Infeksi virus penyebab kanker (Oncovirus) Profesor Darmono 17 Januari 2014 Dewasa ini para peneliti bidang medis mulai memperhatikan mengenai infeksi virus yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit kankier. Diseluruh dunia, kanker yang disebabkan oleh infeksi virus diperkirakan mencapai angka 15% sampai 20% dari seluruh kasus penyakit kanker yang ditemukan. Tetapi tidak semua infeksi virus dapat menyebabkan perkembangan kanker secara progresif, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya kanker karena infeksi virus. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik dari hospes, terjadinya mutasi, terinfeksi virus yang spesifik penyebab kanker, dan gangguan dari sistem imun dari hospes. Yang paling khas dan perlu diperhatikan adalah awal terjadinya kanker sangat erat hubungannya dengan sistem imun dari hospes, dimana terjadinya proses peradangan atau inflamasi pada jaringan hospes. Sel kanker mempunyai karater yang berbeda dengan sel normal, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan tumbuh tidak terkontrol. Hal tersebut disebabkan karena hilangnya sensitivitas anti-pertumbuhan sel tumor dan hilangnya kemampuan proses apoptosis (program kematian sel secara alami). Trnasformasi sel normal menjadi sel kanker yang terjadi pada orang yang terinfeksi virus disebabkan oleh terjadinya kerusakan secara genetik dari sel tersebut. Sel tersebut diatur oleh gen virus yang menginfeksinya dan mengakibatkan sel tersebut tumbuh tidak normal, membelah membentuk sel baru secara terus menerus. Peneliti mulai dapat mengenali mekanisme virus yang dapat menyebabkan tumor tersebut yaitu dengan cara sebagai berikut: Virus masuk kedalam sel kemudian masuk kedalam nukleus dan mengubah sel serta mengrintegrasi materi gennya (gen virus) kedalam DNA sel hospes. Integrasi tersebut terjadi secara permanen dan berintegrasi dalam materi genetik yang tidak dapat di eliminasi oleh sel hospes. Mekanisme insersi gen tersebut berbeda-beda bergantung padan jenis virus, yaitu virus DNA atau RNA. Pada virus DNA, materi genetiknya dapat secara langsung berintegrasi dengan sel DNA hospes, sedangkan virus RNA harus ditranskrip dulu menjadi materi DNA dan kemudian di integrasikan kedalam materi gfenetik sel DNA dari hospes. Beberapa contoh jenis virus yang menyebabkan terjadinya tumor antara lain adalah: Human papiloma virus (HPV), virus hepatititis B (HBV), virus hepatititis C (HCV), virus Human T limpocyte (HTLV), human papiloma virus (HPV), Kaposi’s sarcoma-associated herpesvirus (HHV-8), dan Epstein–Barr virus (EBV). Walaupun kemungkinan terjadinya penyakit kanker karena infeksi virus kemungkinannya sangat kecil, tetapi bila kondisi kesehatan tubuh sangat menurun infeksi kronis dari virus tersebut dapat memicu terbentuknya kanker. Tabel 7.1 Jenis virus penyebab kanker dan persentase kejadiannya diantara penderita penyakit kanker Virus Virus Hepatitis , termasuk hepatitis B (HBV) dan hepatitis C (HCV) Human T-lymphotropic virus (HTLV) Human papillomaviruses (HPV) Kaposi’s sarcoma-associated herpesvirus (HHV-8) Kejadian kanker(%) 4.9 0.03 5.2 0.9 Tipe kanker Hepatocellular carcinoma (kanker hati) Tropical spastic paraparesis dan leukemia orang dewasa Cancers cervix, anus, penis, vulva/vagina, dan beberapa kanker pada daerah kepala dan leher. Kaposi’s sarcoma, multicentric Castleman's disease dan primary effusion lymphoma Merkel cell polyomavirus Belum ada data Merkel cell carcinoma Epstein–Barr virus (EBV) Belum ada data Burkitt’s lymphoma, Hodgkin’s lymphoma, post-transplantation lymphoproliferative disease dan Nasopharyngeal carcinoma. Virus hepatitis B Penyakit radang hati hepatitis B, disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang menginfeksi hati pada primata termasuk manusia, menyebabkan terjadinya inflamasi hati atau hepatitis. Penyakit hepatitis B telah menjadi epidemik pada sebagian kawasan Asia dan Afrika, dan endemik di China. Sekitar sepertiga dari populasi penduduk dunia atau lebih dari dua milyard orang terinfeksi oleh virus hepatitis B. Jumlah tersebut termasuk orang yang menderita sebagai karier ada sekitar 350 juta orang. Penularan terjadi melalui infeksi dari darah dan cairan tubuh. Pada kasus inflamasi hati yang akut, gejala ditandai dengan muntah, jaundice (penyakit kuning) dan kadang terjadi kematian. Pada kasus yang kronis hepatitis B dapat menyebabkan sirosis hepatis dan kanker hati, yang dapat mengakibatkan fatal karena sedikit merespons terhadap pengobatan khemoterapi. Penyakit hepatitis B dapat dicegah dengan cara vaksinasi. Virion dan replikasi virus Virus hepatitis B termasuk dalam kelompok hepadnavirus dari kata hepa dari hepatotrophic dan dna karena dari virus DNA. Genomnya berbentuk sirkuler yang terdiri dari dobel strand DNA partial. Virus bereplikasi melalui bentuk RNA dengan jalan reverse transcripsi, sehingga proses ini menyerupai model retrovirus. Walaupun replikasi terjadi dalam hati, tetapi virus menyebar melalui darah dimana spesifik virus protein sebagai bentuk antibodi yang selalu ditemukan pada orang yang terinfeksi virus hepatitis B. Sehingga uji protein darah dan antibodi digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini. Gambar 7.1 Struktur HBV (kiri) dan gambaran elektron mikroskopnya (kanan) Partikel virus (virion), terdiri atas amplop lipida pada bagian luar dan nukleokapsid pada bagian tengah yang berbentuk icosahedral yang menyusun protein. Nukleokapsid mengandung DNA dan polimerase DNA yang mempunyai aktivitas reverse trannskriptase. Pada bagian luar amplop terdapat protein yang berfungsi untuk melekatkan virus pada sel yang peka. HBV adalah virus beramplop yang paling kecil diantara virus yang menginfeksi manusia/hewan dengan diameter virion 42 nm. Pada permukaan partikel virus terdapat lipida dan protein disebut antigen permukaan (HBsAg), dan diproduksi berlebihan pada saat proses siklus hidupnya. Genome HBV berbentuk DNA sirkuler, tetapi mempunyai ciri khusus yaitu tidak sepenuhnya berpita ganda (double-strand). Pada akhir dari salah satu pitanya tersambung dengan viral DNA polymerase. Genome berukuran panjang pasangan basa 30203320 bp (bentuk panjang), dan 1700-2800 bp (bentuk pendek). Bagian yang tidak terkode /(-) sense, adalah bagian yang saling melengkapi (complemen) terhadap mRNA virus, Viral DNA terdapat didalam nukleus hepatosit segera setelah menginfeksi sel. Parsial dobel strand terbentuk untuk melengkapi (+) strand dengan mengambil molekul protein dari (-) strand dan sequen pendek dari RNA yang berasal dari (+) sense strand. Basa yang tidak terkode diambil pada akhir dari (-) sense strand pada akhir sambungan tersebut. Ada empat gen yang terkode pada genomik yaitu C, X, P, dan S. Core protein terkode sebagai gen C (HBcAg), dan start codonnya keatas dalam frame AUG start codon dimana pre-core protein diproduksi. HBcAg diproduksi dari proses proteolitik dari pre-core protein tersebut. DNA polimerase dikode oleh gen P, sedangakan gen S adalah gen yang mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen HBsAg adalah gen yang panjang dan reading frame yang terbuka, dan mengandung tiga nukleotida pada “start” (ATG) codon yang membagi gen menjadi tiga bagian yaitu: pre-S1, pre-S2, dan S (besar, medium dan kecil). Siklus hidup virus hepatitis B cukup komplek, dimana HBV adalah satu diantara sedikit virus non-retrovral yang menggunakan riverse transkriptase sebagai bagian dari proses replikasinya. HBV masuk kedalam sel dengan cara melekatkan pada reseptor pada permukaan sel, dan masuk kedalam sel melalui proses endositosis. Karena virus bermultiplikasi melalui pembentukan RNA yang dibuat oleh enzim dari hospes, maka genomik viral ditransfer kedalam nukleus sel oleh protein hospes yang dinamakan “chaperon”. Partial dobel strand DNA kemudian membentuk dobel strand penuh ditransfer kedalam sirkuler DNA tertutup (cccDNA) yang menyediakan lokasi untuk transkripsi dari empat viral RNA. RNA yang paling besar (lebih panjang daripada genom viral), digunakan untuk membuat kopi baru dari genom dan untuk membuat core capsid protein dan viral DNA polimerase. Empat viral transkript kemudian memproses berikutnya untuk membentuk virion progeny yang dibebaskan dari sel atau masuk kedalam nukleus lagi untuk memproduksi kopi baru yang lebih banyak. Kemudian mRNA ditransport kembali kedalam sitoplasma dimana protein virion P mensintesis DNA melalui aktivitas revers transkriptase. Gambar 7.2 Siklus hidup HBV, partikel virus melekat pada reseptor membran sel hati (1), translokasi dalam sitoplasma (2), nukleokapsid membebaskan genom viral pada nukleus (3), genom berubah menjadi kovalen-klose DNA sirkuler (cccDNA) untuk menyediakan lokasi transkripsi (4). mRNA viral (5) ditranslasi kedlam protein viral dalam sitoplasma dan pregenom RNA (6) menyatu dengan viral polimerase kedalam kapsid untuk membentuk protein core (7). Begitu partikel virus matang (8,9), viral DNA disintesis oleh viral polimerase dengan menggunakan lokasi pada encapsid pregenom. Sintesis nukleokapsid yang baru dapat membebaskan viral DNA didalam nukleus yang mengawali siklus baru dari sintesis cccDNA, dan menjaga genom viral dalam waktu yang lebih lama didalam sel yang terinfeksi tersebut dan meningkatkan jumlah viral RNA (10), dan mendapatkan amplop virus dalam endoplasmik retikuler (ER) dan aparatus golgi dengan membebaskan virus matang dari sel melalui eksositosis (11). Model produksi virus tersebut tidak menyebabkan terjadinya kematian sel, tetapi dapat menyebabkan penyakit hepatitis kronis. Gejala dan patogenesis Infeksi akut dari virus hepatitis B dimulai dengan gejala penyakit yang umum yaitu hilang nafsu makan, mual, muntah, rasa sakit pada seluruh bagian tubuh, demam, urine berwarna gelap, dan berkembang menjadi jaundice. Gejala rasa gatal-gatal pada kulit sering terjadi pada penderita hepatitis dari infeksi virus hepatitis semua tipe virus (A,B,C). Penyakit berjalan selama beberapa minggu dan kemudian secara perlahan gejala semakin meningkat menjadi lebih parah. Beberapa pasien menunjukkan gejala yang lebih parah (kegagalan fungsi hati), dan dapat mengakibatkan kematian. Beberapa kejadian kasus penyakit, pada penderita kadang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdiagnosis dan tiba-tiba penyakit menjadi parah. Pada kasus yang kronis penderita tidak menunjukkan gejala (asymptomatic), inflamasi pada hati berjalan secara kronis (hepatitis kronis), yang mengakibatkan terjadinya sirosis hepatis dan penyakit tersebut berjalan selama beberapa tahun. Tipe infeksi seperti ini mengakibatkan terjadinya kanker hati (hepatocellular carcinoma). Selama terjadinya infeksi HBV, menimbulkan respon kekebalan dari penderita yang mengakibatkan kerusakan sel hati bersamaan dengan eliminasi virus. Walaupun sistem kekebalan alamiah (innate imunity) tidak berperan nyata pada proses terjadinya penyakit, kekebalan adaptive (perolehan) terhadap respon infeksi virus yang spesifik terjadi yaitu sel Tsitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/CTLs). Sel Tc tersebut erat hubungannya antara kerusakan sel hati dengan infeksi HBV(imunopatologi). Dalam hati platelet menjadi teraktivasi pada lokasi infeksi yang mengakibatkan terjadinya akumulasi CTLs dalam hati. Serotipe dan genotipe Menurut jenis tipe serumnya HBV dibagi menjadi empat serotipe utama yaitu: adr, adw, ayr, dan ayw, yang didasarkan pada epitop antigenik yang dipresentasikan pada amplop proteinnya. Sedangkan pembagian menurut sequen nukleotidanya HBV dibagi menjadi delapan genotipe yaitu genotipe A sampai H menurut variasi genomnya. Pembagian menurut genotipe dibedakan menurut distribusi geografik dan banyak digunakan untuk melacak terjadinya evolusi dan transmisi dari virus. Perbedaan genotipe sangat penting untuk mengidentifikasi efek dari keparahan penyakit, juga untuk menunjukkan keparahan, komplikasi, dan respon terhadap pengobatan dan kemungkinan juga untuk penerapan program vaksinasinya. Sequen genotipe dapat dibedakan paling tidak sekitar 8% yang telah dilaporkan pada tahun 1988 pada saat dilakukan identifikasi genotipe A – F. Dua genotipe lainnya yaitu G dan H, dimana genotipe G ada insersi 36 nukleotida dalam satu gen core, tipe ini ditemukan di Perancis dan Amerika Serikat. Sedangkan tipe H ditemukan di Nicaragua, Mexico dan California. Dalam genotipe juga dapat dibedakan sub-genotipe, tipe ini berbeda sekitar 4-8% diantara sequen DNA nya. Genotipe A ditemukan di Amerika, Afrika, India dan Eropa Barat. Genotipe B sering dijumpai di Asia, Amerika Serikat, sub-genotipe B1 banyak dijumpai di Jepang, B2 di China dan Vietnam sedangkan B3 ditemukan di Indonesia, dan B4 di Vietnam, sedang B5 di Philippina, dimana semua strain virus tersebut adalah serotipe ayw1. Genotipe C banyak ditemukan di Asia dan Amerika Serikat, subgenotipe C1 sering ditemukan di Jepang, Korea dan China. Genotipe C2 juga banyak ditemukan di China, Asia Tenggara, dan Bangladesh, sedangkan C3 di Oceania. Semua strain virus tersebut mempunyai serotipe adr-q. Genotipe C4 dengan serotipe ayw3 ditemukan pada suku Aborigin di Australia. Genotipe D sering ditemukan pada penderita hepatitisB di Eropa Selatan, India dan Amerika dan terdapat delapan subtipe (D1-D8), genotipe D ini juga sering ditemukan di Turki. Genotipe E banyak dijumpai di bagian Barat dan Selatan Afrika, sedang tipe F sering dijumpai di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe grup F ini terdiri dari subgenotipe F1 dan F2. Genotipe G sering ditemukan di benua Eropa dan Amerika yang termasuk dalam kelompok serotipe adw2. Hampir semua genotipe (A-E) ditemukan di benua Afrika, dan didominasi genotipe A di Kenya, B dan D di Mesir, D di Tunisia, A-D di Afrika Selatan dan E di Nigeria. Diagnosis, pencegahan dan Pengobatan Uji diagnosis untuk mendeteksi penyakit infeksi virus hepatitis B dilakukan dengan uji serologik atau tes darah, yang mendeteksi antigen virus (protein yang diproduksi virus) atau antibodi (protein yang diproduksi penderita). Antigen permukaan virus hepatitis B (HBsAg) sering digunakan untuk skrening terjadinya infeksi, dan sering terdeteksi sebagai antigen virus selama infeksi. Tetapi pada awal infeksi antigen tersebut tidak dapat terdeteksi dan mungkin tidak terdeteksi lagi bila virus dapat dihilangkan/dilawan oleh hospes. Virus dibagian core partikel virus (virion) adalah bagian pusat virus yang paling infeksious. Partikel ikosahedral dari virus tersebut dibentuk dari 180 atau 240 kopi protein core, sehingga disebut core hepatitis antigen (HBcAg). Respon imun IgM dari hospes terhadap core antigen hepatitis B merupakan kejadian infesi HBV secara serologik mengenai infeksi penyakit tersebut. Segera setelah HBsAg terdeteksi, antigen lainnya muncul yaitu antigen e hepatitis B (HBeAg). HbeAg terdeteksi menandakan terjadinya peningkatan replikasi virus dan berkembangnya keparahan penyakit, tetapi beberapa kasus variant dari HBV tidak memproduksi antigen ini. Pada beberapa kasus infeksi lain, HbeAg segera dapat diatasi dan antibodi terhadap antigen ini segera timbul (anti-HBe). Hal tersebut terjadi dengan sendirinya dan replikasi viral turun secara drastis. Bilamana penderita dapat melawan infeksi, maka HBsAg akan tidak terdeteksi lagi kemudian diikuti peningkatan antibodi IgG terhadap antigen permukaan hepatitis B dan antigen core (anti-HBs dan anti-HBc IgG). Waktu antara eliminasi HBsAg dan terjadinya pemunculan anti-HBs dinamakan “window period”, seseorang yang uji tes serologinya negativ terhadap HBsAg tetapi positiv anti-HBs dinyatakan telah dapat melawan infeksi HBV atau dia pernah divaksinasi HBV sebelumnya. Gambar 7.3 Gambaran uji serologik terhadap infeksi HBV akut, yang menunjukkan kandungan antigen dan antibodi HBV Bila seseorang yang uji serologiknya masih terdeteksi HBsAg selama beberapa bulan, berarti dia menderita penyakit HBV karier. Penderita karier HBV berarti dia mengalami penyakit hepatitis B kronis, yang terciri dengan peningkatan kandungan enzim “alanin aminotransferase” yang merupakan indikator adanya inflamasi pada hati, yang diteguhkan dengan diagnosis biopsi dari hatinya. Uji PCR untuk diagnosis infeksi HBV ini telah dikembangkan untuk mengukur jumlah DNA HBV pada contoh klinis, uji ini digunakan untuk mengetahui status penderita dan untuk memonitor pengobatan yang telah diberikan Gambar 7.4 Uji serologik HbsAg yang terdeteksi dalam waktu lama/HBV kronis (kiri) dan gambaran biopsi hati yang menunjukkan degenerasi sel hati (kanan). Pencegahan penyakit hepatitis B ini dapat dilakukan dengan cara vaksinasi, beberapa jenis vaksin HBV telah dikembangkan oleh Maurice Hilleman. Vaksin tersebut dibuat berdasarkan pada amplop protein virus (HBsAg), dimana vaksin dibuat dari plasma penderita infeksi HBV yang kronis(HBsAg). Dewasa ini telah dikembangkan vaksin yang dibuat dengan cara sintesis teknologi rekombinan DNA, yang dibuat tanpa menggunakan darah. Setelah dilakukan vaksinasi, beberapa hari kemudian kandungan HBsAg akan dapat terdeteksi, hal tersebut dinamakan “antigenemia”(Ag beredar dalam darah). Vaksin dapat diberikan dalam dua, tiga atau empat dosis pada bayi dan orang dewasa, dapat memproteksi 85-90% pada resipien. Proteksi tersebut telah di amati paling tidak sampai 12 tahun kemudian dan menimbulkan respon imun sampai 25 tahun. Gambar 7.5 Vaksin HbsAg dilihat dengan elektron mikroskop Hepatititis B biasanya tidak menyebar melalui air dan makanan, tetapi menyebar melalui cairan tubuh. Sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan menghindarkan transfusi darah dari darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik dan siring bersama, hubungan seks tanpa pelindung, dan transmisi vertikal pada saat melahirkan. Bayi dapat divaksinasi setelah lahir. Injeksi multipel dengan dosis kecil dari “hepatitis immune globulin” (HBIg: 200-400 IU/bulan), atau lamivudin (100 mg/hari) pada ibu penderita HB karier dengan kondisi infeksi tingkat tinggi terinfeksi HB (>106 kopi/ml) pada masa akhir kehamilan (3 bulan keatas umur kehamilan), cukup efisien dan aman untuk mencegah transmisi HBV intrauterin pada bayinya. Pengobatan infeksi HBV akut tidak selalu perlu dilakuan, karena hampir semua penderita dewasa dapat secara spontan melawan infeksi virus tersebut. Pemberian lebih awal obat antiviral dapat diperlukan pada pasien, yang mengalami infeksi dengan gejala agresiv (hepatitis parah) atau pasien yang mengalami respon proses kekebalan. Dilain pihak pengobatan diperlukan untuk penderita hepatitis B kronis untuk menurunkan resiko terjadinya/timbulnya sirosis hati atau kanker hati. Pada penderita infeksi kronis tes fungsi hatinya menunjukkan adanya peningkatan kadar “alanin aminotransferase” (AST) dan kandungan HBV DNA, sehingga perlu dilakukan pengobatan. Walaupun tidak satu obatpun yang dapat menghilangkan virus HBV, obat yang tersedia paling tidak dapat menghambat replikasi dari virus tersebut. Dewasa ini di Amerika Serikat telah diproduksi dan mendapat lisensi atas produk tersebut untuk beberapa jenis obat anti hepatitis B. Obat tersebut dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu obat antiviral dan obat imuno-modulator. Obat antiviral adalah: Lamivudine (Epivir), adefovir (Hepsera), tenofovir (Viread), telbivudin (Tyzeka) dan entecavir (Baracliude). Obat sistem imuno-modulator adalah: interferon alpha-2a, dan PEGylated interferon alpha-2a (Pegasys). Pemberian obat interferon melalui injeksi dapat dilakukan setiap hari atau tiga kali dalam seminggu (2 hari sekali), juga perlu diberi tambahan injeksi “long-acting” PEGylate interferon, yang diinjeksikan hanya satu kali dalam seminggu. Tetapi respon terhadap obat tersebut biasanya terjadi secara individu, beberapa penderita mempunyai respon pengobatan lebih baik daripada penderita lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan genotipe dari virus yang menginfeksi atau gen keturunan dari penderita. Pengobatan tersebut dapat mengurangi/menurunkan replikasi virus dalam hati, akibatnya partikel virus yang beredar dalam darah juga menurun. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B kronis dapat diberi obat antibodi terhadap virus hepatitis B (HBIg/imunoglobulin HBV). Bila diberi dengan vaksin dalam waktu dua belas jam setelah lahir, resiko untuk terinfeksi HBV dapat berkurang sampai 90%. Pada pengobatan tersebut ibu diperbolehkan menyusui bayinya dengan aman. Virus hepatitis C Infeksi virus hepatitis C (HCV) sering tidak memperlihatkan gejala (asymphtomatis), tetapi begitu virus menginfeksi, infeksi kronis akan terjadi dan berkembang dalam hati sehingga menyebabkan terbentuknya fibrosis yang berlanjut dengan sirosis hati, dan biasanya hal tersebut terjadi selama bebeberapa tahun kemudian. Pada beberapa kasus, bila terjadi sirosis hati biasanya akan berkembang menjadi kanker hati dan menyebabkan organ hati menjadi tidak berfungsi lagi, terjadi varises pada oesofagus dan pada lambung. Virus hepatititis C menyebar melalui darah terkontaminasi (penderita) ke darah orang yang sehat. Seseorang yang telah terinfeksi jarang menunjukkan gejala penyakit, tetapi virus hidup persisten dalam hati sekitar 85% dari virus tersebut. Diperkirakan sekitar 270-300 juta diseluruh dunia terinfeksi oleh virus hepatitis C, infeksi virus ini sungguh mengancam kehidupan manusia. Hewan primata seperti simpanse atau jenis primata lain diinfeksi virus ini unutk keperluan penelitian di laboratorium. Sampai sekarang tidak atau belum ada vaksin untuk mencegah virus hepatitis C. Virion dan replikasi virus Virus hepatitis C pertama diidentifikasi dengan metoda molekuler kloning pada tahun 1989, semula virus tersebut terdeteksi sebagai virus non hepatitis A dan non hepatitis B. Virus tersebut didak dapat dipupuk secara invitro, sehingga menyulitkan pada saat identifikasi. Virus hepatitis C adalah termasuk virus yang kecil diantara virus lainnya, ukurannya sekitar 50 nm, beramplop, pita tunggal (singel strand), positiv sense virus RNA. Ia termasuk kelompok genus hepacivirus dalam famili Flaviviridae. Ada enam genotipe utama dari virus hepatitis C yang dinamai menurut angka yaitu genotipe 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Sequen nukleotidanya sangat bervariasi, Genotipe 1-3 banyak dijumpai di Eropa, genotipe 4 prevalen di Mesir dan Zaire, tipe 5 di Afrika dan tipe 6 di Hong Kong. Gambar 7.6 Skema virion dari virus hepatitis C (kiri) dan gambaran elektron mikroskop virus yang dapat diisolasi dari penderita hepatitis C (kanan). Virus masuk kedalam darah melalui darah terkontaminasi (waktu transfusi darah), atau melalui jarum yang tidak steril (misalnya tatoo), amplop virus melekat pada reseptor yang sesuai pada dinding sel hati. Setelah terjadi perlekatan, nukleokapsid melepaskan diri dari amplop masuk kedalam sitoplasma sebagai akibat dari proses fusi antara virus dengan membran seluler. Fusi tersebut dijembatani oleh protein viral yang spesifik yang menempati secara langsung membran plasma atau masuk kedalam sitoplama secara endositosis. Proses masuknya virus dalam sel tersebut dikontrol oleh glikoprotein pada permukaan virus. Gambar 7.7 Gambaran siklus hidup dan replikasi virus (HCV)dalam sel hati, dimana virus masuk kedalam sel hati dengan melekatkan amplop virus pada lokasi yang spesifik. Nukleokapsid kemudian pecah (“decapsidation”), dan nukleokapsid virus terbebaskan menjadi beberapa bentuk pita positif strand RNA didalam sitoplasma sel hati, dimana bahan tersebut menyediakan sintesis RNA baru sebagai messenger RNA (mRNA) untuk mensintesis poliprotein dari HCV. Translasi genom HCV dikontrol oleh ribosoma sel hati dan mulai memproduksi materi yang diperlukan untuk replikasi virus. Karena virus hepatitis C adalah virus RNA, maka virus RNA itu sendiri langsung dapat terbaca oleh ribosoma sel hospes, dan berfungsi normal seperti adanya mRNA pada selnya sendiri. Begitu mulai memproduksi kode material pada RNA, diduga virus langsung menghambat fungsi normal dari sel hati tersebut, dan menggunakan energi sel untuk replikasi virus. Walaupun kadang virus HCV menstimulir sel hati untuk regenerasi lebih banyak daripada produksi virus itu sendiri, tetapi HCV sangat erat hubungannya dengan terbentuknya sel kanker hati. Pertama enzim RNA ditranskriptase disintesis dan enzim ini diperlukan untuk reproduksi virus. Dengan proses tersebut HCV dikopi untuk membentuk ratusan atau bahkan ribuan materi untuk virus baru. Pada kondisi tersebut beberapa RNA virus mengalami mutasi. Virus kemudian membangun kapsomer untuk melindungi material gen didalamnya, dimana ribosoma dari sel hospes yang memproduksi protein tersebut digunakan oleh virus sebagai selubung gennya. Bilamana kapsomer yang komplet pada sekeliling virus RNA baru telah terbentuk, kemudian mereka menyatu(assembly) untuk membentuk selubung sferik yang dinamakan kapsid, yang secara penuh menyelubungi RNA virus. Partikel yang komplit tersebut dinamakan nukleokapsid. Virus baru bergerak kearah plasma membran dan melekat membentuk tonjolan. Plasma membran membentuk lingkaran kemudian membebaskan virus baru tersebut, dimana plasma membran sel menyediakan lapisan lipida, virus tersebut akan melekat pada sel hati lainnya. Proses pembentukan tonjolan plasma membran dan pelepasan virus keluar sel berjalan beberapa jam pada permukaan sel hati tersebut terus menerus sampai sel hati mengalami kematian (nekrosis). Virus yang keluar dan masih hidup dan selamat dari proses sistem imun atau faktor lain akan dapat memproduksi virus baru yang jumlahnya ratusan atau bahkan ribuan virus baru. Proses tersebut berjalan terus menerus sehingga menyebabkan organ hati rusak, terbentuk jaringan ikat (fibrosis), dan hati tidak berfungsi dan juga dapat menyebabkan terjadinya kanker hati. Penularan dan gejala Penularan HCV yang utama adalah melalui darah (transfusi darah) dan produknya (serum, plasma), atau melalui donor organ dari orang yang menderita hepatitis C. Bagi para pecandu obat bius suntik, penularan dapat terjadi melalui jarum dan siring yang dipakai bersama dengan penderita hepatitis C. Penularan juga dapat terjadi pada penderita gagal ginjal yang melakukan dialisis rutin dengan alat yang terkontaminasi, para perawat dan dokter yang sering kontak dengan darah penderita, para pekerja seks yang sering berganti pasangan dan melakukan hubungan seks dengan penderita hepatitis C. Penularan juga dapat terjadi pada seseorang yang bersama-sama menggunakan sikat gigi dan pencukur kumis dan jenggot bersama dengan penderita. Bayi dapat tertular dari ibunya yang menderita hepatitis C. Kebanyakan penderita atau orang yang terinfeksi hepatitis C tidak menunjukkan gejala, tetapi seseorang diketahui menderita hepatitis C pada saat dilakukan tes darah atau beberapa pemeriksaan kesehatan lainnya. Gejala yang timbul pada penderita biasanya bila sudah terjadi keparahan penyakit pada hati yaitu warna kuning pada lapisan mukosa tubuh (jaundice), kelemahan yang sangat (fatigue), hilang nafsu makan (anorexia), mual dan muntah, demam sedang, warna pucat atau kehijauan feses yang dikeluarkan, air kencing (urine) berwarna gelap, dan rasa gatal-gatal pada tubuh. Hepatitis kronik adalah kondisi yang sangat progresiv, paling tidak menyerang seperempat dari organ hati. Tetapi progresivisitas penyakit berjalan sangat lambat pada kebanyakan pasien, bahkan tidak menunjukkan gejala penyakit sampai selama beberapa tahun. Sampai sekarang mekanisme kerusakan hati pada fase akut ataupun kronis dari hepatitis C ini masih belum jelas, tetapi diduga proses sitopatogenisitas dari HCV erat hubungannya dengan proses respon sistem imun. Tetapi tidak terlihatnya gejala (asimptomatis) dari penyakit dapat didiagnosis adanya infeksi HCV dengan cara uji tes fungsi hati (tes darah adanya peningkatan produksi enzim AST, ALT) dan dapat meramalkan (prediksi) terjadinya sirosis pada hati. Gambar 7.8 Sirosis hati yang menimbulkan kanker hati (kiri), gambaran histopatologik dari sel hati, dimana hepatosit sudah tidak teratur dan terbentuk fibrosis (kanan) Diagnosis, pencegahan dan pengobatan Diagnosis hepatitis C jarang dapat dilakukan pada fase penyakit akut, karena kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala fase tersebut. Oleh sebab itu kadang penderita tidak menyadari bahwa dia terinfeksi hepatitis C, karena dia tidak merasa sakit dan tidak begitu memperhatikan kondisi kesehatannya. Diagnosis penyakit berdasarkan gejala juga sulit dilakukan pada penderita hepatitis C kronis karena gejala yang timbul tidak spesifik (gejala umum), gejala spesifik dengan tanda kerusakan hati baru terdeteksi setelah timbulnya gejala kerusakan hati seperti jaundice dan sakit perut bagian kanan atas, gejala tersebut kelihatan bila penyakit sudah berjalan beberapa lama. Penyakit hepatitis kronis baru dapat dipastikan berdasarkan riwayat penularan, dan tes fungsi hati yang memperlihatkan peningkatan enzim AST dan ALT. Uji serologi dapat meneguhkan diagnosis bila terlihat kenaikan titer antibodi HCV, anti-HCV dapat terdeteksi pada sekitar 80% pasien dalam waktu 15 minggu setelah infeksi, sekitar 95% setelah 5 bulan, dan 97% setelah 6 bulan. Tetapi kadang beberapa orang penderita tidak dapat terdeteksi pada orang yang tidak terjadi respon antibodi walaupun dia terinfeksi. Bila terjadi hal demikian maka uji RNA perlu dilakukan bila uji serologik hasilnya negatif. Tes fungsi hati sendiri (AST dan ALT) tidaklah merupakan diagnosis yang pasti, karena kerusakan hati penyebab penyakit lain juga dapat menaikkan enzim tersebut. Gambar 7. 9 Gambaran uji diagnosis penderita HCV yang menunjukkan titer antibodi HCV dan kandungan ALT dalam darah. Uji molekuler dengan mendeteksi asam nukleat seperti uji “polymerase chain reaction” (PCR), “transcription mediated amplification” (TMA), dan lainnya sangat baik dilakukan. Uji tersebut tidak hanya mendeteksi keberadaan virus, tetapi juga dapat mengukur jumlah virus yang beredar dalam darah (viremia). Mengukur jumlah virus dalam darah sangat penting dilakukan karena dari hasil tersebut akan dapat dilakukan untuk mengukur efektifitas mengobatan obat “interferon-base therapy”, tetapi tidak dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengukur keparahan dari penyakit. Seseorang yang dinyatakan telah mengidap hepatitis C, uji genotipe virus yang mengifeksi sangat dianjurkan. Uji genotipe HCV dapat digunakan untuk menentukan cara pengobatan yang diberikan apakah penderita dapat merspon obat interferon dan berapa lama pengobatan itu dapat dilakukan.Terjadinya infeksi hepatitis C kronis diperkirakan menyerang 50-80% diantara penderita hepatitis, dan 50% diantaranya tidak merspon terhadap pengobatan. Sangat kecil kemungkinan (0,5-0,74% per tahun) terjadinya kesembuhan total, atau pembersihan total virus dalam tubuh secara alami. Tetapi kebanyakan pasien penderita hepatitis kronis tidak dapat sembuh secara alami tanpa pengobatan. Belakangan ini pengobatan dilakukan dengan kombinasi antara Pegylated interferon-alpha-2a atau Pegylated interferon-alpha-2b (nama dagang Pegasys atau PEGIntron) dengan obat antiviral ribavirin selama 24 atau 48 minggu, hasilnya cukup baik, tatapi masih tergantung pada genotipe dari HCV. Pengobatan yang dilakukanb pada penderita HCV fase infeksi hasilnya sangat baik (lebih dari 90%), dengan jangka pengobatan yang lebih pendek, tetapi ini juga harus dibandingkan dengan terjadinya kesembuhan alami dari pasien yang tanpa pengobatan. Pasien dengan kandungan virus dalam darah rendah (low viremia), memperoleh hasil respon yang lebih baik pada pengobatan, daripada pasien yang kandungan virus dalam darahnya tinggi (high viremia). Belakangan ini sangat dianjurkan untuk vaksinasi hepatitis A dan B untuk mencegah infeksi hepatitis C, selama pasien belum pernah terinfeksi kedua jenis virus tersebut. Kebiasaan minum mengandung alkohol dan merokok dapat memicu keparahan penyakit HCV dan memperparah terjadinya fibrosis hati yang menyebabkan kanker hati. Human T-lymphotropic virus (HTLV) HTLV pertama ditemukan pada tahun 1977 di Jepang, dan virus dapat diisolasi pertama kali oleh Bernard Poiesz dan Francis Ruscetti. Virus HTLV dapat diisolasi pertama kali oleh Gallo dan diidentifiasi sebagai human retrovirus yang dapat menyebabkan kanker di Lembaga Kanker NCI di Amerika. Seperti pada infeksi retrovirus lainnya keberadaan virus erat hubungannya dengan reaksi antibodi terhadap HTLV yang terdeteksi dalam serum penderita. Data seroepidemiologi menunjukkan bahwa infeksi HTLV-1 terdapat cluster pada lokasi geografi tertentu di seluruh dunia. Dimana cluster tersebut terjadi endemik di bagian Selatan Jepang (15-30%), di Carribia (3-6%), Papua New Guinea dan beberapa bagian di Selatan Afrika. Penularan infeksi virus ini berlangsung melalui trans seksual dan melalui darah. Transmisi virus secara vertikal terjadi dari ibu ke anaknya merupakan hal yang penting dari keberadaan virus dalam suatu daerah endemik. Transmisi melalui air susu ibu merupakan kejadian yang penting dan menunjukkan prevalensi tinggi infeksi HTLV dalam daerah yang bersangkutan. Gambaran seroepidemiologik dari HTLV meningkat sejalan dengan meningkatnya umur begitu juga pada jenis kelamin dimana wanita dua kali lebih banyak daripada pria. Seroprevalensi pada orang diatas umur 80% meningkat di Jepang bagian Selatan dari persentasi angka penderita tersebut6 50% diantaranya diderita oleh wanita dan 30% pria. Perbedaan gender/jenis kelamin tersebut sangat mungkin disebabkan karena infeksi pada wanita lebih efisien daripada pria. Hal tersebut terjadi karena hubungan seksual pada pria biasanya dilakukan pada beberapa wanita. Infeksi HTLV-II paling sering disebabkan penggunaan obat bius secara IV. Hal ini ditemukan pada suatu cluster pada masyarakat Indian di Amerika Selatan. Virion, patogenitas dan penyakit HTLV termasuk dalam kelompok oncovirus, subfamili retrovirus ssRNA beramplop. Ada dua kopi genom RNA dengan tiga gen yang utama yaitu: gag (struktur protein), pol (reverse transcriptase),dan env (amplop glikoprotein). HTLV-I dan HTLV-II adalah tropikal untuk OKT+T-helper limfosit, tetapi bentuk sel lainnya juga dapat terinfeksi. HTLV-I dan HTLV-II tersebut keduanya tidak mempunyai oncogen yang spesifik. Gambar 7.10 bentuk virion HTLV (kiri) dan virus dalam sel-T dilihat dengan elektron mikroskop (kanan) Pada retrovirus termasuk HTLV, di dalam sel, RNA dirubah menjadi DNA. Pada waktu terjadinya proses tersebut genom hospes bekerjasama dengan genom viral (transduction). Genome hospes tersebut terlibat dalam proses proliferasi gen virus, dimana transduksi gen akan melibatkan perumbuhan virus dalam sel yang terinfeksi. Sebagai akibatnya proses integrasi genom retrovirus kedalam genom hospes (tidak selalu/secara acak) dapat menempatkan viral promotor sangat dekat dengan genom hospes yang dapay mengkode “growth-regulating protein”. Bilamana protein tersebut diekspresikan tidak normal dan berlebihan dapat menyebabkan terjadinya transformasi seluler yang tumbuh tidak terkendali. Dari proses tersebut menunjukkan adanya indikasi lain bahwa jenis retrovirus lain seperti HIV juga dapat mengindus/memicu terjadinya proses transformasi sel. Ada beberapa penyakit yang timbul karena terjadinya infeksi HTLV, beberapa diantaranya adalah kanker: a) Adult T-cell leukemia (ATL), Agen penyakitn leukemia sel T salah satunya disebabkan oleh terjadinya infeksi HTLV, hal tersebut dapat dipastikan dengan uji adanya antibodi terhadap HTLV-I. Isolasi virus dapat ditemukan adanya integrasi sequen proviral dalam sel leukemia pada pasien penderita ATL. Leukemia jenis ini sangat progresif dan fatal dan berefek paqda sati diantara 500 orang yang terinfeksi oleh HTLV-I. Penyakiy ini terciri dengan adanya perubahan yang diffuse (menyebar) dari kelenjar limfe, hiperkalsemia, leukemia, infilytasi lekusit pada kulit, dan pada uji serologi positiv adanya antibodi HTLVI. Bila seseorang terinfeksi virus ini masa imkubasinya sekitar 15-20 tahun yang akan berkembang menjadi leukemia ATL. b) Tropical Spastic Paraparesis (TSP), hubungan antara infeksi HTLV-1 dengan TSP pertama ditemukan pada tahun 1985 pada saat dilakukan uji skreening darah donor untuk uji antibodi terhadap HTLV-1 di West Indies. Sekitar lebih dari 75% pasien yang menderita TSP terdetksi mengandung antibodi terhadap HTLV-I dan pada penelitian lebih lanjut virus tersebutdapat diisolasi dari darah dan cairan sumsum tulang belakang (CSF). Penderita menunjukkan gejala gangguan neurologi kronis TSP, dan kasus tersebut juga ditemukan pada pada lokasi lain yang merupakan daerah endemik HTLV-I seperti didaerah Afrika dan Jepang. Hal tersebut dinamakan “HTLV-I associated myelopathy”. Gejala klinis yang terlihat pada penyakit ini mirip dengan “multiplr scelrosis” tetapi tidak disertai dengan gejala gangguan saraf pusatGejala awal yang terlihat adalah kelemahan anggota gerak secara bilateral dan terjadi kelemahaham pada lutut, gejala tersebut secara perlahan meningkat sampai mempengaruhi kelemahan pada daerah pinggul, tetapi gejala tersebut biasanya cukup bervariasi. c) Penyakit lain yang berhubungan dengan infeksi HTLV-I, antara lain adalah adanya gejala dermatitis Pengobatan Pengobatan ditujukan untuk infeksi sekunder dari bakteri opportunistik, perlu dilakukan observasi untuk melihat tipe penyakit berdasarkan hasil observasi, bilamana terjadi perkembangan progresiv dari gejala yanang terjadi perlu dilakukan pengobatan dengan obat khemotherapy dan antiretroviral. Pada penyakit kanker sel-T limpoma yang merupakan kanker leukemia pada orang dewasa(ATL), perlu diobati dengan khemotherapi yang agresiv yaitu dengan R-CHOP. Pengobatan lain untuk ATL pada infeksi HTLV adalah interferon alfa, zidovudine kobinasi dengan interferon alfa, dan CHOP kombinasi dengan arsenik trioksida. Pengobatan untuk penyakit TSP sangat terbatas, dan obat hanya difokuskan untuk terapi simptomatis saja, misalnya corticosteroids, plasmapherisis, cyclophosphamide, dan interferon, yang dapat menyembuhkan gejala myopathy smenetara. Obat Valproic acid sedang diteliti untuk menurunkan derajad viremia. Dewasa ini pengobatan kombinasi anyara valproic acid denganzidovudine menunjukkan terjadinya penurunan jumlah virus dalam darah. Perlu selalu dimonitor adanya infeksi oportunitis dari cytomegalovirus, histoplasmosis, scabies, pneumocystis pneumonia, dan stapylococus sp pada pasien penderita infeksi HTLV. Pengobatan dengan allogenik transplantasi sumsum tulang sedang dalamtahap penelitian dan hasilnya masih bervariasi. Human papillomavirus (HPV) HPV termasuk dalam famili papillomavirus yang menginfeksi manusia. Seperti pada semua virus papilloma, HPV sangat cocok untuk hidup dan berkembang pada keratinosit (sel keratin) pada kulit atau dalam lapisan mukosa. Kebanyakan yipe infeksi HPV tidak menunjukkan gejala samasekali, sebagian menunjukkan gejala penebalan kulit (warts), sedangkan sebagian kecil menyebabkan kejadian kanker pada serviks, vulva, vagina, penis, oropharynx, dan anus. Dew3asa ini dilaporkan bahwa infeksi HPV ada hubungannya dengan resiko peningkatan kejadian penyakit karsiovaskuler. Sekitar lebih dari 40 tipe HPV ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa tipe HPV yang ditularkan lewat hubungan seksual dapat menyebabkan lesi dan penebalan pada saluran genital. Infeksi persisten dari HPV tipe “high risk” berbeda dengan tipe HPV yang menginfeksi pada kulit, dimana tipe “high risk” tersebut dapat berkembang menjadi penyebab penyakit kanker. Infeksi HPV adalah penyebab dari hampir semua kasus kanker sercviks, tetapi kebanyakan infeksi tipe HPV ini tidak menyebabkan penuakit. Kebanyakan infeksi HPV pada wanita muda berjalan sekitar satu tahun (70%) dan 2 tahun (90%) berkembang menjadi berisiko menyenankan precancerius (awal terjadinya kanker) pada serviks. Bilaman terjadi infeksi persisten pada wanita sekitar 5% sampai 10% berkembang dan beresiko tinggi menjadi kanker serviks. Proses tersebut biasanya dalam waktu 10-15 tahun, sehinnga deteksi dini dan pengobatan dilakukan dalam fase adanya lesi pre-cancerius. Pada kebanyakan negara uji pap smear banyak digunakan untuk deteksi dini penyakit kanker serviks ini. Deteksi dini dengan pap smear dapat mengurangi kejadian kanker serviks, tetapi kejadian kanker serviks ini masih cukup tinggi yaitu sekitar 11 000 kasus dan sekitar 3900 meninggal dunia di Amerika pada tahun 2008. Virion dan patogenitasnya HPV termasuk dalam kelompok virus papiloma yang mempunyai bentik DNA sirkuler. Papilomavirus ukurannya termasuk kecil, tidak beramplop, dengan diameter sekitar 52-55nm. Partikel virion terdiri dari 72 pentamerik kapsomer dan dapat berbentuk pentavalen dan heksavalen. Kapsid dari virus ini terbentuk dua viral protein yaitu L1 dan L2. L1 adalah kapsid protein yang lebih banyak yaitu 80% , sedangkan sisanya L2 ada 20%. Viral kapsid protein tersebut digunakan untuk membuat virus-like protein (VLPs). Belakangan VLPs ini disolasi dan dapat digunakan calon vaksinuntuk melawan vcirus HPV. Gambar 7.11. Bentuk virion HPV (kri) dan ilustrasi virus dalam sel (kanan) Sekitar puluhan jumlah serotipe virus papiloma termasuk tipe 16, 18,31 dan 45 yang dinamakan tipe “high risk” karena tipe virus tersebut dapatmenyebabkan kanker serviks, kanker vulva, kanker vagina kanker penis. Beberapa tipe HPV, terutama tipe 16 telah ditemukan erat hubungannya denga “oropharyngeal cancer” (OSCC),serupa dengan bentuk kanker pada leher dan kepala. HPV dapat mengindus kanker karena integrasi viral sequennya kedalam seluler DNA hospes. Beberapa gen virus yang baru terbentuk seperti E6 dan E7, diketahui sebagai oncogen yang dapat memicu pertumbuhan tumor dan berkembang bertransformasi menjadi malignan. Infeksi HPV melalui oral dapat menyebabkan kanker oropharyngeal. Didalam tubuh sendiri sebetulnya ada protein P53 yang secara alamiah dapat menghambat pertumbuhan tumor dengan cara menghambat siklus pertumbuhan sel bila DNA-nya mengalami kerusalan. Protein E6 sangat erat hubungannya dengan protein E6-AP (E6-associated protein). Sedangkan E6-AP terlibat dalamjalur “ubiquitq ligase” yaitu sistem yang bertindak untuk degradasi protein. E6-AP mengikatkan ubiquitin pada protein P53, sehingga menghambat degradasi proteosom, se3bagai akibatnya P53 tidak dapat berfungsi dantumor dapat tumbuh tidak terkendali. Gambar 7.12 Proses infeksi dan replikasi HPV dalam sel epithel (kiri) dan terjadinya pertumbuhan sel epithel (kanan). Pola perkembangan HPV tipe 16 adalah salah satu sub-tipe yang telah diteliti sebagai penyebab terjadinya kanker leher rahim (kanker serviks) yaitu kapsid gen E1-E7 gen awal dan L1-L2 gen akhir. Hampir semua infeksi HPV dapat dilawan oleh sistem imun dab tidak berkembang menjadi kanker serviks. Hal ini disebabkan karena proses transformasi sel epithel serviks untuk berkembang menjadi sel kanker sangat lambat, sehingga sebelum terbentuk sel kanker telah dicegah dulu oleh sistem imun dari tubuh. Tetapi bila terjadi infeksi persisten maka virus tersebut terus mempengaruhi sel untuk berkembang menjadi tidak terkendali dan hal tersebut memerlukawaktu yang bertahun tahundimana beberapa faktor lain mempengaruhi seperti faktor genetik, lingkungan dan pola makan. Hubungannseks yang tidak wajar juga merupakan faktor penyebab terjadinya infeksi HPV dan berakibat timbulnya kanker anus, sampai mencapai kemungkinan 25% kasus, begitu juga terjadinya kanker oropharynx. Belakangan ini juga dilaporkan terjadinya kanker pada tonsil dan kejadian kanker karena infeksi HPV pada faerah mulut sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai kebiasaan merokok. Orang yang sujka melakukan hubungan seks melalui anus dan mulut banyak dilaporkan mudah terinfeksi HPV yang dapat menyebabkan peningkatan kasus kanker pada lokasi bagian tubuh yang bersangkutan. Telah dilaporkan bawa kasus kanker pada penis dan anus banyak ditemukan pada kaum gay (homo seksual). Diagnosis, pencegahan dan pengobatan Diagnosis yangsampai sekarang masih sering digunakan adalah uji pap smear, karena uji metode ini cukup akurat untuk mendeteksi adanya HPV dalam srviks penderita dan uji dapat dilakukan secara rutin. HPV tipe 18 juga telah dapat dideteksi melalui uji DNA, dimana tipe ini paling sering menyebabkan kanker serviks dan juga dapat membedakan antara tipe HPV penyebab kanker beresiko tinggi atau rendah. (high risk, low risk), tetapi tidak dapat menentukan HPV yang spesifik. Sehingga uji ini banyak ditemukan hasil positif palsu, sehingga perlu keteramilan dan latihan yang efisien untukdapat melaqkukan uji ini. Menurut lembaga riset kanker (Amerika) uji sampel dari sel serviks adalah cara yang paling baik untuk mengidentifikasi tipe HPV yang beresiko tinggi. Infeksi HPV yang paling sering ditemukan melalui hubungan seksual yang sering berganti pasangan, sehingga cara yang terbaik untuk mengurangi resiko/mencegah penularan adalah: penggunaan kondom, vaksinasi dan obat anti mikroba. Dewasa ini telah tersedia dua jenis vaksin untuk mencegah infeksi HPV yang masing masing diproduksi olaeh dua pabrik farmasi dengan nama paten yang berbeda pula. Kedua vaksin tersebut dapat melindungi infeksi awal dari HPV tipe 16 dan 18, yang sangat diduga sebagai HPV penyebab kanker. Salah satu produk tersebut juga terbukti dapat mencegah terjadinya infeksi HPV tipe 6 dan 11, yang menyebabkan kutil genital sampai 90%. Tentu saja vaksin tidak efektif terhadap wanita yang telah terinfeksi HPV sebelumnya, sehingga WHO merekomendasikan untuk uji pap smear secara rutin sebelum dilakukan vaksinasi. Obat antivral terhadap HPV masih dalam penelitian, diharapkan obat tersebut dapat menghambat/memblok transmisi HPV setelah terjadi kontak seksual. Obat yang telah diteliti dan menunjukkan hasil yang menjanjikan adalah ekstrak karagenan yang dibuat sebagai seksual lubrikansia. Epstein–Barr virus (EBV) Epstein-Barr virus (EBV) termasuk dalam kelompok “Human γ-herpesvirus” yang mampu hidup dalam waktu lama dalam sel limfosit B sepanjang hidup hospes (orang/penderita). Infeksi EBV erat hubungannya dengan bebrapa jenis kanker pada manusia,termasuk “Burkitt’s Limphoma” (BL) dan “hodgkin’s disease”, beberapa jenis “AIDS-associted” kanker atau sering disebut “Diffuse Large B-cell Lymphoma” (DLBCL). Diduga EBV pada awal infeksi pada sel-B dapat menyebabkan proliferasi sel-B secara cepat dan membentuk suatu kelomok “EBV-infected cell” yang menyerupai sel-B memory. Kondisi perbedaan dua fase tersebut dapat menyebabkan terjadinya infeksi EBV laten III dan EBV laten I. Selama perkembangan EBL laten III, EBV mengekspresikan 9 protein yang dinamakan EBV nuklearantigen (EBNA), yaitu EBNA-1, -2A, -3B, -3C dan LP dan juga LMPs (Laten membran Protein), yaitu LMP-1, -2A dan -2B yang diduga berganti-ganti dalam suatu aktivasi proses sel-B naiv(original/normal) yang biasanya bekerja setelah terjadinya stimulasi antigen. Sebagai akibatnya, siklus sel tersebut kembali mengalami awal status diferensiasi yang menyerupai sel-B memori, pada saat protein EBV diekspresikan menjadi EBNA-1. Laporan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa infeksi laten EBV menyebabkan peningkatan intensitas protein virus dalam sel sehingga terjadi reprograming sel yang terinfeksi sehingga gen terekspresi secara langsung. Sifat virus Virus dapat bekerja dalam berbagai program yang berbeda dlam mengekspresikan gennya yang dikategorikan dalam siklus lytic atau siklus latent. - Siklus lytic atau juga disebut siklus produksi ekspresi virus protein, pada fase ini dihasilkanproduk virus yang infeksius. Sebetlnyafase ini tidak terlibat langsung dalam proses terjadinya lysis terhadap sel dari hospes pada saat virion EBV yang diproduksi karena terjadinya perlekatan (buddig) pada sel yang terinfeksi.Protein litik adalah glikoprotein (gp 350 dqn gp110). - Siklus latent (lysogenik), fase ini tidak menghasilkan produk virion. Terdapat sedikit perbedaan pada protein virus diproduksi pada periode laten ini, hal ini termasuk Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA-3B, EBNA3C, EBNA-leader protein (EBNA-LP), EBNA-leader protein (EBNA-LP) dan latent membrane proteins (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B serta Epstein-Barr encoded RNAs (EBERs). Begitu juga EBV yang mengkode sekitar dua-puluh microRNA yang diekspresikan dalam sel yang terinfeksi laten dan paling tidak satu snoRNA terekspresi pada siklus lytik. Gambar 7.13 Bentk morfologi viruus epstein bar (RBV) Hasil penelitian ekspresi gen EBV dalam kultur jaringan “Birlitt”s limphoma cell lines” ditemukan tiga ekspresi gen yang dilaporkan yaitu: 1. EBER1&2 LMP2A EBNA1 (Latency I) 2. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 (Latency II) 3. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 EBNA2,3,4,5,6 (Latency III) Infeksi virus Virus EBV dapat menginfeksi sejumlah sel yang berbeda yaitu sel B limfosit, sel epitel, pada kondisi tertentu dapat menginfeksi sel T, sel NK dan sel otot polos. Infeksi pada sel B dan sel epitel adal sel yang diinfeksi secara normal. Tetai meknisme infeksi dan protein yang terlibat pada lima sel yang berbeda tersebut berbeda pula. Untuk mengonfeksi sel B protein viral gp350 melekat pada resptor sel yaitu komplemen reseptor 2 (CR2), dan memicu proses endositosis. Disampimg itu, gp42 melekat pada molekul MHC II. Melalui interaksi tersebut terjadi fusi antara gHgL dan gB, yang memicu fusi dari viral membran dengan endosomla membran untuk membebaskan materi genetik virus. Untuk menginfeksi sel epitel , gp 350 juga melekat pada CR2, tetapi proses endositosis tidak dipicu. Interaksi antara gHgL dengan gHgL reseptor (mungkin integrin αvβ6 or αvβ8) dan mesi fusi gHgL dan gB memicu fusi pada membran sel dan sel epitel. Epstein Barr Virus dan sejenisnya seperti virus KSHV dapat dipelihara dan di manipulsi dalam laboratorium secara berkesinambungan daya hidupnya (latency). Sementara itu kabanyakan virus lain dapat hidup bila menginfeksi pada hospes secara alamiah atau pada hewan coba. Beberapa peneliti melaporkan bahwa infeksi EBV dapat menyebabkan sel B limpfosit dapat bertahan hidup terus dalam tubuh, setalah infeksi virus sel B mengalami mimikri (berubah bentuk) menjadi neoplasma sel B, Pada saat terjadi infeksi EBV sel B limfosit berikatan dengan reseptor komplement sehingga genom linear virus dan virusnya sendiri berada persisten dalam sel B sebagai epistome. Pada infeksi primer EBV bereplikasi dalam sel epithel oro-pharyngeal dan bertahan hidup sebagai latency I, II, dan III.dan menginfeksi pada sel B limfosit. Infeksi EBV laten dalam limfosit B sangat diperlukan untuk terjadinya persisten virus, sehingga terjadinya replikasi virus dalam sel epitel dan dibebaskan menjadi virus infeksius dalam saliva (air ludah). Virus EBV laten II dan III menginfeksi sel limfosit-B, laten II menginfeksi sel epitel oral (mulut) dan laten II menginfeksi sel NK atau sel T yang dapat mentenankan tumor malignan, yang ditandai dengan bentyuk uniform genom EBV dan adanya ekspresi gen. Glikoprotein H (gH) adalah protein yang esensial untuk penetrasi masuk kedalam sel B juga berperan penting bagi virus untuk menempel pada sel epitel. .