BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diare 2.1.1. Definisi Diare Diare menurut definisi Hippocrates adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat), konsistensi tinja menjadi lebih lembek atau cair. (Bagian ilmu kesehatan anak FK UI, 1998).Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan tanpa lender darah. (Aziz, 2006).Diare dapat juga didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana terjadi perubahan dalam kepadatan dan karakter tinja, atau tinja cair dikeluarkan tiga kali atau lebih perhari. (Ramaiah,2002).Diare merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal atau penyakit lain diluar saluran pencernaan. (Ngastiyah, 2003). Jadi diare adalah buang air besar yang frekuensinya lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer. 2.1.2. Klasifikasi Diare Klasifikasi diare berdasarkan lama waktu diare terdiri dari : a. Diare akut Diare akut yaitu buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi tinja yang lembek atau cair dan bersifat mendadak datangnya dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu. Menurut Depkes (2002), diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari tanpa diselang-seling berhenti lebih dari 2 hari. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dari tubuh penderita, gradasi penyakit diare akut dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu: (1) Diare tanpa dehidrasi, (2) Diare dengan dehidrasi ringan, apabila cairan yang hilang 2-5% dari berat badan, (3) Diare dengan dehidrasi sedang, apabila cairan yang hilang berkisar 5-8% dari berat badan, (4) Diare dengan dehidrasi berat, apabila cairan yang hilang lebih dari 8-10%. b. Diare persisten Diare persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan kelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronik. c. Diare kronik Diare kronis adalah diare hilang-timbul, atau berlangsung lama dengan penyebab non-infeksi, seperti penyakit sensitif terhadap gluten atau gangguan metabolisme yang menurun. Lama diare kronik lebih dari 30 hari. Menurut (Suharyono, 2008), diare kronik adalah diare yang bersifat menahun atau persisten dan berlangsung 2 minggu lebih. 2.1.3. Etiologi Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu : a. Faktor Infeksi 1. Infeksi enteral Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi parenteral ini meliputi: (a) Infeksi bakteri: Vibrio, E.coli, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas dan sebagainya. (b) Infeksi virus: Enteroovirus (Virus ECHO, Coxsackie, Poliomyelitis), Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain. (c) Infestasi parasite : Cacing (Ascaris, Trichiuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Trichomonas hominis), jamur (candida albicans). 2. Infeksi parenteral Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain diluar alat pencernaan, seperti Otitis Media akut (OMA), Tonsilofaringitis, Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun. b. Faktor Malabsorbsi 1. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltose dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktrosa. 2. Malabsorbsi lemak 3. Malabsorbsi protein c. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan. d. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar. e. Faktor Pendidikan Menurut penelitian, ditemukan bahwa kelompok ibu dengan status pendidikan SLTP ke atas mempunyai kemungkinan 1,25 kali memberikan cairan rehidrasi oral dengan baik pada balita dibanding dengan kelompok ibu dengan status pendidikan SD ke bawah. Diketahui juga bahwa pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas anak balita. Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, semakin baik tingkat kesehatan yang diperoleh si anak. f. Faktor pekerjaan Ayah dan ibu yang bekerja Pegawai negeri atau Swasta rata-rata mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Jenis pekerjaan umumnya berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pendapatan. Tetapi ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai risiko lebih besar untuk terpapar dengan penyakit. g. Faktor umur balita Sebagian besar diare terjadi pada anak dibawah usia 2 tahun. Balita yang berumur 12-24 bulan mempunyai resiko terjadi diare 2,23 kali dibanding anak umur 25-59 bulan. h. Faktor lingkungan Penyakit diare merupakan merupakan salah satu penyakit yang berbasisi lingkungan. Dua faktor yang dominan yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian penyakit diare. i. Faktor Gizi Diare menyebabkan gizi kurang dan memperberat diarenya. Oleh karena itu, pengobatan dengan makanan baik merupakan komponen utama penyembuhan diare tersebut. Bayi dan balita yang gizinya kurang sebagian besar meninggal karena diare. Hal ini disebabkan karena dehidrasi dan malnutrisi. Faktor gizi dilihat berdasarkan status gizi yaitu baik = 100-90, kurang = <90-70, buruk = <70 dengan BB per TB. j. Faktor sosial ekonomi masyarakat Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan. k. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi secara sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat berlangsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan kemulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan dan dapur. Bakteri yang terdapat pada saluran pencernaan adalah bakteri Etamoeba colli, salmonella, sigella. Dan virusnya yaitu Enterovirus, rota virus, serta parasite yaitu cacing (Ascaris, Trichuris), dan jamur (Candida albikan). l. Faktor terhadap Laktosa (susu kalemg) Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI resiko untuk menderita diare lebih besar daripada bayi yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Menggunakan botol susu ini memudahkan pencemaran oleh kuman sehingga menyebabkan diare. Dalam ASI mengandung antibody yang dapat melindungi kita terhadap berbagai kuman penyebab diare seperti Sigella dan V. Cholerae. 2.1.4. Patogenesis Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah: a. Gangguan osmotik Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilewati air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara isi usus dengan cairan ekstraseluler. Diare terjadi jika bahan yang secara osmotic dan sulit diserap. Bahan tersebut berupa larutan isotonik dan hipertonik. Larutan isotonik, air dan bahan yang larut didalamnya akan lewat tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare. Bila substansi yang diabsorbsi berupa larutan hipertonik, air, dan elektronik akan pindah dari cairan ekstraseluler kedalam lumen usus sampai osmolaritas dari usus sama dengan cairan ekstraseluler dan darah,sehingga terjadi pula diare. b. Gangguan sekresi Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus. Akibat rangsangan mediator abnormal misalnya enterotoksin, menyebabkan villi gagal mengabsorbsi natrium, sedangkan sekresi klorida disel epitel berlangsung terus atau meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan sekresi air dan elektrolit kedalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus mengeluarkannya sehingga timbul diare. Diare mengakibatkan terjadinya: (1) Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hypokalemia. (2) Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal. (3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan yang berlebihan karena diare dan muntah. Kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan, sehingga akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat menyebabkan kejang dan koma (Suharyono, 2008). c. Gangguan motilitas usus Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltic usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula. Patogenesis diare akut adalah: (a) Masuknya jasad renik yang msih hidup kedalam usus halus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung. (b) Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) didalam usus halus. (c) Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin Diaregenik). (d) Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare. Patogenesis Diare kronis: Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain. 2.1.5. Patofisiologi Gastroenteritis akut (Diare) adalah masuknya Virus (Rotavirus, Adenovirus enteritis), bakteri atau toksin (Salmonella. E. colli), dan parasit (Biardia, Lambia). Beberapa mikroorganisme pathogen ini me nyebabkan infeksi pada selsel, memproduksi enterotoksin atau cytotoksin Penyebab dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut. Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal oral dari satu klien ke klien lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran pathogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hypokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi. Sebagai akibat diare baik akut maupun kronis akan terjadi: (a) Kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik, hypokalemia dan sebagainya). (b) Gangguan gizi sebagai akibat kelaparan (masukan makanan kurang, pengeluaran bertambah). (c) Hipoglikemia, (d) Gangguan sirkulasi darah. 2.1.6. Manifestasi Klinis Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin tampak. Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik. (Mansjoer, 2009) Table 2.1 Penentuan Derajat Dehidrasi WHO No Tanda dan Gejala Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang 1 Keadaan Umum Sadar, gelisah, haus Gelisah, mengantuk 2 Denyut nadi Normal kurang dari 120/menit Cepat dan lemah 120140/menit Dalam, mungkin cepat 3 4 Pernafasan Normal UbunNormal ubun besar Dehidrasi Berat Mengantuk, lemas, anggota gerak dingin, berkeringat, kebiruan, mungkin koma, tidak sadar. Cepat, haus, kadangkadang tak teraba, kurang dari 140/menit Dalam dan cepat Sangat cekung Cekung Tanda dan Gejala Kelopak mata No 5 6 7 8 9 Dehidrasi Ringan Dehidrasi Sedang Dehidrasi Berat Normal Cekung Sangat cekung Air mata Ada Tidak ada Sangat kering Selaput lendir Lembab Kering Sangat kering Elastisitas kulit Pada pencubitan kulit secara elastis kembali secara normal Lambat Sangat lambat (lebih dari 2 detik) Air seni warnanya tua Normal Berkurang Tidak kencing 2.1.7. Epidemiologi Penyebab diare ditinjau dari host, agent dan environment, yang diuraikan sebagai berikut: a. Host Menurut Widjaja (2004), bahwa host yaitu diare lebih banyak terjadi pada balita, dimana daya tahan tubuh yang lemah/menurun system pencernaan dalam hal ini adalah lambung tidak dapat menghancurkan makanan dengan baik dan kuman tidak dapat dilumpuhkan dan betah tinggal di dalam lambung, sehingga mudah bagi kuman untuk menginfeksi saluran pencernaan. Jika terjadi hal demikian, akan timbul berbagai macam penyakit termasuk diare. b. Agent Agent merupakan penyebab terjadinya diare, sangatlah jelas yang disebabkan oleh faktor infeksi karena faktor kuman, malabsorbsi dan faktor makanan. Aspek yang paling banyak terjadi diare pada balita yaitu infeksi kuman e.colli, salmonella, vibrio chorela (kolera) dan serangan bakteri lain yang jumlahnya berlebih dan patogenik (memanfaatkan kesempatan ketika kondisi lemah) pseudomonas. (Widjaja, 2004). c. Environment Faktor lingkungan sangat menentukan dalam hubungan interaksi antara penjamu (host) dengan faktor agent. Lingkungan dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu lingkungan biologis (flora dan fauna disekitar manusia) yang bersifat biotik: mikroorganisme penyebab penyakit, reservoir penyakit infeksi (binatang, tumbuhan), vector pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang pembawa sumber bahan makanan, obat, dan lainnya. Dan juga lingkungan fisik, yang bersifat abiotic: yaitu udara, keadaan tanah, geografi, air dan zat kimia. Keadaaan lingkungan yang sehat dapat ditunjang oleh sanitasi lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan dan kebiasaan masyarakat untuk Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pencemaran lingkungan sangat mempengaruhi perkembangan agent yang berdampak pada host (penjamu) sehingga mudah untuk timbul berbagai macam penyakit, termasuk diare. 2.1.8. Cara Penularan Menurut junadi, purnawan dkk, (2002), bahwa penularan penyakit diare pada balita biasanya melalui jalur fecal oral terutama karena: (1) Menelan makanan yang terkontaminasi (makanan sapihan dan air). (2) Beberapa faktor yang berkaitan dengan peningkatan kuman perut : (a) Tidak memadainya penyediaan air bersih, (b) kekurangan sarana kebersihan dan pencemaran air oleh tinja, (c) penyiapan dan penyimpanan makanan tidak secara semestinya.Cara penularan penyakit diare adalah Air (water borne disease), makanan (food borne disease), dan susu (milk borne disease). Menurut Budiarto (2002) bahwa secara umum faktor resiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih, jamban keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorbsi, keracunan, imunodefisiensi, serta sebab-sebab lain. Sedangkan menurut Sutono (2008) bahwa pada balita faktor resiko terjadinya diare selain faktor intrinsic dan ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh perilaku ibu dan pengasuh balita karena balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat bergantung pada lingkungannya. Dengan demikian apabila ibu balita atau ibu pengasuh balita tidak bisa mengasuh balita dengan baik dan sehat maka kejadian diare pada balita tidak dapat dihindari. Diakui bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya diare tidak berdiri sendiri, tetapi sangat kompleks dan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berkaitan satu sama lain, misalnya faktor gizi, sanitasi lingkungan, keadaan social ekonomi, keadaan social budaya, serta faktor lainnya. Untuk terjadinya diare sangat dipengaruhi oleh kerentanan tubuh, pemaparan terhadap air yang tercemar, system pencernaan serta faktor infeksi itu sendiri. Kerentanan tubuh sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, status gizi, perumahan padat dan kemiskinan. 2.1.9. Pencegahan Diare Pengobatan diare dengan upaya rehidrasi oral, angka kesakitan bayi dan anak balita yang disebabkan diare makin lama makin menurun. Menurut Suharti (2007), bahwa kesakitan diare masih tetap tinggi ialah sekitar 400 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu jalan pintas yang sangat ampuh untuk menurunkan angka kesakitan suatu penyakit infeksi baik oleh virus maupun bakteri. Untuk dapat membuat vaksin secara baik, efisien, dan efektif diperlukan pengetahuan mengenai mekanisme kekebalan tubuh pada umumnya terutama kekebalan saluran pencernaan makanan. 1. Pemberian ASI ASI adalah makanan paling baik untuk bayi, komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-6 bulan, tidak ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini. Menurut Supariasa dkk (2002), bahwa ASI adalah makanan bayi yang paling alamiah, sesuai dengan kebutuhan gizi bayi dan mempunyai nilai proteksi yang tidak bisa ditiru oleh pabrik susu manapun. Tetapi pada pertengahan abad ke-18 berbagai pernyataan penggunaan air susu binatang belum mengalami berbagai modifikasi. Pada permulaan abad ke-20 sudah dimulai produksi secara masal susu kaleng yang berasal dari air susu sapi sebagai pengganti ASI. ASI steril berbeda dengan sumber susu lain, susu formula, atau cairan lain disiapkan dengan air atau bahan-bahan yang terkontaminasi dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja tanpa cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan organisme lain yang akan menyebabkan diare. Keadaan ini disebut disusui secara penuh. Menurut Sulastri (2009), bahwa bayi-bayi harus disusui secara penuh sampai mereka berumur 4-6 bulan, setelah 6 bulan dari kehidupannya, pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan dengan makanan lain (proses menyapih). ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibody dan zat-zat lain yang dikandungnya, ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4x lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. 2. Makanan pendamping ASI Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Menurut Supariasa dkk (2002) bahwa pda masa tersebut merupakan masa yang berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat menyebabkan meningkatnya resiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang menyebabkan kematian. Perilaku pemberian makanan pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan. Untuk itu menurut Shulman dkk (2004) bahwa ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan pendamping ASI yang lebih baik, yaitu (1) perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi teruskan pemberian ASI. Tambahkan macam makanan sewaktu anak berumur 6 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih sering (4x sehari), setelah anak berumur 1 tahun, berikan semua makanan yang dimasak dengan baik, 4 - 6x sehari, teruskan pemberian ASI bila mungkin. (2) Tambahkan minyak, lemak, gula, kedalam nasi/bubur dan biji-bijian untuk energy. Tambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacangkacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau kedalam makanannya. (3) Cuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, suapi anak dengan sendok yang bersih. (4) Masak atau rebus makanan dengan benar, simpan sisanya pada tempat yang dingin dan panaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak. 3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Menurut Departemen Kesehatan RI (2002) bahwa untuk melakukan pola perilaku hidup bersih dan sehat dilakukan beberapa penilaian antara lain adalah (1) penimbangan balita. Apabila ada balita pertanyaannya adalah apakah sudah ditimbang secara teratur keposyandu minimal 8 kali setahun, (2) Gizi, anggota keluarga makan dengan gizi seimbang, (3) Air bersih, keluarga menggunakan air bersih (PAM, sumur) untuk keperluan sehari-hari, (4) Jamban keluarga, keluarga buang air besar dijamban/WC yang memenuhi syarat kesehatan, (5) Air yang diminum dimasak terlebih dahulu, (6) Mandi menggunakan sabun mandi, (7) Selalu cuci tangan sebelum makan dengan menggunakan sabun, (8) Pencucian peralatan menggunakan sabun, (9) Limbah, (10) Terhadap faktor bibit penyakit yaitu (a) Membrantas sumber penularan penyakit, baik dengan mengobati penderita maupun carrier atau dengan meniadakan reservoir penyakit, (b) Mencegah terjadinya penyebaran kuman, baik ditempat umum maupun dilingkungan rumah, (c) Meningkatkan taraf hidup rakyat, sehingga dapat memperbaiki dan memelihara kesehatan, (d) Terhadap faktor lingkungan, mengubah atau mempengaruhi faktor lingkungan hidup sehingga faktorfaktor yang tidak baik dapat diawasi sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan kesehatan manusia. 2.1.10. Penatalaksaan Prinsip penatalaksanaan diare menurut RI antara lain dengan rehidrasi, nutrisi, medikamentosa, (a) Dehidrasi, diare cair membutuhkan pengganti cairan dan elektrolit tanpa melihat etiologinya. Jumlah cairan yang diberi harus sama dengan jumlah yang telah hilang melalui diare dan atau muntah, ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui keringat, urin, pernafasan, dan ditambah dengan banyaknya cairan yang hilang melalui tinja dan muntah yang masih terus berlangsung. Jumlah ini tergantung pada derajat dehidrasi serta berat masing-masing anak atau golongan umur, (b) Nutrisi. Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindari efek buruk pada status gizi. Agar pemberian diet pada anak dengan diare akut dapat memenuhi tujuannya, serta memperhatikan faktor yang mempengaruhi gizi anak, maka diperlukan persyaratan diet sebagai berikut yakni pasien segera diberikan makanan oral setelah rehidrasi yakni 24 jam pertama, makanan cukup energy dan protein, makanan tidak merangsang, makanan diberikan bertahap mulai dengan yang mudah dicerna, makanan diberikan dalam porsi kecil dengan frekuensi sering. Pemberian ASI diutamakan pada bayi, pemberian cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan, pemberian vitamin dan mineral dalam jumlah yang cukup, (c) Medikamentosa. Antobiotik dan antiparasit tidak boleh digunakan secara rutin, obat-obat anti diare meliputi antimotilitas seperti loperamid, difenoksilat, kodein, opium, adsorben seperti norit, kaolin, attapulgit, anti muntah termasuk prometazin dan kloropomazin. Berdasarkan derajat dehidrasi maka terapi pada penderita diare dibagi menjadi tiga yaitu rencana pengobatan A, B, dan C yang diuraikan sebagai berikut: a. Rencana pengobatan A Rencana pengobatan A digunakan untuk mengatasi diare tanpa dehidrasi, meneruskan terapi diare dirumah, memberikan terapi awal bila anak terkena diare lagi. Cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti oralit, makanan cair, air matang. Gunakanlah larutan untuk anak seperti dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel 2.2 kebutuhan Oralit Per Kelompok Umur Umur (Tahun) <1 1-5 >5 b. 3 jam pertama atau tidak haus atau sampai tidak gelisah lagi 1 ½ gelas 3 gelas 6 Gelas Selanjutnya tiap kali mencret ½ gelas 1 gelas 4 Gelas Rencana pengobatan B Digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat dehidrasi ringan dan sedang dengan cara 3 jam pertama diberikan 75ml/kg BB, berat badan anak tidak diketahui, berikan oralit paling sedikit sesuai tabel berikut: Tabel 2.3 Jumlah Oralit yang diberikan pada 3 jam pertama Umur <1 Tahun Jumlah oralit 300 1 – 5 Tahun 600 >5 tahun 1200 Berikan anak yang menginginkan lebih banyak oralit, dorong juga ibu untuk meneruskan ASI. Bayi kurang dari 6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, berikan juga 100-200ml air masak. Setelah 3-4 jam, nilai kembali anak menggunakan bagan penilaian, kemudian pilih rencana A, B, dan C untuk melanjutkan. c. Rencana pengobatan C Rencana pengobatan C digunakan untuk mengatasi diare dengan derajat berat. Pertama-tama berikan cairan intravena, nilai setelah 3 jam. Jika keadaan anak sudah cukup baik maka berikan oralit. Setelah 1-3 jam berikutnya nilai ulang anak dan pilihlah rencana pengobatan yang sesuai. 2.1.11. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium dari diare adalah: a. Pemeriksaan tinja b. Makroskopis dan mikroskopis c. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula. d. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi. e. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan analisa gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan). f. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal. g. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang). h. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau parasite secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada penderita diare kronik. 2.1.12. Penanganan Diare Hal pertama yang harus diperhatikan dalam penanggulangan diare adalah masalah kehilangan cairan yang berlebihan (dehidrasi). Dehidrasi ini bila tidak segera diatasi dapat membawa bahaya terutama bagi balita dan anak-anak. Bagi penderita diare ringan diberikan oralit, tetapi bila dehidrasi berat maka perlu dibantu dengan cairan intravena atau infus. Hal yang tidak kalah penting dalam menanggulangi kehilangan cairan tubuh adalah pemberian makanan kembali (refeeding) sebab selama diare pemasukan makanan akan sangat kurang karena akan kehilangan nafsu makan dan kehilangan makanan secara langsung melalui tinja atau muntah dan peningkatan metabolisme selama sakit. (sitorus, 2008). 2.1.13. Komplikasi Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti: a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonic atau hipertonik). b. Renjatan hipovolemik c. Hypokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardia, perubahan pada elektrokardiogram). d. Hipoglikemia. e. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim lactase karena kerusakan vili mukosa usus halus. f. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik. g. Malnutrisi energy protein, karena selain diare dan muntah penderita juga mengalami kelaparan. 2.2. Konsep Balita Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun dimana umur 5 bulan BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1 tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada masa pra sekolah kenaikan BB kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian pertumbuhan konstan mulai berakhir. (Soetjiningsih, 2001). Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (supartini, 2004). Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai balita, merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari satu sampai dengan lima tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah (Wikipedia, 2009). sebagai berikut: a. Perkembangan fisik Di awal balita, pertambahan berat badan Balita merupakan singkatan bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada fase ini anak berkembang dengan sangat pesat (Choirunisa, 2009 : 10). Pada periode ini, balita memiliki ciri khas perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi untuk bergerak. b. Perkembangan Psikologi Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakannya (lokomotion), seperti berlari, memanjat, melompat, berguling, berjinjit, menggenggam, melempar yang berguna untuk mengelola keseimbangan tubuh dan mempertahankan rentang atensi. Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari sisi kognitif, pemahaman terhadap obyek telah lebih ajeg. Kemampuan bahasa balita tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya (Choirunisa, 2009 : 10). c. Komunikasi pada balita Karakteristik anak usia balita (terutama anak usia dibawah 3 tahun atau todler) sangat egosentris. Selain itu, anak juga mempunyai perasaan takut pada ketidaktahuannya sehingga anak perlu diberi tahu tentang apa yang akan terjadi pada dirinya. Aspek bahasa, anak belum mampu berbicara secara fasih, oleh karena itu, saat menjelaskan, gunakan kata yang sederhana, singkat, dan gunakan istilah yang dikenalnya. Posisi tubuh yang baik saat berbicara pada anak adalah jongkok, duduk di kursi kecil, atau berlutut sehingga pandangan mata kita akan sejajar dengannya. Satu hal yang akan mendorong anak untuk meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi adalah dengan memberikan pujian atas apa yang telah dicapainya atau ditunjukkannya terhadap orang tuanya (Supartini, 2004). 2.3. Tinjauan Umum Tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Diare Akut Pada Balita Faktor-faktor yang berhubungan yaitu a. Faktor lingkungan Sejak pertengahan abad ke-15 para ahli kedokteran telah menyebutkan bahwa tingkat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut model segitiga epidemiologi, suatu penyakit timbul akibat beroperasinya faktor agen, host dan lingkungan. Menurut model roda timbulnya penyakit sangat tergantung dari lingkungan (Mukono, 1995). Faktor lingkungan merupakan faktor yang sangat penting terhadap timbulnya berbagai penyakit tertentu, sehingga untuk memberantas penyakit menular diperlukan upaya perbaikan lingkungan (Trisnanta, 1995). Melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit (Slamet, 1994). Penyakit-penyakit tersebut seperti diare, kholera, campak, demam berdarah dengue, difteri, pertusis, malaria, influenza, hepatitis, tifus dan lain-lain yang dapat ditelusuri determinan-determinan lingkungannya (Noerolandra, 1999). Salah satu penyebab diare adalah faktor lingkungan dimana terdapatnya air dan makanan yang tidak sehat sehingga menimbulkan diare. Sumber dari pencemaran air biasanya kotoran dalam air bekas cucian atau bekas mandi atau kurangnya kakus yang baik. Air yang diperoleh dari perusahaan air minum negara maupun air bersih karena diawasi terus menerus. Tetapi jika sumber air milik kita sendiri misalnya sumur dilingkungan rumah atau aliran air yang lewat didekat rumah biasanya mudah tercemar. Penyebab melalui air atau makanan dari orang keorang atau kontak langsung dari tinja dapat menyebabkan timbulnya diare selain faktor-faktor yang mempengaruhi terjadi penularan diantaranya air bersih, fasilitas sanitasi dan kebiasaan yang tidak sehat. Pada faktor lingkungan ini meliputi: a. Sumber air Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70% tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk diare. Sumber air yang digunakan masyarakat adalah air permukaaan yang merupakan air sungai, dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik yakni, air tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sehingga terasa nyaman. Syarat kimia yakni, air tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4. Syarat bakteriologis yakni, air tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan, kurang dari setiap 100 cc air. Pada prinsipnya semua air dapat diproses menjadi air minum. Sumber-sumber air ini antara lain : air hujan, mata air, air sumur dangkal, air sumur dalam, air sungai & danau. Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit 10 meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan untuk minum harus dimasak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih. b. Tempat pembuangan kotoran manusia (tinja) Kotoran manusia / tinja adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh seperti tinja, air seni dan CO2. Pembuangan tinja merupakan bagian penting dari kesehatan lingkungan. pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare. Masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok karena kotoran manusia adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain : tipus, diare, disentri, kolera, bermacammacam cacing seperti cacing gelang, kremi, tambang, pita, schistosomiasis. Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat jamban dan keluarga harus membuang air besar dijamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya dengan teratur, jika tidak ada jamban maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh dari rumah, jalan, dan daerah anak bermain dan paling kurang 10 meter dari air bersih. Untuk menjaga kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak mengotori air tanah, kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh lalat untuk bertelur atau berkembang biak, kakus harus terlindung atau tertutup, pembuatannya mudah dan murah (Notoatmodjo, 2003). Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan resiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo, 2003). Menurut hasil penelitian Irianto, bahwa anak balita berasal dari keluarga yang menggunakan jamban (kasus) yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi dikota dan 7,2% didesa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi dikota dan 8,9% didesa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17,0% dikota dan 12,7% didesa. Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari : rumah kakus, lantai kakus, sebaiknya semen, slab, closet tempat feses masuk, pit sumur penampungan feses atau cubluk, bidang resapan, bangunan jamban ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih. Jenis kakus antara lain (Notoatmodjo, 2003) : (a) Pit privy (cubluk), Lubang dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5-8 m. Dinding diperkuat dengan batu-bata, hanya dapat dibuat di tanah atau dengan air tanah dalam. (b) Angsatrine, Closetnya berbentuk leher angsa sehingga selalu terisi air. Fungsinya sebagai sumbat sehingga bau busuk tidak keluar. (c) Bored hole latrine, Seperti cubluk, hanya ukurannya kecil, karena untuk sementara. Jika penuh dapat meluap sehingga mengotori air permukaan. (d) Overhung latrine, Rumah kakusnya dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan lain-lain. Feses dapat mengotori air permukaan. (e) Jamban cempung, kakus ( Pit Latrine ), Jamban cemplung kurang sempurna karena tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk dan berbau, dan jika musim hujan tiba maka jamban akan penuh oleh air. Dalamnya kakus 1,5-3 meter, jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter. (f) Jamban empang ikan (fishpond latrine), Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem ini terjadi daur ulang, yakni tinja dapat dimakan ikan, ikan dimakan orang dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya. c. Pembuangan sampah Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Jenis- jenis sampah antara lain, yakni sampah an-organik, adalah sampah yang umumnya tidak dapat membusuk, misalnya: logam/besi, pecahan gelas, plastik. Sampah organik, adalah sampah yang pada umumnya dapat membusuk, misalnya : sisa makanan, daun-daunan, buah-buahan. Cara pengolahan sampah antara lain sebagai berikut: (Notoatmodjo, 2003). 1. Pengumpulan dan pengangkutan sampah Pengumpulan sampah diperlukan tempat sampah yang terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, tidak mudah rusak, harus tertutup rapat, ditempatkan di luar rumah. Pengangkutan dilakukan oleh dinas pengelola sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA). 2. Pemusnahan dan pengelolaan sampah Dilakukan dengan berbagai cara yakni, ditanam (Landfill), dibakar (Inceneration), dijadikan pupuk (Composting). d. Lingkungan Perumahan Keadaan perumahan adalah salah satu faktor yang menentukan keadaan higiene dan sanitasi lingkungan. Adapun syarat-syarat rumah yang sehat ditinjau dari ventilasi, cahaya, luas bangunan rumah, Fasilitas-fasilitas di dalam rumah sehat sebagai berikut : (Notoatmodjo, 2003). (1) Ventilasi, Fungsi ventilasi adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen.. Luas ventilasi kurang lebih 15-20 % dari luas lantai rumah. (2) Cahaya, Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Penerangan yang cukup baik siang maupun malam 100-200 lux. (3) Luas bangun rumah, Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk tiap orang. Jika luas bangunan tidak sebanding dengan jumlah penghuni maka menyebabkan kurangnya konsumsi O2, sehingga jika salah satu penghuni menderita penyakit infeksi maka akan mempermudah penularan kepada anggota keluarga lain. (4) Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat, Rumah yang sehat harus memiliki fasilitas seperti penyediaan air bersih yang cukup, pembuangan tinja, pembuangan sampah, pembuangan air limbah, fasilitas dapur, ruang berkumpul keluarga, gudang, kandang ternak. e. Air Limbah Air limbah adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri dan pada umumnya mengandung bahan atau zat yang membahayakan. Sesuai dengan zat yang terkandung di dalam air limbah, maka limbah yang tidak diolah terlebih dahulu akan menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup antara lain limbah sebagai media penyebaran berbagai penyakit terutama kolera, diare, typus, media berkembangbiaknya mikroorganisme patogen, tempat berkembangbiaknya nyamuk, menimbulkan bau yang tidak enak serta pemandangan yang tidak sedap, sebagai sumber pencemaran air permukaan tanah dan lingkungan hidup lainnya, mengurangi produktivitas manusia, karena bekerja tidak nyaman (Notoatmodjo, 2003). Usaha untuk mencegah atau mengurangi akibat buruk tersebut diperlukan kondisi, persyaratan dan upaya sehingga air limbah tersebut tidak mengkontaminasi sumber air minum, tidak mencemari permukaan tanah, tidak mencemari air mandi, air sungai, tidak dihinggapi serangga, tikus dan tidak menjadi tempat berkembangbiaknya bibit penyakit dan vektor, tidak terbuka kena udara luar sehingga baunya tidak mengganggu. b. Faktor pengetahuan ibu Pengalaman atau pengetahuan yang dimiliki seorang ibu merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam interpretasi, sebelum seseorang mengadobsi perilaku baru, harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan dan sikap ibu sangat berpengaruh dalam terjadinya diare pada anak balita. Bila pengetahuan ibu baik, ibu akan mengetahui cara merawat anak yang menderita diare dirumah dan berobat atau merujuk kesarana kesehatan. Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang. Pengetahuan berpengaruh terhadap praktik, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui perantara sikap. Praktik seseorang dibentuk oleh interaksi individu dengan lingkungan, khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap terhadap objek. Dengan demikian, ibu yang kurang baik sikapnya dalam penatalaksanaan diare tidak mendukung praktik ibu dalam penatalaksanaan diare. Pada faktor Pengetahuan ibu ini meliputi: a. Umur Semakin lanjut usia seseorang semakin meningkat pula kedewasaan tehnisnya, demikian pula psikologis serta menunjukan kematangan jiwa. Usia yang semakin meningkat akan meningkat pula kebijaksanaan kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan, berfikir rasional, mengendalikan emosi, dan bertoleransi terhadap pandangan orang lain, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan motivasinya. b. Pendidikan Pendidikan adalah proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya didalam masyarakat dimana ia hidup, proses sosial dimana orang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum (Ihsan, 1997). Tingginya angka kesakitan dan kematian karena diare di Indonesia disebabkan oleh faktor kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan, pendidikan, keadaan sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi keadaan penyakit diare (Depkes RI, 1995). Hasil penelitian didapatkan bahwa kelompok ibu dengan tingkat pendidikan SLTP keatas, mempunyai kemungkinan 1,6 kali lebih baik dalam memberikan cairan rehidrasi pada balita, bila dibandingkan dengan kelompok ibu yang tingkat pendidikannya SD kebawah. Penelitian Wibowo dkk (2002), menunjukan bahwa 23,8% kejadian diare pada anak balita yang ibunya memiliki tingkat pengetahuan tentang diare dengan kategori kurang. Berdasarkan tingkat pendidikan ibu, balita yang memiliki ibu dengan pendidikan rendah (SLTA bawah) lebih berisiko menderita diare daripada balita dengan ibu berpendidikan tinggi. c. Kebiasaan ibu mencuci tangan Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan peilaku hidup bersih dan sehat. Sebagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral . kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ketubuh manusia. Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku sangat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapakan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al (2003) diturki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare dan juga mendapatkan adanya hubungan antara kebiasaan mencuci tangan ibu dengan kejadian diare pada balita dan anak. c. Faktor sosial ekonomi masyarakat Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan sematamata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno, 2004). Kemiskinan bertanggung jawab atas penyakit yang ditemukan pada anak. Hal ini karena kemiskinan mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung perawatan kesehatan yang memadai pada anak, cenderung memiliki higiene yang kurang, miskin diet, miskin pendidikan. Sehingga anak yang miskin memiliki angka kematian dan kesakitan yang lebih tinggi untuk hampir semua penyakit. Frekuensi relatif anak dari orang tua yang berpenghasilan rendah 2 kali lebih besar menyebabkan berat badan lahir rendah (BBLR), 3 kali lebih tinggi resiko imunisasi terlambat dan 4 kali lebih tinggi menyebabkan kematian anak karena penyakit dibanding anak yang orang tuanya berpenghasilan cukup. (Behrman, 1999). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah harus memiliki informasi atau peta kemiskinan agar dapat membuat kebijakan-kebijakan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan ini, menentukan target penduduk miskin sehingga dapat memperbaiki posisi mereka, dan dapat mengevaluasi program-program yang berkenan dengan penanggulangan kemiskinan. Sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung terhadap faktor-faktor penyebab diare. Kebanyakan anak mudah menderita diare berasal dari keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang buruk, tidak mempunyai penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan. Faktor sosial ekonomi masyarakat pada kejadian diare ini di pengaruhi oleh: a. Pekerjaan Menurut Khomsan (2004), permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik. Permasalahan kesehatan dapat dikendalikan apabila angka kemiskinan dikurangi serta perlakuan yang adil pada perempuan bisa menjadi salah satu kunci pemecahan masalah kesehatan. Status sosial perempuan akan meningkat apabila mereka mempunyai posisi ekonomi yang baik. Hal ini juga disertai dengan mendapatkan pendidikan, dan kesehatan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Pekerjaan ayah dan ibu dapat dikategorikan sebagai pegawai negeri dan pegawai swasta memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan ayah dan ibu yang bekerja sebagai buruh atau petani. Kondisi ini mempengaruhi ibu dalam mengasuh anaknya, ibu yang bekerja harus membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain, sehingga mempunyai resiko lebih besar untuk terjadi diare (Giyantini, 2000). d. Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi Kontak antara sumber dan host dapat terjadi melalui air, terutama air minum yang tidak dimasak dapat juga terjadi sewaktu mandi dan berkumur. Kontak kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke mulut dipakai untuk memegang makanan. Kontaminasi alat-alat makan dan dapur. Faktor susunan makanan berpengaruh terhadap terjadinya diare disebabkan karena kemampuan usus untuk menghadapi kendala yang berupa: a. Antigen Susunan makanan mengandung protein yang tidak homolog, sehingga dapat berlaku sebagai antigen. Lebih-lebih pada bayi dimana kondisi kesehatan local usus belum sempurna sehingga terjadi molekul makro. b. Osmolaritas Susunan makanan baik berupa formula susu maupun makanan padat yang memberikan osmolaritas yang tinggi sehingga dapat menimbulkan diare. c. Malabsorbsi Kandungan nutrient makanan yang berupa karbohidrat, lemak, maupun protein dapat menimbulkan intoleransi, malabsorbsi, maupun alergi sehingga terjadi diare pada balita maupun pada anak. d. Mekanik Kandungan serat yang berlebihan dalam susunan makanan secara mekanik dapat merusak fungsi mukosa usus sehingga timbul diare. (Notoatmodjo, 2003) 2.4. Kerangka Berfikir 2.4.1. Kerangka Toeritis Faktor Infeksi : - Infeksi enteral (bakteri, virus, parasite). - Infeksi parenteral - Malabsorbsi (karbohidrat, Faktor makanan : - Makanan basi. - makanan. protein). - Alergi terhadap lemak, dan - Makanan beracun. - Faktor lingkungan : - Sumber air. Tempat pembuangan tinja. Pembuangan sampah. Lingkungan perumahan. Air limbah. Diare balita Faktor pengetahuan ibu : - Umur Pendidikan Kebiasaan ibu mencuci tangan Faktor social ekonomi masyarakat : - Pekerjaan Faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi : - Antigen Osmolaritas Malabsorbsi Mekanik 2.4.2. Kerangka Konsep Bagan Kerangka konsep VARIEBEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN LINGKUNGAN PENGETAHUAN IBU SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIKONSUMSI KEJADIAN DIARE UMUR BALITA STATUZ GIZI LAKTOSA (SUSU KALENG) Keterangan : = Variabel Independen = Variabel Dependen = Yang diteliti = Tidak diteliti 2.5. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha: a. Lingkungan berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita. b. Tingkat Pengetahuan ibu berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita. c. Sosial ekonomi masyarakat berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita. d. Makanan dan minuman yang dikonsumsi berhubungan dengan kejadian diare akut pada balita.