ANALISIS SOCIAL CAPITAL MASYARAKAT BAJO DI KECAMATAN KULISUSU KABUPATEN BUTON UTARA Oleh: Dasmin Sidu1 ABSTRACT The study aims to determine the condition bajo community social capital and how the implementation of social capital in society. The study was planned to be implemented in the District of North Buton Kulisusu on month from January to April 2015. The determination of the sample using the formula solvin (70 samples), with a sample penerikan techniques using simple random sampling technique. Data were collected by interview and recording was then analyzed using descriptive analysis. Results showed that; (1) social capital Bajo District of Kulisusu North Buton has begun to weaken, (2) community Bajo think how the interests and needs of families are met, only the cooperation and trust with the family nearby, obedient to the family, is less concerned with activities nothing to do with the interests of the family and less involved in social organizations. Therefore, the government should be no effort to preserve social capital, through socialization to young people and activities that can strengthen the bonds of social capital in society. Keywords: social capital, trust, social networking. PENDAHULUAN Dalam teori pembangunan konvensional, memang masalah SDM belum mendapat perhatian secara proporsional. Teori pembangunan konvensional masih meyakini bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada konsentrasi modal fisik (physical capital) yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi seperti pabrik dan alat-alat produksi. Modal fisik termasuk pula pembangunan infrastruktur seperti transportasi, komunikasi, dan irigasi untuk mempermudah proses transaksi ekonomi. Namun, sekarang terjadi pergeseran teori pem-bangunan, bahwa yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor modal sosial (social capital). Modal social penekanannya pada penanaman kepercayaan dan membangun jaringan sosial. Masyarakat Suku Bajo disebagian tempat dikenal sebagai masyarakat yang terpinggirkan dan memiliki keterbatasan dalam mengakses infomasi pendidikan dan kesehatan. Saran pendidikan dan kesehatan jarang ditemukan ada disekitar tempat tinggal mereka. Masyarakat Suku Bajo jika ingin mengikuti pendidikan, terutama Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas haru berjuang lebih keras dari pada masyarakat lain yang tinggal di daratan karena jarak sekolah dengan tempat mereka relatif jauh. Di Kecamatan Kulisusu jarak sekolah SMP dan SMA dengan pemukiman masyarakat Bajo 1 kurang lebih 2-4 kilo meter yang ditempuh dengan berjalan kaki. Kondisi ini salah satu penyebab sebagian besar masyarakat Bajo hanya tamat Sekolah Dasar (SD) saja. Secara sosial masyarakat Suku Bajo sampai saat ini tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan yang dapat diandalkan serta tidak memiliki modal yang memadai untuk bersaing dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang secara sosial dan politik memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang memadai. Secara ekonomis kondisi kehidupan masyarakat Suku Bajo tergolong miskin. Secara politik mereka tetap tertindas oleh struktur dan sistem politik pemerintah (negara) yang belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar/kepentingan masyarakat. Ketidakmampuan masyarakat secara sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu ganjalan bagi masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama saudaranya yang secara sosial dan ekonomi telah berhasil. Ketidakmampuan masyarakat Suku Bajo salah satu penyebabnya dan bahkan menjadi penyebab utama adalah semakin memudarnya nilai-nilai social capital masyarakat. Konsep modal sosial muncul dari pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat secara individu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik ) Staf Pengajar pada Jurusan Agribisnis Fakultas Oleo,ISSN Kendari AGRIPLUS, Volume 25 Pertanian NomorUniversitas : 02 MeiHalu 2015, 0854-0128 118 119 dari segenap anggota masyarakat yang berkepentingan untuk mengatasi masalah tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik di Amerika Serikat bernama Lyda Judson Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam tulisannya berjudul The Rural School Community Centre tahun 1916 mengatakan modal sosial, bukanlah modal dalam arti biasa seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih mengandung arti kiasan, namun merupakan aset atau modal nyata yang penting dalam hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam modal sosial termasuk kemauan baik, rasa bersahabat; saling simpati serta hubungan sosial dan kerjasama yang erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial (Syabra, 2003). Sekalipun Hanifan telah menggunakan istilah modal sosial hampir seabad yang lalu, istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia akademis sejak akhir tahun 1980-an. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul "The Forms of Capital" tahun 1986 (Syabra, 2003) mengemukakan bahwa untuk dapat memahami struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala bentuknya, tidak cukup hanya membahas modal seperti yang dikenal dalam teori ekonomi. Penting juga diketahui bentuk transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara langsung memaksimalkan keuntungan material. Padahal sebenarnya dalam setiap transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh modal immaterial berbentuk modal budaya dan modal sosial. Bourdieu (Syabra, 2003) menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial serta menggambarkan bagaimana ketiganya dapat dibedakan antara satu sama lain dilihat dari tingkat kemudahannya untuk dikonversikan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa modal sosial (social capital) merupakan fasilitator penting dalam pembangunan ekonomi. Modal sosial yang dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan sosial dimasa lalu dipandang sebagai faktor yang dapat meningkatkan dan jika digunakan secara tepat mampu memper-kuat efektifitas pembangunan (Suharto dan Yuliani, 2005). Demikian juga Tjondronegoro (2005) menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi unsur pendukung keberhasilan pembangunan, termasuk pula dinamika pembangunan pedesaan dan pertanian di Indonesia. Seperti dicontohkan oleh Tjondronegoro tentang bentuk-bentuk jaringan daerah pedesaan dan perkotaan seperti gotong royong, kelompok arisan maupun pengajian dapat disebut sebagai modal sosial. Sehingga dalam menjalankan program pembangunan, khususnya pertanian dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial tersebut sebaiknya di perhati-kan dan dimanfaatkan. Brehm dan Rahn (Bahtiar,1997) menjelaskan bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi. Definisi lain dikemukakan oleh Pennar (Bahtiar,1997) bahwa modal sosial adalah jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Prusak (2001) menjelaskan bahwa modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama. Putnam (Budi, 2005) merumuskan bahwa modal sosial (social capital) menunjuk pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya berisi norma-norma yang memfasilitasi koordinasi, kerja sama, dan saling mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan bersama anggota-anggota organisasi. Dalam konteks ekonomi, jaringan horisontal yang terkoordinasi dan kooperatif itu akan menyumbang pada kemakmuran. Modal sosial dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini umpamanya berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas Cina perantauan (overseas Chinese) melalui apa yang disebut dengan network capitalism. Organisasi informal Cina perantauan di Asia Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia, mendorong kemampuan kompetitif mereka dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing tersebut bukan hanya karena mereka memiliki bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari perkumpulan dan lembaga dagangnya yang kuat. Coleman (1998) memandang modal sosial (social capital) dari sudut pandang struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan dan aturan yang dapat dimanfaatkan secara AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128 120 bersama seperti; kewajiban dan harapan, saluran informasi, ketaatan terhadap sanksi dan norma-norma. Lebih lanjut Coleman melihat modal sosial dari sisi fungsinya. Dia menunjukkan bahwa struktur sosial dalam bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada yang terbuka. Jaringan komunitas yang dikembangkan kelompok perantau lazimnya dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari relasi kekera-batan dan kesamaan daerah, bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena ketertutupan itulah mereka bisa survive dan bisa menguasai jaringan perdagangan komoditas dan ketrampilan tertentu di daerah perantauan. Berbeda dengan Fukuyama (2002), yang tulisannya dianggap kontroversial yang menekankan bahwa modal sosial (social capital) memiliki kontribusi yang cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan dinamika ekonomi. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa modal sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah dipahami bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif, terjalinnya kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama dalam rangka tercapainya tujuan bersama. Terkait dengan hal ini, Paldam (Amin, 2002) menyebutkan bahwa yang menjadi pilar modal sosial (social capital) adalah kepercayaan (trust), eksistensi jaringan (network), dan kemudahan bekerja sama (ease of cooperation). Grootaert dan Basteler (2001) mengungkapkan ada tiga manfaat modal sosial (social capital), yaitu: (1) partisipasi individu dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan ketersediaan informasi dengan biaya rendah; (2) partisipasi dan jaringan kerja lokal serta sikap saling percaya akan membuat kelompok lebih mudah untuk mencapai keputusan bersama dan mengimplementasikan dalam kegiatan bersama; dan (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap mengurangi perilaku tidak baik dari anggota. Jika disimak, titik simpul kekuatan modal sosial (social capital) itu bertumpu pada dua hal: jaringan dan sumber daya. Itulah yang dapat dibaca dalam karya-karya para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Robert Putnam, James Coleman, Fukuyama, dan lain-lain. Mereka mengenalkan konsep modal sosial itu merujuk dua komponen penting yaitu: (1) jaringan sosial yang beroperasi di masyarakat yang memberi manfaat mutualistik bagi para warganya; dan (2) berbagai jenis sumber daya yang tersedia di masyarakat bersangkutan yang dapat didayagunakan bagi kepentingan publik. Oleh karena itu, upaya peningkatan nilai-nilai social capital merupakan salah satu alternatif untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat suku Bajo secara berkelanjutan. Peningkatan nilai-nilai modal sosial masyarakat dilakukan melalui penelitian terkait dengan Bagaimana kondisi implementasi modal sosial (social capital) masyarakat Suku Bajo di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara dalam kehidupan bermasyarakat? METODE PENELITIAN Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Januari-April 2015. Penentuan besarnya sampel menggunakan rumus solvin (70 sampel), dengan teknik penerikan sampel menggunakan teknik simple random sampling (acak sederhana). Data akan dikumpulkan dengan teknik wawancara dan pencatatan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Modal Sosial (Social Capital) Masyarakat Bajo Modal sosial dapat dipahami sebagai suatu norma atau nilai yang telah disepakati bersama oleh masyarakat yang dapat memperkuat jaringan kerjasama yang saling menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong tingkat kepercayaan antara sesama/kelompok/institusi dalam rangka tercapainya tujuan bersama. Modal sosial merupakan sumberdaya dan nilai yang dimiliki bersama untuk membangun demokrasi, meningkatkan sumberdaya dan kesejahteraan manusia. Dalam penelitian ini, aspek modal sosial yang dikaji adalah terjalinnya kerjasama yang baik, tumbuhnya kepercayaan dan kepedulian antar sesama, kepatuhan terhadap norma yang ada dan keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial masyarakat. Aspekaspek modal sosial tersebut diharapkan akan selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang lebih positif di kalangan masyarakat Suku Bajo. AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128 Hasil analisis data empiris menunjukkan bahwa secara umum masyarakat memiliki modal sosial yang tergolong kategori sedang/standar (skor 52) yaitu mereka dalam melakukan kerjasama masih mengedepankan kepentingan bersama, berprasangka baik 121 (percaya) terhadap sesama, patuh terhadap norma bersama, peduli atas kondisi orang lain dan selalu terlibat dalam organisasi sosial masyarakat. Secara rinci hasil penilaian terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki responden disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Penilain (Skor) terhadap kualitas modal sosial responden Variabel dan indikator Skor Modal Sosial X3 40 1. Tingkat Kerjasama antar sesama 51 2. Tingkat kepercayaan antar sesama 22 3. Tingkat kepatuhan terhadap norma 52 4. Tingkat kepedulian terhadap sesama 54 5.Tingkat keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial 20 Tingkat Penilaian Rendah Sedang Rendah Sedang Sedang Rendah Keterangan: Selang skor 0-100. Kategori penilaian: > 50 = rendah, 50-75 = sedang, dan > 75 = tinggi Tabel 1 menunjukkan bahwa dari Lima aspek modal social yang diteliti, Aspek kerjasama antar sesama dan ketaatan terhadap norma masih tergolong kategori sedang sedangkan aspek kepercayaan dan keterlibatan dalam organisasi social tergolong kategori rendah. Secara umum semua aspek Modal social masyarakat Suku Bajo termasuk dalam kategori rendah (skor 40). Kondisi kebersamaan dan ketaatan terhadap norma masyarakat yang relative masih terjaga ini akan menjadi tanggungjawab masyarakat untuk selalu memelihara dan meningkatkannya. Kebersamaan dan ketaatan terhadap norma adalah merupakan modal penting dalam menajalankan usaha agar dapat memberikan hasil yang memuaskan. Tingkat kepercayaan masyarakat suku Bajo menunjukan kategori rendah, artinya kepercayaan antara sesame masyarakat bajo sudah mulai tidak saling percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antar masyarakat Suku Bajo tingkat kepercayaan antara sesame sudah mulai memudah. Salah satu penyebab dari ketidaksaling percayaan antara sesame masyarakat bajo dimulai dari perilaku pinjam-meminjam barang yang tidak dikembalikan sesuai kesepakan bersama. Masyarakat yang meminjam dengan kesibukannya lupa mengembalikan barang yang dipinjamnya. Keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial masyarakat tergolong rendah (skor 25). Masyarakat Suku Bajo sangat jarang meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan organisasi sosial masyarakat. Masyarakat Suk Bajo kurang dan bahkan tidak meluangkan waktu untuk mengikuti pertemuan di desa/kelurahan. Alasan masyarakat kurang terlibat dalam kegiatan organisasi social antara laian disebabkan oleh kesibukan dalam mencari nafkah keluarga. Masyarakat Suku Bajo yang sebagian besar sumber pendapatannya adalah dari hasil penangkapan ikan. Waktu mereka setiap harinya dimanfaatkan untuk kegiatan dilaut, sehingga waktu untuk melakukan kegiatan yang tidak berkaitan dengan mata pencaharian mereka sangat kurang atau bahkan tidak ada. Analisis Modal Sosial (Social Capital) Masyarakat Bajo Berdasarkan pendapat Putnam (1995), Coleman (1998), dan Fukuyama (2002), maka indiktor untuk mengukur tinggi rendahnya modal sosial masyarakat antaral lain dapat dilihat dari; (1) jaringan sosial/kerja, (2) kepercayaan (saling percaya), (3) ketaatan terhadap norma, (4) kepedulian terhadap sesama, dan (5) keterlibatan dalam organisasi sosial. Jaringan social atau Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpulsimpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih aturan tau norma dan tujuan yang spesifik Analisis jaringan sosial memandang hubungan sosial sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah aktor individu di dalam jaringan, sedangkan ikatan adalah hubungan antar aktor tersebut. Bisa terdapat banyak jenis ikatan antar simpul. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128 122 jaringan social yang terjadi pada masyarakat Suku Bajodi Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara dominan terjadi pada tingkatan keluarga saja. Dalam bentuk yang paling sederhana, jaringan social yang telah terbentuk di masyarakat Suku Bajo adalah kekerabatan serumpun. Artinya hubungan keluarga menjadi pengikat mereka dalam menentukan suatu tindakan atau kegiatan yang dilakukan. Jaringan sosial Masyarakat Suku Bajo dengan suku-suku atau masyarakat lainnya menunjukan ikatan yang lemah. Bahkan ada beberapa informan mengatakan bahwa Suku Bajo sangat jarang melakukan kerjasama dengan orang luar diluar komunitas mereka. Jaringan social cenderung hanya terjadi sesama mereka yang dengan menggunakan simpul keluarga. Katalisator atau penghubung antar keluarga satu dengan keluarga lainya diperankan oleh anggota keluarga yang ditokohkan. Secara sederhana jaringan sosial yang terjadi pada Masyarakat Suku Bajo terlihat pada Gambar 1. A A B B A Keterangan : A : Orang yang dituakan dalam rumpun keluarga B : Orang yang menjadi penghubung antara dua rumpun keluarga. Gambar 1. Pola Jejaring Antara Masyaraka Suku Bajo di Kecamatan Kulisusu Kab. Muna Pemeliharaan jejaring sosial sangat tergantug padai A dan B. Orang yang menjadi panutan dalam keluarga (A) dipilih karena memiliki kelebihan dalam hal pengetahuan agama, adat istiadat dan kemampuan berkomunikasi bahasa indonesia. Orang yang dipercayaan untuk menjadi penghubungan antara rumpun keluarga (B) disamping memiliki pengethauan agama, adat istiadat dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia juga harus memiliki kedekatan dengan rumpun keluarga yang lain. Kedekatan dengan rumpun keluarga yang lain biasaya dibentuk melalui pertemanan dalam menjalankan usaha, menjalani pendidikan dan atau ada ikatan pernikahan. Masyarakat Suku Bajo seiring berjalannya waktu dan perkembangan peradaban, Suku Bajo sudah mulai membukan ruang untuk membangun jejaringa kerjasama dengan orang luar. Jaringan social dengan orang luar sebenarnya sudah mulai sejak lama pada saat mereka menjual hasil tangkapannya tetapi masih hubungan antara penjual dan pembeli yang tidak memiliki ikatan yang kuat. Namun setelah ada beberapa orang darat menikah dengan orang Bajo, mapa pada saat itu sudah mulai membangun kerjasama dengan orang luar. Kerjasama mula-mula dibangun melalui jalur dagang, lalu berkembang pada jalur politik. Orang menjadi penghubung atau yang merintis kerjasama dengan orang luar adalah masyarakat suku bajo yang sudah memiliki tingkat pendidikan yang memadai dan orang daratan yang menikah dengan orang bajo. Modal sosial masyarakat Suku Bajo memiliki ikatan yang lemah. Ikatan lemah modal sosial itu disebabkan oleh sebagian besar masyarakat masih berpikir bagaimana kepentingan dan kebutuhan keluarga terpenuhi. Pada indikator jaringan kerja menunjukan bahwa masyarakat cenderung hanya bekerjasama dengan keluarga dan krabat dekatnya. Pada indikator kepercayaan, mayarakat hanya percaya pada keluarga dan krabat dekat, norma yang diwariskan dan taat terhadap keluarga yang ditokohkan serta kurang percaya dengan orang luar termasuk norma yang dibawah. Indikator modal sosial lainnya juga menunjukan bahwa masyarakat bajo masih terskesan hanya taat terhadap aturan yang berlaku pada keluargannya, kurang peduli dengan kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan keluarga serta kurang terlibat pada organisasi sosial. Secara jelas dapat dilihat pada Tabel 2. AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128 123 Tabel 2. Kondisi modal sosial masyarakat Suku Bajo di Kecamatan Kulisusu Jenis Modal Kondisi modal sosial Masyarakat Suku Bajo di Unsur penilian Sosial Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara (1) (2) (3) Tujuan Untuk memenuhi kepentingan sendiri dan memikirkan Jaringan kurang kepentingan orang lain Sosial/kerja Sasaran Masih terbatas pada lingkungan keluarga (rumah tangga) dan krabat dekat Sumber Motivasi Sebagai besar terinspirasi dari kondisi diluar dirinya Penyelesaian Konflik Kurang peduli dengan permasalahan orang lain Pengambangan Kurang mengembangkan jaringan keluarga jaringan Antar sesama Hanya percaya terhadap famili, krabat/teman dekat dan tetangga dan Kurang percayaan terhadap warga Kepercayaan masyarakt yang tidak ada ikatan famili Nila/norma Hanya percaya kepada nilai/norma yang diwariskan masyarakat keluarganya dan nila/normal yang disepakati oleh komunitasnya Tokoh masyarakt Percaya terhadap tokoh masyarakat yang ada hubungan keluarga dan Kurang percaya terhadap orang luar Pihak Luar/LSM Percaya kepada orang luar/LSM yang sudah dikenal Pemerintah Kurang percaya terhadap pemerintah karena sering menipu masyarakat dan Percaya terhadap pemerintah yang ada hubungan keluarga atau persahabatan saja. Agama Sering tidak mentaati ajaran agama yang dianut seperti shalat tepat waktu, puasa dan lain lain. Ketaatan terhadap Nilai/norma Hanya taat terhadap nilai/norma yang menguntungkan norma masyarakat diri sendiri dan keluarga. Tokoh masyarakt Hanya taat terhadap tokoh masyarakat yang ada hubungan keluarga Pihak Luar/LSM Kurang taat terhadap orang luar/LSM terutama yang tidak memperhatikan nasib mereka Pemerintah Kurang taat terhadap peraturan pemerintah, seperti bayar PBB tepat waktu Tujuan Kepentingan pribadi tlebih diutamakan dibanding kepentingan kelomok Kepedulian terhadap Sasaran Terbatas pada lingkungan keluarga (rumah tangga) dan sesama krabat dekat Sumber Dominan karena ajakan orang lain dan jarang sekali Motivasi sebagai inisiatif sendiri Kurang memiliki tujuan yang jelas (ikut-ikutan) Ketelibatan Tujuan dalam Frekuensi Jarang terlibat organisasi Jumlah organisasi Tidak lebih dari satu organisasi sosial yang diikuti Sumber : Analisis data primer AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128 124 , KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: (1) Modal sosial masyarakat Suku Bajo Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara sudah mulai melemah, (2) Masyarakat Suku Bajo berpikir bagaimana kepentingan dan kebutuhan keluarga terpenuhi, hanya bekerjasama dan percaya dengan keluarga dan krabat dekatnya, taat terhadap keluarga, kurang peduli dengan kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan keluarga dan kurang terlibat pada organisasi sosial. Oleh karena itu, pemerintah perlu ada upaya pelestarian modal sosial masyarakat, melalui kegiatan sosialisasi ke generasi muda dan kegiatan yang dapat memperkuat ikatan modal sosial masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital: Prospect for a New Concept”. Academy of management Journal. Vol. 27. No. 1: 17 Coleman, J. 1998. ”Social Capital in the Creation of Human Cpaital”. (Article on-line). Didapat dari http://poverty.worldbank.org/library/subto pic/5038/ htm. Internet; diakses pada 20 Mei 2005. 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam: Yogyakarta. Nurulpaik, I. 2005. “Pendidikan Sebagai Investasi”. (Article on-line). Didapat dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0404/05/teropong/lainny a05. htm. Internet; Diakses pada 28 Juli 2005. Singarimbun, M. dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Suharto, E. & Yuliani. 2005. “Analisis Jaringan Sosial: Menerapkan Metode Asesmen Cepat dan Partisipatif (MACPA) Pada Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa Barat”. (Article on-line). Didapat dari http://www. policy.hu/suharto/makIndo4.html. Internet; Diakses pada 28 Juli 2005. Syabra, R. 2003. ”Modal Sosial: Konsep dan aplikasi”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol.V. N0.1:1-5. Tjondronegoro, S.M.P. 2005. “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial”. Jurnal Sosiologi Indonesia. Vol. I. No. 7: 21-22 Todaro, P.M. & Smith S.C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga. Umar, H. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Yokyakarta: Qalam AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128