MENGAKTIFKAN PENGAJARAN SEJARAH MELALUI MEDIA A.A. Padi Abstract The classic complaint on history teaching at school were unintersting, boring and dull. It was also commited by teachers and historians (Kompas, 9 July 2010). A solution promoted to the problem was visiting historic places. The advantage of visiting such places was commited by Ary, on participant of “Program Lawatan Sejarah Nasional” (The National Historic Places Visit Program). “By visiting the places, getting explanation on the field, then discussing and debating, so that the teaching became more interesting, not boring” (Kompas, 9 July 2010). However, this way was money/budget consuming. Was there any cheaper and more interesting way? The writer offered a way to activate the students by using media available at schools, on history books or made/created by both teacher and students them selves. 1. Pendahuluan Harian Kompas (15 Januari 1996) menurunkan sebuah laporan seminar dari Medan tentang "Pengajaran Sejarah Tingkat SLTP-SLTA", dengan judul yang cukup merangsang, Murid Tidak Termotivasi Belajar Sejarah. Laporan itu mengungkapkan tentang pengajaran sejarah yang tercerai berai, tidak merupakan satu kebulatan yang bermakna oleh guru mata pelajaran sejarah, yang menjadikan murid tidak termotivasi mempelajarinya. Pengetahuan faktual yang sebenarnya telah mencukupi, namun karena terbatas pada pengetahuan verbal, ikut memperlemah pengajaran sejarah di sekolah-sekolah menengah. Murid memandang pengajaran sejarah hanya sebagai pelengkap belaka, dan lebih dari itu pelajaran sejarah dipandang sangat menakutkan dan membosankan. Cara penyampaiannya disamakan dengan mata pelajaran matematika dan fisika, karena guru tidak berapresiasi serta tidak mengembangkan nalar dan wawasannya. Komentar senada pernah muncul sewaktu diadakan diskusi buku sejarah untuk SMU terbitan Grasindo di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada bulan Februari 1992. Pada waktu itu sempat diadakan angket kepada peserta (yang sebagian besar guru sejarah SMU) mengenai kesulitan apa yang dihadapi guru sejarah. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa para siswa kurang tertarik kepada mata pelajaran sejarah, materi yang kadang-kadang membingungkan (data-data pada buku yang satu berbeda dengan yang terdapat pada buku yang lain, guru bingung menjawab pertanyaan siswa tentang hal-hal yang sensitif seperti peran Bung Karno), kurangnya sarana media. Komentar semacam itu juga pernah muncul dari peserta seminar tentang Sejarah dan Pembangunan Bangsa di Museum Benteng, Yogyakarta, pada tanggal 5 Oktober 1996. Drs. A.A. Padi, adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Peserta tersebut mengeluh bahwa siswa kurang tertarik kepada mata pelajaran sejarah. Dari kutipan dan komentar-komentar di atas, penulis lebih tertarik mengenai mengapa pelajaran sejarah di sekolah tidak menarik perhatian siswa. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Bisa datang dari faktor gurunya yang kurang menguasai materi (apalagi bila guru sejarah tersebut tidak berasal dari disiplin ilmu sejarah), atau guru tersebut kurang menguasai metode pengajaran sejarah yang berakibat kepada pengajarannya menjadi monoton dan membosankan. Bisa juga karena faktor media, di sekolah tidak tersedia media pengajaran sejarah dan guru kurang terampil untuk membuatnya sendiri. Atau juga karena faktor sistemnya, mata pelajaran sejarah tidak diujikan (EBTANAS) sehingga siswa memandang rendah mata pelajaran sejarah. Atau pengajaran guru yang hanya menekankah segi hafalan semata sehingga membosankan. Dari sekian banyak kemungkinan tersebut, pada kesempatan ini penulis lebih tertarik menyoroti faktor medianya. Bukan karena media merupakan komponen terpenting dalam pengajaran sejarah. Penulis menyadari bahwa semua komponen sama pentingnya dalam pengajaran sejarah. Alasan yang pasti adalah pengajaran sejarah memiliki spesifikasi tertentu yang menuntut guru agar selalu memakai media dalam pengajarannya, tentu saja apabila pengajaran sejarah ingin berhasil. Dengan demikian maka fokus tulisan ini akan membahas lemahnya media dalam pengajaran sejarah, spesifikasi pengajaran sejarah, pentingnya media dalam pengajaran sejarah, jalan keluar yang ditawarkan untuk mengatasi kelemahan tersebut. 2. Media Dalam Buku Sejarah Penulis pernah meneliti kandungan media dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA, Jilid I, II, III, yang diedit oleh Nogroho Notosusanto, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Jenis-jenis media yang diamati adalah peta sejarah, gambar/foto/sketsa, bagan-bagan (bagan pohon/silsilah, bagan waktu, bagan organisasi), serta tabel-tabel. Mengapa jenis media tersebut yang diamati? Karena jenis media tersebutlah yang biasanya ada (dan sebaiknya ada) dalam buku sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan media dalam buku sejarah tersebut sangat memprihatinkan. 2.1 Buku Jilid I Dalam buku sejarah jilid I, prosentase kandungan medianya masih sangat rendah, hanya 13,52%. Apabila dilacak per-medianya, maka peta sejarah: 11,86%; gambar/foto/sketsa: 23%; silsilah: 0%; bagan waktu: 0%; bagan organisasi: 0%; tabeltabel tidak dihitung karena belum dirasa perlu dalam buku tersebut. Yang benar-benar memprihatinkan adalah tidak adanya silsilah sama sekali dalam buku jilid I tersebut. Sedangkan buku jilid I tersebut kebanyakan menguraikan tentang Kerajaan-Kerajaan Tertua (Hindu-Budha) di Jawa dan di luar Jawa. Agar siswa mudah memahami (menghafal) nama-nama raja yang pernah memerintah kerajaan tertentu, adanya silsilah pada buku tersebut jelas-jelas sangat membantu siswa. Maka, tidak adanya silsilah pada buku tersebut jelas merupakan suatu kekurangan besar. Adanya peta sejarah dalam buku tersebut juga sangat penting. Mengapa? Karena siswa perlu mengetahui di mana persisnya letak/lokasi tempat -tempat ditemukan peninggalan-peninggalan kuno, atau pusat dan wilayah suatu kerajaan. Sayangnya peta sejarah hanya ada 11,86%. Kekurangan lain misalnya, ada jenis media yang letaknya kurang tepat sehingga dapat mengganggu siswa dalam menangkap isi bacaan (terpaksa harus membolak-balik halaman, tidak praktis). Belum lagi adanya kesalahan yang cukup fatal, yakni salah nama dan salah gambar/foto. Pada halaman 119 misalnya, di situ terpampang gambar/foto yang diberi keterangan sebagai foto Pura Bekasih. Penulisan nama itu sendiri sudah salah, seharusnya Pura Besakih, bukan Pura Bekasih. Lalu foto itu sendiri juga layak disangsikan bila dimaksud sebagai Pura Besakih. Mengapa? Karena dilihat dari foto yang dipasang, maka foto tersebut sangat mirip (lebih tepat) sebagai foto bangunan Candi Gunung Kawi, bukan foto Pura Besakih. Sekedar contoh, di bawah ini akan disajikan media-media apa yang seharusnya ada, serta jenis media apa yang baru ada. Pada Bab VIII. Singhasari dan Majapahit. Tentang Singhasari membahas: raja-raja Singhasari, serangan Jayakatwang, prasasti Joko Dolok. Sedangkan bagian Majapahit menguraikan: petualangan R. Wijaya dan serbuan ke Kediri, pemberontakan-pemberontakan terhadap Jayanegara, pemerintahan raja-raja Majapahit, riwayat penaklukan Gajah Mada, hubungan dagang dan kota-kota dagang, kisah perjalanan Hayam Wuruk, keadaan masyarakat, susunan pemerintahan, karya-karya sastra. Sesuai dengan materi yang dibahas, maka menurut penulis jenis media yang sebaiknya ada adalah: 1) Silsilah raja-raja Singhasari 2) Peta serangan Jayakatwang ke Singhasari 3) Peta perjalanan pengungsian R. Wijaya 4) Contoh patung Joko Dolog 5) Bagan waktu tentang pemebrontakan-pemberontakan yang terjadi pada masa pemerintahan Jayanegara 6) Silsilah raja-raja Majapahit 7) Peta perkembangan wilayah kerajaan Majapahit 8) Bagan waktu tentang penaklukan Gajah Mada 9) Peta tentang pusat-pusat perdagangan (pelabuhan-pelabuhan hubungan dagang Majapahit dengan negara-negara tetangga. kuno), serta 10) Peta perjalanan raja hayam Wuruk 11) bagan tentang susunan masyarakat dan susunan pemerintahan pada jaman Majapahit 12) Contoh-contoh hasil budaya. Sedangkan media yang tersedia baru: 1) Prasasti Tembaga dan Lontar 2) Peta perjalanan R. Wijaya 3) Contoh relief candi jaman Majapahit. Peta-peta lainnya yang penting tidak ada, demikian pula silsilah dan bagan tentang susunan masyarakat dan pemerintahan, sehingga persentase keberadaan medianya masih rendah. 2.2 Buku Jilid II Pada buku jilid II ini ketersediaan medianya juga masih rendah, hanya, 19,27%. Bila dilacak per-medianya, peta sejarah: 24%; gambar/foto/sketsa: 23,23%; silsilah:0%; bagan waktu: 0%; bagan organisasi: 0%. Pada buku ini, yang antara lain membahas tentang sistem pemerintahan dan struktur masyarakat, pelayaran dan perdagangan, perlawanan terhadap kolonialisme, maka sangat diperlukan bagan tentang susunan masyarakat, bagan tentang struktur pemerintahan, peta tentang pelayaran, gambar/foto/sketsa tentang pemimpin perlawanan, dsb. Sayangnya jenis-jenis media yang sangat penting itu tidak ada. Sekedar contoh hasil penelitian pada buku jilid II ini, misalnya pada bab IV. Perlawanan Terhadap Kolonialisme. Menurut penulis, jenis-jenis media yang sebaiknya ada adalah: 1) Peta kedatangan Portugis/Spanyol 2) Gambar/foto/sketsa ekspedisi Portugis/Spanyol 3) Peta kedatangan Belanda 4) Gambar ekspedisi Belanda 5) Peta perang Aceh/Malaka - Portugis, perang di Maluku, Sumatera, Kalimantan, Jawa/Diponegoro, Bali, dsb. 6) Gambar/foto/sketsa pemimpin perang dari Maluku, Aceh, Banten, Banjar dan Goa, Minangkabau, Diponegoro, Kalimantan, Sulawesi, Bali, dsb Keberadaan peta perlawanan jelas sangat penting, demikian pula adanya gambar/foto/sketsa para pemimpin perlawanan. Pentingnya foto /gambar pahlawan untuk menghindari jangan sampai terjadi siswa tidak mengenal wajah para pahlawan bangsanya (Kompas, 28 Desember 1990). Sayangnya, jenis-jenis media yang sebetulnya penting itu justru malah tidak ada. 2.2 Buku Jilid III Keberadaan media pada buku jilid III juga masih sangat kurang, hanya 17,56%. Peta sejarah: 0%; Gambar/foto: 27,40%; Silsilah, tak ada; bagan waktu: 0%, bagan organisasi: 0%, tabel-tabel: 10,52%. Buku jilid III yang membahas Jaman Pergerakan Nasional hingga Orde Baru ini, sebetulnya membutuhkan jenis media seperti foto/gambar tokoh-tokoh penting, peta sejarah (peta perlawanan rakyat/gerilya, wilayah RI sesuai Linggarjati, Renville, wilayah RIS,dsb). Sayangnya, jenis-jenis media tersebut sangat kurang. Sedangkan adanya foto-foto tokoh-tokoh tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, sebab di Departemen Penerangan (dulu) cukup tersedia. Selain meneliti buku Sejarah Nasional Indonesia (I,II,III) terbitan Depdikbud tersebut di atas, penulis juga pernah meneliti kandungan media dalam buku Sejarah Nasional I yang disusun G. Moedjanto dkk. dan diterbitkan oleh Gramedia, 1992. Secara keseluruhan kandungan media buku tersebut 43,12%, dengan rincian peta sejarah 23,8%, gambar/foto/sketsa: 74,48%, bagan pohon/silsilah 20%, bagan waktu 25%, bagan organisasi 0%. Secara keseluruhan kandungan media buku sejarah terbitan Gramedia tersebut juga masih kurang, namun masih sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan buku terbitan Depdikbud, terutama pada gambar/foto yang mencapai 74,48%. Secara sepintas, sebagai bahan banding, penulis juga mengamati kandungan media pada buku Sejarah Nasional dan Dunia yang disusun oleh Tim MGMP Sejarah SMU Prop. DIY, 1994. Pada buku jilid I misalnya, di samping gambar-gambarnya yang pada umumnya tidak jelas (lihat gambar patung Joko Dolog halaman 99), secara keseluruhan kandungan medianya masih sangat kurang. Pada sajian tentang pusatpusat peradaban kuno di Asia dan Afrika misalnya, satu petapun tidak ada. Sedangkan buku-buku itu merupakan "buku wajib" bagi sekolah-sekolah SMU di Yogyakarta. Miskinnya media dalam buku sejarah tersebut di atas, masih diperparah lagi dengan kurang tersedianya jenis-jenis media di sekolah-sekolah. Secara kebetulan penulis pernah memantau ketersediaan media pada beberapa (18) sekolah di Yogyakarta. Kebetulan penulis juga mempunyai pengalaman mengajar pada dua sekolah swasta di Yogyakarta. Hasil pantauan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Semua sekolah tidak memiliki peta sejarah. Kalau ada peta, itu hanyalah peta umum (peta administratif). Itupun tidak komplit. Ada sekolah yang hanya memiliki sebuah peta (Indonesia), ukurannya kecil, menempel pada dinding sekolah. Masih dipertanyakan, apakah peta tersebut pernah digunakan sebagai media pengajaran ataukah tidak, tidaklah jelas. Ada dugaan fungsinya lebih mirip sebagai hiasan dinding saja. 2) Ada beberapa gambar/foto, umumnya foto para pahlawan, menempel di dinding. Seperti nasib peta dinding di atas, perlu disangsikan apakah foto-foto itu dimanfaatkan secara optimal untuk pengajaran sejarah atau tidak? 3) Jenis-jenis media lainnya tidak ada. Itulah kondisi ketersediaan media di sekolah-sekolah yang sempat penulis pantau. Apakah kondisi semacam itu merupakan gejala umum yang berlaku untuk semua sekolah di Indonesia, penulis tidak punya data yang pasti. Hanya saja asumsi penulis cenderung mengatakan demikian, kekhawatiran itu benar adanya. Terutama untuk sekolah-sekolah yang ada di luar kota. Mengingat keberadaan media sejarah itu cukup penting dalam pengajaran sejarah (akan diuraikan pada bagian berikutnya), sedangkan dalam kenyataannya ketersediaan media tersebut sangat memprihatinkan (baik yang ada pada buku sejarah, maupun yang ada di sekolah-sekolah), maka harapan yang masih tersisa tinggalah pada guru-guru sejarah. Tulisan ini memang bermaksud menyajikan suatu analisa (teoritis) bagaimana sebaiknya guru-guru sejarah berbuat sesuatu agar nasib pengajaran sejarah menjadi sedikit tertolong. 3. Pentingnya Media dalam Pengajaran Sejarah Secara agak panjang lebar pentingnya media dalam pengajaran sejarah pernah penulis sajikan dalam majalah Seri Pengetahuan dan Pengajaran Sejarah (SPPS), Seri XXII, 4 Februari 1996, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (1996: 1-27). Adapun hal-hal yang pokok adalah demikian. 3.1 Dapat untuk mengaktifkan siswa Sebenarnya CBSA bukan merupakan barang baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Mengapa? Belajar dengan sendirinya dalam bentuk keaktifan siswa, walaupun tentu saja dalam derajad yang berbeda-beda. Selanjutnya keaktifan itu dapat mengambil bentuk yang beraneka ragam seperti, mendengarkan ceramah, mendiskusikan, membuat/mengerjakan sesuatu, menulis laporan, dsb. Keaktifan-keaktifan yang lebih penting, bahkan lebih sulit diamati ialah menggunakan khasanah pengetahuan dalam memecahkan masalah baru, menyatakan gagasan dengan bahasa sendiri, menyusun suatu rencana satuan pelajaran atau eksperimen IPA, dsb. Akan tetapi semuanya itu harus dipulangkan kepada kegiatan belajar-mengajar yang bersangkutan: asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung terhadap balikannya dalam pembentukan ketrampilan, dan penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan nilai dan sikap. Dengan perkataan lain, keaktifan siswa dalam CBSA menunjuk kepada keaktifan mental, meskipun untuk mencapai maksud ini, dalam banyak hal, dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam bentuk keaktifan pisik (Hasibuan, 1986: 7). Upaya pembenaran langkah baru ini, dapat dikatakan sebagai berikut. Secara umum esensi tujuan pendidikan adalah pembentukan manusia yang bukan hanya menyesuaikan diri hidup di dalam masyarakatnya, melainkan lebih dari itu, mampu menyumbangkan sesuatu bagi penyempurnaan masyarakat itu sendiri (Hasibuan, 1986: 9). Itu berarti bahwa siswa bukan hanya menghayati dan menginternalisasi nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, akan tetapi juga mampu mendeteksi kekurangankekurangannya sehingga kelak mampu menyempurnakan dirinya. Agar misi dapat dipenuhi, maka semua warga masyarakat secara perorangan harus memiliki kemampuan berpikir kritis dan memiliki kemampuan, kemauan serta kebiasaan untuk terus menerus belajar dalam arti yang hakiki. Sedangkan sebagai anggota masyarakat mereka harus mampu bekerja sama untuk menghadapi masalah-masalah bersama. Dengan demikian maka pengajaran dalam pendidikan formal harus dilihat sebagai salah satu upaya untuk memaksimalkan peluang bagi terjadinya pendidikan, bukan sekedar untuk memberikan pengetahuan atau pembentukan ketrampilan saja (Raka Joni, 1984: 9). Setelah memperhatikan konsep-konsep CBSA beserta indikator-indikatornya, kita sampai pada kesimpulan sementara yakni, di dalam proses belajar-mengajar peran siswa harus lebih ditonjolkan (baik secara pisik maupun mental), sementara peranan guru harus semakin dikurangi. Sebaiknya guru tak lebih dari sebagai fasilitator saja. Aktivitas siswa bisa saja dilakukan di dalam kelas atau di luar kelas (belajar langsung). Hanya saja perlu dipahami bahwa masih terlalu sulit untuk menerapkan sistem belajar secara langsung dengan mengunjungi peninggalan-peninggalan sejarah misalnya. Sehingga kemungkinan yang paling dekat adalah aktivitas siswa tetap masih di dalam kelas. Persyaratan yang paling dekat yang harus dipenuhi agar siswa dapat aktif di dalam kelas (atau di rumah) adalah tersedianya bacaan/buku. Tersedianya buku pelajaran adalah alternatif terdekat agar siswa bisa bekerja sendiri. Tak terkecuali untuk mata pelajaran sejarah. Dengan demikian, tanpa bermaksud mengecilkan persyaratan yang lain, maka tersedianya buku pelajaran (sejarah) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar CBSA lebih mudah berjalan. Pertanyaan berikutnya adalah, buku macam apa yang sebaiknya ada? Apabila buku pelajaran (sejarah) merupakan persyaratan yang harus ada agar CBSA mudah terlaksana, maka buku yang dianggap memenuhi syarat adalah buku yang mudah dicerna oleh siswa, terutama bila buku tersebut dimaksudkan sebagai buku pegangan siswa. Buku yang mudah dicerna siswa, di samping harus memenuhi persyaratan materi (tidak terlalu berat), bahasa (tidak bertele-tele), dan tidak boleh dilupakan ada kelengkapan buku seperti peta sejarah, gambar/foto para tokoh, baganbagan, dsb. Dengan kata lain, buku sejarah harus memenuhi tuntutan media. 3.2 Memudahkan pemahaman siswa Sesuai dengan teori tingkat-tingkat pengalaman (Amir Hamzah Sulaiman, 1981: 13-16; Winarno Surakhmad, 1982: 144-150), belajar dapat berlangsung melalui pengalaman nyata, pengalaman pengganti dan pengalaman verbal. Pengalaman tingkat pertama adalah pengalaman nyata yang langsung dihayati. Pengalaman serupa inilah yang menjadi dasar pengertian kehidupan sehari-hari. Penglaman seperti ini menghasilkan pengertian yang paling mendalam yang tidak mudah dilupakan. Pengalaman nyata sangat efektif untuk mendapatkan suatu pengertian, karena pengalaman nyata itu mengikutsertakan semua indera dan akal. Pengalaman nyata itu adalah cara yang wajar dan memuaskan dalam proses belajar. Kalau semua orang dapat mendapatkan pengalaman nyata dan mempunyai kecerdasan yang menyeluruh dari segala segi tentang semua pengalaman nyata itu, ia akan sanggup mengembangkan pengertian yang sebaik-baiknya tentang semua yang dialaminya. Dalam pengajaran sejarah, pengalaman nyata dapat diperoleh apabila siswa langsung berhadapan dengan obyek-obyek peninggalan sejarah berupa candi-candi, museum, kehidupan masyarakat, dsb. Akan tetapi hidup kita hanya beberapa puluh tahun saja di dunia ini. Oleh karena itu tidak mungkin bagi kita untuk mendapatkan semua pengalaman nyata yang langsung. Oleh karena pengalaman nyata itu tidak selalu dapat dihayati, dan pengalaman dengan kata-kata tidak selalu mudah dimengerti, maka kita memerlukan sesuatu untuk menjembatani kedua hal yang ekstrim tersebut dengan pengganti penglaman nyata. Pengalaman tingkat kedua adalah pengganti pengalaman nyata. Pengganti pengalaman nyata bisa disertai dengan alat dan kata-kata dapat mendekati pengalaman nyata. Hal ini dapat diperoleh dengan berbagai cara. Misalnya dengan film, agar dapat dilihat bentuk dan geraknya, dan dapat didengar suaranya. Tentu saja masih perlu dibumbui keterangan seperlunya. Apabila film terlalu mahal, maka dapat dibuatkan slide. Apabila slide juga tidak mungkin, maka dapat dibuatkan modelnya yang kecil. Apabila itupun masih sukar, maka dapat dibuatkan fotonya. Kalau masih juga sulit, maka dapat dibuatkan gambar atau sketsanya. Dengan disertai kata-kata untuk menjelaskan, maka cara ini dapat memberi pengertian mendekati pengalaman nyata. Dalam pengajaran sejarah, pengalaman pengganti misalnya, film-film tentang perang (film dokumenter), slide tentang peninggalan-peninggalan sejarah atau kehidupan masyarakat, bisa juga video, foto/gambar/sketsa para tokoh/pelaku sejarah, maket, diorama, dsb. Pengalaman tingkat ketiga berupa pengalaman verbal, artinya keterangan berupa kata-kata belaka, yaitu sesuatu yang didengar atau dibaca, yang selalu tidak mudah dimengerti. Pengalaman tingkat ini memiliki kemudahan kata-kata untuk menjelaskan sesuatu. Tidak memerlukan alat-alat selain suara atau rangkaian hurufhuruf yang dicetak atau ditulis. Kata-kata merupakan jalan pintas untuk mengungkapkan pengalaman. Tetapi penggunaan kata-kata yang mudah itu banyak jebakannya untuk menimbulkan keragu-raguan atau salah pengertian. Setelah uraian tentang tingkat-tingkat pengalaman tersebut di atas, kita mendapatkan gambaran bahwa buku-buku sejarah yang hanya penuh dengan untaian kata-kata verbal (kalimat, tanpa media), pengajaran guru sejarah yang hanya penuh dengan kata-kata/penjelasan (tanpa alat bantu, media, berupa pengalaman nyata atau penggantinya), akan menghasilkan pengertian yang kurang mendalam serta tidak mudah diserap siswa. Dengan demikian di dalam pengajarannya, guru sejarah dituntut selalu memakai media agar mudah ditangkap siswa dan menghasilkan pengertian yang mendalam, tidak mudah dilupakan. 3.4 Spesifikasi Pengajaran Sejarah Sejarah atau pengajaran sejarah memiliki spesifikasi. Mengenai spesifikasi sejarah dan pengajaran sejarah ini, secara agak panjang lebar pernah penulis uraikan di dalam Majalah Widya Dharma, Th.I. No.2, April 1991, terbitan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (85-95). Namun uraian-uraian yang pokok adalah demikian. Pengertain sejarah sebagai suatu studi yang berusaha mendapatkan pengertian tentang segala sesuatu yang telah dialami (termasuk yang diucapkan, dipikirkan dan dilaksanakan) oleh manusia di masa lampau yang bukti-buktinya masih bisa ditelusuri/diketemukan di masa sekarang (Widja, 1988: 8). Guna menambah kejelasan pengertian di atas, berbagai aspek dari rumusan itu perlu ditinjau lebih lanjut. Misalnya perlu diperhatikan bahwa tidak semua kejadian di masa lampau itu dapat diungkapkan. Maka studi sejarah seyogyanya hanya pada bagian-bagian peristiwa yang buktibuktinya memang masih bisa diketemukan atau memang masih bisa direkonstruksi serta yang mempunyai arti penting bagi peristiwa yang akan direkonstruksi tersebut. Maka dari itu kalau dikatakan sejarah adalah studi masa lampau, maka pengertian peristiwa masa lampau di sini terutama seyogyanya diartikan sebagai "masa lampau yang masih bisa diselamatkan". Berdasarkan jalan pikiran ini bisa dikatakan lebih lanjut bahwa sebenarnya studi sejarah bukan studi masa lampau dalam arti yang sebanarnya, melainkan lebih merupakan studi tentang jejak-jejak masa kini dari peristiwa masa lampau. Sebagai konsekwensinya maka peristiwa-peristiwa yang tidak ada jejakjejaknya (tidak meninggalkan jejak), praktis dianggap tidak ada (Widja,1988: 8). Dengan demikian, setelah memperhatikan beberapa penjelasan di atas, kiranya sejarah bisa dirumuskan secara lebih memadahi sebagai suatu studi keilmuan tentang segala sesuatu yang telah dialami manusia di waktu yang lampau dan yang meninggalkan jejak-jejaknya di weaktu sekarang, di mana tekanan perhatian diletakkan kepada aspek peristiwanya sendiri. Dalam hal ini terutama yang bersifat khusus dan segi-segi urutan perkembangannya yang kemudian disusun dalam suatu ceritera sejarah (Widja,1988: 9). Dari beberapa kutipan dan penjelasan di atas, ada sesuatu yang perlu mendapat penekanan di sini sehubungan dengan maksud tulisan ini, yaitu bahwa di dalam sejarah memuat unsur-unsur tertentu: peristiwa masa lampau, melibatkan peran manusia, terikat oleh ruang dan waktu, serta di dalam mengangkatnya ke dimensi masa kini dituntut kecermatan dan kepandaian manusia yang merekonstruksi peristiwa tersebut. Dalam mengangkat peristiwa masa lampau itu ke permukaan, maka peran guru sejarah (penulis sejarah) mempunyai beban yang lebih dari pada kelompok lain (guru mata pelajaran lain). Penulis sejarah memasyarakatkan hasil karyanya melalui bukubuku yang ia tulis. Sedang para guru sejarah memasyarakatkan rekonstruksi masa lampaunya melalui apa yang ia lakukan di depan kelas. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah yang harus dilakukan oleh penulis buku dan guru sejarah, agar peristiwa masa lampau itu berhasil diangkat secara menarik, memikat yang membaca atau memikat yang mendengarkan? Atau meminjam kata-kata Pater van der Meulen (1987: 86), bagaimana para penulis buku atau guru sejarah bisa "menghidupkan kembali masa lampau". Perlu disadari bahwa kehidupan masa lampau itu sekarang tinggal jejak-jejaknya saja, tidak utuh. Misalnya kalau akan mengajarkan tentang Kerajaan Hindu/Budha (Mataram Hindu). Kehidupan nyata (keadaan yang sebanarnya) dari Kerajaan Mataram tersebut sekarang sudah tidak ada. Yang ada tinggal jejak-jejaknya, seperti Candi Prambanan, Borobudur, dsb. Namun pembaca buku atau siswa yang menerima penjelasan guru sejarah perlu memiliki pengetahuan yang relatif utuh tentang masa lampau tersebut. Perlu dipahami bahwa baik penulis buku sejarah maupun para guru sejarah berusaha menyajikan pengalaman masa lampau, sehingga pendekatan tingkat-tingkat pengalaman seperti tersebut di atas perlu diperhatikan sungguh-sungguh, terlebih untuk forum yang rendah usianya (SLA ke bawah). Barangkali untuk kalangan mahasiswa ada perkecualian, sebab mahasiswa diharapkan sudah mampu menangkap pengertian lewat ungkapan verbal. Namun perlu diingat bahwa pemakaian alat bantu (seperti peta sejarah) untuk kalangan mahasiswa pun masih perlu juga. Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan sementara sebagai berikut. Obyek sejarah adalah peristiwa masa lampau. Pengalaman nyata dalam buku sejarah atau pengajarah sejarah adalah peristiwa masa lampau. Dalam penulisan buku sejarah atau di dalam pengajaran sejarah, sangatlah sulit menghadirkan pengalaman nyata tersebut, karena hal itu berarti harus memutar roda perjalanan waktu kembali ke belakang, suatu yang mustahil dilakukan. Namun kita telah diingatkan bahwa pengalaman nyata sangat memudahkan penangkapan pengertian bagi siswa dalam proses belajarnya (dari pada ungkapan verbal). Mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut, yakni pengalaman nyata itu penting sekali, namun dalam pengajaran sejarah hal ini sulit dilakukan, maka sebagai penggantinya sangat perlu dihadirkan pengalaman pengganti berupa film, slide, foto/gambar/sktesa atau yang lainnya. Tak lain itu adalah media, sehingga mengingat spesifikasi sejarah, maka di dalam pengajarannya para guru sejarah dituntut agar selalu memakai media dalam pengajarannya, sehingga tugas menghidupkan kembali masa lampau itu bisa sedikit terbantu. 4. Jenis-Jenis Media yang Memiliki Efektivitas Tinggi Untuk Pengajaran Sejarah Jenis-jenis media manakah yang memiliki efektivittas tinggi untuk pengajaran sejarah? Sebelum pertanyaan ini dijawab, ada baiknya kita kenalkan terlebih dahulu jenis-jenis media itu sendiri. Terdapat berbagai cara di dalam merinci macam-macam media. Arief S. Sadiman (1986: 28-82) misalnya, membagi media menjadi tiga kharakteristik: media grafis, media audio, dam media proyeksi diam. Termasuk media grafis misalnya: gambar/foto, sketsa, diagram, bagan/chart, grafik, kartun, poster, peta dan globe, papan buletin, papan flanel. Media audio misalnya: radio, alat perekam pita magnetic, laboratorium bahasa. Media proyeksi diam misalnya: film bingkai, film rangkai, media tranparansi. Media auidiovisual seperti film, televisi, video, multi media, dsb. Lain lagi cara yang dipakai John D. Latuheru (1988: 41-81). Ia membagi jenisjenis media menjadi tiga kelompok: media pandang yang tidak diproyeksikan (gambar diam, grafis, dsb); media pandang yang diproyeksikan (OHP, Slide, dsb); dan media audio. Mulyono (1980: 8-15), membaginya menjadi enam kelompok: media visual (gambar/foto, sketsa, diagram, chart, grafik, kartun, poster, peta dan globe); media audio (radio, tape, dsb); media audio visual (film, televisi, video, dsb); display media (papan tulis, papan flanel, dsb); print media (cetakan, buku, majalah, dsb); pengalaman sebenarnya dan tiruan (karya wisata, dramatisasi, simulasi, dsb). Apabila kita perhatikan cara-cara pembagian seperti di atas, memang terdapat cukup jelas pengelompokan yang berbeda-beda. namun substansinya tetap sama. Dengan demikian, perbedaan tersebut masih bisa diterima sebab, tidak menimbulkan perubahan pada substansi, sehingga keputusan akhir memang terserah kepada si pemakai, model mana yang ia senangi. Agak berbeda dengan model pembagian di atas, bahkan penulis menawarkan pengelompokan model lain. Cara ini lebih sederhana, namun sesuai dengan arah tulisan ini. Dasar pembagiannya adalah, cara pembuatannya(pengadaannya) sulit atau tidak, murah atau mahal, memakai teknologi yang rumit atau tidak? Dengan demikian akan ditemukan jenis-jenis media yang tergolong memerlukan teknologi tinggi atau madya, seperti film, video, OHP, televisi, dsb. Sedangkan pada pihak lain akan ditemukan jenisjenis media yang tidak memerlukan teknologi tinggi, bahkan malah bisa disebut sebagai media tradisional atau konvensional, seperti peta, gambar, sketsa, bagan, grafik, tabel, dsb. Sekali lagi, karena tulisan ini ingin melacak jenis media manakah yang bisa dikembangkan oleh pengajar sejarah (di Indonesia), maka model pembagian ini menjadi lebih menarik. Tentu saja ini belum termasuk jenis media yang merupakan obyek nyata (benda sesungguhnya) atau pengalaman langsung. Sekarang kembali kepada pertanyaan semula, jenis media manakah yang memiliki efektivitas tinggi apabila dipakai dalam pengajaran sejarah? Di antara sekian banyak jenis media tersebut, apakah semuanya dapat digunakan untuk pengajaran sejarah? Jawabannya, tentu saja bisa. Hanya saja bila mau dicari, tentu saja akan ditemukan jenis media tertentu yang memiliki nilai lebih bila dibandingkan dengan jenis media yang lainnya. Namun harus diakui bahwa, alternatif yang disajikan di bawah ini bukanlah alternatif terkahir. Setelah diadakan pengamatan, maka ditemukan sejumlah media yang memiliki efektivitas tinggi untuk pengajaran sejarah. Jenis-jenis media yang dimaksud misalnya: 4.1 Pengalaman langsung (benda sesungguhnya) Terdapat banyak pokok bahasan dalam pengajaran sejarah yang sarat dengan masalah-masalah masyarakat dan lingkungan, yang sangat sulit diterangkan di dalam kelas. Untuk itu diperlukan penghayatan secara langsung. Dengan pengalaman langsung, maka peranan metode karyawisata, observasi, wawancara, tugas kelompok, menjadi sangat penting. Kita semua (guru sejarah) telah paham bahwa sekali peristiwa sejarah itu terjadi, maka peristiwa itu akan lenyap. Yang tertinggal hanyalah jejak-jejak (bekas-bekas) dari peristiwa tersebut. Inilah peninggalan sejarah. Ada yang tertulis, jejak benda, dan jejak lisan (Wija, 1989: 61-62). Dalam pengajaran sejarah, guna membantu siswa lebih memahami suatu peristiwa dengan lebih baik dan menarik, maka peninggalan sejarah itu akan sangat membantu guru sejarah dalam pengajarannya. Murid misalnya akan lebih gampang memahami tipu muslihat kompeni menghadapai raja-raja di Indonesia, apabila guru dapat memperlihatkan naskah-naskah perjanjian Kompeni dengan raja-raja tersebut, yang memuat pasal-pasal yang memojokkan si raja. Atau siswa akan lebih gampang menangkap kebesaran kerajaan Sailendra, andaikata si siswa diajak menyaksikan bangunan Candi Borobudur. Atau si siswa akan lebih mudah menghayati rasa rela berkorban dari para pejuang, seandainya siswa mendengar kisah langsung tentang pengalaman para pejuangnya sendiri. Sayang, penerapan karyawisata (terjun langsung ke lapangan) masih sangat jarang dilakukan oleh para guru sejarah. Seandainya pernah, frekuensinya pun sangat jarang, dan hanya berlaku bagi sekolahsekolah tertentu saja. Akan lebih baik lagi apabila guru dapat merangsang siswa untuk mengumpulkan berbagai hal yang memiliki nilai sejarah dari lingkungannya sendiri. Tidak perlu terlalu tinggi nilai sejarahnya, tetapi yang terpenting di sini adalah adanya perhatian serta minat siswa kepada benda-benda yang memiliki nilai sejarah itu. Akan lebih baik lagi apabila tersedia ruangan khusus untuk menyimpan benda-benda tersebut (ada ruangan sejarah, atau laboratorium sejarah). 4.2 Dramatisasi dan model-model Sandiwara boneka, wayang, dan berbagai model lain, sangat berguna dalam menyampaikan konsep-konsep sejarah, peristiwa-peristiwa sosial, kegiatan-kegiatan manusia, dan problem-problem individu. Yang dimaksud di sini adalah alat bantu mengajar sejarah yang berupa bentuk-bentuk khusus yang bersifat tiga dimensi yang merupakan tiruan dari unsur-unsur peristiwa sejarah. Dapat berupa istana raja dengan berbagai kelengkapannya dari suatu jaman tertentu, berbagai peralatan perang kuno, alat-alat transport dari jaman tertentu, juga bisa berupa orang-orang (pelaku) sejarah yang terlibat dalam suatu peristiwa. Dengan bantuan model ini, diharapkan siswa menjadi lebih mampu memvisualisasikan peristiwanya, dan karena itu menjadi lebih tertarik kepada apa yang sedang dipelajarinya. Penggunaan model dalam pengajaran sejarah sebaiknya ditekankan kepada model buatan siswa sendiri, karena akan lebih menggugah imajinansi siswa. Tentang bahan-bahan yang digunakan, usahakan yang murah-murah saja (ambil dari lingkungan setempat). Termasuk jenis model ini ialah diorama, menggambarkan episode peristiwa sejarah lengkap dengan lingkungan alam di mana peristiwa itu terjadi. Wayang dan sandiwara boneka, juga termasuk model. Akan lebih menarik apabila peninggalan sejarah dan model-model tersebut dikumpulkan dalam suatu tempat, dipamerkan. Pameran dapat diadakan secara periodik. Hal ini dapat menumbuhkan kebanggaan tersendiri kepada siswa akan hasil karyanya. Di samping itu, siswa masih dapat mengunjungi pameran di tempat lain, misalnya di museum-museum. 4.3 Gambar/foto/sketsa Foto dapat memberi gambaran yang riil tentang suatu peristiwa (daripada hanya diungkap lewat kata-kata saja). Tambahan pula harus diingat bahwa sejarah pasti berkutat sekitar peristiwa. Alangkah baiknya apabila siswa dapat berhadapan dengan rekaman peristiwa itu sendiri, berupa foto. Bagaimana pembaca/ pendengar/siswa mampu membayangkan kehebatan bunker dari Saddam Hussein, apabila tidak disertakan foto/gambar (atau bahkan sketsa tentang detail) dari bunker tersebut? Seandainya foto sulit ditemukan, maka peranannya dapat diganti dengan gambar atau sketsa. Tentu saja foto/gambar/sketsa tersebut harus benar-benar difungsikan, bukan sekedar menjadi hiasan buku atau dinding. Semakin baru peristiwa tersebut, maka penggunaan foto tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mengapa? Karena foto semacam itu pasti sangat mudah ditemukan. Dengan demikian, sejarah Indonesia setelah tahun 1900, apalagi setelah 1945, seyogyanya banyak dilengkapi foto-foto. Seandainya buku sejarah/guru sejarah benar-benar memperhatikan foto-foto itu, maka para siswa pasti tidak akan asing lagi kepada pahlawan bangsanya sendiri, seperti pernah terungkap ketika diadakan lomba mengenal pahlawan bangsa di Jakarta (Kompas, 28 Desember 1990). 4.4 Bagan/Chart Suatu chart menggunakan penyajian bergambar dan garis untuk mendaftar sejumlah besar informasi, atau menunjukkan perkembangan ide, obyek, lembaga, orang/keluarga ditinjau dari sudut waktu dan ruang (Zainuddin, 1984: 41). Sering terjadi siswa menjadi bingung apabila dihadapkan kepada sejumlah data-data yang banyak dan sekaligus. Untuk itu diperlukan chart yang dapat menyajikan secara bertahap. Terdapat bermacam-macam chart. Amir Hamzah Suleiman (1981: 50-56) dan Walter A. Wittich (1974:48-50), membaginya sebagai berikut: Bagan organisasi, bagan arus, bagan pohon (silsilah), bagan proses, dan bagan waktu. Di antara sekian banyak bagan itu, bagan pohon, bagan waktu dan bagan organisasi yang banyak digunakan untuk pengajaran sejarah. Bagan arus dan bagan proses menurut penulis banyak dipakai untuk pengajaran Fisika dan Biologi. 4.4.1 Bagan Organisasi Bagan ini menggambarkan struktur sebuah organisasi. Bisa struktur organisasi badan pemerintahan, perusahaan, industri, atau perkumpulan. Dengan bagan ini dapat dilihat dengan jelas bidang-bidang yang terdapat di dalamnya. Di dalam pengajaran sejarah, bagan ini dapat dipakai untuk menggambar struktur masyarakat (kelas-kelas atau tingkatan-tingkatan di dalam masyarakat), seperti kelas bawah, kelas atas dan kelas menengah. Atau juga dapat untuk menggambarkan hierarkhi pemerintahan/kekuasaan di dalam suatu negara. Juga untuk menggambarkan bagian-bagian dari sebuah organisasi, seperti PBB, ASEAN, MEE, dsb. Boleh jadi pemakaian jenis media ini tidak sesering dibanding dalam pengajaran PMP/PKn. 4.4.2 Silsilah Silsilah menjadi demikian penting peranannya apabila kita ingin mempermudah mendeskripsi sejumlah kepala pemerintahan atau raja yang turun-temurun kekuasaannya, dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu yang bertautan. Untuk sejarah Indonesia sampai abad ke-19, peranan silsilah sangat mutlak. Jangan sampai terjadi misalnya, di dalam buku Sejarah Indonesia I (Nugroho, 1977; 112-121), memaparkan riwayat 19 raja-raja Bali dalam beberapa halaman namun tidak ada silsilahnya. Siswa pasti akan menemui sejumlah kesulitan bila diminta mendata nama 19 raja-raja tersebut. 4.4.3 Bagan Waktu Bagan waktu menunjukkan data-data dalam urutan yang teratur. Ilmu sejarah sebagai suatu telaah manusia harus memperhitungkan unsur waktu dan ruang (Daldjoeni, 1982:7). Fungsi utama dari media ini ialah memberi kerangka kronologis, di mana peristiwa dan unsur perkembangannya bisa ditunjukkan dengan lebih jelas. Hal ini terutama diperlukan bila kita menekankan penggunaan strategi kronologis, yang mana melalui bagan waktu ini kita bisa menghindarkan murid kehilangan "rasa waktu", atau unsur kronologis dari peristiwa sejarah (Widja, 1989: 64-65). Di samping untuk menekankan unsur kronologis tersebut, bagan ini juga bisa menggambarkan unsur sebab akibat dari peristiwa sejarah dan bahkan saling berhubungan antara peristiwa-peristiwa dalam berbagai aspek kondisionalnya. Untuk itu yang penting ialah pembuatan bagan waktu yang kreatif, artinya bisa memvariasikannya dengan berbagai bentuk, sehingga aspek-aspek tadi bisa digambarkan dengan jelas dalam bagan tersebut. Bagan waktu ini dapat dibuat sendiri oleh guru, disediakan oleh buku sejarah, atau dibuat oleh siswa. Bila dibuat sendiri oleh siswa, maka siswa dapat diaktifkan serta dapat melatih daya imajinasi siswa. Tentu saja peran guru dalam pembimbingan tidak boleh dilepaskan. Bahan bisa dari kertas manila atau jenis kertas lainnya. Akan lebih baik bila memakai bermacam-macam warna untuk membedakan berbagai kolom atau garis yang mewakili jenis-jenis peristiwa/gejala dan berbagai tingkat perkembangannya (Widja, 1989: 65). Hal ini juga berkaitan dengan fungsi informatif bagan waktu yang ingin memberikan dua macam informasi, yaitu perkembangan yang meliputi jangka waktu tertentu dan peristiwa-peristiwa khusus yang diberi penanggalan atas dasar tahun kejadiannya. Yang pertama biasanya dituliskan pada kolom pertama yang berisi rentangan waktu dari tahun ke tahun (berderet dari atas ke bawah) yang meliputi periode tertentu. Sedangkan informasi kedua dituliskan pada baris-baris yang posisinya tepat sesuai dengan tahun kejadiannya yang terdapat pada rentangan waktu di kolom pertama tadi. Varaisi bisa saja terjadi, namun prinsip di atas masih tetap berlaku. 4.5 Peta Sejarah Peristiwa sejarah pasti tidak dapat dilepaskan dari tempat di mana peristiwa tersebut terjadi. Siswa tidak cukup hanya mengetahui mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, tetapi juga di mana peristiwa itu terjadi. Apabila faktor tempat ini diabaikan, maka pengetahuan siswa tentang suatu peristiwa bisa menjadi pincang. Apalagi bila tinjauan geografis yang dipakai, maka peran peta sejarah menjadi demikian mutlak. Dalam banyak hal, penggunaan peta sejarah sebagai media pengajaran sejarah bukanlah sekedar alat bantu, tetapi merupakan bagian integral dari bahan pengajaran itu sendiri (Widja, 1989: 65). Tentang hal ini mudah saja dipahami, apabila diingat bahwa suatu peristiwa sejarah itu di samping memiliki unsur waktu juga memiliki unsur tempat atau ruang yang tidak bisa diabaikan. Dengan demikian, penggunaan peta sejarah, yang tidak lain adalah lukisan visual dari ruang/tempat di mana peristiwa itu terjadi (Widja, 1989: 66), adalah mutlak dalam pengajaran sejarah. Hanya dengan menggunakan peta sejarah, visualisasi yang menyangkut posisi ruang sauatu kejadian bisa diwujudkan dengan lebih jelas di hadapan siswa. Misalnya dalam hubungan penggambaran luas wilayah suatu kerajaan (dengan batas-batas wilayahnya), geomorfologis, tofografis wilayah tersebut, distribusi penduduk, agama maupun bahasa serta mata pencaharian tertentu, kaitan wilayah dengan lautan yang menentukan kemajuan perdagangan/pelayaran suatu bangsa, dsb. (Widja : 66). Tentang pentingnya peta sejarah dalam pengajaran sejarah, CP Hill (1956: 46-47) menyebutkan, pertama, memberikan pengertian tentang suatu tempat, sekecil apapun, itu adalah penting bagi pengajaran sejarah (bandingkan dengan pendapat Widja di atas); dan kedua, peta sering kali merupakan alat pendorong yang tepat untuk penerangan dalam pikiran anak-anak. Lebih jauh Hill menyarankan agar sebaiknya setiap anak memiliki atlas sejarah sejak umur 10 tahun. Sedangkan Daldjoeni (1982: 7) berpendapat bahwa, geografi tanpa sejarah itu bagaikan jerangkong tanpa gerak, sedangkan sejarah tanpa geografi itu bagaikan kelana tanpa tempat tinggal. Tentang jenis-jenisnya, atas dasar penggunaannya, Widja membaginya sebagai berikut (1989: 66-67): 4.5.1 Atlas, yaitu peta-peta yang disusun dalam bentuk atlas yang khusus disiapkan untuk tujuan menunjang pengajaran sejarah untuk berbagai periode dan skup. Peta semacam ini sering disebut "Atlas Sejarah". Di Indonesia belum merupakan tradisi membuat "Atlas Sejarah". Satu-satunya yang pernah ada adalah Atlas Sejarah yang disusun Muh. Yamin pada tahun 1956. 4.5.2 Peta Dinding, yaitu peta yang sengaja dibuat dengan ukuran yang cukup besar untuk bisa digantungkan di dinding, sehingga lebih mudah dipajang di depan klas, dan dengan mudah dapat dilihat seluruh siswa. Sebagai peta sejarah, peta dinding perlu mencantumkan berbagai informasi yang dapat menunjang berbagai uraian sejarah, seperti tempat-tempat peristiwa terjadi, luas wilayah, garis-garis dengan ujung panah untuk menunjukkan gerakan suatu kejadian, dsb. 4.5.3 Peta Sketsa Berbeda dengan atlas dan peta dinding yang memuat berbagai macam detail seperti digambarkan di atas, maka peta sketsa hanya bersifat sederhana, hanya memuat lukisan ruang secara garis besar saja, dan biasanya hanya berisi ilustrasi yang bersifat sketsa tentang fakta-fakta khusus dalam hubungan suatu peristiwa yang dikerjakan sendiri oleh guru/siswa di papan tulis atau di kertas khusus. Adakalanya bisa berupa peta "buta". 4.5.4 Peta Lukisan/Gambar Berbeda dengan jenis-jenis di atas, maka peta jenis ini ditambahkan banyak lukisan/gambar/foto dari peristiwa-peristiwa yang disebut. Bila peta pelayaran/perdagangan, maka perlu ditampilkan gambar/foto kapalnya, nakodanya, dsb. 4.6 Laboratorium Sejarah Widja (1989: 70) menyebutnya dengan "Ruang Sejarah", yaitu suatu ruangan khusus yang merupakan tempat peragaan dan pemantapan pelajaran sejarah. Tempat ini bukan sekedar berfungsi memperagakan benda-benda sejarah, namun lebih dari itu adalah tempat pemantapan pelajaran sejarah sebab, di situ termasuk juga kegiatankegiatan yang memungkinkan murid menghayati arti sejarah secara lebih mendalam. Harus diakui bahwa, jenis media ini memang masih tergolong ideal. Di samping memerlukan dana yang tinggi, juga barangkali dipandang belum perlu. Hal ini berkaitan dengan penilaian umum terhadap mata pelajaran sejarah, yang tidak lebih dari pelajaran yang hanya menghafalkan fakta-fakta mati dan lepas-lepas, seperti namanama raja dan angka-angka tahun. 4.7 Film, Video, Televisi, (Sound) Slide,Multimedia. Keempat jenis media ini merupakan gabungan dari media dengar dengan media pandang. Perbedaan nyata terletak pada tingkat kesulitan pengadaannya, yang bertalian erat dengan tingkat kemahalannya. Dalam pengajaran, manfaat film sangat jelas. Alangkah beruntungnya pengajaran sejarah seandainya semua peristiwa dapat difilmkan. Apalagi bila pengadaannyapun relatif gampang dan murah. Sebagai media pengajaran sejarah, film memang sangat efektif. Namun harus diakui bahwa, biayanya memang sangat mahal, dan memperolehnyapun tidak mudah. Agak lebih murah dari film adalah video. Manfaat video bagi pengajaran sejarah tidak jauh berbeda dengan film. Walaupun media ini lebih murah dibanding film, toh baru sedikit sekolah yang memilikinya. Itupun belum tentu pernah dimanfaatkan untuk pengajaran sejarah. Mengapa? Boleh jadi karena kaset rekaman video tentang materi pelajaran sejarah memang masih sulit ditemukan. Dibanding dengan film dan video, televisi (TV) lebih murah lagi. Tingkat pemilikannyapun lebih luas, dan pengoperasiannya sudah ditangani secara khusus. Hanya saja, materi sejarah dalam siarannya belum ditangani secara khusus. Dulu pernah ada tayangan cukilan-cukilan sejarah (pahlawan) lokal, namun sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah adanya siaran TV pada pagi hari, bisa sangat menguntungkan pihak sekolah seandainya ada program siaran pendidikan (tak terkecuali pelajaran sejarah). Akhir-akhir ini, TV swasta menyiarkan sebuah serial "Tutur Tinular" yang cukup digemari pemirsa. Apabila serial itu muatan sejarahnya ditambah, maka bisa dipakai untuk media pengajaran sejarah. Lain lagi ceritanya soal slide. Peranan slide sebagai media agak mirip dengan video, dalam arti dapat dipakai untuk membawa masuk obyek-obyek sejarah (peninggalan) yang secara langsung sangat sukar dibawa masuk ke kelas seperti candi, museum, masyarakat terpencil, dsb. Pemakaian slide sebetulnya lebih dimungkinkan dibanding jenis lain di atas, karena lebih praktis dan relatif lebih murah. Walaupun demikian, pemakaiannya toh belum luas. Sebabnya barang kali karena perhatian terhadap jenis media ini belum seperti yang diharapkan, demikian pula pengadaan pesannya tidak gampang ditemukan. Alasan tersebut boleh jadi dapat dibenarkan, karena membuat film slide sendiri juga tergolong tidak mudah. Diperlukan kerjasama antara "ahli" sejarah dengan ahli fotografi. Dengan demikian memang diperlukan penanganan secara khsusus dan profesional. Dibandingkan film, TV dan Video, pemakaian slide ini dalam pengajaran sejarah, lebih dapat diharapkan dan bahkan mendesak. Mengapa? Karena banyaknya peninggalan sejarah yang segera harus "dibawa masuk" ke kelas, dan slide (kemudian video) adalah kemungkinan yang paling dekat. Seiring kemajuan teknologi, maraknya computer, dsb., maka pemakaian multimedia di dalam kelas mulai banyak dilakukan. Namun pemakaian media jenis ini baru terbatas di kota-kota besar saja. Itupun belum secara meluas. Di kota Yogyakarta misalnya, baru sebagian kecil sekolah yang betul-betul siap melaksanakan (pengalaman penulis ketika menunggui mahasiswa PPL, tahun 2010). 4.8 Radio/Tape Recorder Jenis media ini lebih mungkin dibandingkan dengan jenis media tersebut di atas (7). Pasalnya adalah, pesawat radio sudah secara luas dimiliki masyarakat. Melalui siarannya (bila dikemas secara khusus) dapat menyampaikan cerita-cerita sejarah. Cerita-cerita kepahlawanan lokal (bahkan bisa dongeng atau legenda), dapat diangkat ke tingkat nasional melalui radio. Apalagi siaran radio berlangsung pada pagi hari, siang dan malam hari. Apabila dikemas secara khusus (oleh tim ahli sejarah), maka semua sekolah dapat memanfaatkan media radio ini. Pada tahun-tahun lalu pernah radio swasta menyiarkan serial "Saur Sepuh" dan "Tutur Tinular". Pengamatan sepintas menunjukkan bahwa penggemar drama radio itu cukup luas. Apabila "cerita sejarah" itu diperbanyak muatan sejarahnya, maka tak ayal lagi radio adalah media bagus untuk memasyarakatkan sejarah. Apabila cerita itu direkam, maka media tape recorderlah yang berperan. Kelebihannya dari radio, tape lebih praktis, tidak terikat oleh jam siaran, yang berarti dapat diputar setiap saat dan dapat diulang-ulang. 4.9 Papan Tulis dan Overhead Projector (OHP) Papan tulis telah kita kenal bentuknya. Alat ini sangat sederhana, murah, namun sangat vital fungsinya. Setiap sekolah pasti memilikinya. Bagi guru yang trampil menggambar/menulis di papan, mereka tidak perlu menyiapkan (membuat) media macam bagan, grafik, peta, sketsa dan semacamnya. Ia langsung dapat membuatnya pada papan tulis. Hasilnya, siswa akan lebih tertarik, karena siswa dapat mengikuti proses perkembangan suatu peristiwa tahap demi tahap (terutama bagan), serta dapat menambah kewibawaan guru karena siswa kagum akan ketrampilan guru membuat gambar/sketsa. Bagi sekolah yang kaya, peranan papa tulis semacam itu "dapat digantikan" oleh OHP. Bedanya, dengan OHP guru harus membuat gambar/sketsa pada plastik transparansi, dan ia dapat menyiapkan jauh sebelumnya. Dari uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa jenis media seperti: pengalaman langsung, model-model, peta sejarah, bagan-bagan, foto/gambar/sketsa, laboratorium sejarah, papan tulis/OHP, film/video/TV/slide/multimedia, adalah jenis-jenis media yang nilai efektivitasnya cukup tinggi bagi pengajaran sejarah. Kesimpulan ini tentu saja tidak bermaksud untuk mengecilkan sama sekali jenis-jenis media lainnya. 5. Jenis-Jenis Media yang Sebaiknya Dikembangkan Guru Sejarah Di depan telah dicoba diadakan seleksi guna mencari sejumlah media yang meiliki efektivitas tinggi bagi pengajaran sejarah. Yang dipakai sebagai bahan pertimbangan utama adalah, sifat materi pengajaran sejarah. Setelah ditemukan sejumlah media yang memilki efektivitas tinggi untuk pengajaran sejarah, maka pada bagian berikut akan diadakan seleksi lagi untuk menemukan jenis-jenis media mana yang sebaiknya dikembangkan oleh setiap guru sejarah. Agar dapat sampai kepada sasaran, maka perlu ditentukan sejumlah kriteria terlebih dahulu, seperti tujuan yang ingin dicapai, ketepatgunaan, keadaan siswa, ketersediaan, mutu teknis dan biaya (Zainuddin, 1984: 38-39); Sadiman, 1986: 84-86). 5.1 Tujuan Media yang kita pilih hendaknya menunjang tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Masalah tujuan ini adalah kriteria yang paling pokok, sedangkan yang lainnya merupakan kelengkapan dari kriteria utama ini. Sebagai contoh, apabila tujuan pengajaran agar siswa dapat menunjuk suatu tempat kejadian peristiwa, maka media peta adalah yang paling tepat. Lain lagi kalau siswa diminta mengenali para tokoh, maka media foto/gambar adalah yang paling tepat. 5.2 Ketepatgunaan Jika materi yang akan dipelajari adalah bagian-bagian yang penting dari suatu benda, maka media gambar, bagan, slide dapat digunakan. Sedangkan kalau yang ingin dipelajari adalah aspek-aspek yang menyangkut gerak, maka media film atau video lebih tepat. 5.3 Keadaan siswa Sebuah program media boleh jadi cocok untuk tujuan tertentu. Tetapi jika kerumitannya serta kosakatanya jauh di atas kemampuan siswa kita, maka media tersebut tidak dapat dipilih. Di samping kemampuan dan kesiapan siswa, maka besar kecilnya suatu kelompok juga harus dipertimbangkan. 5.4 Ketersediaan Seringkali media yang kita nilai tepat untuk mencapai tujuan pengajaran, umpamanya film, ternyata di sekolah media tersebut tidak ada. Sedangkan untuk memproduksi sendiri adalah jauh dari mungkin. Dalam keadaan semacam itu kita dapat meilih alternatif lain, seperti slide atau gambar mati. Contoh lain, seandainya media yang dipandang tepat adalah OHP, sedangkan di sekolah tidak tersedia, maka kita harus siap mengoperasikan papan tulis seoptimal mungkin, sambil dibantu media lain (peta, tabel, gambar) bikinan sendiri. 5.5 Mutu teknis Andai kita merencanakan menggunakan slide tentang candi, namun slide yang kita buat gambarnya tidak bagus, ada bagian-bagian yang tidak jelas. Begitulah, karena mutu teknis dari media slide tidak memenuhi syarat, maka media tersebut tidak dapat digunakan. 5.6 Biaya Kriteria yang tidak kalah pentingnya adalah biaya. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan (membuat) dan untuk menggunakannya, hendaknya benar-benar seimbang dengan hasil yang ingin dicapai. Jika tujuan yang hendak dicapai sekedar mengenal para pahlawan revolusi, maka media foto sudah cukup. Tidak perlu kita mengajak siswa melihat film G.30.S.PKI, yang lebih rumit prosedurnya, serta lebih mahal biayanya. Melihat kriteria-kriteria di atas, serta kondisi obyektif di Indonesia (ekonomi dan sosial budaya), maka kriteria ketersediaan dan biaya adalah kriteria menarik untuk dijadiklan ukuran seleksi terakhir ini, di samping kriteria tujuan dan ketepatgunaan. Kondisi ekonomi persekolahan di Indonesia sangat merepotkan apabila dituntut menyediakan jenis-jenis media yang tergolong memerlukan teknologi cukup tinggi. Untuk ukuran kota besar saja, berapa sekolah (SLP/SLA) yang telah memiliki perlengkapan video, OHP, film slide, multimedia secara memadahi? Seandainya ada, pemakaiannyapun perlu dipertanyakan, apakah dipakai untuk keperluan pengajaran sehari-hari atau tidak? Itu baru perangkat kerasnya, belum perangkat lunaknya, yang berupa isi atau pesan. Jenis-jenis media tersebut tidak perlu lagi diragukan kehandalannya bagi pengajaran sejarah. Namun mengingat kondisi obyektif itu tadi, maka untuk sementara para pengajar sejarah boleh melupakan dulu jenis-jenis media tersebut di atas. Lalu jenis media yang mana yang sebaiknya dikembangkan guru sejarah? Media tersebut haruslah yang mudah ditemukan (disediakan), mudah dibuat, dan murah harganya. Setelah memperhatikan kriteria itu, maka dengan sangat menyesal jenis media yang tergolong tradisional/konvensional yang menjadi pilihan. Dengan demikian, peta sejarah, foto/gambar/sketsa, bagan-bagan, tabel-tabel, grafik, papan tulis adalah jenis-jenis media yang sebaiknya (wajib) dikembangkan para guru sejarah. Dengan alasan apapun, pengajar sejarah tidak dapat menghindar dari kewajiban memakai dan mengembangkan jenis-jenis media yang tergolong tradisional tadi. Benda sesungguhnya atau pengalaman langsung, memang tidak boleh dilupakan sebagai media pengajaran sejarah. Media ini juga sangat efektif untuk sarana penanaman nilainilai tertentu (kagum/bangga akan prestasi bangsa), terutama untuk siswa usia rendah. Namun karena mahalnya biaya karyawisata, maka penulis tidak berani mewajibkannya. Hanya untuk sekali-sekali bolehlah. Sedang untuk jenis-jenis media yang memakai teknologi tinggi/madya, masih tetap dianjurkan bagi sekolah-sekolah yang tergolong mampu secara ekonomis. 6. Cara Mengatasinya Pada bagian depan tulisan ini telah diuraikan bagaimana kelengkapan media baik yang ada pada buku pelajaran sejarah maupun yang terdapat di sekolah-sekolah. Memang gambaran tersebut barulah hasil pengamatan terhadap beberapa buku dan sebagian kecil sekolah saja (Yogyakarta saja hanya sebagian). Namun yang dikhawatirkan ialah, seandainya keadaan di tempat-tempat lain juga tak jauh berbeda. Apalagi untuk sekolah-sekolah terpencil, buku pelajaran (sejarah) saja barangkali tak ada atau tidak lengkap, demikian ketersediaan media sejarah. Kini hanya keyakinan penulis yang menguatkan bahwa kelengkapan media baik yang ada pada buku sejarah maupun yang tersedia di sekolah-sekolah memang kurang. Maka yang mendesak perlu segera dipikirkan adalah bagaimana mengatasinya agar pengajaran sejarah terselamatkan? Harapan yang masih tersisa tinggal ada pada guru sejarah. Jelasnya, hanya kreativitas guru sejarah yang dapat menolong. Terdapat sejumlah tawaran, 6.1 Guru sejarah menggambar langsung di papan tulis, baik itu berupa peta sejarah, bagan-bagan (pohon, waktu, organisasi), sktesa/gambar(peninggalan/alat-alat), tabeltabel, grafik,dsb. Diharapkan cara ini sering dilakukan guru, karena cara ini yang paling murah dan mudah. Pada setiap sekolah pasti ada papan tulis dan kapur tulis. Dengan pertimbangan ini maka guru tidak dapat menghindar (untuk tidak akan melakukan). Memang cara ini juga memiliki kelemahan, misalnya ketepatannya dan kecermatannya, "anatominya" tidak tepat. Kelemahan lain misalnya, waktu ada yang terbuang untuk menggambar. Dan yang paling dikhawatirkan, apabila guru kurang trampil menggambar, hasilnya kacau. Apabila guru trampil menggambar, cara ini justru memiliki kelebihan, pertama pelajaran menarik (siswa senang melihatnya) dan kedua, prosesnya (tahap demi tahap) dapat diikuti siswa (proses tidak dapat diikuti siswa apabila guru langsung menunjukkan gambar yang sudah jadi, dibawa dari rumah). 6.2 Guru (atau bersama siswa) membuat media sendiri, bisa individual atau kelompok. Apabila kurang paham cara-cara membuat peta/bagan yang baik, maka dibuat secara konvensional, yakni diblat/didam pada kertas Manila atau Padalarang. Bisa saja setiap tahun guru memberi tugas khusus pada setiap klas untuk membuat jenis-jenis media tertentu (peta sejarah, gambar para tokoh, bagan-bagan, dsb.), lalu menjadi koleksi sekolah. Lama-lama koleksi sekolah menjadi lumayan. 6.3 Mengoptimalkan beberapa jenis media yang terdapat pada buku sejarah. Walaupun di atas, telah diurai bahwa kelengkapan media pada buku dinilai kurang, namun untuk beberapa jenis media masih ada. Yang ada ini hendaknya kita manfaatkan betul-betul. Misalnya bersama siswa mencari pada peta tempat-tempat penting. Atau bisa juga siswa diminta memberi komentar pada gambar para tokoh (beberapa kalimat saja cukup). Manfaat dari latihan ini adalah, siswa benar-benar diaktifkan (CBSA), atau juga siswa dilatih menuangkan pikiran/komentar dalam bentuk tulisan (atau bisa juga lisan). Penulis memiliki pengalaman menarik dalam hal ini (tapi untuk tingkat SD). Waktu itu penulis memperbanyak (fotokopi) foto-foto Pahlawan Revolusi yang telah dihapus identitasnya. Secara kelompok siswa diminta menyebutkan/menulis namanama para tokoh tersebut, kemudian diminta juga memberikan komentarnya, entah yang bersifat kagum, bangga, sedih, dsb. Ternyata kegiatan ini menarik siswa, mereka aktif bekerja sama mengerjakan tugasnya. Hanya saja penulis memang harus keluar biaya ekstra, yakni untuk memperbanyak foto/gambar. 6.4 Tiga cara di atas adalah cara-cara yang paling sederhana, mudah dan murah, artinya setiap guru pasti bisa melakukan. Tinggal tekad dan kreativitas guru yang menentukan. 6.5. Cara keempat yang penulis tawarkan adalah, sesekali guru mengajak siswa mengunjungi obyek-obyek/peninggalan sejarah (museum, candi atau tempat-tempat bersejarah lainnya) yang dekat. Misalnya (kalau di Yogyakarta): Museum Sonobudoyo, Museum Benteng, Gedung Agung, Kraton Yogyakarta, Candi Prambanan dan sekitarnya, Candi Kalasan, Candi Borobudur dan sekitarnya, dsb. Untuk sekali-sekali, kegiatan ini mestinya dapat dilakukan. Mengapa pergi ke Pulau Bali bisa, tetapi (untuk siswa/sekolah di Yogyakarta) mengunjungi obyek-obyek sejarah yang dekat-dekat justru tidak dilakukan? Hal seperti ini aneh tetapi benar-benar terjadi. Kendala cara keempat ini, secara finansial sedikit mahal dan perlu pengaturan waktu yang cermat (meninggalkan sekolah, yang berarti menghilangkan mata pelajaran yang lain). Namun cara ini sangat baik bagi pendalaman pemahaman siswa (pengalaman langsung), serta untuk penanaman nilai-nilai tertentu, mengagumi atau menghormati/menghargai peninggalan budaya. Cara keempat ini pernah dicobakan (dicontohkan) secara baik oleh Mr. Billy dkk. dari Belanda sewaktu datang ke USD pada tahun 2009. 6.5 Bila mungkin, sering kali siswa diajak menonton film sejarah atau film dokumenter. Atau juga memutar slide, maupun video seandainya ada. Cara ini memang agak mahal, oleh karenanya cara seperti ini sekedar anjuran saja. Untuk cara 1,2,3, kelemahan pokok segera tampak, yakni kurangnya buku sumber yang dapat dipakai guru untuk memberi tugas kepada siswa. Buku-buku sejarah yang ditulis oleh penulis-penulis Indonesia, pada umumnya kelengkapan medianya tergolong kurang. Jangankan yang ada pada buku paket/wajib, kelengkapan media yang ada pada buku indukpun kurang. Permasalahannya adalah ke mana guru harus menemukan bahan? Untuk sementara, sejarah baru, dari tahun 1945- 1970-an, bisa dipakai buku Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka. Namun harus hati-hati tentang materi yang menyangkut Orde Baru. Selain buku itu, sejauh ini belum ada. Lain halnya untuk buku-buku asing, perhatiannya kepada peta atau gambar cukup besar, sebut saja misalnya: - Herman Kinder and Werner Hilgemen, 1979, The Penguin Atlas of World History, England, Penguin Books. - R.R.Sellman, 1970, An Outline of Word History, London, Edward Arnold. Bahkan untuk sejarah yang deskriftif, misalnya Sejarah Amerika Serikat Sejak Kemerdekaan, kelengkapan medianya cukup lengkap. Peta tentang pertumbuhan dan perkembangan negara-negara bagian di Amerika terekam cukup jelas. Berwarna lagi. Gambar/foto para topkoh juga lengkap. Peta dan gambar/foto memang tidak harus dalam ukuran besar, kecil saja cukup, yang penting ada. 7. Bagaimana cara mengaktifkan sisiwa. a. Dalam pengajarannya, guru bisa menyediakan foto-foto tokoh-tokoh terkenal (pahlawan revolusi, pejuang-pejuang keemerdekaan, dsb). Identitas tokoh-tokoh tertesebut dihilangkan. b. Kemudian, siswa diminta menyebutkan/menulis identitas tokoh-tokoh tersebut, memberi sedikit komentar/catatan tentang tokoh tersebut (peranannya, jasa-jasanya, yang dikagumi, ungkapan perasaan,dsb). c. Secara individual atau kelompok, maju melaporkan hasil temuannya. Siswa bersama guru memberi komentar. Dengan cara tersebut, bukan saja siswa akan mengenal para tokoh pahlawan (bisa menyebutkan atau tidak lupa), namun sekaligus siswa juga diajak/dilatih mengkonstruksi cerita sejarah tentang peran tokoh tersebut. Selain foto, kepada siswa juga bisa disediakan peta buta (kawasan mana terserah). Kemudian siswa diminta menunjukkan pada peta (memberi tanda), bagian-bagian mana pada peta pernah terjadi peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya siswa diminta menunjukkan route gerilya Jendral Soedirman, route gerilya Pangearan Diponegoro, dsb. Kepada siswa bisa juga disedaiakan suatu uraian pada buku, kemudian siswa diminta mebuat bagan waktu atau bagan pohon, grafik-grafik, dsb. 8. Hubungannya dengan berbagai pendekatan a. Pendekatan kontruktivisme Di bawah ini beberapa kutipan tentang kontruktivisme yang diambil dari bukunya Paul Suparno (1997) Secara sederhana kontrukrivisme beranggapan bahwa pengetahuan kita itu merupakan kontruksi (bentukan) dari kita untuk m,engetahui sesuatu. Konteruksi sendiri bisa berarti membina atau membangun, maksudnya orang yang belajar itu tidak ahanya meniru atau mencerminkan apa yang ia baca, melainkan menciptakan sesuatu pengertian atau pengetahuan yang dibentuk oleh individu secara aktif.( cetak tebal dari penulis). Secara garis besar, prinsip-prinsip kontruktivisme yang diambil adalah pengetahuan dibangun oleh sisiwa sendiri, baik personal atau sosial dan pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid, kecuali hanya keaktifan murid sendiri untuk mencari tahu. Guru sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses kontruksi sisiwa berjalan mulus. Bagi kontruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Bagi kaum kontruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis dan mengadakan justifikasi Dalam aliran kontruktivisme, guru bukanlah seseorang yang mahatahu dan murid bukanlah yang belum tahu dan karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar murid aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru hanya membantu agar pencarian itu berjalan dengan baik. b. Pendekatan Kontekstual Di bawah ini beberapa kutipan tentang Pendekatan Kontekstual yang diambil dari buku Pendekatan Kontekstual (Depdilnas, 2003). Pembelajaran kontektual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Belajar tidak hanya menghafal. Siswa harus mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Siwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Peran orang dewasa (guru) membantu m,enghubungkan antara yang yang baru dan yang sudah dipahami. Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru menjadi bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri. Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari guru acting di depan kelas, siswa menonton, ke siswa acting bekerja dan berkarya, guru mengarahkan. c. Paradigma Pembelajaran Reflektif. Di bawah ini beberapa kutipan dari “Pembelajaran Sejarah yang Reflektif”, dalam buku Menuju Pembelajaran Aktif (2001). Refleksi adalah menyimak kembali pengalaman masa lampau untuk memahami secara mendalam, seperti menemukan makna atau hikmahnya, menyadari adanya gerakangerakan batin, motivasi, keinginan, tawaran nilai-nilai. Dengan refleksi diharapkan apa yang dipelajari memberikan pencerahan akan makna dan arti menjadi insan yang manusiawi utuh sekaligus kristiani. Kemudian berdasarkan refleksi tersebut diharapkan siswa tergerak untuk memutuskan, mengambil sikap dan membentuk niatan-niatan yang sesuai. Dengan refleksi siswa menjadi sadar untuk mengambil sikap sendiri dan berbuat sesuai dengan sikap-sikap tersebut. Segaimana seorang pembimbing menciptakan konteks yang tepat untuk retret, seperti relasi akrab dan saling menghargai, guru menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar, seperti keakraban dengan siswa, adil, sikap demokratis, perhatian dan kepedulian kepada yang kurang mampu baik secara finansial maupun akademis. Dalam pembelajaran konvensional guru cenderung memberi ceramah dan memberitahu. Paradigma Pendidkan Refleksi yang mengikuti pola retret cenderung memberi kesempatan kepada siswa untuk latihan sendiri, menemukan sendiri, mengalami sendiri. Pengalaman menjadi sungguh-sungguh pengalaman bila ia mengesankan. Pengalaman yang sama sekali tidak menegesankan, sebenarnya tidak dapat disebut sebagai pengalaman. Oleh karena itu, agar pembelajaran menjadi pengalaman, maka siswa perlu berlatih, belajar sendiri, menemukan sendiri, mencoba sendiri, mengalami sendiri. CATATAN Dari kutipan-kutipan di atas, baik pendekatan kondtruktivisme, kontekstual maupun reflektif, semuanya menuntut adanya aktivitas siswa dalam pembelajaran. Artinya, mengaktifkan siswa melalui media tidak bertentangan dengan pendekatan-pendekatan tersaebut di atas. Tambahan lagi, mengaktifkan siswa melalui media seperti contoh di atas tidak begitu sulit dilakukan guru di manapun (termasuk di pelosok sekalipun) , maka cara tersebut bisa merupakan alternatif lain bagi guru untuk mengaktifkan siswa. Selamat mencoba ! 8. Penutup Demikianlah kondisi ketersediaan media baik yang ada dalam buku pelajaran sejarah maupun yang ada di sekolah-sekolah memang masih sangat memprihatinkan. Kesalahan tentu saja tidak boleh dibebankan kepada para guru sejarah. Banyak pihak yang harus ikut bertanggung jawab. Penulis-penulis buku sejarah sendiri belum terbiasa melengkapi bukunya dengan jenis-jenis media tertentu seperti peta sejarah, baganbagan (silsilah, waktu, organisasi), gambar/foto/sketsa. Mengingat pentingnya media di dalam buku pelajaran sejarah maupun bagi pengajaran sejarah, yakni sebagai alat bantu guna "menghidupkan kembali peristiwa masa lampau", maka sangat dianjurkan kepada para penulis buku sejarah untuk melengkapi bukunya dengan jenis-jenis media tertentu, dan kepada guru sejarah untuk selalu memakai media dalam pengajarannya. Dalam waktu yang mendesak ini, mengingat posisi para guru sejarah yang ada di garis depan, maka tidaklah berlebihan apabila para guru sejarah diharapkan mampu menjadi juru selamat dan sekaligus juga sebagai tulang punggungnya. Untuk ini kreaktivitas guru sangat diharapkan. Pada akhir tulisan ini, penulis mencoba memberikan contoh, jenis-jenis media yang sebaiknya ada dalam pengajaran sejarah. Pada Suplemen GBPP, Penyempurnaan/Penyesuaian Kurikulum 1994 untuk Mata Pelajaran Sejarah Nasional dan Umum, 1999/2000, telah terdapat jabaran materi. Dari jabaran materi tersebut dapat dicari jenis-jenis media apa yang sebaiknya dipakai. Contoh, bahan pada Klas I, Cawu I, pokok bahasan 2, tentang Pusat-pusat Peradaban Kuno di Asia dan Afrika. Di sini terdapat beberapa sub pokok bahasan, yakni: a. Membahas peradaban Lembah Indus berdasarkan hasil-hasil kebudayaan (tata kota, sanitasi, sistem pertanian dan pengairan, teknologi, perekonomian, pemerintahan, dan kepercayaan). b. Membahas peradaban Lembah Sungai Kuning berdasarkan kebudayaannya (sistem pertanian, teknologi, aksara, astronomi, pemerintahan, serta filsafat dan kepercayaan). c. Membahas peradaban Lembah Sungai Eufrat dan Tigris (Mesopotamia) berdasarkan hasil-hasil kebudayaannya (sistem pertanian dan pengairan, ilmu pengetahuan dan teknologi, aksara, sistem kalender, perekonomian, serta pemerintahan dan hukum). d. Membahas peradaban Lembah Sungai Nil berdasarkan hasil-hasil kebudayaannya (seni bangun, sistem pertanian dan pengairan, ilmu pengetahuan dan teknologi, aksara, astronomi, kepercayaan dan pemerintahan). e. Menemukan persamaan dan perbedaan peradaban Lembah Sungai Indus, Lembah Sungai Kuning, Lembah Sungai Eufrat dan Tigris, dan Lembah Sungai Nil. Berdasarkan jabaran materi tersebut di atas, maka jenis-jenis media yang sebaiknya ada adalah: a. Peta sejarah tentang Lembah Sungai Indus, Lembah Sungai Kuning, Lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Lembah Sungai Nil. Pada peta-peta itu perlu ditunjukkan tempattempat (kota-kota) penting diketemukan hasil kebudayaan. Peta ini demikian penting mengingat wilayah ini adalah wilayah yang barangkali masih asing bagi siswa (Indonesia). b. Gambar/foto/sktesa mengenai hasil kebudayaan untuk tiap-tiap wilayah, paling tidak untuk hasil-hasil tertentu yang penting atau menjadi kekhasan bagi daerah tersebut, seperti piramida/spinx di Mesir, atau tembok besar di Cina, dsb. c. Gambar/foto/sktesa tentang hasil kebudayaan yang menunjukkan tingginya tingkat peradaban di wilayah tersebut, seperti bentuk-bentuk tulisan di Mesir, Mesopotamia, atau sudah teraturnya tata kota dan sistem sanitasi di Lembah Indus, sistem kalender, cara hitung-menghitung, astronomi, dsb. Dengan mengkritisi kemajuan peradaban suatu bangsa, siswa diajak menghargai/menghormati prestasi peradaban suatu bangsa. Berarti siswa diajak menempatkan kemajuan ilmu pengetahuan sebagai bagian terpenting dari kehidupan manusia (atau bahkan bangsa lain, terutama bila dibandingkan dengan tingkat peradaban bangsa Indonesia pada jaman yang sama). d. Bagan waktu (time chart), untuk melihat persamaan dan perbedaan tinggirendahnya tingkat peradaban antar berbagai wilayah, dalam kurun waktu yang bersamaan. e. Tabel-tabel, berfungsi mempermudah melihat persamaan dan perbedaan hasil kebudayaan antar berbagai wilayah. Untuk nomer d dan e di atas justru dapat dipakai untuk mengaktifkan siswa, dengan cara siswa diberi tugas (PR) membuat bagan waktu atau tabel-tabel, dengan terlebih dahulu siswa diberi penjelasan tentang bagaimana cara membuat bagan waktu atau tabel-tabel tersebut. Sebagai bahan banding, akan dilihat bagimana ketersediaan media dalam buku Sejarah untuk SMA untuk klas XI susunan Wayan Badrika (Erlangga , 2004 ) dan susunan Matroji (Bumi Aksara, 2007). Pada bagian yang membahas Masuknya dan Berkembangnya Hindu Budha di Indonesia, ketersediaan peta dari kedua buku itu cukup baik (walau hanya kecil-kecil ukurannya). Namun pada bagian yang membahas raja-raja dari Kerajaan Hindu dan Budha, tidak ada media bagan pohon (silsilah) sama sekali. Kelebihan pada buku tulisan Matroji adalah, adanya media Struktur Birokrasi Kerajaan Majapahit (halaman 22), dan Struktur Birokrasi Kerajaan Mataram Kuno (Halaman 13). Yang sangat disayangkan kedua buku itu kurang menyediakan foto-foto para pendiri Pergerakan Nasional seperti Dr. Sutomo, Dr. Wahidin, Ki Hajar Dewantara, dsb. Namun pada umumya ketersediaan media pada buku-buku yang terbit lebih baru, lebih baik daripada yang tersedia pada buku-buku yang lama . Daftar Pustaka Amir Hamzah Suleiman. 1981. Media Audio Visual, Jakarta, Gramedia. Depdiknas, 2003, Pendekatan Kontekstual, Jakarta. Latuheru, John. 1988. Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Masa Kini, Jakarta, PPLPTK. Matroji, 2007, Sejarah Program IPA SMA/MA (XI), Jakarta, Bumi Aksara. Meulen, W.J.v.d. 1979. Kebudayaan-kebudayaan Kuno di Sekitar Laut Tengah, Yogyakarta, Sanata Dharma. Nursid Sumaatmadja. 1984. Media Pembelajaran IPS, Bandung, Alumni Oemar Hamalik. 1982. Media Pendidikan, Bandung, Alumni. Padi, A.A.. 1991. "Spesifikasi Pengajaran Sejarah dan Implikasinya bagi Pengajaran Sejarah", dalam Majalah Widya Dharma, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. _________. 1992. Kandungan Media di dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia (I,II,III), Nogroho Notosusanto (ed), Hasil Penelitian, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. _________. 1993. Studi Kasus Tentang Kandungan Media Dalam Buku Sejarah Nasional I, G. Moedjanto (ed), Hasil Penelitian, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. _________. 1996. "Pentingnya Media bagi Pengajaran Sejarah", dalam Majalah Seri Pengetahuan dan Pengajaran Sejarah (SPPS), Seri XXII, No. 4, Februari 1996, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. ________, 2001, “Pembelajaran Sejarah yang Reflektif “, dalam Paul Suparno dkk., Menuju Pembelajaran Aktif, Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma. Paul Suparno, 1997, Filsafat Konstrukivisme dalam Pendidikan, Yogyakarta, Kansius. Wayan Badrika, 2004, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA (XI), Jakarta, Erlangga. Widja, IG.. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi Serta Metode Pengajaran Sejarah, Jakarta, LPTK.