Sinergi Pemerintah dan Swasta dalam Mempercepat

advertisement
Sinergi Pemerintah dan Swasta dalam Mempercepat Pembangkit Geothermal di Indonesia
Jatuhnya harga minyak dunia menjadi pukulan telak bagi negara-negara produsen minyak bumi di dunia, termasuk Indonesia. Biarpun
mendapatkan sedikit keuntungan karena belanja negara untuk impor minyak menurun namun di saat yang sama pendapatan negara dari sektor
ini pun ikut terjun bebas. Bila setiap tahunnya, sektor minyak dan gas (migas) menempati urutan kedua setelah pajak dalam menyumbang
pendapatan negara, sudah dua tahun terakhir prestasi itu melorot.
Hal yang paling nyata terjadi adalah ketika banyak kinerja perusahaan migas di Tanah Air jeblok. Ongkos produksi dan nilai jual hasil
produksi yang tidak seimbang memaksa perusahaan melakukan efisiensi besar-besaran, termasuk mengurangi kontrak kerjasama dengan
perusahaan kontraktor hingga pengurangan karyawan. Semua itu dilakukan agar perusahaan migas dapat bertahan hingga harga minyak bumi
kembali membaik.
Sebenarnya apa yang terjadi sekarang ini merupakan konsekuensi yang harus diterima karena selama puluhan tahun Indonesia terlalu
bergantung pada energi fosil. 90 persen energi yang dipakai oleh masyarakat saat ini bersumber dari bahan bakar fosil dengan minyak bumi
menempati urutan tertinggi. Padahal selain jumlahnya yang terbatas, energi fosil sering disebut sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim
karena jumlah karbonnya yang tinggi.
Selama puluhan tahun pula Indonesia terlalu terbuai dengan mitos negeri yang kaya minyak. Hal ini membuat pemerintah menjadikan
minyak bumi dan gas sebagai komoditas ekspor yang mampu menyumbang pendapatan negara. Beruntung, nasib Indonesia masih lebih baik
dibandingkan Venezuela yang harus menanggung konsekuensi lebih parah. Venezuela mengandalkan 80 persen pendapatannya dari minyak
bumi. Ketika harga minyak terjun bebas, pendapatan negara pun turun drastis.
Inilah yang menjadi alasan mengapa pemerintah harus secepat mungkin mengubah paradigma dan mengambil langkah nyata dalam
perubahan tata kelola energi nasional. Sesuai amanat UU No.30 tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah No.79 tahun 2014 tentang
Kebijakan Energi Nasional, seluruh sumber daya energi yang ada di bumi Indonesia tak lagi dimanfaatkan sebagai komoditas ekspor melainkan
sebagai modal pembangunan.
Energi adalah faktor penting dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi negara. Salah satu wujud nyata energi sebagai penopang
pembangunan adalah listrik. Mulai skala rumah tangga hingga industri, listrik menjadi pilar penopang keberlangsungan hidup masyarakat di era
modern. Sayangnya, pemenuhan energi listrik di Tanah Air masih belum mencapai tahap memuaskan. Tercatat hingga akhir 2015 tingkat
elektrifikasi nasional baru mencapai 88,5 persen.
Maka dari itu penting bagi pemerintah untuk terus melanjutkan pembangunan sumber pembangkit listrik yang hingga 2019 targetnya
mencapai 35 Gigawatt. Pembangunan fasilitas pembangkit itu idealnya tidak lagi mengandalkan sumber energi fosil. Sudah saatnya pemerintah
lebih serius dengan komitmennya dalam mencapai target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) yang mencapai 16 persen pada 2019 atau 23
persen pada 2025.
Salah satu sumber EBT yang paling besar potensinya adalah geothermal. Total potensi yang bisa dimanfaatkan Indonesia mencapai 29
Gigawatt, paling tinggi di seluruh dunia. Namun hingga saat ini total kapasitas terpasang pembangkit listrik geothermal baru mencapai 1.438,5
Megawatt.1 Kendala utama dalam pengembangan proyek geothermal masih tetap dari aspek bisnis, yakni soal perjanjian jual beli atau power
purchase agreement (PPA) yang belum bisa diterima (acceptable) oleh PT PLN (Persero) dan pengembang geothermal.
Masih hangat di ingatan ketika pada awal 2016, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) terpaksa menghentikan pasokan uap untuk
pembangkit listrik geothermal Kamojang I, II, dan III. Pasalnya, pembangkit yang dimiliki oleh PLN dan dikelola anak usahanya PT Indonesia
Power tidak tercapai kata sepakat tentang harga jual uap geothermal. Perseteruan itu akhirnya dapat diselesaikan setelah difasilitasi Kementerian
BUMN sebagai pengayom kedua perusahaan negara tersebut.
Namun pengalaman ini menjadi bukti nyata bahwa permasalahan tarif dan nilai jual listrik/uap masih menjadi pekerjaan rumah yang harus
segera diselesaikan pemerintah. Sebenarnya pada 2015 lalu Kementerian ESDM sudah mengeluarkan beleid yang cukup menggiurkan bagi
pengembang geothermal melalui Permen No. 17 tahun 2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari PLTP dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh
PT PLN (Persero).
Berdasarkan Permen tersebut harga jual listrik geothermal bervariasi antara US$11,8 sen per kWh hingga US$29,6 sen per kWh sesuai
waktu pengoperasian secara komersial (commercial on date/COD) pembangkit unit pertama dan wilayah. Waktu COD unit pertama ditetapkan
antara 2015 hingga 2025. Kebijakan feed in tariff yang tinggi di satu sisi memang menarik investor tapi di sisi lain memberatkan PLN selaku
pembeli tunggal (single buyer) listrik di negeri ini.
PLN sebagai korporasi dituntut efisien maka dari itu mereka enggan membeli listrik dengan harga mahal, apalagi harga minyak sedang
turun. Hal itulah yang memicu konflik antara PLN dengan pengembang geothermal seperti PGE. Rasa pesimis terhadap pengembangan
geothermal di Indonesia pun muncul. Untuk itu pemerintah akhirnya berusaha memutar otak dan mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh
semua pihak.
Salah satu ide yang muncul adalah penggunaan Dana Ketahanan Energi (DKE) yang sempat menjadi kontroversi di masyarakat. DKE
merupakan konsep yang dikeluarkan Kementerian ESDM kala dipimpin mantan Menteri ESDM, Sudirman Said. DKE berfungsi sebagai sumber
pembiayaan atas proyek-proyek infrastuktur energi terbarukan dan pengembangan cadangan strategis.
Ada tiga sumber pendanaan yang memungkinkan untuk menjalankan DKE. Pertama adalah hasil kenaikan harga sumber daya energi
seperti wind fall, lalu dana depresiasi sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti minyak bumi dan gas, serta dana pembayaran polusi yang
ditimbulkan oleh penggunaan energi tak bersih.
Selain DKE, jalan keluar lain adalah membentuk badan hukum khusus bernama PLN EBT. Badan ini mengadaptasi kesuksesan Badan
Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit yang mampu menjembantani kepentingan stakeholder baik dari pemerintah, pengembang, dan
konsumen. PLN EBT nantinya akan menjadi penghubung subsidi yang diberikan pemerintah terhadap selisih harga jual dengan feed in tariff.
Namun pengoperasian badan usaha bergantung pada sumber dana yang kemungkinan berasal dari APBN dan DKE tadi.
1
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2016
Selain pembentukan badan baru tadi, pemerintah juga gencar menyusun regulasi yang mempermudah dan memberi insentif bagi
pengembang geothermal dalam bentuk Peraturan Pemerintah. PP itu nantinya akan mengatur juga tentang bonus produksi, pemanfaatan
langsung, dan pemanfaatan tidak langsung. Karena berkaitan dengan pendapatan negara, rencananya PP itu akan terbit pada Agustus 2016
setelah melalui pembahasan dengan Kementerian Keuangan dan PLN.
Selama ini model insentif seperti tax holiday memang hanya diberikan per proyek sehingga setiap pengembang yang membutuhkannya
harus memberikan pengajuan pada pemerintah. Mekanisme itu dinilai terlalu berbelit dan membuat investor enggan masuk ke Indonesia. Setelah
PP terbit diharapkan insentif bersifat otomatis supaya makin mendorong minat investor untuk menjadi pengembang di sektor geothermal.
Sumber pendanaan juga tidak kalah penting untuk diperhatikan supaya peran perusahaan swasta nasional menjadi lebih kentara. Hal itu
sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo agar pemerintah memberikan peluang kepada pemain lokal dan nasional sebesar besarnya, dengan
cara memperbesar Independent Power Producer (IPP) dan proyek-proyek listrik berbasis EBT2
Sayang swasta nasional seringkali kesulitan mencari sumber pendanaan. Perbankan dalam negeri yang diandalkan untuk bisa membantu
proses pemberian kredit masih ragu dengan kapasitas yang dimiliki swasta nasional. Jika lembaga perbankan masih merasa kesulitan, lembaga
keuangan non perbankan sepertinya bisa menjadi alternatif. Selama ini lembaga seperti itu banyak mengelola dana-dana yang menganggur
seperti dana pensiun atau dana haji.
Untuk meningkatkan kepercayaan dari lembaga keuangan, Kementerian ESDM melakukan pengetatan pada proses lelang wilayah kerja
(WK) geothermal. Saat ini WK geothermal hanya akan dimenangkan oleh perusahaan yang komitmen eksplorasinya paling tinggi, punya modal
paling besar, dan punya program kerja paling bagus untuk pengembangan panas bumi. Sinergi seperti inilah yang dibutuhkan dalam
mempercepat upaya pengembangan fasilitas kelistrikan geothermal.
Indonesia sedang dalam masa transisi pengelolaan energi nasional. Bertransformasi menjadi negara yang mengandalkan energi bersih
setelah bertahun-tahun tergantung pada energi fosil bukanlah perkara mudah. Butuh kerjasama semua pihak termasuk swasta. Dalam
membangun fasilitas listrik semua pihak harus melihatnya sebagai cara untuk mendorong percepatan pembangunan ekonomi secara lebih luas.
Pihak swasta tidak boleh hanya mengukur dari kacamata mikro korporasi yang menitikberatkan pada aspek komersial. Di sisi lain,
pemerintah pun harus paham bahwa aspek bisnis yang dijalankan pengembang bukan hanya bertujuan mencari profit semata tapi sebagai bagian
dari aktivitas bisnis yang berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi orang banyak. Ini semua harus dilakukan bersamaan supaya tujuan
meningkatkan ketahanan energi dapat segera tercapai.
2
Siaran Pers Kementerian ESDM 22 Juni 2016
Download