Klik Disini

advertisement
ANALISIS SOCIAL CAPITAL MASYARAKAT BAJO
DI KECAMATAN KULISUSU KABUPATEN BUTON UTARA
Oleh: Dasmin Sidu1
ABSTRACT
The study aims to determine the condition bajo community social capital and how the
implementation of social capital in society. The study was planned to be implemented in the District of North
Buton Kulisusu on month from January to April 2015. The determination of the sample using the formula
solvin (70 samples), with a sample penerikan techniques using simple random sampling technique. Data were
collected by interview and recording was then analyzed using descriptive analysis. Results showed that; (1)
social capital Bajo District of Kulisusu North Buton has begun to weaken, (2) community Bajo think how the
interests and needs of families are met, only the cooperation and trust with the family nearby, obedient to the
family, is less concerned with activities nothing to do with the interests of the family and less involved in
social organizations. Therefore, the government should be no effort to preserve social capital, through
socialization to young people and activities that can strengthen the bonds of social capital in society.
Keywords: social capital, trust, social networking.
PENDAHULUAN
Dalam
teori
pembangunan
konvensional, memang masalah SDM belum
mendapat perhatian secara proporsional. Teori
pembangunan konvensional masih meyakini
bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu
terletak pada konsentrasi modal fisik (physical
capital) yang diinvestasikan dalam suatu proses
produksi seperti pabrik dan alat-alat produksi.
Modal fisik termasuk pula pembangunan
infrastruktur seperti transportasi, komunikasi,
dan irigasi untuk mempermudah proses
transaksi ekonomi. Namun, sekarang terjadi
pergeseran teori pem-bangunan, bahwa yang
dapat memacu pertumbuhan ekonomi justru
faktor modal sosial (social capital). Modal
social
penekanannya
pada
penanaman
kepercayaan dan membangun jaringan sosial.
Masyarakat Suku Bajo disebagian
tempat dikenal sebagai masyarakat yang
terpinggirkan dan memiliki keterbatasan dalam
mengakses infomasi pendidikan dan kesehatan.
Saran pendidikan dan kesehatan jarang
ditemukan ada disekitar tempat tinggal mereka.
Masyarakat Suku Bajo jika ingin mengikuti
pendidikan, terutama Sekolah Menengah
Pertama dan Sekolah Menengah Atas haru
berjuang lebih keras dari pada masyarakat lain
yang tinggal di daratan karena jarak sekolah
dengan tempat mereka relatif jauh.
Di
Kecamatan Kulisusu jarak sekolah SMP dan
SMA dengan pemukiman masyarakat Bajo
1
kurang lebih 2-4 kilo meter yang ditempuh
dengan berjalan kaki. Kondisi ini salah satu
penyebab sebagian besar masyarakat Bajo
hanya tamat Sekolah Dasar (SD) saja.
Secara sosial masyarakat Suku Bajo
sampai saat ini tetap teridentifikasi sebagai
masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak
memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan
yang dapat diandalkan serta tidak memiliki
modal yang memadai untuk bersaing dengan
masyarakat
kapitalis
atau
masyarakat
pengusaha yang secara sosial dan politik
memiliki daya, kekuatan dan kemampuan yang
memadai. Secara ekonomis kondisi kehidupan
masyarakat Suku Bajo tergolong miskin. Secara
politik mereka tetap tertindas oleh struktur dan
sistem politik pemerintah (negara) yang belum
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
dasar/kepentingan
masyarakat. Ketidakmampuan masyarakat secara sosial, ekonomi
dan politik menjadi salah satu ganjalan bagi
masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah dengan sesama saudaranya yang
secara sosial dan ekonomi telah berhasil.
Ketidakmampuan masyarakat Suku Bajo salah
satu penyebabnya dan bahkan menjadi
penyebab utama adalah semakin memudarnya
nilai-nilai social capital masyarakat.
Konsep modal sosial muncul dari
pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak
mungkin dapat secara individu mengatasi
berbagai masalah yang dihadapi. Diperlukan
adanya kebersamaan dan kerjasama yang baik
) Staf Pengajar pada
Jurusan Agribisnis
Fakultas
Oleo,ISSN
Kendari
AGRIPLUS,
Volume
25 Pertanian
NomorUniversitas
: 02 MeiHalu
2015,
0854-0128
118
119
dari segenap anggota masyarakat yang
berkepentingan untuk mengatasi masalah
tersebut. Pemikiran seperti inilah yang pada
awal abad ke 20 mengilhami seorang pendidik
di Amerika Serikat bernama Lyda Judson
Hanifan untuk memperkenalkan konsep modal
sosial (social capital) pertama kalinya. Dalam
tulisannya berjudul The Rural School
Community Centre tahun 1916 mengatakan
modal sosial, bukanlah modal dalam arti biasa
seperti harta kekayaan atau uang, tetapi lebih
mengandung arti kiasan, namun merupakan
aset atau modal nyata yang penting dalam
hidup bermasyarakat. Menurut Hanifan, dalam
modal sosial termasuk kemauan baik, rasa
bersahabat; saling simpati serta hubungan
sosial dan kerjasama yang erat antara individu
dan keluarga yang membentuk suatu kelompok
sosial (Syabra, 2003).
Sekalipun Hanifan telah menggunakan
istilah modal sosial hampir seabad yang lalu,
istilah tersebut baru mulai dikenal di dunia
akademis sejak akhir tahun 1980-an. Pierre
Bourdieu,
seorang
sosiolog
Perancis
kenamaan, dalam sebuah tulisan yang berjudul
"The Forms of Capital" tahun 1986 (Syabra,
2003) mengemukakan bahwa untuk dapat
memahami struktur dan cara berfungsinya
dunia sosial perlu dibahas modal dalam segala
bentuknya, tidak cukup hanya membahas
modal seperti yang dikenal dalam teori
ekonomi. Penting juga diketahui bentuk
transaksi yang dalam teori ekonomi dianggap
sebagai non-ekonomi karena tidak dapat secara
langsung
memaksimalkan
keuntungan
material. Padahal sebenarnya dalam setiap
transaksi modal ekonomi selalu disertai oleh
modal immaterial berbentuk modal budaya dan
modal sosial. Bourdieu (Syabra, 2003)
menjelaskan perbedaan antara modal ekonomi,
modal budaya dan modal sosial serta
menggambarkan bagaimana ketiganya dapat
dibedakan antara satu sama lain dilihat dari
tingkat kemudahannya untuk dikonversikan.
Berbagai
penelitian
menunjukkan
bahwa
modal
sosial
(social
capital)
merupakan fasilitator
penting
dalam
pembangunan ekonomi. Modal sosial yang
dibentuk berdasarkan kegiatan ekonomi dan
sosial dimasa lalu dipandang sebagai faktor
yang dapat meningkatkan dan jika digunakan
secara
tepat
mampu
memper-kuat
efektifitas pembangunan (Suharto dan Yuliani,
2005). Demikian juga Tjondronegoro (2005)
menjelaskan bahwa modal sosial dapat menjadi
unsur pendukung keberhasilan pembangunan,
termasuk
pula
dinamika
pembangunan
pedesaan dan pertanian di Indonesia. Seperti
dicontohkan oleh Tjondronegoro tentang
bentuk-bentuk jaringan daerah pedesaan dan
perkotaan seperti gotong royong, kelompok
arisan maupun pengajian dapat disebut sebagai
modal sosial. Sehingga dalam menjalankan
program pembangunan, khususnya pertanian
dan pedesaan bentuk-bentuk modal sosial
tersebut sebaiknya di perhati-kan dan
dimanfaatkan. Brehm dan Rahn (Bahtiar,1997)
menjelaskan bahwa modal sosial
adalah
jaringan kerjasama di antara warga masyarakat
yang memfasilitasi pencarian solusi dari
permasalahan yang dihadapi. Definisi lain
dikemukakan oleh Pennar (Bahtiar,1997)
bahwa modal sosial adalah jaringan hubungan
sosial yang mempengaruhi perilaku individual
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Prusak (2001) menjelaskan bahwa modal sosial
adalah kumpulan dari hubungan yang aktif di
antara manusia: rasa percaya, saling pengertian
dan kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat
anggota dalam sebuah jaringan kerja dan
komunitas yang memungkinkan adanya
kerjasama.
Putnam (Budi, 2005) merumuskan
bahwa modal sosial (social capital) menunjuk
pada ciri-ciri organisasi sosial yang berbentuk
jaringan-jaringan horisontal yang di dalamnya
berisi norma-norma yang memfasilitasi
koordinasi,
kerja
sama,
dan
saling
mengendalikan yang manfaatnya bisa dirasakan
bersama anggota-anggota organisasi. Dalam
konteks ekonomi, jaringan horisontal yang
terkoordinasi dan kooperatif itu akan
menyumbang pada kemakmuran. Modal sosial
dalam bentuk asosiasi-asosiasi horisontal ini
umpamanya
berperan
penting
dalam
mendukung kemajuan ekonomi pada komunitas
Cina perantauan (overseas Chinese) melalui apa
yang disebut dengan network capitalism.
Organisasi informal Cina perantauan di Asia
Tenggara, misalnya di Singapura dan Malaysia,
mendorong kemampuan kompetitif mereka
dalam kegiatan bisnis. Keunggulan bersaing
tersebut bukan hanya karena mereka memiliki
bakat kewiraswastaan, tapi juga berasal dari
perkumpulan dan lembaga dagangnya yang
kuat.
Coleman (1998) memandang modal
sosial (social capital) dari sudut pandang
struktur sosial yang memiliki berbagai tindakan
dan aturan yang dapat dimanfaatkan secara
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
120
bersama seperti; kewajiban dan harapan,
saluran informasi, ketaatan terhadap sanksi dan
norma-norma. Lebih lanjut Coleman melihat
modal sosial dari sisi fungsinya. Dia
menunjukkan bahwa struktur sosial dalam
bentuk jaringan yang sifatnya lebih ketat dan
relatif tertutup cenderung lebih efektif daripada
yang terbuka. Jaringan komunitas yang
dikembangkan kelompok perantau lazimnya
dibuat eksklusif, yang keanggotaannya didasari
relasi kekera-batan dan kesamaan daerah,
bahasa, etnis, dan agama, dan mungkin karena
ketertutupan itulah mereka bisa survive dan bisa
menguasai jaringan perdagangan komoditas dan
ketrampilan
tertentu
di
daerah
perantauan. Berbeda dengan Fukuyama (2002),
yang tulisannya dianggap kontroversial yang
menekankan bahwa modal sosial (social
capital) memiliki kontribusi yang cukup besar
atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban
dan dinamika ekonomi.
Berdasarkan beberapa penjelasan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa modal
sosial adalah suatu norma atau nilai yang telah
dipahami bersama oleh masyarakat yang dapat
memperkuat jaringan sosial/kerja yang positif,
terjalinnya
kerjasama
yang
saling
menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan
solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong
tingkat kepercayaan antara sesama dalam
rangka tercapainya tujuan bersama. Terkait
dengan hal ini, Paldam (Amin, 2002)
menyebutkan bahwa yang menjadi pilar modal
sosial (social capital) adalah kepercayaan
(trust), eksistensi jaringan (network), dan
kemudahan bekerja sama (ease of cooperation).
Grootaert
dan
Basteler
(2001)
mengungkapkan ada tiga manfaat modal sosial
(social capital), yaitu: (1) partisipasi individu
dan jaringan kerja sosial akan meningkatkan
ketersediaan informasi dengan biaya rendah; (2)
partisipasi dan jaringan kerja lokal serta sikap
saling percaya akan membuat kelompok lebih
mudah untuk mencapai keputusan bersama dan
mengimplementasikan dalam kegiatan bersama;
dan (3) memperbaiki jaringan kerja dan sikap
mengurangi perilaku tidak baik dari anggota.
Jika disimak, titik simpul kekuatan modal sosial
(social capital) itu bertumpu pada dua hal:
jaringan dan sumber daya. Itulah yang dapat
dibaca dalam karya-karya para pemikir seperti
Pierre Bourdieu, Robert Putnam, James
Coleman, Fukuyama, dan lain-lain. Mereka
mengenalkan konsep modal sosial itu merujuk
dua komponen penting yaitu: (1) jaringan
sosial yang beroperasi di masyarakat yang
memberi manfaat mutualistik bagi para
warganya; dan (2) berbagai jenis sumber daya
yang tersedia di masyarakat bersangkutan yang
dapat didayagunakan bagi kepentingan publik.
Oleh karena itu, upaya peningkatan nilai-nilai
social capital merupakan salah satu alternatif
untuk mengangkat harkat dan martabat
masyarakat suku Bajo secara berkelanjutan.
Peningkatan nilai-nilai modal sosial masyarakat
dilakukan melalui penelitian terkait dengan
Bagaimana kondisi implementasi modal sosial
(social capital) masyarakat Suku Bajo di
Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara
dalam kehidupan bermasyarakat?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini direncanakan akan
dilaksanakan
di
Kecamatan
Kulisusu
Kabupaten Buton Utara Januari-April 2015.
Penentuan besarnya sampel menggunakan
rumus solvin (70 sampel), dengan teknik
penerikan sampel menggunakan teknik simple
random sampling (acak sederhana). Data akan
dikumpulkan dengan teknik wawancara dan
pencatatan kemudian
dianalisis dengan
menggunakan analisis deskriptif
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Modal Sosial (Social Capital)
Masyarakat Bajo
Modal sosial dapat dipahami sebagai
suatu norma atau nilai yang telah disepakati
bersama oleh masyarakat yang dapat
memperkuat jaringan kerjasama yang saling
menguntungkan, menumbuhkan kepedulian dan
solidaritas yang tinggi dan dapat mendorong
tingkat
kepercayaan
antara
sesama/kelompok/institusi
dalam
rangka
tercapainya tujuan bersama. Modal sosial
merupakan sumberdaya dan nilai yang dimiliki
bersama untuk membangun demokrasi,
meningkatkan sumberdaya dan kesejahteraan
manusia. Dalam penelitian ini, aspek modal
sosial yang dikaji adalah terjalinnya kerjasama
yang baik, tumbuhnya kepercayaan dan
kepedulian antar sesama, kepatuhan terhadap
norma yang ada dan
keterlibatan dalam
aktivitas organisasi sosial masyarakat. Aspekaspek modal sosial tersebut diharapkan akan
selalu tumbuh dan berkembang ke arah yang
lebih positif di kalangan masyarakat Suku Bajo.
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
Hasil
analisis
data
empiris
menunjukkan bahwa secara umum masyarakat
memiliki modal sosial yang tergolong kategori
sedang/standar (skor 52) yaitu mereka dalam
melakukan kerjasama masih mengedepankan
kepentingan bersama, berprasangka
baik
121
(percaya) terhadap sesama, patuh terhadap
norma bersama, peduli atas kondisi orang lain
dan selalu terlibat dalam organisasi sosial
masyarakat. Secara rinci hasil penilaian
terhadap kualitas modal sosial yang dimiliki
responden disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Penilain (Skor) terhadap kualitas modal sosial responden
Variabel dan indikator
Skor
Modal Sosial X3
40
1. Tingkat Kerjasama antar sesama
51
2. Tingkat kepercayaan antar sesama
22
3. Tingkat kepatuhan terhadap norma
52
4. Tingkat kepedulian terhadap sesama
54
5.Tingkat keterlibatan dalam aktivitas organisasi sosial
20
Tingkat Penilaian
Rendah
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Keterangan: Selang skor 0-100. Kategori penilaian: > 50 = rendah,
50-75 = sedang, dan > 75 = tinggi
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari
Lima aspek modal social yang diteliti, Aspek
kerjasama antar sesama dan ketaatan terhadap
norma masih tergolong kategori sedang
sedangkan aspek kepercayaan dan keterlibatan
dalam organisasi social tergolong kategori
rendah. Secara umum semua aspek Modal
social masyarakat Suku Bajo termasuk dalam
kategori rendah (skor 40). Kondisi kebersamaan
dan ketaatan terhadap norma masyarakat yang
relative masih terjaga ini akan menjadi
tanggungjawab masyarakat untuk selalu
memelihara
dan
meningkatkannya.
Kebersamaan dan ketaatan terhadap norma
adalah merupakan modal penting dalam
menajalankan usaha agar dapat memberikan
hasil yang memuaskan.
Tingkat kepercayaan masyarakat
suku Bajo menunjukan kategori rendah, artinya
kepercayaan antara sesame masyarakat bajo
sudah mulai tidak saling percaya. Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
antar
masyarakat Suku Bajo tingkat kepercayaan
antara sesame sudah mulai memudah. Salah
satu penyebab dari ketidaksaling percayaan
antara sesame masyarakat bajo dimulai dari
perilaku pinjam-meminjam barang yang tidak
dikembalikan sesuai kesepakan bersama.
Masyarakat
yang
meminjam
dengan
kesibukannya lupa mengembalikan barang yang
dipinjamnya.
Keterlibatan
masyarakat
dalam
organisasi sosial masyarakat tergolong rendah
(skor 25). Masyarakat Suku Bajo sangat jarang
meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan
organisasi sosial masyarakat. Masyarakat Suk
Bajo kurang dan bahkan tidak meluangkan
waktu untuk mengikuti pertemuan di
desa/kelurahan. Alasan masyarakat kurang
terlibat dalam kegiatan organisasi social antara
laian disebabkan oleh kesibukan dalam mencari
nafkah keluarga. Masyarakat Suku Bajo yang
sebagian besar sumber pendapatannya adalah
dari hasil penangkapan ikan. Waktu mereka
setiap harinya dimanfaatkan untuk kegiatan
dilaut, sehingga waktu untuk melakukan
kegiatan yang tidak berkaitan dengan mata
pencaharian mereka sangat kurang atau bahkan
tidak ada.
Analisis Modal Sosial (Social Capital)
Masyarakat Bajo
Berdasarkan pendapat Putnam (1995),
Coleman (1998), dan Fukuyama (2002), maka
indiktor untuk mengukur tinggi rendahnya
modal sosial masyarakat antaral lain dapat
dilihat dari; (1) jaringan sosial/kerja, (2)
kepercayaan (saling percaya), (3) ketaatan
terhadap norma, (4) kepedulian terhadap
sesama, dan (5) keterlibatan dalam organisasi
sosial.
Jaringan social atau Jejaring sosial adalah
suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpulsimpul (yang umumnya adalah individu atau
organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih
aturan tau norma dan tujuan yang spesifik
Analisis jaringan sosial memandang hubungan
sosial sebagai simpul dan ikatan. Simpul adalah
aktor individu di dalam jaringan, sedangkan
ikatan adalah hubungan antar aktor tersebut.
Bisa terdapat banyak jenis ikatan antar simpul.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
122
jaringan social yang terjadi pada masyarakat
Suku Bajodi Kecamatan Kulisusu Kabupaten
Buton Utara dominan terjadi pada tingkatan
keluarga saja. Dalam bentuk yang paling
sederhana, jaringan social yang telah terbentuk
di masyarakat Suku Bajo adalah kekerabatan
serumpun. Artinya hubungan keluarga menjadi
pengikat mereka dalam menentukan suatu
tindakan atau kegiatan yang dilakukan.
Jaringan sosial Masyarakat Suku Bajo
dengan suku-suku atau masyarakat lainnya
menunjukan ikatan yang lemah. Bahkan ada
beberapa informan mengatakan bahwa Suku
Bajo sangat jarang melakukan kerjasama
dengan orang luar diluar komunitas mereka.
Jaringan social cenderung hanya terjadi sesama
mereka yang dengan menggunakan simpul
keluarga. Katalisator atau penghubung antar
keluarga satu dengan keluarga lainya
diperankan oleh anggota keluarga yang
ditokohkan. Secara sederhana jaringan sosial
yang terjadi pada Masyarakat Suku Bajo terlihat
pada Gambar 1.
A
A
B
B
A
Keterangan : A : Orang yang dituakan dalam rumpun keluarga
B : Orang yang menjadi penghubung antara dua rumpun keluarga.
Gambar 1. Pola Jejaring Antara Masyaraka Suku Bajo di Kecamatan Kulisusu Kab. Muna
Pemeliharaan jejaring sosial sangat
tergantug padai A dan B. Orang yang menjadi
panutan dalam keluarga (A) dipilih karena
memiliki kelebihan dalam hal pengetahuan
agama, adat istiadat dan
kemampuan
berkomunikasi bahasa indonesia. Orang yang
dipercayaan untuk menjadi penghubungan
antara rumpun keluarga (B) disamping
memiliki pengethauan agama, adat istiadat dan
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa
Indonesia juga harus memiliki kedekatan
dengan rumpun keluarga yang lain. Kedekatan
dengan rumpun keluarga yang lain biasaya
dibentuk
melalui
pertemanan
dalam
menjalankan usaha, menjalani pendidikan dan
atau ada ikatan pernikahan.
Masyarakat
Suku
Bajo
seiring
berjalannya
waktu
dan
perkembangan
peradaban, Suku Bajo sudah mulai membukan
ruang untuk membangun jejaringa kerjasama
dengan orang luar. Jaringan social dengan
orang luar sebenarnya sudah mulai sejak lama
pada saat mereka menjual hasil tangkapannya
tetapi masih hubungan antara penjual dan
pembeli yang tidak memiliki ikatan yang kuat.
Namun setelah ada beberapa orang darat
menikah dengan orang Bajo, mapa pada saat itu
sudah mulai membangun kerjasama dengan
orang luar. Kerjasama mula-mula dibangun
melalui jalur dagang, lalu berkembang pada
jalur politik. Orang menjadi penghubung atau
yang merintis kerjasama dengan orang luar
adalah masyarakat suku bajo yang sudah
memiliki tingkat pendidikan yang memadai dan
orang daratan yang menikah dengan orang bajo.
Modal sosial masyarakat Suku Bajo
memiliki ikatan yang lemah. Ikatan lemah
modal sosial itu disebabkan oleh sebagian besar
masyarakat
masih
berpikir
bagaimana
kepentingan dan kebutuhan keluarga terpenuhi.
Pada indikator jaringan kerja menunjukan
bahwa
masyarakat
cenderung
hanya
bekerjasama dengan keluarga dan krabat
dekatnya.
Pada
indikator
kepercayaan,
mayarakat hanya percaya pada keluarga dan
krabat dekat, norma yang diwariskan dan taat
terhadap keluarga yang ditokohkan serta
kurang percaya dengan orang luar termasuk
norma yang dibawah. Indikator modal sosial
lainnya juga menunjukan bahwa masyarakat
bajo masih terskesan hanya taat terhadap aturan
yang berlaku pada keluargannya, kurang peduli
dengan kegiatan yang tidak ada kaitannya
dengan kepentingan keluarga serta kurang
terlibat pada organisasi sosial. Secara jelas
dapat dilihat pada Tabel 2.
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
123
Tabel 2. Kondisi modal sosial masyarakat Suku Bajo di Kecamatan Kulisusu
Jenis Modal
Kondisi modal sosial Masyarakat Suku Bajo di
Unsur penilian
Sosial
Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara
(1)
(2)
(3)
Tujuan
Untuk memenuhi kepentingan sendiri dan memikirkan
Jaringan
kurang kepentingan orang lain
Sosial/kerja
Sasaran
Masih terbatas pada lingkungan keluarga (rumah
tangga) dan krabat dekat
Sumber Motivasi
Sebagai besar terinspirasi dari kondisi diluar dirinya
Penyelesaian Konflik Kurang peduli dengan permasalahan orang lain
Pengambangan
Kurang mengembangkan jaringan keluarga
jaringan
Antar sesama
Hanya percaya terhadap famili, krabat/teman dekat dan
tetangga dan Kurang percayaan terhadap warga
Kepercayaan
masyarakt yang tidak ada ikatan famili
Nila/norma
Hanya percaya kepada nilai/norma yang diwariskan
masyarakat
keluarganya dan nila/normal yang disepakati oleh
komunitasnya
Tokoh masyarakt
Percaya terhadap tokoh masyarakat yang ada hubungan
keluarga dan Kurang percaya terhadap orang luar
Pihak Luar/LSM
Percaya kepada orang luar/LSM yang sudah dikenal
Pemerintah
Kurang percaya terhadap pemerintah karena sering
menipu masyarakat dan Percaya terhadap pemerintah
yang ada hubungan keluarga atau persahabatan saja.
Agama
Sering tidak mentaati ajaran agama yang dianut seperti
shalat tepat waktu, puasa dan lain lain.
Ketaatan
terhadap
Nilai/norma
Hanya taat terhadap nilai/norma yang menguntungkan
norma
masyarakat
diri sendiri dan keluarga.
Tokoh masyarakt
Hanya taat terhadap tokoh masyarakat yang ada
hubungan keluarga
Pihak Luar/LSM
Kurang taat terhadap orang luar/LSM terutama yang
tidak memperhatikan nasib mereka
Pemerintah
Kurang taat terhadap peraturan pemerintah, seperti
bayar PBB tepat waktu
Tujuan
Kepentingan pribadi tlebih diutamakan dibanding
kepentingan kelomok
Kepedulian
terhadap
Sasaran
Terbatas pada lingkungan keluarga (rumah tangga) dan
sesama
krabat dekat
Sumber
Dominan karena ajakan orang lain dan jarang sekali
Motivasi
sebagai inisiatif sendiri
Kurang memiliki tujuan yang jelas (ikut-ikutan)
Ketelibatan Tujuan
dalam
Frekuensi
Jarang terlibat
organisasi Jumlah organisasi
Tidak lebih dari satu organisasi
sosial
yang diikuti
Sumber : Analisis data primer
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
124
,
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa:
(1)
Modal sosial masyarakat Suku Bajo
Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara
sudah mulai melemah, (2) Masyarakat Suku
Bajo berpikir bagaimana kepentingan dan
kebutuhan
keluarga
terpenuhi,
hanya
bekerjasama dan percaya dengan keluarga dan
krabat dekatnya, taat terhadap keluarga, kurang
peduli dengan kegiatan yang tidak ada
kaitannya dengan kepentingan keluarga dan
kurang terlibat pada organisasi sosial. Oleh
karena itu, pemerintah perlu ada upaya
pelestarian modal sosial masyarakat, melalui
kegiatan sosialisasi ke generasi muda dan
kegiatan yang dapat memperkuat ikatan modal
sosial masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital:
Prospect for a New Concept”. Academy of
management Journal. Vol. 27. No. 1: 17
Coleman, J. 1998. ”Social Capital in the Creation of
Human Cpaital”. (Article on-line).
Didapat
dari
http://poverty.worldbank.org/library/subto
pic/5038/ htm. Internet; diakses pada 20
Mei 2005.
2002. Trust: Kebajikan Sosial dan
Penciptaan
Kemakmuran.
Qalam:
Yogyakarta.
Nurulpaik, I. 2005. “Pendidikan Sebagai Investasi”.
(Article on-line). Didapat
dari
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0404/05/teropong/lainny
a05. htm. Internet; Diakses pada 28 Juli
2005.
Singarimbun, M. dan Sofian Effendi. 1989. Metode
Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.
Suharto, E. & Yuliani. 2005. “Analisis Jaringan
Sosial: Menerapkan Metode Asesmen
Cepat dan Partisipatif (MACPA) Pada
Lembaga Sosial Lokal di Subang, Jawa
Barat”. (Article on-line). Didapat dari
http://www. policy.hu/suharto/makIndo4.html. Internet; Diakses pada 28 Juli
2005.
Syabra, R. 2003. ”Modal Sosial: Konsep dan
aplikasi”. Jurnal Masyarakat dan
Budaya. Vol.V. N0.1:1-5.
Tjondronegoro, S.M.P. 2005. “Pembangunan, Modal
dan Modal Sosial”. Jurnal Sosiologi
Indonesia. Vol. I. No. 7: 21-22
Todaro, P.M. & Smith S.C. 2003. Pembangunan
Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta:
Erlangga.
Umar,
H. 2004. Metode Penelitian. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption : Human
Nature and the Reconstitution of Social
Order. Yokyakarta: Qalam
AGRIPLUS, Volume 25 Nomor : 02 Mei 2015, ISSN 0854-0128
Download