ANALISIS PARADIGMATIK KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM PENCAPAIAN KINERJA AKADEMIK Oleh: Surati Redjosuwito )* ABSTRAK Penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah cenderung ditujukan kepada para siswa yang berkemampuaan rata-rata sehingg para siswa yang berkemampuan “di luar rata-rata” mengalami kesulitan belajar. Para siswa yang mempunyai kemampuan rata-rata pun dapat mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal siswa. Kesulitan belajar siswa berdampak kepada pencapaian kinerja akademiknya. Kesulitan belajar siswa dalam pencapaian kinerja akademik membutuhkan pemecahan atau pembahasan melalui kajian ilmiah: analisis paradigmatik dengan landasan filosofis: essensialisme, progresivisme dan rekonstruksionisme. Guru sangat menentukan keberhasilan kinerja akademik siswa; oleh karena itu guru/guru pembimbing dalam menangani kesulitan belajar siswa harus membuat langkah-langkah: identifikasi kasus, identifikasi masalah, diagnosis, prognosis, remedial, evaluasi dan follow up. Kesulitan belajar siswa harus ditangani dengan tepat; bagi siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan tinggi dan kinerja akademiknya unggul, diberi kesempatan untuk belajar dengan accelerated learning dilengkapi dengan quantum learning. Bagi siswa yang tingkat kecerdasannya rendah dan bermasalah serta mengalami kesulitan belajar, harus ditangani secara terpadu. PENDAHULUAN Apakah Paradigma itu? 1 Kamus filsafah menerangkan arti paradigma sebagai: A total view of a problem A total outlook, not just a problem solution Cara memandang sesuatu Dalam ilmu pengetahuan diartikan sebagai model, pola, ideal. Dari model ini berbagai fenomena ditarik, dipandang, dan dijelaskan. Totalitas premis-premis teoritik, dengan metodologi yang dipilih untuk mendefinisikan dan menganalisis problema yang timbul dalam praktek ilmiah tahap tertentu. Dasar untuk menyeleksi problema dan pola untuk memecahkan permasalahan riset. (Syahril, 2006). Dalam tulisan ini, paradigma merupakan cara memandang sesuatu dengan menggunakan alur fikir paradigmatik yang menurut Agus Salim (2006) meliputi: Paradigma I/Enigma → Anomali → Krisis → Revolusi → Paradigma II → Verifikasi. Apa, Mengapa dan Bagaimana Kesulitan Belajar? Pada dasarnya setiap siswa berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun dalam kenyataan seharihari yang tampak adalah bahwa siswa satu dengan lainnya mempunyai perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang digunakan. (Muhibbin Syah, 2008:172). Dengan perbedaan-perbedaan siswa tersebut, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata. Dalam konteks ini, para siswa yang mempunyai kemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang belum mendapat perhatian yang sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu siswa-siswa yang berkategori sangat pintar atau sangat bodoh dengan kata lain “di luar rata-rata” tidak dapat berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Kondisi tersebut berdampak kepada munculnya kesulitan 2 belajar (learning difficulty) yang dialami baik oleh siswa yang berkemampuan rendah maupun yang berkemampuan tinggi. Bagi siswa yang mempunyai kemampuan rata-rata pun dapat pula mengalami kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor-faktor yang dapat menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan. Fenomena kesulitan belajar siswa pada umumnya dapat dilihat dari menurunnya prestasi belajar atau kinerja akademik. Namun demikian, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) seperti yang dinyatakan oleh Richard Gorton, Judy, Petra (2007:216) bahwa: “Many student problems are as old as formal schooling itself. Student truancy, vandalism, cheating smoking, profanity, talking back to teachers, and other kinds of problems have confronted most administrators at one time or another over the years”. Pendapat Richard Gorton di atas dapat ditafsirkan bahwa permasalahan-permasalahan siswa itu ada sejak sekolah formal berdiri seperti: siswa membolos, vandalisme/merusak, curang, merokok, berkata kotor, membantah guru dan masalahmasalah yang mirip lainnya yang selalu menyulitkan para guru/pihak sekolah dari waktu ke waktu selama bertahun-tahun. Masalah-masalah yang mirip lainnya seperti: kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, ... dan sering pulang sekolah sebelum waktunya. (Muhibbin Syah, 2008:173). Perilaku-perilaku siswa tersebut sudah barang tentu dapat berdampak kepada kesulitan belajarnya. Mengenai kesulitan belajar, Muhibbin Syah (2008:173) menyatakan bahwa: 3 Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari dua macam. 1. Faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri. 2. Faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.... Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni: 1) Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/intelegensi siswa; 2) Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap; 3) Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alatalat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga). Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa, terdiri dari: 1) Lingkungan keluarga, contohnya ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya ekonomi keluarga. 2) Lingkungan perkampungan/masyarakat, contohnya wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal. 3) Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru serta alat-alat belajar yang berkualitas rendah. Selain faktor umum penyebab kesulitan belajar siswa, terdapat faktor khusus yang juga dapat menimbulkan kesulitan belajar adalah sindrom psikologis berupa learning disability (ketidakmampuan belajar). William M. Cruickshank (2001:111) mengemukakan: conceptualizations of learning disabilities have changed from unitary approaches that emphasize isolated processes toward multidimensional approach that focus on the interactions between neurologically based characteristics and environmentaly transmitted influences. 4 Pendapat William M. Cruickshank di atas dapat ditafsirkan bahwa konsep dari learning disabilities (ketidakmampuan belajar) fokus kepada interaksi karakteristik berdasarkan neurologi dan pengaruh lingkungan. Selanjutnya kesulitan belajar siswa yang bersifat khusus lainnya adalah: disorder, learning disfunction, underachiever, learning dan slow learner, dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Learning Disorder atau kekacauan belajar terjadi pada seseorang yang proses belajarnya terganggu karena timbulnya respon yang bertentangan. Pada dasarnya yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respon-respon yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Kesulitan belajar ini disebabkan karena kegiatan belajar yang diikutinya belum menjadi suatu kebiasaan, mempelajari sesuatu yang baru. 2. Learning disfunction merupakan gejala dimana proses belajar mengajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Kesulitan ini umumnya terjadi karena frekuensi latihan yang kurang intensif dalam kegiatan belajar. 3. Under achiever, siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Siswa yang tingkat kecerdasan (IQ)nya unggul, namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah rendah. 4. Slow learner atau lambat belajar, siswa yang mengalami lambat belajar membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama. 5 Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang kesulitan belajar dan atau ketidakmampuan belajar siswa jelaslah bahwa kesulitan belajar siswa dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal siswa. Dalam konteks ini khususnya peran aktif guru dalam kegiatan pembelajaran sangat menentukan keberhasilan kinerja akademik siswa. Landasan Filosofis yang Digunakan Mengenai kesulitan belajar siswa yang dapat berdampak kepada kinerja akademiknya, membutuhkan pemecahan dan atau pembahasan melalui kajian ilmiah dengan analisis paradigmatik. Landasan filosofis yang digunakan adalah; 1. Essensialisme. Falsafah ini berpendapat bahwa sekolah harus berlandaskan kepada yang esensial. Adapun yang esensial berkaitan dengan kesulitan belajar bagian dari belajar, Muhibbin Syah (2008:89)menyatakan bahwa: “Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. 2. Progresivisme, berpendapat bahwa sekolah adalah tempat menstimulasi siswa untuk berfikir dengan efektif. George R. Knight (2007:145) menyatakan bahwa:”progresivisme sebagai sebuah teori pendidikan muncul sebagai bentuk reaksi terbatas terhadap pendidikan tradisional...”. Khususnya mengenai kesulitan belajar siswa, Muhibbin Syah (2008:172) berpendapat bahwa: “Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. 3. Rekonstruksionisme, beranggapan sekolah sebagai “change agent”. Kesulitan belajar siswa dapat diketahui dari hasil belajar yang menurut Muhibbin Syah (2008:150) meliputi: 6 “segenap ranah psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar siswa”. Dalam konteks ini, Abin Syamsuddin (2003) harus mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar...” sebagai upaya rekonstruksi. ANALISIS PARADIGMATIK Bagan Analisis Paradigmatik tentang Kesulitan Belajar Siswa dalam Pencapaian Kinerja Akademik (lihat halaman 8) Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, khususnya guru dihadapkan dengan sejumlah karakteristik siswa yang beraneka ragam. Pengamatan secara umum menggambarkan bahwa kondisi siswa di sekolah dapat diklasifikasikan ke dalam siswa yang dapat mengikuti kegiatan belajarnya secara lancar, normal dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, dan siswa yang dalam kegiatan belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, intelektual, dan pendidikan sehingga dapat berdampak kepada pencapaian prestasi belajarnya di bawah yang semestinya dalam arti tidak memuaskan. 1. Analisis Paradigma I/Enigma Pada dasarnya secara umum siswa mengalami kesulitan belajar dalam proses pembelajarannya. Kesulitan tersebut dapat diamati dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik dalam kognitif, afektif, maupun psikomotornya. Kesulitan dari aspek kognitif akibat pengaruh fisik seperti: tidak seperti biasanya, ada siswa yang mendapat nilai mata pelajaran tertentu yang jauh di bawah nilai rata-rata sekelasnya. Guru menyalahkan beberapa penyelesaian soal siswa yang benar; setelah diselidiki siswa ada kesalahan menuliskan soalnya karena 7 gangguan penglihatannya; sementara guru menyalahkan karena terpaku dengan kunci jawaban. Setelah siswa tersebut diberi kacamata dan tidak salah lagi menuliskan soalsoalnya nilai dari mata pelajaran tersebut menjadi baik. Contoh ini menunjukkan bahwa gangguan fisik penglihatan dapat menjadi salah satu penyebab kesulitan belajar siswa sehingga tulisan/peragaan/informasi yang disampaikan guru tidak dapat diterima dengan sempurna. Kesulitan belajar dilihat dari aspek afektif adalah bahwa dalam proses pembelajaran, memungkinkan guru menghadapi beberapa siswa yang selalu membuat ulah, mengacaukan situasi, rendah diri, malas, lambat menghapal, ataupun membenci beberapa pelajaran seperti: Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris yang umumnya dianggap mempunyai tingkat kesulitan lebih dibandingkan pelajaran-pelajaran lainnya. Dalam konteks ini, siswa dapat mengalami hal-hal yang menyebabkan ia tidak dapat melakukan kegiatan selama pembelajaran berlangsung atau dapat melakukannya tetapi tidak maksimal karena pengaruh emosionalnya. Selanjutnya kesulitan belajar dari aspek psikomotor adalah seperti learning disorder (kekacauan belajar), sebagai contoh: siswa yang sudah terbiasa dengan olahraga keras akan mengalami kesulitan dalam belajar menari. Demikian pula dengan learning disfunction, contohnya adalah: siswa yang berpostur tubuh tinggi atletis dan cocok untuk atlet bola volly, karena tidak pernah dilatih maka ia tidak akan menjadi pemain volley yang baik. Demikian halnya penyebab kesulitan belajar yang disebabkan oleh faktor eksternal siswa baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan sosialnya. 2. Analisis Anomali Setiap kegiatan pembelajaran berlangsung, sudah barang tentu guru mendambakan agar para siswanya dapat belajar dengan baik, namun dalam kenyataannya tidaklah seperti yang diharapkan. Dengan keanekaragaman latar 9 belakang termasuk lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah siswa, termasuk komponen-komponen lain baik internal maupun eksternal siswa sebagai peserta didik, terlibat dalam proses pembelajaran, sekaligus pula dengan perbedaan-perbedaan kesulitan belajarnya membutuhkan penanganan yang tepat. Pada umumnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi berkenaan dengan kesulitan belajar siswa adalah belum diperhatikannya secara serius tentang faktor-faktor penyebab kesulitan belajar yang menurut (Cooney: 1975) “menyangkut aspek fisiologis, sosiologis (soaial), psikologis, serta intelektual dan pendidikan”. Berdasarkan pendapat di atas, siswa sangat membutuhkan bantuan khususnya dari guru dan orangtua untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya dalam belajar, namun belum mendapatkan solusi yang tepat. Berbagai contoh kesulitan belajar yang dialami siswa dari kelima faktor di atas dan perlu dikelola dengan baik adalah: 1. Faktor Fisiologis Terdapat siswa yang otak dan susunan syaraf atau bagian tubuh lainnya kurang berfungsi dengan baik; padahal yang paling berperan pada saat belajar berlangsung adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima, memroses, menyimpan aaupun memunculkan informasi yang sudah disimpan. Contoh lainnya adalah apabila siswa sering sakit, tidak makan pagi, kurang baik pengengaran dan penglihatannya cenderung menghadapi kesulitan belajar. 2. Faktor sosiologis (sosial) Sekolah adalah cerminan masyarakat dan keadaan keluarga adalah gambaran orangtuanya. Suatu kenyataan bahwa orangtua dan masyarakat sekitar akan berpengaruh terhadap kegiatan belajar dan kecerdasan siswa. Sebagai contoh, orangtua yang menyatakan bahwa Bahasa Inggris itu sulit dapat menurunkan kemauan anaknya untuk mempelajarinya. Masyarakat yang beranggapan bahwa: sekolah tidak penting karena banyak sarjana yang menganggur, minum miuman keras, 10 melawan hukum, orangtua selalu marah, nonton TV setiap saat, tidak terbuka atau kurang menyayangi anaknya, orangtua tidak harmonis, ekonomi keluarga yang bermasalah, dapat menyebabkan kesulitan belajar siswa. 3. Faktor Psikologi Perasaan hati (emosi) siswa yang kurang mendukung untuk belajar dengan intensif. Contohnya adalah: siswa yang gagal mempelajari mata pelajaran tertentu karena ia selalu gagal mempelajari mata pelajaran tersebut; pengalaman tersebut dapat mempengaruhi kesulitan belajar siswa dalam kadar berat. Contoh lain adalah siswa yang rendah diri, siswa yang sedih berkepanjangan, siswa yang mempunyai rasa benci berkepanjangan, siswa yang bermasalah di kelas/sekolah (misbehavior). Penyebab-penyebab kesulitan belajar dari faktor psikologis karena siswa tidak dapat mengendalikan atau memanaj emosinya karena berbagai pemicu. 4. Faktor Intelektual Tingkat kecerdasan setiap siswa berbeda-beda, yang kurang sempurna atau kurang normal tingkat kecerdasannya dapat menyebabkan kesulitan belajar. Artinya adalah ada siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang tidak mempunyai penegetahuan prasyarat, dan ada yang sulit membayangkan dan bernalar. Kegiatan pembelajaran umumnya pendidikan di sekolah materi pelajaran dan metode serta sarana yang digunakan sama untuk semua siswa dikelas tersebut, sementara tingkat kecerdasan siswa berbeda-beda. 5. Faktor Pendidikan Lembaga-lembaga pendidikan secara umum dapat dikatakan belum mantap masih banyak komponen-komponen yang masih harus diperbaiki. Salah satu komponen penting pendidikan adalah guru sebagai ujungtombak keberhasilan belajar siswa, kompetensinya perlu ditingkatkan. Penyimpangan yang umumnya terjadi adalah guru 11 cenderung meremehkan siswa, kurang memotivasi siswa untuk giat belajar, membiarkan siswa berbuat salah, tidak memeriksa pekerjaan siswa, dan membiarkan siswanya membolos tanpa sangsi. Dalam hal ini guru kurang menyadari adanya bebrapa siswa yang mengalami kesulitan belajar ataupun siawa yang kurang berhasil dalam proses pembelajarannya. 3. Analisis Krisis Siswa yang mengalami kesulitan belajar dapat diamati dari berbgai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain adalah: 1. Siswa menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata yang dicapai oleh siswa lainnya di kelas. 2. Siswa yang sudah giat belajar, tetapi nilai yang diperolehnya selalu rendah. 3. Siswa lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya berdasarkan waktu yang disediakan. 4. Siswa menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sejenisnya. 5. Siswa menunjukkan perilaku berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam maupun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sejenisnya 6. Siswa menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, 12 mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya saja siswa yang memperoleh nilai rendah, bersikap biasa-biasa tidak menunjukkan penyesalan ataupun perasaan sedih. Berkenaan dengan kesulitan belajar siswa tersebut, Burton yang dikutip Abin Syamsuddin (2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, ditunjukkan adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar sebagai berikut: 1. Dalam batas watu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference). 2. Tidak mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever. 3. Tidak berhasil dalam tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus Menjadi pengulang (repeater). Dengan memperhatikan beberapa krisis tentang kesulitan belajar siswa di atas, langkah selanjutnya dalam menentukan alur berpikir paradigmatik adalah menetapkan kegiatan rekonstruksi/revolusi sebagai berikut: 4. Analisis Rekonstruksi/Revolusi Mengenai kesulitan belajar siswa sudah seharusnya guru menyadari adanya beberapa siswa yang mengalami kesulitan atau kurang berhasil dalam pembelajarannya. Berdasarkan beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang telah diuraikan dalam “paradigma, anomali dan krisis”, idealnya setiap guru harus senantiasa berusaha untuk membantu siswanya keluar dari setiap kesulitan belajarnya. Catatan penting bagi guru adalah bahwa penyebab kesulitan belajar siswa berbeda-beda seperti telah diuraikan sebelumnya, oleh karena itu guru harus mampu 13 mengidentifikasi kesulitan dan penyebabnya terlebih dahulu sebelum berusaha untuk mencarikan jalan pemecahannya. Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa sangat tergantung kepada keberhasilan guru dalam menentukan penyebab kesulitan tersebut. Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, diperlukan kriteria sebagai batas patokan untuk memperkirakan kesulitan belajar yang dialami siswa. Empat ukuran yang dapat digunakan untuk menentukan kegagalan dan kemajuan belajar siswa adalah: tujuan pendidikan, kedudukan dlam kelompok, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi, dan kepribadian. Mengenai keempat ukuran tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, dapat memberikan arah proses kegiatan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan pendidikan/pembelajaran dapat dianggap siswa yang berhasil; siswa yang tidak mampu mencapai tujuan pendidikan/pembelajaran dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajat dimulai, tujuan harus dirumuskan dengan jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapaai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, siswa dapat dikatakan berhasil jika telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan pembelajaran yang harus dicapai. Jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan atau Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), maka siswa dikatakan berhasil dalam belajar jika telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya, jika penguasaan 14 ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan adalah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar. 2. Kedudukan dalam kelompok Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar jika memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Sebagai contoh, rata-rata prestasi belajar kelompok adalah 9, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 9 diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Nilai yang dicapai siswa akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi siswa lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini guru akan dapat menandai Siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan. Secara statistik, siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25% di bawah urutan kelompok dan disebut lower group. Dengan teknik ini guru mengurutkan siswa berdasarkan nilai-nilai yang dicapainya, dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (rangking). Mereka yang berada di posisi 25% di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain adalah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah ratarata kelompok diperkirakan mengalami kesulitan belajar. 3. Perbandingan antara potensi dan prestasi Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan 15 prestasi belajar yang dicapainya guru dapat memperkirakan sampai sejauhmana siswa dapat merealisasikan potensi yang dimilikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar jika prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Contohnya adalah: seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120 termasuk kategori cerdas. Ternyata hasil belajar siswa tersebut hanya mendapat nilai angka 6, seharusnya dengan IQ yang dimilikinya paling tidak memperoleh angka 8. Siswa tersebut disebut dengan underachiever dan menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar. 4. Kepribadian Hasil belajar yang dicapai siswa akan tercermin dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar jika menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti: acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, mengisolasi diri, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang, dan sejenisnya. 5. Analisis Paradigma 2 Dari Paradigma I/Enigma yang ditemukan/dimunculkan mengenai kesulitan belajar siswa setelah dikaji dengan mengidentifikasi anomali, krisis, dan rekonstruksi/revolusi yang dapat dilakukan maka tindak lanjutnya adalah menginventarisir Paradigma 2 dengan pembahasan sebagai berikut: Upaya yang dapat dilakukan oleh guru dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar adalah dengan memberikan bimbingan belajar. Dalam memberikan bimbingan belajar guru harus menyususun langkah-langkah yang efektif agar 16 bimbingan yang diberikan tepat sesuai dengan kebutuhan siswa untuk mengatasi kesulitan belajarnya. Langkah-langkah yang harus disusun, ditetapkan, dan dijalankan guru adalah sebagai berkut: 1. Identifikasi Kasus Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Abin Syamsuddin (2003) mengutip pendapat Robinson mengemukakan bahwa: beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga membutuhkan layanan bimbingan belajar adalah: 1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan. 2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar secara formal melainkan dapat melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya. 3. Guru dan siswa yang bersangkutan mendiskusikan tentang hasil tes siswa seperti: tes intelegensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya. 4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, agar diketahui jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa. 5. Melakukan analisis sosiometris, agar dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial. 2. Identifikasi Masalah Dengan identifikasi masalah guru dapat memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar (PBM), 17 permasalahan siswa meliputi aspek: substansial-material, struktural-fungsional, bahavioral, dan atau personaliti. Sedangkan untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prajitno, dkk. (2003) telah mengembangkan suatu instrumen yang dapat digunakan sebagai acuan guru untuk melacak masalah siswa berupa Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa seputar aspek: jasmani dan kesehatan, diri pribadi, hubungan sosia, ekonomi dan keuangan, karier dan pekerjaan, pendidikan dan pelajaran, agama, nilai dan moral, hubungan muda-mudi, keadaan dan hubungan keluarga, dan waktu senggang. 3. Diagnosis Diagnosis harus dilakukan untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, faktor-faktor penyebab kegagalan belajar siswa dapat dilihat dari segi: input, proses, dan output belajarnya. Pendapat Burton yang dikutip Abin Syamsuddin (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat menimbulkan kesulitan dan kegagalan belajar siswa adalah: (a) faktor internal, seperti: kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisikondisi psikis lainnya, dan (b) faktor eksternal, seperti: lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk di dalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya. Dalam hal ini guru, baik guru kelas, wali kelas maupun guru bimbingan dan konseling harus melakukan diagnosis tentang penyebab kesulitan belajar siswa tersebut; peran serta orangtua pun diperlukan. 4. Prognosis Prognosis dilakukan untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya. Prognosis dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasilhasil langkah menentukan tujuan pendidikan/ pembelajaran dan identifikasi masalah. 18 Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerjasama menangani kasus-kasus yang dihadapi. 5. Remedial atau Referal (Alih Tangan Kasus) Apabila jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing. Tetapi, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas, maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten untuk menangani masalah-masalah yang menyebabkan kesulitan belajar siswa tersebut. 6. Evaluasi dan Follow Up Guru melakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk mengetahui pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa dalam kesulitan belajarnya. Untuk mengetahui keberhasilan dan efektivitas layanan bimbingan yang diberikan kepada siswa, Robinson yang dikutip Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan kriterianya sebagai berikut: 1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi. 2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi. 3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahya secara objektif (self acceptance). 4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release). 5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya. 6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakanpilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional. 7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha-usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuaidengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya. 19 7. Analisis Verifikasi Verifikasi dilakukan untuk menguji validitas paradigma melalui kegiatan penelitian, dapat dilakukan dengan metode eksperimen dan lainnya dengan pengolahan data hasil penelitian secara kuantitatif, melalui konsep berfikir deduktif dan atau induktif. Kelebihan penelitian kuantitatif seperti dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri (2006:20) bahwa “Statistik adalah cara yang dapat membantu kita dalam menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan...Tak ada penelitian yang benar-benar bersifat keilmuan dilakukan tanpa statistika”. Dalam konteks ini, statistika merupakan alat atau metode yang terlibat dalam proses induktif dari kegiatan keilmuan. Dengan kegiatan verifikasi yang dilakukan terhadap paradigma, anomali, krisis, dan rekonstruksi/revolusi mengenai kesulitan belajar siswa, diharapkan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik dari masalah kesulitan belajar siswa tersebut. Perubahan positif yang diharapkan dari siswa yang mengalami kesulitan belajar dengan berbagi penyebabnya adalah: 1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas; 2. Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yaang dibawakan melalui layanan, dan 3. Rencana kegiatan yang akan dilaksankan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya. Ketiga harapan di atas, sesuai dengan kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar yang ditetapkan Depdiknas. Apabila diamati dari aspek kinerja akademik siswa, maka verifikasi ini dilakukan untuk menguji hasil bimbingan belajar oeh guru kelas dan atau guru pembimbing, akibat dari kesulitan belajar siswa untuk memperbaiki kinerja akademiknya. 20 PENUTUP 1. Kesimpulan Siswa sebagai salah satu komponen dan objek proses pembelajaran yang mengalami kesulitan belajar pada umumnya masih belum mendapatkan penanganan yang semestinya dari sekolah dan atau guru. Kesulitan belajar dapat dialami oleh siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan rendah maupun tinggi karena berbagai sebab. Penyebab kesulitan belajar dari faktor internal siswa seperti: ranah kognitif, afektif, psikomotor; dan faktor internal siswa seperti: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingungan masyarakat. Dengan kesulitan belajar yang dialami oleh siswa dapat berdampak kepada pencapaian kinerja akademiknya tidak seperti yang diharapkan, dalam arti rendah. Guru/sekolah khususnya mempunyai tugas ekstra untuk menangani siswa yang bermasalah tersebut baik secara formal maupun nonformal. Untuk siswa yang masalah/kesulitan belajarnya istimewa, guru dan atau guru pembimbing dapat memberikan rekomendasi untuk menangani kesulitan belajar tersebut kepada pihak yang lebih kompeten. Dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar, guru dan atau guru pembimbing harus membuat langkah-langkah untuk mengatasinya yang meliputi: identifikasi kasus, identifikasi masalah, diagnosis, prognosis, remedial, evaluasi, dan follow up. 21 Kesulitan belajar siswa merupakan masalah sekolah khususnya guru, membutuhkan upaya untuk mengatasinya secara terpadu, tidak saja oleh pihak sekolah tetapi perlu peran serta orangtua dan masyarakat. 2. Saran Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan kesulitan belajar siswa dalam pencapaian kinerja akademiknya adalah: 1. Untuk siswa yang memiliki tingkat kecerdasannya tinggi dan kinerja akademiknya baik, diberikan kesempatan untuk belajar dengan accelerated learning dan quantum learning dilengkapi dengan quantum success. 2. Siswa yang tingkat kecerdasannya tinggi tetapi bermasalah sehingga kinerja akademiknya rendah karena mengalami kesulitan belajar, harus ditangani dengan diawali identifikasi kasus dan permasalahan, diagnosis, evaluasi dan follow up yang trelevan, konsisten dan tepat. 3. Siswa yang tingkat kecerdasannya rendah dan bermasalah serta mengalami kesulitan belajar, harus diatasi dengan penanganan terpadu bahkan perlu bantuan pihak yang kompeten. 22 BAGAN ANALISIS PARADIGMATIK TENTANG KESULITAN BELAJAR DALAM PENCAPAIAN KINERJA AKADEMIK SISWA SMA Paradigma I/ Enigma 1. Pada umumnya siswa mengalami kesulitan belajar Anomali 1. Para siswa belum belajar secara efektif 2. Siswa tidak disiplin Krisis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 1. Kinerja akademik siswa dievaluasi 2. Permasalahan siswa diidentifikasi 3. Kesulitan belajar siswa dievaluasi Guru tidak profesional 4. Guru mendiagnosis kesulitan belajar siswa 5. Guru membuat langkah-langkah penenganan kesulitan belajar siswa 6. Guru merekomendasi penanganan masalah siswa dengan pihak yang kompeten 7. Menciptakan hubungan yang harmonis antara guru, orangtua, dan siswa 8. Guru menyediakan waktu bimbingan dan konseling siswa 9. Dibentuk kelompk belajar 3. Perhatian guru terhadap siswa belum optimal 3. Lingkungan keluarga penyebab kesulitan belajar 9. 4. Lingkungan masyarakat penyebab kesulitan belajar 4. Orangtua siswa tidak memantau 5. Orangtua siswa tidak harmonis 6. Ekonomi keluarga tidak mendukung 7. Pergaulan siswa/peer tidak mendukung 10. Peer siswa menjerumuskan 5. Lingkungan sosial penyebab kesulitan belajar 8. Siswa mengalami kesulitan belajar yang serius Siswa sering membolos Siswa tidak menyelesaikan tugas Siswa membantah/ melawan guru 5. Siswa mengganggu situasi belajar 6. Sikap siswa tidak wajar 7. Kinerja akademik siswa rendah Lingkungan sekolah penyebab kesulitan belajar siswa 2. Krisis Revolusi/ Rekonstruksi Tidak ada perhatian orangtua Paradigma II 1. 2. 3. 4. 5. Siswa belajar dengan efektif Siswa tidak mengalami kesulitan belajar. Semua permasalahan siswa ditangani secara tuntas oleh guru Guru menerapkan belajar akselerasi Guru berperan sebagai pendidik dan pembimbing 6. Orangtua peduli pendidikan anak 7. Peer siswa menunjang keberhasilan Verifikasi Menguji validitas Paradigma II dengan Metode Penelitian Eksperimen. Bila tidak terbukti validitasnya, maka terjadi Paradigma III 8 DAFTAR PUSTAKA Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Cooney, T.J., Davis, E.J., Henderson, K.B. 1975. Dynamics of Teaching Secondary School Mathematics. Boston: Houghton Mifflin Company. Cruickkshank, William M. 2001. Research and Global Perspectives in Learning Disabilities. London: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers Mahwah, New Jersey. Gordon, Richard. Et.all. 2007. School Learning & Administration. Seventh Edition. New York: Mc. Graw-Hill, Inc. 1221. Avenue of America. Jujun S. Surisumantri. 2006. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Knight, George, R., Penerjemah: Dr. Mahmud Arif, M.Ag. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: GAMA MEDIA. Muhibbin Syah. 2008. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: Rosda Karya Prajitno, dkk. 1995. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: P2LPTK. Depdikbud. Salim, Agus. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Semarang:Tiara Wacana )* Penulis adalah Dosen Tetap ASM Ariyanti 23