Selengkapnya - Jurnal Bengkulu Mandiri

advertisement
PEMBANGUNAN KEBUN RAKYAT POLA AGROFORESTRI (HUTAN
RAKYAT) MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI DAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN
DI KABUPATEN KEPAHIANG
Oleh : RIS IRIANTO
ABSTRAK
Pengembangan perkebunan dengan menanam beberapa jenis tanaman
perkebunan pada lahan yang sama atau dinamakan penanaman pola
agroforestri/hutan rakyat atau dikenal juga dengan pola polikultur bermanfaat
untuk meningkatkan pendapatan petani, sekaligus dapat menjaga dan
memperbaiki lingkungan. Perkebunan pola agroforestri/hutan rakyat atau dikenal
juga dengan pola polikultur yang dilaksanakan di Kabupaten Kepahiang dengan
cara menanam tanaman pada lahan masyarakat dengan 3 (tiga) strata ketinggian
tajuk; 1. Kopi yang telah disambung pada strata bawah; 2. Kakao pada strata
tengah; dan 3. Tanaman Sengon pada strata atas sebagai tanaman
pelindung/penaung serta ditanam sebagai tanaman pagar di batas kebun.
Dari segi peningkatan pendapatan petani, dengan menanam tanaman
agroforestri di atas, pendapatan petani akan bertambah bila dibandingkan hanya
menanam tanaman monokultur melalui peningkatan jenis, jumlah produksi, resiko
gagal panen bila masih menggunakan pola monokultur (kopi) dan pendapatan
tambahan dari pemeliharaan ternak.
Ditinjau dari segi lingkungan, perkebunan pola agroforestri/hutan rakyat
atau dikenal juga dengan pola polikultur lebih ramah lingkungan dibandingkan
dengan perkebunan monokultur. Dengan polikultur maka diversitas/keragaman
hayati meningkat pada lahan tersebut sehingga secara ekologi struktur lahan
tersebut akan lebih mantap. Tanaman dengan tiga strata tersebut bertindak sebagai
penghadang fisik antara air hujan dan permukaan tanah, sehingga air hujan yang
jatuh menetes secara perlahan, tidak menghempas permukaan tanah sehingga run
off dan erosi dan pencemaran air dapat dikendalikan. Tanaman polikultur dapat
berfungsi hampir sama dengan fungsi hutan dan dapat mendukung fungsi hutan di
atasnya dalam mempertahankan fungsi hidrologis dan tata air di dataran tinggi
sebagai pengendali banjir di musim hujan, sekaligus tendon air di musim
kemarau, selain itu pola ini juga dapat mengurangi pencemaran lingkungan
melalui penyerapan karbon yang lebih besar.
I.
PENDAHULUAN
Luas hutan di Indonesia saat ini 135 Juta ha. Dari luasan tersebut 50% nya
dalam keadaan rusak, dengan laju deforestasi 1,1 juta ha/tahun. (Kementerian
Kehutanan, 2011).
Kabupaten Kepahiang adalah bagian dari wilayah Provinsi Bengkulu
mempunyai wilayah seluas 66.500 Ha dan terbagi dalam kawasan budidaya seluas
48.177,69 ha dan kawasan hutan seluas 18.327,31 ha (Dishutbun Kepahiang,
2006).
1
Dari kawasan hutan yang ada 9.266,60 ha (50,8%) dalam keadaan kritis
(BIPHUT Bengkulu, 2005).
Dari kawasan budidaya 48.177,69 Ha tersebut, didominasi oleh
perkebunan kopi robusta seluas 23.451 ha (Dishutbun Kepahiang, 2006).
Produksi kopi robusta di Kabupaten Kepahiang secara rata-rata sangat
rendah hanya 0,6 ton/ha/tahun yang berbunga dan berbuah hanya satu kali setiap
tahunnya. Produksi yang rendah ini diperparah lagi dengan seringnya fluktuasi
harga yang kebanyakan harga rata-ratanya rendah, sehingga pendapatan petani
kopi di Kabupaten Kepahiang secara rata-rata setiap bulan hanya berkisar Rp.
500.000,-/ha (Dishutbun Kepahiang 2010).
Sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia, Kabupaten Kepahiang
beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata 265,95 mm/ bulan, kelembaban nisbi
87,3% dan suhu rata-rata 24,29° C (Badan Meteorologi dan Geofisika, 2011).
Secara Geografis Kabupaten kepahiang terletak pada dataran tinggi Bukit
Barisan Selatan, dengan ketinggian antara 260 m sampai lebih dari 1200 meter
dari permukaan laut (Dishutbun Kepahiang, 2006). Makin tinggi suatu tempat
makin beragam kondisi lahannya, hal ini terkait dengan makin luasnya areal/lahan
yang miring.
Makin tinggi kemiringan lahan umumnya berhubungan erat dengan
kesuburan tanah yang makin rendah dan kondisi lingkungan perakaran yang
kurang baik (Erwiyono R. dkk, 2006).
Makin tinggi kemiringan lahan makin intensif, proses perlindian hara
karena makin tinggi tempat makin tinggi mobilitas air akibat perbedaan tinggi
tempat. Makin miring lahan umumnya makin tipis lapisan permukaan tanah bila
erosi tidak terkendali. Akibatnya semakin miring lahan umumnya makin buruk
pertumbuhan tanaman dan makin rendah produktivitasnya (Erwiyono R. dkk,
2001).
Pengembangan perkebunan dengan menanam beberapa jenis tanaman
perkebunan pada lahan yang sama (pola agroforestri/polikultur) di Kabupaten
Kepahiang atau dikenal juga dengan pola perkebunan hutan rakyat dapat
meningkatkan pendapatan petani sekaligus dapat menutupi kerusakan hutan
Negara, mensubstitusi kehilangan hutan (deforestasi hutan) di Indonesia,
khususnya Kabupaten Kepahiang, menjaga dan memperbaiki lingkungan.
II.
PENGEMBANGAN PERKEBUNAN POLA
AGROFORESTRI (HUTAN RAKYAT) MENINGKATKAN
PENDAPATAN PETANI
A. Perkebunan Pola Agroforestri (Hutan Rakyat)
Perkebunan pola agroforestri atau sering disebut juga hutan rakyat
dibakukan dengan tegas melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 49/KptsII/1997 yaitu hutan/kebun yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25
ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan atau jenis tanaman lainya
lebih dari 50 % dan atau pada tanaman tahunan dengan minimal 500
tanaman/ha. (Departemen Kehutanan, 2007).
Istilah lain perkebunan pola hutan rakyat ini adalah Agroforestri yaitu
system penggunaan lahan terpadu, yang memiliki aspek social dan ekologi,
dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian
2
dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga
dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam
arti berkesinambungan (R.Usman, 2010).
Perkebunan pola hutan rakyat ini dikenal juga pada sektor perkebunan
dengan istilah perkebunan polikultur. Yaitu pola penanaman tanaman keras
(tanaman perkebunan) dengan menanam lebih dari dua jenis tanaman pada
lahan yang sama dengan jarak tanam tertentu.
Hutan rakyat sudah lama dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat
yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan masyarakat, selain sebagai
investasi ternyata juga dapat memberi tambahan penghasilan yang dapat
diandalkan. Masyarakat biasa memanfaatkan kayu yang ditanam di lahan milik
sendiri untuk berbagai keperluan terutama untuk mencukupi kebutuhan kayu
sebagai bahan baku bangunan atau mebel. Sewaktu-waktu mereka menjual
kayunya ketika ada kebutuhan ekonomi mendesak, akan tetapi tidak sedikit
diantara mereka yang mewariskan pohon yang masih berdiri untuk anak cucu
mereka. (Sukadaryati, 2006).
Perkebunan pola agroforestri/hutan rakyat atau dikenal juga dengan
pola polikultur yang dilaksanakan di Kabupaten Kepahiang dengan cara
menanam tanaman pada lahan perkebunan kopi rakyat monokultur yang
selama ini ada dengan cara mengurangi jumlah tanaman kopi robusta dari
3.000-4.000 batang yang ada menjadi hanya 1.600 pohon dalam 1 ha dengan
jarak tanam 2x2x7 m, selanjutnya 1.600 tanaman kopi yang ada ini dipotong ±
1 m lalu dilakukan penyambungan. Pada lahan tersebut juga ditanam kakao
dengan jumlah 500 batang setiap hektarnya (jarak tanam 5x4 m). Serta sebagai
tanaman penaung ditanam tanaman sengon sebanyak 300 pohon setiap
hektarnya dengan jarak tanam 5,25x6 m. Tanaman sengon juga ditanam
sebagai pembatas kebun (pagar) dengan jarak 2 m antara 1 pohon dengan
lainnya (1 ha = 100 pohon). (Puslit Koka Indonesia Jember, 2006).
Tata tanam pola agroforestri/hutan rakyat (polikultur) di Kabupaten
Kepahiang disajikan pada gambar.1 dibawah ini :
1,75 m
5,25 m
Gambar: Tata tanaman pola hutan rakyat (polikutur) di Kabupaten Kepahiang.
3
Sumber: Laporan Potensi Pengembangan Kakao di Kabupaten Kepahiang, Propinsi
Bengkulu, 2006
Keterangan :
: Tanaman Kakao (jarak tanam 5,25 m x 3,8 m, populasi 500 pohon/ha)
: Tanaman Kopi Robusta (jarak tanam 2 x 2 x 7 m, populasi 1.600
pohon/ha)
: Tanaman Penaung (jarak tanam 5,25 m x 6,3 m, populasi 300 pohon/ha)
Dengan pola pengembangan ini, berarti dalam setiap hektar lahan yang
sama terdapat 1.600 batang kopi robusta, 500 batang kakao dan 400 batang
sengon ditambah ternak yang diintegrasikan pada lahan tersebut (Dishutbun
Kepahiang, 2006).
Dengan pola ini bila dilihat dari ketinggian tajuk tanaman akan
terbentuk 3 (tiga) strata ketinggian tajuk tanaman yaitu tajuk tanamana sengon
pada strata atas, tajuk tanaman kakao pada strata tengah dan tajuk tanaman
kopi pada strata bawah.
Demikian juga bila dilihat dari kedalaman perakaran akan terbentuk 3
strata kedalaman perakaran yaitu perakaran sengon paling dalam, kakao
ditengah dan perakaran kopi lebih kepermukaan tanah.
B. Peningkatan Pendapatan Petani
Dengan menanam tanaman pola agroforestri/hutan rakyat atau dikenal
juga dengan pola polikultur kopi, kakao, pohon pelindung/penaung dan
pagarnya dengan tanaman sengon akan dapat meningkatkan pendapatan petani
perkebunan, khususnya di Kabupaten Kepahiang melalui peningkatan jenis,
jumlah produksi dan pendapatan tambahan dari pakan ternak serta
meningkatkan frekwensi pendapatannya.
1. Peningkatan jenis produksi dan Frekwensinya
Bila selama ini hasil produksi yang didapat hanya berasal dari hasil
panen kopi yang hanya satu tahun sekali maka setelah melakukan penanaman
polikultur akan didapat pendapatan dari hasil penjualan kopi yang telah
disambung menjadi sedikit-dikitnya 3 kali dalam setahun, pendapatan dari
hasil panen kakao setiap dua mingguan dan pendapatan setiap 4 dan 5 tahunan
dari hasil penjualan kayu sengon. Hal ini juga akan membuat petani pekebun
di Kabupaten Kepahiang lebih tahan menghadapi fluktuasi turunnya harga
dari satu jenis komoditi (kopi).
2. Peningkatan Jumlah Produksi
Tanaman kakao yang diusahakan dengan system agroforestri (pola
hutan rakyat/polikultur) memiliki produktivitas yang lebih stabil daripada
tanaman kakao yang diusahakan secara monoklutur. Pola hutan rakyat
(agroforestri/polikultur) adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar
matahari dan tanah yang berlapis-lapis untuk meningkatkan produktivitas
lahan dan melindungi lahan dari kerusakan serta mencegah penurunan
kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu berumur panjang
mampu memompa zat-zat (nutrient) di lapisan tanah dalam, kemudian
ditransfer kepermukaan tanah melalui biomasa. Ekosistem hutan rakyat
(agroforestri) mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang
(Budiadi, 2005).
4
Kopi yang mempunyai naungan gamal atau dadap memiliki jumlah
cabang primer yang berbuah dan jumlah buah per dompol lebih banyak
(Halupi, 1998).
Defesiensi pupuk, defisit air karena kemarau, dan terjadinya
pembuahan yang lebat pada kopi tanpa pelindung akan membawa kelelahan
pohon kopi yang dapat menyebabkan turunnya produksi tahun berikutnya atau
bahkan dapat menyebabkan terjadinya mati ranting pucuk (branch die back).
Pohon pelindung kopi akan dapat mengurangi faktor penyebab mati ranting
pucuk. Pohon pelindung jenis legume memberikan hasil kopi yang lebih
konsisten (Prawoto, 2008).
Dengan mengurangi populasi tanaman kopi dari yang selama ini lebih
dari 3.000 batang menjadi hanya 1.600 batang/ha, setelah itu tanaman kopi
disambung dengan entrys kopi-kopi unggul akan meningkatkan produksi kopi
dari rata-rata 0,5 – 0,6 ton/ha/tahun menjadi lebih 1 ton/ha/tahun dan panen
dari 1 tahun sekali menjadi 2 bulan sekali.
Disamping itu petani mendapatkan hasil dari tanaman kakao 0,5-1
ton/ha/tahun melalui pendapatan mingguan serta akan mendapatkan
pendapatan dari hasil sengon setiap 5 tahun sekali sebanyak 200 m3.
(Dishutbun Kepahiang, 2006)
Perbandingan pendapatan petani monokultur kopi dan pendapatan
petani hutan rakyat (polikultur) disajikan pada tabel.1 di bawah ini :
Tabel
: Tabel perbandingan pendapatan
Agroforestri/polikultur.
N
Pola
o Pengembangan
petani
monokultur
kopi
dan
Nilai Pendapatan (Rp) Rata-rata/Tahun
Jumlah
Kopi
Kopi
Kakao
Sengon (Rp) Ratarata/Tahu
Belum
Sambung
n
disambu
ng
6.000.00
6.000.000
0
12.000.0 18.000.0 8.000.00 38.000.00
00
00
0
0
1 Monokultur
Kopi
2 Agroforestri
Kopi,
Kakao,
Sengon
Sumber: Dishutbun Kepahiang, 2010.
3. Tambahan Pendapatan lain
Disamping petani mendapatkan pendapatan dari hasil tanamantanaman polikultur tersebut, petani juga akan mendapat tambahan pendapatan
dari hasil pemeliharaan ternak dengan makanan ternaknya yang berasal dari
daun-daun sengon serta limbah kopi dan kakao.
Petani pekebun agroforestri dapat mengusahakan ternak kambing
maupun sapi untuk mendukung keberlanjutan di dalam usahataninya. Ternak
bagi petani agroforestri tidak bisa dilepaskan karena tanaman dan ternak
merupakan suatu komoditas yang selalu menjadi andalan para pekebun karena
dapat menekan biaya pemupukan tanaman perkebunan, di sisi lain
pemeliharaan ternak (kambing/sapi) di kawasan perkebunan (agroforestri)
5
menjadi sangat murah karena kebutuhan pakan (hijauan) dapat diperoleh dari
pangkasan tanaman penaung yakni sengon serta limbah kopi dan kakao. Pola
ini sangat membantu dalam efisiensi dalam usahatani, karena keberadaan
ternak di satu sisi. Hal ini dilakukan guna mendorong kebutuhan bahan pupuk
(kompos) bagi tanaman. Tanaman kopi merupakan salah satu tanaman
tahunan yang dalam proses produksinya senantiasa memerlukan input pupuk
untuk mendukung kelangsungan produktivitasnya. Melihat pentingnya
substansi pupuk tersebut, maka teknologi dan sumber pupuk sangat diperlukan
untuk menjamin daya dan mutu hasil. Kecenderungan yang lain yang makin
meningkat adalah tuntutan dilaksanakannya system pertanian yang
berkelanjutan (sustainable) dan ramah lengkungan (ecofreindly). (Puslit Koka
Indonesia. Kumpulan Makalah Simposium Kopi 2006. Surabaya, 2-3 Juli
2006).
III.
PEMBANGUNAN PERKEBUNAN POLA AGROFORESTRI
(HUTAN RAKYAT) BERWAWASAN LINGKUNGAN
Diterimanya pola agroforestri (hutan rakyat) sebagai cara kelola lahan
yang ramah lingkungan sampai sedemikian luasnya adalah seiring dengan makin
tingginya kesadaran untuk menangani masalah degradasi sumber daya alam.
Peran penting agroforestri (hutan rakyat) juga ditekankan dalam Deklarasi
Kongres Agroforestri Dunia di Orlando tahun 2004 dinyatakan bahwa adopsi
agroforestri (hutan rakyat) dalam decade kedepan akan sangat membantu
pencapaian tujuan pembangunan milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
melalui peningkatan pendapatan rumah tangga, promosi gender, kesehatan,
kesejahteraan
manusia,
serta
peningkatan
kelestarian
lingkungan
(Sabarnudin.M.S, 2004).
Ditinjau dari segi ekologi, perkebunan agroforestri (hutan rakyat) kopi,
kakao, sengon lebih baik dibandingkan dengan perkebunan kopi monokultur.
Dengan polikultur maka diversitas/ keragaman hayati meningkat karena dengan
makin banyaknya jenis tanaman pada sebidang lahan, makin tinggi diversitas
hayati, secara ekologi tempat/lingkungan tersebut akan lebih mantap. Selain itu
polikultur lebih baik dibandingkan monokultur (lebih ramah lingkungan). Karena
kerusakan lahan cenderung minimum dengan adanya bermacam-macam jenis
tanaman. Dengan demikian terdapat bermacam-macam tingkatan tajuk tanam/
strata tajuk tanaman dan bermacam-macam tingkatan kedalaman akar tanaman.
Hal ini akan menyebakan erosi yang lebih terkendali (Erwiyono, 2006).
A. Pengendalian Tata Air
Dengan menanam tanaman perkebunan poli agroforestri (hutan
rakyat), akan terbentuk penutupan tajuk daun dengan tiga strata yaitu strata
atas penutupan tajuk daun oleh sengon, strata tengah penutupan tajuk daun
oleh kakao, strata bawah oleh penutupan tajuk daun kopi yang telah
disambung.
Tanaman dengan berbagai strata tersebut, termasuk sengon bertindak
sebagai penghadang fisik antara curah hujan dan permukaan tanah, sehingga
air hujan untuk terus jatuh menetes ke bawah menjadi perlahan.
6
Hasil pertumbuhan akar-akar tanaman membentuk pori-pori tanah,
juga meningkatkan habitat tanah makrofauna, menyediakan jalur dan tempat
air sehingga mengurangi aliran permukaan melalui resapan air yang
meningkat, potensi untuk penyimpanan air tanah dan pengisian kembali
akuiver dapat ditingkatkan (Joyce et al, 2002).
Tanaman polikultur termasuk tanaman kopi dapat berfungsi hampir
sama dengan fungsi hutan dan dapat mendukung fungsi hutan diatasnya dalam
mempertahankan fungsi hidrologis dan tata air di dataran tinggi sebagai
pengendali banjir dimusim hujan dan tendon (tempat) air dimusim kemarau
dengan mempertahankan kapasitas penyerapan air hujan tetap tinggi dimusim
hujan sehingga mengurangi aliran permukaan, sungai tidak meluap (mencegah
banjir), mengurangi erosi dan tanah longsor. Sebaiknya dimusim kemarau
aliran bawah tanah dapat terus keluar sedikit demi sedikit ke dalam mata air
dan atau sungai untuk mensuplai kebutuhan air dimusim kemarau, termasuk
mensuplai air pada hulu sungai dan kebutuhan air untuk dataran dibawahnya.
(Erwiyono, 2006).
Dengan kata lain ada ketergantungan tata air kawasan dataran rendah
(pertanian dan pemukiman) terhadap fungsi hidrologis kawasan hutan dan
kawasan perkebunan diatasnya.
B. Pencemaran Lingkungan dan Kesuburan Tanah.
Penanaman tanaman kopi dan kakao menggunakan pelindung sengon
diatasnya akan ikut mengurangi pencemaran lingkungan. Layanan lingkungan
yang diberikan oleh tanaman-tanaman ini, termasuk pohon pelindung antara
lain:
1. Menyerap karbon
Penyebab pemanasan global adalah meningkatnya kosentrasi CO2
di atmosfer dan berkurangnya vegetasi dipermukaan bumi. Usaha
meningkatkan serapan karbon merupakan salah satu cara untuk mengurangi
dampak pemanasan global. Sistem agroforestri meningkatkan karbon
tersimpan pada pertanaman kakao. Pada umur tanaman 7 tahun, pola tanam
kakao-sengon (paraserianthes falcataria) menghasilkan simpanan karbon
paling besar (154 ton/ha).(Pelita Perkebunan, 2009. Hal 86)
2. mengurangi kehilangan tanah karena erosi
Dengan rendahnya erosi atau aliran permukaan, maka pencemaran
lingkungan di lahan-lahan pertanian dan pemukiman di kawasan
dibawahnya oleh bahan-bahan hutan dan angkutan (terutama tanah) aliran
air atau endapan tanah yang tererosi dapat dihindari (Erwiyono, dkk, 2006).
Erosi tanah (soil erosion) merupakan salah satu masalah penting di
bidang pertanian khususnya dampaknya terhadap degradasi lingkungan.
Menurut Soule dan piper (1992) erosi ini mempunyai damapk negative baik
terhadap usaha tani itu sendiri (costs on the farm or on-site effect) maupun
di luar kegiatan usahatani (off-farm costs off-site effect). Dampak utama
erosi tanah terhadap lingkungan usaha tani meliputi kehilangan lapisan atas
tanah yang subur (loss of fertile topsoil),berkurangnya kedalaman tanah
(reduction in soil depth), kehilangan kelembaban tanah (loss of soil
7
moisture) yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman, dan kehilangan
kemampuan lahan untuk menghasilkan tanaman-tanaman yang
menguntungkan.(Adinul Yakin, 1997).
Maka melaksanakan perkebunan pola agroforestri/hutan rakyat atau
dikenal juga dengan pola polikultur akan sangat berguna karena mampu
mengurangi kehilangan tanah karena erosi melalui sistem perakaran sengon
banyak mengandung nodul akar sebagai hasil simbiosis dengan bakteri
Rhizobium. Hal ini menguntungkan bagi akar dan sekitarnya. Keberadaan
nodul akar dapat membantu porositas tanah dan penyediaan unsur nitrogen
dalam tanah. Dengan demikian pohon sengon dapat membuat tanah
disekitarnya
menjadi
lebih
subur.
(http://migroplus.com/brosur/Budidaya/Sengon).
3. meningkatkan bahan organik dan unsur hara tanah melalui serasah dan
fiksasi nitrogen, menimba unsur hara dari dalam tanah (Rusli.E, dkk,
2009).
Di dalam ekosistem, hubungan tanah, tanaman, hara dan air
merupakan bagian yang paling dinamis. Tanaman menyerap hara dan air
dari dalam tanah untuk dipergunakan dalam proses-proses metabolisme
dalam tubuhnya. Sebaliknya tanaman memberikan masukan bahan organik
melalui serasah yang tertimbun di permukaan tanah berupa daun dan
ranting serta cabang yang rontok. Bagian akar tanaman memberikan
masukan bahan organik melalui akar-akar dan tudung akar yang mati serta
dari eksudasi akar. Di dalam system agroforestri sederhana, misalnya
sistem budidaya pagar, pemangkasan cabang dan ranting tanaman pagar
memberikan masukan bahan organik tambahan. Bahan organik yang ada di
permukaan tanah ini dan bahan organik yang telah ada di dalam tanah
selanjutnya akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi dan melepaskan
hara tersedia ke dalam tanah. Istilah siklus hara ini di dalam sistem
agroforestri sering diartikan sebagai penyediaan hara secara terus menerus
(kontinyu) bila ditinjau dari konteks hubungan tanaman-tanah. Dalam
konteks yang lebih luas, penyediaan hara secara kontinyu ini melibatkan
juga masukan dari hasil pelapukan mineral tanah, aktivitas biota, dan
transformasi lain yang ada di biosfir, lithosfir dan hidrosfir.
IV.
KESIMPULAN
1. Pembangunan Perkebunan rakyat dengan pola polykultur berperan positif
terhadap lingkungannya melalui : pengendalian tata air (memperlambat
jatuhnya air hujan ke tanah, penyimpanan dan cadangan pada air tanah),
mengurangi pencemaran lingkungan melalui penyerapan karbon dan
mengurangi kehilangan tanah akibat erosi, menyuburkan tanah.
2. Pembangunan Perkebunan Rakyat dengan pola Polikultur meningkatkan
pendapatan petani perkebunan kopi melalui peningkatan jumlah dan jenis
produksi kopi dan pendapatan lain dari hasil integrasi dengan ternak.
8
V.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen pengasuh S2
PSL Universitas Bengkulu angkatan 2011, terutama Bapak Prof. Dr. Ir. Urip. S,
M.Sc selaku dosen pengasuh mata kuliah Penyajian Ilmiah yang telah membantu
dan mengarahkan pembuatan tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adinul Yakin. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Akademika
Persindo, Jakarta
Andrianto, J. 2010. Pola Budidaya Sengon. Arta Pustaka Yogyakarta.
Badan Meteorologi dan Geofisika, 2010. Data Data Curah hujan, Temperatur
dan Kelembaban dari tahun2001 s/d 2010 di Kabupaten Kepahian. Badan
Meteorologi dan Geofisika, Kabupaten Kepahiang
Budiadi. 2005. Agroforestri, Mungkinkah Mengatasi Permasalahan Sosial dan
Lingkungan?.Humaniora.V (3/XVII) : 3-4
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang, 2010 Data Luas dan
Areal dan Produksi Perkebunan di Kabupaten Kepahiang, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang, 2006 Data Luas dan
Areal dan Produksi Perkebunan di Kabupaten Kepahiang, Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepahiang
Erwiyono, R, Wibawa, Pujiyanto, 2006. Perananan Perkebunan Kopi terhadap
Kelestarian Lingkungan Produksi Kopi. Hlm 1-10 simposium kopi 2006,
Surabaya 2-3 Agustus 2006
Halupi, R. 1998. Variasi Fenotifik Beberapa Sifat Morfologi Kopi Arabika
Berperawakan Katai pada Berbagai Kondisi Lingkungan. Pelita
Perkebunan. 14, 1-9
http://www.worldagroforestricentre.org/sea/Publications/files/lecturenote/LN003
6-06.PDF. Neraca Hara dan Karbon Dalam Sistem Agroforestri
Kurniatun Hairiah, dkk.
http://migroplus.com/brosur/Budidaya/Sengon.pdf
Majalah Rimba Indonesia.ISSN 0035-S 372 Volume 46, April 2010.Peranan
Pembangunan Hutan dalam Upaya Perbaikan Iklim. Hal 21
Rianse Usman, Abdi.2010. Agroindustri Solusi Sosial dan Ekonomi Pengelolaan
Sumber Daya Hutan. IKAPI, Bandung
Panggabean, E. 2011.Buku Pintar Kopi.PT Agro Media Pustaka Jakarta
Prawoto, A.A. 2008. Hasil Kopi dan Siklus hara Mineral dari Pola Tanam Kopi
dengan Beberapa Species Tanaman Kayu Industri Pelita Perkebunan. 24,
1-21
Prawoto, A. A.M. Nur, Soebagyo dan M. Zaubin, 2006. Uji Alelopati Beberapa
Spesies Tanaman Penaung Terhadap Bibit Kopi Arabika.Hlm 1-24 Pelita
Perkebunan, Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao Volume 22 Nomor 1, April
2006
Prawoto Everizal, R., Tohari, Irfan, Joko Widodo,D. 2009.Layanan Lingkungan
Pohon Pelindung pada sumbangan Nitrogen dan Agroekosistem Kopi.
9
Hlm 23-37 Pelita Perkebunan, Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao Volume
25 Nomor 1, April 2009
Puslit Koka Indonesia, 2006. Laporan Potensi Pengembangan Kakao di
Kabupaten Kepahiang Provinsi bengkulu, Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia.
10
Download