Program Bajo: Studi Partisipatif Perencanaan dan Implementasi Rumah Budidaya Oleh: Abdul Madiki Ringkasan Eksekutif PENDAHULUAN Suku Bajo banyak terdapat di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Mereka tersebar di 3 (tiga) Kecamatan dan telah mendiami daerah ini secara turun temurun, yaitu di Wangi-Wangi Selatan (Desa Mola Utara dan Mola Selatan), Kaledupa (Desa Samabahari, Sombano, dan Mantigola), dan Tomia (Desa Lamanggau). Mata pencaharian utama Suku Bajo adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap sederhana dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah. Pemukiman Suku Bajo terkesan kurang teratur, rumahnya didirikan di atas tumpukan batu karang yang diperoleh dari hasil penambangan karang batu di lingkungan sekitarnya. Kondisi ini merupakan masalah serius di Kabupaten Wakatobi, mengharuskan seluruh komponen masyarakat untuk ikut mengelola terumbu karang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan penataan perumahan yang berfungsi ganda, yakni layak huni dan sekaligus dapat menjadi lahan usaha budidaya ikan, tanpa harus merusak ekosistem terumbu karang seperti kebiasaan yang mereka lakukan selama ini. Melalui program “Rumah Budidaya”, diharapkan eksploitasi terhadap terumbu karang dapat diminimalisir atau bahkan ditiadakan, mata pencaharian alternatif dapat berkembang, dan meningkatkan kebersihan lingkungan dengan harapan mereka tidak membuang sampah di bawah kolong rumah (areal budidaya). Untuk mematangkan pelaksanaan Program Bajo (Rumah Budidaya), perlu dilakukan assesment (studi) di masyarakat, sehingga dapat diperoleh gambaran persepsi masyarakat terhadap program, penyiapan kelompok dan model pengelolaannya, kesepakatan lokasi dan kelayakan teknisnya, dan seterusnya sampai kepada perancangan bangunan fisiknya. Outcomes yang diperoleh dari hasil kegiatan ini adalah: terciptanya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat Bajo yang akses kegiatannya di sekitar terumbu karang yang rambah lingkungan; tereliminirnya bahkan dapat meniadakan pengrusakan terumbu karang yang selama ini dijadikan sebagai sumber mata pencaharian (menambang karang) oleh sebagian masyarakat Bajo; dan meningkatkan/memandirikan fungsi dan peran ibu rumah tangga dalam menunjang pendapatan keluarga. Tujuan yang ingin dicapai adalah: mendata profil masyarakat calon peserta program Rumah Budidaya; memfasilitasi calon lokasi settlement yang memenuhi syarat untuk program Rumah Budidaya; memfasilitasi penetapan anggota peserta program Rumah Budidaya di desa-desa lokasi COREMAP II Kabupaten Wakatobi; dan memfasilitasi pembangunan Rumah Budidaya bagi anggota peserta program. ii Luaran yang diperoleh adalah: tersedianya profil masyarakat calon peserta program Rumah Budidaya; tersedianya calon lokasi rumah budidaya yang memenuhi syarat untuk program Rumah Budidaya; terpilihnya anggota peserta program Rumah Budidaya di desa-desa lokasi COREMAP II Kab. Wakatobi; dan terbangunnya Rumah Budidaya bagi anggota peserta program dengan tipe sesuai kesepakatan yang terbangun saat assesment (studi). Program ini akan berdampak pada: perubahan sosial, yang berarti pemberdayaan untuk memandirikan masyarakat secara ekonomi dan penyadaran (sikap) dalam pelestarian lingkungan; perubahan ekonomi, yaitu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan warga nelayan/petani ikan dan masyarakat umumnya; dan perubahan lingkungan, yaitu pelestarian ekosistem terumbu karang khususnya dan sumberdaya pesisir dan laut umumnya. RUANG LINGKUP KEGIATAN Pada sub kegiatan ini, studi diarahkan pada indentifikasi pemukiman dan kondisi sosial ekonomi budaya (sosekbud) masyarakat Bajo. Kegiatan mencakup identifikasi terhadap: 1) profil masyarakat calon peserta; 2) persepsi Masyarakat; 3) masyarakat peserta; dan 4) calon Lokasi dan Rumah Budidaya. Sesuai arahan program, kepemilikan Rumah Budidaya adalah milik individu terpilih, sedangkan pengelolaan usaha budidaya didasarakan pada hasil assesment partisipatif. Berdasarkan informasi yang diperoleh pada hasil studi, diperoleh gambaran tentang lokasi dan kelayakannya serta kondisi masyarakat target, selanjutnya data/informasi ini dijadikan acuan untuk rancangan-bangun Rumah Budidaya di lokasi masyarakat target. METODOLOGI Studi dilakukan di tingkat kecamatan dan desa lokasi COREMAP II Kabupaten Wakatobi T.A. 2006. Terdapat 3 (tiga) kecamatan target yang didiami masyarakat Bajo di Kabupaten Wakatobi, yaitu Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, dan Tomia. Keseluruhan kegiatan berlangsung dalam jangka waktu 4 bulan, mulai bulan Juli sampai dengan Oktober 2006. Data yang dibutuhkan terdiri dari data sekunder dan primer. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi geografis, kependudukan, ekonomi masyarakat, dan infrastruktur dasar yang tersedia. Sedangkan data primer meliputi: profil masyarakat target, jumlah masyarakat target program di setiap desa, termasuk pendekatan pengelolaan usaha budidaya, dan calon lokasi rumah budidaya. Hasil studi digunakan sebagai acuan untuk rancang-bangun Rumah Budidaya yang dwi-fungsi, yaitu sebagai tempat tinggal dan tempat budidaya ikan. Data dikumpulkan dengan pendekatan desk research dan field research. Studi perencanaan Rumah Budidaya dilakukan dengan pendekatan partisipatif. Di samping pelibatan stakeholders terkait khususnya masyarakat target program, juga direkrut fasilitator lokal terutama Motivator Desa, LPSTK, Fasilitator Desa, dan SETO Program Coremap II Kabupaten Wakatobi. iii GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI Masyarakat Bajo di Kabupaten Wakatobi mendiami Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kaledupa, dan Tomia. Sesuai dengan wilayah Program COREMAP II Kabupaten Wakatobi, maka studi dilaksanakan di lima desa target, yaitu: Mola Utara dan Mola Selatan (Kecamatan Wangi-Wangi Selatan), Desa Samabahari dan Sombano (Kecamatan Kaledupa), dan Desa Lamanggau (Kecamatan Tomia). Desa Mola Utara dan Mola Selatan Desa Mola Utara dan Mola Selatan terletak di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Desa Mola Utara memiliki dua dusun yaitu, Dusun Segar dan Dusun Teratai. Secara administratif, Desa Mola Utara berbatasan di sebelah Utara dan Timur dengan Kelurahan Mandatai I, sebelah Selatan dengan Desa Mola Selatan dan sebelah Barat dengan laut. Desa Mola Selatan berbatasan di sebelah Utara dengan Desa Mola Utara, sebelah Timur dan Selatan dengan Kelurahan Mandati I, dan sebelah Barat dengan laut. Daratan Desa Mola Utara dan Mola Selatan merupakan hasil reklamasi yang berasal dari timbunan batu karang yang diperoleh penduduk melalui penambangan batu karang. Reklamasi laut ini mulai dilakukan sejak tahun 1970-an. Hasil reklamasi berupa tumpukan batu karang tersebut selanjutnya dijadikan “tempat duduk” (identik dengan daratan) rumah penduduk. Data tahun 2005 menunjukkan, jumlah penduduk Desa Mola Utara sebanyak 2.757 jiwa dan terdiri dari 619 KK dengan perincian 1.322 jiwa laki-laki dan 1.435 jiwa perempuan (Kantor Desa Mola Utara, 2005). Jumlah penduduk Desa Mola Salatan sebanyak 3.063 jiwa dan terdiri dari 844 KK dengan perincian 1.487 jiwa laki-laki dan 1.576 jiwa perempuan (Kantor Desa Mola Selatan, 2005). Tingkat pendidikan masyarakat Desa Mola Utara relatif sangat rendah. Jumlah penduduk yang mempunyai pendidikan SD sederajat sebanyak 955 orang, tamatan SLTP 125 orang, tamatan SLTA 90 orang, tamatan Diploma 3 orang dan sarjana 8 orang (Monografi Desa Mola Utara, 2005). Minimnya partisipasi sekolah di kedua desa tersebut akibat rendahnya kepedulian orang tua untuk menyekolahkan anakanaknya. Secara umum, kelembagaan masyarakat dapat berupa organisasi formal maupun non-formal yang berkaitan dengan kegiatan kemasyarakatan. Keberadaan kelembagaan ini cukup penting bagi pengembangan sosial ekonomi dan budaya masyarakat serta dalam menjalankan pemerintahan setempat. Tahun 2006, Program COREMAP II memfasilitasi terbentuknya LPSTK (Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang). Di samping itu, terdapat Remaja Masjid yang berperan sekaligus sebagai Karang Taruna, kelembagaan nalayan ikan hidup, dan koperasi. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Desa Mola adalah sebagai nelayan dengan aktivitas dilakukan dalam dua bentuk, yaitu: 1) penangkapan kawasan laut dalam, rata-rata masyarakat melakukannya pada musim Timur untuk menangkap iv ikan tuna, cakalang, dan tongkol; dan 2) penangkapan kawasan laut dangkal yang dilakukan masyarakat pada musim Barat untuk menangkap jenis-jenis ikan karang. Kondisi oseonografis Desa Mola dipengaruhi oleh keadaan laut Flores dan laut Banda. Pada saat musim Barat di perairan Desa Mola akan terjadi ombak dan arus yang cukup besar, sedang pada musim Timur kondisinya relatif agak tenang. Tingkat salinitas perairannya bervariasi dari pesisir pantai sampai ke off-shore dan laut lepas. Salinitas pada daerah pesisir pantai rata-rata 27 - 28 per mil, semantara daerah off-shore dan laut lepas salinitasnya relatif sama, yaitu berkisar 30 - 32 per mil. Secara bio-ekologis perairan Desa Mola terdiri dari beberapa ekosistem penting, yaitu lamun dan terumbu karang dimana pada ekosistem ini hidup beragam jenis biota. Pada ekosistem lamun dihuni oleh jenis ikan boronang, kepiting, teripang, kerang. dan lain-lain, sedangkan pada ekosistem terumbu karang dihuni oleh ratusan jenis biota laut. Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh nelayan Desa Mola sangat beragam, mulai dari yang tradisional sampai yang modern, yang dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sekitar perairan desa sampai ke perairan internasional. Selama ini di Desa Mola tidak terdapat tempat pendaratan ikan seperti TPI. Kapal-kapal penampung ikan tuna merapat di Desa Mola sambil menunggu nelayan yang akan menjual hasil tangkapannya. Selain itu, tempat pendaratan ikan juga dilakukan di Pasar Sentral Mandati sebagai tempat jual beli ikan bagi masyarakat umum yang buka setiap hari. Pasar ini terletak di Kelurahan Mandati yang berjarak sekitrar 100 m dari Desa Mola. Ragam isu atau permasalahan yang terdapat di Desa Mola berdampak secara nyata terhadap berbagai kegiatan sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat. Beberapa isu penting di antaranya adalah: (1) Isu Lingkungan; penurunan jumlah serta mutu terumbu karang dan jenis-jenis biota yang terkandung di dalamnya (utamanya ikan) sebagai akibat dari penggunaan bahan peledak dan potasium (bius) dalam menangkap ikan,dan penambangan batu karang untuk kebutuhan bangunan; (2) Isu Pemanfaatan Sumberdaya Laut; pengalihan profesi masyarakat khususnya yang melakukan penambagan batu karang dan pasir; (3) Isu Sosial Ekonomi; masih kurangnya sosialisasi penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan di masyarakat, rendahnya kapasitas sumberdaya manusia, belum adanya MPA strategis yang dapat meningkatkan pendapatan selain MPU, dan (4) Isu Kelembagaan, kelembagaan formal yang ada saat ini belum memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menjalankan perannya. Desa Samabahari dan Sombano Secara geografis, lokasi Desa Samabahari berbatasan dengan Desa Laolua di sebelah Barat dan Pulau Hoga di sebelah Timur. Desa Samabahari tendiri dari dua dusun yaitu Dusun Sampela di bagian Setatan dan Dusun Pagana di bagian Utara. Dusun Sampela tampak Iebih baik keadaannya dilihat dari pemukiman yang lebih permanen dan Iebih teratur, banyak penduduk dusun ini yang lebih berpendidikan. Sedangkan di Dusun Pagana, masih banyak ditemukan perumahan tancap yang sederhana dan kurang teratur. v Desa Sombano merupakan salah satu desa di Kecamatan Kaledupa yang terletak di ujung barat Pulau Kaledupa, memiliki dua dusun yaitu Dusun Toruntu dan Dusun One dengan tekstur tanah berbatu. Secara geografis, Desa Sombano di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda; Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Laolua; Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Banda; Sebelah Barat berbatasan dengan Wangi-Wangi Selatan. Desa Samabahari mempunyai jumlah penduduk sebanyak 1.106 jiwa yang terdiri dari 552 jiwa laki-laki dan 554 jiwa perempuan, dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 251 KK, tersebar di dua dusun yaitu, Dusun Sampela dan Dusun Pagana (COREMAP II Kab. Wakatobi, 2006). Desa Sombano mempunyai jumlah penduduk sebanyak 595 jiwa, terdiri dari 296 jiwa laki-laki dan 299 jiwa perempuan dan terdiri dari 127 KK, tersebar di dua dusun yaitu, Dusun Toruntu dan Dusun One (COREMAP II Kab. Wakatobi, 2006). Saat ini hanya terdapat tiga KK Suku Bajo di Desa Sombano, inipun mereka telah kawin dengan penduduk asli Kaledupa, namun masih tetap tinggal di laut. Berdasarkan survei yang dilakukan LIPI terhadap sekitar 100 rumah tangga di Desa Samabahari, lebih dan 80% merupakan penduduk asli Bajo (Sampela), sekitar 17% merupakan suku Bajo dari darat dan hanya 1% berasal dan Makassar. Secara umum, pendidikan penduduk Desa Samabahari dapat dikatakan rendah, terlihat dan besarnya proporsi mereka yang berpendidikan Sekolah Dasar (SD), tidak tamat SD dan sama sekali tidak pernah sekolah. Tidak ada data tertulis dari kantor desa yang dapat memberikan gambaran secara nyata jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan. Rendahnya pendidikan masyarakat Bajo dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain minimnya akses dan fasilitas pendidikan. Organisasi sosial yang terdapat di Desa Sama Bahari adalah kelompok Karang Taruna, namun kegiatannya hanya sebatas pada kegiatan olah raga. Organisasi sosial yang lain adalah kelompok pengajian yang jumlah anggotanya masih sangat terbatas. Selain itu pula terdapat sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terdapat di Desa Sama Bahari yang bergerak dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Komposisi jenis pekerjaan penduduk menunjukkan sektor perikanan sebesar 96,1%, jasa 3,2%, dan perdagangan 0,7% (PMB COREMAP II Wakatobi, 2005). Kondisi oseonografis Desa Samabahari dipengaruhi oleh keadaan laut Flores dan laut Banda dimana pada saat musim Barat dan Timur perairan Desa Sama Bahari akan terjadi ombak dan arus yang cukup besar sedang pada musim Timur kondisinya relatif agak tenang. Tingkat salinitas perairanya bervariasi dari pesisir pantai sampai ke off-shore dan laut lepas. Salinitas pada daerah pesisir pantai rata-rata 27 - 28 per mil, semantara daerah off-shore dan laut lepas salinitasnya relatif sama, yaitu berkisar 30 - 32 permil. Secara bio-ekologis, perairan Desa Samabahari terdiri dari empat ekosistem penting, yaitu pasir, lamun, mangrove, dan terumbu karang. Pada ekosistem pasir didomonasi berbagai jenis moluska, echinodermata dan bivalva berukuran kecil (antara lain kepiting, teripang, udang-udangan, pari dan lain-lain), ekosistem lamun dihuni oleh jenis ikan boronang, kepiting, teripang, kerang dan lain-lain, sedangkan vi pada ekosistem mangrove dihuni oleh beberapa jenis ikan, seperti ikan samandar, boronang dan beberapa jenis moluska serta bivalva. Sebagian perumahan penduduk yang menggunakan fondasi rumah dan timbunan batu karang, dapat memanfaatkan kolong rumah untuk berbagai keperluan seperti dapur, tempat bersantai, menyimpan kayu bakar dan memelihara ayam. Demikian pula beberapa kolong rumah penduduk juga dimanfaatkan untuk tempat usaha seperti berdagang, membuat sampan/perahu, membuat atap rumbia dan membuat jala. Sarana produksi dan ekonomi yang terdapat di Desa Samabahari adalah perahu motor (body mesin) yang lebih dikenal dengan motor TS. Hasil survei rumah tangga menunjukkan sekitar 40 persen memiliki perahu motor yarg umumnya kekuatan sekitar 5 PK. Sedangkan armada penangkap ikan yang merupakan kapal motor berkekuatan 20 PK hanya dimiliki oleh dua warga di Desa Samabahari, selebihnya hanya memiliki perahu tanpa motor. Beberapa alat tangkap yang terdapat di Desa Samabahari adalah bagan/rumpon, jaring, pancing, bubu, sarana budidaya rumput laut, kacamata tradisional, panah dan tombak. Alat tangkap yang paling banyak dipergunakan adalah pancing. Beberapa isu atau permasalahan di Desa Samabahari dapat dikelompokan sebagai berikut: 1) Isu Lingkungan, rusaknya terumbu karang akibat penggunaan bius dan bom untuk menangkap ikan baik yang dilakukan oleh masyarakat desa maupun luar desa, dan rusaknya ekosistem mangrove; 2) Isu Pemanfaatan Sumberdaya Laut, potensi sumberdaya ikan dan jenis biota jenis lainnya yang melimpah mendorong eksploitasi potensi tersebut, lokasi budidaya rumput laut sangat luas namun penanganannya masih menggunakan sistem sederhana sehingga apabila terserang hama keputihan nelayan pembudidaya mengalami kerugian, dan tidak seimbangnya daya beli masyarakat atas hasil tangkapan ikan dengan jaring lamba hingga ikan terkadang rusak atau dibuang; 3) Isu Sosial, terjadinya konflik antara nelayan Desa Samabahari dengan nelayan dari luar dalam pemanfaatan sumberdaya laut di perairan Desa Samabahari, minimnya tingkat pendidikan masyarakat khususnya anak-anak usia sekolah sebagai akibat fasilitas pendukung proses belajar mengajar relatif tidak memadai serta tidak tersedianya sekolah lanjutan yang dapat dijangkau dengan mudah; 4) Isu Kelembagaan, tidak terdapatnya lembaga ekonomi tempat simpan pinjam masyarakat, dan kelembagaan formal yang ada saat ini belum memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menjalankan perannya. Desa Lamanggau Desa Lamanggau berada pada posisi geografis 123o51’130” Bujur Timur (BT) dan 05o43’50” Lintang Selatan (LS). Desa ini berada di Pulau Tolandona, merupakan salah satu dari sembilan pulau yang masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tomia. Desa Lamanggau berada di ujung barat pulau ini, terpisahkan oleh selat kecil dengan Pulau Tomia, perairannya berbatasan dan masuk pada perairan Desa Waitii Timur dan Waitii Barat. vii Secara administrasi, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Waitii Barat, sebelah Timur dengan Desa Waitii, sebelah Selatan dengan Desa Patipelong, dan sebelah Barat dengan wilayah perairan Kaledupa. Luas wilayah Desa Lamanggau 4 km2, terdiri dari 3 (tiga) dusun yakni Dusun Ketapang, Dusun Lasoilo, dan Dusun Dunia Baru. Desa Lamanggau memiliki jumlah penduduk sebanyak 702 jiwa dengan komposisi laki-laki 360 jiwa dan perempuan sebanyak 342 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 218. Mayoritas penduduk Desa Lamanggau adalah Suku Bajo dan selebihnya adalah warga pendatang dari Waitii. Dengan demikian, bahasa yang dipergunakan ada dua dialek; dialek Tomia asli dan dialek Bajo. Seperti halnya masyarakat nelayan pada umumnya, tingkat pendidikan masyarakat Bajo di Desa Lamanggau umumya rendah. Proporsi terbesar adalah pada mereka yang menamatkan sekolah dasar (38,51%). Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan adalah: Belum/Tidak Sekolah 17,98%, Tidak Tamat SD 30,27% Tamat SD 23,34%, Tamat SMP 23,66%, Tamat SMU 3,4%, dan S1/D3 1,26% (Monografi Desa Lamanggau, 2005). Pada umumnya mata pencaharian masyarakat Desa Lamanggau adalah nelayan (68,96%), selebihnya adalah PNS (4,84%), tani (13,1%) dan pedagang (13,1%) (Monografi Desa Lamanggau, 2005). Usaha nelayan dalam menangkap ikan menggunakan alat tangkap seperti bubu, pancing, jaring. Tetapi ada juga nelayan budidaya rumput laut, keramba jaring apung, pencari teripang, dan pedagang pengumpul hasil laut. Desa Lamanggau tidak memiliki pasar tradisional sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat Desa Lamanggau di samping diperoleh dari pasokan pasar tradisional di Kelurahan Tongano Barat dengan intensitas 4 kali dalam seminggu yaitu: Senin, Rabu, Jumat dan Minggu. Di samping itu, juga dari pedagang keliling dan kios-kios yang terdapat di Desa Lamanggau. Potensi sumberdaya laut terutama perikanan sangat besar karena desa ini dikelilingi oleh sebaran terumbu karang yang sangat sehat, sebelah Barat ada dua atoll yaitu atoll/karang Kaledupa merupakan pulau di dalam laut yang sangat eksotik dan memiliki kelimpahan karang dan ikan sangat besar, sebelah Utara ada jejeran tebing karang yang juga sudah dijadikan salah satu lokasi penyelaman wisataman Wakatobi Dive Resort, sebelah Selatan dan Timur merupakan kawasan terumbu karang penyangga yang juga sangat berlimpah. Nelayan Lamanggau mempunyai sarana penangkapan ikan yang bervariasi, mulai dari perahu motor, body TS, hingga sampan (koli-koli). Sarana perahu motor ini memiliki kapasitas di atas 10 ton yang dipergunakan untuk menangkap ikan dengan memakai alat tangkap jaring lamba, dengan anak buah kapal sebanyak 3 5 orang dan 1 orang pimpinan. Desa ini belum memiliki tempat pendaratan ikan seperti TPI. Ikan-ikan hasil tangkapan dibongkar di pelabuhan mini, papalele yang akan membeli ikan dan menyebarkannya kembali ke Kelurahan Waha - Onemay dan menuju timur, Kelurahan Tongano Usuku. Isu Lingkungan; penurunan jumlah serta mutu terumbu karang dan jenis-jenis biota yang terkandung di dalamnya (utamanya ikan) sebagai akibat penggunaan bahan viii peledak dan bius, abrasi pantai pada daerah mangrove dan kondisi bakau semakin memprihatinkan. Isu Pemanfaatan Sumberdaya Laut; terjadi ketidakseimbangan daya beli masyarakat dengan hasil tangkapan menyebabkan ikan rusak atau dibuang. Isu Sosial; masyarakat kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan pasca panen untuk mengantisipasi volume hasil tangkapan yang berlebih. Isu Kelembagaan; tidak terdapatnya lembaga ekonomi tempat simpan pinjam masyarakat, kelembagaan formal yang ada saat ini belum memiliki kapasitas dan kemampuan yang memadai untuk menjalankan perannya, dan kurangnya SDM yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk diangkat menjadi perangkat kelembagaan. MEMBANGUN RUMAH BUDIDAYA Sosialsasi Program Sosialisasi program Rumah Budidaya dilaksanakan di masing-masing kecamatan/desa lokasi COREMAP II dan terdapat Suku Bajo di lokasi tersebut. Sosialisasi dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat, kepala desa, LPSTK, MD, CF, dan SETO. Sosialisasi menghasilkan kesepakatan umum yang berlaku untuk semua desa target dan khusus yang hanya berlaku untuk desa target tertentu. Penetapan Peserta dan Lokasi Penetapan peserta terpilih (KK-individu pemilik Rumah Budidaya) sepenuhnya diserahkan kepada hasil musyawarah antara masyarakat, tokoh masyarakat, dan kepala desa, demikian pula dengan kelompok pengelola. Pengadaan Material Material bangunan Rumah Budidaya meliputi semen, kerikil, pasir, kayu balok dan papan, paku, besi, dan lain-lain disediakan oleh pihak pelaksana program dan diantarkan ke lokasi masing-masing. Membangun Rumah Budidaya Untuk pembuatan Rumah Budidaya (sesuai hasil studi partisipatif): a) Bahan (untuk tiang dan kelengkapannya) disediakan oleh program, sedangkan atas rumah adalah milik/tanggungan masyarakat peserta; b) Pengerjaan dilakukan oleh masyarakat terpilih (peserta), baik secara individu ataupun secara gotong-royong oleh kelompok pengelola; c) satu unit rumah dalam program ini berukuran 6 m x 7 m, 9 tiang penyanggah beton, gelagar keliling dan silang tengah dari balok kayu; d) Pemilikan Rumah Budidaya adalah individu terpilih, sedangkan pengelolaan usaha budidaya dilakukan oleh kelompok (sesuai dengan hasil dialog partisipatif dengan masyarakat); e) Jumlah unit rumah yang akan dibangun sebanyak 25 unit yang terdiri atas: 10 unit di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan; 10 unit di Kecamatan Kaledupa, dan 5 unit di Kecamatan Tomia. Proporsi ini disesuaikan dengan sebaran (jumlah) suku Bajo yang terdapat di ke-3 kecamatan tersebut; dan f) Proses pembangunan Rumah Budidaya oleh masyarakat peserta program dan ix Rumah Budidaya yang telah selesai pembangunannya serta telah diisi dengan bibit ikan. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan pembangunan Rumah Budidaya adalah partisipatif berbasis masyarakat (community based participatif). Oleh karena itu, maka mulai dari assesment (studi) dan sosialisasi, perencaraan, sampai dengan pelaksanaan senantiasa dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat dan keputusan berlandas pada hasil musyawarah dan mufakat masyarakat. Monitoring dan evaluasi (MONEV) dilaksanakan secara kontinyu, dengan melibatkan SETO, CF, dan MD yang juga merupakan staf lapangan di tingkat kecamatan dan desa dari COREMAP II. Di samping itu, juga dari pihak pelaksana kegiatan (P3M – LPPM Unhalu) senantiasa melakukan MONEV secara berkala. Hasil yang sangat menggembirakan adalah kemanfaatan dari Rumah Budidaya tersebut bagi masyarakat peserta program, tampak bahwa mereka sudah mengisi kolong rumah tesebut dengan bibit ikan. Dampak positif lainnya adalah dapat menekan eksploitasi terumbu karang yang senantiasa mereka gunakan dalam membuat rumah, juga menghindarkan mereka dari membuang sampah di bawah kolong rumah (sanitasi lingkungan). PENUTUP Kesimpulan (1) Berdasarkan hasil assesment (studi) di masyarakat Bajo pada tiga kecamatan dan lima desa wilayah program, Program Bajo (Rumah Budidaya) cukup mendapat respon positif dan memberi harapan, karena di samping berdampak pada kelestarian lingkungan (terumbu karang) juga terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. (2) Seluruh tahapan kegiatan Program Bajo, mulai dari studi sampai dengan pembuatan Rumah Budidaya berjalan baik, ditunjukan oleh rampungnya seluruh rangkaian kegiatan. Rekomendasi (1) Karena Program Bajo (Rumah Budidaya) akan sangat membantu masyarakat Bajo dan juga kelestarian lingkungan (terumbu karang), maka diharapkan program yang sama dapat dilanjutkan dengan menambah jumlah unit Rumah Budidaya dan masyarakat target. (2) Jika program yang sama direplikasi, diharapkan kepada pihak program untuk dapat memberikan durasi yang lebih panjang kepada pihak pelaksana pekerjaan di dalam pelaksanaan pembangunan fisik. Di samping itu, juga perlu dipertimbangkan pendekatan pelaksanaan pembangunan fisik rumah budidaya yang berbasis masyarakat seperti yang dilaksanakan dalam program ini, sebaiknya dilakukan pendekatan proyek (dilaksanakan oleh konsultan fisik). x