TEMU ILMIAH IPLBI 2015 Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Studi Kasus: Kawasan Kampung Bajo Sulawesi Selatan Syahriana Syam(1), Syahrianti S(2) (1) Lab. Teori dan Sejarah Arsitektur, Arsitektur, Program Studi Arsitekturi, Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Hasanuddin. Lab. Penyiaran, Sosiologi, Komunikasi dan Penyiaran, Program Studi Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ushuluddin, STAIN Watampone. (2) Abstrak Proses perubahan ruang dalam arsitektur akibat konflik kepentingan, belum banyak diteliti, sehingga arsitektur dijadikan tolak ukur untuk memahami kualitas, menandai kepemilikan atau kekuasaan suatu kelompok terhadap ruang. Dengan studi kasus konflik kepentingan pada kawasan Kampung Bajo, dan menerapkan metode rekonstruksi lahan, di temukan proses perubahan ruang dan dampaknya pada masyarakat. Pada penelitian ini akan menyempurnakan teori tentang deskripsi proses perubahan ruang secara arsitektur akibat konflik kepentingan. Temuan tentang metode penelitian inter-disiplin, menjembatani ilmu arsitektur dengan ilmu penunjangnya (sosiologi, psikologi, antropologi dll). Peran arsitektur akan menunjang suatu konsep alternative dalam proses perubahan ruang akibat konflik kepentingan, serta penataan ruang yang mengalami perubahan secara dinamik dan multi dimensi. Kata kunci : Konflik, Kampung Bajo, Perubahan, Ruang Pengantar Perubahan ruang selalu ada dalam ruang yang dihuni oleh masyarakat yang berkelompokkelompok, dan ditunjang oleh kondisi yang tidak setara –unequal condition, Smith (1990). Hal tersebut, kemudian menciptakan kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Dengan kondisi ini, perubahan ruang ke arah ter-bentuknya ruang baru karena adanya konflik kepentingan. Adanya derajat intensites rasa memiliki terhadap ruang (space possessiveness) oleh kelompok tertentu. Sehingga timbul sumber kekhawatiran dan ketegangan karena per-saingan karakter ruang yang berbeda saling tarik menarik. Ketegangan dalam ruang tersebut, harusnya bisa diantisipasi bila salah salah satu dari karakter yang ada dapat dieliminir, namun hal ini tidak selalu dapat diselesaikan dengan sederhana. Yang terjadi kemudian timbullah konflik. Menurut pengamatan, itu terjadi karena tidak ada kesepakatan antar kelompok, terlebih lagi terjadi pada kawasan yang mempunyai potensi dan dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Demikian halnya yang terjadi di kawasan Kampung Bajo, yang merupakan lokasi pelabuhan dan permukiman Suku Bajo. Sejarah keberadaan lokasi tersebut adalah di awali oleh kedatangan Suku Bajo yang berlabuh di kawasan ini, akhirnya menetap di disebutlah Kampung Bajo, karena dihuni oleh Suku Bajo, sebagai pengembara laut, mereka suka berpindah-pindah dari suatu pesisir ke pesisir pantai lainnya, apalagi jika mendapat tekanan dan gangguan dari lingkungan sekitarnya, maka dengan cepat mereka akan berlayar meninggalkan tempat itu, dan mencari tempat yang lebih aman. Kalau secara internasional Suku bajo berasal dari Kepulauan Sulu Filiphina, kemudian ada diantara mereka menelusuri pesisir pantai sehingga mereka sampai di negeri Johor Malaysia, kemudian seterusnya terdapat generasinya yang melanjutkan kebiasaan itu, hingga ada yang sampai di daerah Usu’ dan Malili Kabupaten Luwu. Kemudian dari muara sungai Cerekang mereka hanyut dan berlayar sampai di Bajoe Kabupaten Bone. Pada awal kedatangan mereka sekitar abad ke 19, di Teluk Bone Kelurahan Bajoe Kecamatan Taneteriattang kabupaten Bone, permukiman mereka tidak teratur. Rumah mereka sangat sederhana karena tiang-tiangnya masih terbuat dari pohon kelapa dan kayu bakau yang banyak terdapat di sekitarnya, bahkan untuk saling menghubungkan dan menguatkan antara satu tiang dengan yang lainnya hanya diikat dengan tali atau akar kayu. Tatanan rumah tidak memiliki pemisah, sehingga tidak jelas antara Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 141 Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel satu ruang dengan ruang lainnya. (Syam, 2001; 61). Namun seiring berjalannya waktu, kawasan ini terjadi perubahan dan perkembangan yang sangat cepat. Kajian Pustaka Ruang social adalah suatu produk (social) , yang merupakan representasi spesifik dari imteraksi social antara produksi dan reproduksi. Produk adalah sesauatu yang dapat diproduksi kembali, dan pada dasarnya merupakan hasil pengulangan. Ruang meruapakan hasil dari proses produksi. Bahan bakunya adalah (kondisi) “alam” (iah). Ruang adalah produksi dari suatu aktifitas, yang melibatkan aktivitas ekonomi dan aktivitas teknik yang dimiliki sekelompok masyarakat, sehingga sifatnya politis dan strategis. Bila diasumsikan bahwa ruang adalah suatu produk dari proses menghuni ruang, maka hasil proses tersebut terletak pada tiap bagian ruang, dan menjadi isi ruang. Yang dimaksud dengan isis ruang adalah “segala hal”, (mahkluk hidup yang ada di dalamnya, benda-benda, obyek, hasil karya, maupun tanda-tanda, symbol yang terletak dalam ruang), yaitu segala hal yang diproduksi baik secara alamiah (natural) aupun oleh masyarakat (social), baik dihasilkan melalui kolaborasi maupun melalui konflik-konflik. (Lefebvre, 1991:26). Dalam usaha memahami proses produksi ruang social, Lefebvre mengenalkan konsep triad, yang terdiri dari: a. Spatial practice Praktek social dari suatu masyarakat pada dasarnya menembunyikan ruang-ruang ynag dimiliki oleh tiap masyarakat tersebut. Masyarakatlah yang mengkonsep dan merencanakan keberadaan ruang tersebut dalam suatu interaksi yang dialektis. Masyarakat mempro-duksi ruangnya secara perlahan-lahan namun pasti, sehingga benar-benar sesuai dan layak digunakan. b. Representations of space Ruang yang dikonsepkan.ruang yang dimiliki oleh orang-orang yang dapat menentukan siapa yang berhak hidup di dalamnya, dan hal apa yang akan dirasakan serta apa saja yang akan dimengerti dari keberadaan ruang tersebut. Ini meruapakan ruang paling dominan pada kelompok masayarakat ruang ini merupakan ruang yang abstrak, tetapi berperan besar dalam praktek social dan politis. Suatu saat ia akan menjadi kombinasi dan pengetahuan yang B 142 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 dimiliki oleh pembentuknya, dan praktek yang mereka lakukan. c. Representational space Merupakan ruang yang benar-benar ada dan direpresentasikan melalui citra-citra serta sImbol-simbol. merupakan ruang yang tidak saja agi “penghuni” dan pemakai” tetapi juga para pemikir/konseptor (pelukis, pengarang, filsuf) yang menggambarkannya dengan persis. Ruang inilah yang dikuasai dan meruapakan cerminan dan pengalaman secara pasif yang pencitraanya selalu berubah untuk mencari kondisi yang paling sesuai. Ia adalah ruang fisik dan menggunakan symbol=symbol tertentu sebagai obyek. Karenanya representional space dalam sudut pandang tertentu, diaktakan sebagai ruang yang disamakan dengan system symbol non-verbal serta tanda-tanda (signs) non-verbal. Ruang ini bisa saja tidak mematuhi hukum yang konsisten atau yang terintegrasi. Ia beruaha seiring jalannya sejarah. Konflik Konflik dapat diartikan sbagai kondisi yang tidak aman, dapat terjadi di berbagai tempat dengan berbagai bentuk, bahkan fenomena konflik masih akan terjadi disaat manusia diperhadapkan dengan berbagai kepentingan yang sangat dilematis. Konflik memberikan sumbangan terhadap disintegrasi social, lahir dari kondisi social budaya tertentu yang ada dalam masyarakat seperti; kondisi primer, kondisi yang langsung mempengaruhi koflik (social budaya), kondisi sekunder, yang tidak langsung mempengaruhi peristiwa yang dimaksud kondisi social ekonomi. George Ritzer (2010:26) Penyebab timbulnya konflik jika bersandar pada teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf terdapat empat proporsi diantaranya: 1. Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk dalam proses perubahan, karena perubahan social terjadi di mana saja. 2. Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik social terdapat dimana saja 3. Setiap unsure dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahan 4. Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan anggotanya terhadap anggota yang lain. Syahriana Syam Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, organisasi dan mengingat adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan, maka adalah rasi-onal untuk menduga akan timbulnya perbedaan pendapat, keyakina serta ide-ide. (Robin dalam Winardi(1994) mendefinisikan konflik ” we define conflict to be are process in which an effort is purposely made by A to offset the efforts of by some form of blocking that will result in frustrating B, In attaining his or her goals of furthering his or her interest”. Artinya konflik menekankan adanya suatu pandangan konfrontatif sehubungan dengan konflik alhasil apabila orang yang namakan A, dalam definisi tersebut berhasil dalam upayanya menghalangi B, maka situasi demikian akan menghasilkan suatu kondisi akhir yang lazim disebut suatu kondisi “menang kalah” (A win lose situation). Membahas tentang nationalism and ethnic conflictmengungkapkan, konflik di dalam suatu Negara mengidentifikasikan empat factor yang menyebabkan terjadinya kekerasan akibat konflik, yaitu: Narwoko dan Suyanto,(2005). a. Struktural; menekankan 3 faktor utama yaitu weak states, keamanan dalam negeri, dan etnisitas suatu wilayah. Bagi beberapa Negara yang pernah mengalami penjajahan colonial, mental masyarakat sudah mengalami kelemahan secara structural, ditandai dengan hilangnya legitimasi politis, terbatasnya aspirasi politik, serta ketidakmampuan mengamankan wilayah kedaulatannya. b. Politik, seringkali menjadi pemicu ketegangan antar etnis yang terkait dengan system politik, ideology politik yang berlaku, dinamika politik atar kelopok, dan juga perilaku elite c. Social ekonomi, Brown mengidentifikasikan tiga sumber potensial dari factor social ekonomi yang dapat memunculkan konflik yaitu, permasalahanekonomi yang diskriminan dan dampak modernisasi ekonomi. d. Budaya atau presepsi. Ada dua factor yaitu deskriminasi budaya terhadap kaum minoritas dan persepsi terhadap kelompok tertentu. Persoalan, latar-belakang persoalan, kajian pustaka, permasalahan dan tujuan penelitian. Beberapa paragraf awal bagian pengangar menjelaskan persoalan dan latar-belakang persoalan tersebut. Beberapa paragraf berikutnya menjelaskan kajian pustaka yang berisi perkembangan pengetahuan terkini yang secara langsung terkait dengan persoalan yang diangkat. Paragraf terakhir dari bagian pe- ngantar berisi permasalahan tujuan penelitian. dan deskripsi Metode Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah metode observasi jejak fisik. Untuk menjelaskan adanya pengaruh perubahan fisik dan non fisik sebagai larat belakang terjadinya perubahan, digunakan pendekatan kualitatif yang diperoleh dari observasi lapangan dan arsip, yang berkaitan dengan sejarah keberadaan Kampung Bajo Analisis dan Interpretasi Pertumbuhan sektor perekonomian pada suatu kawasan salah satu pemicu timbulnya perubahan ruang, akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih komplit, seperti halnya yang terjadi pada komunitas Kampung Bajo. Penguasaan ruang di masyarakat terus berubah seiring dengan perubahan jaman, bisa jadi kondisinya dapat berubah secara radikal, dari ketenangan berpuluh tahun kemudian berubah menjadi konflik. Misanya adanya fungsi ruang yang berbeda yang juga bisa pemicu konflik. Salah satu kekuatan yang membentuk karakter lingkungan suatu kawasan adalah kondisi alam yang ada di sekelilingnya. Menurut Heryanto (2011:50), beberapa ilmuan telah memperbincangkan hubungan antara pengem-bangan permukiman manusia dan lingkungan alam (Rapoport, 1969; Shirvani, 1985; Lozano, 1990; Kostof, 1991; Morris, 1994). Karakteristik sifatsifat dasar lingkungan alam telah mempengaruhi manusia dari masa awal dengan berbagai cara. Kondisi alam sangat mem-pengaruhi manusia saat proses bermukim, mulai dari memilih lokasi, menggunakan konstruksi yang tepat untuk mendirikan bangunannya yang dianggap sesuai dengan iklim setempat, bahkan merancang bentuk bangunan yang sesuai dengan keadaan sekelilingnya. Unsur fisik lingkungan alam terdiri dari 4 unsur; topografi, iklim, bahan dan teknologi. Sama halnya letak perkampungan Bajo pada sisi kanan tanggul dermaga pelabuhan Bajoe, dengan luas area saat ini tersisa 3 ha yang digunakan untuk mendirikan bangunan, selebihnya adalah perairan yang difungsikan sebagai tempat parkir perahu. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015| B 143 Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel Pada table 1, menjelaskan periodisasi perubahan ruang pada lahan permukiman Suku Bajo, yang dimulai saat awal mula suku ini menetap di Kampung Bajo, sampai terjadinya konflik dengan Pemda. (membuat tanggul dan jalan lingkar). Amos Rapoport (1969:74-78), dalam bukunya House Form and Cuture, menyingkap pengaruh dari topografi sebagai factor yang menentukan pembangunan kawasan permukiman, menurut Rapoport bahwa ada 2 pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih tempat tinggalnya, yaitu fisik lingkungan alam setempat, dan social budaya. Laut sebagai sumber kehidupan merupakan habitat warga Bajo. Tabel 1. Periodisasi Perubahan Tatanan Permukiman Kawasan Kampung Bajo Periodisasi 1970 Tatanan Lingkungan Permukiman Suku Bajo di Bajoe Pertapakan bangunan rumah di Bajoe, ada tiga kategori : Di tanah (darat) Peralihan darat dan perairan Di hamparan air (perairan laut) d a r a t T a h a p A w al 1980 L a u t Saat awal Suku Bajo, kembali ke Bajoe setelah rumah mereka di Lassareng di bakar oleh kelompok Kahar Muzakar. Pola permukiman berbentuk linear, memanjang sejajar dengan garis pantai teluk Bone. T a h a p I I 1990 T a h a p I I I L a u t Tatanan rumah terdiri dari beberapa lapis ke arah darat dan perairan, sesuai dengan jumlah penduduk dan area yang tersedia. Mulai dibuatkan jalan setapak dari tetean kayu, sebagai akses air ke darat, dan antar rumah warga. Tanggul telah dibangun oleh PEMDA Bone, yang berfungsi sebagai jalanan transportasi darat, dan penahan ombak. Tetean sebagai penguhubung terbuat dari kayu dan sebagian dari paving blok. 1994 Sekarang T a h a p I V Rumah- rumah semakin padat, sebagian berubah menjadi darat, ditimbuni dengan membuat pondasi dari batu kali yang diambil di sekitar lokasi. Dibuat jembatan permanen, sebagai jalur sirkulasi perahu dari laut ke rumah warga. Sumber: Hasil Analisis Namun prilaku dan lingkungan yang kurang sehat sejak adanya pembangunan Tanggul, ketika air laut surut, muncul kumpulan sampahsampah dan tergenang dikolong rumah warga, pola tatanan permukiman warga tidak teratur dan jenis bangunan non permanen dijadikan sebagai tempat tinggal, sehingga kawasan ini B 144 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 menjadi kumuh. Ironisnya, walaupun dengan kondisi seperti ini, mereka tetap bertahan dan tidak akan meninggalkan kawasan ini. Perubahan Non Fisik Masyarakat Perubahan sosial budaya masyarakat dapat diketahui melalui sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya perubahan tersebut. Sesuatu yang dianggap yang dianggap tidak memuaskan lagi dapat dikaji sebagai sebab terjadinya perubahan, disamping itu juga karena adanya factor baru yang menjadi tuntutan masyarakat sebagai pengganti factor yang lama yang oleh masyarakat dianggap tidak sesuai lagi. Dilain pihak mungkin masyarakat mengadakan perubahan karena terpaksa demi untuk menyesuaikan suatu factor dengan factor lain yang sudah mengalami perubahan terlebih dahulu. Kondisi social budaya masyarakat pada kawasan Kampung Bajo, menganggap Laut sebagai sumber kehidupan, keberadaannya tidak terlepas dari intervensi Pemda pada setiap kebijakannya. Sebagai contoh, dalam membangun rumah, tidak boleh melewati batasan tanggul atau jalan yang telah dibangun oleh PEMDA. Sedangkan perubahan aspek ekonomi, dapat disebabkan oleh sumber yang datang dari masyarakat itu sendiri maupun bersumber dari luar masyarakatnya. Aspek ekonomi dalam pembahasan ini menyangkut pola mata pencaharian dari warga kampong Bajo, sedang-kan factor penyebab perubahan antara lain adalah : a. Bertambahnya penduduk di kawasan Kampung Bajo berpengaruh besar terhadap usaha pemenuhan kebutuhan keluarga maupun usaha dalam penyediaan lapangan kerja misalnya, usaha bengkel/servis kendaraan roda dua maupun perahu warga sekitar. b. Penemuan baru dalam aspek ekonomi membawa pengaruh perubahan ekonomi masyarakat dalam hal ini adalah berkembang-nya pengadaan warung sembako atau makanan di rumah-rumah warga (di kolong rumah, atau depan rumah warga). c. Perubahan yang terjadi tidak saja dari dalam masyarakat itu sendiri tetapi juga dari luar dan juga dikarenakan adanya intervensi pemerintah. Perubahan Fisik Tata Ruang Permukiman Syahriana Syam Perubahan penataan Ruang Permukiman pada Kawasan Pelabuhan Bajo, dalam kasus ini mengambil objek amatan yakni kampung kampong Bajo, berdasar karena wilayah kampong ini dapat mewakili untuk lingkungan yang lainnya. Pembahasan secara deskriptif dalam perubahan penataan tara ruang ini dilakukan melalui pendekatan observasi jejak fisik, pendekatan yang dilakukan ini untuk merekonstruksi keadaan pola tata ruang permukiman Kampung Bajo sebelum terjadi banyak perubahan. Walaupun dengan melalui pendekatan jejak fisik tersebut hanya sedikit diperoleh gambaran kondisi yang akurat, namun diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap perubahan pola penataan ruang perumahan. Melalui pendekatan ini dapat diketemukan beberapa factor perubahan antara lain : a. Bentuk Bangunan Pendekatan jejak fisik terhadap bentuk bangunan menyangkut beberapa bagian yakni struktur bangunan dan bahan bangunan, penelusuran ini dilakukan karena bangunan yang tersebar sebagai hunia yang disini adalah merupakan bagian dari pembentuk pola tata ruang permukiman. Kondisi bangunan pada lingkungan ini sebagian masih menggunakan konstruksi kayu/papan, bamboo dan yang lain sudah permanen. Dindingnya dan yang lain telah menggunakan batu bata sebagai elemenelemen dindingnya dan papan sebagai penyekat ruang. Konstruksi penutup atap dari seng bahkan masih ditemukan bahan dari rumbia, lantai ada yang dari keramik maupun dari papan untuk rumah panggung. Dalam melakukan pembahasan tentang perubahan tata lingkungan, sebenarnya yang menarik adalah kekhususan dari tata lingkungan yang ada. Pada tata lingkungan kawasan ini dalam bentuk makro secara sederhana dapat diketahui adanya kejelasan pola tata lingkunganya, namun kemudian permasalahan timbul pada aspek pola penggunaan lahan dan aspek lingkungan. Berkait dengan aspek yang pertama memerlukan pengaturan atau mekanisme yang mampu mengendalikan perkembangan pada masa yang akan datang. Dengan demikian akan mendukung terbentuknya jiwa local (Genius Loci) atau mempunyai ‘The Spirit of Place’. , disamping itu kajian-kajian yang menyangkut tata bangunan dan tata lingkungan memberikan konsekuensi terhadap pertimbangan-pertimbangan pada aspek arsitektursl, aspek social, aspek ekonomi, aspek kepentingan dan aspek hukum (legalformal) Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat diambil kepentingannya agar dapat dicapai suatu kesinambungan dengan adanya perubahan-perubahan yang ada di lingkungan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut juga dapat sebagai pengendali/control terhadap perubahan-perubahan yang ada. b. Orientasi Bangunan. Kelompok rumah-rumah yang membentuk lingkungan pada mulanya berorientasi ke laut yang dianggap sebagai sumber kehidupan, tetapi keadaan sekarang telah berubah menjadi pola linier sesuai dengan bentukan jalan yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah. Gambar1. Bentuk dan Orientasi Permukiman Suku Bajo Meskipun demikian, masih banyak rumah-rumah yang konsisten dengan orientasi rumahnya kea rah laut, termasuk rumah Kepala Suku dan keturunannya. Saat ini orientasi bangunan ini sudah banyak yang berubah disebabkan masuknya program-program pemerintah (pembenahan infrastruktur, tanggul, jalan, jembatan) dengan mendirikan bangunan tanpa memper-dulikan lagi orientasi bangunan kearah laut. Kesimpulan Dari hasil pembahasan kajian proses perubahan ruang pada permukiman masyarakat akibat konflik, Kawasan Kampung Bajo maka dapat disimpulkan bahwa system kekerabatan atau hubungan keluarga yang sangat kuat nampak pada pola lingkungan permukiman merupakan unsur budaya cerminan hidup yang akrab dan mempunyai hirarki yang ketat sebagai warisan budaya bahari yang beriorentasi pada laut, terbukti bertahan menghadapi perkembangan jaman. Perubahan-perubahan fisik dan non fisik Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015| B 145 Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel terjadi disebabkan antara lain oleh pengaruh kebudayaan lain, adanya pertambahan penghuni, dan konflik kepentingan serta intervensi PEMDA, ketidakpuasan masyarakat dalam bidang penghidupan hingga mencari sumber kehidupan dibidang lain dengan membuka warung sembako dan makanan jadi, menyebabkan pro-ses perubahan yang ada semakin cepat. Suatu perubahan social dalam bidang kehidupan tertentu tidak mungkin berhenti pada suatu titik, karena perubahan di bidang lain akan segera mengikutinya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada aspekaspek social budaya serta perubahan-perubahan pada aspek arsitektur dan lingkungan pada dasarnya mempunyai hubungan yang saling berkaitan. Perubahan yang terjadi juga tidak lepas dari aspek yang dilakukan pemerintah. Struktur ruang secara makro tidak mengalami banyak perubahan, hanya pada makna ruang sebagai ruang komunal telah hilang karena ruang pengikat yang ada telah bergeser menjadi kawasan bisnis (rumah makan) dan sebagian besar orientasi bangunannya juga sudah mengalami perubahan karena adanya jaringan jalan sebagai akses memudahkan pencapaian ke hunian. Dari hasil temuan pada kajian ini dapat diajukan pandangan sebagai saran untuk konsep pengembangan yakni, intervensi pemerintah kaitannya dalam pembangunan fisik, sarana maupun prasarana hendaknya tetap berakar pada konsep budaya bahari, laut sebagai sumber kehidupan (Suku Bajo), dalam pembangunan fisik kawasan perlu adanya pedoman pembangunan kawasan (Guided Land Development), baik dalam pola penggunaan lahan, bentuk fisik bangunan ataupun aturan-aturan pengikat lain yang merupakan antisipasi terhadap perkembangan, untuk menghindari konflik kepentingan yang dilematis. Daftar Pustaka Altman, Irwin & Chemers Martin (1980), Culture And Environment , Wadsworth Inc, Belmont, California. Danarti Karsono, (1985), Perubahan Penataan Ruang Permukiman Pada Kraton Kasunan Surakarta, Tesis Universitas Diponegoro . George Ritzer, (2010), Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Heryanto Bambang (2011), Roh dan Citra Kota, Brilian Internasional, Surabaya. Hastijanti Retno R.A., (2005), Proses Pembentukan Ruang Eksklusif Pada Permukiman MasyarakatPlural , B 146 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 Disertasi, Institusi Teknologi Sepuluh November Surabaya, K.Denzin Norman & S.Lincoln Yvonna (2009), Qualitative Research, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Lefebre (1991), The Monument dalam Rethinking Architecture, A Reader in Culture Theory. Ed: Leach, Neil, Routledge, London. Narwoko J.Dwi & Suyanto Bagon (2005), Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Syam, Syahriana, (2003), Keberadaan Rumah Tinggal Suku bajo terhadap Perubahan Habitat. Jogjakarta, Department of Architecture and Planning, Gadjah Mada University. Smith David M (1990), Introduction: TheSharing and Dividing of Geographical Space dalam Shared Space, Devided Space: Eds: Chisholm, Michael and Smith, David M, Unwin Hyman Ltd.