Peran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol Pp) Dalam Mengatasi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1.1. Peran Satuan Polisi Pamong Praja
1.1.1. Pengertian Peran
Sebelum membahas lebih jauh tentang peran Satuan Pamong Praja, terlebih
dahulu akan dikemukakan pengertian peran. Menurut Ali (2010:10) peran adalah
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang berhubungan dengan
individu dalam posisi dan satuan tertentu. Peran juga di maknai oleh Sudarma
(2008:64) sebagai pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh
masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan seseorang yang memegang status
atau kedudukan sosial. Berdasarkan definisi peran di atas maka dapat dikatakan bahwa
apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya,
maka ia menjalankan suatu peran.
1.1.2. Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di
dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tercatat bahwa untuk membantu
kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja. Selanjutnya
pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana
dimaksud berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP).
Pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi SATPOL PP menurut PP No.6
Tahun 2010 Pasal 2 ayat 1 adalah untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan
Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, disetiap
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat 2 pembentukan organisasi
SATPOL PP ditetapkan dengan Perda berpedomankan pada Peraturan Pemerintah.
1.1.3. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 8 Satuan Polisi
Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat SATPOL PP, adalah bagian perangkat
daerah dalam penegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat. Hal yang sama juga ditegaskan pada Pasal 1 ayat 9 dan Pasal
3 ayat 1.
Pasal 3 ayat 2 SATPOL PP dipimpin oleh seorang Kepala Satuan dan
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui
Sekretaris Daerah. Hal yang sama juga dirumuskan di dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 4 Tahun 2011 pada Pasal 2 ayat 1 dan 2.
1.1.4. Tugas dan Fungsi, serta Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
a) Tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2010 Pasal 1 ayat
8 SATPOL PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2011 Pasal 3 juga merumuskan hal
yang sama mengenai tugas SATPOL PP. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud, SATPOL PP mempunyai fungsi yang di atur di dalam Pasal 5 yaitu:
a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan perda, penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat.
b. Pelaksanaan kebijakan penegakkan perda dan peraturan kepala daerah.
c. Pelaksaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat di daerah.
d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat.
e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan perda dan peraturan kepala daerah
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau
aparatur lainnya.
f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan
menaati Perda dan peraturan kepala daerah.
g. Pelaksaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah.
Hal tersebut di atas juga telah dirumuskan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.4 Tahun 2011 Pasal 4 dengan tambahan uraian pelaksanaan tugas lainnya yang di
maksud pada huruf g, yaitu:
a. Mengikuti proses penyusunan peraturan perundang-undangan serta kegiatan
pembinaan dan penyebarluasan produk hokum daerah;
b. Membantu pengamanan dan pengawalan tamu VVIP termasuk pejabat Negara dan
tamu Negara;
c. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban asset yang belum teradministrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Membantu pengamanan dan penertiban penyelengaraan pemilihan umum dan
pemilihan umum kepala daerah;
e. Membantu pengamanan dan penertiban penyelengaraan keramaian daerah dan/atau
kegiatan yang berskala massal; dan
f. Pelaksanaan tugas pemerintahan umum lainnya yang diberikan oleh kepala daerah
sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Peraturan Bupati TTS No. 77 Tahun 2011 Pasal 3 SATPOL PP
mempunyai tugas menyusun rencana dan pelaksanaan teknis di bidang penegakkan
Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, penyelenggraan ketertiban umum,
masyarakat dan perlindungan masyarakat. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud, SATPOL PP pada Pasal 4 mempunyai fungsi:
a. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan
evaluasi di bidang kesekretariatan badan.
b. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan
evaluasi di bidang penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
c. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan
evaluasi di bidang penyelenggara ketertiban umum dan masyarakat.
d. Penyusun rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan
evaluasi di bidang perlindungan masyarakat.
e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah
serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah,
dan / atau aparatur lainnya.
f. Pelaksanaan pengamanan dan pengawalan pejabat Negara dan tamu Negara.
g. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban asset yang belum teradministrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban penyelenggaraan pemilihan umum dan
pemilihan kepala daerah.
i. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban penyelenggaraan keramaian daerah dan /
atau kegiatan yang berskala massal.
Instansi SATPOL PP terdiri dari Kepala Satuan dan Sekertaris dilengkapi dengan
tiga bidang di dalamnya yaitu:
1. Bidang Penegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah
2. Bidang Penyelenggara Ketertiban Umum dan Masyarakat
3. Bidang Perlindungan Masyarakat (Linmas)
Bidang yang berkaitan dengan masalah kenakalan remaja adalah bidang
Penyelenggara Ketertiban Umum dan Masayarakat.
Menurut Peraturan Bupati TTS No. 77 Tahun 2011 Pasal 11, Bidang
Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Masyarakat mempunyai tugas menyusun
rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, penyelidikan sesuai kewenangan,
pengendalian dan evaluasi bidang penyelenggaraan ketertiban umum dan masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Bidang Penyelenggara
Ketertiban Umum dan Masyarakat pada Pasal 12 mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. Penyusun rencana di bidang aparat penyelenggaraan dan operasional ketertiban
umum dan masyarakat.
b. Perumusan pelaksanaan teknis di bidang penyelenggaraan operasional ketertiban
umum dan masyarakat.
c. Pembinaan di bidang penyelenggaraan operasional ketertiban umum dan
masyarakat.
d. Pengendalian dan evaluasi di bidang penyelenggaraan ketertiban umum dan
masyarakat.
b) Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja
Kewenangan SATPOL PP menurut PP RI No. 6 Tahun 2010 Pasal 6, adalah
sebagai berikut:
1. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peratauran
kepala daerah.
2. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
3. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat.
4. Melakukan tidakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala
daerah.
5. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah.
Sementara itu pada Peraturan Daerah Timor Tengah Selatan No. 4 Tahun 2012
tentang Sistem Penyelengaraan Pendidikan Pasal 53 SATPOL PP mempunyai
wewenang sebagai berikut:
a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana;
b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak
pidana;
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan
dengan tindak pidana;
d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana;
e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap
barang bukti tersebut;
f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana;
g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada
saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau
dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud dalam huruf e;
h. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang berkaitan dengan tindak pidana;
i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
j. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik
Polisi Republik Indonesia, bahwa tinda terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik Polisi
Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum,
tersangka atau keluarganya; dan
k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana
menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
Uraian mengenai tugas, fungsi dan wewenang SATPOL PP di atas tampak jelas
bahwa SATPOL PP memiliki wewenang dalam menindak warga masyarakat dalam
hal ini remaja yang sering kali melakukan tindakan kenakalan yang mengganggu
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan tugas dan kewenangan
SATPOL PP dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat maka
SATPOL PP banyak menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai pihak, salah
satunya adalah sekolah dalam hal ini yaitu SMP Kristen 1 SoE sebagai lembaga
belajar, yang berkaitan dengan penanganan kenakalan remaja.
Sekolah biasanya meminta bantuan kepada SATPOL PP untuk menertibkan
siswa-siswanya yang berada di luar sekolah pada saat jam sekolah berlangsung.
Keberadaan para siswa di luar sekolah seringkali menyebabkan banyak masalah,
misalnya mengganggu ketertiban umum dan juga mengganggu ketentaraman
masyarakat dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan dan alasan tersebut juga
yang melatarbelakangi kerja sama antara SATPOL PP dan sekolah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa SATPOL PP adalah salah satu
perangkat daerah yang memiliki peran yang besar dalam penegakkan Perda dan
menjaga ketentraman masyarakat yang tentunya berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang ada. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada
fungsi SATPOL PP hanya sampai pada tahap penertiban dan pembinaan, tetapi tidak
untuk menindaklanjuti secara hukum. Berdasarkan peran SATPOL PP yang demikian
maka penertiban siswa atau remaja dalam hal ini siswa SMP Kristen 1 SoE yang
menjadi salah satu
pelaku pelanggaran pun menjadi tugas SATPOL PP karena
berkaitan dengan ketentraman masyarakat.
1.2.
Kenakalan Remaja
1.2.1. Pengertian Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja diambil dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency, di mana
Juvenile berarti Young , anak-anak, anak muda, sedangkan Delinquency memiliki arti
Doing Wrong, terabaikan atau mengabaikan, yang kemudian di perluas artinya
menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau,
penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain (Soetojdo 2006:8).
Menurut Santrock (2007:255) Istilah kenakalan remaja (juvenile delinquwncy)
merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari berbagai perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial (seperti berbuat onar di sekolah), status pelanggaran (melarikan
diri dari rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian).
Kenakalan remaja ditinjau dari berbagai aspek, antara lain:
1) Dilihat dari Aspek Kriminologi
Di dalam ilmu kriminologi, ada beberapa pemikiran atau paradigma yang
berkaitan dengan kejahatan dan perilaku delinquensi atau kenakalan, yaitu paradigma
kriminologi positif
dan paradigma kriminologi interaksionis. Seorang ahli
Kriminologi (Suprapto 2008:69) memberikan penjelasan tentang paradigma tersebut
sebagai berikut :
“Paradigma kriminologi positif melihat perilaku delinkuensi adalah perilakuperilaku anak atau remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dapat di
jatuhi sanksi menurut hukum yang berlaku. Perilaku seperti itu merupakan wujud
perilaku yang terkondisikan oleh faktor-faktor fisik, psikis, dan lingkungan sosial
dari pelaku. Sedangkan paradigma kriminologi interaksionis lebih melihat dan
mengartikan
perilaku delinkuensi bukan sebagai kualifikasi perbuatan,
melainkan lebih merupakan keberhasilan masyarakat memberikan “cap” perilaku
tertentu sebagai delinkuensi dan pelakunya sebagai delinkuen. Dalam pemberian
cap itu kemungkinan akan mempunyai dua reaksi, Pertama, akan memperbaiki
citra dirinya atau Kedua, menerima “identitas baru”nya itu dan berusaha untuk
menyesuaikan identitas dirinya sesuai dengan identitas yang baru itu dan berarti
akan menjadi pelaku berikutnya.”
2) Dilihat dari Aspek Psikologis
Aspek psikologis ini pada dasarnya ingin mengungkapkan hubungan antara suatu
perbuatan dengan aspek-aspek kejiwaan yang mendorong dilakukannya perbuatan
tersebut. Menurut seorang psikolog dari UGM (Darajad, 1990:113) memberikan
definisi tentang kenakalan remaja yaitu:
“bahwa kenakalan remaja adalah ungkapan dari ketegangan perasaan,
kegelisahan, dan kecemasan atau tekanan batin, misalnya jika seorang remaja
dari orang yang kaya dan berpangkat, mencuri atau melakukan kejahatankejahatan tertentu, maka kejahatan atau kenakalan yang di lakukan oleh remaja
itu bukanlah karena kekurangan uang dari orang tuanya, akan tetapi adalah
ungkapan rasa tidak puas, kecewa atau rasa tertekan, merasa kurang mendapat
perhatian, kurang merasakan kasih sayang orang tua dan sebagainya”.
1.2.2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja
Jensen (Sarwono, 2002:209) membagi kenakalan remaja menjadi 4 bentuk yaitu :
1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan pembunuhan, dan lain-lain.
2) Kenakalan
yang
menimbulkan
korban
materi:
perusakan,
pencurian,
pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dan lain-lain.
4) Kenakalan remaja yang melawan status dan aturan, misalnya mengingkari
status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah,
membantah perintah dan sebagainya.
Menurut Soenarjati dkk (2001:6.21,6.24) bentuk-bentuk kenakalan remaja dalam
hal ini berhubungan dengan keberadaan kenakalan remaja itu sendiri, bahwa
kenakalan remaja itu tidak mungkin dilakukan dalam proses hampa , dan selalu
berlangsung dalam konteks antarpersonal dan sosiokultural. Sehubungan dengan hal
tersebut, maka dikenal berbagai pembagian kenakalan remaja ini berdasarkan
pendapat para ahli, antara lain seperti yang dikemukakan Kartini Kartono (2003:37)
bahwa pengelompokkan kenakalan tersebut dalam berbagai tipe, antara lain:
a) Delinkuensi individual
Delinkuensi individual lebih ditekankan pada kondisi pribadi pelaku. Kelompok
kenakalan jenis ini banyak dilakukan oleh mereka yang mempunyai kelainan
jasmaniah dan mental yang dibawah sejak lahir. Tingkah laku kriminal anak
pada kelompok ini merupakan gejalah personal atau individual dengan ciri-ciri
khas jahat yang disebabkan oleh predisposisi dan kecenderungan penyimpangan
tingkah laku yang diperhebat oleh stimuli sosial dan kondisi kultural. Kelainan
ini merupakan diferensiasi biologis yang membatasi atau merusak kualitaskualitas fisik dan psikisnya. Pelaku kenakalan tipe ini tergolong pada anak-anak
yang melakukan tindak pidana dengan kekejaman tanpa motif dan tujuan apapun,
dan hanya didorong oleh impuls primitif yang sangat kuat. Mereka tidak
mempunyai perasaan kemanusiaan dan sulit digugah hati nuraninya.
b) Delinkuensi Situasional
Kenakalan tipe ini dilakukan oleh anak yang normal, tetapi banyak dipengaruhi
oleh berbagai kekuatan situasional, stimuli sosial dan tekanan lingkungan yang
kesemuannya memberikan pengaruh menekan-memaksa pada pembentukan
perilaku buruk. Dikarenakan berbagai kekuatan pengaruh dari situasi yang
merupakan faktor eksternal tersebut, anak (remaja) suka melanggar peraturan,
norma sosial dan hukum formal. Remaja ini menjadi jahat akibat transformasi
psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh eksternal yang menekan dan
memaksa sifatnya.
Situasi sosial yang eksternal bersifat menekan itu mengalahkan unsur-unsur
internal, sehingga memunculkan tingkah laku delinkuensi situasional. Apabila
situasi sosial yang buruk menekan serta berlangsung terus menerus bisa
memperkuat dan mengondisi perilaku jahat, sehingga menyebabkan anak
tersebut menjadi agresif, kejam, keras dan sadis. Yang menjadi persoalan pokok
dalam delinkuensi situasional ini ialah anak-anak delinkuen berkeputusan mau
menjadi delinkuen, atas dasar keputusan dan kemauannya sendiri karena
dirangsang kebutuhan sesaat, dengan adanya tekanan situasional dari
lingkungannya, juga ada usaha pembenaran diri dan rasionalisasi terhadap semua
perbuatannya.
c) Delinkuensi Sistematik
Delinkuensi sistematik di sini berkaitan dengan kejahatan anak-anak remaja yang
disistematisir dalam bentuk suatu organisasi, yaitu gang. Kumpulan tingkah laku
delinkuen yang disistematisir itu disertai pengaturan, status formal, peranan
tertentu, nilai-nilai, norma-norma, rasa kebangaan dan moral delinkuen yang
berbeda dengan yang umum berlaku. Semua kejahatan yang dilakukan dalam
delinkuensi sistematik ini kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh
segenap anggota kelompok, sehingga kejahatannya menjadi terorganisir atau
menjadi sistematis sifatnya. Tindakan yang dilakukan bertujuan sebagai alat
untuk membela diri dari penyerangan terhadap eksistensi dirinya serta sebagai
sarana untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan, sehingga
kejahatan yang dilakukannya akan mendapat reaksi keras dari masyarakat luas.
Pengaruh stimuli sosial yang buruk atau lingkungan sosial yang jahat akan
berpotensi untuk memudahkan atau membentuk perilaku abnormal dan
delinkuen lainnya kepada remaja yang mengembangkan kebiasaan-kebiasaan
tingkah laku sosiopatik.
d) Delinkuensi Kumulatif
Situasi sosial dan kondisi kultural buruk yang mempengaruhi terus menerus dan
berlangsung berulangkali dapat mengintensifkan perbuatan jahat remaja,
sehingga menjadi kumulatif sifatnya, yaitu terdapat dimana-mana, tidak hanya
ibu kota Negara saja, tetapi sampai di daerah pinggiran pedesaan. Kemudian
secara kumulatif gejalah tersebut menyebar luas di tengah-tengah masyarakat
dan menjadi fenomena disorganisasi atau disintegrasi sosial dengan subkultur
delinkuen di tengah kebudayaan suatu bangsa.
Delinkuen kumulatif merupakan produk konflik budaya hasil dari banyak konflik
kultural yang kontroversional. Dalam iklim yang penuh konflik ini terdapat
banyak kelompok sosial yang tidak bisa didamaikan dan dirukunkan, selalu
terlibat dalam ketegangan, persaingan dan benturan sosial yang diwarnai rasa
benci dan dendam. Kondisi tegang ini menjadi persemaian yang subur bagi
berkembangnya tingkah laku delinkuen anak-anak, remaja dan orang-orang
dewasa yang menyebarkan pengaruh jahat, yang pada akhirnya dapat
mengganggu ketentaman umum.
Delinkuensi remaja yang kumulatif mempunyai ciri-ciri Kartini Kartono
(Soenarjati dkk, 2001:6.24), antara lain:
1) Mengandung banyak dimensi ketergantungan syarat, kegelisahan batin dan
keresahan hati para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan
secara negatif pada perbuatan jahat serta agresivitas tidak terkendali.
2) Merupakan pemberontakan adolensi (adolescence revolt) terhadap kekuasaan
dan kewibawaan orang dewasa dalam usaha mereka menemukan identitas diri
lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum.
3) Banyak terdapat penyimpangan seksual yang disebabkan oleh penundaan saat
kawin, jauh sesuda kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta
bebas, seks bebas, kumpul kebo, perkosaan seksual, pembunuhan berlatar
motivasi seks, dan lain-lain.
4) Banyak terdapat tindakan ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja
yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, bunuh diri, meledakan
bom, penculikan, penyandraan dan sebagainya.
Kategori kenakalan remaja yang meliputi aspek kriminal dan psikologi secara
keseluruhan menunjukkan bahwa pada tahap individu sangat membutuhkan dukungan
dari lingkungannya untuk menciptakan citra dirinya lewat tingkah laku yang
dilakukannya. Kenakalan remaja ini tidak hanya meliputi pelanggaran-pelanggaran
besar yang merugikan orang lain, tetapi juga meliputi pelanggaran-pelanggaran kecil
yang merugikan diri sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah
tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang dilatarbelakangi oleh faktor
psikologi dan sosial yang menimbulkan suatu tindakan pelanggaran.
1.2.3. Pandangan Teori-Teori Mengenai Sebab-sebab Terjadinya Kenakalan
Remaja
1) Teori Biologis
Menurut pandangan teori biologis kenakalan remaja disebabkan oleh kelainan
fisik atau kelainan genetika seeorang. Faktor-faktor itu di turunkan melalui gen
atau plasma pembawa sifat dalam keturunan. Kelainan fisik atau cacat fisik yang
didapat karena keturunan itu antara lain kekurangan mental, lemah ingatan, gila,
psycbopaty/personal deviation, dan epilepsi.
2) Teori Psikogenetik
Kenakalan remaja muncul sebagai bentuk penyelesaian atau kompensasi dari
masalah psikologis dan konflik kejiwaan dalam menanggapi stimuli eksternal
sosial dan pola-pola hidup keluarga yang pantologis. Stimuli eksternal ini
wujudnya bisa bermacam-macam baik yang bersumber dari lingkungan keluarga,
sekolah maupun masyarakat.
3) Teori Sosiogenis
Dalam pandangan teori sosiogenis, sebab-sebab munculnya gejala kenakalan
remaja lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial dan kultur, meskipun
disebabkan oleh faktor yang bersifat sosial psikologis. Faktor sosial dan kultur
tersebut antara lain adanya pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan
kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh intemalisasi simbolis yang
keliru. Kenakalan remaja pada intinya merupakan produk dari kondisi
masyarakatnya, dengan segala pergolakan sosial yang ada didalamnya.
4) Teori Subkultur
Menurut teori subkultur yang menyebabkan munculnya kenakalan remaja adalah
subkultur pada masyarakat dengan kebudayaan konflik tinggi dan masyarakat di
Negara-negara yang mengalami banyak retreatist atau pengasingan diri.
Subkultur lain yang menyebabkan kenakalan remaja adalah subkebudayaan kelas
rendah (kebudayaan masyarakat berpengahasilan rendah). Pada sub kebudayaan
kelas rendah timbul kondisi yang penuh derita, kekurangan, kemiskinan, dan
kekejaman.
5) Teori Pengendalian
Gejala kenakalan remaja dari sudut pandang teori pengendalian disebabkan oleh
kontrol diri dan kontrol sosial yang semakin melemah. Kontrol diri merupakan
kemampuan individu remaja sendiri untuk mengontrol perilakunya agar tidak
bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada. Sedangkan kontrol sosial
merupakan kemampuan orang lain, dalam hal ini adalah orang dewasa, untuk
mengendalikan perilaku para remaja agar tetap berada pada rel yang benar
sehingga
tidak
bertentangan
dengan
norma-norma
sosial
(Soenarjati,
2001:7.08,7.34).
Berdasarkan teori-teori di atas kenakalan remaja terjadi tidak saja karena
keinginan individu yang ingin melakukan pelanggaran, tetapi juga terjadi karena ada
latar belakang lingkungan baik itu keluarga, teman sebaya maupun dilaterbelakangi
oleh faktor biologis. Karena itu untuk menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan
oleh remaja, ada baiknya dipertimbangkan juga apa yang melatarbelakangi terjadinya
pelanggaran-pelanggaran tersebut.
1.3. Pengertian Remaja
Beberapa ahli memberikan definisi tentang remaja, diantaranya mengatakan
bahwa:
Istilah asing yang sering dipakai untuk menunjukan masa remaja, antara lain
pubertit, adolescentia, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikatakan
pubertas atau remaja (Gunarsa, 2003:4).
Apabila kita melihat asal kata istilah kata-kata tadi, maka akan kita peroleh:
a. Puberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin: Pubertas.
Pubertas berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tandatanda kelaki-lakian. Menurut Sunarto dan Hartono (2013:51) istilah ini
berkaitan dengan kata Latin lainnya Pubescere yang berarti masa pertumbuhan
rambut di daerah tulang “Pusic” (di wilayah kemaluan). Pubescere dan Puberty
sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual ditinjau dari
aspek biologisnya.
b. Adulescentia berasal dari kata Latin: Adulescentia. Adulescentia yang
dimaksudkan ialah masa muda usia antara 17 dan 30 tahun.
Menurut Sunarto dan Hartono (2013:51, 52) istilah Adulescentia berasal dari kata
Latin: Adulescentis. Adulescentia yang dimaksudkan ialah masa muda dengan masa
tercepatnya antara usia 12-22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis yang
terjadi pada masa tersebut. Di Indonesia baik istilah pubertas maupun Adulescensia
dipakai dalam arti umum dengan istilah yang sama yaitu remaja.
Adapun menurut Gunarsa (2003:6) remaja merupakan masa peralihan dari
masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai
persiapan memasuki masa dewasa.
Sedangkan Sarlito Wirawan (Soenarjati, 2001:6.08) memberi definisi remaja
yang bersifat konseptual sebagaimana dicetuskan oleh WHO pada tahun 1974 dengan
mengemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Definisi
tersebut menerangkan bahwa remaja adalah suatu masa dimana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual
sekudernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identivikasi dari
kanak-kanak menjadi dewasa.
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada
keadaan yang relatif lebih mandiri.
WHO menetapkan bahwa batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja
dengan pembagian kurun usia, yaitu remaja awal usia 10-14 tahun dan remaja akhir
15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun
sebagai usia pemuda (Youth). Berkaitan dengan keputusan ini, mereka menetapkan
tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional (Soenarjati, 2001:6.09).
Menurut Sarwono (2002:10) di Indonesia, batasan remaja yang mendekati
batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini dikemukakan
dalam sensus penduduk 1980. Ia juga menjelaskan bahwa istilah remaja untuk
masyarakat Indonesia sebagai pedoman umum dapat digunakan batasan usia 11-24
tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut (2002:14, 15):
1. Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai tampak (kriteria fisik).
2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balik,
baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi
memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa,
seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson),
tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan
tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg)
(kriteria psikologi).
4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal,yaitu untuk memberi peluang
bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada
orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara
adata/tradisi), belum dapat memberikanpendapat sendiri, dan sebagainya.
5. Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan hal itu karena arti
perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh.
Berdasarkan defenisi remaja di atas maka dapat dikatakan bahwa remaja adalah
anggota masyarakat yang memiliki kisaran umur mulai dari 11-24 tahun. Usia tersebut
dapat dikatakan sebagai usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan.
Dalam masa peralihan tersebut terjadi banyak perubahan baik di bidang sosal,
mengenai fisik dan juga psikologi. Pada masa ini manusia dipersiapkan untuk menjadi
individu yang lebih mandiri.
1.3.1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja
Menurut Soetojdo (2006:15) seorang remaja berada pada batas peralihan
kehidupan anak dan dewasa. Tubuhnya kelihatan sudah dewasa, akan tetapi bila
diperlakukan
seperti
orang
dewasa
ia
gagal
menunjukan
kedewasaannya.
Pengalamanya mengenai alam dewasa masih belum banyak. Di dalam masa remaja ini
sering terlihat pada mereka beberapa hal atau ciri-ciri khas yang menonjol, antara lain:
1. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta
kebutuhan untuk memamerkan diri dalam hal materiil.
2. Energi yang berlimpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang
condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri. Misalnya refleksi pada
kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya.
3. Sering mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan jalan
mabuk-mabukan minuman keras.
4. Sikap hidupnya bercorak a-sosial dan keluar dari pada dunia obyektif ke arah
dunia subyektif, sehingga ia tidak suka pada kegunaaan-kegunaan teknis yang
sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan teman sebaya.
Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman, dan lebih berani untuk
berjuang dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam duniannya
yang baru, misalnya berdirinya banyang geng-geng yang dapat menimbulkan
kericuhan dan perkelahian.
5. Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas
maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta
substitusi identifikasi yang lama.
Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa pada masa remaja manusia mencoba untuk
menentukan jati dirinya, dan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih mandiri,
serta pada usia ini manusia mencoba menciptakan citra dirinya yang dapat dilihat oleh
orang-orang di sekitarnya. Pada usia ini juga individu akan menentukan kelompok
mana yang lebih cocok untuk dirinya.
1.3.2. Pengertian Remaja Awal
Remaja awal (12-15 tahun) individu mulai meninggalkan peran sebagai anakanak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak
tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk
dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya
(Windrawanto, 2007:71).
Menurut Sarwono (2002:24,25) seorang remaja pada tahap ini masih terheranheran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongandorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan
pemikiran-pemikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan terangsang secara
erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini di tambah dengan berkurangnya kendali
terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit mengerti dan di mengerti
orang dewasa.
Menurut Monks dkk. (2006:262) masa remaja dapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18
tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa peralihan ini, remaja awal
cenderung kurang perhitungan di dalam melaksanakan suatu perbuatan, karena
mereka lebih mendahulukan emosinya dari pada akal sehat. Remaja awal memiliki
emosi yang tidak stabil dan tidak memiliki suatu pendirian yang kuat. Penilaiannya
terhadap suatu masalah sangat tergantung pada situasi jiwa dan perasaannya. Remaja
awal biasannya senang sekali membuat suatu sensasi yang kadang melanggar aturan
dan termasuk dalam kegiatan kriminal. Tindak kejahatan biasanya dipicu oleh
masalah kecil seperti saling bersenggolan, bercanda yang berlebihan, saling menatap,
dan saling merasa yang paling jagoaan.
Masa remaja awal merupakan sebuah masa dimana individu mencoba untuk
menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Masa ini membuat
individu menjadi manusia yang belum stabil dalam emosi sehingga tingkahlakunya
dinyatakan tidak berdasarkan pemikiran yang matang, tetapi berdasarkan emosinya
yang belum stabil. Karena itu tak jarang individu pada masa ini bertindak salah
termasuk melakukan pelanggaran yang berakibat buruk bagi dirinya sendiri dan
masyarakat.
1.3.3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Danim 2011:115,116) tugas
perkembangan pada Tingkat SMP atau Remaja Awal yaitu:
1. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap
perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang
sehat.
3. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya
sebagai pria atau wanita.
4. Memantapkan nilai dan cara bertingkahlaku yang dapat diterima dalam
kehidupan sosial yang lebih luas.
5. Mengenal kemampuan bakat, dan minat serta arah kecenderungan karier dan
apresiasi seni.
6. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya
untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau mempersiapkan karier
serta berperan dalam kehidupan masyarakat.
7. Mengenal gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional,
sosial dan ekonomi.
8. Mengenal sistem etika dan nilai-nilai sebagai pedoman hidup sebagai pribadi,
anggota masyarakat dan umat manusia.
Menurut Havighurts (Sarwono, 2002:41) tercapai atau tidaknya tugas-tugas
perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari
masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan.
Tugas perkembangan pada masa remaja menunjukkan bahwa pada masa ini
individu dituntut untuk mempersiapkan diri menjadi individu yang lebih mandiri
dalam
menentukan
kehidupannya
dan
bagaimana
menjalankannya.
Tugas
perkembangan tersebut akan tercapai apabila mendapat dukungan dari pihak-pihak
yang berhubungan langsung dengan individu di dalamnya termasuk dukungan dari
masyarakat yang ada dalam lingkungan dimana individu hidup dan berkembang.
1.4. Karakteristik Anak Usia Sekolah Menengah Pertama (SMP)
a) Perkembangan Fisik dan Jasmani
Menurut Syaodib (Tanpa tahun : 34) pada masa remaja awal (usia SMP) usia 1112 tahun tinggi badan anak laki dan perempuan tidak jauh berbeda, pada usia 12-13
tahun pertambahan tinggi badan anak perempuan lebih cepat dibandingkan dengan
anak laki-laki, tetapi pada usia 14-15 tahun anak laki-laki akan mengejarnya, sehingga
pada usia 18-19 tahun tinggi badan anak laki-laki jauh dari perempuan, lebih tinggi
sekitar 7-10 cm. Perubahan sangat cepat dalam ukuran tinggi ini, tidak berjalan sejajar
dengan kekuatan dan keterampilannya. Pada usia SMP mengalami sedikit
kemunduran karena belum ada penyesuaian dengan perubahan-perubahan fisik yang
dialami, gerak-gerik merekapun nampak kaku dan canggung. Selain terjadi
pertambahan tinggi badan yang sangat cepat, pada masa remaja berlangsung
perkembangan seksual yang cepat pula. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya
ciri-ciri kelamin primer dan sekunder.
Ciri-ciri kelamin primer pada awal masa
remaja anak perempuan mulai mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi
basah, dan pengalaman ini merupakan pertanda bahwa mereka telah memasuki masa
kematangan seksual. Sedangkan ciri-ciri kelamin sekunder
berkenaan dengan
tumbuhnya bulu-bulu pada seluruh badan, perubahan suara menjadi semakin rendahbesar (lebih-lebih pada laki-laki), membesarnya buah dada pada perempuan dan
tumbuhnya jakun pada pria. Dengan perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder ini,
secara fisik remaja mulai menampakkan ciri-ciri orang dewasa. Berikut ini adalah
Profil Perkembangan Fisik Siswa SMP (Remaja Awal) menurut Makmun (Syaodib,
tanpa tahun : 66) yaitu:
1) Laju perkembangan secara umum berlangsung secara pesat.
2) Proporsi ukuran tinggi dan berat badan sering kurang seimbang (termasuk otot
dan tulang-belulang).
3) Munculnya ciri-ciri sekunder (tumbuh bulu pada pubic religion, otot
mengembang pada bagian-bagian tertentu), disertai mulai aktifnya sekresi
kelenjar jenis (menstruasi pada wanita dan polusi pada pria pertama kali).
4) Gerak-gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan.
5) Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan yang dicobanya.
b) Perkembangan Intelektual
Menurut Syaodib (Tanpa tahun : 66,67) pada masa SMP mulai berkembang
kemampuan berpikir abstrak, remaja mampu membayangkan apa yang akan dialami
bila terjadi suatu peristiwa. Remaja telah mampu berpikir jauh melewati
kehidupannya baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Berpikir abstrak adalah
berpikir tentang ide-ide, yang oleh Jean Piaget seorang ahli Psikologi dari Swiss
(Syaodib, Tanpa tahun : 66) disebutnya sebagai berpikir formal operasional.
Berkembangnya kemapuan berpikir formal operasional pada remaja ditandai dengan
tiga hal penting, yaitu:
1). Remaja mulai mampu melihat (berpikir) tentang kemungkinan-kemungkinan, 2).
Remaja telah mampu berpikir ilmiah, 3). Remaja telah mampu memadukan ide-ide
secara logis. Bertolak dari uraian di atas, berikut ini adalah Profil Perkembangan
Intelektual Siswa SMP menurut Makmun (Syaodib, Tanpa tahun : 67) yaitu:
1) Proses berpikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal
(asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas) dalam ide-ide atau pemikiran
abstrak (meskipun relatif terbatas).
2) Kecakapan dasar umum (general intelligence) menjadi laju perkembangan
yang terpesat (terutama bagi yang belajar di sekolah).
3) Kecakapan
dasar
khusus
(bakat
atau
aptitude)
mulai
menunjukkan
kecenderungan-kecenderungan lebih jelas.
c) Perkembangan Emosi
Menurut Sunarto dan Hartono (2013:181) emosi adalah warna efektif yang kuat
dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Jenis emosi yang secara normal dialami
antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, dan sedih. Perbedaanya terletak pada
rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajatnya, serta pengendalian remaja
terhadap ungkapan emosi mereka. Biehler (Sunarto & Hartono 2013:155)
membedakan ciri-ciri perkembangan emosi remaja dalam rentang waktu usia 12-15
tahun dan 15-18. Karena penelitian ini megarah pada anak usia SMP atau remaja awal
maka yang akan diuraikan di sini adalah ciri perkembangan emosi remaja 12-15
tahun, yaitu:
1) Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat
diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis
dalam
hubungannya
dengan
kematangan
seksual
dan
sebagian
karena
kebinggungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau
seorang dewasa.
2) Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa
percaya diri.
3) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi
sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan
kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur
yang tidak cukup.
4) Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan
pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka
mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka
mengetahuinya.
5) Siswa-siswa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara
lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya
guru yang bersikap serba tahu (maha tahu).
d) Perkembangan Sosial dan Moralitas
Dalam Syaodib (Tanpa Tahun : 67) keterampilan baru yang dimiliki remaja
adalah pemikiran sosial. Pemikiran sosial ini berkenaan dengan pengetahuan dan
keyakinan mereka tentang masalah-masalah hubungan pribadi dan sosial. Remaja
awal telah mempunyai pemikiran-pemikiran logis, tetapi dalam pemikiran logis ini
mereka seringkali menghadapi kebinggungan antara pemikiran orang lain.
Menghadapi keadaan ini berkembanglah pada remaja sikap egosentrisme, yang berupa
pemikiran-pemikiran subjektif logis dirinya tentang masalah-masalah sosial yang
dihadapi dalam masyarakat atau kehidupan pada umumnya. Berikut ini adalah profil
perkembangan Sosial dan moralitas Siswa SMP, yaitu:
1) Diawali dengan kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan
bergaul dengan banyak tetapi bersifat temporer.
2) Adanya ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat
komformitas yang tinggi.
3) Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua
dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuannya.
4) Dengan sikapnya dan cara berpikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah
atau sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para
pendukungnya (orang dewasa).
5) Mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh moralitas yang dipandang tepat
dengan tipe idolanya.
Berdasarkan karakteristik siswa SMP di atas tampak jelas perkembanganperkembangan yang di miliki oleh siswa usia SMP, para siswa dan orang tua serta
lingkungannya harus menyadari akan perkembangan yang dialami oleh para remaja
awal ini agar perlakuan yang diterapkan atau yang diberikan sesuai dengan porsi atau
karakteristik siswa SMP atau remaja awal tersebut.
Download