HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG (Skripsi) Oleh M. RIZKI PRAYUDA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 ABSTRACT CORELATION OF SERUM CREATININ LEVELS AND MICROALBUMINURIA IN PATIENTS WITH DIABETES MELLITUS TYPE-2 IN ABDUL MOELOEK HOSPITAL BANDAR LAMPUNG By M. RIZKI PRAYUDA Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease with characteristic hyperglicemia that occurs due to insulin secretion abnormality, insulin action or both of them. Uncontrolled DM lead to various chronic complications, one of them is diabetic nephropathy. Serum creatinine levels and microalbuminuria are important to be controlled as an indicator of the disease’s progression. This study aimed to determine the correlation of serum creatinin levels and microalbuminuria in patients with diabetes mellitus type-2. This analytical cross sectional study with consecutive sampling method using 35 patients with DM type-2 in internal medicine clinic of RSUD Abdul Moeloek as a sampel. Data was analyzed using Spearman correlation. The result shows that mean serum creatinine levels among respondents is 2,08 ± 1,72 mg/dL, while mean microalbuminuria among respondents is 66,88 ± 109,90 μg/mg. Serum creatinine levels and microalbuminuria does not have a statistically significant correlation (r=0,195; p>0,05). From this study, it can be concluded that there is no correlation of serum creatinine levels and microalbuminuria in patients with diabetes mellitus type-2. Key words : diabetes mellitus type-2, micro albumin, serum creatinin levels ABSTRAK HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG Oleh M. RIZKI PRAYUDA Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. DM yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, salah satunya adalah nefropati diabetika. Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria penting untuk dikontrol karena menjadi indikator perjalanan penyakit DM tipe-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2. Penelitian ini bersifat analitik dengan metode cross sectional. Sampel berjumlah 35 orang penderita DM tipe-2 di poliklinik penyakit dalam RSUD Abdul Moeloek yang dipilih dengan metode consecutive sampling. Data dianalisis dengan uji korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar kreatinin serum pada responden adalah 2,08 ± 1,72 mg/dL sedangkan rerata mikroalbuminuria pada responden adalah 66,88 ± 109,90 μg/mg. Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria tidak memiliki korelasi yang bermakna secara statistik (r=0,195; p>0,05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita diabetes melitus tipe-2. Kata kunci : diabetes melitus tipe-2, kadar kreatinin serum, mikroalbuminuria. HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG Oleh M. RIZKI PRAYUDA Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN Pada Fakultas Kedokteran Universitas Lampung FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 27 Juni 1994, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari Bapak H. Muh Yusri, S.Pd., MM dan Ibu Hj. Drs Siti Khodijah. Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Pratama pada tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Sawah Lama, Bandar Lampung pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 4 Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Bandar Lampung pada tahun 2012. Tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (Unila) melalui jalur Ujian Mandiri (UM). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi BEM FK UNILA sebagai anggota divisi eksternal tahun 2013-2014. Penulis juga pernah aktif pada organisasi FSI FK Unila sebagai anggota bidang bina baca al-qur’an tahun 20122013. Persembahan untuk Ayah dan Mama Tersayang... Parents were the only ones obligated to love you. From the rest of the world you had to earn it. SANWACANA Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “Hubungan Kadar Kreatinin Serum dengan Microalbuminuria pada Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung”adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung. Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung; 2. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung 3. dr. Putu Ristyaning Ayu, Sp.PK., selaku Pembimbing Utama atas waktu dan kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 4. dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK., selaku Pembimbing Kedua atas waktu dan kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini; 11 5. dr. Ade Yonata, M.Mol Biol., Sp.PD., selaku Penguji Utama pada ujian skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan; 6. dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Pembimbing Akademik atas waktu dan bimbingannya; 7. Bapak H. Muh Yusri, S.Pd., MM, ayah yang selalu meletakkan harapan, mendoakan, mendukung, dan memberikan yang terbaik kepada saya; 8. Ibu Hj. Drs Siti Khodijah, mama yang selalu perhatian, menyebutkan saya di setiap doanya, membimbing serta mendukung setiap langkah saya; 9. Kakak saya (Ikhsan Chandara Prayudi dan Yosi Oktarina) yang selalu mendoakan, memberikan semangat, perhatian, serta keceriaan; 10. Keluarga terdekat saya dan seluruh keluarga besar dari ayah maupun mama atas perhatian, dukungan dan doa yang telah diberikan; 11. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita; 12. Seluruh Staf TU, Administrasi,dan Akademik FK Unila serta pegawai; 13. Bapak dan ibu di poliklinik penyakit dalam RSUD Dr H Abdul Moeloek Bandar Lampung yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini; 14. Diah Andini atas bimbingan, semangat, doa, motivasi dan kebersamaan sebagai pasangan di saat bahagia maupun sedih yang banyak membantu dalam penulisan skripsi ini; 15. Sahabat seperjuangan (Agam, Hendra, Leo, Redho, Aji, Cucu Andung, Icak, Nurul dkk) atas semangat dan motivasi serta bantuannya; 12 16. Keluarga BG (Gera, Rani, Lala, Tiffany, Bundo, Meti, Sayik, Marco, Cucut, Widi, Iin, Pau, Ulfa dan Ice) dan Keluarga Mahardika (Haikal, Erlangga, Fadhlan, Brandon, Awan, Rialdy, Agung, Harahap, Rizky, Karaeng, Galib, Andika Yuda, Macan, Redi, Nopal) dkk atas kekeluargaan, keceriaan, canda tawa dan bantuannya selama penelitian; 17. Kelompok tutor terakhir (Aminah, Anggita, Desty, KeithKet, Niken, Elma, Dirga, Tifani, Rosi) 18. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu per satu; Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua. Aamiiin. Bandar Lampung, 29 Februari 2016 Penulis Muhamad Rizki Prayuda DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ x DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ A. Latar Belakang .......................................................................................... B. Rumusan Masalah ..................................................................................... C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 1 1 4 5 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... A. Diabetes Melitus ....................................................................................... B. Diabetes Melitus Tipe-2 ............................................................................ 1. Gejala Klasik Diabetes Melitus ............................................................ 2. Penyebab Diabetes Melitus .................................................................. 3. Patogenesis Diabetes Melitus ............................................................... 4. Patofisiologi Diabetes Melitus .............................................................. C. Nefropati Diabetika ................................................................................... D. Kreatinin ................................................................................................... E. Mikroalbuminuria ..................................................................................... F. Komplikasi Diabetes Melitus .................................................................... G. Kerangka Penelitian .................................................................................. 1. Kerangka Teori .................................................................................. 2. Kerangka Konsep ............................................................................... H. Hipotesis ................................................................................................... 7 7 12 12 13 16 19 20 24 26 29 33 33 35 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... A. Rancangan Penelitian ................................................................................ B. Tempat dan Waktu .................................................................................... C. Populasi dan Sampel ................................................................................. D. Kriteria Penelitian ..................................................................................... E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ........................................ 1. Identifikasi Variabel........................................................................... 2. Definisi Operasional .......................................................................... 37 37 37 37 38 39 39 39 14 F. Prosedur Penelitian ................................................................................... 1. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. 2. Prosedur Penelitian ............................................................................ G. Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. H. Etika Penelitian ......................................................................................... 40 40 40 43 44 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... A. Hasil .......................................................................................................... 1. Analisis Univariat ............................................................................... 2. Analisis Bivariat .................................................................................. B. Pembahasan ............................................................................................... 1. Analisis Univariat ............................................................................... 2. Analisis Bivariat .................................................................................. 45 45 46 47 48 48 51 BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 53 A. Simpulan ................................................................................................... 53 B. Saran ......................................................................................................... 53 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55 LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Interpretasi hasil pemeriksaan glukosa darah ...................................... 11 2. Nilai normal nefropati diabetika ......................................................... 21 3. Identifikasi variabel dan definisi operasional ...................................... 37 4. Analisis univariat responden penderita diabetes melitus tipe-2 di poliklinik penyakit dalam rsud abdul moeloek bandar lampung ......... 46 5. Uji normalitas kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria .............. 47 6. Hubungan antara kreatinin serum dan mikroalbuminuria pada penderita diabetes melitus tipe-2.......................................................................... 47 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Regulasi kadar glukosa darah ...................................................................... 16 2. Patogenesis diabetes melitus tipe-2 ............................................................. 17 3. Mekanisme resistensi insulin ....................................................................... 19 4. Kerangka Teori ............................................................................................ 35 5. Kerangka Konsep ......................................................................................... 35 6. Diagram Alur Penelitian .............................................................................. 43 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik Lampiran 2. Lembar Penjelasan Penelitian Lampiran 3. Informed Consent Lampiran 4. Data Penelitian Lampiran 5. Uji Statistik Univariat Lampiran 6. Uji Statistik Bivariat Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup dan/atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif. Menurut American Diabetes Association, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Keadaan dimana kadar gula darah meningkat atau hiperglikemia dapat menyebabkan DM yang tidak terkontrol dan lama-kelamaan akan menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama pembuluh darah dan persarafan (WHO, 2015). DM yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyakit akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada pasien DM yaitu retinopati dan nefropati diabetik. Pada saat ini DM telah menjadi salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit ginjal kronik. Salah satu komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal 2 adalah nefropati diabetik. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan pada DM. Sekitar 50% gagal ginjal tahap akhir disebabkan nefropati diabetik. Hampir 60% dari penderita hipertensi dan DM di Asia menderita nefropati diabetik (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi global DM tipe-2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Menurut World Health Organization (WHO), Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita DM setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2014, 9% orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas mengalami DM. Pada tahun 2012, DM merupakan penyebab kematian sebanyak 1,5 juta jiwa. Lebih dari 80% kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan sedang dan rendah. Sekitar 90% penderita di seluruh dunia merupakan diabetes melitus tipe-2 dan tidak jarang hingga terjadi berbagai komplikasi (WHO, 2014). Prevalensi DM tipe-2 di Indonesia berkisar antara 1,4%-1,6% (Ndraha, 2014). Angka kejadian DM di provinsi Lampung untuk rawat jalan pada tahun 2009 mencapai 365 orang dan mengalami peningkatan pada tahun 2010 sejumlah 1103 orang (Dinkes Lampung, 2011). Resiko DM dan komplikasinya berhubungan dengan kadar berbagai macam zat dalam serum darah, beberapa di antaranya adalah kreatinin dan kalium (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013; Aaron dan Sanders, 2013). Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal pada penderita DM, 3 karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Pada penderita DM, terutama yang mengalami gangguan ataupun kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin akan meningkat (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013). Bentuk komplikasi lain akibat DM adalah nefropati diabetika yang ditandai dengan adanya kerusakan pada glomerulus, tubulus, jaringan interstisial dan vaskuler. Mikroalbuminuria merupakan tanda kardinal onset penyakit ginjal akibat DM, dan menunjukkan adanya penyakit vaskular progresif yang menyeluruh. Laju ekskresi albumin (albumin excretion rate/AER) urin 24 jam yang normal adalah <15 mg (konsentrasi <20 mg/L) (Rubenstein, 2007). Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria menunjukkan terjadi komplikasi dari DM. Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria penting untuk dikontrol karena menjadi indikator perjalanan penyakit DM tipe-2 (Arora, 2010). Pemeriksaan kadar kreatinin serum dapat dilakukan dengan metode fotometri, hasil yang menunjukkan peningkatan kreatinin serum mengindikasikan penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroalbuminuria dapat dilakukan dengan metode mikroalbuminuria kuantitatif untuk 4 mengetahui kadar albumin dalam urin yang bermanfaat untuk memprediksi perkembangan proteinuria dan diabetik nefropati pada DM. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin meneliti tentang hubungan kadar kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut. 1. Apakah terdapat hubungan antara kadar kreatinin serum dengan rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung? 2. Berapa rerata kadar kreatinin serum pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung? 3. Berapa rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung? 5 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar kreatinin serum dengan rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung 2. Tujuan Khusus Penelitian ini bertujuan untuk: a. Mengetahui rerata kadar kreatinin serum pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung b. Mengetahui rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagi Peneliti Menambah wawasan tentang kadar kreatinin serum pada penderita diabetes melitus tipe-2 dan albumin/kreatinin urine sewaktu hubungannya dengan rasio 6 2. Bagi Masyarakat Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit diabetes melitus dan kaitannya dengan fungsi ginjal sehingga dapat melakukan pencegahan dini 3. Bagi Ilmu Kedokteran Memberikan tambahan informasi tentang kadar kreatinin serum dengan rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada diabetes melitus tipe-2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Melitus Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). DM adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup dan/atau ketika tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif. Keadaan dimana kadar gula darah meningkat atau hiperglikemia dapat menyebabkan DM yang tidak terkontrol dan lama-kelamaan akan menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh, terutama pembuluh darah dan persarafan (WHO, 2015). Prevalensi DM tipe-2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%6% dari jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi DM meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita DM meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa di tahun 2010. Di Indonesia, DM berkisar antara 1,4%-1,6% (Ndraha, 8 2014). Menurut WHO (2014), 9% orang dewasa yang berusia 18 tahun ke atas mengalami DM pada tahun 2014. Pada tahun 2012 DM merupakan penyebab kematian sebanyak 1,5 juta jiwa. Lebih dari 80% kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan sedang dan rendah. Sekitar 90% penderita DM di seluruh dunia merupakan DM tipe-2 dan tidak jarang hingga terjadi berbagai komplikasi. DM dapat diklasifikasikan menjadi DM primer dan sekunder. DM primer adalah DM yang tidak disebabkan oleh penyakit lain sedangkan DM sekunder adalah diabetes yang disebabkan oleh penyakit lain. Diabetes primer dibagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe-2. DM tipe 1 memiliki patogenesis imun dan dikarakteristikan dengan defisiensi insulin yang berat. DM tipe-2 merupakan gabungan dari resistensi insulin dan defisiensi insulin yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1 (Powers, 2008). Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association dalam Powers (2008), yaitu : 1. DM tipe 1 DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan dari sel β pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering kencing terutama malam hari, sering lapar dan sering haus, sebagian besar penderita ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup. 9 2. DM tipe-2 DM ini disebabkan oleh insulin yang tidak dapat bekerja dengan baik. Kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia dan 75% dari penderita DM tipe-2 ini dengan obesitas atau kegemukan serta diketahui DM tipe-2 setelah usia 30 tahun. 3. DM tipe lain a. Defek genetik pada fungsi sel β b. Defek genetik pada kerja insulin c. Penyakit eksorin pankreas d. Endokrinopati e. Induksi obat atau zat kimia f. Infeksi g. Imunologi 4. DM gestasional Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien DM akan mengeluhkan polifagia, polidipsia, poliuria yang disebut dengan gejala klasik serta sering kesemutan, penurunan berat badan, rasa baal dan gatal dikulit. 10 Kriteria diagnostik menurut PERKENI (2011) : 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau 2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L) Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam – 10 jam, atau 3. Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air sebanyak ±250 cc dan langsung diminum dalam waktu 1 menit. * Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA, 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandarisasi dengan baik. Bila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka dapat digolongkan : 1. Toleransi glukosa terganggu (TGT) Glukosa hasil TTGO 140-199 mg/dL 11 2. Glukosa daraah puasa terganggu (GDPT) Glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan glukosa darah Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah Plasma vena sewaktu (mg/dL) Darah kapiler <100 100-199 ≥200 <90 90-199 ≥200 Kadar glukosa darah Plasma vena puasa (mg/dL) Darah kapiler <100 100-125 ≥126 <90 90-99 ≥100 Sumber: PERKENI, 2011 Cara pemeriksaaan TTGO berdasarkan WHO: Pemberian beban 75 g glukosa anhidrat, 2 jam kemudian diperiksa kadar glukosa plasma. Bila ≥200 mg/dL maka didiagnosis sebagai DM. Persiapan pra analitik TTGO : 1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari–hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa 2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan 3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa 4. Diberikan glukosa 75 gr (dewasa) atau 1,75 gr/kgBB (anak – anak) dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit 5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa 6. Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa 7. Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat 12 B. Diabetes Melitus Tipe-2 Pasien DM tipe-2 mempunyai dua defek fisiologis yaitu sekresi insulin abnormal dan resistensi kerja terhadap insulin pada jaringan sasaran (target). Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Pada DM, tiga fase dapat dikenali pada urutan klinis yang biasa : a. Glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin karena kadar insulin meningkat b. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. c. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi insulin menurun menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata (Powers, 2008). 1. Gejala Klasik Diabetes Melitus Gejala klasik DM mempunyai tiga gejala yang disebut trias DM, yaitu poliuria (banyak kencing), polydipsia (banyak minum) dan polifagia (banyak makan). Poliuria merupakan gejala yang paling utama dan hampir dirasakan oleh setiap penderita, banyak kencing ini tidak hanya sering kencing tetapi jumlahnya pun banyak. Polidipsia sebenarnya merupakan reaksi lanjutan karena adanya polyuria sehingga banyak cairan tubuh yang dikeluarkan. Polipagia terkadang merupakan gejala yang tidak menonjol, dasar kejadian ini adalah habisnya 13 cadangan gula di dalam tubuh meskipun kadar gula darah tinggi yang disebabkan gula dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel (Kumar dan Clark, 2012). Taraf maksimal reabsorpsi glukosa pada tubulus renalis ketika terjadi hiperglikemia akan dilampaui dan gula akan dieksresikan pada urin (glikosuria). Volume urin meningkat akibat terjadinya diuresis osmotik sehingga terjadi poliuria. Poliuria menyebabkan kehilangan air selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi dan hiperosmolaritas, bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia). Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar). Kehilangan ini ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa akan mengakibatkan penurunan berat badan padahal terdapat peningkatan selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang normal atau meningkat (Granner, 2001). 2. Penyebab Diabetes Melitus Penyebab DM tipe-2 menurut Kumar dan Clark (2012) a. Keturunan Pada pasien kembar identik dengan diabtes tipe-2, memiliki kemungkinan lebih dari 50% untuk menderita DM. Pada pasien kembar tidak identik atau saudara kemungkinan 25% untuk menderita DM. kandung, terdapat 14 b. Faktor Lingkungan Pada bayi yang mengalami berat badan kurang hingga pada usia 12 bulan dan mengalami intoleransi glukosa cenderung menderita DM ketika dewasa. Hal ini disebabkan oleh nutrisi yang buruk pada bayi menyebabkan fungsi dan perkembangan sel beta mengalami kelainan. Selain itu, berat badan lahir rendah juga merupakan predisposisi dari penyakit jantung dan hipertensi. c. Inflamasi Inflamasi subklinik mengubah karakteristik DM tipe-2 dan obesitas. Pada DM, kadar C-reactive protein (CRP) meningkat dan berhubungan plasminogen dengan activator peningkatan inhibitor-1 fibrinogen (PAI-1) dan sehingga berkontribusi terhadap resiko penyakit kardiovaskular. Kadar pro-inflammatory cytokines TNF-α dan IL-6 juga mengalami peningkatan pada diabetes dan obesitas. d. Kelainan kerja dan sekresi insulin Pada diabetes tipe-2, insulin berikatan dengan sel-sel pada reseptornya namun tidak dapat mentranspotasikan glukosa ke dalam sel. Kelainan sekresi insulin terwujud di awal perjalanan DM tipe-2. 15 Menurut WHO dalam Colledge (2006), faktor – faktor resiko berhubungan dengan terjadinya DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu, : a. Faktor resiko yang tidak dapat diubah (non-modifiable) i. Usia Resistensi insulin lebih cenderung terjadi seiring pertambahan usia. ii. Ras atau latar belakang etnis Resiko DM tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam, penduduk asli Hawaii. Hal ini disebabkan oleh nilai rata -rata tekanan darah yang lebih tinggi, obesitas, dan pengaruh gaya hidup yang kurang sehat. iii. Riwayat penyakit DM dalam keluarga Seseorang dengan ahli keluarga yang menderita DM mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita penyakit yang sama ini dikarenakan gen penyebab DM dapat diwarisi orang tua kepada anaknya b. Faktor resiko yang dapat diubah (modifiable) i. Obesitas ii. Gaya hidup iii. Hipertensi iv. Kadar glukosa darah 16 3. Patogenesis Diabetes Melitus Resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan abnormalitas metabolik menjadi kunci dari perkembangan penyakit DM tipe 2. Pada tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin. Seiring dengan meningkatnya resistensi insulin, sel beta pankreas tidak lagi dapat mempertahankan kondisi hiperinsulinemia.. Akibatnya, terjadi gangguan toleransi glukosa yang ditandai dengan peningkatan glukosa postprandial. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa hati yang terus menerus, akan berlanjut pada diabetes dan disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa (Colledge, 2006; Marieb, 2004). Gambar 1. Regulasi kadar glukosa darah (Marieb, 2004). 17 Gambar 2. Patogenesis DM tipe-2 (Conroy et al, 2010). Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran utama DM tipe-2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan obesitas. Mekanisme pasti mengenai resistensi insulin pada DM tipe 2 masih belum diketahui (Colledge, 2006). Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka merupakan efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme resistensi insulin umumnya terjadi akibat gangguan persinyalan postreceptor (PI-3-kinase) yang mengurangi translokasi glucose transporter (GLUT) 4 ke membran plasma (Powers, 2008). Terdapat tiga hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait obesitas, yaitu: i. Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid) 18 Peningkatan trigliserida interselular dan produk metabolisme asam lemak menurunkan efek insulin yang berlanjut pada resistensi insulin. ii. Adipokin Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin, sedangkan resistin meningkatkan resistensi terhadap insulin. iii. PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor gamma) dan TZD (thiazolidinediones) PPARγ merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan kepekaan insulin sedangkan TZD merupakan zat antioksidan yang mampu berikatan dengan PPARγ sehingga dapat menurunkan resistensi insulin. Gambar 3. Mekanisme resistensi insulin (Porth, 2008). 19 Pada DM tipe-2, sekresi insulin meningkat sebagai respons terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa. Namun, kelamaan sel β pankreas menjadi lelah dan dan hal ini memicu terjadinya kegagalan fungsi sel beta. Pulau polipeptida amiloid atau amylin yang disekresikan oleh sel beta akan membentuk deposit amiloid fibrilar. Deposit ini dapat ditemukan pada pasien yang telah lama menderita DM tipe 2 (Powers, 2008). 4. Patofisiologi Diabetes Melitus Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan yang sensitif insulin menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output bertambah. Seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah, akan terjadi akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP mitokondria. Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam hepatosit (Porth, 2008). Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada penyakit perlemakan hati non-alkoholik dan abnormalitas fungsi hati. Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita DM tipe-2, yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan penurunan HDL (Powers, 2008). 20 Menurut WHO (2015), untuk mencegah DM atau memperlambat gejala DM dapat dilakukan dengan gaya hidup yang sederhana. Berikut adalah pencegahan DM tipe-2 yang dapat dilakukan: 1. Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. 2. Banyak bergerak aktif paling tidak selama 30 menit dengan intensitas aktivitas yang sedang setiap harinya. Aktivitas lebih diperlukan untuk mengontrol berat badan ideal. 3. Mengkonsumsi makanan yang sehat berupa sayuran dan buah-buahan yang dibagi menjadi 3 sampai 5 porsi serta mengurangi konsumsi gula dan lemak. 4. Hindari konsumsi rokok karena dapat meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular. C. Nefropati Diabetika Nefropati diabetika ditandai dengan adanya mikroalbuminuria (30mg/hari atau 20μg/menit) tanpa adanya gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan tekanan darah sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus dan akhirnya gagal ginjal tahap akhir (Hendromartono, 2009). Manifestasi patologis nefropati diabetika adalah glomerulosklerosis dengan penebalan membran basalis di glomerulus dan ekspansi mesangial serta peningkatan penimbunan MES. Perubahan dini yang terjadi pada ginjal diabetik adalah hiperfiltrasi di glomerulus, hipertrofi glomerulus, peningkatan eksresi albumin urin (EAU), peningkatan 21 ketebalan membran basal, ekspansi mesangial dengan penimbunan protein – protein MES seperti kolagen, fibronektin dan laminin. Nefropati diabetik lanjut ditandai dengan proteinuria, penurunan fungsi ginjal, penurunan bersihan kreatinin, glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial (Hendromartono, 2009). Nefropati diabetika dikategorikan menjadi mikroalbuminuria dan makroalbuminuria berdasarkan jumlah eksresi albumin urin. Nilai normal yang digunakan berdasarkan American Diabetes Association (waktu tertentu, 24 jam dan urin sewaktu) untuk diagnosis mikro dan makroalbuminuria serta gejala klinis utama untuk tiap – tiap tahap dijelaskan pada tabel 2. Tabel 2. Nilai normal nefropati diabetika Tahap Mikroalbuminuria Albuminuria cut off values 20-199 μg/menit 30-299 mg/24 jam 30-299 mg/g (sampel urin sewaktu) Makroalbuminuria >200 μg/menit >300 mg/24 jam >300 mg/g (sampel sewaktu) Sumber: Hendromartono, 2009 Karakteristik klinis Penurunan dan peningkatan tekanan darah nokturnal yang abnormal Peningkatan trigliserida, kolesterol total dan LDL serta lemak jenuh Peningkatan komponen sindrom metabolik Disfungsi endotel Hubungan dengan retinopati diabetik, amputasi dan kardiovaskular Peningkatan mortalitas kardiovaskular GFR stabil Hipertensi Peningkatan trigliserida, urin kolesterol total dan LDL Iskemia miokardial asimtomatik Penurunan GFR progresif 22 Pengenalan awal terhadap adanya perubahan pada ginjal meningkatkan kesempatan untuk mencegah terjadinya progresi dan nefropati insipien menjadi overt. Suatu tes untuk mengetahui adanya mikroalbuminuria harus dilakukan pada saat diagnosis pasien DM tipe-2 (Hendromartono, 2009). Mogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu : a. Tahap 1 Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerolus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat. b. Tahap 2 Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerolus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan mesangium fraksional. c. Tahap 3 Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus. 23 d. Tahap 4 Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah. e. Tahap 5 Timbulnya gagal ginjal terminal (Hendromartono, 2009) Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Sahid (2012), semakin lama DM maka semakin tinggi risiko terjadinya gagal ginjal terminal dengan komplikasi gagal ginjal terminal ini sering kali didapatkan pada penderita DM dalam kurun waktu 1-5 tahun yaitu sebesar 52,94%. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Jovita (2010) bahwa seseorang yang menderita DM dapat menimbulkan komplikasi salah satunya nefropatik diabetik dalam kurun waktu 11,90 tahun serta penelitian oleh Triyanti (2008) bahwa komplikasi gagal ginjal terjadi pada lama DM> 5 tahun sebanyak 26,6% dan <5 tahun. Pratama (2013) menemukan bahwa pada responden yang mengalami nefropati diabetika, onset DM yang paling sering menimbulkan komplikasi nefropati diabetika adalah 5 – 10 tahun. Menurut PERKENI, mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita penyakit DM sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih dari 300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun. 24 D. Kreatinin Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Nilai normal kreatinin dalam serum adalah 0,7-1,3 mg/dL (Wians, 2013). Pada penderita DM, terutama yang mengalami gangguan ataupun kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin akan meningkat (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013). Seseorang yang tingkat kreatininnya hanya sedikit di atas rentang normal mungkin akan tidak merasa sakit, tetapi elevasi adalah tanda bahwa ginjal tidak bekerja pada kekuatan penuh. Satu rumus untuk mengestimasi fungsi ginjal menyamakan tingkat kreatinin 1,7 mg/dL untuk kebanyakan pria dan 1,4 mg/dL untuk wanita paling sampai 50% dari fungsi ginjal normal. Tetapi karena nilai kreatinin sangat variabel dan dapat dipengaruhi oleh diet, perhitungan GFR lebih akurat untuk menentukan apakah fungsi ginjal seseorang telah berkurang (NIDDK, 2009). Apabila fungsi glomerulus semula normal atau hampir normal, peningkatan kreatinin 25 plasma sebesar 0,5 mg/dL mencerminkan terjadinya perubahan laju filtrasi glomerulus sampai 40% (Sacher, 2004). Kreatinin disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot rangka yang berikatan dalam bentuk kreatin fosfat, suatu senyawa penyimpan energi. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (CK). Seiring dengan pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara ireversibel menjadi kreatinin yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan dalam urin. Kondisi yang merusak fungsi ginjal mungkin akan menaikkan tingkat kreatinin dalam darah. Hal ini penting untuk mengenali apakah proses menuju ke disfungsi ginjal (gagal ginjal) adalah lama atau baru (Siamak, 2009). Kreatinin merupakan produk penguraian kreatin. Kreatin disintesis di hati dan terdapat pada hampir semua otot rangka sehingga individu dengan massa otot besar dapat memiliki nilai yang lebih tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma kreatinin, antara lain : a. diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin b. menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat (simetidin, sulfa). Kreatinin dipengaruhi oleh perubahan massa otot, diet kaya daging, aktifitas fisik yang berlebihan, obat - obatan seperti sefalosporin, aldacton, aspirin dan co-trimexazole, serta usia dan jenis kelamin dimana pada orang 26 tua kadar kreatinin lebih tinggi daripada orang muda dan pada laki-laki kadar kreatinin lebih tinggi daripada wanita. E. Mikroalbuminuria Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat glomerulus). Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik (Hendromartono, 2009). Sedangkan menurut Bawazier (2006), pada keadaan normal, albumin urin tidak melebihi 30 mg/hari. Bila albumin dalam urin antara 30-300 mg/hari dan tidak terdeteksi dengan dipstik urin biasa disebut mikroalbuminuria. Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitif terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen, dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang 27 tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus (Djokomuljanto, 1999). Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe-1 adalah 12.6% berdasarkan European Diabetes (EURODIAB) Prospective Complications Study Group selama lebih dari 7,3 tahun dan hampir 33% pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada pasien dengan DM tipe-2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan prevalensi selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS). Proteinuria terjadi pada 15-40% dari pasien dengan DM tipe-1, dengan puncak insidens sekitar 15-20 tahun dari pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe-2, prevalensi sangat berubahubah, berkisar antara 5 sampai 20%. Menurut Hendromartono (2009), mikroalbuminuria jarang terjadi dalam waktu singkat pada DM tipe-1, oleh karena itu skrining pada penderita DM tipe-1 harus dimulai setelah 5 tahun diagnosis. Akibat adanya kesulitan dalam menentukan kapan onset DM tipe-2, skrining harus dimulai saat tegaknya diagnosis. Setelah skrining awal dan tidak adanya tanda – tanda mikroalbuminuria sebelumnya, tes mikroalbuminuria harus dilakukan setiap tahun. Skrining albuminuria dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu pengukuran rasio albumin – kreatinin pada sampel urin sewaktu, sampel urin 24 jam dengan kreatinin dan sampel berdasarkan waktu (4 jam atau overnight). Metode pertama merupakan metode yang paling mudah dilakukan dan bersifat informatif sehingga lebih sering diterapkan. Mikroalbuminuria dianggap positif bila ditemukan eksresi albumin urin 28 senilai ≥30mg/24 jam (sama dengan 20 μg/menit pada sampel berdasarkan waktu atau 30 mg/g kreatinin pada sampel sewaktu). Albumin merupakan protein bermuatan negatif dengan berat molekul 67000 dalton, hampir seluruhnya dihambat oleh dinding sel glomerulus. Albumin mengalami filtrasi di membran glomerulus melalui seleksi perbedaan berat molekul dan muatan listrik. Mikroalbuminuria terjadi karena molekul albumin dapat melewati membran glomerulus akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus, atau keduanya. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM tipe-2 serta peningkatan tekanan darah merupakan faktor resiko utama terjadinya mikroalbuminuria karena ketiganya dapat meningkatkan tekanan intraglomerulus. Hiperglikemia dapat merubah selektivitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Jika filtrasi albumin meningkat pada glomerulus melebihi kemampuan reabsorbsi tubulus maka akan terjadi peningkatan ekskresi albumin dalam urin (Lane, 2004; Immanuel, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan penderita DM tipe-2 yang baru dikenal umumnya telah menderita DM selama lebih kurang 4-7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Pada saat diagnosis ditegakkan, 25% mengalami retinopati, 9% neuropati dan 8% nefropati (Voley, 2006). Insidensi komplikasi vaskular meningkat 2-5 kali lipat pada penderita DM tipe-2 dengan mikroalbuminuria (Belchetz dan Hammond, 2003). Peningkatan permeabilitas di glomerulus akan menyebabkan albumin masuk ke dalam urin. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi proses di 29 glomerulus yang menunjukkan adanya disfungsi endotel yang luas di pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas yang terjadi (Immanuel, 2006; Bhowmick, 2007). Ada beberapa cara pemeriksaan mikroalbuminuria yaitu : 1. Pengukuran albumin urin 24 jam : mikroalbuminuria antara 30-300 mg/hari 2. Pengukuran albumin pada pemeriksaan urin sewaktu : mikroalbuminuria 20-200 µg/menit. 3. Pengukuran rasio albumin - kreatinin urin pada pengumpulan urin sewaktu yaitu antara 30-300 mg/g kreatinin (Immanuel, 2006) F. Komplikasi Diabetes Melitus Bagaimana DM dapat menimbulkan banyak komplikasi dapat dijelaskan oleh teori Advanced Glycation End products (AGE). AGE merupakan produk glikasi non-enzimatik dan oksidasi atas protein dan lipid. AGE dapat merubah struktur, mekanika, dan fungsional jaringan yang terkena sehingga terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah yang menimbulkan banyak komplikasi. Kadar AGE di jaringan berhubungan dengan kecepatan perkembangan atherosklerosis disertai akumulasi protein plasma, lipoprotein, dan lipid di dinding pembuluh darah (Sufriyana, 2010). Pada penderita DM tipe-2, kadar glukosa darah akan berada di level yang tinggi untuk waktu yang lama. Saat itulah terjadi pembentuka AGE dari glukosa dengan residu asam amino pada jaringan-jaringan tubuh. 30 Contoh AGE yang sudah dikenali antara lain carboksimetillisin (CML), carboksietillisin (CEL), dan pentosidine. AGE yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor AGE (RAGE) yang terdapat pada tubuh, antara lain laktoferrin, 80K-H phospoprotein, dan galectin-3. Pertemuan AGE dan RAGE akan memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan memacu proses inflamasi. Ikatan AGE pada molekul kolagen akan menyebabkan kolagen menjadi lebih kaku. Hal ini lah yang menyebabkan penurunan elastisitas dinding pembuluh darah sehingga berkembang menjadi gangguan kardiovaskular. Dalam jumlah kecil, AGE akan dieliminasi oleh ginjal, akan tetapi pada DM tipe-2, jumlah AGE dalam plasma terlalu tinggi sehingga kerja ginjal akan menjadi sangat berat di samping juga karena glukosa dalam darah itu sendiri. Lama kelamaan AGE akan terakumulasi pada bagian tubulus proximal yang dapat berujung pada gagal ginjal (Sufriyana, 2010). Komplikasi DM dapat dibagi menjadi komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang (Price, 2005). 1. Komplikasi metabolik akut Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe adalah ketoasidosis diabetik (KAD). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetosal, hidroksibutirat, dan aseton). 31 Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal (Price, 2005). Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita DM tipe-2. Hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan KAD adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Price, 2005). Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia, terutama komplikasi terapi insuin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal, yang mengakibatkan terjadinya hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat 32 kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadangkadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin (Price, 2005). 2. Komplikasi kronik Komplikasi jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan pembuluh darah besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerolus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, 33 maka hiperglikemia pembentukan sel-sel menyebabkan membran dasar. bertambahnya Makroangiopati kecepatan diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangrene pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, 2005). G. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Teori DM mempunyai tiga gejala klasik yang disebut trias DM, yaitu poliuria, polidipsia dan polifagia (Kumar dan Clark, 2012). Pada penderita DM terjadi kerusakan ginjal yang dimulai dengan adanya mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerolus dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Mikroalbuminuria terjadi karena molekul albumin dapat melewati membran glomerulus akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler 34 glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus, atau keduanya. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM tipe-2 serta merupakan faktor resiko utama terjadinya mikroalbuminuria karena dapat meningkatkan tekanan intraglomerulus. Hiperglikemia dapat merubah selektivitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Jika filtrasi albumin meningkat pada glomerulus melebihi kemampuan reabsorbsi tubulus maka akan terjadi peningkatan ekskresi albumin dalam urin (Lane, 2004; Immanuel, 2006). Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Pada penderita DM, terutama yang mengalami gangguan ataupun kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin akan meningkat (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013). 35 Diabetes Melitus Diabetes melitus tipe 1 Diabetes melitus tipe-2 Diabetes melitus tipe lain Diabetes melitus gestasional Trias klasik: - Poliuria - Polidipsia - Polifagia Komplikasi Akut - KAD - HHNK - Hipoglikemia Retinopati Diabetik Neuropati Diabetik Komplikasi Kronik - Mikroangiopati - Makroangiopati Nefropati Diabetik ↑ Ureum Mikroalbuminuria ↑ Kreatinin Proteinuria Gambar 4. Kerangka teori 2. Kerangka Konsep Variabel Dependen Diabetes melitus tipe-2 Mikroangiopati Nefropati Diabetik Variabel Independen Mikroalbuminuria Gambar 5. Kerangka konsep Kreatinin Serum 36 H. Hipotesis Berdasarkan paparan di atas, peneliti membuat hipotesis sebagai berikut : H0 : Tidak terdapat hubungan antara kadar kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2 H1 : Terdapat hubungan antara kadar mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2 kreatinin serum dengan BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode cross sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara variabel dependen dan independen yang diteliti, serta pengumpulan data dilakukan sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). B. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Abdoel Moeloek dan Laboratorium Prodia yang berada di Bandar Lampung serta di ruang rekam medik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015. C. Populasi dan Sampel Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik 38 kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe-2 yang berobat ke poliklinik penyakit dalam RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung pada bulan November tahun 2015. Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel penelitian adalah penderita DM tipe-2 yang menjalani kontrol rutin, memenuhi kriteria inklusi yang diperoleh dari anamnesis dan rekam medik, serta bersedia ikut penelitian yang dinyatakan secara tertulis dalam informed consent. Tehnik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling dengan jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 35 orang. D. Kriteria Penelitian 1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Pasien DM tipe-2 yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Abdul Moeloek b. Pasien berumur 25-50 tahun c. Pasien yang didiagnosis DM tipe-2 kurang dari 5 tahun 2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Pasien DM selain tipe-2 b. Penyakit ginjal selain nefropati diabetika yang diperoleh dari rekam medik, seperti penyakit gagal ginjal 39 E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional 1. Identifikasi Variabel a. Variabel independen adalah kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria b. Variabel dependen adalah DM tipe-2 2. Definisi Operasional Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas yaitu sebagai berikut. Tabel 3. Identifikasi variabel dan definisi operasional Variabel Kadar kreatinin serum Definisi Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir metabolisme yang dilepaskan dari otot dan diekskresi dalam urin (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Rasio Ekskresi albumin albumin per berbanding kadar kreatinin dalam urine kreatinin sewaktu (Immanuel, urine 2006). sewaktu Cara Ukur Metode Jaffe Metode Immuno turbidimetric Hasil Ukur mg/dL Skala Numerik µg/menit Numerik 40 F. Prosedur Penelitian 1. Alat dan Bahan Penelitian Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini, penulis menggunakan alat dan bahan, sebagai berikut. a. Alat Penelitian 1) Lembar informed consent 2) Rekam medik 3) Penampung urine b. Bahan Penelitian 1) Sampel urine pasien yang pengambilannya menggunakan metode urine sewaktu 2. Prosedur Penelitian a. Pada tahap persiapan, peneliti menyusun proposal penelitian lalu setelah disetujui peneliti mengurus perizinan penelitian baik ke instansi pendidikan maupun ke lokasi penelitian yaitu Rumah Sakit Abdul Moeloek. Setelah mendapatkan surat izin penelitian, peneliti melakukan koordinasi dan mengajukan surat izin ke bagian rekam medik dan poliklinik Rumah Sakit Abdul Moeloek untuk melakukan penelitian. b. Peneliti mencari pasien sesuai kriteria sampel di poliklinik penyakit dalam Rumah Sakit Abdul Moelek sebagai responden, lalu peneliti menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian kepada responden. 41 c. Sebelum dilakukan perlakuan, responden diminta untuk membaca dan menandatangani lembar informed consent. d. Peneliti mengambil data identitas pasien lalu mengumpulkan data kreatinin dan sampel urine. e. Peneliti melakukan pengambilan data kreatinin serum dari rekam medik pasien. f. Peneliti mengumpulkan sampel urine pasien ke dalam penampung urine. g. Peneliti mengirimkan sampel urine untuk dilakukan pemeriksaan mikroalbuminuria kuantitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan metode immunoturbidimetric assay dengan prinsip kerjanya adalah albumin dalam urin bereaksi dengan antibodi spesifik yang dengan adanya polietilen glikol, maka akan cepat terbentuk presipitat komplek imun timbul kekeruhan kekeruhan diukur secara fotometris hasilnya sebanding dengan kadar albumin dalam urin. Prinsip : Immunoturbidinimetri (Roche, 2003) Albumin manusia akan membentuk presipitat dengan antiserum spesifik yang diperiksa secara turbidimetrik pada λ 340nm Persiapan spesimen: i. Spesimen berupa urin sewaktu yang segar 42 ii. Urin disentrifus pada 1500 rpm selama 5 menit, diambil supernatannya dan disimpan pada suhu 40C dan diperiksa paling lambat dalam 6 hari iii. Sebelum dianalisis urin dibiarkan mencair pada suhu kamar Reagen: i. Albumin turbidimetrik (ALB-T) terdiri dari: R1 : anti-albumin T antiserum (kelinci) spesifik R2 : reagen untuk antigen excess check ii. Creatinine plus ver.2 (CREP2) terdiri dari: R1 : buffer, enzim dan HTBI R2 : SR buffer, enzim dan 4-aminophenazone Alat : alat analisis kimia otomatis Integra 400 dari Roche Analitik: i. Urin sebanyak 0,5 ml dimasukkan kedalam kuvet ii. Kuvet dimasukkan dalam alat analisis kimia otomatis iii. Kadar albumin urin dan kreatinin urin diperiksa iv. Rasio albumin/kreatinin urin dihitung h. Setelah data hasil pengukuran diperoleh, peneliti melakukan input data ke dalam program statistik dan melakukan analisis data baik univariat maupun bivariat. 43 Penyusunan proposal penelitian, perizinan, koordinasi Tahap Persiapan Pengisian lembar informed consent Tahap Pelaksanaan Pengambilan data rekam medik dan pengambilan sampel urine untuk pemeriksaan mikroalbuminuria Tahap Pengolahan Data Input data dan analisis data Gambar 6. Diagram alur penelitian. G. Pengolahan dan Analisis Data 1. Analisa Univariat Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat. Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan perhitungan statistik sederhana yaitu nilai rata – rata, nilai minimum dan maksimum, serta standar deviasi. 2. Analisa Bivariat Analisis bivariat dapat dilakukan dengan analisis korelatif yaitu uji korelasi Pearson dengan syarat distribusi data numerik normal, dengan alternatif uji korelasi Spearman. Analisis korelatif untuk mengetahui korelasi (Dahlan, 2011) antara masing-masing variabel bebas dan variabel terikat. Kekuatan korelasi dilihat dari nilai koefisien korelasi (r), dikatakan sangat lemah apabila r=0,0-<0,2, lemah apabila r=0,2-<0,4, sedang apabila r=0,4-<0,6, kuat apabila r=0,645-<0,8 dan sangat kuat 44 apabila r=0,8-1. Korelasi dikatakan bermakna apabila nilai p<0,05. Korelasi dikatakan searah apabila arah korelasi + (positif) dan berlawanan arah apabila arah korelasi – (negatif). H. Etika Penelitian Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat 2699/UN26/8/DT/2015 terlampir. BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tidak ada hubungan antara kadar kreatinin serum dengan rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita DM tipe-2 2. Rerata kadar kreatinin serum pada penderita DM tipe-2 dalam penelitian ini adalah 2,08 ± 1,72 mg/dL 3. Rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita DM tipe2 dalam penelitian ini adalah 66,88 ± 109,90 μg/mg 5.2 Saran 1. Bagi Rumah Sakit, sebaiknya memberikan anjuran pemeriksaan kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2 sebagai skrining untuk mencegah komplikasi 2. Bagi pasien DM tipe-2, sebaiknya kontrol secara teratur ke poliklinik penyakit dalam dan mematuhi terapi yang disarankan 54 3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara lama DM tipe-2 baik yang terkontrol maupun tidak terkontrol terhadap kreatinin serum maupun mikroalbuminuria DAFTAR PUSTAKA Aaron KJ, Sanders PW. (2013). Role of dietary salt and potassium intake in cardiovascular health and disease: a review of the evidence. Mayo Clin Proc, 88(9): 987-95. Alfarisi S, Basuki W, Susantiningsih T. (2013). Perbedaan kadar kreatinin serum pasien diabetes melitus tipe-2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol di RSUD dr. H. Abdul Moeloek bandar lampung tahun 2012. Majority, 2(5): 129-36. Arora S. 2010. Renal function in diabetic nephropathy. World J of Diabetes, 1(2):48-56. Bawazier LA. 2009. Proteinuria dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Penerbit IPD FK UI, hal: 956. Belchetz PE, Hammond P. 2003. Diabetic nephropathy dalam Mosby’s Colour Atlas and Text of Diabetes and Endocrinology. Philadelphia: Mosby. Bhowmick K, Kutty AVM, Shetty HV. 2007. Glycemic control modifies the association between microalbuminuria and c-reactive protein in type 2 diabetes mellitus. Indian J Clin Biochem, 22(2): 53-9. Colledge NR, Walker BR, Ralston SH. 2006. Davidson’s Principles and Practise of Medicine 20th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone, Hal: 805-846. Conroy ML et al. 2010. Atlas of Pathophysilogy 3rdEdition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Dinas Kesehatan (Dinkes) Lampung. 2011. 56 Djokomuljanto R. 1999. Insulin Resistance and Other Factors in the Patogenesis of Diabetic Nephropathy. Simposium Nefropati Diabetik. Konggres Pernefri. Foster DW. 2000. Diabetes Melitus dalam Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC, hal:2196. Gotera W, Budiyasa DGA. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J Peny Dalam. 11(2): 122-34. Granner DK. 2001. Hormon pankreas dan traktus gastrointestinal dalam Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, hal:581-97. Gross JL, et al. 2005. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment: Tersedia dari http://www.medscape.com (Diakses pada 31 Agustus 2015). Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC. Hendromartono. 2009. Nefropati diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed V. Jakarta: FKUI. hal: 2386. Immanuel S. 2006. Pemeriksaan Laboratorium Penyulit Diabetes Melitus. Jakarta: Bagian Patologi Klinik FKUI. Kumar P, Clark ML. 2012. Kumar & Clark's Clinical Medicine. Edisi 8. St. Louis: MOSBY Elsevier. Lane JT. 2004. Microalbuminuria as a marker of cardiovascular and renal risk in type 2 diabetes mellitus: a temporal prospective. Am J Physiol Renal Physiol 286(3): F442-50. Lingnawati. 2007. Hubungan kadar kreatinin serum dengan derajat proteinuria pada penderita diabetes melitus tipe-2. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Marieb EN, Hoehn K. 2004. Human Anatomy & Physiology. San Fransisc: Benjamin Cummings. NIDDK. 2014. The kidneys and how they work. Tersedia http://kidney.niddk.nih.gov (Diakses pada 12 agustus 2015). dalam Ndraha S. 2014. Diabetes melitus tipe-2 dan tatalaksana terkini. Medicinus, 27(2): 9-16. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 57 Pavkov ME, et al. 2013. Comparison of serum cystatin c, serum creatinine, measured gfr, and estimated gfr to assess the risk of kidney failure in american indians with diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis, 62(1): 3341. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di Indonesia 2011. Jakarta: PERKENI Press. Porth CM, Martin G. 2008. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States 8th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Powers AC. 2008. Diabetes Mellitus in Fauci et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies, Hal:2152-2179. Price SA, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Reinehr T. 2013. Type 2 diabetes melitus in children and adolescents. World J Diabetes, 4(6): 270-281. Rubenstein D, dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta: Erlangga. Sacher RA. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC. Sahid QAU. 2012. Hubungan lama diabetes melitus dengan terjadinya gagal ginjal terminal di rumah sakit dr. moewardi surakarta. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Schrier RW. 2005. Manual of Nephrology. Edisi 6. Philadelphia: LWW. Siamak N. 2009. Creatinin blood test. Tersedia dalam http://medicinet.com (Diakses tanggal 12 agustus 2015). Sufriyana H. 2010. Peranan advanced glycation end products (AGEs) dalam komplikasi diabetes melitus. Indonesian Med Stud J, 2:15-21. The ACCORD Study Group. 2010. Effects of intensive blood-pressure control in type 2 diabetes melitus. N Engl J Med, 362(17): 1575–1585. Triyanti K, dkk. 2006. Renal Function Decrement Type 2 Diabetes Mellitus Patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. The Indonesia Journal of Medicine. 58 Wians FH. 2015. Blood Tests: Normal Values. Tersedia dari: http://www.merckmanuals.com/professional/appendixes/normal_laborator y_values/blood_tests_normal_values.html (Diakses pada 12 Agustus 2015). World Health Organization (WHO). 2014. Global Status Noncommunicable Diseases 2014. Geneva: WHO Press. Report on World Health Organization (WHO). 2015. Diabetes fact sheets. Tersedia dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en (Diakses pada 19 Agustus 2015).