upaya pemerintah indonesia dan australia dalam penyelesaian

advertisement
UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DAN AUSTRALIA
DALAM PENYELESAIAN MASALAH PEMANFAATAN
SUMBER DAYA LAUT DI PULAU PASIR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Untuk Memenuhi Persyaratan Gelar
Sarjana Ilmu Sosial (S.Sos)
Oleh :
FIRMANSYAH ARUB
NIM. 107083103913
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIALDAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai upaya pemerintah Indonesia dan Australia
dalam penyelesaian sengketa pulau pasir. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui langkah-langkah Negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Pasir
dan Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan antara Indonesia dan Australia dalam
menjaga hubungan baik terutama dalam memperjuangkan hak-hak nelayan tradisional
Indonesia di sekitar Pulau Pasir. Pada penelitian ini penulis menemukan bahwa
langkah diplomasi Indonesia yang lemah sehingga berdampak negatif terhadap
para Nelayan-nelayan Tradisonal Indonesia. Dalam melakukan penelitin ini,
penulis menggunakan konsep Hukum Internasional sebagai dasar yang digunakan
kedua Negara untuk melakukan klaim terhadap kepemilikan Pulau Pasir.
Kemudian konsep diplomasi yang berarti bahwa kedua Negara memilih
melakukan perundingan dan negosiasi untuk penyelesaian sengketa wilayah, atau
dengan kata lain memilih kata diplomasi buka dengan perang militer.
Metode yang digunakan untuk penulisan skripsi ini adalah metode
kualitatif yang mengunakan buku-buku juga jurnal ilmiah sumber penulisan. Dari
hasil penelitin penulis meihat terjadi beberapa pembicaraan dan pertemuan untuk
menyelesaikan permasalahan Pulau Pasir. Seperti MOU BOX 1974 dan Perjanjian
Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth. kesepakatan tentang penetapan batas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas laut tertentu serta tidak mengurangi hak
tradisional nelayan Pulau Rote. Perjanjian yang diusulkan akan mengatasi
batasan-batasan bahari antara Australia dan Indonesia di dalam area itu dimana
batasan-batasan yang ada menyetujui dan memberikan Australia dengan
keamanan yurisdiksi sumber daya lepas pantai di sebelah selatan batasan-batasan
itu semua.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohim.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah dan karunia Nya yang diberikan,
sehingga penulis dapat menyusun
skripsi yang berjudul “ Upaya Pemerintah Indonesia dan Australia Dalam
Penyelesaian Masalah Pemanfaatan Sumber Daya Laut di Pulau Pasir”.
Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada jurusan Hubungan
Internasional. Rasa syukur dan terimakasih penulis sampaikan kepada pihakpihak yang telah memberikan motivasi, bimbingan, do’a, dan pemikiran kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih kepada :
1. Ayahanda Ujang Sutisna dan Ibunda Yanti serta adik-adik penulis tercinta.
Ahmad Noor, Ardiansyah, M. Amin, Ahmad Dimyati As-Siddik. Yang tak
bosan-bosan mendo’akan serta memberikan dukungan dalam penulisan skripsi
ini. Penulis mengucapkan mohon maaf kepada keluarga tercinta yang telah
menunggu lama dalam moment ini.
2. Ibu Debbie Affianty, M.Si, sebagi Ketua Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Agus Nilmada Azmi. M.Si, selaku sekretaris jurusan Hubungan
Internasional, sekaligus dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini.
Terimakasih atas waktu, bimbingan, serta saran yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, terimakasih juga atas
kesabaran dan perhatiannya ditengah-tengah berbagai kesibukan.
4. Bapak/Ibu Dosen Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mengajarkan berbagai
ilmu dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugasnya sebagai
mahasiswa.
vi
5. Sahabat-sahabat terbaik penulis : Feriantika, A. Kurnia, SP. S.Pd. MM, Dian
Yoga Permana, A.md, Ruswandi, S.Pd, Ahmad Muhajir, S.Pd, Yayan
Herlawiyana, A.Md, Feri Yanto, S.Pd.I, Lomri, Dedi Suherdi, S.Pd, Usin.
S.Pd, Budiana AR, Riyant Ahmad Yani, Tia Maulida, Dian Nurhikmah, Rida
Nuryana, Sopian Effendi, M Nur, Tati Soehartati, M. Deden, A. Sobari.
Terimakasih atas segala do’a, pikiran, serta motivasi yangkalian berikan
selama penulisan skripsi ini.
6. Teman-teman seperjuangan Hubungan Internasional angkatan 2007 : Hendri
Jureza Kusuma, Nasrudin, M. Haryadi, Fuad Hasan, Bayu Azhari Ramadani,
Akhmad Syarif, Reza Fachlevi, Muamar, Subhan Jamil Baedoi, Icanudin,
Marwah Fauziah Amri, Hasbi Asidiqi, Laksono Naya Paritosa. Terima kasih
atas dukungan dan semangatnya.
7. Semua pihak yang telah membantu pikiran, saran, tenaga, materil maupun
moril dalam penyelesaian skripsi ini
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari sempurna
dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan dimasa depan.
Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak
umumnya dan bagi penulis khususnya.
Jakarta, 10 Juli 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................i
KATA PENGANTAR ......................................................................................ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................vi
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 7
C. Kerangka Pemikiran.......................................................................................... 7
1. Hukum Internasional ................................................................................. 7
2. Diplomasi .................................................................................................. 10
D. Metode Penelitian ............................................................................................ 12
E. Tujuan Penelitian ...................................................................................13
F. Sitematika Penulisan ..............................................................................14
BAB II GAMBARAN UMUM PULAU PASIR ............................................
A. Sejarah Mengenai Pulau Pasir ................................................................15
B. Perairan Indonesia dan Perkembangan UNCLOS .................................24
1. Deklarasi Djoeanda ..........................................................................24
2. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982 ...27
C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan UNCLOS
1982 ........................................................................................................34
D. Pelaksanaan Clear Water Operations .....................................................41
BAB III PERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN
AUSTRALIA ......................................................................................
A. Sejarah Perundingan Bilateral Indonesia dan Australia ..........................45
1. MOU (Memorandum of Understanding) BOX 1974 ........................45
2. Perjanjian tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MoU 1974..50
3. Perjanjin Perth 14 Maret 1997 ..........................................................57
viii
B. Kesepakatan Terbaru Kerjasama Kelautan antara Indonesia dan
Australia ..................................................................................................62
BAB IV KESIMPULAN ..................................................................................68
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia ................3
Gambar 2.1. Peta Geografis Pulau Pasir .............................................................21
Gambar 2.2. Peta Pulau Pasir Berdekatan Dengan Pulau Cartier
dan Batu Karang ............................................................................23
Gambar 3.1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO 1939
(Sebelum Deklarasi Djoeanda) ......................................................28
Gambar 3.2. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi ...........................29
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbatasan laut Indonesia serta pulau-pulaunya yang berbatasan langsung
dengan Negara lain sering kali mengalami kondisi yang tidak aman terhadap
berbagai ancaman keamanan dan tindak kriminal, perbatasan laut khususnya
pulau terluar Indonesia memiliki arti yang strategis dalam konteks integrasi
nasional, yaitu sebagian dari wilayah kedaulatan NKRI yang letaknya berada
disisi paling luar dan memiiki titik dasar (base point) didalamnya. titik dasar
tersebut merupakan referensi bagi penarikan garis kepulauan Indonesia dalam
penetapan wilayah perairan nasional sebagai bagian dari wilayah kedaulatan.1
Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjanjian
antara kedua negara tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
batas-batas laut, perjanjian ini jauh lebih adil karena mengikuti kaidah Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS III) sehingga berada di garis tengah antara
Indonesia dan Australia perjanjian ini dilaksanakan karena pihak Australia
melakukan pelanggaran pada MOU 1974, namun Indonesia sendiri belum
meratifikasi perjanjian ini dalam hukum internalnya.2
Pada awal tahun 2003, Australia mengeluarkan kebijakan, baik
persetujuan bagi hasil di Celah Timor dengan negara Timor-Timur maupun
kebijakan menutup kawasan Pulau Pasir (Ashmore Reef) dari semua kegiatan
1
Widodo AS, Pembangunan Wilayah Perbatasan/PulauTerdepan Berkaitan dengan Integritas
Nasional, Dalam Rapat Kerja DPR-RI (Jakarta, Senin 26 Februari 2007), hal 7
2
Ibid.
1
penangkapan ikan oleh nelayan Indonesia mulai 3 Juli 2003.3 Australia tidak bisa
secara sepihak menerapkan kebijakan di kawasan gugusan Pulau Pasir, melainkan
seluruh kebijaksanaannya harus melalui pembicaraan dua negara AustraliaIndonesia, karena wilayah itu masih dikelola secara bersama.4 Masih terjadinya
kasus nelayan Indonesia yang tertangkap di Pulau Pasir menunjukkan hal yang
menarik dalam kajian ini.
Dalam dunia internasional, dasar hukum yang digunakan suatu negara
untuk mengklaim suatu wilayah sebagai bagian dari kedaulatannya ialah harus
menggunakan sumber hukum internasional. Dasar hukum tersebut diatur dalam
Artikel 38 Statuta Mahkamah Internasional. Sumber hukum ini mencakup
perjanjian atau konvensi internasional, baik yang bersifat umum atau khusus yang
secara tegas menyebut ketentuan yang diakui negara yang berselisih. Di Australia
dasar hukum internasional yang digunakan untuk menempatkan Pulau Pasir
sebagai bagian dari kedaulatannya adalah dengan dilakukannya perjanjian
penyerahan (cession) dari Inggris kepada Australia pada tanggal 23 Juli tahun
1931.5
Masalah pemanfaatan sumber daya laut di Pulau Pasir masih menjadi isu
yang menarik untuk dikaji karena sampai sekarang masih banyak yang
mempertanyakan isi dari perjanjian antara Australia dan Indonesia yang
menyangkut tentang keabsahan dan dasar yang melandasi suatu perjanjian itu
dibuat dan disetujui oleh kedua belah pihak. Pada Hukum Internasional, klaim
3
“Sengketa Soal Celah Timor dan Pulau Pasir, Australia Jangan Kekanak-kanakan”
http//www.republika.co.id, diakses tanggal 8 Juni 2014
4
Ibid.
5
” Bedah Buku “Pulau Pasir: Nusa Impian Orang Rote”, http//www.timorexpress.co.id, diakses
tanggal 11 juni 2014.
2
kepemilikan suatu wilayah yang didasarkan pada argumen kesejarahan, kedekatan
tradisional, maupun kedekatan geografis tidak dapat diterima karena semua itu
bisa bersifat “subyektif”. Dari sejarahnya Pulau Pasir terletak sekitar 320 km di
sebelah utara pantai barat Australia dan sekitar 140 km di sebelah selatan Pulau
Rote.6
Pulau seluas 583 km2 itu menjadi milik Australia, yang diwariskan oleh
Inggris atas “klaim sepihak yang dilakukan oleh Kapten Samuel Ashmore pada
tahun 1978” dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya. Pada awal tahun
1800-an, Inggris telah membuat koloni di Pulau Pasir. Pulau paling selatan di
Indonesia itu merupakan tempat hunian dari nenek moyang asal Pulau Rote
(sebagai buktinya, adalah adanya kuburan-kuburan nenek moyang orang Rote di
sana), tempat melepas lelah setelah menempuh perjalanan semalam suntuk untuk
menangkap ikan, tripang dan lola sebagai mata pencaharian ataupun untuk
menafkahi hidup mereka. Berikut adalah gambar peta kawasan Pulau Pasir di
perbatasan Indonesia dan Australia.7
Gambar 1.1
Peta Pulau Pasir di perbatasan Indonesia dan Australia
Sumber: “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,”
http://www.tni.mil.id/view-3818-html diakses pada tanggal 11 juni 2014
6
“Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view3818-html diakses pada tanggal 11 juni 2014
7
Ibid
3
Pada
saat itu Indonesia sudah berada di bawah administrasi colonial
Belanda, namun Belanda tidak pernah mengatur pulau itu dan tidak pernah
mempersoalkan pulau itu tahun 1878. Pulau Pasir dikuasai oleh Inggris pada
tahun 1978. Bersama dengan Pulau Cartier, Pulau Pasir diberikan kepada
Australia pada tanggal 23 Juli 1931 yang akhirnya menjadi bagian wilayah utara
Australia pada tahun 1938-1978 dimana di sekitar Pulau Pasir. Setelah mengalami
perkembangan, sejak 1978 Pulau Pasir dan Pulau Cartier menjadi wiayah
tersendiri dan Pulau Pasir dijadikan cagar alam nasional oleh pemerintah Australia
pada tanggal 16 Agustus 1983.8
Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400
tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tentu saja
Indonesia tidak bisa mengklaim suatu wilayah hanya karena nenek moyang
Indonesia sering berkunjung, melakukan tindakan ekonomi dan meninggal di
wilayah tersebut. Di lain pihak bila mengacu pada ketentuan internasional
penentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 200 mil laut sebenarnya Gugusan
Pulau Pasir terletak di Samudera Hindia hanya berjarak 60 mil laut dari Pulau
Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara Timur. Sedangkan jarak terdekat
dengan Australia yakni Darwin mencapai 500 mil laut namun diklaim oleh
Australia sebagai miliknya yang dijadikan cagar alam. Sejak ratusan tahun
lampau, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor, Flores, Bugis, Buton dan Madura
mencari nafkah hidupnya di sana.9
8
9
Ibid
Ibid
4
Penetapan batas wilayah dan yurisdiksi negara merupakan hal yang sangat
penting dan strategis sekaligus sensitif, karena berkaitan dengan pengaturan
permasalahan kedaulatan (sovereignity), hak-hak berdaulat (sovereign rights) dan
yurisdiksi (jurisdiction) suatu negara terhadap zona-zona maritime sebagaimana
diatur dalam UNCLOS 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea)
atau yang lebih dikenal dengan “Hukum Laut Internasional”. Pada dasarnya
perjanjian perbatasan antara Indonesia – Australia harus dikaji kembali dengan
menggunakan ketentuan yang tertuang dalam UNCLOS (United Nation
Convention on the Law of the Sea) 1982, terutama pasal 51 United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), bahwa sebagai negara
kepulauan yang berbatasan dengan negara lain, setiap negara harus mengakui hakhak perikanan tradisional suatu negara yang telah berlangsung lama. 10 Namun,
syarat untuk melaksanakan hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah
perundingan dengan negara-negara tetangga yang bersangkutan. Hal ini perlu
diperhatikan karena terdapat beberapa kasus pelanggaran yang dilakukan
Australia terhadap nelayan tradisional Indoneisa contohnya penahanan dan
penangkapan dua perahu layar tak bermesin, yaitu Perahu Cari Damai dan Usaha
Selamat, di sebelah utara dari Pulau Melville, Australia dimana pada perjanjian
1974 Indonesia dan Australia sudah sepakat akan adanya pengakuan terhadap
nelayan tradisional Indonesia.11
Adapun bunyi Pasal 51 secara lengkapnya adalah tanpa mengurangi arti
pasal 49, bahwa negara kepulauan harus menghormati perjanjian yang ada dengan
“Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,
http://akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id/2011/02/16/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-diwilayah, diakses pada tanggal 12 juni 2014
11
Ibid.
10
5
negara lain dan harus mengakui hal perikanan tradisional dan kegiatan lain yang
sah negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang
berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan
kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan
kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan
harus diatur dengan perjanjian bilateral antara mereka. UNCLOS merupakan
perubahan dan kodifikasi dari ketentuan yang telah ada. Kerangka pengaturannya
sangan komprehensif dan meliputi hampir semua kegiatan di laut sehingga
dianggap sebagai a constitution for the ocean.12
Dengan demikian, adanya kejelasan batas wilayah dapat dijadikan alat
legitimasi dalam menjalin hubungan berbangsa dan bernegara. Selain itu,
kejelasan batas wilayah tersebut juga dapat menciptakan potensi sumber daya
seperti kegiatan perikanan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai (off-shiore),
wisata bahari, transportasi laut dan berbagai kegiatan kelautan lainnya. Secara
umum dalam penetapan garis batas yang diatur UNCLOS III tahun 1982, suatu
negara harus terlebih dahulu menentukan daftar titik-titik koordinat geografis
yang menjelaskan datum geodetik. Datum geodetic adalah parameter yang
digunakan untuk mendefinisikan bentuk dan ukuran ellipsoid referensi. Parameter
ini selanjutnya digunakan untuk pendefinisian koordinat, serta kedudukan dan
orientasinya dalam ruang di muka bumi. Setiap negara menggunakan suatu sistem
datum geodetiknya masing-masing yang ditetapkan menjadi dasar acuan
pemetaan nasionalnya.13
12
Ibid.
“Datum Geodetik dan Proyeksi Nasional”, http://www.geografionline.com, diakses pada tanggal
13 juni 2014
13
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka penulis mengambil perumusan masalah
sebagai berikut : “Bagaimana Upaya Pemerintah Indonesia dan Australia
dalam Penyelesaiaan Masalah Pemnafaatan Sumber Daya Laut diPulau
Pasir?”.
C. Kerangka Pemikiran
1. Hukum Internasional
Permasalahan perbatasan antar Negara sejatinya telah diatur oleh hukum
internasional. Hukum internasional dirumuskan sebagai suatu kaidah atau normanorma yang mengatur hak-hak yang mengatur kewajiban-kewajiban para subjek
hukum internasional, yaitu Negara.14 Hukum internasional dibuat oleh Negaranegara, baik melalui hukum kebiasaan maupun melalui hukum tertulis. Sumber
hukum internasional berdasarkan pasal 38 (1) Statuta Mahkamah Internasional
adalah:15
1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum
maupun khusus;
2. Kebiasaan internasional (international custom);
3. Prinsip-prinsip umum hukum (general principles of law) yang diakui oleh
Negara-negara beradab;
4. Keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli yang telah
diakui kepakarannya merupakan sumber tambahan hukum internasional
14
DR. Boer Mauna, 2005 Hukum Internasional; Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, h2
15
Ibid, h8
7
Sampai dengan tahun 1958, ketentuan-ketentuan umum mengenai hukum
laut, didasarkan atas hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan lahir atas perbuatan
yang dilakukan secara terus menerus atas dasar kesamaan
kebutuhan laut
disepanjang masa. Karena itulah, semenjak beberapa dekade terakhir ini hukum
laut berupaya untuk mengatur para subyek hukum internasional agar dapat
menggunakan kekayaan laut tersebut menurut haknya. Hukum laut digunakan
bukan hanya untuk menentukan berapa jauh kekuasaan suatu negara terhadap laut
yang menggenangi pantainya, atau sampai sejauh mana Negara-negara pantai
dapat mengambil kekayaan-kekayaan yang terdapat didasar laut dan laut
diatasnya. Tetapi juga untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang
telah dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.16
Berapa konvensi yang menjadi cikal bakal hukum laut internasional,
antara lain, Konvensi untuk menyelematkan umat manusia di Laut, 20 Januari
1914 yang diperbaharui 31 Mei 1923. Dan Konvensi Bruxelles 10 Mei 1952
mengenai tabrakan kapal-kapal di Laut. Pada tahun 1958 diadakan Konfrensi
Hukum Laut Internasional di Jenewa. Konferensi menghasilkan empat konvensi.
Yaitu :
a. Konvensi
mengenai laut wilayah dan zona tambahan, mulai berlaku
10 September 1964
b. Konvensi mengenai laut lepas, mulai berlaku 10 September 1962
c. Konvensi mengenai perikanan dan perlindungan kekayaan hayati laut lepas,
mulai berlaku 20 Maret 1966
d. Konvensi mengenai landas kontinen, mulai berlaku 10 Juli 1964
16
Boer Mauna, h.304-305
8
Konfrensi 1958 ini tidak berhasil menentukan lebar laut wilayah. Pada
tahun 1960 diadakan konfrensi Hukum Laut II, yang mebahas secara khusus
masalah lebar laut wilayah. Namun, konfrensi gagal menghasilkan konvensi
tentang laut wilayah.
Konfrensi PBB tentang Hukum laut ketiga, dilaksanakan mulai Desember
1973 samapi dengan September 1982. Ini menjadi konfrensi terpanjang karena
memakan waktu selama sembilan tahun dengan jumlah sidang 12 kali sidang
selama 90 minggu. Konfrensi ini menghasilkan konvensi Hukum laut UNCLOS
III, yang menjadi acuan hukum laut internasional sampai saat ini. Konvensi ini
efektif berlaku pada tanggal 16 November 1994.17 Hasil UNCLOS III ialah
diterimanya konsep negara kepulauan diprakarsai oleh beberapa negara Negaranegara seperti Indonesia, Filipina , Fiji , dan Maurutius. Pengaturan tentang
Negara kepulauan terdapat pada Pasal 46 sampai dengan Pasal 54 konvensi
UNCLOS III. Konvensi tersebut mengatur tata cara menentukan batas laut
territorial di laut, yaitu maksimal mil laut atau 22,2 kilometer dari muka laut
terendah. Bila sebuah negara berbentuk kepulauan, batas laut teritotialnya di ukur
dari pulau-pulau terluar sewaktu air surut. Titik-titik ini kemudian dihubungkan
sehingga membentuk garis batas teritotial. Dalam batas territorial ini berlaku
penuh kedaulatan Negara.
Selain laut territorial, terdapat juga zona tambahan (contiguous zone), zona
ekonomi eksklusif (ZEE), dan batas landas kontinen. Zona tambahan tidak boleh
lebih dari 24 mil laut atau 44,4 kilometer dari batas laut terendah sebuah Negara.
17
UNCLOS III atau UNCLOS 1982 sampai dengan September 2010 telah diratifikasi oleh 161
negara. Untuk Negara-negara di wliayah Asia Tenggara, 8 negara telah meratifikasinya. Yaitu
Singapura, Myanmar, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Laos, Indonesia dan Vietnam. 2
negara lainya (Kamboja dan Thailand) hanya menandatangani tetapi tidak meratifikasi.
(http://www.un.org/Depts/los/reference_files/chronological_lists_of_ratifications.htm)
9
Dalam zona ini suatu negara berhak melakukan pengawasan dibidang pabean,
imigrasi, dan fiskal. Selanjutnya menurut pasal 57 Konvensi UNCLOS 1982,
bahwa lebar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak boleh melebihi 200 mil laut
dari garis pangkal, dimana lebar laut yang diukur. Negara memiliki hak berdaulat
atas kekayaan alam maupun mineral yang berada dijalur tersebut. Sedangkan
wilayah landas kontinen adalah daerah dasar laut dan tanah yang terdapat di
bawahnya (seabed and subsoil)18 dari daerah yang masih kepanjangan alamiah
dari daratan pantainya hingga tepi kontinen (continental margin).19 Luas batas
landas kontinen biasanya tidak melebihi 200 mil dari garis pangkal pantai,
maksimal 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil dari isobaths 2000 meter.
Hukum Laut internasional ini nantinya akan digunakan dalam pembahasan
mengenai klaim kedua negara terhadap kepemilikan Pualu Pasir. Masing-masing
Negara menjadikan hukum laut internasional sebagai dasar acuan klaim mereka.
2. Diplomasi
Dalam penelitian ini, diplomasi menjadi konsep utama. Beberapa definisi
mengenai diplomasi yaitu, menurut Sir Harold Nicolson diplomasi adalah suatu
seni untuk bernegosiasi (the art of negotiation).20 Menurutnya kata diplomasi
menunjukkan beberapa hal antara lain :
1. Politik luar negeri,
2. Negosiasi,
18
Landas kontinen yang melebihi jarak 200 Mil dari garis pangkal ini dikenal dengan istilah
Landas Kontinen Ekstensi atau Extended Continental Shef (ECS), inilah yang dimaksud Seabed
area(http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=23&mnorutisi=5)
19
Ibid
20
Harold Nicholson, 1993, Diplomacy, London: Thorton Butterworth Ltd, h. 144
10
3. Mekanisme pelaksanaan negosiasi,
4. Suatu cabang dinas Luar Negeri.
S.L.Roy berpendapat bahwa diplomasi adalah seni mengedepankan
kepentingan suatu Negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai, dalam
hubungannya dengan Negara lain.21 Sedangkan menurut KJ. Holsti, diplomasi
digunakan untuk mencapai persetujuan, kompromi, dan penyelesaian terhadap
masalah atau konflik yang terjadi. Diplomasi dapat dilaksanakan melalui
pertemuan-pertemuan secara privat atau konferensi umum, mencakup usaha-usaha
untuk mengubah kebijakan, tindakan, tujuan serta sikap negara lain agar dalam
mencapai
tujuan tersebut
terrealisasi
dengan baik
antar negara
yang
berkepentingan.22
Nicolson mengembangkan dua tipe diplomasi yaitu tipe Warrior dan tipe
Merchantile/Shopkepper.23 Tipe warrior menggambarkan politik kekuatan dan
sangat memperhatikan prestise nasional dan status Negara itu. Salah satu hal yang
fundamental dari tipe Warrior ini adalah kepercayaan bahwa tujuan negosiasi
yang dilakukan adalah untuk mencapai kemenangan. Sedangkan tipe diplomasi
Merchantile merupakan diplomasi borjuis atau diplomasi sipil yang didasarkan
pada anggapan bahwa penyelesaian kompromis antara mereka yang berselisih
melalui
negosiasi
pada
umumnya
lebih
menguntungkan
dibandingkan
penghancuran total musuh-musuh.24 Jadi tipe diplomasi merchantile lebih
memperhatikan negosiasi yang profit-politics dan terutama yang bersifat
menenangkan, konsiliasi, dan kompromi. Tipe ini menganggap diplomasi sebagai
21
SL Roy, 1991, Diplomacy, terj.Herwanto dan Mirsawati, Jakarta: CV Rajawali, h. 5
KJ. Holsti, 1986, Politik Internasional. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, h. 250-253.
23
Harold Nicholson, h. 10
24
SL Roy, Diplomacy h. 3-4
22
11
usaha untuk menciptakan hubungan atau kontrak langsung secara bersahabat.
Asumsinya adalah bahwa kompromi dengan lawan berunding umumnya lebih
menguntungkan dan teori ini berpendapat bahwa negosiasi bukan merupakan
tahap berjuang untuk mati tetapi usaha mencapai suatu saling pengetian yang
dalam melalui konsesi timbal balik.25
Jadi berdasarkan definisi para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa
diplomasi merupakan perwujudan dari kebijakan luar negeri yang dilaksanakan
melalui proses negosiasi untuk mencapai kepentingan yang dituju. Dalam hal ini,
Indonesia dan Australia lebih mengutamakan langkah diplomasi dalam upaya
penyelesaian sengketa wilayah Pulau Pasir.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik analisa data yang bersifat kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati . Dalam metode kualitatif,
terdapat beberapa sifat atau karakteristik penelitian. Adapun yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat atau berkarakter deskriptif
analitis. Dengan demikian, penelitian akan memaparkan kutipan-kutipan data
dengan tujuan untuk memberi gambaran yang akurat mengenai fakta-fakta dan
hubungannya dengan sifat fenomena yang diteliti.26
Sedangkan, teknik pengumpulan data adalah studi kepustakaan (library
research), yaitu pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber-sumber
data dan informasi-informasi dari berbagai literatur yang relevan. Jenis data yang
25
26
Harold Nicholson, h. 10
Lexy J. Moleong 2009, Metodologi Peneletian Kuaitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,h 256
12
digunakan adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari kajian pustaka,
seperti, buku, artikel, jurnal, koran, majalah, hasil penelitian dan situs internet
(website) yang dianggap relevan. Penulis kemudian memilah dan menganalisanya,
sehingga dapat dirangkai dalam suatu kesimpulan.27 Sedangkan data-data yang
berupa angka hanya merupakan data-data penunjang untuk memperjelas data
kualitatif yang ada.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam mengatasi
sengketa Pulau Pasir.

Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan antara Indonesia dan Australia
dalam menjaga hubungan baik terutama dalam memperjuangkan hak-hak
nelayan tradisional Indonesia di sekitar Pulau Pasir.
F. Sistematika Penulisan
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Kerangka Pemikiran
1. Hukum Internasional
2. Diplomasi
D. Metode Penelitian
E. Tujuan Penelitian
F. Sistematika Penulisan
Bab II GAMBARAN UMUM PULAU PASIR
27
Lexy J. Moleong 2009, Metodologi Peneletian Kuaitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,h 258
13
A. Sejarah Pulau Pasir
B. Peraiaran Indonesia dan Perkembangan UNCLOS
1. Deklarasi Juanda
2. Konsep Kawasan Nusantara Dalam Konvensi Hukum Laut 1982
C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia berdasarkan
UNCLOS
D. Pelaksanaan Clear Operation
Bab III PERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN
AUSTRALIA
A. Sejarah Perundingan Bilateral antara Indonesia dan Australia
1. MOU Box 1974
2. Perjanjian Tentang Petunjuk Teknis Bagi Implementasi MOU 1974
3. Perjanjian Perth 14 Maret 1997
B. Kesepakatan terbaru kerjasama kelautan antara Indonesia dan
Australia
Bab IV KESIMPULAN
14
BAB II
GAMBARAN UMUM PULAU PASIR
Pada bab II ini akan dibahas mengenai gambaran umum Pulau Pasir dan
Pemanfaatannya oleh nelayan Indonesia berdasarkan UNCLOS 1982, serta
pelaksanaan Clean Water Operation oleh Australia.
A. Sejarah Mengenai Pulau Pasir
Gugusan Pulau Pasir merupakan wilayah kekuasaan jajahan Hindia
Belanda di Nusantara, dan dikuasai oleh nelayan tradisional Indonesia sejak tahun
1609 hingga tahun 1970-an, sebelum ditandatanganinya MOU 1974 yang
dilakukan oleh dua pegawai dari Departemen Luar Negeri dan Departemen
Agrikultural Australia, yang mengatur tentang hak-hak nelayan tradisional di
gugusan Pulau Pasir. Gugusan Pulau Pasir terletak di Samudera India dengan
jarak hanya 60 mil laut dari Pulau Rote, Kabupaten Rote-Ndao, Nusa Tenggara
Timur. Berdasarkan sejarah, ratusan tahun lalu terdapat 18 kerajaan di pulau
tersebut. Dua diantaranya saat ini berubah menjadi kampung Tie dan kampung
Papela yang masyarakatnya secara turun-temurun telah menangkap ikan di
wilayah yang ditetapkan dalam MOU Box 1974.28
Sejak ratusan tahun lampau, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor, Flores,
Bugis, Buton dan Madura mencari nafkah hidupnya di sana. Di pulau itu ada
kuburan orang Rote yang berada di Pulau Pasir sebanyak 161 buah, pohon kelapa,
sumur dan jejak aktivitas manusia yang semuanya dilakukan oleh para nelayan
28
“Ashmore Australia Menggoda Nelayan Indonesia”, http://www.suarapembaharuan.co.id,
diakses pada tanggal 27 Juni 2014
15
dari Rote-Ndao. Dari zaman kolonial di Indonesia, pemerintahan koloni Hindia
Belanda pernah memberlakukan regulasi tentang pengumpulan teripang dan biota
laut lainnya di Pulau Pasir sekitar dasawarsa 1750-an. Pada saat itu staf Kompeni
di Kupang menyurati Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (sekarang
Jakarta) untuk membuat regulasi pengumpulan teripang dan biota laut lainnya di
Pulau Pasir yang terletak di selatan Pulau Timor dan Rote. Pada pertengahan abad
ke-18, merujuk pada sebuah catatan rahasia di Belanda bahwa VOC terlibat secara
aktif dalam membuat dan menjalankan regulasi pengumpulan teripang dan biota
laut lainnya di Pulau Pasir bagi nelayan-nelayan Tiongkok yang datang ke
wilayah itu melalui Makassar.29 Seorang saudagar Tionghoa (berdasarkan sebuah
arsip di negeri Belanda) sudah diberi izin untuk mencari dan mengumpulkan kulit
penyu di gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Pulau Rote pada 1751
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Diketahui bahwa pada akhir
tahun 1750-an, seluruh kegiatan pengumpulan teripang diregulasikan oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Perahu-perahu dari Makassar, Sulawesi Selatan
yang memasuki wilayah Timor, dilengkapi dengan surat izin resmi dari kompeni
yang mengizinkan mereka untuk mengumpulkan teripang tanpa halangan.
Kemudian, pada pertengahan abad ke-18, VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) terlibat secara intensif dalam membuat regulasi bagi ekspedisiekspedisi pengumpulan teripang oleh orang Makassar dan Tionghoa yang berlayar
ke selatan Pulau Timor dan Rote menuju gugusan Pulau Pasir. Catatan sejarah
yang terungkap ini setidaknya telah memberikan suatu pembenaran terhadap
berbagai kesaksian dan pengakuan dari orang tua-orang tua di Rote dan Timor
29
Ibid
16
bahwa pada suatu masa, para nelayan yang hendak berlayar menuju ke gugusan
Pulau Pasir di selatan Pulau Timor dan Rote, maka terlebih dahulu harus
mendapatkan pas jalan atau surat izin dari Dounae (sekarang dinamakan sebagai
Bea Cukai).
Nelayan-nelayan tradisional Indonesia sebenarnya sudah terlebih dahulu
berada di gugusan Pulau Pasir pada 1630-an. Kelemahan diplomasi Indonesia
membuat pengaturan batas maritime antara RI-Australia di Laut Timor menjadi
tumpang tindih yang akhirnya lebih menguntungkan Australia dan mengorbankan
nelayan tradisional Indonesia yang telah menjadikan Pulau Pasir sebagai lahan
kehidupan. Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan itu sudah 400
tahun lampau dikelola oleh orang Rote. Nusa Tenggara Timur (NTT). Terkait
dengan status kepemilikan Pulau Pasir, Belanda tidak pernah mengklaim pulau
yang terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan 140 km di
sebelah selatan Pulau Rote itu sebagai miliknya melainkan milik Inggris. Sudah
ada bukti bahwa Belanda pernah mengatur pulau itu akan tetapi Belanda tidak
pernah mempersoalkan pulau itu tahun 1878.30 Pada 1800-an, pada saat Inggris
menjadikan Pulau Pasir milik Inggris, pada tahun itu Indonesia sudah berada di
bawah administrasi colonial Belanda. Gugusan Pulau Pasir di selatan Pulau Timor
dan Rote itu akhirnya di aneksasi oleh Inggris pada 1878.
Fakta sejarah yang tercatat dalam register Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada tahun 1751 menunjukkan bahwa gugusan kepulauan di sekitaran
30
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2013, 1 (2): 523-530 ejournal.hi.fisip-unmul.org
http://www.bppsdmk.or.id/data/pasar diakses pada tangggal 27 Juni 2014
17
Pulau Pasir sudah 400 tahun lampau dikelola oleh orang Rote, Nusa Tenggara
Timur (NTT). Sejak ratusan tahun lampai, para nelayan dari Rote, Sabu, Alor,
Flores, Bugis, Buton dan Madura mencari nafkah hidupnya di sana ketika Negara
Commonwealth Australia masih belum direncanakan oleh Kerajaan Inggris untuk
dibentuk. Nelayan tradisional Indonesia sendiri diperkirakan baru mulai mengenal
Pulau Pasir pada pertengahan abad ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750.31 Menurut
catatan arsip Belanda, penduduk lokal Pulau Rote secara tidak sengaja
menemukan Pulau Pasir pada tahun 1729 yang digunakan sebagai tempat
bersandar untuk memgambil air tawar atau dalam keadaan darurat. Nelayan
tradisional Indonesia sendiri diperkirakan telah mengenal Pulau Pasir tidak hanya
pada pertengahan abad ke-18, sekitar tahun 1742 dan 1750, tetapi berdasarkan
catatan sejarah bahwa nelayan tradisional Indonesia yang menemukan pertama
Gugusan Pulau Pasir dan memanfaatkannya sejak Verenidge Oost Indische
Compagnie (VOC) tiba di Timor tahun 1602. Menurut catatan arsip Belanda, pada
akhir tahun 1750-an pengumpulan teripang dan biota laut lainnya dari Gugusan
Pulau Pasir telah diatur oleh VOC yang terlibat secara aktif. Banyak perahu dari
Makasar yang tiba di wilayah Pulau Timor dengan membawa serta kelengkapan
surat-surat izin resmi dari Belanda yang memperbolehkan mereka mengumpulkan
teripang dan biota laut lainnya tanpa rintangan di Gugusan Pulau Pasir. Pulau
Pasir terletak sekitar 320 km di sebelah utara pantai barat Australia dan sekitar
140 km di sebelah selatan Pulau Rote.32
31
“Penyelesaian Masalah Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=190426 diakses pada tanggal 27 juni
2014.
32
Ibid.
18
Tiga buah sumur di Pulau-pulau Pasir dan pohon-pohon kelapa di sana
adalah peninggalan Nakhoda Ama Rohi, pelaut yang berasal dari Pulau Sabu yang
hidup di sana, jauh sebelum kedatangan Ashmore. Sebagaimana tradisi, orang
Sabu mampu merunut leluhurnya sampai enam puluh keturunan di atasnya karena
menjadi penting dalam ritual agama lokal terutama pada upacara-upacara
kematian. Dengan begitu, mudah untuk menghitung jarak waktu antara
kedatangan Ashmore dan kedatangan Nakhoda Ama Rohi. Nelayan Rote
menghitung ketika dating Ashmore, Pulau Pasir sudah dikelola sampai tingkat
Samu (keturunan ke lima dari Nakhoda Ama Rohi, yaitu berturut-turut : Ana,
Upu, Sorok, Sak, Samu atau anak, cucu, buyut, dst). Kalau disepakati satu
generasi 25 tahun, berarti kedatangan Ashmore sekitar 125 tahun setelah Nakhoda
Ama Rohi memperoleh hak ulayat atas pulau itu.33
Meskipun secara geografis jarak Pulau Pasir dengan Pulau Rote, Nusa
Tenggara Timur (NTT) hanya 80 mil sedangkan wilayah Australia Utara (North
Queensland) 400 mil. Hal itu mempengaruhi kegiatan nelayan tradisional
Indonesia sehingga pada tahun 1974 disepakati nota kesepahaman atau
Memorandum of Understanding (MOU) yang intinya mengizinkan nelayan
Indonesia untuk menangkap ikan dengan alat/perahu tradisional. Selanjutnya pada
tahun 1983, Australia mengumumkan “Ashmore Reef” atau Pulau Pasir sebagai
cagar alam nasional dan sejalan dengan itu telah dibuatkan pengaturan untuk
membatasi kegiatan nelayan Indonesia di wilayah perairan sekitar Pulau
Pasir.Pada tahun 1986, Australia kembali mengusulkan sebuah rancangan
33
Ibid.
19
kesepakatan yang baru untuk menggantikan MOU tahun 1974, namun usul
tersebut ditolak Pemerintah Indonesia.
Dengan penempatan koordinat Pulau Pasir (12º 13.98’ LS, 123º 4.98’ BT)
dalam peta perjanjian batas antara Indonesia dan Australia, jelas terlihat bahwa
Pulau Pasir berada dalam wilayah ZEE Australia. Ini secara tidak langsung
menunjukkan bahwa setidaknya pada tahun 1997, saat perjanjian ZEE dibuat,
Indonesia melalui diplomatnya telah mengakui kedaulatan Australia terhadap
Pulau Pasir. Dari sudut pandang hukum modern, memang ironis jika masyarakat
Indonesia (Timor dan sekitarnya) yang sudah ratusan tahun yaitu sejak 1600-an
mengunjungi dan beraktifitas di Pulau Pasir tidak berhak atas kepemilikannya,
sementara Inggris (Australia) yang datang ke Australia pada abad ke-18 justru
memiliki hak yang lebih kuat. Harus dipahami bahwa hukum modern memang
lebih mementingkan ketegasan klaim secara hukum dibandingkan hal lain. Jika
memang benar Inggris mengklaim Pulau Pasir dan Belanda ketika itu tidak
mengajukan keberatan, maka sudah jelas Pulau Pasir memang menjadi hak
Australia.
Gugusan Pulau Pasir atau yang dikenal di Australia dengan sebutan
“Ashmore Reef” merupakan satu dari sekian banyak gugusan karang yang terletak
di ujung Barat Daya Benua Australia, di bagian Timur Samudera Hindia (12
derajat 13 menit lintang Selatan dan 123 derajat 5 menit bujur Timur). Gugusan
yang diklaim menjadi bagian dari wilayah Australia itu, letaknya lebih dekat ke
Pulau Rote di Nusa Tenggara Timur (jaraknya hanya 78 mil atau sekitar 145
kilometer), sedang ke Australia jaraknya sekitar 190 mil atau sekitar 350
kilometer. Gugusan tersebut terdiri dari tiga pulau karang kecil yang diberi nama
20
Barat, Tengah dan Timur yang ketinggiannya berkisar antara 2,5-3 meter di atas
bekas air pasang paling tinggi. Pulau-pulau karang di sekitar Pulau Pasir itu
menjadi tempat peristirahatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia dari Maluku,
Nusa Tenggara, dan Sulawesi, selepas mencari ikan dan biota laut lainnya di
wilayah perairan Laut Timor.
Pemerintah Federal Australia sesungguhnya sudah mengetahui akan
potensi Laut Timor yang merupakan salah satu sumber minyak dan gas bumi yang
berskala dunia di luar Negara-negara Arab. Salah satu caranya ialah bagaimana
mendapat hak atas potensi tersebut, karena Australia sudah mengadakan survey
sejak sebelum Perang Dunia II. Sehubungan dengan kadualatan atas Pulau Pasir,
sampai saat ini berada di bawah kedaulatan Australia. Dasar hukum internasional
yang digunakan Australia untuk menempatkan Pulau Pasir di bawah
kedaulatannya adalah Perjanjian Penyerahan (cession) dari Inggris kepada
Australia 23 Juli 1931, MOU antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Australia
1974 mengenai penangkapan ikan oleh nelayan tradisional Indonesia di zona
perikanan eksklusif dan landas kontinen Australia.
Berikut di bawah ini adalah gambaran Pulau Pasir :
Gambar 2.1
Peta Geografis Pulau Pasir
21
Sumber : “Australian Maritime Expansion”,
http://epress.anu.edu.au/apem/boats/mobile/devices/ch05s02.html., diakses pada
tanggal 28 Juni 2014
Gambar diatas adalah gambar yang diambil dari Departemen Kelautan
Australia, dimana pada perjanjian di Perth Australia, Indonesia telah mengakui
bahwa Pulau Pasir adalah milik Australia. Dapat dilihat bahwa Pulau Pasir berada
diantara Samudra Hindia dan Laut Timor. Pulau seluas 583 km2 itu menjadi milik
Australia, yang diwariskan oleh Inggris atas klaim yang dilakukan oleh Kapten
Samuel Ashmore pada tahun 1878 dan menetapkan wilayah itu sebagai koloninya.
Pada
awal
tahun
1800-an,
Inggris
telah
membuat
koloni
di
Pulau
Pasir.34Kepemilikan Australia atas Pulau seluas 583 km2 ini diwarisi dari Inggris
yang menetapkan wilayah itu sebagai koloninya pada 1878. Inggris memasukan
Pulau ini ke dalam wilayah otorita Commonwealth of Australia melalui Ashmore
and Charter Acceptance Act 1933.Pada tahun 1942, wilayah tersebut berada di
bawah administrasi Negara Bagian Australia Barat, yang kemudian menjadi
Northern Territory hingga 1978. Setelah 1978, wilayah tersebut dinyatakan
sebagai bagian dari yuridiksi langsung Negara Federal Australia.
Berikut adalah gambar peta kawasan Pulau Pasir dimana Pulau Pasir
berdekatan dengan Pulau Cartier dan Gugusan Batu Karang Hibernia Australia :
34
“Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view3818-html,diakses pada tanggal 11 juni 2014
22
Gambar 2.2
Peta Pulau Pasir Berdekatan Dengan Pulau Cartier dan Batu Karang
Hibernia
Sumber : “Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir
http://www.tni.mil.id/view-3818-html,diakses pada tanggal 11 juni 2014
Masih
Lemah,”
Pada Gambar di atas menunjukkan kedekatan Pulau Cartier Australia
dengan Pulau Pasir, hal ini menjadi alasan klaim Australia terhadap Pulau Pasir.
Pulau Pasir dianeksasi oleh Inggris pada tahun 1878. Bersama dengan Pulau
Cartier, Pulau Pasir diberikan kepada Australia pada tanggal 23 Juli 1931 yang
akhirnya menjadi bagian wilayah utara Australia pada tahun 1938-1978 dimana
disana terdapat kekayaan alam yang sangat melimpah yakni minyak dan gas bumi.
Setelah mengalami perkembangan, sejak 1978 Pulau Pasir dan Cartier menjadi
wilayah tersendiri dan Pulau Pasir dijadikan cagar alam nasional oleh pemerintah
Australia pada tanggal 16 Agustus 1983.35
35
Ibid.
23
B. Perairan Indonesia dan Perkembangan UNCLOS
1. Deklarasi Djoeanda
Negara Indonesia mencatat tonggak sejarah baru di bidang hukum laut
dan memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja
mengeluarkan sebuah pernyataan (deklarasi) mengenai Wilayah Perairan Negara
Republik Indonesia yang lengkapnya sebagai berikut : “Bentuk geografi Indonesia
sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai
sifat corak tersendiri”. Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan
nnegara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak diantaranya harus dianggap
sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas laut teritorial seperti tertulis dalam Territoriale Zeen en
Maritime Kringen Ordonnantie 1939 Pasal 1 ayat (1) tidak sesuai lagi dengan
pertimbangan-pertimbangan di atas karena membagi wilayah daratan Indonesia
dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.36 Berdasarkan
perimbangan-pertimbangan itu maka Pemerintah menyatakan bahwa segala
perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang
termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia
dan dengan demikian bagian daripada wilayah pedalaman atau nasional berada di
bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan
pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selamat dan asal tidak bertentangan
dengan mengganggu kedaulatan dan keselamatan Negara Indonesia. Penentuan
36
“Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional (UNCLOS
1982) di Indonesia”, http://www.launclospdf.htm, diakses tanggal 30 Juni 2014
24
batas laut territorial yang lebarnya 12 mil diukur dari garis-garis yang
menghubugkan titik-titik ujung terluat pada pulau-pulau Negara Indonesia.37
Pengumuman Pemerintah Indonesia tersebut yang sekarang dikenal
dengan sebutan Deklarasi Djuanda itu disiapkan dalam rangka menghadiri
Konferensi Hukum Laut di Jenewa pada bulan Februari 1958. Pengumuman
Pemerintah Indonesia yang menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan itu
mendapat protes keras dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New
Zealand, tetapi mendapat dukungan dari Uni Soviet (waktu itu), dan Republik
Rakyat Cina, Filipina, Ekuador.38 Pemerintah Indonesia terus melanjutkan
kebijakan tersebut karena menyangkut kedaulatan negara atas wilayah laut dan
sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Deklarasi Djuanda dipertegas
lagi secara juridis formal dengan dibuatnya Undang-Undang Nommor 4/Prp
Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dengan adanya UU No.4/Prp/ Tahun
1960 tersebut, menjadikan luas wilayah laut Indonesia yang tadinya 2.027.087
km2 (daratan) menjadi 5.193.250 km2, suatu penambahan wilayah yang berupa
perairan nasional (laut) sebesar 3.166.163 km2.39
Di pihak lain, yaitu dalam tataran internasional masyarakat internasional
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa terus melakukan berbagai upaya kodifikasi
hukum laut melalui konferensi-konferensi internasional, yaitu Konferensi Hukum
Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the Law of the Sea –
UNCLOS I) yang menghasilkan 4 (empat) Konvensi. Namun Konferensi tersebut
gagal menentukann lebar laut teritorial dan konsepsi negara kepulauan yang
diajukan Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan Konferensi kedua (UNCLOS
37
Ibid.
Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, Binacipta, Bandung, 1978, hlm. 29.
39
Ibid.
38
25
II) yang juga mengalami kegagalan dalam menetapkan dua ketentuan penting
tersebut, yang menyangkut penetapan lebar laut teritorial dam negara kepulauan.
UNCLOS I dan UNCLOS II telah gagal menentukan lebar laut territorial dan
konsepsi negara kepulauan karena berbagai kepentingan setiap negara, maka PBB
terus melanjutkan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum laut internasional
terutama dimulai sejak tahun 1973 di mana tahun 1970an itu merupakan awal
kebangkitan kesadaran masyarakat internasional atas pentingnya mengatur dan
menjaga lingkungan global termasuk lingkungan laut, sehingga melalui proses
panjang dari tahun 1973-1982 akhirnya konferensi ketiga (UNCLOS III) itu
berhasil membentuk sebuah konvensi yang sekarang dikenal dengan Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Conference on the Law of the
Sea) yang ditandatangani oleh 119 negara di Teluk Montego, Jamaika tanggal 10
Desember 1982.
Ketika Konvensi Hukum Laut 1982 tersebut masih dalam proses
perdebatan, Indonesia telah mengumumkan pada tanggal 21 Maret 1980 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia selebar 200 mil, dan ternyata bersinergi
dengan terbentuknya Konvensi tersebut, sehingga sesuai dengan praktik negaranegara dan telah diaturnya ZEE dalam Konvensi Hukum Laut 19982, maka
Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang mempunyai karakter sui generis atau
didasarkan pada keberagaman budaya dan agama yang kuat.40
40
“Mengakui
Hak
Penangkapan
Ikan
Tradisional”,
http://kompas.com/kompascetak/0505/28/Fokus/1769074.htm, diakses pada tanggal 29 Juni 2014.
26
2. Konsep Wawasan Nusantara dalam Konvensi Hukum Laut 1982
Indonesia yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai diakuinya
konsepsi tersebut oleh dunia internasional dalam Kovensi Hukum Laut 1982
adalah sebenarnya suatu kebanggaan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara
Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal dengan
baik bahwa Indonesia mempunyai luas laut dua per tiga dari luas daratan dan
pemerintah juga tidak begitu care melakukan pembangunan di darat. Padahal
pembangunan yang dicanangkan oleh para pendahulu itu sudah termaktub dalam
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang GarisGaris Besar Haluan Negara dalam Bab II mengenai Pola Dasar Pembangunan
Nasional
yang menegaskan bahwa “Wawasan dalam mencapai
tujuan
pembangunan nasional adalan Wawasan Nusantara yang mencakup satu kesatuan
politik, satu kesatuan social budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan
pertahanan dan keamanan”. Berikut ini adalah gambar peta Batas wilayah
berdasarkan TZMKO (Territoriale Zeen en Maritime Kringen Ordonnantie)
dimana wilayah laut Indonesia adalah hanya 3 mil dari garis pantai pulau,
sebelum Deklarasi Juanda.41
41
Illegal Fishing dan Traditional Fishing
Rights”,http://www.daff.gov.au/fisheries/international/cooperation/indonesiadiakses pada tanggal
30 Juni 2014.
27
Gambar 3.1. Peta Batas Wilayah Indonesia Berdasarkan TZMKO
1939
(Sebelum Deklarasi Djoeanda)
Sumber : Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional
(UNCLOS 1982) di Indonesia, http://www.launclospdf.htm, diakses tanggal 29 juni 2014.
Dengan ditetapkannya Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan
wilayah, bangsa, dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan
yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan merupakan
tahapan akhir dari perjuangan konsepsi Wawasan Nusantara yang dimulai sejak
Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Wawasan Nusantara yang
dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states) sudah
diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum Laut 1982
yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 huruf (a) dan (b) yang berbunyi sebagai
berikut :42
“ Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut
Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat
Jenderal Satuan Kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008,
42
28
(a) “archipelagic state” dapat diartikan sebagai suatu negara yang seluruhnya
terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain
(b) “archipelago” dapat diartikan sebagai gugusan pulau termasuk bagian pulau,
perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang
hakiki atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.
Berikut adalah gambar peta batas wilayah Indonesia setelah deklarasi
Juanda
Gambar 3.2. Peta Batas Wilayah Indonesia Setelah Deklarasi
Djoeanda
Sumber : “Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum
Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia”, http://www.launclospdf.htm, diakses
tanggal 30 Juni 2014
Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak bagi negara kepulauan
untuk menarik garis pangkal kepulauan sebagaimana diatur oleh Pasal 47, yaitu
sebagai berikut :43
43
Ibid.
29
1. Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau terluar termasuk pulau-pulau
utama dengan perbandingan negara kepulauan tersebut adalah antara laut dan
daratan dengan satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu (1:1 dan
9:1).
2. Panjang garis pangkal tersebut tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali 3%
dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat
melebihi panjang tersebut sampai maksimum 125 mil laut.
3. Penarikan garis pangkal ini tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
konfigurasi umum, dan juga tidak boleh ditarik dari elevasi surut (low-tide
elevations) kecuali terdapat mecu suar atau instalasi permanen dan jaraknya
tidak melebihi lebar laut territorial, yaitu 12 mil.
4. Negara kepulauan tidak boleh menarik garis pangkal yang memotong laut
territorial atau zona ekonomi eksklusif negara lain. Konvensi Hukum Laut
1982 mewajibkan negara kepulauan untuk menghormati hak-hak dan
kepentingan sah dari negara tetangganya.
5. Penetapan garis pangkal ini harus dicantumkan dalam peta negara tersebut
dengan daftar koordinat geografis yang secara jelas merinci datum
geodatiknya. Oleh karena itu, negara kepulauan harus mengumumkan peta
atau daftar koordinat tersebut dan mendepositkan salinannya di Sekretaris
PBB.
30
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 49 menegaskan status hukum
perairan kepulauan, udara di atasnya, dan dasar laut di bawahnya, yaitu berbunyi
sebagai berikut :44
1. Negara kepulauan berdaulat penuh atas perairan kepulauannya tanpa
memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai dan kedaulatan penuh
tersebut meliputi ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya,
serta sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Negara kepulauan harus menetapkan alur laut kepulauan (archipelagis sea
lanes) dan lintas damai bagi pelayaran internasional.
3. Negara kepulauan mempunyai kewajiban untuk menghormati perjanjian yang
sudah ada dengan negara lain dan harus mengakui hak penangkapan ikan
tradisional (traditional fishing rights), serta menghormati kabel laut yang
dipasang negara lain di perairan kepulauan tersebut sebagaimana diatur oleh
Pasal 51 Konvensi Hukum Laut 1982.
Pengakuan
negara
kepulauan
terhadap
hak-hak
tersebut
harus
dilaksanakan karena mengingat status perairan tersebut semula adalah tunduk
pada rezim laut lepas, tetapi setelah berlaku Konvensi Hukum Laut 1982 sejak
tanggal 16 November 1994 maka yang semula statusnya laut lepas sekarang
menjadi perairan kepulauan yang tunduk pada rezim kedaulatan penuh negara
kepulauan. Di negara kepulauan, kapal-kapal dari semua Negara mempunyai hak
44
“Kerjasama Indonesia dan Australia Untuk Kelautan dan Perikanan”,
http://www.daff.gov.au/fisheries/international/cooperation/indonesiadiakses pada tanggal 30 Juni
2014.
31
untuk lintas damai (the right of innocent passage) melalui perairan kepulauan
sebagaimana ditentukan oleh Pasal 52 Konvensi yang berbunyi:45
1. “ kapal dari semua negara dapat mempunyai hak untuk lintas damai melalui
perairan negara kepulauan”.
2. Negara kepulauan dapat menunda sementara hak untuk lintas damai di
perairan kepulauan tersebut tanpa diskriminasi kepada semua kapal yang
dimaksudkan untuk perlindungan keamanan negara kepulauan tersebut,
dengan catatan penundaan tersebut diberitahukan terlebih dahulu.
Di samping itu konsekuensi Indonesia sebagai negara kepulauan adalah
negara Indonesia dapat memberikan, bukan kewajiban, hak alur laut kepulauan
(right of archipelagic sea lanes passage) bagi kapal dan rute udata di atasnya
sebagaimana diatur oleh Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982, tetapi dalam ayat
(12) menegaskan bahwa “If an archipelagic Stat does not designate sea lanes or
air routes, the right of archipelagic sea lanes passage may be exercised through
the routes normally used for international navigation”, yang artinya yaitu apabila
negara
kepulauan
tidak
menentukan
alur
laut
kepulauan
atau
rute
penerbangannya, maka hak alur laut dan penerbangan di atas kepulauan tersebut
dapat dilaksanakan melalui rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran
internasional. Saat ini Indonesia sudah menentukan alur laut tersebut, yaitu
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban
Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alut Laut
Kepulauan melalui Alut Laut Kepulauan yang ditetapkan.46
45
Ibid.
“Nelayan, Hak Tradisional dan Negara Kepulauan”,
http://www.academia.edu/1366006/Sengkarut_Nelayan_dan_Hak_Perikanan_Tradisional_Mereka
_dalam_Negara_Kepulauan diakses pada tanggal 30 Juni 2014
46
32
Di dunia ini ada 15 negara yang mempunyai leading exclusive economic
zone, yaitu Amerika Serikat, Prancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia,
Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua Nugini, Chili, Norwegia, dan
India. Indonesia beruntung sekali termasuk 1 dari 15 negara yang mempunyai
zona ekonomi eksklusif sangat luas bahkan termasuk tiga besar setelah Amerika
Serikat dan Prancis, yaitu sekitar 1.577.300 square nautical miles.47 Dengan status
Indonesia yang memiliki zona ekonomi eksklusif seperti itu, sudah seharusnya
Indonesia menjadi negara yang subur, makmur, sejahtera, tetapi bukti
menunjukkan sebaliknya, sehingga harus dicarikan solusinya. Zona Ekonomi
Eksklusif suatu negara sudah diatur secara lengkap oleh Konvensi Hukum Laut
1982 yang terdapat dalam Pasal 55-75 Konvensi.48
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah daerah di luat dan berdamping
dengan laut territorial yang tunduk pada rezin hukum khusus di mana terdapat
hak-hak dan jurisdiksi negara pantai, hak dan kebebebasan negara lain yang diatur
oleh Konvensi UNCLOS 1982. Lebar zona ekonomi eksklusif bagi setiap negara
pantai adalah 200 mil sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 57 Konvensi yang
berbunyi : … “the exclusive economic zone shall not extend beyond 200 nautical
mile from the baselines from which the breadth of the territorial sea is
measured..”. yang artinya bahwa zona ekoonomi eksklusif tidak boleh melebihi
200 mil laut dari garis pangkal di mana laut territorial diukur.
47
R.R Churchill and A.V. Lowe, The Law of the Sea, third edition, Juris Publishing, Manchester
University Press, 1999, hlm. 178
48
“Nelayan Tradisional Pahlawan Pangan”,
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/2773 diakses pada tanggal 3
Juli 2014
33
C. Pemanfaatan Pulau Pasir Oleh Nelayan Indonesia Berdasarkan
UNCLOS 1982
Sejarah mencatat antara tahun 1650 – 1750 nelayan Makasar masuk ke
Australia Utara untuk mengambil teripang yang kemudian dijual ke daratan
China. Sementara penduduk di Pulau Rote jauh sebelumnya sudah berada di pulau
itu untuk menangkap ikan dan mencari siput serta teripang. Kapten Phillip Cook,
nakhoda sebuah kapal yang memuat para tahanan dari Inggris tiba di benua
Australia dan menyatakan bahwa seluruh bumi Australia adalah milik kerajaan
Inggris. Sesuai dengan Proklamasi Kapten Phillip Cook tahun 1770 bahwa
seluruh daratan Australia adalah milik Kerajaan Inggris.49 Bintang tiga rao adalah
bintang pedoman nelayan Pulau Rote berlayar dari pelabuhan Papela menuju
gugusan Pulau-pulau Pasir. Pulau Pasir juga digunakan sebagai tempat
peristirahatan sejumlah nelayan setelah mencari ikan. Selain itu sampai saat ini, di
Pulau Pasir terdapat sejumlah 161 buah kuburan kuno orang Rote.50
Ashmore Reef diproklamirkan pemerintah Australia sebagai National
Nature Reserve pada 28 Juli 1983. Pulau Cartier dijadikan Marine Reserve pada 7
Juni 2000.Menurut National Park and Wildlife Conservation Act 1975, ekosistem
perairan ini dilindungi pemerintah Australia. Di tangkap internasional, karena
kekayaan hayatinya, kawasan ini dinilai oleh World Conservation Union (IUCN)
sebagai bank genetika dan sebab itu dilindungi. Di kawasan ini terdapat 40.000
ekor ulat laut dari 13 spesies, merupakan loka yang terbanyak ular laut di dunia.51
49
“Batas
laut
RI-AUSTRALIA
membingungkan
para
nelayan
tradisional”,http://www.wilayahperbatasan.com/batas-laut-ri-australia-membingungkan-nelayantradisional/ diakses pada tanggal 5 Juli 2014
50
Ibid.
51
“Ashmore Australia Menggoda Nelayan Indonesia”, http://www.suarapembaharuan.co.id,
diakses pada tanggal 30 Juni 2014
34
Ashmore juga merupakan tempat mencari makan dan kawin bagi 11.000 penyu
laut. Juga terdapat populasi Dugong (duyung) yang berdasarkan analisis DNA
terbukti berbeda dari duyung yang hidup di Australia. Habitat Padang Lamun
(seagrass) yang ada di sana menjadi andalan kehidupan duyung serta tempat ikan
bertelur dan berkembang biak. Survei tahun 1997 mengungkapkan bahwa
Ashmore memiliki 709 jenis ikan, 225 jenis terumbu karang, dan 136 jenis
Sponge. Berbagai jenis cucut, yang diburu nelayan Indonesia untuk diambil
siripnya, merupakan bagian dari populasi ikan kawasan Ashmore. Lebih dari 433
jenis moluska seperti sotong, gurita, cumi, bahkan kerang raksasa (giant clam)
juga hidup di sini. Salah satu jenis moluska yang dominan dan menjadi daya pikat
bagi nelayan Indonesia yaitu kerang lola(throcus). Sayangnya populasi kerang
lola sudah jauh berkurang karena pengambilan secara berlebihan terus menerus
selama 20 tahun terakhir.52 Selain itu, Ashmore juga memiliki 286 jenis krustasea
meliputi udang, lobster, dan kepiting. Juga ditemukan 27 jenis bintang laut
(starfish), 25 jenis bulu babi (sea urchin), dan 45 jenis teripang (sea cucumber).
Teripang ini pula yang menggoda nelayan Indonesia untuk datang ke kawasan
ini.53
Selain di laut, Ashmore juga kaya dengan fauna dan flora darat. Sudah
terbukti bahwa pulau-pulau pasir ini adalah persinggahan atau tujuan migrasi
burung dari belahan bumi utara selama bulan Oktober-November dan MaretApril. Australia, China dan Jepang memiliki kesepakatan kerjasama untuk
melinduni burung-burung yang bermigrasi ini. Kekayaan Ashmore lainnya yaitu
tembikar dan keramik tua serta peralatan memasak yang dibawa nenek moyang
52
Ibid.
“Rebuilding Bridges Between Australia and Indonesia”, http://www.cultureministry.co.id,
diakses pada tanggal 19 Juni 2014
53
35
Indonesia ke sana. Sayangnya barang-barang ini makin rusak karena proses
alamiah. Di ujung selatan Pulau Cartier, terdapat bangkai kapal Ann Millicent
yang karam pada 5 Januari 1888 ketika berlayar dari Teluk Carpentaria ke
Adelaide. Sewaktu air surut, bangkai kapal ini terlihat dengan jelas. Kekayaan lain
yang cukup penting yaitu, adanya kuburan tua yang diduga adalah makam orang
Indonesia. Sulit dibuktikan kuburan itu milik siapa. Pada tahun 2000, sedikitnya
ada seorang nelayan Indonesia yang dimakamkan di tempat ini. Beberapa nelayan
Indonesia yang ditangkap patroli Australia beralasan bahwa mereka masuk
Ashmore di antaranya untuk ziarah ke kuburan ini.54
Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan Nusa Tenggara Timur,
Australia dan RI pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang
isinya tetap membolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte Islan,
di mana mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu. Pasar Internasional
Sumberdaya Laut tidak dapat dipungkiri menjadi faktor keberadaan pasar
internasional ikut andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional
Indonesia di wilayah perairan Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap
seperti teripang, trochus, dan sirip hiu bukanlah komoditas yang dikonsumsi
secara langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual ke luar negeri, yaitu pasar
China. Hal ini sudah mulai dilakukan sejak 1751 dimana kulit penyu dari gugusan
Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau Timor merupakan barang yang dicari oleh
para saudagar Tionghoa untuk dibawa ke China.55
54
Ibid.
“Penyelesaian Masalah Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,
https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=k&id=190426 diakses pada tanggal 19 juni
2014
55
36
Wilayah perairan di sekitar Pulau Pasir dikenal kaya dengan berbagai
macam jenis ikan, teripang dan lola. Sudah ratusan tahun, nelayan-nelayan
tradisional Indonesia mencari ikan di sana. Pulau Pasir terbagi atas tiga gugusan
pulau. Di bagian barat, terdapat pulau Cartier, Pulau Dato I, Dato II dan Dato III,
Pulau Borselan, Pulau Scott dan beberapa pulau kecil. Pulau Pasir juga menjadi
tempat ditemukannya objek-objek budaya Rote yakni artefak Indonesia, seperti
sisa-sisa bahan-bahan tembikat, batu-batu balas, rak penjemuran ikan, kuburan
dan terdapat artefak Eropa seperti bangkai kapal dan sebuah pesawat udara yang
jatuh di Perang Dunia II di Cartier Island (Pulau Baru).56 Ancaman terhadap cagar
alam tersebut adalah pengambilan teripang dan lola(trochus), penangkapan ikan
hiu secara berlebihan dan kunjungan kapal-kapal illegal bermotor yang
memungkinkan memasukan hama dan bahan pengotor udara (hydrocarbon dan
plastic) serta panen spesies secara gelap, gangguan terhadap burung-butung,
habitar dan obyek budaya.
Pada MOU Boc 1974 sudah ada kesepatan antara Australia dan Indonesia
berkaitan dengan hak penangkapan ikan secara tradisional, bahwa nelayan
tradisional masih diperbolehkan menangkap berbagai jenis moluska di lima pulau
wilayah Australia, yaitu Pulau Ashmore, Pulau Cartier, Pulau Scott, Pulau
Seringapatam, dan Pulau Browse yang jarak terdekatnya dengan NUSA
TENGGARA TIMUR sekitar 12 km. hak penangkapan ikan tradisional di wilayah
negara lain dan internasional dimungkinkan mengingat dalam UNCLOS 1982
pada pasal 51 yang isinya tentang penghormatan terhadap eksistensi HPT (Hak
Penangkapan ikan Tradisional). Pasal ini memberikan kekuatan hukum terhadap
56
Ibid.
37
perlindungan hak penangkapan ikan tradisional tersebut. Namun demikian,
mekanisme perlindungan terhadap nelayan yang memiliki hak penangkapan ikan
secara tradisional tetap saja harus benar-benar diatur secara bilateral dengan
negara lain dalam hal ini antara Indonesia dan Australia. Begitu pula Agenda 21
pasal 17 tentang perlindungan global terhadap laut juga merujuk pada perlunya
berkonsultasi dengan nelayan local (indigenous people) dan melindungi akses
mereka terhadap sumbeerdaya. Sementara itu Convention on Biological Diversity
meminta pemerintah agar melindungi dan meningkatkan praktek-praktek budaya
tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya biologi. Juga, Convention on the
Conservation of Migratory Species of Wild Animals mengijinkan nelayan loka
menangkap spesies-spesies yang bermigrasi untuk memenuhi kebutuhan
subsistensinya. Seperti dirinci Tsamenyi setidaknya ada 17 peraturan internasional
yang mendukung pangakuan HPT (Hak Penangkapan ikan Tradisional) tersebut.57
Pasal 87 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan bahwa laut lepas adalah
terbuka bagi semua negara baik negara pantai (costal States) maupun negara tidak
berpantai (land-locked States). Semua negara mempunyai kebebasan di laut lepas
(freedom of the high seas), yaitu sebagai berikut :58
a) Kebebasan pelayaran (freedom of navigation);
b) Kebebasan penerbangan (freedom of overflight;)
c) Kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut (freedom to lay submarine
cables and pipelines);
57
58
Ibid.
“Hukum Laut, Zona-zona Maritim sesuai Unclos 1982,” dalam
(http://bakorkamla.go.id/hukum-laut-zona-maritim-sesuai-unclos1982.html),
tanggal 15 Juni 2014
38
diakses
pada
d) Kebebasan membangun pulau buatan dan instalasi lainnya sesuai dengan
hukum internasional (freedom to construct artificial island and other
installations permitted under international law);
e) Kebebasan penangkapan ikan (freedom of fishing);
f) Kebebasan riset ilmiah kelautan (freedom of scientific research).
Kebebesan di laut lepas tersebut harus memperhatikan kepentingan negara
lain dalam melaksanakan kebebasan yang sama karena pelaksanaan kebebasan
tersebut harus dilaksanakan untuk tujuan damai (peaceful purposes) dan tidak
boleh negara melaksanakan kedaulatannya di laut lepas sebagaimana ditegaskan
oleh Pasal 88-89 Konvensi Hukum Laut 1982. Setiap kapal yang berlayar di laut
lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan negara
(genuine link) dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih bendera
negara karena ingin mendapat kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai
kapal tanpa kebangsaan.59 Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi
Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk
melaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga
khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy
Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982.
Di Indonesia sebenarnya pada zaman Belanda, HPT (Hak Penangkapan
ikan Tradisional) diakui. Misalnya, di Staatbald 1916 No 157 tentang siput
mutiara, tripang, dan terumbu karang. Pada Pasal 2 diakui eksistensi HPT nelayan
lokal. Begitu pula pada Staatbald 1927 No 145 yang di dalamnya dimulai
larangan menangkap ikan paus dalam perairan 3 mil dari garis pantai, kecuali bagi
59
Ibid.
39
nelayan yang telah melakukannya secara turun temurun. Pasca Kemerdekaan,
juga ada UU Pokok Agraria 1960 Pasal 16 Ayat 2 yang menyebutkan adanya hak
pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun, pasal ini kurang dielaborasi dan
diimplementasikan secara memadai, meski pada pasal sebelumnya ditegaskan
adanya pengakuan terhadap hak ulayat termasuk di laut. Memasuki Orde Baru,
persoalan menjadi lain karena sentralisasi pengelolaan sumberdaya perikanan
benar-benar terjadi. Praktis hak ulayat melemah seiring dengan lahirnya UU
Pemerintahan Desa 1979 yang menyeragamkan struktur desa. Padahal sebelum itu
desa-desa di Indonesia sangatlah beragam strukturnya dan mengakomodasi
kepentingan adat. Juga UU Perikanan 1985 tidak menyebutkan soal eksistensi
HPT. Tapi, pada era ini ada Kepmentan No 607/1976 tentang jalur-jalur
penangkapan ikan dimana ada perlindungan terhadap nelayan dengan kapal di
bawah 5 GT dan 10 PK. Tujuan mulia ini kurang berhasil karena memang berada
dalam desain pengelolaann yang sentralistik.60
Pada era reformasi, muncul UU 22/1999 yang lalu disempurnakan menjadi
UU 32/2004 serta UU Perikanan No 32/2004.61 Di dalamnya tidak disebutkan
adanya perlindungan terhadap HPT, namun hanya dinyatakan bahwa nelayan
kecil bebas menangkap ikan di seluruh wilayah. Namun nelayan kecil seperti apa
yang dimaksud, memang masih butuh penjelasan. Meski secara tersirat nelayan
kecil itu adalah mereka yang tidak terkena kewajiban memiliki izin usaha
perikanan dan pungutan. Yakni, yang armadanya kurang dari 5 gross ton atau di
bawah 15 PK. Karena itu, pasal ini punya niat yang mulia untuk melindungi
nelayan kecil, namun pasal ini belum memperhatikan fakta sosiologis bahwa
60
“Analisis Peta Teritorial Laut Indonesia”, http://www.bppsdmk.or.id/data/pasar, diakses pada
tanggal 10 Juni 2014.
61
Ibid.
40
nelayan kecil dimanapun memiliki ide facto-property right (termasuk exclusion
right), sehingga kalau pun nelayan kecil dibebaskan melaut ke seluruh wilayah,
tetap perlu merujuk pada realitas tersebut. Seperti, nelayan Andon dari Pulau Rote
biasanya diijinkan memiliki access right dan withdrawal right dengan berbagai
persyaratan baik tertulis maupun tak tertulis.
Karena itu, perlindungan terhadap nelayan kecil tidaklah bersifat
independen, melainkan terkait dengan desain institusi pengelolaan sumberdaya
secara komprehensif. Sehingga ada beberapa agenda penting. Pertama, dalam
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pemberdayaan nelayan nanti perlu
ditegaskan kembali pengakuan terhadap Hak Penangkapan Ikan Tradisional
(HPT) dengan penjelasan beberapa indicator pokoknya sehingga memudahkan
Pemda dalam menerjemahkannya ke dalam Perda. HPT ini dimaksudkan untuk
kelangsungan tradisi secara turun temurun dan dalam rangka memenuhi
kepentingan ekonomi nelayan lokal.
D. Pelaksanaan Clear Water Operations
Pada tanggal 12-21 April 2005, dalam upaya memerangi maraknya
praktek Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) Fishing, Australia menggelar
Clear Water Operation, yang berujung pada penangkapan 240 nelayan
Indonesia.62 Berita penahanan 4 orang nelayan tradisional asal Papela, Pulau Rote,
bagian Timur Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh petugas Australia dengan alasan
memasuki wilayah Australia secara ilegal baru-baru ini perlu dicermati serius.
Penahanan tersebut merupakan suatu mata rantai yang tidak dapat dipisahkan
62
“Illegal Fishing dan Tradisional Fishing Rights”, http://www.pksplipb.or.id, diakses pada tanggal
20 Juni 2014
41
dengan kasus-kasus sebelumnya. Malangnya, Kapten kapal KM Gunung Mas
Baru, Muhammad Heri, diberitakan meninggal dalam masa penahanan di Darwin
tanggal 28 April 2005. Padahal Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dan
Bea Cukai diikutsertakan dalam operasi tersebut.63 Demikian pula kasus kematian
Mansyur La Ibu, nelayal asal Sikka, Flores yang disekap AL Australia tahun lalu,
dan isu pembakaran kapal nelayan atau penahanan lainnya, telah merisaukan
berbagai pihak dan menimbulkan tanda Tanya besar tentang sikap resmi
pemerintah Indonesia. Masalah ini harus dicarikan solusinya secara arif tegas,
tuntas, dan diprotes pada koridor hukum yang menghargai kedaulatan kedua
negara.
Ada
beberapa
ketentuan
yang
harus
diperhatikan
untuk
dapat
dikategorikan memiliki traditional fishing rights, diantaranya yaitu :64
(1) Nelayan-nelayan yang bersangkutan secara tradisional telah menangkap ikan
di suatu perairan tertentu;
(2) Nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara
tradisional;
(3) Hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis ikan tertentu;
(4) Nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan tersebut haruslah nelayan
yang secara tradisional telah melakukan penangkapan ikan di daerah tersebut.
Berdasarkan kriteria itu, Australia mengakui nelayan tradisional Indonesia
untuk melakukan penangkapan ikan di beberapa wilayah perairannya, karena
selama beberapa dekade, nelayan Indonesia telah melakukan penangkapan ikan di
63
Ibid.
“Treaty between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
establishing an Exclusive Economic Zone Boundary and Certain Seabed Boundaries,
http://www.geocites.com, diakses pada tanggal 4 Juli 2014
64
42
sekitar perairan Australia secara tradisi tanpa mendapatkan hambatan atau
larangan dari Pemerintah Australia. Dengan demikian, hak perikanan tradisional
di zona perikanan Australia merupakan satu-satunya hak perikanan tradisional
yang diakui secara resmi. Landasan hukum traditional fishing rights antara RIAustralia dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MOU) pada tanggal
7 November 1974, yang menetapkan lima daerah operasi perikanan tradisional,
meliputi Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse
Islet. Di wilayah ini, Pemerintah Australia tidak akan menerapkan peraturan
perikanannya kepada nelayan tradisional Indonesia. Meski diakuinya traditional
fishing rights, namun nelayan-nelayan Indonesia masih saja melakukan
pelanggaran. Oleh karenanya, dikeluarkan MOU 1981 untuk membatasi
kewenangan pengaturan perikanan antara Australia dan Indonesia di daerah
perbatasan yang saling tumpang tindih (overlapping). Dengan dikeluarkannya
MOU 1981 tersebut, maka telah disepakati penetapan garis sementara
pengawasan perikanan dan penegakkan hukum, sehingga nelayan Indonesia
dilarang melakukan penangkapan ikan di zona perikanan Australia, demikian juga
sebaliknya, kecuali sebagaimana yang telah diatur dalam MOU 1974.65
Ada dua fenomena penting yang menarik mengenai penyelesaian
persoalan nelayan Indonesia di perairan Australia, yaitu: Pertama, bahwa putusan
hakim Australia kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk
menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi territorial Australia, dan kedua,
Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan Indonesia
telah merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin. Oleh karena itu,
65
Ibid.
43
untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan penyelesaian secara damai
guna menciptakan perdamaian dan keamanan internasional sesuai dengan yang
diamanatkan Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan
peraturan, konsiliasi, arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badanbadan atau perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilihnya
sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia, alternatif
penyelesaiannya melalui non-peradilan yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase
yang diharapkan mampu mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik
secara moral maupun secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha
untuk menegakkan ketertiban dunia. Meskipun bukan satu-satunya solusi
alternatif, namun penyelesaian non peradilan melalui komisi arbitrase RIAustralia akan lebih akomodatif dan relevan serta mencerminkan kepentingan dua
negara. Hal ini dikarenakan, komisi arbitrase dapat berperan dalam mengeliminir
tumpang tindih ketentuan hukum laut yang selama ini belum dapat dirumuskan.
Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam penyelesaian pelanggaran diyakini
dapat menciptakan rasa keadilan dan menjauhkan ketersinggungan.
44
BAB III
PERUNDINGAN BILATERAL ANTARA INDONESIA DAN AUSTRALIA
Pada Bab III ini akan dibahas mengenai Penyelesaian sengketa Pulau Pasir
melalui jalur satu atau jalur resmi dengan melakukan perundingan bilateral antara
kedua belah pihak melalui diplomasi negosisasi sampai kepada kesepakatan
terbaru.
A. Sejarah Perundingan Bilateral Indonesia dan Australia
1. MOU (Memorandum of Understanding) BOX 1974.
Memorandum of Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian
internasional untuk memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang
telah disepakati para pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar persetujuan
yang akan dibuat atau sebagai dasar persetujuan yang mengatur pelaksanaan atau
implementasi dari perjanjian induk. Pada tanggal 7 November 1974 telah
dilaksanakan Nota Kesepahaman (MOU), lebih dikenal dengan “Memorandum of
Understanding Between the Government of Australia and the Government of the
Republic of Indonesia Regarding the Operation of Indonesian Traditional
Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental
Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974, yang mengatur tentang
hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan ikan, dan
ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir.66
“ Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia”,
http://akhmad_solihin.staff.ipb.ac.id/2011/02/16/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-diwilayah-perikanan-australia/diakses pada tanggal 12 juni 2014
.
66
45
Nota kesepahaman ini juga dibuat karena pentingnya penuntasan masalah
pelanggaran kedaulaatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
Indonesia ini mendorong pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia untuk
duduk bersama dalam mengatur kegiatan nelayan tradisional Indonesia yang
beroperasi di wilayah perairan Australia. Kemudian ditinjau kembali pengaturan
tersebut bertujuan agar dapat menjamin kelangsungan hak-hak perikanan
tradisional (traditional fishing right) di satu sisi dan dapat melindungi
kepentingan-kepentingan Australia di sisi lain.
Sebagai pengakuan akan hak tradisional nelayan Nusa Tenggara Timur,
Australia dan RI pada 1974 mengeluarkan Memorandum of Understanding yang
isinya tetap memperbolehkan mereka mencari nafkah sampai batas Bonaparte
Island, dimana mereka boleh menangkap ikan kecuali penyu. Setelah eksplorasi
minyak tahun 1999 di perairan Timor, patrol di perairan Australia makin gencar
bahkan disertai peledakan kapal-kapal nelayan dan sejumlah 3.900 nelayan
Indonesia dalam dua tahun terakhir tertangkap. Perjanjian Batas Laut RI-Australia
ditandatangani Menlu RI Ali Alatas dan Menlu Australia Alexander Downer 14
Maret 1997, untuk tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote. Nelayan
Pulau Rote mencari sirip hiu dan teripang di sekitar Pulau Pasir yang menjadi
andalan ekspor Nusa Tenggara Timur ke China sejak abad 18. Menlu Ali Alatas
ketika itu menjelaskan, alasan yang dipakai untuk menetapkan batas laut kedua
negara adalah alasan landas kontinen. Bintang Tiga Rao adalah bintang pedoman
nelayan Pulau Rote berlayar dari pelabuhan Papela menuju gugusan Pulau-pulau
Pasir. Sejumlah 161 buah kuburan kuno yang berada di Pulau Pasir adalah bukti
kepemilikan yang sah atas pulau-pulau karang itu.Dengan teknologi sekarang,
46
tidaklah sulit menghitung umur kerangka yang paling tua, yang kemudian dapat
untuk membandingkan dengan kedatangan Ashmore ke Pulau Pasir pada 1811.
Berikut ini adalah isi dari kesepahaman pada tanggal 6 dan 7 November
1974, dimana wakil dari pemerintah Australia dan pemerintah dari Republik
Indonesia sudah menyetujui dan merekan pemahaman berikut :
1. Pemahaman ini akan berlaku bagi/dan meminta kepada nelayan tradisional
Indonesia dalam operasi di daerah penangkapan ikan yang eksklusif dan di
atas landas kontinen yang bersebelahan kepada tanah daratan Australia dan
pulau lepas pantai. Pengertian “nelayan tradisional” adalah dimaksud/berarti
nelayan yang sudah secara turun- memurun mengambil ikan dan organisme
yang terdapat di dalam perairan Australia dengan metoda yang mana telah
menjadi tradisi dari dekade ke dekade. Pengertian “daerah penangkapan ikan
eksklusif” (Exclusive Fishing Zone) adalah zona perairan yang diukur
sepanjang dua belas mil menuju ke laut mulai dari pangkal laut teritorial
Australia.
2. Pemerintah Republik Indonesia memahami bahwa dalam hubungan dengan
memancing di dalam daerah penangkapan ikan Australia yang eksklusif dan
Eksplorasi untuk pengambilan sumber daya alam yang berhubungan dengan
landas kontinen Australia, pada setiap kasus yang bersebelahan untuk:
Ashmore Batu Karang (Pulau Pasir) (Garis lintang 12º 15’ Selatan, Garis
bujur 123º 03’ Timur), Pulau Cartier (Garis lintang 12º 32’ Selatan, Garis
bujur 123º 33’ Timur), Scott Batu Karang (Garis lintang 14º 03’ Selatan, Garis
bujur 121º 41’ Timur), Seringapatam Batu Karang (Pulau Datu) (Garis lintang
11º 37’ Selatan, Garis bujur 122º 03’ Timur), Pulau Tapis (Garis lintang 14º
47
06’ Selatan, Garis bujur 123º 32’ Timur). Pemerintah Australia akan
mematuhi aturan ini dan menahan diri untuk menerapkan hukumnya terkait
operasi perikanan terhadap nelayan tradisional Indonesia sesuai dengan
keputusan bersama.
3. Pemerintah Republik Indonesia memahami bahwa, di dalam bagian area
seperti diuraikan di dalam paragraph/ayat 2, bahwa Pemerintah Australia
diatur oleh hukum internasional untuk mengatur pemancingan untuk atau
pemanfaatan dan eksplorasi mengangkut sumber alam pada landas kontinen
Australia oleh warga negara asing, Pemerintah Australia akan mengijinkan
operasi nelayan Indonesia tunduk kepada kondisi-kondisi berikut :67

Operasi nelayan Indonesia dalam area sebagaimana tercantum pada
ayat/paragraph 2 menyangkut pemahaman akan terbatas pada nelayan
tradisional Indonesia.

Daerah melabuhkan perahu nelayan tradisional Indonesia akan meliputi
Pulau Timur yang paling kecil yaitu pada (Garis lintang 12º 15’ Selatan,
Garis bujur 123º 07’ Timur), dan Pulau Tengan yang sangat kecil (Garis
lintang 12º 15’ Selatan, Garis bujur 123º 03’ Timur) di sekitar Batu
Karang Ashmore untuk kepentingan pencarian persediaan air bersih.

Kapal tradisional nelayan Indonesia diperbolehkan berlabuh di dalam
kepulauan yang diuraikan pada paragraph/ayat 2 tetapi para orang di
dalam kapal tersebut tidak boleh mendarat/naik ke daratan.
4. Pemerintah Republik Indonesia memahami tidak akan diizinkan untuk
mengambil Penyu dalam daerah penangkapan ikan Australian Eksklusif
67
“Jangan Sebut “Ashmore Reef” dan “Sebelah Utara Australia”, http://www.Geografiana.com,
diakses pada tanggal 4 Juli 2014
48
(Australian Fishing Zone). Trochus, tiram, keong hijau, spons/bunga-karang
dan semua moluska tidak diperkenankan diambil dari dasar laut dari air
pasang menandai kepada tepi dari landas kontinen, kecuali dasar laut yang
bersebelahan ke Pulau Pasir/Ashmore dan Pulau Cartier Pulau Merumput
yang sangat kecil dan Batu Karang Scott dan Batu Karang Seringapatam.
5. Pemerintah Republik Indonesia memahami bahwa setiap awak kapal yang
berada di dalam wilayah perairan Australia baik itu melakukan pemancingan
atau pemanfaatan sumber daya alam harus tunduk pada peraturan/hukum
perairan Australia.
6. Pemerintah Australia memahami bahwa/ Pemerintah Republik Indonesia akan
menggunakan upaya terbaiknya untuk memberitahu semua nelayan Indonesia
yang mungkin akan beroperasi di area yang bersebelahan ke Australia
berhubungan dengan perjanjian sebelumnya.
7. Kedua pemerintah baik Australia dan Indonesia akan memudahkan pertukaran
informasi mengenai aktivitas dari kapal nelayan tradisional Indonesia yang
beroperasi di bagian area barat dari Laut Timor.
8. Pemerintah Republik Indonesia memahami bahwa pemerintah Australia
sampai pada tanggal 28 Februari 1975 menahan diri dari penerapan
hukumnya, yang berkenaan dengan perikanan terhadap nelayan tradisional
Indonesia di area yang bersangkutan dengan daerah penangkapan ikan dan
ZEE Australia.
Nota Kesepahaman (MOU) tahun 1974 ini lebih dikenal dengan
“Memorandum of Understanding Between the Government of Australia and the
Government of the Republic of Indonesia Regarding the Operation of Indonesian
49
Traditional Fishermen in Areas of the Australia Exclusive Fishing Zone and
Continental Shelf” atau yang dikenal dengan istilah MOU BOX 1974, yang
mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional, ketentuan penangkapan
ikan, dan ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir. Nota kesepahaman ini juga
dibuat karena pentingnya penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia ini mendorong pemerintah
Indonesia dan pemerintah Australia untuk duduk bersama dalam mengatur
kegiatan nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di wilayah perairan
Australia. Kemudian ditinjau kembali pengaturan tersebut bertujuan agar dapat
menjamin kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional fishing right)
di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan Australia di sisi lain.
2. Perjanjian tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU 1974
Pada tahun 1981 Australia dan Indonesia menghasilkan “Memorandum of
Understanding between the Republic of Indonesia and the Government of
Australia Concerning the Implementation of Provisional Fisheries Surveillance
and Enforcement Arrangement”, yaitu kesepahaman sementara antara kedua
negara dalam implementasi pengawasan perikanan dan tindak lanjut dari
perjanjian 1974. Pada 1989 Pemenrintah Indonesia dan Australia menghasilkan
kesepakatan “Agreed Minutes of Meeting Between Officials of Indonesian and
Australia on Fisheries” atau yang disebut kesepakatan pertemuan yang disetujui
antar pejabat Australia dan Indonesia pada Perikanan pada tanggal 29 April 1989.
Kesepakatan ini merupakan lanjutan kesepakatan MOU 1974. Persetujuan ini
menjelaskan tentang Petunjuk Teknis bagi Implementasi MOU 1974 di atas, yaitu
pada bulan Mei 1989.
50
Sebelumnya pada tanggal 2 Maret 1989 para pejabat yaitu Menteri Luar
Negeri Indonesia Ali Alatas dan Senator Laut Negeri Australia Gareth Evans
mendiskusikan dan membahas tentang aktivitas kapal dan nelayan Indonesia di
daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone) mulai dari pantai barat
Australia sampai pada Laut Arafura serta daerah perairan antara Pulau Jawa dan
Pulau Christmas. Kedua perwakilan meninjau kerjasama lebih lanjut dari MOU
1974 mengingat Indonesia dan Australia adalah termasuk dalam neighbor lines,
atau termasuk dalam wilayah yang saling tumpang tindih. Pada MOU 1974
disepakati bahwa yuridiksi masing-masing negara berada pada 12 nautika miles
dari territorial baselines masing-masing negara. Sebelumnya pada tahun 1979 dan
1980 baik Indonesia dan Australia memperluas yuridiksi perairan dan perikanan
mereka menjadi 200 nautika miles dari laut teritorialnya masing-masing,
berikutnya pada tahun 1981 diakuinya garis perikanan sementara antara Indonesia
dan Australia yang berada di sebelah selatan Pulau Pasir. Garis perairan dan
pemancingan sementara ini penting bagi akses oleh nelayan tradisional Indonesia
ke area ini di bawah MOU BOX 1974.
Australia memberitahu Indonesia bahwa baik Pulau Ashmore/Pulau Pasir
dan
Pulau
Cartier
merupakan
bagian
dari
wilayah
Persemakmuran
(Commonwealth) Australia. Pulau Pasir menjadi Cagar alam nasional Australia,
karenanya pantas untuk dipertimbangkan lebih lanjut karena banyaknya nelayan
Indonesia yang singgah disana dan mencemari air bersih. Australia dan Indonesia
telah menjadi anggota konvensi perdagangan internasional perlindungan flora dan
fauna atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora (CITES), karena itu baik Australia dan Indonesia bertanggung
51
jawab terhadap hilangnya Fauna dan tumbuh-tumbuhan liar yang dilindunggi
negara. Nelayan tradisional Indonesia tidak hanya melakukan pemancingan di
Pulau Pasir tetapi juga area yang bersebelahan dengan Pulau Cartier, Batu Karang
Scott, Batu Karang Seringapatam dan Pulau Merumput. Untuk mencegak
terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan, Indonesia memberikan
kesediaannya untuk mengambil langkah-langkah perlu untuk menginformasikan
nelayan Indonesia mengenai perjanjian ini. Pemerintah Australia dan Indonesia
merencanakan agar nelayan tradisional Indonesia dapat melakukan aktivitasnya
yaitu dengan kerjasama pembiayaan Perikanan Inti Rakyat (PIR).Jika terjadi
penangkapan ikan di daerah perikanan Australia (Australian Fishing Zone) di
Pantai Barat Utara maka Australia berhak untuk mengambil tindakan
penangkapan karena di luar kesepakatan antara kedua negara.68
Pada pertemuan 1989 ini Indonesia dan Australia membahas tentang
aktivitas kapal nelayan non-tradisional pada Laut Arafura pada garis pemancingan
sementara tahun 1981. Karena itu kedua negara perlu untuk mengambil tindakan
yang efektif untuk mencegah pelanggaran dengan kapal motor yang dilakukan
nelayan non-tradisional Indonesia, tanpa otoritas dari Australia sebelumnya. Baik
Indonesia maupun Australia menyusun kerjasama dalam hal pertukaran informasi
pada persediaan di Laut Arafuru untuk kepentingan konservasi dan manajemen
perikanan. Pada perairan Pulau Christmas dan periaran Pulau Jawa di barat garis
pemancingan sementara perlu untuk dirundingkan kembali untuk menghindari
overlap klaim berhubungan dengan hukum masing-masing Negara.
68
“Pengakuan Kepemilikan Aussie Atas Pulau Pasir Masih Lemah,” http://www.tni.mil.id/view3818- html. diakses pada tanggal 11 juni 2014.
52
Nelayan tradisional Indonesia boleh melakukan aktivitas tradisional pada
MOU BOX di area daerah penangkapan ikan Australia (Australian Fishing Zone)
dan landas kontinen yang bersebelahan ke Batu Karang Ashmore, Pulau Cartier
yang sangat kecil, Batu Karang Scott, Batu Karang Seringapatam dan Pulau Tapis
yang sangat kecil. Untuk mengatasi habisnya persediaan tertentu ikan dan
kekayaan alam seperti Trochus nilotocus, pengapit/kepiting dan kura-kura secara
terus-menerus di area Batu Karang yg merupakan lanjutan kesepakatan MOU Box
1974, telah menyepakati hal-hal berikut, yaitu :69
1. ARTIKEL 1 : Indonesia dan Australia akan mengembangkan kerjasama riset
perikanan dan konservasi utilisasi perikanan laut dalam memanfaatkan sumber
daya.
2. ARTIKEL 2 : Indonesia dan Australia akan saling menukar informasi
berhubungan dengan perikanan termasuk :
1. Pemancingan liar dan data dari kapal asing dan kapal domestik;
2. Saling memberikan hasil tentang riset ilmiah ke dalam studi ekologis dan
dinamika populasi;
3. Pengembangan program manajemen perikanan nasional; dan
4. Monitoring perikanan, teknologi serta sistem pengawasan dan kendali.
5. Indonesia dan Australia akan menetapkan saluran komunikasi untuk
memudahkan pertukaran Informasi dan meliputi pengumpulan tentang
teknis pertemuan-pertemuan pada area perairan dan perikanan atau minat
khusus kedua belah pihak, termasuk tidak membatasi pada pengambilan :
Ikan Hiu Pelagic, Ikan Tuna, Demersal Finfish; dan Trochus.
69
“Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional (UNCLOS
1982) di Indonesia”, http://www.launclospdf.htm, diakses tanggal 30 Juni 2014.
53
3. ARTIKEL 3 : Australia dan Indonesia akan metode untuk mengembangkan
konservasi dan manajemen utilitas persediaan perikanan. Kedua negara akan
bekerja sama secara langsung melalui Organisasi internasional untuk
meyakinkan konservasi dan manajemen laut yang berada pada sumber daya
laut bebas.
4. ARTIKEL 4 : Indonesia dan Australia akan memudahkan kerjasama melalui
pelatihan dan pertukaran informasi personil unutk konservasi perikanan,
mencakup para ilmuwan dan para siswa.
5. ARTIKEL 5 : Indonesia dan Australia akan saling tukar-menukar Informasi
pada teknologi pengembangan berubungan dengan perikanan, termasuk teknik
pemancingan, teknik monitoring, dan mengurangi efek pemancingan pada
binatang laut menyusui, biota laut, pengelolahan produk ikan dan aspek postharvest teknologi yang baik mengenai pengambilan dan panen ikan dengan
baik dan benar.
Pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU
BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989 membuat kerjasama Indonesia dan Australia
semakin memburuk. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran terbanyak yang
dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal ini dikarenakan, sebagai
akibat dari berubahnya peta wilayah kegiatan para nelayan tradisional Indonesia
yang semula tunduk pada MOU BOX 1974 (Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott
Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet) berubah dengan Agreed Minutes
1989 (Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse Islet). Dengan kata lain,
54
Ashmore Reef dan Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya
alam hayati.70
Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX 1974
maupun Agreed Minutes 1989, dimana salah satu jenis pelanggaran yang sering
dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan jenis-jenis
biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang dilarang,
seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya. Pelanggaran terhadap
penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan, dimana
fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui MOU BOX
1974 dan Agreed Minutes 1989. Dalam kenyataan pelanggaran seperti ini terlihat
dalam bentuk melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu
yang digerakkan oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang
tegolong
modern,
bahkan
menangkap
ikan
hiu
dengan
menggunakan
gillnet/jarang besar yang diletakkan di dasar kapal yang mampu mengangkut
berton-ton ikan. Pelanggaran yang dilakukan juga ada yang berhubugan dengan
masalah lingkungan hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain dari tindakan para
nelayan yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai memadamkan api
setelah memasak atau membuah punting rokok tanpa dimatikan terlebih dahulu
apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumbersumber air minum pada tempat-tempat dimana para nelayan diperbolehkan untuk
mengambil air minum.71
70
“Mengakui
Hak
Penangkapan
Ikan
Tradisional”,
http://kompas.com/kompascetak/0505/28/Fokus/1769074.htm, diakses pada tanggal 29 Juni 2014.
71
Ibid.
55
Adapun faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayannelayan tradisional Indonesia, yaitu :
1. Pengertian nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989
masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang
masih relatif rendah, sehingga sangat besar kemungkinan mereka tidak dapat
membaca peta dan karenanya tidak dapat mengenali dengan tepat wilayah
operasinya.
2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed
Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari
oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan
Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan
Pulau Datu yang dinamakan Seringapatam Reef.
3. Para nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah yang
disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti.
Hal ini terjadi karena, selain para nelayan tradisional tidak dapat
mengerti/membaca peta tetapi juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang
jelas menunjukan batas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU
BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989. Sementara para nelayan tradisional
pada umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi yang memadai.
4. Hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup
memuaskan sehingga para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di
bidang usaha lain.
5. Pengaruh faktor sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu dari
masyarakat nelayan tradisional Indonesia asal Papela – Rote, setiap tahunnya
56
mengadakan kunjungan ke makam leluhurnya yang meninggal dan
dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Saat mengunjungi makam ini
biasanya
dilakukan
bersama-sama
dengan
mencari
hasil-hasil
laut
sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus tahun yang
lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa mereka (para nelayan
tradisional Indonesia) pasti memasuki wilayah konservasi alam Ashmore Reef,
yang pastinya dilarang.
Hingga saat ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk mengatasi
pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu
penanganan secara hukum dan pendekatan persuasif. Penanganan secara hukum
yang dilakukan berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena masih banyak
nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melalukan pelanggaran. Sedangkan
cara yang kedua adalah alternative livelihood atau pengalihan mata pencaharian
yang dilakukan melalui gerakan dari Australian National University dengan
disponsori beberapa lembaga negara maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha
alternatif yang dikembangkan adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran
ikan kerapu, dan budidaya Sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya
aktivitas pelanggaran kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah
perairan Australia.
3. Perjanjin Perth 14 Maret 1997.
Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, Australia dilaksanakan perjanjian
antara kedua negara tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
batas-batas laut. Pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, telah dilakukan
57
kesepakatan tentang penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batasbatas laut tertentu serta tidak mengurangi hak tradisional nelayan Pulau Rote.
Perjanjian yang diusulkan akan mengatasi batasan-batasan bahari antara Australia
dan Indonesia di dalam area itu dimana batasan-batasan yang ada menyetujui dan
memberikan Australia dengan keamanan yurisdiksi sumber daya lepas pantai di
sebelah selatan batasan-batasan itu semua. Batasan-batasan di dalam Perjanjian
menghadirkan suatu hasil yang layak untuk Australia. Perjanjian ini akan
bermanfaat bagi sumber daya industri. Untuk petroleum/minyak tanah, finalisasi
yang menyangkut batasan-batasan dasar laut akan mengijinkan bagi pendekatanpendekatan area tambahan untuk eksplorasi dari sebelah barat Ashmore/ Pulau
Pasir dan Pulau Cartier yang belum dilepaskan oleh karena ketidakpastian
yurisdiksi.
Untuk perairan dan perikanan, finalisasi menyangkut batas bahari akan
memberikan kepastian dan mengizinkan suatu pendekatan jangka panjang kepada
manajemen perikanan di sekitar Laut Arafura dan Timor Laut dan di sekitar Pulau
Christmas. Yang lebih umum lagi, perjanjian ini untuk meningkatkan keamanan
dan stabilitas di (dalam) kedua-duanya terminologi regional dan dari dua belah
pihak. Penyelesaian dari batas bahari antara Australia dan Indonesia akan
mengurangi potensi konflik di masa yang akan datang dalam memperdebatkan
otoritas masing-masing negara.
Batas-batasnya adalah dengan penempatan koordinat Pulau Pasir (12º
13.98’ LS, 123º 4.98’ BT) dalam peta perjanjian batas antara Indonesia dan
Australia, sehingga dapat diketahui bahwa Pulau Pasir berada dalam wilayah ZEE
Australia. Penempatan koordinat atas Pulau Pasir ini secara tidak langsung
58
menunjukkan bahwa pada tahun 1997, Indonesia telah mengakui kedaulatan
Australia terhadap Pulau Pasir. Perjanjian ini memberikan keputusan final akan
batasan-batasan bahari/kelautan antar kedua negara yang bersangkutan, dimana
ada area yang tidak tercakup dalam perjanjian sebelumnya. Ketiga batas-batas
yang telah final oleh perjanjian adalah, pertama-tama mengenai ZEE dan dasar
laut
batas
antara
Pulau
Christmas
Pulau
Jawa
dan
kedua
adala
penambahan/perluasan wilayah antara kontinental Australia dan Indonesia.Batas
yang ditetapkan di perjanjian ini adalah sekitar 3.000 Km dari batas kontinen
masing-masing negara. Perjanjian Perth yang disetujui pada 14 Maret 1997 ini
membagi batas menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Batasan Pulau Jawa dan Pulau Christmas.
Keberadaan Pulau Christmas adalahh sekitar 186 nautical miles dari Pulau
Jawa. Di bawah hukum internasional, seperti dicerminkan di dalam Artikel 121
UNCLOS, Pulau Christmas berhak atas memiliki cakupan zone maritime yang
penuh. Klaim Australia meluas kepada angka garis meduan, ketika ZEE
diproklamirkan oleh Indonesia meluas pada 200 nautical miles dari pantai Pulau
Jawa. Batas laut antara Pulau Christmas dan Pulau Jawa adalah kombinasi suatu
batas dasar / kolom air sehingga menghasilkan garis tunggal. Bentuk batas-batas
diwujudkan di (dalam) perjanjian yang baru adalah suatu garis median yang
disesuaikan oleh dua garis lurus segmen yang memperpanjang dari suatu titik
dengan segera jarak paling pendek antara Pulau Christmas dan Pulau Jawa 186
nautical mile menunjuk pada persimpangan dari Indonesia dan batas-batas ZEE
Australia dengan laut lepas sampai pada timur and barat Pulau Christmas. Posisi
titik itu dengan jarak paling pendek adalah 38.75 nm dari Pulau Christmas.
59
2. Batas Kolom Perairan (Water Coloumn Delimitation)
Baik Indonesia dan Australia sudah mengklaim ZEE masing-masing
sekitar 200 nm berdasarkan UNCLOS 1982, maka terjadilah tumpang-tindih di
wilayah yurisdiksi diklaim di dalam Laut Timor dan Laut Arafura. Kenyataan ini
akan sangat sulit untuk memperoleh batas kolom air dimana Indonesia harus
menerima berdasarkan Badan Pengawasan dan Perikanan Sementara atau
Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement (PFSEL) pada tahun 1981 di
dalam suatu cara yang pada hakekatnya untuk kebaikan Australia. Perjanjian yang
mengkonfirmasikan garis itu, dengan dua perubahan untuk mengenali fakta bahwa
Pulau Berpasir (bagian dari Batu Karang Scott) dan Pulau Ashmore/Pulau Pasir
adalah pulau penuh yang dimaksud dalam Artikel 121 UNCLOS. Yang pertama
menjadi perluasan dari batas arah Barat untuk masuk dengan simpangan dari
klaim ZEE Australia dan Indonesia dengan laut bebas. Perubahan yang kedua
melibatkan batas di sekitar Pulau Ashmore, yang mana telah dipindah dari 24
nautical miles, dan meridial pada yang radial dan pada sebelah barat-daya di
sebelah utara dari pulau itu. Ini adalah suatu bentuk wujud yang lebih baik dan
secara administrative dapat dikendalikan ke Australia dibanding 12 nm batas
radial dari Perikanan Sementara dan Pengawasan Penyelenggaraan/ Provisional
Fisheries Surveillance and Enforcement (PFSEL).
3. Perluasan Pada Bagian Barat dari Batas Dasar Laut
Pada perjanjian tahun 1971 dan 1972 mengenai batas dasar laut perjanjian
dirundingkan atas dasar hukum internasional, dikenali sebagai suatu status
kedaulatan atas sumber daya tentang landas kontinen. Pendekatan ini secara alami
memusatkan perhatian pada geomorphology dari dasar laut terkait. Dalam kasus
60
Australia dan Indonesia, garis tepi kontinental yang luas Australia dan adanya
Palung laut timot menuju batas yang disetujui berdasarkan perjanjian 1972
mengenai persutujuan dasar laut di sebelah utara untuk suatu garis median antara
kedua negara yang berada pada Laut Timor. Batasan itu berakhir pada point yang
dikenal dengan point A25, bagaimanapun juga menyisakan wilayah barat pada
waktu yang akan datang. Sejak 1972, hukum internasional telah menggunakan
suatu ukuran distance-based. Meskipun demikian, dalam sudut pandang Australia
prinsip perpanjangan wilayah secara alamni tetap relevan terhadap negosiasi dari
batas dasar laut.Terpisahnya dasar laut dan garis kolom perairan adalah hasil dari
aplikasi dari perjanjian yang sah dari batas ZEE dan landas kontinen.
Hasil dari penjagaan yang terpisah dari dasar laut dan batas kolom
perairan adalah bahwa Australia memiliki yuridiksi dasar laut dimana
yuridiksinya saling tumpang tindih dengan Indonesia. Garis dasar laut pada
pembukaannya pada tepi batas bagian barat dikenali sebagai perluasan maksimal
dari landas kontinen Australia yang diakui berdasarkan UNCLOS 1982 (garis
yang bergerak dari arah utara dari A82 sampai A79 – garis hedberg). Garis
kemudian menuju ke timur, mengikuti garis median antara klaim yang diakui dari
dasar laut, yang merupakan perpanjangan alami dari daratan Australia dan PFSEL
pada kasus yang berhubungan dengan Indonesia. Kemudian bergerak menuju
selatan dari point A51 sampai pada PFSEL pada point A50, jika ditarik garis lurus
pada bagian barat dari 24 nautical miles di sekitar Pulau Pasir, garis mengikuti
lingkaran batas mengitari pulau, tumpang tindih dengan suatu garis lurus jika
ditarik dari selatan pada titik A25 yang merupakan keputusan akhir dari perjanjian
dasar laut tahun 1972.
61
Namun, Perjanjian Perth 1997 ini yang dikenal dengan Perjanjian Kerja
Sama RI Australia tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas-Batas Dasar
Laut Tertentu di Laut Timor dan Laut Arafura, tercakup pula di dalamnya
Gugusan Pulau Pasir yang hingga saat ini belum diratifikasi. Perjanjian ini hanya
berisi 11 pasal tersebut dengan jelas mengatakan (pasal 11) bahwa “Perjanjian ini
harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam
ratifiakasi”, akan tetapi, Indonesia sendiri belum meratifikasi perjanjian ini dalam
hukum internailnya.72
B. Kesepakatan Terbaru Kerjasama Kelautan antara Indonesia dan
Australia
Kedua negara sepakat untuk meningkatkan pengawasan dalam upaya
penanggulangan Illegal fishing di perbatasan ZEE melalui beberapa kerjasama,
yaitu: peningkatan patoli terkoordinasi, pertukaran data dan informasi, kunjungan
timbal balik antara kapal patrol perikanan Indonesia dengan kapal patrol Bea
Cukai Australia, peningkatan kapasitas SDM pengawasan perikanan melalui
pelatihan, dan dukungan teknis lain yang diperlukan untuk kapal pengawas
perikanan Indonesia.73 Yang ditandatangani tidak hanya kapal penangkap ikan
illegal, tapi termasuk juga “kapal induk (mothership)” yang sering berada di
perbatasan dua negara, menampung ikan hasil jarahan. Demikian salah satu butir
kesepakatan dalam The 6th Working Group on Marine and Fisheries (WGMAF)
72
“Treaty between the Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
establishing March 1997”, http://www.australianfishingZone.com, diakses pada tanggal 6 Juli
2014.
73
“Australia dan Indonesia Tingkatkan Kerjasama Kelautan dan Perikanan”,
http://www.harianterbit.com, diakses pada tanggal 6Juli 2014
62
Indonesia dan Australia yang berlangsung tanggal 19-20 Maret 2009 di Nusa Dua,
Bali.74
Di samping mengenai illegal fishing, pertemuan regular dua tahunan ini
juga membahas tentang manajemen perikanan di perbatasan dua negara, Public
Information Campaign, koordinasi wilayah “MOU Box”, serta kemitraan dan
kerjasama lainnya. Dalam rangka kegiatan pengelolaan perikanan, kedua negara
menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain: mengembangkan sistem
pendataan dan informasi terkait dengan perikanan Tuna dan Kakap Merah di
wilayah Indonesia Timur, melalui pengembangan jaringan kerjasama dengan
Pemerintah Daerah dan perguruan tinggi, mengembangkan metode dan data base
dengan melaksanakan pencatatan log book dan penempatan observer di atas kapal,
serta menyelenggarakan lokakarya nasional bagi para peneliti tentang hasil
monitoring dan pelaporan dua komuditi tersebut. Public Information Campaign
(PIC) adalah upaya bersama kedua negara untuk menjelaskan ketentuan
pengelolaan perikanan di perbatasan dua negara, terutama bagi nelayan pelintas
batas dari beberapa daerah tertentu. Kegiatan yang berlangsung sejak tahun 2006
ini, senantiasa dilakukan perbaikan. Peta perbatasan bersama yang muda
dimengerti, tahun ini diperbaiki. Penyeluhuhan dilakukan dengan melibatkan
tokoh masyarakat dan penyuluh perikanan, menggunakan musik yang disukai
warga setempat. Wilayah kampanye meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Untuk memperbaiki
hasilnya, telah dilakukan beberapa perubahan, yaitu substansinya lebih kearah
kampanye pelestarian sumberdaya perairan, dengan nuansa persuasif, dan untuk
74
Ibid.
63
di lapangan akan dilaksanakan langsung oleh para penyuluh perikanan. PIC ini
perlu dilakukan karena di perairan perbatasan dua negara terdapat dua wilayah
yang menerapkan peraturan secara unik. Pertama, adalah wilayah yang landas
kontinennya adalah berstatus dalam yurisdiksi Australia, adapun perairannya
adalah dalam wilayah ZEE Indonesia. Di kawasan tersebut nelayan Indonesia
dilarang mengambil biota yang menempel di dasar lautnya, seperti tripang atau
kerang. Adapun ikan yang berenang di atasnya, diperbolehkan. Kemudian yang
kedua adalah pada wilayah yang sejak dahulu kala menjadi daerah penangkapan
nelayan tradisional dari Rote, Nusa Tenggara Timur. Untuk memberikan hak
menangkap ikan secara subsisten di wilayah ini pada tahun 1974 dibuat nota
kesepahaman antara RI-Australia yang dikenal sebagai MOU Box. Dalam
WGMAF (The 6th Working Group on Marine and Fisheries) ke-6 ini Indonesia
mengusulkan
beberapa
program
kerjasama
penelitian
untuk
pelestarian
sumberdaya perairan, serta terkait dengan kesejahteraan nelayan tradisional yang
mencari rejeki di kawasan itu. Kedua negara sepakat membentuk Tim Kerja guna
membahas elemen-elemen dalam MOU Box. Adapun kerjasama dan kemitraan
yang disepakati adalah tetap dilanjutkannya program beasiswa ADS (Australian
Development Scholarship) bagi staf Departemen Kelautan dan Perikanan, training
staf karantina Indonesia di Australia, penandatanganan MOU kerjasama Sister
University antara Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta dengan Australian Maritime
College di Tasmania. Pertemuan yang berlangsung regular sejak 2001 ini dibuka
oleh Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan, Prof. Dr. Widi A.
Pratikto, M.Sc. Ketua delegasi Indonesia dipimpin oleh Staf Ahli Menteri Bidang
Ekonomi, Sosial dan Budaya, Dr. Suseno. Sedangkan Australia dipimpin oleh
64
Craig Burns (Executive Manager of Trade and Market Access, Department of
Agriculture, Fisheries and Forestry/DAFF).75
Pertemuan WGMAF ke-6 menghasilkan beberapa kesepakatan, antara lain
:76 :
1. Bidang Penanggulangan Illegal Fishing :
Kedua negara memandang positif program Public Information Campaign
(PIC) dan sepakat melimpahkan pelaksanaan kegiatan PIC di lapangan kepada
petugas penyuluhan perikanan Indonesia. Sepakat untuk mendorong implementasi
agenda Regional Plan of Action to promote responsible fishing practices including
combating IUU Fishing in the region. Sepakat melanjutkan kerjasama penanganan
kapal dan nelayan yang terindikasi melakukan kegiatan illegal fishing di perairan
perbatasan kedua negara. Kedua pihak sepakat untuk melaksanakan finalisasi
studi bersama terkait dengan penangkapan ikan ilegal di perairan yang menjadi
kepentingan bersama antara RI-Australia (Joint Australian-Indonesia study on
illegal foreign fishing in waters of mutual interest between Australia and
Indonesia) Patroli terkoordinasi di perbatasan ZEE yang merupakan kerjasama
antara Indonesia-Australia berdampak positif.
Terkait dengan hal tersebut kedua pihak sepakat untuk meningkatkan
kerjasama melalui: Peningkatan patrol terkoordinasi; Pertukaran data/informasi;
Kunjungan timbal balik antara kapal patrol perikanan Indonesia dengan kapal
patrol Bea Cukai Autralia; Peningkatan kapasitas SDM pengawasan perikanan
melalui pelatihan; Dukungan teknis lain yang diperlukan untuk kapal pengawas
perikanan Indonesia. Kedua negara sepakat bekerjasama dalam penanganan kapal
75
“Indonesia – Australia Perkuat Kerjasama Penanganan Pencurian Ikan”,
http://www.darwinavanue, diakses pada tanggal 5 Juli 2014.
76
Ibid.
65
“induk” (mothership) yang dioperasikan untuk mendukung kapal perikanan ilegal
yang beroperasi di perairann sepanjang perbatasan kedua negara. Bidang MOU
Box : Indonesia mengusulkan beberapa program kerjasama terkait dengan Joint
Survey dan riset di daerah MOU Box, kelestarian sumber daya natural di daerah
MOU Box terkait dengan kesejahteraan nelayan tradisional serta motivasi para
nelayan tradisional menangkap di wilayah MOU Box. Indonesia dan Australia
sepakat untuk membentuk tim kerja bersama guna membahas elemen-elemen
didalam kerjasama MOU Box.
2. Bidang Fisheries Management :
Untuk mendukung kegiatan pengelolaan perikanan, kedua belak pihak
sepakat untuk : Mengembangkan sistem pendataan dan informasi terkait dengan
perikanan Tuna dan Kakap Merah di wilayah Indonesia Timur, melalui
pengembangan jaringan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan perguruan
tinggi. Pengembangan metode dan data base melalui pelaksanaan log book dan
program observer untuk perikanan Tuna dan Kakap Merah. Mengadakan
lokakarya nasional untuk perikanan Kakap Merah di wilayah perbatasan antara
Australia dan Indonesia. Mengadakan lokakarya bagi para peneliti perikanan yang
meliputi monitoring dan pelaporan perikanan tuna.
3. Bidang Partnership dan Cooperation :
Kedua pihak sepakat bahwa program beasiswa ADS (Australian
Development Scholarship) bagi staf Departemen Kelautan dan Perikanan untuk
tetap dilanjutkan. Kedua belah pihak sepakat untuk menandatangani MOU terkait
dengan kerjasama Sister University antara Sekolah Tinggi Perikanan, Jakarta dan
Australian Maritime College, Tasmania sebagai dasar dari kerjasama tersebut.
66
Kedua belah pihak sepakat untuk bekerjasama di bidang karantina ikan, terkait
dengan peningkatan kapasitas kelembagaan untuk staf karantina ikan Indonesia
dalam bentuk training di institusi karantina di Australia.
Dari paparan Bab III di atas maka dapat ditegaskan bahwa pada tahun
1997, melalui kesepakatan Perth, Indonesia telah mengakui kepemilikan Australia
atas Pulau Pasir. Kegagalan diplomasi Indonesia secara tidak langsung berdampak
kurang baik bagi nelayan tradisional Indonesia yang memanfaatkan wilayah
perairan di sekitar Pulau Pasir. Pemahaman Australia tentang nelayan tradisional
harus lebih ditinjau ulang oleh kedua pemerintah negara masing-masing. Jalur
diplomasi ternyata tidak begitu berhasil dalam menjaga Hak Ulayat atau hak
tradisional nelayan Indonesia ditambah lagi dengan tidak jelasnya hukum internal
Indonesia mengenai tata cara penggunaan perahu dan jenis perahu nelayan
tradisional yang diizinkan untuk berlayar di perairan Indonesia maupun di
perairan asing.
67
BAB IV
KESIMPULAN
Dengan dilakukannya perjanjian MOU Box 1974 antara Indonesia dan
Australia
yang mengatur tentang hak dan kewajiban nelayan tradisional,
ketentuan penangkapan ikan, dan ketentuan lainnya di gugusan Pulau Pasir,
kemudian pada tahun 1989 yaitu kesepakatan“Agreed Minutes of Meeting
Between officials of Indonesian and Australia on Fisheries”serta yang terakhir
pada tanggal 14 Maret 1997 di Perth, perjanjian tentang penetapan batas Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas-batas laut, namun karena Kelemahan
diplomasi Indonesia membuat pengaturan batas maritime antara RI-Australia di
Laut Timor menjadi tumpang tindih, akhirnya lebih menguntungkan Australia dan
mengorbankan nelayan tradisional Indonesia yang telah menjadikan Pulau Pasir
sebagai lahan kehidupan.
Dalam perjalanannya ternyata banyak pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan Indonesia. Salah satu jenis pelanggaran yang
sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah pengambilan
jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari sumberdaya alam hayati yang
dilarang, seperti pengambilan penyu dan burung beserta telurnya. Pelanggaran
terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan,
dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan melalui
MOU BOX 1974 dan Agreed Minuter 1989.
Dalam kenyataan pelanggaran seperti ini terlihat dalam bentuk:
melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan
68
oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang tergolong modern,
bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gillnet/jarring besar yang
diletakkan di dasar kapal yang mampu mengangkut berton-ton ikan. Pelanggaran
yang dilakukan juga ada yang berhubungan dengan masalah lingkungan hidup.
Hal ini dapat terlihat antara lain dari tindakan para nelayan yang dapat
menimbulkan kebakaran karena lalai memadamkan api setelah memasak atau
membuang puntung rokok tanpa dimatikan terlebih dahulu apinya, ataupun
kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya sumber-sumber air minum
pada tempat-tempat dimana para nelayan diperbolehkan untuk mengambil air
minum.
Pelanggaran banyak terjadi karena pengerian nelayan terhadap MOU BOX
1974 dan Agreed Minutes 1989 masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat
pendidikan mereka yang masih relative rendah, sehingga sangat besar
kemungkinan mereka tidak dapat membaca peta dan karenanya tidak dapat
mengenali dengan tepat wilayah operasinya. Selain itu nama pulau dan daerah
yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989, mungkin saja
berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari oleh nelayan tradisional Indonesia.
Seperti Pulau Pasir yang dinamakan Austrlia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru
dinamakan Cartier Islet, dan Pulau Datu yang dinamakan Seringapatam Reef.
Selain para nelayan tradisional tidak dapat mengerti membaca peta tetapi
juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan batas-batas
sebagaimana dimaksudkan oleh MOU 1974 maupun Agreed Minutes 1989.
Sementara para nelayan tradisional pada umumnya tidak dilengkapi dengan
peralatan navigasi yang memadai. Hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan
69
ikan di sekitar Pulau Pasir juga cukup banyak atau cukup memuaskan sehingga
para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di bidang usaha lain. Yang
terakhir adalah masyarakat nelayan tradisional Indonesia asal Papela-Rote, setiap
tahunnya mengadakan kunjungan kemakam leluhurnya yang meninggal dan
dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Saat mengunjungi makam ini biasanya
dilakukan bersama-sama dengan mencari hasil-hasil laut sebagaimana dilakukan
oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Konsekuensinya dari
kegiatan ini adalah bahwa mereka (para nelayan tradisional Indonesia) pasti
memasuki wilayah konservasi alam Ashmore Reef, yang seyogyanya dilarang.
Perlunya sosialisasi tentang perjanjian yang telah dibuat dengan Australia
harus selalu dilakukan Pemerintah kepada para nelayan tradisional Indonesia.
Selain itu pembentukan UU tentang Hak Perikanan Tradisional sangat perlu untuk
diperhatikan oleh pemerintah, karena kegagalan diplomasi tidak lantas harus
membuat hak-hak para nelayan tradisional tertindas. Selain pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Indonesia, namun sampai saat ini
kesepahaman tentang apa yang dimaksud dengan nelayan tradisional oleh
Australia masih diartikan bahwa nelayan tradisional adalah nelayan yang
menggunakan perahu layar tanpa motor (mesin) dalam setiap aktivitasnya. Karena
itu kedua belah pihak semestinya mempunyai kesepahaman yang sama dalam
mengartikan apa yang dimaksud dengan nelayan tradisional.
70
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A.V, Churchill R.Rand, Manchester University Press. (1999). The Law of sea,
Third edition. Mancester: Juris Publishing.
DR. Boer Mauna. (2005). Hukum Internasional; pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni.
Harold Nicholson. (1993). Diplomacy. London: Thorton Butterworth Ltd.
Haryono, E. B. (2005). Menulis Skripsi (Panduan Untuk Mahasiswa Hubungan
Internasional), . Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Holsti, K. (1986). Politik Internasional. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Harold
Nicholson, h.
Mas'oed, m. (1994). Ilmu hubungan Internasional Disiplon and Methodology.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Plano, J. C. (1990). The International Relation Dictionary Terjemahan Wawan
Juanda. Bandung: CV. Abardon.
Rudy, T. M. (2003). Hubungan Internasional Kontemporer dan MasalahMasalah Global. Bandung: PT. Refika Aditama.
SL Roy. (1991). Diplomacy, Terjemahan Herwanto dan Mirsawati. Jakarta: CV.
Rajawali.
SITUS INTERNET
http://www.suarapembaharuan.co.id. (n.d.). Retrieved from "Ashmore Australia
Menggoda Nelayan Indonesia",.
http://www.timorexpress.co.id. (n.d.). Retrieved from "Datum Geodetik dan
Proyeksi Nasional".
71
http//www.kapanlagi.com/h/0000090641_print.html. (n.d.). Retrieved from
"Forum Lintas Parlemen Untuk Celah Timor Dibentuk",.
http://buletinbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=23&mnorturisi=5. (n.d.).
Retrieved from "Landas Kontinen yang melebihi jarak 200 mil dari garis pangkal
ini dikenal dengan istilah "Landas Kontinen Extensi atauExtend Continental Shef
(ECS)", inilah yang dimaksud Seabed area.
http://launclospdf.html. (n.d.). Retrieved from "Evaluasi Kebijakan Dalam
Rangka Implementasi Konvensi Hukum Internasional (UNCOS 1982) di
Indonesia",.
http://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61k&id=190426. (n.d.). Retrieved
from "Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan
Australia",.
http://web.pabindonesia.com/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=22725,. (n.d.).
Retrieved from "Rakyat Timor Barat Ajukan Petisi Ke Australia",.
http://www.bppsdmk.or.id/data/pasar. (n.d.). Retrieved from "Analisis Peta
Teritorial Laut Indonesia",.
http://www.darwinavenue.com. (n.d.). Retrieved from "Indonesia-Australia Pekuat
Kerjasama Penanganan Pencurian Ikan",.
http://www.gatra.com/2003-01-05/artikel.php?id=23822. (n.d.). Retrieved from
"Nasib Nelayan Indonesia di Pulau Pasir sangan tragis",.
http://www.gatraindonesia.co.id. (n.d.). Retrieved from "Penangkapan Nelayan
Indonesia",.
72
http://www.geografina.com. (n.d.). Retrieved from "Jangan Sebut "Ashmore
Reef" dan "Sebelah utara Australia",.
http://www.geografionline.com, . (n.d.). Retrieved from "Deplu Lihat Kembali
Perjanjian Bilateral Indonesia-Australia",.
http://www.indomedia.com/poskup/opini.html. (2007, 08 06). Retrieved from
Manfaatkan mintak dan Gas untuk Kesejahtraan.
http://www.kkp.goid/index.php/mobile/arsip/c/1114/Indonesia-dan-Australiatingkatkan-kerjasama-kelautan-dan-perikanan/?category_id=34. (n.d.). Retrieved
from Kerjasama Indonesia dan Austraia untuk Kelautan dan Perikanan.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/28/Fokus/1769074.html. (n.d.).
Retrieved from "Mengakui Hak Penangkapan Ikan Nelayan Tradisional",.
http://www.sinarharapan.co.id/berita/05/03/02/opi01.html. (n.d.). "Bedah Buku
Pulau Pasir : Nusa Impian orang Rote" .
http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/04/ked11.htm. (n.d.). Retrieved from
"Silang Persepsi Tumbal Nelayan",.
http://[email protected]. (n.d.). Retrieved from "Awas , Pulau Pasir
lepas dari NKRI",.
http://www.tni.mil.id/view-3918-australia-juga-inginkan-pulau-kita.html. (n.d.).
Retrieved from "Pengakuan Kepemelikan Aussie atas Pulau Pasir Masih Lemah",.
http://www.un.org/depts/los/reference_files/chronological_list_of_ratifications.ht
m. (n.d.). Retrieved from UNCLOS III atau UNCLOS 1982 samapai dengan
September 2010 teah diratifikasi oleh 1616 negara. untuk Negara-Negara
diwilayah Asia Tenggara, 8 negara telah meratifikasinya yaitu Singapura,
Myanmar,Malaysia,Brunei Darussalam, filipina, Laos, Indonesia.
73
Rohi, A. P. (2005, 09 14). http://www.suarapembaharuan.com/news/index.html.
Retrieved from "Penemuan minyak di timor gap. awal malapetaka di NTT",.
Jurnal
Hubungan Internasional. (2013). ejournal Ilmu Hubungan Internasional, ISSN ,
523-530.
unsrat. (n.d.). "Nelayan Tradisional Pahlawan Pangan",.
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/2773 .
74
Download