BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Homoseksual 2.1.1 Definisi Homoseksual

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Homoseksual
2.1.1 Definisi Homoseksual
Kata
‘homoseksual’
adalah
hasil
penggabungan bahasa
Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos,
'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo
sapiens) dan bahasa latin sex yang berarti ‘seks’ (Kinsey, 1948; Sell, 1987).
Homoseksual adalah individu yang memiliki orientasi seksual terhadap
jenis kelamin yang sama (Rosenthal, 2013, h. 234). Sementara menurut Kinsey
(1975, h. 612), istilah homoseksual dalam kaitannya dengan perilaku manusia
telah diaplikasikan terhadap hubungan seksual, baik secara fisik maupun psikis,
antara individu yang memiliki jenis kelamin yang sama.
Menurut Oetomo (2001, h. 24), homoseksualitas adalah ketertarikan
secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik
secara predominan (lebih menonjol) maupun secara eksklusif (semata-mata)
terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa adanya hubungan
fisik (jasmaniah).
Dari banyaknya pendapat ahli tentang definisi homoseksualitas, Isaacs dan
Miller (1985) memberikan pemahaman yang lebih komprehensif:
12
13
“Homosexuality is seen as a broad spectrum of psychological, emotional
and sexual variables in a state of interplay between people of the same
sex. Homosexuality is not only sexual attraction between people of the
same sex, but also includes an emotional as well as physical bond; a
fantasy system; and elements of symbolism, eroticism, and sexuality.
Homosexuality can be experienced in different degrees (dalam Heath,
2004, h. 56).”
Michael, dkk (Kendal, 2014, h. 318), mengidentifikasikan tiga kriteria
dalam menentukan seseorang itu homoseksual, yakni sebagai berikut:
a. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan gender
dengan dirinya.
b. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan
gender dengan dirinya.
c. Mengidentifikasikan diri sebagai gay atau lesbian.
2.1.2 Definisi Gay
Menurut Oetomo (2001), istilah gay seharusnya mengacu pada laki-laki
dan perempuan homoseksual tetapi pada kenyataannya gay seringkali dipakai
hanya untuk laki-laki. Gay berarti orang yang meriah. Istilah gay mengacu pada
gaya hidup, suatu sikap bangga, terbuka dan kadang-kadang militan terhadap
masyarakat. Istilah ini muncul ketika lahir gerakan emansipasi kaum homoseks
14
(laki-laki maupun perempuan) yang dipicu oleh peristiwa Stonewall di New York
pada tahun 60-an.
Menurut Nevid, dkk (1993, h. 266) pria homoseksual kerapkali disebut
sebagai ‘pria gay’ atau ‘gay’ saja. Sementara menurut Rosenthal (2013, h. 234),
gay adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual dan romantisme kepada
laki-laki. ‘Gay’ juga digunakan untuk menggambarkan individu, praktik/aplikasi,
dan budaya yang terkait dengan homoseksualitas.
2.1.3 Etiologi Homoseksual
Latar belakang terbentuknya perilaku homoseksual dapat dilihat dari
berbagai pendekatan (Caroll, 2013), yaitu:
a. Pendekatan Biologis
1) Genetik
Franz Kallman (1952 dalam Carroll, 2013) merupakan pelopor penelitian
yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan
melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya
dengan kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada
homoseksual.
Hammer dkk (1993 dalam Carroll, 2013)
menemukan bahwa
homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian
ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui
garis keturuan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki.
15
Pattatucci (1998 dalam Carroll, 2013) berpendapat bahwa pria gay
memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian, sementara
para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada
saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen gay
ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen lesbian. Baru penelitian
genetik yang mengungkapkan bahwa frekuensi homoseksualitas pada anak
kembar mungkin jauh lebih rendah dari yang dilaporkan sebelumnya (Krik,
dkk., 1999 dalam Caroll, 2013).
2) Hormon
Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki
tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual
(Dorner, 1988 dalam Caroll, 2013), namun yang lainnya tidak menemukan
adanya perbedaan tersebut (Hendricks, dkk dalam Caroll, 2013). Ellis dkk
(1988 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa stres selama kehamilan (yang
bisa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin
homoseksual. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang
menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa
prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989 dalam Caroll, 2013).
Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi
seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis
kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995 dalam Caroll, 2013).
16
Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah
pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak
menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988 dalam Caroll, 2013).
Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan
wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat
testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan
tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan
tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990 dalam Caroll, 2013).
3) Urutan Kelahiran
Para peneliti juga melihat efek dari urutan kelahiran. Ditemukan banyak
dari pria gay telah dilahirkan lebih banyak dari saudara dan memiliki saudara
yang lebih tua tetapi bukan kakak perempuan (Blanchard, 2004; CamperioCiani et. al., 2004; Ridley, 2003; dalam Caroll, 2013). Telah diperkirakan
bahwa orientasi seksual 1 dari 7 pria gay adalah hasil dari urutan kelahiran
fraternal (jumlah saudara tua yang mereka miliki) (Conter et al., 2002 dalam
Caroll, 2013).
Urutan
kelahiran
fraternal
dapat
berkontribusi
pada
orientasi
homoseksual dalam dua cara; pertama, sel-sel plasenta dari lapisan rahim
dapat mempengaruhi kehamilan selanjutnya, dan anak yang lahir kemudian
dapat mengembangkan respon kekebalan. Respon imun dapat mempengaruhi
ekspresi gen kunci selama perkembangan otak dengan cara yang
meningkatkan atraksi anak laki-laki pada anak laki-laki lainnya (Ridley,
17
2003 dalam Caroll, 2013). Penelitian ini masih kontroversial, tapi penelitian
ini tetap diarahkan untuk terus mencari kemungkinan adanya interaksi.
Menariknya, hubungan antara orientasi seksual dan jumlah saudara yang
lebih tua telah ditemukan hanya pada pria (Blanchard, 2004 dalam Caroll,
2013).
4) Fisiologi
Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan
otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab &
Hofman, 1990 dalam Caroll, 2013). Kedua studi ini memfokuskan pada
hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual, dan
menemukan
bahwa
daerah-daerah
tertentu
pada
hipotalamus
pria
homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria
heteroseksual. Gallo (2000 dalam Caroll, 2013) juga menemukan perbedaan
struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual.
Melalui studi tentang panjang jari, Williams, et al. (2000 dalam Caroll, 2013)
menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria
secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung
ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi
daripada wanita heteroseksual pada awal kehidupannya.
18
b. Pendekatan Psikologis
1) Freud dan Psikoanalisa
Freud (1951 dalam Carroll, 2013) berpendapat bahwa bayi melihat segala
sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi
tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat
homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual
“bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat
diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan
homoseksual “dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan
budaya etis.” Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil
pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus
complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah
dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan
balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah
dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek
cinta yang akan dicari oleh ibunya – pria.
Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan
dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan
ayahnya. Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan
perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan
mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan
dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul
kemudian, terutama Sandor Rado (1949 dalam Caroll, 2013) yang
19
mengatakan
bahwa
manusia
tidak
biseksual
secara
lahiriah
homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit
dan
mental.
Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar
bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an.
Beiber dkk (1962 dalam Carroll, 2013) mengemukakan bahwa semua
anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita.
Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat
dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah
mereka tidak bersahabat atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak
untuk berada dipihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin
normalnya. Oleh karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda
menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak.
Wolff (1971 dalam Carroll, 2013) meneliti keluarga dari lebih dari 100
lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak
atau dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para
teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan
anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya. Hooker (1957
dalam Caroll, 2013) menggunakan tes psikologi, sejarah pribadi, dan
evaluasi psikologis untuk menunjukkan bahwa homoseksual itu juga
disesuaikan sebagai heteroseksual dan bahwa tidak adanya homoseksualitas
adalah psikopatologis. Meskipun butuh waktu bertahun-tahun untuk
menyatakan ide-ide tersebut, namun psikoanalis modern telah bergeser jauh
dari pandangan patologis homoseksualitas.
20
Lewes (1988 dalam Caroll, 2013) menunjukkan bahwa teori psikoanalisa
sendiri dengan mudah bisa menggambarkan homoseksualitas sebagai akibat
dari perkembangan yang sehat dan bahwa interpretasi psikoanalisa
sebelumnya menyatakan bahwa homoseksualitas itu lebih didasarkan pada
prasangka daripada ilmu pengetahuan.
2) Ketidaksesuaian dan Ketidaksetaraan Peran Gender
Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim daripada
pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al,
1995; Pillard, 1991 dalam Caroll, 2013). Meskipun temuan ini berhubungan,
yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di
kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab akibat.
Green (1987 dalam Caroll, 2013) menemukan bahwa anak laki-laki yang
feminim atau “sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana
wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan
menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil.
Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual,
sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi
biseksual. “Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan
diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya,
dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990 dalam Caroll,
2013).
21
Teori konstruksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan
diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak
perempuan yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi “tomboy,” tidak
berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori
ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam menjelaskan homoseksual,
karena banyak pria gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada
waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan
tumbuh menjadi gay.
3) Interaksi Kelompok Teman Sebaya
Dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm
(1981 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh
lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak
yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada
usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih
bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin
yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus
pada anak laki-laki juga.
Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan
kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu,
dorongan seksual pria bisa muncul lebih cepat (usia yang lebih muda)
daripada wanita.
22
4) Teori Behaviorisme
Para behaviorist menganggap bahwa homoseksualitas adalah perilaku
yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan
hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau
penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang
bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan
berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam
fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis,
menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa,
beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama
jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan
hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979
dalam Carroll, 2013).
c. Pendekatan Sosiologis
Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial
menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti
homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi
masyarakat
dan
tergantung
pada
bagaimana
kita
sebagai
masyarakat
mendefinisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir
budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita.
Penggunaan istilah ‘homoseksual’ yang mengacu pada perilaku sesama jenis
berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang-orang secara
23
ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru
di perkotaan (Adam, 1987 dalam Caroll, 2013). Oleh karena itu, pendapat bahwa
apakah seseorang “homoseksual” atau “heteroseksual” bukanlah fakta biologis
tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial.
Para sosiolog tertarik pada model seksualitas yang masyarakat tawarkan
kepada anggota masyarakatnya dan bagaimana individu menjadi mengidentifikasi
dengan satu model atau model lainnya. Misalnya, anak-anak muda mungkin
banci mulai berperilaku sebagai homoseksual karena mereka diberi label
homoseksual, disebut "homo" oleh teman-teman mereka, diejek oleh saudara
mereka, dan bahkan membuat khawatir dan ketakutan di wajah orang tua mereka.
Mereka mulai meragukan diri mereka sendiri, mencari homseksualitas dalam
perilaku mereka sendiri, dan akhirnya menemukannya. Jika masyarakat tidak
membagi dunia seksual menjadi kategori "homoseksual" dan "heteroseksual",
mungkin anak-anak ini akan mengalir berhubungan dengan sesama jenis atau
dengan jenis kelamin lain tanpa harus memilih antara kelompok "gay" dan
"straight".
d. Pendekatan Interaksional: Biologi dan Sosiologi
Bem (1996 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa variabel biologis seperti
genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual
tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang
mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai
dengan jenis kelaminnya atau tidak. Teori exotic-becomes-erotic yang
24
dikemukakan oleh Bem (1996 dalam Caroll, 2013) mengatakan bahwa perasaan
seksual berubah dari pengalaman gender sejenis sebagai lebih eksotis, atau
berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa
anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh,
dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih “eksotis” dan menarik.
2.2 Identitas Seksual
2.2.1 Definisi Identitas Seksual
Identitas seksual adalah komponen yang sangat penting dan tak
terpisahkan dari identitas diri secara keseluruhan (Block, 1973 dalam Heath,
2004). ‘Seksualitas’ seperti identitas seksual merupakan komponen integral dan
penting dari diri dan identitas, namun mungkin menjadi salah satu aspek yang
paling sulit bagi seorang individu untuk diungkapkan, dieksplorasi, dan
divalidasikan (McKenna, Green & Smith 2001, 2003 dalam Matthews, 2005).
Menurut Telingator dan Woyewodzic (2011), identitas seksual adalah
bagaimana seseorang secara sadar memberi label pada seksualitas dirinya,
mendeskripsikannya secara perasaannya atas gender dan ketertarikan seksualnya.
Kemudian Moore dan Rosenthal (2007, h. 122) mendifiniskan identitas seksual
yang mengacu pada bagaimana individu menggambarkan diri-seksualnya dan
bagaimana mengungkapkannya kepada orang lain.
Sementara menurut Dermatoto (2010), identitas seksual adalah apa yang
orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita,
25
kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Sehingga identitas tersebut harus
diakui oleh aktor sendiri sebagai identitasnya.
Kemudian Savin-Williams (2006, h. 41) memberikan definisi identitas
seksual, sebagai berikut:
“Sexual identity is personally selected, socially and historically bound
labels attached to the perceptions and meanings individuals have about
their sexuality”
2.2.2 Komponen Identitas Seksual
Menurut Shively dan DeCecco (1977 dalam Heath 2004, h. 43-44)
identitas seksual memiliki empat komponen, yaitu:
a. Jenis Kelamin Biologis (Biological Sex)
Jenis kelamin, yang ditetapkan pada individu saat lahir berdasarkan pada
genitalia eksternal individu, sebagai laki-laki atau perempuan (Shively & De
Cecco, 1978 dalam Rosser, 1994, h. 246). Jenis kelamin adalah hubungan yang
kompleks genetik, hormonal, morfologi, kromosom, gonad, biokimia, dan
determinan yang mempengaruhi anatomi fisiologi tubuh dan diferensiasi seksual
otak (Lev, 2004).
b. Identitas Gender (Gender Identity)
Mengacu pada pemahaman psikologis sebagai laki-laki atau perempuan.
Identitas gender harus sesuai dengan identifikasi biologis, tetapi hal itu tidak
26
selalu terjadi. Identitas gender dibentuk dalam tahap praoedipal dan biasanya
terlihat mulai usia 3 tahun (Gonsiorek, 1982, h. 185).
c. Peran Seks Sosial (Social Sex Role)
Mengacu pada kepatuhan terhadap perilaku budaya yang dibuat dan sikap
yang dianggap tepat untuk pria dan wanita. Maskulinitas individu dan/atau
femininitas seperti yang dibuat oleh tradisi sosial dan budaya (Shively & De
Cecco, 1978 dalam Rosser, 1994, h. 246).
Peran seks sosial muncul dalam periode oedipal (usia 4 sampai 7) dan sangat
dipengaruhi oleh model orang dewasa terutama orang tua. Seringkali peran ini
dikategorikan dalam hal fisik, atribut, tingkah laku, ucapan, minat, dan
kepribadian (Shively & DeCecco, 1977) — tidak melekat dengan seks biologis
atau
identitas
gender.
Namun
demikian,
kebanyakan
orang
berusaha
menyesuaikan dirinya sesuai dengan peran jenis kelamin yang diharapkan
masyarakat. Secara terbuka, mengabaikan peran seks sosial adalah sebuah risiko
untuk dicap sebagai penyimpangan dan dapat membawa individu ke dalam
konflik dengan masyarakat (Gonsiorek, 1982, h. 185).
d. Orientasi Seksual (Sexual Orientation)
Orientasi seksual mengacu ketertarikan individu akan aktivitas seksual fisik,
afeksi interpersonal, dan fantasi erotis kepada individu dari jenis kelamin biologis
yang sama dan/atau lawan jenisnya. Aktivitas seksual fisik yang dimaksud adalah
kontak fisik erotis dengan satu atau beberapa individu mungkin dengan atau
27
tanpa kontak kelamin. Sementara afeksi interpersonal mengacu pada hubungan,
yang melibatkan berbagai tingkat cinta atau kepercayaan, seperti dengan rekan
kerja, teman, kekasih dan mitra perkawinan yang mungkin dengan atau tanpa
aktivitas seksual fisik. Dan fantasi erotis, mengacu pada gambaran mental
individu dengan satu atau beberapa individu lain, melibatkannya dalam aktivitas
seksual fisik atau mengidealkan hubungan afeksi (romantis).
2.2.3 Pembentukan Identitas Seksual pada Homoseksual menurut Cass
Dalam jurnal yang berjudul ‘Homosexual Identity Formation: A
Theoretical Model’ tahun 1979, secara komprehensif Cass menjelaskan teorinya
mengenai pembentukan identitas seksual homoseksual. Cass mendefinisikan
pembentukan identitas seksual homoseksual sebagai sebuah proses dimana
individu terlebih dahulu mempertimbangkan dan kemudian menerima identitas
‘homoseksual’ sebagai salah satu aspek yang relevan dalam dirinya. Model Cass
ini berdasarkan dua asumsi: (a) identitas diperoleh melalui proses perkembangan;
dan (b) locus untuk stabilitas, dan perubahan, perilaku terletak pada proses
interaksi yang terjadi antara individu dan lingkungan mereka. Teori Cass ini
menggunakan model interaksionis dalam pembentukan identitas homoseksual dan
mengakui pentingnya faktor psikologis dan sosial.
Ada enam tahap yang harus dilalui oleh individu untuk memperoleh
identitas ‘homoseksual’ yang terintegrasi. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
melalui tahapan akan berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
Perbedaan setiap tahap, didasarkan pada persepsi individu akan perilakunya dan
28
tindakan yang muncul sebagai akibat dari persepsinya. Cass menekankan bahwa
tiap individu harus membuat pilihan sendiri dan berperan aktif dalam
pembentukan identitasnya. Pergerakan seorang individu dari satu tahap ke tahap
lain didasarkan pada usaha individu tersebut untuk mengatasi ketidaksamaan
antara persepsi terhadap diri dengan persepsi terhadap orang lain.
Enam tahap pembentukan identitas seksual menurut Cass, yakni sebagai
berikut:
1) Tahap 1: Kebingungan Identitas (Identity Confusion)
Proses awal pembentukan identitas seksual ditandai dengan munculnya
kesadaran akan diri dan perilaku individu (overt, seperti berciuman, atau internal,
seperti pikiran, emosi, atau respon fisiologis) relevan dengan homoseksualitas.
Dan proses ini dimulai ketika individu dapat memberikan label akan perilakunya
dan berkata, “perilaku saya mungkin disebut homoseksual.” Penginternalisasi
informasi secara berkelanjutan akan menumbuhkan kesadaran bahwa hal tersebut
tidak dapat dipungkiri.
Persepsi individu akan perilakunya menjadi berselisih/konflik baik persepsi
dirinya sebagai seorang heteroseksual maupun persepsi orang lain terhadap
masyarakat sebagai heteroseksual. Inkongruensi juga terjadi pada afeksinya.
Semakin jelas individu memaknai perilakunya sebagai homoseksual, maka
inkongruensi yang terjadi semakin meningkat.
Sebagai akibat dari inkongruensi ini, individu mengalami kebingungan dan
kekacauan, dan memunculkan pertanyaan “jika perilaku saya mungkin disebut
homoseksual, ini berarti saya seorang homoseksual?” Mereka melihat identitas
29
dirinya berpotensi sebagai homoseksual. Mereka menjadi ragu akan hal tersebut,
“siapa saya?” pertanyaan itu menjadi selalu muncul. Perasaan akan keterasingan
juga menjadi meningkat.
Untuk mengatasi kebingungan ini, biasanya individu memilih salah satu dari
tiga pendekatan/cara berikut ini:
1. Pendekatan pertama, ketika individu memaknai perilakunya dirasa benar dan
dapat diterima. Tidak ada usaha untuk mengubah persepsi akan perilakunya.
Muncul pertanyaan,
“apakah saya
homoseksual?” untuk
menjawab
pertanyaan ini dan mengurangi kebingungan yang ada, individu mulai
mencari informasi (seperti, membaca buku, mendengarkan diskusi tentang
homoseksualitas, konsultasi kepada konselor). Semakin yakin individu akan
perilakunya sebagai homoseksual, semakin akut inkongruensi yang ada.
Usaha untuk memecahkan keadaan ini, ia akan masuk tahap ke-2
(pembandingan identitas).
2. Pendekatan kedua, ketika individu merasa arti perilakunya sebagai
homoseksual itu benar tetapi tidak dikehendaki. Usaha mereka untuk
memperbaiki matriks intrapersonalnya dapat dilakukan dengan tiga cara,
yaitu (a) mencegah semua perilaku yang diartikan sebagai homoseksual; (b)
membatasi dan mengkontrol setiap informasi tentang homoseksualitas; dan
(c) menyangkal informasi pribadi yang relevan dengan homoseksual. Maka
kemudian individu menolak pontensi homoseksual dalam self-imagenya.
Ketika individu berhasil menggunakan strategi ini, konflik dan kebingungan
dapat dihilangkan, identitas foreclosure terbentuk.
30
Apakah individu akan berhasil dalam upaya ini untuk mencegah perilaku
homoseksual akan tergantung pada: (a) kemampuan untuk menarik diri dari
situasi yang provokatif (misalnya, mungkin relatif lebih mudah untuk
berhenti pergi ke tempat pertemuan tapi lebih sulit untuk mencegah terjadinya
mimpi erotis atau respon fisiologis terhadap orang-orang dari jenis kelamin
yang sama); (b) kemampuan untuk menggunakan mekanisme pertahanan
yang dikenal sebagai "denial"; (b) kemampuan untuk mengadopsi dan
mempertahankan sikap aseksualitas atau heteroseksualitas.
Ketika individu masih merasakan kesulitan untuk mencegah perilakunya, ia
mungkin mencari bantuan orang lain (seperti terapist). Dan bila gagal juga,
individu mulai menerima potensi dirinya sebagai homoseksual, tapi dengan
enggan. Ini menandai awal dari sebuah identitas negatif atau membenci diri
sendiri.
3. Pendekatan ketiga, ketika individu melihat perilakunya adalah tidak benar
dan tidak dikehendaki. Inividu memberikan arti lain pada persepsinya
terhadap perilakunya sebagai bukan/tidak homoseksual. Atau individu
menganggap perilaku
homoseksualnya
itu tidak selamanya sebagai
homoseksual tetapi lebih kepada ‘sebuah eksperimen’, ‘semata-mata untuk
memperoleh penghasilan’, ‘membantu teman’, ‘sebuah ketidaksengajaan’,
‘membaur dengan orang lain’ dan sebagainya. Strategi ini menempatkan
individu pada posisi seakan-akan tidak bersalah atau tidak tahu apa-apa,
sehingga memperbolehkannya untuk memungkiri pertanggungjawaban akan
perilakunya.
31
2) Tahap 2: Pembandingan Identitas (Identity Comparison)
Tahap ini dimulai dengan pernyataan “saya mungkin seorang homoseksual”
sebagai tanda kebingungan dan kekacauan yang besar ditahap sebelumnya
berkurang. Ditahap ini individu harus menangani pengasingan sosial yang akan
muncul. Individu menjadi menyadari perbedaan antara persepsinya akan perilaku
dan dirinya dengan persepsi orang lain akan perilaku dan dirinya.
“Saya berbeda” dan “sayalah satu-satunya orang didunia yang seperti ini”,
adalah ekspresi yang muncul akibat dari pengasingan sosial dan perasaan
memiliki (belonging) yang tidak ada dari lingkungan. Menerima dirinya sebagai
“bukan heteroseksual atau sebagai homoseksual” membuat individu menyadari
pedoman untuk perilaku, cita-cita, harapan masa depan dengan identitas
heteroseksual tidak selamanya relevan dengan kehidupannya.
Ada empat pendekatan sebagai usaha individu untuk mengurangi perasaan
keterasingan ini:
1. Pendekatan ini dipakai ketika individu bereaksi secara lebih positif terhadap
dugaan/gagasan menjadi ‘berbeda’ dan merasa persepsi terhadap karakteristik
yang dimasukkan kedalam dirinya dan persepsi akan perilakunya
dikehendaki.
Secara umum, ada tiga kelompok orang yang bereaksi dengan cara ini, yaitu:
(a) ada orang yang merasa bahwa mereka ‘selalu berbeda’ berdasarkan apa
yang dimilikinya ini kemudian pikiran atau perilaku diberi label
homoseksual; (b) ada orang-orang yang merasa ‘berbeda’ sepanjang hidup
mereka atas dasar ketidaksesuaian peran heteroseksual (misalnya, penolakan
32
terhadap kebutuhan untuk pernikahan anak-anak); dan (c) ada orang yang
menemukan ‘menjadi berbeda’ itu menarik, luar biasa, seperti menambahkan
sesuatu yang khusus untuk kehidupan mereka.
Individu menangani inkongruensi dengan mengatakan “saya tidak perduli,”
akan apa yang saya lakukan, apapun yang orang lain pikirkan tentang saya.
Pada waktu yang sama, individu tetap melanjutkan menampilkan diri sebagai
heteroseksual didepan umum (public image) untuk mencegah dari konfrontasi
orang lain akan penilaian negatif tentang homoseksual. Ada 4 cara sukses
menggunakan strategi ini, yaitu: (a) menghindari situasi yang mengancam
(seperti acara pesta dimana memungkinkan individu untuk mendapatkan
pasangan dari lawan jenis); (b) mengendalikan informasi pribadi; (c) secara
sengaja mengolah atau menampilkan image sebagai heteroseksual atau
aseksual; dan (d) dengan menjauhi, mengambil sikap yang menyatakan tidak
terpengaruh.
Ketika mampu melewati keadaan yang tak terdeksi ini, inkongruensi
berkurang tetapi tidak bisa dihilangkan. Usaha untuk menguranginya
menggiring individu masuk pada tahap ke-3 yaitu toleransi identitas.
2. Pendekatan kedua, individu menerima arti perilakunya sebagai homoseksual
tetapi self-imagenya tentang homoseksual tidak dikehendaki. Individu
menggunakan strategi dimana ia mengubah persepsi akan karakteristik yang
ia masukkan ke dalam dirinya, tanpa mengharuskan mengubah perilaku
aktualnya. Ada empat strategi yang tersedia yang memungkinkan individu
untuk mengurangi pentingnya homoseksual:
33
a. Special case strategy. Individu merestrukturisasi makna akan perilakunya
sehingga saat ini ia merasa sebagai homoseksual hanya dalam hubungan
dengan orang tertentu. Ia berargumen “jika ini tidak untuk seseorang
yang spesial, saya akan menjadi heteroseksual.”
b. Ambisexual
strategy.
Individu
meyakini pandangan tokoh-tokoh
masyarakat yang menggap bahwa semua orang adalah biseksual.
Sehingga dapat mengurangi inkongruensi yang terjadi.
c. Temporary identity strategy. Individu menerima self-image sebagai
homoseksual hanya sementara berlaku. Ia merasa bahwa setiap saat di
masa depan, ia dapat memilih untuk bertindak heteroseksual.
d. Personal innocence strategy. Strategi ini umumnya digunakan oleh
individu yang melihat karakteristik homoseksual pada dirinya sangat
negatif. Mereka menerima self-imagenya homoseksual tapi menolak
untuk mengakui pertanggungjawabannya untuk itu. Seiring dengan
perasaan negatif yang melekat pada dalam dirinya, situasi ini
menyebabkannya untuk mengembangkan identitas negatif ditandai
dengan membenci diri sendiri.
3. Pendekatan ini digunakan ketika individu menerima persepsi terhadap
karakteristik yang dimasukkan kedalam dirinya sebagai homoseksual. Dan
menerima persepsi akan perilakunya dimaknai sebagai homoseksual tetapi,
karena perasaan yang kuat dari keterasingan sosial, ia menjadi tidak dapat
menerima/menginginkannya. "Saya mungkin homoseksual tapi saya tidak
akan bergerak dalam dunia homoseksual lagi" dan "saya mungkin
34
homoseksual tapi saya tidak berniat melakukan apa-apa lagi tentang hal itu"
adalah ciri pernyataan dari posisi ini.
Mencegah semua perilaku homoseksual dan heteroseksual membuat individu
mengambil peran aseksual dan setelah itu aseksual self-image. Berhasilnya
upaya penghambatan ini dapat membawa individu kepada identitas
foreclosure. Adanya hambatan dalam strategi ini, bagaimanapun, dapat
menyebabkan individu untuk memperbaharui upaya menghambat perilakunya
(mungkin dengan bantuan profesional). Namun, inkongruensi masih tetap
ada, yang dapat menciptakan ketegangan untuknya. Ketegangan mengarah ke
tindakan lebih lanjut. Dua tindakan yang memungkinkan: (a) individu dapat
memilih untuk menghambat perilaku terbuka (overt) dan tertutup (covert),
sehingga membawanya kepada identitas foreclosure; atau (b) individu
mungkin mencoba untuk mengurangi dampak dari orang lain sehingga
individu mencoba mengubah persepsi akan perilakunya menjadi lebih
diinginkan.
4. Pendekatan ini digunakan ketika individu merasa persepsi terhadap
karakteristik yang dimasukkan kedalam dirinya dan persepsi akan
perilakunya itu tidak dikehendaki dan berkeinginan merubahnya. Hal ini
dilakukan melalui mencegah semua perilaku homoseksual, memandang
rendah homoseksualitas dan hanya heteroseksual lah yang positif. Bila
strategi ini berhasil, identitas foreclosure terjadi. Dan bila tidak, individu
akan membenci dirinya (self-hatred), individu harus berupaya terus menerus
mengubah strateginya yang gagal, ia bisa bunuh diri.
35
3) Tahap 3: Toleransi Identitas (Identity Tolerance)
Pada akhir tahap 2 (jika identitas foreclosure belum terjadi), individu
mengubah citra diri lebih jauh dari ‘heteroseksual’ dan lebih ke arah
‘homoseksual?’ Meningkatnya komitmen ini umumnya dinyatakan dalam
pernyataan ‘saya sepertinya homoseksual’ sebagai ciri ekspresi tahap ini.
Individu akan mengalami inkongruensi antara cara ia melihat dirinya dan cara
orang lain melihat dirinya. Pada tahap ini berhubungan dengan homoseksual
dipandang sebagai ‘sesuatu yang harus dilakukan’ untuk melawan perasaan
isolasi dan keterasingan dari orang lain.
Individu
lebih
‘mentoleransi’
tetapi
belum
menerima
identitas
homoseksualnya. Individu merasa homoseksual lain dapat menerima perilaku dan
gambaran dirinya sebagai homoseksual. Akhirnya ia menyadari bahwa ada orang
lain yang secara positif dapat menerima dirinya sebagai homoseksual. Namun
pada waktu yang bersamaan juga muncul adanya perasaan tidak memiliki (not
belonging) dengan heteroseksual lain. Untuk mengurangi perasaan ini, individu
menjadi memisahkan diri dari mereka dan memilih secara selektif untuk bergaul
dengan siapa.
Faktor ‘kualitas emosional’ hubungan yang terjalin dengan homoseksual lain
menjadi lebih penting. Faktor ini dapat memberikan efek positif atau negatif
kepadanya. Kontak positif memiliki efek yang membuat homoseksual lainnya
menjadi lebih penting dan menguntungkan dimatanya. Dapat membuat dirinya
merasa lebih ‘kongruen’ dan perasaan keterasingan menjadi berkurang sehingga
ia merasa dirinya lebih positif. Hal ini menyebabkan komitmen terhadap identitas
36
homoseksual semakin meningkat dan keinginan untuk kontak lebih lanjut dengan
subkultur homoseksual.
Jika hasil hubungan justru individu kehilangan nilai akan subkultur gay dapat
menyebabkan ia menurunkan nilai dirinya ditandai dengan identitas yang negatif.
Untuk
menangani
kebencian
(self-hatred)
pada
diri
sendiri,
individu
menggunakan salah satu dari dua strategi yang tersedia: pengurangan kontak
dengan homoseksual, atau penghambatan semua perilaku homoseksual. Ketika
penghambatan perilaku ini berhasil, identitas foreclosure terjadi.
Membaur dengan subkultur gay menawarkannya kesempatan untuk
mengamati bahwa beberapa hal positif seperti kesempatan untuk bertemu mitra,
kesempatan untuk belajar teknik untuk manajemen yang lebih baik dari identitas
homoseksual, dll. Namun pada saat yang sama, individu dibuat sadar akan aspekaspek negatif dari kontak ini seperti permintaan untuk komitmen yang lebih besar
akan identitas homoseksual, kemungkinan pengungkapan yang homosekual, dll.
Meskipun ketika individu membuat hubungan yang sangat minimal, penekanan
yang berlebihan pada aspek-aspek negatif ini dapat mendorongnya untuk
melanjutkan strategi ini.
4) Tahap 4: Penerimaan Identitas (Identity Acceptance)
Tahap ini ditandai melalui pelanjutan dan peningkatan hubungan dengan
homoseksual lain. Saat ini individu lebih ‘menerima’ daripada ‘hanya
mentoleransi’ gambaran dirinya sebagai homoseksual. Secara perlahan, individu
menjadi sering dan secara tetap berhubungan dan membangun persahabatan
37
dengan homoseksual lain. Hal ini membuat individu menjadi lebih positif menilai
homoseksual lain dan menganggap mereka penting dalam hidupnya. Subkultur
gay memainkan bagian penting dalam kehidupannya dan selanjutnya dalam
restrukturisasi lingkungan interpersonalnya. Tipe kelompok dalam subkultur
dimana individu bergaul akan memiliki pengaruh penting pada cara individu
melalui tahap-tahap yang tersisa. Pertanyaan yang muncul saat tahap-tahap
sebelumnya, “siapa saya?” dan “dimana saya semestinya?” kini dapat dijawab.
Dalam melalui tahap ini, individu biasanya mengurangi kemungkinan
menghadapi reaksi dari heteroseksual. Untuk mengurangi inkongruensi, individu
mengurangi
hubungan
dengan
heteroseksual
yang
dapat
mengancam
meningkatnya inkongruensi itu (seperti keluarga). Namun individu juga secara
selektif mengungkapkan identitas homoseksualnya kepada heteroseksual lain
yang dianggap penting dan dapat dipercayainya untuk menjaga rahasianya.
Ketika strategi ini berhasil, inkongruensi dapat berkurang ke tingkat yang
dapat dikelola. Dengan inkongruensi rendah, identitas homoseksual dirumuskan
secara positif, dan stabilitas yang cukup besar dalam lingkungan interpersonal,
individu mampu "fit in" baik dengan gay dan dengan pendiriannya.
Untuk beberapa individu, strategi yang diterapkan mungkin tidak berhasil.
Individu kemudian dapat memilih untuk memperbaharui upaya (misalnya, tidak
ada lagi yang harus dilakukan dengan keluarga). Inkongruensi kemudian
meningkat, menyebabkan individu pindah ke tahap 5.
38
5) Tahap 5: Kebanggan akan Identitas (Identity Pride)
Individu
memasuki
tahap
ini
dengan
kesadaran
akan
perbedaan
(ketidaksesuaian) yang ada antara konsep diri sebagai homoseksual dan
penolakan masyarakat terhadap konsep ini. Untuk mengelola inkongruensi ini,
individu menggunakan strategi untuk mendevaluasi heteroseksual lain bagi diri
sendiri, dan merevaluasi homoseksual lain secara lebih positif.
Komitmen terhadap kelompok gay yang kuat, menghasilkan rasa identitas
kelompok ("ini adalah kaum-ku") dan rasa memiliki. Ada rasa yang kuat dan
bangga menjadi gay, ditandai dalam slogan-slogan seperti "gay itu baik" dan "gay
dan bangga." Individu juga menolak nilai-nilai klasifikasi sebagai heteroseksual
(misalnya, pernikahan, struktur peran jenis kelamin). Pada titik ini, inkongruensi
berkurang ke tingkat yang dapat dikelola. Namun, dalam kehidupan sehari-hari
individu terus-menerus dihadapkan dan dipaksa untuk mematuhi sebuah
kerangka referensi yang didirikan untuk meningkatkan inkonsistensi antara nilainilai heteroseksual dan homoseksual. Konflik yang dihasilkan (inkongruensi)
menciptakan perasaan marah yang lahir dari frustasi dan keterasingan.
Kombinasi kemarahan dan kebanggaan memberikan energi untuknya ke
dalam tindakan menentang institusi-institusi
yang telah dibangun dan
menciptakan seorang ‘aktivis.’ Slogan "beraninya kau menganggap aku
heteroseksual" merupakan indikasi perasaan pada tahap ini. Strategi ini
membantu individu untuk melihat subkultur gay sebagai hal yang lebih
signifikan, dengan demikian dapat mempertahankan inkongruensi pada tingkat
yang dapat dikelola.
39
Konfrontasi mengarahkan individu untuk sengaja meninggalkan strategistrategi yang sebelumnya digunakan untuk menyembunyikan identitas pribadi.
Dengan penolakan yang tak bisa dipungkiri, individu menjadi sangat tidak peduli
tentang bagaimana heteroseksual memandang dirinya. Hal ini memberikan
kebebasan padanya untuk memilih pengungkapan sebagai strategi coping.
Pengungkapan dapat memberikan efek positif namun disisi lain dapat
menyebabkan inkongruensi meningkat. Jika individu memandang pengungkapan
pribadi itu mengancam, ia mungkin menemukan konflik antara diri ideal dan diri
realitas. Dalam rangka untuk meringankan frustrasi yang dihasilkan oleh situasi
ini dan untuk menjaga kongruensi, individu mungkin merasa perlu untuk
mengubah situasi hidupnya (misalnya, mengubah pekerjaan).
Pengungkapan identitas homoseksual secara alami menimbulkan reaksi
bermacam-macam. Persepsi individu akan reaksi tersebut yang memainkan
peranan penting dalam apakah perkembangan akan terus dilanjutkan.
Ketika individu menerima reaksi negatif orang lain, tidak ada upaya untuk
mengubah matriks yang telah ada dan identitas foreclosure terbentuk. Akan tetapi
ketika reaksi orang lain dianggap positif, ini tidak konsisten dengan harapannya.
Upaya untuk menangani ketidak-konsistenan ini mendorong individu ke tahap
akhir dari pembentukan identitas homoseksual.
6) Tahap 6: Penyatuan Identitas (Identity Synthesis)
Individu memasuki tahap ini dengan kesadaran akan ‘mereka dan kami’.
Filosofi yang dianut sebelumnya, dimana semua heteroseksual yang dipandang
40
negatif dan semua homoseksual positif, tidak lagi berlaku. Kesadaran ini
memaksa individu sekali lagi untuk mengubah struktur komponen matriks
intrapersonalnya. Dalam matriks intrapersonalnya kini terjadi kesesuaian yang
maksimal, dengan ketidaksesuaian pada tingkat yang mudah dikelola. Mereka
masih mengalami kemarahan (seperti pada tahap 5) namun dengan intensitas
yang berkurang. Begitupula dengan rasa bangga yang masih ada tetapi menjadi
lebih lemah karena individu mulai melihat tidak ada dikotomi yang jelas antara
dunia homoseksual dan heteroseksual. Individu menerima banyak kesamaan
antara dirinya dan heteroseksual, serta perbedaan antara diri dan homoseksual.
Identitas yang ditampilkan individu di lingkungan pribadi dan di lingkungan
umum menjadi makin sebangun karena individu di tahap ini telah merasa nyaman
dan aman dengan identitasnya. Di tahap ini, identitas homoseksual dipandang
hanya sebagai salah satu aspek dari diri (identitas), bukan lagi sebagai
keseluruhan identitas individu tersebut. Kesadaran ini menyelesaikan proses
pembentukan identitas homoseksual.
2.3 Dewasa Awal
2.3.1 Definisi Dewasa Awal
Menurut Hurlock (1980, h. 246), masa dewasa awal adalah periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial
baru, dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun.
41
2.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Tugas perkembangan dianggap normatif dalam arti bahwa merupakan
tugas-tugas yang individu harus capai dalam periode kehidupan tertentu
(Hagestad & Neugarten, 1985; Havighurst, 1952 dalam Steinberg, et.all., 2010).
Tugas perkembangan dewasa awal menurut Havighurst (Steinberg, et.all.,
2010, h. 437), yakni sebagai berikut:
1. Membuat komitmen jangka panjang dengan pasangan
2. Membina keluarga
3. Memulai karir
4. Menjadi bagian dari sebuah komunitas
Disisi lain, Erikson (1962 dalam Aiken, 1998, h. 111) menjelaskan bahwa
pada usia dewasa awal, individu akan mengalami krisis atau konflik antara
intimacy dan isolation sehingga dikenal dengan tahap intimacy vs isolation.
Tujuan atau resolusi dari krisis ini adalah untuk menjalin keintiman dengan
individu lain. Melebur dengan individu lain mengarahkan kepada keintiman.
Hubungan kompetitif dan agresif dengan individu lain dapat menyebabkan
isolasi.
2.3.3 Isu-isu Perkembangan Kaum Homoseksual Dewasa Awal
Menurut Greene & Croom (2000, h. 65-66), isu-isu perkembangan yang
dihadapi oleh kelompok homoseksual dewasa awal adalah sebagai berikut:
42
1. Apakah individu tersebut akan mengambil keputusan untuk coming out atau
tidak.
2. Apakah individu tersebut akan memutuskan untuk hidup membujang, atau
menikah dengan lawan jenis (pernikahan heteroseksual) atau menjalin
hubungan dengan sesama jenis, atau melakukan pernikahan dengan lawan
jenis namun tetapi mempunyai pasangan sesama jenis dan lain-lain.
3. Apakah individu tersebut memutuskan untuk memiliki anak atau tidak.
4. Bagaimana individu akan menghadapi kenyataan tentang perbedaan persepsi
masyarakat terhadap keberadaan individu sebagai seorang homoseksual.
5. Bagaimana menjalin hubungan dengan keluarga.
6. Bagaimana individu tersebut akan menghadapi isu-isu hukum yang
berhubungan dengan homoseksualitas.
Download