BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Work-Life Balance Definisi Work-Life Balance Menurut Swami (dalam Poulose dan Sudarsan, 2014) mendefinisikan work-life balance sebagai sebuah sebuah kepedulian dengan memberikan ruang lingkup bagi karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan tanggungjawab dan kepentingan di luar pekerjaan. Sedangkan Grzywacz dan Carlos (dalam Poulose dan Sudarsan, 2014) mendefinisikan work-life balance sebagai pemenuhan harapan bagi peran terkait yang dinegosiasikan dan dibagi antara peran-peran yang terkait dalam pekerjaan dan keluarga. Menurut Kirchmeyer (dalam Kalliath dan Brough, 2008) work-life balance adalah tercapainya kepuasan disemua aspek kehidupan dan hal tersebut membutuhkan tenaga, waktu, dan komitmen yang didistribusikan dengan baik ke semua bagian. Kalliath dan Brough (2008) mengusulkan definisi work-life balance yang mengintegrasikan dua makna inti yaitu: “work-life balance is the individual perception that work and non work activities are compatible and promote growth in accordance 11 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 with an individual’s current life priorities” (Kalliath & Brough, 2008). Arti dari definisi tersebut adalah work-life balance adalah persepsi individu bahwa kerja dan non-kerja adalah aktivitas yang kompatibel dan mendorong pertumbuhan sesuai dengan prioritas hidup individu saat ini. Melalui definisi tersebut, Kalliath dan Brough (2008) mengusulkan bahwa work-life balance meliputi preferensi peran yang penting bagi individu (apakah individu lebih memilih untuk menghabiskan waktu lebih banyak atau lebih sedikit dalam aktivitas kerja atau non-kerja). Melalui definisi tersebut juga, Kalliath dan Brough (2008) mengusulkan bahwa keseimbangan antar ranah akan mengarah pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif dalam aktivitas kerja (memperoleh pengakuan kerja dan potensi karir) dan/atau non-kerja (melakukan perjalanan, mengurus anak). Selain Kalliath dan Brough, pada tahun 2001, Fisher mengembangkan konstruk work-life balance. Dalam mengembangkan konstruk tersebut, Fisher melakukan preliminary study terhadap 77 responden. Responden tersebut merupakan karyawan yang berasal dari beragam jenis pekerjaan dan organisasi, merupakan karyawan tetap, dan meliputi karyawan yang sudah menikah atau belum, serta karyawan yang belum maupun sudah memiliki anak. Dalam penelitian yang dilakukan Fisher (2001) meminta mahasiswa lulusan psikologi industri dan organisasi untuk menjadi peneliti dan bertugas untuk melakukan tinjauan ulang terhadap respon yang diberikan oleh masingmasing partisipan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Fisher (2001) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 mengusulkan dua dimensi work-life balance yaitu waktu dan perilaku. Waktu merujuk kepada jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja, dibandingkan dengan jumlah waktu yang dihabiskan untuk terlibat dalam aktivitas lain. Sementara itu, perilaku merujuk kepada pencapaian tujuan kerja dimana seseorang merasa yakin bahwa ia dapat mencapai apa yang dia sukai di pekerjaan atau dalam kehidupan personalnya. Fisher (2001) kemudian menambahkan, selain kedua dimensi tersebut, ada hal lain yang relevan untuk dapat mendefiniskan work-life balance, yaitu strain (ketegangan) dan energi. Strain meliputi kecemasan, tension (tekanan), meninggalkan aktivitas yang penting dalam kehidupan, dan kesulitan dalam atensi. Selanjutnya energi (merujuk kepada the conversation of resource energy) mengusulkan bahwa kurangnya energi dalam memenuhi tuntutan kerja atau nonkerja akan mengarahkan kepada peningkatan stres. Berdasarkan empat dimensi yang relevan dengan konstruk work-life balance, maka Fisher (2001) mendefinisikan work-life balance sebagai stressor yang terkait dengan pekerjaan yang meliputi empat isu yaitu waktu, energi, pencapaian tujuan, dan ketegangan. “work-life balance was defined as an occupational stressor regarding issues of time, energy, goal accomplishment, and strain” (Fisher, 2001). Penjabaran dari definisi yang dikemukakan oleh Fisher (2001) ini tercakup dalam alat ukur yang dikembangkan dan divalidasi oleh Fisher, Bulger, dan Smith (2009). Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa work-life http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 balance merupakan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab di dalam pekerjaan maupun di luar pekerjaan (rumah tangga dan kehidupan sosial) yang berjalan secara harmonis tanpa mengorbankan kepentingan salah satunya serta tercapainya kepuasan disemua aspek kehidupan. Definisi Dimensi Work-Life Balance Sebelum membahas mengenai dimensi-dimensi work-life balance, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai role interference dan role enhancement. Role interference terjadi ketika dua atau lebih tekanan terjadi pada waktu yang sama sehingga pemenuhan tuntutan pada satu peran akan membuat pemenuhan di peran lainnya akan mengalami kesulitan (Kahn et al., 1964, dalam Fisher, Bulger, dan Smith, 2009). Sementara itu role enhancement mempunyai pandangan bahwa sumberdaya seperti energi dapat diperbaharui atau dihasilkan dengan cara memenuhi tuntutan pada satu peran sehingga dapat membantu individu untuk dapat terlibat dalam peran lain (Greenhaus dan Powell, 2006, dalam Fisher, Bulger, dan Smith, 2009). Fisher, Bulger, dan Smith (2009) melakukan exploratory factor analysis untuk menguji dimensi dari item-item yang telah dikembangkan. Exploratory factor analysis adalah teknik statistik yang digunakan untuk memperkirakan, atau menggali faktor; menentukan berapa banyak faktor yang akan dipertahankan. Melalui teknik statistik tersebut, item-item dari alat ukur yang dikembangkan merujuk kepada empat dimensi yaitu: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 1. WIPL (work interference with personal life) Dimensi ini mencerminkan sejauh mana pekerjaan individu dapat mengganggu kehidupan pribadinya. Misalnya, bekerja membuat seseorang sulit untuk mengatur jadwal kehidupan pribadinya. 2. PLIW (personal life interference with work) Dimensi ini mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi individu mengganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, ketika dalam kehidupan pribadi seseorang mengalami konflik atau stres, membuat seseorang sulit berkonsentrasi dalam pekerjaannya sehingga hal ini akan mengganggu kehidupan pekerjaan seseorang. 3. PLEW (personal life enhancement of work) Dimensi ini mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Misalnya, rasa senang yang didapatkan seseorang dalam kehidupan pribadi dapat membuat seseorang memiliki suasana hati yang baik ketika bekerja. 4. WEPL (work enhancement of personal life) Dimensi ini mencerminkan sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan kualitas kehidupan pribadi individu. Misalnya, keterampilan yang dikembangkan seseorang dalam pekerjaannya, memungkinkan individu untuk memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan menggunakan dimensidimensi pembentuk work-life balance yang diajukan oleh Fisher, Bulger dan Smith (2009) karena dimensi yang diajukan membentuk seperti sebuah perbandingan sejauh mana salah satu dimensi mengganggu dimensi lainnya serta http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 sejauh mana salah satu dimensi mendukung dimensi lainnya. Selain hal tersebut dimensi-dimensi diatas telah digunakan banyak ahli serta dimensi yang diajukan tidak terlalu banyak namun mewakili secara utuh. Model Teori Work-Life Balance Zedeck dan Moiser (1990) dan yang paling terbaru O’Driscoll (1996) dalam Poulose dan Sudarsan (2014) menyatakan bahwa terdapat lima model utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara kerja dan kehidupan di luar pekerjaan. Kelima model tersebut antara lain: 1. Segmentation model berhipotesis bahwa kerja dan non-kerja adalah dua ranah yang berbeda dan terpisah serta tidak mempengaruhi satu sama lain. 2. Spillover model yang berhipotesis bahwa salah satu ranah dapat mempengaruhi ranah yang lainnya baik secara positif ataupun negatif. 3. Compensation model yang mengusulkan bahwa kekurangan pada satu ranah, dalam hal tuntutan atau kepuasan, dapat dibuat pada ranah lain. Maksudnya, kekurangan pada satu ranah dapat dikompensasi dengan cara mengikuti aktivitas pada ranah lain sebagai contoh, kehidupan pekerjaan yang rutin dan tidak memberikan tuntutan terhadap seseorang karyawan dapat dikompensasikan dengan memegang peran utama pada aktvitas di komunitas tertentu di luar pekerjaan. 4. Instrumental model yang mengusulkan bahwa aktivitas pada satu ranah akan mempermudah kesusksesan pada ranah yang lain. Sebagai contoh, individu akan bekerja lebih lama untuk memperoleh pendapatan yang maksimal http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 sehingga dapat membeli kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, bekerja lebih lama akan membuat individu untuk mendapatkan pendapatan yang maksimal, hal tersebut dilakukan untuk mempermudah individu memenuhi kebutuhankebutuhan keluarganya. 5. Conflict model yang mengusulkan bahwa tuntutan yang tinggi pada seluruh ranah kehidupan, akan membuat individu mengalami kesulitan dalam membuat keputusan sehingga akan memunculkan konflik. Berdasarkan penjabaran dari kelima model tersebut, maka model yang digunakan pada penelitian ini adalah spillover model karena model tersebut sejalan dengan alat ukur yang dikembangkan Fisher, Bulger, dan Smith (2009) dimana kedua ranah yaitu pekerjaan dan non-kerja dapat mempengaruhi satu sama lain baik secara positif (enhancement) ataupun negatif (interference). Faktor yang Mempengaruhi Work-Life Balance Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi work-life balance menurut Pouluse dan Sudarsan (2014) sebagai berikut: 1) Faktor Individual a. Kepribadian Ada 5 model besar kepribadian yaitu extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. b. Kesejahteraan Dipengaruhi oleh dua komponen yaitu cognitive component (life satisfaction) dan affective component (emotional well being). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 c. Emotional Intelligence (EI) Didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dan mengenali emosi atau perasaan, mengungkapkan emosi atau perasaan, mengatur emosi atau perasaan, dan mempergunakan emosi atau perasaan. 2) Faktor Organisasional a. Pengaturan kerja Pengaturan kerja yang mudah disesuaikan dapat membantu karyawan untuk mencapai pencampuran yang lebih baik antara pekerjaan dan aktifitas di luar pekerjaan dan membantu organisasi merekrut, mempertahankan dan memotivasi karyawan. b. Dukungan organisasi Ada dua bentuk, yaitu dukungan formal dan dukungan informal. Dukungan formal dapat berupa ketersediaan work-family policies/benefit dan fleksibilitas pengaturan jadwal kerja, sedangkan dukungan informal dapat berupa otonomi kerja, dukungan dari atasan dan perhatian terhadap karir karyawan. c. Stres kerja Dapat didefinisikan sebagai persepsi individu tentang lingkungan kerja seperti mengancam atau menuntut, atau ketidaknyamanan yang dialami oleh individu di tempat kerja. d. Konflik peran, ketidakjelasan peran dan role overload http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 e. Teknologi, kemajuan teknologi dapat membantu pekerjaan di kantor maupun pekerjaan rumah tangga sehingga sangat bermanfaat terhadap pengelolaan waktu. 3) Faktor Lingkungan a. Pengaturan perawatan anak Faktor keluarga yang berhubungan seperti jumlah anak dan tanggung jawab perawatan anak menyebabkan ketidakseimbangan dalam peran pekerjaan dan keluarga. b. Dukungan keluarga Dukungan pasangan, dukungan orang tua dan permintaan pribadi dan keluarga. c. Faktor sosial lainnya 4) Faktor Lainnya Umur, jenis kelamin, status perkawinan, status orangtua, pengalaman, tingkat karyawan, tipe pekerjaan, penghasilan serta tipe keluarga. Konsekuensi Work-Life Balance Ada beberapa konsekuensi atau dampak dari tidak adanya keseimbangan dalam kehidupan pribadi dan kehidupan pekerjaan, yaitu: 1. Fisik Secara umum, konflik yang terjadi dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan memiliki hubungan positif dengan rendahnya kesehatan fisik (Frone dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003). Berdasarkan hasil meta analisis yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 dilakukan oleh (Allen et al., dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003) konflik tersebut dapat memunculkan simtom-simtom somatik dan fisik seperti sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, kemalasan, sakit di daerah dada atau jantung, dan kesulitan untuk tidur (Geurts dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003). 2. Psikologis Terdapat hubungan yang relatif konsisten antara konflik yang terjadi (kerja dan luar kerja) dan dampak psikologis yang ditimbulkan. Burnout adalah salah satu dampak psikologis yang ditimbulkan dari konflik antara kerja dan luar kerja ini (Burke dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003). 3. Perilaku Berdasarkan hasil observasi Burke (dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003) individu yang mengalami konflik dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan cenderung mengalami peningkatan dalam mengonsumsi kopi, rokok, dan alkohol. Selain itu, Burke (dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan sehat seperti latihan fisik secara rutin dan mengonsumsi obat-obatan terhadap work-family conflict. 4. Sikap Menurut Scholarios dan Marks (2004), work-life balance memiliki konsekuensi penting terhadap sikap pegawai pada organisasinya. Konsekuensi sikap yang muncul akibat adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu sikap yang berhubungan dengan pekerjaan dan sikap yang tidak http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 berhubungan dengan pekerjaan. Sikap yang berhubungan dengan pekerjaan, seperti kepuasan kerja dan komitmen berorganisasi, sedangkan sikap yang tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat dibagi dalam berbagai jenis kepuasan, yaitu kepuasan hidup, kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga, dan kepuasan dalam menjalankan aktivitas di waktu senggang. 5. Organisasi Bukti longitudinal yang tersedia tentang pengaruh negatif dari kehidupan kerja terhadap kehidupan luar kerja masih sedikit, terutama yang berkaitan dengan actual turnover, absenteeism, dan menurunnya performa kerja. Menurut Grandet dan Gropanzano (dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003), adanya intensi turnover merupakan variabel yang sangat berpengaruh positif dengan work-family conflict dan family-work conflict. 2.1.2 Sense of Humor Definisi Sense of Humor Humor memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, membantu mereka untuk hidup lebih baik ketika menghadapi hari-hari yang sulit. (Holden, 1993; Moody, 1979; Robinson, 1991, dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt, 2007). Humor adalah jenis komunikasi, cara bagi seseorang untuk mengekspresikan dirinya dalam menyampaikan arti lain dari sesuatu melebihi apa yang tampak. Humor bermain dengan kata-kata, membuat bahasa penyampaian pesan yang dipahami agar memiliki makna sekunder atau tersembunyi. Humor merupakan cara untuk melihat diri seseorang dengan jujur tanpa menjadi serius, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 untuk menilai diri seseorang dan mengungkapkan kesenangan (Astedt-Kurki et al., dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt, 2007). Bahkan Jauregui (Colom, Alcover, Curto & Osuna, 2011) menegaskan bahwa tertawa adalah sebuah emosi positif, yang dilukiskan oleh perasaan subjektif dari kebahagian dan dapat dengan mudah diketahui dari ekspresi wajah. Emosi positif ini akan melawan emosi negatif yang dialami saat seseorang mengalami stres seperti kecemasan, kesedihan, dan kemarahan. Sense of humor mengacu pada definisi humor sebagai trait kepribadian yang cenderung stabil (Ruch, dalam Martin 2003). Konsep pengertiannya tidak hanya didasarkan pada satu dimensi trait atau karateristik spesifik saja, namun sense of humor adalah sebuah konstruk yang multi-faset dan saling berkaitan satu sama lain (Martin, 2003). Di antaranya, sense of humor dikonseptualisasikan sebagai: (1) kemampuan kognitif, yakni kemampuan untuk mengkreasikan, memahami, memproduksi/menghasilkan, dan mengingat lelucon yang menghampiri, (2) sebagai sebuah respon estetika, yakni apresiasi terhadap humor, serta kemampuan menikmati jenis humor tertentu, (3) pola tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan, yakni kecenderungan untuk sering tertawa, untuk melontarkan lelucon, dan menyenangkan orang lain, (4) sebagai temperamen yang terkait dengan emosi, yakni apabila dikaitkan dengan kebiasaan ‘berseriseri’ atau ‘habitual cheerfulness’, (5) serta dapat juga diartikan sebagai sebuah ‘sikap’ dan (6) sebagai strategi coping atau bagian dari mekanisme defensif manusia. Menurut Thorson & Powell (1993), sense of humor adalah sebuah cara memandang dunia, sebuah ‘gaya’ tertentu, sebagai bentuk pelindungan diri (selfprotection) dalam interaksi dengan orang lain. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa sense of humor merupakan kualitas persepsi yang dimiliki seseorang untuk melihat situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan yang dialaminya melalui perspektif lain yaitu dengan cara menciptakan humor dan tawa lebih banyak serta merespon terhadap lelucuan yang ada sekitarnya. Elemen-Elemen Humor Menurut Thorson dan Powell (1993) ada berbagai elemen penting yang dapat membentuk rasa humor pada diri individu. Mereka menyarankan beberapa elemen berikut: 1. Penghargaan yang diberikan oleh orang lain kepada individu (bahwa dirinya adalah humoris). Tiap orang pada dasarnya termotivasi untuk mengembangkan rasa humor jika pada pengalaman masa lalunya pernah diberikan pengakuan sebagai orang yang humoris oleh orang-orang di sekitarnya. Indiviu yang pernah diberikan ‘reward’ pada perilaku humorisnya akan lebih merasa bebas untuk mengembangkan rasa humor yang ada atau bahkan membuat variasi-variasi humor baru. 2. Pengakuan terhadap humor yang dilontarkan oleh orang lain. Hal ini berkaitan dengan sosialisasinya di kalangan orang humoris. Jika individu mempunyai apresiasi yang baik terhadap humor yang dilontarkan orang, maka dengan sendirinya akan meningkatkan motivasi dalam diri untuk menghasilkan atau melontarkan humor. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 3. Apresiasi terhadap humor. Yakni berhubungan dengan sikap terhadap humor dan sikap terhadap orang-orang yang humoris pula. Ketika individu meiliki sikap yang terbuka dan positif terhadap humor maupun terhadap orang yang humoris, maka akan membentuk berkembangnya rasa humor. 4. Tertawa. Sebagai bagian dari behavioral respon, tertawa mempunyai kaitan erat dengan personal sense of humor yang terdapat pada individu. Tertawa merupakan sebuah respon yang paling mungkin dalam elemen rasa humor, dan hal ini merupakan bagian dari menghargai orang yang melontarkan humor. Saat kita mampu tertawa atau tersenyum, berarti kita menghargai hasil usaha kita atau usaha yang dilakukan oleh orang lain saat memproduksi humor. 5. Perspektif. Sudut pandang individu dapat mempengaruhi perkembangan rasa humornya, terutama jika dikaitkan dengan memandang keabsurditasan hidup. Melalui sudut pandangnya, individu dapat menjadi lebih toleran, tidak mudah bersedih, tidak ingin untuk menentang atau menjadi musuh orang lain. Dengan sudut pandang yang meluas (broad minded) maka rasa humor dapat berkembang, serta sebaliknya dengan terdapatnya rasa humor bisa membuat individu memiliki sudut pandang yang meluas. Aspek-Aspek Sense of Humor Thorson & Powell (1993) mendefinisikan sense of humor sebagai konstruk yang multidimensi yakni terdiri dari: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 25 1. Humor production, berupa kemampuan kreatif menjadi humoris, membuat lelucon, mengidentifikasi hal yang lucu dalam sebuah situasi serta mengkreasikan dan menghubungkan situasi tersebut dengan cara-cara yang dapat menyenangkan orang lain. 2. Uses of humor for coping, yakni penggunaan humor dalam menghadapi masalah atau mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor. 3. Humor Appreciation, yaitu berupa apresiasi atau merespon terhadap orangorang yang humoris dan situasi yang penuh humor. Respon yang diberikan dapat berupa tertawa atau paling tidak tersenyum jika ada orang yang melucu. 4. Attitude toward humor, berupa sejauh mana sikap-sikap individu terhadap humor dan terhadap orang-orang yang humoris. Jika keempat hal tersebut dimiliki oleh individu, maka dapat dipastikan bahwa ia memiliki rasa humor yang cukup baik dan cenderung lebih mudah beradaptasi menghadapi situasi sulit di lingkungan kehidupannya (Thorson & Powell, 1993). Manfaat Humor Dalam hal psikologis, penggunaan humor bermanfaat untuk mengembangkan hubungan, meningkatkan harga diri dan menghilangkan stres dan kecemasan (Astedt-Kurki & Isola, 2001; Bauer & Geront, 1999; Beck, 1997; Buffum & Brod, 1998; Johnson, 2002; Moran & Massan, 1999; Savage & Canody, 1999; Sheldon, 1996, dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt, 2007). Selain itu, humor dapat memberikan manfaat positif dalam membantu seseorang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 26 ketika menghadapi kecurangan, rasa kehilangan, rasa sedih, rasa bersalah, dan untuk memperkuat harga diri mereka (Astedt-Kurki & Liukkonen, 1994). Lebih lagi, humor dan tertawa secara efektif dapat digunakan sebagai coping stress, yang mana humor dapat membantu kita untuk melihat sebuah masalah dari perspektif yang lain, dan tertawa dapat membantu kita untuk melepaskan akumulasi dari ketegangan-ketegangan fisik yang diakibatkan dari ketegangan psikologis, serta menurunkan hormon stres (Colom, et al., 2011). Penggunaan humor pun telah lama digunakan sebagai coping mechanism yakni dalam menghadapi situasi-situasi sulit di kehidupan (Thorson & Powell, 1993). Dalam bidang gerontologi misalnya, disebutkan bahwa personal sense of humor biasanya terkait dengan individu-individu yang telah melalui usianya dengan sukses. Orang-orang yang humoris dikatakan sebagai orang yang cenderung dapat survive berjuang ‘melawan hidup’ (Poon dalam Thorson & Powell, 1993). Kemudian penelitian juga membuktikan adanya kaitan antara humor dengan kecemasan menghadapi kematian (death anxiety). Individu yang terbiasa menggunakan humor dalam hidupnya akan cenderung lebih dapat berkompromi dengan dirinya sendiri menghadapi usia yang semakin renta dan mendekati kematian (Thorson & Powell, 1993). Prerost melakukan penelitian dengan 144 perempuan di perguruan tinggi, hasilnya menunjukkan bahwa humor efektif digunakan untuk mengurangi rasa marah (Thorson & Powell, 1993). Tennant juga ikut membuktikan bahwa orang dewasa yang berpartisipasi dalam ‘program apresiasi humor’ ternyata mengalami peningkatan moral dan kesejahteraan psikologis (Thorson & Powell, 1993). Selain itu, Koppel & Sechrest (dalam Thorson & Powell, 1993) membuktikan kaitan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 27 antara humor dengan orang-orang yang cerdas. Keduanya menyatakan bahwa orang humoris adalah mereka-mereka yang memang memiliki kecerdasan ratarata atau di atas rata-rata serta memiliki kepribadian cenderung ekstrovert. Keuntungan lainnya yang juga didapatkan dari adanya rasa humor ini, yakni melalui humor dapat mengurangi ketegangan otot, meningkatkan laju oksigen dalam darah, melatih fungsi-fungsi tertentu dari bagian jantung, serta menghasilkan endorphin yakni hormon yang berkolerasi langsung dengan positive emotional states (Martin, 2003). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 28 2.2 Kerangka Pemikiran Konsep work-life balance cocok dikaji selain karena meningkatnya jumlah pasangan dual-earner yang mana suami dan istri sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga, tapi juga dikarenakan karyawan yang sudah menikah dan bekerja cenderung mengalami konflik peran ganda. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 jumlah laki-laki yang bekerja di seluruh Indonesia sebanyak 336.573 orang sedangkan jumlah perempuan yang bekerja di seluruh Indonesia sebanyak 288.614 orang. Hal ini terjadi karena pasangan dual-earner yang mana suami dan istri bekerja secara full-time akan menghadapi tekanan dalam pekerjaan dan keluarga. Penyeimbangan tanggung jawab ini cenderung lebih memberikan tekanan bagi karyawan karena selain menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggung jawab ini memiliki kesulitan pengelolaan yang tinggi. Konsekuensinya, jika karyawan kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya terganggu sehingga dapat menimbulkan stres. Karyawan yang sudah berkeluarga menghadapi permasalahan dalam mengurus keluarga jika beban pekerjaan mereka terlalu membebani atau menghabiskan banyak waktu yang seharusnya diluangkan untuk mengurus keluarga. Seorang karyawan diharapkan untuk berkinerja secara maksimal karena tuntutan perusahaan untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi yang mana tuntutan pekerjaan tersebut secara otomatis akan mengurangi waktu yang dihabiskan seseorang dalam lingkungan keluarganya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 29 Tuntutan dalam pekerjaan ini seringkali mengakibatkan ketegangan emosi dalam diri individu sehingga ketika bersama keluarga di rumah, individu tidak mampu menunjukkan sikap positif. Individu yang memiliki keecerdasan emosi dapat mengatur emosi yang akan muncul sesuai kondisi yang dihadapi individu. Sense of humor dapat menjadi cara untuk memunculkan emosi positif dan mengurangi beban pikiran seseorang. Humor digunakan sebagai coping mechanism dalam menghadapi situasi-situasi sulit di kehidupan. Humor memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia dalam menghadapi guncangan kesedihan untuk bangkit menjadi kegembiraan. Humor mampu membuat orang menjadi rileks, segar dan terhibur, sehingga turut mengurangi beban persoalan yang dirasa sangat membelenggu. Peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah. Dari uraian di atas, maka dapat dibuat kerangka pemikiran seperti berikut : Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sense of Humor (X) Emotional Intelligence (Mediator) Work-Life Balance (Y) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 30 2.3 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2009). Berdasarkan dasar kerangka konseptual di atas, akhirnya dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu : H1 : ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah. H0 : tidak ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada karyawan menikah. http://digilib.mercubuana.ac.id/