Microsoft Word

advertisement
Bab 3
Analisis Data
Pada Shinto The Kami Way (1993: 89-90), dikatakan bahwa Daijousai diadakan sebagai ucapan
terima kasih kepada para dewa atas anugerah yang diberikan dan menandai ritual penobatan tahta
bagi seorang kaisar baru. Daijousai dilakukan setiap pada awal musim gugur sekitar awal bulan
November, upacara keagamaan ini sedikitnya sama tuanya dengan lamanya ketika Jepang memiliki
mata pencaharian hanya dari berburu dan memancing yang berpindah mata pencaharian ke
agrikultur, dengan beras dan benih padi lainnya untuk dijadikan bahan pokok makanan utama.
Gambar 3.1 Daijousai
Sumber: http://www.shinto.co.jp
Daijousai dilaksanakan pertama kali pada abad ke-7 pada saat kekaisaran pertama yaitu kaisar
Jinmu, dan dilakukan kembali pada masa pemerintahan Meiji pada saat kekaisaran Mutsuhito.
Acara ini berlangsung selama dua hari di Suki-den dan Yuki-den, dan diadakan pada awal musim
gugur yaitu pertengahan November. Suki-den dan Yuki-den adalah dua buah bangunan sederhana
dengan arsitektur sejarah kuno Jepang.
Gambar 3.2 Yuki-den, Suki-den
Sumber: http://www.shinto.co.jp
Tujuan dari diadakannya matsuri ini adalah sebagai tanda rasa terima kasih akan keberhasilan
panen sekaligus menjadi persembahan makanan pertama untuk para dewa. Selain itu matsuri ini
juga menjadi tanda penobatan tahkta bagi kaisar baru, dimana sang kaisar merupakan cucu dari
dewi Amaterasu.
3.1 Analisis Unsur-unsur Shinto dalam Upacara Pada Urutan Kegiatan Dalam Daijosai
Pada subab ini saya akan menganalisis ritual Daijousai yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
penting Shinto sebelum diadakan acara puncaknya yaitu pada saat kaisar menampakkan diri di
depan masyarakat Jepang, yaitu harai (penyucian), shinsen (persembahan), norito (doa), dan naorai
(pesta simbolik). Ono ( 1992: 51) mengatakan bahwa, terdapat empat elemen dalam matsuri yaitu
pembersihan ( oharai ), persembahan ( shinsen ), berdoa ( norito ), simbol pesta ( naorai ).
3.1.1
Analisis Unsur Shinto Oharai dalam Perayaan Daijousai
Ritual penyucian yang dilakukan dalam rangka penerapan unsur Shinto Oharai dalam parayaan
Daijyousai, adalah kaisar masuk ke dalam sebuah ruangan di salah satu bangunan di istana bersama
dengan dua orang pendeta, di dalam ruangan tersebut kaisar dimandikan dengan air suci yang sudah
di doakan oleh pendeta Shinto. Air suci yang dipakai adalah air suci yang telah di doakan oleh
pendeta Shinto sebelumnya di kuil Ise (Holtom 1996: 57). Kuil Ise merupakan kuil dewi
Amaterasu-no-Omikami, kuil ini terletak di semenanjung Ise peninsula bagian barat Honshu.
Menurut analisis saya, penyucian yang dilakukan merupakan salah satu jenis ritual penyucian
Misogi. Yaitu, merupakan penyucian yang menggunakan elemen air untuk mensucikan, dilakukan
dengan cara mandi di sungai, atau berdiri di bawah air terjun. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Picken ( 1994: 174), Misogi melibatkan tindakan pemercikan air dengan tangan di dalam sebuah
ember kecil, dengan mandi di sungai atau laut, atau dengan berdiri di bawah air terjun yang
mengalir. Schumacher (2007) juga mengatakan bahwa api, air biasa, dan juga sake juga digunakan
sebagai alat penyucian atau Oharai.
Gambar 3.3 Oharai dalam Daijousai
Sumber: http://www.shinto.co.jp
Penyucian (oharai) ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan segala jenis kontaminasi
atau keadaan tercemar baik secara fisik maupun batin, menghindari kesialan, mencegah bencana
dan malapetaka, dan mematahkan kutukan magis. Penyucian (Harai), adalah ritual yang bertujuan
untuk membersihkan semua kotoran, kejahatan dan iblis yang dapat mengganggu kehidupan yang
sesuai dengan jalan kami dan kemanjuran suatu pemujaan (Ono, 1992: 51). Dalam upacara
Mitamashizume terlihat bahwa terdapat unsur harai, seperti yang akan saya jelaskan berikut ini:
Upacara Mitamashizume merupakan salah satu dari upacara penyucian serta upacara penyerahan
tiga regalia kekaisaran yang dilaksanakan dalam Daijousai. Mitamashizume selain menjadi upacara
penyerahan tiga regalia kekaisaran, juga bertujuan untuk mengusir roh jahat yang dapat membawa
pengaruh buruk, penyakit, dan ketidakberuntungan bagi kaisar. Menurut analisis saya, segala
bentuk pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan oleh roh jahat dapat disebut sebagai tsumi
(kekotoran). Tsumi menurut Picken (1994 : 171-172), memiliki makna yang luas termasuk “polusi“,
“penyakit“, dan ”bencana.” Aksi atau tindakan tertentu, situasi, atau suatu keadaan yang tidak
diundang dapat menyebabkan kekotoran dan keadaan tersebut harus dihilangkan dengan tindakan
pencegahan atau dengan ritual penyucian atau harai. Menurut Sam (1992), sebagai roh jahat (oni)
atau kami yang bersifat jahat, roh jahat atau kami yang bersifat jahat ini dipercaya membawa
melapetaka, kematian, dan kelaparan. Shinobu dalam Blacker (1993 : 106), juga mengatakan bahwa
sebenarnya oni adalah perwujudan dari berbagai kami atau roh, sebuah manifestasi dari kekuatan
alam liar.
3.1.2
Analisis Unsur Shinto Pada Norito dalam Perayaan Daijousai
Dalam tahapan Shinsen sebelum kaisar menyajikan makanan persembahan kepada kami,
dilakukan terlebih dahulu norito yakni pembacaan doa-doa oleh seorang kannushi (pendeta
Shinto) dengan menggunakan gaya bahasa Jepang kuno. Norito dalam Daijousai biasanya
hanya dilakukan oleh para pendeta dari kuil Ise. Dalam Daijousai tujuan diadakan norito adalah
untuk memberikan penghormatan atau meminta ijin kepada kami atau dewa, untuk melakukan
berbagai upacara-upacara suci yang diadakan pada hari itu. Norito juga dilakukan dengan
harapan atas perlindungan dari mara bahaya, permohonan untuk menghapus dosa atau kesialan
dan ungkapan rasa syukur dan lain sebagainya (Ross, 1989: 65).
Menurut analisis saya, dalam penyelenggaraan Daijousai terdapat unsur-unsur Shinto
yang berupa norito (pembacaan doa). Upacara tersebut dilakukan di dalam kuil Shinto yaitu
Kuil Ise dan merupakan salah satu hal yang berhubungan dengan Shinto. Dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Jepang mengadakan ibadah untuk menghormati para dewa atau kami ,
agar mereka diberkahi dalam setiap kegiatan yang mereka lakukan. Dalam ajaran Shinto
dikenal adanya kami atau dewa. Ishikawa (1989: 77) mengatakan bahwa terdapat banyak
hipotesa mengenai asal-usul kata kami sejak zaman dahulu. Salah satunya adalah bahwa kami
merupakan transformasi dari kata kakurimi yang memiliki arti sosok tersembunyi. Kata kami
diambil dari suku kata pertama dan terakhir dari kata kakurimi.
Ibadah yang dilakukan di kuil dipimpin oleh seorang pendeta. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ono (1998 : 51-52), bahwa isi norito (pembacaan doa) adalah mengungkapkan rasa
terima kasih kepada dewa serta memohon kepada dewa dengan tujuan untuk meminta
kesejahteraan atau perlindungan kepada dewa. Selain itu, norito (pembacaan doa) merupakan
unsur ketiga dari empat unsur penting dalam matsuri yang sesuai dengan konsep Shinto. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ono (1998 : 51-57), bahwa empat unsur penting dalam matsuri
diantaranya adalah monoimi (penyucian), shinsen (persembahan), norito (pembacaan doa), dan
naoarai (jamuan makan bersama).
3.1.3
Analisis Unsur Shinto pada Shinsen dalam Perayaan Daijousai
Dalam perayaan Mitamashizume seperti yang sudah dijelaskan pada subab sebelumnya, sang
kaisar akan dianugerahi tiga regalia kekaisaran. Ini merupakan salah satu bentuk shinsen
(persembahan) menurut Shinto. Menurut Ono ( 1992: 51) Shinsen yakni persembahan yang meliputi
uang, makanan seperti nasi, ikan, saruan, biah – buahan, minuman seperti sake dan air, peralatan
seperti baju, perhiasan, sutra dan objek simbolik seperti Gohei.
Tiga regalia yang diserahkan kepada kaisar berupa pedang, perhiasan, dan cermin perunggu.
Menurut analisis saya tiga regalia atau tiga pusaka yang diserahkan kepada kaisar mengandung
fungsi dan makna masing-masing benda yang terdapat dalam Shinto. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ross (1989: 75), bahwa dalam ajaran Shinto terdapat benda-benda yang dianggap suci
seperti pedang, kaca, dan perhiasan mutiara. Ketiga benda ini merupakan benda yang sangat penting
bagi umat Shinto.
Gambar 3.4 Tiga Regalia Kekaisaran
Sumber: http://www.valdostamuseum.org/hamsmith/LegbaHanuman.html
Dalam Shinto, pedang Kusanangi adalah merupakan pemberian langsung dari dewi matahari
Amaterasu kepada cucu laki-lakinya yaitu Ninigi sebagai bukti ia memiliki wewenang untuk
memimpin dataran Jepang. Pedang Kusanagi tersebut sebagai tanda kekuatan dari para dewa atau
kami untuk menjaga dan memberi perlindungan bagi manusia. Menurut analisis saya, Pedang
Kusanagi yang diberikan kepada kaisar mempunyai tujuan agar sang kaisar kelak dapat memimpin
negara Jepang dengan bijaksana, menjaga perdamaian dan keadilan. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan oleh Ono (1992: 24-25), bahwa di dalam ajaran Shinto banyak terdapat peralatan,
diantaranya yaitu pedang yang memiliki fungsi sebagai kekuatan para dewa dan juga sebagai
simbol untuk menjaga keadilan dan perdamaian. Selain itu, Ross (1989: 75) juga mengatakan,
bahwa Pedang menggambarkan kebaikan atau sifat baik keputusan yang kuat, yaitu kebijaksanaan.
Selain itu terdapat perhiasan Magatama, berdasarkan Kojiki perhiasan ini merupakan hadiah dari
kedelapan dewa kepada dewi Amaterasu agar ia mau keluar dari tempat persembunyiannya. Bentuk
perhiasan ini kecil, berwarna hijau, dan berbentuk koma melambangkan kepulauan negara Jepang
yang kecil namun kuat. Selain melambangkan kepulauan Jepang, perhiasan Magatama juga
melambangkan atau menandakan kelembutan hati. Menurut analisis saya perhiasan Magatama
mengartikan bahwa walaupun negara Jepang kecil, namun Jepang adalah negara yang kuat, selain
itu perhiasan magatama juga melambangkan ketaatan, kebajikan, dan kelembutan hati sang kaisar
yang diturunkan dari dewi Amaterasu. Hal ini sesuai dengan pendapat Ross (1989: 75), Perhiasan
dalam Shinto menandakan atau melambangkan kelembutan hati dan ketaatan ataupun kepatuhan,
jadi perhiasan menjadi sebuah simbol atau lambang perbuatan baik atau kebajikan.
Yang terakhir adalah cermin perunggu atau Kashiko Dokoro. Cermin ini hadiah dari salah satu
dewi, yaitu dewi Amano Uzume. Cermin ini diberikan kepada dewi Amaterasu agar ia dapat
melihat dirinya sendiri dan melihat kesengsaraan yang ditimbulkan dirinya karena bersembunyi di
dalam gua dan mengakibatkan bumi tanpa cahaya. Kaca tersebut merupakan simbol dari jiwa dewi
matahari Amaterasu dan salah satu dari tiga karangan tanda – tanda kebesaran kekaisaran dipegang
oleh kaisar dari generasi ke generasi ( Ono, 1992 : 3 ). Menurut analisis saya cermin Kashiko
dokoro mempunyai fungsi bahwa kelak sang kaisar dapat mengaca kepada dirinya sendiri apakah ia
sudah menjalankan pemerintahan dengan baik atau tidak, dan menggambarkan kejujuran hati
seorang kaisar terhadap rakyatnya. Selain menjadi pencerminan diri sendiri, Kashiko Dokoro juga
melambangkan kebenaran, hal ini sesuai dengan pendapat Ross (1989: 75) bahwa Cermin
memantulkan atau mencerminkan dari permukaan terangnya setiap objek seperti bentuk objek itu
sendiri, tanpa tergantung kebaikan atau keburukan, keindahan ataupun sebaliknya. Itu merupakan
sifat dasar cermin yang dengan jujur menggambarkan keadaan yang sebenarnya, salah satu dari
pokok kebaikan.
Pada malam berikutnya kaisar mengadakan Festival makanan Baru, persembahan makanan yang
terbuat dari padi yang dipanen dari ladang pilihan, dipersembahakan kepada dewi Amaterasu.
Ritual ini disebut dengan Shinsen. Ritual ini dilakukan di dua buah bangunan kuno, yaitu yuki-den
dan suki-den. Yuki-den dan suki-den terletak di pekarangan istana, disekitar bangunan tersebut
terdapat pagar yang mengelilingi mereka.
Gambar 3.5 Yuki den, Suki-den
Sumber: Google Earth 2008
Di pagar tersebut terdapat ukiran-ukiran yang melambangkan sejarah kuno Jepang, yaitu ukiranukiran yang menggambarkan sejarah pada zaman yayoi, serta gambar kaisar pertama Jepang yaitu
kaisar Jinmu (Holtom, 1996: 61). Ruangan ritual yang terdapat di bangunan tersebut dibagi menjadi
ruang dalam dan ruang luar, oleh layar merah yang dibatasi oleh kertas putih yang tergantung
diantaranya. Menurut analisis saya, warna merah dan putih sesuai dengan konsep warna dalam
ajaran Shinto. Dalam Japan Society (2007) Warna merah dianggap dapat mengusir roh jahat dan
berbagai penyakit. Di Jepang, warna merah juga dianggap sebagai simbol dari kebaikan dan
kejahatan, pertengahan antara surga dan neraka, kematian dan kehidupan, sehingga pada akhirnya
dikatakan bahwa warna merah tidak hanya dikatakan sebagai simbol dari kejahatan dan penyakit
saja melainkan juga simbol kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran. Hal sependapat juga
dikatakan oleh Weeber (2002), bahwa warna merah mempunyai arti kesuburan dan kelahiran.
Menurut analisis saya, arti kesuburan dan kelahiran di maksudkan kepada hasil panen dan kaisar,
semoga bibit yang ditanam mendapatkan kesuburan dan tidak terkena hama, sedangkan kaisar
diharapkan segera melahirkan keturunan agar kaisar mempunyai calon generasi penerus. Sedangkan
warna putih, merupakan simbol dari kesucian, sekaligus merupakan warna suci yang
melambangkan para dewa (Hibi, 2000:70). Menurut analisis saya, warna putih melambangkan
bahwa sang kaisar adalah orang suci dari keturunan dewi Amaterasu yang dianggap dewa oleh
masyarakat Jepang, hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Nobutaka (2001), bahwa warna
merah merupakan simbol dari kesembuhan, kesuburan, dan juga kelahiran, dan Ono (1992:27)
warna putih dalam ajaran Shinto merupakan warna suci.
Prosesi persembahan makanan suci dimulai dari dapur. Barisan pengawal kekaisaran yang
berwarna-warni dan pelayan kerajaan wanita membawa peralatan yang dibutuhkan pada upacara
secara perlahan. Peralatan yang dibutuhkan meliputi gohei, dan alas makan untuk kaisar dan kami.
Pemusik kerajaan mulai memainkan lagu penumbukkan beras (積みの稲) sementara para gadis
memasukkan beras atau padi di lumpung untuk kemudian ditumbukkan dengan alu. Lagu
penumbukkan (積みの稲) beras diciptakan pada saat pengangkatan kaisar Mutsuhito pada zaman
Meiji. Menurut analisis saya, lagu yang dibawakan oleh pemusik kerajaan mendapat pengaruh
shinto, yakni unsur shinsen. Shinsen adalah persembahan kepada para dewa atau kami yang
meliputi uang, makanan seperti nasi, ikan, saruan, buah – buahan, minuman seperti sake dan air,
peralatan seperti baju, perhiasan, sutra dan objek simbolik. Hal ini diperjelas oleh Holtom (1996 :
154) Shinsen (神饌) adalah sebuah kata yang ditujukan pada berbagai macam persembahan, yang
berupa makanan, minuman, dan sebagainya, yang dipersembahkan kepada kami.
Gambar 3.6 Shinsen
Sumber: http://www.shinto.co.jp
Pada saat kaisar mempersembahkan makanan tersebut, kaisar menduduki tempat suci yang
disebut Sinza. Sinza merupakan tempat duduk suci dewi Amaterasu yang bertempat di kuil Ise.
Sang kaisar menyajikan makanannya di sebelah timur menghadap kuil Ise tempat duduk kami
dimana alas makan kami disiapkan di sebelah alas makan kaisar.
Sang kaisar mempersembahkan makanan dengan menggunakan beberapa gohei (御幣)
yang berisikan makanan dan minuman yang terbuat dari bahan dasar padi. Penggunaan gohei,
sake, kue mochi sebagai objek persembahan merupakan bentuk shinsen (神饌) yang terdapat
dalam upacara Shinsen. Hal ini dikuatkan dengan adanya persembahan gohei, mochi, dan sake.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Picken (1994 : 175-179) bahwa, kami disambut dalam
komunitas masyarakat dan oleh masyarakat, dan kemudian persembahan disajikan.
Persembahan tersebut disebut dengan shinsen. Persembahan yang biasanya diletakkan di atas
meja altar adalah garam, sake, air, mochi, ikan, rumput laut (konbu), sayuran, buah dan padipadian. Ono (1992 : 52) juga mengatakan, memberikan persembahan bertujuan untuk
menyenangkan kami, jika tidak, maka akan membawa ketidakberuntungan pada manusia.
Persembahan yang diberikan umumnya berupa makanan dan minuman, seperti; nasi, ikan,
rumput laut, sayuran, kacang-kacangan, buah, mochi, air, dan sake.
Menurut John ( 1997: 14) dalam Hand Book Of Sake dikatakan bahwa sake「酒」adalah
sejenis minuman yang terbuat dari berbahan dasar beras. Pada setiap matsuri sake menjadi
minuman yang paling banyak dikonsumsi. Menurut analisis saya sake juga mempunyai kaitan
erat dengan Shinto, karena sake juga merupakan salah satu persembahan dalam Shinto. Hal
tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ono (1992; 54), bahwa persembahan minuman
biasanya berupa sake yang terbuat dari beras. Sake dipercaya sebagai minuman para dewa.
Selain itu menurut analisis saya Mochi yang dijadikan salah satu makanan yang disajikan
memiliki kaitan erat dengan Shinto, karena selalu digunakan dalam berbagai ritual Shinto
sebagai persembahan untuk kami. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ono
(1992: 54), bahwa beras dipersembahkan di banyak kesempatan dalam perayaan ritual Shinto,
baik dalam bentuk beras, maupun sesudah diolah menjadi kue beras yang dikenal dengan mochi.
Beras merupakan persembahan dan pujian kepada dewa di Jepang. Beras adalah persembahan
penting bagi para dewa atau kami, karena beras merupakan makanan suci berasal dari dewi
Amaterasu yang diberikan kepada umat manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Sam (2000),
bahwa makanan yang terbuat dari beras atau padi merupakan persembahan penting yang
dipersembahakan kepada para dewa dan dewi. Menurut analisis saya mochi memiliki kaitan erat
dengan daijousai, karena pada saat kaisar telah menerima kekuasaan untuk menjalankan
pemerintahan, kaisar membutuhkan kekuatan lebih untuk bisa menjalankan pemerintahan
dengan benar. Hal ini sesuai dengan Weeber (2002), mochi yang dijadikan makanan utama pada
beberapa matsuri dilambangkan sebagai kekuatan atau tenaga. Menurut analisis saya, mochi
dijadikan makanan utama pada beberapa matsuri dan juga pada daijousai karena mochi
merupakan makanan kesukaan para dewa atau kami. Menurut Picken (1994 : 183), Sesajian
yang paling umum adalah kue mochi, arak (sake), ganggang laut, sayur-sayuran, buah-buahan,
serta bunga-bunga. Hal ini sesuai dengan Sam (2000), mochi yang dijadikan makanan
persembahan, merupakan makanan kesukaan dari kami yang dihormati sebagai orang yang
bersejarah.
Penggunaan gohei juga sebagai objek persembahan, dikuatkan oleh pendapat Ono (1998 : 21
- 25), mengenai benda-benda yang dianggap suci bagi umat Shinto, salah satunya, yaitu; gohei.
Simbol persembahan, yang terdiri dari tongkat yang terdapat susunan kertas putih berbentuk
zig-zag
yang dilipat-lipat, diletakkan pada bagian tengah sebelum pintu ruang kecil altar,
merupakan sebuah persembahan kepada kami dan pada saat yang bersamaan juga merupakan
simbol dari kehadiran kami.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, di dalam shinsen dan Mitamashizume terdapat
musik yang disuguhkan. Musik-musik yang dibawakan
tersebut dipercaya dapat
menyenangkan para kami, hal ini seusai dengan Menurut Ono (1998 : 83), bahwa berbagai
bentuk hiburan yang diadakan antara lain tarian-tarian suci (kagura), musik klasik (gagaku),
nyanyian, tari-tarian klasik (bugaku) dan drama (noh) dapat menyenangkan para kami.
Alat musik yang biasanya digunakan pada setiap upacara keagamaan Shinto adalah Gagaku.
Gagaku adalah alat musik klasik Jepang yang terdiri dari bermacam alat musik yang dapat
dibagi ke dalam dua tipe, yaitu uchi-mono dan sankan. Uchi-mono (perkusi) terdiri dari sanko
(tiga gendang), taiko (gendang yang berukuran besar), kakko (gendang kecil), shoko (pelengkap
gendang), dan sasara (potongan-potongan kayu yang dipukul secara bersamaan). Sankan yang
didalamnya terdapat tiga jenis alat musik tiup seperti fue (sejenis suling dengan enam lubang),
sho (menyerupai angklung dengan jumlah tujuh belas tabung), dan hichikiri (sejenis suling
dengan sembilan lubang) ( Picken, 1994: 183).
Gambar 3.7 Shoko
Gambar 3.8 Taiko
Gambar 3.9 Kakko
Sumber: www.o-gagaku.com
Dari penjelasan diatas mengenai alat musik gagaku, terlihat memiliki hubungan dalam ritual
Shinto. Selain itu menurut analisis saya, hubungan lainnya yang dapat dikaitkan adalah bahwa
dalam kepercayaan Shinto musik bertujuan untuk memberikan kesenangan dan hiburan kepada
kami. Berasal dari legenda Shinto, bahwa para dewa mencoba untuk menarik keluar dewi
Amaterasu dari tempat persembunyiannya yaitu gua Ama-no-Iwayado. Pada saat itu para kami
mendiskusikan cara untuk menarik keluar dewi Amaterasu dan cara yang dipakai adalah dengan
mengadakan festival di luar gua. Suara-suara musik terdengar oleh dewi Amaterasu dan
membuatnya penasaran hingga keluar dari tempat persembunyiannya (Ross, 1989: 67).
3.1.4
Analisis Unsur Shinto pada Naorai dalam Tahapan Makan Bersama dan Utage
dalam Perayaan Daijousai
Pada subbab ini saya akan menganalisis ritual Daijousai yaitu Naorai dan Utage yang di
dalamnya terdapat unsur Shinto yaitu Naorai, yaitu jamuan makan bersama para peserta matsuri
yang dilakukan pada akhir upacara Shinto. Makanan yang dimakan adalah sesajian yang telah
disediakan bagi para dewa dan sudah di doakan oleh kannushi (pendeta Shinto) (Picken, 1994 : 183).
3.1.4.1
Analisis Unsur Shinto Naorai pada Ritual Makan Bersama di Perayaan Daijousai
Sesuai dengan Akihito Performs His Solitary Rite (1990), setelah tahapan Shinsen maka
dilaksanakan naorai, yaitu sebuah acara makan bersama dengan menyantap makanan yang telah
dipersembahkan kepada dewa. Naorai merupakan unsur keempat yang penting dalam
menyelenggarakan matsuri. Pada tahapan ini, kaisar menyantap sajian persembahan sebagai
lambang keeratan antara hubungan kaisar dengan para leluhurnya, termasuk dewi Amaterasu.
Sajian persembahan tersebut berupa makanan untuk para kami dibawa masuk terlebih dahulu dan
diletakkan di atas alas makan mereka, kemudian sake pun disajikan. Tujuan diadakannya Naorai
dalam daijousai adalah untuk mengeratkan hubungan kaisar dengan para leluhurnya terutama
Amaterasu-no-Omikami (Ohnuki-Tierney, 1993: 45-48).
Menurut analisis saya, tahapan naorai juga memiliki hubungan erat dengan Shinto. Karena
naorai merupakan acara menyantap makanan yang sudah dipersembahkan kepada dewa, yang
berupa makanan dan minuman. Makanan yang dimakan pada acara naarai merupakan sesajian yang
disediakan untuk para dewa dan sudah didoakan oleh kannushi (pendeta Shinto). Seperti yang
dikatakan Ono (1992: 51), naorai adalah merupakan sebuah perjamuan yang dilangsungkan pada
setiap akhir upacara Shinto. Naorai sering disebut juga makan bersama dengan para dewa. Selain
itu, digunakan sake sebagai simbol naorai yang menjadi perwujudan makan bersama – sama
dengan para dewa.
3.1.4.2
Analisis Unsur Shinto pada Naorai dalam Utage
Setelah tahapan Naorai, dimana kaisar yang baru saja dinobatkan makan bersama dengan para
leluhurnya, masih terdapat satu tahapan lagi. Tahapan itu disebut dengan Utage. Utage merupakan
acara perjamuan makan seusai upacara penaikan takhta kaisar yang melibatkan seluruh rakyat
Jepang. Hampir seluruh masyarakat Jepang datang untuk makan bersama dengan kaisar yang baru
saja dinobatkan.
Dibawah ini akan saya uraikan secara singkat beberapa makanan serta minuman khas yang
terbuat dari beras antara lain:
Sushi. Sushi adalah makanan yang terbuat dari nasi putih yang dibumbui cuka, garam, dan gula,
dan kemudian dibungkus dengan irisan ikan laut mentah, udang merah, nori (rumput laut), serta
bahan segar lainnya, Richie (1989: 13).
Mochi. Mochi adalah kue tradisional Jepang yang dibuat dari beras ketan. Kue ini sejak dahulu
selain untuk dimakan sendiri, telah menjadi sesajian yang dipersembahkan bagi para dewa di surge,
baik dalam upacar-upacara keagamaan maupun pesta-pesta rakyat. Mochi yang berbentuk lingkaran
pada umumnya digunakan sebagai persembahan kepada para dewa di surge, ketika perayaan tahun
baru maupun perayaan-perayaan lainnya. Sementara itu mochi yang berbentuk persegi-ceper
merupakan mochi yang biasa dimakan sehari-hari. Pada perayaan tahun baru misalnya terdapat
sajian yang disebut kagamochi, yakni kue mochi dua tingkat. Sesajian ini biasanya diletakkan di
rumah-rumah Jepang dan di kuil-kuil.
Onigiri. Onigiri ialah makanan khas Jepang yang terbuat dari nasi putih yang dikepal. Makanan
ini pada umumnya disajikan sebagai bekal makan siang, khususnya bagi anak-anak sekolah di
Jepang,Richie (1989: 14).
Sake. Sake adalah minuman berakohol khas Jepang yang terbuat dari beras atau beras ketan
yang diragikan. Minuman ini mirip dengan arak beras ketan dari Indonesia, Yanagita (1990: 190).
Makanan yang disajikan, adalah makanan dan minuman yang terbuat dari bahan dasar padi atau
beras, seperti nasi, kue mochi, onigiri, sushi, sake putih, dan sake hitam. Peristiwa ini merupakan
wujud, kebahagiaan serta tanda terima kasih kaisar atas dukungan seluruh rakyat kepadanya dalam
menjalankan pemerintahan baru. Menurut analisis saya, tahapan utage dalam Daijousai juga
mendapat pengaruh Shinto. Pada umumnya palaksanaan upacara utage yang dilakukan di akhir
acara diiringi dengan perjamuan makan ini tidak hanya melibatkan seisi istana saja, tetapi dapat
dihadiri oleh seluruh rakyat Jepang. Ini menggambarkan rasa kebersamaan dan dukungan terhadap
pemerintahan yang akan dijalani oleh kaisar yang baru (Ohnuki-Tierney, 1993: 45-48). Hal ini
sesuai dengan pendapat Ono ( 1992: 52), yang mengatakan bahwa salah satu tujuan matsuri adalah
untuk menjalin kebersamaan antara satu sama lain. Selain itu juga termasuk sebagai salah satu
unsur penting dalam matsuri yang sesuai dengan pendapat Itou (2000), unsur penting tersebut
adalah waktu makan bersama pada akhir acara.
Peranan padi dalam kehidupan sehari-hari rakyat Jepang, tidak hanya sebagai alat pemenuan
kebutuhan jasmani saja atau dengan kata lain sebagai sumber makanan pokok bagi rakyat Jepang.
Akan tetapi juga sebagai alat pemenuhan kebutuhan rohani yang diwujudkan dengan menjadikan
padi, baik dalam bentuk nyata maupun dalam bentuk simbol, sebagai media persembahan kepada
dewa sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang telah diberikan oleh para dewa-dewi, terutama
dewi Amaterasu.
Menurut analisis saya, padi selain berfungsi sebagai media persembahan kepada para dewa
karena makna sakral yang begitu melekat pada padi, maka hidangan atau sajian yang disajikan pada
setiap ritual adat dan ritual keagamaan, umumnya terbuat dari bahan dasar beras atau padi.
Alasannya tentu saja karena menurut kepercayaan masyarakat Jepang, padi merupakan tanaman
yang bibitnya diberikan langsung oleh dewi Amaterasu kepada umat manusia di bumi sebagai
sumber bahan makanan guna memenuhi kebutuhan jasmani mereka. Mitos lain mengatakan bahwa
dewi Amaterasu memberikan padi tersebut kepada cucunya Ninigi-O-Mikoto untuk diberikan
kepada umat manusia di bumi, agar manusia mempunyai bahan makanan yang layak untuk dimakan.
Secara simbolis padi tidak hanya memperlihatkan nilai sakral dan suci, tetapi juga melukiskan
keindahan yang sempurna. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sam (2000), bahwa makanan yang
terbuat dari beras atau padi merupakan persembahan penting yang dipersembahakan kepada para
dewa dan dewi.
Menurut analisis saya, beras atau padi memiliki kaitan erat dengan Shinto. Pada awalnya beras
merupakan makanan yang memiliki nilai khusus yang sering dijadikan persembahan dalam ritual
Shinto. Pada umumnya hasil panen padi pertama dijadikan persembahan kepada para kami.
Daijousai diajadikan sebagai perayaan khusus untuk menyambut panen pertama sekaligus dijadikan
momen pengangkatan kaisar dengan mempersembahkan padi yang baru dipanen kepada kami. Hal
ini dilakukan sebagai ungkapan rasa terima kasih mereka kepada kami atas keberhasilan panen
mereka. Hal tersebut selaras dengan pendapat Mikado (1990), bahwa untuk mengungkapkan rasa
terima kasih kepada para kami atas keberhasilan panen, pada saat panen tiba mereka mengundang
datangnya kami dan mengadakan perayaan minum dan
mempersembahakan beras yang baru panen kepada kami.
makan bersama kami,
serta
Download