dan proses infeksi. Mulai
umur 2 tahun, tumor otak merupakan penyebab tersering keadaan tekanan intra kranial
yang meningkat.
Abses otak
Abses otak merupakan salah satu dari bentuk proses desak ruang. Abses dapat
tumbuh dari penyebaran langsung bakteri dari infeksi di telinga, mastoid, dan sinus
paranasal atau penyebaran secara hematogen dari sumber infeksi yang jauh. Abses otak
dapat terjadi pada penderita kelainan jantung kongenital, terutama yang mengalami rightto-left shunt. Apabila dijumpai adanya peningkatan tekanan intra kranial pada penderita
penyakit jantung kongenital maka kemungkinan abses otak haruslah dipikirkan yang
pertama kali. Pada penderita abses otak, demam hanya ditemukan sekitar 30%, sehingga
tidak didapatkannya demam tidaklah menyingkirkan kemungkinan adanya abses otak.
Pseudo tumor serebri
Pada pseudo tumor serebri, tekanan intra kranial meningkat tanpa adanya lesi massa.
Tidak ada tanda defisit neurologis fokal, cairan serebro spinal normal, sementara
77
pencitraan menunjukkan sistim ventrikular yang normal ataupun sedikit mengecil
dibandingkan ukuran normal.
Ensefalitis herpes simplek
Ensefalitis herpes simplek yang berat dapat menyerupai lesi pada lobus temporalis,
oleh karena edema yang terjadi akibat proses infeksi, di man tempat predileksinya adalah
di lobus temporalis.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang baik akan dapat mendeteksi tumor otak dalam fase yang lebih dini.
Karena penatalaksanaan pada saat tumor dalam stadium awal akan meningkatkan tingkat
kesembuhan penderita.
Pemeriksaan fisik termasuk di dalamnya anamnesis, ditujukan untuk mencari baik
kelainan difus maupun kelainan fokal. Kelainan difus diakibatkan dari peningkatan
tekanan intra kranial, sedang kelainan fokal diakibatkan efek tumor pada jaringan di
sekitarnya. Pada pasien yang sudah dicurigai adanya tumor otak, maka pemeriksaan
neurologis ditujukan untuk mengetahui lokasi tumor.
Computerized Tomography scan (CT scan) dan MRI merupakan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis tumor otak yang utama. Kedua pemeriksaan
tersebut dilakukan dengan menggunakan kontras. CT scan lebih unggul dalam hal
mendeteksi adanya kalsifikasi pada beberapa tumor otak. Demikian juga adanya
pembesaran dan pergeseran ventrikel lebih mudah diperlihatkan dengan CT scan.
Sedangkan MRI lebih unggul dari pada CT scan dalam hal memperlihatkan tumor low
grade serta tumor di daerah fosa posterior juga tumor yang mengenai sela tursika dan
daerah chiasma.
Electro encephalography (EEG) kurang bermanfaat untuk menegakkan diagnosis tumor
otak. Pada anak-anak dengan kejang parsial komplek, EEG dapat menyokong kecurigaan
adanya tumor di daerah lobus temporalis. Pada beberapa penderita dengan gambaran
perlambatan fokal yang kontinyu disertai adanya gelombang paku yang berkaitan dengan
kejang, sangat mungkin menggambarkan adanya proses desak ruang, dan oleh karenanya
diperlukan pemeriksaan neuro imaging.
Foto kepala (skull photo) dapat mencurigakan adanya lesi massa intra kranial apabila
memperlihatkan pelebaran sutura, erosi atau pembesaran sela tursika, osteoporosis
utamanya apabila didapatkan penipisan daerah sphenoid.
Ultrasound dapat digunakan untuk membantu adanya lesi massa intra kranial pada bayi
dan neonatus yang fontanelanya masih terbuka.
Biopsi yang dipandu dengan CT merupakan prosedur untuk mengetahui lebih pasti jenis
tumor.
Lumbal pungsi, dikerjakan pada kecurigaan medulobalstoma, untuk melihat apakah
terdapat sel-sel tumor pada cairan serebro spinal.
PENATALAKSANAAN
78
Pengobatan yang dini akan sangat meningkatkan derajat kesembuhan yang lebih baik.
Tujuan dari penatalaksanaan meliputi, pengobtan tumor itu sendiri, menghilangkan
berbagai keluhan yang timbul berkenaan dengan tumor sehingga anak merasa nyaman
dan meningkatkan fungsi otak.
Penatalaksanaan tumor pada anak bergantung pada beberapa hal, yaitu :
 Usia anak saat terdeteksi adanya tumor anak, kondisi fisik anak dan riwayat
penyakit yang pernah maupun yang sedang diderita.
 Jenis, lokasi dan ukuran tumor.
 Penyebaran tumor.
 Toleransi anak pada pengobatan, maupun prosedur tertentu.
 Perkiraan perjalanan penyakit selajutnya.
Di samping itu juga tergantung bagaimana penerimaan orang tua penderita.
Beberapa macam penatalaksanaan dapat dilakukan bersama-sama.
Pembedahan untuk mengangkat tumor merupakan pilihan utama dalam penatalaksanaan
tumor otak. Beberapa tumor dapat diangkat secara keseluruhan, namun sebagian lagi
tidak bisa diangkat secara keseluruhan. Pada tumor yang terletak di bagian yang dalam,
apabila tidak bisa diambil secara keseluruhan, maka pembedahan dilakukan untuk
mengurangi ukuran besarnya tumor. Dalam hal ini, prosedur pembedahan tetap dapat
membantu mengurangi tekanan intra kranial dan mengurangi keluhan.
Penatalaksanaan yang lain meliputi :
Pemasangan ventriculoperitoneal shunt (VP shunt); untuk mengalirkan cairan serebro
spinal yang terbendung. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra kranial
yang meningkat.
Kemoterapi. Sampai saat ini kemoterapi belum menunjukkan hasil yang sangat
diharapkan dalam pengobatan tumor otak. Pada umumnya, kemoterapi diberikan sebagai
terapi tambahan pada tumor yang tidak bisa diangkat secara keseluruhan, ataupun karena
letaknya tidak mungkin dilakukan operasi pengangkatan tumor.
Radioterapi. Radioterapi diberikan sebagai terapi tambahan atau pilihan pada tumortumor yang tidak bisa diangkat secara keseluruhan, ataupun pada tumor yang mengalami
residif. Efek radiasi akan merusak endotel vaskular yang relatif lebih radiosensitif
daripada neuron. Hal ini akan mengakibatkan obstruksi pada pembuluh darah yang kecil
dan sedang serta menyebabkan thrombosis dan infark pada substansia alba bagian dalam,
sementara kortek dan substansia alba yang dekat kortek relatif tidak mengalami
gangguan.
Pemberian obat-obatan :
Kortikosteroid. Untuk mengurangi maupun mencegah terjadinya edema serebri.
Deksametason merupakan pilihan untuk tumor serebri. Dosis awal adalah 0,02 – 0,3
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 – 4 dosis. Pemberian deksametason harus diturunkan
secara perlahan setelah 7 hari.
Selain kortikosteroid, dapat juga diberikan manitol maupun diuretika yang lain.
79
Obat anti kejang. Diberikan untuk mengobati kejang yang terjadi baik sebagai
akibat dari tumornya sendiri maupun sebagai akibat dari peningkatan tekanan intra
kranial. Obat-obat anti kejang dapat diberikan dengan pemberian dosis sesuai berat badan
anak. Apabila pernah terjadi kejang, maka obat anti kejang diberikan selamanya.
Obat anti nyeri, untuk mengatasi nyeri yang timbul sebagai akibat dari tumor. Obat
anti nyeri diberikan hanya apabila diperlukan.
KOMPLIKASI (komplikasi tumor, pengobatan)
Komplikasi yang terjadi dapat sebagai akibat dari tumornya sendiri maupun akibat
dari pengobatan, khususnya radioterapi dan kemoterapi.
Komplikasi dari tumor yang paling serius adalah terjadinya herniasi otak sebagai
akibat terjadinya peningkatan tekanan intra kranial.
Sedangkan komplikasi dari radioterapi dapat terjadi selama penyinaran, segera
sesudahnya, maupun berjangka waktu agak lama dari saat penyinaran. Gangguan
neurologis yang terjadi adalah karena terjadinya edema serebri akibat dari kerusakan
vaskular dan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, sehingga terjadi
perivaskular edema, perdarahan kecil-kecil dan trombi. Manifestasi kliniknya bervariasi,
namun pada umumnya ditandai dengan letargi, mual dan muntah, kejang, dan perburukan
atau kembalinya defisit neurologis. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi adalah
gangguan fungsi kognisi.
Komplikasi kemoterapi bisa berupa mielosupresi, anoreksia, kerusakan ginjal dan
hepar, gangguan pendengaran maupun komplikasi metabolik yang lain. Sementara itu,
gangguan pertumbuhan dan infertilitas dapat terjadi sebagai akibat sekuele dari
kemoterapi.
PROGNOSA
Prognosis dari tumor otak pada anak sangat bervariasi, tergantung pada beberapa hal :
 Tipe dan jenis tumor;
 Lokasi dan ukuran besarnya tumor;
 Ada tidaknya metastasis;
 Respon tumor terhadap pengobatan;
 Toleransi anak terhadap pengobatan;
 Umur anak dan kondisi fisik anak secara umum;
 Perkembangan terbaru dari pengobatan tumor.
Pada low grade astrositoma, rata-rata untuk angka harapan hidup 10 tahun (years
survival rate = ysr) adalah 60% - 95%. Sedangkan untuk high grade astrositoma 10 ysr
kurang dari 30%, di mana yang bisa bertahan, hidup dengan kecacadan.
Pada meduloblastoma, 5 ysr paling tinggi adalah 78% dengan catatan tidak ada
metastasis dan tumor yang tersisa setelah operasi tidak lebih dari 1,5cm2. Sementara
untuk tumor yang sudah ada metastasis serta ukuran tumor setelah operasi masih bersisa
lebih dari 1,5cm2, prognosis berkisar antara 30% - 50%. Sedangkan pada anak-anak
kurang dari 3 tahun, angka 5 ysr berkisar 30%.
Pada ependimoma, besar kecilnya tumor yang bisa direseksi sangat mempengaruhi
prognosis. Pada penderita yang bisa dilakukan reseksi otal atau hampir total (lebih dari
90%), memiliki 5 ysr sebesar 50% - 80%. Sedang bagi yang reseksi hanya bisa dilakukan
kurang dari 90% besar tumor, angka 5 ysr paling tinggi adalah 26%.
80
Kraniofaringioma memiliki angka 10 ysr antara 86% - 100% pada penderita yang bisa
direseksi secara total. Sedangkan bagi yang reseksinya subtotal atau yang rekuren dan
dilakukan radioterapi, angka 10 ysr berkisar 57% - 86%.
TUMOR MEDULA SPINALIS
Tumor medula spinalis bisa didapatkan pada berbagai tempat sepanjang medula
spinalis. Angka kejadian tumor medula spinalis pada anak-anak sekitar seperlima dari
keseluruhan tumor pada sistim saraf pusat. Sedangkan untuk tumor intra medula
dilaporkan kejadiannya 35 – 40% dari keseluruhan tumor pada medula spinalis.
Beberapa jenis tumor pada medula spinalis, baik yang terdapat pada intra medula maupun
ekstra medula dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Jenis tumor
Astrositoma
Ependimoma
Meningioma
Neurofibroma
Sarkoma
Schwanoma
Asal jaringan / sel
Sel-sel dari jaringan penyangga sel
saraf
Dinding sel pada kanalis sentralis
medula spinalis
Sel-sel mening (selaput otak)
Sel-sel yang menyanga sel saraf tepi
Sel jaringan penghubung (connective
tissue)
Sel myelin yang menyelubungi saraf
perifer (sel schwan)
Sifat tumor
Bisa jinak atau ganas
Jinak
Jinak, namun dapat
berulang dan kadangkadang menjadi ganas
Biasanya jinak
Ganas
Biasanya jinak.
PATOFISIOLOGI
Seperti juga tumor di tempat lain, tumor medulla spinalis juga masih belum jelas
benar penyebabnya. Dugaan paling kuat adalah keterlibatan faktor genetika. Astrositoma
dan ependimoma sering dijumpai pada pasien neurofibromatosis tipe 2, di mana dijumpai
kelainan pada kromosom 22. Sementara itu hemangioblastoma dijumpai pada 30% pasien
sindroma Von Hippel-Lindau yang berkaitan dengan kelainan pada kromososm 3.
MANIFESTASI KLINIK
Untuk kepentingan klinik, biasanya tumor pada medula spinalis dibagi menjadi tumor
intra medula, tumor ekstra medula – intra dura, dan tumor ekstra dura.
Tumor intra medula biasanya mengakibatkan kelemahan dan atrofi yang simetris pada
segmen yang terkena, sedangkan pada tumor ekstra medula kelemahan cenderung
unilateral. Tumor ekstra medula seringkali diawali dengan keluhan nyeri yang sesisi pada
distribusi segmen yang terkena. Nyeri biasanya bersamaan dengan keluhan baal dan
parestesia.
Gangguan berjalan, nyeri dan kekakuan pada punggung dan tungkai pada umumnya
merupakan keluhan awal tumor medula spinalis. Pada tumor ekstra medula, kekakuan
pada punggung kadang-kadang tidak disertai dengan keluhan nyeri, kemudian berlanjut
dengan inkontinensia urin dan gangguan sensoris.
81
Defisit neurologis diakibatkan oleh dua gangguan, yaitu terganggunya medula
spinalis secara segmental serta terganggunya traktus ascenden dan descenden di dalam
medula spinalis. Adanya kelemahan yang segmental, atrofi, hiporefleksia dan gangguan
sensoris merupakan akibat dari terganggunya substansia grisea pada sentral medula
spinalis atau akar saraf spinal. Sedangkan terganggunya traktus ascenden dan descenden
akan berakibat spastisitas, defisit sensoris yang sesuai dengan segmen medula spinalis
dan gangguan berkemih.
Sindroma Brown – Sequard merupakan akibat dari tumor ekstra medula dan terjadi
hemiseksi medula spinalis. Sindroma ini terdiri dari kelemahan homolateral, spastisitas,
ataksia serta gangguan nyeri dan suhu kontra lateral lesi.
Dapat juga dijumpai adanya nistagmus dan papil edema. Pada beberapa keadaan,
papil edema sebagai akibat terganggunya absorpsi liquor serebro spinal karena tumpukan
material musinus akibat dari proses degenerasi tumor. Beberapa keadaan lain yang bisa
menyebabkan papil edema adalah infiltrasi lapisan selaput otak oleh tumor, perdarahan
subarahnoid, dan hidrosefalus karena malformasi Arnold – Chiari.
PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG
Pemeriksaan lebih lanjut perlu segera dilakukan apabila ditemukan nyeri punggung
(dapat ditimbulkan dengan mengetuk tulang vertebra dengan hammer reflek) atau nyeri
pada ekstremitas disertai dengan gangguan berkemih dan buang air besar, gangguan
berjalan, kelemahan otot serta kelainan pada vertebra.
Foto polos vertebra dapat memberikan dugaan adanya tumor medula spinalis. Dapat
dijumpai adanya destruksi tulang, erosi dari pedikel atau korpus vertebra dan pelebaran
jarak antar pedikel.
MRI dengan pemberian kontras merupakan pilihan utama untuk menegakkan
diagnosis tumor medula spinalis, menggantikan pemeriksaan dengan CT scan dan
myelografi.
PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS
Pembedahan merupakan terapi utama tumor medula spinalis. Tumor ekstra medula
yang dapat diambil total memberikan prognosis yang sangat bagus. Pada tumor ekstra
medula yang tidak bisa diambil total, biasanya bisa mengurangi bahkan menghilangkan
keluhan dalam waktu yang lama, terutama apabila setelah pembedahan diikuti dengan
radioterapi.
Tumor intra medula akan memberikan prognosis yang lebih bagus apabila
menggunakan teknik pembedahan yang moderen seperti ultrasonic aspirator, contact
laser dan disertai neurophysiological intra operative monitoring. Pada tumor yang ganas,
pembedahan berupa dekompresi dan debulking harus diikuti dengan radioterapi. Pada
umumnya tumor intra medula adalah jinak, yaitu astrositoma dan ependimoma dan
memiliki prognosis yang bagus. Sedang glioblastoma, neuroblastoma dan sarkoma
memiliki prognosis buruk.
KOMPLIKASI
Komplikasi pada umumnya akibat radiasi. Dapat terjadi myelopati yang bersifat
sementara atau myelomalacia yang ireversibel. Myelopati ditandai dengan parastesi atau
82
sensasi seperti kejutan listrik di ekstremitas yang dipicu oleh gerakan fleksi pada leher.
Myelomalasia berupa paraplegia ssebagai akibat dari gannguan pada pembuluh darah.
Komplikasi akibat radiasi yang jarang terjadi adalah amiotrofi, mielitis akut
transversa dan myelopati yang berkembang menjadi mielitis transversa.
FAKOMATOSIS (SINDROMA NEUROKUTANEUS)
Fakomatosis adalah kelompok penyakit herediter yang ditandai dengan
kecenderungan adanya malformasi dan tumor di sejumlah organ, khususnya di kulit dan
sistem saraf pusat. Beberapa penyakit yang biasanya digolongkan dalam fakomatosis
adalah neurofibromatosis, tuberous sklerosis, sindroma Sturge-Weber, penyakit von
Hippel-Lindau, dan ataxia-telangiectasia.
NEUROFIBROMATOSIS (penyakit von Recklinghausen)
Neurofibromatosis diturunkan secara autosomal dominant. Secara umum,
neurofibromatosis dibagi menjadi dua berdasarkan letak kelainan kromosom, yaitu
neurofibromatosis tipe 1, kelainan terletak pada kromosom 17q.11.2. dan
neurofibromatosis tipe 2, kelainan terletak pada kromosom 22q12.
NEUROFIBROMATOSIS TIPE 1
Neurofibromatosis tipe 1 disebut juga sebagai neurofibromatosis perifer.
Walaupun sebenarnya istilah neurofibromatosis perifer kurang tepat, karena sistim saraf
pusat kadang-kadang juga mengalami kelainan.
Angka kejadian neurofibromatosis 1 adalah 1 di antara 2500 – 3000 kelahiran hidup.
Manifestasi klinik
Penyakit ini ditandai adanya berbagai tumor di sistim saraf pusat maupun perifer,
pigmentasi kulit, lesi pada vaskular dan organ, serta ada kecenderungan pada beberapa
jaringan berubah menjadi ganas.
Lesi pada kulit yang paling sering dijumpai adalah café au lait spot. Lesi ini
berupa area coklat muda, biasanya didapatkan di daerah badan. Lesi ini sebagai akibat
aktifitas melanoblas pada lamina basalis epidermis.
Berbagai tipe tumor kulit dapat dijumpai, yang khas untuk neurofibromatosis
adalah pedunculated molluscum fibrosum dan neurofibroma subkutan. Lokasi lesi bisa
pada satu serabut saraf, ataupun sekelompok serabut saraf di punggung atau badan. Pada
umumnya tumor akan bertambah besar seiring bertambahnya umur.
Nodul multipel pada iris pertama kali digambarkan oleh Lisch. Nodul Lisch
awalnya berwarna terang, semakin lama menjadi bertambah gelap. Nodul ini didapatkan
pada pasien yang berumur lebih dari 21 tahun, sedangkan pada anak-anak usia 5-6 tahun
hanya didapatkan separuh.
Abnormalitas pada tulang menyebabkan sering terjadi short stature, kifoskoliosis.
Hipertensi sering didapatkan sebagai akibat pheochomocytoma atau stenosis arteri
renalis.
Manifestasi neurologi dapat dibagi menjadi 5 golongan :
83
1. Gangguan kognitif. Walaupun sebanyak 40% pasien mengalami gangguan belajar,
namun hanya sedikit yang mengalami retardasi. Pada umumnya gangguan ini
asimtomatis.
2. Tumor intra kranial. Dapat terjadi sepanjang waktu, yang paling sering adalah nervus
optikus. Adanya tumor intra cranial dapat menyebabkan kejang fokal maupun
general.
3. Tumor pada saraf perifer. Dapat terjadi di semua umur, dan mengenai saraf-saraf
yang besar. Tumor dapat dijumpai pada saraf otonom yang menginervasi organ.
Organ yang sering terganggu adalah lambung, lidah, mediastinum, usus besar,
medulla adrenalis.
4. Tumor intraspinal. Pada umumnya berkembang lebih lambat dari pada tumor intra
cranial. Sekitar 50% berupa tumor multiple, dan sering kali dijumpai bersamaan
dengan malformasi lain seperti siringomielia.
5. Stroke. Hal ini sering terjadi sebagai akibat dari sumbatan pada vascular di otak.
Lokasi yang paling sering mengalami sumbatan adalah cabang-cabang dari arteri
karotis interna.
Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk neurfibomatosis tipe 1 adalah apabila dijumpai dua atau lebih di
antara tujuh kriteria ini :
1. Didapatkan enam atau lebih macula café au lait dengan diameter lebih dari 5mm
untuk pasien prapubertas dan lebih dari 15mm untuk pasien pascapubertas.
2. Didapatkan dua atau lebih neurofibroma berbagai tipe, atau satu neurofibroma
pleksiform.
3. Bintik-bintik pada daerah inguinal atau aksila.
4. Glioma optikus
5. Didapatkan dua atau lebih nodul Lisch (hamartoma iris)
6. Lesi tulang yang khusus seperti displasia pada tulang sfenoid, penipisan lapisan
kortek tulang-tulang panjang dengan atau tanpa disertai pseudoartrosis.
7. Keturunan pertama dari pasien neurofibromatosis 1 sesuai dengan kriteria di atas.
NEUROFIBROMATOSIS TIPE 2
Neurofibromatosis tipe 2 berbeda secara klinis maupun genetik dari
neurofibromatosis tipe 2, ditandai dengan tumor intrakranial, khususnya schwanoma
vestibular bilateral. Angka kejadiannya lebih jarang sekitar 1 di antara 30.000 sampai
120.000 kelahiran hidup. Kelainan genetik yang terjadi pada penyakit ini adalah
ketiadaan schwanomin, suatu protein yang dihasilkan kromosom 22, yang menyebabkan
migrasi sel atau hilangnya inhibisi kontak. Namun demikian bagaimana korelasi dengan
manifestasi klinik penyakit ini belum jelas.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis neurofibromatosis tipe 2 ditandai schanoma vetibular bilateral
(neurinoma akustik). Pada umumnya tumor ini asimtomatis pada saat pubertas. Beberapa
jenis tumor lain yang dijumpai adalah meningioma, tumor multipel yang berasal dari glia
atau meningeal. Lesi pada kulit seperti café au lait atau neurofibroma lebih jarang
dijumpai.
84
Diagnosis
Kriteria diagnosis neurofibroma tipe 2 adalah apabila dijumpai satu atau lebih dari :
1. Schawnoma vestibular bilateral
2. Orang tua, saudara kandung atau anak dengan neurofibroma 2 disertai dengan massa
nervus akustik unilateral lain atau dijumpai dua dari neurofibroma, meningioma,
glioma, schwanoma atau juvenile posterior subscapular lenticular opacity.
Penatalaksanaan dan prognosis
Penatalaksanaan yang dilakukan simtomatik. Tindakan bedah pada tumor untuk
memperpanjang hidup. Apabila tumor terbatas pada saraf perifer, prognosisnya bagus.
Sedang tumor intrakranial, prognosis tergantung pada lokasi tumor.
Pemeriksaan genetik dilakukan untuk mengetahi apakah ada faktor herediter ataukah
terdapat mutasi genetik.
TUBEROUS SKLEROSIS
Merupakan penyakit herediter yang diturunkan secara autosomal dominant.
Angka kejadiannya adalah 1 di antara 6000 sampai dengan 15.000.
Abnormalitas dapat dijumpai di otak, mata, kulit, ginjal, tulang, jantung, dan paru.
Di otak secara makroskopik didapatkan adanya ”tuber”, suatu area jaringan glia yang
keras dengan berbagai ukuran. Tuber dapat berada di berbagai lokasi di hemisfer cerebri.
Tumor dapat berkembang dari tuber kortikal atau subependimal. Tumor subependimal
biasanya terletak di dinding ventrikel lateral atau di permukaan ganglia basalis.
Walaupun jarang berubah menajdi maligna, namun dapat terjadi pembuntuan formen
Monro.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dapat bervariasi tergantung dari umur onset, berat ringannya
serta kecepatan progresifitas. Terdapat empat gangguan utama yaitu retardasi mental,
epilepsi, lesi di kulit dan tumor di berbagai organ termasuk di otak.
Deteriorasi mental dapat merupakan gangguan tersendiri atau akibat dari kejang
yang tidak terkontrol maupun karena peningkatan tekanan intrakranial sebagai akibat dari
pembuntuan foramen Monro.
Kejang atau berbagai bentuk bangkitan epilepsi lain merupakan keluhan utma
yang sering dijumpai pada pasien tuberous sklerosis. Derajat beratnya kejang dan respon
terhadap obat anti epilepsi tidak dapat diramalkan. Dan seringkali menjadi epilepsi yang
intraktabel.
Adenoma sebaseum (angiofibroma) merupakan karakteristik klinis lesi di kulit.
Lesi berupa makula kemerahan di daerah hidung, dagu dan pipi, muncul saat usia 1 – 5
tahun.
Dijumpai beberapa rambut yang berwarna abu-abu atau putih pada jumlah yang
cukup besar. Adanya perubahan warna pada rambut merupakan manifestasi klinis awal
tuberous sklerosis dan seringkali mendahului terjadinya depigmentasi nevus.
Depigmentasi nevus dibedakan dari vitiligo, dimana pada vitiligo tidak didapatkan
85
melanosit, sedang pada depigmentasi nevus jumlah melanosit tetap tetapi kandungan
melaninnya berkurang.
Tumor intra kranial lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan
neurofibromatosis. Terdapat tiga jenis tumor yang bisa dijumpai yaitu giant cell
astrocytoma (sering tumbuh dan menyebabkan tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial), tuber kortikal dan nodul subependimal.
Tumor ekstrakranial yang paling sering dijumpai terletak di retina. Lokasi lain
yang pernah dijumpai adalah kulit, ginjal, tulang, hati dan limpa.
Penyebab kematian yang tersering adalah status epileptikus, gangguan ginjal, tumor otak,
dan limphangiomiomatosis pada paru.
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan karakteristik lesi kulit, epilepsi, dan ganguan atau
deteriorasi mental. Pada bayi, dapat dikombinasikan dengan depigmentasi nevus, spasme
infantil, dan gangguan tumbuh kembang.
Pada tahun 1998 National Institute of Health mengeluarkan konsensus untuk
kriteria diagnosis tuberous sklerosis, yaitu :
Definite tuberous sclerosis, apabila dijumpai sedikitnya dua gambaran mayor atau satu
gambaran mayor disertai dua gambaran minor.
Probable tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor dan satu gambaran
minor.
Possible tuberous sclerosis, apabila dijumpai satu gambaran mayor atau dua atau lebih
gambaran minor.
Adapun yang termasuk gambaran mayor dan minor adalah sebagai berikut :
Gambaran mayor :
 Manifestasi kulit
 Angiofibroma wajah
 Fibroma ungual
 Lebih dari tiga makula hipomelanotik
 Shagreen patch
 Lesi di otak
 Tuber kortikal
 Nodul subependimal
 Subependymal giant cell astrocytoma
 Lesi mata
 Nodul hamartoma multipel pada retina
 Tumor organ lain
 Rhabdomioma jantung
 Lymphangioleiomyomatosis
 Angiomiolipoma ginjal
Gambaran minor
 Multiple randomly distributed pits in dental enamel
 Polip rekti
 Kista tulang
86






Abnormalitas migrasi pada substansia alba otak pada neuroimaging
Fibroma gingiva
Hamartoma non renal
Bercak achromik pada retina
Confetti skin lesions
Kista renal multiple
Pemeriksaan CT scan kepala tidak dapat menunjukkan gambaran yang pasti untuk
tuberous sklerosis. Gambaran yang dijumpai adalah penumpukan kalsium yang multipel,
dengan ukuran yang bervariasi, terletak di daerah yang berdekatan dengan dinding
ventrikel lateral dan ventrikel ketiga serta foramen Monro. Pemeriksaan MRI kepala
dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis tuberous sklerosis. Dapat dijumpai
gambaran lesi supratentorial meliputi tuber kortikal, nodul subependimal, subependymal
giant cell astrocytoma, white matter linear migration lines, agenesis atau displasi korpus
kalosum, displasia kortikal. Lesi infra tentorial jarang didapatkan.
Apabila dijumpai fokus menyerupai kistik pada jari-jari, dapat dijadikan petunjuk
mengarah ke tuberous sklerosis. Lesi ini tidak tampak saat lahir, mulai timbul saat
pubertas.
Penatalaksanaan dan prognosis
Sampai saat ini belum ada penatalaksanaan yang spesifik untuk tuberous
sklerosis. Untuk penanganan kejang, diberikan obat anti epilepsi yang sesuai. Untuk
spasme infantil maupun tuberous sklerosis vigabatrin merupakan pilihan utama. Tindakan
bedah untuk mereseksi tuber epilepstogenik memberikan hasil yang cukup memuaskan
ditandai dengan berkurangnya frekuensi kejang.
SINDROMA STURGE-WEBER
Sindroma Sturge-Weber disebut juga sebagai ensefalotrigeminal angiomatosis.
Sindroma ini ditandai dengan angioma pada wajah terutama di daerah inervasi n.
Oftalmikus dan n. Maksilaris, deteriorasi neurologis yang berulang dan keterlambatan
tumbuh kembang neurologis. Angioma di wajah disebut juga port wine stain. Ciri khas
anomali pembuluh darah intrakranial adalah angiomatosis leptomeningeal pada satu atau
lebih lobus otak pada satu atau kedua hemisfer. Tidak ada bukti ditemukannya faktor
herediter pada sindroma ini.
Patogenesis
Dua anomali struktur pada sindroma Sturge-Weber melemahkan aliran darah
otak. Pertama obstruksi pada angiomatosis menyebabkan stasis, penurunan aliran balik
vena, dan hipoksia. Kedua, gangguan pembuluh darah pada leptomeningeal
mengakibatkan terhalangnya oksigenasi neurglia, terutama pada saat kebutuhan
meningkat, seperti pada saat terjadi kejang. Hipoksia mengakibatkan sejumlah perubahan
fisiologis, yaitu abnormalitas aliran pada pelksus yang dalam dan hipertrofi pleksus
choroideus, peningkatan permeabilitas kapiler, gangguan pada keasaman (pH), deposisi
kalsium, atrofi serebri dan terkoyaknya blood brain barrier.
87
Buruknya aliran vena pada satu atau kedua hemisfer ditunjukkan dengan adanya
pelebaran pembuluh darah kortikal melewati batas angiomatosis leptomeningeal.
Kelemahan vaskular bertanggungjawab terhadap berulangnya deteriorasi neurologis dan
keterlambatan tumbuh kembang neurologis. Fenomena berulangnya deteriorasi dapat
diterangkan dengan berulangnya kejadian thrombosis yang disebabkan oleh stasis
mikrosirkuler pada angioma leptomeningeal. Stasis yang terjadi mengakibatkan
progresifitas dan berulangnya infark yang mendasari gangguan neurologis.
Predileksi angioma leptomeningeal adalah di lobus oksipital atau daerah
oksipitoparietal. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat dinding pembuluh darah
angioma ditutupi dengan deposit kalsium dan besi.
Manifestasi klinik
Sindroma Sturge-Weber merupakan penyakit yang progresif. Prot wine nevus
pada kulit sudah terlihat saat kelahiran dan melibatkan setidaknya satu kelopak mata atau
area supra orbital. Angioma juga sering dijumpai pada membran mukosa faring maupun
organ lain. Angioma pada membran choroid mata berhubungan dengan buftalmos dan
glaukoma kongenital unilateral. Tidak semua bayi atau anak-anak dengan malformasi
vaskular kutaneus di wajah menderita sindroma Sturge-Weber. Apabila malformasi
vaskular tersebut terdapat pada area n. Oftalmikus, maka kecenderungan untuk menderita
sindroma Sturge-Weber meningkat.
Sebagian besar penderita sindroma Sturge-Weber mengalami kejang fokal atau
general. Kejang seringkali merupakan manifestasi klinik yang awal dan seringkali terjadi
pada tahun pertama kehidupan. Seringkali kejang menjadi refrakter terhadap obat anti
epilepsi dan diikuti dengan hemiparesis sementara ataupun menetap. Hemiparesis sering
diikuti dengan hemianopia homonim.
Gejala klinik lain yang dapat dijumpai antaara lain nyeri kepala vaskular, retardasi
mental dan keterlambatan tumbuh kembang, glaukoma, hemiparesis dan hemianopsia.
Diagnosis
Diagnosis sindroma Sturge-Weber dibuat berdasarkan adanya atau ketiadaan
gangguan neurologis dan oftalmologis. Apabila dijumpai kejang dan nevus vaskular di
wajah, maka kecurigaan menderita sindroma Sturge Weber meningkat.
MRI merupakan pemeriksaan tambahan pilihan untuk membantu menegakkan
diagnosis. Pemeriksaan CT scan kepala dapat menunjukkan lokasi kalsifikasi
intrakranial.
Penatalaksanaan dan prognosis
Penderita sindroma Sturge-Weber memerlukan pengawasan untuk memonitor
perkembangan glaukoma, kejang, nyeri kepala dan episode stroke. Terapi medisional dan
tindakan bedah untuk glaukoma ditujukan untuk mengontrol tekanan bola mata serta
mencegah kerusakan pada nervus optikus. Terapi laser untuk malformasi vaskular di
wajah sebaiknya segera dikerjakan untuk mendapatkan kebrhasilan yang lebih baik.
Kejang harus dikelola dengan baik untuk mengurangi efek hipometabolisme dan
hipoksia. Apabila berkembang menjadi intraktabel, maka perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan bedah epilepsi.
88
Hemiparesis dan gangguan lapang pandang sementara tidak selalu berkaitan
dengan kejang, oleh karena itu diperlukan monitoring yang baik. Aspirin
direkomendasikan dengan dosis 3 – 5 mg/KgBB/hari untuk profilaksis episode
menyerupai stroke tersebut.
Untuk mengatasi migren, pada umumnya cukup responsif dengan pemberian obat
untuk menghilangkan dan mencegah migren. Golongan triptan cukup aman untuk
diberikan.
Prognosis sindroma Sturge-Weber bervariasi. Walaupun sering didapatkan
komplikasi neurologis, namun fungsi-fungsi lainnya masih dalam batas normal.
ATAKSIA TELANGIEKTASIS
Ataksia telangiektasis ditandai dengan ataksia serebelar yang progresif lambat,
apraksia okulomotor, khoreoatetosis, telangiektasis pada kulit dan konjungtiva,
kecendrungan mendapatkan infeksi bronkopulmonal, neoplasia limforetikular, keganasan
lain, sensitifitas terhadap radiasi ionisasi.
Angka kejadian penyakit ini 1 di antara 40.000 kelahiran, disebabkan kelainan
pada kromosom 11.
Manifestasi klinik
Tanda-tanda gangguan serebelar muncul saat bayi dan awal masa kanak-kanak.
Ciri khas telangiektasis muncul pada area yang terpapar sinar, yaitu konjungtiva bulbi,
hidung, telinga, leher, fosa antekubiti dijumpai pada usia 3 – 10 tahun, semakin jelas
terlihat dengan semakin banyak paparan dengan sinar ultraviolet.
Sekitar 85%penderita mengalami khoreoatetosis, apraksia gerakan mata dan
nistagmus.
Hipotonia, menurunnya reflek tendon dan kelemahan otot muncul
belakangan. Intelegensia pada umumnya terganggu seiring dengan berkembangnya
penyakit. Sebagian besar penderita mengalami infeksi sinopulmonar berulang, dan sering
dijumpai neoplasma.
Diagnosis
Diagnosis mudah ditegakkan apabila dijumpai lesi okulokutaneus dan gambaran
kelainan neurologis khususnya apraksia okulomotorik. Apabila tidak semua gejala dan
tanda khas muncul, dapat dibantu dengan pemeriksaan uji radiosensitif, immunoblotting
dan deteksi mutasi genetik. Pemeriksaan MRI menunjukkan atrofi serebelar.
Penatalaksanaan
Tidak ada pentalaksanaan khusus untuk mencegah progresifitas. Untuk prevensi
infeksi sinopulmonar yang berulang dapat diberikan imunoglobulin serta pemberian
antibiotik dan drainasi postural.
PENYAKIT VON HIPPEL-LINDAU
Penyakit ini ditandai dengan hemngioblastoma serebelar, angioma medula
spinalis, kista multipel kongenital pada pankreas dan ginjal, karsinoma renal dan
89
hemangioma retinal. Kelainan terletak pada kromosom 3 dan diturunkan secara
autosomal dominant.
Penyakit Von Hippel-Lindau tidak tampak pada masa kanak-kanak, baru terlihat
pada dekade kedua dan ketiga kehidupan. Keterkaitan antara lesi retina dan otak dengan
lesi sistemik cenderung progresif dan semakin tampak pada saat dewasa.
KEPUSTAKAAN
Menkes J.H., Till K., 1995. Tumors of the Nervous System. In : Menkes J.H. Textbook of
Child Neurology.5th ed. Baltimore, Maryland, William & Wilkins, pp: 635-74.
Maria BL, Menkes JH, 2006. Tumors of the Nervous System. In : Menkes JH. Textbook
of Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 740-802.
Maria BL, Menkes JH, 2006. Neurocutaneous Syndrome. In : Menkes JH. Textbook of
Child Neurology 7th ed. Lippincott, William & Wilkins, pp : 804-829
Jallo G.I., Freed D., Epstein F (2003) Intramedullary spinal cord tumors in children.
Childs Nerv Syst 19:641–649.
Nanda R., 2006. Brain tumor – children.
http://www..nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000768.htm
Cripe T.P., 2007. Brain Tumors.
http://www.chw.org/display/PPF/DocID/22484/router.asp
Mac Donald T., 2006. Astrocytoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic154.htm
Lasky III J.L., 2007. Craniopharyngioma. http://www. Emedicine.com/ped/topic158.htm
Mac Donald T., 2006. Ependymoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic693.htm
Mac Donald T., 2006. Meduloblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1396.htm
Lacayo N.J., 2007. Neuroblastoma. http://www. Emedicine.com/ped/topic1570.htm
Stefanovic I.S., et al (2005) The Application of Sandostatin in Therapy of High Risk
Medulloblastomas. Medicine and Biology Vol.12, No 3, 2005, pp. 170 – 173.
Jallo G.I., 2007. Pediatric Spinal Cord Tumors.
http//www.spineuniverse.com/displayarticle.php/article1462.html
Shapiro W.R., 2008. Spinal Cord Tumors.
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch088/ch088.c.html
GANGGUAN SARAF TEPI DAN OTOT
90
A.
POLIO
Definisi
Poliomielitis merupakan infeksi enterovirus yang bisa bermanifestasi menjadi
4 bentuk yang berbeda (lihat klasifikasi). Sebelum abad ke-19 poliomielitis timbul
secara sporadik. Selama abad ke-19 dan 20, poliomielitis epidemik lebih sering
dijumpai, yang mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 1950-an. Semenjak
program imunisasi yang agresif, prevalensi di seluruh dunia menurun secara
signifikan.
Epidemiologi
Tidak ada lagi kasus polio tipe-ganas yang pernah dilaporkan di AS sejak
tahun 1979. Hingga tahun 1998, kira-kira 8-10 kasus yang berkaitan dengan
vaksinasi dilaporkan setiap tahunnya. Sejak kebijakan penetapan penggunaan
vaksin poliovirus inaktif (IPV) dalam imunisasi rutin, kasus yang berkaitan dengan
vaksinasi berkurang secara signifikan.
Insiden secara global penyakit ini telah berkurang lebih dari 99% sejak tahun
1988. Empat negara terakhir yang masih melaporkan adanya transmisi poliovirus
tipe ganas yaitu Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan India, juga menunjukkan
kemajuan yang signifikan dalam eradikasi poliomielitis sejak tahun 2009. Pria dan
wanita pada usia anak-anak ditemukan seimbang. Penyakit ini terutama mengenai
anak-anak, namun bisa juga ditemukan pada segala usia (terutama yang mengalami
gangguan fungsi imun).
Etiologi
Virus Polio merupakan enterovirus yang termasuk dalam famili
picornaviridae. Virus-virus ini resisten terhadap eter dan kloroform, tapi bisa
diinaktivasi dengan formaldehid. Virus ini bermultiplikasi dalam saluran cerna tapi
bersifat neurotropik.
Patofisiologi
Virus Polio merupakan virus RNA yang ditransmisikan melalui rute fekaloral atau melalui air yang terkontaminasi. Ada 3 serotipe yang bisa menginfeksi
manusia. Masa inkubasi penyakit ini adalah 5-35 hari. Partikel virus awalnya
bereplikasi di nasofaring dan saluran cerna dan kemudian menginvasi jaringan
limfoid, diikuti penyebaran secara hematologik. Setelah periode viremia, virus
menjadi bersifat neurotropik dan menyebabkan kerusakan neuron motorik pada
kornu anterior dan batang otak. Kerusakan neuron-neuron ini mengakibatkan
terjadinya paralisis flaksid, dengan distribusi spinal atau bulbar.
Klasifikasi
Poliomielitis bisa bermanifestasi dalam 4 bentuk berbeda:
1. Asimtomatik (inapparent infection)
2. Penyakit abortif
3. Tipe nonparalitik
4. Tipe paralitik
91
Manifestasi klinis
1. Kasus ringan/tidak bergejala (inapparent infection)
Sebagian besar pasien yang terinfeksi virus polio berkembang menjadi
infeksi yang tidak bergejala (inapparent infection) dan seringkali asimtomatik.
2. Tipe abortif
Pada kasus poliomielitis abortif (5-10%), ditemukan riwayat gejala dan
tanda nonspesifik seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, nyeri
perut, hiperemia orofaring, dengan temuan pemeriksaan neurologik normal.
Durasi penyakit biasanya kurang dari 5 hari.
3. Tipe nonparalitik
Pada poliomielitis nonparalitik, gejala yang ditemukan serupa dengan yang
dijumpai pada tipe abortif, disertai adanya tanda iritasi meningen.
4. Tipe paralitik
Poliomielitis paralitik (< 5%) memperlihatkan manifestasi sistemik, seperti
gagal napas, selain gejala-gejala yang ada pada tipe nonparalitik. Beberapa tanda
klinis yang khas yaitu gangguan neuron motorik bisa terlokalisir atau luas,
sering ditemukan gangguan fungsi otot yang asimetris yang melibatkan
kelompok-kelompok otot besar, atrofi otot biasanya dijumpai beberapa minggu
setelah mulainya gejala. Pemulihan pada tipe ini bisa komplit, parsial atau tidak
ada pemulihan sama sekali.
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Pengambilan sampel cairan serebrospinal (CSS), feses, dan apusan
tenggorok untuk pemeriksaan kultur virus pada pasien yang dicurigai menderita
poliomielitis. Selain itu, bisa dilakukan pemeriksaan konsentrasi antibodi serum
terhadap 3 virus polio. Peningkatan 4 kali lipat titer antibodi IgG atau titer antiIgM positif selama stadium akut dianggap sebagai diagnostik.
2. Radiologis/Pencitraan
Ferraz-Filho dkk menemukan bahwa magnetic resonance imaging (MRI)
berguna dalam membedakan poliomielitis paralitik terkait-vaksin dan kondisi
lainnya dan dalam menilai derajat lesi. Choudhary dkk meneliti poliomielitis di
India dan menyimpulkan bahwa MRI memperlihatkan perubahan signal pada
substansia nigra bilateral dan kornu anterior medula spinalis yang bisa
digunakan sebagai dasar diagnostik untuk anak dengan poliomielitis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala/tanda klinis, dan pemeriksaan
penunjang laboratorium/radiologis.
Diagnosis Banding
1. Botulisme
2. Infeksi enterovirus lain.
3. Sindroma Guillain Barré
4. Kugelberg Welander Spinal Muscular Atrophy
5. Myotonic dystrophy
92
6. Rabies
7. Tetanus.
Penatalaksanaan
Tidak ada antivirus yang efektif terhadap virus polio. Penatalaksanaan
poliomielitis terutama bersifat suportif. Analgesik diindikasikan pada kasus-kasus
mialgia dan nyeri kepala, ventilasi mekanik seringkali dibutuhkan untuk pasien
dengan paralisis bulbar, trakeostomi untuk pasien yang membutuhkan bantuan
ventilator jangka panjang, fisioterapi untuk kasus-kasus paralitik (dibutuhkan
mobilisasi rutin untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus; latihan gerakan aktif
dan pasif diperlukan selama masa pemulihan). Laksatif bisa diberikan bila mulai
terdapat konstipasi.
Total hip arthroplasty merupakan pilihan terapi operatif untuk pasien dengan
sekuel poliomielitis paralitik yang mengalami displasia pinggul dan penyakit
degeneratif.
Prognosis
Pasien poliomielitis abortif dapat sembuh sempurna. Untuk kasus yang
berkembang menjadi meningitis aseptik, gejala bisa berlangsung 2-10 hari, diikuti
oleh pemulihan sempurna. Untuk kasus polio spinal, jika neuron yang terkena
mengalami kerusakan total, paralisis akan bersifat permanen; sedangkan sel-sel
yang tidak rusak tapi mengalami gangguan fungsi sementara, dapat pulih dalam
waktu 4-6 minggu setelah onset penyakit. Separuh pasien polio spinal pulih
sepenuhnya; seperempat tetap memiliki kecacatan ringan, dan seperempat sisanya
memiliki kecacatan berat.
Pasien yang sembuh dari poliomielitis (paralitik) kadangkala mengalami
sindroma post-poliomielitis, dimana terjadi kelemahan atau kelelahan berulang dan
biasanya mengenai kelompok otot yang terkena saat menderita polio. Sindroma ini
bisa terjadi 20-40 tahun setelah terinfeksi virus polio, bersifat progresif lambat, dan
tidak ada pengobatan khusus untuk sindroma ini.
Daftar Pustaka
1. Estrada B. Pediatric poliomyelitis [Internet]. 2012 [updated 2012 apr 16; cited
2014 Feb 7]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/967950
2. Neumann D . Polio: its impact on the people of the United States and the
emerging profession of physical therapy. The Journal of orthopaedic and sports
physical therapy 2004;34 (8): 479–92.
3. Cuccurullo SJ. Physical Medicine and Rehabilitation Board Review. 2004.
B.
DISTROFI MUSKULAR PROGRESIF (DMP)
Definisi
Distrofi muskular merupakan kelainan miogenik yang diturunkan, ditandai
oleh atrofi otot yang progresif dan kelemahan dengan berbagai variasi distribusi
93
dan derajat penyakit. Piña-Garza menggunakan istilah ini untuk semua miopati
genetik yang disebabkan oleh defek pada struktur protein otot.
Klasifikasi
Distrofi muskular dapat dibagi menjadi: bentuk kongenital; Duchenne dan
Becker; Emery-Dreifuss; distal; fascioscapulohumeral; oculopharingeal; limbgirdle muscular dystrophy.
Epidemiologi
Karena X-linked DMD telah diketahui sejak bertahun-tahun yang lalu,
insidennya sudah tercatat dengan cukup baik. Berdasarkan 40 studi yang
melibatkan beberapa juta angka kelahiran laki-laki, insiden DMD saat kelahiran
berkisar 300 x 10-6, dan prevalensinya dalam populasi berkisar 60 x 10-6.
Gambaran epidemiologis untuk distrofi yang lain belum begitu akurat
diperoleh.
Etiologi dan Patofisiologi
Ketika dystrophin ditemukan sebagai defek protein pada duchenne muscular
dystrophy (DMD), para peneliti kemudian berasumsi bahwa, karena protein ini
berkaitan dengan sarkolemma, defisiensi dystrophin akan mengakibatkan
penghancuran membran otot. Proses ini kemudian akan menyebabkan kehilangan
enzim otot, termasuk kreatin kinase (CK), dan kemudian menyebabkan kelemahan
otot. Akan tetapi, untuk beberapa alasan, hipotesis ini membuktikan suatu
penyederhanaan yang berlebihan.
Hubungan ikatan berbagai protein terkait-sarkolemma terbukti jauh lebih
kompleks dari yang sebelumnya diyakini. Satu kemungkinan yaitu interaksi antara
berbagai protein ini dapat mencetuskan perubahan penyesuaian diri dalam calcium
channel yang mengakibatkan peningkatan aktivitasnya, terutama melalui interaksi
abnormal dari sitoskeletal-reseptor-asetilkolin. Proses ini kemudian akan
menyebabkan disfungsi mitokondrial, dan pada akhirnya, kematian sel.
Peningkatan kalsium intraseluler telah diketahui sebagai temuan awaal yang
penting pada DMD.
Manifestasi klinis
1) Distrofi muskular kongenital
Anak-anak yang termasuk dalam kelompok penyakit bawaan otosomal
resesif yang heterogen ini memperlihatkan adanya hipotonia dan kelemahan saat
lahir atau dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Ada beberapa bentuk
distrofi kongenital, sebagian disertai retardasi mental yang signifikan, dan
sebagian lagi tidak. Dua bentuk distrofi kongenital yang tidak disertai defisiensi
mental disebabkan oleh ketiadaan merosin (laminin 2, suatu protein
ekstraseluler otot) atau integrin 7 (sangat jarang). Meskipun tidak disertai
retardasi mental, anak-anak dengan defisiensi merosin ini, memperlihatkan
perubahan substansia alba pada MRI. Sebagian bisa berdiri dengan alat bantu,
namun sangat sedikit yang bisa berjalan. Kelemahan otot biasanya tidak
94
prograsif, namun banyak yang mengalami kontraktur sendi sehingga
mengakibatkan imobilisasi. Meskipun fungsi jantung normal, prognosis jangka
panjang kurang baik karena banyak pasien yang mengalami gangguan makan
dan respirasi yang serius.
Insiden distrofi muskular kongenital Fukuyama di Jepang adalah tersering
kedua setelah Duchenne muscular dystrophy (DMD), namun sangat jarang
dijumpai di tempat lain. Kelainan ini dinamai sesuai Yukio Fukuyama dari
Tokyo, yang pertama kali menggambarkan kondisi ini pada tahun 1960. Onset
pada saat bayi dengan gejala hipotonia dan kelemahan otot. Anak-anak yang
terkena sangat jarang yang bisa berjalan. Sebagian besat terganggu secara
mental dan banyak diantaranya yang mengalami epilepsi. Produk protein dari
gen yang berkaitan dinamakan fukutin, namun fungsinya masih belum jelas.
2) Duchenne dan Becker muscular dystrophy
Pada Duchenne muscular dystrophy (DMD), onset pada masa kanak-kanak
awal, dengan kesulitan berlari dan, kemudian, menaiki tangga. Kelemahan
ekstensor lutut dan pinggul menghasilkan manuver Gower. Sedikit gangguan
mental sering dijumpai, berkisar 20% anak laki-laki yang terkena memiliki IQ
kurang dari 70. Sebagian besar memiliki pembesaran otot betis, sehingga istilah
untuk kelainan ini sebelumnya dikenal sebagai pseudohypertrophic muscular
dystrophy; akan tetapi hipertrofi otot betis tidak hanya ditemukan pada DMD
namun juga pada distrofi lainnya seperti distrofi Becker. Kelemahan terutama
pada otot proksimal dan bersifat progresif. Pada akhirnya akan membutuhkan
kursi roda (sebagian besar pada usia 12 tahun). Pneumonia disertai gangguan
jantung merupakan penyebab kematian tersering, yang biasanya terjadi pada
masa remaja akhir atau awal usia 20-an.
Pada Becker muscular dystrophy (BMD), distribusi atrofi dan kelemahan
otot sangat mirip dengan DMD, kecuali perjalanan penyakit lebih ringan, dengan
onset penyakit sekitar usia 12 tahun; beberapa pasien tidak bergejala hingga
beberapa tahun kemudian. Gangguan ambulasi bervariasi sejak masa remaja,
dengan kematian biasanya pada dekade ke-4 atau ke-5. Gangguan mental juga
pernah dilaporkan.
Pada DMD dan BMD, kira-kira 5-10% carrier wanita menunjukkan
sedikit kelemahan otot, dan sering terdapat pembesaran otot betis–yang disebut
manifesting carriers (carrier bergejala). Kelemahan tersebut seringkali
asimetrik, dan bisa berkembang pada masa kanak-kanak ataupun tidak terlihat
hingga dewasa, dan bisa progresif perlahan atau tetap statik. Carrier juga bisa
mengalami kardiomiopati hipertrofi , yang bisa berkembang meskipun tanpa
kelemahan yang nyata.
Gen Duchene berlokasi pada Xp21, yang memperngaruhi dystrophin
protein sarkolema, dan ber-alel dengan BMD. Dystrophin biasanya tidak
ditemukan pada pasien DMD, namun seringkali jumlahnya berkurang atau
ukurannya abnormal pada BMD.
3) Emery-Dreifuss muscular dystrophy
Kelainan ini ditandai oleh trias gejala:
95
 Kontraktur awal (sebelum terdapat kelemahan yang nyata secara klinis) dari
tendon achilles, siku, dan otot servikal posterior, dengan gejala awal
terbatasnya gerakan fleksi leher; kemudian fleksi ke depan untuk keseluruhan
tulang belakang menjadi terbatas.
 Atrofi otot yang berkembang perlahan disertai kelemahan dengan distribusi
humeroperoneal yaitu pada proksimal ekstremitas atas dan distal ekstremitas
bawah––yang terjadi pada awal perjalanan penyakit. Setelah itu, otot-otot
proksimal extremitas dan tubuh juga akan terkena.
 Timbulnya kardiomiopati. Keterlibatan jantung umumnya menjadi lebih
nyata setelah berkembangnya kelemahan otot, biasanya dimulai pada usia 30
tahun.
4) Distal muscular dystrophy
Pada distrofi ini, kelemahan terutama dialami di bagian distal. Ada 2
kelompok utama: onset lambat (di atas usia 40 tahun) yang diturunkan secara
otosomal dominan, termasuk penyakit Welander; dan onset awal (sebelum usia
30 tahun) yang diturunkan secara otosomal resesif. Akan tetapi, penyebab yang
mendasari penyakit ini belum diketahui. Karena ditemukan variasi dalam ukuran
serabut dan rimmed vacuoles – bukan perubahan–perubahan distrofik–pada
histologi otot, maka kelainan ini lebih dianggap sebagai miopati daripada
distrofi.
5) Fascioscapulohumeral muscular dystrophy
Distrofi ini dinamai berdasarkan kelompok otot yang paling mulanya
terkena: wajah (facial) dan gelang bahu (shoulder girdle). Kemudian, otot
ekstensor kaki dan pinggul yang terkena. Jantung tidak terkena pada sebagian
besar kasus, meskipun pernah dilaporkan adanya aritmia dan defek konduksi
jantung. Selian itu, bisa dijumpai penyakit vaskular retina dan gangguan
pendengaran.
Kelainan otosomal dominan ini berhubungan dengan subtelomeric deletion
kromosom 4q, disertai hilangnya 3·3 kb tandem-repeat units. Hilangnya 10 atau
kurangnya repeats dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini, dan secara
umum, semakin sedikit jumlah repeats, makin serius penyakit secara klinis.
Namun fungsi gen khusus yang menjadi penyebab penyakit masih belum jelas.
6) Oculopharyngeal muscular dystrophy
Kelainan ini terutama dipelajari di Kanada Perancis, di mana penyakit ini
bisa ditelusuri kembali pada para imigran dari Perancis tahun 1634. Namun,
meskipun paling sering ditemukan di Kanada, penyakit ini juga dijumpai di
bagian lain Amerika utara dan Eropa. Onset pada kisaran usia dekade ketiga
kehidupan, mengenai otot-otot ekstraokular (meskipun diplopia yang nyata
jarang dijumpai), otot wajah bagian atas dengan ptosis, dan terdapat kelemahan
otot-otot leher dan ektremitas atas (bahkan ekstremitas bawah) bagian
proksimal. Disfagia merupakan manifestasi yang serius.
96
Kode lokus gen (14q) untuk poly-(A)-binding protein, pada ekson pertama
biasanya terdapat ekspansi triplet (GCG). Pada individu yang terkena, ekpansi
ini memiliki dua hingga tujuh repeats.
7) Limb-girdle muscular dystrophy
Pada kelainan ini, kelemahan terutama di otot-otot bagian proksimal
ekstremitas dan tubuh (limb-girdle). Sampai saat ini, ada 15 tipe yang berbeda
secara genetik telah diidentifikasi, yang menunjukkan pola yang sangat
heterogen secara klinis dan genetik. Bentuk dominan otosomal sangat jarang dan
secara umum lebih ringan dibandingkan tipe resesif. Beberapa jenis kelainan ini
berkaitan dengan keterlibatan jantung yang nyata secara klinis (tipe 1B, 1D, 2C,
2E, dan 2F), dan individu yang terkena sebaiknya diawasi secara teliti untuk
tanda-tanda penyakit jantung.
Pemeriksaan penunjang
1. Kreatin kinase (CK) serum
Pengukuran kadar CK serum merupakan pemeriksaan diagnostik yang sederhana
dan terjangkau, dimana bentuk distrofi yang berat berkaitan dengan kadar CK
yang tinggi.
2. Elektromiografi
Pemeriksaan ini penting untuk memastikan kelainan miogenik dan
menyingkirkan penyebab kelemahan neurogenik seperti kelainan saraf tepi.
Namun karena bersifat invasif, teknik ini kurang digemari dalam menegakkan
diagnosis pada anak-anak.
3. Histologi otot
Satu gambaran yang mempersatukan semua jenis distrofi sebagai temuan
histologis otot dengan variasi pada ukuran serabut, nekrosis serabut, invasi
makrofag, dan pada akhirnya pergantian oleh jaringan lemak dan penghubung.
4. Imunohistokimia dan analisis mutasi
Pada distrofi yang berkaitan dengan defisiensi sarcolemmal-associated protein,
imunohistokimia (atau analisis western-blot) dengan antibodi berlabel untuk
protein ini menjadi dasar diagnosis.
Untuk kasus dimana antibodi spesifik belum tersedia, atau bila protein yang
ditemukan bukan sarkolemma, maka analisis mutasi mungkin menjadi satusatunya cara untuk menegakkan diagnosis. Analisis mutasi juga penting untuk
konseling genetik dan diagnosis prenatal.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit
keluarga serta pemeriksaan penunjang seperti yang tercantum di atas.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan individu dengan distrofi sangat bergantung pada jenis
distrofi dan derajatnya.
1. Pembedahan
97
Secara umum, pembedahan awal tidak direkomendasikan; karena
tidak hanya menggagalkan perbaikan kekuatan otot dan kemampuan
berjalan, namun juga terdapat risiko anestetik, dan periode tirah baring
setelah tindakan operatif bisa memberikan efek yang merugikan. Akan
tetapi, koreksi pembedahan terhadap kontraktur bisa membantu pada
stadium lanjut panyakit ketika berjalan menjadi sulit, dan tujuan selanjutnya
untuk memperpanjang ambulasi. Koreksi penbedahan untuk skoliosis saat
ini sudah diterima secara luas. Tindakan operatif juga bisa membantu
mempertahankan fungsi paru dan mungkin bisa memperpanjang kehidupan
hingga beberapa tahun.
2. Penatalaksanaan Medis
Tidak ada obat untuk semua jenis distrofi, sehingga penatalaksanaan
ditekankan pada penanganan respirasi dan komplikasi kardiologis. Jika
diduga terdapat penurunan fungsi respirasi segera dilakukan pengukuran
kapasitas vital pernapasan. Insufisiensi pernapasan dapat ditangani dengan
non-invasive intermittent positive pressure ventilation melalui masker nasal.
Selanjutnya, trakeostomi elektif juga sudah sering dilakukan. Dengan
trakeostomi dan bantuan ventilasi, anak dengan duchenne muscular
dystrophy sebagai contoh, bisa bertahan hidup hingga dekade ke tiga.
Deteksi awal suatu kardiomiopati sangat penting, dan metode untuk
mendeteksinya berupa elektrokardiografi dan ekokardiogafi. Pengobatan
mencakup pemakaian konvensional diuretik, angiotensin-converting enzym
(ACE) inhibitor, dan digitalis. Pemasangan pacemaker bisa menyelamatkan
nyawa, pada defek konduksi jantung pada pasien distrofi (emery-dreifuss
muscular dystrophy), sehingga penting untuk dilakukan deteksi dini.
98
3. Pengobatan
Banyak obat-obatan telah diujicobakan pada kasus duchenne muscular
dystrophy, namun tidak ada yang terbukti efektif untuk menghentikan
perjalanan penyakit.
Prognosis
Prognosis untuk penderita DMP bervariasi menurut jenis distrofi dan
progresivitas penyakitnya.
Daftar Pustaka
1. Emery AEH. The Muscular Dystrophies. Lancet 2002; 359: 687–95
2. Piña-Garza JE. Flaccid limb weakness in childhood. In: Fenichel’s Clinical
Pediatric Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:174–88
C.
MIASTENIA GRAVIS
Definisi
Miastenia gravis (MG) adalah suatu penyakit otoimun dimana antibodiantibodi terbentuk terhadap membran poliisinaptik pada paut saraf-otot, sehingga
mengakibatkan kelemahan otot dan mudah lelah (fatigability).
Patofisiologi
Sebagian besar kasus MG disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor
asetilkolin nikotinik (AchR). Pasien yang memiliki antibodi AchR desebut sebagai
seropositif. Antibodi AchR lebih jarang ditemukan pada pasien prapubertas
dibandingkan pasien remaja/dewasa. Antibodi muscle-spesific kinase (MuSK)dan
Leucine rich protein 4 (LRP4) pernah dilaporkan pada beberapa pasien yang
seronegatif.
Klasifikasi
Terdapat 2 bentuk klinis miastenia gravis, yaitu:
1. Miastenia okular yang terutama atau hanya mengenai otot-otot mata (otot-otot
wajah dan anggota gerak bisa juga menunjukkan gangguan yang minimal),
2. Miastenia umum (generalized), dengan gejala kelemahan otot-otot bulbar dan
angota gerak sedang hingga berat.
Selain itu juga, dikenal beberapa subtipe miastenia pada anak-anak:
- Miastenia neonatal, sementara yaitu miastenia yang bersifat sementara, terjadi
pada 10-20% bayi yang lahir dari ibu yang menderita MG, akibat transfer
antibodi secara plasental dari ibu yang menderita MG selama kehamilan.
- Miastenia kongenital, yang merupakan kelainan genetik (non imun) pada paut
saraf otot, yang ditemukan pada bayi baru lahir. Penyakit ini bisa dibagi lagi
menjadi: presinaptik (10%), sinaptik (15%), dan postsinaptik (75%).
99
- Juvenile myasthenia (miastenia pada remaja), yaitu miastenia gravis pada
anak/remaja (di bawah 19 tahun) yang diperantarai proses imun. Penyakit ini
serupa dengan miastenia pada orang dewasa.
Epidemiologi
MG relatif jarang ditemukan pada anak, namun insiden dan prevalensinya
bervariasi secara geografis. Presentasi MG pediatrik lebih sering pada populasi
oriental dibandingkan kaukasia. Hingga 50% dari semua kasus MG pada populasi
orang Cina terjadi pada masa kanak-kanak, terutama dengan manifestasi okular,
dengan onset terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sebaliknya, pada populasi kaukasia,
lebih cenderung ditemukan pada usia dewasa, dengan onset prapubertas <10%
kasus.
Manifestasi klinis
Gejala-gejala awal tidak tampak hingga mencapai usia 6 bulan; dimana 75 %
penderita anak-anak menunjukkan gejala setelah usia 10 tahun. Onset prapubertas
berkaitan dengan kecenderungan pada laki-laki, gejala okular saja, dan seronegatif
terhadap antibodi reseptor asetilkolin, sedangkan onset postpubertas berhubungan
dengan kecenderungan pada perempuan, miastenia umum, dan seropositivitas.
Gambaran awal pada kedua bentuk klinis (baik okular maupun umum)
biasanya berupa ptosis, diplopia, atau keduanya. Antara 40 dan 50 % pasien
memiliki kelemahan otot bulbar atau anggota pada saat onset gejala okular.
Anak-anak dengan miastenia okular bisa menunjukkan gejala kelemahan
wajah ringan dan mudah lelah (fatigability) pada anggota gerak. Namun, tidak
ditemukan adanya kesulitan pernapasan atau berbicara maupun menelan. Kurang
lebih 20% pasien mengalami remisi permanen. Onset prapubertas lebih sering
berhubungan dengan remisi spontan.
Anak-anak dengan miastenia umum menunjukkan kelemahan umum dalam 1
tahun setelah gejala okular awal. Gejala-gejala berupa disartria, disfagia, kesulitan
mengunyah, dan mudah lelah pada anggota gerak. Remisi spontan sangat jarang
ditemukan pada tipe ini. Insufisiensi pernapasan terjadi pada sepertiga pasien anak
yang tidak diobati. Timoma dijumpai pada 15 % orang dewasa dengan miastenia
umum, namun pada anak diperkirakan kurang dari 5%. Saat dijumpai timoma pada
anak, meningkatkan kemungkinan ke arah malignan.
Diagnosis
Tes dengan edrophonium chloride seringkali ditetapkan sebagai standar
diagnosis, namun memiliki keterbatasan dan bahaya. Edrophonium chloride
merupakan antikolinesterase kerja singkat yang diberikan secara intravena dengan
dosis 0,15 mg/kg. sebelum memulai tes ini, harus ditetapkan target akhir dari
pemeriksaan, yaitu resolusi dari ptosis atau perbaikan motilitas okular, dan hasil tes
sulit dievaluasi tanpa adanya hasil-hasil tersebut. Ptosis biasanya berespon lebih
baik dibandingkan kelumpuhan otot okular. Efek yang mungkin terjadi pada pasien
yang supersensitif yaitu berupa fasikulasi dan henti napas. Untuk alasan ini,
pertama-tama suntikkan dosis uji coba sebesar sepersepuluh dari dosis penuh
(meskipun masih mungkin menimbulkan gangguan pernapasan pada dosis ini).
100
Untuk mengantisipasi hal tersebut, perlu disiapkan hand ventilator, dan antidot efek
muskarinik edrophonium yaitu atropin.
Pemeriksaan lain yaitu ice-pack test yang lebih mudah dan aman. Letakkan
kompres yang sangat dingin pada kelopak mata yang ptosis selama 2 menit.
Pembukaan parsial dari kelopak tersebut mendukung kemungkinan miastenia. Lima
menit beristirahat dengan mata tertutup bisa memberikan hasil serupa, tanpa
menggunakan es.
Hasil pemeriksaan repetitive nerve stimulation (RNS) abnormal pada 66%
anak-anak dengan stimulasi saraf proksimal, dan 33% pada stimulasi saraf distal.
RNS abnormal jarang ditemukan pada miastenia okular, namun merupakan
keharusan pada miastenia umum. pada miastenia ringan, didapatkan respon
decrement pada stimulasi frekuensi rendah (2-5 per detik) namun tidak halnya pada
stimulasi frekuensi tinggi (50 per detik). Sedangkan pada miastenia berat, respon
decrement didapatkan pada frekuensi rendah dan tinggi.
Single fiber EMG pada frontalis atau orbikularis okuli sangat sensitif untuk
diagnosis miastenia.
85% pasien miastenia yang diperantarai imun menunjukkan peningkatan
konsentrasi antibodi serum terhadap reseptor asetilkolin (>10 nmol/L). Di antara
yang seronegatif, banyak yang memiliki kelainan genetik akibat mutasi rapsyn dan
lainnya memiliki antibodi terhadap muscle specific tyrosine kinase (MuSK).
Diagnosis Banding
 Botulisme Infantil
 Sindroma miastenik kongenital
Penatalaksanaan
Dasar penanganan miastenia non-genetik pada anak adalah pengalaman dan
studi retrospektif, yang terutama dilakukan pada orang dewasa. Anak dengan
miastenia okular memiliki harapan untuk remisi spontan, namun berbeda halnya
dengan miastenia umum. Terapi antikolinesterase merupakan pilihan pengobatan
untuk myastenia okular. Dosis awal neostigmin 0,5 mg/kg tiap 4 jam pada anak < 5
tahun dan 0,25 mg/kg pada anak lebih besar (tidak melebihi 15 mg per dosis).
Dosis ekuivalen piridostigmin adalah empat kali lebih besar. Setelah memulai
pengobatan, dosis perlahan ditingkatkan sesuai kebutuhan dan toleransi. Tidak
didapatkan bukti yang kuat mengenai efektivitas imunoterapi awal dan timektomi
dalam mencegah perburukan miastenia okular menjadi umum, sehingga tidak
diterapkan pada anak-anak.
Tindakan timektomi dalam penatalaksanaan miastenia masih belum jelas.
Pengalaman menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak yang menjalani
timektomi pada awal perjalanan penyakit akan mengalami remisi dalam 3 tahun.
Namun, kortikosteroid juga memberikan hasil yang sama, dan tindakan timektomi
tidak akan mengurangi kebutuhan pengobatan kortikosteroid jangka panjang. Dosis
awal prednison adalah 1,5 mg/kg/hari, tidak melebihi 100 mg/hari. Setelah 5 hari,
diberikan terapi selang sehari sampai sebulan. Dosis kemudian diturunkan 10 %
tiap bulannya hingga mencapai dosis dimana pasien mengalami bebas gejala. Dosis
maintenance biasanya 10-20 mg selang sehari. Pemberian bersamaan dengan
101
antikolinesterase tidak diperlukan kecuali jika pasien mengalami kelemahan pada
hari-hari di saat kortikosteroid tidak diberikan (alternate days).
Plasmaferesis, imunoglobulin intravena, dan kortikosteroid intravena dosis
tinggi bermanfaat untuk intervensi akut pada pasien dengan insufisiensi
pernapasan.
Daftar Pustaka
1. Ashraf VV, Taly AB, Veerendrakumar M, Rao S. Myasthenia gravis in children:
a longitudinal study. Acta Neurol Scand 2006;114:119 – 23
2. Finnis MF, Jayawant S. JuvenileMyasthenia Gravis: A Paediatric Perspective.
Autoimmune Diseases 2011:1–5
3. Piña-Garza JE. Disorders of Ocular Motility. In: Fenichel’s Clinical Pediatric
Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:301–3
D.
POLINEUROPATI AKUT
Polineuropati secara harafiah diartikan sebagai disfungsi atau penyakit yang
mengenai banyak atau semua saraf perifer. Polineuropati akut relatif jarang
dijumpai, diantaranya sindroma Guillain Barré (GBS) atau yang juga dikenal
dengan acute inflamatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) yang paling khas,
dengan onset beberapa hari hingga maksimal beberapa minggu.
Polineuropati secara umum dibagi 2: demielinisasi dan aksonal (tabel 1).
Pada bayi baru lahir dan anak-anak istilah demielinisasi juga mengacu pada
kelainan dimana mielin tidak terbentuk (hipomielinisasi).
Tabel 1 Polineuropati dengan kemungkinan onset saat masa bayi.
Sumber: Fenichel’s Clinical Pediatric Neurology 7th ed. 2013.
102
Daftar Pustaka
1. Piña-Garza JE. The Hypotonic Infant. In: Fenichel’s Clinical Pediatric
Neurology 7th ed. New York: Elsevier Saunders; 2013:
GANGGUAN GERAK
Gangguan gerak adalah gangguan gerakan yang kompleks. Pada saat pemeriksaan klinik,
bila gangguan gerak belum terlihat, mintakan pasien atau keluarga pasien untuk membuat
rekaman video.
Kebanyakan gerakan adalah intermiten dan paroksismal. Dapat diawali oleh gerakan
(Chorea Huntington), startle (myoclonus), dan stres atau gerakan gerakan (tic). Banyak
gerakan abnormalitas menghilang dengan tidur tetapi harap dicatat pengecualian dengan
kejang, restless leg syndrome dan gerakan periodik saat tidur.
Karakteristik Klinik
Axial : terutama mencakup badan, dengan atau tanpa titubation (suatu gerakan involunter
ritmis kepala dan badan)
Appendicular : Terutama mengenai ekstremitas
- Proksimal : - bahu
- pelvis
- Distal : - tangan
- jari jari
- tungkai
- bilateral atau unilateral
Opsoclonus :
-gerakan chaotic mata
-gerakan paroksismal tak terduga dan tak teratur
Neuroanatomi
Secara anatomi belum dapat dipastikan lokasi kelainan di otak, namun dapat dikatakan
bahwa sistem ekstrapiramidal sering terlibat. Klinisi harus ingat bahwa gerakan normal
adalah hasil sintesis kompleks aliran dari piramidalis, ekstrapiramidalis dan sistem
serebelar, dimana satu dan lainnya saling mempengaruhi dan modulasi efek satu dengan
lainnya.
1. Ekstrapiramidalis
- Striatum (contoh, putamen dan nukleus kaudatus)
- Globus palidus
- Substansia nigra
2. Serebelum
- Vermis
- Hemisfer serebelum
103
Gangguan Klinik
Chorea dan athetosis
Tampak seperti gerakan tarian cepat yang mengenai sebarang tubuh dalam bentuk
stereotipik atau ritmik. Dalam usaha untuk menutupi chorea, seorang anak mungkin
mencoba membuat gerakan seolah bertujuan. Gerakan seolah bermain piano sering
dipakai untuk menggambarkan gerakan chorea tangan dan jari.
Chorea dapat dibuat dengan menyuruh anak menjulurkan lidah selama 10 sampai 30
detik. Tak dapat menjaga lidah tetap terjulur atau lidah keluar masuk menyarankan
adanya chorea. Tanda milkmaid adalah tanda tak bisa menjaga genggaman pada jari
pemeriksa. Tanda pronator adalah ketidakmampuan memegang tangan yang terentang di
atas kepala dengan tapak tangan mengarah ke dalam. Tangan akan cenderung kembali ke
posisi pronasi. Tanda shelving adalah hiperekstensi dari tangan bila dipegang dalam
posisi pronasi.
Athetosis didefinisikan sebagai gerakan writhing lambat yang secara primer mencakup
bagian distal ekstremitas. Pronasi dan supinasi alternating dengan gerakan difokuskan
pada aksis panjang tungkai tampak. Emosi yang meninggi atau stres bisa meningkatkan
gerakan. Bila writhing disertai gerakan cepat, disebutlah choreoathetosis. Chorea dan
athetosis sering terlihat dalam concert (contoh, choreaathetosis). Perbedaan keadaan ini
secara besar mirip.
Diagnosis Banding
DB diantara chorea dan/ atau athetosis atau satu kombinasi keduanya (choreoathetosis)
dapat agak luas. Perbedaan harus dimulai dengan satu grup generik (cth., kongenital,
genetik, obat obatan, infeksi, metabolik, neoplastik, vaskuler, dll). Daftar berikut tidak
dimaksudkan exhaustive, tetapi mencakup etiologi yang paling prominent
Etiologi
1.Kongenital
- Kernicterus
- Choreoathetotic cerebral palsy
2. Hipoksik iskemik
- Ruptur uteri
- Placenta abruptio
3. Genetik atau degeneratif
 Huntington disease : Riwayat keluarga yang positif, tidak ada bayangan kaudatus
pada CT Scan, abnormalitas kromosom 4
 Hallervorden-Spatz disease : Riwayat keluarga positif, deposit besi pada ganglia
basalis, gambaran mata macan pada MRI.
Penyakit Wilson;
-kadar copper meningkat dalam urin
-menurunnya kadar seruloplasmin
-cincin Kayser-Fleischer
-hasil tes fungsi liver abnormal
*Choreoathetosis paroksismal familial
*Abetalipoproteinemia (Bassen-Korzweig);
-acanthocytosis
-- lipoprotein menurun
-kadar kolesterol menurun
104
-retinitis pigmentosa
-foul bulky kotoran BAB
Obat obatan ;
-karbonmonoksida
-logam berat
-lithium
-Air raksa (Hg)
Infeksi ;
*pasca streptokokus (Sydenham);
-meningkatnya antistreptolisin-O
-meningkatnya anti DNAse B
-meningkatnya titer antinikotinamid adenin dinukleotidase
-murmur jantung
*ensefalitis;
Metabolik;
-hipokalsemia
-hipoglikemia
-tirotoksikosis
-hipoparatiroid
Neoplasma;
-tumor talamus
-tumor ganglia basalis
Vaskuler-kolagen;
-lupus
-poliarteritis
-hipertiroid
-anticardiolipin antibody syndrome
Trauma;
-Adalah sebab paling sering dari gangguan ini
Terapi (lihat di anak, pilihan obat, dosis)
Chorea berespon terhadap pengobatan dan obat yang umum dipakai adalah sbb;
*blok reseptor dopamin
-haloperidol
-thorazine
*barbiturat
*steroid
*benzodiazepin
-diazepam
-lorazepam
-klonazepam
*asam valproat
*penisilin; chorea Sydenham
*penisilinamin; penyakit Wilson
*inhibitor tiroid untuk tirotoksikosis
*dopamin untuk distonia responsif dopamin (penyakit Segawa)
105
Balismus
Gerakan balismus adalah gerakan flinging beramplitudo tinggi dari bahu atau pelvis.
Gerakan ini sering terlihat pada isolasi dalam anak.
Distonia
Karakteristik klinik
Distonia adalah suatu tingkah postural abnormal yang berasal dari kontraksi otot agonis
dan antagonis. Dapat disertai dengan pemutaran (twisting) atau pembalikan sepanjang
aksis tubuh, menghasilkan kontorsi tubuh. Distonia dapat disertai dengan
ketidakmampuan bergerak, berdiri atau berjalan. Bila distonia mengenai otot bulber, akan
mengganggu bicara sehingga timbul disartri dan gangguan intelegensia.
Tortikolis spasmodik, distonia torsi dengan posisi equinovarus, dan distonia fokal (cth.
writer’s cramp, blefarospasme atau distonia spasmodik) mengenai kelompok otot selektif.
Diagnosis Banding
*Obat; fenotiazin, blok reseptor dopamin
*Histeria
*Simtomatik; pos infeksi, traumatik
*Genetik; Batte disease, Huntington disease, Hallervorden-Spatz disease
Distonia Paroksismal
1. Distonia paroksismal (nonkinesiogenik) khoreoatetosis;
-episode distonia dan khoreoatetosis
-mengenai wajah, tangan, badan dan ekstremitas
-berakhir dalam menit sampai jam
-bisa mulai saat istirahat
-timbul mendadak
-diperkirakan diturunkan
-berespon dengan klonazepam, haloperidol, asam valproat dan asetazolamid
2. Kinesiogenik paroksismal khoreoatetosis;
-lebih singkat dari nonkinesiogenik khoreoatetosis (kurang 2 menit)
-bisa timbul sampai lebih 100x per hari
-presipitasi oleh gerakan, stratle, stres dan kegembiraan berlebihan
-gerakan terdiri dari distonia, khoreoatetosis dan balismus
-berespon dengan antikonvulsan
3.Distonia yang respon terhadap Dopa (Segawa disease);
-dominan otosomal
-onset 5 tahun
-variasi diurnal yang memburuk malam hari dan membaik pagi hari
-dengan distonia kaki
-gambaran Parkinson
-respon secara dramatis dengan L-Dopa dosis kecil
Mioklonus
Didefinisikan sebagai jerking cepat dari sebuah atau sekelompok otot, biasanya disertai
keseleo sendi. Dapat fokal atau umum, ritmis atau aritmis dan spontan atau dicetus oleh
gerakan. Kebanyakan dicetus oleh tidur. Mioklonus yang diaktifkan dengan gerakan
106
disebut mioklonus aksi dan yang dicetus oleh sitmulasi sensorik disebut mioklonus
sensitif refleks.
Opsoklonus adalah gerakan konjugasi mata yang cepat, chaotic dan seperti menari.
Jarang yang dengan diskonjugasi dan kadang kadang disertai osilopsia yakni sensasi
gerakan visual ketika mata digerakkan dari satu posisi ke posisi lain.
Klasifikasi
1. Epileptik dan non epileptik
2. fisiologik; benign, tidur
3. patologik; umum, subkorteks, batang otak, medula spinalis
4. progresif atau nonprogresif
5. tonus negatif (cth; arteriksis-kehilangan tonus)
Clinical entities
*Epilepsi; JME, Infantile spasm
*HIE
*Gangguan ganglia basalis
*Drug induced; asam valproat, karbamazepin, TCA
*Storage disease
*Ensefalopati metabolik ; liver disease, renal failure
*Infeksi: ensefalitis, SSPE (Subacute sclerosing pan-encephalitis)
Tics
Adalah gerakan stereotipik tiba tiba yang dapat berupa motorik atau vokal. Bersifat
involunter dan dengan usaha, dapat ditekan.
Karakteristik Klinis
*Meningkat dengan stres
*Bila tidur menghilang
*Biasanya paroksismal atau bukal
*Mulainya akhir separuh dekade pertama kehidupan; bisa seumur hidup.
Jenis
1. Sederhana; kedip mata, gerakan bahu, gerakan lengan dan tungkai
2. Kompleks; meraba, bruxism, melompat, skipping, ekhopraksia
3. Vokal; sederhana atau kompleks seperti grunting, snorting, barking atau
neologism, panting, bersiul, koprolalia
Tremor
Adalah gerakan ritmis, osilasi dengan kecepatan, ampiltudo dan kekuatan yang dapat
diramalkan. Dapat pelan atau cepat.
*Familial;
-Dominan otosomal
-Mengenai tangan dan dapat menjalar proksimal, sering dagu dan kepala mengeleng
geleng.
-Baik dengan blok beta dan etanol
*Tremor postural;
Terjadi bila lengan extensi. Frekuensi dapat berubah sepanjang waktu, dihambat dengan
blok adrenergik. Tremor ini meningkat oleh capek dan cemas, hipertiroidism dan agonis
epinefrin.
107
Spasmus Nutan
Bersifat horizontal bobbing (tremor “no”) dari kepala; disertai dengan nistagmus satu
atau ke dua mata.
-Onset 3 bulan sampai 1 tahun
-Menghilang usia 2-4 tahun
-harus disingkirkan glioma khiasmatik
Sindroma Tourette
1. Tics; gejala khas adalah tic motorik atau fokal yang berlangsung lebih setahun
2. disertai gambaran; gangguan obsesi kompulsif, ADHD, ada riwayat keluarga
3. terapi dengan blok reseptor dopamin, klonidin, pimozin, selective serotonin
reuptake inhibitors dan konseling.
Kriteria diagnosis
a. Onset gejala sebelum usia 21 tahun
b. Adanya tic motorik dan setidaknya satu vokal ( tidak harus berbarengan)
c. Gejala hilang timbul dengan perkembangan tic progresif
d. Gejala tic setidaknya satu tahun.
e. Tidak adanya penyakit yang mendahului ( seperti ensefalitis, stroke, penyakit
degeneratif) atau berhubungan dengan potensial tic-dicetuskan obat-obatan.
f. Pengamatan ticdari pengetahuan individu.
Tics, komponen penting dalam sindrom ini / karakteristik :
a. Brief voluntary suppression ( supresi volunter singkat )
b. Eksaserbasi karena ansietas, excitement, kemarahan atau kelelahan
c. Penurunan selama pengurangan aktifitas dan tidur;
d. Fluctuation over time (Fluktuasi berulang)
Daftar Pustaka;
1.Barkley RA., ADHD. in Mash EJ., ed. Childhood disorder. The Guilford Press. New
York. 1989:39-66
2.Cohen ME., Duffner PK., Weiner&Levitt’s Pediatric Neurology. 4th ed.Lippincott.,
Philadelphia. 2003: 257-267.
3.Maria BL., Tourette’s syndrome. In: Current management in child neurology. 3rd.ed.
BC Decker Inc. London.2005: 350-351
CEDERA KEPALA
Pendahuluan
Cedera kepala merupakan salah satu dari penyebab tersering kecacatan dan
kematian pada anak. Setiap tahun cedera kepala menyebabkan kematian 7.000 anak di
Amerika. Di Indonesia data epidemiologis secara nasional belum ada.. Kejadian pada
anak laki-laki 2 kali lebih banyak dari pada anak perempuan. Insiden paling tinggi pada
usia remaja dan insiden kedua tertinggi pada anak usia < 1 tahun. Mekanisme penyebab
cedera yang paling sering adalah jatuh, kecelakaan motor atau pejalan kaki di jalan raya,
kecelakaan bersepeda atau olah raga dan akibat penganiayan pada anak. Kecacatan yang
timbul setelah trauma dapat berupa cacat fisik, epilepsi paska trauma, gangguan kognitif
108
dan gangguan belajar, problem emosi dan prilaku dan berdampak terhadap kualitas hidup
anak.
Definisi
Berdasarkan anatomi cedera kepala merupakan trauma diatas dari mandibula
termasuk kulit kepala, tengkorak, meningen, pembuluh darah intra maupun ekstraserebral
dan kerusakan jaringan otaknya sendiri. Cedera otak traumatik merupakan subgrup dari
cedera kepala.(1)
Klasifikasi (2,3)
Beratnya cedera otak ditentukan oleh lamanya penurunan kesadaran dengan
parameter Skala Koma Glasgow (SKG) setelah resusitasi. Klasifikasi ini dibagi 3 kondisi
antara lain:
1. Cedera otak ringan dengan Skala Glasgow Koma 13-15
2. Cedera otak sedang dengan Skala Glasgow Koma 9-12
3. Cedera otak berat dengan Skala Glasgow Koma ≤ 8.
Tabel 1. Skala Glasgow Koma pada anak
< 6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
2-4 tahun
≥ 5 tahun
Membuka Spontan
Dipanggil
mata
=4
=3
Dengan nyeri = 2
Tidak
=1
Respon
verbal
Menangis
=2
Tidak respon = 1
Respon
motorik
Fleksi = 3
Elstensi = 2
Tidak respon= 1
Total skor 9
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
= 2
Tidak
=1
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Bisa
diperintah = 5
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
Spontan = 4
Dipanggil = 3
Dengan nyeri
=2
Tidak
=1
Orientasi = 5
Kata-kata = 4
Bunyi vokal 3
Menangis = 2
Tidak
=1
Bisa
diperintah = 5
Lokalisasi = 4
Fleksi
=3
Ekstensi = 2
Tidak
=1
11
12
13
14
Patofisiologi
Efek cedera akibat trauma ada 2 mekanisme:
A. Efek primer akibat proses percepatan dan perlambatan akibat tekanan fisik pada
kepala . Kerusakan tersebut bisa lokal atau difus. Kerusakan lokal berupa
kontusio maupun laserasi ditempat benturan ( `coup` ) dan bisa diseberangnya
(`contracoup`)
1. Lesi yang timbul merupakan efek langsung dari trauma dapat berupa :
1) Lesi intra aksial
(a) Diffus aksonal injuri
(b) Kontusio di kortikal
(c) Subkortikal injuri
(d) Brainstem injuri
2) Hematom ekstra aksial
(a) Ekstra dural
(b) Subdural
109
3) Perdarahan difus
(a) Subarakhnoid
(b) Intraventrikuler
4) Injuri primer pada vaskuler
2. Efek sekunder timbul akibat proses komplikasi dari injuri : (3)
i) Gangguan aliran darah serebral menimbulkan hipoperfusi dalam 24 jam
pertama, berkurangnya respon vasodilator endogen (nitrik oksida, adenosin,
siklik AMP)
ii) Eksitoksik akibat peningkatan glutama, diikuti akivasi Ca intraseluler dan
pelepasana radikal bebas dan merusak mitokondria dan DNA
iii) Oksidative stress ; produksi radikal bebas menyebabkan kerusakan neuron
dan pembuluh darah
iv) Inflamasi akibat peleningkatan sitokin
v) Apotosis teraktivasi akibat kerusakan mitokondria dan DNA
vi) Udem serebri menyebabkan intrakranial hipertensi, iskemi sekunder
Pada 24 jam setelah trauma aliran darah otak meningkat, hiperemia sering ditemukan
pada bayi dan anak-anak menyebabkan hilangnya autoregulaasi otak dan berakibat
udem otak masif, peningggian tekanan intra kranial, herniasi dan kompresi.
CEDERA KEPALA KHUSUS
Patah Tulang Tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. bisa melukai
arteri dan vena, Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak).
Cairan serebrospinal bisa merembes ke hidung atau telinga. Bakteri kadang memasuki
tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan
hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan,
kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah cedera pada
otak Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
110
struktural yang nyata. Bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan, tergantung kepada
goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.
Gejala : kebingungan,
sakit kepala
dan rasa mengantuk yang abnormal
Sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari..
Gejala-gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang
lebih dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar
dan bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.
Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma ini.
Untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen.
Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di dalam otak
atau diantara otak dengan tulang tengkorak. perdarahan bisa terlihat pada CT scan atau
MRI.
Gejala: sakit kepala yang menetap
penurunan kesadaran sampai koma
kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi
gangguan pernafasan atau gangguan jantung,
hematoma yang luas akan menyebabkan herniasi.
kematian.
Hematoma epidural dan subdural
Epidural hematom berasal dari perdarahan di arteri atau vena yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak.Subdural
hematom akut terjadi akibat robeknya vena yang melewati ruang subdural ke sinus
duramater.
Diagnosis dini sangat penting dan dideteksi dengan CT scan.
Gambar 1. CT scan epidural hematom
111
Gambar 2 CT scan Subdural hematom sebelum, dan sesudah operasi evakuasi hematom
Tabel 1. Gejala klinis epidural dan subdural hematom (4)
Supratentorial
Epidural
Subdural
Frekuensi
Fraktur tulang kepala
Sumber perdarahan
Usia
Lokasi
Lateralisasi
Kejang
Perdarahan preretina
Peninggian TIK
Gambaran CT scan
Kematian
Morbiditi
Tidak sering
70%
Arteri atau vena
Biasanya > 2 tahun
Biasanya temporaparietal
Biasanya unilateral
< 25 %
Tidak biasa
Ya
Biasanya lentikuler
Relative tinggi
Rendah
5-10 x lebih sering
30%
Hampir selalu vena
Biasanya < 1 tahun
Biasanya frontoparietal
75% bilateral
75 %
Sering
Ya
Seperti bulan sabit
Biasanya rendah
Tinggi
Infratentorial
Epidural
Subdural
Frekuensi
Fraktur tulang kepala
Sumber perdarahan
Gangguan kesadran
Akut hidrosefalus/ kompresi
medulari
Gejala posterior yang lain
2-3 x lebih sering
Hampir selalu
Vena
Sering
Bervariasi
Kurang
Sering
Vena
Sering
Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
Hematoma epidural dan subdural diatasi sesegera mungkin dengan operasi sesuai
indikasi.
Perdarahan Subrakhnoid
Perdarahan diruang subarakhnoid sering pada shaking injuri
Gejala : sakit kepala
Kaku kuduk
letargi
112
Gambar 3. Perdarahan subarakhnoid
Epilepsi Paska Trauma
Epilepsi paska trauma adalah kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami
cedera karena benturan di kepala. Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40%
penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
. Dari onset timbulnya kejang setelah trauma dibagi atas:
I Impact seizures : dalam 24 jam
II Early seizures : dalam 1 minggu setelah trauma
III Late seizures : Lebih dari 1 minggu setelah trauma
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) dipakai untuk
mengatasi kejang paska trauma yang segera timbul dan early seizure. Profilaksis tidak
diindikasikan pada late seizures
Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa
sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi
segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma)
Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Amnesia hanya berlangsung
selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan
akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat
menetap.
Jenis ingatan yang bisa terkena amnesia:
- Ingatan segera : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sebelumnya
- Ingatan menengah : ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa detik sampai beberapa
hari sebelumnya
- Ingatan jangka panjang : ingatan akan peristiwa di masa lalu.
Evaluasi cedera otak
1. Anamnesis :
Tanyakan secara detail ;
Bagaimana mekanisme trauma, kecepatan trauma, ketinggian jatuh, penurunan
kesadaran atau tidak, lamanya, amnesia, kejang ( onsetnya berapa lama, fokal / umum,
kesadaran setelah kejang), muntah, iritabel ( abnormal prilaku, emosi ).
Jika bisa ditanya anaknya, apakah ada sakit kepala, kelelahan, gangguan
penglihatan ,nyeri leher, kesemutan.
113
Apakah ada predisposisi terjadinya trauma sebelumnya:
Gangguan gait, pemakaian obat-obatan, alkohol, obat antikoagulan, kejang
sebelum trauma, perdarahan diasthesis
Pada bayi sering gejalanya asimtomatik.
2. Pemeriksaan fisik
 Tanda vital: tekanan darah, nadi, suhu,
 Kepala : hematom, perdarahan, jejas, benjolan, tulang retak. Bila ubun-ubun belum
menutup raba membonjol atau tidak memastikan tanda peninggian TIK.
 Mata ; teliti kelopak mata, visus, reflek cahaya, sklera, periorbital ekimosis (Raccon
eyes)
 Hidung: apakah ada rhinorhea, epistaksis, patah tulang hidung
 Wajah: lihat simetris wajah, tanda-tanda patah tulang wajah
 Telinga ; lihat apakah ada otorhea, perdarahan telinga
 Leher apakah ada echimosis retroaurikular ( Batltle`s sign) tanda patah tulang leher,
bahu maupun ekstremitas, gerakan semua anggota tubuh apakah ada yang lumpuh
 Periksa organ di dada, abdomen apakah ada patah tulang, trauma tumpul abdomen
hati, limpa, ginjal, uretra dll.
Pemeriksaan Neurologi
 PemeriksaanSkala Koma Glasgow, Status mental,
 Pemeriksaan Tanda fraktur basis : otorhea, rhinorhea, racoon eyes, bathel sign
 Nervus kranial:
 Sensorimotor: asimetri, tonus otot, koordinasi, (jika mungkin), gerakan.
 Reflek: asimtri, hiper atau hiporeflek
 Otonom :
Pemeriksaan diagnostik
1. Lab darah rutin, Analisa gas darah untuk pasien tidak sadar, gangguan nafas,
elektrolit, kimia darah, hemostasis (sesuai indikasi)
2. Ro kepala, Ro thorak, Ro servikal , Ro anggota gerak bila ada kecurigaan
fraktur
Indikasi pemeriksaan Ro kepala(1,2,3,4)
 Adanya penurunan kesadaran
 Adanya defisit neurologis
 Gejala dan tanda peningkatan TIK
 Tanda fraktur basis kranii, tengkorak
 Luka tembus
 Sefal hematom
 Usia < 1 th
 Jatuh dr ketinggian
3. CT scan (1,2,3,4)
Indikasi CT scan cedera otak anak < 2 tahun
Indikasi pasti ( resiko tinggi)
 Penurunan kesadran, iritabel
 Defisit neurologi fokal
 Fraktur tulang kepala
 Kejang
 Ubun-ubun membonjol
114
 Muntah ≥ 5 kali atau > 6 jam
 Perburukan defisit neurologis
 Kecurigaan penganiayaan anak
Indikasi relatif (resiko sedang)
 Muntah 3-4 kali
 Penurunan kesadaran < 1 menit
 Riwayat sebelumnya iritabel, lethargy dan saat diperiksa sudah membaik
 Hematom dikepala
 Mekanisme kecelakaan berat, tinggi
 Riwayat koagulopati
Tatalaksana (2,3,4,5)
Medikamentosa:
1. ABC : bebaskan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi, terapi bila ada syok,
hipotensi, hipoksia. Elevasi kepala 30 derajat
2. Bila terjadi penggian TIK atasi dengan pemberian cairan hiperosmolar
seperti Manitol dosis 0,5-1 gr/kgBB dengan terlebih dahulu menghitung
osmolaritas darah pasien sebelumnya, bisa diberikan Furosemid dosis 0,51 mg/kgBB setiap 4-6 jam, liat kesadaran menurun.
3. Bila tidak berhasil dapat diberikan barbiturat 4-6mg/ kg IV thiopental
diikuti infus kontinu 6-8mg/kg.
4. Bila kejang beri IV fosfophenitoin 10-15mg/kg loading dose, diikuti
maintence 4-8 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis.Alternative lain lorazepam
0,05- 0,1 mg/kgBB). Bila status tatalaksana sesuai dengan tatalaksana
status konvulsivus.
5. Atasi gangguan elekttrolit yang ditemukan.
6. Nutrisi sesuai kebutuhan dan umur anak.
Operasi :
Indikasi untuk operasi pada anak tidak terlalu agresif. Operasi dilakukan bila hematoma >
5 mm, ada peninggian TIK.
Prognosis: (5)
Tergantung dari :
• penyebab dan berat cedera otak
• Type dan perluasan cedera
• Variasi diluar cedera
• Usia anak
• Riwayat Behavioral
• Premorbid keluarga
• Faktor setelah cedera
• Peran keluarga
• Rehabilitasi
Gejala sisa setelah truma
• Defisit Motorik, pendengaran and penglihatan
• Gangguan berbahasa
• Perubahan Behavioral
• Disfungsi Kognitif : penurunan IQ, gangguan memori, atensi, konsentrasi, fungsi
eksekutif
115
•
Gangguan belajar
Daftar Pustaka
1. American Academy of Pediatrics. The Management of Minor Closed head Injury
in Children. Pediatrics 1999. Vol 104 (6). 1407-1415
2. Berger Pardes Rachael and Adelson David. Evaluation and Management of
pediatric head trauma in The Emergency department : Current Concept and Stateof-the Art research. Clinical Pediatric Emergency Medicine, 2005. Elsevier 6:8-15
3. Menkes J.H Sarnat H.B, Maria. Bernard; Postnatal trauma and Injuries by
Physical agents;Child Neurology, 7 ed, Liipincot William Philadelphia 2006,
659- 670
4. Maria Bernard, Current Management in Child neurology 3 ed. BC Decker London
, 2006. page 515-524
5. Swaiman K, Ashnal S, Ferriero, traumatic Brain Injury in Children; Pediatric
Neurology Principles & Practices, 4 ed Elsevier, 2006, page 873-897
ASSESMEN SERTA MANAGEMEN PAIN PADA ANAK
Pendahuluan
Pain atau nyeri merupakan keluhan yang banyak dijumpai pada anak. Penyebab
beberapa penyakit dapat bermanifestasikan nyeri, sedangkan anak sering kali belum
dapat menyampaikan keluhannya secara tepat. Perlu kerja sama antara orang tua,
pengasuh serta dokter yang menangani keluhan sakit tersebut. Dengan menangis ataupun
rewel orang disekitar sudah harus tanggap apa sebenarnya yang dialami anak. Mungkin
karena kencing, buang air besar, nyeri kepala, panas, kedinginan, dsb.
Bagian I: standard pain 1
Pain merupakan suatu keluhan yang cukup mendominer, serta merupakan problem yang
banyak menyita masalah di Amerika Serikat.
Apakah sebenarnya pain itu? Pain merupakan suatu rasa luka atau rasa yang tidak
nyaman. Hal tersebut dapat bervariasi mulai dari rasa tak nyaman sampai dengan
nyeri dengan derjat berat. Baru-baru ini JCAHO mengadopsi beberapa standard
managemen pain baru dan akan dibuat skor, dimulai dari tahun 2001. Standard baru
tersebut memerlukan fasilitas kesehatan untuk:
1. Memilih pasien yang memerlukan asesmen dan managemen nyeri
2. Mengetes eksistensi dan bila perlu bagaimana proses alamiah serta intensitas
nyeri pada semua pasien.
3. Catat semua hasil asesmen secara teratur ulangi dan ikuti perkembangannya.
4. Tentukan serta atasi nyeri sesuai dengan kompetensi masing-masing serta
tentukan dan manage nyeri untuk orientasi terhadap semua staf baru.
5. Mantapkan cara serta prosedur untuk mendukung pengobatan pain secara efektif.
6. Didik pasien serta keluarga tentang managemen pain yang efektif.
7. Sampaikan pada pasien untuk mengatasi gejala guna merencanakan proses
selanjutnya.
Beberapa kondisi statistik di Amerika Serikat 9% dari populasi dewasa dari 25 juta orang
menderita nyeri derajat sedang sampai berat dalam 6 bulan terakhir, tidak termsuk pain
karena kanker.
Perlangsungan nyeri dilaporkan sbb.:
116
Antara 6 bulan sampai 1 tahun : 10%
Satu - 5 tahun
: 34%
Lebih dari 5 tahun
: 56%
Berikut ini pengaruh gaya hidup yang mempengaruhi nyeri:
Gangguan tidur
: 68%
Kesulitan berjalan
: 53%
Tidak dapat konsentrasi : 42%
Problem pekerjaan
: 34%
Hubungan kerja kurang baik: 26%
Depresi
: 18%
Merasa tak berguna
: 12%
Alkoholisme
: 10%
Minoritas etnis mendapat terapi kurang adekuat untuk painnya dibanding kelompok non
minoritas. Hanya 35% dari minoritas pasien dengan kanker mendapat pengobatan dosis
tinggi dibanding 50% etnis Kaukasia.
Pasien dengan umur lebih tua melaporkan nyeri dua kali lebih berat dibanding
kelompok lainnya
Bagian II: Penentuan pain dengan 5 vital sign
Manajemen pain akan berhasil bila asesmen pain dibuat dengan tepat. Jangan pernah
membuat asumsi bahwa pasien tidak nyeri. Tanya beberapa kali dan ulang. Beri
perhatian terhadap ekspresi wajah serta bahasa tubuhnya. Asesmen nyeri dikerjakan
secara teratur, individual terhadap masing-masing pasien, serta catat dengan baik. Berikut
ini adalah komponen dari asesmen nyeri:
- Dimana rasa terlukanya?
- Bagaimana rasanya?
- Seberat apakah nyerinya?
- Berapa lama nyeri berlangsung, apakah hilang timbul atau menetap?
- Apa yang membuat membaik atau memperburuk?
- Apakah mengganggu tidur?
Pain dapat bersifat akut atau kronis. Mayoritas nyeri akut berlangsung singkat dan
hampir semuanya disebabkan oleh kerusakan jaringan atau organ. Sebagian besar
nyerinya akan menghilang setelah pengobatan. Nyeri kronis perlu waktu untuk
kesembuhannya. Hal ini mungkin berhubungan dengan trauma serius seperti terbakar
atau karena kanker. Mungkin juga sebabnya tak diketahui. Ke dua jenis nyeri tersebut
dapat diobati secara efektif.
Bagian III: Managemen pain
Nyeri sebaiknya diterapi dengan obat-obatan, cara invasif chas atau dengan beberapa
alternatif penghilang nyeri secara non invasif. Analgesik atau penghilang nyeri dibagi
menjadi 3 katagori.
1. Non-opioid selain
non steroid anti inflamasi seperti ibuprofen atau asetaminophen
(Tylenol). Obat-obat tersebut digunakan untuk mengobati nyeri derajat ringan sampai
sedang.
2. Opioid digunakan untuk nyeri derajat sedang sampai berat. Obat lain yang termasuk
golongan tersebut antara lain: morphine, codeine dan fentanyl.
3. Beberapa obat lain yang dapat digunakan sebagai pengganti opioid atau non-opioid.
antara lain anti depresan untuk stimulasi steroid.
117
Salah satu efek samping yang paling sering dijumpai adalah konstipasi, yang harus
diterapi dengan meningkatkan intake cairan, latihan secara teratur, tingkatkan diit serat
dari makanan berupa buah dan sayur. Bicarakan kemungkinan diberikan laksan oleh
dokter
Prosedur invasif mungkin digunakan untuk nyeri kronis dan dilakukan oleh spesialis
pain. Lisensi terhadap dokter yang akan melakukannya termasuk rhizotomi dan atau blok
saraf. Beberapa tindakan lain yang tak invasif antara lain: masase, terapi pamnas atau
dingin, relaksasi dengan biofeedback, latihan pernafasan, relaksasi otot secara progresif,
akupunktur, latihan serta terapi sentuhan.
Dapat ditambahkan bahwa penentun nyeri harus dilakukan secara teratur, harus
didokumentasikan serta catat secara lengkap setelah dilakukan pengobatan atau
perlakuan.
Bagian IV : Managemen pain dalam siklus kehidupan
1.Bayi
Karena bayi belum dapat menyatakan nyerinya secara verbal, maka pembantu harus
dapat melihat gejala non verbal yang menunjukkan adanya gejala nyeri. Disini termasuk
tangisa, gelisah, tangan dan kaki kaku, berdebar atau tekanan darah meningkat. Tentukan
kondisi paling nyaman pada bayi termasuk pemberian obat dan lain-lain.
2.Anak dalam masa pra sekolah atau masa sekolah (Gambar???)
Anak yang merasakan sakit belum dapat menceriterakan secara jelas seperti orang
dewasa. Anak kurang dari 4 tahun akan lebih susah menyampaikan derajat keluhan
nyerinya dibanding umur yang lebih tu. Penggunaan skala nyeri dengan penanda akan
lebih efektif untuk anak seumur ini. Satu penanda berarti sedikit nyeri, tanda II berarti
lebih nyeri, III lebih nyeri dan IV berarti paling sakit
Anak-anak sekitar 5 tahun mungkin dapat dinilai secara lebih efektif dari ekspresi
wajahnya, sementara pada anak umur 6 tahun ke atas secara keseluruhan sudah dapat
mengatakan nyeri secara keseluruhan. Mungkin mereka dapat memfokuskan rasa
nyerinya atau dimana lokasi nyerinya Mungkin juga mereka dapat menentukan kondisi
yang dapat membuat lebih nyaman.
Mungkin anak dapat memperlihatkan nyerinya dengan menangis, dari wajah yang
kesakitan atau dengan menunjukkan dimana lokasi rasa nyeri tersebut. Mungkin juga
mereka makan lebih sedikit dibanding biasanya, kurang aktif dan atau lebih banyak
tidur dibanding biasanya. Mungkin pula onsetnya sebentar, nyeri jelas, seperti ditusuk
jarum yang lebih nyata dibanding nyeri lainnya.
Sering kali anak memberikan respon yang bagus terhadap penghilang nyeri. Orng tua
adalah pengobat psikologi terbaik untuk nyeri. Pemberian perhatian diluar pengobatan
biasanya akan sangat membantu mengurangi keluhan nyeri.
Bagian V: pasien nyeri dengan gangguan berpikir dan berbicara
Penderita dengan penurunan kemampuan berkomunikasi secara efektif karena demensia
atau trauma , sukar untuk mengekspreikan nyeri atau rasa ketidak nyamanan untuk
jangka waktu agak lama.. Dapat ditambahkan bahwa riwayat sebelumnya membuat
pasien kurang peka terhadap nyeri atau dalam membedakannya dengan keluhan lainnya.
Pada kenyataannya kasus sehat secara keseluruhan sukar untuk menyatakan adanya pain
sebagai keluhan verbal
Gejala non verbal sangat bervariasi, antra lain termasuk:
1). Kesakitan, nyeri di seluruh kepala, serta mengeratkan gigi
118
2). Rasa nyeri hilang timbul
3). Rasa tak nyaman
4). Menangis atau nafas bersuara
Beberapa tambahan teknis dalam menentukan nyeri termasuk:
1). Gunakan kata singkat serta nada suara normal.
2). Menggunakan waktu secara efisien selama komunikasi dengan pasien
3). Tanyakan pada pasien dengan jawaban ya atau tidak sambil menunjuk lokasi nyeri
4). Individu biasanya masih mampu menggunakan skala nyeri secara sederhana dari
angka 1 sampai 5, atau dari skala ekspresi wajah
5). Tanyakan pada keluarga dan atau perawatnya yang mungkin melihat pasien relatif
lebih sering serta teratur.
Bagian VI: rencana perawatan pin
Tujuan managemen nyeri terhadap pasien adalah memperkecil atau menghilangkan nyeri,
atau mengurangi nyeri sampai tingkat yang bisa diterima pasien. Mencegah nyeri lebih
mudah dibanding mengobati merupakan salah satu cara yang harus dipegang. Nyeri
merupakan suatu kondisi darurat. Penting mengikuti perkembangan pasien dengan
lanjutan keluhannya walaupun sudah diberikan pengobatan. Jawaban dari perawat akan
menunjukkan perkembangan nyeri pasien.
Perawat perlu pro aktif dalam mendapatkan rencana perawatan pain chususnya untuk
jenis yang kronis, sbb.,
1). Ikuti dan antisipasi masalah-masalah yang berkaitan dengan nyeri
2). Harapan hasil achir dari intervensi serta pasien dengan nyeri derajat berat
3). Tentukan strategi dalam mangemen pain.
Salah satu bagian nyeri pada anak yang tidak kalah pentingnya adalah nyeri kepala. Nyeri
kepala menduduki peringkat pertma dari seluruh keluhan nyeri
Headache atau nyeri kepala pada anak merupakan masalah umum yang sering
dikeluhkan anak. Nyeri kepala disini mungkin merupakan manifestasi nyeri kepala
primer karena migrain, tension, cluster headache atau nyeri kepala sekunder akibat
kelainan di sistema saraf pusat.
Penanganan nyeri kepala oleh dokter, tidak boleh melupakan faktor emosi serta fisik agar
didapat diagnosis yang benar dan penanganan yang tepat. Orang tua serta dokter harus
mewaspadai kemungkinan penyebab neurologis yang cukup serius pada nyeri kepala,
walaupun sering kali dikira penyebab di luar sistema saraf sentral.. 2
Penyebab nyeri pada anak, dapat pula karena neuropati perifer.4. Neuropati perifer pada
anak juga perlu dicermati. Beberapa kasus neuropati pada anak sering sangat
berpengaruh terhadap kualitas hidup anak, sedangkan sebagian diantaranya kurang
efektif di dalam pengobatannya. Untuk kelainan bawaan neuropati masih sangat minim
diketahui mekanismenya, sehingga untuk kelanjutannya yang akan bersifat progresif dan
ireversibel kurang memberikan harapan. Neuropati karena inflamasi lebih mudah di
terapi sebab etiologinya jelas.
Terdapat
kemungkinan untuk keberhasilan terapi. 1) Bila penyebabnya dapat
diidentifikasi maka pengobatan lngsung ditujukan pada penyebabnya. 2). Seandainya
tidak diketahui penyebabnya, perbaikan metabolisme sarafnya sendiri perlu dievaluasi.
3). Pengobatan simtomatis tidak boleh dilupakan, chususnya pada anak yang masih
bertumbuh dan berkembang. Operasi mungkin direkomendasikan untuk mencegah
kontraktur, atau mungkin dengan prothese.
119
Diagnosis neuropati perifer dapat ditegakkan berdasarkan proses patologis yang
mempengaruhi saraf tepi antara brainstem atau medula spinalis yang akan merangsang
gerakan. Beberapa ktagori neuropati anak antara lain:
1. Polineuropati
Polineuropati akan mengenai sistema motorik dan sensorik saraf dalam bentuk
campuran. Distribusinya bagian distal lebih dominan dan biasanya simetris. Gejala
yang ditimbulkan dapat bersifat kronis atau akut, genetik, toksik, defisiensi nutrisi
atau inflamasi.
2. Mononeuropati
Mononeuropati mengenai satu sisi saraf dengan tipe campuran motorik dan
sensorik. Lokasi biasanya pada satu saraf dengan penyebab karena trauma,
entrapment atau keganasan.
3. Mononeuritis multipleks
Mononeuritis multipleks mengenai saraf tepi secara multipel, melibatkan saraf
serta lokasi multipel, dengan penyebab vaskular serta melibatkan jaringan kolagen.
4. Radikulopati
Radikulopati melibatkan simpul saraf spinal tunggal dengan lokasi yang sesuai
dengan simpul saraf yang terkena. Penyebab radikulopati antara lain karena sebab
struktural, tumor, kolagen atau vaskular.
5. Poliradikulopati
Poliradikulopati mengenai simpul saraf secaramultipel, sesuai dengan dermatom
atau miotom yang terkena. Penyebab poliradikulopati dapat karena inflamasi, infeksi
serta neoplasma
6. Pleksopati
Pleksopati melibatkan pleksus brachial dan lumbal. Distribusinya kompleks dan
mengenai pleksus secara selektif. Pleksopati dapat disebabkan karena proses
inflamasi, struktural serta karena trauma.
ABC mangemen pain
AHCPR (The Agency for Health Care Policy and Research) merekomendasikan ABC
untuk mnagemen pin atau nyeri :
A: tanyakan tentng pain secara teratur dan tentukan nyerinya secara sistematis
B: percaya pada pasien dan keluarganya tentang laporan nyeri serta apa faktor yang
dapat mengurangi nyerinya
C: pilih beberapa alternatif yang diharapkan pasien , keluarga berikut cara yang dapat
mengontrol nyeri
D: kirimkan waktu untuk intervensi, logis serta kerja sama yang baik
E: berdayakan pasien dan keluarganya. Pasien diberi pengarahan agar dapat
mengontrol kondisinya bila memungkinkan
Kesimpulan
1). Nyeri pada anak cukup banyak dikeluhkan
2). Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai penyebab, sehingga perlu anamnesis yang teliti
terhadap anak, orang tua, guru atau orang terdekat disekeliling pasien
3). Kesulitan dalam mengekspresikan nyeri, perlu suatu asesmen sebagai salah satu
parameter obyektif
4). Pemberian analgesik bersifat simtomatis untuk mengurangi atau menghilangkan
nyeri sesuai dengan derajat nyeri. Terpenting adalah mencari penyebab nyeri
120
5). Edukasi terhadap pasien sangat menentukan keberhasilan managemen nyeri
6). Nyeri kepala merupakan keluhan nyeri terbanyak
Daftar Pustaka
1. Champion Medical Staffing . Pain Assesment and Management
2. Rothner AD. Hedaches dalam Pediatric Neurology Principles and Practice KE
Swaiman & S. Ashal (eds). 3 rd ed. Vol. 2 Mosby Inc., Toronto, pp 747758, 1999
3. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology, A Sign and Symptom Approach. 4 th.
ed. Saunders Elsevier Science, Philadelphia, 2001.
4. .Ouvrier R; Ryan MM & Redmond A. Treatment of Peripheral Neuropathies in
Treatment of Pediatric Neurologic Disorders. Harvey SS; Kossoff EH; Hartman AL
& Crawford TO. Eds. Taylor & Francis Group USA pp 177-184, 2005
Penurunan Kesadaran pada anak
Diagnosis, Etiologi dan Tatalaksana
PENDAHULUAN
Penurunan kesadaran pada anak merupakan keadaan darurat yang membutuhkan
diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat dan segera. Penatalaksanaan yang cepat dan
tepat dapat mencegah kerusakan otak lebih lanjut. Pengetahuan yang cukup mengenai,
anamnesis, manifestasi klinik, pemeriksaan fisik dan neurologic akan menuntun ke arah
diagnosis dan etiologi penurunan kesadaran, sehingga tatalaksana pada penderita menjadi
lebih baik.
DEFINISI
Kesadaran dapat digambarkan sebagai kondisi waspada dengan kesiagaan yang terus
menerus terhadap diri sendiri dan keadaan lingkungan. Seseorang dengan tingkat
kesadaran yang normal mempunyai respon penuh terhadap pikiran atau persepsi yang
tercermin pada perilaku dan bicaranya serta sadar akan diri dan lingkungannya.1
Kesadaran dapat terjaga akibat interaksi yang kompleks dan terus menerus secara efektif
dan seimbang antara hemisfer otak, formasio retikularis di batang otak serta semua
rangsang sensorik yang masuk ke dalam tubuh. Kesadaran mempunyai dua komponen,
yaitu:1,2,3
1. Bangun (arousal atau wakefulness) yang tergantung pada fungsi Reticular
activating system (RAS) yaitu suatu hubungan yang di atur oleh fungsi otonom
vegetative otak yang bekerja akibat adanya stimulus ascenden dari tegmentum
121
pontin, hipotalamus posterior dan thalamus (Ascending Reticular Activaring
System, ARAS)
2. Waspada (awareness), yang tergantung pada neuron di korteks sesebri dan
hubungan yang timbal balik dengan nuclei di subkortikal. Kewaspadaan
memerlukan bangun, tetapi tidak sebaliknya.
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena adanya disfungsi RAS atau disfungsi korteks
serebri.
Kesadaran ini terbagi menjadi beberapa tingkatan, yaitu 2
1. Kompos mentis : keadaan sangat tanggap terhadap lingkungan baik ada maupun
tidak ada rangsangan.
2. Apatis (obtundasi ) : gangguan kesadaran ringan disertai dengan berkurangnya
perhatian terhadap lingkungan sekitar.
3. Somnolen (letargi) : pasien tampak mengantuk sampai tidur, masih dapat
dibangunkan sampai sadar dengan rangsang suara.
4. Sopor (stupor) : gangguan kesadaran menyerupai tidur yang dalam dan dapat
dibangunkan dengan rangsang nyeri yang kuat, komunikasi minimal, reaksi
berupa gerakan menghindar dari nyeri dan mengerang.
5. Koma : gangguan kesadaran berat, pasien tampak tidur dalam dan tidak dapat
dibangunkan dengan rangsang nyeri, dan tidak ada reaksi terhadap rangsang
nyeri.
Penentuan tingkat kesadaran dapat dinilai dengan cara lain yang obyektif dan
ditentukan dengan skala numeric yaitu dengan Skala Koma Glasgow (SKG). SKG
ini biasa dilakukan pada trauma kapitis, dan dapat juga digunakan untuk penurunan
kesadaran karena sebab lain. Penilaian dilakukan terhadap respon buka mata, fungsi
motorik dan respon verbal.
Tabel 1. Penilaian Skala Koma Glasgow dan modifikasi pada anak 4
Tanda
Skala Koma Glasgow
Buka mata
Spontan
Terhadap perintah
Terhadap sakit
Tidak ada
Respon verbal
Terorientasi
Bingung
Disorientasi
Kata-kata tidak tepat
Skala koma Glasgow-modifikasi
untuk anak
Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Nilai
4
3
2
1
Sesuai usia, terorientasi, ikuti 5
objek, senyum social.
Menangis, tetapi dapat dibujuk
4
Rewel, tidak kooperatif, tanggap
lingkungan.
Rewel, tangis persisten, dapat 3
122
dibujuk tapi inkonsisten
Menangis tidak dapat dibujuk, 2
tidak tanggap terhadap lingkungan,
gelisah, agitasi.
Tidak ada
1
Suara tidak
dimengerti
Tidak ada
Respon motor
Nilai
terbaik
Mengikuti perintah
Mengikuti
perintah,
gerakan
spontan.
Melokalisasi nyeri
Melokalisasi nyeri
Menghindari nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi
abnormal Fleksi abnormal terhadap nyeri
terhadap nyeri
Ekstensi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada
Tidak ada
total
6
5
4
3
2
1
15
Tabel 2. Skala Koma Pediatric5
Tanda
Buka mata
Respon
Spontan
Terhadap suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Nilai
4
3
2
1
Respon verbal terbaik
Terorientasi
Kata-kata
Suara-suara
Menangis
Tidak ada
5
4
3
2
1
Respon motor terbaik
Mengikuti perintah
Melokalisasi nyeri
Fleksi terhadap nyeri
Ekstensi terhadap nyeri
Tidak ada
5
4
3
2
1
Nilai agregat normal
Lahir sampai 6 bulan
1 sampai 2 tahun
2 sampai 5 tahun
Lebih dari 5 tahun
9
11
12
14
PATOFISIOLOGI 1,2,3
123
Kesadaran merupakan hubungan yang kompleks antara korteks serebri dan ARAS.
Penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh penyakit atau keadaan yang menyebabkan
terjadinya disfungsi korteks serebri bilateral, disfungsi ARAS atau keduanya. Beberapa
keadaan yang daapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah :
1. Ensefalopati metabolic, toksik, infeksi mengakibatkan gangguan difus pada
hemisfer serebri , ARAS atau keduanya.
2. Massa supratentorial yang menyebabkan penekanan atau perubahan struktur
diensefalon atau batang otak
3. Massa subtentorial atau lesi destruktif yang menyebabkan penekanan atau
kerusakan pada ARAS.
4. Traumatic Axonal injury menyebabkan kerusakan hemisfer serebri dan ARAS
atau hubungan diantaranya.
DIAGNOSIS
A. Anamnesis 1,6,7
Anamnesis yang didapat dari orang tua adalah informasi yang penting dalam
evaluasi untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Berbagai hal yang perlu
ditanyakan adalah sebagai berikut : penyakit yang pernah diderita sebelum terjadi
gangguan kesadaran, seperti epilepsy, diabetes, penyakit hati, penyakit ginjal,
penyakit jantung kongenital. Selain itu juga riwayat pemakaian obat-obatan,
inborn error metabolism atau juga riwayat penggunaan pemanas (kemungkinnan
keracunan karbon monoksida). Ditanyakan juga apakah kejadian penurunan
kesadaran ini terjadi mendadak (kemungkinan suatu perdarahan intracranial),
adanya trauma kapitis sebelumnya, atau terjadi gangguan kesadaran secara
bertahap (tumor supratentorial, kelainan metabolic). Penting juga diketahui
apakah terdapat deficit neurologi yang menyertai gangguan kesadaran. Hal lain
yang perlu diketahui adalah adakah panas badan, nyeri kepala, muntah-muntah.
Anamnesis ini juga dapat menentukan kemungkinan penyebab penurunan
kesadaran ini apakah structural atau metabolic. Kelainan structural dicurigai bila
kejadiannya mendadak, terdapat deficit neurologi yang jelas.
B. Pemeriksaan fisik umum 1,6,7
Mulai dengan pemeriksaan tanda vital, yaitu : menentukan tingkat kesadaran,
memeriksa nadi, respirasi, tekanan darah dan suhu tubuh. Adanya laju nadi yang
cepat kemungkinan terjadi syok hipovolemik, efek sekunder dari panas badan
yang tinggi, atau gagal jantung . Laju nadi yang kurang dari normal kemungkinan
disebabkan hipoksemia yang lama, peningkatan tekanan intracranial atau
gangguan myokard. Respirasi yang cepat kemungkinan karena adanya oksigenasi
yang abnormal seperti pneumonia, asma, asidosis atau uremia. Lesi di batang otak
124
akan menyebabkan central neurogenic hyperventilation (CNH). Respirasi yang
lambat, ireguler atau periodic breathing patterns kemungkinan disebabkan karena
peningkatan tekanan intracranial atau karena toksik. Hipotensi dapat disebabkan
karena syok, sepsis, pengaruh obat-obatan, insufisiensi adrenal atau gangguan
jantung. Hipertensi dapat disebabkan oleh hypertensi ensefalopati atau respon
kompensasi untuk menstabilkan perfusi darah ke otak akibat adanya stroke atau
peningkatan tekanan intra cranial. Suhu tubuh yang tinggi disebabkan oleh adanya
infeksi atau karena adanya kegagalan fungsi mekanisme pengatur suhu sentral.
Panas badan disertai dengan gangguan kesadaran dapat disebabkan karena sepsis,
pneumonia, meningitia, ensefalitis, abses intracranial atau empyema.
Inspeksi pada kepala, kulit
dapat member petunjuk, seperti cyanosis
kemungkinan adanya oksigenasi yang kurang, ikterik menunjukkan kemungkinan
kelainan hepar. Kulit yang sangat pucat kemungkinan adanya anemia atau syok
dan kulit kemerahan (cherry-red color) kemungkinan keracunan carbonmonoksida. Adanya sefalhematom, pembengkakan kulit kepala kemungkinan
adanya trauma kapitis. Adanya perdarahan atau keluar cairan bening dari hidung
atau telinga menunjjukkan kemungkinan adanya fraktur basis cranii. Adanya rash
disertai gangguan kesadaran kemungkinan infeksi meningokoksemia, atau
riketsia. Adanya lesi neurokutan seperti depigmentasi kemungkinan
tuberosklerosis yang mungkin menyebabkan kejang atau massa intracranial yang
menyebabkan gangguan kesadaran. Peningkatan pigmentasi secara umum
kemungkinan disebabkan oleh penyakit Addison atau adrenoleukodistrofi.
Keracunan dapat memberikan bau tertentu seperti pada intoksikasi alcohol,
ketiasidosis diabetika (sweet-fruity), uremia (bau urin).
Pemeriksaan kardiovaskuler diperlukan untuk menentukan kelainan jantung
congenital atau endokarditis yang dapat menyebabkan abses intracranial.
Abdomen yang rigid kemungkinan terdapat perdarahan intra abdomen yang
menyebabkan syok.
C. Pemeriksaan neurologic 1,6,7
Pemeriksaan neurologic sangat penting untuk mengevaluasi setiap pasien dengan
penurunan kesadaran. Pemeriksaan neurologic dapat menetapkan apakah
penyebab penurunan kesadaran adalah proses structural atau karena kelainan
medical/metabolic. Selain itu, pemeriksaan neurologic dapat menetapkan pula
letak proses patologik di otak maupun batang otak.
Selain pemeriksaan neurologis yang umum, perlu juga dilakukan pemeriksaan
neurologis khusus yang meliputi:
1. Kesadaran, yang dapat diperiksa dengan SKG ataupun skala tingkat kesadaran
(composmentis, somnolen, sopor, coma).
125
2. Pemeriksaan untuk menentukan letak lesi patologis di otak atau batang otak,
yang meliputi :
Observasi umum adakah gerakan menelan, menguap, adanya gerakan ini
menunjukkan bahwa fungsi nucleus batang otak masih relative baik. Posisi
lengan dan tungkai, bila kedua lengan dalam keadaan fleksi kemungkinan
letak lesi di hemisfer otak, apabila kedua lengan dan tungkai ekstensi
kemungkinan gangguan ada di batang otak dan serius. Selain itu pola
pernafasan juga dapat menunjukkan kelainan di otak seperti dapat dilihat pada
tabel :
Tabel 3. Pola pernafasan disertai gangguan susunan saraf Pusat 8
Jenis nafas
Cheyne Stokes
Hiperventilasi
Apneustik
Ataksik
Hipoventilasi
Pola nafas
Apneu disertai dengan hiperpneu
Gangguan serebral bilateral atau diensefalon (ancaman herniasi
atau gangguan metabolik
Pernafasan cepat
Asidosis metabolic, hipoksia atau keracunan (amfetamin, kokain)
Kelainan di daerah mid pons – mid brain)
Berhentinya inspirasi
Kelainan di pons atau medulla
Tidak ada pola
Kelainan di medulla
Akibat alcohol, narkotik atau sedative
Kelainan di ARAS
Ukuran dan reaktifitas pupil, gerakan bola mata
Reaksi pupil (kontriksi dan dilatasi diatur oleh system saraf simpatis
(midriasis) dan parasimpatis (miosis) yang relative tidak dipengaruhi oleh
gangguan metabolic. Tidak adanya refleks pupil terhadap cahaya
kemungkinan disebabkan karena kelainan structural yang mempengaruhi
derajat kesadaran. Daerah batang otak yang mengurus kesadaran berdekatan
dengan daerah yang mengatur pupil, sehingga perubahan pupil penting dalam
menentukan lokalisasi proses yang menyebabkan koma. Serabut-serabut
simpatis berasal dari hipotalamus, menurun ke daerah spina torasikus dan naik
sepanjang arteri karotis interna dan melalui fisura orbitalis superior menuju
pupil. Serabut parasimpatis berasal dari midbrain dan menuju pupil melalui
saraf okulomotorius (n. III). Ensefalopati metabolic atau intoksikasi glutamat
menyebabkan pupil mengecil dan kontriksi tetapi tetap responsive terhadap
cahaya. Lesi di diensefalon dan intoksikasi barbiturate memberikan respon
yang sama. Lesi di midbrain mempengaruhi serabut simpatis dan parasimpatis
sehingga pupil terfiksasi di tengah, pupil miosis dan tidak responsive terhadap
126
rangsang cahaya. Pupil pinpoint ditemukan akibat lesi di daerah pontin. Pada
table dapat dilihat kelainan pupil.
Tabel 4. Gangguan refleks pupil dan gerakan bola mata pada penurunan
kesadaran
Dilatasi pupil
Unilateral : ipsi lateral, perdarahan intrakranial, tumor,
ancaman herniasi, pasca kejang, atau lesi N. III.
Bilateral : pasca kejang, hipotermia, hipoksia, kerusakan
menetap, ensefalitis, syok perdarahan
Konstriksi pupil
Menetap : kelainan pons, atau metabolic
Reaktif : kelainan medulla dan metabolic
Pupil midsized
Gerakan bola mata
Menetap, herniasi sentral
Deviasi kearah kerusakan hemisfer, menjauhi fokus kejang,
dan menjauhi lesi batang otak, hemiplegia.
Ke bawah dan ke luar (down and out) : neuropati diabetes,
peningkatan tekanan intracranial, meningitis di daerah pons.
Refleks
Doll’s eye : bola mata bergerak berlawanan dengan gerakan
kepala  batang otak baik
Tes kalori : air es dialirkan pada membrane timpani yang intak,
mata bergerak kea rah yang dirangsang.
Respon motorik1,6,7
Fungsi motorik dapat memberikan informasi lokasi lesi, karena itu perhatikan
posisi ekstremitas, gerakan spontan, reaksi terhadap nyeri dan refleks.
 Kelemahan motorik unilateral merupakan petunjuk lesi structural
 Tidak adanya respon motorik dengan flasiditas dan arefleksi dapat
terjadi pada ensefalopati toksik-metabolik dan lesi yang menyebabkan
hilangnya seluruh fungsi kortikal dan batang otak sampai daerah
ponto-medularis sepertipada koma terminal atau keracunan sedative
berat.
127

Dekortikasi atau posisi kedua lengan fleksi menunjukkan adanya
kerusakan hemisfer serebri bilateral dengan fungsi batang otak yang
masih baik.
 Deserebrasi atau posisi kedua lengan ekstensi menunjukkan adanya
kerusakan di daerah midbrain dan pons bagian atas dan dapat terjadi
juga pada kelainan metabolic berat seperti ensefalopati hepatic atau
ensefalopati hipoksik iskemik.
Lesi yang menyebabkan deserebrasi umumnya lebih berat dibandingkan
dengan dekortikasi. Adanya postur asimetri lebih ke arah kelainan
structural dibandingkan dengan kelainan metabolic. Sindrom herniasi
harus selalu dipikirkan pada penderita dengan postur yang abnormal.
Pemeriksaan dengan alat : pemeriksaan dengan oftalmoskop diperlukan untuk melihat
adanya edem papil, perdarahan retina, tuberkel. Dengan pemeriksaan ini dapat ditentukan
adakah peningkatan tekanan intracranial.
Tabel 5. Evaluasi batang otak 6
Respon terhadap nyeri
Fleksi pada rangsang nyeri Diensefalik
supraokuler.
Ekstensi pada rangsang nyeri Midbrain/pons bagian atas
supraokuler
Tidak ada
Dibawah pons
Postur
Normal
Hemiparesis
Dekortikasi
Deserebrasi
Flaksid
Batang otak baik
Herniasi uncal
Diensefalon
Midbrain/pons bagian atas
Dibawah pons
Tonus/refleks/plantar
Normal
Unilateral pyramidal
Bilateral pyramidal
Flaksid/plantar ekstensi
Batang otak baik
Herniasi uncal
Diensefalik
Dibawah pons
Okulosefalik (doll’s eye)
Sebelumnya pastikan tidak ada
trauma cervical.
Kepala digerakkan ke kiri dan
kanan, lihat pergerakan mata
Gerakan sakkadik
Deviasi mata maksimal
Deviasi mata minimal
Tidak ada gerakan mata
Normal
Diensefalik
Midbrain/di atas pons
Dibawah pons
Okulovestibuler (tes kalori)
Pastikan membrane timpani
intak. Kepala ditengah , kepala
30⁰. Masukkan 20 cc air es ke
liang telinga. Amati gerakan
mata
Nistagmus
Deviasi mata ke arah telinga
yang dimasuki air
Deviasi mata minimal
Tidak ada gerakan mata
Normal
Diensefalik
Midrain/di atas pons
Dibawah pons
128
Ukuran pupil
Normal di tengah
Kecil
Dilatasi Unilateral
Dilatasi bilateral
Midbrain/ diatas pons
Diensefalik
Herniasi uncal
Di bawah pons
Respon pupil terhadap cahaya
Bereaksi cepat
Tidak responsif
Batang otak baik
Midbrain/ di atas pons
Pola respirasi
Normal
Cheyne Stokes
Hyperventilasi
Ataksik, dangkal
Gasping, lambat, ireguler
Batang otak baik
Diensefalik
Midbrain/ di atas pons
Pons bagian bawah
Medulla
Tabel 6 . Sindroma herniasi 6
Uncal
Dilatasi pupil unilateral
Ptosis unilateral
Minimal deviasi pada mata saat tes okulosefali/okulovestibuler
Hemiparesis
Diensefalik
Pupil kecil, reaktif terhadap rangsang cahaya
Deviasi maksimal pada mata saat tes oculosefalik/okulovestiuler
Fleksi terhadap rangsang nyeri dan atau postur dekortikasi
Hipertonia dan atau hiperefleksia disertai plantar ekstensi
Respirasi Cheine Stokes
Midbrain/diatas pons
Pupil midpoint, tidak reaktif dengan rangsang cahaya
Deviasi minimal pada mata saat tes okulosefalik atau okulovestibuler
Ekstensi terhadap rangsang nyeri dan atau postur deserebrasi
Hiperventilasi
Bagian bawah Pons
Pupil midpoint, tidak reaktif terhadap rangsang cahaya
Tidak ada respon pada tes okulosefalik dan okulovestibuler
Tidak ada respon terhadap rangsang nyeri atau hanya fleksi pada
tungkai
Flaksid dan plantar ekstensi
Pernafasan ataksik atau dangkal
Medulla
Pupil dilatasi dan tidak reaktif terhadap rangsang cahaya
Respirasi lambat, ireguler, gasping
Respiratory arrest dengan cardiac output yang adekuat.
129
ETIOLOGI
Etiologi penurunan kesadaran dibagi dalam 2 bagian besar yaitu structural dan metabolik.
Kelainan structural dapat berupa trauma, neoplasma, penyakit vaskuler, infeksi dan
hidrosefalus. Mekanisme penting kelainan structural ini menyebabkan penurunan
kesadaran adalah adanya herniasi pada struktur otak dan batang otak. Kelainan metabolic
yang menyebabkan penurunan kesadaran adalah gangguan metabolic, toksin atau racun
eksogen, hipoksik iskemik, infeksi dan kelainan paroksismal seperti status epileptikus.
Dibawah ini beberapa etiologi yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran
pada anak :
Tabel 7. Penyebab penurunan kesadaran pada anak 1,9,10
Infeksi atau Inflamasi
A. Infeksi
Meningitis bakterialis
Ensefalitis
Riketsia, protozoa
Infeksi cacing
B. Inflamasi
Ensefalopati sepsis
Vaskulitis
Acute demielinating
encephalomyelitis
Multiple sclerosis
Struktural
A. Trauma
Kontusio
Perdarahan
intraserebral
Diffuse axonal injury
B. Neoplasma
C. Penyakit vaskuler
Infark serebri
Kelainan congenital
D. Infeksi fokal
Abses
Serebritis
E. Hidrosefalus
F. Kejang
Metabolic, nutrisi atau toksin
A. Hipoksik-Iskemik
Syok
Gagal jantung-paru
Tenggelam
Keracunan
CO,
sianida
Strangulasi
B. Kelainan metabolic
Sarkoidosis
Hipo / hiperglikemia
Gangguan cairan dan
elektrolit
Kelainan endokrin
Asidosis
Ketoasidosis
diabetika
Aminoasidemia
Organic asidemia
Hiperamonia
Hepatik,
uremia,sindroma
Reye
Uremia, porfiria
Penyakit mitokondria
C. Nutrisi
Defiensi
tiamin,
piridokasin,
asam
folat
D. Toksin eksogen
Obat-obatan, logam
berat
E. Ensefalopati
hipertensi
F. Ensefalopati
luka
bakar
130
Tabel 8. Diagnosis gangguan kesadaran menurut umur 11
Bayi
Infeksi
Metabolic
Inborn error
Kejang
Kekerasan
Anak
Toksin
Infeksi
Kejang
Intususepsi
Kekerasan/trauma
Remaja
Toksin
Trauma
Psikiatrik
Kejang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Semua penderita dengan kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan gula darah.
Penyebab toksik metabolic diperiksa darah rutin, urin, aspirat lambung dan cairan
serebrospinal. Pemeriksaan kimia darah meliputi gula darah, natrium, kalium, kalsium,
magnesium, BUN dan ammonia. Analisa gas darah sering juga diperlukan. Kultur darah
dan urin dilakukan bila kemungkinan terjadi infeksi. Pungsi Lumbal diperlukan bila
dicurigai ada infeksi pada susunan saraf pusat, bila perlu dilakukan setelah pemeriksaan
CT scan kepala. Selain itu CT scan atau MRI dengan kontras diperlukan bila curiga ada
kelainan structural.9,10,12
TATA LAKSANA
Panatalaksanaan anak dengan penurunan kesadaran haruslah cepat dan tepat, agar dapat
menghindari kerusakan otak lebih lanjut. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah
resusitasi ABC (jalan nafas, pernafasan dan cardiovaskuler). Seringkali gangguan
kesadaran disertai dengan stridor, sehingga mengamankan jalan nafas sangat perlu
dengan cara menghilangkan sumber obstruksi. Semua anak diberikan oksigen inisial
100% sampai oksigenasi adekuat.9,10,12
Selanjutnya di pasang iv line untuk pemberian cairan dan medikasi. Infus cairan NaCl 0,9
% diperlukan untuk memperbaiki dan mempertahankan perfusi pada organ-organ vital.
Pemeriksaan darah dapat menunjukkan kemungkinan penyebab penurunan kesadaran,
pemeriksaan gula darah harus segera dilakukan, karena hipoglikrmi adalah salah satu
keadaan yang sering menimbulkan gangguan kesadaran, dan bila terdapat hipoglikemi,
segera perbaiki dengan pemberian glukosa intra vena. Dapat juga diberikan langsung
Dextrose 25 % sebanyak 1 – 4 ml/kgBB, sambil memperhatikan responnya, bila terdapat
perbaikan dramatis, selanjutnya diberikan infuse glukosa 10 %, apabila kesadaran tidak
pulih, kemungkinan menyebab penurunan kesadaran bukan hipoglikemi. Apabila di dapat
riwayat keracunan opiate dan didapat tanda-tandanya (pupil pintpoin, koma, depresi
nafas) segera berikan antagonis opiate, nalokson dapat diberikan iv.12
131
Setelah anak dalam keadaan stabil, dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis mengarah
pada kelainan structural, maka segera dilakukan intervensi untuk menurunkan tekanan
tinggi intracranial, yaitu dengan cara memposisikan kepala 30 ⁰, posisi ditengah, untuk
melancarkan drainase pembuluh darah vena cerebri, kemudian lakukan pemeriksaan CT
scan kepala segera. Dipikirkan juga untuk konsul ke dokter bedah saraf, bila
kemungkinan harus ada tindakan yang dilakukan. Untuk menurunkan tekanan tinggi
intracranial dapat dilakukan pemberian manitol 20 % drip intra vena dengan dosis 0,5 – 2
gr/kgBB selama 30 menit setiap 6 jam. Kortikosteroid seperti deksametason bermanfaat
bila terdapat edem perifokal karena tumor, diberikan intravena dengan dosis 1-2
mg/kgBB. Posisi kepala dipertahankan 30⁰ diatas bahan datar. CT scan harus dilakukan
pada setiap anak dengan penurunan kesadaran akibat trauma kepala tertutup atau
penyebab yang tidak dapat ditentukan. 11,12
Status epileptikus perlu dipertimbangkan bila terdapat riwayat kejang, dan pemeriksaan
EEG harus dilakukan. Pertimbangkan pula adanya status epileptikus non konvulsif. Bila
kejang masih ada berikan obat kejang sesuai protap pada status epileptikus.
Bila dicurigai ada infeksi SSP, dilakukan pungsi lumbal dan diberikan antibiotika atau
antivirus yang sesuai. Perlu diperhatikan kontra indikasi pungsi lumbal, yaitu : 13
SKG ≤ 8
Syok
SKG yang cenderung turun
Bradikardia (≤ 60)
Tanda deficit neurologic fokal
Hipertensi ( > 95th percentile)
Kejang terakhir lebih dari 10 menit dan SKG Secara klinik didapat infeksi meningokokal
masih ≤ 12
Dilatasi pupil (uni/bilateral)
Pola nafas abnormal
Reaksi pupil lambat atau tidak ada
Doll’s eye abnormal
Tanda peningkatan tekanan intra kranial
Posture abnormal
Koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, bila didapatkan ketidak seimbangan.
Pemberian cairan harus tepat sesuai dengan indikasinya. Hiponatremia,hipernatremia,
hipokalsemia, atau hipomagnesemia seringkali terjadi bersama penyakit sistemik, dan
perlu dikoreksi. Adanya asidosis dan alkalosis metabolic atau respiratorik juga harus
dikoreksi.11,12
Antipiretik yang sesuai perlu diberikan untuk mengontrol suhu tubuh.11
Agitasi dapat meningkatkan tekanan intracranial dan menyulitkan bantuan ventilasi
mekanik sehingga dapat dipertimbangkan pemberian sedative walaupun mungkin akan
menyulitkan evaluasi neurologic berkala.11,12
132
Algoritma tatalaksana penurunan kesadaran.12
Jalan napas – intubasi bila SKG ≤ 8
Pernapasan – pertahankan Saturasi 02 > 80%
Sirkulasi – pertahankan tekanan arteri > 70
Pemeriksaan darah untuk glukosa, elektrolit, analisa gas darah, fungsi hati, fungsi ginjal,
fungsi tiroid, darah lengkap, skrining toksikologi
PEMERIKSAAN
NEUROLOGIS
Hiperventilasi, manitol 0,5 – 1,0 gram/kgBB, bila tekanan intracranial meningkat atau
herniasi
Tiamin (100 mg IV) diikuti dengan 25 gram glukosa bila serum glukosa < 60 mg/dl
Nalokson bila overdosis narkotika, diberikan infuse intravena 0,8 mg/kgBB/jam
Bilas lambung dengan activated charcoal bila dicurigai keracunan obat.
CT scan / MRI kepala bila dicurigai adanya kelainan
struktur otak
Riwayat lengkap dan pemeriksaan sistemik
Pertimbangkan: EEG, pungsi lumbal dll
133
RINGKASAN
Penurunan kesadaran pada anak merupakan suatu keadaan klinik dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Penilaian tingkat kesadaran dengan segera dan menentukan
penyebab sangatlah diperlukan. Penyebab structural dan metabolic/medical dapat di
tentukan dengan anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik dan neurilogik yang baik.
Adanya deficit neurologic yang asimetris seperti dilatasi pupil, diskonyugasi pergerakan
bola mata, dan asimetri motorik mengarah pada kelainan structural ; progresifitas yang
lambat dan deficit neurologic yang simetris biasanya penyebabnya adalah kelainan
medical. Temuan deficit neurologic yang spesifik yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan intracranial dapat disebabkan adanya herniasi uncal atau sentral. Gangguan
metabolic, hepar, ginjal, paru-paru, dan jantung maupun toksik sering juga menjadi sebab
penurunan kesadaran pada anak. Penanganan yang baik diharapkan dapat meningkatkan
prognosis menjadi lebih baik.
Daftar pustaka
1. Taylor DA, Ashwal S. Impairment of consciousness and coma. Dalam : Swaiman
KF, Ashwal S, Ferriero DM, penyunting. Pediatric Neurology : Principle &
Practice, Edisi 4. Philadelphia: Mosby Elsevier 2006. H. 1378 – 400.
2. Ropper AH, Samuels MA. Adams and Victor’s, Principle of neurology. Edisi ke
9. New York : Mc Graw Hill, 2009. H. 339 – 61.
3. Plum F. Posner J. The Diagnosis of Stupor and Coma. Philadelphia, Pa: FA Davis
1980
4. Hahn YS. Chyung C, Barthel MJ, et al. head Injuries in children under 36 months
of age. Child Nerv Syst 1988;4:34
5. Reilly PL, Simpson DA, Sprod R, et al. Assesing the conscious level in infants
and young children: a pediatric version of the Glasgow Coma Scale. Childs Nerv
Syst 1988; 4: 30
6. Kirkham FJ. Non Traumatic coma in children. Arch Dis Child. 2001;85:303-12
7. Avner JR. Altered States of Consciousness. Pediatr Rev 2006 ; 27;331-8
8. Ziai WC, Mirski MA. Evaliation and management of the unconscious patient.
Dalam: Johnson RT, penyunting. Current therapy in neurologyc disease, Edisi ke
6. St. Louis : Mosby, 2002. h. 1-8
9. Cohen BH. Andresfky JC. Altered states of consciousness. Dalam : Maria BL,
penyunting. Current management in child neurology. Edisi ke-3. Hamilton: BC
Decker Inc, 2005. H. 551-62.
134
10. Fenichel GM. Pediatric Neurology, Edisi ke 6. Philadelphia: Elsevier Saunders
2009. h. 49 – 78.
11. King D, Avner JR. Altered Mental Status. Clin Ped Emerg Med 2003; 4: 171-8
12. Stevens RD. Bhardwaj A. Approach tu the comatose patient. Crit Care Med 2006;
34: 31-41
13. Bowker RP, Stephenson TJ, Baumer JH. Evidence-based guidline for the
management of decreased conscious level. Arch Dis Child Ed 2006; 91: 115-22
135
Download