karakteristik fisika kimia perairan dan kaitannya dengan

advertisement
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN
KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN
LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU
NURMILA ANWAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
i
PERNYATAANMENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN
KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN
LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU
adalah karya saya sendiri di bawah komisi pembimbing, kecuali dengan jelas
ditujukan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
pada program sejenis dari perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor,
September 2008
Nurmila Anwar
NRP: C551060081
ii
ABSTRACT
NURMILA ANWAR. Characteristic of Chemical Physics of Territorial Water and
Bearing with Distribution and also Abundance of Larva of Fish Bay of Palabuhan
Ratu under Direction of DJISMAN MANURUNG and M. MUKHLIS KAMAL.
Three cruises were conducted in the shallow embayment, and six cruises
for distribution ini sentral Bay of Palabuhan Ratu, west Java to study abundance
and caracterisation of chemical physics of territorial water bearing of the early
stages of fish (fish larva) during six month the late summer reproductive season
(west season and transition period). Result of subdividing character of chemical
physics of territorial water from each station yield three group of habitat that is:
estuary, transition and oseanic. High densities of recently post larvae and
preflexion larvae were observed during November 2007- April 2008 in estuary.
The dominant species for example from family: Congridae, Gobiidae, Elopidae,
Mugilidae, Pomatomidae, Siganidae, Alepochepalidae, Chelodactylidae and
Lutjanidae. Habitat of estuary found by species: Congridae, Siganus Spp., Liza
Spp. later;then Elopsaurus, Mugil Sp, Gobidae, Xenodermicthys, Siganus spinus
and Ostracion with overflows than 12-14 ind/m3 with entirety of mean per month
more than 13 ind/m3. Stadia of Larva which is at most obtained by post of larva
and juvenile. Species found in habitat of transition is equal to habitat of estuary is
only differentiated by storey;level of density and what overflows. level of stadia
even also still at gyration of prolarva and post of larva although there are some
species of growth of stadianya have reached phase juvenile. composition of
Species found in habitat of oseanic differ from habitat of estuary and transition
because most species of exist in oseanic have the character of high stenohaline,
some spesies found by a estuary species (eurihaline). For example
Xenodermicthys, Siganus Spinus, Kuhlia marginata, Signoglassidae, Ambassis
marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus Sp, Siganus linneatus. In
general the overall of station of oseanic more amount got by species of
Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus Sp, Bregmacerotidae,
Aseraggodes Sp, and Urolophus sp. density and overflows in oseanic habitat
much more a few compared to estuary and transition and than stadia most still
yolk sac larvae and prolarva. In four of some cruises, larval size distribution
moved progressively to larger larvae (By spasial); however, small-size, recently
hatched larvae were low in the last cruise. The change in larval size coincided
with intrusion of nutrient in the Bay as a result of current forcing and wave events.
And by temporal the mean of a coastal station showed also presence of larval
hake during month period and extremely high abundance of preflexion larvae in
Februari, March and April 2008. The overall results from this study suggest that
the Bay of Palabuhan Ratu is used by all fish spesies as a spawning and nursery
area at the end of the west season season when environmental characteristics,
such as food availability and nearshore retention are favourable for larval survival
and for distribution in deep enveroment.
Keyword: Larvae, Ichtyoplankton, Bay of Palabuhan Ratu, Distribution and
abundance, Estuary, transition and oceanic habitat.
iii
RINGKASAN
NURMILA ANWAR. Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan
Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu Dibimbing oleh:
DJISMAN MANURUNG sebagai Ketua dan M. MUKHLIS KAMAL sebagai Anggota Komisi
Pembimbing.
`Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan
pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik
ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai
keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu
sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas
yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga
perubahan lingkungan yang terjadi di alam (critical period). Kondisi perairan
sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran organisme di dalamnya, akan
tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan preferensi lingkungan yang
berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik lingkungannya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui kaitan antara karakter habitat dengan
distribusi larva yang didasarkan pada parameter fisika kimia perairan dan pola
distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di perairan Teluk Palabuhan
Ratu. Dengan penelitian ini, akan diketahui sejauh mana kondisi ekologis larva
ikan di Teluk Palabuhan Ratu.
Pengumpulan data dilakukan dengan menyisir kolom perairan secara
horizontal, pada 9 stasiun yang disebar berturut turut dari muara ke tengah teluk,
menggunakan net larva 350-500 mikron. Parameter yang diukur untuk melihat
keterkaitan fisika-kimia perairan dengan kelimpahan larva antara lain arus,
gelombang, salinitas, pH, DO dan unsur nutrien penting yaitu: nitrat fosfat dan
silika untuk melihat produktivitasnya. Data diolah dengan mengelompokkan
stasiun yang sama tingkatan ciri fisik-kimianya melalui indeks similaritas.
Didapatkan tiga kelompok habitat hasil pengelompokan stasiun yaitu
habitat muara, transisi dan laut lepas. Hasil perolehan komposisi jenis,
kelimpahan, kepadatan, dominansi dan stadia larva disubsitusikan kedalam
masing masing kelompoknya untuk melihat distribusi spasial dan temporal
masing-masing larva dihabitatnya.
Habitat muara ditemukan spesies: Congridae, Siganus spp., Liza spp.
kemudian Elopsaurus, Mugil sp, Gobidae Xenodermicthys, Siganus spinus dan
Ostracion dengan kelimpahan 12-14 ind/m3 dengan keseluruhan rata-rata setiap
bulannya lebih dari 13 ind/m3. Stadia larva yang paling banyak diperoleh adalah
post larva dan juwana. Spesies yang ditemukan di habitat transisi sama dengan
habitat muara hanya dibedakan oleh tingkat kepadatan dan kelimpahan.
Tingkatan stadianya pun masih pada kisaran prolarva dan post larva walaupun
terdapat beberapa spesies perkembangan stadianya telah mencapai fase
juwana. Komposisi spesies yang ditemukan di habitat laut lepas berbeda dengan
habitat muara dan transisi karena kebanyakan spesies yang ada di laut lepas
bersifat stenohaline tinggi, beberapa diataranya ditemukan spesies muara
(eurihaline). Antara lain Xenodermicthys, Siganus spinus, Kuhlia marginata,
Signoglassidae, Ambassis marianus; Nemadactylus macropterus, Leiognathus
sp, Siganus linneatus. Secara umum dikeseluruhan stasiun laut lepas lebih
banyak didapatkan spesies Apogonops anomalus, Pocicthidae, Kyphosus sp,
Bregmacerotidae, Aseraggodes sp, dan urolophus sp. Kepadatan dan
kelimpahan di habitat laut lepas jauh lebih sedikit dibanding muara dan transisi
dan stadia larvanyapun kebanyakan masih yolk sac larvae dan prolarva.
iv
Berdasarkan hasil analisis regresi antara kelimpahan dan faktor
oseanografi untuk keseluruhan bulan pengamatan hampir seluruhnya
menunjukkan angka signifikan atau memiliki keterkaitan. Demikian pula dengan
hubungan kelimpahan dengan nutrien menunjukkan hubungan korelasi yang
besar kecuali nitrat dibeberapa bulan pengamatan menunjukkan nilai korelasi
yang kecil, atau cenderung berkorelasi negatif. Secara keseluruhan menunjukkan
bahwa nutrien dan arus memegang peranan besar dalam transport dan distribusi
larva secara spasial.
Kata kunci: Larva, Ichtyoplankton, Teluk Palabuhan Ratu, Distribusi dan
kelimpahan, habitat muara, habitat transisi dan habitat laut lepas.
v
© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;
pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm dan sebagainya
tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,
vi
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN
KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN
LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU
NURMILA ANWAR
TESIS
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA.
viii
Judul Tesis
: Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya
dengan Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk
Palabuhan Ratu
Nama
: Nurmila Anwar
NRP
: C551060081
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc.
Ketua
Dr.Ir. M.Mukhlis Kamal, M.Sc
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djisman Manurung,M.Sc.
Prof.Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 1 September 2008
Tanggal Lulus :
ix
Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu),
agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan),
dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai;
dan kamu melihat bahtera berlayar padanya,
dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya,
dan supaya kamu bersyukur.
(Q.S. An Nahl : 14)
Karya ilmiah ini kupersembahkan untuk orang tua, adik-adik,
keluarga dan teman-teman tercinta.
Kuhaturkan terimakasih dan penghormatan yang sedalam-dalamnya kepada orang tuaku:
Abi H. Anwar Laku dan Ummi Hj. Rukmah, S.Ag. terkasih, atas do’a restu dan dorongan moril
dalam setiap kegiatan Ananda,
semoga Allah SWT. meridhoi.
Adik-adikku tersayang: Yusri Anwar, Yusran Anwar
dan M. Risky Arba Al Hikmah (Al hajj) Anwar.
Kalian adalah motivatorku.
x
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil Alamin, Tiada kata yang paling tulus dipersembahkan
kepada Allah SWT. atas rahmat dan hidayah serta kasih sayang-Nya sehingga
tesis dengan judul Karakteristik Fisika Kimia Perairan dan Kaitannya dengan
Distribusi serta Kelimpahan Larva Ikan di Teluk Palabuhan Ratu, dapat
diselesaikan sesuai rencana. Salam serta shalawat senantiasa dituturkan untuk
Baginda Rasullullah S.A.W, pembawa rahmat bagi semua makhluk.
Tesis ini berisikan tentang hubungan antara parameter fisik kimia perairan
dengan kelimpahan larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu. Hasil dari penelitian ini
nantinya akan menjadi masukan bagi pemerintah daerah sebagai alternatif
pengelolaan perikanan pantai bagi masyarakat pesisir Teluk Palabuhan Ratu.
Kendala dan permasalahan tidak luput dari kegiatan ini mulai dari awal
hingga akhir pelaksanaannya, sehingga dirasa tidak mungkin dapat terselesaikan
tanpa bantuan, dukungan, dorongan dan kerjasama dari semua pihak yang telah
membantu hingga usainya segala kegiatan.
Terima kasih dan penghargaan besar penulis ucapkan kepada:
1. Dosen pembimbing: Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir.
M.Mukhlis Kamal, M.Sc disela kesibukannya bersedia meluangkan waktu
dalam membimbing penulisan tesis ini.
2. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Sebagai penguji luar komisi dalam ujian akhir
atas saran perbaikannya.
3. Program Mitra Bahari-Coral reef Management Program II (PMB-COREMAP
II) Tahun 2008 dan Yayasan Danamandiri (DAMANDIRI) tahap I atas
beasiswa bantuan penulisan tesis Tahun 2008.
4. Serta tidak lupa juga pada rekan-rekan P.S. IKL 2006-2007 atas masukan dan
dukungannya, sehingga memudahkan penulisan tesis ini.
Akhir kata, semoga tesis ini dapat berguna dalam rangka pengelolaan
sumberdaya perikanan, khususnya daerah pantai.
Bogor,
September 2008
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Mandalle (Pangkep) Sulawesi Selatan pada tanggal
08 Mei 1982, dari Ayahanda H. Anwar Laku dan Ibunda Hj. St. Rukmah S.Ag.
Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.
Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negri 19
Tamarupa Kab. Pangkep dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negri 2 Mandalle,
selesai pada Tahun 1997. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke
jenjang SLTA di SMU Negri 1 Kabupaten Barru dan menyelesaikannya di SMU
Negri 1 Segeri Kabupaten Pangkep pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis
melanjutkan pendidikan di program Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP),
Jurusan
Perikanan,
Fakultas
Ilmu
Kelautan
dan
Perikanan
Universitas
Hasanuddin Makassar dan selesai pada tahun 2006 dengan gelar Sarjana
Perikanan.
Selama di Universitas Hasanuddin, pernah aktif di berbagai organisasi
kemahasiswaan, baik yang bersifat intern sebagai Anggota dalam lingkup
Keluarga Mahasiswa Perikanan (KEMAPI) UNHAS di jurusan perikanan, maupun
yang bersifak eksternal, diantara yang pernah aktif di ikuti adalah Anggota Forum
kajian Pesisir (FKP) Perikanan, yang bergerak dibidang konservasi mangove dan
pesisir (2003-2006); Anggota Forum Studi Ulil Albab (FSUA), yang bergerak di
bidang pembinaan dakwah kampus UNHAS (2001-2006). Dibidang akademik
penulis pernah tergabung di Korps Asisten Jurusan Perikanan sebagai asisten
mata kuliah Limnologi (2002/2003), asisten mata kuliah Fisiologi Hewan Air
(2005/2006), Asisten mata kuliah Biologi laut selama dua periode (2004/20052005/2006).
Ditahun yang sama setelah menyelesaikan pendidikan Strata satu,
penulis melanjutkan pendidikan Strata dua (S2) di Institut Pertanian Bogor
dengan biaya Mandiri pada Program Studi Ilmu Kelautan (PS.IKL) minat Biologi
laut dan selama di PS. IKL tergabung dalam anggota Wahana Interaksi
Mahasiswa Pasca Sarjana IKL (WATERMAS IKL) 2006 hingga menyelesaikan
studi.
Nurmila Anwar
xii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1.2. Perumusan Masalah............................................................................
1.3. Tujuan dan Manfaat.............................................................................
1.4. Hipotesis .............................................................................................
1
2
4
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondidi Umum Teluk Palabuhan Ratu ................................................
2.2. Biologi larva ikan .................................................................................
2.3. Distribusi larva ikan .............................................................................
2.4. Parameter Fisika .................................................................................
2.4.1. Suhu perairan ............................................................................
2.4.2 Salinitas .....................................................................................
2.4.3 Arus ...........................................................................................
2.5. Parameter Kimia..................................................................................
2.5.1 Derajat Keasaman (pH) .............................................................
2.5.2 Oksigen Terlarut (DO) ...............................................................
2.5.3. Nitrat ..........................................................................................
2.5.4. Fosfat (PO4)...............................................................................
5
7
10
11
11
13
13
15
15
16
17
17
III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................................
3.2. Penentuan stasiun penelitian ..............................................................
3.3. Bahan dan Alat ....................................................................................
3.4. Pengumpulan Data dan pengukuran parameter Fisika Kimia Perairan
3.5. Analisis Data .......................................................................................
3.5.1. Struktur Komunitas Larva Ikan ..................................................
3.5.2. Pola Pemencaran/distribusi Populasi ......................................
3.5.3. Kelimpahan Larva Ikan .............................................................
3.5.4. Kepadatan Populasi ..................................................................
3.5.5. Pengelompokan Stasiun Penelitian Berdasarkan Indeks
Similaritas Canberra ..................................................................
3.5.6. Keterkaitan antara Parameter Lingkungan
dengan Kelimpahan Larva ikan .................................................
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu. ................................................
4.1.1. Kondisi Oseanografi..................................................................
4.1.1.1. Gelombang ...................................................................
4.1.1.2. Arus ..............................................................................
4.1.2. Parameter Fisika Kimia ............................................................
4.1.2.1. Suhu Permukaan .........................................................
19
19
20
20
21
21
22
23
23
24
24
25
25
25
26
26
26
xiii
4.1.2.2. Salinitas .......................................................................
4.1.2.3. Oksigen terlarut ...........................................................
4.1.2.4. Tingkat Keasaman (pH) ...............................................
4.1.2.5. Tingkat Kekeruhan.......................................................
4.1.3. Variabilitas Nutrien antar Stasiun..............................................
4.1.3.1. Nitrat ............................................................................
4.1.3.2. Fosfat ..........................................................................
4.1.3.3. Silika............................................................................
4.2. Pengelompokan habitat .......................................................................
4.3. Struktur Komunitas larva Ikan..............................................................
4.3.1. Komposisi Jenis larva Ikan ........................................................
4.3.2. Kepadatan Individu dan Distribusi larva Ikan ...........................
4.4. Keanekaragaman dan Dominansi........................................................
4.5. Keterkaitan Struktur komunitas dengan Karakteristik habitat ..............
4.5.1. Habitat Muara ............................................................................
4.5.1.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Muara............................
4.5.1.2. Kelimpahan larva Ikan Muara.......................................
4.5.1.3. Stadia larva Ikan Muara................................................
4.5.2. Habitat Transisi ..........................................................................
4.5.2.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Transisi .........................
4.5.2.2. Kelimpahan larva Ikan Transisi ....................................
4.5.2.3. Stadia larva Ikan Transisi .............................................
4.5.3. Habitat Laut Lepas.....................................................................
4.5.3.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Laut Lepas ....................
4.5.3.2. Kelimpahan larva Ikan Laut Lepas ...............................
4.5.3.3. Stadia larva Ikan Laut Lepas ........................................
4.6. Struktur Komunitas dan Kepadatan Larva Ikan Temporal ..................
28
29
29
30
30
30
32
33
34
39
39
40
40
41
42
42
42
43
43
43
44
45
46
46
46
47
47
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan ............................................................................................. 49
5.2. Saran ................................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 50
LAMPIRAN ...................................................................................................... 55
DAFTAR TABEL
xiv
Halaman
1. Pengukuran parameter fisika kimia perairan .............................................. 22
2. Komunitas Ikan dan kepadatan individu selama bulan pengamatan
di Teluk Palabuhan Ratu .................................................................................... 40
3. Data Hasil perhitungan indeks keanekaragaman dan dominansi
larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu setiap bulan pengamatan. .................. 41
4. Data hasil perhitungan kelimpahan larva ikan setiap bulan
pengamatan (ind/m3). ........................................................................................ 42
5. Hasil regresi kelimpahan larva dengan nutrien perairan
Teluk Palabuhan Ratu. ...................................................................................... 52
DAFTAR GAMBAR
xv
Halaman
1.
Kerangka pemikiran ................................................................................... 3
2.
Arah kecepatan arus dan pasang surut dalam periode 24 jam
di Teluk Palabuhan Ratu ........................................................................... 7
3. Peta Teluk Palabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ................ 20
4. Grafik fluktuasi suhu permukaan setiap bulan pengamatan ........................... 26
5. Grafik nilai rata-rata suhu setiap stasiun pada bulan pengamatan ............. 27
6. Grafik fluktuasi salinitas permukaan setiap bulan pengamatan .................. 28
7. Grafik konsentrasi nitrat perstasiun pengamatan ............................................. 31
8. Grafik rata-rata sebaran jumah nitrat setiap bulan pengamatan .................... 31
9. Grafik konsentrasi fosfat setiap stasiun pengamatan ....................................... 32
10. Grafik rata-rata sebaran jumah fosfat setiap bulan pengamatan .................. 33
11. Grafik konsentrasi silika perbulan pengamatan ................................................ 33
12. Grafik rata-rata sebaran jumlah silika (Si) setiap bulan pengamatan ........... 34
13 Dendrogram similaritas antar stasiun pada Bulan November,
Desember dan Januari ......................................................................................... 36
14. Dendrogram similaritas antar stasiun pada Februari, Maret dan April .......... 37
15. Hubungan antara Kelimpahan dengan kecepatan arus
perbulan pengamatan .......................................................................................... 51
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
Halaman
1. Tabel data sampling parameter fisika kimia perairan
Teluk Palabuhan Ratu 6 bulan pengamatan ..................................................... 60
2. Tabel komposisi dan frekuensi kehadiran larva
ikan setiap stasiun pengambilan sampel di Teluk Palabuhan Ratu .............. 63
3. Tabel distribusi komposisi dan stadia larva berdasarkan
kelompok habitat ......................................................................................... 64
4. Tabel hasil perhitungan pola pemencaran populasi Morisita (Iδ) ................. 68
5. Tabel koordinat dan kedalaman stasiun pengambilan sampel
di Teluk Palabuhan Ratu ..................................................................................... 69
6. Hasil analisis klaster observasi parameter fisika-kimia .................................. 70
7. Gambar dan deskripsi morfologi larva/juwana ikan yang tertangkap
di stasiun peneitian ................................................................................................ 73
8. Gambar Jaring larva untuk pengambilan sampel ............................................. 85
xvii
KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN
KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN
LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU
NURMILA ANWAR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
0
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jaminan stok berbagai komoditas perikanan umumnya tergantung pada
keberadaan fase larva. Perikanan pantai tergantung pada keberadaan biota-biota
muda yang hidup di areal pasang surut, tempat mereka berlindung dan
memperoleh makanan diawal masa hidupnya.
Pemahaman tentang biologi ikan sangatlah penting dimulai dengan
pengetahuan yang baik tentang perkembangan awal daur hidup ikan, baik
ekologi maupun kehidupannya. Pentingnya aspek ini karena mempunyai
keterkaitan dengan fluktuasi ikan, bahkan kelangsungan hidup dari spesies itu
sendiri. Seperti diketahui pada tahap awal daur hidup ikan mempunyai mortalitas
yang tinggi karena kepekaan terhadap predator, ketersediaan makanan, dan juga
perubahan
lingkungan
yang
terjadi
di
alam
(critical
period).
Dengan
terganggunya tahap-tahap awal dari kehidupan ikan maka hal ini memberi
dampak negatif bagi populasi ikan.
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran
organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan
preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik
lingkungannya. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga alasan
utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi
tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak, 3) cocok untuk perkembangbiakan
dan pemijahan.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya hayati perairan laut, pemahaman
terhadap faktor-faktor fisik laut dan pengaruhnya terhadap perkembangan biota
laut merupakan suatu kebutuhan yang mutlak. Faktor fisika-kimia laut, seperti
cahaya, suhu, salinitas, arus dan pasang surut semenjak semula dipandang
sebagai faktor abiotik pada ekosisitem laut yang memiliki banyak kegunaan
dalam proses kelangsungan hidup ikan, seperti pertumbuhan dan distribusinya.
Bertolak dari uraian di atas, dipandang perlu untuk menguraikan secara
mendetail tentang keterkaitan pola distribusi dengan kelimpahan larva ikan
berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Mengingat Ichthyoplankton sebagai
awal kehidupan ikan yang merupakan sumberdaya perikanan di suatu perairan.
1
Mengetahui distribusi Ichthyoplankton sangat penting, tidak hanya dalam
pengertian proses ekologis, tetapi juga terhadap implikasi praktis penilaian
kelimpahannya (Brodeur dan Rugen, 1994), diharapkan dengan pengetahuan
tentang faktor-faktor fisik laut akan dapat memberikan arahan yang jelas tentang
keberadaan ichthyoplankton di laut sehingga tidak dilakukan penangkapan tanpa
memperhitungkan kelestariannya.
Teluk Palabuhan Ratu dipilih sebagai lokasi penelitian karena teluk ini
dianggap masih sangat potensial sebagai daerah pemijahan dan penangkapan
ikan intensif, memiliki karakteristik perairan yang khas dengan berbagai macam
sumberdaya ikan, sehingga diharapkan mampu memberikan interpretasi tentang
keberadaan larva ikan. Disamping itu, studi mengenai distribusi dan kelimpahan
larva di perairan ini masih belum banyak dilakukan.
1.2 Perumusan masalah
Selama ini pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan oleh sebagian
besar nelayan ditekankan pada kepentingan jangka pendek dengan besaran
manfaat yang sedikit dibandingkan dengan jangka panjang. Umumnya nelayan
bersaing untuk mendapatkan ikan lebih banyak sehingga mengancam kapasitas
lingkungan sumberdaya.
Keadaan di atas tidak hanya terjadi pada sumberdaya ikan yang telah
dewasa tetapi juga terjadi pada sumber daya larva ikan, padahal telah diketahui
bahwa fase ini merupakan fase awal dalam siklus biota untuk berkembang
menjadi dewasa. Sehingga jika tidak dilakukan pengelolaan sejak awal akan
mengancam kelestarian dan keberlangsungan hidup biota tersebut.
Secara biologi fase larva akan banyak ditemui di daerah pesisir, selain
karena adanya naluri dari induk ketika memijah, juga dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan dan ruang. Kedua faktor tersebut tidak berdiri sendiri,
tetapi dipengaruhi oleh kondisi fisika kimia perairan seperti arus, suhu, pasang
surut, salinitas, dan yang lainnya. Sehingga dengan demikian antara faktor fisika,
kimia dan biologi larva akan terjadi interaksi yang saling terkait menjadi
komponen ekologi di perairan pantai. Artinya jika salah satu di atara variabel
lingkungan berubah maka secara berantai akan menyebabkan perubahan bagi
variabel lingkungan lainnya (Gambar 1).
Hal inilah yang ingin di kaji yaitu untuk melihat sejauh mana keterkaitan
antara komponen-komponen itu dengan pola distribusi larva ikan.
2
RUANG
PESISI
ESTUARI
LAUT LEPAS
IKAN DEWASA
SUMBER
DAYA IKAN
EKSPLOITASI
PENGELOLAAN
LARVA IKAN
KETERSEDIAAN
SD MAKANAN
+
KEBERLANGSUNGAN
FISIKA KIMIA PERAIRAN
Suhu, arus, salinitas, pasang surut,
pH, DO, elemen nutrien (Nitrogen,
Fosfat dan silika)
POLA DISTRIBUSI
LARVA IKAN
BIOLOGI
* komposisi dan kelimpahan
* keragaman (Indeks Diversitas)
* pola penyebaran (Indeks Morisita)
* Kepadatan
* Plankton
= hubungan
= ruang lingkup penelitian
= pengaruh langsung
*
= komponen
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Masalah
3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui keterkaitan antara karakter habitat dengan distribusi larva yang
didasarkan pada parameter fisika kimia perairan di Teluk Palabuhan Ratu.
2.
Mengetahui pola distribusi larva ikan secara spasial dan temporal di perairan
Teluk Palabuhan Ratu.
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya larva ikan dan dengan ini akan
diketahui sejauh mana kondisi ekologis larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu.
1.4 Hipotesis
1. Perbedaan karakteristik habitat tidak mempengaruhi komunitas larva ikan
dan distribusi stadia larva ikan di Teluk Palabuhan Ratu.
2. Perbedaan parameter fisika-kimia perairan tidak mempengaruhi pola
distribusi dan komposisi jenis larva secara spasial-temporal.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu
Perairan Teluk Palabuhan Ratu terletak pada posisi geografis 6o57’- 7o07’
LS dan 106o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km.
Perairan tersebut merupakan perairan pantai selatan Jawa Barat yang memilliki
hubungan dengan Samudra Hindia. Sistem sungai yang bermuara di perairan
teluk diketahui ada 7 buah yaitu 2 buah golongan besar: S. Cimandiri dan S.
Cibareno dan 5 buah lainnya tergolong sungai kecil: S. Cimaja, CiPalabuhan,
Cidadap, Cibutun dan Ciletuh (LON-LIPI 1975)
Musim sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrodinamika perairan
teluk. Pada periode Musim Timur (Mei-Agustus) gelombang dan arus relatif lebih
tenang dibandingkan pada periode musim barat (November-Februari), diantara
Musim Timur dan Musim Barat terjadi periode peralihan (Wyrtki, 1961) yang
disebut Musim Peralihan Timur (Maret-April) dan Musim peralihan Barat
(September-Oktober)
Kondisi Teluk Palabuhan Ratu banyak dipengaruhi oleh kondisi
oseanografi Samudera Hindia seperti adanya pengaruh angin yang besar. Wyrtki
(1961) mengemukakan bahwa keadaan angin di Palabuhan Ratu sesuai dengan
sifat laut dan tercatat kecepatannya sebesar 1-7.5 cm/dtk pada Bulan September
sampai Desember yang bergerak kearah barat. Selanjutnya dikatakan bahwa
perairan Teluk Palabuhan Ratu mempunyai suhu permukaan laut pada musim
barat berkisar 29-30oC dan pada musim timur 26-27oC
Pariwono et al. (1988) mengemukaan bahwa pada Bulan September dan
Oktober suhu permukaan laut relatif rendah, yaitu rata-rata 26.57oC sedangkan
pada musim hujan suhu permukaan laut rata-rata naik menjadi 27.78oC padahal
disaat itu laut kurang menerima pemanasan dari matahari, karena tertutup awan.
Hal ini diduga sebagai pertanda bahwa proses upwelling terjadi pada Bulan
Agustus September dan okteber di perairan Teluk Palabuhan Ratu.
Dari hasil penelitian Purba (1995), diacu dalam PRTK & Dep ITK (2004)
diketahui bahwa di lepas Pantai Palabuhan Ratu terjadi upwelling mulai Bulan
Juli, terbukti dengan terlihatnya kelompok massa air yang lebih dingin di sekitar
lepas pantai, diapit oleh massa air yang lebih hangat ke arah pantai dan ke arah
laut lepas. Kelompok massa air dingin ini berasal dari proses upwelling oleh
Ekman Pump yang dibangkitkan oleh angin Muson Tenggara.
5
Terdapat perbedaan suhu permukaan laut musim timur dan musim barat,
baik di perairan lepas pantai selatan Jawa (S. Hindia) maupun di perairan
Palabuhan Ratu. Levinton (1982) mendapatkan adanya perbedaan suhu
permukaan laut di perairan lepas pantai selatan Jawa, yaitu 28oC (AgustusOktober) dan 29oC (Februari-April). Demikian pula hasil penelitian LON LIPI 1975
di perairan pantai selatan Jawa diketahui adanya perbedaan suhu pada musim
kemarau (28oC) dan musim hujan (29-30)
Hasil penelitian Pariwono et al. (1988) menunjang pernyataan di atas
setelah melakukan pengukuran suhu di perairan Palabuhan Ratu pada bulan
September-Oktober (akhir musim timur) dan bulan November-Desember (awal
musim barat) masing-masing tercatat sebesar 26 dan 28
o
C. Selanjutnya
dikemukaan bahwa terdapat fenomena perbedaan suhu yang relaif lebih rendah
pada musim timur dibandingkan dengan musim barat menunjukkan adanya
proses upwelling di perairan yang bersangkutan.
Penyebaran suhu vertikal di perairan Teluk Palabuhan Ratu pada
kedalaman 25 meter antara 29.75-28.55 oC (rata-rata 28.43 oC). Perbedaan
tersebut disebabkan terutama adanya pengaruh penyinaran matahari terhadap
peningkatan suhu permukaan perairan teluk (Sanusi dan Atmodipoera, 1993)
Salinitas di perairan Teluk Palabuhan Ratu dipengaruhi oleh keadaan
musim dengan faktor utama adanya masukan massa air sungai yang bermuara.
Transpor massa air sungai yang terutama pada musim barat mengakibatkan
turunnya salinitas perairan pantai Teluk Palabuhan Ratu. Namun demikian di
perairan teluk bagian tengah nilai perbedaan salinitas permukaan laut pada
musim timur dan musim barat relatif kecil. Hasil pengukuran memperlihatkan nilai
salinitas rerata pada periode Agustus Oktober dan Mei-Juli masing-masing
sebesar 32.96‰ dan 32.33‰ (Pariwono et al., 1988)
Massa air bersalinitas tinggi ini berasal dari Laut Flores yang memasuki
Laut Jawa seiring dengan pergerakan arus permukaan pada Musim Timur ini
yang menuju ke barat. Menurut Wyrtki (1961), bahwa pada Musim Timur ini di
sekitar Laut Banda dan Selat Makasar bagian selatan terjadii upwelling, sehingga
daerah sekitarnya menjadi subur. Kesuburan perairan tersebut terbawa arus
hingga ke Laut Jawa sehingga mangakibatkan Laut Jawa selama dan sesudah
Musim Timur ini menjadi subur dan akan tersedia makanan bagi ikan dan
pijahannya.
6
Karakter pasut di perairan Teluk Palabuhan Ratu sama dengan karakter
gelombang, merupakan perambatan dari pengaruh pasut yang terjadi di
Samudera Indonesia. Pasut bersifat campuran dominasi semidiurnal yaitu tinggi
pasang dan surut pertama tidak sama dengan tinggi pasang dan surut kedua,
terjadi karena perairan teluk berhubungan langsung dengan perairan laut lepas
Samudera Hindia (PRTK & Dep ITK 2004). Gambar 2 menunjukkan grafik
komponen pasut dalam 24 jam di Teluk Palabuhan Ratu.
Gambar 2. Arah Kecepatan Arus dan pasang Surut dalam periode 24 jam di
Teluk Palabuhan Ratu (PRTK & Dep ITK 2004).
2.2 Biologi larva ikan
Ichthyoplankton merupakan cabang ilmu yang membahas tentang larva
ikan yang hidup planktonik, merupakan cabang Ichtyologi yang membahas
tentang stadia larva yang sifatnya sangat ditentukan oleh lingkungannya
terutama dalam pergerakan dan migrasinya. Awal daur hidup ikan, menurut
Effendie (1978) dan Matarase et al. (1989), meliputi stadia telur dan
perkembangannya, yaitu stadia larva dan juwana (ikan muda). Ikan-ikan pada
stadia telur dan larva ikan dapat digolongkan sebagai plankton, yaitu sebagian
7
dari siklus hidupnya merupakan plankton sementara atau meroplankton (Odum,
1993). Menurut Mantiri (1995), ikan-ikan yang masih berada pada stadia telur
dan larva digolongkan dan di istilahkan sebagai ichthyoplankton. Adapun setelah
dewasa mereka menjalani kehidupan sebagai perenang-perenang yang aktif
yang sudah masuk dalam kategori nekton.
Ichthyoplankton menurut Mantiri (1995) adalah merupakan organisme
ikan yang masih berada pada stadia telur dan larva, namun ada juga yang
menggunakan istilah ini pada ikan yang sudah berada pada stadia juwana yang
masih bersifat planktonis. Selanjutnya dikatakan bahwa istilah Ichthyoplankton
belum terlalu dikenal dan digunakan. Tulisan-tulisan ilmiah yang sudah
menggunakan istilah ini seperti: Able (1978), Brodeur et al. (1985), Boehlert et al.
(1985), Beckley (1986), Ozawa (1986), Brodeur dan Rugen (1994), Mantiri (1993
dan 1995).
Ichthyoplankton sebagai tahapan awal perkembangan, sejak dari stadia
telur menuju larva dan juwana ikan. Russel (1976) mengemukakan bahwa larva
ikan merupakan bentuk atau tingkatan ikan setelah telur menetas dan
menggunakan istilah larva yang merujuk pada larva masih memiliki yolk sac atau
kantung telur dan “postlarva” untuk ikan muda antara stadia larva dan juwana.
Stadia ini kemudian berakhir setelah persediaan kuning telur yang ada telah
habis diserap. Pada tahap ini tingkat mortalitas tinggi karena peka terhadap
predator, ketersediaan makanan dan perubahan lingkungan seperti suhu,
salinitas. Dengan demikian tahap ini adalah kondisi yang paling menentukan
kelangsungan hidup satu spesies maupun populasi ikan tersebut.
Menurut Effendie (1978), Perkembangan larva dalam garis besarnya di
bagi menjadi dua tahap yaitu prolarva dan postlarva. Untuk membedakannya,
prolarva masih mempunyai kantung kuning telur yang terletak di bagian depan
bawah, tubuh masih transparan dengan beberapa butir pigmen yang belum
diketahui fungsinya. Sirip dada dan ekor sudah ada tapi belum sempurna
bentuknya dan kebanyakan prolarva yang baru keluar dari cangkang telur tidak
mempunyai sirip perut yang nyata, hanya bentuk tonjolan. Mulut dan rahang
belum berkembang dan ususnya masih merupakan tabung yang lurus. Sistem
pernafasan dan peredaran darah belum sempurna dan memperoleh makanan
hanya dari sisa kuning telur yang belum habis diserap.
8
Masa postlarva ikan mulai dari hilangnya kantung kuning telur sampai
terbentuknya organ-organ baru atau selesainya taraf penyempurnaan organorgan yang telah ada sehingga pada akhir masa postlarva tersebut secara
morfologis sudah mempunyai bentuk hampir sama dengan induknya. Sirip dorsal
sudah mulai dapat dibedakan, demikian pula dengan sirip ekor sudah mulai ada
bentuknya. Berenangnya sudah mulai aktif dan kadang-kadang memperlihatkan
sifat bergerombol walaupun tidak selamanya demikian (Effendie, 1978).
Pada perkembangan larva lebih lanjut dijelaskan bahwa sirip ekor
berkembang diikuti oleh pemisahan sirip punggung dan sirip dubur. Vertebra dan
osteogenesis mengeras dan dengan perubahan pigmentasi badan maka post
larva mencapai tingkat juwana. Pada larva ikan yang baru menetas kuning telur
terletak pada bagian anterior vertebral tubuh, bentuk menonjol dan sering kali
menutupi hampir separuh panjang total tubuh. Mata belum berpigmen, mulut
belum berfungsi dan anal belum terbuka. Selama perkembangan larva, mata
menjadi berpigmen, mulut serta anus
mulai terbuka. Posisi anus dapat
digunakan sebagai karakter identifikasi. Selama perkembangan kuning telur dan
kelenjar minyak digunakan secara bertahap. Ketika kuning telur habis, organorgan yang dibutuhkan untuk mencari dan mengunyah makanan sudah
berfungsi. Pada masa ini larva mengalami masa krisis (Effendie, 1978).
Apabila masa postlarva berakhir, ikan akan memasuki masa juwana.
Untuk beberapa ikan dalam memasuki masa ini ada beberapa yang mengalami
perubahan bentuk tubuh atau bermetamorphose. Hoar dan Randall (1987)
mengatakan bahwa ikan dalam mengawali daur hidup akan melalui tiga tahap,
yaitu telur, larva dan juwana. Diantaranya terdapat dua tahap transisi antara telur
dan larva dan antara larva dan juwana, yaitu tahap yolk sac, dan tahap
transformasi larva. Dalam tahap telur, dibagi kedalam tiga sub divisi yaitu awal,
tengah, dan akhir. Pada tahap larva juga di bagi menjadi 3 sub divisi yaitu:
preflexion, plexion dan postflexion larva.
Pada ikan ada beberapa kelompok sifat taksonomik yang digunakan
untuk mengenal larva, yaitu:
1. Berbagai struktur atau bentuk bagian tubuh, seperti mata, kepala, badan,
lambung dan sirip (khususnya sirip dada)
2. Urutan munculnya sirip dan kedudukannya, fotofora dan unsur tulang.
3. Ukuran larva.
4. Pigmentasi (letak, jumlah dan bentuk melanophora)
9
5. Tanda-tanda yang sangat khas seperti lipatan sirip yang membengkak,
sirip yang memanjang dan terubah, sungut pada dagu dan duri pada
preoperculum (Russel, 1976).
Karakter
melanophora
merupakan
ciri
diagnostik
utama
dalam
mengidentifikasi spesies pada stadia postlarva. Kesamaan antar spesies dapat
dilihat dari ada atau tidaknya melanophora atau posisi dimana melanophora
berada. Lokasi melanophora biasa terletak di bagian eksternal dari dermis atau
epidermis, bagian internal peritoneum, di atas atau di bawah kolom vertebra dan
di daerah otocystic (Russel, 1976).
2.3 Distribusi larva ikan
Ichthyoplankton memiliki pola distribusi vertikal berdasarkan migrasinya
yang di bagi atas dua tipe. Migrasi tipe I dikenal sebagai pola distribusi yang lebih
umum yaitu Ichthyoplankton naik ke permukaan pada malam hari. Migrasi tipe II
merupakan pola distribusi yang tidak umum dan merupakan kebalikan dari
migrasi tipe I yaitu Ichthyoplankton naik ke lapisan permukaan pada siang hari.
Pada dasarnya pola distribusi ini sangat di pengaruhi oleh cahaya, namun
predator dapat juga mengubah pola distribusi vertikal Ichthyoplankton (Brodeur
dan Rugen, 1993). Contoh-contoh pola distribusi tipe I seperti yang dilaporkan
Rogers (1940), dan Brodeur et al. (1993). Adapun tipe II dilaporkan oleh Boehlert
et al. (1985).
Demikian halnya ukuran tubuh, peningkatan kemampuan berenang dan
kapasitas perkembangan larva dikatakan merupakan pengontrol posisi vertikal
golongan ini (Fortier dan Leggett, 1983). Secara umum seperti yang
dikemukakan beberapa ahli, distribusi ichthyoplankton di tentukan oleh faktorfaktor tingkah laku seperti pergerakan berdasarkan waktu dan cahaya (Mantiri,
1995); faktor-faktor fisik seperti sirkulasi air pasang surut (Laprise dan Dodson,
1989), suhu, salinitas dan turbiditas (Able, 1978); dan faktor ketersediaan
makanan.
10
2.4 Parameter Fisika
2.4.1 Suhu perairan
Suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam pengaturan
seluruh proses kehidupan dan penyebaran organisme, dan proses metabolisme
tejadi hanya dalam kisaran tertentu. Di laut suhu berpengaruh secara langsung
pada laju proses fotosintesis dan proses fisiologi hewan (derajat metabolisme
dan siklus reproduksi) yang selanjutnya berpengaruh terhadap cara makan dan
pertumbuhannya.
Perbedaan penerimaan radiasi matahari setiap wilayah menyebabkan
perbedaan suhu, terkait dengan perbedaan letak geografis lintang. Selain panas
matahari, faktor lain yang mempengaruhi suhu permukaan laut adalah arus
permukaan, keadaan awan, upwelling, divergensi dan konvergensi terutama
sekitar estuaria sepanjang garis pantai (Hela dan Laevastu, 1970).
Selain oleh faktor di atas suhu permukaan laut juga dipengaruhi oleh
kondisi meteorologi seperti penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban
udara dan kecepatan angin oleh karenanya suhu permukaan biasanya mengikuti
pola musiman. Seperti contoh pada saat musim pancaroba, angin biasanya
lemah dan permukaan laut akan tenang sehingga proses pemanasan
dipermukaan terjadi sangat kuat. Akibatnya pada musim pancaroba suhu lapisan
permukaan mencapai maksimum (Nontji, 2001).
Perubahan suhu juga dapat menyebabkan terjadinya sirkulasi dan
stratifikasi massa air dan hal itu dapat mempengaruhi distribusi. Ikan biasanya
memilih suhu optimum untuk dapat hidup dengan baik. Aktivitas metabolisme
dan penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh suhu perairan fluktuasi suhu dan
perubahan geografis merupakan faktor penting yang menentukan konsentrasi
dan pengelompokan ikan.
Menurut Soegiarto dan Birowo (1975), suhu permukaan di perairan
Indonesia berkisar antara 28-30oC dan di daerah upwelling suhunya dapat turun
mencapai 25oC dan secara horizontal suhu permukaan laut di perairan Indonesia
memiliki
variasi
tahunan
yang
rendah,
namun
variasi
tersebut
masih
menunjukkan perubahan musiman. Perubahan ini dipengaruhi oleh posisi
matahari dan pengaruh massa air di daerah lintang tinggi.
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk
menduga keberadaan organisme dalam suatu perairan, khususnya ikan. Hal ini
karena sebagaian besar organisme bersifat poikiloterm. Tinggi rendahnya suhu
11
permukaan laut pada suatu perairan terutama dipengaruhi oleh radiasi matahari.
Perubahan intensitas cahaya akan menyebabkan terjadinya perubahan suhu air
laut baik secara horizontal, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Suhu
berpengaruh terhadap tingkah laku ikan, mempunyai kisaran tertentu untuk
melakukan pemijahan bahkan dengan suatu siklus musiman yang tertentu pula
(Gunarso, 1985).
Lawalata (1977), diacu dalam Olii (2003). Menurut Sidjabat (1978),
menyatakan bahwa suhu perairan merupakan suatu faktor lingkungan yang
paling mudah dipelajari dari faktor-faktor lainnya, sebab suhu merupakan suatu
petunjuk yang berguna dari perubahan kondisi lingkungan, suhu air laut,
terutama lapisan permukaan, ditentukan oleh pemanasan matahari yang
intensitasnya senantiasa berubah terhadap waktu, sehingga suhu air laut akan
seiring dengan perubahan intensitas penyinaran matahari tersebut. Perubahan
suhu ini dapat terjadi secara: (1) harian, (2) musiman, (3) tahunan, dan (4) jangka
panjang. Selanjutnya Sidjabat (1978) mengatakan bahwa jika suatu perairan
yang homogen dan tenang dipanasi oleh matahari, distribusi suhu secara vertikal
akan menurun eksponensial ke bawah. Apalagi jika tidak ada gangguan pada
perairan ini, keadaan perairan akan selalu stabil karena lapisan yang paling atas
yang lebih panas akan lebih rendah densitasnya dari pada lapisan bawah.
Ikan dapat mendeteksi perubahan suhu meskipun lebih kecil dari 0,1 oC.
Setiap ikan mempunyai rentang karakteristik aklimatisasi (optimum) suhu dan
mempunyai batas toleransi suhu yang dapat berubah secara musiman pada stok
yang satu dengan yang lainnya dalam spesies yang sama. Sulliva (1954), diacu
dalam Laevastu dan Hayes (1981) merangkum pengaruh suhu terhadap ikan
antara lain: 1) sebagai modifier proses metabolik (misalnya mempengaruhi
kebutuhan makanan dan laju up take dan pertumbuhan); 2) sebagai modifier dari
aktivitas badan (misalnya laju renang); dan 3) sebagai stimulus saraf.
Reaksi ikan terhadap anomali suhu adalah suatu masalah kompleks.
Asumsi bahwa hampir semua reaksi spesies ikan terhadap anomali lingkungan
muncul pada skala waktu sinoptik dan bulanan. Sedangkan jangka yang lebih
panjang: musiman dan tahunan, reaksinya harus mencakup beberapa proses
integrasi, seperti perubahan wilayah pencarian makan melalui migrasi dan
pencarian atau beberapa pengaruh terhadap laju pertumbuhan, maturasi dan
terhadap rekruitmen (Sulliva 1954, diacu dalam Laevastu dan Hayes 1981).
12
2.4.2 Salinitas
Secara ideal, salinitas merupakan jumlah dari seluruh garam dalam gram
pada setiap kilogram air laut. Secara praktis, adalah susah untuk mengukur
salinitas di laut, oleh karena itu penentuan nilai salinitas dilakukan dengan
meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl). Kandungan klorida
ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah dalam gram ion klorida pada satu
kilogram air laut jika semua halogen digantikan oleh klorida.
Laevastu dan Hayes (1981) menyatakan perubahan salinitas di laut
terbuka relatif lebih kecil dibandingkan dengan perubahan salinitas di pantai yang
memiliki masukan air tawar dari sungai terutama saat musim hujan. Salinitas
berpengaruh pada osmoregulasi dari ikan serta berpengaruh besar terhadap
kesuburan dan pertumbuhan telur. Beberapa spesies bisa hidup dengan toleransi
salinitas yang besar (euryhaline) tetapi ada juga yang sempit (stenohaline).
Disamping itu Hayes dan Laevastu (1982) menyatakan bahwa salinitas
berpengaruh pada distribusi, orientasi migrasi, dan kesuksesan reprodukasi dari
ikan.
Hayes dan Laevastu (1982) menjelaskan bahwa salinitas mempengaruhi
fisiologis kehidupan organisme dalam hubungannya dengan penyesuaian
tekanan osmotik antara sitoplasma dan lingkungan. pengaruh ini berbeda pada
setiap organisme baik itu fitoplankton, zooplankton, maupun ichthyoplankton.
Pengaruh salinitas pada ikan dewasa sangat kecil karena salinitas di laut relatif
stabil yaitu berkisar antara 30 - 36 o/oo, sedangkan larva ikan biasanya cepat
menyusuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun demikian cenderung
memilih perairan dengan kadar salinitas yang sesuai dengan tekanan osmotik
tubuhnya. Dan hal ini secara langsung akan sangat mempengaruhi distribusi
larva ikan (Lignot et al., 2000).
2.4.3 Arus
Arus berperan dalam transportasi ikan dan larva di laut. Adanya arus
yang berlawanan akan menjadi perangkap bagi keberadaan makanan ikan di
laut. Arus merupakan hal yang sangat penting kaitannya dengan iklim, arus juga
membawa organisme plankton dalam jumlah yang besar dari tempat asalnya
secara periodik (Davis, 1955). Pola aliran arus juga menentukan pola
karakteristik penyebaran nutrien, transport sedimen, plankton, ekosistem laut dan
geomorfologi pantai. Pada daerah teluk, pola aliran air lebih didominasi oleh
pasang surut dan angin.
13
Di daerah teluk, jenis arus yang dibangkitkan oleh gaya pasang surut
sangat dominan dibandingkan dengan arus yang dibangkitkan oleh gaya gesek
angin dengan permukaan air. Dwiponggo (1972) mengemukakan bahwa jenis
jenis ikan tertentu akan bergerak mengikuti arus pada waktu pasang naik kearah
pantai. Laevastu dan Hayes (1981) mengungkapkan bahwa ikan-ikan besar
menggunakan arus untuk mendeteksi medan geoelectrocity bagi perjalanan
migrasi mereka. Ikan demersal juga melakukan hal yang sama yaitu antara arus
pasut dan migrasinya. Arus juga berperan dalam distribusi pemindahan telur,
larva dan ikan kecil selain itu arus merupakan faktor pembatas bagi beberapa
spesies. Karakter arus bervariasi dari tahun ketahun dan berperan penting dalam
migrasi musiman dan siklus hidup dari ikan pelagis dan semi pelagis.
Sverdrup et al. (1972) membagi arus laut ke dalam tiga golongan besar,
yaitu : 1). Arus yang disebabkan oleh perbedaan sebaran densitas di laut. Arus
ini disebabkan oleh air yang berdensitas lebih berat akan mengalir ke tempat air
yang berdensitas kecil atau lebih ringan. Arus jenis ini biasanya memindahkan
sejumlah besar massa air ke tempat lain; 2). Arus yang ditimbulkan oleh angin
yang berhembus di permukaan laut. Arus jenis ini biasanya membawa air kesatu
jurusan dengan arah yang sama selama satu musim tertentu; 3). Arus yang
disebabkan oleh air pasang. Arus jenis ini mengalirnya bolak-balik dari dan ke
pantai, atau berputar.
Gerakan massa air dalam sangat berbeda dengan massa air permukaan.
Massa air dalam terisolasi dari angin, oleh karena itu gerakannya tidaklah
bergantung pada angin. Tetapi gerakan massa air dalam sebenarnya terjadi
karena perubahan gerakan air permukaan. Di daerah tertentu dan dalam
keadaan tertentu pula, gerakan lateral air yang disebabkan oleh angin juga
mengakibatkan air mengalami suatu sirkulasi vertikal atau gerakan ke atas atau
upwelling (Nybakken, 1992).
Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan Laevastu dan Hayes (1982)
menyatakan, bahwa: 1) penyebaran ikan oleh arus mengalihkan telur dan anak
anak ikan dari spawning ground (daerah pemijahan) ke nursery ground (daerah
pembesaran) dan ke feeding ground (tempat mencari makan); 2) Migrasi ikan
dewasa dapat disebabkan oleh arus, sebagai alat orientasi ikan dan sebagai pola
rute alami; 3) Tingkah laku diurnal ikan dapat disebabkan oleh arus, khususnya
arus
pasang
surut;
4)
Arus
dapat
secara
langsung
mempengaruhi
pengelompokan makanan atau faktor lain yang membatasinya (suhu); 5) Arus
14
juga mempengaruhi lingkungan alami ikan, dengan demikian secara tidak
langsung mempengaruhi kelimpahan ikan tertentu dan sebagai pembatas
distribusi geografisnya.
Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juwana mulai
dari daerah pembesaran sampai daerah pemijahan dan mungkin berperan
sebagai suatu penjajakan migrasi arus balik dari ikan dewasa mulai dari daerah
pembesaran sampai daerah pemijahan. Anomali arus permukaan dapat
mempengaruhi distribusi larva, juwana dan juga migrasi pemijahan ikan dewasa.
Selain itu, sebaran stok ikan utama biasanya mengikuti sistem arus tertentu.
Arus arus yang besar di laut seluruhnya menyebabkan perubahan
densitas massa air permukaan. Perubahan densitas air laut berhubungan
dengan variasi suhu dan salinitas, yaitu kenaikan suhu menyebabkan penurunan
densitas air laut yang diikuti dengan kenaikan salinitas. Di laut perubahan
salinitas dan suhu biasanya terjadi bersama-sama dan keduanya sangat penting
dalam mengendalikan densitas (Barnes dan Hughes, 1998).
Menurut Hinckley et al. 1991, diacu dalam Olii (2003), arus selalu
berhubungan dengan kedalaman. Perubahan arah arus yang kompleks
susunannya terjadi sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan.
Pada umumnya tenaga angin yang diberikan pada lapisan permukaan air dapat
membangkitkan timbulnya arus permukaan yang mempunyai kecepatan sekitar
2% dari kecepatan angin itu sendiri. Kecepatan arus ini akan berkurang cepat
sesuai dengan makin bertambahnya kedalaman perairan dan akhirnya angin
menjadi tak berpengaruh sama sekali terhadap kecepatan arus (Hutabarat dan
Evans, 1986). Selanjutnya mengemukakan bahwa pada kedalaman dibawah 100
meter kecepatan arus sangat lambat sehingga Ichthyoplankton di daerah ini
kemungkinan tidak hanyut jauh dari wilayah dimana mereka dipijahkan,
sedangkan pada kedalaman di atas 50 meter dari kolom air, arus semakin cepat
sehingga Ichthyoplankton akan mudah terbawa oleh arus.
2.5. Parameter Kimia
2.5.1 Derajat Keasaman (pH)
Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk
mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan
memberikan
petunjuk
terganggunya
sistem
penyangga.
Hal
ini
dapat
menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat
membahayakan kehidupan biota laut. Derajat keasaman (pH) air laut permukaan
15
di Indonesia umumnya bervariasi dari lokasi ke lokasi antara 6.0 – 8.5.
Perubahan pH dapat mempunyai akibat buruk terhadap kehidupan biota laut,
baik secara langsung maupun tidak langsung (Romimuhtarto, 1991).
Derajat
keasaman
merupakan
salah
satu
parameter
penentu
produktivitas suatu perairan. Pada umumnya pH air laut tidak banyak bervariasi
karena adanya sistem karbondioksida dalam laut, maka air laut mempunyai
kapasitas penyangga (buffer) yang kuat (Nontji, 2001).
2.5.2 Oksigen Terlarut (DO)
Kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) dapat dijadikan ukuran
untuk menentukan mutu air. Kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen
terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen setiap liter air (5 ppm). Selebihnya
bergantung kepada ketahanan organisme, derajat aktivitasnya, kehadiran
pencemar, suhu air dan sebagainya.
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlaurut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan karena oksigen
terlarut digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak
(Romimuhtarto, 1991).
Selanjutnya Goldman dan Horne (1983), menyatakan bahwa oksigen
terlarut dalam ekosistem perairan sangat penting untuk mendukung eksistensi
organisme dan proses-proses yang terjadi didalamnya. Hal ini terlihat dari
peranan oksigen selain digunakan untuk aktifitas respirasi organisme air juga
organisme dekomposer dalam proses dekomposisi bahan organik dalam
perairan.
Respirasi
di
perairan
memerlukan
oksigen
dari
dalam
air
dan
menghilangkan limbah karbon dioksida. Insang adalah tempat pertukaran gas
terjadi pada sebagian besar jenis ikan, meskipun ada juga beberapa jenis ikan
yang bernafas melalui kulit. Biasanya laju konsumsi oksigen dapat digunakan
untuk mengukur intensitas metabolismenya. Laju ini dipengaruhi oleh ukuran ikan
dan karakteristik air seperti suhu dan kandungan CO2 (Reddy, 1993).
Oksigen dapat merupakan faktor pembatas dalam penentuan kehadiran
makhluk hidup di dalam air. Penentuan oksigen terlarut harus dilakukan berkali
kali di berbagai lokasi dengan tingkat kedalaman yang berbeda pada waktu yang
16
tidak sama (Sastrawijaya, 2000). Oksigen terlarut merupakan parameter penting
bagi sistem kimia air laut maupun proses biologi perairan laut. Hal ini karena
oksigen diperlukan dalam proses mineralisasi/dekomposisi bakteri dalam
menguraikan
bahan
organik.
Penurunan
oksigen
terlarut
juga
akan
mempengaruhi kehidupan organisme melalui proses respirasi, dan reaksi
oksidasi reduksi terhadap senyawa-senyawa kimia dalam air laut.
2.5.3. Nitrat (NO3)
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan
organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu
unsur utama pembentukan protein. Di perairan, nitrogen biasanya ditemukan
dalam bentuk amonia, amonium, nitrit (NO2) dan nitrat (NO3) serta beberapa
senyawa nitrogen organik lainnya (Wardoyo, 1987).
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
dan amonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap amonia dibandingkan
dengan nitrat karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dalam kondisi aerobik
maupun anaerobik (Welch, 1980). Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak dan saat kandungan oksigen tinggi
nitrogen berubah menjadi nitrat.
Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan
salah satu nutrient senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan
tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi diperairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh
ketersediaan nutrient (Welch, 1980).
2.5.4. Fosfat (PO4)
Selain nitrogen, fosfor merupakan nutrien penting bagi pertumbuhan
fitoplankton. Parson et al., (1984) menyatakan bahwa fosfor diperairan berada
dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut
dan fosfor partikulat. Wetzel (1983) menyatakan bahwa orthofosfat merupakan
bentuk senyawa dengan unsur dasar P yang efektif bagi pertumbuhan
fitoplankton. Selanjutnya Grahame (1987) menambahkan bahwa fosfor terlarut
terutama berfungsi sebagai ortofosfat anorganik (PO4-) atau yang secara
sederhana disebut fosfat (PO4). Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa
fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat untuk
pertumbuhannya.
17
Pada perairan alami ikatan senyawa fosfat umumnya berada pada ikatan
Fe dan Al, sedangkan pada perairan basa, fosfat berikatan dengan kation
natrium dan pada perairan netral berikatan dengan kalsium (Prescott, 1973).
Konsentrasi fosfat pada perairan tawar dan laut memiliki kisaran yang hampir
sama yaitu 1 – 3 mg/l, sementara kisaran fosfat yang optimum bagi pertumbuhan
fitoplankton adalah 0.09 – 1.80 ppm (Sunarto, 2001).
Konsentrasi fosfat dalam perairan alami pada umumnya tidak melebihi 0,1
ppm. Kandungan fosfat yang melebihi kebutuhan normal akan meningkatkan
kesuburan perairan dan merangsang pertumbuhan fitoplankton (Wardoyo, 1987).
Kadar fosfat yang baik di perairan akan meningkatkan produktivitas perairan.
Sebagai
indikator
produktivitas
perairan,
keberadaan
fitoplankton
atau
zooplankton dapat diketahui melalui kandungan fosfat ideal yang terkandung di
perairan karena akan menjadi makanan utama bagi larva ikan.
18
III. METODE PENELITIAN
2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan
Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 2007
untuk survey dan penetapan stasiun penelitian. Pengambilan sampel dan
pengukuran di lapangan dilaksanakan pada malam hari dimusim barat satu kali
dalam setiap bulan mulai Bulan November 2007 hingga Bulan April 2008.
= Stasiun pengamatan
Sumber:
Peta Dishidros AL. 2007
Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian dan Posisi stasiun pengambilan sampel di
Teluk Palabuhan Ratu.
3.2 Penentuan stasiun penelitian
Perairan Teluk Palabuhan Ratu terletak pada posisi geografis 6o57’- 7o07’
LS dan 106o22’-106o23’ BT dengan panjang pantai lebih kurang 105 km (LONLIPI 1975) membentuk cekungan yang menyolok dibagian selatan Pulau Jawa.
Berdasarkan perbedaan ciri fisik maka lokasi stasiun penelitian dibagi atas 9
mencakup muara dan laut lepas.
19
Secara spasial, stasiun terdistribusi menjadi dua bagian mulai dari mulut
muara sungai Cimandiri hingga yang mengarah ke perairan terbuka di Teluk
Palabuhan Ratu. Kelompok pertama mewakili muara sungai yang terdapat di
Teluk Palabuhan ratu yakni stasiun 1, 8 dan 9. Kelompok kedua di daerah laut
lepas yang terdiri dari stasiun 2 hingga 7, dimaksudkan untuk mengetahui
batasan distribusi spesies larva ikan tertentu melalui komposisi dan jumlah yang
tertangkap dimasing-masing kedalaman (Gambar 3; Lampiran 6).
Kedalaman stasiun masing-masing adalah stasiun 2 adalah 25-30 meter,
stasiun 3 dan 4 dengan kedalaman 80-100 meter; stasiun 5 kedalaman > 450
meter; stasiun 6 dan 7 kedalaman > 400 (Gambar 3; Lampiran 6) Perbedaan
kedalaman yang sangat tajam disebabkan oleh Topografi dasar laut (bathymetri)
Teluk Palabuhan Ratu yang curam dengan kadalaman antara 3 - 4 meter
dibagian pantai (perairan pantai/muara) sampai > 200 meter di bagian tengah
perairan teluk, yang merupakan lereng kontinen (Continental Shelf) (PRTK & Dep
ITK 2004).
3.3 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan-bahan kimia
untuk analisis kualitas air, buku identifikasi larva, alat tulis dan botol sampel.
Sedangkan alat yang digunakan adalah perahu nelayan, Global Positioning
System (GPS Tipe Map 198C) untuk menentukan posisi stasiun pengamatan,
termometer (Hg Pembacaan skala) untuk pengukuran suhu, flow meter (For
Plankto net Model OSK 16168) untuk mengukur kecepatan arus dan layangan
arus untuk melihat arah arus, handrefraktometer untuk pengukuran salinitas, EhpH meter (Schott Instrumen Lab 850) untuk mengukur tingkat keasaman,
saringan, timbangan elektrik (AND GR 200), mikrometer (Celiper ketelitian 0,05
mm), mikroskop binokuler (Olympus CH2O) perbesaran 4 kali, water sampler,
net larva (mesh zise 350-500 µm, diameter 60 cm) dan hand counter untuk
menghitung jumlah individu larva ikan.
3.4 Pengumpulan Data dan Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran langsung dengan
menggunakan termometer, flow meter, layangan arus dan titrasi Winkler untuk
pengukuran oksigen langsung di lokasi penelitian. Pengukuran TSS (Total
Suspension Solid), salinitas, pH, nitrat, fosfat dan silika dilakukan di laboratorium
20
Produktivitas Lingkungan (Proling) Fakultas Perikanan dan Ilmu Teknologi
Kelautan IPB. Larva (Ichthyoplankton) dikumpulkan menggunakan net larva
dengan menyisir kolom perairan secara horizontal sejauh 70-100 meter selama
3-5 menit. Penyisiran pada tiap stasiun dilakukan dengan tiga kali ulangan,
Sampel dikumpulkan dan diawetkan dalam formalin 4% untuk selanjutnya diukur
panjang dan ditimbang beratnya. Pengukuran panjang dan berat larva ikan
dilakukan di Laboratorium Unit Rehabilitasi Reproduksi (URR) Fakultas
Kedokteran Hewan IPB, kemudian diidentifikasi dengan menggunakan Petunjuk
Identifikasi FAO (Smith dan Richardson, 1977); buku identifikasi larva ikan (Leis
dan Carson-Ewart, 2000; dan Niera, et al. 1998).
Parameter fisika kimia perairan yang diukur selama penelitian tercantum
pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan
No
A
1.
2.
3.
4.
B
1.
2.
3.
C
1.
2.
3.
Parameter
Fisika
Suhu
Arus
Kekeruhan
Gelombang
Kimia
Salinitas
Tingkat keasaman
DO
Nutrien
Nitrat
Fosfat
Silika
Satuan
Alat/metode
o
C
cm/detik
NTU
m
Termometer
Floating method/ estimasi
Turbidimeter
Estimasi
ppt
pH
mg/l
Handfraktometer
pH meter
Titrasi winkler
mg/l
mg/l
mg/l
spectrofotometer
spectrofotometer
spectrofotometer
3.5 Analisis Data
3.5.1 Struktur Komunitas Ikan
Indeks keanekaragaman dan dominansi digunakan untuk mengetahui
pengaruh kualitas lingkungan terhadap komunitas larva ikan. Pengaruh kualitas
lingkungan terhadap kelimpahan ikan selalu berbeda-beda tergantung pada jenis
ikan, karena tiap jenis ikan memiliki adaptasi dan toleransi yang berbeda
terhadap habitatnya. Indeks tersebut digunakan untuk memperoleh informasi
yang lebih rinci tentang komunitas ikan.
Indeks keanekaragaman dikemukakan oleh Shannon-Wiener diacu dalam
Bengen (2000), yang dirumuskan sebagai berikut:
21
s
H ' = ∑ ( pi Log 2 Pi )
i =1
Dengan: H’ = Indeks keaneragaman Shannon-Wiener
S
= Jumlah jenis (spesies)
ni = jumlah total individu jenis larva i
N = jumlah seluruh individu dalam total n
Pi=ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan keanekaragaman
Shannon-Wiener yaitu:
H’ < 1, keanekaragaman rendah
1-3 keanekaragaman tergolong sedang
3 >, keanekaragaman tergolong tinggi.
Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai jenis
ikan yang mendominasi pada suatu komunitas pada tiap habitat indeks
dominansi yang dikemukakan oleh Simpson yaitu (Ludwig dan Reynold, 1988):
s
C = ∑ pi 2
i =1
Dengan C = Indeks dominansi Simpson
S = Jumlah jenis (spesies)
ni = jumlah total individu jenis larva i
N = jumlah seluruh individu dalam total n
Pi=ni/N = sebagai proporsi jenis ke-i
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikandominansi spesies
ikan yaitu:
Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies ikan.
Mendekati 1 = indeks besar atau cenderung dominansi oleh beberapa spesies
ikan.
3.5.2 Pola Pemencaran/distribusi Populasi
Pola penyebaran larva ikan dalam penelitian ini ditentukan dengan
menggunakan Indeks Morisita (Iδ). Indeks ini tidak dipengaruhi oleh luas stasiun
pengambilan sampel dan sangat baik untuk membandingkan pola pemencaran
populasi (Brower et al, 1990). Rumus yang dipergunakan adalah:
22
∑X
Iδ = n
2
i
−N
N ( N − 1)
dengan: Iδ = indeks distribusi Morisita
N = jumlah seluruh individu dalam total n
n = jumlah seluruh stasiun pengambilan sampel
∑Xi2 = kuadrat jumlah larva jenis i per stasiun untuk total n stasiun
Nilai indeks morisita yang diperoleh diinterpretasikan sebagai berikut:
Iδ < 1, pemencaran individu cenderung acak
Iδ = 1, pemencaran individu bersifat merata
Iδ > 1, pemencaran individu cenderung berkelompok.
Untuk menguji kebenaran nilai indeks di atas, digunakan suatu uji statistik, yaitu
sebaran Chi-Kuadrat dengan persamaan:
x2 =
dengan : x2
n
n∑ X 2
−N
N
= Chi-Kuadrat
= Jumlah pengamatan
∑X2 = Jumlah kuadrat larva jenis I yang ditemukan pada tiap stasiun
N
= Jumlah seluruh Individu
Nilai Chi-Kuadrat dari perhitungan di atas di bandingkan dengan niali Chi-Kuadrat
tabel statistik dengan selang kepercayaan 95% (α = 0,05). Apabila nilai X2 hitung
lebih kecil dibandingkan dengan nilai X2 tabel maka tidak berbeda nyata yang
berarti pola sebaran jenisnya bersifat acak.
3.5.3 Kelimpahan Larva Ikan
Kelimpahan larva ikan yang didefinisikan sebagai banyaknya larva ikan
persatuan luas daerah pengambilan contoh dihitung dengan menggunakan
N = n / Vtsr
rumus:
dengan: N
n
= Kelimpahan Larva ikan ( ind/m3)
= Jumlah Larva ikan yang tercacah (ind)
Vtsr = Volume air tersaring (Vtsr = l x t x v)
l
: Luas bukaan mulut saringan
t
: lama waktu penarikan saringan (menit)
v
: Kecepatan tarikan (m/menit).
23
3.5.4 Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi menunjukkan rataan individu suatu jenis larva ikan
perstasiun dari seluruh contoh yang diamati, yaitu menggunakan rumus:
D = ∑Xi / n
Dengan:
∑Xi
n
= jumlah total individu jenis larva i
= luas seluruh stasiun contoh (jumlah keseluruhan Vtsr).
Kepadatan populasi (Ind/m3) yang didapatkan akan digunakan untuk
menganalisis tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi serta pola
penyebaran spesies larva.
3.5.5 Pengelompokan Habitat berdasarkan Indeks Similaritas Canberra.
Nilai indeks similaritas ini digunakan untuk membandingkan kesamaan
antara stasiun pengamatan berdasarkan parameter fisika kimia perairan dan dan
larva ikan yang diperoleh selama penelitian (Bengen 1999).
C=
1
N
⎡ X1 j − X 2 j ⎤
⎥
⎢
∑
i =1 ⎢ X 1 j + X 2 j ⎥
⎦
⎣
n
dengan: Ic = Indeks Canberra
X1j = Nilai Parameter ke j stasiun 1
X2j = Nilai Parameter ke j stasiun 2
n = Jumlah parameter yang dihitung
N = Jumlah total stasiun pengambilan contoh
Pada penelitian ini terdapat 6 parameter fisika kimia air laut yang diukur
yaitu
suhu,
salinitas,
oksigen
terlarut,
pH,
nitrat
dan
fosphat.
Hasil
perhitungannya dibuat dalam bentuk matriks similaritas Canberra, dan dari
matriks ini dapat dilihat persentase kemiripan antar stasiun penelitian
berdasarkan parameter fisika kimia perairan. Matriks dan dendrogram dibuat
dengan menggunakan bantuan softwere minitab 14.
3.5.6
Hubungan Kelimpahan Larva Ikan dengan Karakteristik Fisika Kimia
Perairan
Untuk melihat fluktuasi kehadiran larva ikan disajikan dalam bentuk grafik
dan dianalisis secara deskriptif. Untuk melihat hubungannya digunakan analisis
regresi.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kondisi Umum Teluk Palabuhan Ratu
4.1.1. Kondisi Oseanografi
4.1.1.1. Gelombang
Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan (Lampiran 1) terlihat keadaan
oseanografi Bulan November 2007 – April 2008. keadaan laut disemua stasiun
penelitian tergolong sama yaitu sekitar 0.2 hingga 0.7 meter, kecuali di stasiun 6
dan 7 yang menunjukkan bahwa di stasiun tersebut gelombangnya selalu lebih
tinggi dibanding stasiun lainnya, dan pengukuran gelombang tertinggi di
dapatkan pada Bulan November yaitu masa peralihan menjelang musim barat
yaitu sekitar 1.3 meter.
Hasil pengamatan pada Bulan Desember– Februari untuk sekali trip
dalam setiap bulannya, tertinggi didapatkan adalah 0.7 meter dengan rerata
setiap bulannya berkisar antara 0.31–0.39 meter, sedangkan hasil pengamatan
berdasarkan skala Beaufort dapat dinyatakan bahwa dengan tinggi gelombang
maksimum antara 4-4.5 m diduga kecepatan angin yang terjadi di perairan Teluk
Pelabuhan Ratu antara 30-39 km/jam dengan kondisi permukaan laut gelombang
sedang dengan bentuk yang lebih panjang, banyak buih dan sedikit percikan
(PRTK & Dep ITK 2004).
Adanya perbedaan kisaran ketinggian gelombang dengan hasil-hasil
penelitian dan pengamatan terdahulu disebabkan karena sampling larva
dilakukan pada saat kondisi perairan sedang tenang, dalam rentang waktu
musim barat dan musim peralihan, sehingga didapatkan hasil pengukuran
dengan rata-rata tinggi yang relatif sama dan lebih rendah dibanding rata-rata
hasil pengukuaran dimusim yang sama.
Variasi tinggi gelombang antar stasiun tidak jauh berbeda setiap kali
sampling karena pelaksanaannya dilakukan dalam waktu yang sama. Kisaran
tinggi gelombang dengan keberadaan larva dalam kaitannya dengan kondisi
oseanografi yang diperoleh sangat sesuai bagi larva untuk mengadakan
distribusi secara vertikal kepermukaan.
25
4.1.1.2. Arus
Kondisi arus di perairan Teluk Palabuhan Ratu lebih dipengaruhi oleh
adanya fenomena pasang surut. Kisaran rata-rata kecepatan arus perstasiun
selama pengamatan di Teluk Palabuhan Ratu adalah 3 – 15.6 cm/dtk ke arah
barat dengan kecepatan arus yang semakin melambat seiring dengan
berkurangnya kedalaman, yaitu pada stasiun 1, 8 dan 9 yang kisarannya antara
3 – 4.6 cm/dtk. Kecenderungan yang sama diperlihatkan dalam pengukuran
Operasi Widya Bahari 1992, diacu dalam PRTK & Dep ITK (2004), bahwa
kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara 5-16 cm/dtk dengan arah
menuju mulut teluk. Perubahan arah arus berdasarkan pengaruh pasang surut
dapat dilihat pada Gambar 2.
Kisaran rata-rata arus setiap bulan yaitu Bulan November rata-rata
kecepatan arus untuk keseluruhan stasiun hanya 6,9 cm/dtk, pada bulan ini
peralihan dari musim timur ke musim barat masih berlangsung dan kecepatan
arus meningkat kembali pada Bulan Desember hingga Maret dan menunjukkan
kecepatan arus yang hampir sama yaitu 1 – 1.05 cm/dtk, karena antara rentang
bulan-bulan ini telah memasuki musim barat dan pada bulan April menurun
kembali seiring masuknya musim peralihan yaitu 9.28 cm/dtk.
4.1.2. Parameter Fisika Kimia
4.1.2.1. Suhu Permukaan
Fluktuasi suhu selama pengamatan di Teluk Palabuhan Ratu kisarannya
antara
antara 26 - 29 oC. dengan rata-rata setiap bulannya berada diatas
27.5 oC dan dibawah 28.5 oC. Grafik fluktusi suhu permukaan dapat terlihat pada
Gambar 4.
Gambar 4 Fluktuasi suhu permukaan setiap bulan pengamatan
26
Kisaran suhu yang saling berdekatan disebabkan karena pengukuran
dilakukan hanya di lapisan permukaan. Data yang hampir sama didapatkan oleh
PRTK & Dep ITK (2004) yaitu sebaran suhu permukaan di Teluk Palabuhan Ratu
berkisar antara 27.55 - 27.97 oC dengan kedalaman pengukuran maksimum
sebesar 18 m.
Hasil penelitian Pariwono et al. (1988) mendapatkan hasil yang sama
diakhir Musim Timur antara September-Oktober yaitu 26.0oC dan di awal Musim
Barat antara November-Desember sekitar 28.0 oC. Selain itu adanya perbedaan
suhu permukaan laut di perairan selatan Jawa antara periode Musim Timur (JuliSeptember) dan Musim Barat (Desember-Mei) juga dikemukakan oleh Wyrtki
(1961), yaitu masing-masing sebesar 25.6 - 26.2oC dan 28oC. Namun demikian,
menurut Effendie (2000) kisaran suhu yang didapatkan masih sesuai dengan
kisaran pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton dan zooplankton sebagai
indikator makanan bagi larva ikan.
29.5
Grafik suhu rata rata setiap bulan Pengamatan
suhu (oC)
29
28.5
28
27.5
27
26.5
26
25.5
25
24.5
Nov
Des
Jan
Feb
Bulan
Mar
max
Apr
min
mean
Gambar 5 Nilai rata-rata suhu setiap stasiun pada bulan pengamatan
Pariwono et al. (1988) mengemukakan bahwa terdapatnya fenomena
perbedaan suhu yang relatif rendah pada Musim Timur dan Musim Barat
menunjukkan adanya proses upwelling di perairan Teluk Palabuhan Ratu.
Menurut Reddy (1993). Batas arus (konvergensi dan divergensi) dan kondisi
oseanografi dinamis yang lain (seperti eddies), berfungsi tidak hanya sebagai
perbatasan
distribusi
lingkungan
bagi
ikan,
tetapi
juga
menyebabkan
pengumpulan ikan pada kondisi ini.
27
Pengumpulan ikan-ikan yang penting secara komersil biasanya berada
pada tengah-tengah pusaran arus, memudahkan migrasi larva ikan ke
permukaan (migrasi pasif) seiring dengan terangkatnya lapisan massa air yang
hangat dari dasar kepermukaan bersama nutrien dasar. Akumulasi plankton,
telur ikan juga berada di tengah-tengah pusaran antisiklon. Pengumpulan ini bisa
berkaitan dengan pengumpulan ikan dewasa dalam pusaran arus (melalui rantai
makanan) (Reddy, 1993).
Selain Karena terbawa upwelling, larva juga akan berusaha untuk
menghindar dari efek suhu rendah dengan menyesuaikan diri terhadap iklim dan
menempati daerah-daerah pantai yang suhunya lebih tinggi sehingga larva akan
bermigrasi secara aktif. Coombs et al. (1985) mengemukakan bahwa tahap yang
paling ideal untuk larva ikan adalah di daerah permukaan yang suhunya lebih
tinggi.
4.1.2.2. Salinitas
Hasil pengukuran salinitas menunjukkan bahwa salinitas permukaan
antar stasiun semakin menurun ke arah muara, stasiun 1 berada tepat dimulut
muara memiliki nilai salinitas yang hampir sama setiap bulannya yaitu antara 5 –
7 o/oo. Pengukuran pada Bulan Desember 1993 menunjukkan bahwa salinitas
perairan Teluk Palabuhan Ratu terpengaruh oleh masukkan massa air Sungai
Cimandiri yang memilki salinitas 5 o/oo (Sanusi dan Atmodipoera, 1993).
Gambar 6 Fluktuasi salinitas permukaan setiap bulan pengamatan
Namun demikian di perairan bagian tengah teluk perbedaan nilai salinitas
permukaan lautnya relatif kecil terlihat pada hasil pengukuran di enam stasiun
(Stasiun 2 – 7) menunjukkan nilai salinitas yang relatif sama dan tidak fluktuatif
28
yaitu antara 33-35 o/oo, sedangkan stasiun 8 dan 9 masing masing memiliki nilai
salinitas yang fluktuatif antara 20-31o/oo dan 25-29 o/oo kedua stasiun ini masih
relatif dekat jaraknya dengan muara sehingga sangat fluktuatif perubahannya
(Gambar 6 dan Lampiran 1). Salinitas di perairan Teluk Palabuhan Ratu
dipengaruhi oleh keadaan musim dengan faktor utama adanya masukan massa
air sungi yang bermuara (terdapat 7 buah sungai). Transport massa air sungai
terutama pada Musim Barat mengakibatkan turunnya salinitas perairan pantai
Teluk Palabuhan Ratu.
Salinitas berpengaruh terhadap tingkah laku ikan ataupun distribusi ikan.
Hasil pengukuran salinitas yang diperoleh di lapangan dengan keberadaan larva
dimasing-masing stasiun menunjukkan kisaran yang sesuai bagi, terutama pada
saat bermigrasi untuk mengadakan perlindungan dari arus atau gelombang yang
kuat. Hal ini di perkuat dengan di temukannya beberapa spesies larva ikan yang
bersal dari laut lepas di stasiun 1, 8 dan 9.
4.1.2.3. Oksigen Terlarut (DO)
Pada umumnya konsentrasi oksigen yang terlarut di lapisan permukaan
pada lokasi yang sama di Teluk Palabuhan Ratu berkisar antara 4.4 - 5.0 mg/l
pada siang hari (PRTK & Dep ITK, 2004), sedangkan data oksigen terlarut yang
didapatkan saat pengamatan pada lapisan permukaan di stasiun 1 adalah 2.4 8.9 mg/l, stasiun 2 antara 2.03 - 6.5 mg/l, stasiun 8 dan 9 masing-masing
sebesar 2.03 - 6,09 dan 2.4 – 6.09 mg/l.
Rendahnya nilai DO yang diperoleh dikarenakan sampling dilakukan pada
malam hari dalam kondisi oseanografi yang relatif tenang sehingga difusi dengan
atmosfir sangat sedikit terjadi dan keadaan tanpa fotosintesis sehingga tidak ada
input DO dari tumbuhan air khususnya fitoplankton dan juga aktivitas respirasi
organisme perairan yang cenderung hanya memanfaatkan oksigen dimalam hari.
4.1.2.4. Tingkat Keasaman (pH)
Tingkat keasaman yang diperoleh selama pengamatan di Teluk
Palabuhan Ratu menunjukkan nilai yang hampir sama pada keseluruhan stasiun
yaitu sekitar 8.1 - 8.2 kecuali stasiun 1 hanya sekitar 7.6 - 7.9. Sebaran pH
stasiun 2 - 9 relatif konstan, menurut Romimuhtarto dan Juwana (2001) hal ini
berkaitan dengan kemampuan teluk menstabilkan perubahan pH.
29
4.1.2.5. Tingkat kekeruhan
Kisaran nilai kekeruhan selama pengamatan di lokasi penelitian adalah
0.5−78 NTU, nilai kekeruhan yang terendah umumnya didapatkan dibagian
tengah teluk dan semakin berkurang nilai NTU-nya seiring pertambahan
kedalaman, sebaliknya semakin meningkat seiring berkurangnya kedalaman
terutama 3 stasiun yang dekat dengan mulut muara Sungai Cimandiri yaitu
stasiun 1, 8 dan 9 (stasiun muara). Untuk stasiun laut lepas (stasiun 2 - 7) yang
berada dibagian selatan hingga bagian tengah muara nilai NTU relatif konstan
dan sama rendahnya.
Meningkatnya kekeruhan di stasiun muara disebabkan oleh padatan
tersuspensi dalam perairan yang dapat berupa material anorganik dan organik.
Material anorganik dapat berupa pasir halus dan mineral lumpur (PRTK & Dep
ITK, 2004).
Pada perairan pantai masukan partikel penyebab kekeruhan ini
umumnya berasal dari aliran sungai (DAS), air limpasan dari darat (run off), dan
dry deposisiton yang masuk ke muara Sungai Cimandiri.
4.1.3. Variabilitas Nutrien antar stasiun
Berdasarkan hasil pengamatan kandungan nutrien yang didapatkan
dalam penelitian (November 2007 – April 2008) rata-rata dari seluruh stasiun
yang diamati sangat bervariasi.
4.1.3.1. Nitrat
Secara spasial konsentrasi nitrat nampak tidak menunjukkan perbedaan
setiap bulannya terutama di stasiun 3 (0.01-0.069 mg/l) dan stasiun 7 (0.0020.097 mg/l). Grafik menunjukkan bahwa kisaran konsentrasi antar stasiun sangat
fluktuatif dan pola konsentrasi antar bulan yang hampir sama. Nilai terendah atau
tidak dapat terdeteksi (TT) terjadi pada Bulan Januari (stasiun 3, 5 dan 6); Bulan
Februari (stasiun 4) dan Maret (stasiun 6 dan 4).
Konsentrasi nitrat tertinggi di dapatkan di stasiun 1, 2, 8 dan 9. Tingginya
kandungan nitrat tersebut disebabkan karena letak stasiun yang lebih berdekatan
dengan dermaga dan pemukiman di sebelah barat teluk dan masih menerima
input dari sungai di sebelah selatan teluk sehingga penguraian dan nitrifikasi
cenderung lebih tinggi dibanding stasiun lainnya.
30
Gambar 7 Grafik konsentrasi nitrat setiap stasiun pengamatan
Secara teoritis tingginya konsentrasi nitrat tersebut dinilai normal karena
kisaran nitrat umumnya akan semakin tinggi dengan wilayah yang dekat pantai,
terlebih pada stasiun 1, 2, 8 dan 9 kedalaman perairan masih rendah. Hasil
absorbance pada Bulan Januari dan April tidak dapat mendeteksi jumlah nitrat
atau kandungan nitratnya terlalu sedikit untuk dideteksi melalui metode
absorbance.
0.1
Sebaran Rata-rata Jumlah Nitrat
Setiap Bulan Pengamatan
Nitrat (mg/l)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
-0.02
nov
dec
jan
Bulan
feb
mar
max
apr
min
mean
Gambar 8. Rata-rata Sebaran Jumah Nitrat Setiap Bulan Pengamatan
Dalam grafik sebaran rata-rata jumlah konsentrasi nitrat pada Bulan
November terlihat lebih tinggi, kemudian menurun secara gradual pada Bulan
Desember dan Januari sebaliknya pada Bulan Februari dan Maret meningkat
kembali secara gradual dan terakhir Bulan April sebaran rata-rata nitrat
mengalami penurunan. Keadaan ini disebabkan oleh kondisi seasonal antar
bulan yang berbeda.
31
Nitrat merupakan faktor pembatas bagi produktivitas di laut, sesuai
dengan pernyataan Mackenthum (1969) bahwa bila kandungan nitrat lebih dari
0.1 mg/l masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan
kurang dari 0.1 mg/l merupakan faktor pembatas bagi perairan tersebut.
4.1.3.2. Fosfat
Dari data pengamatan terlihat bahwa konsentrasi fosfat nampaknya lebih
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi senyawa nitrat dan hal ini diperkirakan
terkait dengan inputan daratan. Konsentrasi fosfat nampak memiliki pola yang
sama dengan senyawa nitrat, umumnya konsentrasi akan rendah di stasiunstasiun dengan kedalaman yang tinggi dengan variasi antara 0.0043 mg/l hingga
kisaran dibawah 0.02 mg/l. konsentrasi fosfat dibawah nol atau tidak terdeteksi
didapatkan pada Bulan April (stasiun 4).
Gambar 9 Grafik konsentrasi fosfat setiap stasiun pengamatan
Khusus peningkatan konsentrasi fosfat di stasiun yang dekat dengan
pantai (stasiun 1, 2, 8 dan 9) diperkirakan akibat adanya proses resuspensi
sedimen yang dapat melarutkan sebagain kandungan fosfat dalam partikel ke
kolom air, dan dimungkinkan oleh input daratan yang cukup besar setelah
terjadinya run off.
32
Phosphat (mg/l)
0.1
Sebaran Rata-rata Jumlah Phosphat
Setiap Bulan Pengamatan
0.08
0.06
0.04
0.02
0
-0.02
nov
dec
jan
Bulan
feb
mar
max
apr
min
mean
Gambar 10 Rata-rata sebaran jumah fosfat setiap bulan pengamatan
Tidak jauh berbeda dengan sebaran rata-rata nitrat, fosfat juga
mengalami fluktuasi secara gradual dengan pola yang sama dengan nitrat.
Terjadi fluktuasi fosfat setiap bulannya sangat tergantung dari kondisi seasonal
yang berbeda pada setiap bulannya.
4.1.3.3. Silika
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kandungan silika setiap bulan
pengamatan pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang fluktuatif, dan dari rata-rata
didapatkan 2.63 mg/l jauh lebih tinggi dibanding 8 stasiun lainnya yang rata
ratanya berkisar antara 0.20 – 1.24 mg/l.
Gambar 11 Konsentrasi silika perbulan pengamatan
Seperti halnya kelompok hara lain, silika juga menunjukkan peningkatan
pada stasiun yang dekat dengan dasar atau yang berkedalaman rendah,
Konsentrasi yang tinggi pada perairan Palabuhan Ratu terkait dengan input
daratan, terutama di stasiun muara disebakan oleh adanya aktivitas mega proyek
33
pembangunan PLTU Cimandiri. Hal ini mengingat bahwa silika umumnya dapat
berasal dari proses weathering dari daratan seperti erosi karena arus aliran
sungai maupun akibat tiupan angin pada wilayah permukaan yang terbuka
seperti terlihat pada berbagai wilayah sekitar Palabuhan Ratu yang berbukit dan
terbuka yang sangat potensial menimbulkan proses-proses tersebut.
0.1
Sebaran Rata-rata Jumlah Silika
Setiap Bulan Pengamatan
Silika (mg/l)
0.08
0.06
0.04
0.02
0
-0.02
nov
dec
jan
feb
Bulan
mar
max
apr
min
mean
Gambar 12 Rata-rata sebaran jumlah silika (Si) setiap bulan pengamatan.
Hasil pengukuran konsentrasi silika menunjukkan bahwa nutrien ini
memiliki konsentrasi sangat tinggi dibanding nitrat dan fosfat. Karena
terpengaruh oleh kondisi seasonal seperti musim hujan dan musim peralihan,
silikat juga menunjukkan pola fluktuasi yang sama seperti fosfat dan nitrat yaitu
Bulan November terlihat lebih tinggi, kemudian menurun secara gradual pada
Bulan Desember dan Januari. Sebaliknya pada Bulan Februari dan Maret
meningkat kembali secara gradual dan terakhir sebaran rata-rata mengalami
penurunan pada Bulan April.
4.2.
Pengelompokan Habitat
Hasil
pengelompokan
stasiun
dari
keenam
bulan
pengamatan
menunjukkan bahwa masing-masing stasiun tergabung kedalam tiga kelompok
habitat yaitu habitat muara, habitat transisi dan habitat laut lepas.
Pada Bulan November (Gambar 13a) kelompok pertama berasal dari
stasiun 2,3,4,5,6 dan 7 (99.4%) kelompok kedua dari stasiun 8 dan 9 yang terikat
dengan kelompok pertama (78.9% dan 76.4%) dan kelompok ketiga adalah
stasiun 1, yang terikat dengan 2 kelompok sebelumnya (35.8%). Kesamaan
tertinggi adalah antara stasiun 4 dan 7 yaitu 99.4% (Gambar 16 dan Lampiran 8)
sedangkan kesamaan terkecil adalah stasiun 1 dan stasiun 2 (35.8%).
34
Bulan Desember dan Januari (Gambar 13a dan 13b) terdiri atas stasiun 2
hingga stasiun 7, dengan similaritas terdekat antar stasiun 4 dan 7 (99.2%) dan
yang terjauh antara stasiun 2 dan 3 (97.30%). Kelompok kedua antara stasiun 8
dan 9 (80.2 dan 77.3%). Kelompok ketiga yaitu stasiun 1. secara keseluruhan
memiliki tingkat similaritas yang paling jauh yaitu 40.8%, sedangkan yang paling
dekat adalah antar stasiun 4 dan 7 sebesar 99.2% yang tergabung dalam
kelompok pertama.
Pada Bulan Januari similaritas terdekat didapatkan pada stasiun 2 hingga 9
sebagai kelompok pertama, masing-masing yang terdekat adalah stasiun 4
dengan 7 (99.2%); stasiun 4 dengan 6 (98.3%) yang terkait dengan stasiun
sebelumnya, kemudian stasiun 4 dan 5 (98.1%); stasiun 3 dengan 4; 2 dengan 3;
2 dengan 8 dan 2 dengan 9 (97.9%, 97.3% 80.2%, 77.3%). Stasiun dengan
similaritas terjauh 40.8% adalah stasiun 1 sedangkan stasiun 2 termasuk
kedalam kelompok kedua (Gambar 13 Lampiran 7).
(a)
(b)
35
(c)
Gambar 13 Dendrogram similaritas antar Stasiun pada Bulan: a) November;
b) Desember dan c) Januari.
Similaritas antar stasiun pada Bulan Februari (Gambar 14a) yaitu stasiun
2- 7, kelompok kedua stasiun 8 dan 9 dan kelompok ketiga adalah stasiun 1.
Similaritas dari masing masing kelompok adalah: kelompok pertama dengan
kisaran 97.38%-99.59%, kelompok kedua 64.1%-86.1% dan kelompok ketiga
47.9% (Gambar 13 Lampiran 7)
Pada Bulan Maret dan April (Gambar 14b dan 14c) pengelompokan
habitatnya sama yaitu berasal dari stasiun yang sama. kelompok pertama terdiri
atas stasiun 4 dan 7 (99.8%); disusul stasiun 4 dan 5 (99.4%) dan Stasiun 4 dan
6 (99.1%). Kelompok kedua yaitu stasiun 2 dan 3 (98.9%); stasiun 2 dan 4 yang
terikat dengan stasiun sebelumnya (97.9%); stasiun 2 dan 8 yang terikat dengan
stasiun 2 dan 4 (91.9%) dan stasiun 2 dan 9 yang saling terikat dengan semua
stasiun dalam kelompok kedua dan kelompok pertama (63.1%). Kelompok ketiga
adalah stasiun 1 yang terikat dengan dua kelompok sebelumnya (39.4%).
Kesamaan tertinggi pada Bulan Maret dan April adalah antara stasiun 2
dan 3 sebesar 99.8% dan terendah adalah stasiun 1 dan 9 sebesar 39.4%.
hanya saja pada Bulan April tingkat similaritas terdekat terjadi antara stasiun 2
dan 3 (99.4%) disusul stasiun 4 dan 6 (99.3%); stasiun 4 dan 7 (99.1%)
kemudian stasiun 4 dan 5 (98.7%); yang terakhir stasiun 2 dan 4 (97.7%).
Stasiun 1 dan 2 memiliki similaritas paling kecil yaitu sebesar 32.7%. Similaritas
terbesar antar stasiun pada bulan ini adalah antara stasiun 2 dan 3 sebesar
99.4%. (Gambar 13, Lampiran 7).
36
(a)
(b)
(c)
Gambar 14
Dendrogram similaritas antar stasiun pada bulan: a) Februari;
b). Maret dan c). April
37
Pada stasiun 1 kisaran persentase similaritasnya sangat jauh sehingga
dianggap memiliki ciri habitat sendiri. Ciri habitat yang paling membedakan
antara stasiun 1 dengan stasiun lainnya lebih kepada hampir semua parameter.
Parameter yang paling berpengaruh terutama: salinitas yang rendah, kekeruhan
yang tinggi dan kandungan nutrien yang melebihi stasiun yang lain. Keadaan ini
disebabkan stasiun ini berada di depan mulut muara Sungai Cimandiri, sehingga
stasiun 1 dikelompokkan atas habitat muara. Selain dipengaruhi oleh faktor
oseanografi dan musim, perbedaan similaritas antar stasiun di habitat muara,
disebabkan oleh adanya aktivitas pembangunan PLTU di dekat muara Sungai
Cimandiri sehingga input partikel penyebab kekeruhan lebih cepat mengalir ke
sungai jika terjadi hujan melalui aliran sungai dan run off.
Habitat transisi dibedakan atas stasiun 8 dan 9. Parameter yang paling
membedakannya dengan stasiun muara lebih karena kedua stasiun ini telah
mendapat pengaruh dari laut air laut yang ada di kedua stasiun ini masih
mendapat pengenceran dari limpasan sungai. Kedua stasiun ini merupakan
stasiun yang memiliki perubahan yang sangat fluktuatif sehingga nilai
parameternya berubah ubah sesuai dengan keadaan cuaca, keadaan ini menjadi
salah satu sebab terbentuknya habitat transisi oleh hasil pengelompokan
similaritas. Walaupun nilai similaritasnya cenderung mendekati stasiun laut lepas
antara 70-80%, tetapi karakter signifikan yang paling dianggap membedakannya
adalah kekeruhan dan salinitas serta kandungan nutrien dibeberapa periode
bulan pengamatan.
Habitat ketiga dibedakan atas habitat laut lepas,yang terdiri atas stasiun 2
- 7. Keadaan fisika kimia yang tidak fluktutif menyebabkan ke enam stasiun ini
selalu mengelompok terutama karena kandungan parameter kimia dan nutrien
yang ditemukan cenderung berada pada kisaran yang sama setiap bulannya,
nilai parameter ini yang membuat similaritas hanya bertukar-tukar antar sesama
stasiun di habitat laut lepas.
Selain itu antara stasiun transisi dan laut lepas memiliki kedekatan di atas
50% karena dimungkinkan oleh tingginya turbulensi perairan karena semakin
dekatnya musim barat pada bulan November dan masih adanya pengaruh
musim barat pada bulan Maret dan April. Sedangkan stasiun 1 yang cenderung
berdiri sendiri sebagai suatu habitat terpisah oleh similaritas yang sangat jauh
disebabkan karena stasiun ini berada dimulut sungai dan karena tingginya
intensitas hujan di daerah daratan yang terbawa aliran sungai menuju ke laut,
38
dan besarnya volume air sungai yang memasuki muara hampir tidak dapat
tergeser oleh pasang surut di muara, sehingga stasiun 1 hanya sedikit sekali
mendapat pengaruh dari laut.
4.3.
Struktur Komunitas Larva Ikan
4.3.1. Komposisi Jenis
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Perairan Teluk
Palabuhan Ratu pada 9 stasiun dengan pendekatan kualitatif ditemukan
komunitas larva ikan sebanyak 31 spesies masing-masing 10 ordo dan 26 famili
(Tabel 2 Lampiran 2).
Tabel 2 Komunitas Ikan dan kepadatan individu selama bulan pengamatan di
Teluk Palabuhan Ratu.
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Spesies
Megalops cyprinoides
Mugil sp.
P. saltarix
S. spinus
Xenodermicthys
N. macropterus
Lutjanus spp.
Ostracion spp.
Microcanthus spp.
Platycephalus sp.
Kuhlia marginata
S. cephalotes
Cygnoglossus sp.
Leiognathus spp.
Terapon terapon
A. marianus
Aseraggodes spp.
B. japonicus
Kyphosus sp.
S. canaliculatus
Urolophus spp.
Liza sp.
Siganus javus
S. linneatus
Abudefduf sp.
Apogon. sp.
Pseudocaranx sp.
Genus
Megalops
Mugil
Pomatomus
Siganus
Xenodermicthys
Nemadactylus
Lutjanus
Ostracion
Microcanthus
Platycephalus
Kuhlia
Siphamia
Cynoglossus
Leiognathus
Terapon
Ambassis
Aseraggodes
Bregmaceros
Kyphosus
Siganus
Urolophus
Liza
Siganus
‐ Siganus
Abudefduf Apogon
Pseudocaranx
Family
Congridae
Gobidae
Elopidae
Mugilidae
pomatomidae
Siganidae
Alepochepalidae Cheilodactylidae
Lutjanidae
Ostraciidae
Microcanthidae
Platycephalidae
Kuhlidae
Acropomatidae
Cynoglossidae
Leiognathidae
Terapontidae
Ambassidae
Soleidae
Bregmacerotidae
Serranidae
Kyphosidae
Siganidae
Urolopidae
Mugilidae
Siganidae
Phocichtydae
Siganidae
Pomacentridae
Apogonidae
Carangidae
Ordo
Anguilliformes
Perciformes
Elopiformers
Mugiliformes
Perciformes
Perciformes
Osmeriformes Perciformes
Perciformes
Tetraodontiformes
Perciformes
Scorpaniformes
Perciformes
Perciformes
Pleuronectiformes
Perciformes
Perciformes
Perciformes
Pleuronectiformes
Gadiformes
Perciformes
Perciformes
Perciformes
Myliobatiformes
Mugiliformes
Perciformes
Perciformes
Perciformes
Perciformes Perciformes
Perciformes
Nama
Indonesia
Sidat
Impun
nener
Belanak
Baronang
kakap
Buntal
Tokek
Kerung
Bête-bete
Gamasi
Sebelah
Sunu
Baronang
Belanak
Baronang
Baronang
Damsel
Titang
Kepadata
n
(ind/m3)
339 177 172 138 100 100 97 71 67 57 52 49 47 45 45 43 38 35 31 28 24 23 21 19 17 16 12 9 9 7 2 39
4.3.2.
Kepadatan Individu dan Distribusi Larva Ikan
Hasil perhitungan kepadatan induvidu dari komposisi jenis Family dan
spesies yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu Congridae (339 ind/m3);
Gobiidae (177 ind/m3); Megalops cyprinoides (172 ind/m3); Mugil sp. (138 ind/m3);
P. saltarix dan S. spinus (100 ind/m3); masing-masing lebih dari 100 ind/m3 dan
merupakan spesies yang tertinggi kepadatannya. Kepadatan yang terendah
didapatkan pada spesies Urolophus spp. (19 ind/m3); Liza sp.(17 ind/m3);
Siganus javus (16 ind/m3); Pocicthydae (12 ind/m3); S. linneatus dan Abudefduf
sp. (9 ind/m3); A. sp. (7 ind/m3) dan
Pseudocaranx sp. (2 ind/m3). Hasil
perhitungan kepadatan individu dapat dilihat dalam Tabel 2.
4.4.
Keanekaragaman dan Dominansi
Hasil analisis indeks keanekaragaman menunjukkan bahwa habitat
muara memiliki keanekaragaman yang tergolong tinggi karena nilainya lebih
besar dari tiga (>3) atau antara 3.5 hingga 4.0, kecuali pada Bulan November
nilai keanekaragamannya masih tergolong sedang (=3). Sedangkan nilai Indeks
dominansi pada habitat ini semuanya menunjukkan bahwa indeksnya besar atau
cenderung di dominansi oleh satu spesies ikan, kecuali Bulan November
perolehan spesies didominansi oleh beberapa spesies ikan.
Stasiun laut lepas nilai keanekaragamannya bervariasi antara tinggi dan
sedang, nilai keanekaragaman tertinggi yang didapatkan adalah adalah 3.4
hingga 3.3 atau lebih rendah dibanding nilai keanekaragaman tertinggi yang
didapatkan pada stasiun muara. Sedangkan keanekaragaman sedang pada
habitat laut lepas nilainya antara 1 hingga 3. Nilai indeks dominansi pada habitat
laut lepas pada Bulan November, menunjukkan bahwa pada bulan ini perolehan
spesies didominansi oleh beberapa jenis. Sedangakan pada bulan-bulan lainnya
menunjukkan keadaan yang sama dengan habitat muara yaitu hanya
didominansi oleh satu jenis saja. Perhitungan indeks keanekaragaman dan
dominansi larva ikan dapat dilihat pada Tabel 3.
40
Tabel 3 Hasil perhitungan indeks keanekaragaman dan dominansi larva ikan di
Teluk Palabuhan Ratu setiap bulan pengamatan.
Keanekaragaman Muara Laut lepas Transisi Bulan st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 Nov Des Jan Feb Mar Apr 3.0 3.9 3.5 3.8 3.8 4.0 2.5 2.2 3.4 1.7 3.4 3.3 3.9 3.0 2.6 2.5 3.0 2.5 1 1.9 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 1 ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 1.0 1.0 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 2.5 ‐ ‐ 2.0 2.3 0.9 2.2 1.6 1.9 3.7 3.8 2.2 0.7 3.5 2. 9 0.12 0.07 0.05 0.07 0.04 0.04 Dominansi 2.1 ‐ 0.1 ‐ ‐ ‐ 0 0 ‐ ‐ ‐ ‐ Nov Des Jan Feb Mar Apr 1.02 0.07 0.10 0.07 0.09 0.07 1.86 0.15 0.05 0.29 0.05 0.06 ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ 0.04 ‐ ‐ 0 0.16 0.50 0.21 0.32 0.18 0.02 0.08 0.22 0.68 0.08 0.17 Indeks keanekaragaman di habitat transisi memiliki nilai yang sangat
variatif, ini terlihat dari kisaran nilai yang dimiliki indeks keanekaragamannya
yaitu: yaitu tergolong tinggi nilainya antara 3.5 hingga 3.8 dan nilai indeks
keanekaragaman sedangnya antara 1.6 hingga 2.9. Di habitat transisi,
keanekaragaman yang tergolong rendah hanya didapatkan pada Bulan Januari
dan Februari. Untuk Indeks dominansi keadaannya sama dengan habitat muara
dan laut lepas perolehan spesies selalu didominansi oleh satu spesies saja.
4.5. Keterkaitan Struktur Komunitas dengan Karakteristik Habitat
Pada bagian ini, pengelompokan habitat didasarkan atas keberadaan
larva ikan masing-masing di stasiun yang telah dipisahkan similaritasnya
(Gambar 16 dan 17 Lampiran 8) dan juga berdasarkan kepadatan antar stasiun
(Gambar 14 dan 15). Secara umum sekitar 23 spesies tertangkap di daerah
muara dan di stasiun yang dekat dengan pelabuhan (stasiun 1, 2, 3, 8 dan 9).
Tujuh spesies selebihnya tertangkap di stasiun yang tersebar di tengah muara
(stasiun 4, 5, 6 dan 7).
41
4.5.1. Habitat Muara
4.5.1.1.
Komposisi Larva Ikan Habitat Muara
Family dan spesies yang banyak tertangkap di habitat muara adalah
Congridae, Siganus spp., Liza spp. kemudian Megalops cyprinoides, Mugil sp,
Gobidae, Xenodermicthys, Siganus spinus dan Ostracion. Spesies ini lebih
banyak didapatkan di stasiun muara, pada umumnya spesies ini sangat
tergantung keberadaannya pada fluktuasi salinitas atau input terhadap sistem di
daerah ini. Karakteristik lingkungan yang diduga berpengaruh terhadap populasi
larva adalah fisik dan kimia air arus dan kandungan organik. Arus memberikan
dampak langsung terhadap struktur sedimen, pasokan nutrien dan pasokan
oksigen.
4.5.1.2.
Kelimpahan Larva Muara
Hasil perhitungan kelimpahan larva ikan selama pengamatan didapatkan
tertinggi di habitat muara 12-14 ind/m3 dengan keseluruhan rata-rata setiap
bulannya lebih dari 13 ind/m3. Hasil perhitungan kelimpahan larva ikan terlihat
pada Tabel 4.
Tabel 4 Data hasil perhitungan kelimpahan larva ikan setiap bulan pengamatan
(ind/m3).
Kelimpahan (ind/m3) Muara Bulan Nov Des Jan Feb Mar Apr Rata‐rata Laut lepas Transisi st1 st2 st3 st4 st5 st6 st7 st8 st9 13 14 12 12 14 14 5 2 4 3 4 4 6 3 3 2 3 2 1 1 0 1 3 1 0 1 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 2 1 0 4 16 2 3 3 2 12 28 3 3 99 7 3.17 1.17 0.5 0.3 0.83 5 25.3 13.17 3.667 Kelimpahan spesies yang lebih tinggi di stasiun muara dipengaruhi oleh
faktor lingkungan antara lain faktor arus, salinitas dan nutrien. Stasiun ini memiliki
karakteristik salinitas yang tidak stabil dan selalu fluktuatif, dan nutrien yang
cukup melimpah.
42
4.5.1.3. Stadia Larva Ikan Muara
Hasil pengelompokan ukuran dan stadia larva ikan menunjukkan bahwa
di habitat muara pada semua bulan pengamatan didominasi oleh ukuran post
larva terutama dari spesies Congridae, Gobidae, Megalops cyprinoides, Mugil
Sp., Pomatomus saltarix, Siganus spinus, Xenodermicthys, Nemadactylus
macropterus (Semua bulan); Kuhlia marginata dan Siphamia cephalothes
(November); Terapon terapon, Serranidae (Januari – April), Liza sp (Desember,
Januari dan Maret) dan Ambassis marianus (Desember) Sedangkan stadia
juwana ditemukan Platycephalidae dan Leiognathus spp disemua bulan,
Ostracion (November, Februari dan Maret), Siganus javus (Desember, Maret dan
April). Stadia prolarva ditemukan Pocicthydae (November), Nemadactylus
macropterus (Desember, Januari dan April), Cygnoglassidae (Desember,
Februari-April), Siganus spinus dan Mugil sp. (Maret dan April). Dan satu-satunya
spesies yang ditemukan dalam stadia yolk sac di habitat muara adalah
Abudefduf sp. pada Bulan Februari (Lampiran 4).
Secara keseluruhan stadia post larva dan juwana menempati proporsi
terbesar untuk semua spesies di habitat muara secara spasial maupun temporal.
4.5.2. Habitat Transisi
4.5.2.1. Komposisi Larva Ikan Habitat Transisi
Bagian Habitat transisi memiliki karakteristik lingkungan yang paling
menyolok diantara 9 stasiun lainnya karena memiliki karakteristik lingkungan
yang paling fluktuatif, bahkan kisaran fluktuatifnya selalu melebihi habitat muara.
Secara umum spesies yang ditemukan pada habitat transisi sama dengan
spesies yang terdapat di habitat muara. Namun demikian memiliki kelimpahan
dan biomassa yang lebih rendah dari hasil sampling dibanding jumlah setiap
spesies yang ditemukan di habitat muara. Spesies yang ditemukan antara lain
Pomatomus saltarix; Congridae dan Mugil. Spesies kebanyakan berasal dari
jenis yang bersifat eurihaline dan biomassa terbesar dimiliki oleh Congridae yang
bersifat anadromous. Beberapa jenis larva ikan laut dan sejumlah telur ikan
didapatkan di stasiun Ini larva tersebut antara lain dari famili Carangidae,
Megalopidae dan Bregmacentrotidae.
Selain karena faktor fisik lingkungan, larva ikan juga mengadakan migrasi
untuk berbagai kebutuhan hidupnya, karena jika secara fisiologis tidak sesuai
untuk bermigrasi, maka larva tidak akan mudah ditemukan pada kondisi salinitas
43
yang berbeda. Perubahan salinitas tersebut akan mempengaruhi pengaturan
osmotik ikan dan menentukan daya apung dari telur-telur ikan pelagis. Menurut
McMulen dan Middaugh (1985) menyatakan bahwa beberapa spesies ikan dapat
hidup pada salinitas yang berbeda-beda, tetapi ada pula yang hanya dapat hidup
pada salinitas tertentu.
4.5.2.2. Kelimpahan Larva Ikan Transisi
Hasil perhitungan kelimpahan larva ikan selama pengamatan didapatkan
kisaran tertinggi pada Bulan Desember dengan kisaran tertinggi sekitar 14 ind/m3
dan Bulan Maret pada kisaran tertinggi mencapai 99 ind/m3. Kelimpahan ratarata tertinggi setiap bulan di peroleh pada habitat transisi lebih dari 15 ind/m3
(Tabel 3).
Perbedaan
habitat
juga
akan
mempengaruhi
jumlah
kelimpahan
spesiesnya karena setiap spesies berbeda freferensinya terhadap kebutuhan
lingkungan. Menurut Nagelkerken (1981) kedalaman bukan merupakan faktor
pembatas bagi distribusi vertikal ikan, tetapi habitat yang sesuai memegang
peranan yang penting bagi keberadaan suatu jenis. dikemukakan juga bahwa
pada daerah yang terbuka atau yang terlindung mendapat masukan jenis dan
jumlah larva ikan yang sama, tetapi karena adanya perbedaan tipe habitat maka
pada akhirnya jenis larva yang dapat bertahan menjadi berbeda.
4.5.2.3.
Stadia Larva Ikan Transisi
Secara keseluruhan, habitat transisi memiliki stadia larva yang bergam
dibadingkan kedua habitat lainnya. Stadia larva ikan yang didapatkan setiap
stasiun dari spesies yang sama (Lampiran 4)
Spesies dengan stadia juwana yang ditemukan di habitat transisi antara
lain Kuhlia marginata dengan jumlah yang terbesar ditemukan pada Bulan
November, dan beberapa ekor pada Bulan Maret dan April.
Spesies yang ditemukan stadia prolarvanya dihabitat transisi antara lain
dari famili Megalopidae pada Bulan November spesies ini didominasi oleh stadia
post larva di habitat muara dengan kisaran panjang antara 20 – 28 mm, beratnya
antara 0.17 g – 0.28 g. Gobidae, Megalops cyprinoides, Mugil Sp., Pomatomus
saltarix, Siganus spinus dan Xenodermicthys stadia post larvanya hampir
ditemukan di setiap bulan. Nemadactylus macropterus (November, Desember
dan Maret), Serranidae dan Lutjanus (November), dan Siganus canaliculatus
(November dan Desember); Terapon terapon, (November dan Maret), Liza sp
(Desember) dan Ambassis marianus (Desember, Januari dan Maret) .
44
Larva Congridae lebih banyak ditemukan stadia prolarvanya pada Bulan
Desember dan April dan beberapa ekor pada Bulan Februari dan Maret dengan
kisaran panjang 11 mm – 31 mm atau berat sekitar 1.15 – 1.52 g. sekalipun
stadia prolarva lebih banyak dijumpai pada Bulan April, awal pemijahan spesies
ini telah berlangsung sejak awal musim barat, sehingga stadia prolarvanya masih
ditemukan di habitat transisi yaitu stasiun yang berada di depan muara. Sudah
umum diketahui bahwa jenis spesies ini beruaya dari hilir sungai menuju laut
dalam untuk memijah, larva yang telah dipijahkan akan bermigrasi kembali ke
hilir melalui sungai dan muara sungai merupakan tempat transport adaptasi yang
paling baik untuk adaptasi fisiologis terutama terhadap perubahan salinitas, dari
tinggi menuju salinitas rendah. Sehingga larva sidat akan lebih banyak dijumpai
di daerah muara dan transisi.
Menurut
Grenberg
dan
Dahl
(1998)
Selain
berkorelasi
dengan
mikrohabitatnya, juwana beberapa spesies ikan juga memiliki hubungan yang
sangat kuat antara ukuran dan kedalaman. Juga diperkuat oleh pendapat
Nagelkerken dan Velde (2002) bahwa Ukuran dan struktur populasi ikan di
habitat yang dangkal menunjukkan besaran yang bersifat sementara dan banyak
variasi ruang. Beberapa faktor akan mempengaruhinya setelah presettlement
dan postsettlement. Masa presetlemen meliputi stadia larva dan tingkat masukan
larva, sedangkan post setlemen mengikuti tingkat perekrutan, migrasi awal
postsetlemen, persaingan intraspesifik, predasi dan kematian serta komplesitas
habitat. Pada tahap postsetlemen, utilisasi habitat sering dihubungkan oleh waktu
pencarian makanan, perlindungan dari pemangsaan ataupun untuk reproduksi.
Variasi dan komposisi ukuran dari setiap spesies larva yang diperoleh
sangat berbeda karena ini dimungkinkan oleh waktu terjadinya reproduksi dari
setiap spesies ikan berbeda. Stadia larva yang ditemukan pada setiap stasiun
setiap bulannya dapat dilihat dari ukuran dan perkembangan morfologisnya.
Ukuran dan perkembangan morfologis dari setiap spesies juga berbeda untuk
penentuan tingkatan stadia. (Lampiran 4).
Secara analogi dapat dijelaskan berdasarkan contoh yang dipaparkan
oleh Jungwirth, et al. (2000) yaitu tentang siklus hidup dari grayling (Thymallus
thymallus L.) yang merupakan spesies dominan yang berasal dari zona braidle
yang sangat jelas menunjukkan peranan penting secara longitudinal. Spesies ini
memiliki jarak daerah pemijahan sekitar 5-15 km. Pada ikan dewasa, migrasi
musim panas dan dingin dibedakan dengan adanya pergeseran habitat dan
45
juwana di bagian skala mikro- dan mesohabitat. Intinya, secara langsung di awal
hidup setelah kemunculan larva dari substrat, setelah mengapung secara pasif,
mereka akan berkumpul dalam microhabitat di daerah dangkalan sekitar 2 – 3
minggu kemudian juwana akan bermigrasi kehabitat yang lebih dalam mengikuti
arus kemudian kembali ke awal habitatnya lagi.
Dari segi karakteristik substrat, Teluk Palabuhan Ratu sifatnya pasir
berlumpur yang didominasi oleh lumpur liat, karakteristik substrat dasar ini
hampir sama di semua kedalaman (PRTK & Dep ITK 2004), sehingga pemijahan
spesies ikan apapun ke daerah demersal tidak akan dibatasi oleh perbedaan
karakteristik substrat secara mendasar.
4.5.3. Habitat Laut Lepas
4.5.3.1.
Komposisi Larva Ikan Habitat Laut Lepas
Di stasiun laut lepas yaitu spesies: Xenodermicthys, Siganus spinus,
Kuhlia
marginata,
Signoglassidae,
Ambassis
marianus;
Nemadactylus
macropterus, Leiognathus sp, Siganus linneatus. Secara umum dikeseluruhan
stasiun laut lepas lebih banyak didapatkan spesies Apogon sp., Pocicthidae,
Kyphosus sp, Bregmacerotidae, Aseraggodes sp, dan urolophus sp.
Selanjutnya spesies laut lepas yang bersifat stenohaline pada kisaran
salinitas tinggi adalah Megalops cyprinoides, Pomatomus saltarix, Nemadactylus,
Lutjanus, Microcanthus, Siphamia cephalotes, Bregmaceros dan Aserogedes sp,
Abudefduf sp, Apogon sp., Kyposus, Bregmaceros japonicus, Urolophus sp.
Xenodermicthys, Siganus spinus, Sphaeramia sp, Lutjanus, siganus javus,
Pocicthidae.
Spesies-spesies
tersebut
membutuhkan
kestabilan
salinitas
untuk
bertahan hidup, kaitannya dengan kemapuan osmoregulasinya. Adapun spesies
muara yang ditemukan di stasiun laut lepas ini dikarenakan habitat pemijahannya
memang di laut dalam dan beruaya ke sungai dengan bantuan arus juga
dikarenakan kemampuannya sebagai spesies yang bersifat eurihaline sehingga
jenis spesies ini juga banyak ditemukan di stasiun laut lepas.
4.5.3.2.
Kelimpahan Larva Ikan Laut Lepas
Kelimpahan terendah diperoleh pada habitat laut lepas. Rata-rata
kelimpahan stiap bulannya hanya sekitar 2 ind/m3. Kelimpahan paling besar di
habitat laut lepas didapatkan pada bagian stasiun yang masih dekat dengan
daratan dan semakin kecil kelimpahannya seiring bertambahnya jarak stasiun
dari darat. Karakteristik fisik permukaan pada stasiun ini hampir sama dengan
46
stasiun lainnya kecuali kandungan nutrien, terlepas dari itu, stasiun ini memiliki
kedalaman yang sangat besar yaitu antara 100 hingga > 400 meter. Secara
teoritis kedalaman dibawah 100 meter memiliki kecepatan arus yang sangat
lambat sehingga ichthyoplankton di daerah ini kemungkinan tidak hanyut jauh
dari wilayah mereka dipijahkan, sedangkan pada kedalaman di atas 50 meter
dari kolom air, arus semakin cepat sehingga ichthyoplankton akan mudah
terbawa oleh arus. (Hinckley et al. 1991, diacu dalam Olii, 2003).
4.5.3.3.
Stadia Larva Ikan Laut Lepas
Secara keseluruhan, stadia larva di laut lepas tidak terlalu bervariasi.
Umumnya stadia didominasi oleh prolarva selain itu stadia yolk sac paling
banyak ditemukan pada habitat ini. Stadia yolk sac yang jarang ditemukan di
kedua habitat (muara dan transisi) adalah berasal dari spesies Urolophus sp.
(Desember-Februari) dan Abudefduf sp.
Pada Bulan Maret. Beberapa spesies yang ditemukan di habitat muara
dan transisi masih ditemukan di habitat laut lepas dengan stadia postlarva ini
dimungkinkan oleh beberapa stasiun dalam pengelompokannya masih dekat
dengan daratan. Spesies yang umum ditemukan di muara dan transisi inilah
yang memperkaya tingkatan stadia yang ditemukan di habitat laut lepas, karena
spesies laut lepas yang bersifat stenohaline tinggi, yang ditemukan, umumnya
masih berada dalam fase prolarva dan beberapa diantaranya masih stadia yolk
sac (Lampiran 4).
4.6.
Struktur Komunitas dan Kepadatan Larva Ikan Temporal
Spesies yang banyak tertangkap pada Bulan November adalah Congridae,
Siganus spp., Liza spp. dan Gobidae. Spesies ini lebih banyak didapatkan di
stasiun muara, pada umumnya spesies ini sangat tergantung keberadaannya
pada fluktuasi salinitas atau input terhadap sistem di daerah ini.
Spesies yang paling banyak ditemukan pada Bulan Desember, Januari dan
Februari di muara terdiri atas Megalops cyprinoides, Congridae dan Gobidae,
Tingginya persentase kelimpahan yang didapatkan pada Bulan Desember,
Januari dan Februari dibandingkan Bulan Maret dan April, di stasiun muara,
disebabkan oleh faktor oseanografi yang terjadi saat itu seperti arus dan
gelombang, keadaan ini menyebabkan larva ikan lebih banyak berlindung di teluk
muara dibandingkan di laut lepas untuk menghindari arus dan gelombang atau
bahkan terbawa arus menuju ke muara (Gambar 19. Lampiran 5 ).
47
Pada Bulan Maret dan April spesies yang paling banyak ditemukan adalah
Mugil sp dan Congridae disusul oleh spesies Xenodermicthys pada Bulan April,
Siganus
spinus
dan
Ostracion.
Karakteristik
lingkungan
yang
diduga
berpengaruh terhadap populasi larva adalah fisik dan kimia air arus dan
kandungan organik. Arus memberikan dampak langsung terhadap struktur
sedimen, pasokan nutrien dan pasokan oksigen.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada Bulan November,
Desember, dan Januari diperoleh hasil kepadatan larva ikan yang masih
didominasi oleh Congridae (rata-rata 338 ind/m3), Gobidae (rata-rata 177 ind/m3)
dan Megalops cyprinoides (rata-rata 171 ind/m3) dan disusul oleh Mugil (rata-rata
338 ind/m3)
Kepadatan tertinggi untuk keempat spesies ini umumnya diperoleh pada
Bulan
November
dan
Desember,
hanya
ada
beberapa
spesies
yang
kepadatannya melebihi kepadatan spesies pada bulan tersebut yaitu spesies
Xenodermicthys dan Microcanthus spp. Pada Bulan Januari jumlah kepadatan
spesies spesies tersebut diatas umumnya mengalami penurunan jumlah
kepadatan kecuali spesies Aseraggodes yang justru mengalami peningkatan
kepadatan melebihi Bulan Desember.
Hasil pengamatan pada Bulan Februari hingga April disemua kelompok
habitat, menunjukkan bahwa kepadatan tertinggi spesies yang diperoleh,
umumnya didapatkan pada Bulan Maret, hampir semua spesies ditemukan pada
bulan ini keculai Abudefduf, Pseudocaranx, Apogon sp. dan Pocicthidae. Pada
Bulan Februari spesies yang mengalami peningkatan kepadatan melebihi Bulan
Desember dan Januari antara lain: Urolopidae, Bregmaceros, Apogon sp.,
Pocicthidae, Liza, Siganus linneatus, dan Tranchinothus, dari keseluruhan
spesies yang mengalami peningkatan kepadatan, spesies Siganus spinus adalah
spesies dengan kepadatan tertinggi melebihi Bulan Desember dan Januari
Spesies yang mengalami peningkatan secara signifikan pada Bulan Maret
adalah Kuhlia margianata (0.01759 ind/m3), peningkatan terlihat sangat besar
dibanding pada bulan-bulan lainnya, diperkirakan bahwa spesies ini mulai
memijah pada bulan Maret dan menuju ke daearah dangkalan karena terbawa
arus dan gelombang.
48
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Perbedaan karakter fisika kimia perairan di Teluk Palabuhan Ratu
berkorelasi erat terhadap kelimpahan dan distribusinya dan dibagi atas tiga
bagian yaitu: habitat muara, transisi dan laut lepas. Perbedaan karakter
lingkungan antar habitat memberikan pengaruh terhadap komposisi larva yang
tertangkap selama bulan pengamatan. Kelimpahan setiap spesies relatif lebih
besar dan jumlahnya berfluktuasi setiap bulan.
Pola distribusi larva ikan secara temporal untuk habitat muara, transisi
dan laut lepas di perairan Teluk Palabuhan Ratu tidak menunjukkan perbedaan
yang besar dalam perolehan jumlah spesies setiap bulannya, tetapi menunjukkan
perbedaan jumlah dalam induvidu (dalam satu spesies) yang berfluktuasi secara
temporal mengikuti musim. Secara spasial, larva ikan dominan lebih banyak
ditemukan di daerah muara dan transisi. Pola distribusinya dapat terlihat melalui
tingkatan stadia yang ditemukan mengikuti naluri pemijahan dan mencari
makanan, terlihat dari kelimpahan yang lebih tinggi di daerah dekat daratan yang
mempunyai zat hara yang relatif tinggi.
5.2.
Saran
Mengingat sampling pada penelitian ini terbatas pada daerah permukaan
saja dan dilakukan secara horizontal, maka disarankan agar dilakukan sampling
dikedalaman dengan metode penyisiran secara vertikal.
49
DAFTAR PUSTAKA
Able, K.W. 1978. Ichthyoplankton of the St Lawrence Estuary: composition,
distribution and abundance. Can. J. Fish. Aquat. Sci 35 : 1518 – 1531.
Barnes, R.S.K. dan R.N. Hughes.1988. An Introduction to Marine Ecology.
London: Blackwell Scientifik Publication.
Beckley, L.E. 1986. The Ichthoplankton Assemblage of the Algae Bay Nearshore
in Relation to Coastal zone Utilization by Juwana Fish. Journal of
Zoology South African 21 : 244 – 252
Bengen, D.G. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisa data Biofisik
Sumberdaya Pesisir. Bogor: PKSPL. IPB.
Bjorkman, K.M. dan D.M. Karl. 2003. Bioavailability of Disolved Organik
Phosphorus in the Eutropic zone at Station ALOHA, Nort fasific Sub
Tropical Gyre. Limnology and Oceanography 48 : 1049-1057.
Boehlert, G.W., D.M. Gadomski, dan B.C. Mundy. 1985. Vertikal Distribution of
Ichthyoplankton of the Oregon Coast in Spring and Summer Months. Fish
Bull. 83 . 4 : 611-621
Brodeur, R.D., D.M. Gadomski, W.G. Pearcy, H.P. Batchelder, dan C.B. Miller.
1985. Abundance and Distribution of Ichthyoplankton in the Upwelling
Zone off Oregon during Anomalous El Niño conditions. Est. Coast. Shelf
Science 21:365-378.
Brodeur, R. D. dan W.C. Rugen. 1994. Diel Vertical Distribution of
Ichthyoplankton in the Northern Gulf of Alaska. Fish. Bull. 92:223−235.
Brower, Z,E.,J. Zar dan C.Von Ende. 1990. General Ecology,Field and
Laboratory Methods. Iowa: Brown Company Publisher.
Davis, G,C. 1955. The Marine and Fres water Plankton. USA. Michigan State:
University Press.
Dovel, W.L. 1971. Fish Eggs and Larvae of the Upper Chesapeake Bay. Univ.
Md. Nat. Resour.
Dwiponggo, A. 1972. Perikanan dan Penelitian Pendahuluan Ketjepatan
Pertumbuhan Lemuru (Sardinella longiceps) di Muntjak, Selat Bali.
Djakarta: Lembaga penelitian Perikanan Laut.
Efendie, I.M. 1978. Biologi Perikanan (Studi Natural History). Bogor: Fakultas
Perikanan. IPB.
Effendie, H. 2000. Telaahan Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Bogor: MSP. FPIK. IPB.
Fortier, L. dan W.C. Leggett. 1983. Vertikal Migrations and Transport of Larval
Fish in a Partially Mixed Estuari. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 40:1543-1555.
50
Goldman C.R. dan Horne A.J. 1983. Limnology. Tokyo: Mc Graw– Hill Book
Company.
Grahame J. 1987. Plankton and Fisheries. London: Edward Arnold.
Grenberg. L.A. dan J. Dahl. 1998. Effect of Habitat Type on Growh and Diet of
Brown Trout, Salmo trutta L., In Stream Enclosures. Fisheries
Managemen and Ecology. 5: 331-348.
Gunarso, W. 1985. Tingkah laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metoda
dan Teknik Penangkapan. Bogor: PSP. FPIK. IPB.
Hayes, LM. dan Laevastu. 1982 . Fisheries Oceanography and Ecology.
England: Fishing New Books Ltd.
Hela, I. dan T. Laevastu. 1970. Fisheries Oceanography. New Ocean
Enveromental Service. England: Fishing New Books Ltd.
Hoar.W.S.,dan D.J. Randall. 1987. The Physiology of DevMegalopsing Fish
Volume XI Part A. Vivipari and Posthatching Juwanas. San Dies. Toronto:
Academis Press Inc.
Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1986. Pengantar Oseanografi. Jakarta:
Djambatan.
Jungwirth. M., S. Muhar dan S. Schmutz (eds), 2000. Assessing the Ecological
Integrity of Running Waters: fundamentals of fish ecological integrity and
their relation to the extended serial discontinuity concept Hydrobiologia
422/423: 85–97.
Kimmerer, J. H. Cowan, L. W. Miller, dan K. A. Rose. 2001. Analysis of an
Estuarine Striped Bass population: effects of environmental conditions
during early life history. Estuaries. 24:557–575.
Laevastu, T. dan Hayes, M.L. 1981. Fisheries Oceanography and Ecology. New
York: Fishering News Book Ltd.
Laprise, R., dan J. J. Dodson. 1989. Ontogenetic Changes in the Longitudinal
Distribution of Two Species of Larval fish in a Turbid well-mixed Estuary.
J. Fish biol. 35: 39–47.
Leis dan Carson-Ewart, 2000. Guide to identification to Order and Family and
Main characters of larvae of commercially important fish in the South East
Asia region. The larvae of Indo-Pacific coastal fishes: an identification
guide to marine fish larvae. Samut Prakan, Thailand: The Regional
Training Workshop on Larval Fish Identification and Fish Early Life History
Science Seaf. Seafdec/Td.
Levinton,J.S. 1982. Marine Ecology. New Jersey: Prentice Hall. Erg Lewoods
Cliffs.
51
Lignot, J.H., S. Spanings-Pierrot dan G. Charmantier. 2000. Osmoregulatory
Capacity as a Tool in Monitoring The Physiological Condition and The
Effect of Stressin crustaceans. Aquaculture. 191: 209-245.
LON-LIPI. 1975. Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta:
LON-LIPI.
Ludwig, J.A. dan J.F. Reynold. 1988. Statistical Ecology a Primar on Methods
and Computing. Singapore: John wiley and Sons.
Mantiri, R.O.S.E. 1995. Ichthyoplanktonologi. Manado: Pasca Sarjana. Unsrat.
Mackenthum,K.M. 1969. The Practice of Water pollution Biology. United States:
United states departemen of inferior, federal Water Pollution control
adimistration, Divition of Tecnical Support.
Metarase, A.C., A.W. Kedall, Jr., dan D.M. Vinter. 1989. Laboaratory Guide to
early life history stages of Northeas pacific Fishes. U.S: NOAA Technical
Report NMFS 80. Dept commerce.
Nagelkerken. 1981. Coral Reef Symposum. Distribution of the Grouper and
Snappers of the Nederland Antilles. Nederland. Proc. 4th Int. 2; 479-484
Nagelkerken,I. dan Velde G.van der. 2002. Do Non-estuarine Mangroves
Harbour Higher Densities of Juwana Fish than Adjacent Shallow-Water
and Coral Reef Habitats in Curaçao (Netherlands Antilles)? Marine
Ecology Progress Series . 245: 191–204.
Niera, F.J., A.G. Miskiewicz dan T. Trnski, 1998. Guide to identification to Order
and Family and Main Characters of Larvae of Commercially Important
Fish in the South East Asia region. Samut Prakan, Thailand: The Regional
Training Workshop on Larval Fish Identification and Fish Early Life History
Science Seaf. Seafdec/Td.
Nikolsky, G,V. 1963. The Ecology of Fishes. London: Academic Press.
Nontji, A. 2001. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. M Eidman,
Koesobiono, D.G. Bengen dan M. Hutomo, Penterjemah; Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Marine abiology. An
Ecological Approach.
Odum, E. P. 1993. Dasar- dasar ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Press.
Olii.
A.H., 2003. Kajian Faktor Fisik yang Mempengaruhi Distribusi
Ichthyoplankton (awal Daur hidup ikan). Pengantar Falsafah Sains
(pps702). Program pascasarjana/S3. IPB. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Pariwono,J.I, M.Eidman, S.Rahardjo, M.Purba, T.Partono, R.Widodo, U. Djuariah
dan J.H. Hutapea. 1988. Studi Up welling di Perairan Selatan Jawa.
Bogor: Fakultas Perikanan IPB.
52
Parson, T.R., M. Takahashi, dan B. Hargrave. 1984. Biological Oseanographic
Processes. Third Edition. Oxford: Pergamon Press.
Pescod, M.B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream Standard for
Tropical Countries. Bangkok: AIT.
Prescott GW. 1973. How to Know the Freshwater Algae. W. Lowa: Mc Brown Co.
Publ.
Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (PRTK)
dan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2004. Draft Final Report. Survei Hidrografi di Perairan Teluk Pelabuhan
Ratu (Dalam rangka penyusunan studi kelayakan pemanfaatan air lautdalam untuk peningkatan sektor perikanan dan non-perikanan). Jakarta:
Pusat Riset Teknologi Kelautan Badan Riset Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan (PRTK-DKP).
Reddy, M.P.M. 1993. Influence of the Various Oceanographic Parameters on the
Abundance of Fish Catch; Apllication of Satellite Remote Sensing for
Identifying and Forecasting Potential Fishing Zones in DevMegalopsing
Countries, Proceeding of International workshop on, India, 7-11 Dec
1993.
Rogers, H.M. 1940. Occurrence and Retention of Plankton within the Estuary. J.
Fish.Res. Board.can. 5 : 164 - 171
Romimuhtarto, K. 1991. Kualitas Air dalam Budidaya Laut. Bandar lampung:
Jakarta: Sea Farming Workshop Report.
Romimuhtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota laut. Jakarta: Djambatan.
Russel, F.S. 1976. The Eggs Planktonic Stage of British Marine Fishes. London:
Avad Press.
Sanusi, H.S. dan A.S. Atmodipoera, 1993. Karakteristik Kimia dan Kesuburan
Teluk Palabuhan Ratu (Tahap I-musim Barat ). Bogor: Fakultas Perikanan
IPB.
Sastrawijaya, T. 2000. Pencemaran lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sidjabat, M.M. 1978. Pengantar Oseanografi. Bogor: Institut Pertania Bogor.
Smith E.P dan S. Richardson . 1977. Standard Techniques For Pelagic Fish Egg
and Larva Surveys Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Roma: FAO.
Sugiarto, A dan Birowo. 1975. Atlas Oseanologi Perairan Indonesia dan
Sekitarnya. Buku No.1 Jakarta: LON-LIPI.
Sunarto. 2001. Pola Hubungan Intensitas Cahaya dan Nutrien dengan
Produktivitas Primer Fitoplankton di Teluk Hurun Lampung. Tesis. Bogor:
SPs IPB.
53
Sverdrup, H.V., M.W. Johson, dan R.H. Fleming. 1972. The Ocean. Their
Physich, Chemistry and General Biology. Englewood Clifts: Prectice Hall
Inc.
Wardoyo,S.T. H. 1987. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan
Perikanan. Bogor: Pusdi PSL IPB.
Welch EB. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge: University Press.
Wetzel, R. G. 1983. Limnology. (2nd Edition; Complete Revision). Philadelphia:
Saunders College Publishing.
Wrytki, K. 1961. Physical Oceanography of Southest Asian Waters. Naga
Report, Vol 2. La Jolla: The University Of California.
54
Lampiran 1. Tabel Data Sampling Parameter Fisika Kimia perairan Teluk Palabuhan Ratu 6 bulan pengamatan
Bulan November 2007
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
26
28
29
28
28
28
28
27
28
arus
(m/dtk)
0.04
0.11
0.04
0.09
0.01
0.15
0.13
0.04
0.03
T, glmbng
(m)
0.3
0.45
0.3
0.3
1.3
1
0.3
0.6
0.6
kekeruhan
(NTU)
78
1.4
1.3
1.1
0.7
1
1.2
12
30
DO
(ppm)
8.9431
3.252
2.0325
3.252
5.2846
3.6585
3.6585
4.065
3.252
fosfat
(mg/l)
0.0835
0.0785
0.0755
0.0885
0.0705
0.0655
0.0725
0.0785
0.0795
T, glmbng
(m)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
kekeruhan
(NTU)
40
1.3
0.6
1
0.8
0.7
0.8
9
23
DO
(ppm)
2.845
2.8455
2.439
2.439
2.439
2.845
2.439
3.252
3.252
fosfat
(mg/l)
0.060
0.074
0.015
0.027
0.023
0.027
0.022
0.030
0.013
nitrat
(mg/l)
0.049
0.022
0.015
0.006
0.004
0.005
0.002
0.004
-0.003
silika
(mg/l)
2.94
1.57
1.67
0.84
0.69
0.27
0.65
0.5
0.91
pH
7.85
8.03
8.14
8.21
8.13
8.19
8.18
8.2
8.18
slnts
(o/oo)
6
35
34
34
33
34
34
27
20
Kec tarik
(m/mnt)
90
73.3
71.6
76.6
78.3
5
31.6
65
71.6
Bulan Desember 2007
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
27
29
28
28
28.5
28
28
28
28
arus
(m/dtk)
0.03
0.11
0.13
0.15
0.13
0.15
0.13
0.04
0.03
nitrat
(mg/l)
0.025
0.074
0.01
0.002
0.003
0.009
0.026
0.005
0.005
silika
(mg/l)
7.84
2.8
1.29
2.01
0.01
tt
6.13
3.83
3.68
pH
7.63
8.1
8.11
8.2
8.17
8.2
8.18
8.23
8.14
slnts
(o/oo)
7
34
35
34
34
34
34
31
29
Kec tarik
(m/mnt)
90
81.6
85
61.6
65
65
71.6
8.3
31.6
60
Lampiran 1 (lanjutan)
Bulan Januari 2008
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
26
26.5
29
29
28
28
28.5
28.5
27
arus
(m/dtk)
0.02
0.11
0.15
0.13
0.13
0.13
0.15
0.05
0.04
T, glmbng
(m)
0.2
0.3
0.25
0.5
0.7
0.6
0.6
0.2
0.2
kekeruhan
(NTU)
60
1.1
0.8
0.6
0.6
0.5
0.6
13
28
DO
(ppm)
6.0976
4.878
5.2846
6.5041
5.2846
6.5041
6.5041
6.0976
6.0976
T, glmbng
(m)
0.4
0.4
0.3
0.3
0.3
0.4
0.4
0.3
0.3
kekeruhan
(NTU)
55
1.3
0.9
0.6
0.5
0.6
0.7
8.2
30
DO
(ppm)
3.6585
2.439
2.8455
2.439
3.252
2.439
2.0325
2.0325
3.252
fosfat
(mg/l)
nitrat
(mg/l)
silika
(mg/l)
0.059 0.047 tt 0.04 1.57
0.56
0.0095
0.0165
0.0365
0.0145
0.0175
0.0415
0.0465
0.068
tt
0.003
tt
0.097
0.038
0.099
0.56
0.02
tt
tt
tt
tt
tt
fosfat
(mg/l)
nitrat
(mg/l)
0.052
0.028
tt
0.001
0.014
0.007
0.021
0.058
tt
silika
(mg/l)
4.92
1.73
1.52
0.88
0.65
0.65
0.76
0.65
0.99
pH
7.8
8.19
8.18
8.13
8.19
8.18
8.2
8.03
8.14
slnts
(o/oo)
5
34
35
35
34
34
35
29
28
Kec tarik
(m/mnt)
71.6
56.6
58.3
65
63.3
58.3
58.3
68.3
71.6
slnts
(o/oo)
6
35
35
35
35
35
35
30
26
Kec tarik
(m/mnt)
71.6
58.3
68.3
81.6
85
61.6
63.3
68.3
58.3
Bulan Februari 2008
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
26
27
28.5
29
29
29
28.5
27
27
arus
(m/dtk)
0.02
0.12
0.16
0.15
0.13
0.15
0.13
0.06
0.03
0.047 0.044 0.038 0.033 0.012 0.032 0.014 0.043 0.045 pH
7.91
8.1
8.11
8.21
8.17
8.2
8.18
8.17
8.12
61
Lampiran 1 (lanjutan)
Bulan Maret 2008
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
27
27.5
28
29
29
29
29
28
27
arus
(m/dtk)
0.03
0.12
0.09
0.07
0.2
0.16
0.15
0.06
0.04
T, glmbng
(m)
0.2
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.4
0.4
kekeruhan
(NTU)
68
1.1
0.8
0.6
0.6
0.5
0.6
0.9
28
DO
(ppm)
2.439
2.439
2.8455
2.439
2.8455
2.8455
2.439
2.8455
3.252
fosfat
(mg/l)
0.0595
0.0405
0.0015
0.0635
0.0365
0.3315
0.0665
0.0745
0.0705
nitrat
(mg/l)
tt
0.045
0.064
tt
0.034
tt
0.083
0.024
0.087
silika
(mg/l)
2.44
0.09
0.33
0.8
0.7
0.12
0.71
0.46
0.91
T, glmbng
(m)
0.2
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
0.3
kekeruhan
(NTU)
74
1.4
1.1
0.6
0.7
0.6
1.3
10
26
DO
(ppm)
2.8455
2.8455
2.8455
2.439
2.439
2.439
2.439
2.439
2.439
fosfat
(mg/l)
0.0345
0.0545
tt
0.0055
0.0085
0.0125
0.0025
0.0045
tt
nitrat
(mg/l)
0.015
0.063
0.069
0.001
0.04
0.009
0.085
0.031
0.098
silika
(mg/l)
4.09
1.15
1.44
0.82
0.43
0.29
0.39
0.28
tt
pH
7.81
8.1
8.11
8.25
8.18
8.16
8.18
8.19
8.15
slnts
(o/oo)
5
34
34
35
35
35
35
28
25
Kec tarik
(m/mnt)
71.6
76.6
78.3
5
61.6
63.3
68.3
58.3
5
slnts
(o/oo)
7
34
34
35
35
35
35
31
29
Kec tarik
(m/mnt)
90
68.3
71.6
10
68.3
5
38.3
61.6
58.3
Bulan April 2008
stasiun
1
2
3
4
5
6
7
8
9
suhu
(oC)
26
27
27
29
28
29
29
28
26
arus
(m/dtk)
0.05
0.11
0.04
0.09
0.16
0.2
0.13
0.03
0.04
pH
7.83
8.06
8.19
8.21
8.13
8.17
8.13
8.19
8.18
62
Lampiran 2. Tabel Komposisi dan Frekuensi Kehadiran Larva Ikan Setiap Stasiun Pengambilan Sampel di Teluk Palabuhan Ratu
No Trip stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Family/Spesies Megalops cyprinoides
Pomatomus saltarix
Congridae
Gobiidae
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
siganus spinus
Leiognathus sp.
Siganus linneatus
Kuhlia marginata
Sphaeramia sp.
NipHon sp.inosus
Lutjanus
Microcanthus
ostraciidae/ ostracion
Siphamia cephalotes
Platycephalus sp
mugil
Signoglassidae
siganus javus
ambassis marianus
Liza sp.
Siganus linneatus
Abudefduf sp sp.
Pseudocaranx sp.
Apogon sp.
Pocicthidae
Kyphosus sp.
Bregmaceros japonicus
30 31 Aseraggodes sp.
Urolopidae/Urolophus sp.
Jumlah
November 1
2
3
13
11
29
15
3
7
3
3
2
1
4
5
6
7
8
9
jml
1
2
3
9
9
3
11
10
8
4
2
1
2
3
1
29
18
49
30
11
17
13
7
2
8
3
4
8
3
7
6
7
12
6
0
3
0
0
1
0
1
3
2
2
11
4
19
11
6
2
4
2
5
4
8
3
4
5
5
4
5
Desember 2
3
1
2
4
1
3
2
2
2
5
3
2
2
7
3
1
1
1
2
1
2
1
99 28 32 1
1
1
2 2
4
2
0 1 21 71 6
7
3
3
8
1
2
2
2
1
1
1
2
1
1
2
9
jml
1
2
3
9
8
14
5
4
2
3
1
1
20
15
37
16
15
8
9
5
3
5
7
4
7
12
9
6
5
14
9
3
5
2
1
0
0
0
0
3
3
8
3
17
11
6
2
4
1
1
3
1
1
2
2
1
4
1
3
2
6
4
2
1
1
1
3
2
1
1
2
0
0 5
3
4
4
3
1
3
8
6
3
5
8
2
1
2
1
3
Januari 1
1
1
1
1
102 13 17 5 2 2 0 11 73 5
6
7
8
9
jml
6
2
1
7
14
7
30
11
11
5
6
4
1
0
2
1
2
5
6
3
4
8
0
0
3
1
0
0
0
0
0
1
2
3
2
1
1
2
1
2
5
2
4
5
2
3
1
1
3
1
1
2
1
1
1
1
1
1
2
1
1
2
4
1
74 19 2
1
11 1
1
5
2
1
0 1 3 1 9 16 63
Lampiran 2 (lanjutan)
No Trip Februari Maret April stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jml 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jml 1 2 3 4 5 6 7 8 9 jml 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Family/Spesies Megalops cyprinoides
Pomatomus saltarix
Congridae
Gobiidae
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
siganus spinus
Leiognathus sp.
Siganus linneatus
Kuhlia marginata
Sphaeramia sp.
NipHon sp.inosus
Lutjanus
Microcanthus
ostraciidae/ ostracion
Siphamia cephalotes
Platycephalus sp
mugil
Signoglassidae
Siganus javus
ambassis marianus
Liza sp.
Siganus linneatus
Abudefduf sp sp.
Pseudocaranx sp.
Apogon sp.
Pocicthidae
Kyphosus sp.
Bregmaceros japonicus
Aseraggodes sp.
Urolopidae/Urolophus sp.
5 3 13 9 4 1 7 1 1 2 2 1 3 7 4 2 3 2 1 4 5 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 6 4 1 1 2 0 9 10 4 28 9 4 1 11 1 1 0 2 0 7 0 0 1 3 11 5 1 4 3 2 1 0 1 2 3 5 4 3 5 2 19 13 1 2 4 1 2 1 1 1 4 2 6 1 5 7 2 1 2 3 2 2 2 2 1 3 3 2 1 2 1 1 1 2 1 2 1 2 2 1 2 1 1 1 6 1 4 4 1 6 3 2 1 4 7 2 1 6 1 1 2 1 12 5 31 16 4 5 8 4 2 9 3 2 7 5 6 4 5 17 2 1 3 4 2 3 1 2 1 2 3 4 4 8 3 13 18 6 3 8 3 2 4 2 3 6 5 5 3 4 5 1 1 2 3 2 3 2 2 3 2 3 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 3 1 2 1 1 8 3 2 1 1 1 1 11 2 1 15 9 22 21 11 5 11 4 3 5 5 3 8 5 5 6 4 18 4 4 2 0 0 0 0 0 1 2 1 2 1 jml 100 58 197 103 56 41 58 25 12 27 22 14 39 30 33 26 28 80 26 9 20 10 5 5 1 4 7 13 16 18 11 Jumlah
71 11 8 2 2 0 7 15 11 85 21 15 1 0 0 1 12 42 105 23 7 1 0 0 0 8 33 1094 64
Lampiran 3 Tabel distribusi komposisi dan stadia larva berdasarkan kelompok habitat
STADIA DAN HABITAT LARVA
NOVEMBER
TRANSISI
MUARA
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Ket:
Family/Spesies
Congridae
Gobiidae
Megalops cyprinoides
Mugil sp..
Pomatomus saltarix
Siganus spinus
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
Lutjanus spp.
Ostracion spp.
Microcanthus spp.
Platycephalus sp
Kuhlia marginata
Siphamia cephalotes
Cygnoglassidae
Leiognathus spp.
Terapon terapon
Ambassis marianus
Aseraggodes spp.
Bregmaceros japonicus
Serranidae
Kyphosus sp.
Siganus canaliculatus
Urolophus spp.
Liza sp.
Siganus javus
Pocicthydae
Siganus linneatus
Abudefduf sp.
Apogon sp.
Pseudocaranx sp.
YSL= yolk sac larvae
PRL= prelarva
PSL= postlarva
JWN= Juwana
YSL
PRL
PSL
4
25
15
13
JWN
YSL
PRL
3
3
11
3
3
7
5
PSL
20
8
8
9
6
2
8
4
2
2
5
LAUT LEPAS
JWN
YSL
PRL
2
MUARA
YSL
PRL
4
6
PSL
2
YSL
PRL
PSL
8
10
5
9
6
11
3
4
3
1
2
3
JWN
4
2
3
2
2
PSL
2
5
1
4
4
5
4
3
1
1
1
2
1
1
2
2
1
PRL
3
2
3
YSL
5
1
4
2
LAUT LEPAS
JWN
3
3
6
4
3
JWN
39
11
11
8
4
4
6
1
8
3
6
JWN
5
5
2
9
4
4
PSL
DESEMBER
TRANSISI
2
1
2
1
3
1
3
2
2
1
2
1
1
1
1
1
2
3
1
1
1
65
Lampiran 3 (Lanjutan)
STADIA DAN HABITAT LARVA
JANUARI
TRANSISI
MUARA
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Ket:
Family/Spesies
Congridae
Gobiidae
Megalops cyprinoides
Mugil sp.
Pomatomus saltarix
Siganus spinus
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
Lutjanus spp.
Ostracion spp.
Microcanthus spp.
Platycephalidae
Kuhlia marginata
Siphamia cephalotes
Cygnoglassidae
Leiognathus spp.
Terapon terapon
Ambassis marianus
Aseraggodes spp.
Bregmaceros japonicus
Serranidae
Kyphosus sp.
Siganus canaliculatus
Urolophus spp.
Liza sp.
Siganus javus
Pocicthydae
Siganus linneatus
Abudefduf sp.
Apogon sp.
Pseudocaranx sp.
YSL= yolk sac larvae
PRL= prelarva
PSL= postlarva
JWN= Juwana
YSL
PRL
1
LAUT LEPAS
JWN
YSL
PRL
PSL
JWN
YSL
PRL
PSL
JWN
YSL
PRL
PSL
JWN
YSL
PRL
PSL
JWN
YSL
PRL
PSL
17
11
7
5
3
4
6
3 1 13 2 1 1 3 3 2 3 3 4 3 1 2 2 1 1 2 4 13 9 8 2 3 7 4 1 2 1 2 2 1 3 4 1 3 2 2 1 13 3 4 1 1 3 3 4 4 5 3 2 7 4 5 1 5
2
MUARA
PSL
2
LAUT LEPAS
FEBRUARI
TRANSISI
2
1
2
1
2 5 2 1 1 1 1 1 2 JWN
1 66
Lampiran 3 (Lanjutan)
STADIA DAN HABITAT LARVA
MARET
TRANSISI
MUARA
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Ket:
Family/Spesies
Congridae
Gobiidae
Megalops cyprinoides
Mugil sp..
Pomatomus saltarix
Siganus spinus
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
Lutjanus spp.
Ostracion spp.
Microcanthus spp.
Platycephalidae
Kuhlia marginata
Siphamia cephalotes
Cygnoglassidae
Leiognathus spp.
Terapon terapon
Ambassis marianus
Aseraggodes spp.
Bregmaceros japonicus
Serranidae
Kyphosus sp.
Siganus canaliculatus
Urolophus spp.
Liza sp.
Siganus javus
Pocicthydae
Siganus linneatus
Abudefduf sp.
Apogon sp.
Pseudocaranx sp.
YSL
PRL
PSL
2
17
13
5
3
5
4
1
2
3
1
2
1
JWN
YSL
PRL
PSL
2
12
3
5
8
2
LAUT LEPAS
JWN
YSL
PRL
PSL
JWN
YSL
PRL
PSL
7
6
17
8
4
3
7
6
2
1
4
1
3
1
4
4
1
5
1
2
3
2
6
1
JWN
1
2
1
4
1
3
7
4
1
2
3
6
JWN
YSL
1
3
2
1
3
2
1
2
1
3
1
2
2
3
2
2
2
2
1
4
1
2
1
JWN
2
2
3
3
1
PSL
4
3
3
1
PRL
2
5
2
4
4
1
1
1
PSL
5
2
3
3
1
PRL
6
2
1
1
YSL
LAUT LEPAS
3
1
1
APRIL
TRANSISI
MUARA
1
1
1
1
1
2
1
3
1
2
2
1
YSL= yolk sac larvae
PRL= prelarva
PSL= postlarva
JWN= Juwana
67
Lampiran 4. Tabel Hasil Perhitungan Pola Pemencaran Populasi Morisita (Iδ)
Pemencaran Populasi berdasarkan Morisita (Iδ)
No
sp.esimen
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Congridae
Gobiidae
Megalops cyprinoides
Mugil sp..
Pomatomus saltarix
Siganus spinus
Xenodermicthys
Nemadactylus macropterus
Lutjanus spp.
Ostracion spp.
Microcanthus spp.
Platycephalidae
Kuhlia marginata
Siphamia cephalotes
Cygnoglassidae
Leiognathus spp.
Terapon terapon
Ambassis marianus
Aseraggodes spp.
Bregmaceros japonicus
Serranidae
Kyphosus sp.
Siganus canaliculatus
Urolophus spp.
Liza sp.
Siganus javus
Pocicthydae
Siganus linneatus
Abudefduf sp.
Apogon sp.
Pseudocaranx sp.
Nov
Dec
Jan
0.3007
0.0905
0.0822
-0.0154
0.0098
-0.0119
-0.0186
0.0049
-0.0266
-0.0287
-0.0343
-0.0287
-0.0266
-0.0305
-0.0305
-0.0287
-0.0343
-0.0343
-0.035
-0.035
-0.0333
-0.035
-0.035
-0.0356
-0.0356
-0.0356
-0.0343
-0.0356
-0.0354
-0.0354
-0.0356
0.2043
0.0055
0.0313
-0.005
0
-0.026
0
-0.029
-0.031
-0.026
-0.014
-0.036
-0.036
-0.034
-0.026
-0.036
-0.031
-0.036
-0.04
-0.039
-0.037
-0.039
-0.039
-0.04
-0.039
-0.039
-0.04
-0.04
-0.04
-0.04
-0.04
0.387
-0.007
0.031
-0.035
-0.043
-0.049
-0.007
-0.055
-0.066
-0.049
-0.055
-0.06
-0.068
-0.063
-0.068
-0.06
-0.066
-0.063
-0.055
-0.066
-0.067
-0.067
-0.067
-0.066
-0.067
-0.068
-0.068
-0.068
-0.068
-0.068
-0.068
Bulan
x
n
N
x2
Σx2
November
254
9
2286
64516
580644
Desember
225
9
2025
50625
455625
Januari
134
9
1206
17956
161604
Februari
127
9
1134
15876
142884
Maret
177
9
1593
31329
281961
April
177
9
1593
31329
281961
Jumlah
1094
54
9837
Feb
0.3695
-0.0259
-0.0152
-0.0034
-0.0624
-0.0034
-0.0624
-0.0709
-0.0439
-0.0714
-0.0714
-0.0664
-0.0714
-0.0709
-0.0574
-0.0709
-0.0692
-0.0624
-0.0624
-0.0574
-0.0714
-0.0664
-0.0709
-0.0664
-0.0664
-0.0709
-0.0692
-0.0692
-0.0709
-0.0709
-0.0714
Mar
Apr
0.2265
0.0228
-0.01
0.0324
-0.044
-0.033
-0.047
-0.044
-0.037
-0.041
-0.044
-0.044
-0.028
-0.047
-0.05
-0.047
-0.049
-0.049
-0.047
-0.049
-0.05
-0.05
-0.05
-0.047
-0.047
-0.051
-0.051
-0.05
-0.049
-0.05
-0.051
0.0887
0.0763
0.0139
0.0425
-0.028
-0.016
-0.016
-0.044
-0.033
-0.044
-0.044
-0.047
-0.044
-0.041
-0.047
-0.047
-0.044
-0.05
-0.05
-0.051
-0.049
-0.05
-0.049
-0.051
-0.051
-0.047
-0.051
-0.051
-0.051
-0.051
-0.051
Iδ
1894842
96756732
1,05751
1904679
Iδ = n∑xi2-N/N(N-1) adalah : 1 (bersifat acak)
102852666
Uji chi Kuadrat
10455,694
618,69442
dengan derajat bebas n-1
68
Lampiran 5. Tabel Koordinat dan kedalaman stasiun pengambilan sampel
di Teluk Palabuhan Ratu
Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 posisi stasiun S ‐07' 01' 24.1" E 106' 56' 41.3" S ‐06' 99' 73.2" E 106' 49' 72.4" S ‐06' 98' 34.4" E 106' 46' 37.2" S ‐07' 00' 47.2" E 106' 42' 85.1" S ‐07' 03' 18.0" E 106' 41' 98.3" S ‐07' 03' 89.3" E 106' 46' 33.5" S ‐07' 07' 13.4" E 106' 46' 81.1" S ‐07' 03' 25.3" E 106' 52' 61.5" S ‐07' 02' 73.5" E 106' 53' 96.7" kedalaman (m) < 3 25‐30 80‐100 80‐100 > 450 > 400 > 400 40‐50 08‐10 69
Lampiran 6. Hasil Analisis Klaster Observasi Parameter fisika-kimia
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan
November
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
99.4366
98.9999
98.4199
97.8112
97.5587
78.9326
76.4399
35.7711
Distance
level
0.4630
0.8219
1.2984
1.7986
2.0061
17.3121
19.3604
52.7798
Clusters
joined
4
7
4
6
2
4
2
3
2
5
2
8
2
9
1
2
New
cluster
4
4
2
2
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
3
4
5
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
6160.18
Average
distance
from
centroid
19.7508
Maximum
distance
from
centroid
68.0026
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan
Desember
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
98.6610
97.3380
97.1701
96.5351
92.7492
82.7873
71.0134
42.3329
Distance
level
0.6533
1.2988
1.3808
1.6906
3.5378
8.3984
14.1432
28.1370
Clusters
joined
5
6
3
4
2
3
2
5
2
7
2
8
2
9
1
2
New
cluster
5
3
2
2
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
2
3
5
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
2247.88
Average
distance
from
centroid
12.1173
Maximum
distance
from
centroid
39.3798
70
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan Januari
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
99.2018
98.3069
98.1571
97.9398
97.3099
80.2888
77.3263
40.7877
Distance
level
0.5319
1.1282
1.2280
1.3728
1.7925
13.1344
15.1085
39.4557
Clusters
joined
4
7
4
6
4
5
3
4
2
3
2
8
2
9
1
2
New
cluster
4
4
4
3
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
3
4
5
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
4094.86
Average
distance
from
centroid
16.0594
Maximum
distance
from
centroid
54.3934
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan Februari
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
99.5933
98.9303
98.6663
98.4455
97.3815
86.1187
64.1682
47.9084
Distance
level
0.2520
0.6627
0.8263
0.9631
1.6224
8.6004
22.2003
32.2744
Clusters
joined
4
6
4
7
4
5
3
4
2
3
2
8
2
9
1
2
New
cluster
4
4
4
3
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
3
4
5
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
3703.16
Average
distance
from
centroid
15.6162
Maximum
distance
from
centroid
50.5097
71
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan Maret
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
99.7831
99.4411
99.1011
98.9840
97.9943
91.8785
63.0871
39.4627
Distance
level
0.1603
0.4132
0.6646
0.7512
1.4829
6.0044
27.2906
44.7567
Clusters
joined
4
7
4
5
4
6
2
3
2
4
2
8
2
9
1
2
New
cluster
4
4
4
2
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
3
4
2
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
5071.42
Average
distance
from
centroid
17.8044
Maximum
distance
from
centroid
61.8862
Cluster Analysis of Observations: Parameter fisika-kimia Bulan April
Euclidean Distance, Single Linkage
Amalgamation Steps
Step
1
2
3
4
5
6
7
8
Number
of
clusters
8
7
6
5
4
3
2
1
Similarity
level
99.4272
99.3072
99.0913
98.7074
97.7352
88.2937
79.3524
32.7061
Distance
level
0.4509
0.5453
0.7153
1.0174
1.7826
9.2141
16.2518
52.9674
Clusters
joined
2
3
4
6
4
7
4
5
2
4
2
8
2
9
1
2
New
cluster
2
4
4
4
2
2
2
1
Number
of obs.
in new
cluster
2
2
3
4
6
7
8
9
Final Partition
Number of clusters: 1
Cluster1
Number of
observations
9
Within
cluster
sum of
squares
5456.05
Average
distance
from
centroid
17.5470
Maximum
distance
from
centroid
65.6211
72
Lampiran 7 Gambar dan Deskripsi Morfologi Larva yang tertangkap di Stasiun
peneitian
Spesies
Stadia
Kepala
badan
badan
sirip dorsal
: Megalops cyprinoides
: post larva
Sirip anal
sirip ekor
Deskripsi
: Badan pipih (depressed) dengan bagian depan semakin mengecil, di
ujung truncate (kepala) menjadi gepeng (kompessed). Bagian tengan sepanjang
badan kebelakang mengalami pelebaran hingga batas sirip perut di ujung badan
(sirip prut terletak sekitar ¼ panjang tubuh dibagian belakang, sehingga bagian
belakang tubuh lebih lebar di banding bagian tengah. Setelah sirip perut mengalami
pengecilan hingga sirip ekor . Warna tubuh bening hamper transp.aran dengan
miomer yang sangat jelas.
Literature
: Terdiri atas 72-82 myomeres, Leptosp..-like dengan sirip ekor tipe
forked, kepala hampir berbentuk persegi tiga (triangular head), dengan tubuh yang
pipih Stadia Flexion terjadi kurang lebih pada saat berukuran 0-15 mm standard
length. Period pertumbuhan larval diiringi oleh badan yang menyusut dan menebal
setelah bermetamorpHosis, dan kemudian tumbuh hingga beresumption menjadi
Juwana. Jumlah dorsal dan anal biasanya lengkap sekitar 25 mm (setelah
metamorpHosis). Ukuran maksimum setelah bermetamorpHosis sekitar 43 mm.
Pigmentasi: pada bagian punggung, pada pertengahan sisi badan, dan di pangkal
sirip dubur; dan pigmentasi pada gelembung renang di bagian dorsal setelah
bermetamorpHosis. (Fahay, 1983. Guide to the early stages of marine fishes
occurring in the Western North Atlantic Ocean, Cape Hatteras to the Southern
Scotian Shelf.)
Family
Stadia
post larva/ kepala
badan
badan
: Pomatomus saltarix
: Juwana
badan+ btng ekor btng +sirip ekor
sirip ekor
73
Deskripsi : Badan oval dengan bagian kepala dan ekor yang hampir simetris. Letak
mulut terminal. Bagian tengah badan lebih tebal dan semakin berkurang
ketebalannya menuju dibagian kepala dan ekor. warna tubuh bening dengan
pigmentasi yang berwarna perak sepanjang linea lateralis hingga pangkal ekor,
pigmentasi biru keperakan juga telah nampak di bagian dorsal dan ventral di
sepanjang pangkal sirip punggung sirip perut dan sirip anal. Pada Stadia post larva
pigmentasi nampak jelas dibagian perut dibawah sirip dada.
Spesies
: Congridae
Stadia
: post larva
Deskripsi
: Tubuh bulat memanjang lebarnya lebih dari 25 kali panjang
tubuhnya, dengan sirip punggung dan sirip dubur sepanjang hampir seperdua bagian
tubuh kebelakng hingga bersambung dengan sirip ekor. terdapat sirip dada yang
kecil terletak tidak lebih dari 1/8 bagian tubuhnya dibagian ujung depan setelah
kepala. Letak mulut terminal dengan ujung kepala agak meruncing dan bagian
belakang tubuh hingga ujung sirip ekor berbentuk depressed. Pada Stadia ini sangat
jelas terlihat bagian anatomi lambung dan ususnya dibagian perut karena warna
tubuh masih sangat bening dan transp.aran.
Literature
: Terdiri atas 102-111myomeres, usus lurus dan panjang (sekitar 7075% TL), memendek saat metamorpHosis. Sirip dada dibagian akhir; tidak terdapat
sirip anus. Ukuran maximum sebelum bermetamorpHosis mencapai 70 mm. rahang
yang rendah terlihat menonjol pada saat dewasa dan pada saat larva yang bening.
Tidak berpigmentasi kecuali dibagian mata, hingga Stadia bening tubuhnya selesai.
(Fahay, 1983. Guide to the early stages of marine fishes occurring in the Western
North Atlantic Ocean, Cape Hatteras to the Southern Scotian Shelf.)
Kepala
dorsal + sirip dada
badan
sirip ekor
Ventral + sirip anal
Spesies
: Gobiidae
Stadia
: Prolarva
Deskripsi
: Tubuh bulat memanjang berbentuk terpedo, panjang tubuh hingga 67 kali tinggi badannya. Mulut terminal dengan mata yang menonjol dan agak melebar
memenuhi hampir bagian sisi kepala yang agak bulat, sirip dada kecil terletak di ¼
bagian depan tubuhnya. Sirip ekor tipe lunate dengan posisi tegak/depressed.
Warna tubuh bening pucat tanpa pigmentasi kecuali di bagian pangkal ekor. Tidak
memiliki sirip punggung dan sirip perut berbentuk lingkaran terletak tepat di 1/2
tubuhnya di bagian ventral.
74
Spesies
Stadia
: Xenodermicthys
: Postlarva
Deskripsi
:
Tubuh
bulat
memanjang berbentuk cerutu dengan bagian depan kepala meruncing, letak mulut
terminal. Sirip ekor truncate seluruh permukaan tubuh berwarna perak dengan bintik
pigmentasi yang tersebar merata diseluruh bagian tubuh dan tampak lebih jelas di
bagian dorsal memiliki sirip punggung hampir di bagian belakan dorsalnya, perut dan
sirip anal, sirip dada terletak dibelakang tutup insang.
Menurut Literature: Kepala Kecil (sekitar 20% standar length) besar hingga 40%
standard length. PHotopHore bagian atas berbentuk cembung atau arcuate jika ada,
tidak terdapat stalked tetapi dibatasi oleh sirip dada kurang dari 10. sirip anal dekat
dengan anal masing msing 25 – 33 ; anus tertutup oleh sirip anal sirip punggung dan
sirip anal 25 hingga 33 helai ; hanya 1 supramaxilla; pHotopHore berkembang
dengan baik, rahang atas (jarang, hampir diserap pada bgian anterior)
Spesies
Stadia
: Nemadactylus macropterus
: Post larva
Deskripsi
: tubuh berbentuk oval yang agak simetris, bagian tengah tubuh tebal
dan berkurang dibangian sirip dorsal dan ventral. Letak mulut terminal dengan mata
yang masih melebar. Warna tubuh bening coklat keperakan. Warna perak lebih
dominant terlihat dibagian perut. Sirip punggung terletak sebaris dari akhir bagian
kepala sampai ke pangkal sirip ekor. dibagian ventral setelah sirip anal terdapat juga
barisan sirip halus yang memanjang hingga pangkal sirip ekor. Garis lateralis
dimulai dari bagian atas tutup ingsang menurun di tengah dan berakhir tepat
ditengah pangkal sirip ekor ditandai dengan warna tubuh yang lebih gelap
mengikutinya.
Spesies
Stadia
Juwana/ kepala
badan
sirip dorsal
:
:
ekor
Siganus spinus
post larva
sirip ekor
Deskripsi
: Bentuk tubuh oval memanjang simetris dengan pigmen merata
keseluruh tubuh, pola pigmen yang membedakan dengan Spesies ordo siganus
lainnya telah nampak pigmen berwarna hitam. Warna pola pigmen berwarna hitam
75
dengan dasar otot berwarna putih pucat. Bagian pigmen yang terkumpul terdapat
pada pangkal sirip dorsal dan ventral. Mulut terminal, Ekor emarginate
terdapat
sebaris sirip dorsal mulai dari akhir cagak hingga pangkal sirip ekor. sedangkan sirip
ventral mulai dari anal hingga pangkal sirip ekor, pada Stadia post larva semua sirip
masih berupa lembaran berselaput halus setelah masuk Stadia Juwana akan
mengalami pengerasan dan tulang sirip akan kaku dan berduri tajam.
Literature
: Stadia Post larva bersifat pelagis berenang secara berkelompok
biasanya berasal dari daerah terumbu, ukuran pase post larva sekitar 45 mm. Pada
awalnya larva memanjang, tetapi lebih moderat sebelum berubah ke flexion.
mempunyai 22-2.4 myomeres ( 6-10+ 12-18). kantung kuning telur kecil diserap
pada saat berukuran sekitar 3 mm. tidak lama setelah menetas usus melebar ke
pertengahan badan dan sering nampak. Suatu ga bledder sering tidak nampak yang
terletak diatas usus pada saat memasuku Stadia preflexion larvae tetapi bergerak ke
ventral setelah flexion. Kepala pada mulanya berukuran kecil dan bulat, mulut
tumpul; pada Stadia flexion, kepala menjadi moderat dan membesar dan mulut
memanjang terminal, tetapi setelah selesai menjadi lebih pendek. Selama Stadia
flexion, tulang belakang yang kecil atau dorsal terbentuk di atas supraocula. Pigmen
bervariasi menurut Stadia perkembangan, tetapi secara umum, larvae mempunyai
pigmen di permukaan dorsal dari usus dan sepanjang linea yang hingga sirip perut
ke ekor. Banyaknya Melanophores yang terbentuk akan berkurang seiring dengan
perkembangannya menjadi flexion. Larva yang lebih besar mengembangkan pigmen
di atas kepala bagian atas dan bawah, sepanjang caudal-fin mulai dari lateralis ke
bagian ekor, di atas selaput sirip sp.inous hingga perut dan ventral. Sebelum tahap
penyelesaian, pigmen badan lebih berkembang, dan Stadia pelagis paling akhir
berwarna keperakan (Fahay, 1983. Guide to the early stages of marine fishes
occurring in the Western North Atlantic Ocean, Cape Hatteras to the Southern
Scotian Shelf).
.
Spesies
Stadia
kepala
mata
badan
badan
: Leiognathus sp.
: Post larva
ekor
sirip ekor
Deskripsi
: Bentuk tubuh bulat pipih, panjang tubuh hampir sama dengan
lebarnya, warna tubuh putih keperakan, letak mulut terminal, terdapat pigmen berupa
bintik yang tersebar merata dipermukaan tubuh. Terdapat barisan pigmen yang
terkumpul dan memanjang dibawah linea lateralis. Terdapat pigmen berwarna hitam
dibagian tepi sirip bawah. Barisan sirip pendek yang halus terdapat sepanjang
pertengahan dorsal setelah sirip punggung hingga pangkal sirip ekor, sedang
dibagian ventral sirip berupa duri pendek juga terdapat setelah sirip anal dan
76
berakhir di pangkal sirip ekor. sirip ekor masih berupa lembaran dengan selaput
halus, bentuk sirip ekor lunate.
Literature: Morfologi badan sangat pipih , sekitar 1,8 hingga 1,9 kali standar length,
bentuk ventral paling sedikit agak cembung seperti bentuk dorsal. Stadia Preflexion
mempunyai karakteristik pigmen sirip perut sepanjang linealateralis dari ekor yang
tegak lurus sepanjang Melanophores dengan satu sampai tiga Melanophores
myomere. Menuju ke anal dan bersatu sehingga kedasar. Melanophores juga
terdapat di atas finfold depan hingga anal pada usus dan gelembung renang, dan
sering juga di atas linea lateralis. Kemudian, pigmen nampak di atas kepala bagian
sudut rahang bawah, pectoralfin dasar, ruas-ruas tulang belakang ekor, bagian
bawah caudal-fin, dan meluas di atas kepala, ekor dan batang ekor. pada
morpHologi
larvae 1, vertebra preopercular-angle yang panjang mempunyai
Melanophores sepanjang poros nya. MorpHologi larva 2 dan 3 mempunyai pigmen
internal di tengkuk dari preflexion sampai awal Stadia postflexion. (From: Leis and
Carson-Ewart, 2000. The larvae of Indo-Pacific coastal fishes: An identification guide
to marine fish larvae.)
Spesies
Stadia
Sirip ekor
ekor
badan
badan
: Mugil sp..
: postlarva
kepala
Deskripsi: Tubuh memanjang agak tebal hampir berbentuk torpedo memipih,
tingginya sekitar ¼ kali panjang tubuhnya, ekor bentuk lunate dengan filament sirip
yang masih tipis dan lembut. Warna tubuh coklat dengan bagian bawah yang
berwarna terang atau putih, pigmen berupa bintik hitam keperakan nampak tersusun
secara zig-zag dari dorsal ke ventral mengikuti pola miomer pada ototnya dengan
garis lateralis yang telah nampak di sepanjang badan mulai dari belakang sirip dada
hingga kepangkal ekor yang ditandai dengan kumpulan pigmen yang mengikutinya.
Pigmen coklat nampak terlihat jelas diatas cagak sedangkan piggmen hitam
terkumpul dipangkal sirip ekor.
Literatur: Morfologi badan memanjang. Mata bulat besar. Akan mengeras setelah
berukuran 18 mm SL. Gap besar di antara anal dan sirip anal pada larva dan awal
Juwana (post larva). Stadia Juwana 18 mm), tulang belakang kecil di atas sudut
preopercular dan infraorbitals. Pigmentasi lebih banyak terjadi pada Stadia Juwana.
Terutama pada bagian linea lateralis. Mugil Sp.: Larva dan Juwana lebih berpigmen.
Kebanyakan karakteristik Melanophores ditemukan pada caudal peduncle.
Melanophores terdistribusi di atas kepala, rongga abdominal, midline cabang
samping, dasar sirip anal dan di belakang. Karakter diagnostic Mugil Sp.Karakter
Meristric. Jumlah sinar sirip anal. Juwana di atas 18 mm terjadi dari daerah air tawar
(Fahay, 1983. Guide to the early stages of marine fishes occurring in the Western
North Atlantic Ocean, Cape Hatteras to the Southern Scotian Shelf.)
77
Spesies
Stadia
:
:
Sphaeramia sp.
Postlarva
Deskripsi: Pola tubuh berbentuk hampir seperti jajaran genjang dengan bagian
tubuh belakang menuju keekor lebih memanjang (batang sirip ekor). Dibagian tubuh
atas yang menyudut terdapat sebaris sirip dorsal yang tumbuh hingga batas lekukan
batang sirip ekor. posisi mulut sub terminal dengan rahang bagian bawah lurus (tidak
melengkung).Bagian cagak atas rata hingga hampir di puncak punggung. Bagian
pangkal sirip ekor mengalami pelebaran seiring dengan arah tumbuh sirip ekor yang
mengipas, sirip ekor terdiri dari lembaran halus yang bercabang atau berbentuk
lunate. Pigmentasi lebis jelas nampak dipangkal semua sirip, kecuali pangkal sirip
ekor yang tidak berpigmen. Pigmen coklat terdapat di operculum, mulai bagian atas
operculum hingga ke batang ekor sampai ke pangkal ekor terdapat sebaris linea
lateralis yang ditandai dengan beberapa bintik pigmen yang sebaris dengan garis
lateral tersebut.
Family
Stadia
: Serranidae
: post larva
Deskripsi
: Tubuh oval lebih panjang (fusiform), panjang badan 2 ½ kali tinggi
badan. mulut terminal dengan ekor yang berbentuk rounded. Sirip punggung
memanjang sampai pangkal batang ekor. terdapat sirip dada dibelakang operculum
yang masih transp.aran. warna tubuh bening kekuningan dengan sisik halus yang
mulai tumbuh diseluruh tubuh. Sirip perut berada tepat di ½ bagian ventral. Barisan
sirip anal terdapat setelah anal hingga sebelum batang ekor.
Literatur
: Memiliki pre operculum yang lembut, biasanya dengan lempeng
sp.inna yang besar, opercle terdiri atas 3 lempeng, gigi berbentuk kerucut, tanda
panah dan baris: garis lateral tidak memanjang kebelakang samapi sirip ekor, sirip
punggung hanya satu dan di beberapa Spesies tidak terbagi.
Spesies
Stadia
: Lutjanus sp.
: Post larva
Deskripsi
: Tubuh lonjong memanjang (fusiform) bagian depan cagak meruncing
dengan letak mulut yang terminal, bagian tengah tubuh bebal. Puncak dorsal
terdapat satu tulang sirip punggung yang panjang diikuti oleh 2-3 tulang sirip yang
pendek, kesemua tulang sirip dihubungkan oleh selaput tipis hingga kepangkal
batang ekor. Sirip perut tepat berada lurus vertikal dengan sirip dorsal. Warna tubuh
agak gelap dengan 4 barisan pigmen yang berpangkal dari ujung cagak dan nampak
tereduksi bagian yang dekat dengan pangkal ekor.
Literatur
: Morfologi badan agak memanjang. Mulut kecil agak miring. Selama
Stadia larva bersifat pelagic, tulang belakang di belakang dan sirip punggung
78
terdapat sepanjang dorsal. Diagnosa ventral dan hingga sebelum preopercular,
posttemporal dan supracleithral. Tulang belakang preopercular lebih kecil dibanding
ventral. Preopercular ventral yang keras terdapat diseluruh bagian. Pewarnaan lebih
mudah dikenali. Melanophores terjadi di atas permukaan usus di bagian ventral, tepi
ekor yang hinggai sirip perut. Lutijanus type1: Dua atau tiga Melanophores kecil di
atas tepi ekor hingga sirip perut. Satu melanopHore besar di atas cleithrum. Pada
Stadia postflexion. Melanophores terbentuk di atas kepala. Lutijanidae type1:
Pewarnaan eksternal hampir tidak ada. Melanophores kecil terjadi di ujung mulut,
cleithrum dan sisi ekor hingga sirip perut. Lutijanidae type2: Pewarnaan di kepala,
cleithrum dan sisi ekor hingga sirip perut dan di dorsal. Melanophores di ekor
terdapat secara simetris (Leis & Rennis (2000), Kojima & Mori (1988).
Spesies
Stadia
Sirip ekor
badan
: Microcanthus sp.
: Post larva
badan
kepala
Deskripsi
: Lebar badan dua kali panjang badan, ekor lunate dengan sirip yang
masih tipis, pigmen badan berupa kumpulan yang tersebar dibagian tertentu sp.erti
di garis lateral hingga pertengahan badan mengikuti pola myomernya, kemudian di
sepanjang pangkal sirip punggung hingga ke sirip pangkal sirip ekor dan mengalami
pelebaran hingga pertengahan badan. Bintik pigmen yang lebih tersebar juga
terdapat di bagian belakang mata hingga pangkal kepala (cagak). Letak mulut
terminal terdapat sirip dada, sirip perut dan sirip anal kecil yang halus bagian awal
hingga akhir pangkal sirip terakumulasi pigmen.
Literatur
: Badan moderate (BD 25-36%) Kepala moderate hingga besar (HL
29-36%). Gigi kecil sepanjang kedua rahan pada saat Stadia flexion. Kecil hingga
moderate anterion dan posterior di belakang tutup insang bawah (preopercular)
pada Stadia Flexion bertambah jumlahnya tetapi tereduksi pada saat memasuli
Stadia post flexion
Duri permukaan
Spesies
Stadia
:
:
badan
sirip ekor
Ostracion
Post Larva
Deskripsi
: Tubuh Hampir berbentuk bola dengan permukaan kulit yang
ditumbuhi duri kasar, sirip punggung terdapat hampir di akhir bagian punggung
mendekati sirip ekor, sirip ekor berbentuk pointed yang terpisah dari sirip dorsal dan
79
anal, tepat dibawah batang ekor terdapat sirip anal. Mulut Terminal dengan mata
yang lebar hamper tidak menonjol.
Spesies
Stadia
kepala
pigmen mata
pigmen perut
: Siphamia cephalotes
: Post larva
badan
batang/sirip ekor
Deskripsi
: Tubuh agak panjang lebih dari dua kali tinggi badannya. Mulut
terminal dengan garis linea tepat dibagian tengah badan mulai dari belakang
operculum sampai pangkal batang ekor, linealateralis pada Stadia post larva
dipertegas dengan kehadiran pigmen hingga setengah dari panjang standar
tubuhnya, kumpulan pigmen juga tergapat dipangkal sirip punggung. Pigmen juga
terdapat dipangkal sirip anal, sirip dada yang kecil tampak dibelakang operculum
tetapi tidak terdapat sirip perut hanya ada sirip anal terletak di sepertiga bagian
belakang tubuhnya sebelum pangkal batang ekor, sirip ekor berbentuk truncate
keduan bagian sudut ekor lebih agak panjang dan meruncing seperti truncate.
Spesies
: Platycephalidae
Stadia
: Juwana
Deskripsi
: morfologi badan compres atau lebar badan lebih besar dibanding
tingginya (gepeng), letak mulut dibagian bawah ujung depan badan karena sifatnya
demersal, terdiri atas sirip punggung yang bersambung menjadi sirip ekor, sirip dada
terdiri atas dua pasang lapisan, lapisan pertama terdiri atas sirip yang lebih keras
dan kaku ; lapisan kedua terdiri atas sirip yang lemah yaitu terdiri atas selaput yang
lebih lembut dibanding lapisan sirip pertama.
Literatur
: Stadia ini disebut Alevin prosesnya yaitu Pada Stadia yol sac larvae
bermetamorpHosis langsung kedalam Stadia Juwana, sehingga disebut sebagai
alevins. Stadia ini berukuran 47 mm panjang totalnya. Ekor tidak terbagi dua cabang
tetapi berbentuk forked seperti fasa dewasa. Pigmen berwarna gelap berbentuk
bintik masing-masing di sisi samping, di bagian atas yol sac. Vertebra belum
mengalami pengerasan. Linea lateralis dapat terlihat.Adiposefin berkembang. Satu
maxillary dan dua mandibular berkembang. Maxillary tidak sampai kebagian dasar
pectoral pada Stadia ini. Stadia awal Juwana plat gigi belum berkembang (bagian
gigi pada plat berbentuk lonjong sebagai gigi geraham yang terdapat pada ikan pada
saat bermetamorpHosis) Satu maxillary sampai ujung pectoral. Panjang dari dua
mandibular tidak sampai setengah bagian kepala . Adiposefin memiliki pigmen.
(From M.J. Prince Jeyaseelan,1998. Manual of Fish Eggs and Larvae from Asian
Mangrove Waters. Science and Technology, UNESCO Publishing.)
Spesies
: Bregmacerotidae
Stadia
: Post larva
80
Literatur
: Morfologi badan pipih agak datar. usus dengan ketat bergulung.
Kepala berubah dari bulat menjadi lurus. Mulut miring. Sekeliling mata agak datar.
Sirip anal menjadi tebal dan panjang melewati anus. Sirip anal terbentuk dari anterior
dan posterior dari depan kearah sirip yang akan memendek pada saat dewasa
mengail. sirip dada berbentuk padlle dan terletak seperti pengayuh di atas linea
lateralis yang bercabang samping. Pigmentasi pada larva Bregmacerotid berganti
ganti mulai dari tanpa pigmen dari satu Stadia dari berbagai Spesies tergantung
pada ketebalannya. Kebanyakan Spesies mempunyai pigmen di atas gelembung
gasnya. Pigmen juga terdapat disudut rahang bagian bawah. Larva Bregmacerotid
mempunyai banyak pewarnaan internal terutama pada diatas gelembung renang,
ekor tersebar dan di peduncle kepala. Pigmen biasanya meningkatkan ketika larvae
sedang tumbuh.
post larva/ kepala
badan
badan
ekor
sirip ekor
Spesies
: Kyposus sp.
Stadia
: Post larva
Morfologi
: Tubuh memanjang agak pipih setengah mengular bagian kepala
agak besar dengan batas kepala dengan badan sangat jelas karena dibelakang
operculum tertekuk oleh lengkungan kepala. Mulut terminal dengan ekor truncate
pigmen sangat jelas terlihat sepanjang linealateraris, bintik pigmen juga terlihat
mengikuti pola myomer, terdapat sirip punggung yang memanjang sampai batang
ekor. sirip anal terdapat dibagian belakang sebelum pangkal sirip ekor.
Literatur
: Badan memipih dan secara menyamping memampatkan. Kepala
besar. mulut terminal agak besar miring. Sekeliling terlihat besar. Vertebra berukuran
kecil di posterior dan ventral preopercular. Preopercular di depan tereduksi seiring
pertumbuhan.
Pewarnaan
kepala
badan
ekor
Spesies
: Cynoglossis sp.
Stadia
: Prolarva
Deskripsi
: Badan agak panjang dengan bagian kepala lebih besar, dari depan
badan lebih lebar dan semakin mengecil kebagian ekor. vertebra masih sangat
namapak jelas , sirip belum nampak berkembang dengan sempurna, tetapi mulai
terlihat pertumbuhan sirip sepanjang bagian dorsal dan di bagian bawah perut, sirip
81
ekor belum berkembang dengan sempurna masih berupa membrane tipis yang
halus. Mata besar dengan mulut yang masih terbuka. Sangat jelas terlihat garis
miomer halus mengikuti arah pertumbuhan tulang vertebra. Warna tubuh bening dan
sangat pipih.
Literatur
: Morfologi larva Cynoglossid pada mulanya memanjang
(cynoglossines) hingga halus ( sympHurines), pipih dan kedua sisinya simetris.
menjadi sangat pipih dan lebih lebar setelah flexion notochordnya lengkap. Badan
dan Kepala pada awalnya banyak lebih lebar disbanding ekor yang runcing. ekor
secara berangsur-angsur menjadi lebih lebar, hanya sedikit yang tertinggal
dibandingkan badannya. Ada 43-59 myomeres (7-10+ 36-50). Usus bergulung dan
menebal ke dalam pengulangan tunggal, besar dan menonjol dengan jelas dari garis
tepi badan sirip perut. Tingkat tonjolan keduanya bervariasi secara ontogenetic dan
antar Spesies, tetapi usus yang menonjol dapat melakukan pelebaran. Pigmen
penutup terdapat pada beberapa Spesies dalam ekstrimitas usus yang menonjol:
Kombinasi panjang dari kedua proyeksi ini dapat melebihi 60% BL (Yevseyenko,
1991). Anus pada umumnya sedikit tertutup dan pada Stadia flexion dan postflexion
larvae di sebelah kanan dan ventral hingga pangkal sirip anal. Usus (diukur mulai
sirip anal ketika awal terbentuknya sirip anal) sampai 30-40% BL. Bagaimanapun,
usus akan tertarik kembali tepi badan ketika berubah menjadi larva dan kemudian
hanya mencapai 23-30% BL. Gelembung renang terdapat dibagian ventral dari usus
terisi pada malam hari dan akan tereduksi selama metamorfosis. (Fahay, 1983.
Guide to the early stages of marine fishes occurring in the Western North Atlantic
Ocean, Cape Hatteras to the Southern Scotian Shelf).
Mulut +kepala
Spesies
Stadia
Ekor
mata + kepala
badan
badan + btng ekor
sirip ekor
: Apogon sp.
: Juwana
badan
badan
badan
post larva/ kepala
Family
: Phosichthydae
Stadia
: Post larva
Deskripsi
: Tubuh agak memanjang berbentuk torpedo, sirip yang lebih
berkembang terdiri atas sirip perut berupa lembaran membrane filament halus
berjumlah antara 7-9 lembaran, sirip punggung belum berkembang dengan
sempurna di ujung belakang dorsal sebelum batang ekor. Sirip ekor berbentuk
82
truncate, sirip anal terlihat sejajar dengan sirip punggung dibagian ventral sebelum
batang ekor. Myosepta dan myomer sangat jelas kelihatan, tubuh bening dengan
garis linea yang nampak ditengah badan mulai daribelakang tutup ingsang sampai
ujung batang ekor. mata masih besar dan k mulut sub terminal. Pigmentasi terbentuk
dengan jelas disekitar kepala dan diatas mata. Sedangkan dibagian tubuh lain
hanya nampak jelas dibagian pangkal sirip pada masing masing bagian.
Spesies
Stadia
kepala
ventral badan
: Aseragoddes sp.
: Prolarva
vertebrae
ekor+ sirip
Deskripsi
: Larva Spesies ini lebih mirip larva sinoglossis sp., yang
membedakannya hanya lebar badan dari Spesies ini lebih besar dibanding
sinoglossis, bentuk mulut dan posisi rahang berbeda dengan Sinoglossus sp..
Kepalanya juga lebih besar dan usus dibagian ventralnya sudah mulai nampak
terbentuk, sirip halus yang sangat tipis sudah namapak terlihat mengelilingi bagian
sisi ventral dan dorsal tubuhnya tanpa kecuali pada bagian kepala, dan hanya tersisa
bagian depan sebelum mulut, sedangkan batas tumbuh sirip dibagian ventral sapai
pada bagian perut bawah. Jika dilihat secara sepintas panjang tubuhnya hampir
sama dengan lebar tubuhnya terutama disebabkan oleh terjadinya pelebaran pada
bagian perut pada Stadia ini. Tubuh juga sangat pipih dan tipis.
Literatur
:Larval soleids mempunyai badan yang pipih, menyamping, terdapat
suatu saluran usus. pada awalnya bagian sisinya simetris. Ada 33-47 myomeres (420 + 20-38). Preanal myomeres berkurang seiring dengan pertumbuhan karena anal
berpindah ke depan. Usus berupa tabung yang tebal bergulung, dan tampak di
bawah sirip perut, tidak terjumbai. Anal lebih sempit. pada preflexion larva biasanya
lebih besar dari 50% BL, karena anus berpindah secara perlahan ke depan. Pada
postflexion larva kurang dari 50% BL. Dari Stadia flexion usus akan melurus dan
tereduksi kembali ke dalam rongga yang abdominal, pada saat anal tidak di posterior
bagian usus. Gelembung renang pada beberapa Spesies terdapat dipertengahan
hingga ke pertengahan ventral usus. kepala yang dimampatkan bersifat moderat
dalamkeadaan variabel dan ukuran yang melebar. Tetapi menjadi dibulat dengan
suatu profil di bagian belakang lebih cembung (kecuali selama perpindahan mata
dibeberapa Spesies). Mulut pendek dan biasanya bulat.
83
Prolarva
Spesies
Stadia
post larva/kepala
ekor
ekor
: Urolophus sp.
: Yolk sac larvae
Telur
Telur 1
badan
yolk sac
preplexion larva
Telur 2
84
Lampiran 8. Gambar Jaring larva untuk pengambilan sampel.
a
b
c
d
e
Net Larva. a. Tali penarik, b. flow meter, c. Jaring larva 350 mikron,
d. tabung larva, e. Pengoprasian.
85
Download