ANEMIA DI DAERAH ENDEMIK MALARIA OLEH : Dr. Dra

advertisement
ANEMIA DI DAERAH
ENDEMIK MALARIA
OLEH :
Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt,M.Kes
PROGRAM STUDI ILMU GIZI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2011
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................
i
SURAT KETERANGAN .................................................................................................
ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………………………………………………..
BAB II
BAB III
1
PEMBAHASAN
A. Dasar Patogenesis Penyakit Malaria ....................................................
4
B. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria ....................................
7
B1. Hilangnya Sel Darah Merah yang Terinfeksi.................................
7
B2. Kehilangan Sel darah Merah yang Tidak Terinfeksi .....................
9
B.3 Penekanan Erythropoietic dan Dyserythropoiesis .......................
11
C. Epidemiologi dan Bukti Intervensi Mengenai Zat Besi dan Anemia ..
19
PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
24
BAB I
PENDAHULUAN
Morbiditas
dan
mortalitas
penyakit
malaria
utamanya
disebabkan oleh infeksi plasmodium falciparum, walaupun p. vivax, p.
ovale, and p. malariae juga berkontribusi terhadap infeksi pada manusia.
Total beban dari penyakit ini diperkirakan hingga 515 juta episode setiap
tahun dan malaria berkontribusi 18% dari semua kematian anak di subSaharan Afrika, yang sebanding dengan 800.000 kematian setiap
tahunnya (Rowe, 2000; Snow, 2005).
Studi mengenai anemia malaria sedikit terlambat menarik
perhatian para akademisi dan professional. Anemia malaria berat sangat
pantas dijadikan sebagai masalah kesehatan masyarakat utama karena
banyaknya jumlah orang yang mengalaminya, dan nampaknya jumlah ini
menjadi semakin meningkat seiring terjadinya resistensi obat antimalaria.
Perhatian terhadap hal ini juga telah didukung oleh data dari penelitian
terbaru mengenai vaksin, yang menyatakan bahwa kera yang diimunisasi
dengan antigen tahap eritrosit, dan yang telah mendapatkan perlindungan
dari infeksi akut, dapat menderita anemia berat selama fase infeksi subakut atau kronis (Egan, 2002; Jones, 2002). Lagipula, terjadi peningkatan
kesadaran mengenai sulitnya pengobatan yang memuaskan melalui
transfuse darah di luar pusat-pusat ahli pada kebanyakan daerah endemic
sebagai akibat dari terbatasnya suplai darah yang cepat dan aman
(Rowe, 2000; Fleming, 1997).
Anemia malaria berat lebih sering ditemukan pada daerah
dengan penyebaran malaria yang tinggi dan sebagian besar ditemukan
pada anak-anak dan wanita hamil (Greenwood, 1997). Prevalensi anemia
yang didefinisikan sebagai kadar hematokrit (Hct) lebih tinggi dari 0,33,
pada daerah endemic malaria di Afrika, bervariasi antara 31% dan 91%
pada anak-anak dan antara 60% dan 80% pada wanita hamil (Menendez,
2000; Schellenberg, 2003).
Cukup sulit untuk menentukan jumlah kasus anemia berat yang
disebabkan oleh malaria sebagaimana defenisi WHO mengenai anemia
malaria berat (kadar haemoglobin [Hb] < 50 g/L [5 g/dL] atau Hematokrit
[Hct] < 0,15, dalam keadaan adanya parasitemia > 10.000 per mikroliter
[µL), dan sebuah lapisan darah yang normocytic) dapat mengeluarkan
proporsi pertimbangan dari anak anemia berat yang memiliki apusan
darah
negative
untuk
parasit
malaria
tetapi
merespon
terhadap
pengobatan antimalaria (Menendez, 1997; Warrel, 1990). Kemungkinan
akan sulit untuk menghubungkan anemia dengan sebuah penyebab
tunggal karena penyebab anemia malaria di daerah endemic biasanya
kompleks dan defisiensi hematinin, sifat genetic, dan infeksi berulang
kesemuanya itu berkontribusi terhadap anemia (Roberts et.al, 2005).
Namun demikian, sebuah randomized placebo-controlled trial profilaksis
malaria dan suplementasi besi pada bayi, pada sebuah daerah endemic,
telah memperihatkan bahwa infeksi malaria merupakan faktor etiologi
utama yang mendasari terjadinya anemia (Schellenberg et.al, 2001).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar patogenesis penyakit malaria
Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1)
(Ocana-Morgner et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju
multiplikasi yang lebih tinggi yang juga secara konal mengekspresikan
varian antigen pada permukaan eritrosit yang terinfeksi (pf-EMP-1). PfEMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel endotel dan
memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena postcapillary.
Kedua karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk
menghindar dari sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya
parasitemia yang tinggi dengan infeksi berulang yang berkontribusi
terhadap keadaaan kronis dari penyakit ini (Hvild, 2005). Pada malaria P.
vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi jarang terjadi karena invasi
terhadap eritrosit terbatas pada retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadangkadang dapat menyebabkan penyakit yang berat termasuk anemia
melalui hemolisis berat (Tjitra, 2005; Rodriquez-Morales, 2006; Nosten,
1999).
Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria (Lamikanra, 2007)
Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum
cukup luas. Pada daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan
orang dewasa yang semi-imun dan imun muncul karena penyakit febrile
yang tidak sempurna. Pada sebagian besar penyakit berat, individu nonimun dapat memiliki sejumlah sindrom termasuk anemia, koma, distress
pernapasan, dan hipoglikemia, serta memiliki frekuensi bakterimia yang
tinggi (Marah, 1995; Berkley, 2005). Banyak anak yang menderita anemia
ringan, sedang, dan bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain.
Akan tetapi, anemia berat dapat diikuti oleh sindrom penyakit berat yang
lain (Marah, 1999). Sebagai contoh, anak yang menderita anemia dapat
juga memunculkan gejala malaise, kelelahan, dyspnoea, atau distress
pernapasan karena metabolic acidosis supervenes (Krishna, 1994;
English,1997). Distribusi umur pada sindrom penyakit berat ini cukup
menarik, tapi sangat sedikit dipahami. Anak yang lahir di daerah endemic
malaria cukup besar terlindungi dari malaria berat pada 6 bulan pertama
kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin ibu dan haemoglobin
semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari anemia berat pada
anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi menjadi malaria
cerebral pada orang yang lebih tua di daerah transmisi rendah (Snow,
1997). Seiring penurunan intensitas transmisi, malaria berat lebih sering
ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.
Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan
normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun
microcytosis dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat
talasemia alpha dan beta dengan frekuensi sangat tinggi dan/atau
defisiensi besi pada daerah endemic malaria (Newton, 1997; Yeats, 1999;
Abdalla, 2004; Roberts, 2005) perbedaan yang jelas pada patofisiologi
anemia dalam berbagai kondisi klinis, usia dan area geografis hanya
sedikit dipahami dan tentunya memerlukan lebih banyak penelitian lagi.
Bentuk anemia yang kurang umum pada malaria aalah “blackwater fever”
yang ditandai dengan secara tibab-tiba munculnya kemoglobin pada urin
yang terkait dengan penggunaan kina yang tidak beraturan (Stephens,
1937).
Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi
dan komplks: infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau
malaria cerebral, distress pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi
kronis, infeksi berulang dapat menyebabkan anemia berat. Di samping itu,
kemungkinan ada pula background Hb normal atau rendah. Dengan
demikian, pemahaman mengenai proses patofisiologi utamanya telah
dikaitkan dengan konteks klinis yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).
B. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia
dapat mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1)
penghilangan dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi,
(2) penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan
erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah
terlibat dalam anemia malaria pada manusia.
B.1. Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit
yang terinfeksi untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan
makrofag. Jalur fagositik untuk manusia dan tikus dapat dilihat pada
tabel 1 (Casals-Pascual et.al 2006).
Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria
pada manusia dan tikus (Lamikanra, 2007)
Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk
hilangnya eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan
tetapi, hilangnya eritrosit terinfeksi pada manusia dengan parasitemia
kurang dari 1% nampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan
pada derajat anemia. Oleh karena itu, penghilangan ini, dapat
membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada individu yang
menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia
biasanya lebih besar dari 10% (Lamikanra, 2007).
B.2. Kehilangan sel darah merah yang tidak terinfeksi
Selama infeksi malaria pada manusia, banyak sel darah
merah yang tidak terinfeksi hancur di limpa dan sangat mungkin di
hati, dan kerusakan sel-sel darah merah ini telah diidentifikasi sebagai
penyumbang utama anemia pada malaria (Price RN, et.al; 2001).
Model matematika dan observasi klinis menunjukkan bahwa sel darah
merah yang tidak terinfeksi 10 kali lebih banyak akan dihapus dari
sirkulasi untuk setiap eritrosit yang terinfeksi (Jakeman, 1999).
Walaupun hanya sedikit pengukuran langsung sel darah merah yang
bertahan
yang
telah
dilakukan
untuk
infeksi
pada
manusia,
pengurangan sebagian usia eritrosit normal dan meningkatkanya
penghilangan eritrosit karena panas telah dilakukan pada pasien
malaria, dan konsisten dengan observasi ini (Looareesuwan, 1987).
Kegiatan dan jumlah makrofag juga meningkat selama infeksi
malaria
pada
manusia,
dan
karena
itu
dapat
menyebabkan
peningkatan penghilangan sel yang tidak terinfeksi (Jenkins, et.al;
2006). Peningkatan penghlangan eritrosit yang tidak terinfeksi ini tidak
hanya
disebabkan aktivasi makrofag limpa tetapi juga
untuk
perubahan ekstrinsik dan intrinsik pada sel darah merah yang
meningkatkan keberadaannya dan fagositosis. Pertama, sel darah
merah yang tidak terinfeksi mengalami penurunan deformabilitas yang
menyebabkan peningkatan penghilangan sel darah merah dalam
limpa.
Mekanisme
yang
bertanggung
jawab
atas
hilangnya
deformabilitas ini belum sepenuhnya dipahami. Peningkatan oksidasi
dalam membrane eritrosit terinfeksi telah terbukti pada anak-anak
dengan malaria falciparum P berat, dan inflamasi yang sedang
berlangsung yang terkait dengan malaria akut (proinflamasi cytokines),
atau efek langsung produk parasit telah terbukti menyebabkan
hilangnya pembentukan sel darah merah (Mohan, 1995; Dondorp,
2003; Omodeo,2005). Menariknya, penurunan deformabilitas sel darah
merah yang parah juga merupakan prediktor yang kuat untuk kematian
diukur pada awal masuk rumah sakit, baik pada orang dewasa
maupun anak-anak dengan malaria berat (Dondorp, et.al; 2002).
Kedua, pengendapan immunoglobulin dan komplemen pada sel darah
merah yang tidak terinfeksi dapat meningkatkan serapan dengan
mediasi reseptor oleh makrofag (Tabel 1) (Lamikanra, 2007).
Produk
parasit
yang
mungkin
menjadi
bagian
dari
imunoglobulin-antigen kompleks diendapkan pada sel darah merah
yang tidak terinfeksi termasuk protein permukaan cincin P falciparum
2 (RSP-2). Protein ini, yang dieksprsesikan secara singkat setelah
invasi merozoit sel darah merah, memediasi adhesi iRBCs ke sel
endotel (Douki JB, et.al; 2003). RSP-2 juga disimpan pada sel darah
merah yang tidak terinfeksi dan opsonisasi dari bantalan RSP- 2- sel
darah merah yang tidak terinfeksi ini menyediakan mekanisme untuk
menghilangkan sel darah merah yang tidak terinfeksi. Memang
tingginya tingkat antibodi yang memfasilitasi fagositosis yang
dimediasi
pelengkap
dari
sel
yang
mengekspresikan
RSP-2
ditemukan dalam serum kekebalan tubuh dari orang dewasa dan
anak-anak dengan anemia berat (Layez, et.al; 2005). Antigen ini juga
ada pada permukaan erythroblasts dalam sumsum tulang dari pasien
yang terinfeksi P falciparum, menunjukkan bahwa penghilangan atau
kerusakan beredar atau mengembangkan sel erythroid melalui RSP2 dan anti-RSP-2 dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan
anemia malaria berat.
B.3. Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria.
Pengamatan yang paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang
pada manusia yang menderita malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun
yang lalu di mana reticulocytopenia diamati dalam infeksi malaria P
vivax dan P falciparum yang diikuti oleh retikulositosis setelah
penghilangan parasit (Vryonis, 1939). Kemudian, ditunjukkan bahwa
jumlah reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di
Thailand diikuti dengan penekanan eritropoiesis (Casals-Pascual &
Roberts, 2006).
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia
dengan anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan
cellularity tidak berbeda secara signifikan untuk jumlah total
erythroblasts yang diamati ketika dibandingkan dengan pasien yang
tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk respon erythroid yang
ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis (parasitemia <
1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis yang
lebih tinggi (Abdalla SH, 1990). Dyserythropoiesis atau secara
morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel darah merah
abnormal
ditunjukkan
fragmentasi,
jembatan
multinuclearitas.
Hal
oleh
vacuolasi
sitoplasma,
intercytoplasmic,
fragmentasi
ini
dengan
bertepatan
stippling,
inti,
dan
berkurangnya
retikulositosis yang mengindikasikan gangguan fungsional produksi
sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla SH, 1990) (Gambar 2).
Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit kronis,
sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati di
fase G2 pembelahan (Wickramasinghe, 1982). Pengobatan pasien
dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah retikulosit, yang
menunjukkan
bahwa
P.
falciparum
dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak efektif.
sebagai
penyebab
Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada
perkembangan anemia malaria
Sebuah
produk
sampingan
parasit
dari
pencernaan
hemoglobin, hemozoin, mungkin memiliki peran dalam terjadinya
gangguan erythroid melalui pengaruh pada fungsi monosit manusia.
Hemozoin mengurangi aktivitas oksidatif yang berlebihan pada
manusia, mencegah up-regulasi penanda aktivasi, (Schwarzer, 1998)
dan juga merangsang sekresi endoperoxides yang aktif secara
biologis dari monosit, seperti 15 (S)-hydroxyeicosatetraenoic (HETE)
dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE) melalui oksidasi lipid membran,
(Schwarzer, 2003) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan erythroid.
(Giribaldi, 2004) Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu fungsi
pulau
erythroblastic
dimana
makrofag
mendukung
diferensiasi
terminal erythroblasts di sumsum tulang. Hemozoin dan TNFα-juga
memiliki efek aditif pada eritropoiesis in vitro, dan dalam studi klinis
makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin plasma
dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. (Casals-Pascual,
2006) Selain itu, bagian sumsum tulang dari anak-anak yang
meninggal karena malaria berat menunjukkan hubungan yang
signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di prekursor erythroid dan
makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal. Temuan ini
konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada
eritropoiesis dan karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut
(Lamikanra, 2007)
Penekanan cytokine dalam erythropoiesis
Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang
menghasilkan peningkatan TNFα dan IFNγ (Yap, 1994). TNFα
menghambat semua tahapan eritropoiesis (Dufour, 2003), dan IFNγ
bekerja
dengan
TNFα
untuk
menghambat
pertumbuhan
dan
diferensiasi erythroid dengan up-regulasi ekspresi TRAIL, TWEAK,
dan
CD95L
dalam perkembangan
erythroblasts
(Felli, 2005).
Sedangkan penyakit berat pada anak dikaitkan dengan peningkatan
kadar sitokin pro inflamasi dan anti-inflamasi, tingkat keparahan
anemia nampaknya tergantung pada tingkat TNFα yang relatif
terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang potensial.
Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah
dari plasma IL-10/ TNFα terkait dengan anemia malaria berat pada
anak-anak (Othoro, 1999). Selanjutnya, sejumlah polimorfisme dalam
TNFα-promotor manusia menunjukkan hubungan yang lebih besar
dengan anemia dibandingkan dengan malaria serebral (McGuire,
1999). Oleh karena itu dikemukakan bahwa pada manusia IL-10 dapat
melindungi terhadap penekanan sumsum tulang dan aktivitas
erythrophagocytic yang diinduksi oleh TNFα dan/atau mengurangi
rangsangan proinflamasi lainnya.
Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan
migrasi faktor penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis
anemia pada malaria. Pada manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari
makrofag menginduksi produksi IFN dari pembunuh alami (NK), sel B,
dan sel T (Malaguamera, 2002), sementara MIF diproduksi melalui sel
T dan makrofag yang diaktifkan dan menghambat aktivitas antiinflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden, 2003).
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan
non-lethal, dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat
menjadi stimulator eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan
peningkatan kadar yang ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat
menekan hematopoiesis (Martiney, 2000).
The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih
kurang jelas. Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan
IL-18 pada pasien dengan anemia berat (Awandare, 2006), yang lain
melaporkan penurunan IL-12 pada pasien dengan malaria berat (Hb
<75 g / L [7,5 g / dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak sempurna
(Hb> 100 g / L [10 g / dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan
pada pasien dengan penyakit berat dibandingkan dengan malaria
tanpa komplikasi (Lyke, 2004). Dalam 2 contoh terakhir di atas, antiinflamasi sitokin seperti TGF atau IL-10 juga berkurang pada pasien
dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan penyakit akut dan
peningkatan
kadar
IL-12
telah
menandai
peningkatan
IL-10
(Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia
dalam studi terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL)
adalah mungkin bahwa, peningkatan IL-12 berhubungan dengan
penurunan tingkat keparahan anemia malaria berat.
Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan
juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi
dan antiinflamasi, yang dapat menjadi pelindung atau merugikan host.
Memahami peran sitokin akan membutuhkan lebih banyak data dari
studi yang kuat untuk memungkinkan penggunaan analisis multivariat
yang lebih canggih yang memungkinkan untuk interaksi yang rumit
antara masing-masing faktor.
Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama
terjadi infeksi yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi
pada anemia malaria berat adalah jangkar glycophosphatidylinositol
(GPI) dari protein merozoit, MSP-1, MSP-2, dan MSP-4 (Miller, 1993).
GPIs cenderung untuk memberikan kontribusi untuk anemia malaria
karena dapat menginduksi pelepasan TNFα-dari makrofag manusia
(Schofield, 1993), yang dapat berkontribusi terhadap patologi dari
anemia malaria berat. Lebih khusus, baru-baru ini telah diperlihatkan
bahwa respon proinflamasi dari monosit manusia adalah melalui
interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang lebih rendah
(Krishnegowda, 2005).
Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin,
juga dapat lebih erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan
demikian terkait pula dengan pelepasan proinflamasi sitokin. Pada
manusia, pigmen sintetik menginduksi ekspresi TNFα, yang telah
dikaitkan
dengan
kemampuan
hemozoin
untuk
menginduksi
metaloproteinase MMP-9 (Prato, 2005).
Erythropoietin.
Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan
oksigen harus merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo)
pada pasien dengan anemia malaria yang berat. Bukti klinis untuk
peningkatan kadar Epo yang tepat pada malaria agak kontradiktif.
Studi pada orang dewasa dari Thailand dan Sudan telah menunjukkan
bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan, kurang tepat untuk
derajat anemia (el Hassan, 1997). Namun, beberapa penelitian
malaria pada anak-anak Afrika yang menderita anemia malaria telah
menunjukkan peningkatan konsentrasi Epo dengan tepat (Verhoef,
2002). Bahkan, tingkat Epo pada anemia malaria lebih dari 3 kali lipat
lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia tanpa malaria. (72)
Ada kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak efektif atau tidak
memadai berkontribusi terhadap anemia malaria di beberapa tempat,
kemungkinan berhubungan dengan usia, asal etnis, atau presentasi
pasien. Akan tetapi, pada anak-anak Afrika dengan malaria, sintesis
Epo memang meningkat lebih dari yang diharapkan dan itu lebih
mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap Epo, bukan tingkat
Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi yang lebih
signifikan untuk patologi.
Defisiensi Hematinin.
Meskipun kekurangan makanan tersebar luas di daerah
endemik malaria, pengaruh kadar folat dan zat besi yang kurang tidak
dianggap
sebagai
kontributor
utama
dyserythropoiesis
selama
terjadinya anemia berat pada malaria (Abdalla, 1990). Namun
disregulasi metabolisme besi dapat berkontribusi pada keparahan
penyakit pada anak-anak yang mengalami anemia malaria berat.
Hepcidin hormon peptida telah terlibat dalam mediasi anemia penyakit
kronis atau inflamasi dengan mengurangi cadangan besi untuk
eritropoiesis (Nemeth, 2003).
C. Epidemiologi dan bukti intervensi mengenai zat besi dan malaria
Setelah percobaan Pemba, pertanyaan utama yang dihadapi
peneliti adalah: ''Apa mekanisme potensial dimana status besi dapat
mempengaruhi invasi atau pertumbuhan parasit dan tentu saja gejala
klinis infeksi''? Sebagian besar diskusi pertanyaan ini berkisar pada tahap
darah parasit dengan hampir tidak ada yang diketahui tentang faktor yang
mungkin berdampak pada tahapan hati, dan ini akan menjadi target
penting untuk penelitian masa depan. Saat ini ada 4 saran yang dikutip
sebagai sarana dimana status besi dapat mempengaruhi kerentanan
terhadap malaria (Andrew, 2008).
Yang pertama adalah hanya melalui perubahan dalam
ketersediaan besi untuk pertumbuhan parasit dan replikasi. Pada tahap
erythrocyticnya,
parasit
malaria
menyajikan
beberapa
paradoks
sehubungan dengan akuisisi besi. Heme besi, meskipun tersedia dalam
jumlah yang banyak, tampaknya tidak dimanfaatkan oleh plasmodium dan
harus didetoksifikasi melalui pembentukan kompleks hemozoin, yang
berisi 2,2 mol/L besi. Tampaknya parasit tergantung pada tempat yang
sangat kecil dari besi labil dalam sitoplasma dan karenanya mungkin
sensitif terhadap pengaruh eksternal (nutrisi) pada konsentrasi besi dalam
kompartemen ini (Scholl, 2005).
Kemungkinan kedua adalah bahwa suplementasi besi dapat
meningkatkan kerentanan dengan menstimulasi eritropoiesis karena ada
bukti bahwa parasit memiliki preferensi untuk retikulosit. Namun, ini hanya
berlaku pada P. vivax dan tidak akan menjelaskan efek pada P.
falciparum yang kadang-kadang keliru.
Kemungkinan ketiga adalah bahwa seng protoporfirin (sebuah
produk dari kekurangan zat besi eritropoiesis) dapat menghambat
pembentukan
hemozoin
dan
karenanya
menghasilkan
lingkungan
beracun dengan cara yang analog dengan tindakan obat antimalaria (Iyer,
2003). Kemungkinan terakhir akan melalui pengaruh besi terhadap
imunitas host.
Anehnya, ada beberapa studi yang memeriksa apakah individu
iron-deficient/anemia lebih rentan terhadap malaria (Gambar. 3). Dua
penelitian menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap malaria pada
individu dengan feritin serum yang tinggi (Snow, 1991; Nyakeriga, 2004).
Penelitian lain menunjukkan peningkatan (Oppenheimer, 1986) dan
penurunan (Shipton, 2004) kerentanan terkait dengan tingkat hemoglobin
yang lebih tinggi. Perancu dalam studi tersebut dengan mudah dapat
muncul dari proporsi yang berbeda dari hemaglobinopathies, yang
mungkin berhubungan dengan hemoglobin dan perlindungan dari malaria.
Gambar 3. Beberapa penelitian mengenai status besi dan
kerentanan terhadap malaria
Bukti dari percobaan suplementasi besi lebih kuat (Gambar 4)
dan telah ditinjau secara rinci di tempat lain (Shankar, 2000;
Oppenheimer, 2001; Prentice, 2007). Dari 15 studi terakhir yang ditinjau
(Prentice, 2007), 6 tidak menunjukkan efek dari suplemen zat besi pada
risiko malaria; dari 6 hasil ini, 3 termasuk proporsi besar subyek anemia
(74-94%), dan hanya 1 anak disertakan dengan Hb 50 g/L . Penelitian lain
yang dikelompokkan berdasarkan tingkat dasar hemoglobin menemukan
bahwa manfaat terbesar terjadi pada sub kelompok yang paling anemia,
sebuah temuan yang sejalan dengan interpretasi Stoltzfus dari data
Pemba (Stoltzfus, 2008). Tiga penelitian menunjukkan peningkatan
serangan malaria klinis pada kelompok suplementasi besi, dan 6 studi
lebih lanjut menemukan peningkatan tidak signifikan dalam hasil malaria.
Gambar 4. Beberapa penelitian mengenai suplementasi besi dan infeksi
malaria
Salah satu perbedaan mencolok antara populasi penelitian dengan
peningkatan yang signifikan dalam hasil malaria dan yang dengan efek
tidak bermakna adalah akses ke perawatan kesehatan dan pengobatan
aktif kasus insiden malaria. Bahkan, semua kecuali 1 dari percobaan yang
ditemukan
tidak
berpengaruh
pada
hasil
malaria
disediakan
akses ke fasilitas perawatan kesehatan atau aktif tindak lanjut dan
pengobatan kasus kejadian malaria. Hal ini menunjukkan bahwa efek
merugikan potensi suplementasi besi dapat dibatasi oleh pengobatan
yang efektif bersamaan dari infeksi malaria. Namun, Verhoef dkk. (2002)
dan Nwanyanwu dkk. (1996) telah menunjukkan efek kegagalan
pengobatan
potensi
menggabungkan
sulfadoksin/pirimetamin
(SP)
dengan zat besi dalam pengobatan malaria, menunjukkan bahwa terapi
antimalaria harus mendahului suplemen.
BAB III
PENUTUP
Pada penyakit akut, ketidakseimbangan antara mediator proinflamatori dan
anti-inflamatori kemungkinan menjadi penyebab utama dyseritropoiesis.
Selama terjadi infeksi kronis, akan terjadi gangguan penghilangan produkproduk parasit (mis: RSP2, Hz, dan GPI), dan akumulasinya secara bersamasama atau sendiri berkontribusi terhadap terjadinya anemia malaria berat
yang kronis. Penelitian selanjutnya mengenai pengaruh jangka panjang
produk parasit pada pengaturan cytokine dan hematopoiesis dapat
berkontribusi dalam mekanisme yang terlibat dalam suppresi produksi sel
darah merah. Penelitian seperti ini jika disandingkan dengan investigasi in
vitro mengenai pengaruh produk parasit pada sel-sel hematopoietic akan
memungkinkan untuk menentukan tahap eritropoiesis yang terlibat dan akan
meningkatkan pemahaman kita mengenai etiologi anemia malaria berat.
Download