pembelajaran bahasa dan pendidikan karakter

advertisement
PEMBELAJARAN BAHASA DAN PENDIDIKAN KARAKTER :
TRANSFORMASI PENGETAHUAN KEARIFAN LOKAL
MELALUI FOLKTALE
Oleh : Dr. Ery Iswary, M.Hum
(Fakultas Ilmu Budaya – Universitas Hasanuddin, Makassar-Indonesia)
ABSTRAK
Kajian ini akan mendeskripsikan bagaimana kegunaan metode pembelajaran
bahasa melalui folktale dan menganalisis ekspresi-ekspresi verbal yang
mengindikasikan konsep pendidikan karakter untuk dapat diterapkan di kalangan anak
didik. Sumber data penelitian ini adalah folktale yang telah dipublikasi dalam
masyarakat Makassar. Metode
penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif
dan
pengumpulan data menerapkan teknik observasi dan interview.
Hasil penyelidikan mengindikasikan bahwa metode pembelajaran bahasa melalui
folkltale diharapkan para pelajar dapat menemukan dan memahami isi/tema cerita,
kosakata, tata bahasa, dan budaya secara simultan yang terintegrasi dalam folktale.
Untuk folkltale berjudul “Orang Kaya dengan Tujuh Anaknya” ditemukan beberapa
pesan yang bernilai edukatif untuk pembentukan karakter positif, yaitu perlunya
menghormati dan merawat orang tua , sifat sabar, memegang komitmen, jangan
memandang orang dari segi materi, keteladanan, jangan pamrih untuk berbuat baik
kepada sesama manusia. Untuk folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” ditemukan
tiga pesan berupa ungkapan yang isinya merupakan pesan moral untuk mendidik anak
yang diamanatkan seorang bapak kepada dua orang anaknya yaitu (1) janganlah engkau
sampai kena sinar matahari jika pergi bekerja, yang bermakna jika berangkat kerja
berangkatlah sebelum matahari terbit, sehingga harus rajin bangun subuh; (2) belilah
ikan seribu ekor tiap hari, yang maknanya belilah ikan yang kecil tapi bergizi (ikan teri)
sebagai prinsip hidup jimat; (3) janganlah berani menagih sesamamu manusia
mengandung makna janganlah memberi piutang.
Pendidikan karakter yang terindikasi dalam folktale juga dapat diklasifikasi atas
tiga jenis yaitu pengetahuan moral (moral knowing), moral feeling yaitu energi dalam
diri untuk bertindak sesuai prinsip moral, seperti berempati, mencintai kebenaran,
mampu mengontrol diri, rendah hati; serta aksi moral (moral action). Pemahaman akan
prinsip-prinsip moral yang terkandung dalam folktale diharapkan dapat membangun
karakter positif yang kuat agar dapat tetap berkompetisi dengan jati diri yang kuat di era
globalisasi.
Diajukan untuk dapat dipresentasi pada International Language and Education
Conference , 27-28 November 2013, Nilai Negeri Sembilan.
1
PENGANTAR
Pendidikan karakter di Indonesia saat ini memperoleh atensi yang sangat besar
untuk melahirkan generasi muda yang berkarakter dan mempunyai jati diri. Hal ini
disebabkan karena degradasi moral dan etika yang semakin memperlihatkan fenomena
yang mengkhawatirkan sehingga pihak pemerintah (goverment) perlu mencari solusi
untuk tindakan preventif. Di Indonesia, pendidikan karakter diinstruksikan untuk
dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran agar setiap level pendidikan
mengimplementasi dalam proses pembelajaran di kelas.
Salah satu subjek pembelajaran untuk mengadopsi dan mengakomodasi
pendidikan karakter adalah pembelajaran bahasa melalui folktale. Tentu saja, nilai-nilai
pendidikan karakter yang tercakup dalam folkltale dari berbagai etnik masih bersifat
abstrak sehingga perlu ditransformasi strategi pembelajarannya untuk memunculkan
konsep karakter yang terkandung di dalam cerita.
Operasionalisasi proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk
mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai
tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab dan peranan yang sangat strategis terutama
dalam membentuk watak bangsa serta mengembangkan potensi pelajar. Guru
bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan pengelolaan pengajaran yang efektif,
penilaian hasil belajar yang objektif, sekaligus memberikan motivasi pada pelajar dan
juga membimbing pelajar secara maksimal (Depdiknas, 2005).
Pengalaman berdasarkan pengajaran dan pembelajaran melalui folktale Curtain
dan Pesola berpendapat bahwa “The use of literature designed for children in the target culture
allows learners of the target language to share Cultural experiences and attitudes in a very direct
way…”.
Folktale merupakan salah satu sumber dan materi pembelajaran yang
menyenangkan dan tidak membosankan jika diorganisir dengan baik. Materi cerita yang
bervariasi memungkinkan pendidik untuk selektif memilih cerita sesuai dengan
kebutuhan pelajar. Melalui cerita anak didik tidak hanya belajar kata demi kata melalui
rangkaian kalimat serta memahami makna semantis dari setiap leksikal, tetapi mereka
juga dapat belajar budaya dan nilai-nilai karakter secara langsung melalui ekspresi
leksikal. Target yang ingin dicapai dalam pembelajaran bahasa melalui folkltale adalah
penguasaan bahasa dan misi moral untuk pembentukan karakter pelajar.
Pada umumnya folktale diciptakan dengan misi atau tujuan tertentu yang
merefleksikan kondisi masyarakat di zamannya, meskipun penulisnya bersifat anonim.
Kekuatan semantis leksikal melalui diksi yang akurat untuk merepresentasikan pesan
moral yang terekspresi melalui rangkaian kalimat membuat pembaca (pembelajar
bahasa) tidak jenuh untuk menyimaknya hingga akhir cerita. Keruntutan rangkaian
kalimat dan cerita yang menarik membuat pembaca ingin menuntaskan cerita secepat
mungkin untuk memahaminya lebih jauh. Kalimat dan kata-kata yang mengandung
2
nilai pendidikan karakter dalam cerita hendaklah mendapat perhatian dan penjelasan
yang lebih komprehensif dari si pendidik.
Pembelajaran bahasa dengan penggunaan media folktale dapat dilakukan untuk
memperoleh indikasi perbedaan keperluan (needs) di antara para pelajar dengan
membedakan aktivitas-aktivitas yang diberikan. Atensi dan orientasi pelajar yang
heterogen dapat terakomodasi dengan adanya substansi cerita yang berbeda sesuai
minat pelajar. Selain itu, media folktale tidak mengajarkan bahasa dan konteks secara
terpisah tetapi mengajarkan leksikal dan tata bahasa sesuai konteks cerita sehingga
pelajar lebih mudah memahaminya. Penyatuan antara bahasa, konteks situasi dan
konteks budaya secara simultan dan dikemas dalam cerita lebih berdaya guna bagi
perluasan pengetahuan pelajar untuk menyerap isi cerita. Hasil pembelajaran berupa
kemudahan dan kesulitan yang dialami pelajar selama proses pembelajaran juga dapat
menjadi input yang berharga bagi pendidik (guru) untuk penajaman kurikulum
selanjutnya.
Sejalan dengan pendapat Widuroyekti (2012:35) bahwa cerita rakyat (folktale)
memberikan kesan tentang dunia secara holistik karena menawarkan cerita tanpa
mengenal batas geografis. Kejadian dalam cerita juga tidak mengenal batasan ruang dan
waktu secara tegas, serta rincian fisik ditampilkan seperlunya sesuai peristiwaperistiwa dalam cerita. Pendapat tersebut berkorelasi dengan pernyataan Iswary
(2011:3) bahwa ada dasarnya anak-anak usia sekolah memiliki rasa ingin tahu yang
sangat besar tentang segala sesuatu yang terjadi dalam berbagai lingkungan, sehingga
mereka akan sangat senang dan merasa tertantang untuk menjelajahi cerita demi cerita
selalu, serta akan gembira bila dilibatkan secara mental dan fisik dalam mempelajari
sesuatu dengan menikmati sumber belajar yang kadang-kadang menegangkan atau
menimbulkan tanda tanya besar. Dengan bahan kajian dan cara belajar mengajar yang
menantang dan menyenangkan maka aspek kejiwaan mereka yang berada dalam proses
pertumbuhan akan dapat ditumbuhkembangkan secara maksimal, termasuk
menstimulasi pembentukan karakter secara kontinu melalui pembelajaran karakterkarakter positif para tokoh yang terkandung dalam cerita. Pengkontrasan karakter
positif (baik) dan negatif (buruk) juga perlu diperkenalkan, dan efek negatif yang
sering dialami seseorang jika berperilaku buruk.
Suatu saat Confucius pernah mendapatkan pertanyaan, apa yang akan dilakukan
seandainya diberi kesempatan memimpin negara. Jawaban Confusius singkat yaitu
“Membenahi bahasa”, Bahasa menurut filsuf Timur ini bukan sekadar cermin
keteraturan berpikir, tetapi bahkan akan menentukan keteraturan dan bahkan ketidakteraturan sosial (Rahardjo,2001:5).Demikian pentingnya peranan bahasa dalam
kehidupan manusia sehingga membenahi bahasa dianggap sebagai komponen penting
untuk membenahi negara. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat bahwa jika sebuah
negara yang memiliki kestabilan pada aspek bahasa maka dapat mengindikasikan
kestabilan politik dalam negara tersebut.
Berdasarkan sejumlah pendapat dan konsep di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
untuk mengembangkan dan membenahi pendidikan karakter anak bangsa dapat
diedukasi melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
3
Pembelajaran bahasa dalam kertas kerja ini berorientasi pada pembelajaran bahasa
secara formal di kalangan pelajar. Salah satu materi pembelajaran yang dimaksud
sebagai jalur transmisi adalah dengan folktale. Oleh karena konsep pendidikan karakter
yang berisi kearifan lokal dalam folktale berbahasa Makassar tidak sepenuhnya dapat
dipahami secara mudah, maka perlu ditransformasikan agar dapat dikombinasikan dan
berkolaborasi dengan kondisi perkembangan zaman yang tampak tidak mengenal batas
geografis lagi. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki kekayaan sosial
kultural tersendiri yang mengatur pola etika dan pola berperilaku sehubungan dengan
adat-istiadat yang dijadikan acuan bagi masyarakat yang bersangkutan. Pendidikan
harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan
perkembangan masyakarakatnya.
RUMUSAN MASALAH
Permasalahan pendidikan karakter untuk membentuk watak bangsa dapat dilakukan
dari berbagai disiplin ilmu, khususnya melalui berbagai strategi pembelajaran yang
terintegrasi dalam kurikulum. Berdasarkan berbagai permasalahan yang muncul, maka
ada 2 formulasi rumusan masalah yaitu :
1. Bagaimana kegunaan metode pembelajaran bahasa melalui folktale ?
2. Bagaimana bentuk ekspresi-ekspresi verbal yang mengindikasikan konsep
pendidikan karakter ?
TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kegunaan metode pembelajaran bahasa melalui folktale.
2. Untuk menganalisis ekspresi-ekspresi verbal yang mengindikasikan konsep
pendidikan karakter.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat eksploratif untuk memperoleh konsep karakter dalam cerita
dan mendeskripsikan fenomena yang ditemukan, serta akan dipaparkan secara
kualitatif.
Sumber data untuk kertas kerja ini berasal dari buku kumpulan folktale berbahasa
Makassar dan memilih dua folktale yang dianggap representatif serta dapat menjadi
rujukan konsep pendidikan karakter. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan jalan
(1) observasi materi berdasarkan isi dan (2) interview beberapa pendidik (guru) tentang
cara transformasi dan transmisi nilai-nilai karakter.
KEGUNAAN METODE PEMBELAJARAN BAHASA MELALUI FOLKTALE
Folktale merupakan salah satu sumber materi pembelajaran yang dapat
memberikan inspirasi kepada guru dan bernilai edukatif bagi pelajar karena melalui
bahasa yang termanifestasi dalam kalimat demi kalimat serta pesan dalam cerita, secara
4
tidak langsung menanamkan pendidikan karakter. Hal ini sejalan dengan pendapat
Bettelheim tentang pembelajaran melalui folktale seperti berikut :
“Through the characters on the page, children are able to live out their worst fears
and their fondest wishes. Valuable life lessons are conveyed through the stories
which children readily absorb in a non-threatening and even enjoyable context”.
(Bruno Bettelheim).
Menurut Bettelheim pelajar dapat belajar tentang kehidupan, menghilangkan
ketakutan, dan belajar nilai-nilai kehidupan melalui karakter yang terdapat dalam
folkltale. Melalui pembacaan cerita dari halaman ke halaman diharapkan pelajar dapat
menikmatinya. Selain itu, melalui cerita pelajar bukan hanya belajar tentang isi cerita
dan karakter-karakter positif atau negatif melalui tokoh dalam cerita, tetapi sekaligus
belajar gramatikal kompleks tentang bahasa dari cerita tersebut tanpa merasakan
menjadi beban yang rumit untuk mempelajarinya. Hal ini sejalan dengan pendapat
Chomsky berikut ini.
“Children do not learn about complex grammatical points by either
making errors and then being corrected or through explicit instruction
in grammar. The knowledge of specific grammatical rules "...is part of
a child's biological endowment, part of the structure of the language
faculty. “…about 99 percentof teaching is making students feel
interested in the material.” (Chomsky)
Sehubungan dengan pembelajaran bahasa melalui folktale dinyatakan oleh
Ramirez bahwa belajar folktale berarti belajar 4 aspek secara simultan, yaitu melalui
cerita yang menarik para pelajar belajar isi cerita yang menyajikan karakter para tokoh,
dan melalui karakter itulah pendidik harus menjelaskan efek baik dan buruk dari
berbagai karakter, dan karakter mana yang harus menjadi acuan untuk diteladani.
Pembelajaran kosakata dan tata bahasa melalui penggunaan kalimat (ayat) dipelajari
secara tidak langsung karena adanya usaha untuk memahami leksikal demi leksikal.
Kosakata, tata bahasa, dan isi cerita secara tidak langsung menyibak budaya untuk
belajar karakter positif dari masyarakat si pemilik cerita. Konsep ini dapat digambarkan
seperti berikut.
Belajar Folktale berarti belajar 4 aspek secara simultan
(diadaptasi dari Ramirez)
5
TRANSFORMASI KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA
Pendidikan karakter berkearifan lokal adalah pendidikan karakter yang
dikembangkan berdasarkan produk kebudayaan masyarakat pendukungnya. Produk
kebudayaan yang dimaksud mencakup filosofi, nilai-nilai, norma, etika, folklore, ritual,
kepercayaan, kebiasaan dan adat-istiadat. Bentuk folklore yang dipilih dalam penelitian
ini adalah folktale yang bersumber dari bahasa lokal. Folkltale lokal (masyarakat
Makassar) dipilih guna menyibak tabir budaya dan etika masyarakat Makassar
sehubungan dengan pendidikan karakter.
Ada 4 tahap pendidikan karakter yang perlu dilakukan, yaitu (a) tahap
“pembiasaan” (habituasi) sebagai peletakan dasar etika dan perkembangan karakter
anak, (b) tahap pemahaman dan penalaran terhadap nilai, sikap, perilaku dan karakter
siswa; (c) tahap penerapan berbagai perilaku dan tindakan siswa dalam kenyataan
sehari-hari; dan (d) tahap pemaknaan yaitu suatu tahap refleksi dari para siswa melalui
penilaian terhadap seluruh sikap dan perilaku yang telah mereka pahami dan lakukan,
bagaimana dampak dan kegunaannya dalam kehidupan baik bagi dirinya maupun orang
lain. (Lockheed ,1990)
Proses pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pola habituasi yaitu proses
penciptaan aneka situasi dan kondisi (persistent-life situation) yang berisi aneka
penguatan (reinforcement) yang memungkinkan peserta didik pada satuan
pendidikannya, di rumahnya, di lingkungan masyarakatnya
membiasakan diri
berprilaku sesuai nilai dan menjadikan perangkat nilai yang telah diinternalisasi dan
dipersonalisai melalui proses olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa dan karsa itu
sebagai karakter atau watak. Adapun intervensi adalah proses pendidikan karakter yang
dilakukan secara formal, dikemas dalam interaksi belajar dan pembelajaran (learning
and instruction) yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter
dengan menerapkan berbagai kegiatan yang terstruktur (structured learning
experiences). Proses intervensi dapat dilakukan oleh semua subjek pelajaran namun
dengan penekanan yang berbeda (Koesuma, 2009).
Berikut ini dipaparkan sinopsis kedua cerita :
Sinopsis cerita “Orang Kaya dengan Tujuh Anaknya” (selanjutnya disingkat OKTA)
. Dikisahkan ada sebuah keluarga kaya yang mempunyai 7 orang anak. Setelah ketujuh
anaknya mereka nikahkan, masing-masing anak mempunyai tempat tinggal tersendiri
kecuali si bungsu. Suatu saat, orang kaya ini sakit keras tapi tak satupun anak dan
menantunya dengan ikhlas ingin merawatnya, tetapi semuanya hanya selalu
menginginkan harta orang tuanya dan menunggu kapan hartanya akan dibagi. Orang tua
ini (bapak) mempunyai akal dan membeli tempayan besar, lalu disimpannya di bagian
atas rumahnya (tempat padi) dengan dibungkus kain putih. Setiap hari dia mengisinya
dengan kotorannya sendiri. Sang Bapak pun berpesan agar kain putih yang berisi
tempayan itu jangan dibuka hingga maut menjemputnya. Semua anaknya berpikiran
6
bahwa benda yang disimpan dalam tempayan tersebut pastilah benda yang sangat
berharga, sehingga akhirnya mereka berlomba-lomba untuk merawat bapaknya yang
sudah tua. Saat bapaknya meninggal, anak-anaknya pun berlomba untuk membuka
tempayan tersebut. Tetapi alangkah terkejut anak-anak mereka karena ternyata
tempayan itu bukan benda berharga tetapi hanyalah kotoran (tinja) bapaknya sendiri.
Anak-anaknya pun kecewa tetapi kondisi ini juga menjadi pembelajaran bahwa
mengurus orang tua harus tanpa pamrih dan tanpa mengharap imbalan.
Ekpresi verbal yang mengindikasikan pendidikan karakter, terungkap pada
pernyataan si Ayah berupa larangan, kepatuhan, dan komitmen memegang janji:
“Janganlah engkau membuka bungkusan putih itu sebelum Ayah meninggal”, “Setelah
Ayah meninggal janganlah saling berkelahi karena harta”.
Folktale OKTA memuat misi atau beberapa pesan yang bernilai edukatif untuk
pembentukan karakter positif, yaitu perlunya menghormati dan merawat orang tua , sifat
sabar, memegang komitmen, jangan memandang orang dari segi materi, keteladanan,
jangan pamrih untuk berbuat baik kepada sesama manusia.
Sinopsis Folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” (Folktale OKR). Dikisahkan
bahwa ada orang kaya yang mempunyai 2 orang anak. Sebelum meninggal dia
menitipkan amanah kepada kedua anaknya, yaitu (1) janganlah engkau sampai kena
sinar matahari jika pergi bekerja dan (2) belilah ikan seribu ekor tiap hari. Sebelum
ayahnya meninggal, dibagilah hartanya secara adil kepada kedua anaknya. Setelah
ayahnya meninggal kedua anaknya
Untuk folktale berjudul “Orang yang Kaya Raya” (Folktale OKR) ditemukan tiga
pesan berupa ungkapan yang isinya merupakan pesan moral untuk mendidik anak yang
diamanatkan seorang bapak kepada dua orang anaknya yaitu ekpresi verbal (1)”
janganlah engkau sampai kena sinar matahari jika pergi bekerja”, yang bermakna jika
berangkat kerja berangkatlah sebelum matahari terbit, sehingga harus rajin bangun
subuh;ekspresi verbal (2) “belilah ikan seribu ekor tiap hari”, yang maknanya belilah
ikan yang kecil tapi bergizi (ikan teri) sebagai prinsip hidup jimat; (3) “janganlah berani
menagih sesamamu manusia” mengandung makna janganlah memberi piutang.
Folktale OKR mengandung konsep pendidikan karakter disiplin, hidup hemat, dan
berempati. Secara umum, konsep pendidikan mengandung pendidikan karakter berupa
pengetahuan moral (moral knowing), moral feeling yaitu energi dalam diri untuk
bertindak sesuai prinsip moral, seperti berempati, mencintai kebenaran, mampu
mengontrol diri, rendah hati; serta aksi moral (moral action) untuk hidup disiplin.
Implementasi dan strategi pembelajaran folktale dapat dilakukan dengan tahapan berikut
:
1. Post-reading : mencek pemahaman siswa terhadap isi cerita
2. Memberikan pertanyaan-pertanyaan faktual dengan menggunakan pola (apa,
siapa, kapan, dimana, yang mana, bagaimana) tentang isi cerita.
7
3. Memberikan pertanyaan opini , yaitu memberikan pertanyaan tentang pendapat
pelajar tentang isi cerita.
4. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan personal
(pribadi). Misalnya apakah anda ingin mengubah sesuatu dari dirimu sendiri ?
Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan cara mericek apakah pelajar memahami isi cerita
secara komprehensif . Pertanyaan yang bersifat personal dioperasionalkan untuk
menggali karakter pelajar dan pandangan hidupnya secara personal.
PENUTUP
Kegunaan dan keuntungan pembelajaran bahasa melalui folktale secara tidak
langsung dapat mempelajar 4 aspek fundamental secara simultan yaitu mempelajari isi
(content) cerita, kosakata, tata bahasa,dan budaya yang terkandung dalam folktale.
Ekspresi-ekspresi leksikal yang mengandung konsep pendidikan karakter terekspresi
dalam bentung ungkapan larangan/pantangan, imperatif , dan himbauan (saran). Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan karakter dalam budaya Makassar pada umumnya
berbentuk larangan /pantangan, imperatif, dan himbauan untuk tidak melakukan
sesuatu.
Implementasi dan strategi pembelajaran folktale dapat dilakukan dengan tahapan :
post reading, memberikan pertanyaan-pertanyan faktual dengan menggunakan pola
tertentu, memberikan pertanyaan opini, memberikan pertanyaan yang bersifat personal.
Proses pendidikan karakter dapat dilakukan dengan pola habituasi untuk penguatan
karakter positif yang telah dibentuk dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
Bertalian dengan proses pembelajaran bahasa maka pendidikan karakter dapat
dilakukan dengan pola intervensi dengan materi pembelajaran yang telah dirancang
sedemikian rupa dan berorientasi pada pengembangan karakter pelajar.
Transformasi nilai-nilai sosial budaya berbasis budaya lokal sangat penting
dilakukan sebagai salah satu solusi dari konsekwensi modernisasi dan globalisasi, serta
perubahan sosial di abad 21 saat sehingga tetap relevan dengan perkembangan zaman .
8
DAFTAR PUSTAKA
Arjanggi, Ruseno. 2012. Pendidikan Karakter Terintegrasi dal Pembelajaran di
Perguruan Tinggi. Surakarta: Unisula.
Alwasilah, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Azza, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia.
Yogjakarta : Ar-Ruzz Media.
Bantang, Siradjuddin. 2008. Sastra Makassar. Makassar: Refleksi.
Diknas. 28 Desember 2010. Konsep Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran di
Kelas. http://id.shvoong.com/social-sciences/education/.
Febriandy,
Stevent.
05
http://www.depdiknas.go.id
/10/2009.
Pendidikan
Sulawesi
Selatan.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan
Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT. Refika Aditama.
Iswary, Ery. 2009. Perempuan Makassar, Pola Relasi Jender dalam Folklor.
Yogjakarta : Ombak.
---------------. 2012. Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Berbasis Budaya
Lokal Makassar : Dari Simbolisasi Hingga Filosofi (Paper ICOSH). Malaysia :
Universitas Kebangsaan Malaysia.
Munthe, Bermawi. 2009. Desain Pembelajaran. Yogjakarta: CTSD UIN Sunan
Kalijaga.
Koesoema A, Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global. Jakarta: Grasindo.
Lickona, T. 1992.Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and
Responsibility, New York: Simon & Schuster, Inc.
Muin,
Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter
Praktik.Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
:
Konstruksi
Teoretik
dan
www.Pendidikan.com/Mendiknas/ Pendidikan Karakter/artikel/ Mei 2010
9
Download