Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik

advertisement
TEMU ILMIAH IPLBI 2015
Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik
Studi Kasus: Kawasan Kampung Bajo Sulawesi Selatan
Syahriana Syam(1), Syahrianti S(2)
(1)
Lab. Teori dan Sejarah Arsitektur, Arsitektur, Program Studi Arsitekturi, Fakultas Teknik Arsitektur, Universitas Hasanuddin.
Lab. Penyiaran, Sosiologi, Komunikasi dan Penyiaran, Program Studi Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ushuluddin, STAIN
Watampone.
(2)
Abstrak
Proses perubahan ruang dalam arsitektur akibat konflik kepentingan, belum banyak diteliti, sehingga
arsitektur dijadikan tolak ukur untuk memahami kualitas, menandai kepemilikan atau kekuasaan
suatu kelompok terhadap ruang. Dengan studi kasus konflik kepentingan pada kawasan Kampung
Bajo, dan menerapkan metode rekonstruksi lahan, di temukan proses perubahan ruang dan
dampaknya pada masyarakat. Pada penelitian ini akan menyempurnakan teori tentang deskripsi
proses perubahan ruang secara arsitektur akibat konflik kepentingan. Temuan tentang metode
penelitian inter-disiplin, menjembatani ilmu arsitektur dengan ilmu penunjangnya (sosiologi,
psikologi, antropologi dll). Peran arsitektur akan menunjang suatu konsep alternative dalam proses
perubahan ruang akibat konflik kepentingan, serta penataan ruang yang mengalami perubahan
secara dinamik dan multi dimensi.
Kata kunci : Konflik, Kampung Bajo, Perubahan, Ruang
Pengantar
Perubahan ruang selalu ada dalam ruang yang
dihuni oleh masyarakat yang berkelompokkelompok, dan ditunjang oleh kondisi yang tidak
setara –unequal condition, Smith (1990). Hal
tersebut, kemudian menciptakan kelompok
minoritas dan kelompok mayoritas. Dengan kondisi ini, perubahan ruang ke arah ter-bentuknya
ruang baru karena adanya konflik kepentingan.
Adanya derajat intensites rasa memiliki terhadap
ruang (space possessiveness) oleh kelompok
tertentu. Sehingga timbul sumber kekhawatiran
dan ketegangan karena per-saingan karakter
ruang yang berbeda saling tarik menarik.
Ketegangan dalam ruang tersebut, harusnya
bisa diantisipasi bila salah salah satu dari
karakter yang ada dapat dieliminir, namun hal
ini tidak selalu dapat diselesaikan dengan
sederhana. Yang terjadi kemudian timbullah
konflik. Menurut pengamatan, itu terjadi karena
tidak ada kesepakatan antar kelompok, terlebih
lagi terjadi pada kawasan yang mempunyai
potensi dan dibutuhkan oleh masing-masing
pihak. Demikian halnya yang terjadi di kawasan
Kampung Bajo, yang merupakan lokasi
pelabuhan dan permukiman Suku Bajo. Sejarah
keberadaan lokasi tersebut adalah di awali oleh
kedatangan Suku Bajo yang berlabuh di
kawasan ini, akhirnya menetap di disebutlah
Kampung Bajo, karena dihuni oleh Suku Bajo,
sebagai pengembara laut, mereka suka
berpindah-pindah dari suatu pesisir ke pesisir
pantai lainnya, apalagi jika mendapat tekanan
dan gangguan dari lingkungan sekitarnya, maka
dengan cepat mereka akan berlayar meninggalkan tempat itu, dan mencari tempat yang lebih
aman. Kalau secara internasional Suku bajo
berasal dari Kepulauan Sulu Filiphina, kemudian
ada diantara mereka menelusuri pesisir pantai
sehingga mereka sampai di negeri Johor
Malaysia, kemudian seterusnya terdapat generasinya yang melanjutkan kebiasaan itu,
hingga ada yang sampai di daerah Usu’ dan
Malili Kabupaten Luwu. Kemudian dari muara
sungai Cerekang mereka hanyut dan berlayar
sampai di Bajoe Kabupaten Bone.
Pada awal kedatangan mereka sekitar abad ke
19, di Teluk Bone Kelurahan Bajoe Kecamatan
Taneteriattang kabupaten Bone, permukiman
mereka tidak teratur. Rumah mereka sangat
sederhana karena tiang-tiangnya masih terbuat
dari pohon kelapa dan kayu bakau yang banyak
terdapat di sekitarnya, bahkan untuk saling
menghubungkan dan menguatkan antara satu
tiang dengan yang lainnya hanya diikat dengan
tali atau akar kayu. Tatanan rumah tidak
memiliki pemisah, sehingga tidak jelas antara
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015 | B 141
Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel
satu ruang dengan ruang lainnya. (Syam, 2001;
61). Namun seiring berjalannya waktu, kawasan
ini terjadi perubahan dan perkembangan yang
sangat cepat.
Kajian Pustaka
Ruang social adalah suatu produk (social) , yang
merupakan representasi spesifik dari imteraksi
social antara produksi dan reproduksi. Produk
adalah sesauatu yang dapat diproduksi kembali,
dan pada dasarnya merupakan hasil pengulangan. Ruang meruapakan hasil dari proses
produksi. Bahan bakunya adalah (kondisi) “alam”
(iah). Ruang adalah produksi dari suatu aktifitas,
yang melibatkan aktivitas ekonomi dan aktivitas
teknik yang dimiliki sekelompok masyarakat,
sehingga sifatnya politis dan strategis. Bila
diasumsikan bahwa ruang adalah suatu produk
dari proses menghuni ruang, maka hasil proses
tersebut terletak pada tiap bagian ruang, dan
menjadi isi ruang. Yang dimaksud dengan isis
ruang adalah “segala hal”, (mahkluk hidup yang
ada di dalamnya, benda-benda, obyek, hasil
karya, maupun tanda-tanda, symbol yang
terletak dalam ruang), yaitu segala hal yang
diproduksi baik secara alamiah (natural) aupun
oleh masyarakat (social), baik dihasilkan melalui
kolaborasi maupun melalui konflik-konflik.
(Lefebvre, 1991:26). Dalam usaha memahami
proses produksi ruang social, Lefebvre
mengenalkan konsep triad, yang terdiri dari:
a. Spatial practice
Praktek social dari suatu masyarakat pada
dasarnya menembunyikan ruang-ruang ynag
dimiliki oleh tiap masyarakat tersebut. Masyarakatlah yang mengkonsep dan merencanakan
keberadaan ruang tersebut dalam suatu interaksi yang dialektis. Masyarakat mempro-duksi
ruangnya secara perlahan-lahan namun pasti,
sehingga benar-benar sesuai dan layak
digunakan.
b. Representations of space
Ruang yang dikonsepkan.ruang yang dimiliki
oleh orang-orang yang dapat menentukan siapa
yang berhak hidup di dalamnya, dan hal apa
yang akan dirasakan serta apa saja yang akan
dimengerti dari keberadaan ruang tersebut. Ini
meruapakan ruang paling dominan pada
kelompok masayarakat ruang ini merupakan
ruang yang abstrak, tetapi berperan besar
dalam praktek social dan politis. Suatu saat ia
akan menjadi kombinasi dan pengetahuan yang
B 142 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
dimiliki oleh pembentuknya, dan praktek yang
mereka lakukan.
c. Representational space
Merupakan ruang yang benar-benar ada dan
direpresentasikan melalui citra-citra serta sImbol-simbol. merupakan ruang yang tidak saja agi
“penghuni” dan pemakai” tetapi juga para
pemikir/konseptor (pelukis, pengarang, filsuf)
yang menggambarkannya dengan persis. Ruang
inilah yang dikuasai dan meruapakan cerminan
dan pengalaman secara pasif yang pencitraanya
selalu berubah untuk mencari kondisi yang
paling sesuai. Ia adalah ruang fisik dan
menggunakan symbol=symbol tertentu sebagai
obyek. Karenanya representional space dalam
sudut pandang tertentu, diaktakan sebagai
ruang yang disamakan dengan system symbol
non-verbal serta tanda-tanda (signs) non-verbal.
Ruang ini bisa saja tidak mematuhi hukum yang
konsisten atau yang terintegrasi. Ia beruaha
seiring jalannya sejarah.
Konflik
Konflik dapat diartikan sbagai kondisi yang
tidak aman, dapat terjadi di berbagai tempat
dengan berbagai bentuk, bahkan fenomena
konflik masih akan terjadi disaat manusia
diperhadapkan dengan berbagai kepentingan
yang sangat dilematis.
Konflik memberikan sumbangan terhadap
disintegrasi social, lahir dari kondisi social
budaya tertentu yang ada dalam masyarakat
seperti; kondisi primer, kondisi yang langsung
mempengaruhi koflik (social budaya), kondisi
sekunder, yang tidak langsung mempengaruhi
peristiwa yang dimaksud kondisi social ekonomi.
George Ritzer (2010:26)
Penyebab timbulnya konflik jika bersandar pada
teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf
Dahrendorf terdapat empat proporsi diantaranya:
1. Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk
dalam proses perubahan, karena perubahan
social terjadi di mana saja.
2. Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik social
terdapat dimana saja
3. Setiap unsure dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan
perubahan
4. Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan anggotanya terhadap
anggota yang lain.
Syahriana Syam
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan
pendapat antara orang-orang, organisasi dan
mengingat adanya berbagai macam perkembangan dan perubahan, maka adalah rasi-onal
untuk menduga akan timbulnya perbedaan
pendapat, keyakina serta ide-ide. (Robin dalam
Winardi(1994) mendefinisikan konflik ” we
define conflict to be are process in which an
effort is purposely made by A to offset the
efforts of by some form of blocking that will
result in frustrating B, In attaining his or her
goals of furthering his or her interest”. Artinya
konflik menekankan adanya suatu pandangan
konfrontatif sehubungan dengan konflik alhasil
apabila orang yang namakan A, dalam definisi
tersebut berhasil dalam upayanya menghalangi
B, maka situasi demikian akan menghasilkan
suatu kondisi akhir yang lazim disebut suatu
kondisi “menang kalah” (A win lose situation).
Membahas tentang nationalism and ethnic
conflictmengungkapkan, konflik di dalam suatu
Negara mengidentifikasikan empat factor yang
menyebabkan terjadinya kekerasan akibat
konflik, yaitu: Narwoko dan Suyanto,(2005).
a. Struktural; menekankan 3 faktor utama yaitu
weak states, keamanan dalam negeri, dan
etnisitas suatu wilayah. Bagi beberapa Negara
yang pernah mengalami penjajahan colonial,
mental masyarakat sudah mengalami kelemahan secara structural, ditandai dengan
hilangnya legitimasi politis, terbatasnya aspirasi
politik, serta ketidakmampuan mengamankan
wilayah kedaulatannya.
b. Politik, seringkali menjadi pemicu ketegangan
antar etnis yang terkait dengan system politik,
ideology politik yang berlaku, dinamika politik
atar kelopok, dan juga perilaku elite
c. Social ekonomi, Brown mengidentifikasikan
tiga sumber potensial dari factor social ekonomi
yang dapat memunculkan konflik yaitu,
permasalahanekonomi yang diskriminan dan
dampak modernisasi ekonomi.
d. Budaya atau presepsi. Ada dua factor yaitu
deskriminasi budaya terhadap kaum minoritas
dan persepsi terhadap kelompok tertentu.
Persoalan, latar-belakang persoalan, kajian
pustaka, permasalahan dan tujuan penelitian.
Beberapa paragraf awal bagian pengangar
menjelaskan persoalan dan latar-belakang
persoalan tersebut. Beberapa paragraf berikutnya menjelaskan kajian pustaka yang berisi
perkembangan pengetahuan terkini yang secara
langsung terkait dengan persoalan yang
diangkat. Paragraf terakhir dari bagian pe-
ngantar berisi permasalahan
tujuan penelitian.
dan
deskripsi
Metode
Pada penelitian ini, pendekatan yang digunakan
adalah metode observasi jejak fisik. Untuk
menjelaskan adanya pengaruh perubahan fisik
dan non fisik sebagai larat belakang terjadinya
perubahan, digunakan pendekatan kualitatif
yang diperoleh dari observasi lapangan dan
arsip, yang berkaitan dengan sejarah keberadaan Kampung Bajo
Analisis dan Interpretasi
Pertumbuhan sektor perekonomian pada suatu
kawasan salah satu pemicu timbulnya perubahan ruang, akhirnya menimbulkan permasalahan yang lebih komplit, seperti halnya yang
terjadi pada komunitas Kampung Bajo.
Penguasaan ruang di masyarakat terus berubah
seiring dengan perubahan jaman, bisa jadi
kondisinya dapat berubah secara radikal, dari
ketenangan berpuluh tahun kemudian berubah
menjadi konflik. Misanya adanya fungsi ruang
yang berbeda yang juga bisa pemicu konflik.
Salah satu kekuatan yang membentuk karakter
lingkungan suatu kawasan adalah kondisi alam
yang ada di sekelilingnya. Menurut Heryanto
(2011:50), beberapa ilmuan telah memperbincangkan hubungan antara pengem-bangan
permukiman manusia dan lingkungan alam
(Rapoport, 1969; Shirvani, 1985; Lozano, 1990;
Kostof, 1991; Morris, 1994). Karakteristik sifatsifat dasar lingkungan alam telah mempengaruhi
manusia dari masa awal dengan berbagai cara.
Kondisi alam sangat mem-pengaruhi manusia
saat proses bermukim, mulai dari memilih lokasi,
menggunakan konstruksi yang tepat untuk
mendirikan bangunannya yang dianggap sesuai
dengan iklim setempat, bahkan merancang
bentuk bangunan yang sesuai dengan keadaan
sekelilingnya. Unsur fisik lingkungan alam terdiri
dari 4 unsur; topografi, iklim, bahan dan
teknologi.
Sama halnya letak perkampungan Bajo pada sisi
kanan tanggul dermaga pelabuhan Bajoe,
dengan luas area saat ini tersisa 3 ha yang
digunakan untuk mendirikan bangunan, selebihnya adalah perairan yang difungsikan sebagai
tempat parkir perahu.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015| B 143
Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel
Pada table 1, menjelaskan periodisasi perubahan ruang pada lahan permukiman Suku Bajo,
yang dimulai saat awal mula suku ini menetap di
Kampung Bajo, sampai terjadinya konflik
dengan Pemda. (membuat tanggul dan jalan
lingkar). Amos Rapoport (1969:74-78), dalam
bukunya House Form and Cuture, menyingkap
pengaruh dari topografi sebagai factor yang
menentukan pembangunan kawasan permukiman, menurut Rapoport bahwa ada 2 pertimbangan bagi masyarakat untuk memilih tempat
tinggalnya, yaitu fisik lingkungan alam setempat,
dan social budaya. Laut sebagai sumber
kehidupan merupakan habitat warga Bajo.
Tabel 1. Periodisasi Perubahan Tatanan Permukiman
Kawasan Kampung Bajo
Periodisasi
1970
Tatanan
Lingkungan
Permukiman
Suku Bajo di
Bajoe
Pertapakan
bangunan
rumah
di
Bajoe,
ada
tiga kategori :
Di
tanah
(darat)
Peralihan
darat
dan
perairan
Di hamparan
air (perairan
laut)
d
a
r
a
t
T
a
h
a
p
A
w
al
1980
L
a
u
t
Saat
awal
Suku
Bajo,
kembali
ke
Bajoe setelah
rumah
mereka
di
Lassareng di
bakar
oleh
kelompok
Kahar
Muzakar. Pola
permukiman
berbentuk
linear,
memanjang
sejajar
dengan garis
pantai teluk
Bone.
T
a
h
a
p
I
I
1990
T
a
h
a
p
I
I
I
L
a
u
t
Tatanan
rumah
terdiri dari
beberapa
lapis
ke
arah darat
dan
perairan,
sesuai
dengan
jumlah
penduduk
dan area
yang
tersedia.
Mulai
dibuatkan
jalan
setapak
dari tetean
kayu,
sebagai
akses air
ke darat,
dan antar
rumah
warga.
Tanggul telah
dibangun oleh
PEMDA Bone,
yang berfungsi
sebagai jalanan
transportasi
darat,
dan
penahan
ombak. Tetean
sebagai
penguhubung
terbuat
dari
kayu
dan
sebagian dari
paving blok.
1994
Sekarang
T
a
h
a
p
I
V
Rumah-
rumah
semakin
padat,
sebagian
berubah
menjadi
darat,
ditimbuni
dengan
membuat
pondasi
dari batu
kali
yang
diambil di
sekitar
lokasi.
Dibuat
jembatan
permanen,
sebagai
jalur
sirkulasi
perahu dari
laut
ke rumah
warga.
Sumber: Hasil Analisis
Namun prilaku dan lingkungan yang kurang
sehat sejak adanya pembangunan Tanggul,
ketika air laut surut, muncul kumpulan sampahsampah dan tergenang dikolong rumah warga,
pola tatanan permukiman warga tidak teratur
dan jenis bangunan non permanen dijadikan
sebagai tempat tinggal, sehingga kawasan ini
B 144 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
menjadi kumuh. Ironisnya, walaupun dengan
kondisi seperti ini, mereka tetap bertahan dan
tidak akan meninggalkan kawasan ini.
Perubahan Non Fisik Masyarakat
Perubahan sosial budaya masyarakat dapat
diketahui melalui sebab-sebab yang melatar
belakangi terjadinya perubahan tersebut. Sesuatu yang dianggap yang dianggap tidak
memuaskan lagi dapat dikaji sebagai sebab
terjadinya perubahan, disamping itu juga karena
adanya factor baru yang menjadi tuntutan
masyarakat sebagai pengganti factor yang lama
yang oleh masyarakat dianggap tidak sesuai lagi.
Dilain pihak mungkin masyarakat mengadakan
perubahan karena terpaksa demi untuk
menyesuaikan suatu factor dengan factor lain
yang sudah mengalami perubahan terlebih
dahulu. Kondisi social budaya masyarakat pada
kawasan Kampung Bajo, menganggap Laut
sebagai sumber kehidupan, keberadaannya
tidak terlepas dari intervensi Pemda pada setiap
kebijakannya. Sebagai contoh, dalam membangun rumah, tidak boleh melewati batasan
tanggul atau jalan yang telah dibangun oleh
PEMDA.
Sedangkan perubahan aspek ekonomi, dapat
disebabkan oleh sumber yang datang dari
masyarakat itu sendiri maupun bersumber dari
luar masyarakatnya. Aspek ekonomi dalam
pembahasan ini menyangkut pola mata pencaharian dari warga kampong Bajo, sedang-kan
factor penyebab perubahan antara lain adalah :
a. Bertambahnya penduduk di kawasan
Kampung Bajo berpengaruh besar terhadap
usaha pemenuhan kebutuhan keluarga maupun
usaha dalam penyediaan lapangan kerja misalnya, usaha bengkel/servis kendaraan roda dua
maupun perahu warga sekitar.
b. Penemuan baru dalam aspek ekonomi
membawa pengaruh perubahan ekonomi masyarakat dalam hal ini adalah berkembang-nya
pengadaan warung sembako atau makanan di
rumah-rumah warga (di kolong rumah, atau
depan rumah warga).
c. Perubahan yang terjadi tidak saja dari dalam
masyarakat itu sendiri tetapi juga dari luar dan
juga dikarenakan adanya intervensi pemerintah.
Perubahan Fisik Tata Ruang Permukiman
Syahriana Syam
Perubahan penataan Ruang Permukiman pada
Kawasan Pelabuhan Bajo, dalam kasus ini
mengambil objek amatan yakni kampung
kampong Bajo, berdasar karena wilayah
kampong ini dapat mewakili untuk lingkungan
yang lainnya. Pembahasan secara deskriptif
dalam perubahan penataan tara ruang ini
dilakukan melalui pendekatan observasi jejak
fisik, pendekatan yang dilakukan ini untuk
merekonstruksi keadaan pola tata ruang
permukiman Kampung Bajo sebelum terjadi
banyak perubahan. Walaupun dengan melalui
pendekatan jejak fisik tersebut hanya sedikit
diperoleh gambaran kondisi yang akurat, namun
diharapkan dapat memberikan gambaran
terhadap perubahan pola penataan ruang
perumahan.
Melalui pendekatan ini dapat diketemukan
beberapa factor perubahan antara lain :
a. Bentuk Bangunan
Pendekatan jejak fisik terhadap bentuk
bangunan menyangkut beberapa bagian yakni
struktur bangunan dan bahan bangunan,
penelusuran ini dilakukan karena bangunan
yang tersebar sebagai hunia yang disini adalah
merupakan bagian dari pembentuk pola tata
ruang permukiman. Kondisi bangunan pada
lingkungan ini sebagian masih menggunakan
konstruksi kayu/papan, bamboo dan yang lain
sudah permanen. Dindingnya dan yang lain
telah menggunakan batu bata sebagai elemenelemen dindingnya dan papan sebagai penyekat
ruang. Konstruksi penutup atap dari seng
bahkan masih ditemukan bahan dari rumbia,
lantai ada yang dari keramik maupun dari papan
untuk rumah panggung. Dalam melakukan
pembahasan tentang perubahan tata lingkungan,
sebenarnya yang menarik adalah kekhususan
dari tata lingkungan yang ada.
Pada tata lingkungan kawasan ini dalam bentuk
makro secara sederhana dapat diketahui adanya
kejelasan pola tata lingkunganya, namun kemudian permasalahan timbul pada aspek pola
penggunaan lahan dan aspek lingkungan.
Berkait dengan aspek yang pertama memerlukan pengaturan atau mekanisme yang mampu
mengendalikan perkembangan pada masa yang
akan datang. Dengan demikian akan mendukung terbentuknya jiwa local (Genius Loci) atau
mempunyai ‘The Spirit of Place’. , disamping itu
kajian-kajian yang menyangkut tata bangunan
dan tata lingkungan memberikan konsekuensi
terhadap pertimbangan-pertimbangan pada
aspek arsitektursl, aspek social, aspek ekonomi,
aspek kepentingan dan aspek hukum (legalformal) Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat diambil kepentingannya agar dapat
dicapai suatu kesinambungan dengan adanya
perubahan-perubahan yang ada di lingkungan
tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
juga dapat sebagai pengendali/control terhadap
perubahan-perubahan yang ada.
b. Orientasi Bangunan.
Kelompok rumah-rumah yang membentuk
lingkungan pada mulanya berorientasi ke laut
yang dianggap sebagai sumber kehidupan,
tetapi keadaan sekarang telah berubah menjadi
pola linier sesuai dengan bentukan jalan yang
diakibatkan oleh intervensi pemerintah.
Gambar1. Bentuk dan Orientasi Permukiman Suku
Bajo
Meskipun demikian, masih banyak rumah-rumah
yang konsisten dengan orientasi rumahnya kea
rah laut, termasuk rumah Kepala Suku dan
keturunannya. Saat ini orientasi bangunan ini
sudah banyak yang berubah disebabkan masuknya program-program pemerintah (pembenahan
infrastruktur, tanggul, jalan, jembatan) dengan
mendirikan bangunan tanpa memper-dulikan
lagi orientasi bangunan kearah laut.
Kesimpulan
Dari hasil pembahasan kajian proses perubahan
ruang pada permukiman masyarakat akibat
konflik, Kawasan Kampung Bajo maka dapat
disimpulkan bahwa system kekerabatan atau
hubungan keluarga yang sangat kuat nampak
pada pola lingkungan permukiman merupakan
unsur budaya cerminan hidup yang akrab dan
mempunyai hirarki yang ketat sebagai warisan
budaya bahari yang beriorentasi pada laut,
terbukti bertahan menghadapi perkembangan
jaman. Perubahan-perubahan fisik dan non fisik
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015| B 145
Proses Perubahan Ruang Akibat Konflik Judul Artikel
terjadi disebabkan antara lain oleh pengaruh
kebudayaan lain, adanya pertambahan penghuni,
dan konflik kepentingan serta intervensi PEMDA,
ketidakpuasan masyarakat dalam bidang penghidupan hingga mencari sumber kehidupan
dibidang lain dengan membuka warung sembako dan makanan jadi, menyebabkan pro-ses
perubahan yang ada semakin cepat. Suatu
perubahan social dalam bidang kehidupan
tertentu tidak mungkin berhenti pada suatu titik,
karena perubahan di bidang lain akan segera
mengikutinya.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada aspekaspek social budaya serta perubahan-perubahan
pada aspek arsitektur dan lingkungan pada
dasarnya mempunyai hubungan yang saling
berkaitan. Perubahan yang terjadi juga tidak
lepas dari aspek yang dilakukan pemerintah.
Struktur ruang secara makro tidak mengalami
banyak perubahan, hanya pada makna ruang
sebagai ruang komunal telah hilang karena
ruang pengikat yang ada telah bergeser menjadi
kawasan bisnis (rumah makan) dan sebagian
besar orientasi bangunannya juga sudah
mengalami perubahan karena adanya jaringan
jalan sebagai akses memudahkan pencapaian ke
hunian.
Dari hasil temuan pada kajian ini dapat diajukan
pandangan sebagai saran untuk konsep pengembangan yakni, intervensi pemerintah
kaitannya dalam pembangunan fisik, sarana
maupun prasarana hendaknya tetap berakar
pada konsep budaya bahari, laut sebagai
sumber kehidupan (Suku Bajo), dalam pembangunan fisik kawasan perlu adanya pedoman
pembangunan kawasan (Guided Land Development), baik dalam pola penggunaan lahan,
bentuk fisik bangunan ataupun aturan-aturan
pengikat lain yang merupakan antisipasi terhadap perkembangan, untuk menghindari konflik
kepentingan yang dilematis.
Daftar Pustaka
Altman, Irwin & Chemers Martin (1980), Culture And
Environment , Wadsworth Inc, Belmont, California.
Danarti Karsono, (1985), Perubahan Penataan Ruang
Permukiman Pada Kraton Kasunan Surakarta, Tesis
Universitas Diponegoro .
George Ritzer, (2010), Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda,PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Heryanto Bambang (2011), Roh dan Citra Kota, Brilian
Internasional, Surabaya.
Hastijanti Retno R.A., (2005), Proses Pembentukan
Ruang Eksklusif Pada Permukiman MasyarakatPlural ,
B 146 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2015
Disertasi, Institusi Teknologi Sepuluh November
Surabaya,
K.Denzin Norman & S.Lincoln Yvonna (2009),
Qualitative Research, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Lefebre (1991), The Monument dalam Rethinking
Architecture, A Reader in Culture Theory. Ed: Leach,
Neil, Routledge, London.
Narwoko J.Dwi & Suyanto Bagon (2005), Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Syam, Syahriana, (2003), Keberadaan Rumah Tinggal
Suku bajo terhadap Perubahan Habitat. Jogjakarta,
Department of Architecture and Planning, Gadjah
Mada University.
Smith David M (1990), Introduction: TheSharing and
Dividing of Geographical Space dalam Shared Space,
Devided Space: Eds: Chisholm, Michael and Smith,
David M, Unwin Hyman Ltd.
Download