Infeksi virus penyebab kanker (Oncovirus) Profesor Darmono 17

advertisement
Infeksi virus penyebab kanker (Oncovirus)
Profesor Darmono
17 Januari 2014
Dewasa ini para peneliti bidang medis mulai memperhatikan mengenai infeksi virus
yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit kankier. Diseluruh dunia, kanker yang
disebabkan oleh infeksi virus diperkirakan mencapai angka 15% sampai 20% dari seluruh
kasus penyakit kanker yang ditemukan. Tetapi tidak semua infeksi virus dapat menyebabkan
perkembangan kanker secara progresif, ada beberapa faktor yang memicu terjadinya kanker
karena infeksi virus. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik dari hospes, terjadinya
mutasi, terinfeksi virus yang spesifik penyebab kanker, dan gangguan dari sistem imun dari
hospes. Yang paling khas dan perlu diperhatikan adalah awal terjadinya kanker sangat erat
hubungannya dengan sistem imun dari hospes, dimana terjadinya proses peradangan atau
inflamasi pada jaringan hospes. Sel kanker mempunyai karater yang berbeda dengan sel
normal, dimana sel tersebut mempunyai kemampuan tumbuh tidak terkontrol. Hal tersebut
disebabkan karena hilangnya sensitivitas anti-pertumbuhan sel tumor dan hilangnya
kemampuan proses apoptosis (program kematian sel secara alami). Trnasformasi sel normal
menjadi sel kanker yang terjadi pada orang yang terinfeksi virus disebabkan oleh terjadinya
kerusakan secara genetik dari sel tersebut. Sel tersebut diatur oleh gen virus yang
menginfeksinya dan mengakibatkan sel tersebut tumbuh tidak normal, membelah membentuk
sel baru secara terus menerus. Peneliti mulai dapat mengenali mekanisme virus yang dapat
menyebabkan tumor tersebut yaitu dengan cara sebagai berikut: Virus masuk kedalam sel
kemudian masuk kedalam nukleus dan mengubah sel serta mengrintegrasi materi gennya
(gen virus) kedalam DNA sel hospes. Integrasi tersebut terjadi secara permanen dan
berintegrasi dalam materi genetik yang tidak dapat di eliminasi oleh sel hospes. Mekanisme
insersi gen tersebut berbeda-beda bergantung padan jenis virus, yaitu virus DNA atau RNA.
Pada virus DNA, materi genetiknya dapat secara langsung berintegrasi dengan sel DNA
hospes, sedangkan virus RNA harus ditranskrip dulu menjadi materi DNA dan kemudian di
integrasikan kedalam materi gfenetik sel DNA dari hospes.
Beberapa contoh jenis virus yang menyebabkan terjadinya tumor antara lain adalah:
Human papiloma virus (HPV), virus hepatititis B (HBV), virus hepatititis C (HCV), virus
Human T limpocyte (HTLV), human papiloma virus (HPV), Kaposi’s sarcoma-associated
herpesvirus (HHV-8), dan Epstein–Barr virus (EBV). Walaupun kemungkinan terjadinya
penyakit kanker karena infeksi virus kemungkinannya sangat kecil, tetapi bila kondisi
kesehatan tubuh sangat menurun infeksi kronis dari virus tersebut dapat memicu
terbentuknya kanker.
Tabel 7.1 Jenis virus penyebab kanker dan persentase kejadiannya diantara penderita
penyakit kanker
Virus
Virus Hepatitis , termasuk
hepatitis B (HBV) dan
hepatitis C (HCV)
Human T-lymphotropic virus
(HTLV)
Human papillomaviruses
(HPV)
Kaposi’s sarcoma-associated
herpesvirus (HHV-8)
Kejadian
kanker(%)
4.9
0.03
5.2
0.9
Tipe kanker
Hepatocellular carcinoma (kanker hati)
Tropical spastic paraparesis dan leukemia
orang dewasa
Cancers cervix, anus, penis, vulva/vagina, dan
beberapa kanker pada daerah kepala dan leher.
Kaposi’s sarcoma, multicentric Castleman's
disease dan primary effusion lymphoma
Merkel cell polyomavirus
Belum ada
data
Merkel cell carcinoma
Epstein–Barr virus (EBV)
Belum ada
data
Burkitt’s lymphoma, Hodgkin’s lymphoma,
post-transplantation lymphoproliferative
disease dan Nasopharyngeal carcinoma.
Virus hepatitis B
Penyakit radang hati hepatitis B, disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang
menginfeksi hati pada primata termasuk manusia, menyebabkan terjadinya inflamasi hati atau
hepatitis. Penyakit hepatitis B telah menjadi epidemik pada sebagian kawasan Asia dan
Afrika, dan endemik di China. Sekitar sepertiga dari populasi penduduk dunia atau lebih dari
dua milyard orang terinfeksi oleh virus hepatitis B. Jumlah tersebut termasuk orang yang
menderita sebagai karier ada sekitar 350 juta orang. Penularan terjadi melalui infeksi dari
darah dan cairan tubuh. Pada kasus inflamasi hati yang akut, gejala ditandai dengan muntah,
jaundice (penyakit kuning) dan kadang terjadi kematian. Pada kasus yang kronis hepatitis B
dapat menyebabkan sirosis hepatis dan kanker hati, yang dapat mengakibatkan fatal karena
sedikit merespons terhadap pengobatan khemoterapi. Penyakit hepatitis B dapat dicegah
dengan cara vaksinasi.
Virion dan replikasi virus
Virus hepatitis B termasuk dalam kelompok hepadnavirus dari kata hepa dari
hepatotrophic dan dna karena dari virus DNA. Genomnya berbentuk sirkuler yang terdiri dari
dobel strand DNA partial. Virus bereplikasi melalui bentuk RNA dengan jalan reverse
transcripsi, sehingga proses ini menyerupai model retrovirus. Walaupun replikasi terjadi
dalam hati, tetapi virus menyebar melalui darah dimana spesifik virus protein sebagai bentuk
antibodi yang selalu ditemukan pada orang yang terinfeksi virus hepatitis B. Sehingga uji
protein darah dan antibodi digunakan untuk mendiagnosis penyakit ini.
Gambar 7.1 Struktur HBV (kiri) dan gambaran elektron mikroskopnya (kanan)
Partikel virus (virion), terdiri atas amplop lipida pada bagian luar dan nukleokapsid
pada bagian tengah yang berbentuk icosahedral yang menyusun protein. Nukleokapsid
mengandung DNA dan polimerase DNA yang mempunyai aktivitas reverse trannskriptase.
Pada bagian luar amplop terdapat protein yang berfungsi untuk melekatkan virus pada sel
yang peka. HBV adalah virus beramplop yang paling kecil diantara virus yang menginfeksi
manusia/hewan dengan diameter virion 42 nm. Pada permukaan partikel virus terdapat lipida
dan protein disebut antigen permukaan (HBsAg), dan diproduksi berlebihan pada saat proses
siklus hidupnya. Genome HBV berbentuk DNA sirkuler, tetapi mempunyai ciri khusus yaitu
tidak sepenuhnya berpita ganda (double-strand). Pada akhir dari salah satu pitanya
tersambung dengan viral DNA polymerase. Genome berukuran panjang pasangan basa 30203320 bp (bentuk panjang), dan 1700-2800 bp (bentuk pendek). Bagian yang tidak terkode /(-)
sense, adalah bagian yang saling melengkapi (complemen) terhadap mRNA virus, Viral DNA
terdapat didalam nukleus hepatosit segera setelah menginfeksi sel. Parsial dobel strand
terbentuk untuk melengkapi (+) strand dengan mengambil molekul protein dari (-) strand dan
sequen pendek dari RNA yang berasal dari (+) sense strand. Basa yang tidak terkode diambil
pada akhir dari (-) sense strand pada akhir sambungan tersebut. Ada empat gen yang terkode
pada genomik yaitu C, X, P, dan S. Core protein terkode sebagai gen C (HBcAg), dan start
codonnya keatas dalam frame AUG start codon dimana pre-core protein diproduksi. HBcAg
diproduksi dari proses proteolitik dari pre-core protein tersebut. DNA polimerase dikode oleh
gen P, sedangakan gen S adalah gen yang mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen
HBsAg adalah gen yang panjang dan reading frame yang terbuka, dan mengandung tiga
nukleotida pada “start” (ATG) codon yang membagi gen menjadi tiga bagian yaitu: pre-S1,
pre-S2, dan S (besar, medium dan kecil).
Siklus hidup virus hepatitis B cukup komplek, dimana HBV adalah satu diantara sedikit
virus non-retrovral yang menggunakan riverse transkriptase sebagai bagian dari proses
replikasinya. HBV masuk kedalam sel dengan cara melekatkan pada reseptor pada
permukaan sel, dan masuk kedalam sel melalui proses endositosis. Karena virus
bermultiplikasi melalui pembentukan RNA yang dibuat oleh enzim dari hospes, maka
genomik viral ditransfer kedalam nukleus sel oleh protein hospes yang dinamakan
“chaperon”. Partial dobel strand DNA kemudian membentuk dobel strand penuh ditransfer
kedalam sirkuler DNA tertutup (cccDNA) yang menyediakan lokasi untuk transkripsi dari
empat viral RNA. RNA yang paling besar (lebih panjang daripada genom viral), digunakan
untuk membuat kopi baru dari genom dan untuk membuat core capsid protein dan viral DNA
polimerase. Empat viral transkript kemudian memproses berikutnya untuk membentuk virion
progeny yang dibebaskan dari sel atau masuk kedalam nukleus lagi untuk memproduksi kopi
baru yang lebih banyak. Kemudian mRNA ditransport kembali kedalam sitoplasma dimana
protein virion P mensintesis DNA melalui aktivitas revers transkriptase.
Gambar 7.2 Siklus hidup HBV, partikel virus melekat pada reseptor membran sel hati (1),
translokasi dalam sitoplasma (2), nukleokapsid membebaskan genom viral pada
nukleus (3), genom berubah menjadi kovalen-klose DNA sirkuler (cccDNA) untuk
menyediakan lokasi transkripsi (4). mRNA viral (5) ditranslasi kedlam protein viral
dalam sitoplasma dan pregenom RNA (6) menyatu dengan viral polimerase kedalam
kapsid untuk membentuk protein core (7). Begitu partikel virus matang (8,9), viral
DNA disintesis oleh viral polimerase dengan menggunakan lokasi pada encapsid
pregenom. Sintesis nukleokapsid yang baru dapat membebaskan viral DNA didalam
nukleus yang mengawali siklus baru dari sintesis cccDNA, dan menjaga genom viral
dalam waktu yang lebih lama didalam sel yang terinfeksi tersebut dan meningkatkan
jumlah viral RNA (10), dan mendapatkan amplop virus dalam endoplasmik retikuler
(ER) dan aparatus golgi dengan membebaskan virus matang dari sel melalui eksositosis
(11). Model produksi virus tersebut tidak menyebabkan terjadinya kematian sel, tetapi
dapat menyebabkan penyakit hepatitis kronis.
Gejala dan patogenesis
Infeksi akut dari virus hepatitis B dimulai dengan gejala penyakit yang umum yaitu
hilang nafsu makan, mual, muntah, rasa sakit pada seluruh bagian tubuh, demam, urine
berwarna gelap, dan berkembang menjadi jaundice. Gejala rasa gatal-gatal pada kulit sering
terjadi pada penderita hepatitis dari infeksi virus hepatitis semua tipe virus (A,B,C). Penyakit
berjalan selama beberapa minggu dan kemudian secara perlahan gejala semakin meningkat
menjadi lebih parah. Beberapa pasien menunjukkan gejala yang lebih parah (kegagalan
fungsi hati), dan dapat mengakibatkan kematian. Beberapa kejadian kasus penyakit, pada
penderita kadang tidak menunjukkan gejala sehingga tidak terdiagnosis dan tiba-tiba
penyakit menjadi parah. Pada kasus yang kronis penderita tidak menunjukkan gejala
(asymptomatic), inflamasi pada hati berjalan secara kronis (hepatitis kronis), yang
mengakibatkan terjadinya sirosis hepatis dan penyakit tersebut berjalan selama beberapa
tahun. Tipe infeksi seperti ini mengakibatkan terjadinya kanker hati (hepatocellular
carcinoma). Selama terjadinya infeksi HBV, menimbulkan respon kekebalan dari penderita
yang mengakibatkan kerusakan sel hati bersamaan dengan eliminasi virus. Walaupun sistem
kekebalan alamiah (innate imunity) tidak berperan nyata pada proses terjadinya penyakit,
kekebalan adaptive (perolehan) terhadap respon infeksi virus yang spesifik terjadi yaitu sel Tsitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/CTLs). Sel Tc tersebut erat hubungannya antara
kerusakan sel hati dengan infeksi HBV(imunopatologi). Dalam hati platelet menjadi
teraktivasi pada lokasi infeksi yang mengakibatkan terjadinya akumulasi CTLs dalam hati.
Serotipe dan genotipe
Menurut jenis tipe serumnya HBV dibagi menjadi empat serotipe utama yaitu: adr,
adw, ayr, dan ayw, yang didasarkan pada epitop antigenik yang dipresentasikan pada amplop
proteinnya. Sedangkan pembagian menurut sequen nukleotidanya HBV dibagi menjadi
delapan genotipe yaitu genotipe A sampai H menurut variasi genomnya. Pembagian menurut
genotipe dibedakan menurut distribusi geografik dan banyak digunakan untuk melacak
terjadinya evolusi dan transmisi dari virus. Perbedaan genotipe sangat penting untuk
mengidentifikasi efek dari keparahan penyakit, juga untuk menunjukkan keparahan,
komplikasi, dan respon terhadap pengobatan dan kemungkinan juga untuk penerapan
program vaksinasinya. Sequen genotipe dapat dibedakan paling tidak sekitar 8% yang telah
dilaporkan pada tahun 1988 pada saat dilakukan identifikasi genotipe A – F. Dua genotipe
lainnya yaitu G dan H, dimana genotipe G ada insersi 36 nukleotida dalam satu gen core, tipe
ini ditemukan di Perancis dan Amerika Serikat. Sedangkan tipe H ditemukan di Nicaragua,
Mexico dan California. Dalam genotipe juga dapat dibedakan sub-genotipe, tipe ini berbeda
sekitar 4-8% diantara sequen DNA nya. Genotipe A ditemukan di Amerika, Afrika, India dan
Eropa Barat. Genotipe B sering dijumpai di Asia, Amerika Serikat, sub-genotipe B1 banyak
dijumpai di Jepang, B2 di China dan Vietnam sedangkan B3 ditemukan di Indonesia, dan B4
di Vietnam, sedang B5 di Philippina, dimana semua strain virus tersebut adalah serotipe
ayw1. Genotipe C banyak ditemukan di Asia dan Amerika Serikat, subgenotipe C1 sering
ditemukan di Jepang, Korea dan China. Genotipe C2 juga banyak ditemukan di China, Asia
Tenggara, dan Bangladesh, sedangkan C3 di Oceania. Semua strain virus tersebut
mempunyai serotipe adr-q. Genotipe C4 dengan serotipe ayw3 ditemukan pada suku
Aborigin di Australia. Genotipe D sering ditemukan pada penderita hepatitisB di Eropa
Selatan, India dan Amerika dan terdapat delapan subtipe (D1-D8), genotipe D ini juga sering
ditemukan di Turki. Genotipe E banyak dijumpai di bagian Barat dan Selatan Afrika, sedang
tipe F sering dijumpai di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe grup F ini terdiri dari
subgenotipe F1 dan F2. Genotipe G sering ditemukan di benua Eropa dan Amerika yang
termasuk dalam kelompok serotipe adw2. Hampir semua genotipe (A-E) ditemukan di benua
Afrika, dan didominasi genotipe A di Kenya, B dan D di Mesir, D di Tunisia, A-D di Afrika
Selatan dan E di Nigeria.
Diagnosis, pencegahan dan Pengobatan
Uji diagnosis untuk mendeteksi penyakit infeksi virus hepatitis B dilakukan dengan uji
serologik atau tes darah, yang mendeteksi antigen virus (protein yang diproduksi virus) atau
antibodi (protein yang diproduksi penderita). Antigen permukaan virus hepatitis B (HBsAg)
sering digunakan untuk skrening terjadinya infeksi, dan sering terdeteksi sebagai antigen
virus selama infeksi. Tetapi pada awal infeksi antigen tersebut tidak dapat terdeteksi dan
mungkin tidak terdeteksi lagi bila virus dapat dihilangkan/dilawan oleh hospes. Virus
dibagian core partikel virus (virion) adalah bagian pusat virus yang paling infeksious. Partikel
ikosahedral dari virus tersebut dibentuk dari 180 atau 240 kopi protein core, sehingga disebut
core hepatitis antigen (HBcAg). Respon imun IgM dari hospes terhadap core antigen hepatitis
B merupakan kejadian infesi HBV secara serologik mengenai infeksi penyakit tersebut.
Segera setelah HBsAg terdeteksi, antigen lainnya muncul yaitu antigen e hepatitis B
(HBeAg). HbeAg terdeteksi menandakan terjadinya peningkatan replikasi virus dan
berkembangnya keparahan penyakit, tetapi beberapa kasus variant dari HBV tidak
memproduksi antigen ini. Pada beberapa kasus infeksi lain, HbeAg segera dapat diatasi dan
antibodi terhadap antigen ini segera timbul (anti-HBe). Hal tersebut terjadi dengan sendirinya
dan replikasi viral turun secara drastis. Bilamana penderita dapat melawan infeksi, maka
HBsAg akan tidak terdeteksi lagi kemudian diikuti peningkatan antibodi IgG terhadap
antigen permukaan hepatitis B dan antigen core (anti-HBs dan anti-HBc IgG). Waktu antara
eliminasi HBsAg dan terjadinya pemunculan anti-HBs dinamakan “window period”,
seseorang yang uji tes serologinya negativ terhadap HBsAg tetapi positiv anti-HBs
dinyatakan telah dapat melawan infeksi HBV atau dia pernah divaksinasi HBV sebelumnya.
Gambar 7.3 Gambaran uji serologik terhadap infeksi HBV akut, yang menunjukkan
kandungan antigen dan antibodi HBV
Bila seseorang yang uji serologiknya masih terdeteksi HBsAg selama beberapa bulan,
berarti dia menderita penyakit HBV karier. Penderita karier HBV berarti dia mengalami
penyakit hepatitis B kronis, yang terciri dengan peningkatan kandungan enzim “alanin
aminotransferase” yang merupakan indikator adanya inflamasi pada hati, yang diteguhkan
dengan diagnosis biopsi dari hatinya. Uji PCR untuk diagnosis infeksi HBV ini telah
dikembangkan untuk mengukur jumlah DNA HBV pada contoh klinis, uji ini digunakan
untuk mengetahui status penderita dan untuk memonitor pengobatan yang telah diberikan
Gambar 7.4 Uji serologik HbsAg yang terdeteksi dalam waktu lama/HBV kronis (kiri)
dan gambaran biopsi hati yang menunjukkan degenerasi sel hati (kanan).
Pencegahan penyakit hepatitis B ini dapat dilakukan dengan cara vaksinasi, beberapa
jenis vaksin HBV telah dikembangkan oleh Maurice Hilleman. Vaksin tersebut dibuat
berdasarkan pada amplop protein virus (HBsAg), dimana vaksin dibuat dari plasma penderita
infeksi HBV yang kronis(HBsAg). Dewasa ini telah dikembangkan vaksin yang dibuat
dengan cara sintesis teknologi rekombinan DNA, yang dibuat tanpa menggunakan darah.
Setelah dilakukan vaksinasi, beberapa hari kemudian kandungan HBsAg akan dapat
terdeteksi, hal tersebut dinamakan “antigenemia”(Ag beredar dalam darah). Vaksin dapat
diberikan dalam dua, tiga atau empat dosis pada bayi dan orang dewasa, dapat memproteksi
85-90% pada resipien. Proteksi tersebut telah di amati paling tidak sampai 12 tahun kemudian
dan menimbulkan respon imun sampai 25 tahun.
Gambar 7.5 Vaksin HbsAg dilihat dengan elektron mikroskop
Hepatititis B biasanya tidak menyebar melalui air dan makanan, tetapi menyebar
melalui cairan tubuh. Sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan dengan menghindarkan
transfusi darah dari darah yang terkontaminasi, penggunaan jarum suntik dan siring bersama,
hubungan seks tanpa pelindung, dan transmisi vertikal pada saat melahirkan. Bayi dapat
divaksinasi setelah lahir. Injeksi multipel dengan dosis kecil dari “hepatitis immune globulin”
(HBIg: 200-400 IU/bulan), atau lamivudin (100 mg/hari) pada ibu penderita HB karier
dengan kondisi infeksi tingkat tinggi terinfeksi HB (>106 kopi/ml) pada masa akhir
kehamilan (3 bulan keatas umur kehamilan), cukup efisien dan aman untuk mencegah
transmisi HBV intrauterin pada bayinya.
Pengobatan infeksi HBV akut tidak selalu perlu dilakuan, karena hampir semua
penderita dewasa dapat secara spontan melawan infeksi virus tersebut. Pemberian lebih awal
obat antiviral dapat diperlukan pada pasien, yang mengalami infeksi dengan gejala agresiv
(hepatitis parah) atau pasien yang mengalami respon proses kekebalan. Dilain pihak
pengobatan diperlukan untuk penderita hepatitis B kronis untuk menurunkan resiko
terjadinya/timbulnya sirosis hati atau kanker hati. Pada penderita infeksi kronis tes fungsi
hatinya menunjukkan adanya peningkatan kadar “alanin aminotransferase” (AST) dan
kandungan HBV DNA, sehingga perlu dilakukan pengobatan. Walaupun tidak satu obatpun
yang dapat menghilangkan virus HBV, obat yang tersedia paling tidak dapat menghambat
replikasi dari virus tersebut. Dewasa ini di Amerika Serikat telah diproduksi dan mendapat
lisensi atas produk tersebut untuk beberapa jenis obat anti hepatitis B. Obat tersebut
dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu obat antiviral dan obat imuno-modulator.
Obat antiviral adalah: Lamivudine (Epivir), adefovir (Hepsera), tenofovir (Viread),
telbivudin (Tyzeka) dan entecavir (Baracliude).
Obat sistem imuno-modulator adalah: interferon alpha-2a, dan PEGylated interferon
alpha-2a (Pegasys).
Pemberian obat interferon melalui injeksi dapat dilakukan setiap hari atau tiga kali
dalam seminggu (2 hari sekali), juga perlu diberi tambahan injeksi “long-acting” PEGylate
interferon, yang diinjeksikan hanya satu kali dalam seminggu. Tetapi respon terhadap obat
tersebut biasanya terjadi secara individu, beberapa penderita mempunyai respon pengobatan
lebih baik daripada penderita lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan
genotipe dari virus yang menginfeksi atau gen keturunan dari penderita. Pengobatan tersebut
dapat mengurangi/menurunkan replikasi virus dalam hati, akibatnya partikel virus yang
beredar dalam darah juga menurun. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B
kronis dapat diberi obat antibodi terhadap virus hepatitis B (HBIg/imunoglobulin HBV). Bila
diberi dengan vaksin dalam waktu dua belas jam setelah lahir, resiko untuk terinfeksi HBV
dapat berkurang sampai 90%. Pada pengobatan tersebut ibu diperbolehkan menyusui bayinya
dengan aman.
Virus hepatitis C
Infeksi virus hepatitis C (HCV) sering tidak memperlihatkan gejala (asymphtomatis),
tetapi begitu virus menginfeksi, infeksi kronis akan terjadi dan berkembang dalam hati
sehingga menyebabkan terbentuknya fibrosis yang berlanjut dengan sirosis hati, dan biasanya
hal tersebut terjadi selama bebeberapa tahun kemudian. Pada beberapa kasus, bila terjadi
sirosis hati biasanya akan berkembang menjadi kanker hati dan menyebabkan organ hati
menjadi tidak berfungsi lagi, terjadi varises pada oesofagus dan pada lambung. Virus
hepatititis C menyebar melalui darah terkontaminasi (penderita) ke darah orang yang sehat.
Seseorang yang telah terinfeksi jarang menunjukkan gejala penyakit, tetapi virus hidup
persisten dalam hati sekitar 85% dari virus tersebut. Diperkirakan sekitar 270-300 juta
diseluruh dunia terinfeksi oleh virus hepatitis C, infeksi virus ini sungguh mengancam
kehidupan manusia. Hewan primata seperti simpanse atau jenis primata lain diinfeksi virus
ini unutk keperluan penelitian di laboratorium. Sampai sekarang tidak atau belum ada vaksin
untuk mencegah virus hepatitis C.
Virion dan replikasi virus
Virus hepatitis C pertama diidentifikasi dengan metoda molekuler kloning pada tahun
1989, semula virus tersebut terdeteksi sebagai virus non hepatitis A dan non hepatitis B.
Virus tersebut didak dapat dipupuk secara invitro, sehingga menyulitkan pada saat
identifikasi. Virus hepatitis C adalah termasuk virus yang kecil diantara virus lainnya,
ukurannya sekitar 50 nm, beramplop, pita tunggal (singel strand), positiv sense virus RNA. Ia
termasuk kelompok genus hepacivirus dalam famili Flaviviridae. Ada enam genotipe utama
dari virus hepatitis C yang dinamai menurut angka yaitu genotipe 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Sequen
nukleotidanya sangat bervariasi, Genotipe 1-3 banyak dijumpai di Eropa, genotipe 4 prevalen
di Mesir dan Zaire, tipe 5 di Afrika dan tipe 6 di Hong Kong.
Gambar 7.6 Skema virion dari virus hepatitis C (kiri) dan gambaran elektron mikroskop
virus yang dapat diisolasi dari penderita hepatitis C (kanan).
Virus masuk kedalam darah melalui darah terkontaminasi (waktu transfusi darah), atau
melalui jarum yang tidak steril (misalnya tatoo), amplop virus melekat pada reseptor yang
sesuai pada dinding sel hati. Setelah terjadi perlekatan, nukleokapsid melepaskan diri dari
amplop masuk kedalam sitoplasma sebagai akibat dari proses fusi antara virus dengan
membran seluler. Fusi tersebut dijembatani oleh protein viral yang spesifik yang menempati
secara langsung membran plasma atau masuk kedalam sitoplama secara endositosis. Proses
masuknya virus dalam sel tersebut dikontrol oleh glikoprotein pada permukaan virus.
Gambar 7.7 Gambaran siklus hidup dan replikasi virus (HCV)dalam sel hati, dimana
virus masuk kedalam sel hati dengan melekatkan amplop virus pada lokasi yang
spesifik.
Nukleokapsid kemudian pecah (“decapsidation”), dan nukleokapsid virus terbebaskan
menjadi beberapa bentuk pita positif strand RNA didalam sitoplasma sel hati, dimana bahan
tersebut menyediakan sintesis RNA baru sebagai messenger RNA (mRNA) untuk
mensintesis poliprotein dari HCV. Translasi genom HCV dikontrol oleh ribosoma sel hati
dan mulai memproduksi materi yang diperlukan untuk replikasi virus. Karena virus hepatitis
C adalah virus RNA, maka virus RNA itu sendiri langsung dapat terbaca oleh ribosoma sel
hospes, dan berfungsi normal seperti adanya mRNA pada selnya sendiri. Begitu mulai
memproduksi kode material pada RNA, diduga virus langsung menghambat fungsi normal
dari sel hati tersebut, dan menggunakan energi sel untuk replikasi virus. Walaupun kadang
virus HCV menstimulir sel hati untuk regenerasi lebih banyak daripada produksi virus itu
sendiri, tetapi HCV sangat erat hubungannya dengan terbentuknya sel kanker hati. Pertama
enzim RNA ditranskriptase disintesis dan enzim ini diperlukan untuk reproduksi virus.
Dengan proses tersebut HCV dikopi untuk membentuk ratusan atau bahkan ribuan materi
untuk virus baru. Pada kondisi tersebut beberapa RNA virus mengalami mutasi. Virus
kemudian membangun kapsomer untuk melindungi material gen didalamnya, dimana
ribosoma dari sel hospes yang memproduksi protein tersebut digunakan oleh virus sebagai
selubung gennya. Bilamana kapsomer yang komplet pada sekeliling virus RNA baru telah
terbentuk, kemudian mereka menyatu(assembly) untuk membentuk selubung sferik yang
dinamakan kapsid, yang secara penuh menyelubungi RNA virus. Partikel yang komplit
tersebut dinamakan nukleokapsid. Virus baru bergerak kearah plasma membran dan melekat
membentuk tonjolan. Plasma membran membentuk lingkaran kemudian membebaskan virus
baru tersebut, dimana plasma membran sel menyediakan lapisan lipida, virus tersebut akan
melekat pada sel hati lainnya. Proses pembentukan tonjolan plasma membran dan pelepasan
virus keluar sel berjalan beberapa jam pada permukaan sel hati tersebut terus menerus sampai
sel hati mengalami kematian (nekrosis). Virus yang keluar dan masih hidup dan selamat dari
proses sistem imun atau faktor lain akan dapat memproduksi virus baru yang jumlahnya
ratusan atau bahkan ribuan virus baru. Proses tersebut berjalan terus menerus sehingga
menyebabkan organ hati rusak, terbentuk jaringan ikat (fibrosis), dan hati tidak berfungsi dan
juga dapat menyebabkan terjadinya kanker hati.
Penularan dan gejala
Penularan HCV yang utama adalah melalui darah (transfusi darah) dan produknya
(serum, plasma), atau melalui donor organ dari orang yang menderita hepatitis C. Bagi para
pecandu obat bius suntik, penularan dapat terjadi melalui jarum dan siring yang dipakai
bersama dengan penderita hepatitis C. Penularan juga dapat terjadi pada penderita gagal
ginjal yang melakukan dialisis rutin dengan alat yang terkontaminasi, para perawat dan
dokter yang sering kontak dengan darah penderita, para pekerja seks yang sering berganti
pasangan dan melakukan hubungan seks dengan penderita hepatitis C. Penularan juga dapat
terjadi pada seseorang yang bersama-sama menggunakan sikat gigi dan pencukur kumis dan
jenggot bersama dengan penderita. Bayi dapat tertular dari ibunya yang menderita hepatitis
C. Kebanyakan penderita atau orang yang terinfeksi hepatitis C tidak menunjukkan gejala,
tetapi seseorang diketahui menderita hepatitis C pada saat dilakukan tes darah atau beberapa
pemeriksaan kesehatan lainnya. Gejala yang timbul pada penderita biasanya bila sudah terjadi
keparahan penyakit pada hati yaitu warna kuning pada lapisan mukosa tubuh (jaundice),
kelemahan yang sangat (fatigue), hilang nafsu makan (anorexia), mual dan muntah, demam
sedang, warna pucat atau kehijauan feses yang dikeluarkan, air kencing (urine) berwarna
gelap, dan rasa gatal-gatal pada tubuh.
Hepatitis kronik adalah kondisi yang sangat progresiv, paling tidak menyerang
seperempat dari organ hati. Tetapi progresivisitas penyakit berjalan sangat lambat pada
kebanyakan pasien, bahkan tidak menunjukkan gejala penyakit sampai selama beberapa
tahun. Sampai sekarang mekanisme kerusakan hati pada fase akut ataupun kronis dari
hepatitis C ini masih belum jelas, tetapi diduga proses sitopatogenisitas dari HCV erat
hubungannya dengan proses respon sistem imun. Tetapi tidak terlihatnya gejala
(asimptomatis) dari penyakit dapat didiagnosis adanya infeksi HCV dengan cara uji tes fungsi
hati (tes darah adanya peningkatan produksi enzim AST, ALT) dan dapat meramalkan
(prediksi) terjadinya sirosis pada hati.
Gambar 7.8 Sirosis hati yang menimbulkan kanker hati (kiri), gambaran histopatologik dari
sel hati, dimana hepatosit sudah tidak teratur dan terbentuk fibrosis (kanan)
Diagnosis, pencegahan dan pengobatan
Diagnosis hepatitis C jarang dapat dilakukan pada fase penyakit akut, karena
kebanyakan penderita tidak menunjukkan gejala fase tersebut. Oleh sebab itu kadang
penderita tidak menyadari bahwa dia terinfeksi hepatitis C, karena dia tidak merasa sakit dan
tidak begitu memperhatikan kondisi kesehatannya. Diagnosis penyakit berdasarkan gejala
juga sulit dilakukan pada penderita hepatitis C kronis karena gejala yang timbul tidak spesifik
(gejala umum), gejala spesifik dengan tanda kerusakan hati baru terdeteksi setelah timbulnya
gejala kerusakan hati seperti jaundice dan sakit perut bagian kanan atas, gejala tersebut
kelihatan bila penyakit sudah berjalan beberapa lama. Penyakit hepatitis kronis baru dapat
dipastikan berdasarkan riwayat penularan, dan tes fungsi hati yang memperlihatkan
peningkatan enzim AST dan ALT. Uji serologi dapat meneguhkan diagnosis bila terlihat
kenaikan titer antibodi HCV, anti-HCV dapat terdeteksi pada sekitar 80% pasien dalam
waktu 15 minggu setelah infeksi, sekitar 95% setelah 5 bulan, dan 97% setelah 6 bulan.
Tetapi kadang beberapa orang penderita tidak dapat terdeteksi pada orang yang tidak terjadi
respon antibodi walaupun dia terinfeksi. Bila terjadi hal demikian maka uji RNA perlu
dilakukan bila uji serologik hasilnya negatif. Tes fungsi hati sendiri (AST dan ALT) tidaklah
merupakan diagnosis yang pasti, karena kerusakan hati penyebab penyakit lain juga dapat
menaikkan enzim tersebut.
Gambar 7. 9 Gambaran uji diagnosis penderita HCV yang menunjukkan titer antibodi HCV
dan kandungan ALT dalam darah.
Uji molekuler dengan mendeteksi asam nukleat seperti uji “polymerase chain reaction”
(PCR), “transcription mediated amplification” (TMA), dan lainnya sangat baik dilakukan. Uji
tersebut tidak hanya mendeteksi keberadaan virus, tetapi juga dapat mengukur jumlah virus
yang beredar dalam darah (viremia). Mengukur jumlah virus dalam darah sangat penting
dilakukan karena dari hasil tersebut akan dapat dilakukan untuk mengukur efektifitas
mengobatan obat “interferon-base therapy”, tetapi tidak dapat digunakan sebagai pedoman
untuk mengukur keparahan dari penyakit. Seseorang yang dinyatakan telah mengidap
hepatitis C, uji genotipe virus yang mengifeksi sangat dianjurkan. Uji genotipe HCV dapat
digunakan untuk menentukan cara pengobatan yang diberikan apakah penderita dapat
merspon obat interferon dan berapa lama pengobatan itu dapat dilakukan.Terjadinya infeksi
hepatitis C kronis diperkirakan menyerang 50-80% diantara penderita hepatitis, dan 50%
diantaranya tidak merspon terhadap pengobatan. Sangat kecil kemungkinan (0,5-0,74% per
tahun) terjadinya kesembuhan total, atau pembersihan total virus dalam tubuh secara alami.
Tetapi kebanyakan pasien penderita hepatitis kronis tidak dapat sembuh secara alami tanpa
pengobatan. Belakangan ini pengobatan dilakukan dengan kombinasi antara Pegylated
interferon-alpha-2a atau Pegylated interferon-alpha-2b (nama dagang Pegasys atau PEGIntron) dengan obat antiviral ribavirin selama 24 atau 48 minggu, hasilnya cukup baik, tatapi
masih tergantung pada genotipe dari HCV. Pengobatan yang dilakukanb pada penderita HCV
fase infeksi hasilnya sangat baik (lebih dari 90%), dengan jangka pengobatan yang lebih
pendek, tetapi ini juga harus dibandingkan dengan terjadinya kesembuhan alami dari pasien
yang tanpa pengobatan. Pasien dengan kandungan virus dalam darah rendah (low viremia),
memperoleh hasil respon yang lebih baik pada pengobatan, daripada pasien yang kandungan
virus dalam darahnya tinggi (high viremia). Belakangan ini sangat dianjurkan untuk vaksinasi
hepatitis A dan B untuk mencegah infeksi hepatitis C, selama pasien belum pernah terinfeksi
kedua jenis virus tersebut. Kebiasaan minum mengandung alkohol dan merokok dapat
memicu keparahan penyakit HCV dan memperparah terjadinya fibrosis hati yang
menyebabkan kanker hati.
Human T-lymphotropic virus (HTLV)
HTLV pertama ditemukan pada tahun 1977 di Jepang, dan virus dapat diisolasi pertama kali
oleh Bernard Poiesz dan Francis Ruscetti. Virus HTLV dapat diisolasi pertama kali oleh Gallo
dan diidentifiasi sebagai human retrovirus yang dapat menyebabkan kanker di Lembaga
Kanker NCI di Amerika. Seperti pada infeksi retrovirus lainnya keberadaan virus erat
hubungannya dengan reaksi antibodi terhadap HTLV yang terdeteksi dalam serum penderita.
Data seroepidemiologi menunjukkan bahwa infeksi HTLV-1 terdapat cluster pada lokasi
geografi tertentu di seluruh dunia. Dimana cluster tersebut terjadi endemik di bagian Selatan
Jepang (15-30%), di Carribia (3-6%), Papua New Guinea dan beberapa bagian di Selatan
Afrika. Penularan infeksi virus ini berlangsung melalui trans seksual dan melalui darah.
Transmisi virus secara vertikal terjadi dari ibu ke anaknya merupakan hal yang penting dari
keberadaan virus dalam suatu daerah endemik. Transmisi melalui air susu ibu merupakan
kejadian yang penting dan menunjukkan prevalensi tinggi infeksi HTLV dalam daerah yang
bersangkutan. Gambaran seroepidemiologik dari HTLV meningkat sejalan dengan
meningkatnya umur begitu juga pada jenis kelamin dimana wanita dua kali lebih banyak
daripada pria. Seroprevalensi pada orang diatas umur 80% meningkat di Jepang bagian
Selatan dari persentasi angka penderita tersebut6 50% diantaranya diderita oleh wanita dan
30% pria. Perbedaan gender/jenis kelamin tersebut sangat mungkin disebabkan karena infeksi
pada wanita lebih efisien daripada pria. Hal tersebut terjadi karena hubungan seksual pada
pria biasanya dilakukan pada beberapa wanita. Infeksi HTLV-II paling sering disebabkan
penggunaan obat bius secara IV. Hal ini ditemukan pada suatu cluster pada masyarakat
Indian di Amerika Selatan.
Virion, patogenitas dan penyakit
HTLV termasuk dalam kelompok oncovirus, subfamili retrovirus ssRNA beramplop.
Ada dua kopi genom RNA dengan tiga gen yang utama yaitu: gag (struktur protein), pol
(reverse transcriptase),dan env (amplop glikoprotein). HTLV-I dan HTLV-II adalah tropikal
untuk OKT+T-helper limfosit, tetapi bentuk sel lainnya juga dapat terinfeksi. HTLV-I dan
HTLV-II tersebut keduanya tidak mempunyai oncogen yang spesifik.
Gambar 7.10 bentuk virion HTLV (kiri) dan virus dalam sel-T dilihat dengan elektron
mikroskop (kanan)
Pada retrovirus termasuk HTLV, di dalam sel, RNA dirubah menjadi DNA. Pada waktu
terjadinya proses tersebut genom hospes bekerjasama dengan genom viral (transduction).
Genome hospes tersebut terlibat dalam proses proliferasi gen virus, dimana transduksi gen
akan melibatkan perumbuhan virus dalam sel yang terinfeksi. Sebagai akibatnya proses
integrasi genom retrovirus kedalam genom hospes (tidak selalu/secara acak) dapat
menempatkan viral promotor sangat dekat dengan genom hospes yang dapay mengkode
“growth-regulating protein”. Bilamana protein tersebut diekspresikan tidak normal dan
berlebihan dapat menyebabkan terjadinya transformasi seluler yang tumbuh tidak terkendali.
Dari proses tersebut menunjukkan adanya indikasi lain bahwa jenis retrovirus lain seperti
HIV juga dapat mengindus/memicu terjadinya proses transformasi sel.
Ada beberapa penyakit yang timbul karena terjadinya infeksi HTLV, beberapa
diantaranya adalah kanker:
a) Adult T-cell leukemia (ATL), Agen penyakitn leukemia sel T salah satunya
disebabkan oleh terjadinya infeksi HTLV, hal tersebut dapat dipastikan dengan
uji adanya antibodi terhadap HTLV-I. Isolasi virus dapat ditemukan adanya
integrasi sequen proviral dalam sel leukemia pada pasien penderita ATL.
Leukemia jenis ini sangat progresif dan fatal dan berefek paqda sati diantara 500
orang yang terinfeksi oleh HTLV-I. Penyakiy ini terciri dengan adanya
perubahan yang diffuse (menyebar) dari kelenjar limfe, hiperkalsemia, leukemia,
infilytasi lekusit pada kulit, dan pada uji serologi positiv adanya antibodi HTLVI. Bila seseorang terinfeksi virus ini masa imkubasinya sekitar 15-20 tahun yang
akan berkembang menjadi leukemia ATL.
b) Tropical Spastic Paraparesis (TSP), hubungan antara infeksi HTLV-1 dengan
TSP pertama ditemukan pada tahun 1985 pada saat dilakukan uji skreening
darah donor untuk uji antibodi terhadap HTLV-1 di West Indies. Sekitar lebih
dari 75% pasien yang menderita TSP terdetksi mengandung antibodi terhadap
HTLV-I dan pada penelitian lebih lanjut virus tersebutdapat diisolasi dari darah
dan cairan sumsum tulang belakang (CSF). Penderita menunjukkan gejala
gangguan neurologi kronis TSP, dan kasus tersebut juga ditemukan pada pada
lokasi lain yang merupakan daerah endemik HTLV-I seperti didaerah Afrika dan
Jepang. Hal tersebut dinamakan “HTLV-I associated myelopathy”. Gejala klinis
yang terlihat pada penyakit ini mirip dengan “multiplr scelrosis” tetapi tidak
disertai dengan gejala gangguan saraf pusatGejala awal yang terlihat adalah
kelemahan anggota gerak secara bilateral dan terjadi kelemahaham pada lutut,
gejala tersebut secara perlahan meningkat sampai mempengaruhi kelemahan
pada daerah pinggul, tetapi gejala tersebut biasanya cukup bervariasi.
c) Penyakit lain yang berhubungan dengan infeksi HTLV-I, antara lain adalah
adanya gejala dermatitis
Pengobatan
Pengobatan ditujukan untuk infeksi sekunder dari bakteri opportunistik, perlu dilakukan
observasi untuk melihat tipe penyakit berdasarkan hasil observasi, bilamana terjadi
perkembangan progresiv dari gejala yanang terjadi perlu dilakukan pengobatan dengan obat
khemotherapy dan antiretroviral. Pada penyakit kanker sel-T limpoma yang merupakan
kanker leukemia pada orang dewasa(ATL), perlu diobati dengan khemotherapi yang agresiv
yaitu dengan R-CHOP. Pengobatan lain untuk ATL pada infeksi HTLV adalah interferon
alfa, zidovudine kobinasi dengan interferon alfa, dan CHOP kombinasi dengan arsenik
trioksida. Pengobatan untuk penyakit TSP sangat terbatas, dan obat hanya difokuskan untuk
terapi simptomatis saja, misalnya corticosteroids, plasmapherisis, cyclophosphamide, dan
interferon, yang dapat menyembuhkan gejala myopathy smenetara. Obat Valproic acid
sedang diteliti untuk menurunkan derajad viremia. Dewasa ini pengobatan kombinasi anyara
valproic acid denganzidovudine menunjukkan terjadinya penurunan jumlah virus dalam
darah. Perlu selalu dimonitor adanya infeksi oportunitis dari cytomegalovirus, histoplasmosis,
scabies, pneumocystis pneumonia, dan stapylococus sp pada pasien penderita infeksi HTLV.
Pengobatan dengan allogenik transplantasi sumsum tulang sedang dalamtahap penelitian dan
hasilnya masih bervariasi.
Human papillomavirus (HPV)
HPV termasuk dalam famili papillomavirus yang menginfeksi manusia. Seperti pada
semua virus papilloma, HPV sangat cocok untuk hidup dan berkembang pada keratinosit (sel
keratin) pada kulit atau dalam lapisan mukosa. Kebanyakan yipe infeksi HPV tidak
menunjukkan gejala samasekali, sebagian menunjukkan gejala penebalan kulit (warts),
sedangkan sebagian kecil menyebabkan kejadian kanker pada serviks, vulva, vagina, penis,
oropharynx, dan anus. Dew3asa ini dilaporkan bahwa infeksi HPV ada hubungannya dengan
resiko peningkatan kejadian penyakit karsiovaskuler. Sekitar lebih dari 40 tipe HPV
ditularkan melalui hubungan seksual. Beberapa tipe HPV yang ditularkan lewat hubungan
seksual dapat menyebabkan lesi dan penebalan pada saluran genital. Infeksi persisten dari
HPV tipe “high risk” berbeda dengan tipe HPV yang menginfeksi pada kulit, dimana tipe
“high risk” tersebut dapat berkembang menjadi penyebab penyakit kanker. Infeksi HPV
adalah penyebab dari hampir semua kasus kanker sercviks, tetapi kebanyakan infeksi tipe
HPV ini tidak menyebabkan penuakit. Kebanyakan infeksi HPV pada wanita muda berjalan
sekitar satu tahun (70%) dan 2 tahun (90%) berkembang menjadi berisiko menyenankan
precancerius (awal terjadinya kanker) pada serviks. Bilaman terjadi infeksi persisten pada
wanita sekitar 5% sampai 10% berkembang dan beresiko tinggi menjadi kanker serviks.
Proses tersebut biasanya dalam waktu 10-15 tahun, sehinnga deteksi dini dan pengobatan
dilakukan dalam fase adanya lesi pre-cancerius. Pada kebanyakan negara uji pap smear
banyak digunakan untuk deteksi dini penyakit kanker serviks ini. Deteksi dini dengan pap
smear dapat mengurangi kejadian kanker serviks, tetapi kejadian kanker serviks ini masih
cukup tinggi yaitu sekitar 11 000 kasus dan sekitar 3900 meninggal dunia di Amerika pada
tahun 2008.
Virion dan patogenitasnya
HPV termasuk dalam kelompok virus papiloma yang mempunyai bentik DNA sirkuler.
Papilomavirus ukurannya termasuk kecil, tidak beramplop, dengan diameter sekitar 52-55nm.
Partikel virion terdiri dari 72 pentamerik kapsomer dan dapat berbentuk pentavalen dan
heksavalen. Kapsid dari virus ini terbentuk dua viral protein yaitu L1 dan L2. L1 adalah
kapsid protein yang lebih banyak yaitu 80% , sedangkan sisanya L2 ada 20%. Viral kapsid
protein tersebut digunakan untuk membuat virus-like protein (VLPs). Belakangan VLPs ini
disolasi dan dapat digunakan calon vaksinuntuk melawan vcirus HPV.
Gambar 7.11. Bentuk virion HPV (kri) dan ilustrasi virus dalam sel (kanan)
Sekitar puluhan jumlah serotipe virus papiloma termasuk tipe 16, 18,31 dan 45 yang
dinamakan tipe “high risk” karena tipe virus tersebut dapatmenyebabkan kanker serviks,
kanker vulva, kanker vagina kanker penis. Beberapa tipe HPV, terutama tipe 16 telah
ditemukan erat hubungannya denga “oropharyngeal cancer” (OSCC),serupa dengan bentuk
kanker pada leher dan kepala. HPV dapat mengindus kanker karena integrasi viral sequennya
kedalam seluler DNA hospes. Beberapa gen virus yang baru terbentuk seperti E6 dan E7,
diketahui sebagai oncogen yang dapat memicu pertumbuhan tumor dan berkembang
bertransformasi menjadi malignan. Infeksi HPV melalui oral dapat menyebabkan kanker
oropharyngeal.
Didalam tubuh sendiri sebetulnya ada protein P53 yang secara alamiah dapat
menghambat pertumbuhan tumor dengan cara menghambat siklus pertumbuhan sel bila
DNA-nya mengalami kerusalan. Protein E6 sangat erat hubungannya dengan protein E6-AP
(E6-associated protein). Sedangkan E6-AP terlibat dalamjalur “ubiquitq ligase” yaitu sistem
yang bertindak untuk degradasi protein. E6-AP mengikatkan ubiquitin pada protein P53,
sehingga menghambat degradasi proteosom, se3bagai akibatnya P53 tidak dapat berfungsi
dantumor dapat tumbuh tidak terkendali.
Gambar 7.12 Proses infeksi dan replikasi HPV dalam sel epithel (kiri) dan terjadinya
pertumbuhan sel epithel (kanan).
Pola perkembangan HPV tipe 16 adalah salah satu sub-tipe yang telah diteliti sebagai
penyebab terjadinya kanker leher rahim (kanker serviks) yaitu kapsid gen E1-E7 gen awal
dan L1-L2 gen akhir. Hampir semua infeksi HPV dapat dilawan oleh sistem imun dab tidak
berkembang menjadi kanker serviks. Hal ini disebabkan karena proses transformasi sel
epithel serviks untuk berkembang menjadi sel kanker sangat lambat, sehingga sebelum
terbentuk sel kanker telah dicegah dulu oleh sistem imun dari tubuh. Tetapi bila terjadi
infeksi persisten maka virus tersebut terus mempengaruhi sel untuk berkembang menjadi
tidak terkendali dan hal tersebut memerlukawaktu yang bertahun tahundimana beberapa
faktor lain mempengaruhi seperti faktor genetik, lingkungan dan pola makan. Hubungannseks
yang tidak wajar juga merupakan faktor penyebab terjadinya infeksi HPV dan berakibat
timbulnya kanker anus, sampai mencapai kemungkinan 25% kasus, begitu juga terjadinya
kanker oropharynx. Belakangan ini juga dilaporkan terjadinya kanker pada tonsil dan
kejadian kanker karena infeksi HPV pada faerah mulut sering terjadi pada orang yang tidak
mempunyai kebiasaan merokok. Orang yang sujka melakukan hubungan seks melalui anus
dan mulut banyak dilaporkan mudah terinfeksi HPV yang dapat menyebabkan peningkatan
kasus kanker pada lokasi bagian tubuh yang bersangkutan. Telah dilaporkan bawa kasus
kanker pada penis dan anus banyak ditemukan pada kaum gay (homo seksual).
Diagnosis, pencegahan dan pengobatan
Diagnosis yangsampai sekarang masih sering digunakan adalah uji pap smear, karena
uji metode ini cukup akurat untuk mendeteksi adanya HPV dalam srviks penderita dan uji
dapat dilakukan secara rutin. HPV tipe 18 juga telah dapat dideteksi melalui uji DNA, dimana
tipe ini paling sering menyebabkan kanker serviks dan juga dapat membedakan antara tipe
HPV penyebab kanker beresiko tinggi atau rendah. (high risk, low risk), tetapi tidak dapat
menentukan HPV yang spesifik. Sehingga uji ini banyak ditemukan hasil positif palsu,
sehingga perlu keteramilan dan latihan yang efisien untukdapat melaqkukan uji ini. Menurut
lembaga riset kanker (Amerika) uji sampel dari sel serviks adalah cara yang paling baik
untuk mengidentifikasi tipe HPV yang beresiko tinggi.
Infeksi HPV yang paling sering ditemukan melalui hubungan seksual yang sering
berganti pasangan, sehingga cara yang terbaik untuk mengurangi resiko/mencegah penularan
adalah: penggunaan kondom, vaksinasi dan obat anti mikroba. Dewasa ini telah tersedia dua
jenis vaksin untuk mencegah infeksi HPV yang masing masing diproduksi olaeh dua pabrik
farmasi dengan nama paten yang berbeda pula. Kedua vaksin tersebut dapat melindungi
infeksi awal dari HPV tipe 16 dan 18, yang sangat diduga sebagai HPV penyebab kanker.
Salah satu produk tersebut juga terbukti dapat mencegah terjadinya infeksi HPV tipe 6 dan
11, yang menyebabkan kutil genital sampai 90%. Tentu saja vaksin tidak efektif terhadap
wanita yang telah terinfeksi HPV sebelumnya, sehingga WHO merekomendasikan untuk uji
pap smear secara rutin sebelum dilakukan vaksinasi. Obat antivral terhadap HPV masih
dalam penelitian, diharapkan obat tersebut dapat menghambat/memblok transmisi HPV
setelah terjadi kontak seksual. Obat yang telah diteliti dan menunjukkan hasil yang
menjanjikan adalah ekstrak karagenan yang dibuat sebagai seksual lubrikansia.
Epstein–Barr virus (EBV)
Epstein-Barr virus (EBV) termasuk dalam kelompok “Human γ-herpesvirus” yang
mampu hidup dalam waktu lama dalam sel limfosit B sepanjang hidup hospes
(orang/penderita). Infeksi EBV erat hubungannya dengan bebrapa jenis kanker pada
manusia,termasuk “Burkitt’s Limphoma” (BL) dan “hodgkin’s disease”, beberapa jenis
“AIDS-associted” kanker atau sering disebut “Diffuse Large B-cell Lymphoma” (DLBCL).
Diduga EBV pada awal infeksi pada sel-B dapat menyebabkan proliferasi sel-B secara cepat
dan membentuk suatu kelomok “EBV-infected cell” yang menyerupai sel-B memory.
Kondisi perbedaan dua fase tersebut dapat menyebabkan terjadinya infeksi EBV laten III dan
EBV laten I. Selama perkembangan EBL laten III, EBV mengekspresikan 9 protein yang
dinamakan EBV nuklearantigen (EBNA), yaitu EBNA-1, -2A, -3B, -3C dan LP dan juga
LMPs (Laten membran Protein), yaitu LMP-1, -2A dan -2B yang diduga berganti-ganti
dalam suatu aktivasi proses sel-B naiv(original/normal) yang biasanya bekerja setelah
terjadinya stimulasi antigen. Sebagai akibatnya, siklus sel tersebut kembali mengalami awal
status diferensiasi yang menyerupai sel-B memori, pada saat protein EBV diekspresikan
menjadi EBNA-1. Laporan hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa infeksi laten EBV
menyebabkan peningkatan intensitas protein virus dalam sel sehingga terjadi reprograming
sel yang terinfeksi sehingga gen terekspresi secara langsung.
Sifat virus
Virus dapat bekerja dalam berbagai program yang berbeda dlam mengekspresikan
gennya yang dikategorikan dalam siklus lytic atau siklus latent.
- Siklus lytic atau juga disebut siklus produksi ekspresi virus protein, pada fase ini
dihasilkanproduk virus yang infeksius. Sebetlnyafase ini tidak terlibat langsung
dalam proses terjadinya lysis terhadap sel dari hospes pada saat virion EBV yang
diproduksi karena terjadinya perlekatan (buddig) pada sel yang terinfeksi.Protein
litik adalah glikoprotein (gp 350 dqn gp110).
- Siklus latent (lysogenik), fase ini tidak menghasilkan produk virion. Terdapat sedikit
perbedaan pada protein virus diproduksi pada periode laten ini, hal ini termasuk
Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA-3B, EBNA3C, EBNA-leader protein (EBNA-LP), EBNA-leader protein (EBNA-LP) dan
latent membrane proteins (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B serta Epstein-Barr
encoded RNAs (EBERs). Begitu juga EBV yang mengkode sekitar dua-puluh
microRNA yang diekspresikan dalam sel yang terinfeksi laten dan paling tidak satu
snoRNA terekspresi pada siklus lytik.
Gambar 7.13 Bentk morfologi viruus epstein bar (RBV)
Hasil penelitian ekspresi gen EBV dalam kultur jaringan “Birlitt”s limphoma cell lines”
ditemukan tiga ekspresi gen yang dilaporkan yaitu:
1. EBER1&2 LMP2A EBNA1 (Latency I)
2. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 (Latency II)
3. EBER1&2 LMP2A LMP2B EBNA1 LMP1 EBNA2,3,4,5,6 (Latency III)
Infeksi virus
Virus EBV dapat menginfeksi sejumlah sel yang berbeda yaitu sel B limfosit, sel epitel,
pada kondisi tertentu dapat menginfeksi sel T, sel NK dan sel otot polos. Infeksi pada sel B
dan sel epitel adal sel yang diinfeksi secara normal. Tetai meknisme infeksi dan protein yang
terlibat pada lima sel yang berbeda tersebut berbeda pula. Untuk mengonfeksi sel B protein
viral gp350 melekat pada resptor sel yaitu komplemen reseptor 2 (CR2), dan memicu proses
endositosis. Disampimg itu, gp42 melekat pada molekul MHC II. Melalui interaksi tersebut
terjadi fusi antara gHgL dan gB, yang memicu fusi dari viral membran dengan endosomla
membran untuk membebaskan materi genetik virus. Untuk menginfeksi sel epitel , gp 350
juga melekat pada CR2, tetapi proses endositosis tidak dipicu. Interaksi antara gHgL dengan
gHgL reseptor (mungkin integrin αvβ6 or αvβ8) dan mesi fusi gHgL dan gB memicu fusi
pada membran sel dan sel epitel.
Epstein Barr Virus dan sejenisnya seperti virus KSHV dapat dipelihara dan di
manipulsi dalam laboratorium secara berkesinambungan daya hidupnya (latency). Sementara
itu kabanyakan virus lain dapat hidup bila menginfeksi pada hospes secara alamiah atau pada
hewan coba. Beberapa peneliti melaporkan bahwa infeksi EBV dapat menyebabkan sel B
limpfosit dapat bertahan hidup terus dalam tubuh, setalah infeksi virus sel B mengalami
mimikri (berubah bentuk) menjadi neoplasma sel B, Pada saat terjadi infeksi EBV sel B
limfosit berikatan dengan reseptor komplement sehingga genom linear virus dan virusnya
sendiri berada persisten dalam sel B sebagai epistome. Pada infeksi primer EBV bereplikasi
dalam sel epithel oro-pharyngeal dan bertahan hidup sebagai latency I, II, dan III.dan
menginfeksi pada sel B limfosit. Infeksi EBV laten dalam limfosit B sangat diperlukan untuk
terjadinya persisten virus, sehingga terjadinya replikasi virus dalam sel epitel dan dibebaskan
menjadi virus infeksius dalam saliva (air ludah). Virus EBV laten II dan III menginfeksi sel
limfosit-B, laten II menginfeksi sel epitel oral (mulut) dan laten II menginfeksi sel NK atau
sel T yang dapat mentenankan tumor malignan, yang ditandai dengan bentyuk uniform
genom EBV dan adanya ekspresi gen. Glikoprotein H (gH) adalah protein yang esensial
untuk penetrasi masuk kedalam sel B juga berperan penting bagi virus untuk menempel pada
sel epitel.
.
Download