GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS

advertisement
GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS
PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI
DAERAH BOGOR
Oleh :
DEBBY FADHILAH PAZRA
B04104042
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
1
ABSTRAK
DEBBY FADHILAH PAZRA. Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot dan
Usus pada Ikan Lele (Clarias sp.) Asal dari Daerah Bogor. Di bawah bimbingan :
Bambang Pontjo Priosoeryanto dan Risa Tiuria
Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan mengalami penurunan,
penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan, sedangkan permintaan
dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan permintaan tersebut
merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola
konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan untuk memenuhi kebutuhan
protein hewani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi
secara deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot
yang sampelnya diambil di daerah Bogor. Penelitian ini menggunakan 17 ekor
ikan lele yang dinekropsi. Organ yang diambil adalah insang, otot dan usus,
kemudian dibuat preparat histopatologi dan dilakukan pengamatan dengan melihat
perubahan histopatologi pada organ tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang yaitu hiperplasia
lamela sekunder pada 17 sampel, kongesti 16 sampel, edema 13 sampel,
proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan
tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan kista dari metaserkaria trematoda
digenea 5 sampel. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah proliferasi sel
goblet dan kongesti pada 10 sampel, deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi
parasit 5 sampel dan hemoragi 3 sampel. Perubahan histopatologi pada organ otot
yaitu degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel, edema dan deskuamasi epitel 8
sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu
perubahan histopatologi paling banyak ditemui pada insang adalah hiperplasia
lamela sekunder, pada usus proliferasi sel goblet dan kongesti, sedangkan pada
otot adalah degenerasi otot. Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan
perlakuan khusus agar penyebab dari perubahan histopatologi akibat dari suatu
penyakit atau infeksi dapat diketahui dengan pasti.
Kata kunci : ikan lele, organ insang, organ usus, organ otot
2
ABSTRACT
DEBBY FADHILAH PAZRA, Histopathological Lesions of Gill, Intestine, and
Muscle of Catfish (Clarias spp.) from Bogor. Advisor: Bambang Pontjo
Priosoeryanto dan Risa Tiuria
Fish production, especially from aquaculture product in the last several
years have been decreased. One of the causes is the incidence of fish disease
epidemic, meanwhile the demand of fish is increasing significantly. The
increasing of the fish demand is a consequence from the increasing of human
population and consumer behaviour change due to the need of animal protein
consumption. This purpose of the present research is to elaborate the
histopathological lesions in the intestine, gill and muscle of catfish (Clarias spp.)
from Bogor. A total of 17 heads catfish were used in this study. Gill, muscle and
intestine organs were collected upon necropsy and were then processed for
histopathological technique. The slides were observed using a light microscopy.
Result of the present research indicated that the main lesions in the gill is
secondary lamella hyperplasia which found in 17 samples, congestion 16 samples,
oedema 13 samples, goblet cell proliferation 10 samples, epithelial desquamation
8 samples, cartilago damage 8 samples, haemorrahage 6 samples and
metacercariae encysted infection 5 samples. Histopathological lesions in
intestines were goblet cell proliferation and congestion which detected in 10
fishes samples, epithelial desquamation 8 samples, parasite 5 samples and
haemorrahage 3 samples. Histopathological lesions in muscle were muscle
degeneration 13 samples, oedema and epithelial desquamation 8 samples and
parasite infection 4 samples. Conclusion from research is the most
histopathological lesions in gill were secondary lamella hyperplasia which found
in 17 samples. The most histopathological lesions in intestines were goblet cell
proliferation and congestion which detected in 10 fishes samples, while in the
muscle was degeneration which found in 13 samples. Future researches needed
by doing special treatment in order to knows the cause of histopatologi’s change
that is effected infection or disease which is certainly known. Numbers and
location of research require to be multiplied in order to got the data which is
more amount and representative area Bogor.
Key words : catfish, gill organs , intestine organs, muscle organs
3
GAMBARAN HISTOPATOLOGI INSANG, OTOT DAN USUS
PADA IKAN LELE (Clarias spp.) ASAL DARI
DAERAH BOGOR
Oleh :
DEBBY FADHILAH PAZRA
B04104042
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
4
Judul Skripsi : Gambaran Histopatologi Insang, Otot dan Usus pada Ikan
Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor
Nama
: Debby Fadhilah Pazra
NRP
: B04104042
Menyetujui
Dosen Pembimbing :
drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D
Pembimbing I
drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D
Pembimbing II
Mengetahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan
5
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sawahlunto, Sumatra Barat pada tanggal 2 Februari
1986 sebagai putri pertama dari lima bersaudara pasangan Ali Mukhni Oyon, SH
dan Rumjasmi.
Pada tahun 1992 penulis memasuki bangku sekolah dasar negeri 27
Sijunjung lulus pada tahun 1998 dan melanjutkan ke SLTP negeri 2 Sijunjung.
Pada tahun 2001 dilanjutkan ke SMA negeri 1 Sawahlunto Sijunjung dan lulus
pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
penulis aktif di beberapa organisasi diantaranya IMAKAHI (infokom dan
bendahara), himpro satwa liar, himpro HKSA (hewan kesayangan dan satwa
aquatik) dan himpro ornitologi.
6
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT karena dengan Rahmat dan InayahNya penulisan skripsi yang berjudul Gambaran Histopatologi Organ Insang, Otot
dan Usus pada Ikan Lele (Clarias spp.) Asal dari Daerah Bogor ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada
drh.Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, Ph.D dan drh. Risa Tiuria, MS, Ph. D
selaku pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan
kepada penulis. Serta drh. R. Roso Soejoedono. MPH.DEA selaku pembimbing
akademik.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Laboratorium
Patologi FKH-IPB dan Labratorium Helmintologi FKH-IPB beserta staf yang
telah banyak memberikan bantuan serta fasilitas laboratorium. Terima kasih juga
kepada teman-teman satu penelitian yang telah banyak membantu penulis selama
penelitian.
Rasa cinta kasih serta ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
kedua orang tua, Ayahanda dan Ibunda, adik-adik tersayang. Terimakasih atas
bantuan, dorongan semangat dan doanya yang dicurahkan selama ini. Terima
kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis sampai akirnya bisa
menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini
bermanfaat bagi semuanya terutama bagi yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2008
Debby Fadhilah Pazra
7
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian ......................................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 3
2.1 Biologi Ikan Lele ......................................................................... 3
2.1.1 Taksonomi ikan lele .......................................................... 3
2.1.2 Morfologi .......................................................................... 3
2.1.3 Habitat ............................................................................... 4
2.1.4 Makanan ............................................................................ 4
2.1.5 Tingkah laku ..................................................................... 5
2.2 Anatomi dan Fisiologi Ikan Lele.................................................. 5
2.2.1 Sistem Respirasi (Insang).................................................. 5
2.2.2 Sistem Pencernaan ............................................................ 6
2.2.3 Sistem Integumen .............................................................. 7
2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot).......................................... 8
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya
Penyakit pada Ikan Lele ............................................................... 8
2.3.1 Suhu .................................................................................. 8
2.3.2 Cahaya ............................................................................... 9
2.3.3 Stres ................................................................................... 9
2.3.4 Kelebihan Populasi (overcrowded) atau
Multi kultur ....................................................................... 10
2.3.5 Sistem Imun Ikan Lele yang Rendah ................................ 10
2.4 Penyakit-Penyakit Infeksius pada Ikan Lele ................................ 10
2.4.1 Parasit ................................................................................ 10
8
2.5 Penyakit-Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Lele ........................ 14
2.5.1 Defisiensi Vitamin ............................................................ 14
2.5.2 Expose Bahan Toksik........................................................ 15
2.6 Beberapa Perubahan Histopatologi .............................................. 16
2.6.1 Inflamasi............................................................................ 16
2.6.2 Edema................................................................................ 17
2.6.3 Hemoragi dan Kongesti .................................................... 18
2.6.4 Degenerasi Otot dan Nekrosa............................................ 19
2.6.5 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 20
2.6.6 Hiperplasia Lamela Sekunder ........................................... 20
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 22
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................... 22
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................. 22
3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 22
BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 23
4.1 Insang ........................................................................................... 23
4.1.1 Hiperplasia Lamela Sekunder ........................................... 23
4.1.2 Edema dan Deskuamasi Epitel .......................................... 26
4.1.3 Kongesti dan Hemoragi..................................................... 28
4.1.4 Parasit ............................................................................... 30
4.1.5 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 32
4.1.6 Kerusakan Tulang Rawan (kartilago) Insang.................... 33
4.2 Usus .............................................................................................. 34
4.2.1 Proliferasi Sel Goblet ........................................................ 35
4.2.2 Kongesti dan Hemoragi..................................................... 38
4.2.3 Deskuamasi Epitel............................................................. 39
4.2.4 Parasit ................................................................................ 40
4.3 Otot................................................................................................ 41
4.3.1 Degenerasi Otot Sampai Nekrosa ..................................... 42
4.3.2 Edema................................................................................ 44
4.3.3 Deskuamasi Epitel Integumen .......................................... 44
4.3.4 Parasit ................................................................................ 45
9
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 47
5.1 Kesimpulan ................................................................................ 47
5.2 Saran............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 48
10
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Gambar Ikan lele (Clarias spp.) ................................................................. 3
2. Gambar histogram frekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele
(Clarias spp.) ............................................................................................. 23
3. Gambaran HP organ insang yang mengalami hiperplasia lamela
sekunder ..................................................................................................... 25
4. Gambaran HP organ insang yang mengalami edema dan deskuamasi
epitel ........................................................................................................... 27
5. Gambaran HP organ insang yang mengalami kongesti dan hemoragi ...... 29
6. Gambaran HP kista dari metaserkaria trematoda digenea terdapat
di dalam filamen kartilago insang .............................................................. 31
7. Gambar HP proliferasi sel goblet pada insang. .......................................... 33
8. Gambaran HP kerusakan tulang rawan insang........................................... 34
9. Gambar histogram Frekuensi lesion histopatologi organ usus ikan Lele
(Clarias spp.) ..................................................................................................... 35
10. Gambaran HP proliferasi sel goblet pada usus........................................... 37
11. Gambaran HP kongesti, hemoragi dan deskuamasi epitel pada usus ........ 38
12. Gambaran HP perasit menginfeksi epitel usus........................................... 40
13. Gambaran HP histogram frekuensi lesio histopatologi organ otot ikan Lele
(Clarias spp.) ...................................................................................................... 41
14. Gambaran HP degenerasi hialin, edema dan nekrosa pada otot ................ 43
15. Gambaran HP deskuamasi epitel pada integument .................................... 45
16. Gambaran HP infeksi parasit di permukaan integumen dan otot ............... 46
11
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1. Pembuatan Sediaan Histopatologi ............................................................. 51
2. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ........................................................ 52
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ikan lele merupakan salah satu komoditi unggulan budidaya yang
dikembangkan saat ini. Ikan lele disamping sebagai salah satu sumber protein
hewani bagi masyarakat, juga merupakan komoditas yang dapat menunjang
ekonomi rumah tangga. Ikan lele mempunyai tingkat serapan pasar yang cukup
baik, selain pasar dalam negeri juga terdapat peluang untuk pasar ekspor.
Beberapa tahun terakhir produksi budidaya ikan khususnya ikan lele
mengalami penurunan penyebabnya adalah timbulnya wabah penyakit pada ikan,
sedangkan permintaan dan kebutuhan terhadap ikan terus meningkat. Peningkatan
permintaan terhadap ikan merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah
penduduk dan perubahan pola konsumen yaitu peningkatan jumlah konsumsi ikan
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Ikan juga menjadi alternatif pilihan
karena masyarakat menganggap bahwa ikan lebih aman dan sehat dikonsumsi
bagi tubuh dan dapat meningkatkan kecerdasan.
Permintaan kebutuhan protein hewani asal ikan khususnya ikan lele yang
terus meningkat mendorong petani ikan untuk meningkatkan industri atau
budidaya
ikan
kearah
intensifikasi.
Budidaya
sistem
intensif
sering
mengakibatkan ikan stres, dalam kondisi ini pertumbuhan dan penularan agen
penyakit terjadi secara cepat yang berakibat timbulnya wabah penyakit baik akibat
virus, bakteri, parasit maupun jamur yang bisa menimbulkan kematian. Menurut
Dana (1990), terjadinya kematian ikan budidaya dan stok alami yang dikaitkan
dengan penyakit sering dilaporkan. Indonesia sedikitnya telah tercatat tiga kali
wabah yang mengakibatkan kerugian besar disebabkan penyakit yaitu parasit
protozoa maupun bakteri.
Ikan lele merupakan ikan yang hidup diperairan berlumpur, air yang
tergenang bahkan ikan lele tahan hidup pada perairan yang tercemar bahan-bahan
organik, karena faktor tersebut ikan lele dengan mudah dapat terserang penyakit
infeksius maupun penyakit non infeksius. Menurut Irianto (2005), ikan konsumsi
bisa terserang penyakit infeksius dan non infeksius. Salah satu penyakit infeksius
13
yaitu
parasit.
Ikan
bisa
terserang
penyakit
jika
pemeliharaan
dan
pembudidayaannya tidak baik. Serangan parasit pada ikan menimbulkan dampak
negatif yang cukup tinggi. Apabila ditemukan parasit dalam jumlah sedikit
sebetulnya masih dianggap wajar dan tidak mengganggu proses akuakultur, tetapi
apabila jumlah parasit yang menyerang ikan sangat banyak akan mengganggu
pertumbuhan dan produktifitas ikan bahkan mengakibatkan kematian. Pada ikanikan yang hidup bebas di alam, akibat yang ditimbulkan oleh parasit umumnya
bersifat laten atau kronis. Ikan yang terinfeksi parasit biasanya dengan mudah
diikuti infeksi sekunder oleh bakteri, fungi atau virus. Nabib dan Pasaribu (1989)
menambahkan, penyakit non infeksius disebabkan oleh bermacam faktor
diantaranya rendahnya kandungan oksigen terlarut, tingginya kandungan amoniak,
nitrit ataupun racun-racun lain yang merupakan hasil ciptaan dan aktifitas manusia
yang masuk ke dalam perairan.
Histopatologi merupakan penelusuran penyakit secara mikroskopik
dimana dalam pengamatan histopatologi informasi yang diperoleh dalam bentuk
gambaran perubahan organ/jaringan. Informasi yang diperoleh juga dapat
digunakan sebagai data untuk mengetahui ada atau tidak infeksi penyakit serta
untuk meramalkan proses kejadian penyakit dan tingkat epidemik suatu penyakit.
Infeksi suatu penyakit baik yang infeksius maupun yang non-infeksius dapat
didiagnosa dengan beberapa cara, diantaranya dengan diagnosa secara
histopatologi yang bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi tentang
penyakit.
Penelitian
ini
akan
membahas
tentang
gambaran
perubahan
histopatologi apa saja yang terlihat pada organ usus, insang dan otot ikan lele.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran histopatologi secara
deskriptif dari ikan lele (Clarias spp.) pada organ usus, insang dan otot.
1.3 Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat mengetahui ada atau tidak infeksi
penyakit pada ikan lele (Clarias spp.) berdasarkan perubahan histopatologi.
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Ikan Lele
2.1.1 Taksonomi ikan lele
Menurut Suyanto (1999), taksonomi ikan lele (Clarias spp.) adalah
sebagai berikut: filum Chordata, sub filum Vetebrata, kelas Pisces, sub kelas
Teleostei, ordo Osteriophysi, sub ordo Siluroidae, famili Clariidae, genus Clarias
dan spesies Clarias spp..
2.1.2 Morfologi
Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih.
Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut disekelilingnya. Tubuh
tidak bersisik, berkulit licin bewarna gelap atau coklat dengan bagian ventral lebih
terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir
mencapai atau bersambung dengan sirip ekor dan tidak bersirip lunak (Gambar 1)
(Saanin 1984).
Gambar 1. Ikan lele (Clarias spp.)
Ikan lele mempunyai ciri khusus yaitu di bagian sirip dada terdapat patil
pendek, tumpul dan tidak beracun. Tubuhnya tidak bersisik dan warnanya akan
berubah menjadi pucat bila terkena sinar matahari, jika ikan lele mengalami
tekanan dan stres tubuhnya akan diwarnai noda hitam dan putih (Suyanto 1986).
Mempunyai sungut mandibula dan maksilar yang lebih panjang dan tegar, sifatnya
tenang, lebih jinak dan kepala sampai punggung bewarna coklat kehitaman serta
15
cangkang tengkorak sampai leher terdapat bercak putih kusam. Alat pernafasan
tambahan pada ikan lele bukan labirin seperti yang dipunyai ikan gurami, sepat
dan tambakan melainkan hanya berupa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons
(arboresent) yang terdapat dalam rongga di atas insang serta melekat padanya
(Soetomo 1987). Kriteria ikan lele yang baik adalah tubuh tidak cacat, bentuk
tubuh lurus, berlendir bening, tidak ada benjolan ataupun luka, sungut sempurna
dan warna cerah (Anonim 1992).
2.1.3 Habitat
Habitat alami ikan lele adalah dasar perairan agak berlumpur, air
tergenang, ada pelindung dan perairan relatif dangkal. Habitat dapat disesuaikan
dengan persyaratan yang dituntut untuk hidup dan berkembang tumbuh sesuai
dengan tingkat stadiumnya. Tempat berlindung ikan lele dapat berupa pelindung
seperti tanaman air, pralon dan bambu. Kedalaman air di kolam induk antara 60125 cm dan di kolam benih antara 15-40 cm. Lele akan hidup lebih baik di air
yang tergenang dengan kedalaman tertentu yaitu kedalaman tertinggi 125 cm
(Anonim 1992).
Ikan lele mempunyai organ insang tambahan (arborescent) yang
memungkinkan ikan ini mengambil oksigen pernafasannya dari udara di luar air,
karena itu ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit
oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik,
oleh karena itu ikan lele tahan hidup dengan baik di daratan rendah sampai daerah
perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Apabila suhu tempat hidupnya terlalu dingin,
misal kurang dari 200 C pertumbuhannya akan terhambat (Suyanto 1986).
2.1.4 Makanan
Ikan lele termasuk dalam golongan pemakan segalanya (omnivora), tetapi
cenderung pemakan daging (karnivora). Selain bersifat karnivorus, ikan lele juga
makan sisa-sisa benda yang membusuk dan kotoran manusia, sedangkan tumbuhtumbuhan kurang disukai. Ikan lele juga dapat menyesuaikan diri untuk memakan
pakan buatan (Anonim 1992). Makanan alami ikan lele yaitu binatang-binatang
16
renik, seperti kutu-kutu air (Daphnia, Cladosera, Copepoda), cacing-cacing, larva
(jentik-jentik serangga), siput-siput kecil dan sebagainya (Suyanto 1986).
Ikan lele secara alami makan di dasar perairan, tetapi dapat dilatih dan
sifat ini membuka peluang bagi penggunaan pakan buatan dalam usaha budidaya
baik pakan permukaan maupun tengah dan dasar (Anonim 1992).
2.1.5 Tingkah laku
Ikan lele adalah ikan yang hidup di air tawar dan bersifat nokturnal,
artinya ia aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Siang
hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat
yang tenang dan aliran air yang tidak terlalu deras. Ikan lele membuat sarang di
dalam lubang-lubang di tepi sungai, tepi-tepi rawa atau pematang sawah dan
kolam yang teduh dan terang. Berhubung sifat-sifat dan tingkah lakunya itu,
memancing ikan lele pada malam hari lebih berhasil dari pada siang hari, karena
ikan lele aktif mencari makan pada malam hari atau sesudah matahari terbenam
(Suyanto 1986).
Secara alami lele bersifat nokturnal, tetapi dalam usaha budidaya akan
beradaptasi (diurnal). Secara periodik lele akan muncul ke permukaan untuk
mengambil oksigen bebas. Lele mampu bergerak di darat dengan menggunakan
sirip dada. Padat penebaran yang relatif tinggi dan keadaan lapar dapat memacu
sifat kanibalisme (Anonim 1992).
2.2 Anatomi dan Fisiologi Ikan Lele
2.2.1 Sistem Respirasi (Insang)
Ikan dilengkapi dengan insang sebagai alat respirasi pengganti paru-paru
pada hewan darat. Insang sangat berperan dalam menyelenggarakan homeostasis
lingkungan bagi ikan. Lapis epitelnya tipis untuk memudahkan pertukaran gas,
namun hal ini pun menjadikan insang sangat rawan terhadap infeksi dari hamahama penyakit. Selain fungsinya dalam pertukaran gas, insangpun berfungsi
sebagai pengatur pertukaran garam dan air, pengeluaran limbah-limbah yang
mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat
17
mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan pernafasan (Nabib dan Pasaribu
1989).
Insang terdiri dari dua rangkaian yang tersusun atas empat lengkungan
tulang rawan dan tulang keras (holobrankhia) yang menyusun sisi faring. Masingmasing holobrankhia yang menonjol dari pangkal posterior lengkung insang.
Hemibrankhia terdiri dari dua baris filamen tipis panjang yang disebut lamela
primer. Lamela primer permukaannya mengalami perluasan oleh adanya lamela
sekunder yang merupakan lipatan semilunar yang menutupi permukaan dorsal dan
ventral. Insang juga dilengkapi dengan lapisan sel-sel penghasil mukus dan sel-sel
yang mengekresi ammonia dan kelebihan garam. Pada bagian tepi tengah anterior
dilengkapi stuktur (gill rakers) yang berperan menyaring pertikel-pertikel pakan
(Roberts 2001).
Insang dilengkapi dengan sejumlah glandula yang dikenal sebagai
glandula brankhial, yaitu sel-sel epitel insang yang mengalami spesialisasi.
Glandula tersebut adalah glandula mukosa dan glandula asidofilik (sel-sel
khlorida). Glandula mukosa berupa sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear
atau oval dan menghasilkan mukus dan terdapat baik pada lengkung insang,
filamen insang maupun lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang
bersifat basa atau netral dengan fungsi: a.) perlindungan atau proteksi, b.)
menurunkan terjadinya friksi atau gesekan, c.) antipatogen, d.) membantu
pertukaran ion, dan e.) membantu pertukaran gas dan air (Irianto 2005).
2.2.2 Sistem Pencernaan
Meskipun
panjang
usus
ikan
bisa
berbeda-beda
sesuai
dengan
makanannya, tetapi kebanyakan usus ikan merupakan suatu tabung sederhana
yang tidak dapat bertambah diameternya untuk membentuk suatu kolon dibagian
belakangnya. Usus bisa lurus, melengkung atau bergulung-gulung sesuai dengan
bentuk dari rongga perut ikan. Usus mempunyai suatu epitel silindris sederhana
yang berlendir menutupi suatu sub-mukosa yang mengandung sel eosinofilik yang
dibatasi oleh suatu muskularis mukosa yang rapat dan lapisan fibroelastik.
Rektum pada ikan berdinding lebih tebal dari pada usus dan sangat berlendir serta
dapat sangat berkembang (Nabib dan Pasaribu 1989).
18
Struktur histologi dinding dari intestin secara umum hampir sama dengan
vetebrata tingkat tinggi
dimana terdiri dari empat lapisan yaitu : mukosa,
submukosa, muskularis dan serosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel mukosa,
lamina basalis, lamina propria dan muskularis mukosa. Pada lapisan submukosa
terdiri dari stratum kompaktum dan stratum granulosum. Pada lapisan muskularis
terdiri dari lapisan otot sirkuler dan lapisan otot longitudinal, sedangkan pada
lapisan serosa terdiri dari subserosa tella dan subserosa membran (Takashima dan
Hibiya 1995).
2.2.3 Sistem Integumen
Kulit merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta
serangan patogen dari luar tubuh. Lapisan kulit terdiri atas kutikula, epidermis,
membran basalis, dermis dan hipodermis. Ikan tidak memiliki lapisan keratin pada
epidermisnya,
tetapi
dilapisi
oleh
kutikula
yang
memiliki
mukus,
mukopolisakarida, immunoglobulin spesifik, lisozim dan sejumlah asam lemak
bebas. Sel lain yang ada pada lapisan epidermis yaitu sel-sel goblet yang berperan
dalam sekresi mukus. Mukus memiliki kemampuan protektif bagi hewan karena :
a.) mukus melapisi permukaan tubuh sehingga mempermudah gerakan saat
berenang, b.) membentuk lapisan pelindung dari infeksi agensia patogenik dan
mengandung senyawa anti mikroba, c.) melindungi permukaan tubuh dari abrasi
dan d.) berperan dalam proses osmoregulator (Irianto 2005).
Sisik dan kulit merupakan bagian dari sistim pelindungan fisik tubuh ikan.
Pada umumnya kerusakan sisik dan kulit dapat terjadi akibat penanganan
(handling stress), kelebihan populasi, dan infeksi parasit. Kelebihan populasi
(overcrowded) atau multikultur dapat menyebabkan trauma akibat berkelahi
disertai lepasnya sisik dan kerusakan kulit. Infestasi parasit dapat pula
menyebabkan gangguan berupa kerusakan insang, kulit, sirip serta kehilangan
sisik. Kerusakan pada sisik dan kulit akan mempermudah patogen menginvasi
inang. Banyak kasus menunjukkan bahwa kematian ikan sebenarnya akibat dari
infeksi sekunder oleh bakteri sebagai kelanjutan infestasi parasit yang berat dan
berakibat pada kerusakan pelindung fisik tubuh seperti mukus, kulit dan sisik
19
tetapi tidak semua ikan memiliki sisik misalnya pada ikan lele (Clarias spp.)
(Irianto 2005).
2.2.4 Sistem Muskuloskeletal (Otot)
Hasil pemeriksaan histopatologi dan biokhemis dari otot ikan ternyata
terdapat sejumlah tipe serabut otot yang pada banyak spesies ikan tersusun dalam
banyak kelompok-kelompok yang terpisah. Umumnya ada 2 kelompok yaitu,
kelompok muskularis lateralis superfisialis terdiri atas yang disebut otot merah
dan kelompok muskularis lateralis profundus yang terdiri atas serabut-serabut
putih. Serabut-serabut merah ini adalah serabut aerobik dan berdaya kontraksi
lamban dan banyak pembuluh darah, serupa dengan serabut-serabut merah pada
otot mamalia, sedangkan serabut-serabut putih adalah anaerob berdaya kontraksi
cepat dan mudah menderita kerusakan. Diantara lapisan otot-otot merah dan putih
terdapat serabut merah muda yang fungsinya berada diantara serabut-serabut
merah dan putih (Nabib dan Pasaribu 1989).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Penyakit pada Ikan Lele
2.3.1 Suhu
Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas
tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan pada suhu
lingkungan sekelilingnya (Hoole et al. 2001). Ikan memiliki derajat toleransi
terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan,
inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit. Ikan akan
mengalami stes manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat
ditoleransi (Irianto 2005).
Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan
gangguan status kesehatan untuk jangka panjang, misalnya stres yang ditandai
dengan tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal. Pada suhu rendah, akibat
yang ditimbulkan antara lain ikan menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan
bakteri pathogen akibat melemahnya sitem imun. Pada dasarnya suhu rendah
memungkinkan air mengandung oksigen lebih tinggi, tetapi suhu rendah
20
menyebabkan stres pernafasan dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut
dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen (Irianto 2005).
2.3.2 Cahaya
Pada sistem budidaya intensif, intensitas cahaya, lama penyinaran, area
berkanopi dan penyerapan cahaya lebih mudah dikontrol. Parameter-parameter ini
akan berperan dalam laju pertumbuhan dan maturisasi ikan. Pada system intensif
berair dangkal, sinar ultraviolet cahaya matahari yang berlebihan dapat
menyebabkan gangguan “sunburn” pada bagian dorsal ikan (Irianto 2005).
Penetrasi cahaya dapat terhalang oleh turbiditas air yang disebabkan
melimpahnya populasi fitoplankton (alga bloom) dan partikel-partikel padatan
terlarut. Apabila penetrasi cahaya tidak dapat mencapai dasar kolam atau tambak,
akan menghambat tumbuhnya algae berfilamen dan tumbuhan air pengganggu
pada dasar kolam. Sampai batas tertentu melimpahnya fitoplankton tertentu sangat
menguntungkan karena kebutuhan pakan alami tercukupi (Boyd 1991).
2.3.3 Stres
Stres yaitu suatu keadaan saat suatu hewan tidak mampu mengatur kondisi
fisiologis normal karena berbagai faktor merugikan yang mempengaruhi kondisi
kesehatannya. Sehingga stres didefinisikan sebagai pengaruh segala bentuk
perubahan atau tantangan lingkungan yang mendorong homeostatik atau prosesproses penyeimbang lainnya melebihi batas kemampuan normal segala tingkatan
organisasi biologis (Irianto 2005).
Stres berpengaruh terhadap sistem pertahanan tubuh inang definitif yaitu
mukus. Segala bentuk stres akan menyebabkan perubahan kimiawi dalam mukus
yang dapat menyebabkan penurunan efektivitasnya sebagai pelindung kimiawi
inang terhadap patogen
dan parasit. Stres akan mengganggu keseimbangan
elektrolit tubuh (Na, K, Cl) sehingga menyebabkan penyerapan air yang
berlebihan atau dapat pula berupa kehilangan air (dehidrasi). Kondisi stres
menyebabkan tuntutan kerja mukus dalam mengatur osmoregulasi yang efektif
menjadi sangat penting (Irianto 2005).
21
2.3.4 Kelebihan Populasi (overcrowded) atau Multikultur
Penyakit infeksi menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur.
Pemeliharaan ikan dalam jumlah besar dan padat pada area yang terbatas,
menyebabkan kondisi lingkungan tersebut sangat mendukung berkembang dan
penyebarnya penyakit infeksi. Kondisi dengan padat tebaran tinggi akan
menyebabkan ikan mudah stres sehingga menyebabkan ikan menjadi mudah
terserang penyakit, selain itu kualitas air, volume air dan alirannya berpengaruh
terhadap
berkembangnya
suatu
penyakit.
Populasi
yang
tinggi
akan
mempermudah penularan karena meningkatnya kemungkinan kontak antara ikan
yang sakit dengan ikan yang sehat (Irianto 2005).
2.3.5 Sistem Imun Ikan Lele yang Rendah
Beragam faktor yang mempengaruhi masing-masing individu dalam
menanggapi suatu patogen potensial. Patogen harus dapat menembus sistem imun
ikan untuk dapat menimbulkan penyakit. Daya tahan alami (imun) memungkinkan
suatu hewan menjadi terbebas dari serangan patogen karena tidak adanya jaringan
spesifik atau reseptor seluler bagi kolonisasi patogen atau tidak mampu
mendukung syarat-syarat optimum baik dari sisi kecukupan nutrien maupun
lingkungan bagi pertumbuhan pathogen. Masing-masing individu hewan memiliki
daya tahan individu yang ditentukan antara lain oleh umur, jenis kelamin, status
nutrien dan stres. Saat ikan pada kondisi lemah (sistem imun rendah) dan pada
kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan maka ikan akan rentan terserang
patogen (Irianto 2005).
2.4 Penyakit-Penyakit Infeksius pada Ikan Lele
2.4.1 Parasit
Supriyadi et al. (1986) menyatakan bahwa kematian benih ikan lele sekitar
80-100 % disebabkan oleh parasit-parasit dari golongan ciliata seperti
Ichthiophthirius multifiliis, Trichodina spp. dan Epistylis spp. ; cacing monogenea
seperti Gyrodactylus spp. dan Dactylogyrus spp. ; serta parasit yang tergolong
berbahaya dari golongan Myxosporea yaitu Henneguya spp.. Berdasarkan data
yang ada pada Dinas Perikanan Propinsi Jawa Barat, bahwa parasit yang umum
22
menyerang ikan lele antara lain Ichthiophthirius multifiliis dan Argulus sp. Hasil
penelitian yang dilakukan di Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi diperoleh jenisjenis parasit yang ditemukan menginfeksi benih ikan lele dumbo yaitu Trichodina
spp.,Trichodinella spp., Ichthiophthirius multifiliis, Gyrodactylus spp., Cryptobia
spp.. Sedangkan menurut Hariyadi (2006), parasit yang menyerang ikan lele yaitu
Vorticella, Cryptobia sp., Trichodina, Ichthyophthirius multifiliis, Myxosporidea,
Gyrodactylus, Dactylogyrus, Branchionus, Metaserkaria dari trematoda digenea
dan Lytocestus parvulus.
1. Protoza
Epistylis spp.
Menurut Kabata (1985), Epistylis spp. digolongkan dalam filum
Ciliophora, sub kelas Peritricha, ordo Peritrichida, sub ordo Sessilina, famili
Epistylidae, genus Epistylis, spesies Epistylis spp..
Menurut Flynn (1973), tubuh berbentuk seperti kerucut dn mempunyai
cilia di daerah ujung adoral. Organisme muda berenang bebas mempunyai cilia
tambahan yang melingkar disekitar ujung posterior tubuh. Kabata (1985)
menambahkan, Epistylis spp. mempunyai makronukleus lonjong seperti sosis, ciri
perbedaan yang paling penting adalah tangkai yang tidak kontraktil. Selnya
sendiri cukup baik untuk berkontraksi dan menarik kembali periostoma ke dalam
sel.
Secara individual Epistylis spp. hidup di dekat luka atau kerusakan lainnya
di daerah kulit. Beberapa genus ini bersifat parasit obligat dan hampir tidak
spesifik terhadap ikan sebagai induk semang definitif. Asia Tenggara yang
kehidupan akuakultur air tawar kaya akan unsur organik mendukung dan mungkin
dapat diharapkan adanya kondisi seperti itu untuk kehidupan protozoa. Gejala
klinis yang tampak pada ikan yang terserang Epistylis spp. yaitu ikan menjadi
lemah, menyebabkan terjadinya iritasi kulit, menekan sel epitel yang diserangnya
mengakibatkan kelainan bentuk dan
gangguan fungsi dari epitel. Kumpulan
koloni pada kulit dapat menginfeksi alat pernafasan, pada beberapa ikan yang
umumnya kulit berfungsi sebagai alat untuk bernafas. Koloni besar dari Epistylis
spp. pada opercula dapat menggangu gerakan normal dan menginfeksi alat
23
pernafasan, pertumbuhan terhambat serta berat badan ikan menurun (Kabata
1985).
Eimeria
Menurut Woo (2006), Emeria digolongkan dalam filum Apicomplexa,
kelas Sporozoasida, Subkelas Coccidiasina, Ordo Eucoccidiorida, Subordo
Eimeriorina, famili Eimeriidae dan genus eimeria.
Eimeria spp. merupakan coccidia yang menginfeksi beragam jenis ikan air
tawar dan air laut serta menyebabkan penyakit coccidiosis. Emeria tidak hanya
menginfeksi sel-sel epitel tetapi juga organ dalam termasuk gonad. Emeria
subepitelia merupakan spesies emeria yang menginfeksi ikan-ikan cyprinid
menyebabkan area bintik-bintik putih agak menonjol pada bagian saluran
pencernaan anterior dan tengah. E. carpelli menginfeksi ikan cyprinid
menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Adapun E. sardinae
menginfeksi ikan-ikan air laut menyebabkan reaksi granulomatous pada hati dan
testis (Irianto 2005). Infeksi pada usus sering bersifat asimtomatis tetapi dapat
menyebabkan nekrosa pada epitel usus dan enteritis. Inflamasi pada usus
disebabkan oleh pembentukan ookista. Parasit ektraintestin dapat juga
menyebabkan lesion dengan kerusakan sel target yang khas dan diikuti dengan
inflamasi. Selain itu, infeksi juga terjadi pada organ reproduksi, hati, limpa dan
gelembung renang (Noga 2000).
2. Trematoda Digenea
Anatomi Trematoda Digenea
Digenea menyebabkan infeksi asimtomatik pada ikan yang hidup
liar/bebas. Ada 1700 spesies digenea dewasa menginfeksi ikan. Metaserkaria lebih
sering terdapat pada ikan dewasa (Noga 2000). Bentuk tubuh pipih dorsoventral,
tidak bersegmen, biasanya berbentuk oval atau seperti wajik kadang-kadang juga
berbentuk oval secara melintang (leher lebih dominan). Trematoa digenea
umumnya mempunyai dua alat penghisap (sucker), satu penghisap oral yang
terletak di dekat anterior dan satu penghisap ventral yang letaknya bervariasi
(Kabata 1985).
24
Siklus Hidup
Menurut Noga (2000), siklus hidup dari trematoda digenea yaitu digenea
dewasa menghasilkan telur yang keluar dari usus inang definitif (ikan, beruang
atau mamalia), telur menetas menjadi mirasidium yang menginfeksi moluska
(siput atau keong) sebagai inang antara. Serkaria berkembang dikeluarkan oleh
moluska dan mengalami penetrasi pada ikan. Setelah menempati jaringan target,
serkaria berubah menjadi metaserkaria dimana biasanya membentuk kista di
jaringan. Ikan yang juga sebagai inang antara mengandung kista dari metaserkaria
trematoda digenea dimakan oleh inang definitif kemudian metaserkaria berubah
menjadi dewasa. Irianto (2005) menambahkan, trematoda digenea memiliki siklus
hidup yang komplek dengan melibatkan sejumlah inang definitif. Ikan dapat
berperan sebagai inang sementara dan inang definitif tergantung spesies trematoda
digenea. Trematoda dapat berupa parasit ekternal atau internal pada berbagai
macam organ.
Patogenesis
Kebanyakan digenea dewasa berada di dalam gastrointestinal, tetapi jarang
menginfeksi gelembung renang, ovary, peritoneum, vesica urinaria atau sistem
sirkulasi (Noga 2000).
Kerusakan inang biasanya terjadi selama serkaria migrasi yang
menyebabkan hemoragi, nekrosis dan inflamasi di tempat migrasi dari serkaria,
jika terjadi infeksi bersifat akut sangat fatal khususnya pada ikan kecil. Serkaria
berpindah atau migrasi dari jaringan inang definitif dapat mengganggu fungsi
organ. Metaserkaria dapat ditemukan di beberapa jaringan, tergantung pada
spesies digenea yang menginfeksi. Metaserkaria dapat merusak nilai estetika dan
menurunnya laju pertumbuhan pada ikan. Lesion terlihat bewarna putih atau
kuning karena warna dari cacing, selain itu juga bewarna hitam karena
hiperpigmentasi reaksi dari inang definitif (Noga 2000).
Metaserkaria trematoda digenea dapat berbahaya bagi ikan yaitu
Diplostomum yang metaserkarianya menginfeksi lensa mata ikan salmon dan ikan
lainnya, menyebabkan kebutaan dan selanjutnya dapat menghambat kemampuan
mencari makan. Metaserkaria dari famili heterophyidae menyebabkan kerusakan
hebat pada insang, penurunan kemampuan respirasi dan mortalitas yang tinggi
25
pada ikan subtropis dan tropis selain itu juga menyebabkan morbiditas serius di
Florida dan Israel (Noga 2000). Menurut Olson dan Pierce (1997), kista dari
metaserkaria dapat menimbulkan respon pada inang definitif berupa proliferasi
kartilago dari perikondrium dan respon fibroblastik pada jaringan insang, selain
itu juga mengakibatkan hiperplasia epitel insang dan fusi (penyatuan) lamela
insang sehingga terjadi kerusakan dan berkurangnya permukaan respirasi insang
serta berkurangnya efisiensi difusi gas.
Beberapa
trematoda
digenea
yaitu
dari
kelompok
heterophyds
(Heterophyes, Haplorchis, Metagonimus) dan opisthorchids (Chlonorchis,
Opisthorchis) dapat menginfeksi manusia karena cacing ini bersifat zoonosis.
Manusia dapat terinfeksi dengan cara memakan daging ikan yang mengandung
kista dari metaserkaria trematoda digenea yang tidak dimasak dengan baik atau
sempurna dan tidak diasinkan (Noga 2000). Menurut Woo (2006), kasus pada
manusia pernah dilaporkan di negara Israel dan Jepang menyebabkan laryngitis
akut pada manusia.
2.5 Penyakit-Penyakit Non-Infeksius pada Ikan Lele
2.5.1 Defisiensi Vitamin
Vitamin E (tokopherol)
Fungsi vitamin E dalam jaringan seperti halnya dalam diet menjadi
komponen komplek dalam mekanisme protektif melawan efek toksik radikal
bebas. Tokopherol sebagai antioksidan dipengaruhi oleh sumbangan proton dari
radikal bebas, diubah menjadi stabil sehingga menjadi senyawa yang tidak
berbahaya. Tokopherol berperan di dalam jaringan untuk regenerasi dengan
mekanisme yang melibatkan selenium. Diet ikan yang mengandung lipid oksidasi
mengakibatkan jumlah tokopherol regenerasi tidak dapat mengimbangi tekopherol
oksidasi dengan demikian akan mempercepat penipisan membran dan level
tokopherol seluler, ini menunjukkan tanda defisiensi. Gejala klinik defisiensi
vitamin E berhubungan dengan distropi otot, steatitis, patologi otot jantung serta
anemia. Anemia berhubungan dengan membran eritrosit yang rapuh dimana dapat
digunakan untuk menentukan status tokopherol pada ikan (Roberts 2001).
26
Perubahan patologi akibat dari defisiensi vitamin E yaitu terjadinya
perubahan temperatur akibat respon patologi yang hebat, degenerasi hyalin pada
otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi fibroblas. Pemberian tekopherol
dapat mencegah kondisi ini, tentu saja level tokopherol dalam jaringan ketika
diberikan makanan suplemen 5-10 kali di atas syarat diet minimum (Roberts
2001).
2.5.2 Expose Bahan Toksik
Bermacam polutan dan logam berat menyebabkan perubahan morfologi
insang pada ikan. Secara umum reaksi jaringan terhadap expose bahan toksik
lingkungan menyerupai respon inflamasi (peradangan). Expose ikan terhadap
logam berat, deterjen, nitropenol memperlihatkan pemisahan diantara sel epitel
dan dasar sel pilar sistem, dimana dapat terjadi koleps integriti struktur lamela
sekunder. Contohnya respon dari expose zinc pada ikan trout pelangi dan
stickleback terlihat adanya “swelling”(membengkak) pada lamela sekunder dan
pelepasan epitel lamela dari sel pilar sistem dan kerusakan sel epitel. Pada kasus
berat ruang interlamelar dimana air secara normal disalurkan, dapat menjadi
komplit menyebabkan hiperplasia sel epitel di filamen primer dan produksi mukus
berlebihan (Leatherland 1998). Menurut Hoole et al. (2001), perubahanperubahan yang akut pada jaringan insang akibat dari terpapar bahan-bahan toksik
berupa fusi (peleburan) lamela dan piknosis sel-sel. Kasus-kasus kronis akan
terjadi nekrosis, deskuamasi sel epitel, edema, dan ditandai dengan infiltrasi selsel granuler eosinofilik dan jenis leukosit yang lain. Kondisi-kondisi ini
mengurangi efisiensi difusi gas dan fungsi insang yang lain dan dapat berakibat
fatal.
Keracunan Pestisida
Pestisida menimbulkan efek secara general yaitu penurunan tingkat
kelahiran/produksi atau menghambat pertumbuhan ikan. Kadang-kadang terjadi
overdosis atau melalui kontaminasi dapat menyebabkan kematian. Biasanya
menimbulkan nekrosis akut dengan nekrosis pada hati dan ginjal. Kelangsungan
hidup ikan dipertahankan dengan penggantian jaringan fibrosis pada area nekrosis
dan general rekover. Pada insang menyebabkan edema dikuti dengan deskuamasi
27
epitel lamela sekunder dan nekrosa sel epitel mengakibatkan gangguan respirasi
dan osmoregulasi serta mengakibatkan kematian (Roberts 2001).
Ammonia
Ammonia lebih toksik dari nitrogen, dapat bersifat akut bagi ikan dan
dapat mengakibatkan kematian. Ammonia di dalam air ada dua bentuk yaitu ion
ammonia (NH4+) dan ammonia bebas (NH3). Ammonia bebas (NH3) lebih toksik
dari pada ion ammonia. Ammonia akan meningkat pada kondisi temperatur dan
pH air meningkat. Ammonia lebih toksik jika rendahnya level oksigen yang
terlarut (DO). Jika air mengandung biomass yang signifikan seperti macrophytes
dan algae pada saat terjadi fotosintesis dan respirasi (malam) akan mengakibatkan
kenaikan atau penurunan level (DO) dan kenaikan atau penurunan level CO2 hal
ini dapat mempengaruhi pH (Hoole et al. 2001)
Toksisitas dari ammonia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
spesies ikan, level ekposur dari ammonia bebas (NH3), periode ekposur dan
beberapa efek aklimasi. Ikan yang terpapar toksik menyebabkan perubahan kimia
darah diantaranya : peningkatan pH, gangguan osmolegulator dan kesulitan
bernafas. Gangguan osmolegulator, peningkatan permeabilitas, dimana ikan harus
mengimbanginya dengan peningkatan ekresi urin. Fakta menyatakan bahwa
ammonia dapat merusak epitel insang, edema, deskuamasi epitel insang dan
nekrosis. Level ammonia yang tinggi menyebabkan kematian yang akut pada
ikan. Ini
karena kerusakan
epitel dan usus,
menyebabkan
hemoragi,
mempengaruhi CNS dan tingkahlaku yang abnormal. Ekposur kronis level
subletal dapat menyebabkan penurunan berat badan dan peningkatan kerentanan
infeksi (Hoole et al. 2001).
2.6 Beberapa Perubahan Histopatologi
2.6.1 Inflamasi
Menurut Guyton and hall (1996), inflmasi (peradangan) ditandai dengan :
(1) vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah
setempat yang berlebihan, (2) kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan
kebocoran banyak sekali ke ruang interstisial, (3) seringkali pembekuan cairan
dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang
28
bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, (4) migrasi sejumlah besar granulosit
dan monosit ke dalam jaringan dan (5) pembengkakan sel jaringan, sedangkan
menurut Roberts (2001), inflamasi merupakan suatu respon pertahanan jaringan
yang rusak dan terjadi pada semua vetebrata. Respon inflamasi pada hewan
tingkat tinggi ditandai dengan color, rubor, tumor, dolore dan function laeso
(panas, merah, bengkak, sakit dan kehilangan fungsi).
Inflamasi dapat mengakibatkan pembatasan area yang terluka dari jaringan
yang tidak mengalami inflamasi. Ruang jaringan dan cairan limfatik dalam daerah
yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga sedikit saja cair yang
melintasi ruang. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau
produk toksik (Guyton and Hall 1996).
Menurut Spector (1993), inflamasi dapat akut yaitu umurnya pendek atau
kronis yaitu berkepanjangan, tergantung kepada derajat luka jaringan. Underwood
(1992) menambahkan bahwa inflamasi akut merupakan reaksi awal dari
kerusakan jaringan, terjadinya dilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah, cairan dan sel keluar dari pembuluh darah serta adanya netrofil di jaringan
yang meradang. Pada inflamasi kronis ditandai dengan : (1) adanya limposit, sel
plasma dan makrofag predominan, (2) merupakan lanjutan dari inflamasi akut, (3)
inflamasi granulomatos adalah bentuk spesifik dari inflamasi kronis dan kadangkadang diikuti reaksi sekunder oleh amyloidosis.
2.6.2 Edema
Edema merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya jumlah cairan
dalam kopartemen jaringan interseluler. Edema terjadi pada jaringan ikat longgar
(sub kutis) dan rongga-rongga badan (rongga perut dan di dalam paru-paru)
(Underwood 1992).
Menurut Guyton and Hall (1996), penyebab dari edema adalah
meningkatnya tekanan hidrostatik intra vaskula menimbulkan perembesan cairan
plasma darah keluar dan masuk ke dalam ruang interstisium. Kondisi peningkatan
tekanan hidrostatik sering ditemukan pada pembendungan pada vena (kongesti)
dan edema merupakan resiko paska kongesti. Underwood (1992) menambahkan
bahwa edema dapat diklasifikasikan dalam empat kategori patogenetik yaitu (1)
29
inflamasi yang berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskuler, (2)
peningkatan tekanan intravena, (3) obtruksi saluran limfatik, (4) hipoalbumin
yang berkaitan dengan penurunan tekanan onkotik plasma.
2.6.3 Hemoragi dan Kongesti
Hemoragi (pendarahan) adalah kondisi yang ditandai dengan keluarnya
darah dari dalam vaskula akibat dari kerusakan dinding vaskula. Kebocoran
dinding ada dua macam melalui kerobekan (per reksis) dan melalui perenggangan
jarak antara sel-sel endotel dinding vaskula (per diapedisis). Hemoragi per
diapedisis umumnya terjadi pada pembuluh kapiler. Hemoragi per reksis dapat
terjadi pada vaskuler apa saja, bahkan dapat terjadi bila dinding jantung robek
atau bocor (Smith dan Jones, 1961).
Hemoragi kecil dimana berbentuk titik darah tidak lebih besar dari ujung
peniti disebut ptechiae (tunggal, petechia). Hemoragi dengan spot yang agak besar
di permukaan tubuh atau di jaringan disebut ekimosis (tunggal, ekimosis).
Ektrafasasi merupakan hemoragi dalam jaringan yang sudah sangat menyebar
(Smith dan Jones 1961) .
Hemoragi dapat disebabkan oleh : (1) trauma yaitu kerusakan dalam
bentuk fisik yang merusak sistem vaskula jaringan di daerah benturan/ kontak, (2)
infeksi agen infeksius terutama mengakibatkan septisemia, (3) bahan toksik yang
merusak endotel kapiler, (4) faktor lain yang menyebabkan dinding vaskula lemah
sehingga pembuluh darah rentan untuk bocor.
Kongesti adalah berlimpahnya darah di dalam pembuluh darah di regio
tertentu. Kongesti disebut juga hiperemi, jika dilihat secara mikroskopik kapilerkepiler dalam jaringan yang hiperemi terlihat melebar dan penuh berisi darah.Pada
dasarnya kongesti dapat terjadi dengan dua mekanisme yaitu : (1) Kenaikan
jumlah darah yang mengalir ke jaringan atau organ disebut dengan kongesti aktif
dan (2) penurunan jumlah darah yang mengalir ke jaringan atau organ disebut
dengan kongesti pasif (Price dan Wilson 2006).
30
2.6.4 Degenerasi Otot dan Nekrosa
Degenerasi Hialin merupakan perubahan yang mengikuti cloudy swelling
dan disebut juga nekrosis koagulasi. Nukleus kromatin berkondensasi dan
menyebabkan lurik pada serabut otot menghilang. Serabut memperlihatkan suatu
penampilan homogen dan efektif terhadap pewarnaan eosin. Serabut-serabut otot
terhialinasi menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh.
Degenerasi hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot
menyebabkan nukleus dekat dengan batas bagian terhialinasi dan bagian yang
tetap utuh sering kali mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat
normal di dekat serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan
pemisahan longitudinal yang frekuen (Takashima dan Hibiya 1995).
Degenerasi granuler merupakan perubahan paling berat yang muncul pada
serabut otot dan dikenal sebagai nekrosis pencairan, yaitu degenerasi granuler
yang mempengaruhi seluruh serabut atau hanya suatu bagian saja. Sarkoplasma
menjadi granuler memperlihatkan suatu massa eosinofilik yang tidak beraturan di
dalam sarkolema, adakalanya tetap jelas terlihat pada bagian serabut otot yang
tidak terpengaruh. Kejadian umum terlihat pada serabut otot yang rusak, yaitu
adanya infiltrasi fagosit. Serabut dengan fagosit yang memenuhi bagian-bagian
terdegenerasi dikenal sebagai kantong-kantong berbentuk pipa (Tubular Bag).
Serabut-serabut otot berdekatan dengan serabut yang terpengaruh oleh degenerasi
ini juga memperlihatkan pemisahan longitudinal, hipertropi dan hiperplasia
nukleus, tetapi tingkatnya lebih besar dibandingkan dengan degenerasi hialin
pada serabut otot (Takashima dan Hibiya 1995).
Nekrosa merupakan jenis kematian sel ireversibel yang terjadi ketika
terdapat cidera berat atau lama hingga suatu saat sel tidak dapat beradaptasi atau
memperbaiki dirinya sendiri. Umunya perubahan-perubahan lisis yang terjadi
dalam jaringan nekrotik dapat melibatkan sitoplasma sel, perubahan-perubahan
paling jelas bermanifestasi pada inti. Inti sel yang nekrosis akan menyusut,
memiliki batas yang tidak teratur dan bewarna gelap. Proses ini dinamakan
piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen
materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut sebagai karioreksis.
Pada beberapa keadaan init sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang,
31
proses ini disebut sebagai kariolisis. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya
fungsi pada daerah yang nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat
menjadi fokus infeksi yang merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi
pertumbuhan organisme tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di
dalam tubuh, bahkan tanpa infeksipun adanya jaringan nekrosa di dalam tubuh
dapat memicu perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit
di dalam sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon
peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosa akan hancur dan
hilang memberi jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotik
dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya
jaringan parut (Price dan Wilson 2006).
2.6.5 Proliferasi Sel Goblet
Sel goblet terdapat diantara sel absorbtif vili usus halus yang mengandung
asam glikoprotein berfungsi untuk melicinkan dinding usus (Janquiera et al. 1997)
dan berfungsi sebagai media pertahanan yang penting terhadap infeksi cacing
(Tiuria et al. 2000), sedangkan pada insang terdapat pada epitel lamela primer
bagian aferen dan eferen tepi lamela primer (Takashima dan Hibiya 1995) serta
berfungsi sebagai pelindung atau proteksi, menurunkan terjadinya friksi dan
gesekan, antipatogen, membantu pertukaran ion dan membantu pertukaran gas
dan air (Irianto 2005).
Proliferasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan atau
kenaikan jumlah sel yang nyata dalam jaringan (Price dan Wilson 2006). Menurut
Tiuria et al. (2000), proliferasi dan hiperplasia sel goblet terjadi pada permukaan
mukosa usus. Sel ini berasal dari sel bakal (stem sel ) yang terdapat pada dasar
kripta, berdiferensiasi dan bermigrasi dari dasar kripta ke bagian atas vili yaitu
lamina propria selanjutnya disalurkan ke dalam lumen.
2.6.5 Hiperplasia Lamela Sekunder
Hiperplasia lamela adalah respon dalam jangka panjang dari sel
malpighian. Sel terutama didapat dari lamela primer, mereka berpindah ke distal
dalam langkah awal menghasilkan akumulasi sel pada tepi lamela sekunder yang
32
biasanya disebut “clubbing” pada lamela. Seluruh jarak antar lamela dipenuhi oleh
sel-sel baru dan sering ditunjukkan dengan metaplasia mukoid mengakibatkan
area respirasi menjadi berkurang (Roberts 2001).
Hiperplasia lamela biasanya berkaitan dengan peningkatan jumlah dan
migrasi sel malpighian di lamela primer. Insang rusak oleh efek pH air yang
rendah berkaitan dengan hujan asam dan peningkatan absorbsi (penyerapan)
aluminium tanah. Hiperplasia lamela sekunder juga berkaitan dengan edema pada
lamela dan hipertropi sel epitel. Terjadi perubahan bentuk sel pilar, tetapi faktor
utama yaitu peningkatan jumlah sel kloride yang meluas sampai ke permukaan
lamela sekunder sehingga terjadi penebalan pada lamela sekunder (Roberts 2001).
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi serta Labratorium Helmintologi Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH-IPB dimulai dari
bulan Juli - Agustus 2007.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) organ
insang, otot dan usus ikan lele yang telah difiksasi dalam BNF (Buffer Netral
Formalin) 10%, (2) pewarnaan Haematoksilin-Eosin, (3) xylol dan minyak
emersi, (4) objek gelas dan cover gelas,
(5) mikroskop, (6) kamera untuk
dokumentasi, (7) akuarium.
3.3 Metode Penelitian
Sampel ikan lele diambil di pasar Laladon sebanyak 17 ekor kemudian
diaklimatisasi di dalam akuarium selama satu hari supaya ikan lele bisa
beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Ikan dimatikan dengan cara
memukul bagian frontal dari kepala kemudian dinekropsi. Usus, otot dan insang
yang diambil diawetkan dalam BNF 10%. Tahap berikutnya pembuatan preparat
histopatologi dilakukan beberapa tahap (lampiran 1), setelah pembuatan preparat
histopatologi dilakukan pewarnaan dengan Haematoksilin-Eosin (lampiran 2) dan
dilakukan pengamatan pada organ insang, otot, usus menggunakan mikroskop
cahaya dengan pembesaran 10x sampai 100x serta pengambilan foto histopatologi
untuk dokumentasi.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Insang
Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi yang ditemukan pada
organ insang yaitu hiperplasia lamela sekunder yang merupakan perubahan
histopatologi paling banyak ditemukan yaitu pada 17 sampel dari 17 sampel ikan
yang diambil, berikutnya diikuti oleh kongesti 16 sampel, edema 13 sampel,
proliferasi sel goblet 10 sampel, deskuamasi epitel insang 8 sampel, kerusakan
tulang rawan 8 sampel, hemoragi 6 sampel dan yang paling sedikit kista dari
metaserkaria trematoda digenea 5 sampel (Gambar 2).
Hiperplasia lamela
sekunder
Hemoragi
18
16
100%
94,12%
Kongesti
14
76,47%
12
58,82%
Jumlah 10
(Ekor) 8
6
47,06%
35,29%
Deskuamasi epitel
47,06%
Proliferasi sel goblet
29,41%
4
Edema
2
0
Kista dari metaserkaria
trematoda digenea
Perubahan Histopatologi
1
1
8
1
1
5
8
Kerusakan tulang
rawan
Gambar 2. Frekuensi lesio histopatologi organ insang ikan lele (Clarias spp.)
Hiperplasia Lamela Sekunder
Hiperplasia lamela sekunder merupakan perubahan histopatologi yang
paling banyak ditemukan pada insang. Semua sampel ikan yang diambil
mengalami hiperplasia lamela sekunder dan diikuti juga dengan inflamasi pada
insang. Hiperplasia lamela sekunder terjadi mulai dari ringan sampai berat.
Hiperplasia lamela sekunder yang berat terjadi jika hampir seluruh lamela
sekunder insang mengalami penebalan, sedangkan hiperplasia lamela sekunder
35
ringan terjadi hanya sebahagian kecil dari lamela sekunder insang yang
mengalami penebalan.
Hiperplasia lamela sekunder disebabkan karena habitat ikan lele yang
hidup di perairan berlumpur, rawa, telaga, sawah yang tergenang air dimana
kualitas airnya buruk. Menurut Camargo dan Martinez (2007), kontaminasi air
oleh aktifitas manusia seperti pertanian dan industri yang mengandung
beranekaragam polutan organik dan inorganik diantaranya minyak, logam berat,
pestisida dan pupuk menyebabkan perubahan kualitas air dan ganguan kesehatan
pada ikan. Perubahan histopatologi insang ikan yang terpapar polutan berupa
hiperplasia sel epitel dan terangkatnya epitel lamela insang. Pada kasus berat
mengakibatkan fusi pada beberapa lamela sekunder, hipertropi sel epitel dan
bentuk lamela insang menjadi tidak beraturan (Gambar 3). Faktor lain yang dapat
menyebabkan hiperplasia lamela sekunder yaitu ammonia dalam bentuk NH3 yang
berasal dari ekresi metabolisme pakan yang bersifat toksik bagi ikan serta bisa
diikuti infeksi sekunder oleh bakteri. Kista dari metaserkaria trematoda digenea
juga dapat menyebabkan hiperplasia lamela sekunder. Hal ini dapat dilihat dari 5
sampel ditemukan kista dari metaserkaria trematoda digenea yang terdapat di
dalam filamen kartilago insang. Menurut Woo (2006), kista dari metaserkaria
trematoda digenea menginduksi hiperplasia epitel insang dan penebalan filamen
insang.
Menurut Roberts (2001), hiperplasia lamela biasanya berkaitan dengan
peningkatan jumlah dan migrasi sel malpighian di lamela primer. Hiperplasia
lamela sekunder juga berkaitan dengan edema pada lamela dan hipertropi sel
epitel serta terjadi perubahan bentuk sel pilar, tetapi faktor utama yaitu
peningkatan jumlah sel kloride yang meluas sampai ke permukaan lamela
sekunder sehingga terjadi penebalan pada lamela sekunder. Akibat dari penebalan
lamela sekunder area respirasi menjadi berkurang, selain itu juga terjadi gangguan
pertukaran ion di epitel dan terganggunya fungsi normal sel kloride.
36
Gambar 3. Hiperplasia lamela sekunder pada insang (panah biru).
Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar
bawah 1 bar = 60 μm
37
Edema dan Deskuamasi Epitel Insang
Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi pada organ insang
didapatkan 13 sampel ikan lele terjadi edema pada lamela insang dari 17 sampel
ikan lele yang diambil. Edema yang terjadi pada insang mulai dari yang ringan
sampai yang berat. Enam sampel mengalami edema berat sisanya mengalami
edema ringan sampai sedang, sedangkan deskuamasi epitel pada lamela primer
dan sekunder ditemukan pada 8 sampel ikan lele dari 17 sampel yang diambil.
Deskuamasi yang terjadi mulai dari ringan sampai berat. Edema dan deskuamasi
yang berat terjadi jika hampir seluruh lamela sekunder insang mengalami edema
dan deskuamasi, sedangkan edema dan deskuamasi ringan terjadi hanya
sebahagian kecil lamela sekunder insang yang mengalami edema dan deskuamasi.
Edema pada insang disebabkan karena bahan-bahan kimia seperti
peptisida dan logam berat, ini berhubungan juga dengan habitat ikan lele yang
hidup di air kotor yang kualitasnya buruk, selain itu juga disebabkan oleh eksresi
ammonia dari metabolisme pakan dalam bentuk NH3 yang berlebihan dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan bersifat toksik
bagi ikan. Menurut Roberts (2001), edema pada lamela diakibatkan karena
terpaparnya polusi bahan-bahan kimia diantaranya logam (metal), peptisida,
formalin atau hidrogen peroksida dengan dosis yang terlalu tinggi, selain itu juga
bisa disebabkan oleh aflatoxikosis nutrisi akut yang dapat menyebabkan edema
hebat pada lamela. Kelanjutan dari edema yaitu terlepasnya (deskuamasi) epitel
respirasi pada lamela primer dan sekunder dengan nekrosa sel epitel lamela yang
hebat, sering bersifat letal akibat kesulitan bernafas dan osmoregulasi. Menurut
Underwood (1992), edema juga bisa disebabkan karena inflamasi akut dimana
dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dalam kaitan
dengan separasi (pemisahan) sel endotel di bawah pengaruh bahan kimia. Cairan
dengan kandungan protein tinggi keluar dari permeabilitas vena masuk ke
jaringan mengalami radang. Terjadinya deskuamasi epitel pada lamela primer dan
sekunder merupakan suatu indikasi adanya respon pertahanan insang terhadap
infeksi bahan asing seperti bahan-bahan kimia dan ammonia. Gambaran
histopatologi memperlihatkan insang yang mengalami edema ditandai dengan
merenggangnya epitel lamela sekunder karena berisi cairan edema (Gambar 4).
38
Gambar 4. Edema (panah hitam) dan deskuamasi epitel lamela insang
(panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100 μm
dan gambar bawah 1 bar = 40 μm
39
Kongesti dan Hemoragi
Kongesti menempati urutan kedua paling banyak dari perubahan
histopatologi yang terjadi pada insang yaitu 16 sampel, sedangkan hemoragi lebih
sedikit yaitu 6 sampel. Kongesti dan hemoragi yang terjadi pada insang mulai dari
yang ringan sampai dengan yang berat. Insang yang mengalami kongesti berat 4
sampel, sedangkan yang mengalami hemoragi yang berat 2 sampel sisanya
mengalami kongesti dan hemoragi yang ringan sampai sedang. Kongesti dan
hemoragi berat terjadi jika hampir seluruh bagian insang mengalami kongesti dan
hemoragi, sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil
insang yang mengalami kongesti dan hemoragi.
Kongesti dan hemoragi yang terjadi pada insang bisa disebabkan karena
migrasi dari serkaria yang merupakan tahap perkembangan dari trematoda
digenea. Serkaria yang migrasi akan penetrasi ke epitel insang sehingga terjadi
kerusakan pada insang dan diikuti dengan terjadinya hemoragi. Menurut Noga
(2000), serkaria yang migrasi dapat menyebabkan hemoragi, nekrosa dan
inflamasi di tempat migrasi dari serkaria tersebut. Menurut Camargo dan Martinez
(2007), kwalitas air yang buruk akibat dari aktifitas manusia seperti pertanian,
industri yang mengandung beranekaragam polutan organik dan inorganik dapat
menyebabkan kongesti pada insang. Kasus yang berat menyebabkan lesio pada
insang dimana lamela mengalami aneurism (pembengkakan pembuluh darah) dan
hemoragi dengan ruptur pada epitel lamela insang. Faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya kongesti pada insang yaitu trauma fisik akibat dari
perlakuan pada saat ikan lele dimatikan sebelum di nekropsi. Ikan dimatikan
dengan cara memukul pada bagian frontal kepala sehingga menyebabkan
terjadinya kongesti pada insang. Kongesti pada insang secara histopatologi
ditandai dengan banyaknya eritrosit yang berada di pembuluh darah, sedangkan
hemoragi ditandai dengan eritrosit sudah keluar dari pembuluh darah dan berada
di jaringan insang (Gambar 5).
40
Gambar 5. Kongesti (panah hitam) dan hemoragi (panah biru). Pewarnaan
HE, gambar atas 1 bar = 60 μm dan gambar bawah 1 bar = 40μm
41
Parasit
Berdasarkan pengamatan, didapatkan kista dari metaserkaria trematoda
digenea di dalam filamen kartilago insang sebanyak 5 sampel dari 17 sampel ikan
yang diambil. Infeksi dari metaserkaria trematoda digenea yang membentuk kista
mulai dari ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat, sedangkan
empat sampel mengalami infeksi ringan sampai sedang. Infeksi yang berat terjadi
jika kista dari metaserkaria trematoda digenea banyak ditemukan di dalam filamen
kartilago insang, sedangkan infeksi yang ringan terjadi jika kista dari metaserkaria
trematoda digenea sedikit ditemukan di dalam filamen kartilago insang.
Menurut Woo (2001), kista dari metaserkaria trematoda digenea terdapat
di dalam filamen kartilago insang diselimuti oleh kapsul sel kartilagenous akibat
dari penetrasi (penembusan) serkaria pada filamen insang dan kista di jaringan
konektif yang berdekatan dengan lapisan kartilago. Kista dari metaserkaria
trematoda digenea dapat menginduksi poliferasi kondroblas dari perikondrium
dan metaserkaria membentuk kapsul (hari ke-7 post-infeksi) terdapat di dalam
perpanjangan filamen kartilago insang. Infeksi dari metaserkaria trematoda
digenea yang membentuk kista juga menginduksi hiperplasia epitel, penebalan
filamen insang, memendek ketika terjadi infeksi berat dan kadang-kadang terjadi
hemoragi. Proliferasi kartilago insang menyebabkan filamen insang membesar
dari diameter normal dan terjadi fusi (peleburan) filamen serta rusaknya morfologi
insang normal (Gambar 6). Infeksi yang berat pada insang mengakibatkan
penurunan efisiensi respirasi.
42
Gambar 6. Kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen
kartilago insang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas
1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm
43
Proliferasi Sel Goblet
Berdasarkan pengamatan, didapatkan 10 sampel dari 17 sampel ikan lele
yang diambil mengalami proliferasi sel goblet. Proliferasi sel goblet terjadi mulai
dari rendah sampai tinggi. Tiga sampel mengalami proliferasi sel goblet yang
tinggi dan sisanya rendah sampai sedang. Proliferasi sel goblet tinggi terjadi jika
jumlah sel goblet insang meningkat secara signifikan, sedangkan proliferasi sel
goblet rendah terjadi jika jumlah sel goblet yang meningkat hanya sedikit dan
tidak begitu signifikan.
Proliferasi sel goblet pada insang yang ditandai dengan meningkatnya
jumlah sel goblet insang (Gambar 7) disebabkan karena respon terhadap adanya
kista dari metaserkaria trematoda digenea. Ini terlihat pada insang ditemukan kista
dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filmen kartilago insang, selain itu
juga proliferasi sel goblet bisa disebabkan karena terpapar bahan kimia organik
(pestisida dan deterjen) serta ammonia. Menurut Hoole et al. (2001), jumlah selsel mukus juga meningkat akibat respon atas infeksi atau peradangan parasit dan
kualitas air yang buruk. Sel-sel mukus membebaskan material mukusnya ke
permukaan epitel untuk melindungi jaringan insang. Irianto (2005) menambahkan,
sel goblet merupakan sejumlah sel-sel tunggal berbentuk buah pear atau oval dan
menghasilkan mukus dan terdapat pada lengkung insang, filamen insang maupun
lamela sekunder. Mukus merupakan glikoprotein yang bersifat basa atau netral
dengan fungsi pelindungan atau proteksi serta anti patogen. Proliferasi sel goblet
yang terjadi pada insang merupakan mekanisme pertahanan dari selaput lendir
insang pada ikan yang terinfeksi akibat respon dari adanya parasit dan bahan asing
seperti bahan-bahan kimia organik.
Menurut Tiuria et al. (2000), mukus yang dihasilkan oleh sel goblet
bersifat protektif bagi inang dengan cara mempengaruhi pengeluaran atau
penjeratan cacing dan bahan asing serta menghalangi kontak langsung dengan
mukosa insang. Mukus juga memiliki kemampuan menghambat kolonisasi
mikroorganisme pada insang. Mukus mengandung imunoglobulin (IgM) yang
dapat menghancurkan patogen yang menginvasi. Hal ini menandakan bahwa
tubuh ikan berusaha mengeluarkan apapun bentuk dari suatu antigen atau bahan
asing dari dalam tubuh sehingga bisa terbebas dari bahan asing tersebut.
44
Gambar 7. Proliferasi sel goblet pada insang (panah biru). Pewarnaan
HE, 1 bar = 40 μm
Kerusakan Tulang Rawan (Kartilago) Insang
Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel mengalami
kerusakan tulang rawan pada insang dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Lima
diantaranya terdapat kista dari metaserkaria trematoda digenea di dalam filamen
kartilago insang.
Kerusakan tulang rawan insang bisa disebabkan karena infeksi dari
metaserkaria trematoda digenea yang membentuk kista di dalam filamen kartilago
insang. Kista dari metaserkaria trematoda digenea yang terdapat di dalam filamen
kartilago insang diselimuti oleh kapsul sel kartilagenous. Menurut Olson dan
Pierce (1997), kista dari metaserkaria trematoda digenea menstimuli terjadinya
proliferasi kartilago dari perikondrium sehingga filamen kartilago insang
membesar dari diameter normal dan dapat merusak morfologi normal dari insang
serta diikuti dengan fusi pada filamen insang (Gambar 8). Infeksi yang berat pada
ikan menyebabkan berkurangnya permukaan respirasi pada insang.
45
Gambar 8. Kerusakan tulang rawan insang (panah biru). Pewarnaan HE,
gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 60 μm
2. Usus
Berdasarkan pengamatan, perubahan histopatologi yang ditemui pada
organ usus adalah proliferasi sel goblet dan kongesti pada 10 sampel, berikutnya
46
diikuti oleh deskuamasi sel epitel usus 8 sampel, infeksi parasit 5 sampel dan yang
paling sedikit yaitu hemoragi 3 sampel (Gambar 9).
10
8
J umlah
(Ekor)
58,82%
58,82%
47,06%
6
4
Kongesti
Hemoragi
29,41%
17,65%
2
0
Perubahan Histopatologi
3
1 5
8
Deskuamasi
epitel
Proliferasi sel
goblet
Parasit
Gambar 9. Frekuensi lesion histopatologi organ usus ikan Lele (Clarias spp.)
Proliferasi Sel Goblet
Proliferasi sel goblet merupakan perubahan histopatologi yang paling
banyak di temukan di organ usus ikan lele bersama dengan kongesti yaitu
sebanyak 10 sampel dari 17 sampel ikan lele yang diambil. Proliferasi sel goblet
pada usus mulai dari rendah sampai dengan tinggi. Proliferasi sel goblet yang
tinggi yaitu 4 sampel, sisanya mulai dari rendah sampai sedang. Proliferasi sel
goblet tinggi terjadi jika jumlah sel goblet usus meningkat secara signifikan,
sedangkan proliferasi sel goblet ringan terjadi jika jumlah sel goblet yang
meningkat hanya sedikit dan tidak begitu signifikan.
47
Tabel 1. Jumlah Sel Goblet pada Usus Ikan Lele (Clarias spp.)
Sampel (lele)
Jumlah sel goblet
1
70
2
132
3
131
4
101
5
97
6
108
7
136
8
92
9
80
10
147
11
158
12
104
13
82
14
197
15
60
16
83
17
109
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa 5 lele dengan jumlah sel gobletnya lebih
banyak dari yang lain, ini menunjukkan bahwa kelima lele mengalami proliferasi
sel goblet yang tinggi pada usus. Proliferasi sel goblet pada usus yang ditandai
dengan meningkatnya jumlah sel goblet usus (Gambar 10) bisa disebabkan karena
infeksi cacing trematoda digenea. Kebanyakan cacing trematoda digenea dewasa
berada di dalam usus inang definitif (ikan, beruang dan mamalia) untuk
menghasilkan telur. Cacing trematoda digenea menstimulasi respon pertahanan
selaput lendir usus ikan terinfeksi yang dibuktikan dengan terjadinya proliferasi
sel goblet. Menurut Tiuria et al. (2000), mukus yang dihasilkan sel goblet bersifat
protektif dan anti patogen bagi inang dengan cara mempengaruhi pengeluaran
atau penjeratan cacing, menghalangi kontak langsung dengan mukosa sehingga
mencegah establishment bagi cacing. Mukus juga memiliki kemampuan
48
menghambat kolonisasi mikroorganisme pada mukosa usus. Mukus mengandung
imunoglobulin (IgM) yang dapat menghancurkan patogen yang menginvasi. Ini
merupakan mekanisme pertahanan usus untuk mengeluaran suatu antigen atau
bahan asing dari dalam tubuh sehingga bisa terbebas dari bahan asing tersebut.
Gambar 10. Proliferasi sel goblet pada usus (panah biru). Pewarnaan HE,
gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm
49
Gambar 11. Kongesti (panah biru), hemoragi (panah hitam) pada usus
gambar atas dan deskuamasi epitel usus (panah biru)
gambar bawah. Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm
Kongesti dan Hemoragi
Kongesti merupakan perubahan histopatologi yang paling banyak ditemui
pada organ usus bersama dengan proliferasi sel goblet yaitu 10 sampel, sedangkan
50
hemoragi paling sedikit ditemui yaitu pada 3 sampel. Kongesti yang terjadi mulai
dari yang ringan sampai sedang, sedangkan hemoragi terjadi mulai dari yang
ringan sampai berat. Satu sampel mengalami hemoragi yang berat dan yang
lainnya mengalami hemoragi ringan sampai sedang. Kongesti dan hemoragi berat
terjadi jika hampir seluruh bagian usus mengalami kongesti dan hemoragi,
sedangkan kongesti dan hemoragi ringan terjadi jika sebahagian kecil usus yang
mengalami kongesti dan hemoragi.
Hemoragi yang terjadi pada usus bisa disebabkan oleh masuknya bahan
atau benda asing bersama makanan yang dapat menyebabkan lesio di usus dan
terjadinya hemoragi. Menurut Irianto (2005), Eimeria yang menginfeksi ikan juga
bisa menyebabkan borok, hemoragi pada saluran pencernaan. Infeksi berat yang
ditandai dengan banyaknya cacing dewasa dari trematoda digenea di dalam usus
dapat menyebabkan terjadinya kongesti akibat dari tertekannya pembuluh darah di
usus oleh cacing dewasa trematoda digenea. Kongesti pada usus secara
histopatologi ditandai dengan banyaknya eritrosit yang berada di pembuluh darah,
sedangkan hemoragi ditandai dengan eritrosit sudah keluar dari pembuluh darah
dan berada di jaringan usus (Gambar 11).
Deskuamasi Epitel Usus
Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi
deskuamasi epitel usus. Deskuamasi epitel yang terjadi mulai dari yang ringan
sampai sedang. Deskuamasi epitel sedang jika deskuamasi yang terjadi pada usus
lebih banyak dibandingkan deskuamasi ringan tetapi tidak sebanyak deskuamasi
yang berat, sedangkan deskuamasi epitel ringan terjadi jika hanya disebahagian
kecil usus yang mengalami deskuamasi epitel.
Deskuamasi epitel usus disebabkan karena infeksi dari parasit. Beberapa
parasit mengambil makanan dari induk semangnya dengan cara menempel di vili
usus sehingga menyebabkan kerusakan vili usus. Salah satunya yaitu cacing
trematoda digenea, cacing ini mempunyai batil hisap yang berfungsi untuk
menempel di vili usus yang dapat merusak epitel usus sehingga terjadi
deskuamasi. Deskuamasi epitel merupakan suatu indikasi adanya respon
pertahanan usus terhadap infeksi parasit (Gambar 11).
51
Gambar 12. Perasit pada epitel usus (panah merah) dan infiltrasi sel-sel
radang (panah biru). Pewarnaan HE, gambar atas 1 bar = 100
μm dan gambar bawah 1 bar = 40 μm
Parasit
Hasil pengamatan histopatologi yang dilakukan pada organ usus didapat
infeksi dari parasit sejenis protozoa pada 5 sampel. Tingkat infeksinya mulai dari
52
ringan sampai berat. Satu sampel mengalami infeksi berat sisanya ringan sampai
sedang. Parasit menginfeksi epitel usus membentuk sarang-sarang bergranul
merah. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa disekitar sarang-sarang
parasit ditemukan infiltrasi sel-sel radang yang merupakan respon pertahanan
tubuh terhadap infeksi parasit (Gambar 12).
Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan oocysta yang
bersporulasi dari Eimeria yang menyebabkan coccidiosis pada ikan. Menurut
Philbey dan Ingram (1991), coccidia di usus berada di mukosa lamina epitelia dan
lamina propria. Biasanya disekitar sarang dari coccidia diinfiltrasi oleh sel-sel
radang pada bagian lamina propria. Menurut Woo (2006), Eimeria ditemukan di
usus ikan umumnya menginfeksi epitel usus. Oocysta dari ikan yang terinfeksi
coccidia akan bersporulasi ketika hidup di tubuh ikan, infeksi yang berat
menyebabkan letargi dan penurunan berat badan ikan.
3. Otot
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, perubahan histopatologi yang
ditemui pada organ otot adalah degenerasi otot sampai nekrosa 13 sampel diikuti
edema dan deskuamasi epitel 8 sampel serta infeksi oleh parasit 4 sampel
(Gambar 13).
J umlah (Ekor)
14
12
10
8
6
4
2
0
Degenerasi otot
76,47%
47,06% 47,06%
Deskuamasi
epitel
23,53%
Edema
Parasit
Perubahan Histopatologi
4
1
8
Gambar 13. Frekuensi lesio histopatologi organ otot ikan Lele (Clarias spp.)
53
Degenerasi Otot Sampai Nekrosa
Degenerasi otot sampai nekrosa merupakan perubahan histopatologi yang
paling banyak di temukan di organ otot ikan lele yaitu 13 sampel. Degenerasi otot
yang terjadi berupa degenerasi hialin, selain itu juga ditemukan nekrosa pada otot.
Degenerasi otot disebabkan karena faktor defisiensi nutrisi terutama defisiensi
vitamin E. Menurut Roberts (2001), perubahan patologi akibat dari defisiensi
vitamin E yaitu terjadinya perubahan temperatur akibat respon patologi yang
hebat, degenerasi hialin pada otot, infiltrasi lemak subepikardial dan proliferasi
fibroblas.
Menurut Takashima dan Hibiya (1995), degenerasi hialin merupakan
perubahan yang mengikuti cloudy swelling dan disebut juga nekrosis koagulasi.
Nukleus kromatin berkondensasi dan menyebabkan lurik pada serabut otot
menghilang. Serabut memperlihatkan suatu penampilan yang homogen dan
efektif terhadap pewarnaan eosin (Gambar 14). Serabut-serabut yang terhialinasi
menjadi lebih rapuh dibandingkan serabut-serabut yang tetap utuh, jika degenerasi
hialin yang hanya terjadi pada sebagian dari serabut otot menyebabkan nukleus
dekat dengan batas bagian yang terhialinasi dan bagian yang tetap utuh sering kali
mengalami hiperplasia. Beberapa serabut otot yang telihat normal di dekat
serabut-serabut yang terpengaruh hialinasi sering memperlihatkan pemisahan
longitudinal yang frekuen.
Perubahan-perubahan lisis terjadi dalam jaringan yang nekrotik dapat
melibatkan sitoplasma sel (Gambar 14), tetapi perubahan paling jelas terlihat pada
inti. Pengaruh nekrosis mengakibatkan hilangnya fungsi pada daerah yang
nekrosa. Pada beberapa keadaan daerah nekrotik dapat menjadi fokus infeksi yang
merupakan medium pembiakan yang sangat baik bagi pertumbuhan organisme
tertentu yang kemudian dapat menyebar ke tempat lain di dalam tubuh, bahkan
tanpa infeksipun adanya jaringan nekrosa di dalam tubuh dapat memicu
perubahan sistemik tertentu misalnya peningkatan jumlah leukosit di dalam
sirkulasi. Jaringan yang mengalami nekrosis dapat menginduksi respon
peradangan dari jaringan yang berdekatan. Jaringan yang nekrosa akan hancur dan
hilang memberi jalan bagi proses perbaikan yang mengganti daerah nekrotik
54
dengan sel-sel yang beregenerasi, pada beberapa keadaan dengan terbentuknya
jaringan parut (Price dan Wilson 2006).
Gambar 14. Degenerasi hialin (panah hitam) gambar atas, edema (panah biru)
dan nekrosa pada otot (panah hijau) gambar bawah. Pewarnaan
HE, gambar atas 1 bar = 100 μm dan gambar bawah 1 bar = 40μm
55
Edema
Hasil pengamatan histopatologi yang didapat yaitu 8 sampel terjadi edema
pada organ otot. Menurut Guyton dan Hall (1996), edema pada otot disebabkan
karena depresi sistem metabolik, inflamasi dan tidak adanya nutrisi untuk sel,
contohnya jika aliran darah ke jaringan menurun sehingga pengiriman oksigen
dan nutrien berkurang mengakibatkan pompa ion membran sel menjadi tertekan
maka ion natrium yang biasanya masuk ke dalam sel tidak dapat lagi dipompa
keluar sel. Gambaran histopatologi memperlihatkan bahwa otot yang mengalami
edema terlihat serabut-serabut otot menjadi merenggang dan diisi oleh cairan
edema (Gambar 14).
Menurut Gavin dan Zachary (2007), edema juga dapat terjadi pada
jaringan yang mengalami peradangan atau stimuli imunologi. Peradangan atau
stimuli imunologi
menginduksi terjadinya vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas mikrovaskuler. Peningkatan permeabilitas diinduksi oleh mediator
diantaranya histamin, bradikinin, leukotrienes dan substan P, dimana mediator ini
dapat menyebabkan sel endotel kontraksi dan celah interendotel melebar sehingga
cairan dengan kandungan protein tinggi keluar dari celah interendotel masuk ke
jaringan yang mengalami peradangan. Price dan Wilson (2006) menambahkan,
peningkatan tekanan hidrostatik cenderung memaksa cairan masuk ke dalam
ruang interstisial tubuh sehingga dengan alasan ini kongesti dan edema cenderung
terjadi secara bersamaan. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya edema
adalah
penurunan
tekanan
osmotik
intravaskuler.
Keseimbangan
cairan
bergantung pada sifat-sifat osmotik protein serum, jika terjadi penurunan
konsentrasi protein dapat mengakibatkan edema.
Edema dapat menyebabkan
pembengkakan pada jaringan yang mengalami peradangan karena terjadi
akumulasi dari cairan.
Deskuamasi Epitel Integumen
Perubahan histopatologi yang ditemukan di bagian integumen (kulit) yaitu
deskuamasi epitel pada 8 sampel. Deskuamasi epitel pada integumen disebabkan
karena trauma fisik maupun akibat infeksi parasit yang mengakibatkan kerusakan
epitel sehingga terjadi perlepasan epitel (deskuamasi) dan nekrosa sel epitel
(Gambar 15). Ini dibuktikan pada saat sebelum nekropsi pada bagian kulit terjadi
56
perlukaan. Kerusakan epitel kulit dapat diikuti dengan infeksi sekunder oleh
bakteri. Menurut Irianto (2005), kulit merupakan penghalang fisik terhadap
lingkungan serta patogen dari luar tubuh, jika terjadi kerusakan pada kulit patogen
akan dengan mudah masuk dan menginfeksi ikan.
Gambar 15. Deskuamasi epitel pada integumen (panah biru).
Pewarnaan HE, 1 bar = 40 μm
Parasit
Hasil pengamatan histopatologi yang dilakukan pada organ otot didapat
infeksi dari parasit sebanyak 4 sampel. Parasit ini sejenis protozoa yang
menginfeksi diantara serabut otot dan di permukaan integumen (Gambar 16).
Tingkat infeksinya masih tergolong ringan hanya di sebahagian kecil dari otot
maupun integumen. Parasit ini belum teridentifikasi dengan pasti, kemungkinan
Epistylis yang bersifat parasit obligat dan hampir tidak spesifik terhadap ikan
sebagai induk semang definitif. Menurut Kabata (1985), secara individual mereka
hidup di dekat luka atau kerusakan lainnya di daerah kulit. Epistylis menyebabkan
iritasi kulit, menekan sel epitel yang diserangnya sehingga dapat terjadi kelainan
bentuk dan gangguan fungsi dari epitel.
57
Gambar 16. Parasit di permukaan integumen (panah biru) gambar atas dan
parasit di otot (panah biru) gambar bawah. Pewarnaan HE,
1 bar = 20 μm
58
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Perubahan histopatologi yang ditemukan pada organ insang ikan lele
(Clarias spp.) adalah hiperplasia lamela sekunder, kongesti, edema, proliferasi sel
goblet, deskuamasi epitel insang, kerusakan tulang rawan, hemoragi dan kista dari
metaserkaria trematoda digenea. Perubahan histopatologi pada organ usus adalah
proliferasi sel goblet, kongesti, deskuamasi epitel usus, infeksi parasit dan
hemoragi, sedangkan perubahan histopatologi pada organ otot adalah degenerasi
otot sampai nekrosa, edema, deskuamasi epitel integumen dan infeksi oleh parasit.
5.2 Saran
Diperlukan perhatian terhadap kualitas air yang baik untuk habitat ikan
lele (Clarias spp.) agar tidak tercemar oleh bahan-bahan kimia maupun logam
berat. Diperlukan pemeriksaan air tempat habitat ikan lele untuk memastikan
apakah air tempat habitat ikan lele tercemar bahan-bahan kimia dan logam berat.
Perlunya penelitian lanjutan dengan melakukan perlakuan khusus agar penyebab
dari perubahan histopatologi akibat dari suatu penyakit atau infeksi dapat
diketahui dengan pasti. Jumlah dan lokasi penelitian perlu diperbanyak agar
didapat data yang lebih banyak dan mewakili untuk daerah Bogor. Kista dari
meteserkaria beberapa trematoda digenea merupakan zoonosis sehingga perlu
memasak ikan lele dengan baik atau sempurna.
59
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Lele (Clarias batrachus).
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Perikanan, Departemen Pertanian.
Boyd, C E. 1991. Water Quality Management and Aeration in Shrimp Farming.
Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Jakarta.
Camargo, M M P dan Martinez C B R. 2007. Histopathology of Gill, Kidney and
Liver of A Neotropical Fish Caged in An Urban Stream. Neotropical
Ichthyology 5 (3) : 327-336.
Dana, D dan Angka S L. 1990. Masalah Penyakit Parasit dan Bakteri pada Ikan
Air Tawar Serta Cara Penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional II
Penyakit Ikan dan Udang. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Bogor.
Flynn, R J. 1973. Parasit of Laboratory Animals. The Iowa State University
Press/Ames, USA.
Gavin, M D dan Zachary J F. 2007. Pathologic Basis Veterinary Disease. Mosby
Elsevier, USA.
Guyton, A C dan Hall J E. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi IX. EGC,
Philadelphia.
Hariyadi, P. 2006. Inventarisasi Parasit Lele Dumbo Clarias sp di daerah Bogor
[skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Hoole et al.. 2001. Disease of Carp and Other Cyprinid Fishes. Fishing New
Books, Oxford.
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta. 243 hal.
Janquiera, L C et al..1971. Basic Histology. Second Edition. Lange Medical
Publication, California. 468 hal.
Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. Taylor
and Francis, London and Philadelphia. 318 hal.
60
Leatherland, J F. 1998. Fish Diseases and Disorders. Volume 2 : Non-Infectious
Disorders. CABI Publishing, USA. 386 hal.
Nabib, R dan Pasaribu F H. 1989. Patologi dan Penyakit Ikan. Bogor.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bogor. 158 hal.
Noga, E J. 2000. Fish Disease Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, USA.
366 hal.
Olson, R E dan Pierce J R. 1997. A Trematoda Metacercaria Causing Gill
Cartilage Proliferation in Steelhead Trout from Oregon. Journal of
Wildlife 33 (4) : 886-890.
Philbey, W dan Ingram A. 1991. Coccidiosis due to Goussia lomi (Protista:
Apicomplexa) in Aquarium-reared Murray cod, Maccullochela peeli
(Mitchell), (Percichthyide). Journal of Fish Disease 14 : 237-242.
Price, S A dan Wilson L M. 2006. Patofisiologi. Edisi VI. Volume I. EGC,
Philadelphia.
Roberts, R J. 2001. Fish Pathology. Third Edition. W.B.Saunders, London,
Edinburgh, Philadelphia, St Louis, Sydney, Toronto. 472 hal.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifiksi Ikan. Bina Cipta, Jakarta.
Smith, H A dan Jones T C. 1961. Veterinary Pathology. Lea & Febiger,
Philadelpia.
Soetomo, M H A. 1987. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Biru, Bandung.
109 hal.
Spector, W G. 1993. Pengantar Patologi Umum. Edisi III. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Supriyadi, H et al.. 1986. Parasit pada Ikan Lele di Jawa Barat (Clarias sp.).
Buletin Penelitian Perikanan darat. Vol. 5., Bogor.
Suyanto, S R. 1986. Budidaya Ikan Lele. Cetakan IV. Penebar Swadaya, Jakarta.
Takashima, F dan Hibiya T. 1995. An Atlas of Fish Histology Normal and
Pathological Features. Edisi II. Kodansha Ltd, Tokyo. 195 hal.
Tiuria, R et al.. 2000. Pengaruh Infeksi Cacing Ascaridia Galli Terhadap Respon
Sel Goblet dan Sel Mast pada Usus Halus Ayam Petelur. Majalah
Parasitologi Indonesia 13.
61
Underwood, J C E. 1992. General and Systematic Pathology. Churchill
Livingstone, New York.
Woo, P T K. 2006. Fish Diseases and Disorders. Volume 1 : Protozoa and
Metazoa Infections. Second Edition. CABI Publishing, USA.
62
Lampiran 1
Pembuatan Sediaan Histopatologi
Sampling Organ
↓
Fiksasi
↓
Dehidrasi
(proses penarikan air dari jaringan)
alkohol 70%, 80%,90%,95%,95%
alkohol absolut I, alkohol absolut II :
masing-masimg 2 jam
↓
Clearing
Silol, silol II masing-masing 2 jam
↓
Embedding
(penanaman jaringan dalam paraffin)
↓
Sectioning
(pemotongan)
Menggunakan mikrotom setebal 5 μm
↓
Mounting
(penempelan sediaan pada gelas objek)
↓
Staining
(pewarnaan)
63
Lampiran 2
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Xylol I : 2 menit
↓
Xylol II : 2 menit
↓
Alkohol absolute : 2 menit
↓
Alkohol 95% : 1 menit
↓
Alkohol 85% : 1 menit
↓
Cuci dengan air kran : 1 menit
↓
Mayer’s Haematoxylin : 8 menit
↓
Cuci dengan air kran : 30 detik
↓
Lithium carbonat : 15-30 detik
↓
Cuci dengan air kran : 2 menit
↓
Eosin : 2-3 menit
↓
Cuci dengan air kran : 30-60 menit
↓
Alkohol 95% : 10 celupan
↓
Alkohol absolute I : 10 celupan
↓
Alkohol absolute I : 2 menit
↓
Xylol I : 1 menit
↓
Xylol II : 2 menit
↓
Tutup dengan gelas penutup
64
Download