bab ii kajian pustaka dan kerangka pemikiran dan hipotesis

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN
HIPOTESIS
2.1
Kajian Pustaka
2.1.1 Work-Life Balance
Definisi Work-Life Balance
Menurut Swami (dalam Poulose dan Sudarsan, 2014) mendefinisikan
work-life balance sebagai sebuah sebuah kepedulian dengan memberikan ruang
lingkup bagi karyawan untuk menyeimbangkan pekerjaan mereka dengan
tanggungjawab dan kepentingan di luar pekerjaan. Sedangkan Grzywacz dan
Carlos (dalam Poulose dan Sudarsan, 2014) mendefinisikan work-life balance
sebagai pemenuhan harapan bagi peran terkait yang dinegosiasikan dan dibagi
antara peran-peran yang terkait dalam pekerjaan dan keluarga.
Menurut Kirchmeyer (dalam Kalliath dan Brough, 2008) work-life balance
adalah tercapainya kepuasan disemua aspek kehidupan dan hal tersebut
membutuhkan tenaga, waktu, dan komitmen yang didistribusikan dengan baik ke
semua bagian. Kalliath dan Brough (2008) mengusulkan definisi work-life
balance yang mengintegrasikan dua makna inti yaitu:
“work-life balance is the individual perception that work and non
work activities are compatible and promote growth in accordance
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
with an individual’s current life priorities” (Kalliath & Brough,
2008).
Arti dari definisi tersebut adalah work-life balance adalah persepsi
individu bahwa kerja dan non-kerja adalah aktivitas yang kompatibel dan
mendorong pertumbuhan sesuai dengan prioritas hidup individu saat ini. Melalui
definisi tersebut, Kalliath dan Brough (2008) mengusulkan bahwa work-life
balance meliputi preferensi peran yang penting bagi individu (apakah individu
lebih memilih untuk menghabiskan waktu lebih banyak atau lebih sedikit dalam
aktivitas kerja atau non-kerja). Melalui definisi tersebut juga, Kalliath dan Brough
(2008) mengusulkan bahwa keseimbangan antar ranah akan mengarah pada
pertumbuhan dan perkembangan yang positif dalam aktivitas kerja (memperoleh
pengakuan kerja dan potensi karir) dan/atau non-kerja (melakukan perjalanan,
mengurus anak).
Selain Kalliath dan Brough, pada tahun 2001, Fisher mengembangkan
konstruk work-life balance. Dalam mengembangkan konstruk tersebut, Fisher
melakukan preliminary study terhadap 77 responden. Responden tersebut
merupakan karyawan yang berasal dari beragam jenis pekerjaan dan organisasi,
merupakan karyawan tetap, dan meliputi karyawan yang sudah menikah atau
belum, serta karyawan yang belum maupun sudah memiliki anak.
Dalam penelitian yang dilakukan Fisher (2001) meminta mahasiswa
lulusan psikologi industri dan organisasi untuk menjadi peneliti dan bertugas
untuk melakukan tinjauan ulang terhadap respon yang diberikan oleh masingmasing partisipan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Fisher (2001)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
mengusulkan dua dimensi work-life balance yaitu waktu dan perilaku. Waktu
merujuk kepada jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja, dibandingkan
dengan jumlah waktu yang dihabiskan untuk terlibat dalam aktivitas lain.
Sementara itu, perilaku merujuk kepada pencapaian tujuan kerja dimana
seseorang merasa yakin bahwa ia dapat mencapai apa yang dia sukai di pekerjaan
atau dalam kehidupan personalnya.
Fisher (2001) kemudian menambahkan, selain kedua dimensi tersebut, ada
hal lain yang relevan untuk dapat mendefiniskan work-life balance, yaitu strain
(ketegangan) dan energi. Strain meliputi kecemasan, tension (tekanan),
meninggalkan aktivitas yang penting dalam kehidupan, dan kesulitan dalam
atensi. Selanjutnya energi (merujuk kepada the conversation of resource energy)
mengusulkan bahwa kurangnya energi dalam memenuhi tuntutan kerja atau nonkerja akan mengarahkan kepada peningkatan stres.
Berdasarkan empat dimensi yang relevan dengan konstruk work-life
balance, maka Fisher (2001) mendefinisikan work-life balance sebagai stressor
yang terkait dengan pekerjaan yang meliputi empat isu yaitu waktu, energi,
pencapaian tujuan, dan ketegangan.
“work-life balance was defined as an occupational stressor
regarding issues of time, energy, goal accomplishment, and strain”
(Fisher, 2001).
Penjabaran dari definisi yang dikemukakan oleh Fisher (2001) ini tercakup
dalam alat ukur yang dikembangkan dan divalidasi oleh Fisher, Bulger, dan Smith
(2009). Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa work-life
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
balance merupakan keseimbangan antara peran dan tanggung jawab di dalam
pekerjaan maupun di luar pekerjaan (rumah tangga dan kehidupan sosial) yang
berjalan secara harmonis tanpa mengorbankan kepentingan salah satunya serta
tercapainya kepuasan disemua aspek kehidupan.
Definisi Dimensi Work-Life Balance
Sebelum membahas mengenai dimensi-dimensi work-life balance, perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai role interference dan role enhancement. Role
interference terjadi ketika dua atau lebih tekanan terjadi pada waktu yang sama
sehingga pemenuhan tuntutan pada satu peran akan membuat pemenuhan di peran
lainnya akan mengalami kesulitan (Kahn et al., 1964, dalam Fisher, Bulger, dan
Smith, 2009). Sementara itu role enhancement mempunyai pandangan bahwa
sumberdaya seperti energi dapat diperbaharui atau dihasilkan dengan cara
memenuhi tuntutan pada satu peran sehingga dapat membantu individu untuk
dapat terlibat dalam peran lain (Greenhaus dan Powell, 2006, dalam Fisher,
Bulger, dan Smith, 2009).
Fisher, Bulger, dan Smith (2009) melakukan exploratory factor analysis
untuk menguji dimensi dari item-item yang telah dikembangkan. Exploratory
factor analysis adalah teknik statistik yang digunakan untuk memperkirakan, atau
menggali faktor; menentukan berapa banyak faktor yang akan dipertahankan.
Melalui teknik statistik tersebut, item-item dari alat ukur yang dikembangkan
merujuk kepada empat dimensi yaitu:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
1. WIPL (work interference with personal life)
Dimensi
ini
mencerminkan
sejauh
mana
pekerjaan
individu
dapat
mengganggu kehidupan pribadinya. Misalnya, bekerja membuat seseorang
sulit untuk mengatur jadwal kehidupan pribadinya.
2. PLIW (personal life interference with work)
Dimensi ini mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi individu
mengganggu kehidupan pekerjaannya. Misalnya, ketika dalam kehidupan
pribadi seseorang mengalami konflik atau stres, membuat seseorang sulit
berkonsentrasi dalam pekerjaannya sehingga hal ini akan mengganggu
kehidupan pekerjaan seseorang.
3. PLEW (personal life enhancement of work)
Dimensi ini mencerminkan sejauh mana kehidupan pribadi seseorang dapat
meningkatkan performa individu dalam dunia kerja. Misalnya, rasa senang
yang didapatkan seseorang dalam kehidupan pribadi dapat membuat seseorang
memiliki suasana hati yang baik ketika bekerja.
4. WEPL (work enhancement of personal life)
Dimensi ini mencerminkan sejauh mana pekerjaan dapat meningkatkan
kualitas
kehidupan
pribadi
individu.
Misalnya,
keterampilan
yang
dikembangkan seseorang dalam pekerjaannya, memungkinkan individu untuk
memanfaatkan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan menggunakan dimensidimensi pembentuk work-life balance yang diajukan oleh Fisher, Bulger dan
Smith (2009) karena dimensi yang diajukan membentuk seperti sebuah
perbandingan sejauh mana salah satu dimensi mengganggu dimensi lainnya serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
sejauh mana salah satu dimensi mendukung dimensi lainnya. Selain hal tersebut
dimensi-dimensi diatas telah digunakan banyak ahli serta dimensi yang diajukan
tidak terlalu banyak namun mewakili secara utuh.
Model Teori Work-Life Balance
Zedeck dan Moiser (1990) dan yang paling terbaru O’Driscoll (1996)
dalam Poulose dan Sudarsan (2014) menyatakan bahwa terdapat lima model
utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara kerja dan
kehidupan di luar pekerjaan. Kelima model tersebut antara lain:
1. Segmentation model berhipotesis bahwa kerja dan non-kerja adalah dua ranah
yang berbeda dan terpisah serta tidak mempengaruhi satu sama lain.
2. Spillover
model
yang
berhipotesis
bahwa
salah
satu
ranah
dapat
mempengaruhi ranah yang lainnya baik secara positif ataupun negatif.
3. Compensation model yang mengusulkan bahwa kekurangan pada satu ranah,
dalam hal tuntutan atau kepuasan, dapat dibuat pada ranah lain. Maksudnya,
kekurangan pada satu ranah dapat dikompensasi dengan cara mengikuti
aktivitas pada ranah lain sebagai contoh, kehidupan pekerjaan yang rutin dan
tidak
memberikan
tuntutan
terhadap
seseorang
karyawan
dapat
dikompensasikan dengan memegang peran utama pada aktvitas di komunitas
tertentu di luar pekerjaan.
4. Instrumental model yang mengusulkan bahwa aktivitas pada satu ranah akan
mempermudah kesusksesan pada ranah yang lain. Sebagai contoh, individu
akan bekerja lebih lama untuk memperoleh pendapatan yang maksimal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
sehingga dapat membeli kebutuhan keluarga. Dalam hal ini, bekerja lebih
lama akan membuat individu untuk mendapatkan pendapatan yang maksimal,
hal tersebut dilakukan untuk mempermudah individu memenuhi kebutuhankebutuhan keluarganya.
5. Conflict model yang mengusulkan bahwa tuntutan yang tinggi pada seluruh
ranah kehidupan, akan membuat individu mengalami kesulitan dalam
membuat keputusan sehingga akan memunculkan konflik.
Berdasarkan penjabaran dari kelima model tersebut, maka model yang
digunakan pada penelitian ini adalah spillover model karena model tersebut
sejalan dengan alat ukur yang dikembangkan Fisher, Bulger, dan Smith (2009)
dimana kedua ranah yaitu pekerjaan dan non-kerja dapat mempengaruhi satu sama
lain baik secara positif (enhancement) ataupun negatif (interference).
Faktor yang Mempengaruhi Work-Life Balance
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi work-life balance menurut
Pouluse dan Sudarsan (2014) sebagai berikut:
1) Faktor Individual
a. Kepribadian
Ada 5 model besar kepribadian yaitu extraversion, agreeableness,
conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience.
b. Kesejahteraan
Dipengaruhi oleh dua komponen yaitu cognitive component (life
satisfaction) dan affective component (emotional well being).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
c. Emotional Intelligence (EI)
Didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan dan mengenali
emosi atau perasaan, mengungkapkan emosi atau perasaan, mengatur
emosi atau perasaan, dan mempergunakan emosi atau perasaan.
2) Faktor Organisasional
a. Pengaturan kerja
Pengaturan kerja yang mudah disesuaikan dapat membantu karyawan
untuk mencapai pencampuran yang lebih baik antara pekerjaan dan
aktifitas
di
luar
pekerjaan
dan
membantu
organisasi
merekrut,
mempertahankan dan memotivasi karyawan.
b. Dukungan organisasi
Ada dua bentuk, yaitu dukungan formal dan dukungan informal.
Dukungan formal dapat berupa ketersediaan work-family policies/benefit
dan fleksibilitas pengaturan jadwal kerja, sedangkan dukungan informal
dapat berupa otonomi kerja, dukungan dari atasan dan perhatian terhadap
karir karyawan.
c. Stres kerja
Dapat didefinisikan sebagai persepsi individu tentang lingkungan kerja
seperti mengancam atau menuntut, atau ketidaknyamanan yang dialami
oleh individu di tempat kerja.
d. Konflik peran, ketidakjelasan peran dan role overload
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
e. Teknologi, kemajuan teknologi dapat membantu pekerjaan di kantor
maupun pekerjaan rumah tangga sehingga sangat bermanfaat terhadap
pengelolaan waktu.
3) Faktor Lingkungan
a. Pengaturan perawatan anak
Faktor keluarga yang berhubungan seperti jumlah anak dan tanggung
jawab perawatan anak menyebabkan ketidakseimbangan dalam peran
pekerjaan dan keluarga.
b. Dukungan keluarga
Dukungan pasangan, dukungan orang tua dan permintaan pribadi dan
keluarga.
c. Faktor sosial lainnya
4) Faktor Lainnya
Umur, jenis kelamin, status perkawinan, status orangtua, pengalaman, tingkat
karyawan, tipe pekerjaan, penghasilan serta tipe keluarga.
Konsekuensi Work-Life Balance
Ada beberapa konsekuensi atau dampak dari tidak adanya keseimbangan
dalam kehidupan pribadi dan kehidupan pekerjaan, yaitu:
1. Fisik
Secara umum, konflik yang terjadi dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan
memiliki hubungan positif dengan rendahnya kesehatan fisik (Frone dalam
Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003). Berdasarkan hasil meta analisis yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
dilakukan oleh (Allen et al., dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003)
konflik tersebut dapat memunculkan simtom-simtom somatik dan fisik seperti
sakit kepala, sakit punggung, sakit perut, kemalasan, sakit di daerah dada atau
jantung, dan kesulitan untuk tidur (Geurts dalam Schabracq, Winnubst, dan
Coope, 2003).
2. Psikologis
Terdapat hubungan yang relatif konsisten antara konflik yang terjadi (kerja
dan luar kerja) dan dampak psikologis yang ditimbulkan. Burnout adalah salah
satu dampak psikologis yang ditimbulkan dari konflik antara kerja dan luar
kerja ini (Burke dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003).
3. Perilaku
Berdasarkan hasil observasi Burke (dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope,
2003) individu yang mengalami konflik dalam kehidupan pribadi dan
pekerjaan cenderung mengalami peningkatan dalam mengonsumsi kopi,
rokok, dan alkohol. Selain itu, Burke (dalam Schabracq, Winnubst, dan
Coope, 2003) juga melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kebiasaan
sehat seperti latihan fisik secara rutin dan mengonsumsi obat-obatan terhadap
work-family conflict.
4. Sikap
Menurut Scholarios dan Marks (2004), work-life balance memiliki
konsekuensi penting terhadap sikap pegawai pada organisasinya. Konsekuensi
sikap yang muncul akibat adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan
pekerjaan dan kehidupan di luar pekerjaan dapat dibagi dalam dua kategori,
yaitu sikap yang berhubungan dengan pekerjaan dan sikap yang tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
berhubungan dengan pekerjaan. Sikap yang berhubungan dengan pekerjaan,
seperti kepuasan kerja dan komitmen berorganisasi, sedangkan sikap yang
tidak berhubungan dengan pekerjaan dapat dibagi dalam berbagai jenis
kepuasan, yaitu kepuasan hidup, kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga, dan
kepuasan dalam menjalankan aktivitas di waktu senggang.
5. Organisasi
Bukti longitudinal yang tersedia tentang pengaruh negatif dari kehidupan kerja
terhadap kehidupan luar kerja masih sedikit, terutama yang berkaitan dengan
actual turnover, absenteeism, dan menurunnya performa kerja. Menurut
Grandet dan Gropanzano (dalam Schabracq, Winnubst, dan Coope, 2003),
adanya intensi turnover merupakan variabel yang sangat berpengaruh positif
dengan work-family conflict dan family-work conflict.
2.1.2 Sense of Humor
Definisi Sense of Humor
Humor memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, membantu
mereka untuk hidup lebih baik ketika menghadapi hari-hari yang sulit. (Holden,
1993; Moody, 1979; Robinson, 1991, dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt,
2007).
Humor
adalah
jenis
komunikasi,
cara
bagi
seseorang
untuk
mengekspresikan dirinya dalam menyampaikan arti lain dari sesuatu melebihi apa
yang tampak. Humor bermain dengan kata-kata, membuat bahasa penyampaian
pesan yang dipahami agar memiliki makna sekunder atau tersembunyi. Humor
merupakan cara untuk melihat diri seseorang dengan jujur tanpa menjadi serius,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
untuk menilai diri seseorang dan mengungkapkan kesenangan (Astedt-Kurki et
al., dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt, 2007).
Bahkan Jauregui (Colom, Alcover, Curto & Osuna, 2011) menegaskan
bahwa tertawa adalah sebuah emosi positif, yang dilukiskan oleh perasaan
subjektif dari kebahagian dan dapat dengan mudah diketahui dari ekspresi wajah.
Emosi positif ini akan melawan emosi negatif yang dialami saat seseorang
mengalami stres seperti kecemasan, kesedihan, dan kemarahan.
Sense of humor mengacu pada definisi humor sebagai trait kepribadian
yang cenderung stabil (Ruch, dalam Martin 2003). Konsep pengertiannya tidak
hanya didasarkan pada satu dimensi trait atau karateristik spesifik saja, namun
sense of humor adalah sebuah konstruk yang multi-faset dan saling berkaitan satu
sama lain (Martin, 2003). Di antaranya, sense of humor dikonseptualisasikan
sebagai: (1) kemampuan kognitif, yakni kemampuan untuk mengkreasikan,
memahami,
memproduksi/menghasilkan,
dan
mengingat
lelucon
yang
menghampiri, (2) sebagai sebuah respon estetika, yakni apresiasi terhadap humor,
serta kemampuan menikmati jenis humor tertentu, (3) pola tingkah laku yang
sudah menjadi kebiasaan, yakni kecenderungan untuk sering tertawa, untuk
melontarkan lelucon, dan menyenangkan orang lain, (4) sebagai temperamen
yang terkait dengan emosi, yakni apabila dikaitkan dengan kebiasaan ‘berseriseri’ atau ‘habitual cheerfulness’, (5) serta dapat juga diartikan sebagai sebuah
‘sikap’ dan (6) sebagai strategi coping atau bagian dari mekanisme defensif
manusia. Menurut Thorson & Powell (1993), sense of humor adalah sebuah cara
memandang dunia, sebuah ‘gaya’ tertentu, sebagai bentuk pelindungan diri (selfprotection) dalam interaksi dengan orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan secara sederhana
bahwa sense of humor merupakan kualitas persepsi yang dimiliki seseorang untuk
melihat situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan yang dialaminya
melalui perspektif lain yaitu dengan cara menciptakan humor dan tawa lebih
banyak serta merespon terhadap lelucuan yang ada sekitarnya.
Elemen-Elemen Humor
Menurut Thorson dan Powell (1993) ada berbagai elemen penting yang
dapat membentuk rasa humor pada diri individu. Mereka menyarankan beberapa
elemen berikut:
1. Penghargaan yang diberikan oleh orang lain kepada individu (bahwa dirinya
adalah
humoris).
Tiap
orang
pada
dasarnya
termotivasi
untuk
mengembangkan rasa humor jika pada pengalaman masa lalunya pernah
diberikan pengakuan sebagai orang yang humoris oleh orang-orang di
sekitarnya. Indiviu yang pernah diberikan ‘reward’ pada perilaku humorisnya
akan lebih merasa bebas untuk mengembangkan rasa humor yang ada atau
bahkan membuat variasi-variasi humor baru.
2. Pengakuan terhadap humor yang dilontarkan oleh orang lain. Hal ini berkaitan
dengan sosialisasinya di kalangan orang humoris. Jika individu mempunyai
apresiasi yang baik terhadap humor yang dilontarkan orang, maka dengan
sendirinya akan meningkatkan motivasi dalam diri untuk menghasilkan atau
melontarkan humor.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
3. Apresiasi terhadap humor. Yakni berhubungan dengan sikap terhadap humor
dan sikap terhadap orang-orang yang humoris pula. Ketika individu meiliki
sikap yang terbuka dan positif terhadap humor maupun terhadap orang yang
humoris, maka akan membentuk berkembangnya rasa humor.
4. Tertawa. Sebagai bagian dari behavioral respon, tertawa mempunyai kaitan
erat dengan personal sense of humor yang terdapat pada individu. Tertawa
merupakan sebuah respon yang paling mungkin dalam elemen rasa humor,
dan hal ini merupakan bagian dari menghargai orang yang melontarkan
humor. Saat kita mampu tertawa atau tersenyum, berarti kita menghargai hasil
usaha kita atau usaha yang dilakukan oleh orang lain saat memproduksi
humor.
5. Perspektif. Sudut pandang individu dapat mempengaruhi perkembangan rasa
humornya, terutama jika dikaitkan dengan memandang keabsurditasan hidup.
Melalui sudut pandangnya, individu dapat menjadi lebih toleran, tidak mudah
bersedih, tidak ingin untuk menentang atau menjadi musuh orang lain. Dengan
sudut pandang yang meluas (broad minded) maka rasa humor dapat
berkembang, serta sebaliknya dengan terdapatnya rasa humor bisa membuat
individu memiliki sudut pandang yang meluas.
Aspek-Aspek Sense of Humor
Thorson & Powell (1993) mendefinisikan sense of humor sebagai konstruk
yang multidimensi yakni terdiri dari:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
1. Humor production, berupa kemampuan kreatif menjadi humoris, membuat
lelucon, mengidentifikasi hal yang lucu dalam sebuah situasi serta
mengkreasikan dan menghubungkan situasi tersebut dengan cara-cara yang
dapat menyenangkan orang lain.
2. Uses of humor for coping, yakni penggunaan humor dalam menghadapi
masalah atau mengatasi situasi sulit dengan menggunakan humor.
3. Humor Appreciation, yaitu berupa apresiasi atau merespon terhadap orangorang yang humoris dan situasi yang penuh humor. Respon yang diberikan
dapat berupa tertawa atau paling tidak tersenyum jika ada orang yang melucu.
4. Attitude toward humor, berupa sejauh mana sikap-sikap individu terhadap
humor dan terhadap orang-orang yang humoris.
Jika keempat hal tersebut dimiliki oleh individu, maka dapat dipastikan
bahwa ia memiliki rasa humor yang cukup baik dan cenderung lebih mudah
beradaptasi menghadapi situasi sulit di lingkungan kehidupannya (Thorson &
Powell, 1993).
Manfaat Humor
Dalam
hal
psikologis,
penggunaan
humor
bermanfaat
untuk
mengembangkan hubungan, meningkatkan harga diri dan menghilangkan stres
dan kecemasan (Astedt-Kurki & Isola, 2001; Bauer & Geront, 1999; Beck, 1997;
Buffum & Brod, 1998; Johnson, 2002; Moran & Massan, 1999; Savage &
Canody, 1999; Sheldon, 1996, dalam Jose, Parreira, Thorson, & Allwardt, 2007).
Selain itu, humor dapat memberikan manfaat positif dalam membantu seseorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
ketika menghadapi kecurangan, rasa kehilangan, rasa sedih, rasa bersalah, dan
untuk memperkuat harga diri mereka (Astedt-Kurki & Liukkonen, 1994). Lebih
lagi, humor dan tertawa secara efektif dapat digunakan sebagai coping stress,
yang mana humor dapat membantu kita untuk melihat sebuah masalah dari
perspektif yang lain, dan tertawa dapat membantu kita untuk melepaskan
akumulasi dari ketegangan-ketegangan fisik yang diakibatkan dari ketegangan
psikologis, serta menurunkan hormon stres (Colom, et al., 2011).
Penggunaan humor pun telah lama digunakan sebagai coping mechanism
yakni dalam menghadapi situasi-situasi sulit di kehidupan (Thorson & Powell,
1993). Dalam bidang gerontologi misalnya, disebutkan bahwa personal sense of
humor biasanya terkait dengan individu-individu yang telah melalui usianya
dengan sukses. Orang-orang yang humoris dikatakan sebagai orang yang
cenderung dapat survive berjuang ‘melawan hidup’ (Poon dalam Thorson &
Powell, 1993). Kemudian penelitian juga membuktikan adanya kaitan antara
humor dengan kecemasan menghadapi kematian (death anxiety). Individu yang
terbiasa menggunakan humor dalam hidupnya akan cenderung lebih dapat
berkompromi dengan dirinya sendiri menghadapi usia yang semakin renta dan
mendekati kematian (Thorson & Powell, 1993).
Prerost melakukan penelitian dengan 144 perempuan di perguruan tinggi,
hasilnya menunjukkan bahwa humor efektif digunakan untuk mengurangi rasa
marah (Thorson & Powell, 1993). Tennant juga ikut membuktikan bahwa orang
dewasa yang berpartisipasi dalam ‘program apresiasi humor’ ternyata mengalami
peningkatan moral dan kesejahteraan psikologis (Thorson & Powell, 1993). Selain
itu, Koppel & Sechrest (dalam Thorson & Powell, 1993) membuktikan kaitan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
antara humor dengan orang-orang yang cerdas. Keduanya menyatakan bahwa
orang humoris adalah mereka-mereka yang memang memiliki kecerdasan ratarata atau di atas rata-rata serta memiliki kepribadian cenderung ekstrovert.
Keuntungan lainnya yang juga didapatkan dari adanya rasa humor ini, yakni
melalui humor dapat mengurangi ketegangan otot, meningkatkan laju oksigen
dalam darah, melatih fungsi-fungsi tertentu dari bagian jantung, serta
menghasilkan endorphin yakni hormon yang berkolerasi langsung dengan positive
emotional states (Martin, 2003).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
2.2
Kerangka Pemikiran
Konsep work-life balance cocok dikaji selain karena meningkatnya jumlah
pasangan dual-earner yang mana suami dan istri sama-sama bekerja untuk
memenuhi kebutuhan finansial keluarga, tapi juga dikarenakan karyawan yang
sudah menikah dan bekerja cenderung mengalami konflik peran ganda. Menurut
data dari Badan Pusat Statistik tahun 2014 jumlah laki-laki yang bekerja di
seluruh Indonesia sebanyak 336.573 orang sedangkan jumlah perempuan yang
bekerja di seluruh Indonesia sebanyak 288.614 orang.
Hal ini terjadi karena pasangan dual-earner yang mana suami dan istri
bekerja secara full-time akan menghadapi tekanan dalam pekerjaan dan keluarga.
Penyeimbangan tanggung jawab ini cenderung lebih memberikan tekanan bagi
karyawan karena selain menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggung jawab
ini memiliki kesulitan pengelolaan yang tinggi. Konsekuensinya, jika karyawan
kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya terganggu sehingga dapat
menimbulkan stres.
Karyawan yang sudah berkeluarga menghadapi permasalahan dalam
mengurus keluarga jika beban pekerjaan mereka terlalu membebani atau
menghabiskan banyak waktu yang seharusnya diluangkan untuk mengurus
keluarga. Seorang karyawan diharapkan untuk berkinerja secara maksimal karena
tuntutan perusahaan untuk mencapai tingkat produktifitas yang tinggi yang mana
tuntutan pekerjaan tersebut secara otomatis akan mengurangi waktu yang
dihabiskan seseorang dalam lingkungan keluarganya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
Tuntutan dalam pekerjaan ini seringkali mengakibatkan ketegangan emosi
dalam diri individu sehingga ketika bersama keluarga di rumah, individu tidak
mampu menunjukkan sikap positif. Individu yang memiliki keecerdasan emosi
dapat mengatur emosi yang akan muncul sesuai kondisi yang dihadapi individu.
Sense of humor dapat menjadi cara untuk memunculkan emosi positif dan
mengurangi beban pikiran seseorang. Humor digunakan sebagai coping
mechanism dalam menghadapi situasi-situasi sulit di kehidupan. Humor
memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan hidup manusia dalam
menghadapi guncangan kesedihan untuk bangkit menjadi kegembiraan. Humor
mampu membuat orang menjadi rileks, segar dan terhibur, sehingga turut
mengurangi beban persoalan yang dirasa sangat membelenggu. Peneliti tertarik
untuk mengetahui hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada
karyawan menikah.
Dari uraian di atas, maka dapat dibuat kerangka pemikiran seperti berikut :
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
Sense of Humor
(X)
Emotional Intelligence
(Mediator)
Work-Life Balance
(Y)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
2.3
Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2009).
Berdasarkan dasar kerangka konseptual di atas, akhirnya dapat
dirumuskan hipotesis penelitian yaitu :
H1
: ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada
karyawan menikah.
H0
: tidak ada hubungan antara sense of humor dengan work-life balance pada
karyawan menikah.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download