BAB II LANDASAN TEORI DAN STUDI LITERATUR 2.1. Definisi Manajemen Proyek Menurut Project Management Book of Knowledge Guide (PMBOK®Guide) manajemen proyek adalah sebuah aplikasi dari sekumpulan ilmu pengetahuan, keterampilan, peralatan, dan teknik untuk sebuah aktifitas proyek untuk mencapai kebutuhankebutuhan dari proyek. Manajemen proyek dapat diselesaikan dengan menggunakan aplikasi dan integrasi dari proses-proses manajemen proyek yang meliputi initating, planning, executing, monitoring and controlling, dan closing. Manajer proyek adalah orang yang bertanggung jawab pada penyelesaian tujuan proyek secara keseluruhan (2004, 8). Para manajer proyek selalu berbicara tentang “Triple Constraint” yaitu scope, time dan cost dari sebuah proyek dalam mengatur sebuah proyek. Quality dari proyek akan berpengaruh terhadap keseimbangan ketiga faktor tersebut. Proyek yang dikatakan berkualitas apabila mampu menyelesaikan proyek dengan memberikan produk, jasa ataupun hasil sesuai dengan scope, time dan budget (2004, 8). Hal ini dapat terlihat pada gambar dibawah. Quality Quality Quality Gambar II.1 Variabel utama dalam sebuah manajemen proyek (Sumber: Berbagai sumber) 22 Dari gambar diatas dapat terlihat sebuah ekuilibrium dari cost-time-scope, yang artinya ketiganya sangat berkaitan erat. Apabila salah satu dirubah menjadi lebih tinggi atau rendah prioritasnya maka yang lain akan berubah mengikuti perubahan yang lain sesuai dengan kenyataannya dan berpengaruh terhadap quality yang akan dihasilkan. Disinilah pentingnya seorang manajer proyek, sebuah tim proyek ataupun semua resource yang ada untuk menjaga keseimbangan ekuilibrium tersebut. Project Sponsor Project Project Manager Project Management Team Project Team Project Stakeholders Gambar II.2. Hubungan antara sebuah proyek dengan para stakeholders. (Sumber: PMBOK, 2004, 25) Resources yang berpengaruh pada sebuah proyek dikatakan stakeholders dari proyek yang dijalankan antara lain manajer proyek, pelanggan/ user, organisasi yang melaksanakan proyek, anggota tim proyek, tim manajemen proyek, sponsor/ penyandang dana, influencers/ orang atau grup yang tidak secara langsung menjalankan proyek namun mempengaruhi tanggapan positif/ negatif dari pelanggan/ user, lalu PMO (Program/ Project Management Office) yang apabila terbentuk didalam organisasi yang melaksanakan proyek, maka PMO dapat menjadi stakeholder apabila memiliki tanggung jawab yang langsung ataupun tidak langsung untuk hasil yang diberikan dari sebuah proyek. 23 Telah dibahas sebelumnya bahwa dalam pelaksanaan manajemen proyek BTEL mengalami tantangan dan hambatan. Dalam pemilihan model manajemen proyek yang bersifat turn key, non-turn key ataupun managed services diperlukan assesment yang mendalam terhadap internal perusahaan BTEL, untuk melakukan assesment dapat digunakan beberapa tools yang sudah ada, seperti penggunaan PMMM (Project Management Maturity Models) dari Harold Kerzner, Phd, Organizational Project Management Maturity Model (OPM3) dari PMI (Project Management Institute), PRINCE2 Maturity Model (P2MM) dari OGC atau dengan model P3M3 (Portfolio, Programe and Project Management Maturity Models) yang juga datang dari OGC (Office of Government Commerce). 2.1.1. Turn Key Project Istilah turnkey atau turnkey project adalah pelaksanaan sebuah proyek dengan pembagian entitas tanggung jawab untuk membangun sebuah proyek dan menjadikannya sebuah operasi bersama (sumber: www.wikipedia.com). Turnkey project merupakan pelaksanaan kontrak yang setidaknya melewati sebuah sistem, subsistem atau fase pembuatan proyek yang sudah tertera didalam sebuah kontrak kerja. Menurut IEC (International Engineeing Consortium) deregulasi dalam industri telekomunikasi telah terbuka bagi jalur bisnis baru dalam hal instalasi dan konstruksi jaringan telekomunikasi. Sebagian besar dari bisnis yang dijalankan terbentuk dari beberapa perusahaan kecil yang mampu menawarkan solusi secara terpisah pada proyek yang besar, dengan hanya beberapa yang mampu menawarkan solusi turnkey secara keseluruhan. Pemain besar seperti regional Bell operating companies (RBOCs), mulai memperkenalkan banyaknya kekurangan dari kualitas kontrol dari beberapa penyedia barang dan layanan yang kecil. Saat ini dunia mengalami kekurangan sumber daya ahli dan membengkaknya biaya, belum lagi penolakan terhadap mengambil tenaga kerja baru dan memberikan pelatihan. Hasilnya, terjadi pergeseran dari beberapa pemain besar penyedia layanan dan jasa. Konsekuensinya terbentuk tren baru dalam industri 24 telekomunikasi secara keseluruhan dari menggunakan banyak kontraktor kecil dengan pekerjaan proyek yang terpisah dan banyak menjadi menggunakan outsourcing untuk pembangunan keseluruhan jaringan kepada penyedia jasa dan barang tunggal yang mampu. Secara keseluruhan solusi turnkey artinya menggunakan hanya satu sumber vendor atau bekerja dengan sebuah integrator (sebagai mediasi penyatu beberapa vendor yang terintegrasi dibawah satu payung) atau keduanya (dengan satu vendor yang mampu mengintegrasikan kebutuhan proyek lainnya dibawah payung vendor tersebut). Sebuah sistem pasti memiliki keuntungan dan kerugian. Seperti yang dikatakan oleh Rami AlAsqhar seorang manajer produk dari Bosch Rexroth Electric Drives and Controls sebagai berikut: “One-stop shopping may not always get you the latest technology,but having a single source for service and repair means the end-user doesn't have to call several people to get one thing done… …If you're going to take this kind of approach, you need to know your purpose. You need to have a design and a plan. Who is going to use the system? What will the operators be required to do? In what kind of environment will the system operate? What kind of display is needed? And these are only some of the questions that need to be answered before you start…”. (sumber: Katzel J., 2005, 3) Model manajemen proyek turnkey terbagi atas dua jenis, yaitu: 1. Turnkey L/S (Lump-sum) Turnkey jenis ini merupakan model manajemen proyek yang mengikat vendor secara totalitas harga yang sudah ditetapkan sebelumnya, didalam sebuah kontrak proyek. Pembayaran jenis lump sum mencakup keseluruhan biaya termasuk didalamnya seluruh biaya pekerja, bahan baku, peralatan, overhead, keuntungan dan biaya tak terduga lainnya yang termasuk dalam bagian pekerjaan. 2. Turnkey RQ (Re-measured Quantity) Untuk jenis manajemen proyek ini pembayaran yang dilakukan akan bergantung dari jumlah nilai atau kuantitas hasil proyek yang sudah dikerjakan oleh pihak vendor. Apabila pembayaran untuk sebuah bagian pekerjaan dispesifikkan menjadi “perencanaan kuantitas/ Plan Quantity,” maka pembayaran akan diukur 25 berdasarkan kuantitas yang tertera pada “penjadwalan perintah kerja/ bid schedule”. Tidak akan ada pengukuran terkecuali untuk perubahan kuantitas yang telah diotorisasikan sesuai pada kontrak kerja yang telah dibuat. Apabila perencanaan kuantitas tidak disetujui, maka pemerintah setempat yang akan melakukan pengukuran ulang (pada negara yang sudah memiliki aturan mengenai model ini, contoh Amerika Serikat). Permintaan perubahan kuantitas harus dibuat secara tertulis baik dari vendor ataupun dari pemilik proyek. Apabila re-measured quantity tidak melebihi nilai dari perencanaan kuantitas (sebagai contoh, menggunakan batas $500.00), maka vendor atau kontraktor hanya dapat meminta reimburement/ penggantian biaya pengeluaran pada pihak pemilik proyek terkait. Semua biaya yang timbul pada pengerjaan proyek dari permintaan pengukuran harus selalu didokumentasikan dan di bukukan. (sumber: Idaho Transportation Departement, 2004, 2-5). Banyak keuntungan dari penggunaan solusi turnkey project terhadap perusahaan, antara lain: • Manajemen proyek mendapatkan kepastian penyelesaian sesuai waktu, biaya dan kualitas yang diinginkan • Mendapatkan Quality of Services (QoS) yang tinggi tingkat kerja para pekerja yang tinggi • Mendapatkan staf pekerja yang memiliki keahlian sebagai teknisi yang sangat tinggi pada sumber dayanya • Memiliki sumber daya yang terlatih secara berkelanjutan sesuai perkembangan teknologi • Memiliki kestabilan dalam jumlah dan kerjasama keuangan Dari penggunaan penyedia layanan jasa dan barang tunggal pemilik proyek memiliki banyak keuntungan. Perusahaan yang menawarkan layanan paket secara keseluruhan dapat membantu menghemat waktu, memastikan kualitas yang konsisten pada setiap 26 proyek dan menyediakan penghematan biaya yang signifikan pada kualitas standar yang tinggi. Solusi turnkey terhadap proyek yang berskala besar dapat menghemat biaya hingga 15% sampai 20%. Secara teori penggunaan koordinasi dengan satu perusahaan pada setiap aspek pekerjaan, termasuk perencanaan pengaturan sumber daya (manusia, peralatan, bahan baku), penjadwalan pekerjaan dan pengaturan biaya, mampu mengurangi cycle time, duplikasi proses dan menjaga keberlangsungan sebuah proyek. Hal ini akan mengurangi biaya untuk sumber daya bahan baku, peralatan dan sumber daya manusia, dengan tidak memperbolehkan terjadinya downtime dan overlap yang kemungkinan dapat terjadi karena buruknya perencanaan awal. 2.1.2. Non-Turn Key Project Sebaliknya dari turnkey project, non-turnkey project justru memecah suatu pekerjaan proyek yang besar hingga menjadi suatu bagian pekerjaan yang spesifik dan kecil. Solusi ini menurut Wes Taylor seorang presiden dari Texas Utilities Generation (TXU) di California merupakan solusi yang mampu menaikkan tingkat keamanan dari proyek dan juga membagi beban keuangan terhadap beberapa perusahaan yang mengerjakan proyek itu, potensi peningkatan kinerja keuangan bisa mencapai 5%. (Sumber: simposium energi nuklir Amerika Serikat) TXU menggunakan solusi non-turnkey project dengan menyampingkan permasalahan waktu dan mengutamakan proyek selesai dengan aman dan tanpa kekurangan sumber daya keuangan, solusi itu dinamakan S.T.A.R.S. (Strategic Teaming And Resource Sharing) yang digunakan pada tahun 1980. (Sumber: Dr. Richard St. Clair, 2001, 15) Ada beberapa tujuan dari pelaksanaan solusi non-turnkey project, antara lain: • Pembagian pekerjaan sesuai dengan keahlian utama masing-masing kompetensi perusahaan kontraktor atau supplier • Mendapatkan harga yang termurah dengan pekerjaan yang terbaik (karena dikerjakan oleh perusahaan ahlinya secara langsung) 27 • Walaupun tidak dapat menghemat waktu, namun pelaksanaan proyek mampu mencapai tujuan hasil dengan kualitas yang sangat tinggi • Masih dapat menggunakan sumber daya dari perusahaan pemilik proyek, hingga pemanfaatan sumber daya internal perusahaan dapat dimaksimalkan. 2.1.3. Managed Services Proses pelaksanaan solusi managed services ini adalah memberikan kepercayaan berupa kontrak kerja dari perusahaan pemilik proyek kepada calon pelaksana proyek secara keseluruhan, termasuk dari tahap manajemen perencanaan proyek hingga tahap akhir yang sudah ditentukan (dapat terjadi hingga pelaksanaan fungsional dan operasional dari hasil proyek). Mesir merupakan negara yang pertama kali menggunakan sistem manajemen proyek konstruksi managed services yang menggunakan model BOT (Build-Operate-Transfer), dengn proyek BOT pertamanya yaitu proyek pembangunan kanal Suez di tahun 1869. Didalam sejarahnya BOT telah digunakan untuk membangun infrastruktur publik/ umum dengan menggunakan dana publik/ masyarakat umum. Kebijakan atas privatisasi pembangunan fasilitas publik dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda diberbagai negara, hal ini bergantung pada status pemerintahan daerah/ lokal, stabilitas ekonomi, kebijakan bantuan asing, nilai tukar mata uang asing, dan kekuatan dari pihak kontraktor yang ada di negara tersebut (sumber: Azer M.S., et.al., 2006, 8). Model managed services yang digunakan terbagi atas beberapa model yang berbeda berdasarkan tingkatan pelayanan yang harus diberikan vendor kepada pemilik proyek. Model yang digunakan akan sangat bergantung pada jenis investasi dari perusahaan pemilik proyek, hubungan tersebut dapat terlihat pada gambar dibawah ini. 28 Gambar II.3. Aplikasi model-model managed services sesuai dengan tingkat resiko (sumber: Padiyar V. & Shankar T.,n.d., , 2) Seringkali proyek-proyek dengan pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan swasta atau disebut juga PPP (Public-Private Partnership) mengambil bentuk managed services yang bentuknya bergantung pada jangka waktu yang disepakati (dari hanya kontrak manajemen hingga dapat menjadi suatu kontrak divestasi suatu proyek dari pemerintah kepada pihak swasta). Pada acara CEI Summit Economic Forum ke delapan tahun 2005 terdapat pernyataan Dr. Raphael Von Hereman seorang Direktur Eksekutif Lufthansa Consulting Gmbh. yang menyebutkan bahwa secara global pengertian PPP adalah sebagai berikut: “ a cooperative venture between the public and private sectors, built on the expertise of each partner, that best meets clearly defined public needs through the appropriate allocation of resources, risks and rewards.” (sumber: www.lhconsulting.com yang diunduh pada 6 Juni 2008) 29 Gambar II.4 Aplikasi model-model managed services sesuai dengan kepemilikan proyek (sumber: www.google.com/execwatersupply.pdf diunduh pada 6 Juni 2008) Semakin private perusahaan maka tingkatan kerumitan yang ditangani oleh vendor akan menjadi semakin meningkat. Dikarenakan adanya peningkatan tingkat resiko, kepemilikan, dan keuangan ini, maka model managed services dikelompokkan menjadi beberapa model, yaitu: • BTO : Build-Transfer-Operate BTO merupakan hubungan sebuah proyek yang memberikan kontrak kepada vendor untuk membangun proyek hingga selesai lalu menyerahkannya kepada pemilik proyek, setelah kepemilikan proyek telah dikembalikan kepada pemilik proyek maka vendor melakukan semua operasional proyek tersebut.(sumber: Hereman R.V., 2005, “PPP Models to Build Airport Infrastructure Matching the Demand in Central Europe”, 8th CEI Summit Economic Forum, Lufthansa Consulting Gmbh., www.lhconsulting.com yang diunduh pada 6 Juni 2008) • BOT : Build-Operate-Transfer BOT merupakan hubungan sebuah proyek yang memberikan kontrak kepada vendor untuk membangun proyek hingga melakukan semua operasionalnya (pada tahap ini terdapat pembelajaran pihak pemilik terhadap vendor dan keuntungan operasional masih dimiliki oleh pemilik proyek) dan setelah jangka waktunya habis, maka proyek diserahkan kembali kepada pemilik proyek (dengan memiliki hasil pembelajaran yang cukup untuk mengoperasikan dan mendapatkan keuntungan dari proyek). (sumber: http://www.mcmullan.net/eclj/BOT.html diunduh pada 6 Juni 2008) 30 • B(L/O)T : Build-Lease/Own-Transfer BLT atau BOT merupakan hubungan sebuah proyek yang memberikan kontrak kepada vendor untuk membangun proyek lalu pemilik proyek menyewakan atau memberikan kepemilikannya kepada vendor untuk mendapatkan keuntungan dari proyek yang sudah diselesaikan dan setelah jangka waktunya habis, maka proyek diserahkan kembali kepada pemilik proyek. (Sumber: berbagai sumber) • BOO : Build-Own-Operate BOO merupakan hubungan sebuah proyek yang memberikan kontrak kepada vendor untuk membangun proyek lalu vendor dapat memiliki proyek secara keseluruhan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek yang sudah diselesaikan, dan pada jangka waktu yang sudah ditentukan maka vendor mengoperasikan proyek untuk memberikan keuntungan pada pemilik proyek. (sumber: http://www.hyflux.com/hyflux_b_model.html diunduh pada 6 Juni 2008) • BOOT : Build-Own-Operate-Transfer BOOT merupakan hubungan sebuah proyek yang memberikan kontrak kepada vendor untuk membangun proyek lalu vendor dapat memiliki proyek secara keseluruhan untuk mendapatkan keuntungan dari proyek yang sudah diselesaikan, dan pada jangka waktu yang sudah ditentukan maka vendor mengoperasikan proyek untuk memberikan keuntungan kepada pemilik proyek (pemilik proyek dapat mengambil pembelajaran dari resiko kepemilikan proyek tersebut) dan setelah jangka waktunya habis, maka proyek diserahkan kembali kepada pemilik proyek (pada saat serah terima proyek, pemilik sudah mampu mengoperasikan, menghindari terjadinya resiko-resiko yang tidak terdeteksi sejak awal dan mendapatkan seluruh keuntungan dari proyek tersebut). (sumber: http://www.worldwatercouncil.org/Glossary diunduh pada 6 Juni 2008) Semua kata-kata Build dapat diubah menjadi re-build, renovate, atau kata lainnya sesuai dengan kepentingan pemilik proyek terhadap proyek yang akan dikerjakan. 31 Tabel II.1. Perbedaan opsi kontrak Public-Private Partnership (sumber: Padiyar V. & Shankar T.,n.d., 6.) Pada intinya penggunaan model manajemen proyek managed services hanya dibedakan dari sisi sumber dan kekuatan keuangan selain dari sisi operasional, perawatan dan pembangunan pada sebuah proyek. (sumber: Valencia C.L.L., 2005, 4) Beberapa kuntungan menggunakan solusi managed services, yaitu: • Mendapatkan keuntungan waktu secara berulang kali (dalam waktu yang lebih singkat) • Menggunakan sumber daya yang tepat guna sesuai kebutuhan proyek yang dikerjakan • Keahlian mendasar dan penggunaan metode best practice yang akan diberikan oleh perusahaan penyedia layanan dan barang kepada pemilik proyek • Dapat mengurangi biaya secara keseluruhan (tanggungan biaya awal, kerugian yang terjadi selama proyek dan tanggungan perawatan dan operasional sesuai kontrak) Sebagai contoh yang paling mudah untuk dimengerti adalah penggunaan solusi managed services dengan model yang dlebih dekat dengan model BOO/ BOOT oleh PT Huthcinson Indonesia dengan produknya “3 (three)” yang memberikan kontrak kepada 32 konsorsium perusahaan Nokia-Siemens (NSN) untuk menangani semua urusan manajemen, pembangunan, operasional dan perawatan infrastruktur dan jaringannya secara keseluruhan. 2.2. Sejarah Maturity Model Keempat model assesment diatas merupakan pembaharuan dari model dasar yang dibuat oleh SEI pada tahun 1986 di Universitas Carnegie Melon yang disponsori oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Model itu dinamakan Capability Maturity Model (CMM v1.0) hingga tahun 1991. Pada tahun 1992 model ini di-update menjadi v1.1 dengan bantuan 200 profesional dibidang software. Model framework utama CMM memiliki 5 tingkatan yaitu: 1. Initial (awalan). Pada tingkat awal ini secara keseluruhan memperhatikan kesuksesan yang bergantung dari hasil kerja invidual yang tidak terencana, sering terjadi kesalahan dan dengan pekerjaan yang tidak berproses. 2. Repeatable (dapat diulang) Menggunakan bantuan perangkat lunak atau tools untuk mengetahui karakteristik dari proyek seperti software configuration management, software quality assurance, software subcontract management, software project tracking & oversight, software project planning dan juga kebutuhan atau keinginan dari manajemen yang dapat berulang. 3. Defined (penentuan) Pada tingkat ini biasanya melakukan tinjauan ulang, koordinasi didalam tim, fokus pada proses organisasi, program pelatihan, mendefinisikan proses organisasi, dan menggunakan software product engineering, juga melakukan integrasi untuk manajemen software. 4. Managed (Pengaturan) Pada tingkat ini menggunakan software quality management dan quantitative process management, untuk dapat melakukan proses pengaturan dan kontrol. 33 5. Optimising (peng-optimis-an) Diakhir tingkatan, yaitu di tingkat 5 organisasi melakukan perubahan manajemen proses, perubahan manajemen teknologi dan melakukan pencegahan terjadinya defect/cacat. Apabila organisasi atau perusahaan telah melampaui tingkat 3 dari assesment CMM ini, maka mereka berhak mendapatkan sertifikat pengakuan dari SEI. Begitu pula apabila mereka berhasil melakukan perubahan proses management. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat 5 adalah lima hingga enam tahun. Sejak 1987 hingga Desember 2002 total penilaian mencapai 2616 nomor, dan dari 2000 perusahaan dan organisasi yang diseluruh dunia hanya tiga perusahaan yang mampu melewati tingkat 3 dan lebih. Ketiga perusahaan tersebut antara lain: • NASA: Onboard Shuttle Group • Boeing Defence & Space Group (sejak 1996) • IBM Federal Systems (sejak 1994) (sumber: SEI, 2003, Process Maturity Profile, SEI) Dari adanya CMM inilah muncul beberapa alternatif model assesment yang ditujukan untuk membantu perusahaan melihat, menyadari, merubah dan mempertahankan manajemen proyek yang terbaik bagi perusahaannya. Menurut W. Edwards Deming dalam bukunya “Out of Crisis” memperlihatkan efek dari tujuan pembelajaran keakuratan (X = jarak nilai tengah dari target) dan keanekaragaman faktor (UCL/LCL = Batas keyakinan atas dan bawah dari sebuah hasil pembelajaran). 34 Gambar II.5. Efek keakuratan dari hasil pembelajaran. (Sumber: Deming, W.E., n.d.,Out of The Crisis, n.d. dari Hass, K.B., 2005,6) Dari hasil pembelajaran itulah perusahaan mampu membangun strategic planning yang paling tepat. Begitu pula dengan BTEL, mereka harus melakukan assesment untuk dapat mengumpulkan lesson learned yang nantinya akan membentuk perencanaan strategi yang matang agar bisnis proses dalam pengaturan manajemen proyeknya dapat dipilih sesuai visi, misi dan tujuan perusahaan. 2.2.1. Project Management Maturity Models (PMMM) PMMM dibentuk oleh Harold Kerzner, Phd seorang senior eksekutif direktur dari International Institute for Learning New York pada tahun 2001. Menurut Bill Marshall dari Nortel Global Project Process Standards, “model ini telah di uji coba pada 400 Manajer Proyek dari Nortel dan berhasil meningkatkan performa para PM dari Nortel.”(2001, 3) Model PMMM merupakan evolusi dari CMM dan berdasarkan prinsip dasar strategi yang biasa digunakan pada perusahaan. PMMM adalah sebuah metedologi strategic planning untuk manajemen proyek, menurut Dr. Kerzner strategic planning untuk manajemen proyek adalah pembangunan sebuah metodologi standar untuk manajemen proyek. Sebuah metodologi yang dapat digunakan terus-menerus, yang akan mencapai keberhasilan proyek. 35 Gambar II.6. Perencanaan strategi dasar perusahaan (Sumber: Kerzner, H.Phd, 2001, 11) PMMM memiliki 5 tingkatan sebagai pondasi kebehasilan dalam manajemen proyek, yaitu: • Tingkat 1 – Common Language: dalam tingkatan ini perusahaan harus mengenal pentingnya manajemen proyek dan kebutuhan untuk mengerti pengetahuan dasar dalam manajemen proyek serta bahasa dan terminologinya. • Tingkat 2 – Common Processes: pada tingkat ini perusahaan mengenal proses yang biasa dibutuhkan untuk mendefinisikan dan membangun suatu proyek yang sukses dan mampu mengulanginya pada proyek yang lain juga termasuk pengenalan akan aplikasi dan alat bantu dari prinsip manajemen proyek kedalam metodologi yang digunakan oleh perusahaan. • Tingkat 3 – Singular Methodology: di tingkat ini perusahaan mengenal efek kesinergian dari kombinasi semua metodologi perusahaan kedalam satu metodologi, dan sebagai pusatnya adalah manajemen proyek. Efek sinergi juga 36 membuat proses kontrol menjadi lebih mudah dengan satu metodologi dari pada dengan metodologi yang bermacam-macam. • Tingkat 4 – Benchmarking: tingkat ini berisi pengenalan tentang proses peningkatan sangat diperlukan untuk menjaga competitive advantage dari perusahaan. • Tingkat 5 – Continuous Improvement: pada tingkatan ini perusahaan melakukan evaluasi semua informasi yang didapat dari melakukan benchmarking dan berikutnya menentukan penting atau tidaknya informasi itu dalam memutakhirkan metodologi tunggal yang sudah digunakan perusahaan. Gambar II.7. 5 tingkatan dari Project Management Maturity Models (Sumber: Kerzner, H.Phd, 2001, 42) Dalam tingkatan maturity diatas (dan bahkan fase life cycle), biasanya terdapat kesalahpahaman bahwa semua pekerjaan harus dapat diselesaikan secara berurutan (secara seri/sama terus-menerus) hal ini tidak sepenuhnya benar. Beberapa tingkatan yang ada dapat melakukan overlapping/ secara paralel, besarnya loncatan bergantung pada jumlah resiko yang akan ditoleransi oleh perusahaan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan dapat melakukan pembentukan checklist manajemen proyek untuk mendukung metodologinya sementara mereka masih melakukan pelatihan manajemen proyek untuk pekerjanya. Perusahaan dapat membuat Project Office (PO) atau Center Of Exellence (COE) dalam manajemen proyek sebelum pelaksanaan benchmarking. Setelah perusahaan mencapai tingkat 5 mereka dapat menjaga competitive advantagesnya dengan melakukan pembelajaran dengan cara mengulang tingkat 4 atau bahkan 37 tingkat 3 untuk mengetahui atau mendapatkan lesson learned yang terbaik untuk menguatkan metodologi tunggalnya. 2.2.2. Organization Project Management Maturity Model (OPM3) Untuk dapat mengetahui dan mengerti relevansi dan pentingnya OPM3 pada bisnis saat ini dan lingkungan perusahaan, dan bagaimana OPM3 dapat bekerja didalam perusahaan. OPM3 mampu mengetahui tanggung jawab vital pada proyek dan manajemen proyek yang semakin menjadi peranan bagi perusahaan-perusahaan sukses dan perusahaan dalam pasar global. OPM3 didalam perusahaan biasanya digunakan pada sisi proyek dan operasional, meskipun diantara keduanya seringkali terjadi overlap, karena keduanya berbagi beberapa karakteristik seperti: • Dilakukan oleh manusia (pekerja) • Terdiri dari sumber daya yang terbatas • Direncanakan, dieksekusi dan dikontrol Gambar II.8 OPM3 menjembatani jurang diantara strategi perusahaan dan kesuksesan sebuah proyek (Sumber: OPM3 Knowledge Foundation, 2003, 27) 38 Beberapa proyek sering diimplementasikan sebagai maksud dari tujuan perencanaan strategis perusahaan dan berupa respon terhadap permintaan yang tidak dapat dikerjakan didalam perusahaan yang normal atau memiliki batasan operasional. Gambar II.9. Elemen dasar dari OPM3: Knowledge, Assesment dan Improvement (Sumber: OPM3 Knowledge Foundation, 2003, 29) Beberapa keuntungan dalam menggunakan model ini yaitu OPM3 didalamnya terdapat tiga elemen dasar (Knowledge, Assesment dan Improvement) yang memiliki potensial untuk menciptakan lingkungan baru bagi perusahaan yang berkecimpung dalam manajemen proyek dengan meng-iluminasi hubungan penting diantara proyek dan strategi bisnis juga pentingnya dukungan manajemen terhadap praktek manajemen proyek. OPM3 mampu membantu perusahaan untuk memaksimalkan penggunaan manajemen proyeknya untuk menyelesaikan tujuan tepat waktu, sesuai dana dan yang terpenting untuk menaikkan ke-efektifan secara keseluruhan. 39 Gambar II.10. Lingkaran Proses dari penggunaan OPM3 (Sumber: OPM3 Knowledge Foundation, 2003, 32) Pada OPM3 terdapat beberapa langkah yang menjadi standarnya, semua langkah yang digunakan berkaitan erat dengan konsep knowledge, Assesment, dan improvement dengan cara: • Langkah 1 – menyiapkan penilaian/ belum digunakannya manajemen proyek dalam perusahaan (Ad Hoc Project Management) • Langkah 2 – melakukan penilaian/ mulai menggunakan standar, teknik dan prosedur manajemen proyek (Formal Application of Project Management) • Langkah 3 – merencanakan usaha peningkatan/ membuat sebuah sistem manajemen proyek yang digunakan secara keseluruhan (Institutionalization of Project Management) 40 • Langkah 4 – mengimplementasikan usaha peningkatan/ mengembangkan sistem manajemen proyek sesuai tujuan perusahaan (Management of Project Management) • Langkah 5 – mengulangi proses sesuai kebutuhan/ melakukan peningkatan yang berkelanjutan menggunakan metode-metode dan teknologi baru yang sudah dikembangkan perusahaan (Optimization of Project Management System) Gambar II.11. Konstruksi proses dari OPM3 (Sumber: OPM3 Knowledge Foundation, 2003, 39) Didalam (gambar diatas) konstruksi proses dari OPM3 terdapat kombinasi dari lima kelompok proses manajemen proyek. Didalamnya terdapat hubungan dengan tiga domain yang saling berinteraksi antara manajemen proyek, program dan portofolio dari perusahaan, dan bergerak melakukan peningkatan-peningkatan dari proses dasar mencapai tingkatan teratas. 41 2.2.3. Portfolio, Programme and Project Management Maturity Models (P3M3) P3M3 menggabungkan beberapa disiplin dari portfolio, programme dan project management didalam modelnya, seperti: • Portfolio, Programme and Project Management Maturity (P3M3) • Programme and Project Management Maturity (P2M3) • Project Management Maturity (P1M3) Hal ini menegaskan bahwa perusahaan dapat menggunakan model ini untuk mengevolusikan kematangannya melewati semua disiplin dalam mengintegrasikan pendekatan manajemen atau dengan menentukan Project Management lalu Programme Management dan kemudian Portfolio Management secara berurutan.(sumber: Murray, A., 2006, Portfolio, Programme and Project Management Maturity Model – a Guide to Improving Performance UK, Outperform Ltd.) Gambar II.12 Organizational Project Management Maturity meningkat sesuai kematangannya dalam manajemen proyek. (Sumber: OPM3 Knowledge Foundation, 2003, 37) P3M3 terbagi atas 5 tingkatan maturity dan tiga tingkatan manajemen, seperti terlihat dalam tabel dibawah ini. 42 Tabel II.2. Tingkatan maturity pada P3M3 (Sumber: OGC, 2006, P3M3 Version 1.0, Crown yang dikutip dari www.cdg.org ) Maturity Project Programme Portfolio Tingkat 1 – Melihat perusahaan dalam Melihat perusahaan dalam Melihat perusahaan proses initial penggunaan proses standar penggunaan proses dalam penggunaan atau tracking system standar atau tracking proses standar atau dalam mengerjakan system dalam tracking system dalam proyek pada bisnisnya mengerjakan program melakukan investasi pada proyeknya pada penyelesaian program dan proyeknya Tingkat 2 – Meyakinkan perusahaan Meyakinkan perusahaan Meyakinkan proses bahwa tiap pelaksanaan bahwa tiap pelaksanaan perusahaan bahwa tiap repeatable proyek dilakukan dengan program dilakukan pelaksanaan proyek proses dan prosedur yang dengan proses dan dan/atau program sesuai standar prosedur yang sesuai dalam portfolionya standar dilakukan dengan proses dan prosedur yang sesuai standar Tingkat 3 – Melihat apakah Melihat apakah Melihat apakah proses perusahaan memiliki perusahaan memiliki perusahaan memiliki defined proses pengontrolan proses pengontrolan proses pengontrolan proyek yang tersentralisasi program yang program dan/atau dan mampukah individu tersentralisasi dan proyek yang dalam proyek mengikuti mampukah individu tersentralisasi dan proses itu untuk dalam program mengikuti mampukah individu menyesuaikan dengan proses itu untuk dalam program proyek yang dikerjakan menyesuaikan dengan dan/atau proyek program yang dikerjakan mengikuti proses itu untuk menyesuaikan dengan program dan/atau proyek yang dikerjakan. Dan apakah perusahaan meiliki proses manajemen portfolio? kemampuan kemampuan Melihat Tingkat 4 – Melihat kemampuan Melihat untuk untuk perusahaan proses perusahaan untuk perusahaan dan dan memiliki managed memiliki dan memiliki mempertahankan mempertahankan mempertahankan pengukuran yang spesifik pengukuran yang spesifik metriks pada semua dalam tiap performansi dalam tiap performansi portfolio dari program proyeknya manajemen proyeknya dan manajemen programnya dan/atau menjalankan yang spesifik agar menjalankan manajemen dan kualitas kualitas manajemen kualitas perusahaan agar manajemen mencapai prediksi perusahaan agar mencapai perusahaan mencapai performansi performansi yang lebih prediksi hasil program prediksi yang lebih baik. Dan yang lebih baik baik melihat apakah perusahaan menilai kapasitas untuk mengatur program dan/atau proyeknya dan memprioritaskan 43 Tingkat 5 – proses optimized Melihat perusahaan dalam menjalankan proses peningkatan yang berkelanjutan dengan permasalahan yang proaktif dan manajemen teknologi untuk proyeknya dalam meningkatkan kemampuan pada performa atas waktu dan mengoptimalkan proses tersebut Melihat perusahaan dalam menjalankan proses peningkatan yang berkelanjutan dengan permasalahan yang proaktif dan manajemen teknologi untuk programnya dalam meningkatkan kemampuan pada performa atas waktu dan mengoptimalkan proses tersebut kapasitas itu dengan sesuai Melihat perusahaan dalam menjalankan proses peningkatan yang berkelanjutan dengan permasalahan yang proaktif dan manajemen teknologi untuk portfolionya dalam meningkatkan kemampuan pada performa atas waktu dan mengoptimalkan proses tersebut 2.2.4. PRINCE2 Maturity Models (P2MM) Pada dasarnya P2MM merupakan pembaharuan dari P3M3 yang ditujukan khusus menilai kematangan dari proses manajemen proyek, dan tidak terlalu jauh masuk ke proses manajemen perusahaan. P2MM hanya terdiri dari 3 tingkatan penilaian saja, model ini bisa berdiri sendiri atau sebagai faktor penguat dari model P3M3. Namun P2MM juga merupakan salah satu alternatif pilihan perusahaan untuk mencapai kestabilan dalam mengatur proses manajemen proyeknya. 44 Tabel II.3. Perbedaan mendasar antara P2MM dan P3M3 (Sumber: OGC,2006, PRINCE2 Maturity Model, n.d., Crown) Terlihat dari tabel diatas bahwa P2MM merupakan bentuk yang lebih sederhana dan lebih fokus terhadap proses manajemen proyek saja. 2.3. Studi Literatur Awal Enterprise Project Management (EPM) & Program/ Project Management Office (PMO) Ruang lingkup dari manajemen proyek telah berkembang untuk menyentuh seluruh bidang dalam perusahaan. Fokus dari proyekpun bergeser dari sekadar taktikal menjadi penuh strategi. Perusahaan membutuhkan kendaraan untuk menyampaikan inisiatif strategi yang ada, untuk itulah terbentuk Enterprise Project Management (EPM) dan Program/ Project Management Office (PMO). Tidak jelas diantara keduanya, mana yang lebih dulu ditemukan atau digunakan. 45 EPM merupakan manajemen yang centralized dari proyek-proyek portofolio untuk meyakinkan bahwa alokasi sumber daya dari proyek yang diarahkan dan seimbang terhadap fokus strategi dari perusahaan. Pendekatan EPM mengintegrasikan proyekproyek kedalam prioritas-prioritas yang ada, fokus strategi perusahaan dan alokasi sumber daya secara keseluruhan. PMO merupakan sebuah unit yang bertanggung jawab pada keberlangsungan standarstandar pendukung, proses-proses yang berjalan dan sistem informasi yang mendefinisikan manajemen proyek bagi organisasi perusahaan. Pendekatan PMO mendukung integrasi dari proses-proses teknik pada cara-cara menangani proyek kedalam lingkungan sosial/ budaya didalam organisasi perusahaan. Gambar II.13. Proses PMO dalam berorganisasi (Sumber: Cleland. D. I., & Kerzner. H., 2002, 247) Dari gambar diatas dapat terlihat beberapa hal yang dikerjakan oleh PMO, namun hal ini daat berubah sesuai kebutuhan perusahaan. PMO lebih jauh dibentuk dengan tujuan dapat menyediakan dukungan pada program dan proyek perusahaan seperti dibawah ini: • Mengatur portofolio dari program-program dan proyek-proyek secara strategis sebagai komponen utama dalam strategi perusahaan, untuk menjadikan 46 portofolio ini mampu mendukung misi, target dan tujuan dari organisasi perusahaan • Menyediakan sebuah pengembangan, publikasi, penggunaan dari sumber daya perusahaan, kebijakan, prosedur, protokol dan sistem untuk mendukung program-program dan proyek-proyek perusahaan secara terfokus • Memfasilitasi pengembangan dari modifikasi dan pembaharuan berbagai produk, jasa dan proses-proses didalam organisasi perusahaan • Membantu dalam pengembangan perubahan budaya perusahaan yang mendukung penggunaan pogram dan proyek sebagai kunci inisiatif organisasi didalam manajemen strategi perusahaan • Menyediakan jasa konsultasi bagi para manajer program atau proyek dalam usaha peningkatan dari penggunaan strategi perusahaan untuk mendukung kepentingan perusahaan (Cleland. D.I. et. al., 2002, 247) Culture shock Culture shock bukan sebuah penyakit fisik namun pengalaman disorientasi psikologi yang merupakan response/ tanggapan yang alami untuk menyesuaikan diri kedalam lingkungan yang baru. Dengan adanya lokasi tempat bekerja yang berlokasi sangat jauh dan memiliki budaya yang sangat berbeda, hal ini akan dialami oleh para pegawai yang akan mengerjakan tugasnya dan hal ini harus diperhatikan oleh manajemen perusahaan setidaknya oleh bagian sumber daya manusianya. Menurut Clifford F. Gray dan Erik W. Larson (2006,507) culture shock terbagi atas empat tahapan/ proses, yaitu: • Honeymoon – perasaan yang berasal dari perjalanan menuju lokasi yang membuatnya sangat menyenangkan. Hal ini hanya ada pada waktu awal saja, dimana perasaan frustasi akan mulai datang • Irritability and hostility – perasaan antusias sudah mulai berkurang, dan mulai menyadari perbedaan budaya dan lingkungan yang sangat besar. Pada saat ini 47 akan mulai ada perasaan tidak percaya diri untuk berkomunikasi dan bekerja secara efektif • Gradual adjustment – mulai dapat mengatasi perasaan terisolasi dan mencari tahu bagaimana caranya menyelesaikan pekerjaan dalam budaya dan lingkungan yang baru • Adaptation – keluar dari perasaan-perasaan atas disorientasi psikologi dan mulai efektif bekerja dan berkomunikasi pada budaya dan lingkungan yang baru Proses ini dapat terlihat pada gambar dibawah ini. Mood High Honeymoon Gradual Adjustment Irritability & hostility Adaptation Low Months in foreign culture Gambar II.14. Siklus culture shock (Sumber: Gray, C.F & Larson, E.W., 2006, 507) Proses manajemen resiko Manajemen resiko sangat penting dalam hubungannya antara semua stakeholders, sumber daya, dan lingkungan pada manajemen proyek. (Gray, 2006, 209) Apabila tidak ada penanganan atas penanggulangan atau pencegahan resiko yang baik, biasanya akan terjadi konflik didalam proyek. Konflik yang terjadi akan dijabarkan pada tabel dibawah ini. 48 Tabel II.4. Sumber konflik utama dan rekomendasi untuk memininalkan konsekuensi disfungsional (Sumber: Kerzner H., 1980, 140) 49 eTOM sebagai Framework standar eTOM (enhanced Telecom Operations MapTM) dan ITIL (IT Infrastructure LibraryTM) merupakan solusi standar bagi penyedia jasa telekomunikasi dan IT. Keduanya samasama berada dibawah payung manajemen kualitas atau best practices dari proses bisnis. Oleh TM Forum (TeleManagement Forum) dan NGOSS (New Generation Operation Systems and Software) penggunaan kedua solusi ini mulai digalakkan sebagai metodologi standar yang sebaiknya digunakan oleh para penyedia jasa telekomunikasi dan IT.(sumber: www.visiotel.com diunduh pada 10 April 2008) Menurut Jenny Huang dari AT&T Labs. mengatakan bahwa ITIL dikembangkan oleh badan pusat komputer dan telekomunikasi Inggris (OGC) dan mulai diadopsi oleh banyak perusahaan untuk pengunaan IT yang tepat guna didalam perusahaan mereka. ITIL menjadi kriteria utama untuk mengefektifkan bisnis dengan memindahkan bisnis infrastruktur IT yang kritikal para penyedia layanan telekomunikasi dan IT kepada penyedia jasa outsourcing.(sumber: Jenny Huang, 2005,”eTOM and ITIL”, BPTrends journal, www.BPTrends.com diunduh pada 10 April 2008 ) Perbedaan mendasar dari eTOM dan ITIL dapat dilihat pada tabel dibawah: 50 Tabel II.5. Perbedaan karakteristik eTOM dan ITIL (Sumber: www.BPTrends.com diunduh pada 10 April 2008) 51 Pada jurnal TeleManagement Forum tahun 2001 disebutkan bahwa, eTOM adalah sebuah model bisnis proses atau framework yang memenuhi kebutuhan perusahaan bagi penyedia jasa. eTOM sendiri merupakan perkembangan dari TOM (Telecom Operations Map) yang versi terakhirnya (V 2.1) dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 52 Gambar II.15. TOM sebagai model bisnis proses (Sumber: TM Forum, 2001, 8) Dari penggunaan TOM yang dikarenakan pertumbuhan teknologi dan kebutuhan pelanggan seperti terlihat dibawah ini maka dikembangkanlah eTOM. 53 Gambar II.16. Perkembangan teknologi sistem Informasi dan komunikasi yang berlipat (Sumber: TM Forum, 2001, 124) Dimana framework dasar dari penggunaan eTOM secara menyeluruh dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 54 Gambar II.17. Framework dari penggunaan proses end-to-end dari eTOM (Sumber: TM Forum, 2001, 139) Penggunaan eTOM memiliki harapan agar para penyedia jasa telekomunikasi dapat mencapai beberapa hal dibawah ini. 55 Tabel II.6. Harapan perubahan pada fokus model bisnis (Sumber: TM Forum, 2001, 120) Kontrak Definisi dari kontrak menurut FIDIC (Federation Internationale des IngenieursConseils) adalah sebagai berikut: “Contract means these Condition of Contract, the Employer’s Requirements, the Tender, the Contractor’s Proposal, the Schedules, the Letter of Acceptance, the Contract Agreement (if completed) and such further documents as may be expressly incorporated in the Letter of Acceptance or Contract Agreement (if completed).” (FIDIC, 1996, 15) Dan dari sumber literatur lainnya: Mike Field/ Laurie Keller: “The contract commits the contractor to complete all the work specified to the standard specified and agreed between the parties and set out in the contract…A contract is enforceable by law, so it is in the interests of both parties to build into it this sort of flexibility…” (Field M., et. al., 1998, 147-148) Theodore J. Trauner: “In its simply form, a contract is an agreement between two parties. Normally it is a written document but can be binding even as an oral agreement. In general, when we agree to certain items in a contract, one party cannot unilaterally change this.” (Trauner T.J., 1993, 55) 56 Dari banyak definisi tentang kontrak perlu diartikan bahwa semua proyek atau pekerjaan yang memiliki lebih dari satu pihak sebaiknya dimulai dengan kontrak terlebih dahulu. Konsep Sistem Berikut beberapa definisi tentang sistem yang di himpun oleh D. Keuning dalam bukunya “Algemene Systeem theorie, systeem benadering en organisatie theorie” (1973, 46-48) adalah sebagai berikut: 1. Ludwig Von Bertalanffy: “…systems are complexes of elements standing in interaction.” 2. A. D. Hall/ R. E. Fagen: “…A system is a set of components, interacting with each other, and a boundary which selects both the kind and rote of inputs and outputs to and from the system.” 3. Russels L. Ackof: “…A system as any entity, conceptual or physical which consists of interdependent parts.” 4. Thierry: “…Een systeem is een geheel van elkaar wederzijds beinvloedende componenten, die volgens een plan geordend zijn, teneinde een bepaald doel te bereiken.” (Artinya: “…sebuah sistem merupakan suatu kesatuan komponen-komponen yang saling mempengaruhi, yang tersusun menurut rencana tertentu, guna mencapai sasaran tertentu.”) Selain definisi diatas, menurut yang disadur oleh DR. Winardi, S.E. pada bukunya “Pengatar ilmu konomi teoritika modern” (1985, 171-175) menyatakan bahwa definisi sebuah sistem yang juga perlu diketahui yaitu. “… A system is a set of interrelated, interdependent, or interacting elements. It is an organized or complex whole; a combination of things forming a unitary whole. This definition is qinte encompassing; it includes everything from an out to a man to a bicycle to the cosmic universe.” ( Herbert G. Hicks, 1972, “The Management of Organizations; a Systems and Human Resources Approach”, New Jersey, McGraw-Hill, 461) Harold Kerzner, Ph.D. juga menggambarkan hal yang sama pada bukunya “Project management for bankers”, bahwa sebuah sistem memiliki hirarki seperti pada gambar dibawah ini. 57 Gambar II.18. Sebuah hirarki dari sistem (Kerzner H., 1980, 12) Sistem sebuah organisasi akan sangat berpengaruh pada hal-hal yang mendasar didalam oganisasi itu sendiri. Seperti yang digambarkan oleh Harold Kerzner, Ph.D. dibawah ini. Gambar II.19. Pentingnya sebuah sistem didalam organisasi (Sumber: Kerzer H., 1980, 15) Permasalahan diatas membutuhkan restrukturisasi dalam organisasi perusahaan untuk mengintegrasikan pulau-pulau operasional yang dikarenakan adanya ketidakmampuan 58 manajemen dalam mengatasi permintaan-permintaan yang tergerak untuk mengintegrasikan bentuk dari sistem didalam hubungan antar batas-batas manajemen fungsional, antara lain: • Perangkat proses data elektronik yang canggih • Adanya feedback informasi yang sangat sering dan dalam jumlah yang efisien • Penentuan kebijakan dengan menggunakan ilmu sains manajemen dan riset-riset operasi yang didapatkan 59