bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Populasi orang berusia lanjut di dunia mengalami pertumbuhan yang cepat
saat ini dan diprediksikan akan terus meningkat di masa yang akan datang.
Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar
orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang
berkembang (Beers, 2005). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010, di
Indonesia terdapat 23.992.552 penduduk usia lanjut. Diperkirakan pada tahun
2020, jumlah penduduk usia lanjut ini sebesar 11,34% (Baskoro dan Konthen,
2008).
Pertumbuhan populasi ini merupakan hasil bertambah panjangnya rata-rata
harapan hidup manusia dengan terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan atau kedokteran. Namun,
bertambahnya rata-rata usia harapan hidup ini juga menghadirkan masalahmasalah baru di bidang kesehatan yang belum pernah dihadapi sebelumnya, yaitu
meningkatnya prevalensi penyakit-penyakit degenaratif, seperti penyakit jantung
koroner, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru dan lain-lain. Banyak
penyakit degeneratif (penyakit akibat penurunan fungsi sruktur jaringan atau
organ tubuh seiring proses penuaan) yang muncul sangat berkaitan dengan gaya
hidup seseorang, salah satunya adalah perilaku merokok.
1
80
2
Merokok merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas prematur paling
penting pada populasi dunia yang seharusnya bisa dicegah. Angka kematian dini
ini diperkirakan mencapai 4,8 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia pada
tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di antaranya terjadi di negara berkembang dan
sisanya terjadi di negara-negara maju (Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2007).
Angka itu kini meningkat menjadi 5,4 juta kematian setiap tahunnya pada tahun
2006. WHO memperkirakan angka tersebut masih akan terus naik dan mencapai
10 juta kematian per tahun pada tahun 2030 (Jaya, 2009). Data hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa perilaku merokok dapat mengurangi angka harapan
hidup sampai 8,8 tahun (Streppel, et al., 2007) . Di Indonesia, menurut data hasil
laporan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57
juta orang (Barber et al., 2008). Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu
akan mengalami kematian akibat berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya
dalam jangka panjang, dengan rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al.,
2008).
Rokok menyebabkan mortalitas secara tidak langsung dengan meningkatkan
insiden berbagai macam penyakit degeneratif pada beberapa sistem organ, yaitu
sistem pernapasan, sistem kardiovaskular, sistem gastrointestinal, sistem
muskuloskeletal, kulit, sistem syaraf, dan sistem imun (Burns, 2005; Tyndale dan
Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005; McPhee dan Pignone, 2007). Kerusakan
pada berbagai macam sistem organ tersebut disebabkan oleh berbagai macam zat
toksik, iritan dan radikal bebas yang ada dalam asap rokok. Berbagai zat dalam
asap rokok ini dapat mempercepat progresivitas proses penuaan intrinsik melalui
3
akumulasi kerusakan seiring berjalannya waktu dan menimbulkan berbagai
macam penyakit atau gangguan terkait proses penuaan, misalnya penyakit jantung
koroner, stroke, osteoporosis, kanker, penyakit paru obstruktif, serta mempercepat
proses skin aging berupa munculnya garis-garis keriput, dan meningkatnya proses
degradasi kolagen. (Burns, 2005; Schroeder et al., 2006; Benowitz dan Fu, 2007)
Dari efek rokok pada berbagai sistem organ tersebut, angka mortalitas
terbesar adalah akibat penyakit pada sistem kardiovaskular, yaitu sebesar 37%,
penyakit kanker sebesar 28% dan akibat penyakit paru obstruktif kronis (PPOK),
yaitu sebesar 26%. Oleh sebab efek destruktif rokok yang sebesar itu, 70-80%
perokok mengungkapkan keinginannya untuk berhenti merokok, namun dari
angka itu hanya 35% orang yang berusaha untuk berhenti merokok, dan akhirnya
hanya 5% yang berhasil (Burns, 2005; Barber et al., 2008). Berbagai kendala juga
dihadapi oleh para dokter dalam membantu para perokok untuk berhenti merokok
mengingat angka relaps yang tinggi (Rutter, 2006).
Peristiwa di atas tidak terlepas dari fakta bahwa perilaku merokok erat
kaitannya dengan faktor ketergantungan. Faktor ketergantungan yang dimaksud
adalah ketergantungan fisik perokok pada nikotin. Dari sini bisa dikatakan bahwa
ketergantungan fisik pada nikotin merupakan faktor determinan seseorang
mempertahankan perilaku merokok. Saat merokok, nikotin yang ada pada daun
tembakau akan terhisap bersama asap rokok ke dalam alveoli paru, kemudian
masuk ke peredaran darah dan mencapai otak sebagai target organ hanya dalam
waktu 7 detik (Hukkanen et al., 2005; O‟Brian, 2006). Di dalam otak, nikotin
menginduksi pelepasan neurotransmiter-neurotransmiter, terutama dopamin di
4
brain reward system pada sistem limbik. Aktivitas nikotin pada brain reward
system ini menimbulkan perilaku apetitif individu terhadap rokok. Namun, seiring
dengan meningkatnya durasi paparan nikotin, motivasi apetitif (motivasi mencari
atau mendekati stimulus yang menyenangkan) berubah menjadi aversif (motivasi
menghindar dari stimulus yang menyakitkan atau tidak menyenangkan) melalui
mekanisme negative reinforcement karena adanya proses toleransi, dan dari sini
muncul ketergantungan fisik (O‟Brian, 2006). Meskipun mekanisme dasar
ketergantungan fisik ini telah diketahui sejak lama, masih banyak faktor lain yang
berperan dalam patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin belum
diketahui atau belum dapat dijelaskan secara pasti, mengingat sifatnya yang
multifaktorial.
Pada dasarnya, ada dua macam faktor yang mempengaruhi ketergantungan
fisik individu terhadap rokok, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Faktor
lingkungan terdiri dari tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan, pergaulan dan
sebagainya. Dahulu diperkirakan bahwa faktor lingkungan memiliki peran yang
jauh lebih penting terhadap munculnya ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin, tetapi menurut hasil penelitian terakhir, faktor genetik memiliki
kontribusi sebesar 50-70% (Tyndale dan Sellers, 2005). Pernyataan ini didukung
oleh hasil studi pada anak kembar dan keluarga (twin and family studies) yang
menunjukkan bahwa kecenderungan untuk munculnya ketergantungan fisik
terhadap nikotin oleh karena faktor genetik mencapai angka heritability sebesar
42-80% (Henningfield et al., 2000; Caron et al., 2005; Boardman et al., 2006).
5
Di antara banyak gen kandidat yang berperan atau diduga berperan dalam
ketergantungan fisik terhadap nikotin, terdapat gen CYP2A6, yaitu gen yang
mengkode enzim sitokrom P450 2a6. Enzim ini bertanggung jawab terhadap 7090% metabolisme nikotin dalam darah menjadi cotinine, dan dengan demikian
menghilangkan atau menurunkan efek nikotin untuk memberikan stimulus pada
brain reward system (Gullstén 2000; Rao et al., 2000; Hukkanen et al., 2005;
Davies dan Soundy, 2009). Beberapa penelitian terakhir telah mengungkap
adanya polimorfisme pada gen tersebut yang menghasilkan 37 alel (Hukkanen et
al., 2005). Polimorfisme DNA yang dimaksud dapat berupa Single Nucleotide
Polymorphism (SNP), Copy Number Polymorphism (CNP) ataupun Insertiondeletion Polymorphism (Nussbaum et al., 2007). Polimorfisme ini memiliki efek
berupa menurun, hilang atau justru meningkatkan aktivitas enzim. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen CYP2A6 mempengaruhi aktivitas
enzim sitokrom P450 2A6 yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kadar nikotin
dalam darah (Rao et al., 2000; Tyndale dan Sellers, 2005; Hukkanen et al., 2005).
Akan tetapi, efek delesi atau inaktivasi gen CYP2A6, yang berarti bahwa tidak
adanya enzim sitokrom P450 2a6, secara in vivo dalam hubungannya dengan
ketergantungan fisik terhadap nikotin masih kontroversial. Pernyataan mengenai
hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dan perilaku merokok seseorang
pertama kali diuraikan oleh Pianezza (1998). Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa sekelompok orang dengan delesi gen CYP2A6 memiliki risiko untuk
menjadi tergantung pada nikotin lebih kecil dibandingkan dengan perokok yang
mempunyai gen CYP2A6 normal (wild type). Sebaliknya, beberapa penelitian lain
6
menunjukkan bahwa adanya duplikasi pada gen CYP2A6 meningkatkan aktivitas
enzim yang dikodenya sebanyak 1,4 kali normal dan akibatnya, mereka
mengkonsumsi rokok lebih banyak dibandingkan perokok dengan gen normal
(Rao et al., 2000; Fukami et al., 2007). Penelitian tersebut semakin memperkuat
hubungan antara polimorfisme gen CYP2A6 dengan perilaku merokok dan
ketergantungan fisik terhadap nikotin. Namun demikian, beberapa penelitian
berikutnya terhadap gen yang sama dalam hubungannya dengan perilaku merokok
menunjukkan hasil yang negatif (Gullstén, 2000). Demikian juga hasil metaanalisisnya meyimpulkan bahwa masih perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk
mempelajari peran gen tersebut dalam meningkatkan ketergantungan fisik
perokok terhadap nikotin (Munafö et al., 2003).
Walaupun hasil penelitian terdahulu masih menunjukkan hasil yang
heterogen, secara logis, tidak adanya enzim yang memetabolisme nikotin akan
mempertahankan kadar nikotin dalam darah tetap tinggi. Kadar nikotin yang tetap
tinggi akan menurunkan gejala-gejala ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin (Yoshida et al., 2002). Sebab kadar nikotin yang tinggi dalam darah akan
dapat terus memberikan stimulusnya pada brain reward system, dan menekan
munculnya behavioral reinforcement (Munafö et al., 2003). Akan tetapi, bukti
akan peran gen CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap
nikotin ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah terutama di Indonesia, sebab
jumlah perokok di Indonesia yang besar, frekuensi alel delesi pada gen CYP2A6
cukup tinggi di Asia, yaitu mencapai 20% serta hubungannya secara langsung
7
dengan ketergantungan fisik terhadap nikotin yang diukur dengan kesioner FTND
belum pernah diteliti sebelumnya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas masalah yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah: Apakah gen CYP2A6
lebih sering ditemukan pada
kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin yang tinggi
dibandingkan perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini dalah untuk mengetahui peran gen CYP2A6 sebagai
faktor risiko ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin.
1.4.Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Ilmiah
Dalam bidang akademik dan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian ini
diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang salah satu mekanisme
patofisiologi ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin. Sehingga dapat
bermanfaat sebagai sumber rujukan penelitian berikutnya berkaitan dengan
CYP2A6 dan ketergantungan fisik terhadap nikotin.
1.4.2. Manfaat Aplikatif
Dengan diketahuinya peran faktor genetik, dalam hal ini gen CYP2A6, pada
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin maka pada gilirannya pengetahuan
ini dapat digunakan sebagai dasar dikembangkannya tata cara penatalaksanaan
baru kepada para perokok.
Tata cara yang dimaksud yaitu baik dari segi
penggunaan agen-agen farmakologis baru ataupun dengan penggunaan uji
8
diagnostik baru demi menunjang efektivitas terapi untuk individu dengan
ketergantungan fisik terhadap nikotin. Jika efektifitas terapi untuk membantu para
perokok berhenti merokok dapat ditingkatan, pada gilirannya diharapkan angka
harapan hidupnya akan diharapkan dapat meningkat, dan tentu saja peningkatan
angka harapan hidup ini akan diikuti dengan peningkatan kualitas hidup.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Aging dan Definisinya
Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan
fungsi biologik seiring usia kronologik, walaupun keduanya tidak tidak selalu
berjalan dengan laju yang sama. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan
dengan kecepatan berbeda bagi tiap orang, tergantung dari susunan genetik orang
tersebut, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau
lambat tergantung kesehatan masing-masing individu.
Sepanjang sejarah, banyak ilmuwan berusaha mendefinisikan dan mengukur
proses aging. Kohn (1997) menyatakan perbedaan antara perkembangan dan
aging. Ia mendefinisikan bahwa perkembangan adalah sejumlah proses yang
terjadi di awal kehidupan organisme yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas fungsional organisme terkait, sedangkan aging adalah sejumlah proses
yang tidak memiliki efek atau menurunkan kemampuan fungsional (Fowler, 2003;
Arking, 2006).
Pada tahun 1982, Frolkis mengungkapkan bahwa aging adalah proses
biologis yang berkembang secara alamiah dan menurunkan kemampuan adaptasi
organisme berkaitan, meningkatkan risiko kematian, mengurangi rentang hidup
dan
menyebabkan
munculnya
kondisi
patologis
sehubungan
dengan
bertambahnya umur. Pada tahun yang sama, Strehler mencoba memformulasikan
definisi aging dan memberikan karakteristik fundamental yang harus dimiliki oleh
9
10
proses penuaan sebagai berikut: (1) proses penuaan harus merupakan proses yang
merugikan; (2) proses tersebut haruslah progresif, yang berarti bahwa seiring
berjalannya waktu, tahap demi tahap proses penuaan terus terjadi; (3) proses
penuaan merupakan proses intrinsik dan bukan akibat modifikasi lingkungan
semata; (4) proses aging merupakan proses yang universal, yaitu bahwa setiap
organisme di dunia ini mengalami proses tersebut (Arking, 2006).
Dari berbagai macam definisi dan formula fundamental yang telah
disampaikan di atas, dapat diringkas bahwa aging merupakan suatu rentetan
proses tergantung waktu dari perubahan struktur dan fungsi yang kumulatif,
progresif, intrinsik dan merugikan yang mulai muncul sesudah organisme
mencapai usia reproduksi dan terus terjadi hingga mencapai titik kulminasi berupa
kematian (Arking, 2006). Pada tingkat molekuler dan genomik, kerusakan yang
terjadi akibat proses penuaan tidak berbeda dengan kerusakan yang terjadi akibat
proses patologis pada umummnya. Kerusakan yang terjadi akan terakumulasi
sepanjang waktu dan bermanifestasi berupa proses aging pada seluler jauh
sebelum gejala dan tanda penuaan muncul pada organisme bersangkutan
(McCance dan Grey, 2006).
2.2. Teori-teori Penuaan
Teori-teori dalam penuaan mencakup perubahan-perubahan pada tingkat
genetik, biokimiawi dan fisiologi yang terjadi dalam tubuh organisme seiring
bertambahnya waktu. Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga
molekuler secara umum terbagi menjadi dua latar belakang, yaitu aging adalah
program dan aging adalah kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran
11
bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh
jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori
kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak.
Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari
kehidupan sehari-hari. Dari dua latar belakang tersebut ada empat teori pokok dari
aging (Goldman dan Klatz, 2007), yaitu:
1)
Teori “wear and tear”
Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan
disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal,
kulit, dan yang lainnya, menurun karena toksin di dalam makanan dan
lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alcohol, dan nikotin, karena
sinar ultraviolet, dan karena stress fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak
terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel.
2)
Teori neuroendokrin
Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh.
Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus,
sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan
hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya. Dengan
bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang
akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh.
3)
Teori Kontrol Genetik
Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita
dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan
12
mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita
menjadi tua dan berapa lama kita hidup.
4)
Teori Radikal Bebas
Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi
akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal
bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memilkiki elektron yang tidak
berpasangan.
Radikal
bebas
memiliki
sifat
reaktivitas
tinggi,
karena
kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada pada
molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronnya ditarik oleh
radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel,
bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal
bebas adalah DNA, lemak, dan protein (Suryohudoyo, 2000). Dengan
bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin
mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang
mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal
bebas juga merusak kolagen dan elastin , suatu protein yang menjaga kulit tetap
lembab, halus, fleksibel, dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat
paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan
lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal
bebas (Goldman dan Klatz, 2007).
13
2.3. Faktor-faktor yang Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik
Berbagai faktor yang dapat mempercepat proses penuaan, yaitu :
1) Faktor lingkungan
a. Pencemaran lingkungan yang berwujud bahan-bahan polutan dan kimia
sebagai hasil pembakaran pabrik, otomotif, dan rumah tangga) akan
mempercepat penuaan.
b. Pencemaran lingkungan berwujud suara bising. Dari berbagai penelitian
ternyata suara bising akan mampu meningkatkan kadar hormon prolaktin
dan mampu menyebabkan apoptosis di berbagai jaringan tubuh.
c. Kondisi lingkungan hidup kumuh serta kurangnya penyediaan air bersih
akan meningkatkan pemakaian energi tubuh untuk meningkatkan
kekebalan.
d. Pemakaian obat-obat/jamu yang tidak terkontrol pemakaiannnya sehingga
menyebabkan turunnya hormon tubuh secara langsung atau tidak langsung
melalui mekanisme umpan balik (hormonal feedback mechanism).
e. Sinar matahari secara langsung yang dapat mempercepat penuaan kulit
dengan hilangnya elastisitas dan rusaknya kolagen kulit (Wibowo, 2003).
2) Faktor diet. Bukti hasil studi-studi terbaru membuktikan bahwa nutrisi dan
gaya hidup adalah faktor determinan utama dalam lingkungan karena
memiliki peran penting dalam kerusakan genom dan selular yang menjadi
penyebab fundamental berkurangnya fungsi dan meningkatnya kecenderungan
untuk menjadi sakit (frailty) yang menjadi karakteristik penuaan (Stanner,
2009).
14
3) Faktor genetik
Komposisi genetik yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi proses
penuaan yang dialaminya sepanjang hidup orang itu. Hasil studi terbaru
membuktikan bahwa kontribusi genetik terhadap rentang hidup sesorang
adalah sebesar 35%. Selain itu, adanya penyakit-penyakit genetik yang
menyebabkan penderitanya mengalami penuaan yang jauh lebih cepat
daripada orang normal seperti Down Syndrome, Hutchinson-Gilford’s
progeria dan Werner’s syndrome memberikan petunjuk yang kuat adanya
peran faktor genetik yang mendasari proses penuaan (Markides, 2007).
4) Faktor psikis
Faktor stres psikis mampu mempercepat proses penuaan secara tidak langsung
yaitu dengan meningkatkan tekanan darah, kadar gula darah, lipid (terutama
VLDL dan LDL), meningkatkan kadar oksidan dalam darah dan menurunkan
sistem kekebalan tubuh (McCance et al., 2006). Dalam kondisi yang kronis,
semua efek stress psikis ini dapat menjadi akselerator proses penuaan
2.4. Rokok Mempercepat Proses Penuaan Intrinsik
Asap rokok di samping banyak sekali mengandung bahan-bahan yang bersifat
toksik, terdapat juga zat-zat radikal bebas, di antaranya adalah peroksinitrit,
hidrogen peroksida, dan superoksid. Radikal bebas dalam asap rokok akan dapat
mempercepat kerusakan seluler akibat stress oksidatif. Produksi radikal bebas dan
kerusakan akibat stress oksidatif umum terjadi tiap saat dalam sistem biologis
sebagai limbah metabolisme energi dalam sel. Oleh sebab itu, tubuh kita memiliki
sistem pertahanan berupa enzim atau substrat yang berfungsi sebagai antioksidan,
15
seperti superoksid dismutase, hidrogen peroksidase, gluthatione, dan lain-lain
(Murray, 2006). Keseimbangan antara produksi radikal bebas dan zat antioksidan
dalam tubuh dapat bergeser ke arah meningkatnya konsentrasi radikal bebas jika
kondisi tubuh kita terpapar oleh berbagai macam substansi dalam lingkungan
yang mengandung banyak sekali radikal bebas, dalam hal ini asap rokok.
Peran radikal pada asap rokok dalam meningkatkan kerusakan sistem biologis
adalah sama dengan peran radikal bebas yang dihasilkan dalam tubuh. Radikal
bebas merupakan molekul yang mengandung elektron tidak berpasangan pada
orbit terluarnya. Elektron tidak berpasangan ini membuatnya sangat reaktif. Oleh
karena radikal bebas dapat menyerang molekul penting seperti DNA, protein dan
lipid, dan oleh karena mereka juga cenderung dapat memperbanyak diri, mereka
dapat menciptakan kerusakan yang signifikan. Radikal bebas dapat dibentuk
dalam berbagai macam reaksi seperti misalnya fragmentasi, substitusi, oksidasi,
addisi, dan reduksi.
Oleh karena sifat reaksinya yang acak (random), beberapa produk kimiawi
radikal bebas benar-benar asing bagi sel untuk dapat diperbaiki atau digunakan
kembali oleh sel melalui proses daur ulang. Contoh dari peristiwa ini adalah
ketika 2 protein menjadi berikatan silang (cross-link), mereka dapat menjadi
resisten oleh enzim proteolitik dan molekul seperti ini dapat terakumulasi secara
progresif dalam sel seperti pigmen penuaan yang dapat meningkat jumlahnya
ketika sel dalam tubuh organisme mengalami penuaan. Pigmen penuaan ini jika
terakumulasi sampai mencapai kadar yang signifikan akan dapat mengganggu
fungsi sel secara umum.
16
Contoh lain kerusakan akibat stress oksidatif adalah oksidasi basa nitrogen
guanosin menjadi 8-oxoguanosine, yang tidak lagi membentuk ikatan hidrogen
dengan cytosine tapi membentuk ikatan hidrogen dengan adenosine, dengan
demikian telah terjadi mutasi dalam DNA. Sama halnya dengan produksi radikal
bebas, mutasi DNA hampir terjadi sepanjang waktu, dan mengingat sebagian
besar mutasi adalah merugikan sebab ia merusak fungsi gen, akumulasi kerusakan
akibat oksidasi seperti ini akan mengarah pada menurunnya fungsi seluler atau
bahkan munculnya sel kanker (Hyde, 2009).
Radikal bebas juga dapat mengoksidasi berbagai macam protein dalam sel
dan mengganggu fungsinya, misalnya ia dapat mengoksidasi apolipoprotein
dalam LDL sehingga LDL yang tertimbun dalam dinding sel akan memulai rantai
proses pembentukan plak atheroma. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
asap rokok mempercepat proses atherosclerosis yang umumnya terjadi sepanjang
proses penuaan.
Selain radikal bebas, metabolit nikotin dapat membentuk ikatan pada basa
nitrogen DNA dan menyebabkan mutasi (Hyde, 2009).. Kondisi ini memperburuk
proses mutasi akibat oksidasi yang sudah ada.
Selain melalui radikal bebas, proses penuaan yang dipercepat oleh asap rokok
juga diperantarai oleh penurunan fungsi paru akibat kerusakan yang
ditimbulkannya. Penuaan yang terjadi pada tingkat organ ini dapat memberikan
efek domino terhadap penuaan di organ-organ yang lain, sebab paru merupakan
organ yang vital.
17
2.5. Berbagai Macam Penyakit terkait Kebiasaan Merokok
Angka kematian dini akbiat merokok diperkirakan mencapai 4,8 juta orang
setiap tahunnya di seluruh dunia pada tahun 2000 dengan 2,4 juta orang di
antaranya terjadi di negara berkembang dan sisanya terjadi di negara-negara maju
(Burns, 2005; McPhee dan Pignone, 2008). Angka itu kini meningkat menjadi 5,4
juta kemtian setiap tahunnya pada tahun 2006. WHO memperkirakan angka
tersebut masih akan terus naik dan mencapai 10 juta kematian per tahun pada
tahun 2030 (Jaya, 2009). Di Indonesia, menurut data hasil laporan lembaga
demografi Universitas Indonesia, jumlah perokok mencapai 57 juta orang.
Diperkirakan lebih dari separuh dari jumlah itu akan mengalami kematian akibat
berbagai macam penyakit yang ditimbulkannya dalam jangka panjang, dengan
rata-rata 427.948 kematian per tahun (Barber et al., 2008).
Menurut hasil penelitian terdahulu, perokok mengalami peningkatan risiko
terkena penyakit jantung yang fatal sebesar 2 kali lipat dibanding bukan perokok,
10 kali lipat risiko terkena kanker paru, beberapa kali lipat risiko terkena kanker
rongga mulut, oesofagus, pankreas, ginjal, kandung kemih, dan servik; 2 sampai 3
kali lipat risiko terserang stroke dan ulkus peptikum; 2 sampai 4 kali lipat risiko
fraktur panggul, pergelangan tangan dan vertebra; 4 kali risiko terinfeksi
pneumococcus; 2 kali lipat risiko terkena katarak dan 2,5 kali terkena ARMD
(Age Related Macular Degeneration). Pada umumnya perokok meninggal 5-8
tahun lebih cepat dibandingkan bukan perokok. Di Amerika Serikat, lebih dari
90% kasus penyakit paru obstruktif kronis terjadi di antara para perokok atau yang
pernah merokok (McPhee dan Pignone, 2008).
18
Baik perokok aktif ataupun perokok pasif akan mengalami destruksi
komponen elastik dari dinding aorta yang menyebabkan peningkatan risiko
terbentuknya aneurisma aorta serta memperparah atherosclerosis pada arteri
karotis. Merokok juga dilaporkan meningkatkan risiko penyakit leukemia, kanker
prostat dan kolon, kanker payudara pada wanita pos menopause dengan aktivitas
enzim N-acetyltransferase yang rendah, osteoporosis dan penyakit Alzheimer.
Kanker yang terjadi disebabkan oleh rusaknya tumor supressor gene, yaitu gen
P53 yang terkait kebiasaan merokok. Indera penciuman dan perasa perokok
umumnya terganggu dan terjadi peningkatan garis kerutan di wajah. Selain
banyak penyakit yang telah disebutkan di atas, anak dari seorang perokok
memiliki berat badan lahir yang rendah, memiliki risiko menderita retardasi
mental, lebih sering terserang infeksi saluran napas dan fungsi paru yang kurang
baik, lebih tinggi risikonya menderita infeksi telinga kronis dibandingkan anak
bukan perokok (McPhee dan Pignone, 2008).
Dengan kenyataan yang demikian, kebiasaan merokok, dapat digolongkan
sebagai behavioral biomarker terhadap proses penuaan. Sebab kebiasaan ini
mempercepat penurunan fungsi paru yang menjadi salah satu biomarker penuaan
itu sendiri. Kebiasaan merokok baik secara langsung maupun tidak langsung
memposisikan perokok dalam kondisi yang lebih sensitif terhadap segala macam
penyakit yang dikaitkan dengan penuaan. Dengan kata lain, penurunan fungsi
berbagai organ yang ditimbulkannya membuat individu memiliki kecenderungan
untuk terserang penyakit lebih mudah (Arking, 2006).
19
Menghentikan kebiasaan merokok dapat menurunkan seluruh peningkatan
risiko terserang berbagai macam penyakit seperti yang disebutkan di atas
walaupun tidak pernah mencapai kondisi yang sama seperti orang yang tidak
pernah merokok. Wanita yang berhenti merokok pada umur 35 tahun, rata-rata
menambah angka harapan hidupnya sebanyak 3 tahun, sedangkan laki-laki 2
tahun. Penambahan angka harapan hidup ini terus terjadi bahkan pada perokok
yang menghentikan kebiasaan merokoknya setelah umur 65 tahun. Penghentian
kebiasaan merokok dapat disebut sebagai salah satu tindakan anti aging yang
paling sederhana, logis namun tidak mudah untuk dilakukan mengingat adanya
faktor ketergantungan (Arking, 2006).
Walaupun merokok merupakan penyumbang berbagai masalah medis yang
paling penting, perhatian kepada kebiasaan merokok masih rendah. Tujuh puluh
sampai delapan puluh persen perokok mengungkapkan keinginannya untuk
berhenti merokok dan mengunjungi dokter, namun dari angka itu hanya 20%
orang yang mendapatkan pengobatan atau nasihat, dan akhirnya hanya 5% yang
berhasil berhenti merokok (Burns, 2005; O‟Brian, 2006; Barber et al., 2008;
McPhee dan Pignone, 2008).
2.6. Substansi Kimia dalam Rokok
Sebenarnya asap rokok tidaklah sesederhana seperti yang terlihat. Asap ini
merupakan suatu campuran substansi-substansi kimia dalam bentuk gas dan
partikel-partikel terdispersi di dalamnya. Sampai saat ini, telah berhasil
diisolasikan berbagai macam zat kimia yang jumlahnya mencapai 3000 senyawa
dalam daun tembakaunya sendiri dan mencapai lebih dari 4000 senyawa pada
20
asap rokok (Benowitz dan Fu, 2007). Sebagian besar bahan atau senyawasenyawa tersebut (tabel 2.1) pada umumnya bersifat toksik bagi berbagai macam
sel dalam tubuh kita.
Substansi toksik dalam bentuk gas, yaitu berupa karbon monoksida (CO),
hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia yang volatil seperti
nitrosamin, formaldehid banyak terdapat dalam asap rokok. Zat-zat ini dapat
memberikan efek toksiknya dengan mekanisme spesifik dan pada sel-sel atau
unit-unit makromolekuler sel tertentu terutama pada sistem pernapasan (Kuschner
dan Blanc, 2007). Di samping dalam bentuk gas, zat toksik lain yang terdapat
dalam rokok bisa berupa partikel-partikel kecil terdispersi dalam asap yang
terutama alkaloid, yaitu nikotin dan tar.
Tar adalah partikel kering berwarna coklat hasil pembakaran rokok dan bisa
memberi warna pada gigi ataupun kuku. Partikel ini terdiri dari campuran
senyawa-senyawa kimia kompleks yang terdiri dari berbagai macam zat-zat kimia
karsinogenik, kokarsinogenik dan tumor promoter dalam asap rokok. Zat yang
dimaksud adalah benzo(a)pyrene, dan hidrokarbon aromatik polinuklear lainnya,
nitrosamin derivat nikotin, β-Napthylamine, berbagai metal seperti kadmium,
nikel, arsen, timbal, merkuri dan elemen radioaktif seperti radium-226 dan
polonium-210 (Hoffmann dan Hoffmann, 1999; Benowitz dan Fu Hua, 2007).
21
Tabel 2.1. Komponen Toksik Mayor pada Asap Rokok (Benowitz dan Fu, 2007)
Nikotin
Catechols
N-nitrosonornicotine
Fenol
Hidrokarbon Aromatik Polinuklear
Benzena
β-Napthylamine
Nikel (karbonil)
Kadmium
Arsenik
Polonium-210 dan radium-226
Karbon monoksida
Asetaldehid
Oksida Nitrogen
Hidrogen Sianida
Acrolein
Ammonia
Formaldehid
Urethane
Hydrazine
Nitrosamin
2.7. Nikotin sebagai Alkaloid Utama dalam Rokok
Literatur paling awal yang menyebutkan adanya kebiasaan menghisap cerutu
atau merokok berasal dari artifak bangsa Maya yang ditemukan di semenanjung
Yucatan, Mexico. Kebiasaan ini merupakan bagian dari ritual religius dan
perkumpulan politik para penduduk asli semenanjung Yucatan. Lima ratus tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1492, ketika Christopher Columbus menemukan
benua Amerika, dia diberi daun tembakau oleh orang-orang Arawak. Jadi,
Columbus dan awak-awak kapalnya adalah orang Eropa pertama yang mengenal
rokok (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Nama nikotin berasal dari nama tanaman tembakau yang menghasilkannya,
yaitu Nicotiana tabacum dan Nicotiana rustica. Kedua species tanaman tersebut
termasuk famili Solanaceae. Nama ilmiah untuk tembakau ini mengacu pada
nama seorang duta besar Prancis di Portugal yaitu Jean Nicot de Villemain. Ia
mengirimkan tembakau dari Brazil ke Paris dan menggunakannya untuk tujuan
pengobatan pada tahun 1560. Nikotin sendiri, zat aktif dalam tembakau baru
berhasil diisolasi sekitar dua setengah abad sesudahnya, tepatnya pada tahun 1828
22
oleh ahli kimia Jerman, yaitu Poselt dan Reimann. Mereka pertama kali
menyatakan bahwa zat ini adalah toksin. Formula empirisnya berhasil
dideskripsikan oleh Melsens di tahun 1843, yaitu C10H14N2, sedangkan
strukturnya ditemukan oleh Garry Pinner pada tahun 1895 dan nama kimianya
yaitu 3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Nikotin adalah amin tersier yang terdiri dari cincin pyridine dan pyrrolydine
(Gambar 2.1). Produksi nikotin memerlukan asam nikotinat (niacin) dan kation Nmethylpyrrolinium, yang didiversikan dari ornithine. Produksi nikotin dalam daun
tembakau diinduksi oleh sinyal Jasmonic acid sebagai respons terhadap kerusakan
daun. Sintesis nikotin terjadi di akar tanaman kemudian ditranspor melalui xylem
menuju daun dan bagian tanaman lainnya. Dalam keadaan murninya, nikotin
tampak sebagai cairan yang kental, seperti minyak tidak berwarna dan bersifat
sangat alkalis. Jika dipapar dengan udara terbuka, ia menjadi berwarna kuning
kecoklatan dan memberikan bau khas tembakau (Hoffmann dan Hoffmann, 1999).
Gambar 2.1. Struktur Kimia Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Nama struktur
kimia nikotin adalah 3-(2-(N-methylpyrrolidinyl))pyridine. Nikotin merupakan zat
kimia larut air dan dapat diekstraksi dari daun tembakau dengan merendam
potongan daunnya dalam air selama 12 jam.
23
Gambar 2.2. Struktur Alkaloid Utama dalam Tembakau Selain Nikotin
(Hukkanen et al., 2005). Semua alkaloid di atas merupakan derivat dari nikotin.
Derivat ini muncul akibat proses oksidasi dan degradasi oleh bakteri selama
proses pengolahan rokok dan bukan di sintesis oleh tanaman tembakau itu sendiri,
Sebenarnya nikotin dalam daun tembakau berfungsi sebagai bahan kimia
antiherbivora, terutama serangga. Oleh sebab itu, di masa lalu nikotin banyak
digunakan sebagai insektisida. Kadar nikotin berbeda-beda tergantung jenis
tembakau serta posisi daun, daun yang letaknya relatif lebih tinggi daripada daun
lainnya memiliki kadar nikotin lebih tinggi. Zat ini mendominasi alkaloid yang
ada pada rokok (sekitar 95% alkaloid dalam rokok merupakan nikotin) dan
mencapai berat kering 1,5% tembakau dalam rokok. Rata-rata dalam sebatang
rokok mengandung 10-14 mg nikotin dan sekitar 1 mg nikotin diabsorbsi ke
dalam peredaran darah sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005).
Sebagian besar nikotin pada daun tembakau berada dalam bentuk levorotary
(S)-isomer, dan hanya sebagian kecil, sekitar 0,1-0,6% dari nikotin total yang
berada dalam bentuk (R)-nikotin. Dalam asap rokok, jumlah (R)-nikotin
meningkat sampai 10%, diperkirakan hal ini terjadi oleh karena proses
24
racemization selama pembakaran. Nikotin mudah menguap pada pembakaran
bersuhu rendah, sekitar 308K (Hukkanen et al., 2005). Oleh karena sifat fisiknya
yang demikian, hampir semua nikotin dalam rokok menguap saat dibakar dan
terinhalasi selama merokok.
Pada sebagian besar strain tembakau, nornikotin dan anatabine adalah
senyawa alkaloid terbanyak kedua setelah nikotin dan disusul dengan anabasine
(Gambar 2.2). Komposisi yang sama berlaku juga pada rokok, cerutu, rokok pipa
dan oral snuff. Alkaloid-alkaloid minor yang lainnya antara lain myosmine, N’methylmyosmine, cotinine, nicotyrine, nornicotyrine, nicotine N-oxide, 2,3’bipyridyl dan metanicotine. Alkaloid-alkaloid minor tersebut diduga muncul
akibat adanya aktivitas bakteri dalam tembakau selama pemrosesan rokok
(Hukkanen et al., 2005). Dari sekian banyak alkaloid minor dalam tembakau yang
telah dipelajari, hanya nornicotine, metanicotine, dan anabasine yang memiliki
aktivitas farmakologis mirip nikotin yang cukup bermakna.
2.8. Absorbsi Nikotin ke dalam Sirkulasi Sistemik selama Merokok
Saat rokok dibakar, nikotin dalam tembakau terdestilasi dan terhisap bersama
dengan fraksi partikulat (tar) ke arah pangkal rokok. Absorbsi nikotin melewati
membran biologis targantung pada pH. Nikotin memiliki sifat basa lemah dengan
pKa 8,0, maka dari itu dalam kondisi lingkungan yang asam, nikotin banyak yang
terionisasi dan menjadi sulit untuk menembus membran. Sebaliknya, jika kondisi
lingkungan basa (pH 6,5 atau lebih), lebih banyak nikotin yang dapat terabsorbsi
dalam paru (Hukkanen et al., 2005). Keasaman dalam droplet partikel (tar) sangat
25
bervariasi dari 6,0 sampai 7,8 tergantung merk dan jenis rokok. Semakin tinggi
pH, semakin banyak nikotin yang diabsorbsi dalam paru (Pankow et al., 2003).
Ketika asap rokok mencapai saluran bronkioli respiratorius dan alveoli paru,
nikotin dalam tar yang berdiameter rata-rata 1 µm dengan cepat diabsorbsi.
Konsentrasinya dalam darah meningkat dengan cepat saat merokok dan mencapai
puncaknya sesaat setelah selesai merokok (Gambar 2.3). Absorbsi yang cepat ini
diduga karena luasnya permukaan bronkioli dan alveoli paru disertai dengan pH
paru yang sedikit basa, yaitu 7,4. Rata-rata 1 mg (0,3-2 mg) nikotin diabsorbsi ke
sistemik selama merokok (Hukkanen et al., 2005).
Setelah setiap satu hisapan, nikotin terabsorbsi dari alveolus menuju kapiler
paru, dan dari sini mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui vena pulmonalis untuk
dipompakan ke seluruh tubuh. Akhirnya, nikotin dapat mencapai otak hanya
dalam waktu 7 detik, lebih cepat dari nikotin IV, dan dengan cepat pula
mengaktivasi neuron-neuron dopaminergik pada brain reward system (O‟Brian,
2006). Kecepatan peningkatan dan efek yang dihasilkannya inilah yang
menyebabkan para perokok dapat mentitrasi kadar nikotin untuk mencapai efek
stimulasi yang diinginkannya (Henningfield dan Keenan, 1993).
Merokok merupakan suatu proses yang kompleks, dan sesuai dengan yang
telah disebutkan di atas, perokok dapat memanipulasi dosis nikotin dan kadar
nikotin di otak dalam setiap hisapan. Intake nikotin selama merokok tergantung
pada volume hisapan, kedalaman inhalasi, tingkat dilusi dalam udara ruangan,
frekuensi dan intensitas hisapan (Jarvis et al., 2001). Jika perokok yang telah
terbiasa mengkonsumsi rokok dengan kadar nikotin tinggi beralih ke rokok
26
dengan kadar nikotin rendah atau pun mengurangi jumlah rokok yang dihisap per
harinya maka ia akan cenderung untuk mengkompensasinya dengan cara merubah
pola hisap agar tercapai kadar nikotin yang tetap tinggi seperti sebelumnya
Konsentrasi nikotin dalam
darahh (ng/ml)
(Hukkanen et al., 2005).
0
30
60
90
120
Waktu (Menit)
Gambar 2.3. Kadar Nikotin dalam Darah Saat Merokok dan Setelahnya
(Hukkanen et al., 2005). Kadar nikotin mencapai puncaknya ± 10 menit setelah
merokok dan mulai menurun setelahnya.
2.9. Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh
Dalam darah dengan pH 7,4, sekitar 69% nikotin terionisasi dan 31% tidak
terionisasi dan hanya 5% nikotin yang terikat pada plasma protein, sedangkan
95% berada dalam bentuk nikotin bebas dalam darah. Nikotin terdistribusi secara
luas dalam jaringan tubuh dengan volume distribusi rata-rata 2,6 liter/kg berat
badan (Hukkanen et al., 2005). Ini artinya nikotin memiliki sifat hidrofobik dan
cenderung untuk terikat dengan jaringan dengan kandungan lipid yang tinggi,
disamping itu pada jaringan-jaringan tersebut, reseptor nikotin memang
ditemukan paling banyak dibandingkan pada jaringan lain.
27
Selama berada dalam sirkulasi sistemik, nikotin memililki afinitas yang tinggi
pada beberapa organ tertentu, yaitu otak, hati, ginjal kelenjar adrenal dan paru.
Afinitas nikotin pada jaringan otak sangatlah tinggi, afinitas ini semakin tinggi
sebanding dengan peningkatan reseptornya pada perokok (Perry et al., 1999).
Afinitas yang tinggi ini disebabkan ikatannya yang spesifik pada reseptor
asetilkolin nikotinik dalam sistem saraf pusat. Bahkan pernah ada laporan kasus
bunuh diri menggunakan nikotin patches, kadar nikotin dalam otak mencapai 2
kali kadarnya dalam darah perifer (Kemp et al., 1997). Ditambah pula dengan
kenyataan bahwa otak merupakan organ vital dengan vaskularisasi yang tinggi,
maka distribusi nikotin dalam otak terjadi hampir secara instan setelah ia
memasuki aliran darah sistemik. Di samping otak, nikotin juga menunjukkan
afinitas yang tinggi pada kelenjar adrenal dan merangsang kelenjar ini untuk
mensekresikan epinefrin ke dalam sirkulasi darah. Hal ini yang mengakibatkan
perokok menunjukkan peningkatan tekanan darah.
Selain pada organ-organ di atas, akumulasi nikotin yang bermakna ditemukan
juga pada cairan lambung, saliva, air susu ibu, amnion dan bahkan serum fetus
yang dikandung oleh ibu perokok (Dempsey dan Benowitz, 2001).
2.10. Konsentrasi Nikotin dalam Darah selama Merokok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benowitz pada tahun 1990,
kadar nikotin dalam darah perokok pada saat siang hari umumnya berkisar antara
10-50 ng/ml. Nilai ini berfluktuasi sekitar 10-37 ng/ml sepanjang hari dengan
puncaknya mencapai 19-50 ng/ml (Schneider et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).
28
Kadar nikotin tersebut dalam darah vena dapat meningkat sejauh 5 sampai 30
ng/ml setelah menghisap sebatang rokok, dan tentu saja hal ini tergantung pola
merokok seseorang. Suatu studi ilmiah yang dilakukan akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa rata-rata peningkatan nikotin dalam darah vena ini sebesar
10,9 ng/ml. Dengan catatan, nilai itu didapatkan dari para perokok yang tidak
melakukan puasa pada hari pengukuran (Petterson et al., 2003).
Seperti proses farmakokinetik obat pada umumnya, nikotin juga memiliki
waktu paruh dalam darah. Waktu paruh nikotin di dalam darah sirkulasi rata-rata
sekitar 2 jam. Angka ini didasarkan atas pengukuran konsentrasinya dalam darah.
Jika pengukuran konsentrasi nikotin dilakukan pada urin, waktu paruh akan
memanjang sampai 11 jam, dan konsentrasi yang dihasilkannya juga jauh lebih
kecil. Hal ini disebabkan oleh pelepasan nikotin yang lambat oleh jaringan tubuh
dan metabolisme yang dialaminya. Jadi waktu paruh yang pendek pada awalnya
bukan disebabkan oleh proses metabolisme yang dialaminya tetapi lebih karena
proses distribusinya, dan konsentrasi yang rendah dalam urin merefleksikan
bahwa hanya sedikit kadar nikotin yang dieksresikan dalam bentuk tidak berubah.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, secara logis dapat diprediksikan adanya
akumulasi nikotin selama lebih dari 6-8 jam dalam tubuh (3-4 kali waktu paruh)
pada perokok reguler dan persistensi kadar ini yang signifikan selama waktu yang
sama setelah berhenti merokok. Kadar nikotin mengalami fluktuasi antara puncak
dan lembah (peak and trough) mengikuti aktivitas merokok sepanjang hari, tetapi
mengingat waktu paruh akumulasinya yang panjang, nilai lembah (trough)
meningkat selama waktu berlalu dan akhirnya konsentrasi puncak (peak) menjadi
29
tidak penting lagi. Jadi perokok tidak lagi terpapar dengan kadar nikotin secara
intermiten melainkan terpapar dengan kadar nikotin yang persisten tinggi selama
24 jam penuh setiap harinya (Hukkanen et al., 2005). Fenomena ini lebih jelasya
Nikotin
Cotinine
Konsentrasi dalam darah (ng/ml)
digambarkan dalam gambar 2.4.
Waktu
Gambar 2.4. Konsentrasi Sirkadian Nikotin dan Cotinine dalam Darah (Hukkanen
et al., 2005). Konsentrasi cotinine dalam darah meningkat mengikuti gelombang
peningkatan nikotin yang menandakan adanya proses metabolisme nikotin dalam
tubuh.
30
Cotinine, metabolit nikotin, memiliki konsentrasi yang jauh lebih tinggi
daripada konsentrasi nikotin dalam darah, yaitu berkisar antara 250-300 ng/ml
pada para perokok. Pada beberapa perokok konsentrasi ini pernah sampai
mencapai kadar 900 ng/ml. Akan tetapi, angka tersebut akan mengalami
penurunan yang linier jika seseorang berhenti merokok. Selain itu, cotinine
memiliki waktu paruh yang lebih lama dari nikotin. Akibatnya konsentrasinya
hampir tetap sepanjang hari jika dibandingkan dengan kadar nikotin. Oleh karena
sifat-sifat farmakokinetiknya yang demikian, konsentrasi nikotin sering dipakai
sebagai biomarker intake nikotin sehari-harinya, baik pada para perokok aktif
maupun pasif (Benowitz, 1996).
2.11. Metabolisme Nikotin
Kemampuan tubuh manusia untuk memetabolisme dan membersihkan obat
dari dalam tubuh adalah suatu proses alami yang melibatkan jalur-jalur
metabolisme dan sistem transpor yang sama untuk metabolisme nutrisi pada
umumnya. Setiap hari, manusia mangalami kontak dengan sejumlah senyawa
kimia asing atau xenobiotika melalui kontaminan lingkungan dan zat-zat dalam
makanan. Tubuh kita telah mengembangkan suatu cara untuk mengeliminasi
bahan-bahan xenobiotika tersebut secara cepat. Salah satu sumber xenobiotika
paling umum dalam diet kita adalah dari tanaman. Tanaman memiliki berbagai
macam zat xenobiotika yang terkait dengan produksi pigmen dan toksin
(phytoallexins) untuk melindungi diri dari predator. Di dunia modern ini, sebagian
besar paparan xenobiotika pada manusia berasal dari polusi lingkungan, zat aditif
pada makanan, produk kosmetik, bahan kimia dalam pertanian, makanan yang
31
diproses, dan obat-obatan. Berbagai macam bahan-bahan kimia tersebut pada
dasarnya bersifat lipofilik, sehingga sangat sulit untuk dieliminasi dari tubuh jika
tidak ada sistem metabolisme yang sesuai. Jika eliminasi tidak dilakukan, maka
zat kimia bersangkutan akan terakumulasi dalam tubuh dan memunculkan gejala
serta tanda toksisitas (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Nikotin termasuk xenobiotika. Sebagian besar atau hampir seluruh nikotin
yang terabsorbsi melalui lapisan mukosa mulut, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan, dimetabolisme di dalam hati. Metabolisme dan pembersihannya ini
banyak melibatkan enzim-enzim dalam sistem metabolisme xenobiotika atau
disebut juga Xenobiotic Metabolizing Enzyme (XME), diantaranya adalah enzim
sitokrom P450, Flavin-Containing Monooxygenase 3 (FMO3), Aldehid oksidase,
amin N-metiltransferase, dan UDP-Glukoronosiltransferase (UGT). Di samping
hati, ginjal juga berperan saat proses eksresinya dalam urin. Proses
metabolismenya secara lebih mendalam akan dibahas dalam uraian di bawah ini.
Tetapi sebelum melangkah lebih jauh, alangkah baiknya jika definisi nikotin
sebagai xenobiotika dan gambaran mengenai apa itu sitokrom P450 yang
merupakan fokus penelitian dibahas terlebih dahulu.
2.11.1. Enzim-Enzim dalam Sistem Metabolisme Xenobiotika
Sesuai uraian di atas, xenobiotika merupakan zat yang asing bagi tubuh
(xenos = asing). Bahan-bahan utama yang termasuk xenobiotika dalam
hubungannya dengan medis bisa berupa obat-obatan, bahan-bahan kimia
karsinogen, dan berbagai macam senyawa yang masuk ke dalam tubuh secara
insidental atau tidak disadari, misalnya polychlorinated biphenyls (PCB) dan
32
insektisida. Lebih dari 200.000 bahan kimia pencemar lingkungan merupakan
substrat utama bagi XME (Xenobiotic Metabolizing Enzyme) dalam hati. Tetapi,
kadang kala xenobiotika bisa saja dieksresikan dalam bentuk tidak berubah
(Kennelly dan Rodwell, 2006).
Sistem metabolisme xenobiotika umumnya dibagi menjadi dua fase. Pada
fase 1, reaksi utama yang terjadi berupa hidroksilasi. Reaksi ini melibatkan enzim
monooksigenase atau lebih sering disebut sitokrom P450. Enzim sitokrom P450
banyak terdapat pada permukaan sitosolik membran retikulum endoplasmik
hepatosit (Gambar 2.5).
Hidroksilasi dapat menginaktivasi obat dalam tubuh, tetapi untuk beberapa
macam obat atau zat kimia tertentu, reaksi hidroksilasi malah mengaktivasinya. Di
samping perannya dalam hidroksilasi, enzim tersebut juga mengkatalisis sejumlah
besar reaksi lain, yaitu deaminasi, dehalogenasi, desulfurasi, epoksidasi,
peroxigenasi, dan reduksi. Reaksi yang melibatkan hidrolisis (dikatalisis oleh
esterase) dan beberapa reaksi lain yang dikatalisis oleh enzim non-P450 juga
terjadi di fase 1.
Pada fase 2, senyawa-senyawa terhidroksilasi atau yang telah mengalami
metabolisme fase 1 diubah oleh enzim spesifik menjadi metabolit yang lebih polar
melalui konjugasi dengan asam glukoronat, sulfat, asetat, glutathione, atau
beberapa asam amino tertentu, atau dengan metilasi.
Tujuan utama dari keseluruhan proses yang melibatkan XME adalah
meningkatkan kelarutan zat terkait dalam air atau meningkatkan polaritasnya dan
memudahkan eksresinya keluar tubuh. Sebagai contoh, senyawa-senyawa
33
hidrofobik akan tertahan dan terakumulasi dalam jaringan adiposa dalam waktu
yang lama jika mereka tidak ditingkatkan polaritasnya oleh XME.
Gambar 2.5. Lokasi Enzim Cyp dalam Sel (Gonzalez dan Tukey, 2006).
Kompleks enzim sitokrom P450 ada pada permukaan sitosol retikulum
endoplasmik. Kompleks enzim ini mengkatalis substrat larut lemak yang ada
dalam lapisan membran lipid ganda retikulum endoplasmik. Enzim sitokrom P450
memiliki struktur cincin heme pada bagian aktifnya yang berfungsi untuk
mengikat molekul oksigen.
Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, reaksi metabolisme fase 1 justru
mengubah senyawa xenobiotika dari inaktif menjadi aktif secara biologis.
Senyawa xenobiotika awal yang demikian disebut sebagai prodrug atau
prokarsinogen.
Istilah detoksifikasi seringkali digunakan dalam berbagai reaksi yang
melibatkan XME seperti yang telah disebutkan di atas. Meskipun demikian
pemberian istilah ini sebenarnya kurang tepat, sebab kadang kala, sesuai
34
pembahasan di atas, reaksi metabolisme yang terjadi malah meningkatkan
aktivitas biologis dan toksisitas suatu zat (Kennelly dan Rodwell, 2006).
2.11.2. Enzim Sitokrom P450 (Cyp)
Cyp berfungsi sebagai enzim utama dalam metabolisme xenobiotika fase 1.
Kini, telah diperkirakan ada sekitar 60 gen Cyp pada genom manusia. Enzim
tersebut banyak terdapat pada membran retikulum endoplasmik halus (Smooth
Reticulum Endoplasmic) yang merupakan bagian dari fraksi mikrosom hepatosit.
Cyp juga bisa ditemukan dalam enterosit dan berbagai macam jaringan lain,
walaupun konsentrasinya
jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan
konsentrasinya dalam hepatosit. Dalam mikrosom hepatosit, konsentrasi Cyp
mencapai 20% dari total protein. Reaksi yang dikatalisis oleh enzim ini adalah
sebagai berikut :
RH + O2 + NADPH + H+
R – OH + H2O + NADP
RH dalam reaksi kimia di atas mewakili berbagai macam xenobiotika, termasuk
obat, karsinogen, pestisida, minyak, dan polutan. Senyawa-senyawa endogen,
seperti steroid tertentu, asam lemak eikosanoid, dan retinoid juga bisa merupakan
substrat Cyp. Substrat-substrat tersebut pada umunya bersifat lipofilik yang
akhirnya diubah menjadi hidrofilik melalui hidroksilasi (Kennelly dan Rodwell,
2006).
Cyp adalah biokatalisator paling “cakap” yang pernah diketahui. Sebenarnya
reaksi hidroksilasi oleh Cyp dalam hati merupakan mekanisme yang kompleks,
maka itu ia lebih cocok disebut dengan sistem Cyp, karena untuk dapat
melakukan fungsi yang seutuhnya ia tergantung dari kehadiran enzim lain dalam
35
mikrosom sel-sel hepar, yaitu NADPH-sitokrom P450 reduktase dengan rincian
reaksi seperti yang tampak pada gambar 2.6 di bawah (Mckee dan Mckee, 2003;
Kennelly dan Rodwell, 2006). Kerja sama antar kedua macam enzim inilah yang
membangkitkan sistem Cyp dalam proses hidroksilasi substrat xenobiotik.Pada
gambar tersebut, reaksi hidroksilasi yang terjadi khas pada sel korteks adrenal
untuk pembentukan hormon steroid, sedangkan pada mikrosom hepar, tidak
memerlukan protein besi sulfur, Fe2S2.
Cyp memiliki banyak famili yang berhasil ditemukan hingga kini, yaitu
berjumlah sekitar 150 isoform. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang penting
untuk menamainya sesuai dengan sistem nomenklatur yang ada. Dalam sistem
nomenklatur, enzim sitokrom P450 disingkat dengan Cyp, yang diikuti dengan
angka yang menunjukkan famili, misal Cyp1, Cyp2 atau Cyp3. Cyp dimasukkan
dalam satu famili jika sedikitnya 40% sekuens asam aminonya sama. Kemudian,
huruf kapital yang tertera setelah angka menunjukkan subfamili. Jika dua enzim
Cyp memiliki tingkat kesamaan sekuens asam amino mencapai 55% atau lebih,
mereka berada dalam satu subfamili. Angka yang tertera setelah huruf subfamili
menunjukkan nomor anggota, sedangkan huruf terakhir setelah bintang mengacu
pada nomor alel atau varian (Gambar 2.7) (Kennelly dan Rodwell, 2006). Dari
contoh di bawah ini Cyp2a6 berarti enzim Cyp tersebut termasuk dalam famili 2,
subfamili a dan merupakan anggota ke 6 dari subfamili tersebut.
2.11.3. Subfamili CYP2A
Gen CYP2A bersama dengan gen CYP2B, dan gen CYP2F terletak pada
lengan pendek kromosom 19, tepatnya pada 19p13.2, yaitu pada daerah seluas
36
350 kilobasepairs. Tiga subfamili telah diperkirakan berasal dari satu ancestral
gene. Mereka diperkirakan berdiferensiasi selama evolusi sehingga akhirnya
bersifat spesifik substrat. Evolusi gen ini dimulai sekitar 400 juta tahun lalu dan
berkembang menjadi lebih dari 50 gen homolog (gambar 2.8) (Gullstén, 2000).
Gambar 2.6. Reaksi Hidroksilasi oleh sistem Cyp dalam Mikrosom (Botham dan
Mayes, 2006). Reaksi hidroksilasi substrat dimlau dengan pembentukan ikatan
antara substrat dengan enzim Cyp yang diikuti dengan reaksi hidroksilasi setelah
enzim ini mendapatkan donor sepasang elektron hasil proses oksidasi ion sulfur
dalam Fe2S2.
Nomor Famili
Singkatan dari
sitokrom P450
CYP
2
A
Nomor Anggota
dalam subfamili
6
*4
Nomor alel
atau varian
Nomor Subfamili
Gambar 2.7. Sistem Nomenklatur Sitokrom P450. Sesuai urutan, CYP adalah
singkatan dari sitokrom P450, angka 2 pertama menunjukkan famili, diikuti
dengan huruf yang menandakan subfamili, angka setelah huruf menunjukkan
nomor anggota dalam subfamili serta angka setelah bintang mengacu pada alel
atau varian dari gen yang bersangkutan.
37
Gambar 2.8. Perkembangan Gen CYP Selama Evolusi (Gullstén, 2000). Gen CYP
mengalami proses duplikasi dan divergensi selama sejarah evolusi menghasilkan
banyak famili. Proses duplikasi dan divergensi yang diiringi fenomena seleksi
alam menjadi kunci utama evolusi gen ini. Divergensi yang terjadi salah satunya
akibat proses mutasi pada duplikat-duplikat gen yang bersangkutan.
. Subfamili gen CYP2A ini terdiri dari tiga gen dan dua pseudogen, yaitu
CYP2A6, CYP2A7, CYP2A13, CYP2A7P(T) dan CYP2A7P(C). Gen CYP2A7
terletak setelah gen CYP2A6. Kedua gen ini memiliki kesamaan sekuens
nukleotida mencapai 96%, sedangkan kesamaan sekuens asam amino dari protein
yang dikodenya mencapai 94%. Gen ini terdiri dari 9 ekson dan 8 intron dengan
38
ukuran sebesar 6 kilobasepairs. Sekuens pseudogen, CYP2A7P(T) dan
CYP2A7P(C), terputus pada ekson 5, dan oleh sebab itu tidak mengkode protein.
Gen CYP2A6 mengkode protein yang aktif dalam metabolisme, sedangkan gen
CYP2A7 menghasilkan protein inaktif. Struktur gen-gen yang telah disebutkan di
atas dideskripsikan pada gambar 2.9 dibawah ini
Sentromer
Gambar 2.9. Struktur Gen-Gen dalam Subfamili CYP2. Struktur famili gen CYP
ini terletak pada kromosom 19. Tanda panah berwarna biru menandakan segmen
DNA yang mengkode enzim Cyp, arah panah menunjukkan orientasi gen dalam
rantai DNA.
2.11.4. Peran Enzim Sitokrom P450 2A6 dalam Metabolisme Nikotin dan
Cotinine
Studi in vivo dan in vitro telah menunjukkan bahwa pada manusia, 70-90%
nikotin dioksidasi oleh sitokrom P450 2a6 (Cyp2a6) menjadi nikotin Δ1‟(5‟)iminium ion, suatu metabolit antara yang kembali dioksidasi oleh enzim aldehid
oksidase menjadi cotinine dalam sitoplasma sel hepar. Enzim yang sama juga
mengkatalisasi perubahan cotinine menjadi, 5’-hydroxycotinine dan norcotinine
(Murphy et al., 1999; Oscarson, 2001).
Kecepatan oksidasi nikotin menjadi cotinine dan cotinine menjadi trans-3’hydroxycotinine, menunjukkan korelasi yang tinggi dengan aktivitas 7-
Telomere
39
hidroksilasi kumarin, karena kedua substrat ini memiliki enzim yang sama yaitu
sitokrom P450 2a6 (Nakajima et al., 1996). Oleh sebab itu, selain menggunakan
nikotin, aktivitas enzim ini sering diukur dengan menggunakan kumarin sebagai
subsrat.
Gambar 2.10. Metablisme Nikotin Oleh Enzim Cyp2a6 (Oscarson, 2001). Tujuh
puluh sampai sembilan puluh persen nikotin dimetabolisme oleh enzim Cyp2a6
mementuk cotinine dengan nicotine Δ iminium ion sebagai metabolit antaranya.
Signifikansi peran Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin secara in vivo
didukung oleh penelitian yang dilakukan Sellers et al pada tahun 2000 dan 2003
dengan menggunakan inhibitor Cyp2a6 yaitu methoxsalen. Methoxsalen
mengurangi first pass metabolism nikotin yang terbukti dengan berkurangnya
kadar trans-3’-hydroxycotinine dalam urin perokok
40
Walaupun telah banyak penelitian yang menyebutkan arti pentingnya enzim
Cyp2a6 dalam metabolisme nikotin seperti yang telah disebutkan di atas,
penelitian-penlitian itu juga mengilustrasikan bahwa ada enzim lain yang berperan
dalam pembentukan cotinine dan trans-3’-hydroxycotinine. Enzim yang dimaksud
di sini adalah enzim Cyp2b6, Cyp2e1 dan Cyp2a13.
Cyp2b6 adalah enzim aktif dalam osksidasi nikotin kedua setelah Cyp2a6
pada studi in vitro menggunakan jaringan sel hepar (Yamasaki et al., 1999).
Sedangkan Cyp2e1 dan Cyp2a13 yang banyak terdapat dalam mukosa saluran
napas terutama mukosa nasal menunjukkan aktivitas terhadap nikotin jika
konsentrasi nikotin tinggi (Yamasaki et al., 1999; Ting et al., 2000).
2.11.5. Enzim-Enzim Lain dalam Metabolisme Nikotin dan Cotinine
Terdapat beberapa enzim yang juga ikut berperan dalam metabolisme nikotin
walaupun jumlah reaksi yang dikatalisasi olehnya kadang kala jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan Cyp pada fase 1. Tetapi pada fase 2 kehadiran beberapa
enzim-enzim ini penting artinya, sebab reaksi yang terjadi pada fase 2 merupakan
kelanjutan dari reaksi pada fase 1. Pada fase 2 ini kelarutan metabolit nikotin lebih
ditingkatkn lagi sehingga mudah dieksresikan. Enzim-enzim tersebut antara lain :
1. Aldehid Oksidase. Aldehid oksidase adalah enzim sitoplasma yang
mengkatalisasi konvesi ion nikotin-Δ1‟(5‟)-iminium menjadi cotinine
(Hukkanen et al., 2005).
2. Flavin-Containing Monooxygenase 3 (Fmo3). Fmo3 merupakan enzim
utama yang bertanggung jawab terhadap pembentukan nikotin N-oksid
(Hukkanen et al., 2005).
41
3. Amin N-metiltransferase. N-metilasi nikotin dikatalisis oleh enzim Amine
N-metiltransferase (47). Ekspresi enzim ini tertinggi pada organ tiroid,
adrenal, dan paru (Thompson et al., 1999).
4. UDP-glikoronosiltransferase. Enzim ini sangat penting perannya dalam
fase 2 metabolisme xenobiotika. Nikotin dan cotinine mengalami reaksi
metabolisme fase 2 melalui proses N-glukoronidasi, sedangkan sebagian
besar 3’-hydroxycotinine melalui proses O-glukoronidasi (Hukkanen et al.,
2005).
2.11.6. Kuantifikasi Metabolit Primer dari Nikotin dan Cotinine
Hingga saat ini aspek kuantitatif pola metabolisme nikotin telah banyak
dipelajari pada manusia (Gambar 2.8). Sekitar 90% dosis sistemik nikotin
akhirnya dapat ditemukan dalam bentuk nikotin dan metabolitnya dalam urin
(Benowitz et al., 1993). Berdasarkan studi dengan infus nikotin dan cotinine
terlabel, dapat ditentukan bahwa 70-80% nikotin dikonversikan menjadi cotinine
(50).
Sekitar 4-7% nikotin dieksresikan sebagai nikotin N-oksid dan 3-5%
sebagai nikotin glukoronid (Benowitz et al., 1993).
Hanya fraksi kecil cotinine dieksresikan dalam bentuk yang tetap dalam urin
(10-15% nikotin dan metabolit dalam urin). Sisanya dikonversi menjadi metabolit,
terutama trans-3’-hydroxycotinine (33-40%), cotinine glukoronid (12-17%), dan
trans-3’-hydroxycotinine glukoronid (7-9%) (Hukkanen et al., 2005). Aspek
kuantifikasi ini dapat lebih jelasnya dilihat pada gambar 2.12.
42
Nicotine
Glucoronide
3-Pyridilacetic Acid
Nicotine N Oxide
Nicotine
Isomethonium Ion
NICOTINE
Cotinine
Glucoronide
Cotinine
methonium Ion
Nicotine-Δ1(5) .
Iminium Ion
COTININE
Cotinine N Oxide
N‟-Hydroxymethylnorcotinine
4-(3-Pyridil)-butanoic
Acid
2‟-Hydroxycotinine
5‟-Hydroxycotinine
Nornicotine
Trans 3‟Hydroxycotinine
Norcotinine
4-(methylamino)-1-(3pyridil)-1-butanone
4-(3-Pyridil)-3butanoic Acid
4-Hydroxy-4-(3pyridyl)-butanoic Acid
4-Oxo-4-(3pyridyl)-butanamide
4-Oxo-4-(3-pyridyl)-Nmethylbutanamide
Trans3‟- Hydroxycotinine
Glucoronide
4-Oxo-4-(3-pyridyl)butanoic Acid
5-(3-pyridyl)Tetrahydrofuran-2-one
Gambar 2.11. Jalur Metabolisme Nikotin (Hukkanen et al., 2005). Jalur Umum
metabolisme nikotin dalam tubuh menghasilkan berbagai macam metabolit
derivatifnya. Beberapa di antaranya memiliki sifat karsinogenik seperti 4(methylamino)-1-(3-pyridil)-1-butanone sebab ia dapat berikatan dengan bsa
nitrogen dalam DNA.
43
Gambar 2.12. Metabolit Primer Nikotin dan Kuantifikasinya (Hukkanen et alv,
2005). Dalam bagan di atas tampak bahwa mayoritas nikotin diubah menjadi
trans-3’-hydroxycotinine untuk kemudian dieksresikan dalam tubuh dalam bentuk
yang sama atau dikonjugasikan dengan glukoronid.
2.11.7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin
Ada beberapa faktor yang menyebabkan variasi interindividual pada
metabolisme nikotin yang secara umum dapat dibagi menjadi tiga macam selain
faktor genetik (akan dibahas dalam sub bab tersendiri) :
1. Pengaruh kondisi fisiologis tertentu
a. Diet dan Mentol
Hepar sebagai organ utama dalam metabolisme nikotin membawa implikasi
bahwa metabolisme nikotin ini sangat bergantung kepada aliran darah ke
dalam organ tersebut. Jadi, faktor fisiologis, seperti makan, postur, aktivitas
ataupun obat-obatan yang mengganggu aliran darah menuju hepar akan
44
mempengaruhi metabolisme nikotin. Gries et al (1996), menemukan bahwa
makanan yang dikonsumsi bersamaan dengan infus nikotin yang
dipertahankan
tetap
(steady
state)
akan
menghasilkan
penurunan
konsentrasinya yang konsisten dan mencapai maksimal 30-60 menit setelah
makan. Setelah makan aliran darah hepar meningkat 30% dan bersihan
nikotin meningkat sekitar 40% (Hukkanen et al., 2005).
Menthol, zat yang banyak digunakan sebagai perasa dalam makanan,
mouthwash, pasta gigi dan bahkan rokok, telah dilaporkan dapat
menghambat kerja enzim Cyp2a6 (MacDougall et al., 2003). Laporan
mengenai hal ini telah dikonfirmasi oleh Benowitz et al (2004) lalu melalui
penelitiannya yang membandingkan aktivitas Cyp2a6 pada perokok sigaret
bermentol dengan non-mentol. Ia menunjukkan bahwa metabolisme nikotin
menjadi cotinine dan glukoronidasi nikotin terhambat (Benowitz et al.,
2004).
b. Umur
Metabolisme dan bersihan nikotin menurun seiring makin meningkatnya
umur. Bersihan total menurun sebesar 23% dan bersihan oleh ginjal
menurun sebanyak 49% pada orang tua (>65 tahun) jika dibandingkan
dengan umur dewasa muda (Molander et al., 2001). Penurunan ini lebih
disebabkan karena penurunan aliran darah ke hepar dibandingkan dengan
penurunan aktivitas enzimnya sendiri (Messina et al., 1997).
45
c. Kronofarmakokinetik Nikotin
Selama tidur, aliran darah hepar akan menurun, demikian juga bersihan
nikotin. Bersihan nikotin bervariasi sebesar 17% (dari puncak ke ambang)
dengan aktivitas minimum antara jam 6 sore dan jam 3 pagi, Jadi aktivitas
bersihan nikotin memiliki irama sirkadian (Gries et al., 1996).
d. Perbedaan Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Benowitz dan Jacob (1994) menunjukkan
bahwa bersihan nikotin pada pria cenderung lebih tinggi dibandingan pada
wanita walaupun hasilnya tidak signifikan. Akan tetapi, penelitian yang
paling akhir justru menyatakan hal yang sebaliknya yaitu bersihan nikotin
pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria, terutama pada wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral (Robertson et al., 2000; Hukkanen et al.,
2005).
2. Konsumsi obat-obatan
a. Penginduksi (inducers)
Beberapa macam obat dapat menginduksi aktivitas enzim Cyp2a6 dalam
kultur hepatosit meskipun terdapat variasi yang luas antar individu. Obat
tersebut di antaranya adalah rifampicin, dexamethasone, dan Phenobarbital
(Robertson et al., 2000; Rae et al., 2001; Edwards et al., 2003; Madan et al.,
2003).
46
b. Inhibitor
Beberapa obat seperti methoxsalen (8-methoxypsoralen), tranylcypromine,
tryptamine, coumarin dan neomenthyl thiol dapat menghambat aktivitas
Cyp2a6 (Wenjiang et al., 2001; Hukkanen et al., 2005).
3. Kondisi patologis
Penyakit-penyakit tertentu telah dilaporkan memiliki pengaruh terhadap
aktivitas Cyp2a6. Penyakit tersebut antara lain hepatitis A, infeksi parasit pada
hepar, dan alcoholic liver disease (Hukkanen et al., 2005).
Penyakit tertentu
Faktor Genetik
Metabolisme nikotin
Penggunaan obat-obatan
tertentu
Kondisi fisiologis
tertentu, misalkan umur,
sex, dan lain lain
Gambar 2.13. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Nikotin. Pada
umunya metabolisme niotin sangat dipengaruhi oleh empat faktor seperti yang
tertera di atas.
2.11.8. Metabolisme Nikotin Ekstra Hepatik
Hasil penelitian pada binatang membuktikan bahwa sebagian kecil
metabolisme nikotin terjadi dalam organ-organ ekstra hepatik seperti misalnya
paru-paru, ginjal, mukosa hidung dan otak. Demikian juga penelitian yang
dilakukan pada manusia menunjukkan hal yang sama. Di samping liver,
metabolisme nikotin pada manusia terjadi juga dalam sel epitel bronkial, mukosa
hidung, paru, laring esofagus dan bahkan dalam jaringan payudara. Hal tersebut
47
dibuktikan dengan adanya ekspresi gen CYP2A pada organ-organ terkait
walaupun dalam kadar yang rendah (Ting et al., 2000; Hukkanen et al., 2002).
Akan tetapi, protein Cyp2a yang terlibat dalam metabolisme nikotin
kemungkinan besar adalah Cyp2a13, sebab antibodi yang bereaksi terhadap
Cyp2a6 dalam western blot dapat mengalami reaksi silang terhadap Cyp2a13.
Lebih lagi, konsentrasi mRNA CYP2A13 pada mukosa hidung dan paru 5-9 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi mRNA CYP2A6 (Ting et al., 2000).
Di samping CYP2A6 dan CYP2A13, masih banyak gen CYP2 yang
memetabolisme sejumlah kecil nikotin diekspresikan di berbagai organ. Sebagai
contoh protein Cyp2b6 dan Cyp2d6 banyak diekspresikan dalam otak, Cyp2e1
dalam paru, otak dan esofagus (Hukkanen et al., 2005).
Enzim-enzim lain dalam metabolisme nikotin diekspresikan juga dalam
konsentrasi yang lebih rendah dalam organ-organ ekstra hepatik. Aldehid oksidase
pada paru, ginjal, dan kelenjar adrenal; FMO3 juga diekspresikan pada jaringan
otak, terutama dalam substansia nigra; Amin N-metiltransferase pada kelenjar
tiroid, adrenal dan paru, UGT1A9 dan UGT1A4 (mengkode enzim UDPglikoronosiltransferase) diekspresikan juga dalam lambung, jaringan empedu,
ginjal, ileum, esofagus, testis, ovarium dan kelenjar mammae (Hukkanen et al.,
2005).
2.12. Definisi dan Aspek Umum Ketergantungan Fisik Individu terhadap
Obat
Ketergantungan fisik adalah suatu keadaan yang berkembang oleh sebab
adanya toleransi. Proses toleransi terjadi karena adanya pengaturan ulang
48
mekanisme homeostasis sebagai respons penggunaan obat atau zat kimia tertentu
secara berulang (O‟Brian, 2006). Obat-obatan atau zat kimia tertentu dapat
mempengaruhi banyak sistem pada tubuh kita yang pada awalnya ada dalam
keadaan equilibrium. Sistem ini akan menemukan keseimbangan baru dengan
hadirnya efek inhibisi atau stimulasi dari obat. Seseorang yang berada pada status
adaptasi atau tergantung secara fisik memerlukan asupan obat yang kontinyu
untuk mempertahankan fungsi sistem tubuhnya yang normal. Jika asupan obat
dihentikan dengan tiba-tiba, muncullah ketidakseimbangan lagi, dan sistem yang
berkaitan harus mengatur ulang kembali untuk mencapai kondisi equilibrium
tanpa intervensi obat.
Satu-satunya bukti aktual adanya proses toleransi adalah timbulnya
sekelompok gejala-gejala yang dikenal dengan withdrawal syndrome jika asupan
obat dihentikan. Gejala withdrawal sedikitnya berasal dari 2 sumber, yaitu (1)
proses pengeluaran obat penyebab ketergantungan, (2) bangkitan berlebihan dari
sistem saraf pusat (SSP) sebagai bentuk mekanisme readaptasi hilangnya efek
obat. Variabel farmakokinetik mempunyai peran yang sangat penting dalam
menentukan amplitudo dan durasi withdrawal syndrome. Gejala dan tanda
withdrawal syndrome sangat spesifik untuk jenis obat dan cenderung
menunjukkan efek kebalikan dari efek obat sebelum proses toleransi terjadi.
Misalkan, penghentian tiba-tiba asupan agonis opioid yang memiliki efek miosis
dan bradikardia akan menimbulkan gejala withdrawal syndrome berupa midriasis
dan takikardia.
49
Toleransi, ketergantungan fisik, dan withdrawal syndrome adalah fenomena
biologis. Mereka merupakan konsekuensi alami dari penggunaan obat dan dapat
dibuktikan pada hewan coba atau pada manusia setelah penggunaan obat
berulang. Fenomena ini tidak mengimplikasikan bahwa individu yang
bersangkutan terlibat masalah kecanduan atau penyalahgunaan obat (abuse).
Kecanduan dan penyalahgunaan obat, yang dalam bahasa inggris disebut dengan
addiction dan abuse, merupakan sindroma perilaku yang dikarakteristikkan oleh
pola kompulsif pada penggunaan obat dari dosis minimal sampai dosis yang
adiktif. American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan kecanduan
sebagai sekelompok gejala yang mengindikasikan bahwa individu meneruskan
penggunaan obat walaupun telah muncul berbagai masalah yang secara signifikan
terkait penggunaan obat tersebut (O‟Brian, 2006).
2.13. Farmakogenetika
Farmakogenetika adalah studi yang menilai variasi respons terhadap obat oleh
karena pengaruh faktor genetik (Relling dan Giacomini, 2006). Pada aspek yang
lebih luas, farmakogenetika mencakup farmakogenomik yang melibatkan studi
keseleruhan genom untuk menilai determinan multigenik terhadap respons obat.
Respons terhadap obat adalah salah satu bentuk fenotip hasil interaksi faktor
genetik dan lingkungan. Jadi, respons individual terhadap obat tergantung pada
interaksi kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Oleh sebab itu,
variasi respons obat antar individu dapat dijelaskan dengan variasi faktor
lingkungan dan/atau faktor genetik. Sejauh mana proporsi variabilitas respons
obat ditentukan oleh faktor genetik? Studi famili klasik dapat memberikan
50
beberapa informasi penting untuk menjawab pertanyaan itu. Studi pada anak
kembar telah memberikan bukti bahwa variasi metabolisme obat memiliki
kecenderungan yang tinggi untuk diwariskan. Selain itu, perbandingan variabilitas
antara intra-twin vs. inter-pair study juga menunjukkan bahwa sekitar 75-85%
variasi pada farmakokinetik obat dapat diwariskan (Relling dan Giacomini, 2006).
2.14. Polimorfisme pada Gen CYP sebagai Dasar Variasi Farmakokinetik
Nikotin
2.14.1. Konsep Polimorfisme Genetik
Sekuens DNA pada suatu tempat dalam genom antar individu di seluruh
dunia tidaklah tepat sama, tetapi menunjukkan variasi. Perbedaan atau variasi
sekuens dapat muncul tiap 1000 sampai 2500 pasang basa. Perbedaan ini 2,5 kali
lebih tinggi pada tempat-tempat yang tidak mengkode protein (non-protein-coding
region, mencapai 98% genom), yaitu sekitar 1/1000 pasang basa, dibandingkan
dengan tempat yang mengkode protein (protein-coding region) yang hanya
1/2500 pasang basa. Perbedaan ini tampaknya menunjukkan tekanan seleksi alam
yang lebih besar pada tempat-tempat tersebut dalam genom, sehingga frekuensi
mutasinya rendah selama perjalanan evolusi (Nussbaum et al., 2007).
Jika, suatu varian gen sangat sering ditemukan dalam suatu populasi, maka
gen tersebut dikatakan polimorfik. Jadi, polimorfisme didefinisikan sebagai
variasi bentuk dari gen, protein atau kromosom yang menghasilkan dua atau lebih
varian dan masing-masing varian memiliki frekuensi yang cukup tinggi. Frekuensi
yang demikian tinggi tidak hanya disebabkan proses mutasi genetik berulang saja
(Young, 2005). Suatu gen dikatakan polimorfik jika gen tersebut memiliki varian
51
dengan frekuensi paling sedikit 1% dalam populasi, jika lebih kecil dari 1% maka
disebut sebagai varian langka (rare variants). Dengan kriteria ini, penyakit
genetik termasuk sebagai varian langka, tetapi perlu ditekankan di sini bahwa
frekuensi alel tidak menunjukkan korelasi yang jelas dengan efek gen terhadap
kesehatan individu (Nussbaum et al., 2007).
Tabel 2.2. Jenis-jenis Polimorfisme DNA (Nussbaum et al., 2007)
Polimorfisme
SNP (Single Nucleotide
Polymorphism)
In-del (insersi-delesi)
Simple In-del
Polymorphism
STRP (Short Tandem
Repeat Polymorphism)
VNTR (Variable
Number of Tandem
Repeat)
Mekanisme
Polimorfisme
Substitusi satu basa atau
salah satu dari dua basa
yang lainnya pada satu
lokasi
Ada atau tidaknya
segmen pendek dari DNA
~5-25 kopi unit
pengulangan di-,tri, atau
tetra nukoleotida,
membentuk susunan
tandem
Jumlah Alel
2
2
5 atau lebih
5 atau lebih
Ratusan sampai ribuan
kopi unit pengulangan 10100 nukoleotida,
membentuk sususan
tandem
CNP (Copy Number
Polymorphism)
Ada atau tidaknya
2 atau lebih
segmen DNA sepanjang
200 bp-1,5 Mb, walaupun
duplikasi tandem
sebanyak 2, 3, 4, atau
lebih dapat terjadi
Terdapat banyak jenis-jenis polimorfisme. Beberapa polimorfisme adalah
akibat delesi, duplikasi, triplikasi dan seterusnya dari beberapa ratus hingga juta
pasang basa. Polimorfisme ini tidak selalu terlibat dalam munculnya penyakit
52
genetik, meskipun sejumlah di antaranya dapat menyebabkan penyakit genetik
yang serius. Polimorfisme juga dapat berupa perbedaan hanya dalam satu atau
beberapa pasang basa dalam gen, di antara gen, atau di dalam intron. Variasi
bentuk ini dapat tidak memiliki konsekuensi apapun dan hanya terdeteksi saat
dilakukan analisis DNA. Sementara beberapa di antaranya terutama jika
perubahan terletak dalam protein-coding regions, regulatory regions (promoter,
enhancer, silencer, dan lain-lain), dapat menyebabkan perubahan fenotip melalui
perubahan protein yang dikodenya dengan cara perubahan strukturnya atau
jumlahnya (Nussbaum et al., 2007).
Polimorfisme pada gen telah berkembang selama proses evolusi melalui
berbagai macam mekanisme, seperti point mutation (missesnse, nonsense atau
frame-shift), konversi gen, delesi, dan insersi. Banyak SNP juga telah ditemukan
tersebar dalam genom (Gullstén, 2000).
2.14.2. Polimorfisme Gen CYP2A6
Adanya polimorfisme akan tampak pertama kali pada tingkat fenotip. Variasi
dalam aktivitas enzim atau dalam laju eliminasi suatu bahan yang menjadi
substrat enzim terkait telah dijadikan sebagai dasar pengukuran adanya variasi
fenotip. Hal ini banyak dilakukan pada enzim-enzim mikrosom hati baik secara in
vivo maupun in vitro pada hewan. Pada manusia, polimorfisme tertentu dari
XMEs (Xenobiotic Metabolizing Enzymes) telah banyak ditemukan dengan
melihat adanya kegagalan metabolisme obat-obat tertentu atau bahkan gagalnya
suatu terapi (Gullstén, 2000).
53
Contoh polimorfisme pada XMEs yaitu polimorfisme pada gen CYP1A1 yang
menyebabkannya memiliki 4 varian, yaitu CYP1A1*2A, CYP1A1*2B, CYP1A1*3,
dan CYP1A1*4. Masing-masing varian yang diberi nomor setelah tanda bintang
sesuai dengan urutan ditemukannya memiliki aktivitas enzim yang berbeda-beda
dan bahkan beberapa varian tertentu di antaranya meningkatkan risiko kanker
paru terutama jika bersamaan dengan efek mutasi sinergistik dari gen p53, Ki-ras
atau GSTM1 (Gullstén, 2000). Polimorfisme juga terjadi pada gen CYP2A6 yang
menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini. Polimorfisme pada gen tersebut
sekarang menghasilkan sekitar 37 varian atau alael dan terus bertambah melalui
penelitian-penelitian yang dilakukan terhadapnya. Variasi yang terjadi tidak hanya
pada tingkat genotip tetapi juga pada tingkat fenotip berupa bertambah atau
berkurangnya dan bahkan pada beberapa varian, hilangnya aktivitas enzim sama
sekali (null mutation) yaitu pada alel CYP2A6*4. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap hilangnya atau duplikasi gen adalah unequal crossing-over
dimana saat crossing-over, gen CYP2A6 dari kromatid yang homolog berpasangan
tidak sejajar dengan CYP2A7 yang berada di samping gen CYP2A6 (flanking
region). Unequal croosing-over seperti ini bisa saja terjadi mengingat gen
CYP2A7 memiliki sekuens yang hampir persis sama dengan CYP2A6 dengan
tingkat kemiripan sebesar 96% jika dilihat dari sekuens nukleotida dalam
genomnya (Gullstén, 2000).
Pada tabel di bawah ini, tabel 2.3 disajikan 28 alel gen CYP2A6 beserta
dengan variasi sekuens nukleotida, dan efeknya in vivo maupun in vitro. Sebagian
besar varian dari normal atau wild type menghasilkan fenotip enzim dengan
54
aktivitas yang menurun, meskipun ada juga yang menghasilkan peningkatan
aktivitas enzim yang dikodenya akibat duplikasi gen CYP2A6. Hampir semua
varian merupakan SNP (Single Nucleotide Polymorphism). Adanya polimorfisme
ini mengakibatkan missense mutation dan gangguan terhadap efektifitas
regulatory element seperti promoter (TATA box) atau proximal promoter elements
(CCAAT box). Satu varian alel, yaitu CYP2A6*4 merupakan akibat delesi
keseluruhan gen CYP2A6 yang disebabkan oleh adanya unequal crossing over
saat pembelahan meiosis pembentukan sel gamet dengan salah satu sel gamet
mendapatkan 2 gen CYP2A6 (duplikasi) dan sel gamet yang lain mengalami delesi
seperti yang telah dijelaskan di atas.
2.15. Farmakodinamika Nikotin
2.15.1. Efek Nikotin pada Sistem Kardiovaskular, Respirasi, Endokrin dan
Metabolisme Tubuh Secara Umum
Efek Nikotin pada sistem kardiovaskular diperantarai oleh stimulasi simpatik
akibat peningkatan katekolamin dalam sirkulasi. Nikotin menyebabkan stimulasi
simpatis ini melalui mekanisme perifer dan sentral. Mekanisme aktivasi melalui
sistem saraf pusat (SSP), di antaranya adalah aktivasi kemoreseptor perifer,
terutama kemoreseptor karotid, dan efek langsung pada batang otak serta sumsum
tulang belakang..
Tabel 2.3. Beberapa Macam Alel Gen CYP2A6 beserta Fenotipnya In Vivo dan In Vitro (Hukkanen et al., 2005)
55
56
Sedangkan yang termasuk mekanisme perifer di antaranya adalah pelepasan
katekolamin dari kelenjar adrenal dan ujung saraf pada dinding vaskular.
Keseluruhan mekanisme nikotin ini meningkatkan denyut jantung dan tekanan
darah.
Nikotin juga mempengaruhi aliran darah secara diferensial ke organ-organ
yang berbeda, menyebabkan vasokonstriksi pada beberapa jaringan pembuluh
darah (misal kulit) dan vasodilatasi pada jaringan pembuluh darah di tempat lain
(misal jaringan otot). Vasokontriksi pada jaringan kulit akan mengurangi suhu
pada permukaannya. Nikotin juga menginduksi vasokonstriksi pada pembuluh
darah koroner. Vasokonstriksi koroner tersebut tampaknya diperantarai oleh
katekolamin. Selain pada sistem kardiovaskular, nikotin juga memiliki pengaruh
pada sistem respirasi, yaitu berupa konstriksi bronkus dan peningkatan produksi
mukus. Hal ini akan meningkatkan tahanan terhadap aliran udara pernapasan, dan
menurunkan ventilasi paru.
Laju metabolisme tubuh secara umum dipengaruhi juga oleh nikotin. Seorang
perokok rata-rata memiliki berat badan 4 kg lebih rendah dibandingkan dengan
bukan perokok. Berat badan yang lebih rendah ini dipertahankan oleh keadaan
metabolisme yang tinggi dan nafsu makan yang tertekan. Berhentinya kebiasaan
merokok akan kembali meningkatkan nafsu makan dan asupan kalori, akibatnya
terjadi peningkatan berat badan selama 6-12 bulan setelahnya. Pada sistem
endokrin, nikotin menstimulasi pelepasan ACTH dan kortisol serta β-endorfin.
Dengan demikian nikotin terbukti memiliki efek analgesik (Britton et al., 2000).
57
2.15.2. Efek Psikoaktif dari Nikotin dan Patofisiologi Ketergantungan Fisik
Individu pada Nikotin
Nikotin termasuk dalam obat-obatan yang memiliki efek adiktif seperti
halnya kokain, heroin, morfin atau amfetamin. Obat-obat adiktif tersebut memiliki
dua karakteristik penting sehubungannya dengan perilaku pemakainya, yaitu (1)
menimbulkan efek dalam otak yang “menyenangkan” dan mendorong
penggunaannya kembali (self-administration) pada hewan coba ataupun pada
manusia; (2) Seiring penggunaannya secara kronis, penghentian penggunaan obat
akan menghasilkan abstinence syndrome sehingga individu yang kecanduan akan
melanjutkan penggunaan obat terkait untuk menghindari efek tersebut (Britton et
al., 2000).
Studi mengenai mekanisme suatu zat adiktif dalam memberikan dorongan
positifnya (positive reinforcing effects) secara signifikan telah dipengaruhi oleh
percobaan-percobaan pada beberapa macam obat psikostimulan, amfetamin dan
kokain. Eksperimen-eksperimen tersebut membuktikan bahwa kemampuan zat
atau obat terkait untuk memberikan stimulasi lokomotor dan menimbulkan
kecanduan
pada
hewan
coba
tergantung
pada
kemampuannya
dalam
meningkatkan neurotrnasmisi di sinaps-sinaps dopamin sistem mesolimbik otak,
yaitu tepatnya pada area ventral tegmental (VTA, Ventral Tegmental Area).
Kesimpulan ini didukung oleh fakta bahwa lesi pada area ini menyebabkan
melemahnya efek stimulasi obat tersebut dan kemampuannya untuk menimbulkan
kecanduan. Peningkatan yang tinggi pada aliran dopamin di nukleus akumbens
58
oleh sebab rangsangan kokain dan amfetamin menyebabkan efek euforia yang
cukup untuk mengakibatkan kecanduan pada para penggunanya.
Seperti yang telah disebutkan di atas, efek stimulan lokomotor nikotin dan
kemampuannya
untuk
menimbulkan
dorongan
positif
tergantung
pada
kemampuanya untuk menstimulasi neuron-neuron yang mensekresikan dopamin
pada sistem mesolimbik, yaitu nukleus akumbens. Efek nikotin terhadap
pelepasan dopamin dari neuron-neuron ini telah dipelajari secara mendalam
menggunakan teknik mikrodialisis in vivo, yaitu suatu metode yang dapat
digunakan untuk mempelajari pelepasan neurotransmiter di area tertentu dalam
otak pada hewan hidup. Studi ini menunjukkan dengan jelas bahwa nikotin
menstimulasi pelepasan dopamin oleh neuron-neuron di daerah nukleus akumbens
(Britton et al., 2000). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa nikotin dapat terikat
dengan reseptor kolinergik nikotinik (nAChR, nicotinic Acetylcholine Receptor)
yang terdapat pada membran neuron-neuron tersebut. nAChR memiliki banyak
isoform yang terdapat pada banyak membran neuron di area-area berbeda dalam
otak, misalnya pada daerah VTA, hipokampus, dan area-area lain yang tersebar
dalam sistem saraf pusat.
Studi neurobiologi kecanduan obat tidak lepas dari fakta bahwa adiksi atau
kecanduan merupakan konsekuensi dari penggunaan obat secara kronis. Oleh
sebab itu, perlu dimengerti bagaimana mekanisme respon otak yang terpengaruh
oleh paparan kronis obat adiktif. Hasil penelitian pada hewan coba, pemberian
amfetamin atau kokain berulang akan menghasilkan efek sensititasi pelepasan
dopamin di nukleus akumbens. Mekanisme sensititasi ini dipercaya memiliki
59
peran sentral terhadap berkembangnya kecanduan. Dalam hal ini, sensititasi jalur
neuron memfasilitasi suatu cara di mana “perilaku mendapatkan obat” dipelajari
dan juga memfasilitasi proses “menyukai obat” menjadi “kecanduan obat”. Proses
pembelajaran yang terjadi merupakan adanya mekanisme Long Term Potentiation
(LTP) pada hipokampus sama seperti halnya mekanisme LTP saat kita berlatih
atau belajar. Pada dasarnya, sistem mesolimbik itu sendiri berperan dalam
memberikan fungsi afektif terhadap rangsangan sensorik yang masuk, yang
nantinya menjadikannya suatu dasar motivasi individu dalam menentukan
perilakunya. Motivasi ini bisa berupa motivasi apetitif, yaitu motivasi mencari
kesenangan, kenikmatan, atau motivasi aversif, yaitu motivasi untuk menghindar
dari sesuatu yang tidak enak, tidak nyaman atau sakit. Sistem ini dgambarkan
dengan skema di bawah ini.
Motivasi apetitif
(+)
Enak, nyaman, nikmat
Input
(perilaku)
(-)
reseptor
Rangsangan
Asosiasi
Hipokampus
proses pembelajaran
sensorik
Tidak enak, sakit
Hipokampus
Motivasi aversif
Gambar 2.14. Skema Berkembangnya Motivasi Apetitif dan Aversif melalui
Proses Pembelajaran. Hipokampus dan mekanisme feedback tentang fungsi afektif
dari stimulus sensorik yang masuk mempunyai peran sentral dalam menentukan
perilaku perokok.
60
Pemberian nikotin berulang dipercaya juga dapat menghasilkan suatu
sensititasi efeknya pada jalur pelepasan dopamin di nukleus akumbens seperti
halnya pada pemberian amfetamin atau kokain. Selain pada nukleus akumbens,
nikotin juga menimbulkan perangsangan pada reseptor NMDA (N-methyl DAspartate) untuk glutamat. Kostimulasi ini tampaknya memiliki peran terhadap
timbulnya mekanisme sensititasi, mengingat pemberian antagonis reseptor
NMDA melemahkan atau bahkan menghilangkan mekanisme ini.
Seperti yang telah disebutkan di atas, banyak neuron dalam otak
mengekspresikan
reseptor
nikotinik
(nAChR),
akibatnya,
nikotin
juga
menstimulasi jalur-jalur lain yang penting dalam menimbulkan efek adiksi. Jalurjalur yang dimaksud di antaranya adalah neuron noradrenergik pada lokus
soeruleus, neuron kolinergik pada hipokampus dan korteks yang juga
mensekresikan asam amino eksitatorik yaitu glutamat, dan asam amino inhbitorik,
yaitu asam γ-amino butirat (GABA, γ-amino butiric acid). Perangsangan pada
jalur-jalur ini akan menghasilkan peningkatan kewaspadaan, fokus, dan fungsi
kognitif pada perokok, dan akibat inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa
mereka merokok di samping efek “menyenangkan” yang diperolehnya.
Namun, dengan berlanjutnya paparan nikotin secara kronis, proses
desensititasi mulai terjadi pada banyak reseptor nikotinik yang memediasi efeknya
dalam otak. Dari hasil penelitian mutakhir telah terbukti bahwa kadar nikotin
darah perokok pada siang hari cukup untuk menimbulkan efek desensititasi
reseptor nikotinik neuron-neuron dopaminergik di sistem mesolimbik. Hasilnya,
asupan nikotin tidak lagi meningkatkan peningkatan pelepasan dopamin di
61
nukleus akumbens. Hal ini memiliki konsekuensi penting untuk hipotesis dopamin
dari kecanduan nikotin. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa perokok
meneruskan perilaku merokoknya walaupun sebenarnya nikotin tidak lagi
menstimulasi neuron dopaminergik di brain reward system, dan besar
kemungkinannya mekanisme lain bertanggung jawab terhadap efek adiksi nikotin.
Mekanisme lain yang dimaksud misalnya desensititasi reseptor nikotinik pada
neuron noradrenergik oleh konsentrasi nikotin yang tinggi dalam plasma perokok
akan menimbulkan efek “penenang” (tranquillising) yang sering dilaporkan oleh
perokok yang terpapar dengan stresor lingkungan. Perlu ditekankan kembali di
sini bahwa nikotin memberikan efeknya dalam otak dengan berikatan dengan
reseptor nikotinik. Jadi, respon neuronal lainnya yang memiliki reseptor nikotinik
yang sama dapat memiliki peran penting dalam kecanduan nikotin.
Paparan nikotin dalam jangka waktu lama juga telah diketahui menghambat
produksi dan pelepasan 5-Hidroxysitriptamine (5-HT) pada neuron-neuron
hipokampus. Penurunan produkasi dan pelepasan 5-HT pada gilirannya akan
meningkatkan ekspresi reseptor 5-HT1A pos sinaptik di neuron-neuron
hipokampus sebagai langkah antisipasi. Peningkatan ini akan meningkatkan
sensitivitas neuron pos sinaptik. Konsekuensinya, jika kadar nikotin dalam darah
menurun, yaitu perokok berhenti merokok, hambatan produksi 5-HT menurun dan
peningkatan pelepasan 5-HT yang bersamaan dengan meningkatnya sensitivitas
neuron pos sinaptik akan menghasilkan peningkatan stimulasi reseptor 5-HT1A.
Peningkatan stimulasi akan menyebabkan timbulnya gejala kecemasan (Britton et
al., 2000). Mekanisme-meknisme pada jalur neuronal inilah yang menjadi
62
penyebab berubahnya motivasi apetitif individu terhadap nikotin berubah menjadi
motivasi aversif di mana perokok mempertahankan perilaku merokoknya bukan
lagi untuk mencari “kenikmatan”, tetapi untuk menghindari efek tidak enak atau
tidak nyaman yang timbul jika mereka berhenti merokok.
2.16. Pengukuran Tingkat Ketergantungan Fisik Perokok terhadap Nikotin
Proses toleransi terhadap nikotin terjadi oleh sebab asupannya yang berulang,
dalam jangka waktu yang lama. Toleransi merupakan petunjuk bahwa perokok
sudah mengalami ketergantungan secara fisik terhadap nikotin. Satu-satunya
gejala atau tanda bahwa proses toleransi telah terjadi adalah munculnya
withdarwal syndrome juka konsumsi nikotin dihentikan secara tiba-tiba (O‟Brian,
2006).
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa target organ nikotin adalah
jaringan otak. Dengan demikian munculnya withdrawal syndrome pada perokok
dapat tampak sebagai gejala-gejala psikis, misalnya hilangnya konsentrasi, fokus,
mudah marah (iritable), perasaan gelisah dan sebagainya. Untuk mengantisipasi
gejala-gejala tersebut, perokok mengubah pola perilakunya yang dapat dideteksi
atau diukur dengan menggunakan kuesioner, yaitu kuesioner FTND (Fagerstrröm
Test for Nicotine Dependence).
Menurut hasil studi Piper et al tahun 2003 yang membandingkan kuesioner
WISDM-68 (Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives, terdiri dari 68
pertanyaan yang terbagi dalam 13 domain motif ketergantungan terhadap nikotin)
dengan FTND, terbukti bahwa FTND memiliki korelasi positif yang kuat
(koefisien korelasi 0,78, p<0,05) dengan domain motif toleransi pada kuesioner
63
WISDM-68. Jadi, dari hasil penelitiannya, dapat disimpulkan bahwa kuesioner
FTND sangat tepat digunakan untuk mendeteksi adanya proses toleransi yang
menjadi pertanda bahwa perokok telah mengalami ketergantungan fisik. Semakin
tinggi skor pada FTND, semakin tinggi pula ketergantungan fisik terhadap nikotin
yang dialaminya. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa kuesioner FTND hanya
sesuai jika digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan fisik bukan
ketergantungan oleh sebab atau motif lain misalkan motif otomatisasi, motif
kontrol berat badan dan lain-lain.
2.17. Pengukuran Jumlah Paparan Rokok Menggunakan Cigarettes PackYears
Sama halnya dengan sifat proses toleransi dari berbagai macam obat lainnya,
ketergantungan terhadap nikotin juga memiliki sifat yang tergantung waktu dan
dosis, makadari itu, untuk mengukur berapa banyak seorang rokok telah terpapar
dengan nikotin adalah dengan menggunakan indeks rokok-tahun, atau yang sering
disebut dengan istilah Cigarettes pack-years. Indeks ini merupakan produk jumlah
rokok yang dihisap perhari (dalam satuan bungkus, dengan asumsi satu bungkus
rokoksama dengan 20 batang) dengan lamanya kebiasaan merokok tersebut. Jadi,
1 Cigarettes pack-years memiliki arti bahwa seseorang sudah merokok 1 bungkus
rokok (20 batang rokok/hari) selama setahun.
Cigarettes pack-year lebih tepat dan sering digunakan dalam ranah klinis
sebab memiliki arti yang representatif untuk mengukur jumlah paparan nikotin
sehubungannya dengan risiko untuk menderita penyakit yang disebabkan oleh
rokok (Burns, 2005).
64
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1. Kerangka Berpikir
Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan faktor determinan
bagi perokok untuk mempertahankan perilaku merokoknya meskipun mereka tahu
dengan pasti berbagai macam penyakit yang dapat ditimbulkannya. Patofisiologi
ketergantungan fisik ini beserta beberapa faktor risiko terkait telah semakin
banyak diketahui saat ini melalui banyak penelitian dan berbagai macam
pendekatan telah dilakukan untuk mengatasinya. Di antara faktor risiko secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal terdiri dari jenis kelamin, umur, adanya penyakit atau
kondisi fisiologis tertentu (misal kehamilan), kondisi psikologis, konsumsi obatobatan, dan tentu saja komposisi genetik individu. Faktor eksternal terdiri dari
sosial-ekonomi, budaya atau pergaulan dan pendidikan
Komposisi genetik yang merupakan salah satu faktor internal ketergantungan
fisik individu terhadap nikotin menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Faktor
genetik ini sebenarnya terdiri dari banyak gen yang memiliki peran masingmasing dalam patofisiologi ketergantungan fisik, di antaranya terdapat gen-gen
yang mengkode protein-protein reseptor dan trasporter neurotransmiter neuronal
di otak, misalkan reseptor dopamin D2 (DRD2), transporter dopamin (DAT),
transporter serotonin (5HTT), dan gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim
64
65
sitokrom 2a6. Gen CYP2A6 yang mengkode protein enzim sitokrom 2a6
bertanggung jawab terhadap metabolisme 70-90% nikotin dalam darah perokok.
Banyak penelitian yang menyebutkan terdapatnya polimorfisme pada gen tersebut
dan tentu saja menghasilkan fenotip yang berbeda-beda. Variasi fenotip yang
muncul bisa berupa reaksi biokimiawi metabolisme nikotin, yaitu peningkatan
aktivitas enzim atau penurunannya dan variasi fenotip dalam hal perannya dalam
patofisiologi ketergantungan fisik terhadap nikotin. Penelitian yang mengkaji
variasi fenotip dalam bentuk perilaku merokok menunjukkan hasil yang
bervariasi, dan oleh sebab itu masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
3.2. Konsep
Faktor Eksternal
Faktor Internal
- Jenis kelamin
- Sosial-ekonomi
- Suku
- Budaya/pergaulan
- Faktor genetik
- pendidikan
- Faktor psikologis
- obat-obatan
- Umur
- Penyakit atau kondisi
fisiologis tertentu
Ketergantungan fisik
terhadap nikotin
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
66
3.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu gen CYP2A6 lebih sering
ditemukan pada kelompok perokok yang memiliki ketergantungan fisik nikotin
yang tinggi daripada kelompok perokok dengan ketergantungan fisik yang rendah.
67
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional, dengan rancangan studi
kasus kontrol (case-control study). Dalam penelitian ini akan dilihat peran gen
CYP2A6 dalam meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin dalam rokok
pada subyek penelitian. Untuk menentukan polimorfisme gen CYP2A6 dilakukan
metode PCR yang akan dijelaskan di bawah.
Subyek penelitian yang terdiri dari 56 orang yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi penelitian secara acak dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok
kontrol atau kelompok tanpa efek (ketergantungan fisik terhadap nikotin rendah)
sebanyak 28 orang dan kelompok dengan dengan efek (ketergantungan fisik
terhadap nikotin tinggi) sebanyak 28 orang berdasarkan skor toleransi hasil
pengukuran menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine
Dependence) yang terdiri dari 6 pertanyaan. Kemudian, pada kedua kelompok
subyek dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi faktor risiko berupa
gen CYP2A6.
.Rancangan penelitian ini dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut :
Faktor Risiko (+)
(Gen CYP2A6 (+))
Ketergantungan
Fisik tinggi
Sampel
Faktor Risiko (-)
(Gen CYP2A6 (-))
Ketergantungan
fisik rendah
67
Populasi
68
Keterangan :
P
= Populasi
S
= Sampel
K1 & K2 = Identifikasi gen CYP2A6 menggunakan PCR
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di unit Biologi Molekuler Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar. Pemeriksaan PCR terhadap DNA leukosit yang
diambil dari sampel darah dilakukan di bagian Biologi Molekuler Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010
sampai dengan bulan April 2011.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi sampel adalah semua perokok (current smoker, yaitu perokok yang
aktif merokok sampai saat ini dan merokok minimal 20 hari dalam sebulan
terakhir) di kota Denpasar yang mengalami ketergantungan fisik terhadap nikotin.
Sampel penelitian adalah para perokok dengan ketergantungan fisik terhadap
nikotin yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan bersedia ikut serta dalam
penelitian ini.
4.4. Kriteria Subyek
4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Perokok berjenis kelamin laki-laki, keturunan Bali asli minimal sampai third
degree relatives (Kakek dan nenek orang Bali asli) dan berumur antara 20-50
tahun.
69
2. Mengkonsumsi minimal 5 batang rokok sehari, dengan rokok berjenis kretek
tanpa mentol minimal ≥ 20 hari dalam sebulan terakhir dan telah merokok
selama minimal 5 tahun.
3. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian
4.4.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien sedang menjalani pengobatan atau berusaha untuk berhenti merokok
dalam sebulan terakhir.
2. Pasien menderita penyakit yang mengharuskannya beristirahat total selama ≥
10 hari dalam sebulan terakhir, seperti misalnya sakit jantung, penyakit ginjal,
paru dan lain-lain.
3. Pasien sering mengkonsumsi alkohol dan/atau bahan makanan yang
mengandung mentol seperti permen, dan lain-lain.
4. Pasien memiliki riwayat penyakit liver seperti hepatitis, sirosis hepatis,
alcoholic liver disease atau hepatoma.
5. Pasien mengkonsumsi obat-obatan penginduksi atau inhibitor enzim sitokrom
P450 seperti rifampicin, dexamethasone, phenobarbital, methoxsalen (8methoxypsoralen), tranylcypromine, tryptamine, coumarin dan neomenthyl
thiol
4.5. Besar Sampel
Berdasarkan acuan Kirkwood (1988) penentuan jumlah sampel berdasarkan
rumus perhitungan besar sampel minimal untuk masing-masing kelompok seperti
pada studi kasus-kontrol, yaitu :
n1 = n2 = [ Zα √2PQ + Zβ √ P1Q1 + P2Q2 ]2
( P1 - P2 )2
70
n1 = n2 = [ 1,645 √2x0,594x0,406 + 0,842 √(0,756x0,244) + (0,432x0,568) ]2
( 0,756 – 0,432 )2
n1 = n2 = 27,2 ≈ 28 orang, jadi total sampel = 2 x 28 = 56 orang
n1 = n2 = besar sampel pada masing-masing kelompok subyek
Zα
= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada α tertentu, dalam penelitian
ini ditentukan nilai α sebesar 5% dan hipotesis satu arah.
Zβ
= nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada β tertentu dalam penelitian
ini ditentukan nilai β sebesar 20%.
P2
= proporsi faktor risiko pada kelompok subyek tanpa efek (kontrol)
P1
= perkiraan proporsi faktor risiko pada kelompok subyek dengan efek
(kasus). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Minematsu, et al (2003),
didapatkan proporsi faktor risiko pada kelompok kontrol (tanpa efek) sebesar
43,2%. Dengan menggunakan data proporsi faktor risiko pada kelompok subyek
tanpa tanpa efek (kontrol) ini dan clinical judgement sebesar 1,75 maka diperoleh
nilai P1 sebesar = 1,75 x 43,2% = 75,6%
P
= ½ x [ P1 + P2 ] = ½ x [ 0,756 + 0,432 ] = 0,594
Q1
= 1 - P1 = 1 - 0,756 = 0,244
Q2
= 1 - P2 = 1 - 0,432 = 0,568
Q
= 1- P =1- 0,594 = 0,406
4.6. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan cara snowballing. Semua
subyek yang teridentifikasi dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi.
71
4.7. Variabel
4.7.1. Klasifikasi Variabel
a) Variabel bebas : gen CYP2A6.
b) Variabel tergantung : tingkat ketergantungan fisik terhadap nikotin berdasarkan
skor FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence)
c) Variabel kendali : suku, jenis kelamin, umur, konsumsi obat-obatan inducer
atau inhibitor, penyakit pada hati, jenis rokok, jumlah rokok yang dihisap dan
lama merokok.
4.7.2. Definisi Operasional Variabel
1. Teknik pengambilan sampel secara snowballing merupakan suatu teknik
identifikasi subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi secara
berantai. Dari subyek yang telah teridentifikasi dan sesuai dengan kriteria
inklusi dan eksklusi tersebut didapatkan teman atau rekan yang memiliki
kriteria yang lebih kurang sama dengan subyek.
2. Tingkat Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin
Definisi
: Tingkat ketergantungan perokok terhadap nikotin secara fisik,
yang ditunjukkan dengan munculnya gejala dan tanda withdrawal
syndrome apabila perokok tersebut berhenti merokok untuk
beberapa waktu oleh sebab adanya proses toleransi.
Alat ukur : Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence)
Cara ukur : Mengisi kuesioner berdasarkan wawancara terhadap subyek
Hasil ukur :
0-2
: Ketergantungan fisik sangat rendah
72
3-4
: Ketergantungan fisik rendah
5
: Ketergantungan fisik sedang
6-7
: Ketergantungan fisik tinggi
8-10
: Ketergantungan fisik sangat tinggi
3. Gen CYP2A6
Definisi
: Gen pengkode enzim sitokrom P450 famili nomor 2, subfamili a
nomor 6 yang terletak pada kromosom 19p13.2 dan diekspresikan
di hepar.
Alat ukur : Ekstraksi DNA dari darah vena perifer sesuai dengan protokol
ekstraksi DNA dan diamplifikasi menggunakan teknik PCR
kemudian dilakukan restriksi menggunakan enzim Eco81I
Cara ukur : Menilai adanya polimorfisme gen CYP2A6, dalam hal ini
polimorfisme yang terjadi adalah berupa delesi.
Hasil ukur : Dengan melihat pola pemotongan enzim pada elektroforesis gel
agarose dengan ketentuan sebagai berikut (Nakajima et al., 2004):
CYP2A6*1/ CYP2A6*1
: terdiri dari 3 segmen DNA, yaitu:
800 bp, 434 bp, dan 104 bp.
CYP2A6*1/CYP2A6*4
: terdiri dari 5 segmen DNA, yaitu:
800 bp, 759 bp, 434 bp, dan 104 bp
dan 41 bp.
CYP2A6*4/ CYP2A6*4
: terdiri dari 4 segmen DNA, yaitu:
759 bp, 434 bp, dan 104 bp, dan 41
bp.
73
4.8. Pengumpulan Data
4.8.1. Persiapan
1. Mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan
2. Menyusun status penelitian
3. Meminta ethical approval dari komite etik
4. Menghubungi bagian terkait
4.8.2. Perlengkapan dan Instrumen Penelitian
1. Alat tulis menulis
2. Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence)
3. Perlengkapan pengambilan sampel darah vena perifer
4. Perlengkapan untuk pemeriksaan PCR
4.8.3. Proses Pengumpulan Data
1. Data mengenai subyek perokok yang teridentifikasi dan sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi dilengkapi sesuai dengan tujuan penelitian
2. Pengambilan sampel darah vena
3. Pemeriksaan PCR terhadap gen CYP2A6 dilakukan di unit Biologi
Molekuler Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
4.9. Prosedur Penelitian
4.9.1. Alokasi Sampel dan Alur Penelitian
Dari seluruh subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dengan ketergantungan fisik tinggi (skor
kuesioner >4) dan kelompok dengan ketergantungan fisik yang rendah (kuesioner
toleransi ≤4) menggunakan kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine
74
Dependence). Alur penelitian lebih jelasnya digambarkan dengan bagan seperti di
bawah ini.. Setelah itu pada masing-masing kelompok, kontrol dan kasus
dilakukan pemeriksaan PCR untuk mengidentifikasi gen CYP2A6.
Perokok yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi
Data indentitas dilengkapi
Pengukuran tingkat
ketergantungan menggunakan
kuesioner FTND
Ketergantungan
Ketergantungan
fisik tinggi
fisik rendah
Ambil darah vena perifer
Ambil darah vena perifer
Identifikasi gen CYP2A6
Identifikasi gen CYP2A6
Gambar 4.1. Alur Penelitian.
4.9.2. Ekstraksi DNA dari Buffy Coat
Isolasi Buffy Coat dari Sampel Darah
1.
Ambil 700 µl sampel darah menggunakan pipetor, masukkan ke dalam
tabung eppendorf berisi 700 μl aquadest, kemudian vortex sampai homogen.
2.
Setelah terbentuk cairan yang homogen, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
3.
Buang supernatan.
75
4.
Ulangi langkah 1-3 sampai terbentuk pelet berwarna bening di dasar tabung
eppendorf.
5.
Setelah terbentuk preipitat yang bening campurkan 200 μl NaCl fisiologis.
Isolasi DNA dari Buffy Coat
Persiapan: sebelum langkah isolasi DNA dimulai, inkubasi elution buffer pada
suhu 70oC.
1.
Campurkan 200 μl larutan mengandung presipitat DNA dengan 200 μl
binding buffer serta 40 μl proteinase K, vortex sampai homogen kemudian
inkubasi pada suhu 70oC selama 10 menit.
2.
Tambahkan 100 μl isopropanol, vortex, masukkan ke spin column, kemudian
centrifuge 8000 rpm selama 1 menit.
3.
Ganti collection tube, tambahkan 500 μl inhibitor removal buffer, centrifuge
8000 rpm selama 1 menit.
4.
Ganti collection tube, tambahkan 500 μl wash buffer, centrifuge 8000 rpm
selama 1 menit.
5.
Ganti collection tube, tambahkan 400 μl wash buffer, centrifuge 8000 rpm
selama 1 menit.
6.
Ganti collection tube, centrifuge 8000 rpm selama 1 menit atai 13000 rpm
selama 10 detik.
7.
Ganti eppendeorf tube, tambahkan 100 μl elution buffer, lalu centrifuge 8000
rpm selama 1 menit
8.
DNA telah terisolasi dalam eppendorf tube, simpan dalam freezer.
76
4.9.3. Teknik PCR Untuk Isolasi Gen CYP2A6
Sebelum dilakukan pemeriksaan PCR, perlu dilakukan ekstraksi DNA dahulu
sebelumnya dari darah vena. Darah vena diambil sebanyak 3-5 ml menggunakan
spuit 5 ml dari vena di area cubiti kemudian dimasukkan dalam tabung sampel
darah yang mengandung EDTA. Ekstraksi DNA dilakukan sesuai dengan protokol
yang telah disebutkan di atas
Setelah ekstraksi DNA dari sampel darah vena berhasil dilakukan,
selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan PCR. PCR dilakukan dengan
menggunakan forward primer dan reverse primer menurut hasil penelitian yang
dilakukan oleh Nakajima et al (2001), yaitu 5‟- CAC CGA AGT GTT CCC TAT
GCT G -3‟ dan 5‟- AAA ATG GGC ATG AAC GCC C -3‟. Campurkan DNA
sampel DNA genomik ke dalam campuran PCR (PCR mixture 25µl) terdiri dari 1
x PCR buffer, 1,5 mM MgCl2, 0,4 µM dari masing-masing primer, 250 µM
dNTPs, dan 1 U Taq DNA polimerase. Setelah denaturasi awal pada suhu 94 o C
selama 5 menit, amplifikasi dilakukan dengan denaturasi pada suhu 94 o C selama
1 menit, annealing pada suhu 56o C selama 1 menit, dan ekstensi pada suhu 72 o C
selama 1 menit. Siklus amplifikasi tersebut dilakukan sebanyak 35 kali, kemudian
diikuti dengan ekstensi terakhir pada suhu 72o C selama 5 menit. PCR ini akan
menghasilkan duplikasi segmen DNA sepanjang 1338 pasang basa. Produk PCR
tersebut akan dipotong menggunakan enzim restriksi Eco81 I. Pola pemotongan
akan ditentukan dengan menggunakan gel elektroforesis agarose 2%.
77
Gen CYP2A7
Exon 1
Gen CYP2A6
Exon 9
Exon 1
Exon 9
Telomer
Sentromer
5’UTR
3’UTR
5’UTR
3’UTR
Delesi
Gen CYP2A7
Exon 1
Exon 9
Telomer
Sentromer
5’UTR
3’UTR
Gambar 4.2. Gambar Skematis Delesi Pada Gen CYP2A6
Gambar 4.3. Gambar Skematis Letak Pemotongan Enzim Restriksi pada Gen
CYP2A6 (Nakajima et al., 2001)
78
4.10. Analisis Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian analitik komparatif, dengan jenis
variabel kategorik, dan subyek yang tidak berpasangan, maka jenis analisis yang
digunakan adalah uji Chi-square jika syarat terpenuhi. Jika syarat uji Chi Square
tidak terpenuhi, maka akan digunakan uji Fisher.
Data yang didapatkan pada penelitian ini akan dianalisis sebagai berikut :
1. Analisis deskriptif
Dari data hasil penelitian mengenai karakter subyek disajikan dalam
bentuk narasi dan tabel-tabel. Karakter-karakter yang dimaksudkan adalah
seperti umur, jumlah rokok/hari, lama merokok, tingkat pendidikan dan
lain sebagainya.
2. Uji Normalitas dan homogenitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov
dan Levene’s test
3. Analisis Inferensial
Uji Chi-Square untuk analisis komparasi:
a) Hubungan antara lama merokok dengan skor FTND
b) Hubungan antara jumlah rokok per hari yang dihisap dengan skor
FTND
c) Hubungan antara jumlah rokok yang dihisap per Hari dengan lamanya
kebiasaan merokok
d) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan jumlah rokok per hari yang
dihisap
e) Hubungan antara gen CYP2A6 dengan skor FTND
79
Uji Mann-Whitney U untuk analisis komparasi:
a) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar skor
FTND
b) Komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok berdasar gen
CYP2A6
4.11. Penyusunan dan Penyajian Laporan Penelitian
Laporan penelitian akan dituangkan dalam bentuk tertulis dan disajikan dalam
suatu sidang ilmiah.
4.12. Etika Penelitian
Sebelum pelaksanaan penelitian terlebih dahulu akan diminta persetujuan dari
Komisi Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana dengan lembar penjelasan kepada subyek
penelitian seperti pada lampiran 2.
79
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1. Analisis Deskriptif
Jumlah perokok yang berhasil dikumpulkan dan sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi dalam penelitian ini adalah sebanyak 78 perokok. Di bawah ini akan
diuraikan analisis deskriptif mengenai subyek tersebut.
5.1.1. Rerata Umur Subyek Penelitian, Lama Kebiasaan Merokok, Jumlah
Rokok per Hari, Cigarettes Pack-Years dan Skor FTND
Rerata umur subyek dalam penelitian ini adalah sebesar 30,9 tahun. Rerata
lama kebiasaan merokok dan jumlah rokok yang dihisap/hari adalah berturut-turut
sebesar 11,7 tahun dan 13,2 batang/hari, sedangkan rerata skor FTND yang telah
diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerström Test For Nicotine
Dependence) adalah sebesar 4,4. Rerata produk indeks rokok-tahun (Cigarettes
Pack-Years) adalah sebesar 7,8.
5.1.2. Deskripsi Perokok Berdasarkan Umur
Data deskripsi 78 orang perokok berdasarkan umur meliputi umur perokok
paling muda yaitu 20 tahun sampai 50 tahun, sesuai dengan kriteria inklusi,
dengan rerata umur 30,9 tahun. Data tersebut dapat dilihat pada tabel 5.1 dibawah
ini.
80
81
Tabel 5.1. Frekuensi Perokok Berdasarkan Umur
Umur
≤ 30,9 tahun
> 30,9 tahun
Total
Frekuensi
45 (57,7%)
33 (42,3%)
78 (100%)
5.1.3. Deskripsi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Dari data perokok berdasarkan tingkat pendidikannya dapat diketahui bahwa
subyek perokok yang pendidikan SMU atau yang sederajat seperti STM ataupun
SMK adalah yang paling banyak, yaitu sebesar 44,9%. Data dalam tabel 5.2 di
bawah juga memberikan informasi bahwa perokok dengan tingkat pendidikan SD
adalah yang paling sedikit, yaitu hanya 14,1%.
Tabel 5.2. Frekuensi Perokok Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
SD
SMP
SMU/sederajat
Perguruan Tinggi
Total
Frekuensi
11 (14,1%)
16 (20,5%)
35 (44,9%)
16 (20,5%)
78 (100%)
5.1.4. Deskripsi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari
Rata-rata dalam sehari subyek dalam penelitian ini menghisap rokok
sebanyak 13,2 batang. Sebagian besar perokok, yaitu sebesar 51 orang (65,4%)
menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang rokok per harinya.
Tabel 5.3. Frekuensi Perokok Berdasarkan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap
Jumlah Rokok/hari
≤ 13,2 batang
> 13,2 batang
Total
Frekuensi
51 (65,4%)
27 (34,6%)
78 (100%)
80
82
5.1.5. Deskripsi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok
Dari tabel 5.4 di bawah ini dapat diketahui bahwa 59% perokok telah
memiliki kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun sedangkan
sisanya sebesar 41% merokok lebih dari 11,7 tahun.
Tabel 5.4. Frekuensi Perokok Berdasarkan Lama Kebiasaan Merokok
Lama Kebiasaan Merokok
≤ 11,7 tahun
> 11,7 tahun
Total
Frekuensi
46 (59,0%)
32 (41,0%)
78 (100%)
5.1.6. Deskripsi Perokok Berdasarkan Skor FTND
Lebih dari separuh perokok (66,5%) yang menjadi subyek dalam penelitian
ini memiliki skor FTND (Fagerström Test for Nicotine Dependence) kurang dari
atau sama dengan 5. Tabel dibawah ini menyajikan data tersebut secara rinci.
Tabel 5.5. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND
Skor FTND
Sangat ringan (0-2)
Ringan (3-4)
Sedang (5)
Berat (6-7)
Sangat berat (8-10)
Total
Frekuensi
19 (24,2%)
24 (30,8%)
9 (11,5%)
14 (17,9%)
12 (15,4%)
78 (100%)
Tabel 5.6. Frekuensi Perokok Berdasarkan Skor FTND dengan Nilai Rata-rata
sebagai Cut-off Point
Skor FTND
≤ 4,4
> 4,4
Total
Frekuensi
43 (55,1%)
35 (44,9%)
78 (100%)
5.1.7. Deskripsi Perokok Berdasarkan Gen CYP2A6 yang Dimilikinya
Sebagian besar perokok memiliki gen CYP2A6 atau memiliki alel gen
CYP2A6 dalam keadaan homozigot, yaitu sebesar 64,1%, sedangkan sisanya,
83
yaitu sebesar 35,9% perokok memiliki alel delesi. Data selengkapnya mengenai
alel gen tersebut yang dimiliki perokok dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 5.7. Frekuensi Perokok Berdasarkan Alel Gen CYP2A6 yang Dimilikinya
Gen CYP2A6
Positif
Homozigot wild type
Negatif Heterozigot wild type/deletion
Homozigot deletion
Total
Frekuensi
50 (64,1%)
21 (26,9%)
7 (9,0%)
78 (100%)
Gambar 5.1. Foto Hasil Digesti Sampel
Marker
Sampel
Homozigot
Wild type
Heterozigot
wild type/delesi
Homozigot
delesi
800 bp
759 bp
434 bp
104 bp
41 bp
Gambar 5.2. Ilustrasi Hasil Digesti Sampel
84
Gambar 5.2 di atas merupakan ilustrasi hasil digesti sampel. Segmen DNA
hasil amplifikasi dengan teknik PCR sepanjang 1338 bp didigesti atau direstriksi
dengan enzim restiksi Eco81I dan menghasilkan banding pattern sesuai dengan
alel yang dimiliki oleh subyek. Jika subyek memiliki alel heterozygot maka
banding pattern nya ada 5 band yang terdiri dari band 800 bp, 759 bp, 434 bp,
104 bp dan 41 bp, sedangkan jika subyek memiliki alel homozygot wild type akan
memiliki pola 3 band yang terdiri dari band 800 bp, 434 bp, dan 104 bp. Alel
homozygot delesi akan memiliki pola 4 band yang terdiri dari band 759 bp, 434
bp, 104 bp dan 41 bp.
5.1.8. Deskripsi Umur Perokok dan Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap
Dari data dalam tabel 5.8 dapat diketahui bahwa sebagian besar perokok yang
menghisap rokok lebih dari 13,2 batang/hari berumur kurang dari atau sama
dengan 30,9 tahun. Sebaliknya, sebagian besar perokok yeng berumur lebih dari
30,9 tahun menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang.
Tabel 5.8. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Jumlah Rokok per Hari
Umur Perokok
≤ 30,9 tahun
> 30,9 tahun
Total
Jumlah Rokok/hari
≤ 13,2
> 13,2
30 (38,5%) 15 (19,2%)
21 (26,9%) 12 (15,4%)
51 (65,4%) 27 (34,6%)
Total
45 (57,7%)
33 (42,3%)
78 (100%)
5.1.9. Deskripsi Umur Perokok dan Skor FTND
Tabel 5.9 dibawah menunjukkan bahwa semakin tua umur perokok maka
semakin meningkat kecenderungan untuk menderita ketergantungan fisik terhadap
nikotin yang tercermin dari semakin tingginya skor FTND.
85
Tabel 5.9. Distribusi Perokok berdasarkan Umur dan Skor FTND
Skor FTND
≤ 4,4
> 4,4
28 (35,9%) 17 (21,8%)
15 (19,2%) 18 (23,1%)
43 (55,1%) 35 (44,9%)
Umur Perokok
≤ 30,9 tahun
> 30,9 tahun
Total
Total
45 (57,7%)
33 (42,3%)
78 (100%)
5.2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data
Data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing kelompok berdasarkan
skor FTND, yaitu kelompok ≤ 4,4 dan > 4,4 diuji normalitasnya menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov dan didapatkan hasil bahwa pada kelompok skor FTND ≤
4,4, data tidak berdistribusi normal (p<0,05), sedangkan pada kelompok skor
FTND > 4, data berdistribusi normal (p>0,05).
Hasil uji normalitas data nilai cigarettes pack-years pada masing-masing
kelompok
berdasarkan
gen
CYP2A6
dengan
uji
Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak berdistribusi normal (p<0,05).
Uji homogenitas varians nilai cigarettes pack-years antar kelompok skor
FTND dengan Levene‟s test menunjukkan bahwa kedua kelompok data tidak
homogen (p<0,05). Namun jika pembagian kelompok berdasarkan gen CYP2A6
maka varians nilai cigarettes pack-years menunjukkan bahwa kedua kelompok
data tersebut homogen.
5.3. Analisis Inferensial
Karena data bersifat nominal maka jenis uji statistik inferensial yang
digunakan adalah uji non-parametrik yaitu uji Chi-square. Dalam uji ini
didapatkan hasil yang akan dibahas di bawah ini.
86
5.3.1. Hubungan antara Lama Merokok dengan Skor FTND
Analisis data membuktikan bahwa terdapat hubungan antara lamanya
kebiasaan merokok dan tingginya ketergantungan fisik terhadap nikotin. Semakin
lama kebiasaan merokok semakin tinggi ketergantungan fisik yang dideritanya
berdasarkan hasil ukur menggunakan kuesioner FTND (p=0,03, CI=95%).
Tabel 5.10. Hubungan antara Lama Kebiasaan Merokok dengan Skor FTND
Lama Merokok
≤ 11.7 tahun
> 11.7 tahun
Total
Skor FTND
≤ 4,40
> 4,40
30 (65,2%) 16 (34,8%)
13 (40,6%) 19 (59,4%)
43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total
46 (100%)
32 (100%)
78 (100%)
5.3.2. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari yang Dihisap dengan Skor
FTND
Data tabel di bawah menyatakan bahwa dari 27 orang yang menghisap rokok
lebih dari 13,2 batang per hari ada 20 orang (74,1%) yang memiliki
ketergantungan fisik tinggi terhadap nikotin. Namun dari 51 orang yang
menghisap rokok kurang dari atau sama dengan 13,2 batang per hari hanya 15
(29,4%) yang memiliki ketergantungan fisik tinggi yang terukur dari tingginya
skor FTND (>4,40).
Tabel 5.11. Hubungan antara Jumlah Rokok per Hari dengan Skor FTND
Jumlah rokok/hari
≤ 13,2 batang
> 13,2 batang
Total
Skor FTND
≤ 4,40
> 4,40
36 (70,6%) 15 (29,4%)
7 (25,9%) 20 (74,1%)
43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total
51 (100%)
27 (100%)
78 (100%)
87
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin banyak rokok yang dihisap
perharinya akan semakin meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin (p=0,000, CI=95%).
5.3.3. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan
Lamanya Kebiasaan Merokok
Jumlah rokok yang dihisap per harinya tidak memiliki hubungan yang
bermakna dengan lamanya kebiasaan merokok (p=0,06, CI=95%). Dengan kata
lain kedua variabel ini tidak saling mempengaruhi dan bebas satu sama lainnya.
Tabel 5.12. Hubungan antara Jumlah Rokok yang Dihisap per Hari dengan
Lamanya Kebiasaan Merokok
Jumlah rokok/hari
≤ 13,2 batang
> 13,2 batang
Total
Lama Merokok (tahun)
≤ 11,7
> 11,7
34 (66,7%) 17 (33,3%)
12 (44,4%) 15 (55,6%)
46 (59,0%) 32 (41,0%)
Total
51 (100%)
27 (100%)
78 (100%)
5.3.4. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari yang
dihisap
Hasil analisis data menunjukkan bahwa gen CYP2A6 pada perokok akan
meningkatkan konsumsi rokok per hari lebih dari 13,2 batang dibandingkan
dengan orang yang memiliki alel delesi. Pernyataan tersebut didukung oleh data
dalam tabel 5.13 di bawah ini dengan nilai p=0,02 (p<0,05) dan CI=95%.
Tabel 5.13. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Jumlah Rokok per Hari
Gen CYP2A6
Negatif (delesi)
Positif (wild type)
Total
Jumlah Rokok/hari
≤ 13,2
> 13,2
23 (82,1%)
5 (17,9%)
28 (56,0%) 22 (44,0%)
51 (65,4%) 27 (34,6%)
Total
28 (100%)
50 (100%)
78 (100%)
88
5.3.5. Hubungan antara Gen CYP2A6 dengan Skor FTND
Dari data di bawah ini, dapat diketahui bahwa dari 50 orang yang memiliki
alel homozygot wild type ada 29 orang (58,0%) di antaranya yang memiliki angka
ketergantungan fisik terhadap nikotin yang tinggi, sedangkan dari 28 orang yang
memiliki alel delesi pada gen yang sama hanya ada 6 orang (21,4%) yang
memiliki angka ketergantungan fisik yang tinggi. Hubungan antar variabel ini
telah diuji dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan hasil p=0,002
(p<0,05) dengan CI=95%.
Tabel 5.14. Hubungan antara Ada atau Tidaknya Gen CYP2A6 dan Skor FTND
Gen CYP2A6
Negatif (delesi)
Positif (wild type)
Total
Skor FTND
≤ 4,40
> 4,40
22 (78,6%)
6 (21,4%)
21 (42,0%) 29 (58,0%)
43 (55,1%) 35 (44,9%)
Total
28 (100%)
50 (100%)
78 (100%)
Perokok yang memiliki gen CYP2A6 memiliki risiko sebesar 5,1 kali untuk
menderita ketergantungan yang tinggi pada nikotin dibandingkan dengan perokok
yang tidak memiliki gen CYP2A6 (OR=5,1).
5.3.6. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Skor
FTND
Uji statistik yang digunakan untuk melakukan analisis komparasi nilai
cigarettes pack-years adalah dengan uji non-parametris, sebab syarat uji
parametris tidak terpenuhi, yaitu data tidak berditribusi normal dan varians antar
kelompok tidak homogen. Uji non-parametris yang digunakan di sini adalah uji
Mann-Whitney U, dan memberikan hasil bahwa nilai cigarettes pack-years pada
kelompok skor FTND > 4,4 lebih tinggi secara signifikan daripada nilai cigarettes
89
pack-years pada kelompok skor FTND ≤ 4,4 dengan nilai p=0,000 (p<0,05, CI =
95%) (Lampiran 10).
5.3.7. Komparasi Nilai Cigarettes Pack-Years antar Kelompok berdasar Gen
CYP2A6
Uji non-parametris dengan Mann-Whitney U membuktikan bahwa nilai
cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6 positif lebih tinggi secara
signifikan daripada nilai cigarettes pack-years pada kelompok gen CYP2A6
negatif dengan nilai p=0,016 (p<0,05, CI = 95%) (Lampiran11).
90
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Karakteristik Subyek dalam Penelitian
Latar belakang pendidikan subyek adalah dari SD sampai S1, dengan jumlah
lulusan SMU/sederajat adalah yang terbanyak, yaitu sebesar 44,9%, sedangkan
yang paling sedikit adalah lulusan SD yaitu hanya sebesar 14,1%.
Dalam penelitian ini didapatkan 78 orang perokok yang menunjukkan gejala
dan tanda ketergantungan fisik terhadap nikotin menurut hasil pengukuran
menggunakan kuesioner FTND. Dari 78 orang tersebut, hampir separuh di
antaranya, yaitu 35 orang (44.9%), adalah perokok dengan ketergantungan fisik
terhadap nikotin yang tergolong berat, yaitu memiliki skor lebih dari 4, sedangkan
sisanya sebanyak 43 orang atau sekitar 55,1% dari 78 orang memiliki
ketergantungan fisik yang rendah. Dari 35 orang yang memiliki skor FTND lebih
dari empat, 20 di antaranya (57,1%) menghisap rokok lebih dari 13 batang per
harinya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi skor FTND maka semakin
tinggi pula jumlah rokok yang dihisap per harinya, demikian juga sebaliknya,
walaupun berdasarkan teori yang ada jumlah rokok yang dihisap per hari saja
tidaklah cukup digunakan sebagai tolak ukur ketergantungan fisik yang diderita
perokok terhadap nikotin. Banyak perokok lain yang menghisap rokok dengan
jumlah besar dalam sehari, namun tidak menunjukkan adanya gejala dan tanda
ketergantungan fisik tinggi yang terukur menggunakan kuesioner FTND, sebab,
toleransi yang merupakan penanda adanya ketergantungan fisik hanyalah salah
90
80
91
satu dari tiga belas motif perokok. Akan tetapi, hal ini tidaklah menyangkal
kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang tinggi
(lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan
ketergantungan fisik terhadap nikotin terlepas dari lamanya kebiasaan merokok
(p<0,05).
Data yang didapatkan menunjukkan adanya kecenderungan bahwa semakin
tua umur perokok maka semakin tinggi skor FTND nya. Kecenderungan antara
umur dan ketergantungan fisik ini tidaklah berhubungan langsung. Sebab, kriteria
current smoker mengharuskan perokok yang menjadi subyek adalah orang yang
aktif merokok saat penelitian berlangsung, tentu saja orang yang berumur lebih
tua, banyak yang memiliki kebiasan merokoknya sejak dia masih muda, dengan
begitu ia memiliki kebiasaan merokok yang lebih lama dibandingkan dengan
orang yang umurnya masih muda, dengan asumsi mereka memulai merokok pada
umur yang lebih kurang sama. Tentu saja, dengan demikian, orang yang berumur
tua memiliki skor FTND yang relatif lebih tinggi dibandingan perokok umur
muda.
Sebagian besar perokok, yaitu sebanyak 46 orang (59%), telah memiliki
kebiasaan merokok kurang dari atau sama dengan 11,7 tahun. Analisis data ini
dalam hubungannya dengan skor FTND menyimpulkan bahwa terlepas dari
jumlah rokok per hari yang dihisap, lamanya kebiasaan merokok yang dimiliki
seseorang merupakan faktor risiko untuk meningkatkan ketergantungan fisik
perokok terhadap nikotin. Faktor waktu (time) dan dosis (dose) dapat berdiri
sendiri-sendiri sebagai faktor risiko meningkatkan ketergantungan ataupun dapat
92
saling berinteraksi untuk meningkatkan ketergantungan fisik terhadap nikotin.
Patofisiologi bagaimana ketergantungan fisik dapat terjadi oleh karena paparan
yang sifatnya time and dose dependent akan dijelaskan pada sub bab di bawah ini.
Sebagian besar sampel, yaitu 50 orang (64,1%), memiliki gen CYP2A6
normal (wild type) dalam keadaan homozigot, sedangkan sisanya, yaitu 21 orang
(26,9%) memiliki genotip heterozigot wild type / delesi dan 7 orang (9,0%)
dengan genotip homozigot delesi. Dari data ini dapat dihitung bahwa frekuensi
alel wild type adalah:
Jumlah alel wild type
(2 x 50) + 21
121
=
Jumlah keseluruhan alel =
2 x 78
156 = 77,6%
sedangkan frekuensi alel delesi adalah sebesar: 100% - 77,6% = 22,4%. Besarnya
frekuensi ini lebih kurang sesuai dengan perkiraan frekuensi alel di populasi
menurut hasil-hasil penelitian terhadap gen yang sama di Asia (Hukkanen et al.,
2005).
6.2. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin dan Peran Gen
CYP2A6
6.2.1. Patofisiologi Ketergantungan Fisik terhadap Nikotin
Ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin merupakan sindrom yang
sifatnya poligenik dan multifaktorial yang berarti bahwa ada banyak gen dan
faktor lingkungan ikut terlibat sebagai faktor determinan. Faktor genetik tidak
dapat berdiri sendiri sebagai faktor penyebab, demikian juga halnya faktor
lingkungan tidak akan bisa memberikan pengaruhnya pada fenotip jika tidak
dimediasi oleh komponen genetik yang membentuk genotip individu. Selain itu,
fluktuasi hasil interaksi antar keduanya juga sangat penting dalam menghasilkan
93
fenotip, perbedaan interaksi antar faktor genetik dan lingkungan dapat
memberikan respon atau fenotip yang berbeda pada individu yang sama dalam
waktu yang berbeda (Arking, 2006).
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab tinjauan pustaka, ketergantungan
fisik (dependency) berbeda dengan kecanduan (addiction). Kecanduan lebih
menekankan adanya faktor psikis daripada faktor biologis dalam patofisiologinya,
sedangkan ketergantungan lebih ditandai dengan adanya proses perubahan
biologis oleh sebab adanya paparan berulang dalam jangka waktu tertentu yang
disebut dengan toleransi (O‟Brian, 2006). Dengan demikian, proses toleransi yang
telah terjadi dapat digunakan sebagai patokan bahwa ketergantungan fisik telah
terjadi. Proses ini dapat diukur menggunakan kuesioner FTND (Fagerström Test
fo Nicotine Dependence) (Piper et al., 2003).
Hasil analisis data pada perokok yang menjadi subyek dalam penelitian ini
didapatkan bahwa ketergantungan fisik terhadap nikotin yang terjadi memang
terbukti bersifat time and dose dependent, artinya bahwa jumlah rokok yang besar
dan lama kebiasaan merokok yang tinggi dapat meningkatkan
risiko
ketergantungan, baik secara simultan maupun skuensial. Fakta hasil penelitian ini
sesuai dengan teori yang diberikan oleh O‟Brian (2006), bahwa sifat nikotin
dalam menimbulkan ketergantungan sebanding dengan waktu dan dosis (time and
dose dependent).
Proses ini dapat diterangkan bahwa dengan adanya paparan yang berulang
akan terjadi akumulasi nikotin dalam darah yang cukup tinggi dan konstan.
Akumulasi nikotin yang cukup tinggi akan memulai proses downregulation pada
94
beberapa macam reseptor dan upregulation pada reseptor-reseptor yang lain
seperti yang dijelaskan pada bab tinjauan pustaka. Akibatnya, terjadi pergeseran
proses fisiologis tubuh.
6.2.2. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Konsumsi Rokok
Penjelasan mengenai fungsi enzim Cyp2a6 pada bab tinjauan pustaka dapat
memberikan gambaran yang sangat jelas tentang arti pentingnya enzim ini dalam
metabolisme nikotin. Sebab hampir 80-90% nikotin dimetabolisme olehnya untuk
kemudian dieksresikan keluar tubuh. Tentu saja, aktivitas enzim ini sangat
tergantung oleh gen yang menyandinya di samping faktor-faktor lain di luar
bahasan penelitian ini (Robertson et al., 2000; Oscarson, 2001; MacDougall et al.,
2003; Benowitz et al., 2004; Hukkanen et al., 2005). Pengaruh dapat berupa
peningkatan aktivitas
(gain
of
function)
atau penurunan dan bahkan
menghilangkan sama sekali aktivitas enzim ini (loss of function). Polimorfisme
gen bertanggung jawab terhadap variasi fenotip berupa aktivitas enzim ini.
Data hasil analisis menunjukkan bahwa gen CYP2A6 meningkatkan konsumsi
rokok. Hasil analisis tersebut sesuai dengan teori bahwa dengan adanya aktivitas
enzim Cyp2a6 yang tinggi, maka kadar nikotin dalam darah perokok akan cepat
turun di bawah ambang batas rangsang, sehingga perokok akan cenderung lebih
sering merokok untuk menghindari efek tidak enak yang ditimbulkan akibat
proses toleransi. Perilaku ini disebut dengan negative reinforcement.
Gambar 6.1 di bawah dapat memberikan ilustrasi yang jelas tentang
perbandingan asupan nikotin pada individu yang memiliki gen pengkode enzim
Cyp2a6 aktif dan individu tanpa gen CYP2A6 atau mengalami delesi
95
Perokok dengan gen CYP2A6 (+)
Konsentrasi Nikotin dalam
darah
Asupan Nikotin
Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
Waktu
Perokok dengan gen CYP2A6 (-) atau
mengalami delesi
Konsentrasi Nikotin dalam
darah
Asupan Nikotin
Ambang Rangsang
reseptor neuronal
di otak
Waktu
Gambar 6.1. Perbandingan Asupan Nikotin antara Perokok dengan Gen CYP2A6
(+) dan Gen CYP2A6 (-) atau Mengalami Delesi. Asupan nikotin pada perokok
yang memiliki gen CYP2A6 secara teoritis lebih sering dibandingkan dengan
perokok tanpa gen CYP2A6 sebab fluktuasi kadar nikotin dalam darah pada
perokok dengan gen CYP2A6 menunjukkan amplitudo yang tinggi.
96
6.2.3. Peran Gen CYP2A6 dalam Meningkatkan Ketergantungan Fisik
Kesimpulan bahwa jumlah rokok yang dihisap per hari dalam jumlah yang
tinggi (lebih dari 13 batang/hari) merupakan faktor risiko untuk meningkatkan
ketergantungan fisik terhadap nikotin dan bahwa adanya gen CYP2A6
meningkatkan konsumsi rokok pada individu memberikan gambaran yang jelas
bagaimana peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko ketergantungan terhadap
nikotin. Gen tersebut berperan dengan cara meningkatkan kecenderungan perokok
untuk mengkonsumsi rokok per hari lebih besar dibandingkan dengan perokok
dengan gen CYP2A6 yang „cacat‟. Selanjutnya, konsumsi rokok dalam jumlah
besar akan menimbulkan proses toleransi sebagai tanda ketergantungan fisik.
Skema mekanisme peran gen CYP2A6 sebagai faktor risiko yang memicu
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin dapat dilihat pada gambar 2.17 di
atas. Gen ini meningkatkan risiko perokok sebesar 5,06 kali untuk menderita
ketergantungan fisik berat dibandingkan dengan perokok dengan gen CYP2A6
yang „cacat‟ (p=0,002, OR=5,06, CI=95%).
Meskipun penelitian ini tidak di desain umtuk mengetahui peran gen CYP2A6
dalam meningkatkan lama kebiasaan merokok, namun dari data hasil analisis
komparasi nilai cigarettes pack-years antar kelompok perokok dengan dan tanpa
gen ini dan antar kelompok perokok dengan skor FTND tinggi (> 4,4) dan rendah
(≤ 4,4) mengindikasikan bahwa gen tersebut memiliki peran dalam meningkatkan
paparan perokok terhadap nikotin, baik dengan cara meningkatkan konsumsi
rokok per harinya, meningkatkan lama kebiasaan merokok atau keduanya secara
simultan (p=0,016, CI = 95%). Memang secara logis, semakin banyak rokok yang
97
dikonsumsi per hari, semakin tinggi pula ketergantungan yang akan diderita, dan
semakin tinggi ketergantungan maka semakin susah orang tersebut untuk berhenti
merokok. Namun, argumen tersebut masih belum dibuktikan secara empiris
dengan desain penelitian ini.
Gen CYP2A (+)
Aktivitas enzim (+)
Metabolisme dan bersihan
nikotin plasma ↑
Stimulus pada sistem
mesolimbik
dan area lain ↓
Asupan nikotin berulang dan
kronis
Negative Reinforcement
Desensititasi jalur neuronal
dopaminergik dan jalur lain
Gejala dan tanda
ketergantungan fisik
Gambar 6.2. Bagan Peran Gen CYP2A6 Dalam Patofisiologi Ketergantungan
Fisik. dari bagan di atas tampak bahwa gejala dan tanda ketergantungan fisik
merupakan refleksi dari proses desensititasi. Proses desensititasi inilah dasar
proses toleransi efek nikotin dalam tubuh.
Dari beberapa pembahasan analisis data di atas, dapat juga digambarkan
dengan skema yang ringkas hubungan antar variabel seperti gambar 6.3 di bawah
ini.
98
Gen CYP2A
Konsumsi rokok/hari
↑
Lama kebiasaan merokok ↑
Skor FTND ↑
Gambar 6.3. Hubungan antar Variabel dalam Penelitian. Garis putus-putus yang
menghubungkan antara gen CYP2A6 dengan lama kebiasaan merokok
menunjukkan bahwa hubungan tersebut belum dapat dibuktikan dalam penelitian
ini.
Hasil riset ini mengkonfirmasi kesimpulan yang diberikan oleh beberapa
peneliti sebelumnya yaitu Pianezza (1998), Rao et al (2000), dan Fukami et al
(2007)
yang menyatakan adanya hubungan antara gen CYP2A6 dengan
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur berdasarkan jumlah
rokok per hari yang dihisap.
99
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1. Simpulan
Beberapa simpulan dapat ditarik dari hasil penelitian ini, yaitu:
1. Penelitian ini membuktikan bahwa ada hubungan antara gen CYP2A6 dengan
ketergantungan fisik perokok terhadap nikotin yang diukur dengan kuesioner
Fagerström Test for Nicotine Dependence. Gen tersebut merupakan faktor
risiko perokok untuk mengalami ketergantungan fisik yang tinggi terhadap
nikotin.
2. Gen CYP2A6 juga telah terbukti meningkatkan kecenderungan perokok untuk
mengkonsumsi rokok per hari lebih banyak dibandingkan dengan perokok
yang tidak memiliki gen ini.
3. Selain konsumsi rokok per hari yang tinggi, lamanya kebiasaan merokok juga
merupakan faktor risiko bagi ketergantungan fisik yang berat terhadap nikotin.
Akan tetapi, apakah gen CYP2A6 juga memiliki hubungan yang positif dengan
lamanya kebiasaan merokok tidak dapat disimpulkan dari penelitian ini, sebab
desain penelitian ini tidak sesuai untuk membuktikan hal tersebut.
99
80
100
7.2. Saran
Adapun beberapa saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah
sebagai berikut:
1. Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk sekaligus mengikutsertakan
penghitungan aktivitas enzim di samping isolasi dan identifikasi alel gen
CYP2A6,
sehingga
ekspresi
gen
yang
menentukan
fenotip
berupa
ketergantungan fisik terhadap nikotin dapat diukur.
2. Desain penelitian lebih disempurnakan dengan menggunakan sample matching
dan mengikutsertakan juga ex-smoker selain current smoker, sehingga hasil
analisis yang diperoleh dapat digunakan untuk mengetahui peran gen CYP2A6
lebih jauh.
3. Sebaiknya identifikasi gen yang bersangkutan tidak hanya mengandalkan PCRRFLP tetapi juga menggunakan metode sequencing sehingga jenis alel dapat
teridentifikasi lebih jelas.
101
DAFTAR PUSTAKA
Arking, R. 2005. The Biology Of Aging, 3rd Edition. New York: Oxford
University Press. p. 9-11.
Britton, J., Bates, C., Channer, K., Cuthbertson, L., Godfrey, C., Jarvis, M. &
Mcneill, A. 2000. Nicotine Addiction in Britain. London: Royal College of
Physician.
Barber, S., Adioetomo, S.M., Ahsan, A., & Setyonaluri, D. 2008. Ekonomi
Tembakau di Indonesia. Laporan Penelitian. Jakarta: Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Baskoro, A.; Konthen, P.G. 2008. Basic Immunology of Aging Process. Naskah
Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric
Update Symposium. Bali 11-13 April 2008.
Benowitz, N.L. 1996. Cotinine as Biomarker of Environmental Tobacco Smoke
Exposure. The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public
Health. Vol. 18, No. 2.
Benowitz, N.L. & Fu, H. 2007. Smoking & Occupational Health. In J. Ladou
(Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p. 710-718).
New York: McGraw-Hill.
Benowitz, N.L., Herrera, B. & Jacob III, P. 2004. Mentholated Cigarette Smoking
Inhibits Nicotine Metabolism. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 310, No. 3
Benowitz, N.L. & Jacob III, P. 1994. Metabolism of nicotine to cotinine studied
by a dual stable isotope method. Clinical Pharmacology and Therapeutics.
Vol. 56, No. 5.
Benowitz, N.L., Jacob III, P., Fong, I. & Gupta, S. 1993. Nicotine Metabolic
Profile in Man: Comparison of Cigarette Smoking and Transdermal
Nicotine. The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics.
Vol. 268, No. 1.
Boardman, J.D., Onge, J.M.S., Haberstick, B.C., Timberlake, D.S. & Hewitt, J.K.
2006. Schools and The Heritability of Smoking Behaviors: Theoretical and
Methodological Considerations. Working Paper. Boulder: IBS University
of Colorado.
102
Botham, K.M. & Mayes, P.A. 2006. Bioenergetic: The Role of ATP. In R.K.
Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 88-93). New York: McGraw-Hill.
Burns, D.M. 2005. Nicotine Addiction. In D.L. Kasper, E. Braunwalds, A.S.
Fauci, S.L. Hauser, D.L. Longo, & J.L. Jameson (Eds), Harrison’s
Principles of Internal Medicine, 16th Edition, (p. 2573-2577). New York:
McGraw-Hill.
Caron, L., Karkazis, K., Raffin, T.A., Swan, G. & Koenig, B.A. 2005. Nicotine
addiction through a neurogenomic prism: Ethics, public health, and
smoking. Nicotine Tob Res. Vol. 7, No. 2.
Davies, G.E. & Soundy, T.J. 2009. The Genetics of Smoking and Nicotine
Addiction, 2009: South Dakota Medicine. (Online), (Available from:
www.sdsma.org/documents/Davies.pdf, accessed June, 20th 2009).
Dempsey, D.A. & Benowitz, N.L. 2001. Risks and benefits of nicotine to aid
smoking cessation in pregnancy. Drug Safety: An International Journal of
Medical Toxycology and Drug Experience. Vol. 24, No. 4.
Edwards, R.J., Price, R.J., Watts. P.S., Renwick, A.B., Tredger, J.M., Boobis,
A.R. & Lake. B.G. 2003, Induction Of Cytochrome P450 Enzymes in
Cultured Precision-Cut Human Liver Slice. Drug Metabolism and
Disposition. Vol. 31, No. 3.
Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging. In : Klatz, R. 2003.
Anti-Aging Medical Therapeutics volume 5. Chicago : the A4M
Publications. p. 43.
Fukami, T., Nakajima, M., Yamanaka, H., Fukushima, Y., McLeod, H.L. &
Yokoi, T. 2007. A Novel Duplication Type of CYP2A6 Gene in AfricanAmerican Population. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 35, No. 4.
Goldman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia:
Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25.
Gonzalez, F.J. & Tukey, R.H. 2006. Drug Metabolism. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 71-91). New York: McGraw-Hill.
103
Gries, J.M., Benowitz, N.L. & Verotta, D. 1996. Chronopharmacokinetics of
nicotine. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 60, No. 4.
Gullstén, H. 2000. Significance of Polymorphism in CYP2A6 Gene. Disertation.
Oulu: Department of Pharmacology and Toxicology University of Oulu.
Heatherton, T.F., Kozlowski, L.T., Frecker, R.C. & Fagerstrom, K.O. 1991. The
Fagerström Test for Nictoine Dependence: A revision of the Fagerström
Tolerance Questionnaire. British Journal of Addictions. Vol. 86.
Henningfield, J.E., Keenan,R.M. 1993. Nicotine delivery kinetics and abuse
liability. Journal of Consulting and Clinical Psychology. Vol. 61, No. 5.
Henningfield, J.E., Schuh, L.M. & Jarvik, M.E. 2000. Pathophysiology of
Tobacco Dependence, 2000: Psychopharmacology: The Fourth Genertaion
of
Progress.
(Online),
(Available
from:
http://www.acnp.org/g4/GN401000167/Default.htm, accessed June, 20th
2009).
Hoffman, D. & Hoffman, I. 1999. Chemistry and Toxicology, 1999: Smoking and
Tobacco Control Monograph. (Online), (Available from: http://
dccps.nci.nih.gov/TCRB/monographs/9/m9_3.PDF, accessed June, 23rd
2009).
Hukkanen, J., Jacob III, P. & Benowitz, N.L. 2005. Metabolism and Disposition
Kinetics of Nicotine. The American Society for Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 57, No. 1.
Hyde, D. 2009. Introduction to Genetics Principles. Boston: McGraw-Hill. p.
764-767.
Jarvis, M.J., Boreham, R., Primatesta, P., Feyerabend, C. & Bryant A. 2001.
Nicotine Yield From Machine-Smoked Cigarettes and Nicotine Intakes in
Smokers: Evidence From a Representative Population Survey. Journal of
the National Cancer Institute. Vol. 93, No. 2.
Jaya, M. 2009. Pembunuh Berbahaya Itu Bernama Rokok. Sleman: Penerbit
Ri‟zma.
104
Kemp, P.M., Sneed, G.S., George, C.E. & Distefano, R.F. 1997. Postmortem
distribution of nicotine and cotinine from a case involving the simultaneous
administration of multiple nicotine transdermal systems. Journal of
Analytical Toxicology. Vol. 21, No. 4.
Kennely, P.J. & Rodwell, V.W. 2006. Proteins: Myoglobin & Hemoglobin. In
R.K. Murray, D.K. Granner, & V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated
Biochemistry, 27th Edition, (p. 41-48). New York: McGraw-Hill.
Kirkwood, B. 1988. Calculation of Required Sample Size. In B. Kirkwood (Ed),
Essentials of Medical Statistics, 1st Edition, (p. 191-200). New York:
Blackwell Science.
Kuschner, W.G. & Blanc, P.D. 2007. Gases & Other Airborne Toxicants. In J.
Ladou (Eds), Occupational & Environmental Medicine, 4th Edition, (p.
515-531). New York: McGraw-Hill.
Madan, A., Graham, R.A., Carroll. K.M., Mudra, D.R., Burton, L.A., Krueger,
L.A., Downey, A.D., Czerwinski, M., Forster, J., Ribadeneira, M.D., Gan,
L.S., LeCluyse, E.L., Zech, K., Robertson, P.Jr., Koch, P., Antonian,
L., Wagner, G., Yu, L. & Parkinson, A. 2003. Effects of Prototypical
Microsomal Enzyme Inducers on Cytochrome P 450 Expression in
Cultured Human Hepatocytes. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 31,
No.4.
Markides, K.S. 2007. Encyclopedia of Health and Aging. Los Angeles: SAGE
Publications. p. 1-2.
McCance, K.L. & Grey, T.C. 2006. Altered Cellular and Tissue Biology. In K.L.
McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th Edition, (p. 82-86).
Canada: Elsevier Mosby.
McCance, K.L., Forshee, B.A. & Shelby, J. 2006. Altered Cellular and Tissue
Biology. In K.L. McCance & S.E. Huether (Eds), Pathophysiology, 5th
Edition, (p. 314-315). Canada: Elsevier Mosby.
McDougall, J.M., Fandrick, K., Zhanx, X., Seravin, S.V. & Cashman, J.R. 2003.
Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
105
McKee, T. & McKee. J.R. 2003. Aerobic Metabolism II: Electron Transport and
Oxidative Phosphorylation. Biochemistry: The Molecular Basis of Life, 3rd
Edition, (p. 298-330). Philadelphia: McGraw-Hill.
McPhee, S.J & Pignone, M. 2007. Disease Prevention and Health Promotion. In
S.J. McPhee, M.A, Papadakis, & L.M. Tierney Jr (Eds), Current Medical
Diagnosis and Treatment, 47th Edition, (p. 1-16). New York: McGrawHill.
Messina, E.S., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 1997. A Major Role for CYP2A6 in
Nicotine C-Oxidation by Human Liver Microsomes. The Journal Of
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 282, No. 8.
Minematsu, N., Nakamura, H., Iwata, M., Tateno, H., Nakajima, T., Takahashi,
S., Fujishima, S. & Yamaguchi. K. 2003. Association of CYP2A6 Deletion
Polymorphism with Smoking Habit and Development of Pulmonary
Emphysema. Thorax. Vol. 58.
Molander, L., Hansso, A. & Lunell, E. 2001. Pharmacokinetics of nicotine in
healthy elderly people. Clinical Pharmacology and Therapeutics. Vol. 69,
No. 1.
Munafö, M.R., Clark, T.G., Johnstone, E.C.; Murphy, M.F.G. & Walton, R.T.
2003. The Genetic Basis for Smoking Behavior: A Systematic Review and
Meta-Analysis. Nicotine and Tobaco Research. Vol. 6, No. 4.
Murray, R.K. 2006. Metabolism of Xenobiotics. In R.K. Murray, D.K. Granner, &
V.W. Rodwell (Eds), Harper’s Illustrated Biochemistry, 27th Edition, (p.
633-640). New York: McGraw-Hill.
Nakajima, M., Yamamoto, T., Nunoya, K., Yokoi, T., Nagashima, K., Inoue, K.,
Funae, Y., Shimada, N., Kamataki, T. & Kuroiwa, Y. 1996.
Characterization of CYP2A6 Involved in 3‟-Hydroxylation of Cotinine in
Human Liver Microsomes. The Journal Of Pharmacology and
Experimental Therapeutics. Vol. 277, No. 2.
Nakajima, M., Kwon, J.T., Tanaka, N., Zenta, T., Yamamoto, Y., Yamamoto, H.,
Yamazaki, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y. & Yokoi, T. 2001. Relationship
Between Interindividual Differences in Nicotine Metabolism and CYP2A6
Genetic Polymorphism in Humans. Clinical Pharmacology and
Therapeutics. Vol. 69. No. 1.
106
Nussbaum, R.L., McInnes, R.R. & Willard, H.F. 2007. Genetic Variation in
Individuals and Population: Mutation and Polymorphism. In R.L.
Nussbaum, R.R. McInnes & H.F. Willard (Eds), Thompson and Thompson
Genetics in Medicine, 7th Edition, (p. 175-199). Philadelphia: Saunders
Elsevier.
O‟Brian, C.P. 2006. Drug Addiction and Drug Abuse. In L.L. Brunton, J.S. Lazo,
& K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, 11th Edition, (p. 607-628). New York: McGraw-Hill.
Oscarson, M. 2001. Genetic Polymorphism in The Cytochrome P450 2A6
(CYP2A6) Gene: Implication for Interindividual Differences in Nicotine
Metabolism. The Journal Of Pharmacology and Experimental
Therapeutics. Vol. 29, No. 2.
Pankow, J.F., Tavakoli, A.D., Luo, W. & Isabelle, L.M. 2003. Percent free base
nicotine in the tobacco smoke particulate matter of selected commercial
and reference cigarettes. Chemical Research in Toxicology. Vol. 16, No. 8.
Perry, D.C., Davila-Garcia, M,, Stockmeier, C.A. & Kellar, K.J. 1999. Increased
Nicotinic Receptors in Brains from Smokers: Membrane Binding and
Autoradiography Studies. The Journal Of Pharmacology and Experimental
Therapeutics. Vol. 289, No. 3.
Patterson, F., Benowitz, N., Shields, P., Kaufmann, V., Jepson, C., Wileyto, P.,
Kucharski, S. & Lerman, C. 2003. Individual Differences in Nicotine
Intake per Cigarette. Cancer Epidemiology, Biomarkers & Prevention. Vol.
12.
Pianezza, M.L., Sellers, E.M. & Tyndale, R.F. 2001. Nicotine metabolism defect
reduces smoking. Nature. Vol. 393, No. 750.
Piper, M.E., Piasecki, T.M., Federman, E.B., Bolt, D.M., Smith, S.S., Fiore, M.C.
& Baker, T.B. 2003. A multiple motives approach to tobacco dependence:
The Wisconsin Inventory of Smoking Dependence Motives (WISDM-68).
Journal of Consulting and Clinical Psychology.
Rae, J.M., Johnson, M.D., Lippman, M.E. & Flockhart, D.A. 2001. Rifampin Is a
Selective, Pleiotropic Inducer of Drug Metabolism Genes in Human
Hepatocytes: Studies with cDNA and Oligonucleotide Expression Arrays.
The Journal Of Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 299,
No. 3.
107
Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin, L., Zeman, M., Sellers, E.M. & Tyndale,
R.F. 2000. Duplications and Defects in The CYP2A6 Gene: Identification,
Genotyping, and In Vivo Effects on Smoking. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 58, No. 4.
Relling, M.V. & Giacomini, K.M. 2006. Pharmacogenetics. In L.L. Brunton, J.S.
Lazo, & K.L. Parker (Eds), Goodman & Gilman’s The Pharmacological
Basis of Therapeutics, 11th Edition, (p. 93-115). New York: McGraw-Hill.
Robertson, P., Decory, H.H., Madan, A. & Parkinson, A. 2000. InVitro Inhibition
and Induction of Human Hepatic Cytochrome P450 Enzymes by
Modafinil. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 28, No. 6.
Rutter, J.L. 2006. Symbiotic Relationship of Pharmacogenetics and Drugs of
Abuse. The AAPS Journal. Vol. 8, No. 21.
Schneider, N.G., Olmstead, R.F., Franzon, M.A. & Lunell, E. 2001. The nicotine
inhaler: clinical pharmacokinetics and comparison with other nicotine
treatments. Clinical Pharmacokinetics. Vol. 40, No. 9.
Schroeder, P., Schieke, F.M. & Morita, A. 2006. Premature Skin Aging by Infra
Red Radiation, Tobacco Smoke and Ozone. In B.A. Gilchrest & J.
Krutmann (Eds), Skin Aging, 1st Edition, (p. 47-48). Berlin: Springer.
Stanner, S., Thompson, R. & Buttriss, J. 2009. Healthy Aging: The Role of
Nutrition and Life Style. United Kingdom: Wiley-Blackwell. p. 30-34.
Streppel, M.T., Boshuizen, H.C., Ocké, M.C., Kok, F.J. & Kromhout D. 2007.
Mortality and life expectancy in relation to long-term cigarette, cigar and
pipe smoking: the Zutphen Study. Tobacco Control. Vol. 16, No. 2.
Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : CV.
Infomedika. p. 31-46
Thompson, M.A., Moon, E., Kim, U.J., Xu, J., Siciliano, M.J. & Weinshilboum,
R.M. 1999. Human indolethylamine N-methyltransferase: cDNA cloning
and expression, gene cloning, and chromosomal localization. Genomics.
Vol. 61, No. 3.
108
Ting, S., Ziping, B., Qing-Yu, Z., Smith, T.J., Jun-Yang, H. & Xinxin, D. 2000.
Human Cytochrome P450 CYP2A13: Predominant Expression in the
Respiratory Tract and Its High Efficiency Metabolic Activation of a
Tobacco-specific Carcinogen, 4-(Methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)-1butanone. Cancer Research. Vol. 60.
Tyndale, R.F. & Sellers, E. 2005. Variable CYP2A6-Mediated Nicotine
Metabolism Alters Smoking Behavior and Risk. The American Society for
Pharmacology and Experimental Therapeutics. Vol. 29, No. 4.
Wenjiang, Z., Kilicarslan, T., Tyndale, R.F. & Sellers, E.M. 2001. Evaluation of
Methoxalen, Tranylcypromine, and Tryptamine as Specific and Selective
CYP2A6 Inhibitors in Vitro. Drug Metabolism and Disposition. Vol. 26,
No. 6.
Wibowo, S. 2003. Andropause : Keluhan, Diagnosis dan Penanganannya. Dalam :
The Concepts of Anti Aging and How to Make Without Disorder. Jakarta :
FKUI. p. 11-17.
Yamasaki, H., Inoue, K., Hashimoto, M. & Shimada, T. 1999. Roles of CYP2A6
and CYP2B6 in nicotine C-oxidation by human liver microsomes. Archives
of Toxicology. Vol. 73, No. 2.
Yoshida, R., Nakajima, N., Watanabe, Y., Kwon, J. & Yokoi, T. 2002. Genetic
Polymorphisms in Human CYP2A6 Gene Causing Impaired Nicotine
Metabolism. Journal Of Clinical Prahmacology. Vol. 54, p. 511-517.
Young, I.D. 2005. Genes and Population. In I.D. Young (Eds), Medical Genetics,
1st Edition, (p. 136-151). New York: Oxford University Press, Inc.
109
Lampiran 1
Rincian Biaya dan Waktu Penelitian
1. Waktu Penelitian
Bulan
Aktivitas
Mei
Jun
Jul
√
√
√
Persiapan
Pengumpulan sampel
Ags
Sep
Okt
Nov
√
√
√
√
√
√
Pengolahan sampel
Des
Jan
Feb
Mar
√
√
√
√
Apr
Analisis data
√
√
Penyusunan hasil
√
√
2. Biaya Penelitian
Pengumpulan sampel:
Honor Asisten
Pengolahan
: Rp. 4.000.000,-
Biaya Isolasi DNA
Bahan habis pakai
Spuit 3 cc
Biaya PCR & Digesti : Rp.
937.000,-
Biaya Elektroforesis : Rp.
570.000,-
Tabung EDTA : Rp. 200,000,-
Bahan Habis Pakai
: Rp. 5.742.500,-
Alcohol swab : Rp.
Biaya Bench Fee
: Rp. 2.500.000,-
Plester
Total
: Rp. 150.000 ,-
: Rp. 2.567.000,-
50.000,-
: Rp. 100.000,-
Total
: Rp.12.316.500,-
: Rp. 4.500.000,-
Total Pengeluaran
: Rp. 12.316.500,- + Rp 4.500.000,- = Rp. 16.816.500,109
80
110
Lampiran 2
Surat Pernyataan Ethical Clearance
80
111
Lampiran 3
Lembar Penjelasan Kepada Subyek Penelitian
Selamat pagi,
Saya dr. Hendy Wijaya yang sedang menjalani pendidikan S2 Kedokteran
Anti Penuaan di Universitas Udayana. Saya akan mengadakan penelitian dengan
judul “Gen CYP2A6 Meningkatkan Ketergantungan Fisik Perokok terhadap
Nikotin”. Saya mengikutsertakan Anda dalam penelitian ini yang bertujuan untuk
mengetahui adanya peran faktor keturunan terhadap munculnya gejala kecanduan
merokok.
Dalam penelitian ini anda akan menjalani diminta mengisi kuesioner untuk
mengetahui seberapa jauh anda tergantung secara fisik terhadap rokok dan
selanjutnya akan menjalani pemeriksaan darah yang diambil dari pembuluh darah
di lengan anda untuk memastikan ada atau tidaknya faktor keturunan yang saya
maksudkan sebelumnya. Contoh darah yang saya dapatkan dari anda akan
menjalani pemeriksaan di laboratorium Biologi Molekuler Universitas Udayana.
Jika dari hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang positif, hal ini berarti anda
memiliki faktor keturunan yang diduga memiliki peran meningkatkan
kecenderungan anda tergantung terhadap rokok. Komplikasi yang terjadi pada
tindakan pengambilan darah biasanya berupa munculnya lebam di sekitar daerah
suntikan, ataupun rasa nyeri. Biasanya komplikasi ini tidak menimbulkan dampak
yang serius dan tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut. Jika terjadi
112
komplikasi lain akibat tindakan yang saya lakukan, maka kompensasi biaya
yang dibutuhkan akan ditanggung oleh peneliti.
Dengan mengikuti penelitian ini, maka akan dapat ditentukan apakah faktor
yang kami periksa memiliki peran dalam meningkatkan kecenderungan untuk
tergantung terhadap nikotin dalam rokok. Dengan demikian, hasil penelitian ini
dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan suatu strategi pengobatan atau obat
baru untuk membantu para perokok menghilangkan gejala kecanduan mereka
terhadap rokok dan akhirnya berhenti merokok.
Saya akan mencatat identitas anda (nama, jenis kelamin, usia, suku, alamat,
nomor telepon yang bisa dihubungi) pada lembar penelitian. Selanjutnya saya
akan mencatat hasil wawancara atau pengisian kuesioner ketergantungan nikotin
dan hasil pemeriksaan darah anda.
Partisipasi anda dalam penelitian ini bersifat sukarela. Sebagai tanda terima
kasih kami akan memberikan biaya pengganti transportasi kepada anda.
Pada penelitian ini identitas anda disamarkan. Hanya dokter peneliti, anggota
peneliti dan anggota komisi etik yang bisa melihat data anda. Kerahasiaan data
akan dijamin sepenuhnya. Bila data anda dipublikasi kerahasiaan identitas anda
tetap dijaga.
Jika terjadi keluhan setelah pengambilan darah seperti pembengkakan, nyeri
tekan, kesemutan
atau untuk mendapat penjelasan lebih lanjut anda dapat
menghubungi saya dr. Hendy Wijaya pada nomor 087861102341, Jl. Teuku Umar
141 Denpasar. Peneliti akan bertanggung jawab dan membantu mengatasi keluhan
anda.
80
113
Lampiran 4
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
Saya yang namanya tersebut di bawah ini :
Nama
:
Umur
:
Jenis Kelamin :
Alamat
:
Nomor Telp. :
Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan
penuh kesadaran dan tanpa paksaan saya menandatangani dan menyatakan
bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Bila saya ingin mendapatkan
penjelasan lebih lanjut saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti.
Dokter Peneliti
Denpasar,
Peserta penelitian
dr. Hendy Wijaya
Jl. Teuku Umar 141 Denpasar
Telp. 087861102341
Saksi
20
114
Lampiran 5
Kuesioner FTND (Fagerstrröm Test for Nicotine Dependence)
(Heatherton et al., 1991)
1. Berapa lama jarak waktu antara Anda bangun pagi dan rokok pertama yang
anda hisap?
a) Setelah 60 menit atau satu jam (0)
b) 31-60 menit
(1)
c) 6-30 menit
(2)
d) Dalam waktu 5 menit
(3)
2. Apakah Anda merasa kesulitan untuk tidak merokok di tempat-tempat tertentu
bebas rokok?
a) Tidak
(0)
b) Ya
(1)
3. Aktivitas merokok saat apa yang paling susah Anda hilangkan?
a) Rokok pertama di pagi hari
(1)
b) Selain pagi hari
(0)
4. Berapa batang rokok per hari yang Anda hisap?
a) 10 batang atau kurang
(1)
b) 21-30 batang
(2)
c) 31 batang atau lebih
(3)
5. Apakah Anda lebih sering merokok di saat-saat setelah bangun tidur
dibandingkan saat lain?
a) Tidak
(0)
b) Ya
(1)
6. Apakah Anda tetap merokok meskipun sakit dan harus beristirahat sepanjang
hari?
a) Tidak
(0)
b) Ya
(1)
Interpretasi:
0-2 : Ketergantungan fisik sangat rendah
3-4 : Ketergantungan fisik rendah
5 : Ketergantungan fisik sedang
6-7 : Ketergantungan fisik tinggi
8-10 : Ketergantungan fisik sangat
tinggi
115
Lampiran 6
Uji Chi-Square Lama Merokok dan Skor FTND
Klasifikasi lama merokok dan Klasifikasi Skor FTND
Klasifikasi Skor FTND
klasifikasi lama merokok
<= 4,40
> 4,40
Total
<=11.7
30
16
46
>11.7
13
19
32
43
35
78
Total
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig.
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Value
df
(2-sided)
a
1
.032
3.673
1
.055
4.639
1
.031
4.614
b
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
(2-sided)
(1-sided)
.039
.027
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 14.36.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
2.740
1.081
6.949
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
1.605
1.004
2.566
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.586
.359
.955
Odds Ratio for klasifikasi lama merokok
(<=11.7 / >11.7)
N of Valid Cases
78
116
Lampiran 7
Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Skor FTND
Klasifikasi jumlah rokok dan Klasifikasi Skor FTND
Klasifikasi Skor FTND
Klasifikasi jumlah rokok
<= 4,40
> 4,40
Total
<= 13,2
36
15
51
> 13,2
7
20
27
43
35
78
Total
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig.
Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
df
(2-sided)
a
1
.000
12.487
1
.000
14.615
1
.000
14.236
b
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.000
.000
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 12.12.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
6.857
2.398
19.606
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
2.723
1.405
5.277
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.397
.246
.642
Odds Ratio for Klasifikasi jumlah rokok (<=
13,2 / > 13,2)
N of Valid Cases
78
117
Lampiran 8
Uji Chi-Square Jumlah Rokok per hari dan Lama Kebiasaan Merokok
Klasifikasi Jumlah Rokok dan Klasifikasi Lama Merokok
Klasifikasi lama merokok
Klasifikasi jumlah rokok
<=11.7
>11.7
Total
<= 13,2
34
17
51
> 13,2
12
15
27
46
32
78
Total
Chi-Square Tests
Asymp. Sig. Exact Sig.
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Value
df
(2-sided)
3.603
a
1
.058
2.743
1
.098
3.584
1
.058
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.090
.049
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected
count is 11.08.
b. Computed only for a 2x2 table
118
Lampiran 9
Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Jumlah Rokok per hari
Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Jumlah Rokok
Klasifikasi jumlah rokok
Interpretasi Hasil
<= 13,2
> 13,2
Total
Negatif
23
5
28
Positif
28
22
50
51
27
78
Total
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.026
.017
Value
df
(2-sided)
a
1
.020
4.326
1
.038
5.756
1
.016
5.420
b
Asymp. Sig.
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.69.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence
Interval
Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif /
Value
Lower
Upper
3.614
1.183
11.041
1.467
1.086
1.981
.406
.173
.953
Positif)
For cohort Klasifikasi jumlah rokok = <=
13,2
For cohort Klasifikasi jumlah rokok = >
13,2
N of Valid Cases
78
119
Lampiran 10
Uji Chi-Square Gen CYP2A6 dan Skor FTND
Interpretasi Hasil dan Klasifikasi Skor FTND
Klasifikasi Skor FTND
Interpretasi Hasil
<= 4,40
> 4,40
Total
Negatif
22
6
28
Positif
21
29
50
43
35
78
Total
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig.
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(1-sided)
.002
.002
Value
df
(2-sided)
9.704
a
1
.002
8.282
1
.004
10.183
1
.001
Fisher's Exact Test
N of Valid Cases
78
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.56.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Lower
Upper
5.063
1.749
14.661
For cohort Klasifikasi Skor FTND = <= 4,40
1.871
1.281
2.732
For cohort Klasifikasi Skor FTND = > 4,40
.369
.175
.780
Odds Ratio for Interpretasi Hasil (Negatif /
Positif)
N of Valid Cases
78
120
Lampiran 11
Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Skor
FTND
Ranks
Klasifikasi Skor
Nilai Rokok x Tahun
Mean
FTND
N
Rank
Sum of Ranks
<=4,4
43
31.34
1347.50
>4,4
35
49.53
1733.50
Total
78
Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun
Mann-Whitney U
401.500
Wilcoxon W
1347.500
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
-3.531
.000
a. Grouping Variable: Klasifikasi Skor FTND
121
Lampiran 12
Uji Mann-Whitney U antar Kelompok Cigarettes Pack-Years berdasar Gen
CYP2A6
Ranks
Interpretasi
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Negatif
28
31.23
874.50
Positif
50
44.13
2206.50
Total
78
Hasil
Nilai Rokok x Tahun
Test Statisticsa
Nilai Rokok x Tahun
Mann-Whitney U
468.500
Wilcoxon W
874.500
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
-2.414
.016
a. Grouping Variable: Interpretasi
Hasil
122
Lampiran 13
Gambar Hasil PCR dan Hasil Restriksi DNA
Hasil Optimasi PCR
Ilustrasi Hasil Optimasi PCR
Marker
1338 bp
Ilustrasi Hasil Digesti
dengan Eco81I
Marker
800 bp
434 bp
104 bp
Download