Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan Komitmen Indonesia

advertisement
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Briefing Paper
Perkuat Agenda Perubahan Iklim dan
Komitmen Indonesia Melindungi Hutan
Pada 21 Januari 2015, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden No. 16 Tahun
2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Perpres ini menyatukan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan dan juga meleburkan dua lembaga
setingkat Kementrian yakni Badan Pengelola REDD+ (BP REDD+) dan Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) ke dalam Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim di bawah
kementrian tersebut.
Kami, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global,
menghargai niat baik Presiden untuk mengefisienkan birokrasi dengan menyatukan beberapa
lembaga yang memiliki kewenangan dan fungsi yang saling terkait. Penyatuan ini sesuai dengan
agenda perbaikan tata kelola yang akan mendorong koordinasi fungsi dan mandat institusi agar
berjalan lebih cepat dan efisien. Selaras dengan itu, Koalisi perlu menyampaikan pandangan dan
rekomendasi kami sebagai berikut.
A. Karakter Utama Isu Perubahan Iklim
Terkait karakter isu perubahan iklim, kami perlu memberikan catatan penting yang perlu
dipertimbangkan Pemerintahan Joko Widodo, sebelum Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2015
ini memiliki aturan pelaksanaan terkait struktur dan tugas yang lebih rinci di internal KLHK.
1. Perubahan Iklim Bersifat Akumulatif
Perubahan iklim merupakan akumulasi dampak dari pembangunan yang tidak berkelanjutan
dan telah menjadi agenda internasional dengan lahirnya Konvensi Perubahan Iklim pada
tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Akar utama persoalan harus ditinjau dari pola produksi
dan konsumsi yang hanya mementingkan keuntungan ekonomi melalui pengelolaan sumber
daya alam yang sangat eksploitatif ditambah ketidakpekaan sistem ekonomi terhadap
permasalahan ketidakadilan penguasaan sumber daya alam dan pembangunan. Tanpa
perubahan pada pola pembangunan maka kondisi iklim akan terus memburuk.
2. Mendesak dan Bertenggat Waktu
Dampak perubahan iklim global sangat berpengaruh terhadap tingkat ketahanan nasional.
Pada laporan yang diterbitkan oleh Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC)
dipaparkan bahwa kenaikan suhu global sebesar 2oC akan membawa dampak lingkungan
yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan umat manusia. Dampak yang dimaksud telah
nyata terjadi di Indonesia. Banjir, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan seolah-olah
menjadi menu wajib setiap tahun. Lahan kritis di dalam kawasan hutan telah mencapai lebih
1|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
dari 27 juta hektar1. Kondisi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil juga terancam karena
naiknya permukaan air laut. Keanekaragaman hayati yang merupakan kekayaan Indonesia
kini dalam kondisi rentan. Sementara, di laut ukuran ikan semakin menyusut karena
berkurangnya kadar oksigen dalam laut akibat pemanasan global.
3. Lintas Sektor
Fungsi Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim yang disebutkan dalam Perpres
16/2015 (pasal 28) mencakup “mitigasi, adaptasi, penurunan emisi gas rumah kaca,
penurunan dan penghapusan bahan perusak ozon, mobilisasi sumber daya, inventarisasi gas
rumah kaca, monitoring, pelaporan dan verifikasi perubahan iklim serta pengendalian
kebakaran hutan dan lahan”. Fungsi tersebut merupakan fungsi lintas sektoral yang
berkenaan dengan mandat instansi lain maupun Pemerintahan Daerah. Dalam
pelaksanaannya, agenda perubahan iklim seringkali berbenturan dengan berbagai agenda
pembangunan pemerintah yang memprioritaskan pertumbuhan (pro-growth) di berbagai
sektor dan seringkali dikalahkan. Hal ini sangat disayangkan karena tingkat penanganan
perubahan iklim memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat keberhasilan
pembangunan jangka panjang. Adaptasi perubahan iklim juga sangat erat kaitannya dengan
sektor lain di luar kewenangan KLHK.
Prasyarat-prasyarat untuk menata pembangunan yang eksploitatif antara lain; kebijakan satu
peta, pemetaan partisipatif, moratorium perizinan, penyelesaian konflik dan pengakuan hak
masyarakat hukum adat/lokal, dan percepatan pengukuhan kawasan hutan berdasarkan MK
45/PUU-IX/2011 merupakan agenda lintas-sektoral yang harus dikoordinasikan oleh
Kementerian yang mempunyai mandat lintas-sektoral. Agenda-agenda tersebut harus
dilakukan dengan prinsip inklusif, partisipatif, dan mendorong konsen masyarakat sebagai
pemegang hak utama. Relasi antara agenda perubahan iklim dengan fungsi institusi terkait
setidaknya terentang ke dalam 6 (enam) rumpun Kementerian/lembaga sebagaimana
tergambar dalam skema di bawah ini.
1Sambutan
Menhut Dalam Acara Rakor Rehabilitasi Hutan Konservasi Kerjasama Dengan TNI Dan MoU Antara Kemenhut TNI
dan PT Garuda Indonesia, 7 Februari 2014
2|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Sebagai catatan, meski prasyarat-prasyarat telah dipenuhi, tujuan utama dari agenda
perubahan iklim ini tidak mungkin tercapai tanpa penegakan hukum yang konsisten oleh
semua lini pemerintahan yang sesuai dengan prinsip-prinsip rule of law dan hak-hak asasi
manusia.
4. Kebijakan Kehutanan Telah Mendorong Besarnya Pelepasan Emisi
Pelepasan emisi terbesar Indonesia berasal dari kerusakan hutan dan lahan gambut. Menurut
DNPI (2009), 87% emisi yang dihasilkan Indonesia berasal dari penggunaan lahan gambut
dan kerusakan hutan. Laju deforestasi Indonesia yang selalu di atas angka 1 juta hektar dalam
dua dekade terakhir tidak lepas dari kebijakan masa lalu Kementrian Kehutanan yang sangat
eksploitatif, di antaranya berupa pemberian hak pengusahaan hutan dan perizinan pelepasan
3|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
kawasan hutan serta lemahnya pengawasan kawasan hutan. Forest Watch Indonesia (2014)
menemukan bahwa kehilangan tutupan hutan alam (deforestasi) terbesar selama periode
2009-2013 berdasarkan fungsi Kawasan Hutan Negara dan Areal Penggunaan Lain secara
berurutan adalah Kawasan Hutan Produksi dengan angka deforestasi 1,28 juta hektar, Areal
penggunaan lain 1,12 juta hektar, Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi 0,78 juta
hektar, Kawasan Hutan ProduksiTerbatas 0,7 juta hektar, Kawasan Hutan Lindung 0,48 juta
hektar dan Kawasan Konservasi 0,23 juta hektar. Total deforestasi yang dikontribusikan
pemegang izin sekala besar berupa HPH, HTI, Perkebunan, dan Pertambangan adalah 2.3
juta hektar. Di samping itu, minimnya pengawasan pemerintah juga mengakibatkan
terjadinya pembukaan hutan dan lahan gambut secara illegal sehingga mengakibatkan
deforestasi sebesar 2,2 juta hektar.
5. Kontribusi Besar Bahan Bakar Fosil
Kebijakan energi nasional selama ini berorientasi kepada penggunaan bahan bakar fosil
sebagai penyebab emisi karbon yang sebagian berasal dari praktik penambangan yang
memiliki daya rusak tinggi. Tingkat ketergantungan akan bahan bakar fosil tersebut sangat
tinggi dan, sementara porsi energi terbarukan (biofuel) sangatlah kecil. Kebijakan energi
nasional sangat sentralistik dan selama ini didedikasikan kepada dunia usaha ketimbang
ketersediaan energi yang cukup bagi rakyat kebanyakan. Pada tahun 2014, produksi batubara
mencapai 435 juta ton dengan jumlah ekspor sebesar 359 juta ton dan Domestic Market
Obligation (DMO) sebesar 76 juta ton. Tahun ini, batubara tetap menjadi andalan produksi
dengan target sebesar 420 juta ton. Pemerintah juga mendorong peningkatan penggunaan
batubara dalam negeri dengan dibangunnya beberapa pembangkit listruk berbahan baku batu
bara di Indonesia. Indonesia akan semakin jauh dari komitmen menurunkan Emisi GRK 26%
hingga tahun 2020 yang disebabkan oleh Land Use Land Use Change and Forestry
(LULUCF) dan penggunaan energi kotor (dirty energy) tanpa perubahan mendasar pada
kebijakan energi nasional. Rencana untuk mendorong penggunaan energi terbarukan berbasis
kebutuhan lahan tentu juga tidak akan sejalan dengan komitmen penurunan emisi tersebut.
6. Tidak Boleh Melangkah Mundur (no backsliding)
Indonesia, sejak masa pemerintahan Presiden SBY, telah menyatakan komitmennya untuk
melakukan pengurangan emisi nasional sebesar 26% sebagai upaya domestik dan atas
dukungan asing 41% pada 2020. Sebagian besar komitmen tersebut akan dilaksanakan
melalui REDD+ mengingat sumber utama emisi Indonesia berasal dari hutan dan lahan
gambut. Komitmen ini telah terekspos secara luas dan dianggap sebagai langkah maju oleh
hampir setiap negara, tercatat di kelembagaan Konvensi Perubahan Iklim, direkam oleh
berbagai NGOs dan tercatat dalam laporan-laporan media internasional maupun nasional.
Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah Indonesia telah menjalankan inisiatif-inisiatif
kelembagaan yang didorong secara partisipatif oleh berbagai lapisan masyarakat sipil seperti
Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Menteri tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan
Hutan, Review Perizinan, Transparansi Peta moratorium dan masyarakat hukum adat, sistem
informasi perijinan. Adalah bijak bagi Indonesia untuk konsisten dengan komitmen dan
inisiatif positif yang telah berjalan dan menghargai kesepakatan global untuk tidak
melakukan langkah mundur (no backsliding) dalam penanganan perubahan iklim
4|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
sebagaimana dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 yang telah mengangkat kembali
komitmen pengurangan emisi 26% pada 2020,
B. Tonggak Positif
Berkaitan dengan karakter isu perubahan iklim di atas maka inisiatif Pemerintahan Joko Widodo
yang menyatukan dua Kementerian dan dua lembaga setingkat Kementerian, setidak-tidaknya
mempunyai dua landasan positif yang perlu menjadi tonggak dalam penyusunan struktur yang
lebih rinci.
1. Efisiensi Birokrasi
Hingga saat ini, ada ketidakjelasan mengenai lembaga negara yang mengampu isu perubahan
iklim, termasuk tanggung jawab koordinasi pengurangan emisi dan evaluasinya.
Terbentuknya Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim di bawah KLHK
menyederhanakan garis pertanggungjawaban dan mengefisienkan perencanaan, implementasi
sekaligus evaluasinya. Struktur ini diharapkan menciptakan sistem koordinasi yang baik
sehingga upaya mendorong mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan lebih terintegrasi. Di
samping itu, saluran masukan publik untuk menyampaikan perbaikan penanganan perubahan
iklim juga menjadi lebih jelas secara institusional.
2. Menguatnya Peran Institusi Lingkungan Hidup di Tingkat Daerah
Sebelum dilebur dengan Kementrian Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup yang
bekerja dalam isu-isu lingkungan, dan di dalamnya termasuk perubahan iklim seringkali
menemui kesulitan dalam hal memastikan agendanya dilaksanakan di tingkat daerah. Hal ini
terkait dengan penggolongan urusan pemerintahan dalam UU No. 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara yang yang memasukan KLH dalam urusan pemerintahan yang dibentuk
dalam rangka “penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah” (Pasal 4 ayat
(2) huruf c). Watak KLH yang demikian itu membuatnya tidak memiliki Direktorat jenderal
melainkan Deputi. Padahal struktur Direktoral Jendral-lah yang memiliki wewenang eksekusi
sampai ke daerah. Dengan digabungkannya Kementrian Lingkungan Hidup dengan
Kehutanan, wewenang institusi lingkungan hidup menjadi setara dengan Kementrian
Kehutanan yang termasuk ke dalam urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebut
dalam UUD 1945 (Pasal 4 ayat (2) huruf b) yang memiliki kewenangan antara lain
“pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementrian di
daerah.” Dengan kemampuan dan kepemimpinan yang lebih baik dari pemerintahan
sebelumnya, diharapkan agenda-agenda lingkungan hidup, termasuk perubahan iklim, akan
lebih mudah dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah.
C. Potensi Resiko
Meski demikian, kami mencatat beberapa resiko yang perlu dipertimbangkan Pemerintahan
Jokowi dalam menentukan struktur detail KLHK:
1. Tidak terakomodirnya wewenang lintas sektor
5|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
Refleksi kinerja kabinet yang hampir selalu muncul dalam rezim-rezim sebelumnya adalah
sulitnya berkoordinasi antar kementrian. Bahkan BP REDD+ dan DNPI yang dibentuk untuk
mempercepat koordinasi isu perubahan iklim dan kehutanan belum mampu menjalankan
tugasnya dengan baik. Fungsi koordinasi tidak akan berjalan apabila kewenangan koordinasi
tersebut hanya diletakkan kepada institusi setingkat Direktorat Jendral. Karena itu,
Pemerintah perlu mencari jalan keluar untuk mencari solusi bagi koordinasi yang lebih baik
bagi isu perubahan iklim.
2. Transisi kelembagaan yang belum siap
Penggabungan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kementrian Kehutanan tidak
memperhitungkan kesiapan kelembagaan lingkungan hidup dan kehutanan yang selama ini
acapkali bertentangan satu sama lain. Demikian halnya dengan Pemerintah Daerah yang
belum mempunyai kapasitas untuk segera merespons perubahan kelembagaan yang sangat
cepat di tingkat pusat. Posisi isu lingkungan hidup selama ini ditempatkan sebagai isu minor
dan secara kelembagaan inferior berhadapan dengan sektor-sektor ekstraktif sumber daya
alam. Karena itu, penguatan fungsi lingkungan hidup tidak serta merta memperkuat fungsi
kelembagaan lingkungan hidup di tingkat daerah.
3. Fungsi koreksi yang sulit berjalan
Salah satu peran utama yang harus dimainkan oleh lembaga yang menangani perubahan
iklim adalah melakukan koreksi kepada sistem tata kelola kehutanan maupun pembangunan
secara keseluruhan. Agenda moratorium izin hutan dan lahan gambut serta penyempurnaan
tata kelola kehutanan merupakan salah satu langkah koreksi yang didorong oleh masyarakat
sipil sebab dinilai membuka kesempatan dilakukannya tinjauan ulang dan koreksi atas
kebijakan- kebijakan kehutanan selama ini. Dalam perspektif tata kelola yang baik, fungsi
peninjauan ulang seharusnya dilakukan oleh institusi yang tidak terlibat dalam pembentukan
dan pelaksanaan kebijakan yang merusak hutan dan lingkungan. Hal ini dilakukan untuk
menjamin obyektivitas hasil peninjauan ulang dimana ada jarak antara institusi penilai dan
insitusi yang dinilai.
4. Terbatasnya ruang partisipasi publik
Dalam proses pengembangan kebijakan perubahan iklim selama ini sudah terdapat beberapa
inisiatif yang membuka ruang dan masukan publik dalam penyusunan kebijakan. Tradisi
institusionalisasi masukan publik tersebut tidak tampak dalam kinerja Kementrian Kehutanan
(sebelum dilebur) selama ini. Banyak kebijakan pelepasan kawasan hutan dan pemberian izin
kehutanan dilakukan tanpa mempertimbangkan masukan apalagi penolakan publik.
5. Kebijakan anggaran yang tidak sesuai dengan karakter perubahan iklim
Alokasi anggaran terhadap hal-hal yang mendesak terkait persoalan perubahan iklim selama
ini tidaklah memadai maupun berkesinambungan. Jikapun ada tambahan dana dari negaranegara maju yang memang harus bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim di
negara berkembang, akan menjadi sia-sia apabila sistem anggaran masih mengikuti pola saat
ini. Hal ini dikarenakan struktur dan mekanisme anggaran yang berbasis APBN saat ini tidak
cocok untuk menjawab persoalan lingkungan hidup, kehutanan, dan perubahan iklim yang
6|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
secara alamiah (by nature) berjangka panjang dan merupakan dampak akumulatif, serta
dengan hasil yang tak kasat mata.
D. Rekomendasi
Dengan mempertimbangkan peluang dan tantangan di atas, kami merekomendasikan beberapa
poin penting yang harus menjadi acuan dari kerja pemerintahan baru dalam mengendalikan dan
menangani dampak perubahan iklim. Beberapa poin tersebut juga terkait dengan penataan
struktur di internal Kementerian, yakni:
1. Strategi Penanganan Perubahan Iklim
a. KLHK harus mendorong agenda adaptasi sama kuatnya dengan mekanisme mitigasi.
Oleh karena itu, wilayah-wilayah yang dikategorikan rentan (seperti pulau-pulau kecil) di
dalam peta adaptasi perlu didukung dengan upaya mitigasi, begitupun sebaliknya, upayaupaya mitigasi harus dipadu padankan dengan agenda adaptasi. Selain itu, keseluruhan
rencana pembangunan harus menghentikan tekanan-tekanan baru terhadap wilayah rentan
dengan membatasi pemberian izin eksploitatif dan memprioritaskan program yang
membantu adaptasi.
b. KLHK bersama dengan K/L terkait harus melanjutkan dan mempercepat pelaksanaan
agenda-agenda yang menjadi prasyarat pengendalian perubahan iklim yang efektif, yaitu:
1) Kebijakan Satu Peta2. Pemerintah harus segera mengeluarkan Peraturan
Pemerintah mengenai implementasi kebijakan satu peta, antara lain dengan
memerintahkan semua sektor terkait harus dalam waktu paling lambat 1 (satu)
tahun telah menyelesaikan sinkronisasi satu peta dengan Badan Informasi
Geospasial. Dan secara tegas menetapkah bahwa semua bentuk perizinan harus
mengacu pada satu peta tersebut. Mengingat pentingnya agenda ini dalam
pembangunan berkelanjutan, kami mengusulkan pelaksanaan dilakukan oleh tim
independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
2) Pemetaan Partisipatif dan Tata Batas Kawasan Hutan3. Pemerintah harus
memperkuat partisipasi masyarakat dalam tata batas kawasan hutan dengan
mengakomodasi instrumen pemetaan partisipatif sebagai dasar dalam tata batas
kawasan hutan.
3) Moratorium Ijin dalam Kawasan Hutan dan Lahan Gambut, dengan catatan perlu
disempurnakan kembali untuk penyelamatan hutan alam tersisa4;
4) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan.5 Pengukuhan kawasan hutan harus
mengacu pada sekurang-kurangnya dua Putusan MK yakni Putusan No 45/PUUIX/2011 dan Putusan MK No 35/PUU-X/2012. Tata batas kawasan hutan yang
Berdasarkan mandat UU No.4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Peraturan Presiden No. 27 tahun 2014 tentang Jaringan
Informasi Geospasial Nasional, dan RPJMN 2015-2019
3 Berdasarkan UU No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang dan UU No. 6 tahun 2014
tentang Desa
4 Berdasarkan mandat Instruksi Presiden No. 6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola
Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
5 Berdasarkan Nota Kesepakatan Bersama 12 K/L tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia
2
7|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
saat ini diklaim telah mencapai lebih dari 60% harus ditinjau dalam konteks dua
putusan tersebut, terutama konsistensinya dalam menjalankan prosedur
kesepakatan dengan masyarakat adat dan lokal.
5) Penyelesaian Konflik dan Pengakuan Hak Masyarakat adat dan lokal6. Pemerintah
harus menyediakan payung hukum yang lebih kuat untuk menuntaskan
penyelesaian konflik kehutanan yang sifatnya lintas-sektoral mengingat dalam
kenyataan di lapangan persoalan kawasan hutan terkait juga dengan persoalan
non-kehutanan seperti tambang, pembangunan infrastruktur, perkebunan.
c. KLHK harus mendorong terjadinya perubahan mendasar kebijakan energi nasional untuk
secara bertahap meninggalkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil serta
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan nasional secara merata ketimbang pasar global.
2. Strategi Kelembagaan
a. Fungsi koordinasi, monitoring, dan evaluasi dilaksanakan oleh Kementrian Koordinator
Perekonomian. Mengingat perubahan iklim merupakan dampak dari pembangunan yang
tidak berkelanjutan maka penyelesaiannya haruslah mentargetkan pembenahan pola
pembangunan yang menjadi akar masalah. Hal ini membutuhkan koordinasi di antara 6
(enam) rumpun K/L yang kewenangannya dimiliki oleh Kementerian Koordinasi. Hal ini
dapat menjembatani kebuntuan koordinasi antar-sektor dan juga memastikan sektorsektor terkait mencapai target mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
b. KLHK harus menjadikan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai landasan dalam menentukan struktur dan program, mengingat
isu lingkungan lebih besar dan luas daripada Kehutanan. Hal ini diwujudkan dengan
penyelesaian penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Dengan demikian
perencanaan kawasan hutan harus mengacu RPPLH. Demikian halnya dengan
pemanfaatan kawasan hutan dalam bentuk perizinan maupun rencana perubahan status
dan fungsi harus mengacu pada standar lingkungan yang termuat dalam KLHS. Hal ini
harus terwujud dalam struktur dirjen hingga direktorat yang mengedepankan penguatan
pada lingkungan hidup daripada eksplotasi hutan.
c. Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim membuat standar dan sistem audit
lingkungan hidup yang memperketat pelepasan emisi serta berperan aktif dalam
mendorong dibuatnya RPPLH dan KLHS yang dapat secara efektif mengarusutamakan
pembangunan berkelanjutan.
d. Perlu adanya reformasi sistem penganggaran negara yang dapat mengakomodir
kepentingan perlindungan lingkungan, kehutanan, dan perubahan iklim yang bersifat
jangka panjang (multi-years), berdampak akumulatif, dan tidak kasat mata dan tidak
terukur. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan model-model pendanaan perubahan
6
Berdasarkan TAP MPR No. IX tahun 2001 dan RPJMN 2015-2019
8|P age
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global
iklim yang telah ada. Mekanisme trust fund yang tengah diterapkan kami anggap cukup
dapat mengakomodir agenda perubahan iklim. Akan tetapi, mekanisme ini haruslah
dipandang sebagai bentuk transisi untuk menuju sistem APBN baru sehingga memenuhi
prinsip akuntabilitas publik.
Koalisi untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global:
9|P age
Download