Membandingkan PLEVA/ Pityriasis Lichenoides et Varioliformis

advertisement
ANALISIS
Membandingkan PLEVA/ Pityriasis Lichenoides et
Varioliformis Acuta dengan Varicella
Vincea Eko
Dokter PNS RSUD Belitung Timur, Indonesia
ABSTRAK
PLEVA (Pityriasis Lichenoides et Varioliformis Acuta) merupakan penyakit yang penyebabnya belum diketahui, tetapi sering berhubungan dengan
infeksi Toxoplasma, EBV, HIV, CMV (Cytomegalovirus), Parvovirus, Staphylococcus aureus, Group A β-hemolyticus Streptococcus, sedangkan varicella
(cacar air) disebabkan oleh virus Varicella zoster. Kedua penyakit ini berbeda, tetapi sama-sama mempunyai lesi vesikel dan juga disertai rasa
gatal/pruritus; lesi vesikel pada varicella mempunyai ciri khas, seperti dewdrop on a rose petal. Terdapat perbedaan pengobatan yang signifikan,
terapi lini pertama PLEVA dengan kortikosteroid topikal, sedangkan pada varicella kortikosteroid topikal justru dikontraindikasikan.
Kata Kunci: PLEVA, varicella, toxoplasma, vesikel, pruritus, dewdrop on a rose petal, kortikosteroid topikal
ABSTRACT
PLEVA (Pityriasis Lichenoides et Varioliformis Acuta) is a disease with a not-clearly-understood cause but it is often associated with Toxoplasma
infection, EBV, HIV, CMV (Cytomegalovirus), Parvovirus, Staphylococcus aureus, Group A β-hemolyticus Streptococcus, while varicella (chickenpox)
is caused by Varicella zoster virus. These two diseases are different but both have vesicular lesions and are accompanied by pruritus; the vesicles
in varicella have a distinctive type, like dewdrop on a rose petal. There is also a significant important treatment difference: first-line therapy for
PLEVA is topical corticosteroid, while it is contraindicated for varicella. Vincea Eko. Comparison between PLEVA and Varicella.
Keywords: PLEVA, varicella, toxoplasma, vesicles, pruritus, dewdrop on a rose petal, corticosteroid topical
PENDAHULUAN
Penyakit PLEVA (Pityriasis Lichenoides et
Varioliformis Acuta) jarang terdengar karena
prevalensinya rendah, dan sulit didiagnosis.
PLEVA lebih sering dijumpai pada anak-anak
dan dewasa muda, tetapi dapat menyerang
semua umur. Kasus ini juga sekitar 1,5-3
kali lebih sering dijumpai pada pria. PLEVA
termasuk penyakit dalam grup Pityriasis
Lichenoides. Pityriasis berarti ruam bersisik,
sedangkan Lichenoides berarti gambaran
seperti kerak kulit pohon. Pityriasis Lichenoides
memiliki dua varian. Varian akut disebut
PLEVA, sedangkan varian kronis disebut PLC
(Pityriasis Lichenoides Chronica). Varian kronik
3-6 kali lebih sering ditemukan dibandingkan
varian akut. Prevalensi PLEVA saat ini belum
diketahui secara pasti, namun hal tersebut
perlu dipahami agar tidak terjadi salah
diagnosis dengan varicella.1-3
Varicella adalah penyakit kulit yang ditandai
adanya gelembung kecil berisi air yang
disebabkan oleh Varicella zoster virus. Penyakit
Alamat Korespondensi
ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak,
tetapi dapat juga pada dewasa. Insidens
varicella turun dari 2,63 di tahun 2002 menjadi
0,92 kasus per 1000 orang per tahun, tetapi
tetap jauh lebih banyak dibandingkan PLEVA.
Varicella sangat menular, sedangkan PLEVA
tidak 1-3
ETIOPATOGENESIS
Etiologi PLEVA masih belum diketahui
secara pasti. Beberapa kasus berhubungan
dengan infeksi Toxoplasma gondii, EpsteinBarr virus, Cytomegalovirus, Parvovirus B19,
dan HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Sedikitnya satu kasus berhubungan dengan
terapi hormonal (estrogen-progesteron)
berulang dan kemoterapi kanker. Masih
belum dapat dipastikan apakah faktor-faktor
ini berhubungan dengan PLEVA, tetapi pada
kasus infeksi Toxoplasma, jika infeksinya
diobati, lesi kulit juga ikut menghilang.2,5-7
Ada tiga teori penyebab PLEVA, tetapi belum
dapat dijelaskan sepenuhnya. Teori tersebut
yaitu:5
1. Reaksi inflamasi (peradangan) yang
dipicu oleh mikroorganisme: Toxoplasma,
EBV,
HIV,
CMV
(Cytomegalovirus),
Parvovirus, Staphylococcus aureus, Group A
β-hemolyticus Streptococcus
2. Suatu gangguan
limfoproliferatif
jinak
dari
sel
T
3. Suatu bentuk reaksi hipersensitivitas
berupa vaskulitis yang dimediasi oleh
kompleks imun.
Berdasarkan
studi
imunohistologis,
didapatkan reduksi atau penurunan CD1a+
antigen-presenting dendritic (sel Langerhans)
yang berada di tengah lapisan epidermis pada
lesi pityriasis lichenoides. Di keratinosit dan sel
endotelial terdapat HLA-DR+ yang diaktivasi
oleh sitokin sel T. Sel T CD8+ mendominasi
pada PLEVA, sedangkan pada PLC dapat
didominasi oleh CD8+ atau CD4+. Banyak sel T
mengekspresikan protein memori (CD45RO)
email: [email protected]
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
221
ANALISIS
dan protein sitolitik (TIA-1 dan Granzyme B).
Terdapat deposit Ig (Immunoglobulin) M, C3,
dan fibrin; baik di pembuluh darah, di sekitar
pembuluh darah, maupun di sepanjang
dermoepidermal junction,
menandakan
keterlibatan proses imun. 2,7
berbentuk smallpox-like atau varioliform. Lesi
pada Pityriasis lichenoides timbul bersamaan,
dalam satu saat dapat ditemukan beberapa
stadium lesi kulit, sehingga dapat dikatakan
bahwa efloresensi penyakit ini bersifat
polimorfik.
Sebagai perbandingan, cacar air atau
Varicella disebabkan oleh satu virus saja,
yaitu Varicella zoster virus, yang merupakan
anggota kelompok herpesviridae, yang masuk
melalui mukosa traktus respiratorius atas dan
orofaring, kemudian virus bermultiplikasi
dan menyebar melalui pembuluh darah dan
pembuluh limfe. Multiplikasi pertama masih
dapat dilawan oleh kekebalan tubuh melalui
interferon dan sel natural killer, sebelum
kemudian masuk dalam masa inkubasi sekitar
dua minggu. Setelah melewati masa inkubasi,
terjadi penyebaran lebih banyak virus
(viremia), sehingga muncul gejala tubuh dan
juga lesi kulit. Virus Varicella dapat menjadi
laten, berdiam di ganglion sensorik, dan jika
mengalami reaktivasi dikenal sebagai penyakit
Herpes Zoster. Mekanisme reaktivasi virus
Varicella zoster dorman ini belum diketahui
secara jelas; sering berhubungan dengan
imunosupresi, stres emosional, radiasi tulang
belakang, tumor medula spinalis, ganglion
dorsalis, trauma, pembedahan tulang
belakang, sinusitis frontalis; dan penurunan
imunitas sel spesifik terhadap virus Varicella
zoster sesuai bertambahnya usia.2,6,7
Pada varicella, lesi kulit sering didahului oleh
gejala prodromal demam cukup tinggi, nyeri
kepala, lemas, tidak nafsu makan, nyeri tulang
belakang, sakit tenggorokan 2-3 hari sebelum
muncul ruam kulit. Pola penyebaran lesi kulit
pada orang yang belum divaksin varicella akan
dimulai dari wajah, kulit kepala, lalu dengan
cepat menyebar ke badan tetapi tidak ke
ekstremitas. Lesi kulit varicella cepat berubah,
dalam 12 (dua belas) jam lesi makula eritema
berubah menjadi papula, vesikel, pustul, dan
krusta. Vesikel berdiameter sekitar 2-3 mm,
berbentuk seperti tetesan embun di atas
kelopak bunga mawar merah, atau dewdrop
on a rose petal. Awalnya isi vesikel jernih, tetapi
karena berisi sel-sel radang, lama kelamaan
berubah menjadi pustulae, selanjutnya
mengering mulai dari bagian tengah, menjadi
berumbilikasi dan lama kelamaan menjadi
krusta. Krusta dapat lepas secara spontan
dalam 1-3 minggu, meninggalkan depresi
berwarna merah muda yang dapat hilang.
Jaringan parut jarang terjadi, kecuali jika
terkena trauma atau mengalami superinfeksi
bakteri. Lesi yang menyembuh meninggalkan
bekas hipopigmentasi. Lesi varicella juga
dapat mengenai mukosa mulut, hidung,
faring, laring, trakea, saluran pencernaan,
saluran kemih, dan vagina. Lesi mukosa lebih
cepat pecah meninggalkan ulkus kecil-kecil
berdiameter 2-3 mm. Pada individu yang
sudah pernah divaksin, lesi tubuh akan lebih
sedikit dan gejala prodormal lebih ringan.2,6,7
GAMBARAN KLINIS
Lesi kulit pada PLEVA dapat bersifat
asimptomatis atau disertai rasa gatal atau
rasa panas. Gambaran lesi kulit PLEVA berupa
papula eritema yang berkembang menjadi
vesikula, pustulae, dapat terjadi erosi spontan
atau membaik dalam waktu bermingguminggu. Ada varian dengan papulonodul,
purpura, disertai ulkus pada bagian
tengahnya, yang dikenal dengan nama PLUH
(Pityriasis Lichenoides with Ulceronecrosis
and Hyperthermia) atau febrile ulceronecrotic
Mucha-Habermann disease. 2,6,7
Lesi kulit PLEVA cenderung terkonsentrasi
di daerah badan dan ekstremitas bagian
proksimal, meskipun seluruh tubuh dapat
juga terkena, termasuk mukosa. Lesi yang
telah menyembuh akan berakhir dengan
hipopigmentasi
atau
hiperpigmentasi
pasca-inflamasi. Jika lesi berlanjut menjadi
kronik dapat meninggalkan jaringan parut
222
Gambar 1. Lesi PLEVA 2,4
Gambar 2. Lesi varicella pada kulit 2,4
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada PLEVA dapat ditemukan leukositosis
dan penurunan rasio CD4/CD8. Pada
pemeriksaan histopatologi akan didapatkan
parakeratosis, krusta disertai spongiosis,
nekrosis epidermal, eksositosis limfosit,
infiltrat limfosit perivaskuler, dan degenerasi
hidrofik pada lapisan basalis kulit.2,7 Sedangkan
pada pemeriksaan histopatologi varicella,
ditemukan adanya sel raksasa berinti banyak,
tes Tzanck positif menunjukkan multinucleated
giant cell. Dengan pemeriksaan kultur,
didapatkan virus Varicella zoster; pemeriksaan
imunofluoresens mendapatkan antigen virus
Varicella zoster.2,7
Gambar 3. Lesi varicella pada mukosa 5
TERAPI
Terapi utama PLEVA adalah kortikosteroid
topikal dan fototerapi (NBUVB, UVA+UVB),
antibiotik oral yang juga mempunyai efek
antiinflamasi (erythromycin 2-4 x 500 mg,
tetracycline 2-4 x 500 mg, atau minocycline
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
ANALISIS
2 x 100 mg). Untuk lini sekunder, pilihannya
antara lain tacrolimus topikal, prednisone
oral 1 x 20-60 mg selama 5 hari kemudian
di-tappering off, methotrexate 10-25 mg per
minggu, cyclosporine 2,5-4 mg/kgBB/hari
dengan dosis terbagi dua, ataupun dengan
acithretin 25-50 mg/hari.2,6,7
Pengobatan varicella adalah dengan antivirus
(contohnya acyclovir), karena penyebabnya
adalah virus Varicella zoster. Obat antivirus
paling efektif jika diberikan kurang dari 24
jam setelah erupsi kulit timbul. Dosis acyclovir
untuk bayi dan anak-anak: 10-20 mg/kgBB
4 kali sehari selama 7 hari, dosis dewasa: 5
x 800 mg selama 7 hari, valaciclovir untuk
dewasa: 3 x 1 gram per hari selama 7 hari,
famciclovir untuk dewasa: 3 x 250 mg/hari
selama 7 hari. Jika terjadi resistensi terhadap
acyclovir mungkin juga terjadi resistensi
silang terhadap valaciclovir dan famciclovir
melalui mutasi gen timidin kinase. Kondisi
ini biasa terjadi pada pasien AIDS (Acquired
Immuno-deficiency Syndrome); dan dapat
diberikan foscarnet 40 mg intravena setiap
8 jam. Acyclovir topikal tidak terlalu efektif,
dapat diberikan bedak menthol 0,25-0,5%
sebagai antipruritus dan mencegah pecahnya
vesikel. Pada varicella, kortikosteroid topikal
merupakan
kontraindikasi;
sedangkan
pada PLEVA merupakan pengobatan lini
pertama.2,6,7
menyebabkan demam (umumnya tidak
tinggi), berbeda dari varicella yang sering
disertai demam tinggi. Komplikasi lain juga
umumnya ringan; seperti nyeri kepala, nyeri
sendi/artralgia, dan gangguan saluran cerna.
PLEVA dapat sembuh secara spontan dalam
beberapa minggu atau bulan dan sering
rekuren.2
Pada varicella, komplikasi yang sering ditemui
adalah infeksi bakteri sekunder pada lesi kulit,
biasanya Staphylococcus atau Streptococcus,
yang
dapat
mengakibatkan
selulitis,
erisipelas, dan sering meninggalkan jaringan
parut. Pada beberapa kasus jarang dapat
menyebabkan septikemia. Komplikasi lainnya
adalah pneumonia, otitis media, meningitis,
acute cerebellar ataxia, dan Reye’s syndrome.
Varicella umumnya tidak rekuren, kecuali pada
kondisi imunosupresi; seperti AIDS. Jika virus
varicella yang dorman di ganglion dorsalis
aktif kembali, bentuk klinis penyakitnya akan
berbeda, berupa Herpes Zoster, yang lesi
vesikelnya lebih bergerombol dan mengikuti
dermatoma tubuh.2
SIMPULAN
Perbandingan kedua penyakit dalam tabel.
Tabel. Perbandingan PLEVA dan varicella1,2,4,5-7
Pityriasis Lichenoides Et Varioliformis
Acuta (PLEVA)
Varicella
Etiologi
Belum jelas, ada 3 teori:
1. Reaksi inflamasi (peradangan) yang dipicu
oleh agen-agen infeksius: Toxoplasma, EBV,
HIV, CMV (Cytomegalovirus), Parvovirus,
Staphylococcus aureus, Group A β-hemolyticus
Varicella Zoster Virus
Streptococcus
2. Suatu bentuk gangguan jinak dari bentuk sel T
limfoproliferatif
3. Suatu bentuk reaksi hipersensitivitas berupa
vaskulitis yang dimediasi oleh kompleks imun.
Gejala Klinis Prodormal
Jarang ada
Sering ada
Gambaran Lesi
Polimorfik, lebih banyak skuama, vesikel tidak
berumbilikasi dan banyak terdapat vesikel
hemoragik, disertai erosi, dan krusta merah
maroon agak kehitaman.
Polimorfik, tetapi ada lesi khas
dewdrop on a rose petal, vesikel
berumbilikasi seperti tetesan
embun di atas kelopak bunga
mawar.
Lesi mukosa
Tidak ada
Sering ada
Laboratorium
- Sel raksasa berinti banyak
- Tes Tzanck smear:
- Parakeratosis
Tidak ada
Negatif
Ada
Ada
Positif
Tidak ada
Terapi
Lini pertama: Kortikosteroid topikal, fototerapi,
antibiotik oral yang juga mempunyai efek
anti-inflamasi (erythromycin, tetracycline,
minocycline)
Antivirus per oral atau injeksi
(aciclovir, valaciclovir, famciclovir,
foscarnet).
Steroid topikal adalah kontraindikasi
pada varicella.
KOMPLIKASI
Rekurensi
Sering rekuren
Hampir tidak pernah rekuren,
kecuali ada kondisi imunosupresi
Pada PLEVA komplikasi umumnya disebabkan
oleh infeksi bakteri sekunder, sehingga dapat
Penularan
Jarang menular
Sangat menular
Pada varicella disarankan menggunakan
antipiretik paracetamol. Sedapat mungkin
hindari salicylate karena dapat menyebabkan
Reye’s Syndrome, dengan gejala ensefalopati
akut disertai degenerasi lemak pada hati.
Dapat juga diberikan antihistamin golongan
sedatif agar rasa gatal berkurang dan dapat
beristirahat.2
DAFTAR PUSTAKA
1.
Crowson AN, Magro CM, Morrison C, Li J. Pityriasis lichenoides. The Doctor’s Doctor [Internet]. 2007 [cited 2013 Oct 15]. Available from: www.thedoctorsdoctor.com/diseases/pleva.
htm#epidemiology.
2.
Strauss SE, Oxman MN, Schamder KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolf K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Jefrell DJ, editors. Fitzpatrick’s in general medicine. 7th ed. New
York: McGraw Hill; 2008. p.1885-98
3.
Sacha JJ. Pityriasis lichenoides et varioliformis acuta [Internet]. 2008 [cited 2013 Oct 15]. Available from: http://www.pediatricsconsultant360.com/content/pityriasis-lichenoides-etvarioliformis-acuta-0.
4.
Callen JP, Klein PA, Raugi GJ. Pityriasis Lichenoides [Internet]. 2012 [cited 2013 Oct 15]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1099078-overview.
5.
Ngan V. Pityriasis lichenoides [Internet]. 2012 [cited 2013 Oct 15]. Available from: http://www.dermnetnz.org/scaly/pityriasis-lichenoides.html.
6.
Habif TP. Pityriasis lichenoides. Clinical Dermatology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2010. p. 332-3.
7.
James WD, Berger T, Elston D. Pityriasis lichenoides. Andrews’ diseases of the skin: Clinical dermatology. 11th ed. UK: Saunders, Elsevier; 2001. p. 729-30
CDK-238/ vol.43 no.3, th. 2016
223
Download