BAB 2 TINJAUAN TEORI 2.1. Remaja Akhir Menurut Mar’at (2006) di negara-negara Barat, istilah remaja dikenal dengan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa Latin “adolescere” (kata bendanya adolescentia, yang artinya remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa. Sarwono (2003) mengemukakan remaja adalah individu yang berkembang pada saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual, individu yang mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menuju dewasa, dan individu yang mengalami peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi menjadi suatu kemandirian. Bangsa primitif – demikian pula orang-orang zaman purbakala – memandang masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (dalam Hurlock, 1999). Perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional yang terjadi di masa remaja berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai kepada kemandirian. 2.1.1. Batasan Remaja Rentang usia individu sebagai remaja berbeda-beda. Menurut papalia et al. (2004), individu pada masa remaja berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun. Sedangkan, Sarwono (2003) mengemukakan bahwa usia remaja berkisar antara 13 tahun sampai dengan 19 tahun, namun definisi remaja untuk masyarakat Indonesia adalah individu yang berusia antara 11 tahun sampai dengan 20 tahun. Dan menurut Dirgagunarsa dan Dirgagunarsa (2000), usia remaja yakni antara 12 tahun sampai dengan 21 tahun. Papalia (2008) membagi masa remaja menjadi 2 bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung kira-kira dari 11 tahun atau 12 tahun sampai 14 tahun. Masa remaja akhir berlangsung kira-kira 15 tahun sampai 20 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal. Gunarsa & Gunarsa (2006) mengatakan remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa, masa remaja akhir berusia sekitar 17 tahun 6 bulan-22 tahun. Menurut Hurlock (1991) remaja artinya tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan, remaja akhir menurut Hurlock pada wanita 17-21 tahun dan pria 17 tahun 6 bulan-21 tahun. Santrock (2003) mengungkapkan masa remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun. Mar’at (2006) dan Monks, dkk (2002) menyimpulkan bahwa remaja akhir berusia antara 18-21 tahun. Kurun waktu masa remaja menurut Witherington (dalam Rumini dan Sundari, 2004) late adolesence berusia antara 15-18 tahun. Masa remaja akhir menurut Mappiare (1982) berusia 17/18 tahun sampai dengan 21/22 tahun. 2.1.2. Perkembangan Remaja Perubahan-perubahan pada remaja berlangsung secara terus-menerus dan ditandai oleh adanya perubahan dalam aspek biologis, kognitif, psikologis, sosial serta moral dan spiritual (Geldard & Geldard, 2000). Perubahan biologis meliputi perubahan fisiologis, perubahan hormon dan perilaku seksual, serta perubahan emosional akibat adanya perubahan biologis dan perubahan hormon seksual. Perubahan kognitif meliputi peningkatan abstrak, kecenderungan egosentris untuk menjadi pusat perhatian, dan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Perubahan psikologis meliputi pembentukan identitas baru, perubahan fungsi identitas diri, awal proses inviduasi, pemahaman pengalaman baru dalam hidup, penghayatan etnis dan upaya penyesuaian diri. Perubahan sosial mencakup upaya pemenuhan peran sosial, pemenuhan harapan orang tua dan teman sebaya, serta usaha menjalani peran remaja sesuai dengan lingkungannya. Pada periode ini juga berlangsung perubahan moral dan spiritual, dan biasanya muncul dorongan untuk mulai berafiliasi dengan kepercayaan tertentu (Geldard & Geldard, 2000). Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1) terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2) tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan, dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. (Santrock, 2003). 2.1.2.1. Perkembangan Biologis Menurut Papalia (2001), perubahan fisik yang terjadi pada remaja adalah terjadinya adolescent growth spurt. Adolescent growth spurt adalah peningkatan secara tajam pada tinggi dan berat badan yang diikuti kematangan seksual. Hal ini terjadi karena masa puber yang dimulai peningkatan produksi hormon seksual. Menurut Sarlito (dalam Yunita, 2002) menyatakan bahwa perubahanperubahan fisik yang terjadi pada masa remaja merupakan gejala primer, sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul sebagai akibat dari peribahan-perubahan fisik fisik tersebut. Hurlock (1999) membagi perubahan fisik pada remaja menjadi 2 (dua) jenis perubahan, yaitu perubahan eksternal dan perubahan internal. Perubahan eksternal meliputi perubahan tinggi, berat, proporsi tubuh, organ seks dan ciri-ciri seks sekunder. Perubahan internal meliputi perubahan di sistem pencernaan, system peredaran darah, system pernapasan, system endokrin dan jaringan tubuh. 2.1.2.2. Perkembangan Kognitif Masa remaja berada pada tahap ke-empat dari teori perkembangan kognitif Piaget dan yang terakhir, yaitu tahap operasional formal. Pada tahap ini, remaja individu lebih melampaui pengalaman konkrit dan berpikir dalam istilah yang abstrak, remaja menciptakan bayangan situasi ideal (dalam Santrock, 2007). Remaja mulai berpikir seperti ilmuwan, menyusun rencana pemecahan masalah dan secara sistematis menguji cara-cara pemecahan yang dipikirkannya. Jenis proses pemecahan ini diberi nama penalaran hipotetikal-deduktif (hypotheticaldeducative reasoning). Penalaran hipotetikal-deduktif ialah kemampuan kognitif untuk mengembangan hipotesis, atau memperkirakan cara memecahkan masalah. Remaja melakukan deduksi secara sistematis, atau menyipulkan cara melakukan persamaan tersebut (dalam Santrock, 2003). 2.1.2.3. Perkembangan Emosional Hurlock (1999) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode badai dan tekanan (storm and stress) yaitu suatu masa di mana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Tidak semua remaja mengalami storm dan stress. Namun sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (dalam Hurlock, 1999). Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali dan tampaknya irasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan perilaku emosional (dalam Hurlock, 1999). Perbedaan pola emosi remaja dan anak-anak terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan derajat, dan khususnya pada pengendalian latihan individu terhadap ungkapan emosi mereka. Remaja tidak lagi mengungkapkan amarahnya dengan cara gerakan amarah yang meledak-ledak, melainkan dengan menggerutu, tidak mau berbicara, atau dengan suara keras mengritik orang-orang yang menyebabkan amarah (dalam Hurlock, 1999). Remaja dikatakan sudah mencapai kematangan emosi bila pada akhir masa remaja tidak ”meledakkan” emosinya di harapan orang lain melainkan menunggu saat dan tempat yang lebih tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara-cara yang lebih dapat diterima, individu menilai situasi secara kritis terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosional (dalam Hurlock, 1999). Bila remaja ingin mencapai kematangan emosi, ia harus belajar mengenai katarsis emosi untuk menyalurkan emosinya. Adapun cara yang dilakukan adalah latihan fisik yang berat, bermain atau bekerja, tertawa atau menangis. Akhirnya, remaja yang emosinya matang memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari satu emosi atau suasana hati ke suasana hati yang lain (dalam Hurlock, 1999). 2.2. Identitas Diri Menurut Erikson (dikutip oleh Corsini, 2002), identitas adalah suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubuh, body image, tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, suatu perasaan yang berhubungan dengan rasa keunikan dan kemandirian. Marcia (dikutip oleh papalia et al., 1998) juga telah mendefinisikan identitas sebagai konstruksi diri dan organisasi dinamis atas dorongan, kemampuan, kepercayaan, dan sejarah diri yang berlangsung secara internal. Identitas dapat dikatakan sebagai gabungan dari motivasi, nilai, kemampuan dan gaya remaja yang sesuai dengan tuntutan peran yang diletakan pada remaja (dalam Santrock, 2008). Erikson (dalam Hurlock, 1999) menyebutkan bahwa tugas terpenting bagi remaja adalah mencapai identitas diri yang lebih mantap melalui pencarian dan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan sosial. Perubahan biologis pada remaja menyebabkan perubahan dalam ekspektasi atau harapan sosial pada mereka. Pada masa ini sebenernya diharapkan bahwa remaja dapat mengintegrasikan suatu perasaan konsistensi dalam hidup (a sense of consistency) dengan diri mereka serta menemukan identitas peran mereka (Santrock, 1998). Usia remaja berada pada situasi stadium identity diffusion atau roleconfusion. Stadium identity diffusion yaitu keadaan dimana seseorang tidak mampu menemukan identitas sesungguhnya, menemukan peran (George, 2006). Menurut Erikson (dalam Hurlock, 1997), identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya. Achievement dalam konteks psikologi umum berarti penyelesaian atau pencapaian yang diperoleh seseorang terhadap tujuan yang telah ditargetkan oleh seseorang itu sendiri atau oleh masyarakat (dalam Corsini, 2002). Menurut Handayani (2000), proses pengenalan diri akan lebih tampak dan sering ditemui pada remaja, karena dalam rentang perkembangan manusia, remaja sedang berada dalam pencarian identitas diri. Pengenalan diri merupakan salah satu wahana untuk mencapai tujuan hidup. Seseorang hendaknya melakukan upaya untuk mengenali kekuatan dan kelemahan diri sehingga menyadari ”siapa saya”. Setelah seseorang menemukan jati dirinya, maka pertanyaan selanjutnya adalah ”saya ingin menjadi siapa”, sehingga arah hidupnya akan jelas. Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Erikson (1968), masa remaja ada pada tahap di mana krisis identity versus identity confusion (identitas versus difusi identitas) harus diatasi. (Santrock, 2003). Identity versus identity confusion merupakan tahap perkembangan Erikson yang ke-lima yang terjadi pada saat individu berada pada masa remaja. Pada tahap ini, remaja berusaha untuk menemukan siapakah mereka sebenarnya, apa saja yang ada dalam diri mereka, dan arah mereka dalam menjalani hidup. Erikson yakin bahwa remaja menghadapi sejumlah pilihan dan pada titik tertentu di masa muda akan memasuki suatu masa psychological moratorium (Santrock, 2003).. Psychological moratorium adalah istilah Erikson untuk kesenjangan antara rasa aman di masa kanak-kanak dengan otonomi individu dewasa yang dialami remaja sebagai bagian dari eksplorasi identitas mereka. Ketika remaja mengeksplorasi dan mencari identitas budayanya, remaja seringkali bereksperimen dengan peran-peran yang berbeda. Penting bagi para orang dewasa untuk memberikan waktu dan kesempatan bagi remaja untuk mengeksplorasi peran-peran dan kepribadian yang berbeda. Pada akhirnya remaja akan membuang peran-peran yang tidak diharapkan. Ada beratus-ratus peran yang dapat dicoba oleh remaja, dan mungkin juga banyak cara untuk bisa memperoleh setiap peran (Santrock, 2003). Erikson meyakini bahwa di masa remaja akhir, peran dalam dunia kerja merupakan titik pusat dari perkembangan identitas (Santrock, 2003). Remaja yang berhasil menghadapi dengan identitas-identitas yang saling bertentangan akan mendapatkan pemikiran yang baru dan dapat diterima mengenai dirinya (Santrock, 2003). Goethals and Klos (dalam Dacey & Kenny, 1997) berpendapat bahwa krisis identitas datang hanya pada masa remaja akhir. Pencarian identitas ego itu tidak dimulai dan tidak berakhir pada usia remaja (pencarian identitas ego ada sejak tahap bayi sampai tahap tua), krisis antara identitas dengan kekacauan identitas mencapai puncaknya pada tahap remaja ini (Alwisol, 2008). Pembentukan tersebut dimulai dengan munculnya keterikatan (attachment), perkembangan suatu pemikiran mengenai diri, dan munculnya kemandirian di masa kanak-kanak, dan mencapai fase terakhir dengan pemikiran kembali mengenai hidup dan pengintegrasian di masa tua. Perkembangan identitas terjadi secara sedikit-sedikit. Keputusan tidak dibuat sekali saja untuk seterusnya, namun harus dibuat lagi dan lagi (Santrock, 2003). Menurut Gunarsa (2008), krisis identitas sering terjadi pada anak karena tokoh model yang bisa ditiru oleh anak menjadi kabur, dengan akibat anak mencari model di luar rumah yang seringkali malah menyesatkan. Remaja yang tidak berhasil menyelesaikan krisis identitasnya akan mengalami yang disebut oleh Erikson sebagai identity confusion (kebimbangan akan identitasnya). Kebimbangan tersebut bisa menyebabkan dua hal: penarikan diri individu, mengisolasi dirinya dari teman sebaya dan keluarga, atau meleburkan diri dengan dunia teman sebayanya dan kehilangan identitas dirinya (Santrock, 2003). Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolesen adalah kesetiaan (fidelity); yaitu setia dalam beberapa pandangan idiologi atau visi masa depan. Kekuatan dasar kepercayaan yang diperoleh semasa infantil menjadi dasar fidelity masa remaja. Remaja harus belajar mempercayai orang lain sebelum mereka mempercayai pandangan masa depannya sendiri. Mereka harus mengembangkan virtue hope selama masa bayi, kemudian harus diikuti dengan kekuatan dasar yang lain – kemauan, tujuan, dan kompetensi. Semuanya menjadi prasyarat fidelity, seperti juga fidelity menjadi prasyarat perkembangan berikutnya (Alwisol, 2008). Erikson (dikutip oleh Wallace, 1993), mengemukakan bahwa remaja yang memiliki rasa identitas yang positif akan mampu membuat karir, nilai-nilai, dan hal lain yang dapat diterima secara sosial dan hal tersebut akan dapat diekspresikan secara pribadi oleh remaja tersebut. Rendahnya kompetensi yang remaja miliki, yang dapat dihubungkan dengan rendahnya harga diri mereka, juga merupakan suatu hal yang harus mereka hadapi berkaitan dengan identitas mereka. Remaja yang merasa gagal atau tidak mampu untuk memenuhi identitas peran yang dibebankan kepada mereka akan memilih jalan pengembangan identitas yang negatif (Gunarsa, 2006). 2.2.1. Jenis-jenis Identitas Diri Menurut James Marcia dan Watterman (dalam Santrock, 2003), identitas diri merujuk kepada “pengorganisasian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual dan filsafat hidup. James Marcia (dalam Santrock, 2003), seorang peneliti yang beraliran Eriksonian, meyakini bahwa teori perkembangan identitas Erikson mengandung empat status identitas, atau cara-cara untuk mengatasi krisis identittas. Hal-hal yang ada pada krisis dan komitmen remaja digunakan untuk mengklasifikasikan seorang individu berdasarkan salah satu dari empat identitas. Krisis disini didefinisikan sebagai suatu masa perkembangan identitas di mana remaja memilah-milah alternatif-alternatif yang berarti dan tersedia. Komitmen merupakan suatu bagian dari perkembangan identitas di mana remaja menunjukan adanya suatu investasi pribadi pada apa yang akan mereka lakukan. Santrock (2003) mendefinisikan krisis sebagai suatu periode perkembangan identitas selama dimana remaja masih memilih diantara pilihan-pilihan yang bermakna. Beberapa peneliti biasa menyebutnya dengan eksplorasi dan bukan krisis. Komitmen adalah sebagai bagian dari perkembangan identitas dimana remaja memperlihatkan suatu tanggung jawab pribadi terhadap apa yang akan mereka lakukan. Keempat status identitas tersebut adalah: i. Identity diffusion merupakan istilah yang digunakan remaja yang belum pernah mengalami krisis (sehingga mereka belum pernah mengeksplorasi adanya alternatif-alternatif yang berarti) atau membuat suatu komitmen. Selain tidak mampu membuat keputusan mengenai pekerjaan dan ideologi, remaja pada status ini juga tidak menunjukkan adanya minat pada kedua hal tersebut. ii. Identity foreclosure adalah istilah yang dipakai Marcia untuk remaja yang telah membuat suatu komitmen namun belum pernah mengalami krisis. Status ini sering terjadi ketika orang tua menyerahkan komitmen kepada remaja yang biasanya dengan cara otoritarian. Remaja menjadi tidak memiliki kesempatan yang adekuat untuk mengeksplorasi pendekatan-pendekatan, ideologi, dan pekerjaan yang berbeda-beda dengan cara mereka sendiri. iii. Identity moratorium adalah istilah yang digunakan Marcia untuk remaja yang berada dalam krisis, namun tidak memiliki komitmen sama sekali ataupun memiliki komitmen yang tidak terlalu jelas. iv. Identity achievement adalah istilah Marcia untuk remaja yang telah melewati krisis dan telah membuat komitmen. Tabel 2.1 Tipologi Identitas Komitmen Identitas Tinggi Krisis/Eksplorasi Rendah Tinggi Rendah Identity Identity Achievement Moratorium Identity Foreclosure Identity Diffusion 2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Identitas Diri Proses pencapaian identitas menurut Marcia (dalam Desmita, 2005) terjadi secara gradual sejak lahir, yakni sejak anak berintegrasi dengan ibu dan anggota keluarga lainnya. Perdana (dalam Dariyo, 2004) menguraikan beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian identitas diri remaja antara lain : a. Keluarga Keadaan keluarga dapat mempengaruhi remaja dalam pencapaian identitas diri. Ada beberapa keluarga yang dapat mempengaruhi pencapaian identitas diri remaja antara lain: 1. Identitas sosio-ekonomi 2. Keutuhan keluarga 3. Sikap & kebiasaan orangtua 4. Status anak b. Lingkungan Sosial Remaja akan berusaha berekspresi untuk menemukan suatu lingkungan pergaulannya sebagai tempat remaja untuk mengekspresikan identitas dirinya. Para remaja merasa dengan bersosialisasi remaja dapat mencapai identitas dirinya. Selain itu, di dalam lingkungan sosial terdapat norma, nilai, tata cara serta adat istiadat. Dalam pencapaian identitas diri, remaja akan mengidentifikasi nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sosialnya. Cara masyarakat di lingkungan sekitar remaja pada saat bersosialisasi juga dapat mempengaruhi pencapaian identitas diri remaja. c. Pendidikan Cara berpikir & bertindak seorang remaja dapat dipengaruhi oleh pendidikan remaja, remaja yang mempunyai pendidikan yang baik dapat mempertimbangkan nilai-nilai serta norma-norma yang baik dan buruk dalam lingkungan sekitarnya. Pada masa remaja individu berada pada tahap berpikir formal operasional yang dimana pada tahap ini membutuhkan kemampuan remaja di dalam berpikir secara hipotesis dan membayangkan serangkaian kejadian serta memungkinkan remaja untuk berpikir secara sistematis. Dengan adanya pendidikan yang baik juga akan membuat remaja yang berpikir secara formal operasional merasa tertantang untuk mecapai identitas dirinya secara unik. 2.2.3. Dimensi Identitas Diri Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi, antara lain: a. Genetik Hal ini bekaitan dengan suatu sifat yang diwariskan oleh orang tua pada anaknya. Orang tua sangat mempengaruhi sifat yang akan dimiliki anaknya di kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, terutama di dalam menjalankan kehidupannya. b. Adaptif Identitas adalah penyesuaian remaja mengenai keterampilan-keterampilan khusus, dan bagaimana remaja tersebut dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Sejauh mana keterampilan atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima keterampilan yang dimilikinya. c. Struktural Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun oleh remaja, atau dengan kata lain remaja telah mempersiapkan kehidupan di masa depannya. Namun bukan berarti tidak ada hambatan dalam menjalankan rencana masa depannya ini. Seringkali apa yang telah direncanakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan bisa jadi rencana tersebut mengalami suatu kemunduran (deficit structural) atau bahkan bisa tidak sama sekali terwujud. d. Dinamis Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang dewasa yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa depannya ataukah sebaliknya, proses identifikasi tersebut tidak berpengaruh pada identitasnya melainkan yang berpengaruh adalah pemberian peran dari masyarakat terhadap remaja. e. Subjektif atau berdasarkan pengalaman Individu yang mempunyai pengalaman akan berbeda dengan individu yang sama sekali belum memiliki pengalaman. Hal ini dijelaskan oleh Erikson (dalam Santrock, 2003) bahwa individu yang telah memiliki pengalaman sebelumnya, individu tersebut akan merasakan suatu kepastian dalam dirinya. Dengan adanya pengalaman maka akan banyak alternatif yang dapat kita jadikan pedoman untuk melangkah dengan lebih yakin ke arah depan atau semakin banyak pengalaman maka akan semakin timbul antisipasi dalam melakukan berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya. f. Timbal balik psikososial Erikson (dalam Santrock, 2003) menekankan hubungan timbal balik antara remaja dengan dunia dan masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak hanya terbentuk oleh diri kita sendiri melainkan melibatkan hubungan dengan orang lain, komunitas dan masyarakat. g. Status Eksistensial Erikson (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Dalam hal ini remaja ingin merasakan apa yang dinamakan dengan makna hidup, ingin diakui keberadaanya di dalam masyarakat dengan peran sosial yang dijalankan serta keterampilan yang dimilikinya. 2.3. Pola Asuh Orangtua 2.3.1. Pengertian Pola Asuh Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orang tua dalam memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing, dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Pengasuhan (parenting) memerlukan sejumlah kemampuan interpersonal dan mempunyai tuntutan emosional yang besar, namun sangat sedikit pendidikan formal mengenai tugas ini. Kebanyakan orang tua mempelajari praktik pengasuhan dari orangtua mereka sendiri. Sebagian praktik tersebut mereka terima, namun sebagian lagi mereka tinggalkan. Suami dan istri mungkin saja membawa pandangan yang berbeda mengenai pengasuhan ke dalam pernikahan (Santrock, 2007). Pola asuh orang tua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah akan menjadi seorang yang memiliki kepribadian yang kokoh atau rapuh sehingga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009). Kesalahan pola asuh sekecil apa pun yang dilakukan terhadap remaja dapat berakibat fatal dan sulit diperbaiki (Surbakti, 2009). 2.3.2. Jenis-jenis Pola Asuh Diana Baumrind (Santrock, 2007), seorang pakar parenting berpendapat ada cara yang terbaik untuk mengasuh anak. Baumrind percaya bahwa orang tua tidak boleh terlalu menghukum (punitive) atau terlalu tidak peduli (aloof) Sebaiknya, orangtua menyusun aturan bagi anak dan pada saat yang sama bersifat suportif dan membimbing dan mengasuh (nurturant). Baumrind mengatakan bahwa ada empat bentuk gaya pengasuhan atau parenting: a. Pengasuhan autoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap. Sebagai contoh, seorang orang tua yang autoritarian bisa berkata “Kamu harus melakukan apa yang saya katakan. Tidak ada tawar-menawar!” Remaja yang orangtuanya otoriter seringkali merasa cemas akan perbendingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah (dalam Santrock, 2003). Menurut Widyarini (2009), orangtua otoriter pada dasarnya bertindak berdasarkan asumsi bahwa apa yang dilakukannya terhadap anak adalah yang terbaik. Orangtua yang memiliki pola asuh ini berusaha membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku serta sikap anak berdasarkan serangkaian standar mutlak, nilai-nilai kepatuhan, menghormati otoritas, kerja, tradisi, tidak saling memberi dan menerima dalam komunikasi verbal. Orangtua kadang-kadang menolak anak dan sering menerapkan hukuman. Pengasuhan otoriter ini seringkali membuat anak remaja memberontak terlebih lagi bila orang tuanya keras, tidak adil dan tidak menunjukkan afeksi. Remaja akan bersikap bermusuhan (hostile) kepada orang tua serta sering kali menyimpan perasaan tidak puas terhadap kontrol dan didominasi dari orang tua mereka. Hal ini akan menjadi semakin rumit bila orang tua juga menerapkan hukuman fisik kepada anak. Penetapan hukuman fisik yang berlebihan akan mempengaruhi perkembangan kepribadian dan sosial pada remaja. Remaja mungkin menjadi kurang yakin akan kemampuan dirinya, kurang matang (immature) dan menjadi agresif. Mungkin yang dapat dikatakan mengenai remaja yang menjadi agresif adalah terjadi peniruan terhadap tingkah laku orang tua atau agresi mejadi salah satu cara pelampiasan dari remaja. (Gunarsa, 2006). Menurut Widyarini (2009), dampak negatif dari pola asuh otoriter terhadap anak antara lain tidak mengembangkan empati, merasa tidak berharga, standar moral yang eksternal (hanya untuk menghindari hukuman, bukan karena kesadaran), terlalu menahan diri, agresif, kejam, sedih, menarik diri dari pergaulan, kurang dalam hal spontanitas, kemandirian, afeksi, dan rasa ingin tahu. b. Authoritative parenting (pola asuh otoritarif) mendorong anaknya untuk menjadi independen tetapi masih membatasi dan mengontrol tindakan anaknya. Perbincangan tukar pendapat diperbolehkan dan orang tua bersikap membimbing dan mendukung (Santrock, 2007). Orang tua dengan pengasuhan otoritatif selalu melibatkan anak remaja mereka dalan segala hal yang berkenaan dengan remaja itu sendiri dan dengan keluarga. Mereka mempunyai pertimbangan dan penilaian dari remaja serta mau berdiskusi dalam mengambil segala keputusan yang berkaitan dengan anak remaja mereka. Remaja pun belajar untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri dan yang belajar mendengarkan dan berdiskusi dengan orang tua mereka. Orang tua yang otoritatif menekankan pentingnya peraturan, norma, dan nilai-nilai, tetapi mereka bersedia untuk mendengarkan, menjelaskan dan bernegosiasi dengan anak. Disiplin yang mereka lakukan lebih bersifat verbal yang ternyata merupakan sesuatu yang afektif (Gunarsa, 2006). Pengasuhan autoritatif (authoritative parenting) mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas, dan orangtua bersikap hangat dan bersifat membesarkan hati remaja yang kompeten. Seorang ayah yang otoritatif, contohnya, bisa merangkul si remaja dengan nyaman dan berkata, “Kamu tahu, kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Mari bicarakan bagaimana kamu bisa mengatasi situasi tersebut dengan lebih baik di masa depan.” Remaja yang orangtuanya bersifat autoritatif akan sadar diri dan bertanggung jawab secara sosial. (dalam Santrock, 2003). Remaja yang dibesarkan dengan pola pengasuhan otoritatif akan merasakan suasana rumah penuh rasa saling menghormati, penuh apresiasi, kehangatan, penerimaan dengan adanya konsistensi pengasuhan dari orang tua mereka. Dengan demikian, mereka akan lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka (Gunarsa, 2006). Selain itu, anak akan mampu mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif (dalam Yatim, 1991). c. Neglectful parenting adalah gaya asuh dimana orang tua tidak terlihat aktif dalam kehidupan anaknya (dalam Santrock, 2007). Menurut Rice (1999), pengabaian (neglect) dapat dibedakan menjadi lima jenis yaitu: i. Pengabaian fisik (phycical neglect): meliputi kegagalan dalam memenuhi kebutuhan atas makanan, pakainan, dan tempat tinggal yang memadai. ii. Pengabaian emosional (emotional neglect): meliputi perhatian, perawatan, kasih sayang dan afeksi yang tidak memadai dari orang tua, atau kegagalan untuk memenuhi kebutuhan remaja akan penerimaan, persetujuan dan persahabatan. iii. Pengabaian intelektual (intelectual neglect): termasuk di dalamnya kegagalan untuk memberikan pengalaman yang menstimulasi intelek remaja, membiarkan remaja membolos sekolah tanpa alasan apa dan semacamnya. iv. Pengabaian sosial (social neglect): meliputi pengawasan yang tidak memadai atas aktivitas sosial remaja, kurangnya perhatian dengan siapa remaja bergaul, atau karena gagal mengajarkan atau mensosialisasikan kepada remaja mengenai bagaimana bergaul secara baik dengan orang lain. v. Pengabaian moral (moral neglect): kegagalan dalam memberikan contoh moral atau pendidikan moral yang positif kepada remaja. Berhubungan dengan pengabaian orang tua, pengabaian secara emosional dari orang tua terhadap anaknya (orang tua menolak remaja secara emosional dan tidak menunjukkan kepada remaja bahwa mereka dicintai serta memperhatikan mereka) dapat memiliki hasil yang sama dengan penganiayaan fisik (Gunarsa, 2006). Gaya pengasuhan permisif tidak peduli (permissive-indifferent parenting) adalah suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang bersifat permisif-tidak peduli tidak bisa menjawab pertanyaan, ”Sekarang sudah jam 10 malam. Apakah Anda tahu dimana anak remaja Anda berada?” Remaja sangat membutuhkan perhatian orangtua mereka; remaja yang orangtuanya bersifat permisif-tidak peduli mendapat kesan bahwa aspek lain dari kehidupan si orangtua lebih penting daripada si remaja. Remaja yang orangtuanya permisiftidak peduli biasanya tidak cakap secara sosial: mereka menunjukkan pengendalian diri yang buruk dan tidak bisa menangani kebebasan dengan baik (dalam Santrock, 2003). d. Indulgent parenting adalah gaya asuh dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan anaknya tapi tidak banyak memberi batasan atau kekangan pada perilaku mereka (dalam Santrock, 2007). Menurut Widyarini (2009), orangtua yang memiliki pola asuh jenis ini berusaha berperilaku menerima dan bersikap positif terhadap impuls (dorongan emosi), keinginan-keinginan, dan perilaku anaknya, hanya sedikit menggunakan hukuman, berkonsultasi kepada anak, hanya sedikit memberi tanggung jawab rumah tangga, membiarkan anak untuk mengatur aktivitasnya sendiri dan tidak mengontrol, berusaha mencapai sasaran tertentu dengan memberikan alasan, tetapi tanpa menunjukkan kekuasaan. Pengasuhan permisif-memanjakan (permissive-indulgent parenting) suatu pola dimana orangtua dangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif-memanjakan berkaitan dengan ketidak cakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Orangtua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan si remaja tidak pernah belajar bagaimana mengendalikan perilaku mereka sendiri, dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya. Beberapa orangtua memperlakukan anak remaja mereka secara demikian, karena mereka percaya bahwa kombinasi keterlibatan yang hangat dengan sedikit batasan akan menghasilkan remaja yang kreatif dan percaya diri. Hanya memiliki sedikit teman, bersifat memanjakan diri, dan tidak pernah belajar mematuhi peraturan dan ketentuan. Lagipula, kenapa dia harus mematuhinya? Orangtuanya tidak pernah memaksa dia untuk mematuhi peraturan. (dalam Santrock, 2003). Remaja yang tumbuh dan berkembang di dalam keluarga yang sangat permissive (laissez-faire) cenderung mengalami kesulitan ketika harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang mengandung aturan serta kendali yang telah disepakati bersama oleh kelompok (Epstein et al, 1980). 2.3.3. Dimensi Pola Asuh Baumrind (dalam Horner, 1992) mengusulkan klasifikasi pemeliharaan anak didasarkan pada hasil interaksi antara dua dimensi, yaitu: a. Responsiveness (mengacu pada pengasuhan yang hangat atau pemberian support) adalah lingkup dimana orangtua secara intensional memupuk kepribadian, pengaturan diri dan penyataan diri dengan menjadi terbiasa, suportif, pengertian pada kepentingan spesial dan tuntutan orangtua. b. Demandingness (mengacu pada pengontrolan tingkah laku) adalah tuntutan orangtua terhadap anak agar mau berintegrasi dengan seluruh keluarga, tuntutan kedewasaan mereka, pengawasan orangtua, usaha mendisiplinkan diri dan kemauan orangtua untuk menghukum anak yang tidak patuh. 2.3.4. Tipologi Pengasuhan Orangtua Jacobsen (Horner, 1992) menjelaskan tipologi ke-empat jenis pola asuh berdasarkan dimensi pola asuh: a. Pola asuh authoritarian memiliki tingkat demandingness yang tinggi sedangkan tingkat responsiveness-nya rendah. b. Pola asuh authoritative memiliki tingkat demandingness yang tinggi dan tingkat responsiveness yang tinggi juga. c. Pola asuh indulgent memiliki tingkat demandingness yang rendah sedangkan tingkat responsiveness-nya tinggi. d. Pola asuh neglected memiliki tingkat demandingness yang rendah dan tingkat responsiveness yang rendah juga. Tabel 2.2. Tipologi Pola Asuh Tipologi Pola Asuh Responsiveness 2.4. Demandingness Tinggi Rendah Tinggi Authoritative Indulgent Rendah Authoritarian Neglected Kerangka Berpikir dan Hipotesis 2.4.1. Kerangka Berpikir Dalam asumsi penulis, jika orangtua mengasuh anak secara tanggung jawab, maka remaja lebih mudah menemukan jati dirinya. Sebaliknya, jika orangtua mengasuh anak secara tidak tanggung jawab, maka remaja sulit menemukan jati dirinya. Marcia (dikutip oleh Berk, 1993) menyatakan bahwa remaja dengan status identity achievement akan memiliki ikatan yang dekat dengan orangtua mereka namun tetap dapat menyuarakan pendapat mereka secara bebas. Oleh karena itu, penulis mempunyai asumsi bahwa ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan pencapaian identitas pada remaja akhir. Pola Asuh Orangtua • Responsiveness • Demandingness Pencapaian Identitas • Krisis • Komitmen Gambar 2.1 Hubungan Antasa Pola Asuh Orangtua dengan Pencapaian Identitas 2.4.2. Hipotesis Hipotesis menurut penulis dalam penelitian ini adalah Ha : Ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir. Ho : Tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua dengan identitas diri pada remaja akhir.