BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Peran Satuan Polisi Pamong Praja 1.1.1. Pengertian Peran Sebelum membahas lebih jauh tentang peran Satuan Pamong Praja, terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian peran. Menurut Ali (2010:10) peran adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan satuan tertentu. Peran juga di maknai oleh Sudarma (2008:64) sebagai pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan seseorang yang memegang status atau kedudukan sosial. Berdasarkan definisi peran di atas maka dapat dikatakan bahwa apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran. 1.1.2. Pembentukan Satuan Polisi Pamong Praja Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, di dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah tercatat bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuklah Satuan Polisi Pamong Praja. Selanjutnya pembentukan dan susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja sebagaimana dimaksud berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP). Pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi SATPOL PP menurut PP No.6 Tahun 2010 Pasal 2 ayat 1 adalah untuk membantu Kepala Daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, disetiap Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 2 ayat 2 pembentukan organisasi SATPOL PP ditetapkan dengan Perda berpedomankan pada Peraturan Pemerintah. 1.1.3. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 6 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 8 Satuan Polisi Pamong Praja, yang selanjutnya disingkat SATPOL PP, adalah bagian perangkat daerah dalam penegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Hal yang sama juga ditegaskan pada Pasal 1 ayat 9 dan Pasal 3 ayat 1. Pasal 3 ayat 2 SATPOL PP dipimpin oleh seorang Kepala Satuan dan berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Hal yang sama juga dirumuskan di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2011 pada Pasal 2 ayat 1 dan 2. 1.1.4. Tugas dan Fungsi, serta Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja a) Tugas dan fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2010 Pasal 1 ayat 8 SATPOL PP mempunyai tugas menegakkan Perda dan menyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 2011 Pasal 3 juga merumuskan hal yang sama mengenai tugas SATPOL PP. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, SATPOL PP mempunyai fungsi yang di atur di dalam Pasal 5 yaitu: a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakkan perda, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta perlindungan masyarakat. b. Pelaksanaan kebijakan penegakkan perda dan peraturan kepala daerah. c. Pelaksaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat di daerah. d. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakat. e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan perda dan peraturan kepala daerah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil daerah, dan/atau aparatur lainnya. f. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan menaati Perda dan peraturan kepala daerah. g. Pelaksaan tugas lainnya yang diberikan oleh kepala daerah. Hal tersebut di atas juga telah dirumuskan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No.4 Tahun 2011 Pasal 4 dengan tambahan uraian pelaksanaan tugas lainnya yang di maksud pada huruf g, yaitu: a. Mengikuti proses penyusunan peraturan perundang-undangan serta kegiatan pembinaan dan penyebarluasan produk hokum daerah; b. Membantu pengamanan dan pengawalan tamu VVIP termasuk pejabat Negara dan tamu Negara; c. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban asset yang belum teradministrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. Membantu pengamanan dan penertiban penyelengaraan pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah; e. Membantu pengamanan dan penertiban penyelengaraan keramaian daerah dan/atau kegiatan yang berskala massal; dan f. Pelaksanaan tugas pemerintahan umum lainnya yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menurut Peraturan Bupati TTS No. 77 Tahun 2011 Pasal 3 SATPOL PP mempunyai tugas menyusun rencana dan pelaksanaan teknis di bidang penegakkan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, penyelenggraan ketertiban umum, masyarakat dan perlindungan masyarakat. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, SATPOL PP pada Pasal 4 mempunyai fungsi: a. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan evaluasi di bidang kesekretariatan badan. b. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan evaluasi di bidang penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. c. Penyusunan rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan evaluasi di bidang penyelenggara ketertiban umum dan masyarakat. d. Penyusun rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, pengendalian dan evaluasi di bidang perlindungan masyarakat. e. Pelaksanaan koordinasi penegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah serta penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan / atau aparatur lainnya. f. Pelaksanaan pengamanan dan pengawalan pejabat Negara dan tamu Negara. g. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban asset yang belum teradministrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. h. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban penyelenggaraan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. i. Pelaksanaan pengamanan dan penertiban penyelenggaraan keramaian daerah dan / atau kegiatan yang berskala massal. Instansi SATPOL PP terdiri dari Kepala Satuan dan Sekertaris dilengkapi dengan tiga bidang di dalamnya yaitu: 1. Bidang Penegakkan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah 2. Bidang Penyelenggara Ketertiban Umum dan Masyarakat 3. Bidang Perlindungan Masyarakat (Linmas) Bidang yang berkaitan dengan masalah kenakalan remaja adalah bidang Penyelenggara Ketertiban Umum dan Masayarakat. Menurut Peraturan Bupati TTS No. 77 Tahun 2011 Pasal 11, Bidang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Masyarakat mempunyai tugas menyusun rencana, perumusan pelaksanaan teknis, pembinaan, penyelidikan sesuai kewenangan, pengendalian dan evaluasi bidang penyelenggaraan ketertiban umum dan masyarakat. Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Bidang Penyelenggara Ketertiban Umum dan Masyarakat pada Pasal 12 mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Penyusun rencana di bidang aparat penyelenggaraan dan operasional ketertiban umum dan masyarakat. b. Perumusan pelaksanaan teknis di bidang penyelenggaraan operasional ketertiban umum dan masyarakat. c. Pembinaan di bidang penyelenggaraan operasional ketertiban umum dan masyarakat. d. Pengendalian dan evaluasi di bidang penyelenggaraan ketertiban umum dan masyarakat. b) Kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja Kewenangan SATPOL PP menurut PP RI No. 6 Tahun 2010 Pasal 6, adalah sebagai berikut: 1. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peratauran kepala daerah. 2. Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. 3. Fasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakat. 4. Melakukan tidakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. 5. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala daerah. Sementara itu pada Peraturan Daerah Timor Tengah Selatan No. 4 Tahun 2012 tentang Sistem Penyelengaraan Pendidikan Pasal 53 SATPOL PP mempunyai wewenang sebagai berikut: a. Menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana; b. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana; c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana; d. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana; e. Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut; f. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana; g. Menyuruh berhenti, melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud dalam huruf e; h. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang berkaitan dengan tindak pidana; i. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; j. Mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik Polisi Republik Indonesia, bahwa tinda terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik Polisi Republik Indonesia memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan k. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Uraian mengenai tugas, fungsi dan wewenang SATPOL PP di atas tampak jelas bahwa SATPOL PP memiliki wewenang dalam menindak warga masyarakat dalam hal ini remaja yang sering kali melakukan tindakan kenakalan yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan tugas dan kewenangan SATPOL PP dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman masyarakat maka SATPOL PP banyak menjalin hubungan kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya adalah sekolah dalam hal ini yaitu SMP Kristen 1 SoE sebagai lembaga belajar, yang berkaitan dengan penanganan kenakalan remaja. Sekolah biasanya meminta bantuan kepada SATPOL PP untuk menertibkan siswa-siswanya yang berada di luar sekolah pada saat jam sekolah berlangsung. Keberadaan para siswa di luar sekolah seringkali menyebabkan banyak masalah, misalnya mengganggu ketertiban umum dan juga mengganggu ketentaraman masyarakat dengan tindakan-tindakan yang mereka lakukan dan alasan tersebut juga yang melatarbelakangi kerja sama antara SATPOL PP dan sekolah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa SATPOL PP adalah salah satu perangkat daerah yang memiliki peran yang besar dalam penegakkan Perda dan menjaga ketentraman masyarakat yang tentunya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada fungsi SATPOL PP hanya sampai pada tahap penertiban dan pembinaan, tetapi tidak untuk menindaklanjuti secara hukum. Berdasarkan peran SATPOL PP yang demikian maka penertiban siswa atau remaja dalam hal ini siswa SMP Kristen 1 SoE yang menjadi salah satu pelaku pelanggaran pun menjadi tugas SATPOL PP karena berkaitan dengan ketentraman masyarakat. 1.2. Kenakalan Remaja 1.2.1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja diambil dari istilah asing yaitu Juvenile Delinquency, di mana Juvenile berarti Young , anak-anak, anak muda, sedangkan Delinquency memiliki arti Doing Wrong, terabaikan atau mengabaikan, yang kemudian di perluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain (Soetojdo 2006:8). Menurut Santrock (2007:255) Istilah kenakalan remaja (juvenile delinquwncy) merujuk pada berbagai perilaku, mulai dari berbagai perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti berbuat onar di sekolah), status pelanggaran (melarikan diri dari rumah), hingga tindakan kriminal (seperti pencurian). Kenakalan remaja ditinjau dari berbagai aspek, antara lain: 1) Dilihat dari Aspek Kriminologi Di dalam ilmu kriminologi, ada beberapa pemikiran atau paradigma yang berkaitan dengan kejahatan dan perilaku delinquensi atau kenakalan, yaitu paradigma kriminologi positif dan paradigma kriminologi interaksionis. Seorang ahli Kriminologi (Suprapto 2008:69) memberikan penjelasan tentang paradigma tersebut sebagai berikut : “Paradigma kriminologi positif melihat perilaku delinkuensi adalah perilakuperilaku anak atau remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dapat di jatuhi sanksi menurut hukum yang berlaku. Perilaku seperti itu merupakan wujud perilaku yang terkondisikan oleh faktor-faktor fisik, psikis, dan lingkungan sosial dari pelaku. Sedangkan paradigma kriminologi interaksionis lebih melihat dan mengartikan perilaku delinkuensi bukan sebagai kualifikasi perbuatan, melainkan lebih merupakan keberhasilan masyarakat memberikan “cap” perilaku tertentu sebagai delinkuensi dan pelakunya sebagai delinkuen. Dalam pemberian cap itu kemungkinan akan mempunyai dua reaksi, Pertama, akan memperbaiki citra dirinya atau Kedua, menerima “identitas baru”nya itu dan berusaha untuk menyesuaikan identitas dirinya sesuai dengan identitas yang baru itu dan berarti akan menjadi pelaku berikutnya.” 2) Dilihat dari Aspek Psikologis Aspek psikologis ini pada dasarnya ingin mengungkapkan hubungan antara suatu perbuatan dengan aspek-aspek kejiwaan yang mendorong dilakukannya perbuatan tersebut. Menurut seorang psikolog dari UGM (Darajad, 1990:113) memberikan definisi tentang kenakalan remaja yaitu: “bahwa kenakalan remaja adalah ungkapan dari ketegangan perasaan, kegelisahan, dan kecemasan atau tekanan batin, misalnya jika seorang remaja dari orang yang kaya dan berpangkat, mencuri atau melakukan kejahatankejahatan tertentu, maka kejahatan atau kenakalan yang di lakukan oleh remaja itu bukanlah karena kekurangan uang dari orang tuanya, akan tetapi adalah ungkapan rasa tidak puas, kecewa atau rasa tertekan, merasa kurang mendapat perhatian, kurang merasakan kasih sayang orang tua dan sebagainya”. 1.2.2. Bentuk-Bentuk Kenakalan Remaja Jensen (Sarwono, 2002:209) membagi kenakalan remaja menjadi 4 bentuk yaitu : 1) Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian, perkosaan, perampokan pembunuhan, dan lain-lain. 2) Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. 3) Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain: pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dan lain-lain. 4) Kenakalan remaja yang melawan status dan aturan, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah dan sebagainya. Menurut Soenarjati dkk (2001:6.21,6.24) bentuk-bentuk kenakalan remaja dalam hal ini berhubungan dengan keberadaan kenakalan remaja itu sendiri, bahwa kenakalan remaja itu tidak mungkin dilakukan dalam proses hampa , dan selalu berlangsung dalam konteks antarpersonal dan sosiokultural. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dikenal berbagai pembagian kenakalan remaja ini berdasarkan pendapat para ahli, antara lain seperti yang dikemukakan Kartini Kartono (2003:37) bahwa pengelompokkan kenakalan tersebut dalam berbagai tipe, antara lain: a) Delinkuensi individual Delinkuensi individual lebih ditekankan pada kondisi pribadi pelaku. Kelompok kenakalan jenis ini banyak dilakukan oleh mereka yang mempunyai kelainan jasmaniah dan mental yang dibawah sejak lahir. Tingkah laku kriminal anak pada kelompok ini merupakan gejalah personal atau individual dengan ciri-ciri khas jahat yang disebabkan oleh predisposisi dan kecenderungan penyimpangan tingkah laku yang diperhebat oleh stimuli sosial dan kondisi kultural. Kelainan ini merupakan diferensiasi biologis yang membatasi atau merusak kualitaskualitas fisik dan psikisnya. Pelaku kenakalan tipe ini tergolong pada anak-anak yang melakukan tindak pidana dengan kekejaman tanpa motif dan tujuan apapun, dan hanya didorong oleh impuls primitif yang sangat kuat. Mereka tidak mempunyai perasaan kemanusiaan dan sulit digugah hati nuraninya. b) Delinkuensi Situasional Kenakalan tipe ini dilakukan oleh anak yang normal, tetapi banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional, stimuli sosial dan tekanan lingkungan yang kesemuannya memberikan pengaruh menekan-memaksa pada pembentukan perilaku buruk. Dikarenakan berbagai kekuatan pengaruh dari situasi yang merupakan faktor eksternal tersebut, anak (remaja) suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Remaja ini menjadi jahat akibat transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh eksternal yang menekan dan memaksa sifatnya. Situasi sosial yang eksternal bersifat menekan itu mengalahkan unsur-unsur internal, sehingga memunculkan tingkah laku delinkuensi situasional. Apabila situasi sosial yang buruk menekan serta berlangsung terus menerus bisa memperkuat dan mengondisi perilaku jahat, sehingga menyebabkan anak tersebut menjadi agresif, kejam, keras dan sadis. Yang menjadi persoalan pokok dalam delinkuensi situasional ini ialah anak-anak delinkuen berkeputusan mau menjadi delinkuen, atas dasar keputusan dan kemauannya sendiri karena dirangsang kebutuhan sesaat, dengan adanya tekanan situasional dari lingkungannya, juga ada usaha pembenaran diri dan rasionalisasi terhadap semua perbuatannya. c) Delinkuensi Sistematik Delinkuensi sistematik di sini berkaitan dengan kejahatan anak-anak remaja yang disistematisir dalam bentuk suatu organisasi, yaitu gang. Kumpulan tingkah laku delinkuen yang disistematisir itu disertai pengaturan, status formal, peranan tertentu, nilai-nilai, norma-norma, rasa kebangaan dan moral delinkuen yang berbeda dengan yang umum berlaku. Semua kejahatan yang dilakukan dalam delinkuensi sistematik ini kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh segenap anggota kelompok, sehingga kejahatannya menjadi terorganisir atau menjadi sistematis sifatnya. Tindakan yang dilakukan bertujuan sebagai alat untuk membela diri dari penyerangan terhadap eksistensi dirinya serta sebagai sarana untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungan, sehingga kejahatan yang dilakukannya akan mendapat reaksi keras dari masyarakat luas. Pengaruh stimuli sosial yang buruk atau lingkungan sosial yang jahat akan berpotensi untuk memudahkan atau membentuk perilaku abnormal dan delinkuen lainnya kepada remaja yang mengembangkan kebiasaan-kebiasaan tingkah laku sosiopatik. d) Delinkuensi Kumulatif Situasi sosial dan kondisi kultural buruk yang mempengaruhi terus menerus dan berlangsung berulangkali dapat mengintensifkan perbuatan jahat remaja, sehingga menjadi kumulatif sifatnya, yaitu terdapat dimana-mana, tidak hanya ibu kota Negara saja, tetapi sampai di daerah pinggiran pedesaan. Kemudian secara kumulatif gejalah tersebut menyebar luas di tengah-tengah masyarakat dan menjadi fenomena disorganisasi atau disintegrasi sosial dengan subkultur delinkuen di tengah kebudayaan suatu bangsa. Delinkuen kumulatif merupakan produk konflik budaya hasil dari banyak konflik kultural yang kontroversional. Dalam iklim yang penuh konflik ini terdapat banyak kelompok sosial yang tidak bisa didamaikan dan dirukunkan, selalu terlibat dalam ketegangan, persaingan dan benturan sosial yang diwarnai rasa benci dan dendam. Kondisi tegang ini menjadi persemaian yang subur bagi berkembangnya tingkah laku delinkuen anak-anak, remaja dan orang-orang dewasa yang menyebarkan pengaruh jahat, yang pada akhirnya dapat mengganggu ketentaman umum. Delinkuensi remaja yang kumulatif mempunyai ciri-ciri Kartini Kartono (Soenarjati dkk, 2001:6.24), antara lain: 1) Mengandung banyak dimensi ketergantungan syarat, kegelisahan batin dan keresahan hati para remaja, yang kemudian disalurkan atau dikompensasikan secara negatif pada perbuatan jahat serta agresivitas tidak terkendali. 2) Merupakan pemberontakan adolensi (adolescence revolt) terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa dalam usaha mereka menemukan identitas diri lewat tingkah laku yang melanggar norma sosial dan hukum. 3) Banyak terdapat penyimpangan seksual yang disebabkan oleh penundaan saat kawin, jauh sesuda kematangan biologis, antara lain berupa promiskuitas, cinta bebas, seks bebas, kumpul kebo, perkosaan seksual, pembunuhan berlatar motivasi seks, dan lain-lain. 4) Banyak terdapat tindakan ekstrim radikal yang dilakukan oleh para remaja yang menggunakan cara-cara kekerasan, pembunuhan, bunuh diri, meledakan bom, penculikan, penyandraan dan sebagainya. Kategori kenakalan remaja yang meliputi aspek kriminal dan psikologi secara keseluruhan menunjukkan bahwa pada tahap individu sangat membutuhkan dukungan dari lingkungannya untuk menciptakan citra dirinya lewat tingkah laku yang dilakukannya. Kenakalan remaja ini tidak hanya meliputi pelanggaran-pelanggaran besar yang merugikan orang lain, tetapi juga meliputi pelanggaran-pelanggaran kecil yang merugikan diri sendiri. Jadi dapat dikatakan bahwa kenakalan remaja adalah tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh remaja yang dilatarbelakangi oleh faktor psikologi dan sosial yang menimbulkan suatu tindakan pelanggaran. 1.2.3. Pandangan Teori-Teori Mengenai Sebab-sebab Terjadinya Kenakalan Remaja 1) Teori Biologis Menurut pandangan teori biologis kenakalan remaja disebabkan oleh kelainan fisik atau kelainan genetika seeorang. Faktor-faktor itu di turunkan melalui gen atau plasma pembawa sifat dalam keturunan. Kelainan fisik atau cacat fisik yang didapat karena keturunan itu antara lain kekurangan mental, lemah ingatan, gila, psycbopaty/personal deviation, dan epilepsi. 2) Teori Psikogenetik Kenakalan remaja muncul sebagai bentuk penyelesaian atau kompensasi dari masalah psikologis dan konflik kejiwaan dalam menanggapi stimuli eksternal sosial dan pola-pola hidup keluarga yang pantologis. Stimuli eksternal ini wujudnya bisa bermacam-macam baik yang bersumber dari lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat. 3) Teori Sosiogenis Dalam pandangan teori sosiogenis, sebab-sebab munculnya gejala kenakalan remaja lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial dan kultur, meskipun disebabkan oleh faktor yang bersifat sosial psikologis. Faktor sosial dan kultur tersebut antara lain adanya pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh intemalisasi simbolis yang keliru. Kenakalan remaja pada intinya merupakan produk dari kondisi masyarakatnya, dengan segala pergolakan sosial yang ada didalamnya. 4) Teori Subkultur Menurut teori subkultur yang menyebabkan munculnya kenakalan remaja adalah subkultur pada masyarakat dengan kebudayaan konflik tinggi dan masyarakat di Negara-negara yang mengalami banyak retreatist atau pengasingan diri. Subkultur lain yang menyebabkan kenakalan remaja adalah subkebudayaan kelas rendah (kebudayaan masyarakat berpengahasilan rendah). Pada sub kebudayaan kelas rendah timbul kondisi yang penuh derita, kekurangan, kemiskinan, dan kekejaman. 5) Teori Pengendalian Gejala kenakalan remaja dari sudut pandang teori pengendalian disebabkan oleh kontrol diri dan kontrol sosial yang semakin melemah. Kontrol diri merupakan kemampuan individu remaja sendiri untuk mengontrol perilakunya agar tidak bertentangan dengan norma-norma sosial yang ada. Sedangkan kontrol sosial merupakan kemampuan orang lain, dalam hal ini adalah orang dewasa, untuk mengendalikan perilaku para remaja agar tetap berada pada rel yang benar sehingga tidak bertentangan dengan norma-norma sosial (Soenarjati, 2001:7.08,7.34). Berdasarkan teori-teori di atas kenakalan remaja terjadi tidak saja karena keinginan individu yang ingin melakukan pelanggaran, tetapi juga terjadi karena ada latar belakang lingkungan baik itu keluarga, teman sebaya maupun dilaterbelakangi oleh faktor biologis. Karena itu untuk menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh remaja, ada baiknya dipertimbangkan juga apa yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran-pelanggaran tersebut. 1.3. Pengertian Remaja Beberapa ahli memberikan definisi tentang remaja, diantaranya mengatakan bahwa: Istilah asing yang sering dipakai untuk menunjukan masa remaja, antara lain pubertit, adolescentia, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikatakan pubertas atau remaja (Gunarsa, 2003:4). Apabila kita melihat asal kata istilah kata-kata tadi, maka akan kita peroleh: a. Puberty (Inggris) atau puberteit (Belanda) berasal dari bahasa Latin: Pubertas. Pubertas berarti kelaki-lakian, kedewasaan yang dilandasi oleh sifat dan tandatanda kelaki-lakian. Menurut Sunarto dan Hartono (2013:51) istilah ini berkaitan dengan kata Latin lainnya Pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah tulang “Pusic” (di wilayah kemaluan). Pubescere dan Puberty sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual ditinjau dari aspek biologisnya. b. Adulescentia berasal dari kata Latin: Adulescentia. Adulescentia yang dimaksudkan ialah masa muda usia antara 17 dan 30 tahun. Menurut Sunarto dan Hartono (2013:51, 52) istilah Adulescentia berasal dari kata Latin: Adulescentis. Adulescentia yang dimaksudkan ialah masa muda dengan masa tercepatnya antara usia 12-22 tahun dan mencakup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut. Di Indonesia baik istilah pubertas maupun Adulescensia dipakai dalam arti umum dengan istilah yang sama yaitu remaja. Adapun menurut Gunarsa (2003:6) remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Sedangkan Sarlito Wirawan (Soenarjati, 2001:6.08) memberi definisi remaja yang bersifat konseptual sebagaimana dicetuskan oleh WHO pada tahun 1974 dengan mengemukakan 3 kriteria yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi. Definisi tersebut menerangkan bahwa remaja adalah suatu masa dimana: 1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukan tanda-tanda seksual sekudernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual. 2) Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identivikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa. 3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. WHO menetapkan bahwa batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja dengan pembagian kurun usia, yaitu remaja awal usia 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (Youth). Berkaitan dengan keputusan ini, mereka menetapkan tahun 1985 sebagai Tahun Pemuda Internasional (Soenarjati, 2001:6.09). Menurut Sarwono (2002:10) di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun. Hal ini dikemukakan dalam sensus penduduk 1980. Ia juga menjelaskan bahwa istilah remaja untuk masyarakat Indonesia sebagai pedoman umum dapat digunakan batasan usia 11-24 tahun dan belum menikah untuk remaja Indonesia dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut (2002:14, 15): 1. Usia sebelas tahun adalah usia ketika pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria fisik). 2. Di banyak masyarakat Indonesia, usia sebelas tahun sudah dianggap akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial). 3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyempurnaan perkembangan jiwa, seperti tercapainya identitas diri (ego identity, menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg) (kriteria psikologi). 4. Batas usia 24 tahun merupakan batas maksimal,yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (secara adata/tradisi), belum dapat memberikanpendapat sendiri, dan sebagainya. 5. Dalam definisi di atas, status perkawinan sangat menentukan hal itu karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Berdasarkan defenisi remaja di atas maka dapat dikatakan bahwa remaja adalah anggota masyarakat yang memiliki kisaran umur mulai dari 11-24 tahun. Usia tersebut dapat dikatakan sebagai usia peralihan dari masa kanak-kanak menuju kedewasaan. Dalam masa peralihan tersebut terjadi banyak perubahan baik di bidang sosal, mengenai fisik dan juga psikologi. Pada masa ini manusia dipersiapkan untuk menjadi individu yang lebih mandiri. 1.3.1. Ciri-ciri Umum Masa Remaja Menurut Soetojdo (2006:15) seorang remaja berada pada batas peralihan kehidupan anak dan dewasa. Tubuhnya kelihatan sudah dewasa, akan tetapi bila diperlakukan seperti orang dewasa ia gagal menunjukan kedewasaannya. Pengalamanya mengenai alam dewasa masih belum banyak. Di dalam masa remaja ini sering terlihat pada mereka beberapa hal atau ciri-ciri khas yang menonjol, antara lain: 1. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri dalam hal materiil. 2. Energi yang berlimpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri. Misalnya refleksi pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya. 3. Sering mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan jalan mabuk-mabukan minuman keras. 4. Sikap hidupnya bercorak a-sosial dan keluar dari pada dunia obyektif ke arah dunia subyektif, sehingga ia tidak suka pada kegunaaan-kegunaan teknis yang sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan teman sebaya. Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman, dan lebih berani untuk berjuang dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam duniannya yang baru, misalnya berdirinya banyang geng-geng yang dapat menimbulkan kericuhan dan perkelahian. 5. Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta substitusi identifikasi yang lama. Ciri-ciri ini menunjukkan bahwa pada masa remaja manusia mencoba untuk menentukan jati dirinya, dan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih mandiri, serta pada usia ini manusia mencoba menciptakan citra dirinya yang dapat dilihat oleh orang-orang di sekitarnya. Pada usia ini juga individu akan menentukan kelompok mana yang lebih cocok untuk dirinya. 1.3.2. Pengertian Remaja Awal Remaja awal (12-15 tahun) individu mulai meninggalkan peran sebagai anakanak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman sebaya (Windrawanto, 2007:71). Menurut Sarwono (2002:24,25) seorang remaja pada tahap ini masih terheranheran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongandorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pemikiran-pemikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan terangsang secara erotis. Kepekaan yang berlebih-lebihan ini di tambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”. Hal ini menyebabkan para remaja awal sulit mengerti dan di mengerti orang dewasa. Menurut Monks dkk. (2006:262) masa remaja dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal (12-15 tahun), masa remaja pertengahan (15-18 tahun), dan masa remaja akhir (18-21 tahun). Pada masa peralihan ini, remaja awal cenderung kurang perhitungan di dalam melaksanakan suatu perbuatan, karena mereka lebih mendahulukan emosinya dari pada akal sehat. Remaja awal memiliki emosi yang tidak stabil dan tidak memiliki suatu pendirian yang kuat. Penilaiannya terhadap suatu masalah sangat tergantung pada situasi jiwa dan perasaannya. Remaja awal biasannya senang sekali membuat suatu sensasi yang kadang melanggar aturan dan termasuk dalam kegiatan kriminal. Tindak kejahatan biasanya dipicu oleh masalah kecil seperti saling bersenggolan, bercanda yang berlebihan, saling menatap, dan saling merasa yang paling jagoaan. Masa remaja awal merupakan sebuah masa dimana individu mencoba untuk menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam dirinya. Masa ini membuat individu menjadi manusia yang belum stabil dalam emosi sehingga tingkahlakunya dinyatakan tidak berdasarkan pemikiran yang matang, tetapi berdasarkan emosinya yang belum stabil. Karena itu tak jarang individu pada masa ini bertindak salah termasuk melakukan pelanggaran yang berakibat buruk bagi dirinya sendiri dan masyarakat. 1.3.3. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Danim 2011:115,116) tugas perkembangan pada Tingkat SMP atau Remaja Awal yaitu: 1. Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. 2. Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perubahan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat. 3. Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam peranannya sebagai pria atau wanita. 4. Memantapkan nilai dan cara bertingkahlaku yang dapat diterima dalam kehidupan sosial yang lebih luas. 5. Mengenal kemampuan bakat, dan minat serta arah kecenderungan karier dan apresiasi seni. 6. Mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kebutuhannya untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan atau mempersiapkan karier serta berperan dalam kehidupan masyarakat. 7. Mengenal gambaran dan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial dan ekonomi. 8. Mengenal sistem etika dan nilai-nilai sebagai pedoman hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat dan umat manusia. Menurut Havighurts (Sarwono, 2002:41) tercapai atau tidaknya tugas-tugas perkembangan di atas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kematangan fisik, desakan dari masyarakat, dan motivasi dari individu yang bersangkutan. Tugas perkembangan pada masa remaja menunjukkan bahwa pada masa ini individu dituntut untuk mempersiapkan diri menjadi individu yang lebih mandiri dalam menentukan kehidupannya dan bagaimana menjalankannya. Tugas perkembangan tersebut akan tercapai apabila mendapat dukungan dari pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan individu di dalamnya termasuk dukungan dari masyarakat yang ada dalam lingkungan dimana individu hidup dan berkembang. 1.4. Karakteristik Anak Usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) a) Perkembangan Fisik dan Jasmani Menurut Syaodib (Tanpa tahun : 34) pada masa remaja awal (usia SMP) usia 1112 tahun tinggi badan anak laki dan perempuan tidak jauh berbeda, pada usia 12-13 tahun pertambahan tinggi badan anak perempuan lebih cepat dibandingkan dengan anak laki-laki, tetapi pada usia 14-15 tahun anak laki-laki akan mengejarnya, sehingga pada usia 18-19 tahun tinggi badan anak laki-laki jauh dari perempuan, lebih tinggi sekitar 7-10 cm. Perubahan sangat cepat dalam ukuran tinggi ini, tidak berjalan sejajar dengan kekuatan dan keterampilannya. Pada usia SMP mengalami sedikit kemunduran karena belum ada penyesuaian dengan perubahan-perubahan fisik yang dialami, gerak-gerik merekapun nampak kaku dan canggung. Selain terjadi pertambahan tinggi badan yang sangat cepat, pada masa remaja berlangsung perkembangan seksual yang cepat pula. Perkembangan ini ditandai dengan munculnya ciri-ciri kelamin primer dan sekunder. Ciri-ciri kelamin primer pada awal masa remaja anak perempuan mulai mengalami menstruasi dan laki-laki mengalami mimpi basah, dan pengalaman ini merupakan pertanda bahwa mereka telah memasuki masa kematangan seksual. Sedangkan ciri-ciri kelamin sekunder berkenaan dengan tumbuhnya bulu-bulu pada seluruh badan, perubahan suara menjadi semakin rendahbesar (lebih-lebih pada laki-laki), membesarnya buah dada pada perempuan dan tumbuhnya jakun pada pria. Dengan perkembangan ciri-ciri kelamin sekunder ini, secara fisik remaja mulai menampakkan ciri-ciri orang dewasa. Berikut ini adalah Profil Perkembangan Fisik Siswa SMP (Remaja Awal) menurut Makmun (Syaodib, tanpa tahun : 66) yaitu: 1) Laju perkembangan secara umum berlangsung secara pesat. 2) Proporsi ukuran tinggi dan berat badan sering kurang seimbang (termasuk otot dan tulang-belulang). 3) Munculnya ciri-ciri sekunder (tumbuh bulu pada pubic religion, otot mengembang pada bagian-bagian tertentu), disertai mulai aktifnya sekresi kelenjar jenis (menstruasi pada wanita dan polusi pada pria pertama kali). 4) Gerak-gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan. 5) Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan yang dicobanya. b) Perkembangan Intelektual Menurut Syaodib (Tanpa tahun : 66,67) pada masa SMP mulai berkembang kemampuan berpikir abstrak, remaja mampu membayangkan apa yang akan dialami bila terjadi suatu peristiwa. Remaja telah mampu berpikir jauh melewati kehidupannya baik dalam dimensi ruang maupun waktu. Berpikir abstrak adalah berpikir tentang ide-ide, yang oleh Jean Piaget seorang ahli Psikologi dari Swiss (Syaodib, Tanpa tahun : 66) disebutnya sebagai berpikir formal operasional. Berkembangnya kemapuan berpikir formal operasional pada remaja ditandai dengan tiga hal penting, yaitu: 1). Remaja mulai mampu melihat (berpikir) tentang kemungkinan-kemungkinan, 2). Remaja telah mampu berpikir ilmiah, 3). Remaja telah mampu memadukan ide-ide secara logis. Bertolak dari uraian di atas, berikut ini adalah Profil Perkembangan Intelektual Siswa SMP menurut Makmun (Syaodib, Tanpa tahun : 67) yaitu: 1) Proses berpikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas) dalam ide-ide atau pemikiran abstrak (meskipun relatif terbatas). 2) Kecakapan dasar umum (general intelligence) menjadi laju perkembangan yang terpesat (terutama bagi yang belajar di sekolah). 3) Kecakapan dasar khusus (bakat atau aptitude) mulai menunjukkan kecenderungan-kecenderungan lebih jelas. c) Perkembangan Emosi Menurut Sunarto dan Hartono (2013:181) emosi adalah warna efektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Jenis emosi yang secara normal dialami antara lain: cinta, gembira, marah, takut, cemas, dan sedih. Perbedaanya terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajatnya, serta pengendalian remaja terhadap ungkapan emosi mereka. Biehler (Sunarto & Hartono 2013:155) membedakan ciri-ciri perkembangan emosi remaja dalam rentang waktu usia 12-15 tahun dan 15-18. Karena penelitian ini megarah pada anak usia SMP atau remaja awal maka yang akan diuraikan di sini adalah ciri perkembangan emosi remaja 12-15 tahun, yaitu: 1) Pada usia ini seorang siswa/anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan sebagai akibat dari perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual dan sebagian karena kebinggungannya dalam menghadapi apakah ia masih sebagai anak-anak atau seorang dewasa. 2) Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri. 3) Ledakan-ledakan kemarahan mungkin biasa terjadi. Hal ini seringkali terjadi sebagai akibat dari kombinasi ketegangan psikologis, ketidakstabilan biologis, dan kelelahan karena bekerja terlalu keras atau pola makan yang tidak tepat atau tidur yang tidak cukup. 4) Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri. Mereka mempunyai pendapat bahwa ada jawaban-jawaban absolut dan bahwa mereka mengetahuinya. 5) Siswa-siswa di SMP mulai mengamati orang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu (maha tahu). d) Perkembangan Sosial dan Moralitas Dalam Syaodib (Tanpa Tahun : 67) keterampilan baru yang dimiliki remaja adalah pemikiran sosial. Pemikiran sosial ini berkenaan dengan pengetahuan dan keyakinan mereka tentang masalah-masalah hubungan pribadi dan sosial. Remaja awal telah mempunyai pemikiran-pemikiran logis, tetapi dalam pemikiran logis ini mereka seringkali menghadapi kebinggungan antara pemikiran orang lain. Menghadapi keadaan ini berkembanglah pada remaja sikap egosentrisme, yang berupa pemikiran-pemikiran subjektif logis dirinya tentang masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam masyarakat atau kehidupan pada umumnya. Berikut ini adalah profil perkembangan Sosial dan moralitas Siswa SMP, yaitu: 1) Diawali dengan kecenderungan ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak tetapi bersifat temporer. 2) Adanya ketergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai semangat komformitas yang tinggi. 3) Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuannya. 4) Dengan sikapnya dan cara berpikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para pendukungnya (orang dewasa). 5) Mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh moralitas yang dipandang tepat dengan tipe idolanya. Berdasarkan karakteristik siswa SMP di atas tampak jelas perkembanganperkembangan yang di miliki oleh siswa usia SMP, para siswa dan orang tua serta lingkungannya harus menyadari akan perkembangan yang dialami oleh para remaja awal ini agar perlakuan yang diterapkan atau yang diberikan sesuai dengan porsi atau karakteristik siswa SMP atau remaja awal tersebut.