BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Homoseksual 2.1.1 Definisi Homoseksual Kata ‘homoseksual’ adalah hasil penggabungan bahasa Yunani dan Latin dengan elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens) dan bahasa latin sex yang berarti ‘seks’ (Kinsey, 1948; Sell, 1987). Homoseksual adalah individu yang memiliki orientasi seksual terhadap jenis kelamin yang sama (Rosenthal, 2013, h. 234). Sementara menurut Kinsey (1975, h. 612), istilah homoseksual dalam kaitannya dengan perilaku manusia telah diaplikasikan terhadap hubungan seksual, baik secara fisik maupun psikis, antara individu yang memiliki jenis kelamin yang sama. Menurut Oetomo (2001, h. 24), homoseksualitas adalah ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun secara eksklusif (semata-mata) terhadap orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa adanya hubungan fisik (jasmaniah). Dari banyaknya pendapat ahli tentang definisi homoseksualitas, Isaacs dan Miller (1985) memberikan pemahaman yang lebih komprehensif: 12 13 “Homosexuality is seen as a broad spectrum of psychological, emotional and sexual variables in a state of interplay between people of the same sex. Homosexuality is not only sexual attraction between people of the same sex, but also includes an emotional as well as physical bond; a fantasy system; and elements of symbolism, eroticism, and sexuality. Homosexuality can be experienced in different degrees (dalam Heath, 2004, h. 56).” Michael, dkk (Kendal, 2014, h. 318), mengidentifikasikan tiga kriteria dalam menentukan seseorang itu homoseksual, yakni sebagai berikut: a. Ketertarikan seksual terhadap orang yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. b. Keterlibatan seksual dengan satu orang atau lebih yang memiliki kesamaan gender dengan dirinya. c. Mengidentifikasikan diri sebagai gay atau lesbian. 2.1.2 Definisi Gay Menurut Oetomo (2001), istilah gay seharusnya mengacu pada laki-laki dan perempuan homoseksual tetapi pada kenyataannya gay seringkali dipakai hanya untuk laki-laki. Gay berarti orang yang meriah. Istilah gay mengacu pada gaya hidup, suatu sikap bangga, terbuka dan kadang-kadang militan terhadap masyarakat. Istilah ini muncul ketika lahir gerakan emansipasi kaum homoseks 14 (laki-laki maupun perempuan) yang dipicu oleh peristiwa Stonewall di New York pada tahun 60-an. Menurut Nevid, dkk (1993, h. 266) pria homoseksual kerapkali disebut sebagai ‘pria gay’ atau ‘gay’ saja. Sementara menurut Rosenthal (2013, h. 234), gay adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan seksual dan romantisme kepada laki-laki. ‘Gay’ juga digunakan untuk menggambarkan individu, praktik/aplikasi, dan budaya yang terkait dengan homoseksualitas. 2.1.3 Etiologi Homoseksual Latar belakang terbentuknya perilaku homoseksual dapat dilihat dari berbagai pendekatan (Caroll, 2013), yaitu: a. Pendekatan Biologis 1) Genetik Franz Kallman (1952 dalam Carroll, 2013) merupakan pelopor penelitian yang berusaha menunjukkan komponen genetik pada homoseksual dengan melakukan penelitian terhadap kembar identik dan membandingkannya dengan kembar fraternal. Ia menemukan komponen genetik yang kuat pada homoseksual. Hammer dkk (1993 dalam Carroll, 2013) menemukan bahwa homoseksual pria cenderung memiliki saudara homoseksual dari bagian ibunya, dan dengan menelusuri jejak keberadaan gen homoseksual melalui garis keturuan ibu, menemukannya pada 33 orang dari 40 saudara laki-laki. 15 Pattatucci (1998 dalam Carroll, 2013) berpendapat bahwa pria gay memiliki saudara laki-laki gay daripada saudara laki-laki lesbian, sementara para lesbian memiliki lebih banyak saudara perempuan lesbian daripada saudara laki-laki gay. Penelitian ini juga menemukan bukti bahwa gen gay ada pada kromosom X tetapi tidak menemukan gen lesbian. Baru penelitian genetik yang mengungkapkan bahwa frekuensi homoseksualitas pada anak kembar mungkin jauh lebih rendah dari yang dilaporkan sebelumnya (Krik, dkk., 1999 dalam Caroll, 2013). 2) Hormon Beberapa penelitian menemukan bukti bahwa pria homoseksual memiliki tingkat hormon androgen yang lebih rendah daripada pria heteroseksual (Dorner, 1988 dalam Caroll, 2013), namun yang lainnya tidak menemukan adanya perbedaan tersebut (Hendricks, dkk dalam Caroll, 2013). Ellis dkk (1988 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa stres selama kehamilan (yang bisa mempengaruhi tingkat hormon) lebih dapat memicu pembentukan janin homoseksual. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa anak laki-laki yang menunjukkan perilaku kewanitaan mengalami kesulitan selama masa prenatal daripada anak laki-laki lainnya (Zuger, 1989 dalam Caroll, 2013). Telah ditemukan bahwa tingkat hormon awal mempengaruhi orientasi seksual dan perilaku masa anak-anak yang berhubungan dengan jenis kelamin (Berenbaum & Snyder, 1995 dalam Caroll, 2013). 16 Banyak penelitian yang membandingkan tingkat androgen dalam darah pada homoseksual dewasa dengan pria heteroseksual, dan umumnya tidak menemukan perbedaan yang signifikan (Green, 1988 dalam Caroll, 2013). Dari lima studi yang membandingkan tingkat hormon pada lesbian dan wanita heteroseksual, tiga di antaranya tidak menemukan perbedaan tingkat testoteron, estrogen, atau hormon lain, sementara dua lainnya menemukan tingkat testoteron yang lebih tinggi pada lesbian (dan satu menemukan tingkat estrogen yang lebih rendah) (Dancey, 1990 dalam Caroll, 2013). 3) Urutan Kelahiran Para peneliti juga melihat efek dari urutan kelahiran. Ditemukan banyak dari pria gay telah dilahirkan lebih banyak dari saudara dan memiliki saudara yang lebih tua tetapi bukan kakak perempuan (Blanchard, 2004; CamperioCiani et. al., 2004; Ridley, 2003; dalam Caroll, 2013). Telah diperkirakan bahwa orientasi seksual 1 dari 7 pria gay adalah hasil dari urutan kelahiran fraternal (jumlah saudara tua yang mereka miliki) (Conter et al., 2002 dalam Caroll, 2013). Urutan kelahiran fraternal dapat berkontribusi pada orientasi homoseksual dalam dua cara; pertama, sel-sel plasenta dari lapisan rahim dapat mempengaruhi kehamilan selanjutnya, dan anak yang lahir kemudian dapat mengembangkan respon kekebalan. Respon imun dapat mempengaruhi ekspresi gen kunci selama perkembangan otak dengan cara yang meningkatkan atraksi anak laki-laki pada anak laki-laki lainnya (Ridley, 17 2003 dalam Caroll, 2013). Penelitian ini masih kontroversial, tapi penelitian ini tetap diarahkan untuk terus mencari kemungkinan adanya interaksi. Menariknya, hubungan antara orientasi seksual dan jumlah saudara yang lebih tua telah ditemukan hanya pada pria (Blanchard, 2004 dalam Caroll, 2013). 4) Fisiologi Dua artikel pada awal tahun 1990-an melaporkan penemuan perbedaan otak pada pria homoseksual dan heteroseksual (LeVay, 1991; Swaab & Hofman, 1990 dalam Caroll, 2013). Kedua studi ini memfokuskan pada hipotalamus, yang diketahui berperan penting pada dorongan seksual, dan menemukan bahwa daerah-daerah tertentu pada hipotalamus pria homoseksual berbeda (lebih besar maupun lebih kecil) dengan pria heteroseksual. Gallo (2000 dalam Caroll, 2013) juga menemukan perbedaan struktural pada hipotalamus dalam hubungannya dengan orientasi seksual. Melalui studi tentang panjang jari, Williams, et al. (2000 dalam Caroll, 2013) menemukan bahwa lesbian memiliki panjang jari yang lebih mirip jari pria secara umum – jari telunjuk lebih pendek daripada jari manis – mendukung ide bahwa lesbian mungkin memiliki tingkat testoteron yang lebih tinggi daripada wanita heteroseksual pada awal kehidupannya. 18 b. Pendekatan Psikologis 1) Freud dan Psikoanalisa Freud (1951 dalam Carroll, 2013) berpendapat bahwa bayi melihat segala sesuatu sebagai potensi seksual, dan karena pria dan wanita berpotensi tertarik pada bayi, kita semua pada dasarnya biseksual. Freud tidak melihat homoseksual sebagai suatu penyakit dan menuliskan bahwa homoseksual “bukanlah hal yang memalukan, bukan degradasi, dan tidak dapat diklasifikasikan sebagai sebuah penyakit.” Dia bahkan menemukan homoseksual “dibedakan oleh perkembangan intelektual yang tinggi dan budaya etis.” Freud memandang heteroseksualitas pria sebagai hasil pendewasaan yang normal dan homoseksualitas pria sebagai akibat oedipus complex yang tidak terselesaikan. Kelekatan pada ibu yang intens ditambah dengan ayah yang jauh dapat membawa anak laki-laki pada ketakutan akan balas dendam ayah melalui kastrasi. Setelah masa pubertas, anak berpindah dari ketertarikan pada ibu menjadi identifikasi ibu, dan mulai mencari objek cinta yang akan dicari oleh ibunya – pria. Fiksasi pada penis dapat mengurangi ketakutan kastrasi pada pria, dan dengan menolak wanita, pria dapat menghindari perseteruan dengan ayahnya. Freud juga melihat homoseksual sebagai autoerotis (pemunculan perasaan seksual tanpa adanya stimulus eksternal) dan narcisistik; dengan mencintai tubuh yang dimilikinya, seseorang seperti bercinta pada bayangan dirinya. Namun, pandangan ini ditolak oleh psikoanalis lainnya yang muncul kemudian, terutama Sandor Rado (1949 dalam Caroll, 2013) yang 19 mengatakan bahwa manusia tidak biseksual secara lahiriah homoseksualitas adalah keadaan psikopatologis – penyakit dan mental. Pandangan inilah (bukan pandangan Freud) yang kemudian menjadi standar bagi profesi psikiater hingga tahun 1970-an. Beiber dkk (1962 dalam Carroll, 2013) mengemukakan bahwa semua anak laki-laki memiliki ketertarikan erotik yang normal terhadap wanita. Akan tetapi, beberapa anak laki-laki memiliki ibu posesif yang terlalu dekat dan juga terlalu intim serta menggoda secara seksual. Sebaliknya, ayah mereka tidak bersahabat atau absen, dan triangulasi ini mendorong anak untuk berada dipihak ibu, yang menghambat perkembangan maskulin normalnya. Oleh karena itu, Beiber mengatakan bahwa ibu yang menggoda menimbulkan ketakutan akan heteroseksualitas pada diri anak. Wolff (1971 dalam Carroll, 2013) meneliti keluarga dari lebih dari 100 lesbian dan melaporkan bahwa sebagian besar memiliki ibu yang menolak atau dingin secara emosional dan ayah yang berjarak. Untuk lesbian, para teoritikus percaya bahwa kurangnya kasih sayang dari ibu menyebabkan anak perempuan mencari kasih sayang dari wanita lainnya. Hooker (1957 dalam Caroll, 2013) menggunakan tes psikologi, sejarah pribadi, dan evaluasi psikologis untuk menunjukkan bahwa homoseksual itu juga disesuaikan sebagai heteroseksual dan bahwa tidak adanya homoseksualitas adalah psikopatologis. Meskipun butuh waktu bertahun-tahun untuk menyatakan ide-ide tersebut, namun psikoanalis modern telah bergeser jauh dari pandangan patologis homoseksualitas. 20 Lewes (1988 dalam Caroll, 2013) menunjukkan bahwa teori psikoanalisa sendiri dengan mudah bisa menggambarkan homoseksualitas sebagai akibat dari perkembangan yang sehat dan bahwa interpretasi psikoanalisa sebelumnya menyatakan bahwa homoseksualitas itu lebih didasarkan pada prasangka daripada ilmu pengetahuan. 2) Ketidaksesuaian dan Ketidaksetaraan Peran Gender Secara umum ditemukan bahwa pria gay lebih bersifat feminim daripada pria heteroseksual, sementara lesbian lebih bersifat maskulin (Bailey et al, 1995; Pillard, 1991 dalam Caroll, 2013). Meskipun temuan ini berhubungan, yang berarti bahwa sifat cross gender dan kemunculan homoseksualitas di kemudian hari berhubungan, tetapi tidak memiliki hubungan sebab akibat. Green (1987 dalam Caroll, 2013) menemukan bahwa anak laki-laki yang feminim atau “sissy boy” memakai pakaian lawan jenis, tertarik pada busana wanita, bermain boneka, menghindari permainan kasar, berkeinginan menjadi perempuan, dan tidak ingin menjadi seperti ayahnya sejak kecil. Tiga per empat dari mereka tumbuh menjadi homoseksual atau biseksual, sedangkan hanya satu dari anak laki-laki maskulin yang tumbuh menjadi biseksual. “Sissy boy” tersebut juga cenderung dianianya, ditolak, dan diabaikan oleh teman sebayanya, lebih lemah daripada anak laki-laki lainnya, dan memiliki lebih banyak kasus psikopatologi (Zucker, 1990 dalam Caroll, 2013). 21 Teori konstruksionis akan mengatakan bahwa anak perempuan diperbolehkan menunjukkan perilaku maskulin tanpa diejek, dan anak perempuan yang tidak nyaman dengan gendernya, menjadi “tomboy,” tidak berkorelasi dengan kecenderungan menjadi lesbian di kemudian hari. Teori ini tidak bisa dijadikan pegangan tunggal dalam menjelaskan homoseksual, karena banyak pria gay yang tidak bersifat keperempuan-perempuanan pada waktu kecil, dan tidak semua anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan tumbuh menjadi gay. 3) Interaksi Kelompok Teman Sebaya Dorongan seksual seseorang mulai berkembang pada masa remaja, Storm (1981 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa orang-orang yang tumbuh lebih cepat mulai tertarik secara seksual sebelum mereka mengalami kontak yang signifikan dengan lawan jenis. Karena pacaran biasanya dimulai pada usia sekitar 15 tahun, anak laki-laki yang dewasa pada usia 12 tahun masih bermain dan berinteraksi secara umum dengan kelompok dari jenis kelamin yang sama, sehingga kemungkinan perasaan erotis yang muncul berfokus pada anak laki-laki juga. Teori ini didukung oleh fakta bahwa homoseksual cenderung melaporkan kontak seksual yang lebih cepat dibandingkan heteroseksual. Selain itu, dorongan seksual pria bisa muncul lebih cepat (usia yang lebih muda) daripada wanita. 22 4) Teori Behaviorisme Para behaviorist menganggap bahwa homoseksualitas adalah perilaku yang dipelajari, diakibatkan perilaku homoseksual yang mendatangkan hadiah atau penguat yang menyenangkan atau pemberian hukuman atau penguat negatif terhadap perilaku heteroseksual. Sebagai contoh, seseorang bisa saja memiliki hubungan dengan sesama jenis menyenangkan, dan berpasangan dengan lawan jenis adalah hal yang menakutkan, dalam fantasinya, orang tersebut bisa saja berfokus pada hubungan sesama jenis, menguatkan kesenangannya dengan masturbasi. Bahkan pada masa dewasa, beberapa pria dan wanita bergerak menuju perilaku dan hubungan sesama jenis jika mereka mengalami hubungan heteroseksual yang buruk dan hubungan homoseksual yang menyenangkan (Masters & Johnson, 1979 dalam Carroll, 2013). c. Pendekatan Sosiologis Pendekatan sosiologis mencoba menjelaskan bagaimana dorongan sosial menghasilkan homoseksualitas di dalam masyarakat. Konsep-konsep seperti homoseksualitas, biseksualitas, heteroseksualitas adalah produk dari imajinasi masyarakat dan tergantung pada bagaimana kita sebagai masyarakat mendefinisikan sesuatu hal. Dengan kata lain, kita mempelajari cara berpikir budaya kita dan mengaplikasikannya pada diri kita. Penggunaan istilah ‘homoseksual’ yang mengacu pada perilaku sesama jenis berkembang setelah Revolusi Industri yang membebaskan orang-orang secara 23 ekonomi sehingga memberikan kesempatan untuk memilih gaya hidup yang baru di perkotaan (Adam, 1987 dalam Caroll, 2013). Oleh karena itu, pendapat bahwa apakah seseorang “homoseksual” atau “heteroseksual” bukanlah fakta biologis tetapi hanya cara berpikir yang berubah seiring dengan keadaan sosial. Para sosiolog tertarik pada model seksualitas yang masyarakat tawarkan kepada anggota masyarakatnya dan bagaimana individu menjadi mengidentifikasi dengan satu model atau model lainnya. Misalnya, anak-anak muda mungkin banci mulai berperilaku sebagai homoseksual karena mereka diberi label homoseksual, disebut "homo" oleh teman-teman mereka, diejek oleh saudara mereka, dan bahkan membuat khawatir dan ketakutan di wajah orang tua mereka. Mereka mulai meragukan diri mereka sendiri, mencari homseksualitas dalam perilaku mereka sendiri, dan akhirnya menemukannya. Jika masyarakat tidak membagi dunia seksual menjadi kategori "homoseksual" dan "heteroseksual", mungkin anak-anak ini akan mengalir berhubungan dengan sesama jenis atau dengan jenis kelamin lain tanpa harus memilih antara kelompok "gay" dan "straight". d. Pendekatan Interaksional: Biologi dan Sosiologi Bem (1996 dalam Caroll, 2013) berpendapat bahwa variabel biologis seperti genetik, hormon, dan neuroanatomi otak, tidak menyebabkan orientasi seksual tertentu, tetapi lebih berkontribusi pada tempramen masa anak-anak yang mempengaruhi preferensi anak pada aktivitas dan kelompok sebaya yang sesuai dengan jenis kelaminnya atau tidak. Teori exotic-becomes-erotic yang 24 dikemukakan oleh Bem (1996 dalam Caroll, 2013) mengatakan bahwa perasaan seksual berubah dari pengalaman gender sejenis sebagai lebih eksotis, atau berbeda dari orang itu, daripada yang berlawanan jenis. Ia menyatakan bahwa anak-anak gay dan lesbian memiliki teman bermain lawan jenis ketika tumbuh, dan membuat mereka melihat sesama jenis lebih “eksotis” dan menarik. 2.2 Identitas Seksual 2.2.1 Definisi Identitas Seksual Identitas seksual adalah komponen yang sangat penting dan tak terpisahkan dari identitas diri secara keseluruhan (Block, 1973 dalam Heath, 2004). ‘Seksualitas’ seperti identitas seksual merupakan komponen integral dan penting dari diri dan identitas, namun mungkin menjadi salah satu aspek yang paling sulit bagi seorang individu untuk diungkapkan, dieksplorasi, dan divalidasikan (McKenna, Green & Smith 2001, 2003 dalam Matthews, 2005). Menurut Telingator dan Woyewodzic (2011), identitas seksual adalah bagaimana seseorang secara sadar memberi label pada seksualitas dirinya, mendeskripsikannya secara perasaannya atas gender dan ketertarikan seksualnya. Kemudian Moore dan Rosenthal (2007, h. 122) mendifiniskan identitas seksual yang mengacu pada bagaimana individu menggambarkan diri-seksualnya dan bagaimana mengungkapkannya kepada orang lain. Sementara menurut Dermatoto (2010), identitas seksual adalah apa yang orang katakan mengenai kita berkaitan dengan perilaku atau orientasi seksual kita, 25 kita benarkan dan percaya sebagai diri kita. Sehingga identitas tersebut harus diakui oleh aktor sendiri sebagai identitasnya. Kemudian Savin-Williams (2006, h. 41) memberikan definisi identitas seksual, sebagai berikut: “Sexual identity is personally selected, socially and historically bound labels attached to the perceptions and meanings individuals have about their sexuality” 2.2.2 Komponen Identitas Seksual Menurut Shively dan DeCecco (1977 dalam Heath 2004, h. 43-44) identitas seksual memiliki empat komponen, yaitu: a. Jenis Kelamin Biologis (Biological Sex) Jenis kelamin, yang ditetapkan pada individu saat lahir berdasarkan pada genitalia eksternal individu, sebagai laki-laki atau perempuan (Shively & De Cecco, 1978 dalam Rosser, 1994, h. 246). Jenis kelamin adalah hubungan yang kompleks genetik, hormonal, morfologi, kromosom, gonad, biokimia, dan determinan yang mempengaruhi anatomi fisiologi tubuh dan diferensiasi seksual otak (Lev, 2004). b. Identitas Gender (Gender Identity) Mengacu pada pemahaman psikologis sebagai laki-laki atau perempuan. Identitas gender harus sesuai dengan identifikasi biologis, tetapi hal itu tidak 26 selalu terjadi. Identitas gender dibentuk dalam tahap praoedipal dan biasanya terlihat mulai usia 3 tahun (Gonsiorek, 1982, h. 185). c. Peran Seks Sosial (Social Sex Role) Mengacu pada kepatuhan terhadap perilaku budaya yang dibuat dan sikap yang dianggap tepat untuk pria dan wanita. Maskulinitas individu dan/atau femininitas seperti yang dibuat oleh tradisi sosial dan budaya (Shively & De Cecco, 1978 dalam Rosser, 1994, h. 246). Peran seks sosial muncul dalam periode oedipal (usia 4 sampai 7) dan sangat dipengaruhi oleh model orang dewasa terutama orang tua. Seringkali peran ini dikategorikan dalam hal fisik, atribut, tingkah laku, ucapan, minat, dan kepribadian (Shively & DeCecco, 1977) — tidak melekat dengan seks biologis atau identitas gender. Namun demikian, kebanyakan orang berusaha menyesuaikan dirinya sesuai dengan peran jenis kelamin yang diharapkan masyarakat. Secara terbuka, mengabaikan peran seks sosial adalah sebuah risiko untuk dicap sebagai penyimpangan dan dapat membawa individu ke dalam konflik dengan masyarakat (Gonsiorek, 1982, h. 185). d. Orientasi Seksual (Sexual Orientation) Orientasi seksual mengacu ketertarikan individu akan aktivitas seksual fisik, afeksi interpersonal, dan fantasi erotis kepada individu dari jenis kelamin biologis yang sama dan/atau lawan jenisnya. Aktivitas seksual fisik yang dimaksud adalah kontak fisik erotis dengan satu atau beberapa individu mungkin dengan atau 27 tanpa kontak kelamin. Sementara afeksi interpersonal mengacu pada hubungan, yang melibatkan berbagai tingkat cinta atau kepercayaan, seperti dengan rekan kerja, teman, kekasih dan mitra perkawinan yang mungkin dengan atau tanpa aktivitas seksual fisik. Dan fantasi erotis, mengacu pada gambaran mental individu dengan satu atau beberapa individu lain, melibatkannya dalam aktivitas seksual fisik atau mengidealkan hubungan afeksi (romantis). 2.2.3 Pembentukan Identitas Seksual pada Homoseksual menurut Cass Dalam jurnal yang berjudul ‘Homosexual Identity Formation: A Theoretical Model’ tahun 1979, secara komprehensif Cass menjelaskan teorinya mengenai pembentukan identitas seksual homoseksual. Cass mendefinisikan pembentukan identitas seksual homoseksual sebagai sebuah proses dimana individu terlebih dahulu mempertimbangkan dan kemudian menerima identitas ‘homoseksual’ sebagai salah satu aspek yang relevan dalam dirinya. Model Cass ini berdasarkan dua asumsi: (a) identitas diperoleh melalui proses perkembangan; dan (b) locus untuk stabilitas, dan perubahan, perilaku terletak pada proses interaksi yang terjadi antara individu dan lingkungan mereka. Teori Cass ini menggunakan model interaksionis dalam pembentukan identitas homoseksual dan mengakui pentingnya faktor psikologis dan sosial. Ada enam tahap yang harus dilalui oleh individu untuk memperoleh identitas ‘homoseksual’ yang terintegrasi. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk melalui tahapan akan berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan setiap tahap, didasarkan pada persepsi individu akan perilakunya dan 28 tindakan yang muncul sebagai akibat dari persepsinya. Cass menekankan bahwa tiap individu harus membuat pilihan sendiri dan berperan aktif dalam pembentukan identitasnya. Pergerakan seorang individu dari satu tahap ke tahap lain didasarkan pada usaha individu tersebut untuk mengatasi ketidaksamaan antara persepsi terhadap diri dengan persepsi terhadap orang lain. Enam tahap pembentukan identitas seksual menurut Cass, yakni sebagai berikut: 1) Tahap 1: Kebingungan Identitas (Identity Confusion) Proses awal pembentukan identitas seksual ditandai dengan munculnya kesadaran akan diri dan perilaku individu (overt, seperti berciuman, atau internal, seperti pikiran, emosi, atau respon fisiologis) relevan dengan homoseksualitas. Dan proses ini dimulai ketika individu dapat memberikan label akan perilakunya dan berkata, “perilaku saya mungkin disebut homoseksual.” Penginternalisasi informasi secara berkelanjutan akan menumbuhkan kesadaran bahwa hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Persepsi individu akan perilakunya menjadi berselisih/konflik baik persepsi dirinya sebagai seorang heteroseksual maupun persepsi orang lain terhadap masyarakat sebagai heteroseksual. Inkongruensi juga terjadi pada afeksinya. Semakin jelas individu memaknai perilakunya sebagai homoseksual, maka inkongruensi yang terjadi semakin meningkat. Sebagai akibat dari inkongruensi ini, individu mengalami kebingungan dan kekacauan, dan memunculkan pertanyaan “jika perilaku saya mungkin disebut homoseksual, ini berarti saya seorang homoseksual?” Mereka melihat identitas 29 dirinya berpotensi sebagai homoseksual. Mereka menjadi ragu akan hal tersebut, “siapa saya?” pertanyaan itu menjadi selalu muncul. Perasaan akan keterasingan juga menjadi meningkat. Untuk mengatasi kebingungan ini, biasanya individu memilih salah satu dari tiga pendekatan/cara berikut ini: 1. Pendekatan pertama, ketika individu memaknai perilakunya dirasa benar dan dapat diterima. Tidak ada usaha untuk mengubah persepsi akan perilakunya. Muncul pertanyaan, “apakah saya homoseksual?” untuk menjawab pertanyaan ini dan mengurangi kebingungan yang ada, individu mulai mencari informasi (seperti, membaca buku, mendengarkan diskusi tentang homoseksualitas, konsultasi kepada konselor). Semakin yakin individu akan perilakunya sebagai homoseksual, semakin akut inkongruensi yang ada. Usaha untuk memecahkan keadaan ini, ia akan masuk tahap ke-2 (pembandingan identitas). 2. Pendekatan kedua, ketika individu merasa arti perilakunya sebagai homoseksual itu benar tetapi tidak dikehendaki. Usaha mereka untuk memperbaiki matriks intrapersonalnya dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (a) mencegah semua perilaku yang diartikan sebagai homoseksual; (b) membatasi dan mengkontrol setiap informasi tentang homoseksualitas; dan (c) menyangkal informasi pribadi yang relevan dengan homoseksual. Maka kemudian individu menolak pontensi homoseksual dalam self-imagenya. Ketika individu berhasil menggunakan strategi ini, konflik dan kebingungan dapat dihilangkan, identitas foreclosure terbentuk. 30 Apakah individu akan berhasil dalam upaya ini untuk mencegah perilaku homoseksual akan tergantung pada: (a) kemampuan untuk menarik diri dari situasi yang provokatif (misalnya, mungkin relatif lebih mudah untuk berhenti pergi ke tempat pertemuan tapi lebih sulit untuk mencegah terjadinya mimpi erotis atau respon fisiologis terhadap orang-orang dari jenis kelamin yang sama); (b) kemampuan untuk menggunakan mekanisme pertahanan yang dikenal sebagai "denial"; (b) kemampuan untuk mengadopsi dan mempertahankan sikap aseksualitas atau heteroseksualitas. Ketika individu masih merasakan kesulitan untuk mencegah perilakunya, ia mungkin mencari bantuan orang lain (seperti terapist). Dan bila gagal juga, individu mulai menerima potensi dirinya sebagai homoseksual, tapi dengan enggan. Ini menandai awal dari sebuah identitas negatif atau membenci diri sendiri. 3. Pendekatan ketiga, ketika individu melihat perilakunya adalah tidak benar dan tidak dikehendaki. Inividu memberikan arti lain pada persepsinya terhadap perilakunya sebagai bukan/tidak homoseksual. Atau individu menganggap perilaku homoseksualnya itu tidak selamanya sebagai homoseksual tetapi lebih kepada ‘sebuah eksperimen’, ‘semata-mata untuk memperoleh penghasilan’, ‘membantu teman’, ‘sebuah ketidaksengajaan’, ‘membaur dengan orang lain’ dan sebagainya. Strategi ini menempatkan individu pada posisi seakan-akan tidak bersalah atau tidak tahu apa-apa, sehingga memperbolehkannya untuk memungkiri pertanggungjawaban akan perilakunya. 31 2) Tahap 2: Pembandingan Identitas (Identity Comparison) Tahap ini dimulai dengan pernyataan “saya mungkin seorang homoseksual” sebagai tanda kebingungan dan kekacauan yang besar ditahap sebelumnya berkurang. Ditahap ini individu harus menangani pengasingan sosial yang akan muncul. Individu menjadi menyadari perbedaan antara persepsinya akan perilaku dan dirinya dengan persepsi orang lain akan perilaku dan dirinya. “Saya berbeda” dan “sayalah satu-satunya orang didunia yang seperti ini”, adalah ekspresi yang muncul akibat dari pengasingan sosial dan perasaan memiliki (belonging) yang tidak ada dari lingkungan. Menerima dirinya sebagai “bukan heteroseksual atau sebagai homoseksual” membuat individu menyadari pedoman untuk perilaku, cita-cita, harapan masa depan dengan identitas heteroseksual tidak selamanya relevan dengan kehidupannya. Ada empat pendekatan sebagai usaha individu untuk mengurangi perasaan keterasingan ini: 1. Pendekatan ini dipakai ketika individu bereaksi secara lebih positif terhadap dugaan/gagasan menjadi ‘berbeda’ dan merasa persepsi terhadap karakteristik yang dimasukkan kedalam dirinya dan persepsi akan perilakunya dikehendaki. Secara umum, ada tiga kelompok orang yang bereaksi dengan cara ini, yaitu: (a) ada orang yang merasa bahwa mereka ‘selalu berbeda’ berdasarkan apa yang dimilikinya ini kemudian pikiran atau perilaku diberi label homoseksual; (b) ada orang-orang yang merasa ‘berbeda’ sepanjang hidup mereka atas dasar ketidaksesuaian peran heteroseksual (misalnya, penolakan 32 terhadap kebutuhan untuk pernikahan anak-anak); dan (c) ada orang yang menemukan ‘menjadi berbeda’ itu menarik, luar biasa, seperti menambahkan sesuatu yang khusus untuk kehidupan mereka. Individu menangani inkongruensi dengan mengatakan “saya tidak perduli,” akan apa yang saya lakukan, apapun yang orang lain pikirkan tentang saya. Pada waktu yang sama, individu tetap melanjutkan menampilkan diri sebagai heteroseksual didepan umum (public image) untuk mencegah dari konfrontasi orang lain akan penilaian negatif tentang homoseksual. Ada 4 cara sukses menggunakan strategi ini, yaitu: (a) menghindari situasi yang mengancam (seperti acara pesta dimana memungkinkan individu untuk mendapatkan pasangan dari lawan jenis); (b) mengendalikan informasi pribadi; (c) secara sengaja mengolah atau menampilkan image sebagai heteroseksual atau aseksual; dan (d) dengan menjauhi, mengambil sikap yang menyatakan tidak terpengaruh. Ketika mampu melewati keadaan yang tak terdeksi ini, inkongruensi berkurang tetapi tidak bisa dihilangkan. Usaha untuk menguranginya menggiring individu masuk pada tahap ke-3 yaitu toleransi identitas. 2. Pendekatan kedua, individu menerima arti perilakunya sebagai homoseksual tetapi self-imagenya tentang homoseksual tidak dikehendaki. Individu menggunakan strategi dimana ia mengubah persepsi akan karakteristik yang ia masukkan ke dalam dirinya, tanpa mengharuskan mengubah perilaku aktualnya. Ada empat strategi yang tersedia yang memungkinkan individu untuk mengurangi pentingnya homoseksual: 33 a. Special case strategy. Individu merestrukturisasi makna akan perilakunya sehingga saat ini ia merasa sebagai homoseksual hanya dalam hubungan dengan orang tertentu. Ia berargumen “jika ini tidak untuk seseorang yang spesial, saya akan menjadi heteroseksual.” b. Ambisexual strategy. Individu meyakini pandangan tokoh-tokoh masyarakat yang menggap bahwa semua orang adalah biseksual. Sehingga dapat mengurangi inkongruensi yang terjadi. c. Temporary identity strategy. Individu menerima self-image sebagai homoseksual hanya sementara berlaku. Ia merasa bahwa setiap saat di masa depan, ia dapat memilih untuk bertindak heteroseksual. d. Personal innocence strategy. Strategi ini umumnya digunakan oleh individu yang melihat karakteristik homoseksual pada dirinya sangat negatif. Mereka menerima self-imagenya homoseksual tapi menolak untuk mengakui pertanggungjawabannya untuk itu. Seiring dengan perasaan negatif yang melekat pada dalam dirinya, situasi ini menyebabkannya untuk mengembangkan identitas negatif ditandai dengan membenci diri sendiri. 3. Pendekatan ini digunakan ketika individu menerima persepsi terhadap karakteristik yang dimasukkan kedalam dirinya sebagai homoseksual. Dan menerima persepsi akan perilakunya dimaknai sebagai homoseksual tetapi, karena perasaan yang kuat dari keterasingan sosial, ia menjadi tidak dapat menerima/menginginkannya. "Saya mungkin homoseksual tapi saya tidak akan bergerak dalam dunia homoseksual lagi" dan "saya mungkin 34 homoseksual tapi saya tidak berniat melakukan apa-apa lagi tentang hal itu" adalah ciri pernyataan dari posisi ini. Mencegah semua perilaku homoseksual dan heteroseksual membuat individu mengambil peran aseksual dan setelah itu aseksual self-image. Berhasilnya upaya penghambatan ini dapat membawa individu kepada identitas foreclosure. Adanya hambatan dalam strategi ini, bagaimanapun, dapat menyebabkan individu untuk memperbaharui upaya menghambat perilakunya (mungkin dengan bantuan profesional). Namun, inkongruensi masih tetap ada, yang dapat menciptakan ketegangan untuknya. Ketegangan mengarah ke tindakan lebih lanjut. Dua tindakan yang memungkinkan: (a) individu dapat memilih untuk menghambat perilaku terbuka (overt) dan tertutup (covert), sehingga membawanya kepada identitas foreclosure; atau (b) individu mungkin mencoba untuk mengurangi dampak dari orang lain sehingga individu mencoba mengubah persepsi akan perilakunya menjadi lebih diinginkan. 4. Pendekatan ini digunakan ketika individu merasa persepsi terhadap karakteristik yang dimasukkan kedalam dirinya dan persepsi akan perilakunya itu tidak dikehendaki dan berkeinginan merubahnya. Hal ini dilakukan melalui mencegah semua perilaku homoseksual, memandang rendah homoseksualitas dan hanya heteroseksual lah yang positif. Bila strategi ini berhasil, identitas foreclosure terjadi. Dan bila tidak, individu akan membenci dirinya (self-hatred), individu harus berupaya terus menerus mengubah strateginya yang gagal, ia bisa bunuh diri. 35 3) Tahap 3: Toleransi Identitas (Identity Tolerance) Pada akhir tahap 2 (jika identitas foreclosure belum terjadi), individu mengubah citra diri lebih jauh dari ‘heteroseksual’ dan lebih ke arah ‘homoseksual?’ Meningkatnya komitmen ini umumnya dinyatakan dalam pernyataan ‘saya sepertinya homoseksual’ sebagai ciri ekspresi tahap ini. Individu akan mengalami inkongruensi antara cara ia melihat dirinya dan cara orang lain melihat dirinya. Pada tahap ini berhubungan dengan homoseksual dipandang sebagai ‘sesuatu yang harus dilakukan’ untuk melawan perasaan isolasi dan keterasingan dari orang lain. Individu lebih ‘mentoleransi’ tetapi belum menerima identitas homoseksualnya. Individu merasa homoseksual lain dapat menerima perilaku dan gambaran dirinya sebagai homoseksual. Akhirnya ia menyadari bahwa ada orang lain yang secara positif dapat menerima dirinya sebagai homoseksual. Namun pada waktu yang bersamaan juga muncul adanya perasaan tidak memiliki (not belonging) dengan heteroseksual lain. Untuk mengurangi perasaan ini, individu menjadi memisahkan diri dari mereka dan memilih secara selektif untuk bergaul dengan siapa. Faktor ‘kualitas emosional’ hubungan yang terjalin dengan homoseksual lain menjadi lebih penting. Faktor ini dapat memberikan efek positif atau negatif kepadanya. Kontak positif memiliki efek yang membuat homoseksual lainnya menjadi lebih penting dan menguntungkan dimatanya. Dapat membuat dirinya merasa lebih ‘kongruen’ dan perasaan keterasingan menjadi berkurang sehingga ia merasa dirinya lebih positif. Hal ini menyebabkan komitmen terhadap identitas 36 homoseksual semakin meningkat dan keinginan untuk kontak lebih lanjut dengan subkultur homoseksual. Jika hasil hubungan justru individu kehilangan nilai akan subkultur gay dapat menyebabkan ia menurunkan nilai dirinya ditandai dengan identitas yang negatif. Untuk menangani kebencian (self-hatred) pada diri sendiri, individu menggunakan salah satu dari dua strategi yang tersedia: pengurangan kontak dengan homoseksual, atau penghambatan semua perilaku homoseksual. Ketika penghambatan perilaku ini berhasil, identitas foreclosure terjadi. Membaur dengan subkultur gay menawarkannya kesempatan untuk mengamati bahwa beberapa hal positif seperti kesempatan untuk bertemu mitra, kesempatan untuk belajar teknik untuk manajemen yang lebih baik dari identitas homoseksual, dll. Namun pada saat yang sama, individu dibuat sadar akan aspekaspek negatif dari kontak ini seperti permintaan untuk komitmen yang lebih besar akan identitas homoseksual, kemungkinan pengungkapan yang homosekual, dll. Meskipun ketika individu membuat hubungan yang sangat minimal, penekanan yang berlebihan pada aspek-aspek negatif ini dapat mendorongnya untuk melanjutkan strategi ini. 4) Tahap 4: Penerimaan Identitas (Identity Acceptance) Tahap ini ditandai melalui pelanjutan dan peningkatan hubungan dengan homoseksual lain. Saat ini individu lebih ‘menerima’ daripada ‘hanya mentoleransi’ gambaran dirinya sebagai homoseksual. Secara perlahan, individu menjadi sering dan secara tetap berhubungan dan membangun persahabatan 37 dengan homoseksual lain. Hal ini membuat individu menjadi lebih positif menilai homoseksual lain dan menganggap mereka penting dalam hidupnya. Subkultur gay memainkan bagian penting dalam kehidupannya dan selanjutnya dalam restrukturisasi lingkungan interpersonalnya. Tipe kelompok dalam subkultur dimana individu bergaul akan memiliki pengaruh penting pada cara individu melalui tahap-tahap yang tersisa. Pertanyaan yang muncul saat tahap-tahap sebelumnya, “siapa saya?” dan “dimana saya semestinya?” kini dapat dijawab. Dalam melalui tahap ini, individu biasanya mengurangi kemungkinan menghadapi reaksi dari heteroseksual. Untuk mengurangi inkongruensi, individu mengurangi hubungan dengan heteroseksual yang dapat mengancam meningkatnya inkongruensi itu (seperti keluarga). Namun individu juga secara selektif mengungkapkan identitas homoseksualnya kepada heteroseksual lain yang dianggap penting dan dapat dipercayainya untuk menjaga rahasianya. Ketika strategi ini berhasil, inkongruensi dapat berkurang ke tingkat yang dapat dikelola. Dengan inkongruensi rendah, identitas homoseksual dirumuskan secara positif, dan stabilitas yang cukup besar dalam lingkungan interpersonal, individu mampu "fit in" baik dengan gay dan dengan pendiriannya. Untuk beberapa individu, strategi yang diterapkan mungkin tidak berhasil. Individu kemudian dapat memilih untuk memperbaharui upaya (misalnya, tidak ada lagi yang harus dilakukan dengan keluarga). Inkongruensi kemudian meningkat, menyebabkan individu pindah ke tahap 5. 38 5) Tahap 5: Kebanggan akan Identitas (Identity Pride) Individu memasuki tahap ini dengan kesadaran akan perbedaan (ketidaksesuaian) yang ada antara konsep diri sebagai homoseksual dan penolakan masyarakat terhadap konsep ini. Untuk mengelola inkongruensi ini, individu menggunakan strategi untuk mendevaluasi heteroseksual lain bagi diri sendiri, dan merevaluasi homoseksual lain secara lebih positif. Komitmen terhadap kelompok gay yang kuat, menghasilkan rasa identitas kelompok ("ini adalah kaum-ku") dan rasa memiliki. Ada rasa yang kuat dan bangga menjadi gay, ditandai dalam slogan-slogan seperti "gay itu baik" dan "gay dan bangga." Individu juga menolak nilai-nilai klasifikasi sebagai heteroseksual (misalnya, pernikahan, struktur peran jenis kelamin). Pada titik ini, inkongruensi berkurang ke tingkat yang dapat dikelola. Namun, dalam kehidupan sehari-hari individu terus-menerus dihadapkan dan dipaksa untuk mematuhi sebuah kerangka referensi yang didirikan untuk meningkatkan inkonsistensi antara nilainilai heteroseksual dan homoseksual. Konflik yang dihasilkan (inkongruensi) menciptakan perasaan marah yang lahir dari frustasi dan keterasingan. Kombinasi kemarahan dan kebanggaan memberikan energi untuknya ke dalam tindakan menentang institusi-institusi yang telah dibangun dan menciptakan seorang ‘aktivis.’ Slogan "beraninya kau menganggap aku heteroseksual" merupakan indikasi perasaan pada tahap ini. Strategi ini membantu individu untuk melihat subkultur gay sebagai hal yang lebih signifikan, dengan demikian dapat mempertahankan inkongruensi pada tingkat yang dapat dikelola. 39 Konfrontasi mengarahkan individu untuk sengaja meninggalkan strategistrategi yang sebelumnya digunakan untuk menyembunyikan identitas pribadi. Dengan penolakan yang tak bisa dipungkiri, individu menjadi sangat tidak peduli tentang bagaimana heteroseksual memandang dirinya. Hal ini memberikan kebebasan padanya untuk memilih pengungkapan sebagai strategi coping. Pengungkapan dapat memberikan efek positif namun disisi lain dapat menyebabkan inkongruensi meningkat. Jika individu memandang pengungkapan pribadi itu mengancam, ia mungkin menemukan konflik antara diri ideal dan diri realitas. Dalam rangka untuk meringankan frustrasi yang dihasilkan oleh situasi ini dan untuk menjaga kongruensi, individu mungkin merasa perlu untuk mengubah situasi hidupnya (misalnya, mengubah pekerjaan). Pengungkapan identitas homoseksual secara alami menimbulkan reaksi bermacam-macam. Persepsi individu akan reaksi tersebut yang memainkan peranan penting dalam apakah perkembangan akan terus dilanjutkan. Ketika individu menerima reaksi negatif orang lain, tidak ada upaya untuk mengubah matriks yang telah ada dan identitas foreclosure terbentuk. Akan tetapi ketika reaksi orang lain dianggap positif, ini tidak konsisten dengan harapannya. Upaya untuk menangani ketidak-konsistenan ini mendorong individu ke tahap akhir dari pembentukan identitas homoseksual. 6) Tahap 6: Penyatuan Identitas (Identity Synthesis) Individu memasuki tahap ini dengan kesadaran akan ‘mereka dan kami’. Filosofi yang dianut sebelumnya, dimana semua heteroseksual yang dipandang 40 negatif dan semua homoseksual positif, tidak lagi berlaku. Kesadaran ini memaksa individu sekali lagi untuk mengubah struktur komponen matriks intrapersonalnya. Dalam matriks intrapersonalnya kini terjadi kesesuaian yang maksimal, dengan ketidaksesuaian pada tingkat yang mudah dikelola. Mereka masih mengalami kemarahan (seperti pada tahap 5) namun dengan intensitas yang berkurang. Begitupula dengan rasa bangga yang masih ada tetapi menjadi lebih lemah karena individu mulai melihat tidak ada dikotomi yang jelas antara dunia homoseksual dan heteroseksual. Individu menerima banyak kesamaan antara dirinya dan heteroseksual, serta perbedaan antara diri dan homoseksual. Identitas yang ditampilkan individu di lingkungan pribadi dan di lingkungan umum menjadi makin sebangun karena individu di tahap ini telah merasa nyaman dan aman dengan identitasnya. Di tahap ini, identitas homoseksual dipandang hanya sebagai salah satu aspek dari diri (identitas), bukan lagi sebagai keseluruhan identitas individu tersebut. Kesadaran ini menyelesaikan proses pembentukan identitas homoseksual. 2.3 Dewasa Awal 2.3.1 Definisi Dewasa Awal Menurut Hurlock (1980, h. 246), masa dewasa awal adalah periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru, dimulai pada umur 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun. 41 2.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Awal Tugas perkembangan dianggap normatif dalam arti bahwa merupakan tugas-tugas yang individu harus capai dalam periode kehidupan tertentu (Hagestad & Neugarten, 1985; Havighurst, 1952 dalam Steinberg, et.all., 2010). Tugas perkembangan dewasa awal menurut Havighurst (Steinberg, et.all., 2010, h. 437), yakni sebagai berikut: 1. Membuat komitmen jangka panjang dengan pasangan 2. Membina keluarga 3. Memulai karir 4. Menjadi bagian dari sebuah komunitas Disisi lain, Erikson (1962 dalam Aiken, 1998, h. 111) menjelaskan bahwa pada usia dewasa awal, individu akan mengalami krisis atau konflik antara intimacy dan isolation sehingga dikenal dengan tahap intimacy vs isolation. Tujuan atau resolusi dari krisis ini adalah untuk menjalin keintiman dengan individu lain. Melebur dengan individu lain mengarahkan kepada keintiman. Hubungan kompetitif dan agresif dengan individu lain dapat menyebabkan isolasi. 2.3.3 Isu-isu Perkembangan Kaum Homoseksual Dewasa Awal Menurut Greene & Croom (2000, h. 65-66), isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kelompok homoseksual dewasa awal adalah sebagai berikut: 42 1. Apakah individu tersebut akan mengambil keputusan untuk coming out atau tidak. 2. Apakah individu tersebut akan memutuskan untuk hidup membujang, atau menikah dengan lawan jenis (pernikahan heteroseksual) atau menjalin hubungan dengan sesama jenis, atau melakukan pernikahan dengan lawan jenis namun tetapi mempunyai pasangan sesama jenis dan lain-lain. 3. Apakah individu tersebut memutuskan untuk memiliki anak atau tidak. 4. Bagaimana individu akan menghadapi kenyataan tentang perbedaan persepsi masyarakat terhadap keberadaan individu sebagai seorang homoseksual. 5. Bagaimana menjalin hubungan dengan keluarga. 6. Bagaimana individu tersebut akan menghadapi isu-isu hukum yang berhubungan dengan homoseksualitas.