PEMBELAJARAN BAHASA DAN PENDIDIKAN KARAKTER : TRANSFORMASI PENGETAHUAN KEARIFAN LOKAL MELALUI FOLKTALE Oleh : Dr. Ery Iswary, M.Hum (Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Hasanuddin, Makassar-Indonesia) ABSTRAK Kajian ini akan mendeskripsikan bagaimana kegunaan metode pembelajaran bahasa melalui folktale dan menganalisis ekspresi-ekspresi verbal yang mengindikasikan konsep pendidikan karakter untuk dapat diterapkan di kalangan anak didik. Sumber data penelitian ini adalah folktale yang telah dipublikasi dalam masyarakat Makassar. Metode penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif dan pengumpulan data menerapkan teknik observasi dan interview. Hasil penyelidikan mengindikasikan bahwa metode pembelajaran bahasa melalui folkltale diharapkan para pelajar dapat menemukan dan memahami isi/tema cerita, kosakata, tata bahasa, dan budaya secara simultan yang terintegrasi dalam folktale. Untuk folkltale berjudul “Orang Kaya dengan Tujuh Anaknya” ditemukan beberapa pesan yang bernilai edukatif untuk pembentukan karakter positif, yaitu perlunya menghormati dan merawat orang tua , sifat sabar, memegang komitmen, jangan memandang orang dari segi materi, keteladanan, jangan pamrih untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Untuk folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” ditemukan tiga pesan berupa ungkapan yang isinya merupakan pesan moral untuk mendidik anak yang diamanatkan seorang bapak kepada dua orang anaknya yaitu (1) janganlah engkau sampai kena sinar matahari jika pergi bekerja, yang bermakna jika berangkat kerja berangkatlah sebelum matahari terbit, sehingga harus rajin bangun subuh; (2) belilah ikan seribu ekor tiap hari, yang maknanya belilah ikan yang kecil tapi bergizi (ikan teri) sebagai prinsip hidup jimat; (3) janganlah berani menagih sesamamu manusia mengandung makna janganlah memberi piutang. Pendidikan karakter yang terindikasi dalam folktale juga dapat diklasifikasi atas tiga jenis yaitu pengetahuan moral (moral knowing), moral feeling yaitu energi dalam diri untuk bertindak sesuai prinsip moral, seperti berempati, mencintai kebenaran, mampu mengontrol diri, rendah hati; serta aksi moral (moral action). Pemahaman akan prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam folktale diharapkan dapat membangun karakter positif yang kuat agar dapat tetap berkompetisi dengan jati diri yang kuat di era globalisasi. Diajukan untuk dapat dipresentasi pada International Language and Education Conference , 27-28 November 2013, Nilai Negeri Sembilan. 1 PENGANTAR Pendidikan karakter di Indonesia saat ini memperoleh atensi yang sangat besar untuk melahirkan generasi muda yang berkarakter dan mempunyai jati diri. Hal ini disebabkan karena degradasi moral dan etika yang semakin memperlihatkan fenomena yang mengkhawatirkan sehingga pihak pemerintah (goverment) perlu mencari solusi untuk tindakan preventif. Di Indonesia, pendidikan karakter diinstruksikan untuk dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran agar setiap level pendidikan mengimplementasi dalam proses pembelajaran di kelas. Salah satu subjek pembelajaran untuk mengadopsi dan mengakomodasi pendidikan karakter adalah pembelajaran bahasa melalui folktale. Tentu saja, nilai-nilai pendidikan karakter yang tercakup dalam folkltale dari berbagai etnik masih bersifat abstrak sehingga perlu ditransformasi strategi pembelajarannya untuk memunculkan konsep karakter yang terkandung di dalam cerita. Operasionalisasi proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi pelajar. Guru bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif, penilaian hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada pelajar dan juga membimbing pelajar secara maksimal (Depdiknas, 2005). Pengalaman berdasarkan pengajaran dan pembelajaran melalui folktale Curtain dan Pesola berpendapat bahwa “The use of literature designed for children in the target culture allows learners of the target language to share Cultural experiences and attitudes in a very direct way…”. Folktale merupakan salah satu sumber dan materi pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan jika diorganisir dengan baik. Materi cerita yang bervariasi memungkinkan pendidik untuk selektif memilih cerita sesuai dengan kebutuhan pelajar. Melalui cerita anak didik tidak hanya belajar kata demi kata melalui rangkaian kalimat serta memahami makna semantis dari setiap leksikal, tetapi mereka juga dapat belajar budaya dan nilai-nilai karakter secara langsung melalui ekspresi leksikal. Target yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa melalui folkltale adalah penguasaan bahasa dan misi moral untuk pembentukan karakter pelajar. Pada umumnya folktale diciptakan dengan misi atau tujuan tertentu yang merefleksikan kondisi masyarakat di zamannya, meskipun penulisnya bersifat anonim. Kekuatan semantis leksikal melalui diksi yang akurat untuk merepresentasikan pesan moral yang terekspresi melalui rangkaian kalimat membuat pembaca (pembelajar bahasa) tidak jenuh untuk menyimaknya hingga akhir cerita. Keruntutan rangkaian kalimat dan cerita yang menarik membuat pembaca ingin menuntaskan cerita secepat mungkin untuk memahaminya lebih jauh. Kalimat dan kata-kata yang mengandung 2 nilai pendidikan karakter dalam cerita hendaklah mendapat perhatian dan penjelasan yang lebih komprehensif dari si pendidik. Pembelajaran bahasa dengan penggunaan media folktale dapat dilakukan untuk memperoleh indikasi perbedaan keperluan (needs) di antara para pelajar dengan membedakan aktivitas-aktivitas yang diberikan. Atensi dan orientasi pelajar yang heterogen dapat terakomodasi dengan adanya substansi cerita yang berbeda sesuai minat pelajar. Selain itu, media folktale tidak mengajarkan bahasa dan konteks secara terpisah tetapi mengajarkan leksikal dan tata bahasa sesuai konteks cerita sehingga pelajar lebih mudah memahaminya. Penyatuan antara bahasa, konteks situasi dan konteks budaya secara simultan dan dikemas dalam cerita lebih berdaya guna bagi perluasan pengetahuan pelajar untuk menyerap isi cerita. Hasil pembelajaran berupa kemudahan dan kesulitan yang dialami pelajar selama proses pembelajaran juga dapat menjadi input yang berharga bagi pendidik (guru) untuk penajaman kurikulum selanjutnya. Sejalan dengan pendapat Widuroyekti (2012:35) bahwa cerita rakyat (folktale) memberikan kesan tentang dunia secara holistik karena menawarkan cerita tanpa mengenal batas geografis. Kejadian dalam cerita juga tidak mengenal batasan ruang dan waktu secara tegas, serta rincian fisik ditampilkan seperlunya sesuai peristiwaperistiwa dalam cerita. Pendapat tersebut berkorelasi dengan pernyataan Iswary (2011:3) bahwa ada dasarnya anak-anak usia sekolah memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar tentang segala sesuatu yang terjadi dalam berbagai lingkungan, sehingga mereka akan sangat senang dan merasa tertantang untuk menjelajahi cerita demi cerita selalu, serta akan gembira bila dilibatkan secara mental dan fisik dalam mempelajari sesuatu dengan menikmati sumber belajar yang kadang-kadang menegangkan atau menimbulkan tanda tanya besar. Dengan bahan kajian dan cara belajar mengajar yang menantang dan menyenangkan maka aspek kejiwaan mereka yang berada dalam proses pertumbuhan akan dapat ditumbuhkembangkan secara maksimal, termasuk menstimulasi pembentukan karakter secara kontinu melalui pembelajaran karakterkarakter positif para tokoh yang terkandung dalam cerita. Pengkontrasan karakter positif (baik) dan negatif (buruk) juga perlu diperkenalkan, dan efek negatif yang sering dialami seseorang jika berperilaku buruk. Suatu saat Confucius pernah mendapatkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan seandainya diberi kesempatan memimpin negara. Jawaban Confusius singkat yaitu “Membenahi bahasa”, Bahasa menurut filsuf Timur ini bukan sekadar cermin keteraturan berpikir, tetapi bahkan akan menentukan keteraturan dan bahkan ketidakteraturan sosial (Rahardjo,2001:5).Demikian pentingnya peranan bahasa dalam kehidupan manusia sehingga membenahi bahasa dianggap sebagai komponen penting untuk membenahi negara. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat bahwa jika sebuah negara yang memiliki kestabilan pada aspek bahasa maka dapat mengindikasikan kestabilan politik dalam negara tersebut. Berdasarkan sejumlah pendapat dan konsep di atas, maka dapat dinyatakan bahwa untuk mengembangkan dan membenahi pendidikan karakter anak bangsa dapat diedukasi melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. 3 Pembelajaran bahasa dalam kertas kerja ini berorientasi pada pembelajaran bahasa secara formal di kalangan pelajar. Salah satu materi pembelajaran yang dimaksud sebagai jalur transmisi adalah dengan folktale. Oleh karena konsep pendidikan karakter yang berisi kearifan lokal dalam folktale berbahasa Makassar tidak sepenuhnya dapat dipahami secara mudah, maka perlu ditransformasikan agar dapat dikombinasikan dan berkolaborasi dengan kondisi perkembangan zaman yang tampak tidak mengenal batas geografis lagi. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki kekayaan sosial kultural tersendiri yang mengatur pola etika dan pola berperilaku sehubungan dengan adat-istiadat yang dijadikan acuan bagi masyarakat yang bersangkutan. Pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan masyakarakatnya. RUMUSAN MASALAH Permasalahan pendidikan karakter untuk membentuk watak bangsa dapat dilakukan dari berbagai disiplin ilmu, khususnya melalui berbagai strategi pembelajaran yang terintegrasi dalam kurikulum. Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul, maka ada 2 formulasi rumusan masalah yaitu : 1. Bagaimana kegunaan metode pembelajaran bahasa melalui folktale ? 2. Bagaimana bentuk ekspresi-ekspresi verbal yang mengindikasikan konsep pendidikan karakter ? TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kegunaan metode pembelajaran bahasa melalui folktale. 2. Untuk menganalisis ekspresi-ekspresi verbal yang mengindikasikan konsep pendidikan karakter. METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksploratif untuk memperoleh konsep karakter dalam cerita dan mendeskripsikan fenomena yang ditemukan, serta akan dipaparkan secara kualitatif. Sumber data untuk kertas kerja ini berasal dari buku kumpulan folktale berbahasa Makassar dan memilih dua folktale yang dianggap representatif serta dapat menjadi rujukan konsep pendidikan karakter. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan jalan (1) observasi materi berdasarkan isi dan (2) interview beberapa pendidik (guru) tentang cara transformasi dan transmisi nilai-nilai karakter. KEGUNAAN METODE PEMBELAJARAN BAHASA MELALUI FOLKTALE Folktale merupakan salah satu sumber materi pembelajaran yang dapat memberikan inspirasi kepada guru dan bernilai edukatif bagi pelajar karena melalui bahasa yang termanifestasi dalam kalimat demi kalimat serta pesan dalam cerita, secara 4 tidak langsung menanamkan pendidikan karakter. Hal ini sejalan dengan pendapat Bettelheim tentang pembelajaran melalui folktale seperti berikut : “Through the characters on the page, children are able to live out their worst fears and their fondest wishes. Valuable life lessons are conveyed through the stories which children readily absorb in a non-threatening and even enjoyable context”. (Bruno Bettelheim). Menurut Bettelheim pelajar dapat belajar tentang kehidupan, menghilangkan ketakutan, dan belajar nilai-nilai kehidupan melalui karakter yang terdapat dalam folkltale. Melalui pembacaan cerita dari halaman ke halaman diharapkan pelajar dapat menikmatinya. Selain itu, melalui cerita pelajar bukan hanya belajar tentang isi cerita dan karakter-karakter positif atau negatif melalui tokoh dalam cerita, tetapi sekaligus belajar gramatikal kompleks tentang bahasa dari cerita tersebut tanpa merasakan menjadi beban yang rumit untuk mempelajarinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Chomsky berikut ini. “Children do not learn about complex grammatical points by either making errors and then being corrected or through explicit instruction in grammar. The knowledge of specific grammatical rules "...is part of a child's biological endowment, part of the structure of the language faculty. “…about 99 percentof teaching is making students feel interested in the material.” (Chomsky) Sehubungan dengan pembelajaran bahasa melalui folktale dinyatakan oleh Ramirez bahwa belajar folktale berarti belajar 4 aspek secara simultan, yaitu melalui cerita yang menarik para pelajar belajar isi cerita yang menyajikan karakter para tokoh, dan melalui karakter itulah pendidik harus menjelaskan efek baik dan buruk dari berbagai karakter, dan karakter mana yang harus menjadi acuan untuk diteladani. Pembelajaran kosakata dan tata bahasa melalui penggunaan kalimat (ayat) dipelajari secara tidak langsung karena adanya usaha untuk memahami leksikal demi leksikal. Kosakata, tata bahasa, dan isi cerita secara tidak langsung menyibak budaya untuk belajar karakter positif dari masyarakat si pemilik cerita. Konsep ini dapat digambarkan seperti berikut. Belajar Folktale berarti belajar 4 aspek secara simultan (diadaptasi dari Ramirez) 5 TRANSFORMASI KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Pendidikan karakter berkearifan lokal adalah pendidikan karakter yang dikembangkan berdasarkan produk kebudayaan masyarakat pendukungnya. Produk kebudayaan yang dimaksud mencakup filosofi, nilai-nilai, norma, etika, folklore, ritual, kepercayaan, kebiasaan dan adat-istiadat. Bentuk folklore yang dipilih dalam penelitian ini adalah folktale yang bersumber dari bahasa lokal. Folkltale lokal (masyarakat Makassar) dipilih guna menyibak tabir budaya dan etika masyarakat Makassar sehubungan dengan pendidikan karakter. Ada 4 tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu (a) tahap “pembiasaan” (habituasi) sebagai peletakan dasar etika dan perkembangan karakter anak, (b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter siswa; (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan sehari-hari; dan (d) tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan, bagaimana dampak dan kegunaannya dalam kehidupan baik bagi dirinya maupun orang lain. (Lockheed ,1990) Proses pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pola habituasi yaitu proses penciptaan aneka situasi dan kondisi (persistent-life situation) yang berisi aneka penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya membiasakan diri berprilaku sesuai nilai dan menjadikan perangkat nilai yang telah diinternalisasi dan dipersonalisai melalui proses olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa itu sebagai karakter atau watak. Adapun intervensi adalah proses pendidikan karakter yang dilakukan secara formal, dikemas dalam interaksi belajar dan pembelajaran (learning and instruction) yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan menerapkan berbagai kegiatan yang terstruktur (structured learning experiences). Proses intervensi dapat dilakukan oleh semua subjek pelajaran namun dengan penekanan yang berbeda (Koesuma, 2009). Berikut ini dipaparkan sinopsis kedua cerita : Sinopsis cerita “Orang Kaya dengan Tujuh Anaknya” (selanjutnya disingkat OKTA) . Dikisahkan ada sebuah keluarga kaya yang mempunyai 7 orang anak. Setelah ketujuh anaknya mereka nikahkan, masing-masing anak mempunyai tempat tinggal tersendiri kecuali si bungsu. Suatu saat, orang kaya ini sakit keras tapi tak satupun anak dan menantunya dengan ikhlas ingin merawatnya, tetapi semuanya hanya selalu menginginkan harta orang tuanya dan menunggu kapan hartanya akan dibagi. Orang tua ini (bapak) mempunyai akal dan membeli tempayan besar, lalu disimpannya di bagian atas rumahnya (tempat padi) dengan dibungkus kain putih. Setiap hari dia mengisinya dengan kotorannya sendiri. Sang Bapak pun berpesan agar kain putih yang berisi tempayan itu jangan dibuka hingga maut menjemputnya. Semua anaknya berpikiran 6 bahwa benda yang disimpan dalam tempayan tersebut pastilah benda yang sangat berharga, sehingga akhirnya mereka berlomba-lomba untuk merawat bapaknya yang sudah tua. Saat bapaknya meninggal, anak-anaknya pun berlomba untuk membuka tempayan tersebut. Tetapi alangkah terkejut anak-anak mereka karena ternyata tempayan itu bukan benda berharga tetapi hanyalah kotoran (tinja) bapaknya sendiri. Anak-anaknya pun kecewa tetapi kondisi ini juga menjadi pembelajaran bahwa mengurus orang tua harus tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan. Ekpresi verbal yang mengindikasikan pendidikan karakter, terungkap pada pernyataan si Ayah berupa larangan, kepatuhan, dan komitmen memegang janji: “Janganlah engkau membuka bungkusan putih itu sebelum Ayah meninggal”, “Setelah Ayah meninggal janganlah saling berkelahi karena harta”. Folktale OKTA memuat misi atau beberapa pesan yang bernilai edukatif untuk pembentukan karakter positif, yaitu perlunya menghormati dan merawat orang tua , sifat sabar, memegang komitmen, jangan memandang orang dari segi materi, keteladanan, jangan pamrih untuk berbuat baik kepada sesama manusia. Sinopsis Folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” (Folktale OKR). Dikisahkan bahwa ada orang kaya yang mempunyai 2 orang anak. Sebelum meninggal dia menitipkan amanah kepada kedua anaknya, yaitu (1) janganlah engkau sampai kena sinar matahari jika pergi bekerja dan (2) belilah ikan seribu ekor tiap hari. Sebelum ayahnya meninggal, dibagilah hartanya secara adil kepada kedua anaknya. Setelah ayahnya meninggal kedua anaknya Untuk folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” (Folktale OKR) ditemukan tiga pesan berupa ungkapan yang isinya merupakan pesan moral untuk mendidik anak yang diamanatkan seorang bapak kepada dua orang anaknya yaitu ekpresi verbal (1)” janganlah engkau sampai kena sinar matahari jika pergi bekerja”, yang bermakna jika berangkat kerja berangkatlah sebelum matahari terbit, sehingga harus rajin bangun subuh;ekspresi verbal (2) “belilah ikan seribu ekor tiap hari”, yang maknanya belilah ikan yang kecil tapi bergizi (ikan teri) sebagai prinsip hidup jimat; (3) “janganlah berani menagih sesamamu manusia” mengandung makna janganlah memberi piutang. Folktale OKR mengandung konsep pendidikan karakter disiplin, hidup hemat, dan berempati. Secara umum, konsep pendidikan mengandung pendidikan karakter berupa pengetahuan moral (moral knowing), moral feeling yaitu energi dalam diri untuk bertindak sesuai prinsip moral, seperti berempati, mencintai kebenaran, mampu mengontrol diri, rendah hati; serta aksi moral (moral action) untuk hidup disiplin. Implementasi dan strategi pembelajaran folktale dapat dilakukan dengan tahapan berikut : 1. Post-reading : mencek pemahaman siswa terhadap isi cerita 2. Memberikan pertanyaan-pertanyaan faktual dengan menggunakan pola (apa, siapa, kapan, dimana, yang mana, bagaimana) tentang isi cerita. 7 3. Memberikan pertanyaan opini , yaitu memberikan pertanyaan tentang pendapat pelajar tentang isi cerita. 4. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan personal (pribadi). Misalnya apakah anda ingin mengubah sesuatu dari dirimu sendiri ? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan cara mericek apakah pelajar memahami isi cerita secara komprehensif . Pertanyaan yang bersifat personal dioperasionalkan untuk menggali karakter pelajar dan pandangan hidupnya secara personal. PENUTUP Kegunaan dan keuntungan pembelajaran bahasa melalui folktale secara tidak langsung dapat mempelajar 4 aspek fundamental secara simultan yaitu mempelajari isi (content) cerita, kosakata, tata bahasa,dan budaya yang terkandung dalam folktale. Ekspresi-ekspresi leksikal yang mengandung konsep pendidikan karakter terekspresi dalam bentung ungkapan larangan/pantangan, imperatif , dan himbauan (saran). Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan karakter dalam budaya Makassar pada umumnya berbentuk larangan /pantangan, imperatif, dan himbauan untuk tidak melakukan sesuatu. Implementasi dan strategi pembelajaran folktale dapat dilakukan dengan tahapan : post reading, memberikan pertanyaan-pertanyan faktual dengan menggunakan pola tertentu, memberikan pertanyaan opini, memberikan pertanyaan yang bersifat personal. Proses pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pola habituasi untuk penguatan karakter positif yang telah dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar. Bertalian dengan proses pembelajaran bahasa maka pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pola intervensi dengan materi pembelajaran yang telah dirancang sedemikian rupa dan berorientasi pada pengembangan karakter pelajar. Transformasi nilai-nilai sosial budaya berbasis budaya lokal sangat penting dilakukan sebagai salah satu solusi dari konsekwensi modernisasi dan globalisasi, serta perubahan sosial di abad 21 saat sehingga tetap relevan dengan perkembangan zaman . 8 DAFTAR PUSTAKA Arjanggi, Ruseno. 2012. Pendidikan Karakter Terintegrasi dal Pembelajaran di Perguruan Tinggi. Surakarta: Unisula. Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Azza, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia. Yogjakarta : Ar-Ruzz Media. Bantang, Siradjuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Refleksi. Diknas. 28 Desember 2010. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di Kelas. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/. Febriandy, Stevent. 05 http://www.depdiknas.go.id /10/2009. Pendidikan Sulawesi Selatan. Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT. Refika Aditama. Iswary, Ery. 2009. Perempuan Makassar, Pola Relasi Jender dalam Folklor. Yogjakarta : Ombak. ---------------. 2012. Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal Makassar : Dari Simbolisasi Hingga Filosofi (Paper ICOSH). Malaysia : Universitas Kebangsaan Malaysia. Munthe, Bermawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yogjakarta: CTSD UIN Sunan Kalijaga. Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Lickona, T. 1992.Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, New York: Simon & Schuster, Inc. Muin, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter Praktik.Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. : Konstruksi Teoretik dan www.Pendidikan.com/Mendiknas/ Pendidikan Karakter/artikel/ Mei 2010 9