Analisis Paragdigma Kesulitan Belajar Dalm Pencapaian Kinerja

advertisement
ANALISIS PARADIGMATIK KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM
PENCAPAIAN KINERJA AKADEMIK
Oleh: Surati Redjosuwito )*
ABSTRAK
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah cenderung ditujukan kepada para
siswa yang berkemampuaan rata-rata sehingg para siswa yang berkemampuan “di
luar rata-rata” mengalami kesulitan belajar. Para siswa yang mempunyai kemampuan
rata-rata pun dapat mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal siswa. Kesulitan belajar siswa berdampak kepada pencapaian kinerja
akademiknya.
Kesulitan belajar siswa dalam pencapaian kinerja akademik membutuhkan
pemecahan atau pembahasan melalui kajian ilmiah: analisis paradigmatik dengan
landasan filosofis: essensialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme.
Guru sangat menentukan keberhasilan kinerja akademik siswa; oleh karena itu
guru/guru pembimbing dalam menangani kesulitan belajar siswa harus membuat
langkah-langkah: identifikasi kasus, identifikasi masalah, diagnosis, prognosis,
remedial, evaluasi dan follow up.
Kesulitan belajar siswa harus ditangani dengan tepat; bagi siswa yang
mempunyai tingkat kecerdasan tinggi dan kinerja akademiknya unggul, diberi
kesempatan untuk belajar dengan accelerated learning dilengkapi dengan quantum
learning. Bagi siswa yang tingkat kecerdasannya rendah dan bermasalah serta
mengalami kesulitan belajar, harus ditangani secara terpadu.
PENDAHULUAN
Apakah Paradigma itu?
1
Kamus filsafah menerangkan arti paradigma sebagai:




A total view of a problem
A total outlook, not just a problem solution
Cara memandang sesuatu
Dalam ilmu pengetahuan diartikan sebagai model, pola, ideal. Dari model
ini berbagai fenomena ditarik, dipandang, dan dijelaskan.
 Totalitas premis-premis teoritik, dengan metodologi yang dipilih untuk
mendefinisikan dan menganalisis problema yang timbul dalam praktek
ilmiah tahap tertentu.
 Dasar untuk menyeleksi problema dan pola untuk memecahkan
permasalahan riset. (Syahril, 2006).
Dalam tulisan ini, paradigma merupakan cara memandang sesuatu dengan
menggunakan alur fikir paradigmatik yang menurut Agus Salim (2006) meliputi:
Paradigma I/Enigma → Anomali → Krisis → Revolusi → Paradigma II → Verifikasi.
Apa, Mengapa dan Bagaimana Kesulitan Belajar?
Pada dasarnya setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja
akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun dalam kenyataan seharihari yang tampak adalah bahwa siswa satu dengan lainnya mempunyai perbedaan
dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan
dan pendekatan belajar yang digunakan. (Muhibbin Syah, 2008:172).
Dengan perbedaan-perbedaan siswa tersebut, penyelenggaraan pendidikan di
sekolah-sekolah
pada
umumnya
hanya
ditujukan kepada para
siswa
yang
berkemampuan rata-rata. Dalam konteks ini, para siswa yang mempunyai kemampuan
lebih atau yang berkemampuan kurang belum mendapat perhatian yang sesuai dengan
kebutuhannya. Oleh karena itu siswa-siswa yang berkategori sangat pintar atau sangat
bodoh dengan kata lain “di luar rata-rata” tidak dapat berkembang sesuai dengan
kapasitasnya. Kondisi tersebut berdampak kepada munculnya kesulitan
2
belajar (learning difficulty) yang dialami baik oleh siswa yang berkemampuan rendah
maupun yang berkemampuan tinggi. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan rata-rata
pun dapat pula mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
dapat menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
Fenomena kesulitan belajar siswa pada umumnya dapat dilihat dari menurunnya
prestasi belajar atau kinerja akademik. Namun demikian, kesulitan belajar juga dapat
dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) seperti yang dinyatakan
oleh Richard Gorton, Judy, Petra (2007:216) bahwa: “Many student problems are as
old as formal schooling itself. Student truancy, vandalism, cheating smoking, profanity,
talking back to teachers, and other kinds of problems have confronted most
administrators at one time or another over the years”.
Pendapat Richard Gorton di atas dapat ditafsirkan bahwa permasalahan-permasalahan
siswa itu
ada sejak sekolah
formal berdiri seperti: siswa membolos,
vandalisme/merusak, curang, merokok, berkata kotor, membantah guru dan masalahmasalah yang mirip lainnya yang selalu menyulitkan para guru/pihak sekolah dari
waktu ke waktu selama bertahun-tahun.
Masalah-masalah yang mirip lainnya seperti: kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas,
mengusik teman, berkelahi, ... dan sering pulang sekolah sebelum waktunya. (Muhibbin
Syah, 2008:173).
Perilaku-perilaku siswa tersebut sudah barang tentu dapat berdampak kepada kesulitan
belajarnya.
Mengenai kesulitan belajar, Muhibbin Syah (2008:173) menyatakan bahwa:
3
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari
dua macam.
1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari
dalam diri siswa sendiri.
2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar
diri siswa....
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa,
yakni:
1) Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/intelegensi siswa;
2) Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3) Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alatalat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang
tidak mendukung aktivitas belajar siswa, terdiri dari:
1) Lingkungan keluarga, contohnya ketidakharmonisan hubungan antara ayah
dengan ibu, dan rendahnya ekonomi keluarga.
2) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya wilayah perkampungan
kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk
seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Selain faktor umum penyebab kesulitan belajar siswa, terdapat faktor khusus yang
juga dapat menimbulkan kesulitan belajar adalah sindrom psikologis berupa learning
disability
(ketidakmampuan belajar).
William M. Cruickshank (2001:111)
mengemukakan:
conceptualizations of learning disabilities have changed from unitary approaches
that emphasize isolated processes toward multidimensional approach that focus
on the interactions between neurologically based characteristics and
environmentaly transmitted influences.
4
Pendapat William M. Cruickshank di atas dapat ditafsirkan bahwa konsep dari learning
disabilities (ketidakmampuan belajar) fokus kepada interaksi karakteristik berdasarkan
neurologi dan pengaruh lingkungan.
Selanjutnya kesulitan belajar siswa yang bersifat khusus lainnya adalah:
disorder, learning disfunction, underachiever,
learning
dan slow learner, dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Learning Disorder atau kekacauan belajar terjadi pada seseorang yang proses
belajarnya terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Pada dasarnya
yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan akan tetapi
belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon yang bertentangan,
sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya.
Kesulitan belajar ini disebabkan karena kegiatan belajar yang diikutinya belum
menjadi suatu kebiasaan, mempelajari sesuatu yang baru.
2. Learning disfunction merupakan gejala dimana proses belajar mengajar yang
dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut
tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau
gangguan psikologis lainnya. Kesulitan ini umumnya terjadi karena frekuensi
latihan yang kurang intensif dalam kegiatan belajar.
3. Under achiever, siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual
yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Siswa
yang tingkat kecerdasan (IQ)nya unggul, namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja
atau malah rendah.
4. Slow learner atau lambat belajar, siswa yang mengalami lambat belajar
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang
memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5
Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang kesulitan belajar dan atau
ketidakmampuan belajar siswa jelaslah bahwa kesulitan belajar siswa dapat disebabkan
oleh faktor internal maupun eksternal siswa. Dalam konteks ini khususnya peran aktif
guru dalam kegiatan pembelajaran sangat menentukan keberhasilan kinerja akademik
siswa.
Landasan Filosofis yang Digunakan
Mengenai kesulitan belajar siswa
yang dapat berdampak kepada kinerja
akademiknya, membutuhkan pemecahan dan atau pembahasan melalui kajian ilmiah
dengan analisis paradigmatik. Landasan filosofis yang digunakan adalah;
1. Essensialisme. Falsafah ini berpendapat bahwa sekolah harus berlandaskan
kepada yang esensial. Adapun yang esensial berkaitan dengan kesulitan belajar
bagian dari belajar, Muhibbin Syah (2008:89)menyatakan bahwa: “Belajar
adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental
dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan.
2. Progresivisme, berpendapat bahwa sekolah adalah tempat menstimulasi siswa
untuk berfikir dengan efektif. George R. Knight (2007:145) menyatakan
bahwa:”progresivisme sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai bentuk
reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional...”. Khususnya mengenai
kesulitan belajar siswa, Muhibbin Syah (2008:172) berpendapat bahwa: “Setiap
siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai
kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan.
3. Rekonstruksionisme, beranggapan sekolah sebagai “change agent”. Kesulitan
belajar siswa dapat diketahui dari hasil belajar yang menurut Muhibbin Syah
(2008:150) meliputi:
6
“segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses
belajar siswa”. Dalam konteks ini, Abin Syamsuddin (2003) harus
mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar...” sebagai
upaya rekonstruksi.
ANALISIS PARADIGMATIK
Bagan Analisis Paradigmatik tentang Kesulitan Belajar Siswa dalam Pencapaian
Kinerja Akademik (lihat halaman 8)
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, khususnya guru dihadapkan dengan
sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Pengamatan
secara umum
menggambarkan bahwa kondisi siswa di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam siswa
yang dapat mengikuti kegiatan belajarnya secara lancar, normal dan berhasil tanpa
mengalami kesulitan, dan siswa yang dalam kegiatan belajarnya mengalami berbagai
kesulitan. Kesulitan belajar siswa dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun
fisiologis, intelektual, dan pendidikan sehingga dapat berdampak kepada pencapaian
prestasi belajarnya di bawah yang semestinya dalam arti tidak memuaskan.
1. Analisis Paradigma I/Enigma
Pada dasarnya secara umum siswa mengalami kesulitan belajar dalam proses
pembelajarannya. Kesulitan tersebut dapat diamati dari berbagai gejala yang
dimanifestasikan
dalam
perilakunya,
baik
dalam
kognitif,
afektif,
maupun
psikomotornya. Kesulitan dari aspek kognitif akibat pengaruh fisik seperti: tidak seperti
biasanya, ada siswa yang mendapat nilai mata pelajaran tertentu yang jauh di bawah
nilai rata-rata sekelasnya. Guru menyalahkan beberapa penyelesaian soal siswa yang
benar; setelah diselidiki siswa ada kesalahan menuliskan soalnya karena
7
gangguan penglihatannya; sementara guru menyalahkan karena terpaku dengan kunci
jawaban. Setelah siswa tersebut diberi kacamata dan tidak salah lagi menuliskan soalsoalnya nilai dari mata pelajaran tersebut menjadi baik. Contoh ini menunjukkan bahwa
gangguan fisik penglihatan dapat menjadi salah satu penyebab kesulitan belajar siswa
sehingga tulisan/peragaan/informasi yang disampaikan guru tidak dapat diterima
dengan sempurna.
Kesulitan belajar dilihat dari aspek afektif adalah bahwa dalam proses pembelajaran,
memungkinkan guru menghadapi beberapa siswa yang selalu membuat ulah,
mengacaukan situasi, rendah diri, malas, lambat menghapal, ataupun membenci
beberapa pelajaran seperti: Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris yang umumnya
dianggap mempunyai tingkat kesulitan lebih dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya.
Dalam konteks ini, siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat
melakukan kegiatan selama pembelajaran berlangsung atau dapat melakukannya tetapi
tidak maksimal karena pengaruh emosionalnya.
Selanjutnya kesulitan belajar dari aspek psikomotor adalah seperti learning disorder
(kekacauan belajar), sebagai contoh: siswa yang sudah terbiasa dengan olahraga keras
akan mengalami kesulitan dalam belajar menari. Demikian pula dengan learning
disfunction, contohnya adalah: siswa yang berpostur tubuh tinggi atletis dan cocok
untuk atlet bola volly, karena tidak pernah dilatih maka ia tidak akan menjadi pemain
volley yang baik. Demikian halnya penyebab kesulitan belajar yang disebabkan oleh
faktor eksternal siswa baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan sosialnya.
2. Analisis Anomali
Setiap kegiatan pembelajaran berlangsung, sudah barang tentu guru mendambakan
agar para siswanya dapat belajar dengan baik, namun dalam kenyataannya tidaklah
seperti yang diharapkan. Dengan keanekaragaman latar
9
belakang termasuk lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah siswa, termasuk
komponen-komponen lain baik internal maupun eksternal siswa sebagai peserta didik,
terlibat dalam proses pembelajaran, sekaligus pula dengan perbedaan-perbedaan
kesulitan belajarnya membutuhkan penanganan yang tepat. Pada umumnya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi berkenaan dengan kesulitan belajar siswa
adalah belum diperhatikannya secara serius tentang faktor-faktor penyebab kesulitan
belajar yang menurut (Cooney: 1975)
“menyangkut aspek fisiologis, sosiologis
(soaial), psikologis, serta intelektual dan pendidikan”.
Berdasarkan pendapat di atas, siswa sangat membutuhkan bantuan khususnya dari
guru dan orangtua untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya dalam belajar, namun belum
mendapatkan solusi yang tepat. Berbagai contoh kesulitan belajar yang dialami siswa
dari kelima faktor di atas dan perlu dikelola dengan baik adalah:
1. Faktor Fisiologis
Terdapat siswa yang otak dan susunan syaraf atau bagian tubuh lainnya kurang
berfungsi dengan baik; padahal yang paling berperan pada saat belajar berlangsung
adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan
aaupun memunculkan informasi yang sudah disimpan. Contoh lainnya adalah apabila
siswa sering sakit, tidak makan pagi, kurang baik pengengaran dan penglihatannya
cenderung menghadapi kesulitan belajar.
2. Faktor sosiologis (sosial)
Sekolah adalah cerminan masyarakat dan keadaan keluarga adalah gambaran
orangtuanya. Suatu kenyataan bahwa orangtua dan masyarakat sekitar akan
berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa. Sebagai contoh,
orangtua yang menyatakan bahwa Bahasa Inggris itu sulit dapat menurunkan
kemauan anaknya untuk mempelajarinya. Masyarakat yang beranggapan bahwa:
sekolah tidak penting karena banyak sarjana yang menganggur, minum miuman
keras,
10
melawan hukum, orangtua selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka atau
kurang menyayangi anaknya, orangtua tidak harmonis, ekonomi keluarga yang
bermasalah, dapat menyebabkan kesulitan belajar siswa.
3. Faktor Psikologi
Perasaan hati (emosi) siswa yang kurang mendukung untuk belajar dengan intensif.
Contohnya adalah: siswa yang gagal mempelajari mata pelajaran tertentu karena ia
selalu gagal mempelajari mata pelajaran tersebut;
pengalaman tersebut dapat
mempengaruhi kesulitan belajar siswa dalam kadar berat. Contoh lain adalah siswa
yang rendah diri, siswa yang sedih berkepanjangan, siswa yang mempunyai rasa
benci berkepanjangan, siswa yang bermasalah di kelas/sekolah (misbehavior).
Penyebab-penyebab kesulitan belajar dari faktor psikologis karena siswa tidak dapat
mengendalikan atau memanaj emosinya karena berbagai pemicu.
4. Faktor Intelektual
Tingkat kecerdasan setiap siswa berbeda-beda, yang kurang sempurna atau kurang
normal tingkat kecerdasannya dapat menyebabkan kesulitan belajar. Artinya adalah
ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang tidak mempunyai
penegetahuan prasyarat, dan ada yang sulit membayangkan dan bernalar. Kegiatan
pembelajaran umumnya pendidikan di sekolah materi pelajaran dan metode serta
sarana yang digunakan sama untuk semua siswa dikelas tersebut, sementara tingkat
kecerdasan siswa berbeda-beda.
5. Faktor Pendidikan
Lembaga-lembaga pendidikan secara umum dapat dikatakan belum mantap masih
banyak komponen-komponen yang masih harus diperbaiki. Salah satu komponen
penting pendidikan adalah guru sebagai ujungtombak keberhasilan belajar siswa,
kompetensinya perlu ditingkatkan. Penyimpangan yang umumnya terjadi adalah guru
11
cenderung meremehkan siswa, kurang memotivasi siswa untuk giat belajar,
membiarkan siswa berbuat salah, tidak memeriksa pekerjaan siswa, dan membiarkan
siswanya membolos tanpa sangsi. Dalam hal ini guru kurang menyadari adanya
bebrapa siswa yang mengalami kesulitan belajar ataupun siawa yang kurang berhasil
dalam proses pembelajarannya.
3. Analisis Krisis
Siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat diamati dari berbgai gejala yang
dimanifestasikan dalam perilakunya, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar
antara lain adalah:
1. Siswa menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata yang dicapai oleh
siswa lainnya di kelas.
2. Siswa yang sudah giat belajar, tetapi nilai yang diperolehnya selalu rendah.
3. Siswa lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu
tertinggal dari kawan-kawannya berdasarkan waktu yang disediakan.
4. Siswa menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh,
menentang, berpura-pura, dusta dan sejenisnya.
5. Siswa menunjukkan perilaku berkelainan, seperti membolos, datang terlambat,
tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam maupun di luar kelas,
tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sejenisnya
6. Siswa menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung,
12
mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi
tertentu. Misalnya saja siswa yang memperoleh nilai rendah, bersikap biasa-biasa
tidak menunjukkan penyesalan ataupun perasaan sedih.
Berkenaan dengan kesulitan belajar siswa tersebut, Burton yang dikutip Abin
Syamsuddin (2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar,
ditunjukkan adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar sebagai
berikut:
1. Dalam batas watu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam
pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran
tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat
digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil dalam tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan
sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat
digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus
Menjadi pengulang (repeater).
Dengan memperhatikan beberapa krisis tentang kesulitan belajar siswa di atas,
langkah selanjutnya dalam menentukan alur berpikir paradigmatik adalah menetapkan
kegiatan rekonstruksi/revolusi sebagai berikut:
4. Analisis Rekonstruksi/Revolusi
Mengenai kesulitan belajar siswa sudah seharusnya guru menyadari adanya
beberapa siswa
yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam
pembelajarannya. Berdasarkan beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang
telah diuraikan dalam “paradigma, anomali dan krisis”, idealnya setiap guru harus
senantiasa berusaha untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan
belajarnya. Catatan penting bagi guru adalah bahwa penyebab kesulitan belajar
siswa berbeda-beda seperti telah diuraikan sebelumnya, oleh karena itu guru harus
mampu
13
mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya terlebih dahulu sebelum berusaha untuk
mencarikan jalan pemecahannya.
Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung kepada keberhasilan
guru dalam menentukan penyebab kesulitan tersebut. Untuk dapat menetapkan gejala
kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, diperlukan
kriteria sebagai batas patokan untuk memperkirakan kesulitan belajar yang dialami
siswa. Empat ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kegagalan dan kemajuan
belajar siswa adalah: tujuan pendidikan, kedudukan dlam kelompok, tingkat pencapaian
hasil belajar dibandingkan dengan potensi, dan kepribadian. Mengenai keempat ukuran
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu
komponen pendidikan yang penting, dapat memberikan arah proses kegiatan
pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan pendidikan/pembelajaran
dapat dianggap siswa yang berhasil; siswa yang tidak mampu mencapai tujuan
pendidikan/pembelajaran dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk
menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka
sebelum proses belajat dimulai, tujuan harus dirumuskan dengan jelas dan
operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapaai dijadikan sebagai tingkat
pencapaian tujuan tersebut.
Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, siswa dapat dikatakan berhasil jika
telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan pembelajaran yang
harus dicapai. Jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning)
dengan menggunakan penilaian acuan patokan atau Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM), maka siswa dikatakan berhasil dalam belajar jika telah menguasai standar
minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya, jika penguasaan
14
ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami
kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan adalah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam
pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar jika
memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara
keseluruhan. Sebagai contoh, rata-rata prestasi belajar kelompok adalah 9, siswa
yang mendapat nilai di bawah angka 9 diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Nilai yang dicapai siswa akan memberikan arti yang lebih jelas setelah
dibandingkan dengan prestasi siswa lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini
guru akan dapat menandai
Siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat
prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang
menduduki 25% di bawah urutan kelompok dan disebut lower group. Dengan teknik
ini guru mengurutkan siswa berdasarkan nilai-nilai yang dicapainya, dari yang paling
tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi
(rangking). Mereka yang berada di posisi 25% di bawah diperkirakan mengalami
kesulitan belajar. Teknik lain adalah dengan membandingkan prestasi belajar setiap
siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah ratarata kelompok diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya,
seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa
yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar
yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan
15
prestasi belajar yang dicapainya guru dapat memperkirakan sampai sejauhmana siswa
dapat merealisasikan potensi yang dimilikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan
belajar jika prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Contohnya adalah: seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui
memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120 termasuk kategori cerdas. Ternyata hasil
belajar siswa tersebut hanya mendapat nilai angka 6, seharusnya dengan IQ yang
dimilikinya paling tidak memperoleh angka 8. Siswa tersebut disebut dengan
underachiever dan menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai siswa akan tercermin dalam seluruh kepribadiannya.
Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek
kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola
kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar jika menunjukkan pola-pola perilaku
atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti: acuh tak acuh,
melalaikan tugas, sering membolos, menentang, mengisolasi diri, motivasi lemah,
emosi yang tidak seimbang, dan sejenisnya.
5. Analisis Paradigma 2
Dari Paradigma I/Enigma yang ditemukan/dimunculkan mengenai kesulitan belajar
siswa
setelah
dikaji
dengan
mengidentifikasi
anomali,
krisis,
dan
rekonstruksi/revolusi yang dapat dilakukan maka tindak lanjutnya adalah
menginventarisir Paradigma 2 dengan pembahasan sebagai berikut:
Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam membantu siswa yang mengalami
kesulitan belajar adalah dengan memberikan bimbingan belajar. Dalam memberikan
bimbingan belajar guru harus menyususun langkah-langkah yang efektif agar
16
bimbingan yang diberikan tepat sesuai dengan kebutuhan siswa untuk mengatasi kesulitan belajarnya. Langkah-langkah yang harus disusun, ditetapkan, dan dijalankan
guru adalah sebagai berkut:
1. Identifikasi Kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga
memerlukan layanan bimbingan belajar. Abin Syamsuddin (2003) mengutip
pendapat Robinson mengemukakan bahwa: beberapa pendekatan yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga membutuhkan layanan bimbingan
belajar adalah:
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara
bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar
membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan baik, penuh keakraban
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan
kegiatan belajar mengajar secara formal melainkan dapat melalui kegiatan ekstra
kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Guru dan siswa yang bersangkutan mendiskusikan tentang hasil tes siswa seperti:
tes intelegensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama
serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, agar diketahui jenis kesulitan atau
kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, agar dapat ditemukan siswa yang diduga
mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
2. Identifikasi Masalah
Dengan identifikasi masalah guru dapat memahami jenis, karakteristik kesulitan
atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar (PBM),
17
permasalahan siswa meliputi aspek: substansial-material, struktural-fungsional,
bahavioral, dan atau personaliti. Sedangkan untuk mengidentifikasi masalah siswa,
Prajitno, dkk. (2003) telah mengembangkan suatu instrumen yang dapat digunakan
sebagai acuan guru untuk
melacak masalah siswa berupa Alat Ungkap Masalah
(AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang
dihadapi siswa seputar aspek: jasmani dan kesehatan, diri pribadi, hubungan sosia,
ekonomi dan keuangan, karier dan pekerjaan, pendidikan dan pelajaran, agama, nilai
dan moral, hubungan muda-mudi, keadaan dan hubungan keluarga, dan waktu
senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis harus dilakukan untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar
Mengajar, faktor-faktor penyebab kegagalan belajar siswa dapat dilihat dari segi:
input, proses, dan output belajarnya.
Pendapat Burton yang dikutip Abin
Syamsuddin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan
kesulitan dan kegagalan belajar siswa adalah: (a) faktor internal, seperti: kondisi
jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisikondisi psikis lainnya, dan (b) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah,
lingkungan sekolah termasuk di dalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan
sejenisnya. Dalam hal ini guru, baik guru kelas, wali kelas maupun guru bimbingan
dan konseling harus melakukan diagnosis tentang penyebab kesulitan belajar siswa
tersebut; peran serta orangtua pun diperlukan.
4. Prognosis
Prognosis dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa
masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya.
Prognosis dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasilhasil langkah menentukan tujuan pendidikan/ pembelajaran dan identifikasi
masalah.
18
Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu
dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk
diminta bekerjasama menangani kasus-kasus yang dihadapi.
5. Remedial atau Referal (Alih Tangan Kasus)
Apabila jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan
sistem pembelajaran dan masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru
atau guru pembimbing, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh
guru atau guru pembimbing. Tetapi, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek
kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas, maka selayaknya tugas guru atau
guru pembimbing sebatas membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten
untuk menangani masalah-masalah yang menyebabkan kesulitan belajar siswa
tersebut.
6. Evaluasi dan Follow Up
Guru melakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk mengetahui pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi siswa dalam kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui keberhasilan dan
efektivitas layanan bimbingan yang diberikan kepada siswa, Robinson yang dikutip
Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan kriterianya sebagai berikut:
1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan
masalahya secara objektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya.
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan,
mengadakanpilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha-usaha perbaikan dan
penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuaidengan dasar pertimbangan dan
keputusan yang telah diambilnya.
19
7. Analisis Verifikasi
Verifikasi dilakukan untuk menguji validitas paradigma melalui kegiatan penelitian,
dapat dilakukan dengan metode eksperimen dan lainnya dengan pengolahan data
hasil penelitian secara kuantitatif, melalui konsep berfikir deduktif dan atau
induktif. Kelebihan
penelitian kuantitatif seperti dikemukakan oleh Jujun S.
Suriasumantri (2006:20) bahwa “Statistik adalah cara yang dapat membantu kita
dalam menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan...Tak ada penelitian yang
benar-benar bersifat keilmuan dilakukan tanpa statistika”. Dalam konteks ini,
statistika merupakan alat atau metode yang terlibat dalam proses induktif dari
kegiatan keilmuan.
Dengan kegiatan verifikasi yang dilakukan terhadap paradigma, anomali, krisis, dan
rekonstruksi/revolusi mengenai kesulitan belajar siswa, diharapkan terjadi perubahan ke
arah yang lebih baik dari masalah kesulitan belajar siswa tersebut. Perubahan positif
yang diharapkan dari siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan berbagi
penyebabnya adalah:
1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah
yang dibahas;
2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yaang dibawakan melalui
layanan, dan
3. Rencana kegiatan yang akan dilaksankan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan
dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang
dialaminya.
Ketiga harapan di atas, sesuai dengan kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar
yang ditetapkan Depdiknas. Apabila diamati dari aspek kinerja akademik siswa, maka
verifikasi ini dilakukan untuk menguji hasil bimbingan belajar oeh guru kelas dan atau
guru pembimbing, akibat dari kesulitan belajar siswa untuk memperbaiki kinerja
akademiknya.
20
PENUTUP
1. Kesimpulan
Siswa sebagai salah satu komponen dan objek proses pembelajaran yang
mengalami kesulitan belajar pada umumnya masih belum mendapatkan penanganan
yang semestinya dari sekolah dan atau guru. Kesulitan belajar dapat dialami oleh siswa
yang mempunyai tingkat kecerdasan rendah maupun tinggi karena berbagai sebab.
Penyebab kesulitan belajar dari faktor internal siswa seperti: ranah kognitif, afektif,
psikomotor; dan
faktor internal siswa seperti: lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingungan masyarakat.
Dengan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dapat berdampak kepada
pencapaian kinerja akademiknya tidak seperti yang diharapkan, dalam arti rendah.
Guru/sekolah khususnya mempunyai tugas ekstra untuk menangani siswa yang
bermasalah tersebut baik secara formal maupun nonformal. Untuk siswa yang
masalah/kesulitan belajarnya istimewa, guru dan atau guru pembimbing dapat
memberikan rekomendasi untuk menangani kesulitan belajar tersebut kepada pihak
yang lebih kompeten.
Dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar, guru dan atau guru
pembimbing harus membuat langkah-langkah untuk mengatasinya yang meliputi:
identifikasi kasus, identifikasi masalah, diagnosis, prognosis, remedial, evaluasi, dan
follow up.
21
Kesulitan belajar siswa merupakan masalah sekolah khususnya guru, membutuhkan
upaya untuk mengatasinya secara terpadu, tidak saja oleh pihak sekolah tetapi perlu
peran serta orangtua dan masyarakat.
2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan kesulitan belajar siswa dalam
pencapaian kinerja akademiknya adalah:
1. Untuk siswa yang memiliki tingkat kecerdasannya tinggi dan kinerja akademiknya
baik, diberikan kesempatan untuk belajar dengan accelerated learning dan quantum
learning dilengkapi dengan quantum success.
2. Siswa yang tingkat kecerdasannya tinggi tetapi bermasalah sehingga kinerja
akademiknya rendah karena mengalami kesulitan belajar, harus ditangani dengan
diawali identifikasi kasus dan permasalahan, diagnosis, evaluasi dan follow up yang
trelevan, konsisten dan tepat.
3. Siswa yang tingkat kecerdasannya rendah dan bermasalah serta mengalami
kesulitan belajar, harus diatasi dengan penanganan terpadu bahkan perlu bantuan
pihak yang kompeten.
22
BAGAN ANALISIS PARADIGMATIK TENTANG KESULITAN BELAJAR DALAM PENCAPAIAN KINERJA AKADEMIK SISWA SMA
Paradigma
I/ Enigma
1.
Pada umumnya
siswa mengalami
kesulitan belajar
Anomali
1. Para siswa belum belajar
secara efektif
2. Siswa tidak disiplin
Krisis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1. Kinerja akademik siswa
dievaluasi
2. Permasalahan siswa
diidentifikasi
3. Kesulitan belajar siswa
dievaluasi
Guru tidak profesional
4. Guru mendiagnosis
kesulitan belajar siswa
5. Guru membuat
langkah-langkah
penenganan kesulitan
belajar siswa
6. Guru merekomendasi
penanganan masalah
siswa dengan pihak
yang kompeten
7. Menciptakan
hubungan yang
harmonis antara guru,
orangtua, dan siswa
8. Guru menyediakan
waktu bimbingan dan
konseling siswa
9. Dibentuk kelompk
belajar
3. Perhatian guru terhadap
siswa belum optimal
3.
Lingkungan
keluarga
penyebab
kesulitan belajar
9.
4.
Lingkungan
masyarakat
penyebab
kesulitan belajar
4. Orangtua siswa tidak
memantau
5. Orangtua siswa tidak
harmonis
6. Ekonomi keluarga tidak
mendukung
7. Pergaulan siswa/peer
tidak mendukung
10. Peer siswa menjerumuskan
5.
Lingkungan
sosial penyebab
kesulitan belajar
8.
Siswa mengalami kesulitan
belajar yang serius
Siswa sering membolos
Siswa tidak menyelesaikan
tugas
Siswa membantah/
melawan guru
5. Siswa mengganggu
situasi belajar
6. Sikap siswa tidak wajar
7. Kinerja akademik siswa
rendah
Lingkungan
sekolah
penyebab
kesulitan belajar
siswa
2.
Krisis
Revolusi/
Rekonstruksi
Tidak ada perhatian
orangtua
Paradigma II
1.
2.
3.
4.
5.
Siswa belajar dengan
efektif
Siswa tidak mengalami
kesulitan belajar.
Semua permasalahan
siswa ditangani secara
tuntas oleh guru
Guru menerapkan
belajar akselerasi
Guru berperan
sebagai pendidik dan
pembimbing
6.
Orangtua peduli
pendidikan anak
7.
Peer siswa menunjang
keberhasilan
Verifikasi
Menguji validitas
Paradigma II
dengan Metode
Penelitian
Eksperimen.
Bila tidak terbukti
validitasnya, maka
terjadi Paradigma
III
8
DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. 1975. Dynamics of Teaching Secondary
School Mathematics. Boston: Houghton Mifflin Company.
Cruickkshank, William M. 2001. Research and Global Perspectives in Learning
Disabilities. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers Mahwah, New
Jersey.
Gordon, Richard. Et.all. 2007. School Learning & Administration. Seventh Edition.
New York: Mc. Graw-Hill, Inc. 1221. Avenue of America.
Jujun S. Surisumantri. 2006. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Knight, George, R., Penerjemah: Dr. Mahmud Arif, M.Ag. 2007. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: GAMA MEDIA.
Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Rosda Karya
Prajitno, dkk. 1995. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: P2LPTK.
Depdikbud.
Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Semarang:Tiara Wacana
)* Penulis adalah Dosen Tetap ASM Ariyanti
23
Download